kurikulum pendidikan islam masa klasik

18
KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM MASA KLASIK Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pembaharuan Pendidikan Islam Dosen Pengampu : Prof. Dr. Abd. Rachman Assegaf Disusun Oleh : Ali Murfi 11470082 Jurusan Kependidikan Islam

Upload: ali-murfi

Post on 13-Jan-2015

1.197 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

 

TRANSCRIPT

Page 1: Kurikulum Pendidikan Islam Masa Klasik

KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM MASA KLASIK

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pembaharuan Pendidikan Islam

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Abd. Rachman Assegaf

Disusun Oleh :

Ali Murfi 11470082

Jurusan Kependidikan Islam

Fakultas Tarbiyah dan Keguruan

Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Semester Genap Tahun Ajaran 2013/2014

Page 2: Kurikulum Pendidikan Islam Masa Klasik

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan Islam sesungguhnya telah tumbuh dan berkembang sejalan dengan

adanya dakwah Islam yang telah dilakukan Nabi Muhammad SAW. Berkaitan dengan

itu pula pendidikan Islam memiliki corak dan karakteristik yang berbeda sejalan dengan

upaya pembaharuan yang dilakukan secara terus – meneruskan pascagenerasi nabi,

sehingga dalam perjalanan selanjutnya pendidikan Islam terus mengalami perubahan baik

dari segi kurikulum (mata pelajaran).

Munculnya pendidikan Islam bersamaan dengan lahirnya Islam itu sendiri.

Pendidikan pada awalnya dilakukan dari rumah ke rumah, di masjid-masjid dan

sebagainya. Ini dilakukan dengan peralatan yang sederhana sekali. Pendidikan Islam

sebagai suatu sistem merupakan sistem tersendiri di antara sistem pendidikan di dunia

ini, kendatipun memiliki banyak persamaan. Dikatakan sistem tersendiri karena

cakupannya dan kesadarannya terhadap detak jantung, karsa dan karya manusia.

Pendidikan Islam di masa klasik yang dilakukan nabi di Makkah merupakan

prototype yang bertujuan untuk membina pribadi Muslim agar menjadi kader yang

berjiwa kuat dan dipersiapkan menjadi masyarakat Islam, mubalig dan pendidik yang

baik.1 Setelah hijrah, pendidikan Islam mengalami perkembangan dan pendidikan

diarahkan juga untuk membina aspek-aspek kemanusiaan dalam mengelola dan menjaga

kesejahteraan alam semesta.

Kurikulum pendidikan Islam klasik merupakan suatu sistem pendidikan klasik

yang berbeda dengan sistem pendidikan Islam yang ada pada saat ini. Kalau ditinjau dari

aspek tujuan, guru, murid, kurikulum, metode, fasilitas, dan sarana prasarana, jelas

terlihat perbedaannya. Sudah banyak terjadi perkembangan-perkembangan dalam dunia

pendidikan Islam.

Runtuhya kerajaan Romawi pada abad ke 5 M merupakan awal dari “zaman

pertengahan yang gelap” , yaitu ketika Eropa mengalami kemunduran peradaban,

sedangkan di Timur peradaban mengalami kemajuan yang pesat. Sehingga  Islam selama

kurang lebih lima abad menjadi mercusuar dalam segala aspek.

1 Soekarno dan Ahmad Supardi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam,(Bandung: Angkasa, 1985), hal. 54-59

1

Page 3: Kurikulum Pendidikan Islam Masa Klasik

Usaha-usaha penaklukan yang dilakukan umat Islam pada masa sebelumnya

yaitu pada masa Khulafaur rasyidin dan Bani Umayyah, pada masa Abbasiyah dikurangi

dan mengarahkan perhatian terhadap perdamaian. Pelaksanaan pendidikan Islam semakin

meningkat pada masa dinasti Umayyah yang meletakkan dasar-dasar bagi kemajuan

pendidikan. Sehingga masa ini disebut dengan “masa inkubasi” atau masa bagi

perkembangan intelektual Islam.

Peradaban Islam mengalami puncak keemasan pada masa Bani Abbasiyah

adalah pada pemerintahan Al-Ma’mun (813-833 M), yaitu ketika orang-orang Islam

mulai menerjemahkan buku-buku Yunani, Persia dan India ke dalam bahasa mereka.2

Perhatian Al-Ma’mun terhadap proses pendidikan terutama proses penerjemahan buku-

buku tersebut sangat besar. Maka sejak awal periode penerjemahan ini, pendidikan Islam

mulai memiliki potensi-potensi dalam memgembangkan kurikulum yang beraneka

ragam, mencakup berbagai bidang ilmu pengetahuan.

Sejak saat itulah proses pendidikan Islam mulai mengalami kecenderungan

untuk mengembangkan diri dalam “merajut” kesatuan system yang ada di dalamnya. Satu

hal yang pasti, bahwa mengkaji system pendidikan Islam klasik tidak akan selalu sama

jika hanya dilihat dari system pendidikan Islam di masa sekarang.

Satu dari sekian system itu adalah kurikulumnya. Sudah bisa dibayangkan

bahwa kurikulum klasik pendidikan Islam tidaklah sama dengan kurikulum pendidikan

Islam sekarang ini. Kurikulum pendidikan Islam klasik berkisar pada bidang studi

tertentu, sedangkan kurikulum dewasa ini merupakan sejumlah mata pelajaran yang

harus ditempuh atau dipelajari siswa. Lebih luas lagi kurikulum bukan hanya sekedar

rencana pelajaran, tetapi semua program pendidikan yang disediakan oleh lembaga

pendidikan bagi siswa.3

Yang jadi persoalan adalah, bagaimana “sosok” kurikulum ditampilkan pada

masa pendidikan Islam klasik ? Adakah penjenjangan dalam penggunaan kurikulum ,

mengingat pentahapan dalam pendidikan Islam klasik, dan bagaimana perkembangan

dalam masa awalnya?

Hal ini sangat memungkinkan pada kajian-kajian sejarah pendidikan Islam

klasik, dalam mengupayakan eksistensi dan perkembangan pendidikan Islam. Untuk

itulah penulis sengaja mengahadirkan keberadaan kurikulum pendidikan Islam klasik.

Agar tidak melebarkan pembahasan, penulis secara khusus mencoba mencermati hanya

2 Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), hal. 653 Ibid, hlm. 67

2

Page 4: Kurikulum Pendidikan Islam Masa Klasik

seputar kurikulum pendidikan klasik. Secara umum, meliputi pengertian, perkembangan

kurikulum klasik mulai sebelum berdirinya madrasah sampai kurikulum setelah

berdirinya madrasah.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah dalam latar belakang, maka

penulis dalam hal ini akan merumuskan permasalahan dalam

beberapa pertanyaan.

1. Bagaimana kurikulum pendidikan Islam klasik (750 – 1350 M)?

2. Bagaimana kurikulum pendidikan Islam sebelum berdirinya madrasah?

3. Bagaimana kurikulum pendidikan Islam sesudah berdirinya madrasah?

3

Page 5: Kurikulum Pendidikan Islam Masa Klasik

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kurikulum Pendidikan Islam

Secara formal, kemunculan kurikulum sebagai bidang kajian ilmiyah baru pada

awal abad ke- 20. Kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yakni dari kata Curire yang

artinya pelari. Kata Curere artinya tempat berpacu. Curriculum diartikan jarak yang

ditempuh dari seorang pelari. Pada saat itu kurikulum diartikan sejumlah mata pelajaran

yang harus ditempuh oleh siswa/ murid untuk mendapatkan ijazah. Rumusan kurikulum

tersebut mengandung makna bahwa isi kurikulum tidak lain adalah sejumlah mata

pelajaran (subjek matter) yang harus dikuasai siswa agar siswa memperoleh ijazah.4

Pada masa klasik, pakar pendidikan Islam menggunakan kata al-maddah untuk

pengertian kurikulum. Karena pada masa itu kurikulum lebih identik dengan serangkaian

mata pelajaran yang harus diberikan pada murid dalam tingkat tertentu. Ilmu-ilmu agama

mendominasi kurikulum di lembaga formal dengan mata pelajaran hadis dan tafsir, fiqih,

dan dakwah.

Sejalan dengan perjalanan waktu, pengertian kurikulum mulai berkembang dan

cakupannya lebih luas, yaitu mencakup segala aspek yang mempengaruhi pribadi siswa.

Kurikulum dalam pengertian yang modern ini mencakup tujuan, mata pelajaran, proses

belajar dan mengajar serta evaluasi.

Pada masa klasik kurikulum didefinisikan dengan kata al-Maddah yaitu

serangkaian mata pelajaran yang harus diberikan pada murid dalam tingkat tertentu

B. Kurikulum Pendidikan Klasik

1. Kurikulum Pendidikan Islam Sebelum Berdirinya Madrasah

Kurikulum Pendidikan Rendah.

Sebelum berdirinya madrasah, tidak ada tingkatan dalam pendidikan

Islam, tetapi hanya satu tingkat yang bermula di kuttab dan berakhir di diskusi

halaqah. Tidak ada kurikulum khusus yang diikuti oleh seluruh umat Islam. Di

lembaga kuttab biasanya diajarkan membaca dan menulis, di samping Al-qur’an.

Kadang diajarkan bahasa, nahwu dan arudh.

4 Nana Sudjana, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, (Bandung; Sinar Baru Algesindo, 1995), hal. 1-2

4

Page 6: Kurikulum Pendidikan Islam Masa Klasik

Sedangkan kurikulum yang ditawarkan oleh Ibnu Sina untuk tingkat ini

adalah mengajari Alqur’an, karena anak-anak dari segi fisik dan mental, telah siap

menerima pendiktean, dan pada waktu yang sama diajarkan juga huruf hijaiyah dan

dasar agama kemudian syair berikut artinya. Setelah anak-anak belajar Alqur’an dan

dasar agama, kemudian diarahkan untuk mempelajari sesuatu yang sesuai dengan

kecenderungannya.5

Namun demikian, ada perbedaan antara kuttab-kuttab yang diperuntukkan

bagi masyarakat umum dengan yang ada di istana. Di istana, orang tua (para

pembesar istana) adalah yang membuat rencana pelajaran tersebut sesuai dengan

anaknya dan tujuan yang dikehendakinya. Rencana pelajaran untuk pendidikan

istana ialah pidato, sejarah, peperangan-peperangan, cara bergaul dengan masyarakat

di samping pengetahuan pokok, seperti Al-qur’an, syair dan bahasa.

Kurikulum pada tingkat ini bervariasi tergantung pada tingkat kebutuhan

masyarakat. Karena sebuah kurikulum dibuat tidak akan pernah lepas dari faktor

sosiologis, politis ekonomis masyarakat yang melingkupinya. Di lembaga

pendidikan masyarakat umum, orang tua kurang mempunyai peran dalam

penyusunan kurikulum karena anak belajar suatu mata pelajaran tergantung pada

guru yang tersedia. Berbeda dengan yang ada di istana, dimana anak memang

diarahkan untuk menjadi pemimpin yang akan menggantikan bapak-bapak mereka,

di lembaga pendidikan ini rencana pelajaran disusun oleh orang tua mereka.

Kurikulum pada tingkat ini tidak dipersiapkan untuk menuju pendidikan

yang lebih tinggi. Ada jurang lebar yang memisah kedua lembaga tersebut sehingga

orang yang ingin belajar setelah tingkat dasar dalam masalah sastra, kajian

keagamaan, hukum dan filsafat, harus menempuh jalur sendiri dan meminta secara

pribadi untuk bergabung dengan halaqah milik seorang syaikh.

Kurikulum Pendidikan Tinggi

Kurikulum pendidikan tinggi, halaqah kalau mau menyebut demikian

bervariasi tergantung pada syaikh yang mau mengajar. Para mahasiswa tidak terikat

untuk mempelajari mata pelajaran tertentu, demikian juga guru tidak mewajibkan

5 Asma Hasan Fahmi “Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam” dalam Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam: Pada Periode Klasik dan Pertengahan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 117

5

Page 7: Kurikulum Pendidikan Islam Masa Klasik

kepada mahasiswa untuk mengikuti kurikulum tertentu. Mahasiswa bebas mengikuti

pelajaran di sebuah halaqah dan berpindah dari sebuah halaqah ke halaqah yang

lain, bahkan dari satu kota ke kota lain.

Menurut Fazlur Rahman, pendidikan jenis ini disebut pendidikan orang

dewasa, karena diberikan kepada orang banyak yang tujuan utamanya adalah untuk

mengajarkan mereka mengenai Al-Qur’an dan agama. Kurikulum pada pendidikan

tingkat ini dibagi kepada dua jurusan, pertama jurusan ilmu-ilmu agama (al-‘ulum

al-naqliyah) dan kedua jurusan ilmu pengetahuan (al-‘ulum al-aqliyah).6

Kedua macam kurikulum ini sejalan dengan dua masa transisi penting dalam

perkembangan pemikiran Islam. Kurikulum pertama sejalan dengan fase di mana

dunia Islam mempersiapkan diri untuk mendalami masalah agama, menyiarkan dan

mempertahankannya. Namun perhatian pada agama itu tidaklah terbatas pada ilmu

agama semata, akan tetapi dilengkapi juga dengan ilmu-ilmu bahasa, ilmu sejarah,

ilmu hadist dan tafsir. Menurut Mahmud Yunus, kurikulum jurusan ini adalah tafsir

al-Qur’an, hadist, fiqih, ushul fiqih, nahwu sharaf, balaghah, bahasa dan sastranya.

Al-Khuwarazmi (Yusuf Al-Katib, 976) dalam bukunya, Mafatih al-Ulum

meringkas kurikulum agama sebagai berikut: ilmu fiqih, ilmu nahwu, ilmu kalam,

ilmu kitabah (sekretaris),dan ilmu ‘arudh. Ilmu sejarah (terutama sejarah Persia,

sejarah Islam, sejarah sebelum Islam, sejarah Yunani dan Romawi). Di samping itu,

diajarkan juga matematika dasar, karena banyak digunakan untuk ilmu faraid dan

pembuatan taqwim (mencocokkan tahun Hijriyah dengan tahun Masehi). Adapun

yang ditulis dalam risalah Ikhwan al-Shafa, kurikulum untuk jurusan ini adalah ilmu

al-Qur’an, tafsir, hadist, fiqih, zikir, zuhud, tasawuf, dan syahadah.

Sedangkan Al-Farabi memasukkan studi keagamaan di bawah metafisika

dan ilmu kemasyarakatan. Karena, menurutnya, kesempurnaan manusia, bisa dicapai

kalau manusia dapat memiliki jenis pengetahuan tertentu dan manusia hidup dalam

jenis kehidupan tertentu pula. Ia merasa pengetahuan yang dibawa agama “tidak

mencukupi”. Maka tidak heran jika di dalam karyanya, Ihsaal Ulum (Enumeration of

6 Fazlur Rachman “Islam” dalam Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam: Pada Periode Klasik dan Pertengahan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 119

6

Page 8: Kurikulum Pendidikan Islam Masa Klasik

The Sciences) yang di Barat dikenal dengan dengan Scientist, dia tidak memasukkan

studi keagamaan dalam klasifikasi pengetahuannya.7

Kurikulum kedua, yaitu kurikulum ilmu pengetahuan. Ia merupakan ciri khas

pada fase kedua perkembangan pada pemikiran umat Islam, yaitu ketika umat Islam

mulai bersentuhan dengan pemikiran Yunani, Persia dan India. Menurut Mahmud

Yunus, kurikulum untuk pendidikan jenis ini adalah mantiq, ilmu alam dan kimia,

ilmu musik, ilmu-ilmu pasti, ilmu-ilmu ukur, ilmu-ilmu falak, ilmu ketuhanan, ilmu

hewan, ilmu tumbuh-tumbuhan dan kedokteran.8

2. Kurikulum Pendidikan Islam Setelah Berdirinya Madrasah

Pada zaman keemasan Islam, aktivitas-aktivitas kebudayaan pendidikan

Islam tidak mengizinkan teologi dan dogma membatasi ilmu pengetahuan mereka.

Mereka menyelidiki setiap cabang ilmu pengetahuan manusia, baik fisiologi, sejarah,

historiografi, hukum, sosiologi, kesusastraan, etika, filsafat, teologi, kedokteran,

mate-matika, logika, jurisprudensi, seni, arsitektur, atau ilmu keramik.

Sejalan dengan perkembangan zaman dan tingkat kebutuhan, mendirikan

madrasah adalah dianggap sesuatu yang signifikan. Pendirian lembaga pendidikan

tinggi Islam ini di bawah patronase wazir Nizam Al-Mulk (1064 M). Biasanya

sebuah madrasah dibangun untuk seorang ahli fiqih yang termasyhur dalam suatu

mazhab empat. Nuruddin Mahmud bin Zanki misalnya, beliau telah mendirikan

beberapa madrasah untuk mazhab Hanafi dan Syafi’I di Damaskus dan Halab. Beliau

juga membangun sebuah madrasah untuk mazhab ini di kota Mesir.

Di satu sisi, berdirinya madrasah merupakan sumbangan Islam bagi

peradaban sesudahnya. Akan tetapi, disisi lain hal ini membawa dampak yang buruk

bagi dunia pendidikan setelah hegemoni negara yang terlalu kuat terhadap madrasah.

Akibatnya kurikulum madrasah ini dibatasi hanya pada wilayah hukum (fiqih) dan

teologi. Legitiumasi “makruh” terhadap penggunaan nalar setelah runtuhnya

Mu’tazilah, ilmu-ilmu profan yang sangat dicurigai dihapus dari kurikulum

madrasah. Hal ini menyebabkan mereka yang punya minat tinggi terhadap ilmu-ilmu

ini terpaksa belajar secara otodidak. Karenanya ilmu-ilmu profan banyak

berkembang di lembaga-lembaga non formal.

7 Ali Ashraf “Horison Baru Pendidikan Islam” dalam Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam: Pada Periode Klasik dan Pertengahan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 121

8 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1990), hlm. 132

7

Page 9: Kurikulum Pendidikan Islam Masa Klasik

Satu pertanyaan yang dapat kita kembangkan, bahwa kenapa legalisme fiqih

atau syariat terlalu dominan terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam? Menurut

Fazlur Rahman, ada pandangan  yang terus menerus diungkap, yaitu karena ilmu

itu luas dan hidup ini singkat, maka orang harus memeberikan prioritas, dan prioritas

itu dengan sendirinya diberikan pada sains-sains agama yang membawa kejayaan di

akhirat.9

Sedangkan menurut Azyumardi, karena memang lembaga-lembaga ini

dikuasai oleh mereka yang ahli agama, dan tidak kalah pentingnya adalah tidak

otonomnya madrasah dari tanah waqaf yang diberikan oleh para dermawan dan

penguasa politik. Motivasi kesalehan mendorong para dermawan untuk

mengarahkan madrasah bergerak dalam bidang ilmu-ilmu agama karena di anggap

mendatangkan pahala. Di pihak lain, para penguasa politik pemrakarsa pendirian

madrasah, apakah karena didorong oleh motivasi politik atau motivasi murni untuk

menegakkan “ortodoksi” Sunni, sering mendikte madrasah untuk tetap berada dalam

kerangka “ortodoksi itu sendiri”. 10

9 Fazlur Rachman, Islam dan Tantangan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, (Bandung: Pustaka, 1995), hlm. 39

10 Azyumardi Azra “Pendidikan Tinggi dan Kemajuan Sains: Sebuah Pengantar” dalam Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam: Pada Periode Klasik dan Pertengahan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 125

8

Page 10: Kurikulum Pendidikan Islam Masa Klasik

BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan untuk menjawab rumusan masalah dapat ditarik

kesimpulan, bahwa :

Kurikulum pendidikan islam pada masa klasik dimunculkan oleh cendikiawan

muslim pada masa klasik, seperti al-farabi, Ibnu sina dan lain-lain. Kurikulum pendidikan

ini di bagi kepada dua bagian. Bagian pertama, kurikulum sebelum sebelum madrasah.

Kedua, kurikulum setelah bedirinya madrasah.

Kedua bagian ini, masing-masing mempunyai bagian-bagiannya. Kurikulum

pendidikan sebelum madrasah terbagi dua bagian, diantaranya: kurikulum pendidikan

rendah dan kurikulum pendidikan tinggi. Kemudian pendidikan setelah berdirinya

madrasah ini lebih menitik beratkan kepada tingkat dewasa (mahasiswa).

Kurikulum pendidikan rendah terbagi ke dua bagian. Pertama, kurikulum

pendidikan untuk masyarakat umum. Kedua, kurikulum pendidikan untuk orang istana.

Untuk masyarakat umum, orang tua mereka tidak mempunyai peran dalam maslah

pendidikan, karena itu diatur oleh guru mereka langsung seperti ilmu cara baca al-quran,

sejarah dsb. Sedang kurikulum orang istana, diatur oleh orang tua (para pejabat), karena

anaknya dicetak untuk jadi pemimpin untuk melanjutkan kepemimpinan orang tuannya,

mereka konsentrasi ilmu kepemimpinan, peperangan, sejarah, dan tanpa

mengesampingkan ilmu al-quran dan agama.

Kemudian kurikulum pendidikan tinggi ini lebih kepada kebebasan untuk memilih

dan berpindah-pindah dengan menggunakan metode halaqoh. Dan tidak diharuskan

seorang murid untuk mengikuti syeikh-syeikhnya. Begitu juga syeikhnya tidak

mewajibkan kepada muridnya mengikutinya. Kurikululum pada tingkat ini terbagi dua

yaitu, kurikulum agama dan pengetahuan umum.

Kemudian kurikulum setelah berdirinya madrasah, hal ini lebih kepada ilmu-ilmu

syariat dan teologi. Karena para ahli atau yang berkuasa pada saat itu adalah para ilmuan

dibidang agama, tetapi tidak membuat patah kepada pelajar untuk mempejari ilmu

umum. Mereka mencari sendiri-sendiri ilmu-ilmu umum itu.

Kurikulum pada zaman klasik secara garis besar sudah ada walau tidak ada bukti

tertulis tentang kurikulum tersebut, nyatanya yang lebih mendominasi pada sebuah

madrasah adalah kurikulum yang didalamnya adalah muatan tentang agama. Dan biasa

9

Page 11: Kurikulum Pendidikan Islam Masa Klasik

yang menentukan kurikulum adalah orang-orang yang mempunyai otoritas atau penyusun

perencanaan mata pelajaran pendidikan Islam klasik adalah ulama yang menguasai

bidangnya masing-masing.

10

Page 12: Kurikulum Pendidikan Islam Masa Klasik

DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Harun. 1975. Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan.

Jakarta: PT. Bulan Bintang

Nata, Abudin. 2010. Sejarah Pendidikan Islam: pada Periode Klasik dan Pertengahan.

Cet. ke-2. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

. 2004. Sejarah Pendidikan Islam: pada Periode Klasik dan Pertengahan.

Cet. ke-1. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

. 2005. Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di

Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Rahman, Fazlur. 2005. Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi

Intelektual. Bandung: PUSTAKA

. 1995. Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi

Intelektual. Bandung: PUSTAKA

Yunus, Mahmud. 1990. Sejarah Pendidikan Islam. Cet. ke-6. Jakarta: PT. Hidakarya

Agung

Ramayulis. 2011. Ilmu Pendidikan Islam. Cet. ke-9. Jakarta: Kalam Mulia

Soekarno dan Ahmad Supardi. 1985. Sejarah Filsafat Pendidikan Islam. Bandung:

Angkasa.

Abd ar-Rahman, Maulana. 2003. Pancaran Ilahi Kaum Sufi. Yogyakarta: Penerbit

Pustaka Sufi

Sudjana, Nana. 1995. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru

Algesindo

Hamalik, Oemar. 2001. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara

11