kurikulum pendidikan islam masa klasik
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM MASA KLASIK
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pembaharuan Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Abd. Rachman Assegaf
Disusun Oleh :
Ali Murfi 11470082
Jurusan Kependidikan Islam
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Semester Genap Tahun Ajaran 2013/2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan Islam sesungguhnya telah tumbuh dan berkembang sejalan dengan
adanya dakwah Islam yang telah dilakukan Nabi Muhammad SAW. Berkaitan dengan
itu pula pendidikan Islam memiliki corak dan karakteristik yang berbeda sejalan dengan
upaya pembaharuan yang dilakukan secara terus – meneruskan pascagenerasi nabi,
sehingga dalam perjalanan selanjutnya pendidikan Islam terus mengalami perubahan baik
dari segi kurikulum (mata pelajaran).
Munculnya pendidikan Islam bersamaan dengan lahirnya Islam itu sendiri.
Pendidikan pada awalnya dilakukan dari rumah ke rumah, di masjid-masjid dan
sebagainya. Ini dilakukan dengan peralatan yang sederhana sekali. Pendidikan Islam
sebagai suatu sistem merupakan sistem tersendiri di antara sistem pendidikan di dunia
ini, kendatipun memiliki banyak persamaan. Dikatakan sistem tersendiri karena
cakupannya dan kesadarannya terhadap detak jantung, karsa dan karya manusia.
Pendidikan Islam di masa klasik yang dilakukan nabi di Makkah merupakan
prototype yang bertujuan untuk membina pribadi Muslim agar menjadi kader yang
berjiwa kuat dan dipersiapkan menjadi masyarakat Islam, mubalig dan pendidik yang
baik.1 Setelah hijrah, pendidikan Islam mengalami perkembangan dan pendidikan
diarahkan juga untuk membina aspek-aspek kemanusiaan dalam mengelola dan menjaga
kesejahteraan alam semesta.
Kurikulum pendidikan Islam klasik merupakan suatu sistem pendidikan klasik
yang berbeda dengan sistem pendidikan Islam yang ada pada saat ini. Kalau ditinjau dari
aspek tujuan, guru, murid, kurikulum, metode, fasilitas, dan sarana prasarana, jelas
terlihat perbedaannya. Sudah banyak terjadi perkembangan-perkembangan dalam dunia
pendidikan Islam.
Runtuhya kerajaan Romawi pada abad ke 5 M merupakan awal dari “zaman
pertengahan yang gelap” , yaitu ketika Eropa mengalami kemunduran peradaban,
sedangkan di Timur peradaban mengalami kemajuan yang pesat. Sehingga Islam selama
kurang lebih lima abad menjadi mercusuar dalam segala aspek.
1 Soekarno dan Ahmad Supardi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam,(Bandung: Angkasa, 1985), hal. 54-59
1
Usaha-usaha penaklukan yang dilakukan umat Islam pada masa sebelumnya
yaitu pada masa Khulafaur rasyidin dan Bani Umayyah, pada masa Abbasiyah dikurangi
dan mengarahkan perhatian terhadap perdamaian. Pelaksanaan pendidikan Islam semakin
meningkat pada masa dinasti Umayyah yang meletakkan dasar-dasar bagi kemajuan
pendidikan. Sehingga masa ini disebut dengan “masa inkubasi” atau masa bagi
perkembangan intelektual Islam.
Peradaban Islam mengalami puncak keemasan pada masa Bani Abbasiyah
adalah pada pemerintahan Al-Ma’mun (813-833 M), yaitu ketika orang-orang Islam
mulai menerjemahkan buku-buku Yunani, Persia dan India ke dalam bahasa mereka.2
Perhatian Al-Ma’mun terhadap proses pendidikan terutama proses penerjemahan buku-
buku tersebut sangat besar. Maka sejak awal periode penerjemahan ini, pendidikan Islam
mulai memiliki potensi-potensi dalam memgembangkan kurikulum yang beraneka
ragam, mencakup berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Sejak saat itulah proses pendidikan Islam mulai mengalami kecenderungan
untuk mengembangkan diri dalam “merajut” kesatuan system yang ada di dalamnya. Satu
hal yang pasti, bahwa mengkaji system pendidikan Islam klasik tidak akan selalu sama
jika hanya dilihat dari system pendidikan Islam di masa sekarang.
Satu dari sekian system itu adalah kurikulumnya. Sudah bisa dibayangkan
bahwa kurikulum klasik pendidikan Islam tidaklah sama dengan kurikulum pendidikan
Islam sekarang ini. Kurikulum pendidikan Islam klasik berkisar pada bidang studi
tertentu, sedangkan kurikulum dewasa ini merupakan sejumlah mata pelajaran yang
harus ditempuh atau dipelajari siswa. Lebih luas lagi kurikulum bukan hanya sekedar
rencana pelajaran, tetapi semua program pendidikan yang disediakan oleh lembaga
pendidikan bagi siswa.3
Yang jadi persoalan adalah, bagaimana “sosok” kurikulum ditampilkan pada
masa pendidikan Islam klasik ? Adakah penjenjangan dalam penggunaan kurikulum ,
mengingat pentahapan dalam pendidikan Islam klasik, dan bagaimana perkembangan
dalam masa awalnya?
Hal ini sangat memungkinkan pada kajian-kajian sejarah pendidikan Islam
klasik, dalam mengupayakan eksistensi dan perkembangan pendidikan Islam. Untuk
itulah penulis sengaja mengahadirkan keberadaan kurikulum pendidikan Islam klasik.
Agar tidak melebarkan pembahasan, penulis secara khusus mencoba mencermati hanya
2 Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), hal. 653 Ibid, hlm. 67
2
seputar kurikulum pendidikan klasik. Secara umum, meliputi pengertian, perkembangan
kurikulum klasik mulai sebelum berdirinya madrasah sampai kurikulum setelah
berdirinya madrasah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah dalam latar belakang, maka
penulis dalam hal ini akan merumuskan permasalahan dalam
beberapa pertanyaan.
1. Bagaimana kurikulum pendidikan Islam klasik (750 – 1350 M)?
2. Bagaimana kurikulum pendidikan Islam sebelum berdirinya madrasah?
3. Bagaimana kurikulum pendidikan Islam sesudah berdirinya madrasah?
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kurikulum Pendidikan Islam
Secara formal, kemunculan kurikulum sebagai bidang kajian ilmiyah baru pada
awal abad ke- 20. Kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yakni dari kata Curire yang
artinya pelari. Kata Curere artinya tempat berpacu. Curriculum diartikan jarak yang
ditempuh dari seorang pelari. Pada saat itu kurikulum diartikan sejumlah mata pelajaran
yang harus ditempuh oleh siswa/ murid untuk mendapatkan ijazah. Rumusan kurikulum
tersebut mengandung makna bahwa isi kurikulum tidak lain adalah sejumlah mata
pelajaran (subjek matter) yang harus dikuasai siswa agar siswa memperoleh ijazah.4
Pada masa klasik, pakar pendidikan Islam menggunakan kata al-maddah untuk
pengertian kurikulum. Karena pada masa itu kurikulum lebih identik dengan serangkaian
mata pelajaran yang harus diberikan pada murid dalam tingkat tertentu. Ilmu-ilmu agama
mendominasi kurikulum di lembaga formal dengan mata pelajaran hadis dan tafsir, fiqih,
dan dakwah.
Sejalan dengan perjalanan waktu, pengertian kurikulum mulai berkembang dan
cakupannya lebih luas, yaitu mencakup segala aspek yang mempengaruhi pribadi siswa.
Kurikulum dalam pengertian yang modern ini mencakup tujuan, mata pelajaran, proses
belajar dan mengajar serta evaluasi.
Pada masa klasik kurikulum didefinisikan dengan kata al-Maddah yaitu
serangkaian mata pelajaran yang harus diberikan pada murid dalam tingkat tertentu
B. Kurikulum Pendidikan Klasik
1. Kurikulum Pendidikan Islam Sebelum Berdirinya Madrasah
Kurikulum Pendidikan Rendah.
Sebelum berdirinya madrasah, tidak ada tingkatan dalam pendidikan
Islam, tetapi hanya satu tingkat yang bermula di kuttab dan berakhir di diskusi
halaqah. Tidak ada kurikulum khusus yang diikuti oleh seluruh umat Islam. Di
lembaga kuttab biasanya diajarkan membaca dan menulis, di samping Al-qur’an.
Kadang diajarkan bahasa, nahwu dan arudh.
4 Nana Sudjana, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, (Bandung; Sinar Baru Algesindo, 1995), hal. 1-2
4
Sedangkan kurikulum yang ditawarkan oleh Ibnu Sina untuk tingkat ini
adalah mengajari Alqur’an, karena anak-anak dari segi fisik dan mental, telah siap
menerima pendiktean, dan pada waktu yang sama diajarkan juga huruf hijaiyah dan
dasar agama kemudian syair berikut artinya. Setelah anak-anak belajar Alqur’an dan
dasar agama, kemudian diarahkan untuk mempelajari sesuatu yang sesuai dengan
kecenderungannya.5
Namun demikian, ada perbedaan antara kuttab-kuttab yang diperuntukkan
bagi masyarakat umum dengan yang ada di istana. Di istana, orang tua (para
pembesar istana) adalah yang membuat rencana pelajaran tersebut sesuai dengan
anaknya dan tujuan yang dikehendakinya. Rencana pelajaran untuk pendidikan
istana ialah pidato, sejarah, peperangan-peperangan, cara bergaul dengan masyarakat
di samping pengetahuan pokok, seperti Al-qur’an, syair dan bahasa.
Kurikulum pada tingkat ini bervariasi tergantung pada tingkat kebutuhan
masyarakat. Karena sebuah kurikulum dibuat tidak akan pernah lepas dari faktor
sosiologis, politis ekonomis masyarakat yang melingkupinya. Di lembaga
pendidikan masyarakat umum, orang tua kurang mempunyai peran dalam
penyusunan kurikulum karena anak belajar suatu mata pelajaran tergantung pada
guru yang tersedia. Berbeda dengan yang ada di istana, dimana anak memang
diarahkan untuk menjadi pemimpin yang akan menggantikan bapak-bapak mereka,
di lembaga pendidikan ini rencana pelajaran disusun oleh orang tua mereka.
Kurikulum pada tingkat ini tidak dipersiapkan untuk menuju pendidikan
yang lebih tinggi. Ada jurang lebar yang memisah kedua lembaga tersebut sehingga
orang yang ingin belajar setelah tingkat dasar dalam masalah sastra, kajian
keagamaan, hukum dan filsafat, harus menempuh jalur sendiri dan meminta secara
pribadi untuk bergabung dengan halaqah milik seorang syaikh.
Kurikulum Pendidikan Tinggi
Kurikulum pendidikan tinggi, halaqah kalau mau menyebut demikian
bervariasi tergantung pada syaikh yang mau mengajar. Para mahasiswa tidak terikat
untuk mempelajari mata pelajaran tertentu, demikian juga guru tidak mewajibkan
5 Asma Hasan Fahmi “Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam” dalam Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam: Pada Periode Klasik dan Pertengahan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 117
5
kepada mahasiswa untuk mengikuti kurikulum tertentu. Mahasiswa bebas mengikuti
pelajaran di sebuah halaqah dan berpindah dari sebuah halaqah ke halaqah yang
lain, bahkan dari satu kota ke kota lain.
Menurut Fazlur Rahman, pendidikan jenis ini disebut pendidikan orang
dewasa, karena diberikan kepada orang banyak yang tujuan utamanya adalah untuk
mengajarkan mereka mengenai Al-Qur’an dan agama. Kurikulum pada pendidikan
tingkat ini dibagi kepada dua jurusan, pertama jurusan ilmu-ilmu agama (al-‘ulum
al-naqliyah) dan kedua jurusan ilmu pengetahuan (al-‘ulum al-aqliyah).6
Kedua macam kurikulum ini sejalan dengan dua masa transisi penting dalam
perkembangan pemikiran Islam. Kurikulum pertama sejalan dengan fase di mana
dunia Islam mempersiapkan diri untuk mendalami masalah agama, menyiarkan dan
mempertahankannya. Namun perhatian pada agama itu tidaklah terbatas pada ilmu
agama semata, akan tetapi dilengkapi juga dengan ilmu-ilmu bahasa, ilmu sejarah,
ilmu hadist dan tafsir. Menurut Mahmud Yunus, kurikulum jurusan ini adalah tafsir
al-Qur’an, hadist, fiqih, ushul fiqih, nahwu sharaf, balaghah, bahasa dan sastranya.
Al-Khuwarazmi (Yusuf Al-Katib, 976) dalam bukunya, Mafatih al-Ulum
meringkas kurikulum agama sebagai berikut: ilmu fiqih, ilmu nahwu, ilmu kalam,
ilmu kitabah (sekretaris),dan ilmu ‘arudh. Ilmu sejarah (terutama sejarah Persia,
sejarah Islam, sejarah sebelum Islam, sejarah Yunani dan Romawi). Di samping itu,
diajarkan juga matematika dasar, karena banyak digunakan untuk ilmu faraid dan
pembuatan taqwim (mencocokkan tahun Hijriyah dengan tahun Masehi). Adapun
yang ditulis dalam risalah Ikhwan al-Shafa, kurikulum untuk jurusan ini adalah ilmu
al-Qur’an, tafsir, hadist, fiqih, zikir, zuhud, tasawuf, dan syahadah.
Sedangkan Al-Farabi memasukkan studi keagamaan di bawah metafisika
dan ilmu kemasyarakatan. Karena, menurutnya, kesempurnaan manusia, bisa dicapai
kalau manusia dapat memiliki jenis pengetahuan tertentu dan manusia hidup dalam
jenis kehidupan tertentu pula. Ia merasa pengetahuan yang dibawa agama “tidak
mencukupi”. Maka tidak heran jika di dalam karyanya, Ihsaal Ulum (Enumeration of
6 Fazlur Rachman “Islam” dalam Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam: Pada Periode Klasik dan Pertengahan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 119
6
The Sciences) yang di Barat dikenal dengan dengan Scientist, dia tidak memasukkan
studi keagamaan dalam klasifikasi pengetahuannya.7
Kurikulum kedua, yaitu kurikulum ilmu pengetahuan. Ia merupakan ciri khas
pada fase kedua perkembangan pada pemikiran umat Islam, yaitu ketika umat Islam
mulai bersentuhan dengan pemikiran Yunani, Persia dan India. Menurut Mahmud
Yunus, kurikulum untuk pendidikan jenis ini adalah mantiq, ilmu alam dan kimia,
ilmu musik, ilmu-ilmu pasti, ilmu-ilmu ukur, ilmu-ilmu falak, ilmu ketuhanan, ilmu
hewan, ilmu tumbuh-tumbuhan dan kedokteran.8
2. Kurikulum Pendidikan Islam Setelah Berdirinya Madrasah
Pada zaman keemasan Islam, aktivitas-aktivitas kebudayaan pendidikan
Islam tidak mengizinkan teologi dan dogma membatasi ilmu pengetahuan mereka.
Mereka menyelidiki setiap cabang ilmu pengetahuan manusia, baik fisiologi, sejarah,
historiografi, hukum, sosiologi, kesusastraan, etika, filsafat, teologi, kedokteran,
mate-matika, logika, jurisprudensi, seni, arsitektur, atau ilmu keramik.
Sejalan dengan perkembangan zaman dan tingkat kebutuhan, mendirikan
madrasah adalah dianggap sesuatu yang signifikan. Pendirian lembaga pendidikan
tinggi Islam ini di bawah patronase wazir Nizam Al-Mulk (1064 M). Biasanya
sebuah madrasah dibangun untuk seorang ahli fiqih yang termasyhur dalam suatu
mazhab empat. Nuruddin Mahmud bin Zanki misalnya, beliau telah mendirikan
beberapa madrasah untuk mazhab Hanafi dan Syafi’I di Damaskus dan Halab. Beliau
juga membangun sebuah madrasah untuk mazhab ini di kota Mesir.
Di satu sisi, berdirinya madrasah merupakan sumbangan Islam bagi
peradaban sesudahnya. Akan tetapi, disisi lain hal ini membawa dampak yang buruk
bagi dunia pendidikan setelah hegemoni negara yang terlalu kuat terhadap madrasah.
Akibatnya kurikulum madrasah ini dibatasi hanya pada wilayah hukum (fiqih) dan
teologi. Legitiumasi “makruh” terhadap penggunaan nalar setelah runtuhnya
Mu’tazilah, ilmu-ilmu profan yang sangat dicurigai dihapus dari kurikulum
madrasah. Hal ini menyebabkan mereka yang punya minat tinggi terhadap ilmu-ilmu
ini terpaksa belajar secara otodidak. Karenanya ilmu-ilmu profan banyak
berkembang di lembaga-lembaga non formal.
7 Ali Ashraf “Horison Baru Pendidikan Islam” dalam Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam: Pada Periode Klasik dan Pertengahan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 121
8 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1990), hlm. 132
7
Satu pertanyaan yang dapat kita kembangkan, bahwa kenapa legalisme fiqih
atau syariat terlalu dominan terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam? Menurut
Fazlur Rahman, ada pandangan yang terus menerus diungkap, yaitu karena ilmu
itu luas dan hidup ini singkat, maka orang harus memeberikan prioritas, dan prioritas
itu dengan sendirinya diberikan pada sains-sains agama yang membawa kejayaan di
akhirat.9
Sedangkan menurut Azyumardi, karena memang lembaga-lembaga ini
dikuasai oleh mereka yang ahli agama, dan tidak kalah pentingnya adalah tidak
otonomnya madrasah dari tanah waqaf yang diberikan oleh para dermawan dan
penguasa politik. Motivasi kesalehan mendorong para dermawan untuk
mengarahkan madrasah bergerak dalam bidang ilmu-ilmu agama karena di anggap
mendatangkan pahala. Di pihak lain, para penguasa politik pemrakarsa pendirian
madrasah, apakah karena didorong oleh motivasi politik atau motivasi murni untuk
menegakkan “ortodoksi” Sunni, sering mendikte madrasah untuk tetap berada dalam
kerangka “ortodoksi itu sendiri”. 10
9 Fazlur Rachman, Islam dan Tantangan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, (Bandung: Pustaka, 1995), hlm. 39
10 Azyumardi Azra “Pendidikan Tinggi dan Kemajuan Sains: Sebuah Pengantar” dalam Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam: Pada Periode Klasik dan Pertengahan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 125
8
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan untuk menjawab rumusan masalah dapat ditarik
kesimpulan, bahwa :
Kurikulum pendidikan islam pada masa klasik dimunculkan oleh cendikiawan
muslim pada masa klasik, seperti al-farabi, Ibnu sina dan lain-lain. Kurikulum pendidikan
ini di bagi kepada dua bagian. Bagian pertama, kurikulum sebelum sebelum madrasah.
Kedua, kurikulum setelah bedirinya madrasah.
Kedua bagian ini, masing-masing mempunyai bagian-bagiannya. Kurikulum
pendidikan sebelum madrasah terbagi dua bagian, diantaranya: kurikulum pendidikan
rendah dan kurikulum pendidikan tinggi. Kemudian pendidikan setelah berdirinya
madrasah ini lebih menitik beratkan kepada tingkat dewasa (mahasiswa).
Kurikulum pendidikan rendah terbagi ke dua bagian. Pertama, kurikulum
pendidikan untuk masyarakat umum. Kedua, kurikulum pendidikan untuk orang istana.
Untuk masyarakat umum, orang tua mereka tidak mempunyai peran dalam maslah
pendidikan, karena itu diatur oleh guru mereka langsung seperti ilmu cara baca al-quran,
sejarah dsb. Sedang kurikulum orang istana, diatur oleh orang tua (para pejabat), karena
anaknya dicetak untuk jadi pemimpin untuk melanjutkan kepemimpinan orang tuannya,
mereka konsentrasi ilmu kepemimpinan, peperangan, sejarah, dan tanpa
mengesampingkan ilmu al-quran dan agama.
Kemudian kurikulum pendidikan tinggi ini lebih kepada kebebasan untuk memilih
dan berpindah-pindah dengan menggunakan metode halaqoh. Dan tidak diharuskan
seorang murid untuk mengikuti syeikh-syeikhnya. Begitu juga syeikhnya tidak
mewajibkan kepada muridnya mengikutinya. Kurikululum pada tingkat ini terbagi dua
yaitu, kurikulum agama dan pengetahuan umum.
Kemudian kurikulum setelah berdirinya madrasah, hal ini lebih kepada ilmu-ilmu
syariat dan teologi. Karena para ahli atau yang berkuasa pada saat itu adalah para ilmuan
dibidang agama, tetapi tidak membuat patah kepada pelajar untuk mempejari ilmu
umum. Mereka mencari sendiri-sendiri ilmu-ilmu umum itu.
Kurikulum pada zaman klasik secara garis besar sudah ada walau tidak ada bukti
tertulis tentang kurikulum tersebut, nyatanya yang lebih mendominasi pada sebuah
madrasah adalah kurikulum yang didalamnya adalah muatan tentang agama. Dan biasa
9
yang menentukan kurikulum adalah orang-orang yang mempunyai otoritas atau penyusun
perencanaan mata pelajaran pendidikan Islam klasik adalah ulama yang menguasai
bidangnya masing-masing.
10
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun. 1975. Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan.
Jakarta: PT. Bulan Bintang
Nata, Abudin. 2010. Sejarah Pendidikan Islam: pada Periode Klasik dan Pertengahan.
Cet. ke-2. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
. 2004. Sejarah Pendidikan Islam: pada Periode Klasik dan Pertengahan.
Cet. ke-1. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
. 2005. Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di
Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Rahman, Fazlur. 2005. Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi
Intelektual. Bandung: PUSTAKA
. 1995. Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi
Intelektual. Bandung: PUSTAKA
Yunus, Mahmud. 1990. Sejarah Pendidikan Islam. Cet. ke-6. Jakarta: PT. Hidakarya
Agung
Ramayulis. 2011. Ilmu Pendidikan Islam. Cet. ke-9. Jakarta: Kalam Mulia
Soekarno dan Ahmad Supardi. 1985. Sejarah Filsafat Pendidikan Islam. Bandung:
Angkasa.
Abd ar-Rahman, Maulana. 2003. Pancaran Ilahi Kaum Sufi. Yogyakarta: Penerbit
Pustaka Sufi
Sudjana, Nana. 1995. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru
Algesindo
Hamalik, Oemar. 2001. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara
11