kusta / penyakit hansen

Upload: vania-paramitha

Post on 08-Oct-2015

253 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

sedikit pembahasan mengenai kusta. kusta merupakan penyakit kulit yang banyak terdapat di indonesia. kusta atau yang dapat juga disebut dengan penyakin hansen

TRANSCRIPT

DAFTAR ISI18DAFTAR ISI1BAB I: PENDAHULUAN2

BAB II: LAPORAN KASUS3

BAB III: PEMBAHASAN A. Hipotesis4B. Anamnesis yang Perlu Ditanyakan4C. Hasil Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik5 D. Patogenesis Kaki Membengkak, Kebas, Kesemutan5 E. Pemeriksaan Penunjang6F. Diagnosis Kerja dan Diagnosis Banding7G. Penatalaksanaan7H. Komplikasi8I. Prognosis8BAB IV: TINJAUAN PUSTAKA9BAB V: KESIMPULAN18DAFTAR PUSTAKA

BAB IPENDAHULUAN

Kusta atau penyakit Hansen , adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae dan Mycobacterium lepromatosis. Kusta adalah penyakit granulomatosa terutama saraf perifer dan mukosa dari saluran pernapasan atas; lesi kulit adalah tanda eksternal primer. Jika tidak diobati, kusta dapat bersifat progresif, menyebabkan kerusakan permanen pada kulit, saraf, anggota badan dan mata. Kusta tidak secara langsung menyebabkan bagian tubuh jatuh pada kemauan mereka sendiri, melainkan mereka menjadi cacat atau autoamputated sebagai akibat dari gejala penyakit.Penyakit lepra merupakan penyakit yang menyebar hampir di seluruh dunia, terutama di negara berkembang, dengan insidensi paling banyak berada di Afrika. Peningkatan penyakit yang tiba-tiba biasanya bersifat tidak merata, dimana di satu daerah memiliki insidensi yang tinggi dan pada daerah tetangganya memiliki insidensi yang kecil.Bakteri penyebab lepra Mycobacterium leprae berkembangbiak sangat lambat, sehingga gejalanya baru muncul minimal 1 tahun setelah terinfeksi ,rata-rata muncul pada tahun ke-5-7. Gejala dan tanda yang muncul tergantung kepada respon kekebalan penderita.Jenis lepra menentukan prognosis jangka panjang, komplikasi yang mungkin terjadi dan kebutuhan akan antibiotik. Oleh karena itu, lepra harus diberikan pengobatan yang rutin sesuai dengan jenisnya, serta edukasi yang tepat pada penderitanya agar tidak timbul komplikasi yang lebih berat.

BAB IILAPORAN KASUS

Seorang laki-laki usia 42 tahun, karyawan pabrik cat. Keluhan utama kaki bengkak, kebas dan kesemutan. Keluhan ini sudah berlangsung 1 tahun.

BAB IIIPEMBAHASAN

A. HipotesisBerdasarkan keluhan utama pasien yaitu rasa kebas dan kesemutan di kaki, ditambah juga keadaan kaki bengkak yang dialami pasien sejak setahun belakangan ini, kelompok kami menyimpulkan beberapa hipotesis sebagai berikut: Intoksikasi arsen menahun, dikarenakan kesamaan gejala neuropati perifer yang dialami pasien yaitu kebas dan kesemutan, dan juga didukung riwayat pekerjaannya yang bekerja di pabrik cat, dimana pasien rentan dengan risiko intoksikasi arsen karena terpapar arsen setiap hari.1 Intoksikasi merkuri, dikarenakan kesamaan gejala neuropati perifer seperti kebas dan kesemutan dan juga kesamaan riwayat pekerjaan, yaitu bekerja di pabrik cat. Merkuri banyak terdapat di industri cat.1 Diabetes mellitus, dikarenakan kesamaan gejala, yaitu kaki kebas dan kesemutan yang dialami pasien. Dekompensatio cordis kanan, dikarenakan adanya kaki bengkak pada pasien. Lepra, dikarenakan adanya keluhan kebas dan kesemutan pada kaki pasien dan juga terjadi pembengkakan. Elephantiasis, dikarenakan adanya keluhan kaki membengkak.

B. Anamnesis yang Perlu DitanyakanBeberapa pertanyaan yang dapat ditanyakan adalah apakah terdapat demam, pernah digigit serangga atau tidak, untuk menguatkan hipotesis elephantiasis. Lalu dapat ditanyakan apakah ada keluhan dada atau sesak untuk memperkuat hipotesis dekompensatio kordis kanan, lalu bisa juga ditanyakan apakah saat kerja memakai alat pelindung yang lengkap dan apakah ditemukan keadaan hiperpigmentasi pada kulit pasien untuk menguatkan hipotesis intoksikasi arsen dan merkuri.Untuk hipotesis lepra, dapat ditanyakan riwayat kontak dengan penderita lepra dan riwayat obat-obatan. Dan untuk hipotesis diabetes mellitus, bisa ditanyakan apakah ada keluarga yang menderita diabetes mellitus, dan apakah terdapat gejala khas diabetes mellitus seperti sering buang air kecil, banyak minum dan makan.

C. Hasil Anamnesis dan Pemeriksaan FisikSetelah dilakukan pemeriksaan fisik, didapatkan keterangan lebih lanjut bahwa di di daerah perut dan punggung terdapat bercak merah, dan juga ekstremitas lengan dan kaki bawah kering dan ichtiosis.Berdasarkan info tambahan yang diterima tersebut, beberapa hipotesis dapat disingkirkan, seperti diabetes mellitus dan dekompensatio kordis kanan, dikarenakan tidak ada riwayat diabetes mellitus dan kelainan jantung serta gejala lain yang mendukung pada pasien ini. Serta, pada dekompensatio kordis kanan tidak didapatkan keluhan neuropati perifer. Hipotesis elephantiasis juga dapat disingkirkan karena pada elephantiasis tidak terdapat rasa neuropati perifer seperti kebas dan kesemutan dan pada elephantiasis yang disebabkan oleh filariasis, biasanya didapatkan demam.

D. Patogenesis Kaki Membengkak, Kebas, dan KesemutanKaki membengkak pada pasien ini, atau yang disebut juga dengan limfadenitis, dapat disebabkan oleh reaksi kusta yang memicu terjadinya gangguan pada cell-mediated immunity yang menyebabkan terjadinya peningkatan aktivitas makrofag, natural killer cell, dan juga peran komplemen. Saat antigen, dalam hal ini kuman lepra masuk, sel Schwann akan memecah dan tubuh akan mengenali antigen tersebut dan mengaktifkan sistem antibodi dan komplemen sehingga membentuk kompleks imun. Kompleks imun terus beredar di dalam sirkulasi darah yang akhirnya akan bersarang di berbagai organ, dan pada kelenjar getah bening yang akan menimbulkan gejala limfadenitis. Limfadenitis memicu terjadinya edema akibat aliran limfe yang terhambat.Sedangkan untuk rasa kesemutan atau parestesia yang dialami pasien, keadaan ini bisa disebabkan karena perubahan saraf yang abnormal. Parestesia ini sendiri bisa disebabkan oleh abnormalitas sistem saraf pusat maupun perifer. Pada kasus pasien ini, yang terjadi adalah abnormalitas sistem saraf perifer yang bisa disebabkan oleh gangguan metabolik, trauma, peradangan, gangguan jaringan ikat, intoksikasi, keganasan, kekurangan gizi, infeksi, dan lain-lain. Parestesia yang berlangsung terus menerus dapat berlanjut menjadi anesthesia atau rasa kebas yang dialami pasien.2

E. Pemeriksaan PenunjangUntuk menegakkan diagnosis, perlu dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang seperti: Pemeriksaan kadar arsen dan merkuri di dalam darah untuk menguatkan hipotesis intoksikasi arsen dan merkuri. Pemeriksaan darah lengkap, karena pada intoksikasi arsen dan merkuri biasanya didapatkan hasil anemia. Pemeriksaan basil tahan asam (BTA) Ziehl-Nielsen, untuk memperkuat hipotesis lepra.Setelah dilakukan pemeriksaan penunjang pada pasien ini, didapatkan hasil sebagai berikut:Hb: 11,5 g% (nilai normal pria dewasa: 13,5-18 g%).3LED: 30mm/jam (nilai normal pria dewasa: < 10 mm/jam).3Leukosit: 5000/l (nilai normal: 5000-10000/l)3 Diff : 0/1/7/58/30/4. Terdapat sedikit kenaikan pada neutrofil batang.SGOT : 45 (nilai normal: 5-40).3SGPT : 60 (nilai normal: 0-40).3BTA +BI +5MI 92%

Dengan adanya pemeriksaan penunjang di atas, maka hipotesis tentang lepra dapat dijadikan diagnosis kerja karena ditemukannya BTA positif pada pasien dengan indeks bakteri dan morfologi bakteri yang tinggi. Sedangkan keadaan anemia ringan yang dialami pasien kemungkinan terjadi karena pada infeksi lepra, kuman lepra sendiri akan mendepresi sumsum tulang sehingga mengganggu pembentukan sel darah atau proses eritropoesis sehingga terjadi anemia. Keadaan anemia yang dialami pasien sendiri akan menyebabkan hati bekerja lebih keras sehingga terjadi kenaikan ringan pada fungsi hati pasien ini. Selain itu, pada pasien dengan kecurigaan lepra biasanya dilakukan tes fungsi hati dikarenakan salah satu obat untuk lepra bersifat hepatotoksik sehingga memerlukan penyesuaian dosis atau penggantian obat pada pasien dengan fungsi hati terganggu.4,5 Sementara, LED yang meningkat biasanya merupakan indikator adanya infeksi, dan neutrofil batang biasanya meningkat pada infeksi bakteri, dalam hal ini Mycobacterium leprae.

F. Diagnosis Kerja dan Diagnosis BandingBerdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien ini, kelompok kami menetapkan diagnosis kerja Lepra Tipe Mid-Borderline (BB). Penegakkan tipe BB pada pasien ini diambil dari berbagai informasi, seperti keadaan indeks bakteri yang melebihi +2, lesi yang agak kasar dan adanya rasa anesthesia dan parestesia pada pasien ini. Selain itu, tipe BB merupakan tipe yang paling sering berubah-ubah gejala klinisnya, dan terdiri dari campuran manifestasi klinis tipe pausi basiler dan multi basiler, seperti yang terdapat pada pasien ini.6

G. PenatalaksanaanPenatalaksanaan medikamentosa untuk lepra biasanya dilakukan dengan cara MDT atau Multi-Drug Therapy. Untuk lepra tipe BB, seperti yang dialami pasien, dapat diberikan obat-obat sebagai berikut:6 DDS 100 mg/hari. Lamprene, 300 mg setiap bulan dan diteruskan 50 mg/hari. Rifampisin 600 mg setiap bulan. Antibiotik ini bersifat hepatotoksik sehingga tidak boleh digunakan secara monoterapi dan juga untuk menghindari resistensi obat.Pemakaian ketiga kombinasi obat tersebut harus dikonsumsi selama 12 bulan secara teratur. Setelah dilakukan pengobatan, harus dilakukan pemeriksaan bakterioskopik kembali untuk mengecek apakah bakteri masih ada di tubuh pasien. Untuk penatalaksanaan non-medikamentosa, dapat diberikan edukasi seperti konsumsi obat yang harus teratur dan juga kontrol ke dokter dengan teratur, menghindari kontak langsung dengan individu lain untuk mencegah penyebaran kuman, dan juga meningkatkan sistem imunitas pasien.

H. KomplikasiKomplikasi yang dapat terjadi pada pasien ini antara lain adalah kerusakan saraf yang dapat menyebabkan telescopic finger, kebutaan, sterilitas, madarosis, dan mutilasi.

I. PrognosisAd Vitam: ad bonam, karena umumnya kusta tidak mengancam kehidupan.Ad Functionam: dubia ad bonam. Dengan terapi yang tepat, komplikasi lepra yang menyebabkan kerusakan saraf permanen dapat dicegah agar tidak terjadi.Ad Sanationam: ad bonam.Ad Cosmetiqum: dubia ad malam, karena kerusakan yang terjadi pada jaringan kulit cukup dalam dan efek samping pengobatan dengan lamprene adalah kulit menghitam.

BAB IVTINJAUAN PUSTAKA

Lepra adalah penyakit infeksi kronik. Penyebabnya adalah Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat.6

Patogenesis6 Penyakit kusta termasuk penyakit imunologik, karena ketidakseimbangan antara derajat infeksi dan derajat penyakit tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang menggugah timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif.

Gejala klinis6Gejala dan keluhan penyakit bergantung pada :1. Multiplikasi dan diseminasi kuman M. leprae2. Respons imun penderita terhadap kuman M. leprae3. Komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer

Manifestasi klinis dari kusta sangat beragam, namun terutama mengenai kulit, saraf,dan membran mukosa. Pasien dengan penyakit ini dapat dikelompokkan lagi menjadi kusta tuberkuloid (Inggris: paucibacillary), kusta lepromatosa (penyakit Hansen multibasiler), ataukusta multibasiler (borderline leprosy). Penilaian untuk tanda-tanda fisik terdapat pada 3 areaumum: lesi kutaneus, neuropathi, dan mata.Untuk lesi kutaneus, menilai jumlah dan distribusi lesi pada kulit. Makula hipopigmentasi dengan tepian yang menonjol sering merupakan lesi kutaneus yang pertama kali muncul. Sering juga berupa plak. Lesi mungkin atau tidak mungkin menjadi hipoesthetik. Lesi pada bokong sering sebagai indikasi tipe borderline. Deformitas pada kusta, sesuai dengan patofisiologinya, dapat dibagi dalam deformitas primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M. leprae, yang mendesak dan merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah.

Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf. Gejala-gejala kerusakan saraf: N. ulnaris: anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis, clawingkelingking dan jari manis, atrofi hipotenar dan oto interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial N. medianus: anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, ibu jari kontraktur, atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral N. radialis: anestesia dorsum manus, serta ujumg proksimal jari telunjuk, tangan gantung (wrist drop), tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan N. poplitea lateralis: anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis, kaki gantung (foot drop), kelemahan otot peroneus. N. tibialis posterior: anestesia telapak kaki, claw toes, paralisis otot intristik kaki dan kolaps arkus pedis N. fasialis: lagoftalmus (cabang temporal dan zigomatik), kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir (cabang bukal, mandibular dan servikal) N. trigeminus: anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata ditemukan di klinik sehari-hari, dengan gejala khas berupa kehilangan sistem sensorik maupun kelemahan motorik. Karakter dan distribusi terjadinya gejala tersebut tergantung dari tipe neuropatinya.

Gejala yang terlihat pada suatu reaksi :1. Reaksi reversal. Onset yang mendadak dari kulit yang kemerahan dan munculnyalesi-lesi kulit yang baru.2. Reaksi ENL. Nodul pada kulit yang multipel, demam, nyeri sendi, nyeri otot, danmata merah.3. Nyeri neuritik yang hebat dan perubahan yang cepat dari kerusakan saraf perifer yangmenghasilkan claw hand atau drop foot.

Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N. fasialis yang dapat membuat paralisis N. orbitkularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian-bagian mata lainnya. Secara sendirian atau bersama-sama akan menyebabkan kebutaan.

Reaksi Kusta6Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalan penyakit yang sebenarnya sangat kronik. Klasifikasi yang sering dipakai adalah E.N.L (eritema nodusum leprosum) dan Reaksi reversal atau upgrading.E.N.L terutama timbul pada tipe lepramatosa polar dan dapat pula pada BL, berarti makin tinggi tingkat multibasilarnya makin besar kemungkinan timbulnya E.N.L. Secara imunopatologis E.N.L termasuk respons imun humoral, berupa fenomena kompleks imun akibat reaksi antara antigen M. leprae, antibodi (IgM, Ig G), dan komplemen menjadi kompleks imun. Kadar immunoglobulin penderita kusta lepramatosa lebih tinggi daripada tuberkuloid. Hal ini terjadi oleh karena pada tipe lepramatosa jumlah basil jauh lebih banyak daripada tipe tuberkuloid. E.N.L lebih banyak terjadi pada pengobatan tahun kedua. Hal ini dapat terjadi karena pada pengobatan, banyak basil lepra yang mati dan hancur, yang berarti banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi, serta mengaktifkan sistem komplemen. Kompleks imun tersebut terus beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat melibatkan berbagai organ.Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema, dan nyeri dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat menimbulkan gejala seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, artritis, dan nefritis akut dengan adanya proteinuria. Reaksi reversal hanya dapat terjadi pada tipe borderline (LL, BL, BB, BT, TT) sehingga disebut juga reaksi borderline. Yang memegang peranan utama dalam hal ini adalah SIS, yaitu terjadi peningkatan mendadak SIS. Meskipun faktor pencetusnya belum diketahui pasti diperkirakan ada hubungannya dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Umumnya terjadi pada pengobatan 6 bulan pertama. Neuritis akut dapat menyebabkan kerusakan saraf secara mendadak sehingga memerlukan pengobatan yang memadai.Tipe lepra yang termasuk borderline ini dapat bergerak bebas ke arah TT atau LL dengan mengikuti naik turunnya SIS, sebab setiap perubahan tipe selalu disertai perubahan SIS pula. Begitu pula reaksi revesal, terjadi peningkatan SIS, hanya bedanya terjadi secara cepat dan mendadak. Isitilah downgrading untuk menunjukkan pergeseran ke arah lepromatosa. Gejala klinik reaksi reversal ialah umunya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang realtif singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltratif dan lesi lama menjadi bertambah luas.Kalau diperhatikan kembali reaksi E.N.L dan reversal secara klinis, E.N.L dengan lesieritema nodusum sedangkan reversal tanpa nodus sehingga disebut reaksi lepra nodular, sedangkan reaksi reversal adalah reaksi non nodular.Hal ini penting membantu menegakkan diagnosis reaksi atas dasar lesi, ada atau tidak adanya nodus. Kalau ada berarti reaksi nodular atau E.N.L, jika tidak berarti reaksi non nodular atau reaksi reversal atau reaksi borderline.

Pemeriksaan penunjang6

Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam, antara lain dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen. Jumlah tempat yang diambil untuk pemeriksaan ruitn sebaiknya minimal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4 lesi lain yang paling aktif (yang paling eritematosa dan infiltratif). Pemilihan kedua cuping telinga tersebut tanpa menghiraukan ada tidaknya lesi di tempat tersebut, oleh karena atas dasar pengalaman tempat itu diharapkan mengandung basil paling banyak.

Cara pengambilan bahan dengan menggunakan skapel steril. Setelah lesi tersebut didesinfeksi kemudian dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk agar menjadi iskemik, sehingga kerokan jaringan mengandung sedikit mungkin darah. Irisan yang dibuat harus sampai di dermis, melampaui subepidermal clear zone agar mencapai jaringan yang diharapkan banyak mengandung sel Virchow (sel lepra) yang di dalamnya mengandung basil M. leprae. Kerokan jaringan itu dioleskan di gelas alas, difiksasi di atas api, kemudian diwarnai dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen. Untuk pewarnaan ini dapat digunakan modifikasi Ziehl Neelsen dan cara-cara lain dengan kelebihan dan kekurangannya disesuaikan dengan tempat.Sediaan mukosa hidung diperoleh dengan cara nose blows, terbaik dilakukan pada pagi hari yang ditampung pada sehelai plastik. Perhatikan sifat duh tubuh (discharge) tersebut, apakah cair, serosa, bening, mukoid, mukopurulen, purulen, ada darah atau tidak. Sediaan dapat dibuat langsung atau plastik tersebut dilipat dan kirim ke laboratorium. Dengan kapas lidi bahan dioleskan merata pada gelas alas, fiksasi harus pada hari yang sama, sedangkan pewarnaan tidak perlu pada hari yang sama. Cara lain mengambil bahan kerokan mukosa hidung dengan alat semacam skalpel kecil tumpul atau bahan olesan dengan kapas. Sediaan dari mukosa hidung jarang dilakukan karena: kemungkinan adanya M. atipik dan M. leprae tidak pernah positif jika pada kulit negatif.Mycobacterium leprae tergolong basil tahan asam (BTA) akan tampak merah pada sediaan. Dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), dan butiran (granular). Bentuk solid adalah basil hidup, sedangkan fragmented dan granular merupakan bentuk mati. Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri (IB) / bacterial index (BI) dengan nilai dari 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang (LP), 1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP, 2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP, 3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP, 4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP, 5+ bila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP, 6+ bila >1000 BTA rata-rata dalam 1 LP. Pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan minyak emersi pada pembesaran lensa obyektif 100x. IB seseorang adalah IB rata-rata semua lesi yang dibuat sediaan. Sedangkan IM adalah indeks bakteri/ morfology index (MI).IM= Jumlah solid x 100 % Jumlah solid + Non solid

Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B 1+ tidak perlu dibuat IM karena untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam 1.000 sampai 10.000 lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100 lapangan.

Pemeriksaan histopatologik ditemukan adanya massa epiteloid yang berlebihan dikellingi oleh limfosit yang disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita dengan sistem imunitas selular rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M. leprae yang sudah ada di dalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sel Virchow atau sel lepra atau sel busa. Granuloma adalah akumulasi makrofag dan atau derivat-derivatnya. Gambaran histopatologiktipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan nonsolid. Pada tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermalclear zone), yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jarinagnnya tidak patologik

Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi olehM. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1(PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh kuman M. tuberculosisMacam-macam pemeriksaan serologik kusta ialah: Uji MLPA ( M. leprae Particle Aglutination) Uji ELISA ML dipstick (M. leprae dipstick)

Penatalaksanaan6Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan insidenpenyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya penyakit, untuk mencapai tujuan tersebut, srategi pokok yg dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan pengobatan penderita. Dapson, diamino difenil sulfon bersifat bakteriostatik yaitu menghalangi atau menghambat pertumbuhan bakteri. Lamprene atau Clofazimin, merupakan bakteriostatik dan dapat menekan reaksi kusta.

Rifampicin, bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja dengan cara menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri dengan berikatan pada subunit beta. Prednison, untuk penanganan dan pengobatan reaksi kusta. Sulfas Ferrosus untuk penderita kusta dengan anemia berat. Vitamin A, untuk penderita kusta dgn kekeringan kulit dan bersisik (ichtyosis). Ofloxacin dan Minosiklin untuk penderita kusta tipe PB I.Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang direkomendasikan oleh WHO/DEPKES RI (1981) dengan memakai regimen pengobatan MDT (multi drug treatment). Kegunaan MDT untuk mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat, mengatasi ketidakteraturan penderita dalam berobat, menurunkan angka putus obat padapemakaian monoterapi Dapson, dan dapat mengeliminasi persistensi kuman kusta dalamjaringan.Tipe Indeterminate, Tuberkuloid, Borderline Tuberkuloid: Kombinasi DDS dan Rifampisin. DDS 100mg/hari dan rifampisin 600 mg/bulan. Diberikan 6-9 bulan, setelah itu dilakukan pemeriksaan bakteriologi. Pengobatan dilakukan selama 2 tahun. Jika tidak ada aktivasi secara klinis dan bakteriologi tetap negatif dinyatakan release from control(RFC) (bebas dari pengamatan).

Tipe Mid Borderline, Borderline Lepromatosa, Lepromatosa: Kombinasi DDS, rifampisin, Lampren. DDS 100 mg/hari; rifampisin 600 mg/bulan; Lampren 300 mg/bulan, diteruskan dengan 50 mg/hari, atau 100 mg selang sehari, atau 3100 mg/minggu. Pengobatan diberikan selama 2-3 tahun. Pemeriksaan bakteriologi tiap 3 bulan. Sesudah 2-3 tahun bakteriologi tetap negatif, pemberian obat dihentikan (release from treatment=RFT). Jika setelah pengawasan tidak ada aktivitas klinis dan pemeriksaan bakteriologi selalu negatif, maka dinyatakan bebas dari pengawasan.

Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan tepat maka dapat timbul kecacatan berupa kelumpuhan yang permanen seperti claw hand, drop foot, claw toes, dan kontraktur. Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas dilakukan pengobatan. Prinsip pengobatan reaksi kusta yaitu immobilisasi atau istirahat, pemberian analgesik dan sedatif, pemberian obat-obat anti reaksi, MDT diteruskan dengan dosis yang tidak diubah. Pada reaksi ringan, istirahat dirumah, berobat jalan, pemberian analgetik dan obat-obatan penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 3 x sehari selama 3-5 hari, dan MDT diteruskan dengan dosis yang tidak diubah. Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian analgesik dan sedatif, MDT diteruskan dengan dosis tidak dirubah, pemberian obat-obat anti reaksi dan pemberian obat-obat kortikosteroid misalnya prednison.Komplikasi6Di dunia, lepra mungkin penyebab tersering kerusakan organ tangan. Trauma dan infeksi kronik sekunder dapat menyebabkan hilangnya jemariataupun ekstremitas bagian distal. Juga sering terjadi kebutaan. Hilangnya hidung dapat terjadi pada kasus LL.

Prognosis6Dengan adanya obat-obat kombinasi, pengobatan menjadi lebih sederhana dan lebihsingkat. Serta prognosis menjadi lebih baik. Jika sudah ada kontraktur dan ulkus kronik, prognosis menjadi kurang baik.

Rehabilitasi6Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh antara lain dengan jalan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali ke asal, tapi fungsinya dan secara kosmetik dapat diperbaiki.

Cara lain adalah secara kekaryaan, yaitu memberi lapangan pekerjaan yang sesuai cacat tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan dapat meningkatkan rasa percaya diri,selain itu dapat dilakukan terapi psikologik.

Pencegahan cacat6Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya kerusakan saraf. Selain itu penderita dengan reaksi kusta, terutama reaksi reversal, lesi kulit multipel dan dengan saraf yang membesar atau nyeri juga memiliki resiko tersebut.Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan berkurangnya kekuatan otot. Keluhan berbentuk nyeri saraf atau luka yang tidak sakit, lepuh kulit atau hanya berbentuk daerah yang kehilangan sensibilitasnya saja. Juga ditemukan keluhan sukarnya melakukan aktivitas sehari-hari, misalnya memasang kancing baju, memegang bulpen atau mengambil benda kecil, atau kesukaran berjalan.Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat / prevention of disease (POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan MDT yang cepat dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan kortikosteroid sesegera mungkin. Bila terdapat gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana misalnya memakai sepatu untuk melindungi kaki yang telah terkena, memakai sarung tangan bila bekerja dengan benda yang tajam atau panas, dan memakai kacamata untuk melindungi matanya. Selain itu juga diajarkan pula cara perawatan kulit sehari-hari. Hal ini dimulai dengan memeriksa ada tidaknya memar, luka atau ulkus. Setelah itu diajarkan pula cara perawatan kulit sehari-hari. Hal ini dimulai dengan memeriksa memar, ulkus. Setelah itu tangan dan kaki direndam, disikat dan diminyaki agar tidak kering dan pecah.

Klasifikasi cacat berdasarkan WHO Expert Committee on Leprosy6Cacat pada tangan dan kaki :Tingkat 0 : Tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau deformitas yang terlihat.Tingkat 1 : Ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau deformitas yang terlihat.Tingkat 2 : Terdapat kerusakan atau deformitas.

Cacat pada mata :Tingkat 0 : Tidak ada gangguan pada mata akibat kusta, tidak ada gangguan penglihatan.Tingkat 1 : Ada gangguan pada mata akibat kusta, tidak ada gangguan yang berat pada penglihatan. Visus 6/60 atau lebih baik (dapat menghitung jari pada jarak 6 meter).Tingkat 2 : Gangguan penglihatan berat (visus kurang dari 6/60, tidak dapat menghitung jari pada jarak 6 meter).

BAB VKESIMPULAN

Seorang laki-laki berusia 42 tahun datang dengan keluhan utama kaki membengkak, rasa kebas, dan kesemutan. Setelah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lebih lanjut, didapatkan diagnosis kerja lepra tipe mid borderline untuk pasien ini, dikarenakan adanya gejala kebas dan kesemutan dan juga ditemukan bakteri M. leprae pada pasien.Penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah memberi multi-drug therapy yang terdiri dari DDS, rifampisin, dan lamprene. Pengobatan harus dilakukan secara kontinu tanpa terputus dan kontrol dengan rutin untuk memastikan terapi yang dilakukan adekuat dan bermanfaat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Harrianto R. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Kerja. Jakarta: EGC; 2008. p. 69-71, 75-7.2. McKnight JT, Adcock BB. Paresthesias: A Practical Diagnostic Approach. Available at: http://www.chiro.org/ChiroZine/FULL/Paresthesias.html. Accessed on Jan 27, 2012.3. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. 6th ed. Jakarta: EGC; 2003. p. 1525-6.4. Sen R. Patterns of Erythropoiesis and Anaemia in Leprosy. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/m/pubmed/1870378/. Accessed on Jan 27, 2012. 5. Smith DS. Leprosy. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/220455. Accessed on Jan 27, 2012.6. Kosasih A, Wisnu IM, Sjamsoe-Daili ES, Menaldi SL. Kusta. In: Djuanda A, Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 6th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010. p. 73-88.10