kwwsv pdlo jrrjoh frp pdlo x vhqwsurmhfwru
TRANSCRIPT
1/23/2020 IMG-20200106-WA0007.jpg
https://mail.google.com/mail/u/0/#sent?projector=1 1/1
HUKUM DAGANGINTERN-NASIONAL
PUTU SUDARMA SUMADI
HUKUM DAGANG INTERN-NASIONAL
Penulis : Putu Sudarma Sumadi
© 2019
Diterbitkan Oleh:
Cetakan Pertama, Desember 2019
Ukuran/ Jumlah hal: 15,5x23 cm / 147 hlm
Layout : Wisnu
Cover: Wisnu
ISBN : 978-602-5815-88-1
Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang Ketentuan Pidana Pasal 112 - 119. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
iii
KATA PENGANTAR
Keberadaan kepusatakaan hukum dagang terutama
yang berbahasa Indonesia saat ini semakin langka, bahkan
ada yang mengemukakan sebagai subyek yang tidak
berkembang. Boleh jadi pandangan tersebut mengandung
kebenaran sehubungan dengan keluarnya beberapa materi
dari sistem hukum dagang. Boleh jadi juga pandangan itu
bersifat prematur karena sesungguhnya masih banyak
materi yang perlu dipertahankan dan dikembangkan atau
disesuaikan.
Dalam tulisan ini diketengahkan materi-materi yang
disusun menyerupai cerita yang terdiri dari bagian-bagian
pokok yang saling berkaitan. Bagian pertama menguraikan
tentang sejarah dan perkembangan hukum dagang. Bagian
kedua mengenai handelszaak atau obyek yang dapat
diperdagangkan dan contoh praktek perdagangan. Bagian
terakhir tentang media yang dapat dipergunakan sebagai
alat pembayaran.
Seluruh materi yang disajikan dikemas dalam
himpunan coretan-coretan yang diberi judul “Hukum
Dagang Intern-nasional”. Perkataan ini sekalian merupakan
penegasan konsep hukum dagang sebagai padangan dari
trade law . Konsep yang terakhir ini memiliki persamaan
dengan lex mercatoria yang mengatur hubungan perdagangan
iv
internasional. Oleh karena itu tulisan mengenai aturan
hukum perdagangan dalam negeri diberi embel-embel
“intern-nasional”.
Amanat dari Pasal 49 ayat (2) Undang-undang Nomor
14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang pada pokoknya
menentukan, Profesor memiliki kewajiban khusus menulis
buku dan karya ilmiah serta menyebarluaskan gagasannya
untuk mencerahkan masyarakat. Kewajiban inilah yang
selalu menjadi motivasi utama untuk menulis dan menulis
terus sepanjang media untuk itu masih tersedia.
Menutup pengantar ini akhirnya harus disampaikan
bahwa “kerajinan tangan” ini masih sangat jauh dari
sempurna. Semoga bantuan penyempurnaan berdatangan
dari semua pihak. Untuk itu disampaikan terimakasih yang
tak terhingga juga kepada semuanya yang telah membantu
sesuai cara masing-masing hingga tulisan ini rampung dan
dipublikasikan.
Denpasar, 4 Desember 2019
Penulis,
Putu Sudarma Sumadi
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...................................................
DAFTAR ISI ................................................................
BAB I. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ...............
BAB II. ASPEK HUKUM PEMBUKUAN ....................
BAB III. AGREGAT PERDAGANGAN DAN JUAL
BELI PERUSAHAAN ..................................................
1. Agregat Perdagangan .................................................
a. Dagangan dan Nama Perusahaan ..................
b. Rahasia Perusahaan ..............................................
c. Goodwill ....................................................................
2. Jual Beli Perusahaan .....................................................
a. Pengertian ................................................................
b. Syarat-syarat ............................................................
BAB IV. HUKUM ALAT PEMBAYARAN ....................
a. Mata Uang .......................................................................
1). Pengertian ................................................................
2). Fungsi .........................................................................
3). Jenis ............................................................................
b. Surat – Surat Berharga ................................................
1). Pengertian ...............................................................
iii
v
1
47
63
63
67
76
79
81
81
85
89
92
92
95
98
102
102
vi
2). Jenis ............................................................................
a). Wesel ..................................................................
b). Surat Sanggup ................................................
c). Cek .......................................................................
d). Bilyet Giro dan Traveller’s Cheque ...........
DAFTAR PUSTAKA ...................................................
112
112
118
122
130
136
1
BAB I
SEJARAH DAN
PERKEMBANGAN
Perihal yang kemudian disebut dengan hukum
dagang itu sesungguhnya bukanlah sesuatu yang muncul
atau sebaliknya ditenggelamkan dengan begitu saja. Hukum
dagang itu memiliki sejarah yang panjang berbanding lurus
dengan berkembangnya perdagangan itu sendiri. Dunia
perdagangan dan hukum memiliki hubungan yang sangat erat,
dan bersifat saling mempengaruhi. Ungkapan ini memang
klise tetapi masih relevan untuk ditelusuri sejarahnya di
tengah kecenderungan melupakan yang semakin menjadi-jadi.
Sejarah tersebut perlu ditelusuri kembali antara lain sehubungan dengan upaya mengidentifikasi ruang lingkup hukum dagang yang cenderung semakin berkurang, bahkan
ada yang mengusulkan agar tidak perlu lagi dimasukkan ke
dalam kurikulum fakultas hukum. Usul tersebut dilandasi
alasan bahwa hukum dagang yang salah satu pokok
bahasannya berkenaan dengan wesel yang sudah tidak
dipergunakan lagi.
2
Pandangan tersebut dilontarkan oleh yang pada satu
sisi memang pernah mempelajari hukum dagang tentang
surat-surat berharga yang menempatkan wesel sebagai salah
satu sub bahasan, tetapi hanya memahami wesel sebagai
warkat yang diterima oleh anak kos untuk kiriman uang
dari orang tuanya. Wesel seperti itu kemudian diuangkan
di kantor pos. Inilah yang disebut dengan “wesel pos” yang
sudah sangat jarang dipergunakan.
Seiring dengan perkembangan teknologi yang sangat
pesat berkenaan dengan pengiriman uang dan cara-cara
pembayaran, wesel pos memang sudah sangat jarang
dipergunakan jikalau tidak boleh dikatakan tidak ada sama
sekali. Pengiriman uang dan cara pembayaran sekarang ini
dapat dilaksanakan secara elektronik yang seringkali disertai
dengan secuil kertas yang berfungsi sebagai resi.1
Namun apabila berpegang pada pengertian wesel
menurut hukum surat-surat berharga, dan sepanjang
perbuatan mengirim uang serta membayar sesuatu itu
merupakan perbuatan hukum bersegi dua dan melibatkan
juga pihak ketiga misalnya perusahaan pengirim dan bank,
kiranya kita harus menyediakan kerelaan untuk tetap
mengakui bahwa wesel itu memang masih ada.
1 Resi pada dasarnya bukanlah terminologi hukum yang dapat disimak pengertiannya pada
kamus-kamus hukum yang baru sekali pun apalagi yang disusun pada 1960an. Istilah resi
dewasa ini semakin banyak dipergunakan antara lain karena diundangkannya Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2006 sebagaimana diubah berdasarkan Undang-undang Nomor
9 Tahun 2011 tentang Resi Gudang. Dalam undang-undang terdapat istilah resi gudang
yang merupakan dokumen kepemilikan atas barang yang disimpan di gudang yang
diterbitkan oleh pengelola gudang. Dokumen tersebut berfungsi sebagai bukti kepemilikan
dan penyimpanan. Selain itu dalam hal mengirim barang baik melalui pos maupun usaha
jasa swasta pengiriman, maka pengirim akan memperoleh secarik kertas yang memuat
informasi mengenai nomor, identitas pengirim, identitas penerima, ongkos kirim, dan
obyek yang dikirim. Secarik kertas inilah yang disebut resi yang berfungsi sebagai bukti
pengiriman. Intinya, resi merupakan secarik kertas yang berfungsi sebagai bukti.
3
Uraian mengenai wesel yang lebih detil dan mungkin
juga agak membosan dan menggelikan pula akan disajikan
ketika membahas hukum surat-surat berharga dan jenisnya.
Dikatakan membosankan karena substansi hukum surat-
surat berharga sebagian terbesar berkisar pada format
surat-surat berharga ditambah lagi dengan kondisi yang
mengajarkannya kemungkinan besar juga memandang itu
membosankan.
Akan semakin membosankan lagi jikalau yang
menjelaskan itu dari awal sampai akhir hanya fokus pada
format secara verbal tanpa memperlihatkan contohnya.
Padahal sudah dimaklumi bahwa cara menjelaskan yang
baik itu adalah yang disertai dengan menunjukkan contoh,
tetapi cara demikian seringkali diabaikan bahkan dipandang
berlebihan.
Setelah sempat sedikit ngelantur, uraian berkenaan
dengan sejarah dan perkembangan hukum dagang akan
dilanjutkan kembali pertama-tama dengan mengetengahkan
konsep-konsep hukum2 yang pernah dan masih dipergunakan
untuk mengkomunikasikan topik yang sedang ditulis.
Konsep-konsep yang dimaksudkan itu sangat membantu
dalam berkomunikasi yang bertujuan menjelaskan.
Konsep-konsep tersebut dikaitkan dengan periodisasi
sejarah hukum pada umumnya. Periodisasi itu menurut
2 Edgar Bodenheimer, 1962., The Philosophy and Method Of The Law. Harvard University
Press, Cambridge-Massachusetts. Hal. 327 mengemukakan….concepts are necessary
and indispensable instruments for the solutions of legal problems. Without circumscribed
technical notions, we could not think clearly and rationally about legal questions. Without
concepts, we could not put our thoughts on the law into words and communicate them to
others in intelligible fashion.
4
William Seagle3 terdiri dari periode; hukum primitif
(primitive law), hukum kuno ( archaik law), dan periode
kedewasaan hukum (maturity law). Suatu konsep misalnya
“trade law” itu berkembangnya sejak kapan dalam periodisasi
sejarah hukum. Dalam kaitan ini akan diletakkan pertanyaan
berkenaan dengan apa dan bagaimana aturan hukum dagang
pada setiap periode.
Periodisasi dalam sejarah hukum tidak dimulai
dengan periode pra sejarah seperti halnya periodisasi
sejarah umum, tetapi diawali dengan keberadaan hukum
pada era masyarakat primitif. Dapat dikemukakan sejarah
tidak memiliki catatan berkenaan dengan masa-masa pra
sejarah, yaitu periode ketika aksara atau huruf-huruf yang
merupakan prasyarat pokok itu belum dikenal, sehingga
tidak dapat catatan-catatan.
Pada masa pra sejarah komunikasi terutama dilakukan
dengan mengandalkan isyarat baik suara mau pun gerak
dan tanda-tanda lain di kalangan komunitas yang sangat
terbatas. Paling maju mereka menyampaikannya melalui
sarana gambar-gambar sederhana yang peninggalannya
dapat dijumpai pada dinding beberapa gua yang pernah
dihuni oleh manusia pra sejarah.
Apabila disimak dari perspektif siklus perputaran
perekonomian modern yang pada intinya terdiri dari produksi,
distribusi, dan konsumsi maka kegiatan yang paling dominan
dilakukan pada waktu itu adalah konsumsi dalam pengertian
3 William Seagle, 1946. The History Of Law. Tudor Publishing Co., New York. Hal. 27, 59,
151 membagi sejarah hukum pada umumnya menjadi tiga periode; primitive law, archaic
law, dan the maturity of law.
5
yang sangat terbatas pada aspek menyantap seperlunya
untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Jadi siklus perputaran
ekonomi pada masa pra sejarah belumlah lengkap.
Intinya, pada masa pra sejarah, perdagangan belum
dikenal. Segala sesuatunya tersedia secara melimpah,
sehingga tidak ada kegiatan budidaya, tidak ada pasar, tinggal
mengambil, memetik, dan memburunya serta disantap.
Rantai siklus ekonomi yang melahirkan perdagangan pada
dasarnya adalah produksi dan distrubusi yang belum dikenal
dalam masa pra sejarah.
Mengingat tidak adanya perdagangan dalam bentuk
yang sangat sederhana sekali pun, maka belumlah dikenal
adanya hukum hukum dagang. Hal ini dapat dijelaskan bahwa
salah satu fungsi hukum adalah mengatur. Elemen pengaturan
terdiri dari aturan, obyek-subyek pengaturan, dan pengatur.
Apabila obyek-subyeknya tidak ada maka tidaklah mungkin
merumuskan aturan serta memungsikan pengatur.
Interaksi dengan hukum dagang pada dasarnya
baru mulai dikenal ketika manusia mengenal suatu bentuk
perilaku yang disebut dengan barter4. Dikemukakan
demikian karena sesederhana apa pun yang dilakukan,
barter tersebut sesungguhnya merupakan suatu sistem5 4 Henry Campbell Black, 1979. Black’s Law Dictionary. West Publishing Co., St. Paul Minn.
Hal. 137. Barter…to exchange goods or services without using money.
5 Ida r. Hoos, 1974. Systems Analysis In Public Policy. A Critique. University of California
Press. Barkeley, Los Angeles, London. Hal. 16 pada pokoknya mengemukakan Webster’s
Dictionary menyediakan sedikitnya lima belas makna mengenai sistem….number one
is “an aggregation or assemblage of objects united by some form of regular interaction
or interdependence; a group of diverse units so combined by nature or art as to form
an integral whole, and function, operate, or move in unison and, often, in obedience to
some form of control; an organic or organized whole. Number three shits attention to
the nonmaterial: “an organized or methodologically arranged set of ideas; a complete
exhibition of essential principles or facts, arranged in rational dependence or connection”.
Also, “a complex of ideas , principles, doctrines, laws, etc., forming a coherence whole
6
yang mengintroduksikan dan mendasarkan kinerjanya pada
syarat-syarat yang disepakati dan semua ini merupakan
representasi dari aturan-aturan.
Konsep-konsep yang perlu diuraikan pertama-tama
adalah lex mercatoria, sebuah konsep dalam Bahasa Latin
yang pada dasarnya merupakan terma terkait yang paling tua
yang dapat ditelusuri sejarahnya. Konsep-konsep selanjutnya
secara alfabetik meliputi mercantile law dan trade law.
Selanjutnya penelusuran ini dikaitkan dengan kemunculan
terma-terma commercial law dan business law.
Penguraian secara alfabetik terutama untuk mercantile
law dan trades law dilandasi pertimbangan sehubungan
dengan keterbatasan dalam melakukan penelusuran atas
sejarah terbentuknya konsep-konsep tersebut. Di samping
adanya pandangan bahwa lex mercatoria sesungguhnya
merupakan konsep hukum dagang dalam Bahasa Latin. Tidak
tertutup kemungkinannya bahwa seluruh konsep tersebut
memiliki makna yang sama.
Namun demikian paragraph tadi tidaklah
menyurutkan niat untuk mengawali uraian sejarah hukum
dagang itu bahkan semakin menambah kemantafan dengan
menguraikan lex mercatoria. Selanjutnya diuraikan mengenai
sejarah terbentuknya Wetboek van Koophandel (WvK) yang
berdasarkan “asas konkordansi” diberlakukan di Indonesia
dengan titel Kitab Undang-Undang Hukum Perniagaan
(KUHD).
and recognized as the intellectual content of particular philosophy, religion, form of
government, or the like. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut dapat dikemukakan
bahwa sistem menunjukkdan adanya keteraturan, kelangsungan dan kepastian.
7
Pada karya-karya beberapa penulis pada era 1950
hingga 1960an sangat jarang dijumpai jikalau tidak boleh
dikemukakan tidak ada sama sekali yang mempergunakan
konsep hukum dagang. Kebanyakan penulis sudah merasa
percaya diri dengan konsep hukum perniagaan. Di Indonesia
fenomena seperti ini dapat dijumpai misalnya pada tulisan
M.H. Tirta Amidjaja 1956 yang berjudul Pokok-Pokok Hukum
Perniagaan.
Setetlah itu para penulis mulai mempergunakan
konsep hukum dagang untuk mengkomunikasikan aspek
hukum yang berlaku bagi yang menjalankan perusahaan,
perantara, surat-surat berharga, asuransi, hak dan kewajiban
yang timbul dalam pelayaran, dll. Hal ini dapat dijumpai pada
tulisan-tulisan Prof. Soekardono yang dikemas dengan judul
“Hukum Dagang Indonesia”.
Satu hal yang sangat perlu dicermati dari tulisan Guru
Besar dan Hakim Agung tersebut adalah p e n c a n t u m a n
nama “Indonesia” pada titel buku yang diterbitkan secara
berjilid-jilid tersebut. Pencantuman itu tidaklah sekadar
dimaksudkan untuk menambahkan aspek estetika dan
gramatika atau karperena buku-buku itu ditulis oleh orang
Indonesia. Jikalau diamanati tampaknya memiliki makna
tersendiri yang perlu dipahamkan.
Sejauh yang dapat diamati pada salah satu jilid dari
bukunya terdapat konsep “Perseroan Terbatas” (biasa disngkat
dengan PT) yang dipergunakan untuk menggambarkan ihwal
mendirikan, mengelola dan mengakhiri sebuah badan hukum
yang diatur mulai dari Pasal 21 sampai dengan 56 Kitab
8
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Sebelumnya para
penulis mempergunakan konsep “Naamlooze Vennootschap”
atau yang sering disingkat “NV”.
Apanya yang istimewa, bukankah sudah jamak
apabila ingin mengindonesiakan segala sesuatu yang berbau
asing itu cukup dengan jalan menerjemahkannya ke dalam
Bahasa Indonesia. Nah, ini memang merupakan suatu jalan;
jalan pintas yang menggelikan. Coba bayangkanlah apabila
diterjemahkan maka naamlooze vennootschap berarti
“persekutuan yang namanya dihilangkan” atau “persekutuan
tanpa nama” yang diambil dari para peseronya.
Berkenaan dengan penggunaan konsep “Perseroan
Terbatas”, Prof. Soekardono6 pada pokoknya menjelaskan,
inilah terjemahan yang lebih sesuai dengan sifat-sifatnya
bentuk perusahaan yang dijalankan….modal perseroan
atau modal bersama dan dibagi dalam sekian saham
atau sero dan tiap-tiap pemegang saham atau sero hanya
dipertanggungjawabkan secara terbatas….pendek kata:
masyarakat dan pemerintah bukan memilih “Persekutuan tak
bernama”, melainkan perseroan terbatas justru mengingat
akan pembatasan pertanggungan jawab pemegang saham
atau sero tersebut.Makna pencantuman “Indonesia” pada titel
buku-buku hukum dagang yang beliau tulis pada dasarnya
dapat diperbandingkan dengan menelusuri makna “Nasional”
pada judul “Hukum Dagang Nasional” yang sedang dibaca ini.
Makna “nasional” itu sendiri dapat diserap dari penelusuran
sejarah konsep hingga terbentuknya Code de Commerce di
6 R. Soekardono, 1983. Hukum Dagang Indonesia Jilid I (bagian kedua). C.V. Rajwali,
Jakarta. Hal. 127-128
9
Perancis, Wetboek van Koophandel di Belanda, Kitab Undang-
Undang Hukum Dagang dan perkembangannya di Indonesia
sekarang.
Mendahului uraian berkenaan dengan lex mercatoria
terdapat satu hal yang sangat urgen disampaikan, bahwa
penelusuran sejarah dan perkembangan hukum dagang pada dasarnya dapat mengungkapkan fluktuasi hubungan hukum dan ekonomi. Hal ini semakin relevan mengingat perdagangan
merupakan bagian yang integral dari perekonomian sehingga
segenap aturan hukum tentang perekonomian itu harus
ditelusuri akar sejarahnya pada perekonomian itu sendiri.
Pembagian sejarah hukum umum misalnya periode-
periode primitive (sederhana), archaic (kuno), dan modern
dapat memperoleh apresiasi yang keliru seolah-olah hukum
primitive, hukum kuno, dan hukum modern itu semata-
mata merupakan hasil cetusan perkembangan pemikiran
masyarakatnya sesuai ukuran zamannya; era primitif dengan
pemikiran yang primitive akan menghasilkan hukum yang
primitif pula.
Pola berpikir yang hampir silogistik itu ternyata
cendrung menyesatkan dan sudah tentu keliru. William
Seagle membantahnya dengan mengemukakan,….primitive
law can be understood in terms not of the primitive law mind
but pf primitive economics. There is a clostes correlation
between the material culture of the simplest people and their
social institutions.7 Hukum primitif dapat dipahami dari
perekonomian masyarakat yang sederhana, bukan dari
7 William Seagle, Op.cit. hal. 57.
10
pemikiran yang primitif.
Kehidupan masyarakat sangat sederhana sangat
erat dengan kebudayaan materiil, suatu budaya yang
memperkenalkan dan mengajarkan pola kehidupan yang
mempergunakan peralatan pada umumnya berupa perabot
(perkakas), senjata dan pakaian. Sudah tentu kebudayaan
materiil juga mengajarkan perihal bagaimana alat-alat
tersebut diperoleh baik ditemukan atau disediakan oleh
alam maupun dibuat dan dihasilkan dengan kemampuan
teknologi sesuai zamannya.
Intinya kebudayaan materiil itu mencakup seluruh
ciptaan manusia baik yang merupakan hasil visualisasi
mau pun konseptualisasi. Visualisasi merupakan hasil baru
atau benda baru dari proses pengolahan bahan-bahan yang
disediakan oleh alam. Sementara konseptualisasi lebih
menekankan pada aspek pemungsian secara langsung atas
benda-benda yang disediakan oleh alam dan dimanfaatkan
oleh manusia dengan seperti kapak untuk memotong.
Karakter pokok kebudayaan materiil adalah nyata atau
konkret, kebalikan dari kebudayaan non-materiil.
Sebagai ilustrasi, dalam bidang ilmu hukum dapat
pula dijumpai konsep yang menyerupai kebudayaan materiil.
Ada pun konsep yang dimaksudkan itu adalah “meterialisasi”
atau materialization. Konsep ini dipopulerkan oleh Rudolf
Wietholter8 melalui tulisannya yang berjudul Materialization
and Proceduralization in Modern Law. Namun demikian
8 Rudolf Wietholter, 1986, Materialization and Proceduralization In Modern Law. Dalam :
Dilemmas of Law in the Welfare State. Editor: Gunther Teubner. Walter de Gruyter, Berlin-
New York. Hal. 221.
11
ia tidak memberikan definis mengenai konsep tersebut sehingga harus dicari-cari dalam perspektif-perspektif yang
lebih dahulu mengakrabinya.
Upaya pencarian ini ternyata tidak sia-sia dan
dijumpailah bahwa perspektif paranormal memiliki
pengertian tentang konsep tersebut. Perspektif paranormal
pada pokoknya memandang materialization merupakan
the creation or appearance of matter from unknown sources.
Sumber lainnya mengemukakan materialisasi merupakan
….creating a materialized view in a relational database….
the process of creating an embodiment of an a relational
database….the process of creating an embodiment of an idea,
such as a prototype.
Berdasarkan perpektif-perspektif tersebut dapat
dikemukakan bahwa pada intinya dalam materialisasi
terdapat elemen-elemen perbuatan menciptakan, mengubah,
dan mematerialkan-membendakan. Pesan yang hendak
disampaikan dengan konsep materialisasi sesungguhnya
adalah kegiatan mewujudkan sesuatu yang sebelumnya
hanya merupakan suatu keinginan, gagasan atau cita-cita,
kebutuhan menjadi sesuatu yang kasat mata, sesuatu yang
dapat diamati dengan indera. Sudah tentu kegiatan demikian
ini sangat pula dipengaruhi oleh pemikiran yang bersifat
materialistik.
Dalam ilmu hukum, konsep materialisasi lebih
merupakan suatu bentuk transpormasi terhadap hukum
idealita menjadi hukum realita. Kegiatan mengubah
atau mewujudkan sesuatu yang sebelumnya merupakan
12
“non-figur hukum” menjadi “fugur hukum”; sesuatu yang bukan atau belum sebagai hak menjadi hak. Secara lebih
sederhana lagi dapat dikemukakan, materialisasi itu intinya
merupakan kegiatan “membendakan” sesuatu, memberi
atau menetapkan sifat kebendaan. Dengan sifat ini maka
sesuatu yang dimaksudkan itu memiliki nilai ekonomi yang
dapat diperalihkan dan tentunya menjadi obyek kontrak atau
transaksi komersial.
Cara pandang seperti itu dipengaruhi oleh paham
yang materialistis atau materialisme. Dalam materialisme,
kekayaan atau kebendaan diletakkan sebagai nilai yang
tertinggi dan tujuan tunggal dari setiap pikiran, ucapan, dan
tindakan. Nilai-nilao spiritualitas tidak ada dalam kosakata
seseorang yang menganut materialisme, selain niat untuk
memperoleh manfaat kebendaaan.
Dalam materialisme yang berkembang seiring
dengan pragmatisme-mengutamakan segi praktis dan hasil
maksimal daripada nilai-nilai moral-dan “hedonisme” - yang
berorientasi pada kenikmatan materi sehingga tidak segan-
segan mengorbankan nilai-nilai yang dijunjung tinggi untuk
mengejar materi yang lebih banyak- itu pada dasarnya juga
terkandung motivasi yang bersifat oportunistik.
Dalam kehidupan ini, hampir selalu terjadi kenaikan
gaji pegawai negeri sipil (PNS) diikuti dengan kenaikan harga-
harga. Selain menyimpang dari “dalil ekonomi’; tingginya
permintaan diikuri dengan tingginya penawaran, fenomena
tersebur sangat oportunistik. Apabila kenaikan gaji PNS
sampai menimbulkan pemahaman bahwa para pedagang
13
juga berhak untuk memperoleh kenaikan pendapatan dengan
jalan menaikkan harga dan terlebih-lebih lagi apabila “hak”
tersebut dilembagakan oleh hukum, maka yang terjadi itu
dapat disebut dengan materialisasi hukum.
Dengan mempertimbangkan plus-minus antara
material culture dan legal materialization dapatlah
dikemukakan kebudayaan materiil pada dasarnya
mengandung aspek-aspek cara berpikir, berucap dan
berbuat yang berorientasi pada materi terutama yang
bersifat ekonomis dalam pengertian dapat dipertukarkan
dan diperdagangkan. Oleh karena demikian maka dapatlah
diterima bahwa perdagangan itu muncul ketika umat
manusia mengenal material culture.
Intinya, “material culture” mengantarkan umat
manusia untuk semakin intens dengan obyek yang kemudian
oleh dunia modern disebut dengan “komoditas” yang meliputi
baik barang maupun jasa yang dapat diperdagangkan.
Sementara itu “materialisasi” mengarahkan pada pengaturan
hukum terhadap kegiatan perdagangan.
Pada periode primitif tercatat tentang diakuinya
hak-hak atas properti hingga meliputi hak-hak yang timbul
karena warisan. Pada satu sisi periode ini mengakui hak-hak
atas harta kekayaan akan tetapi pada sisi lain menciptakan
aturan tentang pembatasan terutama berkenaan dengan
peralihannya. Hal ini merupakan sekelumit mengenai hukum
perdata yang tidak banyak berperan dalam masyarakat
primitif.9
9 William Seagle. Op.cit. hal. 68
14
Dalam hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan yang
bersifat komersial dalam pengertian aktivitas-aktivitas
yang bertujuan memperoleh keuntungan materiil dapat
dikemukakan bahwa pada periode primitif sudah dikenal
adanya perdagangan. Bentuk yang paling populer dari format
perdagangan paca peridoe primitif adalah barter. Bentuk ini
juga dilandasi “prinsip resiprositas” (reciprocity principle).
Progres tersebut berlanjut hingga periode archaic
law yang pada dasarnya sudah dilengkapi dengan aturan-
aturan hukum berkenaan dengan aktivitas apa saja yang
diperbolehkan dan sebaliknya. Salah satu hal yang patut
memperoleh perhatian adalah bahwa aturan-aturan tersebut
masih mengandung kontradiksi. Hal mana perlu dicarikan
penjelasan atau setidak-tidaknya dipertanyakan dan untuk
selanjutnya ditelusuri oleh yang berminat dan menaruh
perhatian terhadap sejarah dan perkembangan hukum dagang.
Ada pun hal kontradiktif yang dimaksudkan itu
adalah bersumber dari pernyataan William Seagle10 sendiri
yang pada satu sisi mengemukakan ;not only does it treat
persons as property but it commonly allows even debtors to
be sold into slavery. Pada satu sisi dikemukakan, terdapat
perbedaan antara orang dan properti, akan tetapi pada sisi
lain memperbolehkan memperlakan orang sebabai properti.
Dalam hubungan ini perlu kiranya menguraikan
kembali dasar-dasar ilmu hukum tentang apakah yang
dimaksudkan dengan subyek hukum dan obyek hukum.
Wacana berkenaan dengan subyek hukum semakin penting
10 William Seagle. Op.cit. hal. 68.
15
artinya berkaitan dengan persoalan siapa sajakah yang
tunduk atau berlaku untuk siapa saja hukum dagang itu.
Sementara obyek hukum berhubungan dengan obyek-obyek
yang dapat diperdagangkan.
Subyek hukum pada dasarnya merupakan pemegang
hak dan kewajiban yang menurut hukum terdiri dari orang
(person, hominem) dan yang dipersamakan dengan orang.
Subyek yang dipersamakan dengan orang adalah badan
hukum baik privat maupun publik. Setiap orang dapat menjadi
persona hukum, akan tetapi tidak sebsgai subyek hukum.
Hanya orang-orang yanv memiliki kecakapan bertindak
dalam hukum saja yang dapat menjadi subyek hukum.
Sistem hukum memiliki kapasitas yang penuh
untuk menentukan siapa saja yang dapat menyandang
predikat untuk menjadi subyek hukum. Bahkan juga untuk
menentukan perubahan status dari “cakap bertindak dalam
hukum (bevoogheid)” dan sebaliknya melakukan degrasi ke
status “tidak cakap bertindak. Kondisi seperti pernah dialami
oleh kaum perempuan yang tunduk pada Burgerlijk Weboek
(BW).
Pasal 1330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(BW yang berdasarkan asas konkordansi) diberlakukan
di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) pada dasarnya
mengelompokkan mereka yang tidak cakap bertindak dalam
hukum adalah : 1. orang-orang yang belum dewasa, 2. orang-
orang yang ditaruh di bawah pengampuan, 3. perempuan
dalam hal-hal yang telah ditetapkan oleh undang’undang,
harus mendapatkan persetujuan suami, misalnya menjual
16
harta bersama dalam perkawinan, 4. Orang-orqng yang
dilarang atau diperbolehkan oleh undang-undang. Misalnya
seorang manajer dianggap tidak cakap mewakili perusahaan
tempatnya bekerja apabila tidak memperoleh persetujuan
dari direksi.
Ilustrasi tersebut secara tidak langsung
memperlihatkan bahwa antara manajer dan direksi memiliki
kedudukan yang tidak sama. Disimak dari aspek pekerjaan
(job), keduanya merupakan andalan perseroan dalam
pengelolaan, bahkan seringkali manajer dipandang identik
dengan perusahaan itu sendiri. Namun demikian hendaknya
lebih dipahamkan lagi tentang kedudukan direksi sebagai
wakil langsung perseroan baik di dalam maupun di luar
pengadilan.
Di samping itu ilustrasi tersebut juga menggambarkan
bahwa perseroan sebagai badan hukum diakui merupakan
subyek hukum non-person yang memiliki hak dan kewajiban
hukum seperti menggugat dan menghadapi gugatan.
Akan tetapi subyek hukum ini tidak dapat melaksanakan
atau mengaktualusasiksn sendiri hak dan kewajibannya,
melainkan harus dilaksanakan oleh subyek hukum sebagai
wakilnya.
Subyek hukum yang memiliki hak dan kewajiban sendiri
tetapi tidak dapat melaksanakannya sendiri sesungguhnya
tidaklah merupakan persoalan hukum. Dalam hal demikian
sistem hukum harus menyediakan ketentuan atau setidak-
tidaknya prinsip tentang subyek hukum yang boleh dan yang
dilarang menjadi wakil perseroan. Ini merupakan hal khusus
17
berkenaan dengan subyek hukum dagang.
Secara umum sesungguhnya tidaklah terdapat
pembatasan tentang siapa saja yang tunduk terhadap hukum
dagang, kecuali yang berdasarkan sejarah hukum bahwa
hukum dagang itu harus dipandang sebagai hukumnya para
pedagang. Dengan pandangan demikian maka hukum dagang
itu betul-betul merupakan “lex specislis”dalam pengertian harfiah; hukum khusus untuk pedagang.Dalam praktek setiap orang dapat terlibat dalam
proses produksi, distribusi dan sudah tentu konsumsi. Mereka
semuanya pada dasarnya merupakan subyek-subyek hukum
dagang. Urgensi untuk menguraikan tentang subyek hukum
dagang sesungguhnya dalam rangka meletakkan subyek
hukum pada posisinya yang benar sebagai pelaku. Namun
demikian sejarah pernah mencatat terjadinya perdagangan
manusia.
Sehubungan dengan itu dan mengingat topik uraian
ini berkenaan dengan perdagangan, maka tidaklah kurang
relevansinya apabila diuraikan pula tentang obyek-obyek apa
saja yang dapat diperdagangkan. Apakah manusia kendati
pun ada yang mengemukakan sebagai persona hukum yang
tidak memikiki kehendak yang bebas itu dapat dijadikan
sebagai obyek dalam perdagangan.
Untuk menguraikannya maka yang dibutuhkan
pertama-tama adalah kejelasan tentang obyek hukum dagang
atau secara sederhana dapat dirumuskan dengan pertanyaan;
apa (bukan siapa) sajakah yang dapat diperdagangkan atau
( sekali lagi) meliputi apa saja obyek perdagangan tersebut,
18
hal-hal apa saja yang dapat dipertukarkan, diperjualbelikan,
disewakan, dll.
Dalam ungkapan yang paling modern, obyek
perdagangan itu adalah komoditi (comodity). Dalam Padal
1 Undang-undang No. 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan
Berjangka Komoditas sebagaimana diubah dan ditambah
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2011 tentang
Perubahan dan Penambahan terhadap UU. No.32 Tahun
1997 ditentukan bahwa yang dimaksudkan dengan komoditi
adalah semua barang, jasa, hak dan kepentingan lainnya,
dan setiap derivatif dari subyek Kontrak Berjangka, Kontrak
Derivatif Syariah, dan/atau Kontrak Derivatif lainya.
Dari pengertian tersebut, yang paling relevan adalah
bahwa komoditi itu meliputi segala jenis barang, jasa, hak
dan kepentingan lainnya dan setiap derivatifnya. Hal-hal
lain yang disebutkan itu seperti kontrak berjangka, kontrak
derivatif, dan juga bursa berjangka apabila memungkinkan
dan akan diusahakan penguraiannya secara tersendiri ketika
membahas tentang perdagangan berjangka komoditi.
Penggalan kalimat tersebut pada dasarnya
menghasilkan pengertian umum dari konsep komoditas
yaitu barang dagangan pada umumnya yang meliputi segala
benda baik bergerak maupun yang tidak bergerak, baik
yang sudah ada maupun yang akan ada. Termasuk pula hak
terutama hak atas kekayaan baik yang bersifat intelektual
maupun industrial. Pengertian ini harus ditambahkan lagi
dengan syarat bahwa yang dapat diperdagangksn itu adalah
komoditas yang sah. Apabila pengertian ini diaplikasikan
19
pada periodisasi sejarah dapatlah dikemukakan bahwa
perdagangan pada periode primitif didominasi bentuk barter
yang tidak mengenal pembayaran, melainkan pertukaran
antar barang dagangan dengan kesetaraan kebutuhan sebagai
ukuran. Obyeknya sudah tentu masih bersifat sederhana dan
terbatas.
Faktor kesetaraan yang disepakati dan pelaksanaannya
yang bersifat tunai pada dasarnya merupakan aturan-
aturan hukum dagang yang paling awal dikenal. Patut pula
dicatat bahwa kesepakatan yang dilandasi itikad baik yang
kemudian melahirkan asas “facta sund servanda” itu sudah
dipraktekkan sejak periode primitif.
Pertama-tama yang muncul adalah kebutuhan dan
setelah menyusul unsur proses produksi untuk memenuhi
kebutuhan tersebut berupa upaya-upaya memungut,
memetik, menangkap, dll. Suatu saat terdapat kelebihan
produksi dari kebutuhan pribadi. Kelebihan inilah yang
kemudian menimbulkan keinginan untuk menukarkannya
dengan barang lain yang juga merupakan kebutuhan
berdasarkan kesetaraan.
Pertukaran dilaksanakan dengan apa yang pada zaman
sekarang ini dikenal dengan konsep asas itikad baik, sebuah
prinsip yang dilandasi kejujuran dan kepatutan. Kedua hal
tersebut merupakan landasan bagi aturan-aturan hukum
dalam masyarakat. Dari aspek obyek, perdagangan primitif
menempatkan benda dalam pengertian yang seutuhnya
sebagai komoditas.
Berbeda hal dengan periode archaic (kuno) yang sistem
20
perdagangannya diwarnai dengan legalisasi perdagangan
manusia. Pada periode “archaic law” (hukum kuno) orang
dipandang sebagai properti yang dapat diperjualbelikan....
treat persons as property but it commonly allows even debtors
to be sold into slavery.11 Perlakuan terhadap orang itu lebih
buruk dari statusnya sebagai “persona hukum” yang masih
tetap menempatkannya sebagai manusia.
Apabila ada yang mempertanyakan atau
memperbandingkan antara debtors to be sold into slavery
dengan lembaga “sandera” (gijzeling) yang diterapkan pada
periode ketika hukum sudah berada pada zaman modern,
maka dapatlah diuraikan bahwa perbandingan tersebut
tidak seimbang dan cenderung menyesatkan. Keduanya
merupakan dua konsep hukum yang berbeda dan karena itu
tidaklah tepat untuk diperbandingkan.
Dalam debtors to be sold into slavery, orang itu
pertama-tama dipandang sebagai barang dagangan dan
selanjutnya setelah menjadi budak maka orang itu akan
kehilangan statusnya sebagai subyek hukum. Sementara
itu dalam “gijzeling”, orang itu tidak dijual melainkan hanya
disandera misalnya agar segera membayar hutang. Status
sebagai subyek hukum masih tetap dipertahankan.
Secara hampir bersamaan dengan berlangsungnya
periode archaic law, pada belahan dunia yang kemudian
disebut dengan Eropa berlangsung pula peradaban
“lex mercatoria” , suatu bentuk tatanan yang berintikan
pengaturan terhadap kegiatan perdagangan yang berlangsung
11 William Seagle. Op.cit., hal. 68
21
di benua Eropa terutama pada area-area yang merupakan
jalur perdagangan antar kerajaan.
Lex mercaroria is the Latin expression for a body of
trading principles used by merchants throughout Europe in
the medieval. Literally, it means “merchant kaw”. It evolved as
a system of custom and practice, which was enforced through
a system of merchang courts along the main trade routes. It
functioned as the international law of commerce. It emphasized
contractual freedom, alienability of property....12.
Intinya lex mercatoria merupakan konsep dalam
bahasa Latin yang dipergunakan untuk mengkomunikasikan
sekumpulan asas atau prinsip-prinsip yang berlaku bagi
para pedagang di Eropa pada umumnya. Prinsip-prinsip lex
mercatoria dilembagakan (diserap, diambil dan diberlakukan)
dari kebiasaan-kebiasaan dalam praktek perdagangan pada
abad pertengahan yang berlangsung antara abad V - XV.
Disimak dari aspek asupan materinya dapat
dikemukakan bahwa lex mercatoria merupakan aturan-
aturan hukum dagang yang bersumber dari kebiasaan para
pedagang. Hal ini kiranya dapat dipahami pertama karena
subyek hukum yang paling membutuhkan aturan hukum
dagang pada waktu itu adalah kaum pedagang. Di samping
itu juga karena perangkat pembentuk undang-undang dan
sumber-sumber hukum yang lain belum tersedia.
Sumber yang berhasil dikutip juga mengemukakan,
lex mercatoria tidaklaj merupakan gagasan yang baru dan
orisinal dari abad pertengahan. Dikemukakan demikian 12 2018. The Theory of Lex Mercatoria. Https://www.lawteacher.net).
22
karena sumber tersebut menemukan pula gagasan serupa
pada sumber dari masa atau periode yang telah ada jauh
sebelumnya. Ada pun sumber yang merupakan pendahulu
lex mercatoria itu adalah “Roman Ius Gentium”.
Dalam konsep yang disebutkan terakhir itu terdapat
aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan ekonomi
antara orang asing dan warga kerajaan Romawi. “Ius
Gentium” tersebut pada dasarnya merupakan cikal bakal
hukum internasional yang beraspek keperdataan atau yang
pada zaman sekarang ini populer dengan konsep hukum
perdata internasional.
Disimak dari segi fungsinya, lex mercatoria
sesungguhnya pula merupakan hukum perdagangan
internasional yang antara lain menekankan kebebasan
kontraktual dan pemisahan harta kekayaan. Berlaku bagi
para pedagang yang berasal dari berbagai penjuru dunia
yang menjalin hubungan perdagangan dengan warga
kerajaan sepanjang jalur yang dilaluinya secara melintas
batas kedaulatan territorial.
Makna yang dapat diangkat, lex mercatoria itu
merupakan hukum dagang dengan nuansa internasional
yang sangat kental kalau tidak mau dikatakan sebagai hukum
dagang internasional. Inilah yang sesungguhnya menjadi
latar belakang untuk mencantumkan istilah Nasional pada
perkataan Hukum Dagang yang menjadi titel dari kerajinan
tangan ini. Istilah Hukum Dagang dikembangkan dari lex
mercatoria yang sesungguhnya merupakan hukum yang
bernuansa internasional.
23
Di samping itu karya-karya dari para perintis terdahulu
seperti R. Soekardono dengan karyanya “Hukum Dagang
Indonesia” dan Sudargo Gautama yang menulis “Hukum
Perdata Inteenasional Indonesia” juga sangat menginspirasi
untuk menulis topik yang nyaris dilupakan ini. Kebanyakan
orang sekarang ini beralih kepada hukum bisnis padahal
sudah dipahami bahwa itu merupakan hasil pengembangan
konsep.
Namun dengan bekal semangat dan tekad untuk
menunjukkan kejujuran maka pengetahuan sejarah itu
perlu disebarluaskan. Sejarah yang jujur mengajarkan
setidak-tidaknya kebenaran kronologis, menunjukkan
urutan kejadian berkenaan dengan sesustu hal dari masa
yang lampau hingga keberadaannya seperti yang dijumpai
sekarang ini. Dari kronologi akan diperoleh keteraturan dan
dari keteraturan akan dihasilkan kepastian.
Sejarah hukum dagang tentunya juga harus menyajikan
urutan ihwal bagaimana prosesnya dari suatu aturan tukar-
menukar barang, selanjutnya mengalami masa kemandirian
hingga menjadi suatu bidang yang hampir ditinggalkan.
Di Indonesia, begitu Undang-undang tentang Perseroan
Terbatas diundangkan, para inisiator meresponnya dengan
membangun ranah baru yaitu hukum perusahaan. Sebagian
materi dari bidang hukum “baru” tersebut masih bersumber
dari Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) yang
diajarkan sembari mengingatkan bahwa kitab undang-
undang ini adalah warisan kolonial Belanda yang sudah usang.
Hampir tidak ada yang sadar bahwa perseroan terbatas pun
24
dahulunya juga diatur dalam KUHD.
Perkembangan juga mencatat bahwa di samping
pengaturan “naamloose vennootschap” yang keluar dari
sistem KUHD, perihal asuransi pun juga tak mau ketinggalan
hengkang dari kitab undang-undang tersebut. Penjelasan
berdasarkan ilmu hukum sangat membantu mencerahkan
pandangan bahwa diaturnya bidang-bidang perseroan
terbatas dan asuransi di luar KUHD tidaklah dimaksudkan
bahwa bidang-bidang tersebut tidak lagi termasuk ruang
lingkup hukum dagang, melainkan karena pertimbangan
politik hukum.
Penentuan arah dan isi hukum yang akan diberlakukan
terutama dari segi bentuknya di Indonesia memperlihatkan
kecendrungan pada bentuk undang-undang. Di samping
karena mengandung kesesuaian antara isi dan bentuk,
pertimbangan bahwa membentuk kitab undang-undang
lebih sulit, lebih lama dan lebih mahal juga menjadi latar
belakang mengapa bentuk kitab undang-undang cenderung
ditinggalkan. Hasil akhirnya akan semakin banyak saja pengaturan mengenai figur-figur hukum yang keluar dari sistem KUHD.
Kembali ke lex mercatoria dan berkenaan dengan
ini selanjutnya diuraikan....” in any case, it is in the law
merchant of thw middle ages where thw historical roots of
the lex mercatoria can trully be found. The florourishing of internasional economic relations in Western Europe at the
begining of the 11th century caused the formation of the law
merchant, a cosmopolitan mercantile law based upon customs
25
and applied to cross-border disputes by the market tribunals of
the various European trade centers. This law resulted from the
effort of the medieval trade community to overcome the obsolote
rules of feudal dan Roman law which could not respond to the
neede of the new international commerce. Merchants created a
superior law, which constituted a solid legal basis for the great
expansion of commercw in the middle ages. For almost 800
years, uniform rules of law, those of thw law merchant were
applied throughout western Europe among traders13.
Dari uraian tersebut dapat dikemukakan, dalam
hal apa pun, jejak-jejak sejarah dari lex mercatoria dapat
diketemukan dalam prinsip dan aturan- aturan hukum
yang mengatur hubungan transaksi komersial pada abad
pertengahan. Perkembangan bidang hukum ini berjalan
sejajar dengan berkembangnya hubungan ekonomi
internasional di Eropa Barat pada awal abad ke 11. Bidang
hukum ini disebut dengan Law Merchant yang penegakkan
hukumnya dilaksanakan oleh Market Tribunal.
Apa yang dimaksudkan dengan law merchant pada
akhirnya dijelaskan oleh sumber yang dikutip pada pokoknya
merupakan hukum dagang kosmopolitan yang didasarkan
pada kebiasaan. Uraian yang singkat ini mengarahkan
upaya untuk sampai pada pemahaman mengenai konsep
“mercantile law”....yang pada dasarnya merupakan….an
expression substantially equivalent customs, and usages
generally tecognized and adopted by merchants and traders....14
Berbeda halnya dengan konsep market tribunal yang
13 2018.Op.cit. hal.
14 Henry Campbell Black, Op.cit. hal. 890.
26
tidak diuraikan maksudnya oleh sumber, kecuali menyangkut
keberadaannya diberbagai pusat perdagangan Eropa. Namun
demikian dalam sistem hukum Inggris dijumpai adanya
konsep “Financial Service and Market Tribunal” yang pada
intinya merupakan “an independent judicial body” untuk
kasus-kasus tertentu. Jadi merupakan suatu bentuk peradilan
khusus yang didirikan untuk tujuan khusus pula seperti
memberikan atau menarik otorisasi melakukan kegiatan
tertentu. Jadi belum jelas juga; apakah yang dimaksudkan itu
“peradilan pasar” ataukah “peradilan niaga”,
Hukum ini dihasilkan dari upaya komunitas
perdagangan abad pertengahan untuk mengatasi aturan
feodal dan hukum Romawi yang sudah usang yang tidak
dapat menanggapi kebutuhan perdagangan internasional
baru yang berkembang dengan pesat. Kaum pedagang
menciptakan hukum yang unggul, yang merupakan dasar
hukum yang kuat untuk ekspansi besar perdagangan di abad
pertengahan. Banyak aturan hukum khusus yang dibuat
untuk menghindari aturan hukum umum yang merepotkan.
Contoh pada aturan sebelumnya terdapat ketentuan....
”that a man could not give what he himself has not. In other
words, a man who has no title to goods cannot give title.
Ketentuan ini pada dasarnya lebih merupakan prinsip atau asas, hukum idealita bahkan nilai filosofis yang dalamdapat, akan tetapi bersifat tidak operasional dan dapat
mendatangkan ketidaknyamanan terutama bagi mereka
yang hendak membeli suatu properti.
27
Dengan mempertimbangkan ketentuan tersebut,
seorang pembeli dalam sebuah transaksi harus yakin-
seyakinnya bahwa barang yang oleh si A adalah memang
sebenarnya milik si A. Dalam hubungan ini aturan sebelumnya
juga mewajibkan pembeli untuk menelusuri sejarah
kepemilikan barang yang hendak dibeli, dan menanyakan
kepada pemilik sebelumnya apakah ia telah melaksanakan
peralihan hak sesuai dengan hukum. Sudah tentu ketentuan
demikian akan sangat merepotkan apabila diterapkan dalam
hubungan dagang internasional.
Perubahan yang dibuat berdasarkan “law merchant”
adalah dengan mendokumentasi hak-hak dalam bentuk
tertentu sehingga dapat diperalihkan secara lebih sederhana.
Berdasarkan “teknologi” ini, pemegang dokumen dapat
menuntut atas namanya sendiri kontra prestasi dari pihak
yang dihadapi. Dengan demikian dapat pula dikemukakan,
prinsip-prinsip hukum surat berharga juga didasarkan pada
“lex mercatoria”.
Apabila disimak kembali, pada periode primitif
terjadi “materialisasi” tethadap obyek-obyek agar dapat
diperdagangkan. Ternyata pada periode hukum kuno pun
terjadi pula hal serupa. Hanya saja kali ini materialisasi
dilakukan terhadap hak. Hal ini sangat beralasan dilakukan
mengingat hak itu pada pokoknya merupakan suatu konsep.
Agar dapat diperalihkan-diperdagangkan, maka hak itu harus
dimaterialkan misalnya didokumentasikan.
Intinya, pada hukum kuno (archaic law) hukum dagang
itu diciptakan sendiri oleh kaum pedagang. Efektivitas dan
28
efisiensi bidang hukum ini dapat dikatakan memadai karena dibangun sesuai dengan kebutuhan subyek hukumnya. Di
samping itu pada periode tersebut, perkembangan hukum
dagang sudah mendekati terbentuknya sistem atau subsistem
hukum yang ditunjang oleh piranti yang ditunjang oleh
piranti yang berfungsi membuat aturan-aturan dan piranti
penegakan hukum.
Apabila disimak dengan mempergunakan pandangan
A.M. Bos15 sebagai tolok ukur, maka dapatlah dikemukakan
bahwa prinsip dan aturan-aturan yang tertuang dalam lex
mercatoria itu pada dasarnya sudah memenuhi kriteria
sistem hukum. Dapat dijelaskan bahwa sistem hukum yang
sederhana sekali pun setidak-tidaknya mengandung unsur-
unsur bagaimana aturan hukum itu muncul dan bagaimana
pula penyelesaiannya ketika terjadi pelanggaran terhadap
aturan hukum.
Perdagangan yang secara faktual meliputi kegiatan-
kegiatan yang menyangkut pertukaran barang dan jasa atau
jual-beli pada dasarnya merupakan transaksi komersial yang
dilakukan baik intra komunitas maupun secara melintas
batas kedaulatan negara. Terjadinya transaksi tersebut tidak
dapat dilepaskan kaitannya dengan peranan perjanjian.
Oleh karena itu dipandang perlu untuk memahamkan
perkembangan hukum perjanjian sesuai periodisasi sejarah
hukum.
Apabila merunut kembali perjalanan sejarah dapat
dikemukakan pada periode hukum primitif orang-orang
15 A.M.Bos., n.d., Methods For The Formation Of Legal Concepts And For Legal Research.
Rijksuniversiteit The Groningen. Institute Of Siciology, Grote Markt
29
pada dasarnya sudah mengenal perjanjian dan sudah
tentu sederhana sifatnya. Perilaku warga komunitas yang
menjadi para pihak dalam hubungan hukum tersebut
sudah menunjukkan selayaknya mereka memasuki sebuah
perjanjian. Hal ini dapat ditelusuri dari ungkapan….like
civilized man, he recognized an obligation as binding only
when he had received a quid pro quo16.
Pada periode tersebut, komunitas masyarakat
sudah memandang perjanjian sebagai suatu perbuatan
yang didasarkan pada pola resiprositas. Persepsi mereka
tentang perjanjian menyerupai tindakan saling berbalas.
Perjanjian dikonstruksikan sebagai suatu bentuk ikatan
dalam mana suatu kewajiban harus diimbangi dengan
pelaksanaan kewajiban pada pihak lain. Apabila dilalaikan
akan menimbulkan konsep pelanggaran.
Resiprositas atau timbal balik dalam mana si A
menyerahkan sesuatu kepada si B juga menyerahkan sesuatu
sebagai imbalan dalam Bahasa hukum perjanjian modern
disebut dengan causa atau consideration. Menurut Robert
Duxbury, ….consideration is an essential element in formation
of any contract….consideration is called “executory” where
there is an exchange of promises to perform acts in the future,
e.g. a bilateral contract fo r the supply of goods whereby A
promises to deliver goods to B at a future date and B promises
to pay on delivery17.
Dalam sistek hukum perjanjian di Indonesia, causa
telah ditetapkan sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian.
16 Henry Campbell Black, Op.cit. hal. 31
17 Robert Duxbury, 2006. Contract in A Nutshell. Sweet & Maxwell, London. Hal. 19.
30
Sebagai demikian maka sudah tentu akan menimbulkan
akibat hukum apabila causa tersebut tidak dipenuhi. Paal
1335 KUH Perdata mengancam bahwa perjanjian yang tidak
memakai causa atau dibuat dengan causa palsu atau terlarang
tidak mempunyai kekuatan.
Demikianlah causa yang merupakan salah satu unsur
yang menentukan sahnya perjanjian tersebut pada dasarnya
adalah hasil rintisan dari masyarakat yang hidup pada
periode hukum primitif. Pada masa sekarang causa dan/
atau consideration telah dikembangkan sebagai suatu prinsip
perjanjian baik dalam sistem hukum continental maupun
common law. Perkembangan berikutnya menunjukkan figure hukum perjanjian berada pada masa yang disebut periode
hukum kuno (archaic law). Periode ini pada dasarnya
ditandai dengan berkembangnya teknologi (hukum)
berkenaan dengan terbentuknya hukum. Jikalau pada periode
sebelumnya hukum itu muncul secara tidak terstruktur, maka
pada periode archaic law, hukum mulai memasuki proses
pembuatan secara sengaja (law in the making). Norma-norma
yang kemudian dikenal sebagai hukum perjanjian yang
menjadi dasar hubungan perdagangan mulai diaransemen.
Dalam proses law in the making, selain menerima
bahan dari kristalisasi pengalaman hidup manusia dalam peri
kehidupan sehari-hari, hukum juga menerima pengaruh atau
entry point dari agama. Pengaruh tersebut bersifat sangat
dominan, bahkan tidaklah berlebihan jikalau dikemukakan
terdapatnya hukum yang semata-mata merupakan ajaran
31
agama itu sendiri dalam pengertian tidak menerima bahan
dari luar; Hukum Buddhis (natural law- Dhamma), Hukum
Hindu, Hukum Kanonik dan Hukum Islam.
Sejarah hukum mencatat bahwa pada periode archaic
law, Agama Kristen “menganeksasi” hukum perjanjian….the
church helped to developed many legal institutions that have
passed into the law of modern Europe,….that the church as a
moral power helped to develop a law of contract based upon
principle that a mere promise as such as binding….18
Dengan tetap menyadari sepenuhnya bahwa agama-
agama lainpun sesungguhnya juga banyak memberikan
masukan untuk memperkaya hukum perjanjian, misalnya
asas itikad baik, perjanjian harus ditepati, tidak boleh
mengambil bagian pihak lain, dll., maka principle that a mere
promise as such was binding merupakan suatu kontribusi
yang sangat penting.
Berdasarkan prinsip tersebut, agama berketetapan
untuk memberikan jaminan bahwa perjanjian sesugguhnya
sudah dapat dilakasankan bersamaan waktunya dengan
adanya janji. Perjanjian yang dibuat dengan prinsip demikian
bersifat mengikat dan tidak membutuhkan prosedur apa pun
kecuali langkah pelaksanaan disertai dengan spirit agama
tadi.
Selanjutnya prinsip tersebut berkembang menjadi
basis sistem hukum kontrak common law yang memandang…
.a promise made as a bargained exchange for some legally
sufficient consideration is enforced….promises can be
18 William Seagle. OP.cit. hal, 129.
32
enforced whether they are product of an implied agreement,
bahkan hukum kontrak itu sendiri is initially concerned with
determining what promises the law will enforce or otherwise
recognize as creating legal rights.19
Betapa pun inti dari promise pada dasarnya adalah
sifatnya yang mengikat, dan segala sesuatu yang mengikat
adalah juga sah. Oleh karena itu pembicaraan mengenai
kekuatan mengikat. Di samping memasukkan asas
konsensual, periode archaic law juga sudah mencanangkan
kecakapan bertindak (capacity) sebagai elemen sahnya
perjanjian, namun demikian kedudukan budak masih tetap
dipandang sebagai persona hukum semata.
Pada bidang perdagangan sejak kemunculan lex
mercatoria hingga abad-abad menjelang dimana hukum
dipandang telah memasuki periode yang disebut the
maturity of law, didirikanlah pusat-pusat perdagangan di
sepanjang jalur yang dilalui secara lintas batas negara. Pusat-
pusat tersebut pada dasarnya merupakan tempat melakukan
transaksi jual-beli komoditas yang semakin mengerucut ke
arah spesialisasi.
Di samping itu, di antaranya juga ada yang
dikembangkan sekalian sebagai sentra industri yang dapat
dikemukakan sebagai pusat yang terpadu (integrated center);
industri perdagangan (handel nijverheid) seperti yang banyak
dibangun pada zaman sekarang ini. Jejak keterpaduan yang
merupakan efek kejayaan lex mercatoria tersebut antara lain
dapat dijumpai di Edam, dekat Amsterdam, Belanda.
19 Gordon D. Scraber, 1990. Contract In A Nutshell. West Publishing, St. Paul Minn. Hal. 1
33
Edammer Kaasmarkt atau Edam Cheese Market atau
Pasar Keju Edam yang berangka tahun 1778 itu merupakan
suatu pasar yang bersifat khusus untuk keju. Pasar yang
berada di pusat kota Edam tersebut dikembangkan sejak
abad pertengahan merupakan tempat dimana para pembuat
keju menimbang, menjual dan mengekspor keju buatannya
ke seluruh dunia. Di zaman sekarang ini Edam Cheese Market
hanya dilestarikan sebagai The Farmer,s Cheese Market untuk
dan selama musim panas saja.
Edam Cheese Market. Gambar diambil pada 02 Oktober 2019 (musim
gugur) pasar dibuka selama musim panas.
Untuk menghindari kejenuhan karena sesungguhnya
banyak yang alergi sejarah, di sampinh juga sangat langkanya
34
bahan, maka uraian ringkasnya selanjutnya akan dipusatkan
pada kronologi perkembangan hukum dagang pada periode
kedewasaan hukum (the maturity of law period). Periode ini
mengandung makna bahwa hukum pada umumnya sudah
dapat mengurus dirinya sendiri karena sudah dilengkapi
dengan perangkat bagaimana membentuk, memperbarui,
mengelola, dan bagaimana menyelesaikannya dalam hal
terjadi ketidaksesuaian hukum.
Secara lebih sederhana dapatlah dikemukakan
bahwa pada periode kedewasaan hukum, hukum dagang
telah menjadi sistem atau setidak-tidaknya sub sistem
hukum tersendiri. Sebagai demikian, sub sistem hukumz
dagang telah dikristalisasikan misalnya dalam Wetboek van
Koophandel (WvK) di Belanda yang kemudian berdasarkan
Asas Konkordansi diberlakukan juga di Hindia Belanda.
Bertumpu pada uraian ringkas tersebut dapat pula
dikemukakan, kedewasaan hukum seolah-olah ditandai
dengan dituangkannya bidang hukum yang bersangkutan ke
dalam wadah yang disebut dengan “kitab undang-undang
hukum” atau code atau wetboek. Padahal sudah dipahami
membentuk sebuah wetboek itu sulit, lama dan mahal serta
seringkali melalui lika-liku berbagai intrik politik.
Kecuali Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) yang diundangkan pada 1983, Indonesia sampai
berhasil memiliki setidak-tidaknya 3 kitab undang-undang
(Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Kitab Undang-
undang Hukum Dagang, Kitab Undang-undang Hukum
Pidana) adalah karena warisan kolonial Belanda sejak 1 Mei
35
1848 yang berlaku hingga detik ketika kerajinan tangan
(tulisan) ini dikerjakan.
Di Nederland sendiri Wetboek van Koophandel mulai
dijalankan sejak 1 Oktober 1938....kita dapat memahami betapa sukarnya usaha-usaha pembentukan kodifikasi di Nederland sejak negara tersebut dilepaskan dari jajahan
Perancis pada 1813.20 Artinya, negara dengan sistem monarkhi yang dikenal sangat efisien tersebut membutuhkan waktu sekitar 15 tahun untuk dapat memiliki WvK.
Kurun waktu 15 tahun sesungguhnya merupakan
jangka waktu yang relatif pendek terutama untuk
penyusunan sebuah kitab undang-undang (Belanda dengan
3 wetboek dalam waktu yang sangat berdekatan). Dalam
hubungan ini Prof. Soekardono menjelaskan pada pokoknta
bahwa perundang-undangan baru yang di Nederland sejak 1 Oktober 1938 itu tidaklah dapat dikatakan sebagai kodifikasi nasional, karena pada pokoknya adalah (tidak seluruhnya)
operan, artinya dicontoh dari Kitab-kitan Hukum di Perancis
(Burgerlijk Wetboek dari Code Civil, Wetboek van Koophandel
dari Code de Commercer, Wetboek van Rechtsvordering dari
Code de Procedure Civil).21
Namun demikian mantan Hakim Agung tersebut
kembali mengingatkan agar hati-hati ketika berbicara tentang
Wetboek van Koophandel yang dikatakan mencontoh Code de
Commerce, karena kenyataannnya tidak seluruh hal dari Code
de Commerce tersebut diambiloper secara serta-merta ke
dalam WvK. Ada pun bagian yang luput dari proses copy paste
20 R. Soekardono, Op.cit. hal. 9
21 R. Soekardono, Op.cit. hal. 9
36
tersebut adalah perihal peradilan khusus dalam perselisihan-
perselisihan perniagaan (speciale handelsrechtbanken) yang
diatur dalam Code de Commerce tidak dioper dalam WvK
apalagi dalam KUHD.22
Diuraikan pula bahwa rancangan dasar “pembinaan”
hukum keperdataan di negeri Belanda sesungguhnya hanya
mencakup proyek penyusunan Burgerlijk Wetboek voor het
Koninkkrijk Holland yang memuat pula ketentuan-ketentuan
hukum dagang. Jadi rencana awalnya hukum perdata dan
hukum dagang dijadikan satu kitab undang-undang. Namun
yang terwujud akhirnya BW dan WvK yang terpisah dan
dijembatani oleh asas lex specialis derogat legi generali.
Ringkasnya pemisahan tersebut terjadi karena kitab
undang-undang hukum perdata (code de civil) memang
terpisah dengan kitab undang-undang hukum dagang (code
de commerce). Pada awal sejarahnya ketentuan-ketentuan
hukum dagang diatur dalam hukum perdata. Akan tetapi
lama kelamaan dirasakan tidak memadai lagi sejalan
dengan perkembangan dunia perniagaan yang mengalami
internasionalisasi.Sehubungan dengan terbentuknya kodifikasi, G.W. Paton mengemukakan, ….A general movement towards
codification marked the nineteenth century. It is sometimes said that the predominant motives for codification was a desire to render the law certain, but this, at least in the case of france
and germany, was realy overshadowed by the desire to replace
the differing laws of the various provincex or states by a system
22 R. Soekardono, Op.cit. hal. 9
37
that was national and unified. Two types of countries tend to adopt codes; those with well’developed systems where the
possibility of further development is remote for the moment:
thosr with underdeveloped systems which cannot grapple with
new economic problems.
Nevertheless, many codifiers emphasize that one of their aims is to make the law simple and accessible, logically
arranged and harmonious, certain and definite. Both Justinian and Napoleon throught that the law would remain clear
until the commentators started to explain it. In the first flush of enthuciasm it was said in france that all the problems of
law had been solved and that every case could be decided by
deduction from the provisions of the code. Bugnet said; je ne
connais pas le droit civil, je n’enseigne que le code Napoleon”.
Hence a purely logical method of interpretation was adopted.
Liard writers that law is only the loi ecrite and that the work
of the judge should be as exact as that of the geometrician
who by deduction draws from his axioms the answer to all
possible problems. The writers who took this view are known
as the exegetical school, since all the emphasis was put on the
interpretation if the written law.23
Sebagaimana telah dikemukakan tampaknya motivasi
menciptakan kepastian hukum dan mengatasi persoalan
keberagaman hukum misalnya hukum dagang yang berlaku
dalam suatu negara pada dasarnya hanya mengandung
relevansi dengan pembangunan hukum untuk Perancis dan
Jerman yang memiliki banyak provinsi dan/atau negara
23 G.W. Paton, 1972, A Textbook of Jurisprudence. Oxford University Press, Oxford. Hal.
254 – 255.
38
bagian dengan hukum keperdataan yang berbeda-beda.
Sebagai perbandingan, Amerika Serikat juga memiliki
banyak negara bagian dan pada setiap negara tersebut
berlaku hukum keperdataannya sendiri yang berbeda
dengan hukum sejenis pada negara bagian yang lainnya. Akan tetapi di negara ini tidak terdapat kodifikasi hukum yang dilatarbelakangi motivasi menciptakan kepastian hukum.
Hal yang disebutkan terakhi ini dapat dicapai berdasarkan
judge made law. Oleh karena demikian di negara Paman Sam tidak terdapat kodifikasi yang merupakan produk pembuat undang-undang, melainkan yurisprudensi dengan case law.
Masih dalam kerangka perbandingan, Indonesia
merupakan negara yang terdiri dari banyak provinsi dan
Prof. Cornelis van Vollenhoven sendiri telah membagi
HIndia Belanda pada waktu itu menjadi 19 rechtsringen (19
lingkungan hukum adat). Persoalannya; apakah Indonesia memiliki beberapa kodifikasi karena wilayahnya terdiri dari dari banyak provinsi dan pembagian menjadi 19 lingkungan
hukum adat seperti yang telah disebutkan itu ?
Paton24 sendiri pada pokoknya juga mengemukakan
bahwa keberagaman hukum karena banyaknya provinsi
tidaklah terlalu menentukan secara dominan dibentuknya kodifikasi dan bukan satu-satunya motivasi. Di antara motivasi yang dapat diidentifikasi, maka keinginan membuat undang-undang itu menjadi sederhana, logis dan harmonis serta yang terpenting dapat diakses secara efektif dan efisien merupakan motivasi pembentukan kodifikasi yang patut 24 Ibid.
39
diperhatikan. Apakah kodifikasi hukum di Indonesia (Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang,
Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata) juga dibentuk
berdasarkan motivasi seperti itu. Sebelum menguraikan
persoalan ini, kiranya perlu pula mengetengahkan adanya
pandangan bahwa semua kitab tersebut termasuk Undang-
undang Penanaman Modal dan Undang-undang Perseroan
Terbatas kecuali KUHP dan KUHAP adalah inkonstitusional
dan illegal, karena tidak didasarkan pada Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
KUHAP jelas merupakan produk hukum nasional yang
tak dapat diragukan lagi. Sebelumnya KUHP yang merupakan
konkordan dari Wetboek van Strafsrecht (WvS) masih
berlaku di Indonesia berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan
UUD Negara Republik Indonesia 1945 dan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1946. KUH Perdata dan KUHD juga berlaku
berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan tersebut. Tidak ada
satu undang-undang pun yang menyatakan pemberlakuan
KUH Perdata dan KUHD.
Malahan yang ada justru Surat Edaran Mahkamah
Agung (SEMA) Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1963
perihal : Gagasan menganggap Burgerlijk Wetboek tidak
sebagai undang-undang, melainkan sebagai suatu dokumen
yang hanya menggambarkan suatu kelompok hukum tak
tertulis. Persoalannya, apakah dengan demikian KUH Perdata
dan KUHD masih layak diterapkan dan bagaimana dengan
40
“undang-undang derivasinya” seperti Undang-undang
Penanaman Modal dan Undang-Undang Perseroan Terbatas.
Perlu ditegaskan, sejauh tidak atau belum dicabut dan
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945, KUH Perdata dan KUHD masih berlaku di
Indonesia dan tempat-tempat lain yang merepresentasikan
wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. SEMA
RI Nomor 3 Tahun 1963 harus dipandang sebagai sarana
untuk “membersihkan” dokumen kelompok hukum tak
tertulis itu (KUH Perdata dan KUHD) dari anasir-anasir yang
bersifat colonial dan bertentangan dengan spirit UUD Negara
RI 1945.
Syarat pokok agar suatu (kitab) undang-undang
menjadi tidak berlaku, maka undang-undang tersebut harus
dinyatakan “dicabut” – tidak berlaku – terlebih dahulu
dan bersamaan dengan itu secara langsung diundangkan
penggantinya. Dalam kasus KUH Perdata dan KUHD,
pencabutan ansich dapat dilakukan dengan mudah, akan
tetapi agar tidak terjadi kekosongan hukum, maka undang-
undang penggantinya harus dipersiapkan terlebih dahulu.
Nah inilah yang di Indonesia belum ada sampai saat ini.
Artinya sampai dengan kerajinan tangan ini dikerjakan,
Indonesia belum memiliki KUH Perdata dan KUHD produk
nasional.
Bagaimana halnya dengan Undang-undang Nomor 25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Undang-Undang
Nomor 40 Tahuh 2007 tentang Perseroan Terbatas yang
dipandang “berbau” kapitalis dan oleh karena itu sangat
41
bertentangan dengan UUD Negara RI 1945 terutama Pasal
33 yang intinya mengatur mengenai perekonomian nasional
yang disusun berdasarkan asas kekeluargaan, sehingga
pantas dinyatakan illegal ?
Perseroan Terbatas (PT) atau Naamloose Vennootschap
(NV) atau Limited Liability Company (Co.Ltd) yang di
Indonesia diterapkan sebagai badan hukum perusahaan
dalam rangka kegiatan penanaman modal pada dasarnya
memang merupakan alat kapitalis dan dalam sejarahnya
pernah menjadi penyeranta penjajahan di Indonesia hingga
350 tahun lamanya. Akan tetapi PT yang didasarkan pada
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 merupakan PT yang
sudah “dijinakkan” dengan asas kekeluargaan.
Maksud untuk menjinakkan tersebut ditunjukkan
dengan dicantumkannya ketentuan mengenai Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) dalam Pasal 74 Undang-
undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Kendati pun terbatas pada perseroan yang kegiatan usahanya
pada bidang atau yang berkaitan dengan sumber daya alam
saja, ketentuan tersebut hendaknya dipandang sebagai suatu
langkah yang lebar bagi kemajuan hukum.
Apabila dibandingkan, tanggung jawab sosial
perseroan yang lazimnya disetarakan dengan corporate
social responsibility (CSR) khususnya di Amerika Serikat dan
Eropa, dapat dikemukakan bahwa di Indonesia tanggung
jawab tersebut sudah memperoleh perhatian yang lebih. Di
luar negeri, tanggung jawab tersebut tidak dituangkan dalam
undang-undang, tetapi dapat dilaksanakan secara efektif. Di
42
Indonesia pun TJSL dilaksanakan dengan penuh antusias
termasuk oleh perseroan-perseroan yang tidak bergerak
dalam bidang usaha yang berkaitan dengan sumber daya alam
seperti perseroan terbatas perbankan yang mencantumkan
“CSR” pada mobil ambulans yang disumbangkannya.
Antusiasme perseroan dunia usaha dalam
melaksanakan TJSL secara tidak langsung memperlihatkan
betapa perseroan terbatas sudah memiliki kepedulian
sosial yang mengandung pengertian sudah mematuhi
sebagian dari asas kekeluargaan. Sebelumnya pandangan
mengenai perseroan terbatas didominasi oleh persepsi
bahwa perseroan terbatas adalah alat kapitalis yang dapat
menimbulkan imperialisme bahkan kolonialisme.
Milton Friedman, seorang ekonom peraih Hadiah Nobel
pada 1976 pernah mengemukakan….the social responsibility
of business is to increase its profits….a company has no social responsibility to the public or society; its only responsibility
is to its shareholders.25 Pandangan ini memiliki pengaruh
yang luas dan tentunya turut memantapkan “kedudukan”
perseroan terbatas sebagai alat kapitalis. Saking luasnya
itu pengaruh sampai-sampai ada yang mengemukakannya
sebagai Friedman Doctrine.
Jadi dengan demikian persoalan legalitas KUH Perdata
dan KUHD sesungguhnya sudah dapat dijelaskan. Hal ini mengandung pengertian, berkenaan dengan kodifikasi di Indonesia terdapat satu persoalan yang belum dapat
dijelaskan; mengapa KUHP, KUH Perdata dan KUHD serta
25 Milton Friedman on Corporate Social Responsibility. https://lucidmanager.org
43
juga Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBG) dan
Herzine Inlnads Reglement (HIR) belum juga digantikan dengan kodifikasi yang merupakan produk hukum nasional. Hal mana hampir selalu menjadi semacam cemooh, tetapi
sampai saat ini masih tetap berlaku.
Berdasarkan uraian tersebut dapatlah dipahami apabila perkembangan kodifikasi di Indonesia mengalami kemandegan setelah sukses dengan KUHAP. Rupanya pandangan bahwa menyusun kodofikasi hukum itu sulit, lama dan mahal masih menjadi penghalang besar, sehingga
politik hukum Indonesia tampak berpaling ke arah penuangan
pengaturan hukum bidang perdagangan ke dalam bentuk
undang-undang atau pun bentuk pengaturan yang difasilitasi
oleh otoritas yang kompeten.
Beberapa ketentuan mengenai surat-surat berharga
mengenai cek misalnya yang tertuang dalam Wetboek
van Koophandel yang berlaku di Hindia Belanda sempat
mengalami perubahan dan penambahan. Revisi tersebut
dituangkan kembali dalam Wetboek tadi dengan cara
menambahkan sub-sub pada pasal-pasal yang dipandang
perlu penambahan. Perlu dicatat, revisi dilakukan untuk
menanggapi perkembangan dan itu terjadi pada 1937 oleh
pembuat undang-undang pada zaman kolonial dahulu.
Setelah kemerdekaan RI sesungguhnya terdapat banyak perubahan atau perkembangan yang signifikan dalam dunia perniagaan. Hanya saja pihak-pihak yang berwenang
dalam pembuatan undang-undang tidak menanggapinya dengan membuat kodifikasi hukum dagang baru untuk
44
menggantikan WvK yang berusia lebih dari seabad,
melainkan menuangkannya dalam wadah hukum berupa
undang-undang.
Berikut ini disajikan daftar undang-undang yang
mengatur bidang perdagangan berdasarkan urutan tahun
pengundangannya dalam bentuk tabel :
No KUHD Perundang-Undang Baru Keterangan
1 Pasal 54
tentang
sistem hak
suara terbatas
pemegang
saham
Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1971
tentang Perubahan dan
Penambahan terhadap
Pasal 54 Kitab Undang-
undang Hukum Dagang
(Stb. 1847 No.23),
Terdapat
perubahan a.l:
prinsip one share
one vote
2 Bab IX tentang
asuransi atau
pertanggungan
pada umumnya
Undang-undang Nomor
2 Tahun 1992 tentang
Usaha Perasuransian yang
diganti dengan Undang
Nomor 40 Tahun 2014
tentang Perasuransian.
Masih perlu
ditelusuri
apakah undang-
undang yang
baru tersebut
menggantikan
seluruh ketentuan
Bab IX KUHD
tentang asuransi.
3 Buku II tentang
hak-hak dan
kewajiban-
kewajiban
yang terbit dari
pelayaran
Undang-Undang Nomor
21 Tahun 1992 tentang
Pelayaran diganti dengan
Undang-undang Nomor
17 Tahun 2008 tentang
Pelayaran.
persoalan sama
dengan yang di
atas
4 Pasal 36 sampai
dengan Pasal 56
4. Undang-undang Nomor
1 Tahun 1995 yang
digantikan denga Undang-
undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Persereroan
Terbatas
Seluruh ketentuan
tentang naamloose
vennootschap yang
berjumlah 21
pasal dinyatakan
tidak berlaku.
45
5 Bab VI tentang
surat – wesel
dan surat
order, Bab. VII
tentang cek,
tentang promes
dan tentang
kwitansi kepada
pembawa (aan
toonder)
-Surat Edaran Bank
Indonesia (SEBI) No.
4/670/UPPB/Pb B perihal
Bilyet Giro
- Bilyet Giro
tidak ada
pengaturannya
dalam KUHD,
tetapi diatur
dalam SEBI
- TRaveller’
Cheque tidak
diatur baik
dalam KUHD
maupun di luar
KUHD
Tabel sederhana tersebut memperlihatkan bahwa
sesungguhnya hukum dagang itu mengalami perkembangan
yang cukup pesat. Perkembangan itu mengandung pengertian
pada satu sisi ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-
undang Hukum Dagang tidak memadai lagi, dan pada sisi lain
otoritas tidak memiliki kapasitas untuk mengakomodasikan
berbagai aspirasi perniagaan yang berkembang dalam wadah kodifikasi hukum dagang yang baru.Politik hukum dalam rangka pembinaan hukum
nasional tampaknya lebih cenderung menuangkan produk-
produk hukum baru yang dihasilkan dalam wadah undang-
undang. Oleh karena itu patut kiranya dipahami bahwa
merancang, menyusun dan mengundangkan undang-undang itu lebih dapat diwujudkan dibandingkan dengan kodifikasi yang menyeluruh.
46
47
BAB II
ASPEK HUKUM
PEMBUKUAN
Perihal pembukuan dalam dunia ekonomi khususnya
perusahaan yang tunduk pada sistem akuntansi tidaklah
merupakan barang yang asing. Bagi perusahaan, pembukuan
sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari entitas
yang disebut dengan perusahaan. Oleh karena itu setiap
perusahaan sedapat mungkin menyelenggarakan pembukuan
baik secara sederhana maupun melalui divisi yang secara
khusus dibentuk untuk itu. Namun demikian bagi kalangan
hukum setidak-tidaknya masih dibutuhkan penjelasan
berkenaan dengan pembukuan tersebut.
Sesuatu hal yang sudah jelas, kewajiban
menyelenggarakan pembukuan bagi hukum bukanlah
mengada-ada. Bagi setiap orang yang menjalankan
perusahaan, menyelenggarakan pembukuan merupakan
kewajiban hukum atau sesuatu yang diamanatkan oleh
hukum dan dapat menimbulkan akibat hukum apabila tidak
dilaksanakan. Seperti halnya suatu hutang yang menimbulkan
tanggung jawab hukum untuk melunasinya. Syarat yang paling
48
karakteristik bagi kewajiban hukum adalah adanya norma
atau aturan hukum yang menjadi dasarnya.
Di dalam Wetboek van Koophandel (WvK S. 1938.276)
atau Kitab Undang-undang Hukum Dagang 5 ketentuan yang berkenaan dengan pembukuan. Dalam kodifikasi tersebut sebenarnya tidak dipergunakan istilah “pembukuan”,
melainkan “catatan-catatan”. Hal ini dapat disimak dari
ketentuan Pasal 6 yang terdiri dari tiga (3) paragraph sebagai
berikut ;
“Setiap orang yang menjalankan perusahaan diwajibkan
untuk menyelenggarakan catatan-catatan menurut syarat-
syarat perusahaannya tentang keadaan hartanya dan tentang
segala sesuatu yang berhubungan dengan perusahaannya,
dengan cara yang sedemikian sehingga dari catatan-catatan
yang diselenggarakan itu sewaktu-waktu dapat diketahui
semua hak dan kewajibannya”.
“Ia diwajibkan pula dari tahun ke tahun, dalam waktu enam
bulan yang pertama dari tiap-tiap tahunnya, membuat dan
menandatangani dengan tangan sendiri, akan sebuah neraca
tersusun sesuai dengan kebutuhan perusahaan itu”.
“Iapun diharuskan menyimpan selama tiga puluh tahun, akan
segala buku-buku dan surat-surat yang bersangkutan, dalam
mana menurut ayat kesatu catatan-catatan tadi dibuatnya
beserta neracanya, dan selama sepuluh tahun akan surat-
surat dan surat-surat kawat yang diterimanya beserta segala
tembusan dari surat-surat dan surat-surat kawat yang
dikirimkannya”.
49
Dari paragraph yang pertama dapat diketahui ruang
lingkup dan tujuan penyelenggaraan “catatan-catatan”
yang diwajibkan itu. Ruang lingkupnya terdiri dari dua
hal pokok, pertama, keadaan harta kekayaan, dan kedua,
segala sesuatu yang berhubungan dengan perusahaannya.
Pokok yang pertama pada dasarnya dapat dipahami sesuai
makna kalimatnya, sedangkan pokok yang kedua hendaknya
dikaitkan dengan tujuan penyelenggaraan catatan-
catatan sebagai sumber informasi tentang segala hak dan
kewajibannya. Dengan demikian “segala sesuatu yang
berhubungan dengan perusahaannya” dapat mengandung
pengertian sebagai pencatatan segala hal yang dapat
memberikan informasi mengenai posisi dan kapasitas yang
merupakan dasar pengambilan keputusan yang bermanfaat
bagi semua pihak.
Dalam Bahasa ekonomi khusus akuntansi, istilah
“catatan-catatan” dengan penjelasan sesuai berdasarkan
paragraph pertama Pasal 6 KUHD itu pada dasarnya dapat
disetarakan dengan “pembukuan” yang menurut Pasal 1
angka 29 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang
Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nonor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan adalah
suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur
untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang
meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya,
serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau
jasa, yang ditutup dengan menyusun laporang keuangan
berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun
Pajak tersebut.
50
Perlu dipahamkan bahwa setiap orang yang
menjalankan perusahaan dan badan perusahaannya
sendiri pada dasarnya adalah wajib pajak. Oleh karena itu
harus tunduk pada berlakunya undang-undang di bidang
perpajakan termasuk ketentuan-ketentuannya yang
sesungguhnya sudah mengubah salah satu unsur dari
paragraph pertama Pasal 6 KUHD. Berkaitan dengan urusan
perpajakan, “Penyelenggaraan catatan-catatan menurut
syarat-syarat perusahaannya” harus disesuaikan dengan
Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007.
Dengan demikian, pendapat bahwa bentuk catatan-
catatan itu sama sekali bebas; dapat dipakai buku-buku,
tetapi juga pemegangan–buku itu dapat dibuat dalam bentuk
lain….terserah pada hakim untuk memakai catatan-catatan
itu sebagai tanda bukti, bahkan untuk menguntungkan
orang yang membuat catatan-catatan itu26, kiranya perlu
disesuaikan dengan kondisi hukum yang sudah berubah
seperti tertuang dalam Undang-undang bidang perpajakan
tersebut.
Demikian pula halnya dengan pernyataan bahwa
“KUHD tidak menyebut istilah “tatabuku”, melainkan
“membuat catatan-catatan”. Dari kata-kata ini teranglah,
bahwa tidak ada keharusan untuk memakai suatu cara
tatabuku, akan tetapi satu sama lain harus dicatat, dan
dengan demikian dipenuhi semua kewajiban yang ditetapkan
itu”27, perlu juga disesuaikan dengan perubahan kondisi yang
terjadi.
26 M.H. Tirta Amidjaja, 1956, Pokok-Pokok Hukum Perniagaan. Penerbit Jambatan, Jakarta.
Hal. 72-73
27 K.R.M.T. Tirtodiningrat, 1963. IKhtisar Hukum Perdata dan Hukum Dagang. Penerbit PT.
Pembangunan, Jakarta. Hal. 115
51
Pendapat yang disampaikan pada rata-rata lebih
dari setengah abad yang silam itu sudah tentu mengandung
validitas yang sangat tinggi pada masanya. Selebihnya sudah
tentu pula memperlihatkan beberapa ketidaksesuaian
apabila diukur dengan kondisi yang ada pada zaman sekarang
yang semakin penuh dengan undang-undang yang bersifat
khusus. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 merupakan
produk hukum yang bersifat khusus (lex specialis) yang
dapat “menderogasi” undang-undang yang lebih umum (lex
generali).
Di samping itu perkembangan dalam keilmuan hukum
juga dapat menjelaskan bahwa KUHD yang diundangkan pada
1938 (Staatsblad (S). No.276) belum memperoleh pengaruh
dari the economic analysis of law atau the economic approach
to law yang baru muncul lebih dari satu abad kemudian. Dari
aspek konsepnya dapat diuraikan bahwa pendekatan ini
memang mengintroduksi dan mengkaryakan konsep-konsep
ekonomi dalam pemahaman serta praktek hukum.
Berkenaan dengan pembukuan yang merupakan bagian
yang sangat melekat dari akuntansi terdapat pandangan yang
mengemukakan….in order for economic choices to be made
intelligently, people need reliable information about costs and
values. In the context of business organizations, accounting
standards and practices have been developed to help provide
such information. In fact, onelegal scholar has noted that “(e)
ach stage in the development of business associations has been
associated with a new level of accounting sophistication.28
28 Detlev F. Vagt, 1972. Law and Accounting in Business Association. In International
Encyclopedia of Comparative Law. (Vol.XIII Ch.12A) at page 4 seperti dikutip John W.
Head, 1996. A General Introduction of Economic Law. ELIPS Project. Hal. 123.
52
Bertumpu pada pandangan tersebut dapatlah dikemukakan,
ternyata akuntansi merupakan sumber informasi yang sangat
dibutuhkan baik oleh konsumen mau pun produsen dan
masyarakat pada umumnya. Melalui akuntansi dapat
diperoleh informasi yang dapat dipertanggungjawabkan
berkenaan dengan ongkos dan apresiasi yang diberikan
terhadap suatu barang dan atau jasa karena manfaat dan
kesesuaiannya dengan kebutuhan (values).
Di samping itu akuntansi juga menyediakan informasi
tentang laba dan rugi bahkan kebangkrutan suatu perseroan.
Informasi tentang laba, rugi dan bangkrut adalah merupakan
sebagian dari informasi yang dihasilkan dari suatu sistem
akuntansi29. Informasi demikian sangat bermanfaat baik bagi
pihak perseroan sendiri untuk Berkenaan dengan perseroan
terbatas yang sudah goes public memang diwajibkan secara
berkala untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan
maupun masyarakat terutama yang memiliki hubungan
kontraktual atau pun yang akan menanamkan modalnya
pada perseroan tersebut.
Akuntansi merupakan sebuah sistem informasi
yang menyediakan laporan-laporan bagi para pemangku
kepentingan (stake holders) mengenai aktivitas ekonomi
dan kondisi sebuah entitas perusahaan…. Akuntansi
dipergunakan untuk mencatat dan menafsirkan data
ekonomi agar dapat dimanfaatkan oleh pihak perusahaan,
investor, calon investor, pemerintah dan lembaga lainnya
untuk pengambilan suatu keputusan.30
29 Sugiarto, 2011. Pengantar Akuntansi. Penerbit Universitas Terbuka. Jakarta. Hal. 1.3
30 Ibid.
53
Berikut ini disajikan beberapa contoh kutipan Laporan
Keuangan Perusahaan Terbuka (Tbk) sebagai sumber
informasi bagi para pemangku kepentingan yang dari Wadiyo31
sebagai berikut :
Balance Sheet atau neraca salso pada dasarnya
merupakan suatu daftar (yang meliputi jangka waktu
tertentu) yang memuat aktiva dan pasiva sebuah organisasi.
Apabila terdapat perbedaan antara keduanya maka
perbedaan tersebut dinamakan nilai bersih.32 Neraca ini
merupakan daftar aktiva pasiva perseroan yang akan going
public. Jadi harus dapat memberikan memberikan informasi 31 Wadiyo, 2019. 10 Contoh Laporan Keuangan Perusahaan Tbk (Terbuka) Yang Sudah
Diaudit. https://manajemenkeuangan.net . 10/26/2019, 9:34
32 Winardi, Op.cit. hal. 24
54
keuangan yang bagus dan valid. Informasi keuangan yang
bagus dapat dibuat (-buat), tetapi informasi yang valid harus
dibuat berdasarkan kondisi yang sebenarnya. Oleh karena itu
harus disusun oleh professional dan dipertanggungjawabkan
oleh pemiliknya.
Sehubungan dengan tujuan go public dan agar dapat
memberikan prospek yang meyakinkan, dipersyaratkan
kondisi keuangan yang dilaporkan itu meliputi keadaan
dalam 5 tahun terakhir. Dari balance sheet yang dikutip
tersebut dapatlah disimak tentang perkembangan total
asset, total liabilities, dan total equity. Kecuali total liabilities
yang mengalami penurunan, komponen-komponen lainnya
mengalami kenaikan.
Disamping “neraca saldo”
(balance sheet), maka dalam rangka emisi saham di bursa
efek perseroan emiten juga dipersyaratkan
menginformasikan income statement atau neraca rugi – laba
dalam 5 tahun terakhir. Berikut ini disajikan contoh
neraca rugi – laba sebagai dasar untuk m e n g h i t u n g
kerugian dan keuntungan perusahaan.
Data tersebut menyajikan laporan tentang laba perusahaan yang bersifat fluktuatif (turun-naik) seperti gelombang di samudra. Namun demikian, laporan laba –
rugi berfungsi sebagai dasar untuk membuat ikhtisar dan
beban suatu perusahaan dalam periode waktu tertentu.
55
Dari laporan tersebut dapat dihitung laba – rugi yang
dialami suatu perusahaan. Pihak yang berkepentingan dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan perusahaan memperoleh laba dan sebaliknya mengalami
kerugian. Laporan tersebut juga berfungsi sebagai sumber
informasi yang dipergunakan untuk menilai kapasitas perusahaan meraih keuntungan, dan untuk mengidentifikasi sumber-sumber yang menghasilkan pendapatan.33
Dari beberapa contoh bentuk laporan keuangan yang
telah disajikan, ternyata tidak satu pun ada yang menyajikan
tentang kerugian yang dialami perusahaan. Bahkan pada
income statement atau laporan rugi – laba sekali pun,
kerugian tersebut tidak kelihatan. Sebagai laporan yang
juga dimaksudkan untuk konsumsi publik sudah sewajarnya
memuat segala sesuatunya sesuai dengan kenyataan.
Informasi yang disediakan oleh sistem akuntasi tidak
hanya dibutuhkan dan bermanfaat bagi manajemen, akan
tetapi juga diperlukan oleh pemegang saham, pemerintah,
kreditur, supplier dan masyarakat umum yang memiliki
(akan) kepentingan terhadap perseroan. Oleh karena itu
sistem akuntasi dituntut untuk dapat memberikan informasi
yang lengkap, akurat dan jujur. Sehubungan dengan itu akan
bermanfaat sekali apabila bentuk laporan rugi – laba yang
telah disajikan itu diperbandingkan dengan laporan sejenis
sebagai berikut ;
33 Sugiarto, Op.cit. hal. 1.30
56
Bentuk laporan keuangan ini lebih mudah dipahami
di samping karena mempergunakan Bahasa Indonesia, juga
karena struktur atau formatnya yang menempatkan total dan
sub-sub total sedemikian rupa sehingga hasil akhir berupa
selisih dapat diketahui dalam waktu relatif lebih cepat dan
tidak tertutup kemungkinannya bahwa bentuk yang terakhir
ini lebih familiar. Namun demikian sesungguh bentuk ini
dapat menjelaskan ada atau tidaknya kerugian yang dialami
oleh perusahaan. Kerugian dalam pengertian jumlah
pengeluaran yang lebih besar daripada pendapatan pada
dasarnya dapat diketahui dengan menyimak laporan rugi –
laba tersebut. Apabila terjadi kerugian maka hal itu harus
dilaporkan pada pos beban yang sifatnya mengurangi laba.
Apabila demikian, dapat terjadi suatu perusahaan akan
mengalami kerugian sekalian juga keuntungan. Sepanjang
kerugian tersebut tidak melampaui pendapatan, perusahaan
57
tetap harus dilaporkan memperoleh laba seberapa pun
jumlahnya.
Sebagai tambahan pengetahuan, pada bagian
berikutnya akan diketengahkan persoalan yang pernah
menimpa Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Seperti
diberitakan oleh sebuah media online,34 Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) Sulawesi Selatan menganggap bahwa
pemprov telah menghilangkan asset pemerintah pada
Hotel Imperial Aryadutha. Sebagaimana telah dimaklumi
sebelumnya Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan memang
memiliki sejumlah saham pada perseroan terbatas hotel
tersebut. Akan tetapi bagaimana menjelaskan ihwalnya
sampai terjadi kehilangan saham. Apakah saham hotel itu
seperti tamu hotel terutama yang merupakan wisatawan
asing yang sering menghilang seketika bersamaan dengan
terjadinya bencana yang melanda negara yang dikunjunginya.
Saham pada dasarnya merupakan benda yang
berbentuk surat – sampai saat ini belum ada saham
elektronik atau saham digital – yang diberikan sebagai
tanda penyertaan modal dalam suatu perseroan atau
bukti pemilikan saham (Pasal 51) . Secara yuridis, saham
dikelompokkan sebagai benda bergerak yang dapat
dikeluarkan dan dipindahtangankan menurut aturan yang
berlaku. Penjelasan Pasal 48 Undang-undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyatakan bahwa
saham hanya dapat dikeluarkan atas nama pemiliknya,
perseroan tidak diperkenankan mengeluarkan saham atas
tunjuk.
34 Pemprov Bantah Kehilangan Saham Hotel Imperial Aryadutha. https://makassar.
antaranews.com 27 Januari 2009. 28/10/2019. 13.20
58
Pasal 55 Undang-Undang Perseroan Terbatas
menentukan dalam anggaran dasar perseroan ditentukan
cara pemindahan hak atas saham sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan, dan Pasal 56 menegaskan
bahwa pemindahan hak atas saham dilakukan dengan
akta pemindahan hak. Sebelumnya Pasal 50 menentukan
direksi perseroan wajib mengadakan dan menyimpan
daftar pemegang saham, yang memuat sekurang-kurangnya;
a. nama dan alamat pemegang saham, b. jumlah, nomor, tanggal perolehan, klasifikasi saham, c. jumlah yang disetor atas setiap saham, d. nama dan alamat perserorangan atau badan hukum penerima jaminan fiducia dan gadai, dan e. keterangan penyetoran saham dalam bentuk lain.
Ketentuan-ketentuan tersebut pada pokoknya
memperlihatkan bahwa saham merupakan benda yang
relatif aman untuk dimiliki, terutama aman dari kehilangan
dalam pengertian sesuatu yang pada awalnya ada lantas tiba-
tiba menjadi tidak ada. Pengaturan mekanisme pemilikan,
pendaftaran dan pemindahan ha katas saham yang efektif dan efisien tersebut tidak memberikan kemungkinan kepada siapa pun yang sekonyong-konyong mengaku sebagai
pemilik – pemegang saham tanpa melalui tatacara yang
telah ditentukan berdasarkan Undang-Undang Perseroan
Terbatas. Lantas apa yang dimaksudkan dengan “kehilangan
saham”.
Sehubungan dengan persoalan tersebut Direktur
Perusahaan Daerah Sulawesi Selatan menjelaskan; “saham
Pemprov berupa tanah seluas 4.655 meter persegi telah
diubah menjadi saham murni dan dimasukkan dalam
59
Holding Company Lippo Karawaci….nilai saham Pemprov
saat ini berada pada posisi 0,08% atau Rp. 10 milyar lebih
– mengalami penurunan -, penurunan itu dipengaruhi
lambannya pemprov melakukan penambahan nilai aset pada
saat hotel tersebut mengalami pengalihan saham….pada saat
pemilik saham lainnya mempengaruhi perilaku menyuntik
tambahan saham, secara otomatis saham pemprov mengalami
penyusutan…35
Penjelasan pejabat tersebut tampaknya dapat
meredam kebingungan kendati pun sementara. Kejadian yang
sebenarnya bukanlah “kehilangan saham” dalam pengertian
pada awalnya menjadi pemegang saham lantas tidak menjadi
pemegang saham karena sahamnya sudah tidak ada lagi,
melainkan berkurangnya jumlah saham yang dimiliki, dan
ini mempengaruhi posisi dalam struktur pemilikan saham
perseroan. Awalnya menempati posisi 10 % yang layak
menyandang predikat sebagai pemegang saham minoritas,
akhirnya menjadi di bawah 1 % atau (kalau ada konsepnya)
minoritas mutlak.
Berkurangnya jumlah saham yang dimiliki tidak
sama pengertiannya dengan “penyusutan” dalam sistem
akuntansi. Dalam pengertian ini penyusutan atau depresiasi
pada intinya merupakan alokasi sistematis jumlah yang
dapat disusutkan dari suatu aset selama umur manfaatnya.36
Aspek yang paling karakteristik dari penyusutan adalah
pengkaitannya dengan umur manfaat dari benda yang hendak
dhitung penyusutannya. Adakah terhadap saham perseroan
juga dapat dilekatkan aspek umur manfaat.
35 https://makassar.antaranews.com 27 Januari 2009. 28/10/2019. 13.20. Loc.cit.
36 Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 16 Tahun 2009. Ikatan Akuntan Indonesia.
60
Dalam perseroan terbatas yang merupakan
asosiasi modal memang diperkenankan dilakukannya
baik penambahan modal maupun pengurangan modal.
Perihal penambahan modal diatur mulai dari Pasal 41
hingga 43, sedangkan pengurangan modal mulai Pasal 44
sampai dengan 47. Berdasarkan Undang-undang Perseroan
Terbatas, penambahan modal dan pengurangan modal harus
dilakukan berdasarkan persetujuan Rapat Umum Pemagang
Saham (RUPS) dengan memperhatikan persyaratan kuorum
dan jumlah setuju untuk perubahan anggaran dasar. Baik
penambahan maupun pengurangan modal yang mempengaruhi
struktur modal perseroan secara akuntansi harus dituangkan
dalam suatu laporan. Berikut ini akan disajikan contoh
laporan perubahan modal sebagai berikut :
Pada kesempatan ini hanya dikutipakan satu
contoh saja dari contoh-contoh lain yang jumlah sangat
banyak dengan format yang berbeda. Sehubungan dengan
pembukuan dalam hukum dagang, tampaknya pandangan
61
Prof. Head ….berkenaan dengan cara permasalahan keuangan
direkam dan cara aset dinilai sangat diperlukan adanya
keseragaman sehingga keputusan bisnis dapat dibuat dengan
cerdas,37 dibutuhkan campur tangan “eksternal” selainkan
menyerahkan kepada profesionalisme dunia usaha.
37 John W. Head. Op.cit. hal. 122….accounting and capitalism have developed hand in hand.
As trading houses and banking organizations in Europe started attracting outside investors
several outside investors several centuries ago, those outsiders demanded reliable
information about the businesses they were investing in. an early treatise on accounting
written in Italy in 1494 thus shows some of the emphasis then being placed on uniformity
of treatment – that is, uniformity in the way financial matters were recorded and they way assets were valued, so that business decisions could be made intelligently.
62
63
BAB III
AGREGAT PERDAGANGAN DAN JUAL BELI PERUSAHAAN
1. Agregat Perdagangan
Berkenaan dengan topik yang hendak diuraikan ini,
kepustakaan-kepusatakaan hukum dagang mempergunakan
konsep yang berbeda-beda. Prof. Soekardono38 dalam bukunya
yang berjudul “Hukum Dagang Indonesia” mempergunakan
konsep “urusan perniagaan” yang berarti keseluruhannya
atau kesemuanya yang termasuk dalam perusahaan yang
tertentu; kesemuanya itu adalah untuk memudahkan
atau melancarkan terwujudanya niat mendapatkan laba,
ialah sebuah unsur mutlak bagi pengertian perushaan..
H.M.N. Purwosutjipto39 mempergunakan konsep “urusan
perusahaan” yang meliputi segala macam urusan, baik yang
bersifat materiil maupun immaterial, yang termasuk dalam
lingkungan perusahaan….Urusan perusahaan adalah segala
sesuatu yang berwujud benda maupun yang bukan benda,
yang termasuk dalam lingkungan perusahaan tertentu,
misalnya: gedung-gedung, mebel, alat-alat kantor, mesin-
38 Soekardono, Op.cit. hal. 31
39 H.M.N. Purwosutjipto, 1984. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia. 1. Pengetahuan
dasar hukum dagang. Penerbit Djambatan, Jakarta. Hal. 22
64
mesin, buku-buku, barang-barang dagangan, piutang, nama
perusahaan, merek, paten, goodwill, utang, relasi, langganan,
rahasia perusahaan dan lain-lain.
Achmad Ichsan40 mempergunakan konsep “objek
dagang” dan mengakuinya bahwa ada yang menerjemahkan
konsep tersebut dengan perkara perdagangan atau
benda perdagangan. Semuanya meliputi hal-hal yang
dapat merupakan objek badan-badan usaha perdagangan
dan badan-badan usaha perekonomian pada umumnya
dan dalam praktek mempunyai pengertian yang sangat
kompeks….umpama dalam kalimat “kita menjalankan suatu
usaha perdagangan yang mempunyai objek dagang” atau
“kita mengoper suatu objek dagang” atau pula “kita merobah
objek dagang kita dalam bentuk baru” dan sebagainya….
Urusan perniagaan, urusan perusahaan, objek dagang
dan terdapat lagi satu istilah yang diberikan oleh Komisi
istilah Bahasa Indonesia Bagian Ilmu Hukum Departemen
P dan K yang dituangkan dalam Buku Istilah Hukum yang
diterbitkan pada 17 April 1955 yaitu “warisan dagang”41,
pada dasarnya merupakan istilah-istilah yang dimaksudkan
sebagai padanan dari istilah handelszaak dalam Bahasa
Belanda.
Sebuah sumber bahan hukum tertier pada pokoknya
mengemukakan bahwa handelszaak memiliki dua
pengertian, pertama, affaire dan kedua, rechtsbetrekking,
welke voortvloeit uit een daad van koophandel of welke de
40 Achmad Ichsan, 1984. Hukum Dagang, Lembaga Perserikatan, Surat-Surat Berharga,
Aturan-Aturan Angkutan. Pradnya Paramita, Jakarta. Hal. 76
41 H.M.N. Purwosutjipto, Op.cit. hal. 23
65
wet uitdrukkelijk als handelszaak (zaak van koophandel)
aanduidt.42 Pengertian utama dari handelszaak mengacu
pada konsep hal, perkara, urusan atau Business dalam
Bahasa Inggris. Pengertian berikutnya merujuk pada konsep
hubungan hukum terutama yang didasarkan pada aturan-
aturan hukum bidang perdagangan atau yang ditetapkan
sebagai bisnis.
Konsep bisnis atau business sendiri mengandung
pengertian yang mencakup….employment, occupation,
profession, or commercial activity engaged in for gain or
livelihood. Activity or enterprise for gain, benefit, advantage or livelihood. Dengan demikian dapatlah dikemukakan,
dalam konsep handelszaak juga terdapat unsur pekerjaan,
kedudukan, profesi atau kegiatan komersial untuk
memperoleh keuntungan, manfaat atau mata pencaharian.
Makna secara keseluruhan yang dapat dipetik dari
uraian ringkas mengenai handelszaak pada pokoknya
adalah bahwa dalam konsep tersebut terkandung aspek-
aspek gedung-gedung, mebel, alat-alat kantor, mesin-
mesin, buku-buku, barang-barang dagangan, piutang, nama
perusahaan, merek, paten, goodwill, utang, relasi, langganan,
rahasia perusahaan dan aspek-aspek lain-lain baik materiil
maupun immaterial. Namun demikian dan mengingat
kegiatan perdagangan itu tidak semata-mata dilakukan oleh
perusahaan saja, maka pemadanan handelszaak dengan
“urusan perusahaan” menjadi agak risikan. Pun apabila
dipadankan dengan “urusan perniagaan” dan “objek dagang”.
42 Wat is de betekenis van Handelszaak. De Oosthoek is een Nederlandse Encyclophedia.
https://www.ensie.nl.
66
Handelszaak pada intinya tidak semata-mata merupakan
“urusan” yang lebih berkonotasi sebagai kegiatan.
Dalam handelszaak terdapat juga unsur benda
berwujud yang kasat mata. Demikian juga halnya dengan
konsep “objek” yang dapat mengarahkan pemahaman
ke arah hal-hal yang berkenaan dengan apa yang dapat
diperdagangkan. Oleh karena itu dalam kerajinan tangan ini
diketengahkan satu konsep baru yaitu “Agregat Perdagangan”.
Konsep aggregat pada pokoknya diambil dari khasanah ilmu
teknik, khususnya teknik sipil. Dalam ranah ini, konsep
agregat dipergunakan untuk mengkomunikasikan campuran
berbagai material yang terdiri dari butiran-butiran kecil
(granular) misalnya pasir, kerikil, batu pecah, dan lain-lain
yang dipakai secara bersama-sama dengan suatu media
pengikat seperti semen….aggregat ; entire number, sum,
mass, or quantity of something; total amount; complete
whole. One provision under will may be the aggregate if
there are no more units to fall into that class. Composed
of several; consisting of many persons united together; a
combined whole.43 Konsep agregat kiranya lebih tepat untuk
menggambarkan sistem perdagangan dan juga perusahaan
yang terdiri dari berbagai komponen yang bergabung,
menyatu dan bekerjasama secara saling mendukung. Oleh
karena itu dalam konsep agregat perdagangan dapat meliputi
aset, kegiatan dan sifat atau karakter baik yang berwujud
maupun tidak berwujud dalam satu kesatuan yang lengkap.
Dengan demikian dapat dikemukakan, agregat
perdagangan tersebut meliputi cakupan komponen yang
43 Henry Campbell Black, Op.cit. hal. 328.
67
relatif luas; bangunan fisik berupa gedung perkantoran, bangunan pabrik, mesin-mesin, lahan usaha, ragam furnitur,
dokumen-dokumen, barang-barang dagangan, piutang, nama
perusahaan, merek, paten, goodwill, utang, relasi, langganan,
rahasia perusahaan, perizinan, dan lain-lainya yang
bergabung, menyatu dan bekerjasama hingga perusahaan
dan perdagangan berlangsung. Berdasarkan pertimbangan
bahwa komponen-komponen seperti nama
perusahaan, merek, dan paten pada satu sisi sudah menjadi
subyek bahasan yang mandiri dan pada sisi lain sudah banyak
yang membahasnya, maka uraian selanjutnya berkenaan
dengan agregat perdagangan akan difokuskan pada
komponen dagangan, rahasia perusahaan, dan goodwill. yang
masing-masing mengandung relevansi dengan kondisi dan
perkembangan dunia perdaganga.
a. Dagangan dan Nama Perusahaan
Di antara uraian-uraian pada halaman terdahulu
sesungguhnya sudah disampaikan secara samar perihal siapa
saja yang dapat menjadi subyek hukum dalam hubungan
perdagangan. Mereka pada umumnya adalah orang dan
badan hukum. Pengertian orang dalam hal ini meliputi homo
sapien-manusia-human being dan bentuk-bentuk usaha yang
tidak berbadan hukum. Bagaimana halnya dengan negara dan
badan hukum publik lainnya. Berkenaan dengan persoalan
tersebut sebaiknya terlebih dahulu dipahami bahwa negara
dan badan hukum publik pada umumnya memang dapat
menjadi subyek hukum yang mandiri. Secara umum pula
68
dikemukakan dalam hal menjadi para pihak dalam suatu
perjanjian komersial yang termasuk dalam ruang lingkup
hukum perdata, maka negara dikemukakan tunduk pada
hukum perdata.
Namun demikian hal ini tidak dapat secara serta
merta disamaratakan begitu saja. Tidak pada setiap
negara memasuki transasksi yang bersifat komersial lantas
dinyatakan tunduk pada hukum keperperdataan sepenuhnya.
Sejalan juga dengan perkembangan bidang-bidang hukum
lain, terdapat poin-poin dimana hukum keperdataan dalam
pengertiannya yang murni tidak berlaku lagi. Pada poin-poin
yang dimaksudkan itu diberlakukan bidang hukum yang
khusus. Bidang-bidang hukum khusus tersebut seolah-olah
tidak mau melepaskan obyeknya, melainkan mencengkram
dengan kekuatan yang didasarkan pada produk hukum yang
kuat pula.
Fenomena tersebut tampak sehubungan misalnya
dengan adanya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan
pengadaan barang dan jasa pemerintah. Ketentuan-
ketentuan hukum yang dipergunakan untuk mendirikan
badan usaha dan pengadaan barang/jasa pemerintah
itu merupakan norma-norma hukum yang secara khusus
dibentuk dan berbeda dengan yang diterapkan untuk
perusahaan dan pengadaan barang pada umumnya. BUMN
terdiri dari Perusahaan Perseroan atau yang disingkat
dengan PT (Persero) dan Perusahaan Umum (Perum). Dalam
hal BUMN itu berbentuk PT (Persero) sesungguhnya bentuk
ini setara dengan perseroan terbatas yang didirikan swasta
69
pada umumnya. Akan tetapi pemegang saham pada PT
(Perseroan) adalah pemerintah yang diwakili oleh menteri
dengan pemilikan seluruh atau setidak-tidaknya sebagian
besar saham.
PT swasta didirikan, dimiliki dan dijalankan
berdasarkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas yang berlaku juga untuk para investor
asing yang diwajibkan mendirikan perusahaan berbadan
hukum Indonesia apabila menanamkan modalnya di
Indonesia. Sementara itu PT (Persero) didirikan berdasarkan
Peraturan Pemerintah yang dibuat khusus untuk itu dan
mengacu pada Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003
tentang Badan Usaha Milik Negara.
Fenomena tersebut juga tampak pengadaan barang/
jasa pemerintah yang merupakan kegiatan yang dilakukan
oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat
Daerah/Institusi dengan tujuan untuk memperoleh barang/
jasa yang prosesnya mulai dari perencanaan kebutuhan
sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh
barang/jasa tersebut.
Di samping Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja
Perangkat Daerah/Institusi, terdapat banyak pihak yang
terlibat dalam kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah.
Ada pun pihak-pihak yang dimaksudkan itu adalah Pengguna
Barang/Jasa, Pengguna Anggaran, Kuasa Pengguna Anggaran,
Pejabat Pembuat Komitmen, Unit Layanan Pengadaan,
Pejabat Pengadaan.
Mengingat pihak yang membutuhkan barang/jasa
70
tidak selalu dapat membuat dana atau menyediakan sendiri
barang/jasa yang dibutuhkan, maka selain adanya pihak
pengguna, dapat dipastikan juga harus ada “Penyedia Barang/
Jasa baik yang merupakan badan usaha maupun orangh
perseorangan yang menyediakan barang atau pekerjaan
konstruksi atau jasa konsultasi atau jasa lainnya.
Dalam rangka pelaksanaan pengadaan barang/jasa Pemerintah yang efektif dan efisien, maka Pemerintah telah pula mengupayakan aadanya infrastruktur pengadaan
barang/jasa Pemerintah seperti norma hukum yang
tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 54 Tahun
2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Perpres
tersebut telah mengalami proses penyempurnaan secara
berkelanjutan yang hingga kini sudah menginjak perubahan
yang keempat berdasarkan Perpres No. 4 Tahun 2015. Dalam
rangkaian Perpres ini antara lain ditetapkan pada pokoknya
bahwa pengadaan barang/jasa pemerintah dilakukan berdasarkan perjanjian yang figure hukum keperdataan yang harus tunduk pada Perpres yang dibuat oleh Pemerintah. Ini
butuh penjelasan hukum. Secara keseluruhan uraian ringkas
tadi memperlihatkan betapa kegiatan mendirikan, memiliki
dan menjalankan perusahaan tersebut sesungguhnya
merupakan kegiatan yang banyak diminati. Di samping
yang secara historis dirintis oleh orang-perserorangan atau
rakyat pada umumnya, dalam perkembangan tampaknya
juga semakin diminati oleh negara-pemerintah baik melalui
BUMN maupun penyertaan modal pada beberapa perusahaan
swasta.
71
Dalam sebuah press gathering, Marzuki Alie Ketua
DPR RI sampai dengan 2012 pernah mengemukakan, “kalau
mau baik, undang-undang Parpol harus kita ubah, parpol
boleh punya usaha, tetapi dikontrol secara terbuka….Parpol
juga harus melakukan pendidikan politik ke kadernya, yang
butuh dana tidak kecil. Jadi duitnya dari mana ?.... daripada
perkebunan diberikan kepada perusahaan asing, kenapa
tidak diberikan izin itu kepada parpol saja.44
Ide tersebut pada satu sisi sangat orisinal dalam
pengertian yang betul-betul merupakan cetusan pemikiran
yang brilian. Akan tetapi pada sisi lain patut disayangkan
tidak terdengar ada yang merespon dan belum sempat
dibahas dalam persidangan karena sang tokoh sudah tidak
lagi menjabat sebagai Ketua DPR RI. Bahkan kiprah politiknya
tidak terlacak lagi di partainya sekali pun.
Setelah subyek hukum perusahaan menjadi jelas
kini saatnya menguraikan tentang “dagangan” dalam
pengertian perihal apa saja yang dapat diperjual-belikan
atau diperdagangkan. Sehubungan dengan ini terkandung
kemungkinan bahwa konsep “obyek“ kiranya dapat diterima
relevansinya. Ketika mengemukakan “obyek perdagangan”
dapatlah ditangkap gambaran, yang dimaksudkan itu adalah
hal-hal yang dapat praktis. Diskursus hukum berkenaan
dengan “dagangan” pada dasarnya mengarah pada
persoalan mengenai apa saja yang dapat diperdagangkan
dan sebaliknya apa saja yang tidak boleh diperdagangkan.
Persoalan tersebut dapat diaplikasikan dalam contoh
perjanjian jual-beli; apa saja yang dapat dijual dan dibeli.
44 Putus Kasus Korupsi, Diusulkan Parpol Punya Usaha. Bali Post, 16-7-2012. Hal. 23
72
Untuk menjelaskan persoalan tersebut dilakukan analisis
dari aspek perjanjian yang melahirkan transaksi komersial.
Perjanjian atau kontrak komersial baik yang tertulis maupun lisan pada dasarnya merupakan figur hukum yang mewadahi setiap transaksi perdagangan. Tidak ada satu pun kegiatan
perdagangan yang terlepas dari jangkauan perjanjian. Hal
ini mengandung pengertian bahwa perdagangan itu tidak
terjadi secara sekonyong-konyong, melainkan dan dapat
dipastikan senantiasa didahului oleh suatu perjanjian. Oleh
karena itu dapatlah dipertimbangkan menemukan kejelasan
atas persoalan apa saja yang dapat diperdagangkan melalui
aspek perjanjian merupakan langkah yang tepat.
Persoalan apa saja yang dapat diperdagangkan
merupakan persoalan pembatasan terhadap “dagangan” dan
pembatasan terhadap perjanjian tercermin dari Pasal 1338
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang
pada pokoknya menentukan “semua persetujuan yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya”. Maknanya, ketentuan yang dikemukakan
mengandung “asas kebebasan berkontrak” itu dibatasi oleh
ketentuan mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian.
Ketentuan mengenai yang disebutkan terakhir itu
tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang pada intinya
meliputi; 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, 2.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, 3. Suatu hal
tertentu, 4. Suatu sebab yang halal. Dari syarat yang mana
persoalan apa saja yang dapat diperdagangkan itu dapat
diuraikan sehingga menjadi jelas.
73
Syarat yang dapat menjelaskan persoalan tersebut
tercermin pada syarat nomor 3 yaitu suatu hal tertentu. Syarat
ini mengandung makna bahwa yang diperjanjian dalam suatu
perjanjian haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup
jelas atau tertentu. Syarat ini perlu untuk dapat menetapkan
kewajiban dari si berpiutang jika ada perselisihan. Barang
yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus
dapat ditentukan jenisnya.45
Dalam Bahasa yang modern perihal apa saja yang
dapat diperdagangkan itu pada umumnya disebut dengan
komoditas. Menurut KBBI komoditas merupakan barang
dagangan utama, benda niaga (hasil bumi dan kerajinan),
bahan mentah yang dapat digolongkan menurut mutunya
sesuai dengan standar perdagangan internasional. Jadi istilah komoditas itu lebih berkonotasi fisik-nyata yang mengacu pada barang atau benda. Sementara itu dalam perkembangan
sekarang ini dunia perdagangan juga disibukkan dengan
pertukaran jasa.
Dapat dikemukakan genus (pengelompokkan –
dipinjam dari istilah dalam biologi) “dagangan” sesungguhnya
tidak mengalami perkembangan selain yang menyangkut
barang dan/atau jasa. Beranjak dari titik ini, genus barang
dapat dirinci lagi menjadi barang bergerak-tidak bergerak,
barang berwujud-tidak berwujud, barang yang sudah ada-
yang akan ad, dan lain-lain. Sebaliknya spesies “dagangan”
mengalami perkembangan yang sangat beragam dan
cepat.
45 R. Subekti, 1977. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Intermasa, Jakarta. Hal. 113.
74
Keragaman tersebut pada akhirnya menjadi dasar
untuk mengemukakan spesies “dagangan” itu tidak
perlu dirinci. Berkenaan dengan upaya mengetahui dan
menentukan legalitas dagangan, maka sudah cukuplah
apabila terdapat norma hukum yang menentukan kewajiban
melaksanakan perizinan dalam perdagangan. Di samping itu
harus pula dipatuhi ketentuan-ketentuan bahwa dagangan
dan cara memperdagangkannya tidak bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan-kepatutan, dan ketertiban
umum.
Mengakhiri uraian berkenaan dengan “dagangan”
ini dipandang penting pula untuk menyampaikan sedikit
tentang “nama perusahaan” atau “nama perniagaan”. Dengan nama perniagaan dimaksudkan nama atau firma, atas nama mana suatu perusahaan diselenggarakan.46 Artinya, setiap
perusahaan atau pun usaha perniagaan wajib memiliki
sebuah nama untuk membedakan antara yang satu dengan
yang lainnya.
Kewajiban memiliki nama pada dasarnya menunjukkan
bahwa entitas perusahaan terutama yang berbadan hukum
itu merupakan subyek hukum dan usaha perniagaan – suatu
konsep yang dipergunakan untuk yang tidak berbadan
hukum – setidak-tidaknya adalah persona hukum. Kondisi
seperti ini juga terdapat pada orang – manusia – yang
dibedakan antara yang memiliki dan mampu melaksanakan
hak serta kewajiban secara mandiri (subyek hukum) dengan
yang sebaliknya (persona hukum) akan tetapi semuanya
wajib memiliki nama).
46 M.H. Tirtaamidjaja, Op.cit. hal. 79
75
Topik berkenaan dengan usaha perniagaan
sesungguhnya sudah dianggap selesai atau setidak-tidaknya
jarang disinggung baik dalam perkuliahan maupun praktek.
Akan tetapi berbarengan dengan munculnya sebuah
perusahaan penyedia aplikasi laporan manajemen untuk
bisnis kecil dan menengah di Indonesia yang menggunakan
“Kontool” sebagai nama perusahaannya, maka isu nama
perniagaan seperti memperoleh kekuatan baru untuk muncul
kembali.
Di Indonesia “kontool” dapat diasumsikan sebagai alat
kelamin laki-laki. Jadi nama ini berkonotasi agak cabul dan
seolah-olah perusahaan tersebut hendak memperdagangkan
alat kelamin laki-laki. Namun diyakini bahwa pihak
perusahaan tidak bermaksud demikian karena “kontool”
tersebut merupakan kombinasi “konto” (akun facebook
dalam Bahasa Jerman) dan “tool” (alat, sarana).
Kendati pun demikian penetapan suatu ungkapan
sebagai nama perusahaan hendaknya sudah melalui
berbagai pertimbangan terutama Bahasa. Di Indonesia suatu
ungkapan Bahasa dapat memiliki pengertian yang berbeda
antara daerah yang satu dengan yang lainnya. Perusahaan
yang memproduksi alat pengukur waktu sebaiknya dan
tidak boleh menggunakan nama TELAK JAYA sebagai nama
perusahaan. Menurut KBBI kata telak memang berarti tepat,
tetapi ini belum tentu berarti sama di daerah lain di Indonesia.
76
b. Rahasia Perusahaan
seperti sudah menjadi semacam tradisi, penguraian
suatu isu sedapatnya diawali dengan pemaparan pengertian atau definisi terlebih dahulu. Pengungkapan ini sangat relevan terutama untuk isu-isu yang jarang diangkat atau yang
memiliki banyak kesamaan dalam hal konsepsinya. Suatu
kekeliruan dapat terjadi apabila konsep “rahasia perusahaan”
dijelaskan dengan konsep “rahasia dagang”. Maknanya, pengertian sangat membantu untuk mengidentifikasi konsep-konsep.
Sehubungan dengan itu maka diupayakan
semaksimalnya menemukan pengertian mengenai apa yang
dimaksud dengan “rahasia perusahaan”. Sasaran pertama
difokuskan pada undang-undang dan ternyata tidak ada satu
undang-undang pun di Indonesia yang mengatur pengertian
rahasia tersebut. Pencarian dilanjutkan pada sasaran kedua
yaitu kepustakaan dan bahan hukum tertier pun juga tidak
ada. Pada sasaran ini yang dijumpai justru uraian yang
“menyamaartikan rahasia perusahaan dengan rahasia
dagang.
Upaya pencarian akhirnya membuahkan hasil;
pengertian “rahasia perusahaan” dapat dalam Pedoman
Penjelasan Pasal 23 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat. Pedoman tersebut merupakan suatu “produk”
yang dihasilkan oleh Komisi Pengawas Persaiangan Usaha
(KPPU), sebuah komisi negara yang diberikan kompetensi
membuat peraturan dan pedoman khusus berkenaan dengan
77
persaingan usaha.
Pasal 23 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999
pada pokoknya menentukan bahwa pelaku usaha dilarang
bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapat informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat mengakibatkan
terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Dalam Penjelasan
Pasal demi Pasal terhadap Pasal 23 hanya dicantumkan
perkataan “cukup jelas”. Persoalannya; apanya yang cukup
jelas, kenyataannya perihal apa yang dimaksudkan dengan
rahasia perusahaan tidak dijelaskan.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 telah
menetapkan kewenangan kepada KPPU untuk melakukan
pemeriksaan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan
memutuskan sendiri perkara persaingan usaha. Penetapan
demikian menempatkan KPPU pada posisi sangat
berkepentingan untuk menyusun peraturan dan pedoman
dalam rangka pelaksanaan undang-undang tersebut.
Dalam Pedoman Penjelasan pada pokoknya dinyatakan
bahwa “rahasia perusahaan” adalah informasi kegiatan usaha
yang tidak pernah dibuka oleh pemiliknya kepada siapa pun
juga, kecuali kepada orang-orang yang berhubungan langsung
dengan kegiatan usaha pemilik informasi kegiatan usaha
yang dikategorikan sebagai rahasia perusahaan tersebut.
Pengertian tadi sesungguhnya juga masih menyisakan
persoalan mengenai apa yang dimaksudkan dengan
“informasi kegiatan usaha yang tidak pernah dibuka”. Di
samping itu pada titik tersebut, pedoman penjelasan juga
78
berputar-putar sekitar upaya memperbandingkan antara
“rahasia perusahaan” dengan “rahasia dagang”. Namun
demikian akhirnya diberikan juga pedoman bahwa rincian
berkenaan dengan informasi kegiatan usaha dapat diketahui jenisnya dengan terlebih dahulu mengidentifikasi kegiatan usaha perusahaan yang bersangkutan.
Apabila perusahaannya berbentuk perseroan terbatas, maka kegiatan usahanya dapat diidentifikasi dengan terlebih dahulu menyimak maksud dan tujuan pendirian perseroan
yang bersangkutan. Hal ini tercantum dalam anggaran dasar
– akta pendirian setiap perseroan yang diumumkan dalam
dalam berita resmi negara pada Berita Negara Republik
Indonesia (BNRI) dan Tambahan Berita Negara Republik
Indonesia (TBNRI). Berita tersebut terbuka untuk umum,
lantas mana yang merupakan rahasia perusahaan.
Dalam hal perseroan bergerak dalam usaha perbankan,
maka data pribadi nasabah merupakan rahasia perusahaan
yang tidak boleh dibuka untuk umum kecuali diterobos
berdasarkan ketentuan mengenai pembukaan rahasia bank.
Secara umum setiap perusahaan memiliki kewajiban untuk
“mengamankan” rahasia dagang berdasarkan Undang-
undang Nomor 30 Tahuit n 2000 tentang Rahasia Dagang. Di
samping itu secara umum pula terdapat kewajiban menjaga
kerahasiaan dokumen perusahaan berdasarkan Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan.
79
c. Goodwill
Andrea Fockema seperti dikutip oleh Purwosutjipto47
pada pokoknya mengemukakan bahwa goodwill adalah suatu
benda ekonomis tak bertubuh, yang terjadi dari hubungan
antara perusahaan dengan para pelanggan dan kemungkinan
perkembangan yang akan datang. Goodwill itu dapat
dipindahtaangankan bersama dengan urusan-perusahaan
dan menjelma dalam neraca sebagai laba.
Selanjutnya beberapa sumber bahan hukum tertier
menguraikan bahwa goodwill merupakan suatu keuntungan
atau manfaat yang diperoleh oleh suatu perusahaan, diluar
nilai modal, dana-dana, atau properti yang digunakan oleh
perusahaan yang bersangkutan, sebagai konsekuensi dari
respon publik secara umum dan dorongan yang diterimanya
dari pelanggan tetap, ….atau karena reputasi, ketrampilan
atau pengaruh atau ketepatan waktu.48
Sumber lain juga mengemukakan bahwa goodwill
merupakan the advantage arising from the reputation and
trade connections of business, in particular the likelihood
that existing customers will continue to patronize. Goodwill
is a substantial item to be taken into account on the sale of a
business; it may need to be protected by requiring the vendor
to agree not to set up in the same business for a started period
in competition with the business he has sold.49
Pengertian yang diuraikan terakhir ini pada dasarnya
mengandung semacam dilemma; pada satu sisi tidak terdapat
47 H.M.N. Purwosutjipto, Op.cit. hal. 25
48 Henry Campbell Black, Op.cit. hal. 625.
49 Elizabeth A Martin., Op.cit. hal. 205)
80
ketentuan hukum yang melarang penjualan atau pengalihan
perusahaan berikut dengan segala goodwill yang dimiliki,
tetapi pada sisi melarang pihak yang menerima peralihan
tersebut agar tidak menjalankan usaha yang sama. Larangan
tersebut tidak sejalan dengan hukum persaingan.
Secara keseluruhan goodwill yang dalam Bahasa
Belanda dipadankan dengan welwillenheid dapat
dikemukakan sebagai “agregat” yang pada satu sisi datang
dari luar perusahaan setelah memperoleh semacam
stimulus dari dalam pada sisi lain. Ketrampilan, konsistensi,
kejujuran, pengabdian, dan ketepatan yang dimiliki dan
dipersembahkan oleh pihak perusahaan akan membentuk
reputasi merupakan “nilai lebih” yang harus dipertahankan-
dilestarikan.
Tersedia banyak kisah yang inspiratif tentang
perjuangan para pemilik perusahaan yang dari generasi ke
generasi berikutnya pontang-panting mempertahankan
goodwill yang telah dibangun oleh leluhurnya. Kisah
demikian pada dasarnya menyiratkan makna bahwa
welwillenheid tersebut mengandung aspek martabat yang
harus dijunjung berdasarkan niat dan pengabdian yang
tinggi. Memiliki, mengembangkan dan mempertahankan
Goodwill sangat perlu ditanamkan di tengah-tengah kondisi
dimana mendirikan perusahaan dapat dilakukan sama
mudahnya dengan mendorong kebubarannya justru karena
tidak adanya niat membangun reputasi.
81
2. Jual-Beli Perusahaan
a. Pengertian
Perjanjian jual-beli pada umumnya diatur mulai dari
Pasal 1457 sampai dengan 1540 kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUH Perdata). Dalam tulisan ini dan untuk
mempermudah komunikasi maka perbuatan - perbuatan
hukum tersebut disebut dengan konsep jual-beli perdata.
Konsep ini harus dibedakan dengan konsep jual-beli
perusahaan atau handelskoop yang berada dalam ranah atau
ruang lingkup dan merupakan salah satu pokok bahasan
dalam hukum dagang.
Dari Pasal 1457 KUH Perdata yang pada pokoknya
menentukan bahwa jual-bel adalah suatu persetujuan
dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk
menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk
membayar harga yang dijanjikan, tampaklah sifat yang
sangat umum dari jual-beli perdata tersebut. Dikemukakan
demikian karena ketentuan-ketentuannya berlaku untuk
segala jenis jual-beli baik yang konsumtif maupun produktif.
Berkenaan dengan jual-beli perusahaan,
Purwosutjipto50 yang mengutip Zeylemaker mengemukakan
jual-beli perusahaan adalah suatu perjanjian jual-beli sebagai
perbuatan perusahaan, yakni perbuatan pedagang atau
pengusaha lainnya, yang berdasarkan perusahaannya atau
jabatannya melakukan perjanjian jual-beli. Dengan demikian
jual-beli perusahaan merupakan perjanjian yang bersifat
khusus. Ada pun kekhususannya dapat disimak dari aspek-
aspek sebagai berikut;
50 Ibid. hal. 1-2
82
1). Perbuatan perusahaan yang menurut Polak seperti dikutip
Purwosutjipto pada intinya merupakan perbuatan yang
direncanakan terlebih dahulu untung-ruginya, dicatat dalam
pembukuan. Jual-beli bukan dilakukan dalam kedudukan
sebagai konsumen, tetapi untuk kepentingan perusahaan
atau jabatannya dalam perusahaan itu.
2). Para pihak dalam perjanjian terdiri dari orang-perseorangan
yang menjalankan perusahaan dan/atau badan hukum
perusahaan,
3). Obyek perjanjian jual-beli pada umumnya komoditas dan/
atau barang-barang untuk diolah serta diperdagangkan,
4). Perjanjian jual-beli perusahaan dapat berkaitan dengan
penggunaan seluruh moda transportasi sehingga berkaitan
pula dengan hukum pengangkutan dan perjanjian
pengangkutan serta hukum asuransi,
5). Syarat-syarat khusus yang terdiri dari FAS (free along side),
FOB (free on board), CIF (cost, insurance, freight), CF (cost,
freight), Franco, dan NUG (netto uitgelevered gewwicht).
Secara keseluruhan dapat dikemukakan, jual-beli
perusahaan merupakan perjanjian jual-beli yang terjadi
diantara orang-orang yang menjalankan perusahaan dan/
atau dengan serta antar perusahaan. Ditinjau dari sifat dan
ruang lingkupnya, perjanjian ini dapat meliputi jual-beli baik
dalam hubungan intern-nasional maupun internasional. Oleh
karena itu jual-beli perusahaan dapat terjadi di antara subyek
hukum yang sama kewarganegaraannya atau dalam bentuk
perdagangan luar negeri atau perbuatan ekspor- impor.
83
Ekspor dipandang dari sudut Indonesia adalah
perbuatan mengirimkan barang ke luar negeri, sedangkan
impor, sebaliknya, yaitu memasukkan barang dari luar
negeri ke Indonesia. Namun demikian, dipandang dari sudut
jual-beli perusahaan, perbuatan ekspor–impor merupakan
perikatan yang timbul dari perjanjian jual-beli perusahaan
yang sudah ditutup.51 Hal ini mengandung pengertian bahwa
kegiatan ekspor – impor harus didahului dengan perjanjian
jual-beli perusahaan. Ekspor – impor merupakan perjanjian
derivatif dari perjanjian jual-beli perusahaan.
Dari uraian tersebut tampak pula bahwa perjanjian
jual-beli perusahaan merupakan genus dari seluruh
perjanjian jual-beli yang unsur-unsur jual-beli perusahaan.
Sementara itu jual-beli yang timbul dari transaksi-transaksi
perdagangan luar negeri (perdagangan barang dari suatu
negara ke negara lain ) atau yang bentuknya dikenal dengan
konsep ekspor-impor pada dasarnya merupakan spesiesnya.
Namun demikian satu hal yang tak dapat dipungkiri,
pengaturan berkenaan dengan jual-beli perusahaan tidak
didasarkan pada ketentuan-ketentuan “nasional” seperti
KUH Perdata dan KUHD, melainkan pada ketentuan-
ketentuan yang dibuat oleh lembaga-lembaga internasional.
Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila pengertian
tentang handelskoop tergiring kea rah pemahamannya
sebagai jual-beli internasional.
Pemahaman demikian harus diluruskan kembali
karena sesungguhnya jual-beli perusahaan tidaklah semata-
mata merupakan jual-beli dalam kerangka perdagangan luar
51 Ibid. hal. 5
84
negeri. Dalam perdagangan secara intern-nasional pun dapat diidentifikasi adanya jual-beli yang unsur-unsur atau karakternya memenuhi kriteri jual-beli perusahaan. Untuk
ini akan sangat bermanfaat apabila disimak kembali aspek-
aspek kekhususan dari jual-beli tersebut.
Berdasarkan kriteria tersebut maka jual-beli apa
pun, bagaimana pun, dimana pun, sepanjang sesuai dengan
kekhususan seperti yang telah dipaparkan, pada dasarnya perbuatan hukum tersebut dapat diklasifikasikan sebagai perjanjian jual-beli perusahaan. Kualifikasi atas perjanjian ini tidak ditentukan karena sebagian ketentuannya bersifat
internasional, melainkan pada aspek-aspek khusus yang
terkandung dalam perjanjian tersebut. Perjanjian jual-beli
perusahaan merupakan perbuatan hukum bersegi dua yang
didasarkan pada hukum dagang.
PT. (Persero) Pertamina, Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) yang bergerak dalam bidang usaha eksplorasi,
pengolahan, dan distribusi minyak dan gas bumi menjual
produk yang dihasilkannya berupa misalnya bahan bakar
minya untuk kendaraan bermotor kepada PT. (Swasta)
Pengisian Bahan Bakar untuk Umum (SPBU) untuk dijual
kembali. Dapatkah ilustrasi ini dikemukakan sebagai salah
satu contoh jual-beli perusahaan dalam hubungan intern-
nasional.
Demikian juga halnya dengan penjualan batubara
kepada perusahaan yang membutuhkannya. Dimulai dari
aturan hukum dan proses penambangan baik yang dilakukan
langsung oleh BUMN maupun swasta yang melahirkan konsep
85
Kuasa Pertambangan, pihak yang memiliki kompetensi
melakukan usaha pertambangan, akhirnya menjual batubara
kepada PT. (Persero) Perusahaan Listrik Negara (PLN)
untuk menjalankan mesin pembangkit tenaga listrik.
Pada kedua ilustrasi tersebut sudah dapat dipahami
dengan jelas bahwa subyeknya adalah perusahaan,
perusahaan. Obyeknya merupakan komoditas untuk dijual
kembali atau sebagai komponen modal untuk menghasilkan
barang modal baru. Melibatkan moda transportasi baik
darat maupun laut. Sebagian terbesar unsur-unsur jual-
beli perusahaan terpenuhi, hanya syarat-syaratnya yang
membutuhkan semacam kajian apakah sepenuhnya
mengikuti ketentuan-ketentuan internasional.
Ringkasnya, jual-beli perusahaan itu dilaksanakan
berdasarkan tujuan yang bersifat produktif dan oleh karena itu
obyeknya secara umum adalah komoditas dalam pengertian
bahan mentah untuk diolah serta diperdagangkan kembali.
Disimak dari aspek subyeknya kebanyakan dilakukan antara
perusahaan dengan perusahaan. Namun demikian jangan
sekali-kali dibayangkan bahwa jual0beli perusahaan itu
seperti menjual dan membeli perusahaan.
b. Syarat-syarat
syarat atau beding atau condition pada umumnya
merupakan suatu klausul yang dicantumkan dalam suatu
kontrak atau perjanjian dengan tujuan untuk mengubah,
mengurangi, menangguhkan bahkan membatalkan
kewajiban pokok. Berkenaan dengan perjanjian jual-beli
86
perusahaan, maka syarat (syarat-syarat) yang dimaksudkan
itu mengandung makna sebagai pembebanan tanggung
jawab atas suatu kewajiban. Ada pun syarat-syarat tersebut
adalah sebagai berikut52;
1). Syarat Loco (loko). Konsep loco dalam perjnjian jual-beli
perusahaan mengandung arti loko gudang penjual. Apabila
klausul ini dicantumkan dalam perjanjian terkandung
pengertian bahwa pembeli menerima penyerahan barang di
gudang penjual. Hak milik dan risiko sudah beralih kepada
pembeli sejak barang diangkut keluar dari gudang. Seluruh
ongkos pengangkutan dari gudang penjual hingga gudang
pembeli menjadi tanggung jawab pembeli.
2). Syarat Free Along Ship (F.A.S). Berdasarkan syarat ini penjual
menyerahkan barang nya di samping kapal yang telah
disediakan oleh pembeli di pelabuhan pemuatan. Dalam
hal ini pembelilah yang menanggung ongkos pemuatan ke
dalam kapal, premi asuransi, ongkos pengangkutan, biaya
pembongkaran dan ongkos-ongkos lain sampai di gudang
pembeli.
3). Syarat Free On Board (F.O.B). Dengan syarat ini penjual
menyerahkan barang di atas kapal yang telah disediakan
oleh pembeli pelabuhan pemuatan. Ongkos pengangkutan
dan ongkos-ongkos lain hingga di atas kapal menjadi
tanggungan penjual. Artinya pembeli bebas (free) dari
biaya-biaya tersebut. Disimak dari siapa yang menanggung
ongkos pemuatannya, F.O.B. merupakan kebalikan dari F.A.S.
52 H.M.N. Purwosutjipto. Op.cit. hal. 18 – 19
87
4). Syarat C.I.F (Cost Insurance and Freight). Berdasarkan
syarat ini penjual menanggung seluruh biaya dan ongkos
mengangkut barang (termasuk premi asuransi dan
ongkos-ongkos lain) sampai di pelabuhan pembongkaran
(pelabuhan negara pembeli).
5). Syarat C & F (Cost and Freight). Syarat ini hampir sama dengan
syarat C.I.F, perbedaaanya terletak pada premi asuransi.
Pada syarat C.I.F, premi asuransi menjadi tanggungan
penjual, sedangkan pada syarat C.F. merupakan tanggungan
pembeli.
6). Syarat Franko. Syarat ini merupakan kebalikan dari
syarat loco. Dengan syarat franko berarti penjualah yang
berkewajiban menyerahkan barang di gudang pembeli.
7). Syarat N.U.G. (Netto Uitgelevered Gewicht). Berdasarkan
syarat N.U.G. pembeli hanya menerima barang dalam
keadaan berat bersih pada saat penyerahan barang. Berat
bersih yang dimaksudkan adalah berat netto artinya berat
suatu barang setelah dikurangi berat tempatnya (tara).
“Aturan-aturan” yang melandasi penerapan syarat-
syarat dalam perjanjian jual-beli perusahaan adalah terms
antara lain yang dikeluarkan oleh The International Chamber
of Commerce (ICC) – Kamar Dagang Internasional berupa
International Commercial Terms (INCOTERMS) atau syarat-
syarat yang berlaku dalam perdagangan internasional.
Dalam Incoterms rules 2020 misalnya ditetapkan….free
along ship only applies to sea or inland wateray ports. As
with most point of delivery, it’s recommended to highlight
the exact location at which the goods are being delivered to,
88
particularly in the case of large ports as the seller is responsible
up for the goods until the port of shipment.53 Incoterms juga
meliputi syarat-syarat berkenaan dengan cost insurance
and freight (C.I.F). Di samping itu ICC juga memprakarsai
lahirnya The Uniform Customs and Practice for Documentary
Credits (UCP). Versi terbaru dari UCP diterbitkan pada 2007.
apabila diperbandingkan, Incotemrs itu berkenaan dengan
syarat-syarat menyangkut penyerahan, sedangkan UCP
berhubungan dengan alat pembayarannya.
53 Free Along Ship Incoterms 2020 Rules. https://www.tradefinanceglobal.com
89
BAB IV
HUKUM ALAT PEMBAYARAN
Perdagangan atau perniagaan secara umum
sesungguhnya merupakan suatu kegiatan ekonomi yang
diwujudkan dalam bentuk tukar menukar barang atau jasa
atau keduanya berdasarkan kesepakatan bersama. Pada awal
sejarahnya perdagangan dilakukan secara barter; menukar
barang dengan barang karena mata uang belum ditemukan.
Dalam perkembangan selanjutnya perdagangan dilakukan
dengan penukaran uang. Setiap barang pertama-tama dinilai
dengan sejumlah uang. Pembeli akan menukar barang atau
jasa dengan sejumlah uang yang disepakati. Ilmu hukum
mendeskripsikan perdagangan lengkap dengan kegiatan
tukar- menukar barang dan/atau jasa tersebut dengan
konsep perbuatan hukum bersegi dua. Perbuatan demikian
ini tunduk pada prinsip resiprositas atau timbal balik.
Oleh karena itu kegiatan menukar barang dengan barang,
menukar barang dan/jasa dengan media yang kemudian disebut dengan konsep mata uang itu diklasifikasikan sebagai perjanjian yang bersifat timbal balik atau perjanjian
yang berbalas prestasi sengan kontra prestasi.
90
Konsep prestasi sesungguhnya merupakan istilah yang
sudah sangat akbrab bagi kalangan hukum sejak memiliki
presikat sebagai mahasiswa fakuktas hukum. Sebelum
menyandang predikat tersebut konsep prestasi sudah juga
jamak di telinga. Akan tetapi pada tahap ini konsep prestasi
lebih dipahami sebagai kesanggupan dan kemampuan dalam
meraih suatu pencapaian. Seseorang yang berhasil mencapai
predikat sebagai bintang kelas akan dikatakan sebagai orang
yang berprestasi.
Bagi kalangan hukum rupanya pemahaman prestasi
seperti yang telah diuraikan itu kurang sesuai dengan
konteks (hukum). Pernyataan bahwa para pihak dalam
perjajanjian berkewajiban melakukan prestasi dan kontra
prestasi, kiranya tidak memiliki hubungan yang logis dengan
pemahaman prestasi sebagai kesanggupan dan kemampuan.
Mengingat pengertian atau makna hukum dari konsep
prestasi tersebut memegang peranan yang penting dan
dibutuhkan maka harus diupayakan menemukannya. Upaya mengidentifikasi pengertian prestasi dan juga wanprestasi pertama-tama akan dipusatkan pada bahan
hukum yang berbahasa Belanda. Pada bahan ini dijumpai
misalnya Pasal 6: 231 KUH Perdata Belanda yang pada
pokoknya menentukan ….Een of meer bedingen die zijn
opgesteld teneinde in een aantal overeenkomsten te worden
opgenomen, met uitzondering van bedingen die de kern van de
prestatie aangeven, voor zover deze laatstgenoemde bedingen
duidelijk en begrijpelijk zijn geformuleerd (garis bawah oleh
penulis).
91
Dengan bantuan berbagai bentuk kamus dan
aplikasi penerjemahan maka pasal tersebut dalam Bahasa
Indonesia berbunyi : “Satu atau lebih klausula yang telah
disusun dapat dimasukkan ke dalam sejumlah perjanjian,
dengan pengecualian klausula yang menunjukkan inti dari
kinerja, sejauh klausula terakhir dirumuskan dengan jelas
dan komprehensif”.
Dari bahan hukum tersebut diperoleh pemahaman
bahwa prestasi atau prestatie adalah “kinerja” yang pada
dasarnya mengandung unsur pelaksanaan kewajiban
sebagai intinya. Konsep prestasi dapat disetarakan dengan
performance yang juga memiliki pengertian yang sama. Dalam
Bahasa Inggris Hukum terdapat konsep Non Performance
Loan (NPL) yang dipahami sebagai kondisi “tidak membayar
hutang” atau “kredit macet”. Dalam Bahasa Belanda, NPL
dapat dipadankan dengan wanprestasi.
Makna yuridis dari prestasi adalah kewajiban yang
dapat diimplementasikan dalam bentuk memberikan
sesuatu, melaksanakan sesuatu atau tidak melaksanakan
sesuatu (Pasal 1234 KUH Perdata). Salah satu bentuk
prestasi dalam hubungan perdagangan misalnya jual-beli
pada pokoknya adalah kewajiban melakukan pembayaran.
Kewajiban membayar dilakukan sesuai sistem pembayaran
dan alat pembayaran merupakan salah satu komponen dari
sistem tersebut.
92
a. Mata Uang
1). Pengertian
Mata uang dan/atau Uang pada dasarnya merupakan
konsep-konsep yang menjadi bahasan pokok dalam ilmu
ekonomi. Oleh karena itu dalam rangka memahaminya maka
pèrtama-tama diupayakan menyimaknya dari pengertian-
pengertian yang lazim terdapat dalam bidang ilmu yang
mempelajari berbagai aktivitas manusia dalam rangka
memenuhi kebutuhannya dan selanjutnya diupayakan pula
memperbandingkannya dengan pengertian yang tertuang
dalam skrip-skrip yuridis.
Mata uang atau currency adalah segala sesuatu yang
dapat digunakan sebagai alat tukar yang berlaku secara umum
& atau secara terbatas.54 Sumber lainnya mengemukakan
bahwa kata mata uang dapat merujuk pada segala bentuk
uang yang digunakan dalam sirkulasi di seluruh masyarakat.
Saat ini, mata uang biasanya berisi koin (uang keras) dan
kertas (uang lunak). Biasanya diterbitkan dan dikelola oleh
otoritas pemerintahan dan dikenal sebagai fiat money.55
Di samping fiat money sesungguhnya masih ada lagi
yang harus dimasukkan ke dalam deretan jenis-jenis mata
uang ; adjustable currency, blocked currency, convertible
money, credit money, elastic currency, fiduciary money, fractional money, incorvertible money, irredeemable money,
managed currency, dan mixed currency. Deretan jenis-jenis ini
masih harus ditambahkan lagi dengan jenis uang virtual dan
54 Winardi. Op.cit. hal. 96 mengutip Harold S Sloan and Arnold Zurcker, A Dictionaries of
Economic
55 What is the currency.https://www.investopedia.com
93
e-money yang berkembangan dalam kurun waktu terakhir
ini. Beberapa dari jenis-jenis tersebut akan diuraikan
pengertiannya secara ringkas pada waktunya.Dalam ilmu ekonomi tradisional, uang didefinisikan sebagai alat tukar yang dapat diterima secara umum. Alat
tukar tersebut dapat berupa apa pun, yang penting ia diterima
sebagai alat tukar oleh masyarakat. Sedangkan dalam ilmu ekonomi modern, secara lebih spesifik uang didefinisikan sebagai sesuatu yang tersedia dan secara umum diterima
sebagai alat pembayaran bagi pembelian barang dan jasa
serta kekayaan berharga lainnya juga untuk pembayaran
utang.56
Pengertian-pengertian yang telah dipaparkan tersebut
pada dasarnya mencerminkan pemikiran ilmu ekonomi yang
menjadi dasarnya. Untuk memenuhi maksud memperoleh
bahan pembanding di samping itu juga pemahaman yang
lebih lengkap maka dipandang perlu mengetengahkan
pengertian yang tertuang dalam sumber-sumber bahan
hukum.
Sehubungan dengan itu dijumpailah sebuah sumber
yang mengemukakan bahwa currency merupakan....
coined money and such banknotes or other paper money as
are authorized by law and do in fact circulate from hand to
hand as the medium of exchange.57 Menariknya sumber
yang dimaksudkan terakhir ini di samping memberikan pengertian currency (mata uang), juga memaparkan definisi 56 Sonny Harry B. Harmadi, 2014. Pengantar Ekonomi Makro. Penerbit Universitas
Terbuka, Jakarta. Hal. 5.2.
57 Henry Campbell Black, Op.cit. hal. 345
94
money (uang): in usual and ordinary acceptation it means
coins and paper currency used as circulating medium of
exchange, and does not embrace notes, bonds, evidences of debt,
or other personal or real estate.58 Secara umum pengertian
berdasarkan ilmu ekonomi menempatkan currency atau
mata uang dan money atau uang dalam pengertian yang
sama. Sebaliknya pengertian berdasarkan sumber-sumber
bahan hukum membuat semacam pemisahan terhadap
konsep-konsep tersebut atau setidak-tidaknya memberikan
pengertian yang berbeda di antara keduanya. Apabila
bertumpu pada pola umum- khusus, maka sumber-sumber
bahan hukum menempatkan mata uang pada tataran yang
umum, sedangkan uang pada yang khusus.
Perbedaan tersebut akan dapat dipahami dan tampak
dengan jelas dengan menyimak pengertian tentang mata
uang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2011 tentang Mata Uang. Pasal 1 angka 1 undang-undang
tersebut menentukan bahwa yang dimaksud dengan mata
uang adalah uang yang dikeluarkan oleh Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Rupiah.
Pengertian ini sesungguhnya sudah cukup jelas dan
memberikan pemahaman bahwa mata uang itu merujuk pada
konsep uang. Namun demikian patut kiranya ditekankan,
sebagai currency maka uang yang bersangkutan haruslah
dikeluarkan oleh otoritas yang memang memiliki kompetensi
mencetak., memberlakukan dan mengedarkan, mengawasi
serta manariknya.
58 Ibid. hal. 906
95
Kompetensi yang dimaksud diberikan kepada
Negaradan untuk ini dapatlah dimajukan bahwa Indonesia
merupakan salah satu contohnya. Dalam Pasal 23B Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 ditentukan
bahwa macam dan harga mata uang ditetapkan dengan
undang-undang. Penjelasan UUD 1945 tentang Bab VIII
berkenaan dengan Hal Keuangan secara singkat dijelas
tentang fungsi Bank Indonesia yang pada hakikatnya
merupakan pengaturan tentang fungsi bank sentral. Artinya
kompetensi mencetak., memberlakukan dan mengedarkan,
mengawasi serta manarik uang ada pada Bank Indonesia.
2). Fungsi
Setelah mencari-cari selama beberapa waktu uraian
berkenaan dengan fungsi mata uang dalam ilmu hukum atau
menurut hukum ternyata sia-sia. Tidak dijumpai adanya
sumber bahan hukum yang menguraikannya. Oleh karena
itu uraian mengenai fumgsi tersebut kembali didasarkan
pada bidang ilmu induk yang menaunginya; ilmu ekonomi.
Terdapat empat fungsi uang59 yang beberapa diantaranya
sangat berperan dalam perdagangan.
(a) Uang sebagai Alat Tukar Fungsi uang sebagai
alat tukar (medium of exchange) menunjukkan bahwa uang
dapat digunakan untuk mempermudah pertukaran barang
dan jasa. Seseorang yang ingin memperoleh berbagai jenis
barang untuk memenuhi kebutuhannya dapat dengan
mudah melakukannya dengan menggunakan uang orang itu
tidak perlu lagi menukarkannya dengan barang, seperti pada
59 Sonny B. Harry B Harmadi. Op. cit. 5.3-5.4
96
sistem barter.
Dapat dikemukakan fungsi uang sebagai medium of
exchange mengandung pengertian sebagai pemanfaatan
mata uang untuk menukar barang dan/atau jasa yang
dibutuhkannya. Dengan demikian dalam fungsi ini, uang
merupakan instrumen perantara atau sistem yang digunakan
untuk memfasilitasi penjualan, pembelian atau perdagangan
pada umumnya. Agar suatu sistem berfungsi sebagai media
pertukaran.
Dalam bahasa yang lebih sederhana uraian ekonomi
tersebut dapat diaplikasikan dalam hubungan hukum yang
menimbulkan kewajiban melakukan prestasi misalnya dalam
perjanjian jual-beli. Dalam hubungan hukum demikian
pembeli diwajibkan melakukan prestasi yaitu membayar
sejumlah uang untuk barang dan/ jasa yang dijual kepadanya. Dengan demikian secara hukum dapat diidentifikasi bahwa mata uang berfungsi sebagai sarana menunaikan
prestasi.
(b). Uang sebagai Satuan Hitung Dalam fungsi sebagai
satuan hitung (unit of account), uang dipertimbangkan dapat
dipergunakan untuk menunjukkan ;
- nilai berbagai macam barang dan/ atau jasa yang di
perjualbelikan,
- besarnya kekayaan, dan
- besa-kecilnya pinjaman
Dengan adanya mata uang, orang tidak lagi harus
mengukur sejumput beras dengan segenggam garam karena
97
nilai dari sejumput beras sudah dapat dipastikan dengan
mata uang yang dihitungkan sebagai harga barang dan/atau
jasa yang dibutuhkan. Dalam komunikasi hukum, mata uang
dapat difungsikan untuk mempermudah pelaksanaan sanksi
berupa denda misalnya dan pengenaaan besaran jumlah
bunga dalam perjanjian hutang- piutang,
(c). Uang sebagai Penyimpan Nilai Uang dapat
berfungsi sebagai alat penyimpan nilai (store of value) karena
mata uang dapat digunakan untuk mengalihkan daya beli
dari masa sekarang ke masa depan. Ketika seorang penjual
yang saat ini menerima sejumlah uang sebagai pembayaran
atas barang dan/atau jasa yang dijualnya, maka ia dapat
menyimpan uang tersebut untuk digunakan membeli barang
dan/jasa di masa mendatang.Dalam lalu lintas hukum terdapat suatu figur hukum yang dikenal dengan konsep konsinyasi. Figur hukum ini
dapat menjadi kenyataan misalnya dalam hal seseorang
dinyatakan berhak menerima uang atas tanahnya yang
terkena pembebasan, tetapi yang bersangkutan tidak
bersedia menerima karena jumlahnya dinilai kurang. Pihak
yang membebaskan tanah dapat menitipkan (konsinyasi)
uang tersebut di Pengadilan.
Kemungkinan untuk menerima bahwa konsep
konsinyasi ini berlatarbelakang pada fungsi mata uang
sebagai penyimpan nilai masih membutuhkan kajian yang
memadai.
(d). Uang sebagai Alat Pembayaran yang Tertunda
Transaksi dalam perdagangan banyak yang dilakukan
98
dengan pembayaran yang ditunda, atau secara kredit atau
yang dalam bahasa sehari-hari disebut dengan mencicil.
Para pembeli terlebih dahulu mendapatkan barangnya dan
membayarnya di masa yang akan datang. Bahkan dalam
perjanjian pemilikan kendaraan bermotor misalnya, hak
milik atas kendaraan bermotor tersebut sudah beralih,
dan kendaraan diantarkan langsung ke alamat kendati pun
pembeli belum membayara lunas.
Dalam fungsi sebagai alat pembayaran yang
tertunda, mata uang pada dasarnya juga merupakan sarana
untuk menunaikan prestasi yaitu kewajiban melakukan
pembayaran. Hukum juga mengenal pelaksanaan prestasi
sepenuhnya atau sebagian, seketika atau pun kemudian
untuk mengimbangi kualifasi barang yang sudah ada dan
yang akan ada di kemudian hari.
Intinya, uang yang dikelola dalam pengertian dicetak
dan diedarkan oleh otoritas yang berkompeten merupakan
alat pembayaran utama dan memiliki sejarah yang sangat
panjang. Dapat dikemukakan bahwa uang merupakan
hasil invensi (penemuan) yang menimbulkan revolusi
pertama dalam perdagangan. Dikemukakan demikian karena
penemuan uang itulah yang mengubah perdagangan secara
barter menjadi transaksi yang berbayar.
3). Jenis
Menurut ekonomi makro60 uang dapat dibedakan menjadi dua yaitu uang komoditas dan uang fiat. Uang 60 Sonny Harry B. Harmadi, Op.cit. hal. 5.4 – 5.5
99
komoditas merupakan uang yang memiliki nilai intrinsik
yaitu nilai yang tetap dimiliki oleh uang kendati pun sudah
berlaku lagi sebagai mata uang. Dalam hubungan ini dapat
ditampilkan sebagai contohnya adalah uang mas dan uang
perak. Nilai intrinsik tersebut melekat dalam mata uang itu
sendiri, boleh jadi karena bahan yang dipergunakan untuk
membuatnya.
Apabila menginginkan mata uang yang stabil
tampaknya hal ini dapat dicapai dengan jenis mata komoditas,
akan tetapi harapan ini tidak dapat diwujudkan dengan
begitu saja. Menyusul perkembangan yang pesat pada bidang
perdagangan setelah Revolusi Industri, permintaan akan
emas dan perak mengalami peningkatan pula. Peningkatan
ini menimbulkan kesulitan dalam penggunaan kedua jenis
logam tersebut sebagai uang. Sebagai suatu solusi untuk
mengatasi kelemahan uang yang terbuat dari jenis-jenis
logam tersebut maka diciptakanlah jenis uang baru yaitu uang
kertas sebagai media perantara dalam tukar-menukar. Uang jenis ini dikenal juga sebagai uang fiat yang merupakan uang yang tidak memiliki nilai intrinsik. Penggunaan uang jenis
ini semakin meluas termasuk oleh Amerika Serikat (dollar),
Inggeris (Poundsterling), Uni Eropa (Euro), dan lain-lain.Baik uang komoditas maupun uang kertas (uang fiat) keduanya merupakan mata uang dalam pengertian alat
pembayaran yang sah atau yang diakui oleh sistem hukum
dan dikelola oleh pemegang otoritasnya. Kedua jenis uang ini
merupakan alat pembayaran tunai, alat pembayaran dalam
bentuk yang bersifat konvensional sebagaimana uang itu
100
dimiliki dan dimanfaatkan selama ini.
Pembayaran merupakan salah satu kewajiban penting
pada setiap transaksi dalam kegiatan ekonomi. Pembayaran
secara yuridis merupakan prestasi yang dapat menimbulkan
masalah hukum apabila tidak dilaksanakan. Sejalan dengan
terjadinya peningkatan kebutuhan yang menyebabkan
semakin besarnya nilai transaksi serta risiko, hal ini
menimbulkan desakan adanya sistem pembayaran dan alat
pembayaran yang cepat, lancar dan aman.
Dengan uang konvensional (uang komoditas dan uang fiat) yang bersifat tunai setiap orang yang akan berbelanja harus membawa uang sebagai alat pembayaran. Semakin
banyak barang yang dibeli, semakin banyak pula jumlah uang
yang harus dibawa dan dibayarkan. Inilah salah satu bentuk
“kerepotan” yang dihasilkan dari penggunaan uang jenis ini.
Apakah membawa uang tunai berkarung-karung merupakan
bagian dari sistem pembayaran yang praktis, cepat dan aman.
Sistem pembayaran yang mencakup seperangkat
aturan, lembaga dan mekanisme yang digunakan untuk
melaksanakan pemindahan dana guna memenuhi suatu
kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi” (Pasal
1 angka 6 Undang-Undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia), harus membuka pintu lebar-lebar bagi masuknya
varian baru dari uang konvesional. Adapun varian uang
konvesional yang dimaksudkan itu pada dasarnya merupakan
alat pembayaran non-tunai.
Jenis-jenis alat pembayaran non tunai yang sedang
berkembang sekarang ini terdiri dari uang elektronik
101
(e-money) Kartu prabayar (prepaid), Kartu ATM/Debit,
Kartu kredit, Nota Kredit, dan Nota Debet serta uang virtual.
Sebenarnya masih ada lagi jenis cek dan bilyet giro yang
bersifat non-tunai, akan tetapi uraiannya dimasukkan
pada kelompok surat-surat berharga yang akan diuraikan
tersendiri.
Dari jenis-jenis tersebut yang mendesak dipaparkan
pengertiannya adalah uang elektronik dan uang virtual.
Dapat dikemukakan, uang elektronik (e-money) merupakan
alat pembayaran dalam bentuk elektronik yang diterbitkan
atas dasar nilai uang yang disetor terlebih dahulu kepada
penerbit yang kemudian menyimpannya dalam media
seperti chip. Apabila dipergunakan untuk pembayaran dalam
transaksi maka nilai uang elektronik yang tersimpan itu akan
berkurang sejumlah nilai transaksi. Pemilik uang elektronik
harus menambah saldo pada “simpanan”nya (Top-up) secara
berkala. Sementara itu yang dimaksudkan dengan mata
uang virtual atau uang virtual adalah suatu jenis uang digital
yang dikeluarkan dan dikelola (diterbitkan, diedarkan,
dikembangkan, diawasi) oleh pengembangnya. Jangkauan
berlakunya uang virtual itu pada umumnya terbatas pada
komunitas virtual yang secara khusus menerima dan
mempergunakan uang digital tersebut. Uang elektronik
dan dan uang virtual merupakan jenis yang lebih dominan
memenuhi unsur-unsur sebagai alat pembayaran, sedangkan
yang lain misalnya kartu prabayar, kartu ATM tampak lebih
menunjukkan sebagai alat untuk menarik atau mengambil
simpanan uang di bank. Namun demikian dalam praktek
perdagangan diterima untuk membayar tagihan.
102
b. Surat-Surat Berharga
1) Pengertian
Pengertian Sehubungan dengan penelusuran pengertian terhadap suatu figur atau konsep hukum diupayakan untuk pertama-tama menemukannya pada
sumber bahan hukum primer terutama peraturan perundang-
undangan. Namun demikian ternyata pengertian surat-surat
berharga tidak dijumpai dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang (KUHD). Kitab hukum ini hanya mencantumkan
konsepnya saja tetapi tidak memberikan pengertian.
Konsep yang dimaksud dicantumkan dalam
Pasal 469 KUHD yang pada pokoknya berbunyi ; “Untuk
dicurinya atau hilangnya emas, perak, permata dan lain-lain
barang berharga, uang dan surat-surat berharga....” Pasal
ini merupakan salah satu ketentuan berkenaan dengan
tanggung jawab pengangkut bahwa ia tidak bertanggung
jawab atas hilangnya atau kerusakan pada barang-barang
tersebut kecuali sebelumnya atau pada saat diterimakan
diberitahukan kepada pengangkut.
Pasal 469 dan KUHD pada umumnya memang tidak
memberikan pengertian mengenai surat-surat berharga,
akan tetapi patut kiranya diberikan apresiasi karena setidak-
tidaknya ketentuan tersebut telah memberikan konsep
hukumnya. Dalam bahasa Belanda konsep hukum surat-surat
berharga adalah “waardepapieren”. Dengan memanfaatkan
konsep ini sebagai titik anjak diharapkan dapat diketemukan
pengertian surat-surat berharga.
Sehubungan dengan itu sebuah sumber bahan hukum
103
mengemukakan pada pokoknya bahwa waardepapieren
....Financierings- of beleggingsinstrumenten (sommige
verhandelbare, andere niet) gekocht en verkocht op financiële markten, zoals obligaties, obligaties, bankbiljetten, opties,
aandelen (aandelen) en warrants. Zie ook beveiliging.61
Terjemahannya kurang-lebih; surat-surat berharga merupakan
sarana pembiayaan atau investasi (sebagian diantaranya
dapat dialihkan, yang lainnya tidak) dapat dibeli dan dijual di
bursa uang, seperti obligasi, uang kertas, surat opsi, saham
dan waran.Pengertian tersebut merupakan definisi yang sudah berkembang. Hal ini tampak dengan dipergunakannya
konsep financierings of beleggingsinstrumenten. Konsep
ini berkembang bersamaan dengan tumbuhnya kebijakan
pembiayaan dalam beberapa dekade terakhir ini. Contoh-
contoh yang diberikan pun juga tidak terlalu jauh bentuk-
bentuk yang mencerminkan sarana investasi pada zaman
modern.
Berbeda halnya dengan ahli-ahli sebelumnya yang
rata-rata menguraikan bentuk atau jenis yang diatur dalam
KUHD sebagai contoh-contoh surat berharga. Berikut ini
dipaparkan pendapat mereka masing-masing ;
- Molengrasff mengemukakan bahwa surat berharga
dan surat-surat yang berharga merupakan satu
kelompok;
- Zevenbergen berpendapat bahwa yang disebut surat
berharga ialah : akta kepada pengganti, kepada
61 Definitie: Wat zijn waardepapieren? definitie en betekenis - 2019 https://nl.careeridn.com).
104
pembawa dan surat rekta;
- Scheltema/Wiarda berpendapat bahwa surat-surat
berharga ialah akta kepada pengganti dan kepada
pembawa saja;
Pendapat-pendapat tersebut dikutip oleh
H.M.N. Purwosutjipto (Op.cit, hal.4-5) yang kemudian
mengemukakan pendapatnya sendiri bahwa surat-surat
berharga itu surat bukti tuntutan utang, pembawa hak dan
mudah dijualbelikan. Artinya antara lain, yang membawa
atau yang namanya tercantum dalam surat tersebut memiliki
hak untuk memperoleh pembayaran. Hak ini melekat pada
surat berharga yang bersangkutan seperti halnya hak yang
terdapat pada uang kertas bank.
Sifat yang disebutkan pada saat akhir tetapi tidak
kalah pentingnya dari surat-surat berharga adalah mudah
dijualbelikan. Sifat ini didukung oleh bentuk surat tersebut
yang terdiri dari dua form; “kepada pengganti” (aan order,
to order) dan “kepada pembawa” (aan toonder,to bearer).
Apabila surat berharga mengambil bentuk “kepada pengganti”
maka penyerahannya dilakukan dengan cara “andosemen”
(endosemen - dilakukan dengan cara menuliskan di belakang
surat berharga yang bersangkutan).
Uraian ringkas tadi menyisakan satu persoalan;
dari pengertian yang mana dapat diketahui bahwa surat
berharga juga merupakan alat pembayaran. Tidak satu
pun dari pengertian-pengertian yang telah disajikan itu
ada yang menyatakan demikian. Kebanyakan dari mereka
mengemukakan bahwa surat berharga tersebut merupakan
105
surat bukti hak, surat yang membuktikan adanya hak.
Upaya pencarian ternyata membuahkan hasil dengan
dijumpainya satu pengertian yang bersifat favourable–
yang menguntungkan, yang mendukung maksud mencari
dan menemukan dasar bahwa surat-surat berharga
juga merupakan alat pembayaran. Pengertian yang
yang dimaksudkan itu dikemukakan oleh Prof. Wirjono
Prodjodikoro62, bahwa surat-surat berharga adalah surat
yang bersifat seperti uang tunai, yang dapat dipakai
untuk melakukan pembayaran. Surat-surat itu juga dapat
diperdagangkan, agar sewaktu-waktu dapat dikeluarkan
dengan uang tunai (negotioble instrument).
Pengertian ini mencerminkan surat berharga sebagai
alat pembayaran pada satu sisi dan merupakan komoditas
yang dapat diperdagangkan pada sisi lain. Surat berharga
merupakan terminologi yang relatif baru dalam pengertian
suatu istilah yang dipergunakan terutama dalam
kepustakaan hukum dagang di Indonesia pada masa setelah
Bahasa Indonesia banyak mengalami pembinaan sehingga
berkembang dengan pesat dan menjadi Bahasa yang modern
setara dengan Bahasa-bahasa yang lainnya.
Sebelum masa pembinaan, istilah yang dipergunakan
di Indonesia sebagai padanan dari negotioble instruments
diantaranya adalah “surat-surat perniagaan”. Sangat
besar kemungkinannya istilah tersebut dipengaruhi oleh
penggunaan terjemahan wetboek van koophandel ke dalam
Bahasa Indonesia Kitab Undang-Undang Hukum Perniagaan.
62 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Wesel, Cek Dan Aksep Di Indonesia. Penerbit Sumur
Bandung, Bandung. Hal. 34
106
Salah satu penulis yang mempergunakan istilah
“surat-surat perniagaan” adalah M.H. Tirtaamidjaja63 yang
mengemukakan ini adalah surat-surat berharga yang dapat
diperdagangkan dan yang telah layak dipergunakan dalam
dunia perniagaan dan yang gunanya untuk memudahkan
pemakaian uang yang akan diterima dari pihak ketiga
dan untuk mempermudah penagihan piutang dari pihak
ketiga itu. Pengertian-pengertian yang dipaparkan tadi
dapat dikemukakan merupakan pendapat-pendapat yang
didasarkan pada sustem hukum Eropa Kontinental khususnya
Belanda. Hal ini dapat dimaklumi mengingat pertama,
aturan hukum yang diacu adalah KUHD atau Wetboek van
Koophandel (WvK) dan kedua, sarjana Indonesia yang
pendapatnya dikutip memiliki kemampuan berbahasa yang
sangat memadai sejalan dengan literatur-literatur hukum
yang tersedia pada waktu itu dominan menggunakan bahasa
Belanda. Oleh karena itu sebagai bahan perbandingan maka
dipandang perlu untuk juga mengetengahkan pandangan
dari sisi common law system.
Mengingat konsep hukum untuk surat-surat berharga
dalam sistem common law yang didominasi bahasa Inggris itu
bukanlah valuable letters, melainkan negotiable instruments,
maka pembanding pengertian atas waarde papieren
dipusatkan penelusurannya pada pengertian negotiable
instruments. Penelusuran ini menelorkan hasil yang sangat
mengagetkan. Ternyata tidak seluruhnya semata-mata
mengutip bahan yang berbahasa Belanda. Diantaranya
ada juga yang begitu familiar dengan bahan-bahan yang
63 M.H. Tirtaamidjaja. Op.cit. hal. 140
107
berbahasa Inggris dan itu terjadi pada 1956.
Ada pun penulis yang dimaksudkan itu adalah
M.H. Tirtaamidjaja64 yang disamping berpendapat sendiri
juga mengutip pendapat Steven’s dalam karyanya yang
berjudul Elements of Mercantile Law yang pada dasarnya
mengemukakan….a negotioble instrument is one the property
in which is acquired by any one who takes it bona-fide, and for value, notwithstanding any defect of title in the person from
whom he took it; from which if follows that an instrument
cannot be negotioble unless it is such and in such a state that
the true owner could transfer the contract or engagement
contained there in of the instrument.
Pengertian konsep hukum negotiable instrument lebih
menekankan kedudukannya sebagi suatu benda yang
merupakan bagian dari harta kekayaan. Oleh karena itu
negotioble instrument berkaitan pula dengan kepemilikan
dan peralihannya serta makna istilah negotiable itu sendiri.
Bagaimana memahami bahwa negotiable instrument itu
merupakan “surat-surat berharga”. Tampak dengan jelas
surat-surat berharga bukanlah terjemahan dari negotiable
instrument. Keduanya tidak berada dalam hubungan yang
saling menerjemahkan.
Dengan demikian dipandang penting pula untuk
menguraikan istilah negotiable yang ternyata tidak dengan
serta-merta dapat diterjemahkan dengan “dinegosiakan”
atau dirundingkan dalam setiap wacana. Dalam konteks
surat-surat berharga terdapat ungkapan yang kiranya mampu
64 M.H. Tirtaamidjaja, Op.cit. hal. 140.
108
menjelaskan makna istilah tetsebut. Ada pun ungkapan yang
dimaksud misalnya ; a cheque that is not negotiable cannot be
exchanged for money and must be paid into a bank account.
Ungkapan tersebut masih juga menyisakan persoalan
apakah yang dimaksudkan dengan not negotiable. Sungguh
sangat sulit menemukan maknanya. Besar kemungkinan
ungkapan tersebut merupakan konsep dari ilmu ekonomi.
Namun demikian secara online sebuah sumber bahan hukum
(www.quora.com) berkenan menjawab pertanyaan ; what is
meant by not negotiable cheques. Jawaban berkenaan dengan
cek not negotioble pada dasarnya berlaku juga untuk jenis
surat berharga lainnya.
Ada pun jawaban yang diberikan adalah sebagai berikut
; «when a cheque has the words not negotiable printed on it,
then it means that it has no value. Examples of a not negotiable
cheque would be the stubs of a direct deposit paycheck.” Uraian
ini pada pokoknya mengandung makna; ketika pada sebuah
cek tertera perkataan not negotiable, maka itu berarti bahwa
cek yang bersangkutan tidak memiliki nilai. Contoh dari
cek yang demikian adalah potongan langsung pembayaran
setoran.
Dari akrobat kata-kata akhirnya dijumpai juga makna
dari negotiable yang secara a contrario (dianalisis secara
terbalik dari not negotiable) berarti bernilai atau berharga.
Oleh karena itu apabila dipasangan dengan kata “instrument”
maka negotiable instrument dapat diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia dengan konsep “instrumen berharga”.
Ragam dari instrumen ini pada umumnya sama dengan
109
jenis-jenis surat-surat berharga. Dengan demikian konsep
negotiable dapat juga diberikan arti bahwa instrument
tersebut “dapat dijual-diperalihkan”.
Pernyataan yang terakhir ini menemukan
kesesuaiannya dengan pernyataan bahwa konsep negotiable
juga mengandung makna ….legally capable of being transferred
by endorsement or delivery. Usually said of checks and notes and
sometimes of stocks and bearer bonds65 ….negotiable words,
words and phrases which impart the character of negotiability
to bills, notes, checks, etc., in which they are inserted; for
instance, a direction to pay to A, “or order” or “bearer”.66
Dari uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa
konsep negotiable instrument dapat dipadankan dengan
konsep surat-surat berharga. Salah satu unsur yang bersifat
karakteristik dari surat-surat berharga yaitu “dapat dialihkan”
juga terkandung dalam konsep negotiable instrumen.
Diantaranya dengan cara seperti inilah dapat disimpulkan
bahwa negotiable instrument dapat dipadankan dengan
surat-surat berharga.
Seperti sudah dikemukakan, pengertian berkenaan
dengan surat-surat berharga dikutip dari pendapat
para sarjana. Hal ini dilakukan karena KUHD sendiri
sebagai sumber hukum utama surat-surat berharga tidak memberikan definisi, melainkan hanya menyebutkan konsepnya saja sebagaimana yang tertuang dalam Pasal
469. Dalam perkembangannya kondisi demikian pada
akhirnya menimbulkan sesuatu yang agak aneh; pada satu
65 Henry Campbell Black. Op.cit. hal. 933
66 Henry Campbell Black. Op.cit. hal. 934).
110
sisi pengertian yang bersifat otoritatif karena diatur dalam
peraturan perundangan tidak tersedia, akan tetapi pada sisi
lain konsep hukumnya berkembang dengan pesat.
Dalam kurun waktu beberapa dekade belakangan ini
di samping surat-surat berharga, berkembang pula konsep-
konsep seperti efek dan sekuritas. Istilah efek berasal dati
bahasa Belanda; effect yang berarti saham. Akan tetapi dalam
Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang
Pasar Modal ditentukan bahwa Efek adalah surat berharga,
yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial,
saham, obligasi, tanda bukti utang, Unit Penyertaan kontrak
investasi kolektif, kontrak berjangka atas Efek, dan setiap
derivatif dari Efek. Jadi orang mesti berputar-putar lagi
mencari pengertian surat-surat berharga.
Sementara itu yang dimaksud dengan sekuritas
bahkan tidak dijumpai pengaturannya dalam perundangan
di Indonesia. Kendati pun demikian dalam penelusuran
kepustakaan diketemukan sumber yang mengemukakan;
“pasar modal adalah petemuan antara pihak yang memiliki
kelebihan dana dengan pihak yang membutuhkan dana
dengan cara memperjualbelikan sekuritas”67. Apakah dengan
demikian sekuritas dapat dipersamakan pengertiannya
dengan efek yang merupakan obyek perdagang di pasar
modal atau bursa efek.
The United States Securities Exchabge Act of 193468
67 Eduardus Tandelilin, 2001. Analisis Investasi dan Manajemen Portofolio. BPFE UGM,
Yogyakarya. Hal. 13
68 TheUnitedStatesSecuritiesExchangeActof1934definesasecurityas:“Anynote,stock,treasurystock,bond,debenture,certificateofinterestorparticipationinanyprofit-sharingagreementorinanyoil,gas,orothermineralroyaltyorlease,anycollateraltrustcertificate,preorganizationcertificateorsubscription,transferableshare,investmentcontract,voting-
111
misalnya merinci sekuritas tersebut antara lain sebagai saham, obligasi, surat utang, sertifikat bunga uang atau tanda penyertaan dalam suatu perjanjian pembagian
keuntungan, warkat-warkat lain yang dapat dialihkan.
Rincian tersebut dapat dikemukakan sebagai financial assets atau aset-aset yang yang berwujud yang diderivasi dari
hak-hak yang timbul dari hubungan kontraktual. Aset yang
demikian dapat diperjual-belikan atau diperdagangkan di
pasar uang.
Paragraph-paragraf tadi sesungguhnya sudah
mengarahkan pemahaman bahwa baik efek mau pun
sekuritas merupakan surat-surat berharga. Pernyataan ini
bertumpu pada sifat keduanya yang dapat diperdagangkan.
Sifat ini merupakan elemen yang paling karakteristik untuk
menentukan apakah suatu warkat merupakan surat-surat
berharga atau hanya surat-surat yang berharga.
Dalam kaitannya dengan tulisan ini apa pun konsep
yang dipergunakan tidaklah menjadi persoalan. Hal ini
bertumpu pada tujuan awal uraian pada dasarnya adalah
dalam rangka memahamkan sarana yang dapat dipergunakan
dalam memenuhi salah satu bentuk prestasi dalam hubungan
hukum perdagangan yaitu melakukan pembayaran dengan
media selain uang. Oleh karena itu yang dipergunakan
sebagai kriteriumnya bermuara pada penjelasan terhadap
persoalan apakah surat-surat berharga, efek dan sekuritas
itu berfungsi sebagai alat pembayaran.
trustcertificate,certificateofdeposit,forasecurity,anyput,call,straddle,option,orgroupor index of securities (including any interest therein or based on the value thereof)
112
2) Jenis
a). Wesel
(1) Pengertian
Disimak dari tata urutan pengaturannya, wesel atau
wissel atau bill, bill of echange, draft, stiff, demand bill dapat
dikemukakan merupakan jenis surat berharga yang paling
tua. Hal ini bertumpu pada susunan pengaturannya dalam
KUHD yang menempatkan wesel pada urutan pertama. Pasal
100 kitab tersebut pada pokoknya menentukan bahwa surat
wesel memuat: nama “surat Wesel“, perintah tak bersyarat
untuk membayar suatu jumlah uang tertentu; nama orang
yang harus membayar (tertarik); penunjukan hari jatuh
tempo pembayaran; nama orang kepada siapa pembayaran
harus dilakukan, atau orang lain yang ditunjuk kepada
siapa pembayaran itu harus dilakukan; tanda tangan orang
yang mengeluarkan surat Wesel itu (penarik). Berdasarkan
ketentuan tersebut dapat diabstraksikan bahw wesel
merupakan suatu surat atau warkat yang pada intinya
memuat “perintah membayar” dari penerbit, oleh tertarik
kepada penerima atau pengganti atau yang ditunjuk. Di
dalam surat wesel juga terdapat keterangan mengenai waktu
dan tempat pembayaran serta yang tidak boleh dilupakan
adalah tanda tangan yang menerbitkannya.
Dalam bahasa Belanda istilah wesel dipergunakan
secara luas bahkan hingga merambah dunia perkeretaapian
(suatu bagian dari sistem rel kereta api). Berkenaan surat
berharga ada yang memberikan pengertian….Een wissel
is een geschrift, waarin de ondertekenaar (trekker) aan de
113
geadresseerde (betrokkene) opdracht geeft tot betaling van
een bepaalde geldsom aan een aangewezen persoon (nemer).69
Wesel merupakan suatu dokumen di mana penandatangan
(inisiator) menginstruksikan penerima (orang yang
bersangkutan) untuk membayar sejumlah uang tertentu
kepada orang yang ditunjuk (pengambil).
Sebuah sumber bahan hukum tertier mengemukakan,…
A bill of exchange is a written order once used primarily in
international trade that binds one party to pay a fixed sum of money to another party on demand or at a predetermined date.
Bills of exchange are similar to checks and promissory notes—
they can be drawn by individuals or banks and are generally
transferable by endorsements.70 Wesel pada dasarnya adalah
perintah tertulis digunakan terutama dalam perdagangan
internasional dimana pihak berkewajiban untuk membayar
sejumlah uang tertentu kepada pihak lain berdasarkan
permintaan atau tanggal yang telah ditentukan. Ditambahkan
pula Bills of exchange mirip dengan cek dan promissory notes-
yang dapat ditarik oleh perorangan atau bank dan umumnya
dapat ditransfer dengan cara endrosemen.
Sumber sejenis lainnya mengemukakan…. An
unconditional order in writing, addressed by one person (the
drawer) to another (the drawee) and signed by the person
giving it, requiring the drawer to pay on demand or at a fixed orvdeterminable future time a specified sum of money to or to the order of specified person ( payee) or to the bearer. If the bill is payable at a future time the drawee signifies had acceptance,
69 https://labyrinth.rienkjonker.nl/lexicon/terminologie.
70 (www.investopedia.com 15 april 2019).
114
which makes him the party primarily liable upon the bill; the
drawwer and endorsers may also be liable upon a bill. The use
of bills of exchange enables one person to transfer to another
and enforceable right to a sum of money. A bill of exchange
is not only transferable but also negotiable, since if a person
without an enfirceable right to the money transfers a bill to a “holder in due ckurse, the latter obtain a good title to it. Much
of the law on bills of exchange is codified by the bills of exchsnge act 1882 and the cheque 1992.71
Pengertian itu pun juga menginformasikan bahwa bill
of exchange merupakan perintah tertulis tanpa syarat yang
diamanatkan oleh seseorang (drawer) ke orang lain (drawee)
dan ditandatangani oleh orang yang memberikannya,
mewajibkan drawer untuk membayar sesuai permintaan
atau pada waktu yang ditentukan atau di masa mendatang,
jumlah uang tertentu ditentukan untuk orang tertentu
(penerima pembayaran) atau kepada pembawa. Jika tagihan
dibayarkan di waktu mendatang berarti drawee menerima
secara diam-diam, yang membuatnya menjadi pihak utama
yang bertanggung jawab atas tagihan tersebut. Bill of
exchange dapat dialihkan dari satu orang ke orang lain dan
dapat menuntut haknya atas sejumlah uang. Tidak hanya
dapat dialihkan, bill of exchange juga merupakan surat
berharga.
Secara keseluruhan pengertian-pengertian yang
dapat dikemukakan sebagai representasi pandangan yang
didasarkan baik pada tradisi dari sistem hukum Eropa
71 Elizabeth A Martin. Op.cit. hal. 46
115
Kontinental maupun common law system dan/atau anglo-
saxon mengarah pada satu muara bahwa wesel, wissel atau
bill of exchange merupakan surat perintah tanpa syarat untuk
membayar. Artinya wesel adalah alat pembayaran. Kendati
pun dunia perdagangan tidak membutuhkan surat (paper),
hukum tentang wesel dapat dipastikan tetap dibutuhkan. (2)
Ragam, dan perkembangan wesel
Perihal yang kemudian disebut dengan wesel pada
dasarnya dapat dibedakan menjadi dua bagian besar ;
wesel menurut cara penerbitannnya dan wesel bentuk
khusus. Pembangian seperti ini mengikuti pola Prof. Emmy
Pangaribuan Simanjuntak72 yang merinci wesel jenis yang
pertama itu terdiri dari : 1. zichtwissel ( harus diperlihatkan
dalam tenggang waktu satu tahun sejak diterbutkan),
2.nazichtwissel (setelah diperlihatkan untuk diaksepter,
wesel gugur), 3. datowissel (wesel yang gugur pada yang
ditentukan setelah penanggalan), dan 4. dagwissel (wesel
yang hari gugurnya telah ditentukan).
Pengertian hari gugur dalam hal ini mengacu pada
saat pembayaran. Dengan demikian dapat dikemukakan, hari
gugur mengandung persamaan dengan misalnya tanggal jatuh
tempo (due date). Dengan konsep yang disebutkan terakhir
ini dimaksudkan bahwa pada tanggal yang dicantumkan
pembayaran harus dilakukan. Pencantuman tanggal jatuh
tempo mengindikasikan suatu kewajiban hukum yang
apabila tidak dipenuhi dapat menimbulkan akibat hukum
seperti denda dan/atau kondisi-kondisi lain yang kurang
72 Emmy Pangaribuan Simanjuntak, 1979. Hukum Dagang Surat-Surat Berharga. Liberty
Yogyakarya. Hal. 42- 43)
116
nyaman. Oleh karena itu ketentuan mengenai hari gugur
tersebut penting artinya agar wesel segera diuangkan.
Wesel bentuk khusus terdiri dari; 1. wesel atas pengganti
penerbit (kedudukan penerbit setara dengan pemegang
pertama), 2. wesel atas penerbit sendiri (kedudukan penerbit
setara dengan tersangkut), 3. wesel untuk perhitungan
orang ketiga (si A yang sebenarnya cakap sebagai penerbit
tetapi karena suatu pertimbangan, A menunjuk B yang
menerbitkan wesel untuk kepentingan A), 4. wesel inkaso
(ciri karaktrtistiknya : wesel ini mengandung klausul “jumlah
untuk ditagih” atau pernyataan lain berisi perintah untuk
menagih), 5. wesel domisili ( pembayaran wesel tersebut
tidak dilakukan oleh tersangkut akseptan tetapi oleh orang
ketiga ditempat orang ketiga itu). Berkenaan dengan wesel
terdapat satu persoalan yang sangat mendasar; apakah jenis
surat-surat berharga ini masih ada dan relevan. Persoalan ini
perlu memperoleh kejelasan sehubungan dengan semakin
berkembang dan diterimanya berbagai fasilitas pembayaran
secara online. Bahkan tidak tanggung-tanggung ada yang
mengemukakan bahwa perihal wesel lengkap dengan segala
aturan hukumnya tidak relevan lagi dicermati semata-mata
karena karena masyarakat sudah beralih dari wesel pos ke
cara-cara pengiriman uang secara elektronik.
Perihal wesel pos yang sudah hampir ditinggalkan
memang merupakan fakta, tetapi jenis wesel tidak terbatas
pada wesel pos saja. Seperti telah dikemukakan masih
banyak jenis wesel yang tersedia. Sepanjang ada kewajiban
melakukan prestasi yaitu membayar secara non-tunai dan
117
dilakukan melalui suatu perantaraan yang membutuhkan
suatu perintah membayar maka wesel yang pengertian
pokoknya adalah perintah membayar itu masih tetap relevan.
Hasil penelusuran memperlihatkan dewasa ini
terdapat suatu jenis surat-surat berharga yang difungsikan
sebagai alat pembayaran yang masih banyak dipergunakan
adalah wesel bank atau “banker’s draft”. Sesuai dengan
namanya wesel ini dikeluarkan oleh bank yang pada
pokoknya berisi perintah tak bersyarat dari bank penerbit
kepada pihak lain untuk membayar sejumlah uang kepada
pihak tertentu pada waktu yang telah ditentukan. Sumber
dana wesel bank bukanlah rekening nasabah tetapi rekening
bank penerbit.
Gambar dikutip dari www.google.com
Tampaknya masih merupakan pemandangan yang
langka kalau tidak boleh dikatakan belum ada pembayaran
118
dalam lalu lintas atau hubungan perdagangan internasional
dilakukan dengan cara transfer melalui aplikasi e-banking
yang terdapat pada hand phone. Oleh karena itu pembayaran
dalam perdagangan lintas negara masih memanfaatkan
teknologi peninggalan abad 20; wesel.
Kendati pun wesel pos sudah mulai ditinggalkan,
fasilitas pembayaran dan pengiriman uang secara online
semakin menjamur terutama untuk mereka yang gemar
belanja “daring”- tetapi ironisnya sistem belanja ini masih
juga menyediakan ruang untuk pembayaran tunai dengan
diterapkannya program COD (cash on delivery) – ternyata
perkembangan ini tidak atau belum mampu mengakhiri
riwayat surat-surat berharga sebagai alat pembayaran.
Karya James Steven Rogers (2011) yang berjudul The End
of Negotiable Instrumens. Bringin Payment System Law Out
of The Past tidak harus dipahami bahwa era kertas dalam
bentuk surat-surat berharga benar-benar sudah berakhir.
b). Surat Sanggup
Surat sanggup atau orderbriefje, promesse aan
order, accept, promissory note ialah surat (akta) yang berisi
kesanggupan seorang debitur untuk membayar sejumlah
uang tertentu kepada seorang kreditur atau penggantinya.
Dalam praktek perbankan di Indonesia surat sanggup ini
disebut surat aksep atau surat promes. Mengingat terdapat
dua macam promes; promes kepada pengganti (promesee
aan order) dan promes kepada pembawa (promesse aan
toonder). Promes yang pertama disebut surat sanggup dan
119
promes yang kedua disebut surat promes.73). Jadi yang
sedang menjadi topik sekarang ini adalah surat sanggup,
promes yang pertama.
Selain sarjana Indonesia, pengertian mengenai
surat sanggup juga diberikan oleh sarjana asing bahwa ....a
promossory note is an unconditional promise in writing made
by one person to another signed by the maker, engaging to pay,
on demand or at a fixed or determinable future time, a sum certain in money, to, or to the order of, a specified person or to bearer.74
Sumber ini sesungguhnya mengutip Undang-Undang
Wesel Amerika Serikat 1930an yang sudah diperbaharui
beberapa kali akan tetapi ketentuan tersebut masih tetap
dipertahankan. Dari pengertian itu diperoleh gambaran
bahwa surat promes pada pokoknya merupakan suatu janji
tanpa syarat yang dibuat secara tertulis oleh satu orang
kepada orang lain yang ditandatangani oleh penerbitnya,
yang tersangkut untuk membayar. Surat adalah warkat yang
memuat janji untuk membayar.
Sebuah sumber lain dari abad 21 mengemukakan….
Promissory notes are a type of negotiable instrument. They
do not amount to a bill of exchange because they involve only
two parties - the maker and the payee/bearer rather than the
three parties of a negotiable bill of exchange (drawer, drawer/
acceptor and holder). Promissory notes are, however, dealth
with in the bill of exchange Act and many of the provisions in
73 H.M.N. Purwosoetjipto, Op.cit. hal. 131.
74 E.W. Chance, 1946. Principles of Mercantile Law. Vol. I hal. 201.
120
the Act are.75
Dari sumber yang modern ini diperoleh semacam
pengakuan bahwa surat promes merupakan salah satu jenis
dari negotiable instrument. Namun demikian surat promes
tidak dapat dipersamakan dengan wesel. Perbedaannya
terletak pada jumlah pihak yang terdapat dalam hubungan
surat berharga masing-masing. Dalam hubungan surat
promes hanya terdapat dua pihak; penerbit dan penerima/
pembawa, sedangkan dalam wesel tiga pihak; drawer, drawee
dan pemegang.
Selanjutnya ditambahkan ….The promissory notes
creates an obligation on the part of the maker to pay the
payee or the bearer a sum certai on demand or at a fixed or determinable future time. Provision can be made for the
payment of interest. As they can be sued on directly, they avoid
enquiry ( in the case of non-payment) into the underlying
contract (thought in an appropriate case the maker may wish
to cross-clai for breach of this contract.76
Tambahan penjelasan tersebut semakin memperkuat
bahwa promissory notes atau surat sanggup tersebut
merupakan janji untuk membayar, janji bahwa yang
menerbitkannya sanggup membayar. Oleh karena demikian
ada penulis yang mengkomunikasikannya dengan
konsep “surat sanggup. Penjelasan tersebut menjadi
semakin manjur karena menekankan juga surat promes
menciptakan kewajiban hukum bagi yang membuatnya
untuk membayar. Hal ini mengandung pengertian, kewajiban
75 Peter Gillies, 2003. Business Law. The Federation Press. New South Wales. Hal. 767
76 Ibid.
121
itu menimbulkan hak pada pihak lainnya untuk menuntut
pelaksanaannya.
Gambar dikutip dari :www.google.com
Gambar tersebut merupakan salah satu contoh
dari surat sanggup yang umumnya dipergunakan dalam
perdagangan internasional. Surat sanggup tersebut diterbitkan
dan dipergunakan sebagai alat pembayaran secara langsung
tanpa perantaraan. Si A yang berkewajiban melaksanakan
prestasi kepada B mempergunakan sepucuk surat sanggup
yang diserahkannya langsung kepada si B.
Selain bentuk tersebut dikenal juga surat sanggup
yang pembayarannya dilakukan melului perantaraan.
Hal ini didasarkan pada pasal 154 KUHD bahwa penarik,
seorang endosan, atau seorang pemberi aval dapat
menunjuk seseorang dalam keadaan darurat
122
untuk mengakseptasi atau membayar….Pasal 158 bahwa
pembayaran dengan perantaraan dapat dilakukan dalam
semua keadaan, dimana pemegang mempunyai hak regres,
baik pada hari jatuh tempo maupun sebelumnya…. dan Pasal
162 barangsiapa membayar selaku perantara, memperoleh
hak yang bersumber dari surat wesel itu terhadap orang
untuk siapa ia telah melakukan pembayaran….
Hak regres atau yang disebut juga dengan hak recourse
merupakan suatu istilah teknis dalam hukum wesel. Namun
demikian dan sebegitu jauh berlaku pula untuk promissory
notes. Seperti hal Pasal 154, 158 dan 162 KUHD yang untuk
wesel berlaku juga untuk surat sanggup. Hak regres adalah
hak pemegang surat sanggup untuk menagih penarik/
endosan/avalis guna memperoleh pembayaran apabila
pihak tertarik menolak melakukan pembayaran.
Penarik dalam promes merupakan pihak yang berjanji
melakukan pembayaran dan menerbitkan promes tersebut.
Endosan adalah pihak yang mengalihkan surat berharga
kepada pemegang berikutnya. Sedangkan avalis merujuk
pada lembaga yang menjamin pembayaran wesel.
c). Cek
(1) Pengertian
Cek atau cheque pada dasarnya dapat dimasukan ke
dalam kategori surat tagihan hutang (schuldvorderingspapier)
yang bersifat sebagai suatu perintah untuk membayar,
sebagaimana halnya sepucuk wesel yang juga termasuk surat
tagihan hutang yang bersifat perintah untuk membayar.
123
Dasar penerbitan sepucuk cek bertumpu pada perikatan
dasarnya seperti halnya wesel.77 Cek itu merupakan zicht-
wissel atau bill of exchange payable on demand yang jangka
waktu berlakunya hanya sebentar.78 a cheque is a special
type of bill of exchange (and bills of exchange are in turn
instance of negotiable instruments). What the cheque does,
broadly speaking, is what the bill of exchange or negotiable
instruments does – it represents an instrument which embodies
a debt (the right to be paid a sum of money) and which can be
negotiated (transferred) to another person. In the archetypal
case of negotiable instrument/bill of exchange, there will be the
person owing the debt, on whom the instrument is drawn; the
creditor who draws the instrument; and the person to whom
the instrument is transferred who may be called the holder.79
Pandangan berkenaan dengan cek yang dikemukakan
pada abad 20 sesungguhnya tidak mengalami perubahan yang signifikan ketika dikemukakan pada abad 21. Hal ini tampak pada kutipan terakhir. Bahkan persamaan yang dimaksudkan
juga meliputi ketakbedaan antara pandangan penulis dengan
latar belakang pemahaman hukum Eropa Kontinental
dengan yang memahaminya dari sudut pandang sistem
common law. Kedua sudut pandang tersebut pada dasarnya
menempatkan wesel dan cek dalam satu rangkaian yang tak
dapat dipisahkan. Sudut pandang yang satu mengemukakan
bahwa cek merupakan jenis khusus dari wesel….langkah
atau tahapan yang terdapat dalam penerbitan cek itu juga
merupakan langkah atau tahapan yang sama yang terdapat
77 Emmy Pangaribuan Simanjuntak. Op.cit. hal. 146
78 M.H. Tirtaamidjaja. Op.cit. hal. 158.
79 Peter Gillies. Op.cit. hal. 779.
124
dalam wesel. Jadi cek itu adalah wesel istimewa.80
Persamaan demi persamaan telah diuraikan secara
garis besarnya yang terdapat antara surat-surat berharga
berdasarkan aturan hukum yang mengikuti pola civil law
dengan instrument-instrumen menurut tradisi common
law system. Dengan persamaan-persamaan tersebut
secara keseluruhan dapat dikemukakan bahwa surat-surat berharga merupakan konsep atau figure hukum yang dapat mempersatukan dua sistem hukum besar yang berlaku di
dunia.
Di Indonesia syarat-syarat formal cek masih
bertumpu pada ketentuan Pasal 178 KUHD sebagai berikut;
1. Nama “cek” yang harus diterakan dalam teks tersendiri
menurut Bahasa dimana cek itu diterbitkan, 2. Perintah tak
bersyarat untuk membayar suatu jumlah tertentu, 3. Nama
orang yang harus membayar (drawee). Syarat ini adalah
mengenai penyebutan nama “tersangkut”. Menurut Pasal
180, tersangkut haruslah seorang banker, 4. Penunjukan
tempat dimana pembayaran harus dilakukan. Apabila tidak
disebutkan maka dianggap sebagai tempat pembayaran
adalah tempat yang diterakan disamping nama tersangkut.,
5. Penyebutan hari penanggalan beserta tempat dimana cek
diterbitkan atau tempat dimana cek itu ditarik. 6. Tanda
tangan dari orang yang menerbitkan cek atau tandatangan
penarik (drawee).
Apabila diperbandingkan dengan syarat-syarat wesel
maka akan tampak suatu perbedaan berkenaan dengan
80 M.H. Tirtaamidjaja. Op.cit. hal. 158.
125
jumlah persyaratannya. Pada cek tidak terdapat syarat
penyebutan hari gugur dan syarat penyebutan nama dari
orang kepada siapa atau kepada penggantinya pembayaran
itu harus dilakukan. Menurut Prof. Emmy Pangaribuan Siman
juntak81 absennya syarat penyebutan hari gugur karena
cek itu merupakan alat pembayaran kontan. Sedangkan
ketidakhadiran syarat penyebutan nama dari pemegang
pertama karena kemungkinan cek itu diterbitkan dalam
bentuk atas tunjuk.
Gambar diambil dari www.google.com
(2) Jenis dan Fungsi
Jenis-jenis cek pada pokoknya terdiri dari ;
(a) Cek atas nama, kepada pengganti, tidak
kepada pengganti dan kepada pembawa Pasal 182
KUHD pada pokoknya menentukan bahwa tiap-tiap dapat
dinyatakan harus dibayarkan kepada orang yang disebutkan
namanya. Contoh: Bank….harap bayar dengan cek ini kepada 81 Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Op.cit. hal. 146.
126
….sejumlah Rp. 3.000.000,-. Apabila demikian halnya maka
surat berharga ini merupakan “cek atas nama”. Dapat
juga pada lembar cek di belakang nama yang disebutkan
diterakan klausul “atau pengganti” (aan order, to order). Di
samping itu pasal tersebut juga memperkenankan tambahan
klausul “tidak kepada pengganti” (surat rekta) dan “kepada
pembawa” (aan toonder , to bearer).
(b) Cek inkaso
bertumpu pada Pasal 183.a ayat (1) apabila pada
lembar cek tertera klausul “untuk inkaso” maka itu merupakan
suatu perintah hanya untuk menagihkan sejumlah uang
dalam cek semata-mata, sama sekali tidak dimaksudkan
memilikinya. Cek inkaso tidak tergantung pada kondisi dari
pemberi perintah yang meninggal dunia atau pun dinyatakan
tidak cakap melakukan tindakan hukum.
(c) Cek domisili
ketentuan hukum yang tercantum dalam Pasal 103
dan 126 KUHD yang sesungguhnya untuk wesel berlaku pula
untuk cek domisili yang artinya wesel itu dibayar oleh pihak
ketiga, baik di tempat tinggal (domisili) tersangkut/akseptan
mau pun di tempat lain. Pihak ketiga yang harus membayar
wesel itu tidak termasuk dalam personalia wesel. Akseptasi
dilakukan oleh tersangkut, sedangkan pembayaran wesel itu
dilakukan oleh pihak ketiga. Apabila pihak ketiga menolak
pembayaran, maka protes dibuat di tempat pihak ketiga ini.82
82 H.M.N. Purwosutjioto, Op.cit. hal. 140.
127
(d) Cek silang
Cek silang atau crossed cheque pada dasarnya
merupakan bentuk cek yang pada pojok kiri atas diberi dua
garis sejajar. Ada penulis yang menyebutnya dengan “cek
bergaris miring (crossed cheque). Cek bentuk ini ada dua;
cek silang umum dan cek silang khusus. Pada cek silang
umum tidak terdapat penunjukkan atau penyebutan “bankir”
yang hanya dapat dibayar oleh tersangkut hanya kepada
seorang bankir. Sebaliknya pada cek silang khusus terdapat
penyebutan nama seorang bankir.
gambar diambil dari : www.google.com
Gambar diambil dari : www.google.com
128
Mengenai siapa yang diberikan hak oleh undang-
undang untuk menempatkan penggarisan pada sepucuk cek,
ditentukan dalam Pasal 214 ayat (1) KUHD. Mereka yang
diberikan hak itu adalah penerbit dan pemegang cek yang
bersangkutan. Dalam hal penerbit yang memberi dua garis
sejajar menyilang maka hal itu tentunya sudah dilakukan
sejak dalam proses percetakan. Selain penerbit, pemegang
cek juga dapat memberi dua garis sejajar apabila sebelumnya
tidak tertera pada lembar cek.
Disimak dari aspek peraturannya, cek tidak dapat
dipisahkan dengan wesel, bahkan ketentuan-ketentuan
hukum untuk wesel diberlakukan pula untuk cek. Akan
tetapi apabila disimak dari aspek fungsi, terdapat perbedaan yang signifikan diantara keduanya. Secara umum fungsi wesel lebih luas hingga mencakup fungsi sebagai alat untuk
memperoleh kredit dengan cara yang mudah83. sebaliknya
cek lebih dominan berfungsi sebagai alat pembayaran yang
menggantikan pembayaran dengan uang tunai. Mengikuti
alur berpikirnya M.J. Subramanyam84 fungsi sebagai alat
pembayaran didukung oleh sifat dan fasilitasi dari cek itu
sendiri antara lain:
1. Cek selalu mudah dibawa kemana pun daripada membawa
uang tunai dalam jumlah besar untuk melakukan
pembayaran kepada seseorang,
2. Ketika melakukan pembayaran melalui cek, pembayaran
akan aman karena pembayaran akan dicatat dalam
pembukuan bankir. Salinannya akan dicatat rekening
83 M.H. Tirtaamidjaja. Op.cit. hal. 159.
84 M.J. Subramanyam, 2019. How can I check the authenticity of a cheque leaf whether it is
real or fake?. https://www.quora.com.
129
drawer. Orang dapat mengetahui kepada siapa
pembayaran dilakukan, kapan, pada tanggal berapa dan
berapa jumlahnya.
3. Ketika pembayaran dilakukan dengan cek, drawer
tidak perlu menerima tanda terima untuk pembayaran
yang dilakukan. Tanda tersebut akan tercermin dalam
rekeningnya.
4. Bilamana perlu drawer dapat membatalkan pembayaran
cek tertentu, bahkan setelah melakukan pembayaran,
5. Tidak aman melakukan pembayaran jumlah besar kepada
orang lain dengan uang tunai. Melakukan pembayaran
dengan cek akan lebih aman.
6. Pembayaran dengan uang tunai dapat menimbulkan
korupsi karena banyak transaksi mungkin tidak dicatat
dalam pembukuan. Ini akan membantu korupsi untuk
tumbuh.
7. Pajak dapat dihindari dengan mudah melalui transaksi
tunai.
8. Karena cek adalah bentuk instrumen yang dapat
dialihkan, maka cek memberi hak yang lebih baik kepada orang yang bonafide. Pembayaran dengan cek dapat dilakukan dengan menyerahkan secara fisik surat ceknya seperti menyerahkan
uang tunai. Tidak dibutuhkan otorisasi bank, tidak perlu
mesin gesek, tidak dibutuhkan automatic teller machine
(ATM), tak perlu pengawalan ketat petugas keamanan karena
membawa uang dalam jumlah besar, tidak pula dibutuhkan
tas besar atau mobil khusus untuk membawa uang, dan yang
130
terpenting, pihak yang menerima pembayaran tidak perlu
menghitung uang sampai bersin-bersin serta gatal.
d) Bilyet Giro dan Traveller’s Cheque
(1) Bilyet Giro
Bilyet giro merupakan surat perintah pemindahbukuan
sejumlah dana, pemindahbukuan mana berfungsi sebagai
pembayaran. Karema itu bikyet giro adalah alat pembayaran.85
Mohammad Amien yang dikutip mengemukakan bilyet giro
sebagai surat perintah tanpa syarat dari nasabah suatu
bank yang memelihara dananya selaku tertarik , perintah
mana bentuk dan isinya sudah distandardisir, untuk
memindahbukukan sejumlah dana penarik kepada pihak
penerima yang namanya telah disebutkan penerima mana
memelihara rekening pada bank yang sama atau pada bank
lainnya.86
Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikemukakan
bilyet giro adalah surat perintah pemindahbukuan (transaksi
dalam bank dengan mengkredit (menambah) jumlah saldo
suatu rekening dan mendebet (mengurangi) jumlah saldo
pada rekening lainnya) dari nasabah suatu Bank kepada
Bank yang bersangkutan,untuk memindahkan sejumlah
uang dari rekeningnya ke rekening penerima yang namanya
disebut dalam bilyet giro, pada Bank yang sama atau Bank
yang lain.
Di Indonesia bilyet giro sudah dikenal sejak masa-
masa awal dasawarsa 1970an seperti yang dapat dimaknai
85 Imam Pyago Suryohadibroto dan Djoko Prakoso, 1987. Surat Berharga, akat
pembayaran dalam zaman modern. Bina Aksara, Jakarta. Hal 271.
86 Ibid.
131
dari Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No.4/670/UPPB/
PhB tanggal 24 Januari 1972. Dalam surat Bank Sentral
Indonesia tersebut dinyatakan bahwa surat bilyet giro adalah
surat perintah nasabah yang telah distandardisir bentuknya,
kepada Bank penyimpan dana untuk memindahbukukan
sejumlah dana dari rekening yang bersangkutan kepada
pihak penerima yang disebutkan namanya pada Bank yang
sama atas bank lainnya.
Selanjutnya perlu diinformasikan bahwa penggunaan
bilyet giro mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Perkembangan ini memperoleh respon yang positif dari
Bank Indonesia dalam bentuk regulasi. Pengaturan terakhir
yang dapat ditelusuri adalah Peraturan Bank Indonesia
(PBI). No. 18/41/PBI No. 18/41//2016 tentang Bilyet Giro
(tertanggal 21 November 2016). Dalam Pasal 1 angka
3 peraturan tersebut dinyatakan Bilyet Giro adalah surat
perintah dari Penarik kepada Bank Tertarik untuk melakukan
pemindahbukuan sejumlah dana kepada rekening Penerima.
Ada pun menurut Pasal 3 ayat (1) Bilyet Giro harus
memenuhi syarat formal sebagai berikut:
a. nama “Bilyet Giro” dan nomor Bilyet Giro;
b. nama Bank Tertarik;
c. perintah yang jelas dan tanpa syarat untuk
memindahbukukan sejumlah dana atas beban
Rekening Giro Penarik;
d. nama dan nomor rekening Penerima;
e. nama Bank Penerima;
132
f. jumlah dana yang dipindahbukukan baik dalam angka
maupun dalam huruf secara lengkap;
g. Tanggal Penarikan;
h. Tanggal Efektif;
i. nama jelas Penarik; dan
j. tanda tangan Penarik
Sebelumnya dalam Pasal 2 PBI tersebut ditentukan
bahwa dalam penggunaan Bilyet Giro berlaku prinsip umum
sebagai berikut:
a. sebagai sarana perintah pemindahbukuan;
b. tidak dapat dipindahtangankan;
c. diterbitkan dalam mata uang Rupiah; dan
d. ditulis dalam Bahasa Indonesia.
Dalam hubungan ini perlu pula disampaikan bahwa
untuk dapat memanfaatkan bilyet giro dalam dunia
perdagangan maka hal pertama dan paling mendasar
dilakukan adalah memiliki bilyet giro dan untuk ini yang
bersangkutan harus membuka rekening giro. Apabila sudah
menjadi nasabah giro dari suatu bank, maka nasabah akan
menerima beberapa formulir, antara lain sebagai berikut:
formulir cek (blanko cek), formulir bilyet giro, dan yang
terpenting formulir setoran (bukti setor). Dengan adanya
bermacam-macam formulir itu, maka setiap kebutuhan
nasabah giro yang menyangkut setiap mutasi dari dana yang
disimpan di bank, dapat dipenuni seluruhnya.
Berdasarkan uraian yang ringkas ini dapat
133
dikemukakan, bilyet giro sesungguhnya adalah cek. Dengan
demikian dan dalam kaitan ini yang berkembang itu bukanlah
jenis-jenis surat-surat berharga secara umum, melainkan cek
sebagai salah satu jenis surat-surat berharga. Apabila dalam
transaksi cek terdapat “cek kosong” maka dalam bilyet giro
pun juga terdapat hal yang sama. Namun demikian dan betapa
pun juga seperti halnya cek, bilyet giro dapat difungsikan
sebagai alat pembayaran non-tunai.
Contoh bilyet giro
Gambar dikutip dari uob.co.id melalui www.google.com
(2) Traveller’s Cheque
Berbeda halnya dengan wesel, surat sanggup atau
surat promes, dan cek termasuk kwitansi serta promes
atas tunjuk yang pengaturannya tercantum dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) - bahkan khusus
untuk cek dengan beberapa kali perubahan. Selanjutnya
sejarah memperlihatkan bahwa jenis surat-surat berharga
mengalami perkembangan dengan munculnya bilyet giro dan
traveller’ s cheque.
134
Namun demikian bilyet giro tidak diatur dalam undang-
undang melainkan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.
18/41//2016 tentang Bilyet Giro (tertanggal 21 November
2016), Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No.18/32/DPSP
perihal Bilyet Giro (tertanggal 29 November 2016)., dan SEBI
No.18/40/DPSP tentang Penyelenggaraan Transfer Dana dan
Kliring Berjadwal (tertanggal 30 Desember 2016). Bahkan
untuk traveller’s cheque tidak ada produk hukum Indonesia
yang mengaturnya.
Kekosongan hukum tersebut menimbulkan persoalan
apakah yang menjadi dasar penerimaan jenis traveller’s
cheque yang semakin meluas terutama di tempat-tempat yang
merupakan destinasi pariwisata. Di samping itu kesulitan juga
timbul sehubungan dengan upaya menemukan pengertian
jenis surat berharga tersebut. Biasanya pengertian yang
dimaksudkan dapat dijumpai pada ketentuan umum dari
suatu peraturan perundangan. Persoalannya, peraturan yang
diharapkan itulah yang justru belum ada.
Kiranya untuk sementara waktu persoalan
kekosongan hukum yang mengatur pengertian traveller’s
cheque dapat diisi dengan pandangan dari kalangan
akademisi. Sehubungan dengan ini, Prof. Emmy Pangaribuan
Simanjuntak87 mengemukakan....”kalau diterjemahkan secara
lamgsung maka namanya adalah cek dari orang yang sedang
bepergian atau dalam perjalanan ....cek ini dibuat untuk
memudahkan orang-orang yang sedang bepergian dalam
melakukan pembayaran-pembayarannya.
Traveller’s cheque adalah cek yang dikeluarkan oleh
87 Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Op.cit. hal. 202.
135
bank atau badan yang berwenang dalam bentuk pecahan
(jumlah) tertentu dan cek ini dapat dipin dahkan ke tangan
orang lain setelah diendors (ditandatangani) oleh pemiliknya.
Dengan demikian traveller’s cheque merupakan pengganti
uang tunai selama perjalanan dan bahkan teman sejati dalam
perjalanan.88
Intinya, traveller’s chenque adalah cek yang
diterbitkan khusus untuk orang-orang yang mengadakan
perjalanan. Cek ini juga difungsikan sebagai alat pembayaran
menggantikan uang tunai. R.W.B. Bosley yang dikutip Emmy
Pangaribuan Simanjuntak89 mengemukakan traveller’s cheque
pada umumnya mempunyai dua bentuk; pertama ialah
dengan dinyatakan diterbitkan oleh orang yang bepergian
dan bank yang mengeluarkannya ikut serta menandatangani,
dan kedua, diterbitkan oleh Bank atas dirinya sendiri dan
ikut serta ditandatangani oleh orang yang bepergian. Dari
beberapa contoh cek ini adalah yang mengikuti bentuk ke 2.
Contoh Traveller’s Cheque
88 Achmad Anwari, 1985. Manfaat Traveller’s Cheque Dalam Perjalanan. Balai Aksara,
Jakarta. Hal. 5.
89 Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Op.cit. hal. 202
136
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Anwari, 1985. Manfaat Traveller’s Cheque Dalam
Perjalanan. Balai Aksara, Jakarta
Achmad Ichsan, 1984. Hukum Dagang, Lembaga Perserikatan,
Surat-Surat Berharga, Aturan-Aturan Angkutan.
Pradnya Paramita, Jakarta.
Black, Henry Campbell. 1979. Black’s Law Dictionary. West
Publishing Co., St. Paul Minn.
Bodenheimer, Edgar. 1962., The Philosophy and Method
Of The Law. Harvard University Press, Cambridge-
Massachusetts.
Bos., A.M. n.d., Methods For The Formation Of Legal Concepts
And For Legal Research. Rijksuniversiteit The
Groningen. Institute Of Siciology, Grote Markt
Chance, E.W. 1946. Principles of Mercantile Law. Vol. I. The
Donningtown Press, St. Albans – The Gregg Publishing
Co., Ltd., London
Duxbury, Robert. 2006. Contract in A Nutshell. Sweet &
Maxwell, London
Eduardus Tandelilin, 2001. Analisis Investasi dan Manajemen
Portofolio. BPFE UGM, Yogyakarya
137
Emmy Pangaribuan Simanjuntak, 1979. Hukum Dagang
Surat-Surat Berharga. Liberty Yogyakarya.
Gillies, Peter 2003. Business Law. The Federation Press. New
South Wales
Head, John W. 1996. A General Introduction of Economic Law.
ELIPS Project.
H.M.N. Purwosutjipto, 1984. Pengertian Pokok Hukum Dagang
Indonesia. 1. Pengetahuan dasar hukum dagang.
Penerbit Djambatan, Jakarta.
Hoos, Ida R. 1974. Systems Analysis In Public Policy. A Critique.
University of California Press. Barkeley, Los Angeles.
Imam Pyago Suryohadibroto dan Djoko Prakoso, 1987. Surat
Berharga, akat pembayaran dalam zaman modern.
Bina Aksara, Jakarta
K.R.M.T. Tirtodiningrat, 1963. IKhtisar Hukum Perdata dan
Hukum Dagang. Penerbit PT. Pembangunan, Jakarta.
M.H. Tirta Amidjaja, 1956, Pokok-Pokok Hukum Perniagaan.
Penerbit Jambatan, Jakarta.
Paton, G.W. 1972, A Textbook of Jurisprudence. Oxford
University Press, Oxford.
R. Subekti, 1977. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Intermasa,
Jakarta.
R. Soekardono, 1983. Hukum Dagang Indonesia Jilid I (bagian kedua). C.V. Rajwali, Jakarta
Scraber,Gordon D. 1990. Contract In A Nutshell. West
138
Publishing, St. Paul Minn.
Seagle, William. 1946. The History Of Law. Tudor Publishing
Co., New York.
Sonny Harry B. Harmadi, 2014. Pengantar Ekonomi Makro.
Penerbit Universitas Terbuka, Jakarta.
Sugiarto, 2011. Pengantar Akuntansi. Penerbit Universitas
Terbuka. Jakarta.
Wietholter, Rudolf. 1986, Materialization and Proceduralization
In Modern Law. Dalam : Dilemmas of Law in the Welfare
State. Editor: Gunther Teubner. Walter de Gruyter,
Berlin-New York
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Wesel, Cek Dan Aksep Di
Indonesia. Penerbit Sumur Bandung, Bandung.
- The Theory of Lex Mercatoria. Https://www.
lawteacher.net).
- Milton Friedman on Corporate Social Responsibility.
https://lucidmanager.orgPemprov Bantah Kehilangan
Saham Hotel Imperial Aryadutha. https://makassar.
antaranews.com 27 Januari 2009. 28/10/2019. 13.20
- https://makassar.antaranews.com 27 Januari 2009.
28/10/2019. 13.20. Loc.cit.
- Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 16
Tahun 2009. Ikatan Akuntan Indonesia.
- Wat is de betekenis van Handelszaak. De Oosthoek is
een Nederlandse Encyclophedia. https://www.ensie.
nl.
139
- Free Along Ship Incoterms 2020 Rules. https://www.tradefinanceglobal.com - Definitie: Wat zijn waardepapieren? definitie en
betekenis - 2019 https://nl.careeridn.com).
- Subramanyam, M.J. 2019. How can I check the
authenticity of a cheque leaf whether it is real or fake?. https://www.quora.com.
- Wadiyo, 2019. 10 Contoh Laporan Keuangan
Perusahaan Tbk (Terbuka) Yang Sudah Diaudit.
https://manajemenkeuangan.net .
140
RIWAYAT PENULIS
Putu Sudarma Sumadi lahir di Klungkung, Bali,
tanggal 19 April 1956. Menyelesaikan pendidikan dasar di
Desa Kusamba (1969), pendidikan menengah di Klungkung
(SMPN; 1972, SMAN; 1975). Memperoleh gelar Sarjana
Hukum (SH) dari Fakultas Hukum Universitas Udayana
pada 1981, gelar Sarjana Utama (SU) – Magister Hukum dari
Fakultas Pascasarjana Universitas Gadjah Mada pada 1987
dan gelar Doktor Ilmu Hukum dari Program S3 Program
Pascasarjana Universitas Airlangga pada tahun 1999, dengan
disertasi berjudul : “Pengaturan Hukum Persaingan Usaha Di
Indonesia”.
Sejak 1983 menjadi dosen Fakultas Hukum Universitas
Udayana, menjabat Sekretaris Bagian Hukum Perdata (1993),
menjabat Ketua Pusat Kajian Hukum Bagian Timur Indonesia
(1999-2002), Ketua Program Studi Magister (S2) Ilmu
Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana (2008-
2012). Sejak 2009 diangkat menjadi Guru Besar Tetap Ilmu
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana. Sampai
saat ini masih bercita-cita menjadi Hakim Adhoc Peradilan
Tindak Pidana Korupsi, dan tetap berkeinginan menerbitkan
buku dengan pola seperti ini.
141
Buku-buku yang telah dihasilkan hingga saat ini;
1. Pengantar Hukum Investasi (2008)
2. Likuidasi Perseroan Terbatas Dalam Perspektif
Perbandingan Hukum I (2008)
3. Hukum Olahraga Dalam Bingkai Hukum Bisnis
(2016)
4. Sejarah Hukum dan Hukum Masa Depan Properti
serta Kontrak (2017)
5. Penegakan Hukum Persaingan Usaha (2017)
6. Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi
(2018)
7. Hukum tentang Overschuldigde Betaling,
Konsinyasi, Actio Pauliana (2018)
8. Hukum Bencana (Disaster Law) dan Bencana
Hukum (2019)
9. Hukum Dagang Intern-nasional (2019)