laknat dalam pandangan...
TRANSCRIPT
LAKNAT DALAM PANDANGAN AL-QUR’AN
(Analisis Ayat-Ayat Laknat Dalam Tafsîr al-Marâghî)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud)
Oleh:
ISMAIL AMIR NIM:107034001694
JURUSAN TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H/2011 M
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan gelar strata 1 (S1), di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah penulis
cantumkan sesuai ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli
penulis atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 08 Mei 2011
Penulis,
( Ismail Amir )
iii
LAKNAT DALAM PANDANGAN AL-QUR’AN
(Analisis Ayat-Ayat Laknat Dalam Tafsîr Al-Maragi).
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ushuluddin
( S.Ud )
Oleh :
ISMAIL AMIR
NIM. 107034001694
Di bawah Bimbingan :
Dr. MAFRI AMIR, MA
NIP. 1958030 1199 23 1 001
JURUSAN TAFSIR HADITS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H / 2011 M
iv
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi ini berjudul Laknat Dalam Pandangan Al-Qur’an: Analisis Terhadap Ayat-
Ayat Laknat Dalam Tafsir Al-Maraghi telah di ujikan dalam sidang munaqasah Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 21 Juni 2011.
Skripsi ini telah diterima sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud)
pada Jurusan Tafsir Hadits.
Jakarta, 21 Juni 2011
SIDANG MUNAQASAH
Ketua Sidang, Sekretaris Sidang,
Dr. Bustamin, M.Si Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA
NIP. 196307011998031003 NIP. 19710816 199703 2 002
Anggota,
Penguji I, Penguji II,
Dr. Yusuf Rahman, MA Zahruddin AR., MM.Si
NIP. 19670213 199203 1 002 NIP. 19520419 198103 1 005
Pembimbing,
Dr. Mafri Amir, MA
NIP. 1958030 1199 23 1 001
v
ABSTRAK
Ismail Amir, “Laknat Dalam Pandangan Al-Qur’an: Analisis Ayat-Ayat Laknat
Dalam Tafsir al-Maraghi”
Setiap nikmat yang kita terima dari Allah SWT akan menambah
kebahagiaan dan kesenangan dalam hidup. Namun, ada satu kondisi di mana
nikmat bisa berubah menjadi laknat dan karunia yang diberikan merupakan murka
Allah SWT. Inilah yang disebut dengan istidrâj. Istidrâj adalah pemberian Allah
kepada orang yang sering melakukan maksiat kepada-Nya. Semakin mereka
melupakan Allah, Allah tetap akan menambahkan kesenangan bagi mereka.
Akibatnya, mereka semakin terjerumus dan Allah akan menjatuhkan siksa yang
sangat pedih. Contoh dari istidrâj ialah seperti orang-orang yang diberi nikmat
kekuasaan, lalu ia menjadi sombong dan sewenang-wenang terhadap rakyatnya.
Allah terus mengucurkan nikmat duniawi kepada mereka, sesungguhnya di balik
itu semua adalah laknat dan murka Allah SWT. Na'udzubillah.
Dalam al-Quran ada beberapa terminologi; musibah, azab, dan laknat.
Dari terminologi yang terdapat dalam al-Quran tersebut, sengaja kami membahas
laknat karena masih banyak masyarakat yang belum mengerti tentang laknat itu.
Kata laknat sendiri dalam bahasan al-Quran secara garis besar hampir
sama dengan musibah dan adzab. Para mufasir pun berbeda-beda dalam
menafsirkannya. Namun jika dikaitkan dengan fenomena alam atau kejadian-
kejadian yang menimpa manusia secara umum, kepastian tentang laknat atau azab
atau musibah masih belum dapat dipastikan. Yakni, suatu musibah atau azab yang
dirasakan oleh seseorang atau suatu kaum apakah dapat dikategorikan sebagai
laknat atau bukan. Di sisi lain, apakah sebab laknat diturunkan. Lalu siapakah
orang-orang yang tergolong dalam laknat Tuhan dan kenapa laknat itu menimpa
mereka. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang mendasari kami untuk membahas
laknat dalam perspektif tafsir al-Maraghi.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui laknat menurut pandangan
al-Qur’an dan khususnya terhadap tafsir al-Maraghi, sehingga bisa dijadikan
sebagai pelajaran oleh setiap muslim, khususnya dalam setiap perbuatan dan
tingkah laku manusia.
Penelitian ini berpijak dari nas bahwa setiap muslim harus berpedoman
kepada al-Qur’an dalam merambah kehidupan di dunia. Laknat merupakan suatu
hukuman yang diturunkan Allah sebab perbuatan manusia yang melanggar
perintah-Nya. Agar setiap orang mengetahui bahwa setiap perbuatan ada tanggung
jawabnya masing-masing, maka setiap orang harus mengetahui mana perbuatan
yang baik dan mana perbuatan yang tak terpuji menurut Allah maupun yang
digariskan dalam al-Qur’an.
vi
KATA PENGANTAR
Segala Puji dan syukur penulis sanjungkan hanya kepada Allah Swt, yang
dengan taufiq-Nya, penelitian berjudul “Laknat Dalam Pandangan Al Qur’an
(Analisis Ayat-Ayat Laknat Dalam Tafsir al-Maraghi)” ini dapat diselesaikan
dengan baik. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad Saw,
keluarga dan para sahabatnya, yang yang merupakan suri tauladan bagi seluruh
umat manusia.
Segala karya tulis yang da’if, tentunya didalam penelitian ini masih
terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, yang kelak ditemukan oleh mereka
yang mau menelaahnya dengan teliti. Segala kesalahan tersebut tak lain adalah
bukti keterbatasan penulis di dalam melakukan penelitian ini. Untuk itu penulis
sangat menerima kritikan dan saran yang membangun sehingga dapat
memperbaiki kesalahan-kesalahan yang ada di masa datang.
Penelitian ini merupakan wujud kepedulian dan rasa keingintahuan penulis
terhadap beberapa masalah yang kelihatannya sepele namun memiliki pengaruh
yang sangat besar dalam bidang tafsir. Penulis juga menyadari bahwa, penelitian
ini tidak luput dari jasa lembaga dan orang-orang tertentu yang telah membantu
penulis, baik moril maupun materil. Maka pada kesempatan ini, izinkanlah
penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya khusus kepada:
1. Segenap civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr.
Komaruddin Hidayat (Rektor), Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Fakih M.A
vii
(Dekan Fakultas Ushuluddin), Dr. Bustamin, M.Si (Ketua Jurusan Tafsir
Hadis), dan Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA (Sekjur Tafsir Hadits).
2. Bapak Dr. Mafri Amir M.A, selaku dosen pembimbing skripsi penulis yang
dengan keikhlasan dan kesabarannya membimbing, mengarahkan dan
memotivasi penulis hingga selesai skripsi ini.
3. Segenap dosen Fakultas Ushuluddin, khusunya dosen-dosen di jurusan Tafsir
Hadis yang telah banyak berbagi ilmu kepada penulis, sehingga berkat
merekalah penulis mendapatkan setetes air dari samudra ilmu pengetahuan.
4. Pimpinan perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan
Fakultas Ushuluddin dan Perpustakaan Imanjama’ beserta jajaran pengelola
perpustakaan tersebut yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
untuk melakukan penelitian ini hingga selesai.
5. Yang tercinta Ayahanda H. Amiruddin dan Ibunda Hj. Bunga yang senantiasa
mencurahkan kasih sayang dan perhatian dengan segenap hati dan yang tidak
lelah untuk terus mendoakan ananda untuk mencapai kesuksesan dimasa
depan. Sungguh ananda belum bisa membalas semua kebaikan mama-papa,
hanya do’a yang dapat penulis sampaikan kepada mama-papa, semoga Allah
Swt. selalu melindungi mama-papa dan semoga ananda selalu dapat berbakti
kepadanya. Kakak-kakakku (H. Yudha, Hj.Hani, dan Hj. Fatmawati) serta
saudara-saudaraku tercinta yang memberikan motivasi dan membantu penulis
baik materil maupun inmaterial sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
6. Untuk teman-teman UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya teman-
teman Jurusan Tafsir Hadits angkatan 2007/2008, khususnya kelas TH-B:
yang tidak bisa disebutkan semuanya. Teman-teman senior TH (Ust. Hadir,
viii
S.Th.i, Ahmad Zarkazy, S. Th.i, Amir mukmin S.Th.i,) yang telah
memberikan masukan-masukan tentang skripsi ini. “gak ada lo gak rame”.
dan seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
penelitian ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam ungkapan yang
singkat ini.
7. Teman-teman penulis di manapun berada, khususnya sahabat-sahabatku
(Dika, Fathoni, Zamroni dan Handri) yang senantiasa memberikan banyolan-
banyolan yang menghibur penulis di saat penulis sedang “bad mood”.. Untuk
teman-teman Masyhar : Den Mas Kandir Aki Zarkasih, Idham, Robi,
Zulfikar, Endin, Jamil, Jreng, Amir, Andi dan semua rekan-rekan
seperjuangan yang selalu memberi Support dalam menyelesaikan penulisan
skripsi ini.
8. Terakhir, untuk teman-teman TH angkatan 2007-2008 semuanya, tidak ada
suatu yang dapat penulis sampaikan, kecuali ucapan terima kasih yang tidak
terhingga, serta doa; semoga amal kebaikan kita semua diterima dan dibalas
oleh Allah Swt. Jazâkumullâh ahsan al-jazâ, Âmîn…..!
Akhirnya hanya kepada Allah jualah, penulis mengharap ridha dan rasa
syukur penulis yang tak terhingga. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat,
khususnya bagi penulis. Amin
Jakarta, 21 Juni 2011
Ttd,
Ismail Amir
Penulis
ix
PEDOMAN TRANSLITERASI1
Konsonan
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan
B Be
T Te
Ts te dan es
J Je
H h dengan garis bawah
Kh ka dan ha
D da
Dz De dan zet
R Er
Z Zet
S Es
Sy es dan ye
S es dengan garis bawah
D de dengan garis bawah
T te dengan garis bawah
Z zet dengan garis bawah
„ koma terbalik keatas, menghadap ke kanan
Gh ge dan ha
1 Pedoman ini disesuaikan dengan pedoman akademik fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2006/2007, hal. 101 - 105
x
F Ef
Q Ki
K Ka
L El
M Em
N En
W We
H Ha
„ Apostrof
Y Ye
Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal alih
aksaranya adalah sebai beeriku:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
______ a fathah
______ i kasrah
______ u dammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ai a dan i ____ي
و__ __ au a dan u
xi
Vokal Panjang (Madd)
Ketentuan alih aksara vokal panjang (Madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
â a dengan topi di atas ــا
î i dengan topi di atas ــي
û u dengan topi di atas ـــو
Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /l/ , baik diikuti oleh
huruf syamsyiah maupun qamariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân
bukan ad-dîwân.
Syaddah (Tashdid)
Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini
tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kaata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya yang secaraa lisan
berbunyi ad-daruurah, tidak ditulis “ad-darûrah”, melainkan “al-darûrah”,
demikian seterusnya.
Ta Marbûtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan manjadi huruf /h/ (lihat
contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti
oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Akan tetapi, jika huruf ta marbûtah tersebut
diikuti oleh kata benda (isim), maka huruf tersebutdialihaksarakan menjadi huruf
/t/ (lihat contoh 3).
xii
Contoh:
no Kata Arab Alih aksara
1 tarîqah
2 al-jâmî ah al-islâmiyyah
3 wahdat al-wujûd
Huruf Kapital
Meskipun dalam tulisan Arab huruf capital tidak dikenal, dalam alih
aksara ini huruf capital tersebut juga digunakan, dengan memiliki ketentuan yang
berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain
yang menuliskan kalimat, huruf awal nama tempat nama bulan, nama diri, dan
lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama didahului oleh kata sandang, maka yang
ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal
atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâli bukan Abû Hamid Al-
Ghazâli, al-Kindi bukan Al-Kindi.
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i
PERNYATAAN ................................................................................................. ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................... iii
PERSETUJUAN TIM PENGUJI .................................................................... iv
ABSTRAK ......................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ...................................................................... ix
DAFTAR ISI ...................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.................................... 5
C. Tujuan Penelitian .................................................................. 5
D. Tinjauan Pustaka ................................................................... 6
E. Metode Penelitian.................................................................. 6
F. Sistematika Penulisan ........................................................... 8
BAB II SEKILAS TENTANG MUSTAFÂ AL-MARÂGHÎ ..............
A. Biografi dan Pendidikan Ahmad Mustafâ al-Marâghî .......... 9
B. Sejarah Penulisan Tafsîr al-Marâghî .................................... 12
C. Karya Tulis Ahmad Mustafa al-Marâghî .............................. 13
D. Metode dan Corak Penafsiran Ahmad Mustafa al-Marâghî . 14
xiv
BAB III PENGERTIAN LAKNAT ........................................................
A. Pengertian Laknat (Perbedaan Laknat, ‘Adzâb, Dan
Musibah) ............................................................................... 21
B. Sebab Diturunkannyaa Laknat .............................................. 25
C. Kepada Siapa Laknat Diturunkan ......................................... 26
D. Menjauhkan diri dari laknat Allah ........................................ 33
BAB IV PENAFSIRAN AHMAD MUSTAFA AL-MARÂGHÎ
TERHADAP AYAT-AYAT LAKNAT ...................................
A. Indentifikasi Ayat Tentang Laknat ....................................... 35
B. Penafsiran Ayat-Ayat Laknat Dalam Tafsîr Al-Marâghî ...... 39
C. Analisa Terhadap Penafsiran Mustafa al-Marâghî tentang
Laknat .................................................................................... 62
BAB V PENUTUP ..................................................................................
A. Kesimpulan ........................................................................... 66
B. Saran ...................................................................................... 67
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap nikmat yang diterima dari Allah SWT akan menambah
kebahagiaan dan kesenangan dalam hidup setiap manusia, Sehingga mereka dapat
mensyukurinya. Sebab, ketika Allah menggambarkan nikmat yang dilimpahkan
kepada hamba-Nya, Allah selalu menyebutnya sebagai kesenangan (QS. Ali
Imran; 14), berkah (QS. al-A'raf; 96), dan karunia (QS. at-Taubah; 76). Namun,
ada satu kondisi di mana nikmat bisa berubah menjadi laknat dan karunia yang
diberikan merupakan murka Allah SWT. Inilah yang disebut dengan istidrâj.
Istidrâj adalah pemberian Allah kepada orang yang sering melakukan maksiat
kepada-Nya. Semakin mereka melupakan Allah, Allah tetap akan menambahkan
kesenangan bagi mereka. Akibatnya, mereka semakin terjerumus dan Allah akan
menjatuhkan siksa yang sangat pedih.
Rasulullah SAW mengingatkan,
اذا رأيت اهلل تعالى يعطى العبد من الدنيا ما يحب وهو مقيم على معاصيه فانما
ذلك منه استدراج
"Jika kamu melihat Allah memberikan kemewahan dunia kepada
seseorang yang suka melanggar perintah-Nya, maka itu adalah istidraaj." (HR
Ahmad).1
Ada beberapa golongan yang berpotensial ditimpa istidrâj diantaranya
adalah orang-orang yang diberi nikmat kekuasaan, lalu ia menjadi sombong dan
1 Lihat Jalaluddin as-Suyuti, Jami’ Shaghir, (Kudus: Menara Kudus, ttp.), Jilid. I., h. 26.
2
sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Maka, Allah memperpanjang masa
kekuasaannya sehingga ia semakin terjerumus dalam kesombongan dan
kesewenang-wenangan tersebut. Seperti sosok Firaun yang ketika Allah
memberinya kekuasaan, Firaun sering bertindak semena-mena. Lalu, Allah
tambahkan kekuasaannya, dan Firaun semakin takabur hingga mengaku dirinya
sebagai tuhan.2 Dan Allah akhirnya menjatuhkan ‘adzâb yang sangat pedih
dengan menenggelamkan Firaun di Laut Merah. Na'udzubillâh.
Sejak tahun 2010, nyaris berbagai ujian dan cobaan melanda negeri
Indonesia. Mulai dari meletusnya gunung merapi di Jogja, tsunami di Mentawai
pada tanggal 25 oktober dan banjir di mana-mana dan musibah lainnya. Semuanya
adalah musibah yang harus disikapi dengan sabar, tabah, dan lapang
dada. Apabila terjadi musibah, itu peringatan dari Allah untuk kita kembali
kepada Allah.
Dalam al-Quran ada beberapa terminologi seperti musibah, ‘adzâb, dan
laknat. Katagori ‘adzâb sebagian besar ditimpakan kepada orang kafir. Seperti
banjir Nabi Nuh, yang selamat hanya orang beriman yang mengikuti ajaran Nabi
Nuh. Kaum Nabi Luth hancur tapi orang yang shaleh selamat. Nabi Shaleh yang
ditimpa wabah penyakit yang mengerikan aneh sekali yang beriman walaupun
rumahnya bersebelahan tidak terkena penyakit sedangkan yang kafir dimusnahkan
oleh penyakit yang mengerikan.
Pasukan Abrahah hancur lebur karena di’adzâb Allah dengan batu yang
dilontarkan oleh burung Ababil tetapi di tempat di sekitarnya tidak apa-apa.
Adalagi wabah semua yang memakan daging unta Nabi Shaleh dan Nabi Syuaib
2 Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Surah An-Nazi‟at: 24 (DEPAG RI., 1997)
3
semuanya kena virus, tapi yang tidak makan tidak kena virus. Jadi, memang
‘adzâb itu ditujukan kepada orang-orang yang memang durhaka. Kalau musibah,
itu lebih bersifat ujian untuk menguji ketebalan iman kita. Tapi, itu tingkatnya
lebih massif (tidak memilih agama, warna kulit, jenis kelamin apapun).3
Dari beberapa terminologi yang terdapat dalam al-Quran tersebut,
sengaja penulis membahas laknat karena masih banyak masyarakat yang belum
mengerti tentang laknat itu sendiri.
Secara bahasa arab la’ana bermakna “terhina karena dikutuk, kalimat ini
digunakan ketika pada zaman pemerintahan jâhiliyyah, seperti ucapan Raja; kamu
terhina karena dikutuk, yang bermakna kamu terkutuk karena terhina oleh raja.
Sedangkan kata al-la’nu yaitu jauh dan tersingkir dari kebaikan.”, atau “tersingkir
dan jauh dari Allah“. Sedangkan laknat dari manusia yaitu mendoakan.4
Kata laknat berasal dari kata al-la’n artinya “mengusir dan menjauhkan
sesuatu atau seorang akibat perbuatan yang menimbulkan kemarahan”. Orang
yang mendapat laknat Allah berarti ia di jauhkan dari rahmat-Nya disertai dengan
murka Allah di dunia dan hukuman neraka di akhirat kelak.5
Dalam al-Quran kata laknat diulang dalam berbagai bentuk sebanyak 40
kali yang tersebar di beberapa surat dalam berbagai kasus yang melangggar
perintah Allah dan Rasulnya.6 Kata laknat sendiri dalam bahasan al-Quran secara
garis besar hampir sama dengan musibah, ‘adzâb, nikmat atau bala‟. Para mufasir
pun berbeda-beda dalam menafsirkannya. Namun jika dikaitkan dengan fenomena
3http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/hikmah/10/07/10/124132-waspadai
laknat-tersamar-di-balik-nikmat 4 Ibnu Manzȗr, Lisân al-Arab, (Beirut: Dar Sâdir, tt), Juz 4, h. 504.
5 Departemen Agama RI, al-Quran dan Tafsirnya (edisi yang disempurnakan),(Jakarta:
Depeartemen Agama RI, 2004), h. 218 6 Mengenai jumlah dapat di buka Fathurrahman, (Surabaya: Maktabah Dahlan, ttp), h.
398-399.
4
alam atau kejadian-kejadian yang menimpa manusia secara umum, kepastian
tentang laknat atau nikmat masih belum dapat dipastikan. Yakni, suatu musibah,
atau kenikmatan yang dirasakan oleh seseorang atau suatu kaum apakah dapat
dikategorikan sebagai laknat atau bukan. Di sisi lain, apakah laknat dapat terjadi
di dunia ini atau hanya di akhirat. Lalu siapakah orang-orang yang tergolong
dalam laknat Tuhan dan kenapa laknat itu menimpa mereka. Pertanyaan-
pertanyaan inilah yang mendasari kami untuk membahas laknat dalam perspektif
tafsîr al-marâghî.
Pemilihan tafsîr al-marâghî karena dalam penguraian suatu ayat Ahmad
Mustafâ al-marâghî biasanya mula-mula menafsirkan secara lafdzi atau
memaknai kalimat-kalimat yang sulit dan asing yang kemudian dijelaskan secara
ijmali (global). Sebagai contoh, ketika ia menafsirkan ayat mengenai tuduhan zina
(suami pada istrinya).7
Dalam muqaddimah tafsîr-nya al-marâghî menuturkan, bahwa ia merasa
ikut bertanggung jawab untuk mencari solusi dalam berbagai masalah yang
mewabah di masyarakat berdasarkan al-Quran. Di tangan al-marâghî, al-Quran di
tafsîr-kan dengan gaya modern sesuai tuntunan masyarakat. Pada beberapa
bagian, penjelasannya cukup global. Tetapi di bagian lain, uraiannya cukup
mendetail. Tergantung kondisi. Setidaknya ada dua sumber utama yang ia jadikan
pijakan untuk menafsirkan ayat al-Quran, yaitu riwayat dan penalaran logis. Ia
mencoba menyeimbangkan keduanya.8 Dari metode penafsiran yang digunakan
7 Ahmad Mustafa al-marâghî, Tafsîr al-marâghî, Penerjemah Bachruddin AB. Lc., dan
Drs. Hery Nur Ali, (Semarang: CV. Toha Putra)jil. h. 130. 8 Sebagain ulama mengatakan bahwa tafsîr al-marâghî menjadi pelengkap atau
penyempurna tafsîr al-Manâr (Rasyîd Ridhâ). Saiful Amin Ghafur, Profil Para Mufasir al-Quran,
(Yogyakarta: Pustaka Insan Madani), Cet. I, h. 153-154.
5
inilah yang mendorong kami memilih tafsîr ini untuk membahas kata laknat
dalam al-Quran.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Untuk memperjelas dan menghindari pembahasan yang tidak mengarah
pada maksud dan tujuan penulisan skripsi ini, maka penulis akan mambatasi
permasalah dengan menitik beratkan kepada penafsiran Ahmad Mustafâ al-
Marâghîterhadap ayat-ayat yang membahas masalah laknat.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah diatas, maka penulis merumuskan
permasalahannya pada: Bagaimana penafsiran al-Marâghî tentang ayat-
ayat laknat yang ada dalam al-Qur’an?
C. Tujuan Penelitian.
Setiap perbuatan yang dilakukan seseorang pasti ada maksud dan
tujuannya. Demikian pula dengan penulisan skripsi ini yang mempunyai tujuan-
tujuan tertentu, antara lain:
1. Untuk mendapatkan suatu ilmu yang belum didapatkan oleh penulis,
pelajaran yang belum penulis ketahui, semoga dengan ini penulis lebih
dapat memahaminya.
2. Sebagai kontribusi ilmiah dalam memperkaya khazanah kepustakaan
islam, khususnya dalam bidang tafsîr.
6
3. Sebagai tugas akhir, guna memperoleh gelar Sarjana (S1) dalam
bidang tafsîr hadis di Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Tinjauan Pustaka
Untuk menghindari terjadinya kesamaan pembahasan pada skripsi ini
dengan skripsi yang lain, penulis menelusuri kajian-kajian yang pernah dilakukan
atau memiliki kesamaan. Selanjutnya hasil penelusuran ini akan menjadi acuan
penulis untuk tidak mengangkat metodologi yang sama, sehingga diharapkan
kajian ini tidak terkesan plagiat dari kajian yang telah ada.
Berdasarkan hasil penelusuran penulis, penulis menemukan ada satu karya
yang membahas permasalahan ini, yaitu Skripsi oleh Mahfuz yang berjudul
”Takhrij Hadis Tentang Laknat Allah Bagi Pelaku Suap-Menyuap” , tahun 2007,
no 2085. Skripsi ini membahas pada kajian Hadis-hadis yang berkenaan dengan
Laknat Allah bagi pelaku suap-menyuap.
Dari tinjauan di atas, dapat penulis katakan bahwa pembahasan skripsi ini
berbeda dengan karya di atas, karna penulis membahas laknat berdasarkan pada
pokok penafsiran bukan pada Hadis.
D. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini ada tiga aspek metode penelitian yaitu:
a. Metode Pengumpulan Data
Kajian skripsi ini dilakukan melalui penelitian kepustakaan (Library
Research). Data-data yang dicari dari sumber-sumber lepustakaan seperti buku-
7
buku, kitab-kitab tafsîr, hadits dan lain-lain, baik sumber primer maupun
sekunder. Untuk sumber primer itu sendiri penulis merujuk pada kitab tafsîr al-
Marâghîkarangan Ahmad Mustafâ al-Marâghî Dâr al-Kutȗb al-„Ilmiyyah.
b. Metode Pembahasan
Dalam metode ini penulis menggunakan metode tematik “(maudhu’i)”,
yakni dengan cara membahas bentuk-bentuk pengungkapannya dalam al-Qur‟an
yang berkaitan dengan laknat.
Menurut Al-Farmawi metode maudhu’i (tematik) adalah menghimpun atau
mengumpulkan ayat-ayat al-Qur‟an yang mempunyai tujuan satu dari surat al-
Qur‟an yang sama membahas topik atau judul tertentu dan menertibkannya
sedapat mungkin dengan masa turunnya, selaras dengan masa turunnya, kemudian
memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan dan
berhubungannya dengan ayat lain kemudian mengistimbatkan hukum-hukum.9
Kemudian menghubungkan beraneka ragam masalah yang terdapat dalam
ayat tersebut ke dalam suatu tema. Serta mengungkapkan kesimpulan dari seluruh
bahasan sebelumnya dan sekaligus menjawab pokok permasalahan yang
dikemukakan di atas.
c. Metode Penulisan
Secara teknis penulisan skripsi ini beradasarkan pada buku “pedoman
penulisan skripsi, tesisi, dan disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2010.”
9Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsîr Maudhu’i: Sebuah Pengantar Terj. Surya A.
Samran,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), h.36, Lihat M.Quraish Shihab, Membumikan
Al-Qur’an,( Jakarta: Mizan, 1992), Cet. Ke-1, hal. 115.
8
E. Sistematika Penulisan
Skripsi ini terbagi menjadi lima bab, setiap bab terdiri dari beberapa sub-
sub bab yang dimaksudkan untuk mempermudah dalam penyusunan serta
mempelajarinya, dengan sistematika sebagai berikut :
Bab Pertama merupakan pendahuluan yang meliputi : latar belakang
masalah, batasan dan rumusan masalah, kajian pustaka dan tujuan penelitian,
metode penelitian dan diakhiri dengan sistematika penulisan. Bab ini berusaha
memberikan gambaran singkat tentang masalah yang akan dibahas pada bab-bab
selanjutnya.
Bab kedua membahas tentang penulis tafsîr al-marâghî yang meliputi :
Biografi dan Pendidikan Ahmad Mustafâ al-Marâghî, sejarah penulisan tafsîr al-
Maragi, karya-karya Ahmad Mustafâ al-Marâghî, metode dan corak penafsiran
Ahmad Mustafâ al-Marâghî.
Bab ketiga membahas tentang laknat menurut al-Quran yang meliputi :
pengertian laknat, sebab diturunkannya laknat, kepada siapa laknat di turunkan
dan menjauhkan diri dari laknat Allah.
Bab empat merupakan inti pembahasan mengenai laknat dalam tafsîr al-
Marâghî yang meliputi : indentifikasi ayat tentang laknat, penafsiran ayat-ayat
laknat dalam tafsîr al-marâghî, Kemudian dilanjutkan dengan analisa penafsiran.
Bab lima merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan yang
didasarkan pada keseluruhan uraian dan pembahasan yang telah dijelaskan pada
bab-bab sebelumnya, juga memuat saran-saran yang diperlukan.
9
BAB II
SEKILAS TENTANG MUSTAFÂ AL-MARÂGHÎ
A. Biografi dan Pendidikan Ahmad Mustafâ al-Marâghî
Nama lengkap Ahmad Mustafa al-Marâghî adalah Ahmad Mustafâ ibn
Mustafâ ibn Muhammad ‘Abd al-Mun’im al-Qadi al-Marâghî. Ia lahir pada tahun
1300H/1883M di kota al-Marâghah, propinsi Suhaj, kira-kira 700km. Arah selatan
kota Kairo.1 Menurut ‘Abd al-‘Azîz al-Marâghî, yang dikutip oleh Abdul Djalal,
kota al-Marâghah adalah ibu kota al-Marâghah yang terletak di tepi barat Sungai
Nil, yang berpenduduk sekitar 10.000 jiwa, dengan penghasilan utama gandum,
kapas dan padi.2
Ahmad Mustafâ al-Marâghî berasal dari kalangan ulama yang taat dan
menguasai berbagai bidang ilmu agama. Hal ini terbukti dengan adanya lima dari
delapan putra laki-laki syekh Mustafâ al-Marâghî (Ayah dari Ahmad Mustafâ al-
Marâghî) adalah ulama besar yang cukup terkenal, yaitu:
1. Syekh Muhammad Mustafâ al-Marâghî yang pernah menjadi Syekh al-
Azhâr selama dua periode, yaitu tahun 1928-1930 dan 1935-1945.
2. Syekh Ahmad Mustafâ al-Marâghî, yaitu pengarang Kitab Tafsîr al-
Marâghî.
3. Syekh Abd al-Azîz al-Marâghî, Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas
al-Azhâr dan Imam Raja Farȗq.
1 Adil Nuwayhid, Mu’jam al-Mufassîrîn Sadr al-Islâm hatta al-‘Asr al-Hadir, (Beirut:
Muassasah al-Nuwayhid al-Saqafiyyah, 1409H/1988M), Cet. Ke-2, jilid. 1, h. 80. 2 Abdul Djalal, Tafsir al-Maraghi dan Tafsîr al-Nur Sebuah Studi Perbandingan,
(Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1985), h. 110.
10
4. Syekh ‘Abdullah Mustafâ al-Marâghî, inspektur Umum pada Universitas
al-Azhar.
5. Syekh ‘Abd al-Wafa Mustafâ al-Marâghî, sekretaris Badan Penelitian dan
Pengembangan Universitas al-Azhar.3
Di samping itu juga ada empat orang putra Ahmad Mustafâ al-Marâghî
yang menjadi hakim, yaitu;
1. M. Azîz Ahmad al-Marâghî, Hakim di Kairo.
2. A. Hamid al-Marâghî, Hakim dan Penasehat Kehakiman di Kairo.
3. Ashim Ahmad al-Marâghî, Hakim di Kuwait dan Pengadilan Tinggi Kairo.
4. Ahmad Midhat al-Marâghî, Hakim di Pengadilan Tinggi Kairo dan Wakil
Menteri Kehakiman Kairo. 4
Sebutan al-Marâghî dari Syekh Ahmad Mustafâ al-Marâghî dan lain-
lainnya ini dihubungkan dengan nama atau kota tempat tinggal keluarga ayah al-
Marâghî yaitu kota al-Marâghah.5
Pada saat Ahmad Mustafâ al-Marâghî menginjak usia sekolah, ia
dimasukkan oleh orang tuanya ke madrasah di desanya untuk belajar al-Qur’an.
Karena otaknya yang cerdas, pada usia lima belas tahun ia telah hafal al-Qur’an.
Selain itu, ia juga mempelajari ilmu tajwid dan dasar-dasar ilmu syari’ah di
madrasah sampai dia menamatkan pendidikan tingkat menengah.
Pada tahun 1314 H/1897 M al-Marâghî berangkat ke Kairo untuk kuliah
di Universitas al-Azhâr. Di sini ia mempelajari berbagai cabang ilmu pengetahuan
agama seperti bahasa arab, balâghah, tafsîr, ilmu al-Qur’an, hadîs, ilmu hadis,
3 Abdul Djalal, Tafsir al-Maraghi dan Tafsir al-Nur Sebuah Studi Perbandingan, h. 110.
4 Abdul Djalal, Tafsir al-Maraghi dan Tafsir al-Nur Sebuah Studi Perbandingan, h. 110.
5 Hasan Zaini, Tafsir Tematik ayat-ayat kalam Tafsir al-Maraghi, (Jakarta : Pedoman
Ilmu jaya, 1997), cet. 1, h. 16
11
fiqih, usul fiqhi, akhlak, ilmu falaq dan sebagainya. Di samping kuliah di al-
Azhâr, ia juga kuliah di Fakultas Dâr al-‘Ulum, Kairo. Akhirnya pada tahun 1909
ia lulus dari kedua perguruan tinggi tersebut. Di antara dosen-dosen yang
mengajar al-Marâghi di Azhâr dan Dâr al-‘Ulum di antaranya ada;ah Syekh
Muhammad ‘Abduh, Syekh Muhammad Hasan al-Adrawî, Syekh Muhammad
Bahis al-Mut’i dan Syekh Muhammad Rifai al-Fayumî.
Setelah Ahmad Mustafâ al-Marâghî lulus dari al-Azhâr dan Dâr al-
‘Ulum, ia memulai karirnya dengan menjadi guru di beberapa sekolah menengah.
Kemudia ia diangkat menjadi direktur Madrasah Muallimin di Fayun, sebuah kota
setingkat kota madya, kira-kira 300 km sebelah barat daya kota Kairo. Pada 1916
M ia diangkat menjadi dosen utusan Universitas al-Azhâr untuk mengajar ilmu-
ilmu syari’ah islam pada Fakultas Ghirdun di Sudan. Di Sudan, selain sibuk
mengajar, Syekh Ahmad Mustafâ al-Marâghî juga giat mengarang buku-buku
ilmiah. Salah satu buku yang selesai dikarangnya di sana adalah al-Balâghah.6
Pada tahun 1920 M, ia kembali ke Kairo dan diangkat menjadi dosen
bahasa Arab dan ilmu-ilmu syari’ah di Dâr al-‘Ulum sampai tahun 1940. Di
samping itu, ia juga diangkat menjadi dosen ilmu balâghah dan sejarah
kebudayaan Islam di Fakultas Adab Universitas al-Azhâr. Selama mengajar di al-
Azhâr dan Dâr al-‘Ulum, al-Marâghî tinggal di daerah Hilwan, sebuah kota satelit
Kairo kira-kira 24 km sebelah selatan kota Kairo. Ia menetap di sana sampai akhir
hayatnya, sehingga di kota ini terdapat sebuah jalan yang dinamai jalan al-
Marâghî.
6 Hasan Zaini, Tafsir Tematik ayat-ayat kalam Tafsir al-Maraghi, , cet. 1, h. 16
12
Ahmad Mustafâ al-Marâghî juga mengajar pada perguruan Ma’had
Tarbiyah Mu’alimât beberapa tahun lamanya, sampai ia mendapat piagam tanda
penghargaan dari Raja Mesir, Faruq pada tahun 1361 H. atas jasa-jasanya
tersebut. Piagam tersebut tertanggal 11-1-1316 H. Pada tahun 1370H/1951 M,
yaitu setahun sebelum beliau meninggal dunia, beliau juga masih mengajar dan
bahkan dipercayakan menjadi direktur Madrasah Utsman Mahir Basya di Kairo
sampai menjelang akhir hayatnya.7 Beliau meninggal pada tahun 9 juli 1952
M/1371 H. di tempat kediamannya di jalan Zulfikar Basya nomor 37 Hilwan dan
dikuburkan di pemakaman keluarganya di Hilwan, kira-kira 25 km sebelah selatan
kota Kairo.8
B. Sejarah Penulisan Tafsîr al-Marâghî
Tafsîr al-Marâghî ditulis selama kurang lebih 1 tahun, sejak tahun 1940-
1950 M. Menurut sebuah sumber, ketika al-Marâghî menulis tafsirnya, ia hanya
beristirahat selama empat jam sehari. Dalam 20 jam yang tersisa, ia
menggunakannya untuk mengajar dan menulis.
Ketika malam telah bergeser pada paruh terakhir kira-kira pukul 3.00, al-
Marâghî memulai aktivitasnya shalat tahajud dan hajat. Dipanjatkannya doa untuk
memohon petunjuk dari Allah. Usai menjalankannya, ia kemudian menulis tafsir,
ayat demi ayat. Pekerjaan itu diistirahatkan ketika berangkat kerja. Pulang kerja,
ia tidak langsung melepas lelah sebagaimana orang lain. Aktivitas tulis
menulisnya yang sempat terhenti, dilanjutkan. Kadang-kadang, sampai jauh
malam.
7 Abdul Djalal, Tafsir al-Maraghi dan Tafsir al-Nur Sebuah Studi Perbandingan, h. 115.
8 Adil Nuwayhid, Mu’jam al-Mufassîrîn Sadr al-Islâm hatta al-Asr al-Hadîr, (Beirut:
Muassasah al-Nuwayhid al-Saqafiyah, 1409H/1988M), Cet. Ke-2, jilid. 1, h. 80.
13
Dalam muqaddimah tafsîrnya, al-Marâghî menuturkan alasan menulis
kitab tafsîr. Ia merasa ikut bertanggung jawab untuk mencari solusi terhadap
berbagai masalah yang mewabah di masyarakat berdasarkan al-Qur’an. Di tangan
al-Marâghî, al-Qur’an ditafsirkan dengan gaya modern sesuai dengan tuntutan
masyarakat. Pilihan bahasa yang disuguhkan kepada pembaca pun ringan dan
mengalir lancar. Pada beberapa bagian, penjelasannya cukup global. Tetapi
dibagian lain, uraiannya begitu mendetail. Tergantung kondisi. Ada dua sumber
utama yang menjadi pijakannya dalam menulis kitab tafsir al-Qur’an: riwayat dan
penalaran logis. Ia berusaha meyeimbangkan keduannya.9
C. Karya Tulis Ahmad Mustafâ al-Marâghî
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, Ahmad Mustafâ al-Marâghî,
selain aktif mengajar, juga giat menulis dan mengarang. Karya tulisnya yang
terbesar adalah Tafsîr al-Marâghî yang terdiri atas 30 juz. Di samping itu banyak
karya-karya yang dihasilkan diantaranya:
1. Ulȗm al-Balâghah.
2. Hidâyah al-Thâlib.
3. Tahbîz al-Tandîh.
4. Buhuts wa Ara.
5. Târikh ‘Ulum al-Balâghah wa Ta’rif bi Rijaliha.
6. Mursyîd at-Tullab.
7. al-Muzasif al-Adab al-Arabî.
8. al-Muzasif ‘Ulum wa al-Usȗl.
9 Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an,(Yogyakarta : Pustaka Insan
Madani, 2008), h. 153
14
9. ad-Diyânat wa al-Akhlâk.
10. al-Hisab fi al-Islâm.
11. ar-Rifq bi-Hayawan fi al-Islâm.
12. Syarh Tsalatsin Hadisan.
13. Tafsîr Juz Innamâ al-Sabîl.
14. Risâlah fi Zaujat an-Nabi.
15. Risâlat ishat Ru’yah al-Hilâl fi Ramadân.
16. al-Khutbah wa al-Khutâba fi Daulat al-Umawiyah wa al-‘Abbasiyah.
17. al-Mutâla’ah al-‘Arâbiyyah li al-Madârîs as-Sudaniyyah.10
D. Metode dan Corak Penafsiran Ahmad Mustafâ al-Marâghî.
Pada bagian ini akan dijelaskan latar belakang penulisan Tafsîr al-
Marâghî, sebagaimana yang terdapat dan diungkapkan al-Marâghî pada
Muqaddimah tafsîrnya. Ia mengatakan bahwa di masa sekarang orang sering
menyaksikan banyak kalangan yang cenderung memperluas cakrawala
pengetahuan di bidang agama, terutama sekali dibidang tafsîr al-Qur’an dan
Sunnah Rasul. Kitab-kitab tafsîr tersebut banyak memberikan manfaat karena
menyingkap berbagai persoalan agama dan bermacam-macam kesulitan yang
tidak mudah dipahami, namun kebanyakan telah banyak dibumbui dengan istilah-
istilah ilmu lain, seperti ilmu balâghah, nahwu, sharaf, fiqhi, tauhid, dan ilmu-
ilmu lainnya, yang justru merupakan hambatan bagi pemahaman al-Qur’an secara
benar bagi para pembaca.11
Di samping itu kitab-kitab tafsîr juga sering diberi
10
Kafrawi Ridwan, et.al (ed), Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ictiar Baru Van Hoeve
Jakarta. 1994), cet. Ke 3, h. 166 11
Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsir al-Maraghi, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah,
1992), jilid 1 h. 3
15
cerita-cerita yang bertentangan dengan akal dan fakta-fakta ilmu pengetahuan
yang bisa dipertanggungjawabkan.12
Bila kita membandingkan dengan kitab-kitab tafsîr yang lain yang
terdapat dikalangan umat islam, baik sebelum ataupun sesudah tafsîr al-Marâghi,
termasuk tafsîr al-Manâr, yang dipandang modern, ternyata tafsîr al-Marâghî
mempunyai metode penulisan tersendiri, yang membuatnya berbeda dengan kitab-
kitab tafsîr yang lain tersebut. Sedangkan bila dilihat dari coraknya, tafsîr al-
Marâghî sama dengan corak tafsîr al-Manâr karya Muhammad ‘Abduh dan
Rasyid Ridhâ, tafsîr al-Qur’an al-Karîm, karya Mahmud Syaltut, dan tafsîr
Wâdhih, karya Muhammad Hijazi.13
Adapun metode penulisan dan sistematika tafsîr al-Marâghî sebagaimana
yang dikemukakannya dalam muqaddimah tafsîrnya adalah sebagai berikut:
1. Mengemukakan Ayat-Ayat di Awal Pembahasan
Al-Marâghî memulai setiap pembahasan dengan mengemukakan
satu, dua atau lebih ayat-ayat al-Qur’an yang mengacu kepada suatu tujuan
yang menyatu.14
2. Menjelaskan Kosa Kata (Syarh Al-Mufradât).
Selanjutnya al-Marâghî menjelaskan pengertian kata-kata secara
bahasa, bila ternyata ada kata-kata yang sulit dipahami oleh para
pembaca.15
12
Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah,
1992), jilid 1 h. 3 13
Ahmad Akram, Târîkh ‘ilm al-Tafsîr wa Manâhîj al-Mufassîrîn, terj. Ali Hasan al-
‘Aridl (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1992), Cet. Ke-2, h. 72. 14
Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah,
1992), jilid 1 h. 16 15
Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah,
1992), jilid 1 h. 16
16
3. Menjelaskan Pengertian Ayat-ayat Secara Global (al-Maknâ al-Jumâl
li al-Ayat).
Al-Marâghî menyebutkan makna ayat-ayat secara global, sehingga
sebelum memasuki penafsiran yang menjadi topik utama, para pembaca
sudah terlebih dahulu mengetahui makna ayat-ayat tersebut secara umum,
sehingga memudahkan pembaca dalam memahami maksud ayat-ayat
tersebut.16
4. Menjelaskan Sebab-sebab Turun Ayat (Asbâb al-Nuzȗl)
Jika ayat tersebut mempunyai asbâb al-nuzȗl (sebab-sebab turun
ayat) berdasarkan riwayat sahih yang menjadi pegangan para mufassir,
maka Ahmad Mustafâ al-Marâghî menjelaskannya terlebih dahulu.17
5. Meninggalkan Istilah-Istilah Yang Berhubungan Dengan Ilmu
Pengetahuan
Istilah-istilah yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, sengaja
ditinggalkan oleh al-Marâghî, menurutnya hal ini bisa menghambat para
pembaca dalam memahami isi al-Qur’an. Misalnya ilmu nahwu, saraf, dan
‘ilmu balâghah.18
6. Gaya Bahasa Para Mufassir
Al-Marâghî sangat menyadari bahwa tafsir-tafsir yang terdahulu
disusun dengan gaya bahasa yang sesuai dengan para pembaca ketika itu.
Namun disebabkan oleh pergantian masa lalu diikuti dengan ciri-ciri
16
Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah,
1992), jilid 1 h. 16 17
Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah,
1992), jilid 1 h. 17 18
Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah,
1992), jilid 1 h. 17
17
khusus, baik tingkah laku dan kerangka berfikir masyarakat, maka
merupakan hal yang sewajarnyalah bahkan merupakan kewajiban bagi
mufassir masa sekarang ini untuk memperhatikan keadaan pembaca dan
menjauhi pertimbangan keadaan masa lalu yang tidak relevan lagi.19
Oleh
karena itu, al-Marâghî merasa terpanggil untuk memenuhi sebuah
kewajiban dalam memikirkan lahirnya sebuah kitab tafsîr yang
mempunyai warna tersendiri dengan menggunakan gaya bahasa yang
mudah dicerna oleh alam pikiran sekarang ini, karena setiap orang harus
diajak bicara sesuai dengan kemampuan akal mereka.20
Dalam Penyusunan kitab tafsîr ini, al-Marâghî tetap merujuk
kepada pendapat-pendapat para mufassir terdahulu sebagai penghargaan
atas upaya yang pernah mereka lakukan. al-Marâghî mencoba
menunjukkan kaitan ayat-ayat al-Qur’an dengan pendidikan dan ilmu
pengetahuan lainnya. Karena itulah, al-Marâghî sengaja berkonsultasi
dengan orang-orang ahli dibidangnya masing-masing, seperti dokter,
astronom, sejarawan dan orang-orang ahli lainnya untuk mengetahui
pendapat-pendapat mereka.21
7. Menyeleksi Riwayat-riwayat Dalam Kitab Tafsîr.
Menurut al-Marâghî, salah satu kekurangan mufassir al-Qur’an
terdahulu adalah mereka memuat di dalam kitab-kitab tafsîr mereka cerita-
cerita dari ahli kitab. Padahal, menurut al-Marâghî, belum tentu cerita-
19
Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah,
1992), jilid 1 h. 17 20
Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah,
1992), jilid 1 h. 17
21
Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah,
1992), jilid 1 h. 18
18
cerita mereka itu benar. Oleh karena itu, maka dalam tafsîrnya, al-Marâghî
tidak menyebutkan suatu riwayat dari orang terdahulu jika riwayat itu
tidak sesuai dengan pengetahuan dan dengan ketentuan-ketentuan agama
yang tidak diperselisihkan lagi. Hal ini ia lakukan karena lebih
menyelamatkan bagi kepentingan pengetahuan dan lebih terhormat untuk
lebih menarik lagi bagi kaum pelajar di mana mereka ini hanya mau
tunduk pada dalil-dalil, bukti-bukti dan pengetahuan yang benar.22
8. Jumlah Jilid Tafsîrnya.
Al-Marâghî menjadikan 30 jilid tafsîrnya dan menjadikan setiap
juz dari al-Qur’an satu jilid. Hal ini menurut al-Marâghî agar pembaca
mudah membacanya dan menjadikan teman dalam perjalanan, baik di
kereta api, terminal dan tempat mana saja ia berada. Akan tetapi pada saat
ini, Tafsîr al-Marâghî dicetak menjadi sepuluh jilid. Tafsîr al-Marâghî
pertama kali diterbitkan pada tahun 1365 H.23
Adapun kitab-kitab yang dijadikan referensi oleh al-Marâghî dalam
penulisan tafsîrnya adalah :
1. Tafsîr Abu Ja’far al-Tabary (W 310 H).
2. Tafsîr al-Kasyâf, Abu Qasim al-Zamakhsary (W 538 H).
3. Hasyiah al-Kasyâf, Syafaruddin al-Tiybi (W 713 H).
4. Anwar al-Tanjil, Qadhi Nasiruddin Idhamy (W 692 H).
5. Tafsîr Abi al-Qasim atau Raghib al-Isfahânî (W 500 H).
6. Tafsîr al-Bâsith T.H. Abu Hasan al-Naisabury (W 568 H).
22
Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Kairo : Mustafâ al-Bab halabi wa
Auladuhu, 1963), Cet, ke 3, jilid 1, juz 1, h. 19 23
Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Kairo : Mustafâ al-Bab halabi wa
Auladuhu, 1963), Cet, ke 3, jilid 1, juz 1, h. 20
19
7. Tafsîr Mafâtîh al-Ghaîb, Fakhruddin al-Razi (W 610 H).
8. Tafsîr Ibnu Katsîr, Isma’il bin Katsîr al-Quraysy (W 774 H).
9. Tafsîr al-Baghâwy, al-Husein bin Mas’ud (W 516 H).
10. Ghârib al-Qur’an, al-Hasan bin Muhammad al-Qurumy.
11. Bahrul Muhît, Atsiruddin Abi al-Hayan al-Andalusy (W 745 H).
12. Nadzmud Durrar, Burhanuddin Ibrahim al-Bigai (W 885).
13. Tafsîr Abu Muslîm al-Isfahanî (W 459 H).
14. Tafsîr Qadhi Abu Bakr al-Bâqilânî.
15. Tafsîr Sirajul Munîr, al-Khâtib Syarbini.
16. Tafsîr Ruh al-Ma’anî, al-Alusî.
17. Tafsîr al-Manâr, Muhammad Rasyid Ridhâ.
18. Tafsîr al-Jawahîr, Tanthowi Jauhary.
19. Sirah Ibnu Hisyâm.
20. Fath al-Bary, Ibnu Hajar, Syarah Hadis Bukhari.
21. Syarah Hadîs Bukharî, al-Aini.
22. Lisân al-‘Arab, Ibnu Mandzȗr al-Ifriqi (W 717 H).
23. Syahrar Kamus, Fairuz al-Abadi (W 816 H).
24. Asas al-Balâghah, Zamalih Syari (W 518 H).
25. Al-Hadîs Mukhtara, Dliya Muqaddasi.
26. Tâbâqât Syafi’iyyah, Ibnu Subki.
27. Jawâzîr, Ibnu Hajar.
28. A’lam al-Muwaqi’in, Ibnu Timiyah.
29. Al-Itqân, al-Suyuthi.dan Muqadimah Ibnu Khaldun.24
24
Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Kairo : Mustafa al-Bab halabi wa
Aulâduhu, 1963), Cet, ke 3, jilid 1, juz 1, h. 22
20
Pilihan penulis untuk membahas tafsir yang ditulis oleh Ahmad Mustafâ
al-Marâghî ini, selain karena tafsirnya lengkap 30 juz al-Qur’an, juga tafsir ini
banyak beredar di dunia islam termasuk di Indonesia, dan tafsir ini banyak
mengandung hal-hal baru yang relevan dengan kebutuhan umat islam masa
sekarang, yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam
berbagai bidang. Hal ini dapat kita maklumi, karena tafsîr al-Marâghî ini
mengambil corak sastra budaya kemasyarakatan (Adabi ijtima’i) yang memang
berorientasi pada kebutuhan dan kemaslahatan masyarakat.
21
BAB III
PENGERTIAN LAKNAT
A. Pengertian Laknat (Perbedaan Laknat, ‘adzâb, Dan Musibah)
a. Pengertian Laknat
Secara bahasa arab la’ana bermakna “terhina karena dikutuk, kalimat ini
digunakan ketika pada zaman pemerintahan jâhiliyyah, seperti ucapan Raja; kamu
terhina karena dikutuk, yang bermakna kamu terkutuk karena terhina oleh raja.
Sedangkan kata al-la’nu yaitu jauh dan tersingkir dari kebaikan.”, atau “tersingkir
dan jauh dari Allah“. Sedangkan laknat dari manusia yaitu mendoakan.1
Sedangkan menurut Al-Marâghî, al-la’ana secara bahasa bermakna “jauh
dan tersingkir, dan laknat Allah yaitu jauh dari rahmat-Nya dan yang menjaga
semua mukmin di dunia maupun di akhirat..2 Sedangkan laknat manusia berarti
dimaki dan dido‟akan agar ditimpa kejahatan (keburukan). Orang yang
dilaksanakan disebut la’în atau mal’ȗn.
Firman Allah swt Q.S. al-Baqarah/2:88:
“Dan mereka berkata: "Hati Kami tertutup". tetapi sebenarnya Allah telah
mengutuk mereka karena keingkaran mereka; Maka sedikit sekali mereka yang
beriman.3
1 Ibnu Manzȗr, Lisân al-Arab, (Beirut: Dar Sâdir, tt), Juz 4, h. 504.
2 Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah,
1992), jilid 2 h. 29 3Al-Quran dan Terjemahannya, DEPAG RI.,1997.
22
Maksud dari mengutuk di sini adalah menjauhkan mereka dari-Nya. Li’ân
atau mulâ’anah berarti saling mengutuk antara dua orang atau lebih. Sedangkan
al-Lu‟anah berarti sekelompok orang (banyak orang) mengutuk orang lain. Al-
la‟iin berarti yang dilaknat, yaitu predikat yang diberikan kepada iblis [setan]
karena dia terusir dari langit dan dijauhkan dari rahmat Allah swt.4
b. Pengertian ‘Adzâb
Kata “adzâb” secara literal berarti al-nakâl wa al-‘uqȗbah (peringatan
dan hukuman).5 Kata al-‘adzâb biasanya digunakan dalam konteks hukuman atau
siksaaan kelak di hari akhir.6 Dan dalam bahasa Indonesia „adzâb adalah siksaan
yang di hadapi manusia atau makhluk Tuhan lainnya.7 Hal ini dapat dilihat pada
ayat-ayat di dalam al-Qur‟an yang berisi ancaman kepada orang-orang kafir,
diantaranya adalah seperti terdapat pada surat al-Baqarah/2: 7.
8
Secara terrminologi :
Menurut Quraish Shihab : ‘adzâb adalah suatu kemurkaan Allah akibat
pelanggaran yang dilakukan manusia yaitu pelanggaran sunnatullah di alam
4 Majid Assayid Ibrahim, wanita dan laki-laki yang dilaknat, (Jakarta: GEMA INSAN
PRESS 1995) cet. 17, h. 11 5 A. W Munawwir, Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), cet. Ke-
25, h. 1463 6 Ibnu Manzȗr, Lisân al-Arab, (Beirut: Dar Sâdir, tt), Juz 1, h. 585.
7 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1080.
23
semesta dan pelanggaran syariat Allah yang diturunkan kepada para Nabi dan
Rasul-Nya, termasuk Nabi Muhammad SAW.8
Dari definisi diatas menyimpulkan bahwa ‘adzâb adalah suatu peringatan
akan kemurkaan Allah pada makhluknya (manusia) yang telah melanggar perintah
Allah yaitu perbuatan yang dilarang baik berupa ibadah, amal, iman dan lain-lain,
dibalasnya dengan teguran berupa bencana alam.
c. Pengertian Musibah
Dalam bahasa Indonesia kata “Musibah” diartikan sebagai malapetaka
atau bencana, yaitu segala kejadian atau peristiwa menyedihkan yang menimpa
manusia, seperti gempa, banjir, kebakaran dan kematian. Peristiwa-peristiwa
tersebut pada umumnya menimbulkan kerugian berupa harta benda maupun jiwa
manusia.9 Sedangkan dalam bahasa Arab kata musibah (مصيبة) berasal dari kata
dasar yang terdiri dari huruf sad, wau, dan ba‟; صوب (sawaba) yang mempunyai
makna الرمية lemparan.10
Menurut Quraish Shihab: Musibah pada mulanya berarti “sesuatu yang
menimpa atau mengenai”. Sebenarnya sesuatu yang menimpa itu tidak selalu
buruk. Hujan bisa menimpa kita dan itu dapat merupakan sesuatu yang baik.
Memang, kata musibah konotasinya selalu buruk, tetapi boleh jadi apa yang kita
anggap buruk itu, sebenarnya baik, maka Al-Quran menggunakan kata ini untuk
sesuatu yang baik dan buruk (QS. Al-Baqarah : 216)
8 M. Quraish shihab, Wawasan Al-Quran “ Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai Persoalan
Umat ”, (Penerbit Mizan, Jakarta : 2004). h. 153 9 Pusat Bahasa Depdiknas RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, diakses tanggal 22 Mei
2009 dari http:/pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php 10
Al-Râghib al-Asfahâni, Mu’jam Mufradât fî alfâdz al-Qur’an (Beirut: Dâr al-Kutub al-
„ilmiyah, 2004), h. 322
24
“Diwajibkan atas kamu berperang, Padahal berperang itu adalah sesuatu
yang kamu benci. boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik
bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk
bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”11
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa musibah adalah suatu
kejadian yang tidak dikehendaki dan terjadi diluar dugaan manusia dan kejadian
tersebut dapat berupa kesusahan atau kesenangan. Tetapi pada umumnya
masyarakat lebih memahami makna musibah sebagai hal yang buruk, pada hal
sesuatu yang kita anggap buruk itu sebenarnya ada nilai baik karena dibalik
keburukan terdapat hikmah atau pelajaran yang dapat kita ambil.
Jadi perbedaan laknat, ‘adzâb dan musibah ialah laknat berarti ia
dijauhkan dari rahmat-Nya disertai dengan murka Allah di dunia dan hukuman
neraka di akhirat kelak sedangkan ‘adzâb ialah suatu peringatan akan kemurkaan
Allah pada makhluknya (manusia) yang telah melanggar perintah Allah dan
musibah ialah suatu kejadian yang tidak dikehendaki dan terjadi diluar dugaan
manusia dan kejadian tersebut dapat berupa kesusahan atau kesenangan.
11
Al-Quran dan Terjemahannya, DEPAG RI.,1997. (QS. Al-Baqarah : 216)
25
B. Sebab Diturunkannya Laknat
Banyak sebab turunnya laknat diantaranya:
a. Orang-orang yang menentang Allah dan rasulnya disebabkan mereka
menutup hati mereka dan mengingkari dan tidak menghiraukan seruan
Muhammad maka Allah menjauhkan rahmat dan mengusir mereka.12
b. Orang yang berdusta akan menyebabkan laknat Allah diturunkan.13
c. Orang yang membunuh seorang muslim dengan sengaja dengan kesan
pembunuh didorong oleh kebenciannya maka Allah melaknat, memurkai
dan tidak memberinya sediktpun rahmat serta menyediakan ‘adzâb yang
besar baginya.14
d. Orang-orang fasik yang ingkar dengan peringatan Allah dan menyembah
thaghut, maka Allah memurkai mereka dan dikutuknya mereka atas
perbuatan mereka.15
e. Orang yang menuduh wanita baik-baik dan mukminat, yang lalai dari
perbuatan dosa dan terbebas dari ikatan-ikatan nista. Oleh karena itu, para
pelakunya dihukum langsung dengan laknat Allah atas perbuatan mereka
dan pengusiran diri mereka dari rahmat Allah.16
Dan masih banyak lainnya
yang dapat menyebabkan turunya laknat Allah.
12
Abȗ Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Tabari, Tafsîr ath-Tabarî; penerjemah, Ahsan
Askan; editor, Besus Hidayat Amin, , (Jakarta : pustaka Azzam,2007) jild 2. h. 194 13
“Laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (Q.S. al-imran/ 3:61). 14
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah pesan, kesan dan keserasian al-Qur’an. (Jakarta :
Lentera Hati) vol. 2, h. 529 15
Al-Quran dan Terjemahannya, DEPAG RI, 1997 (Qs. al-Maidah 60) 16
Sayyid Qutb, Tafsîr fi zhilâlil Qur’an, (Beirut: Darusy-Syuruq). Jld 10, h.226
26
C. Kepada siapa laknat diturunkan.
Dalam kitab suci-Nya, Allah melaknat orang yang melakukan kerusakan
dibumi, orang yang memutus hubungan kekeluargaan, orang yang menyakiti-Nya,
dan orang yang menyakiti Rasulullah saw.
Allah melaknat orang-orang yang menyembunyikan keterangan dan
petunjuk yang diturunkan-Nya, menuduh zina para wanita mukmin yang menjaga
kehormatan, orang yang menganggap jalan kaum kafir sebagai jalan yang lebih
tepat dari pada jalan kaum beriman. Rasulullah saw melaknat laki-laki yang
memakai baju wanita dan wanita yang memakai baju lelaki dan beliau juga
melaknat orang yang menyuap dan orang yang menerima suap termasuk
perantaranya serta dosa-dosa yang lain.
Seandainya pelaku dosa tidak senang dilaknat oleh Allah, Rasul-Nya dan
para Malaikatnya, tentu ia akan meninggalkan maksiat dan dosa.17
Diantara yang dilaknat Allah yaitu:
a. Iblis Yang Dilaknat Allah
Ada beberapa makhluk yang Allah laknat. Yang pertama kali mendapat
laknat Allah adalah Iblis. Dia patut diusir dari rahmat Allah swt karena dia telah
berjanji pada dirinya sendiri untuk menyesatkan anak Adam, dan selalu menipu
dan mempedayakan mereka, sebagaimana Allah berfirman Q.S. al-A‟raf 16-17;
17
Ibn Qayyim al-Jauzah, Kiat Membersihkan Hati Dari Kotoran Dan Maksiat,(Jakarta:
islam klasik) h. 46
27
“Iblis menjawab: "Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya
benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus.
Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka,
dari kanan dan dari kiri mereka. dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan
mereka bersyukur (taat).18
Iblis patut dilaknat karena seluruh upaya yang dilakukan adalah bertujuan
untuk menjerumuskan manusia ke jurang syirik dengan melakukan penyembahan
selain Allah.
Firman Allah SWT Q.S. al-hasyr 16;
“(Bujukan orang-orang munafik itu adalah) seperti (bujukan) shaitan
ketika Dia berkata kepada manusia: "Kafirlah kamu", Maka tatkala manusia itu
telah kafir, Maka ia berkata: "Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu, karena
Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Rabb semesta alam".19
Apabila setan tidak berhasil mencapai tujuannya yang pertama, yaitu
menjerumuskan manusia kelembah syirik, maka dia akan merayu serta membujuk
manusia agar berbuat kejahatan, kekejian, dan dusta terhadap Allah SWT.
18
Al-Quran dan Terjemahannya, DEPAG RI.,1997. 19
Al-Quran dan Terjemahannya, DEPAG RI.,1997.
28
b. Yang Menyembunyikan Ilmu (Yang Hak) Terkutuk Disisi Allah.
Allah mengutuk mereka yang mempunyai ilmu (yang hak) tetapi tidak
disebarkan malah disembunyikan. Hal ini diterangkan dalam firman-Nya Q.S. al-
Baqarah 159.:
“Sesungguhnya orang-orang yang Menyembunyikan apa yang telah Kami
turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami
menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dila'nati Allah dan
dila'nati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat mela'nati, kecuali mereka yang
telah taubat dan Mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), Maka
terhadap mereka Itulah aku menerima taubatnya dan Akulah yang Maha
menerima taubat lagi Maha Penyayang.20
Sebagian ilmuan/ulama berpendapat bahwa ayat-ayat ini ditunjukan
khusus kepada rahib-rahib Yahudi dan Nasrani yang telah menyembunyikan
masalah kenabian Muhammad saw.
Sebagian ulama berpendapat bahwa segala‟ibrah berlaku secara umum dan
bukan berlaku khusus terhadap asbâb al-nuzȗl saja. Sehingga dengan demikian
yang dimaksud dengan ayat-ayat tersebut adalah siapa saja yang
menyembunyikan hak dan kebenaran, serta yang mencampakkannya ke belakang
punggung mereka apa-apa yang diperlukan ummat dari ajaran-ajaran dienullah
yang benar.21
Para ulama berbeda pendapat tentang arti “semua makhluk yang
dapat melaknati” dalam ayat tersebut di atas. Ada yang berpendapat bahwa yang
melaknati adalah para malaikat dan orang-orang beriman. Dan ada pula yang
20
Al-Quran dan Terjemahannya, DEPAG RI, 1997 21
Departemen Agama RI, al-Quran dan Tafsirnya (edisi yang disempurnakan), (Jakarta:
Depeartemen Agama RI, 2004), h. 219
29
berpendapat bahwa tidak sebatas itu saja tetapi juga termasuk hama, serangga, dan
hewan-hewan yang dapat menimbulkan kerusakan. Hal ini sebagai pelajaran
terhadap dosa-dosa para ulama jahat [suu‟] yang telah menyembunyikan hak dan
kebenaran. Hama-hama tersebut lalu melaknati mereka.22
c. Pendusta Patut Mendapat Laknat.
Dusta adalah akhlak yang paling buruk. Hal ini sesuai dengan firman
Allah SWT:
“Laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (Q.S. al-
imran/ 3:61).
“Terkutuklah orang-orang yang banyak berdusta.” (Q.S. adz-
Dzariyaat/51:10)
Rasulullah SAW selalu menyeru kepada kebaikan dan kebajikan yang
mendekatkan kita kepada Allah dan surga-Nya, serta memperingatkan kita agar
menghindari kejahatan dan kekejian karena hal ini akan mendekatkan kita kepada
neraka dan „adzâb Allah SWT.
“Jauhilah dusta, karena dusta itu membawa orang kepada perbuatan keji,
dan perbuatan keji membawa orang ke neraka. Selama orang berdusta dan
memilih segala yang dusta (ucapan maupun perbuatan), maka akhirnya Allah
menetapkannya sebagai pendusta” (HR. Bukhari dan Muslim).
Seorang pendusta tidak akan menemukan jalan hidayah karena Allah SWT
tidak akan mempermudah jalan itu baginya. Firman Allah Q.S. Ghafir 28:
22
Majid Assayid Ibrahim,, wanita dan laki-laki yang dilaknat, (Jakarta: GEMA INSAN
PRESS 1995) cet. 17, h. 18-19
30
“Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang melampaui batas
lagi pendusta.”23
Dusta menyebabkan manusia menjadi sial dan naas, serta memancing
murka dan laknat Allah SWT. Dan itu jelas merupakan bencana bagi manusia
meskipun bencana itu pada waktu kemudian.
Seorang yang berdusta sebenarmya karena terdorong oleh kerendahan
dirinya. Kalau dia bejiwa mulia maka dia tidak akan berdusta. Dusta adalah salah
satu sifat dari tiga sifat orang munafik, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga: Bila berbicara dusta, bila berjanji
tidak ditepati, dan bila diamanati dia khianat”. (HR. Bukhari, Muslim, at-
Turmudzi, dan an-Nasa‟i).24
Namun dalam beberapa hal orang dibolehkan berdusta, seperti dalam
peperangan, waktu mengislah (mendamaikan) antara manusia yang sedang
berselisih, kepada istri untuk menghindari timbulnya pertengkaran, dan sebaliknya
istri terhadap suami demi kebaikan.
Para ulama memperbolehkan dusta terhadap orang zhalim dengan maksud
membunuh atau merampas hartanya, dan berdusta untuk menyelamatkan barang
titipan (amanah) yang ada di tangannya.25
23
Al-Quran dan Terjemahannya, DEPAG RI.,1997. 24
Abî „Abdillah Muhammad ibn Ismâ‟îl al-Bukhârî, Sahih al-Bukhârî bi Hâsyah al-
Sanadî, Kitâb al-Îmân, juz I (T.tp:Dâr Nahr al-Nayl, t.t.), h. 142. 25
Majid Assayid Ibrahim, wanita dan laki-laki yang dilaknat, (Jakartat: GEMA INSAN
PRESS 1995) cet. 17, h. 20-21
31
d. Membunuh Orang Mukmin Dengan Sengaja Akan Menerima Laknat Dari
Allah. Firman Allah SWT Q.S. an-Nisa 93:
“Dan Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja
Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka
kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan „adzâb yang besar baginya.”26
Allah SWT mengharamkan membunuh nyawa seorang mukmin kecuali
karena tiga alasan, yaitu laki-laki beristri dan wanita bersuami bila berzina,
sebagai qishash nyawa yang dibalas dengan nyawa, dan seorang muslim yang
meninggalkan agamanya (murtad).
Hanya tiga sebab di atas yang dihalalkan. Karena mengalirkan darah itu
merupakan hak, kehormatan, dan wewenang Allah, maka masalah pembunuhan
ini kelak pada hari kiamat menjadi perkara pertama yang dipersoalkan.
Berkata Abdullah Ibnu Mas‟ud bahwa Rasulullah SAW bersabda:
اول مايقض بين الناس يوم القيامة فى الدماء“Perkara pertama yang diselesaikan di antara manusia pada hari kiamat
adalah tentang darah (pembunuhan)”. (HR. Bukhari dan Muslim).27
Rasulullah SAW mengingatkan umatnya tentang besarnya nilai kejahatan
membunuh dan menjelaskan bahwa apabila terjadi saling membunuh diantara
manusia maka mereka itu tergolong kafir.28
26
Al-Quran dan Terjemahannya, DEPAG RI.,1997. 27
Abî „Abdillâh Muhammad ibn Ismâ‟îl al-Bukhârî, Sahih al-Bukhârî (T.tp:Dâr Nahr al-
Nayl, t.t.), h. 11. 28
Majid Assayid Ibrahim wanita dan laki-laki yang dilaknat, (Jakarta: GEMA INSAN
PRESS 1995) cet. 17, h. 22-23
32
e. Laknat Allah Terhadap Orang-Orang Kafir Bani Israil
Firman Allah SWT :
“Telah dila'nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan
Isa putera Maryam. yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu
melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan Munkar
yang mereka perbuat. Sesungguhnya Amat buruklah apa yang selalu mereka
perbuat itu. Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan
orang-orang yang kafir (musyrik). Sesungguhnya Amat buruklah apa yang mereka
sediakan untuk diri mereka, Yaitu kemurkaan Allah kepada mereka; dan mereka
akan kekal dalam siksaan.” (Q.S. al-Maidah 78-80)29
Sejarah Bani Israil yang berjalan di lembah kekufuran dan dalam kutukan
Allah sudah berjalan begitu lama. Perilaku mereka yang buruk terhadap nabi-nabi
mereka, mengakibatkan mereka dikutuk dan dijauhkan dari rahmat Allah SWT.
Mereka tidak saling melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat.
Apabila seorang melihat kawannya berbuat keji kadang memang mereka
diperingatkan dan ditegur. Akan tetapi besoknya walaupun belum meninggalkan
kegiatannya, namun sudah kembali menjadi kawan akrab dalam makan dan
minum dan berkumpul bersama. Orang Bani Israil suka mengerjakan maksiat dan
melampaui batas. Hati mereka tidak sedikit pun tergerak untuk menegakkan amar
makruf dan nahi mungkar.
29
Al-Quran dan Terjemahannya, DEPAG RI.,1997.
33
Maka Allah sangat melaknat orang-orang kafir Bani Israil karena
perbuatan dan kekufurannya terhadap Allah dan Nabi-Nya.30
D. Menjauhkan diri dari laknat Allah
Untuk menjauhkan diri dari laknat Allah, manusia harus selalu patuh
kepada perintah-perintah Allah SWT dan melaksanakannya dalam bentuk amal
perbuatan. Barang siapa mengabaikan dan menyia-nyiakan hak Allah, maka
sesungguhnya dia itu lebih menyia-nyiakan hak dirinya sendiri dan hak manusia
lainnya. Maka kita harus mampu menemukkan penyakit-penyakit yang mendekam
dalam hati dan batin kita. Kita harus menjauhi segala larangan-Nya seperti
berbuat maksiat serta berbuat mungkar.
Di antara perbuatan yang harus dihindari agar terhindar dari laknat Allah
diantaranya:
1. Tinggalkan perbuatan syirik, dusta dan yang dilarang oleh Nabi seperti,
Nabi Muhammad saw melaknat pelaku kejahatan pada umumnya, Nabi
Muhammad saw juga melaknat wanita yang membuat tato pada wajah
wanita lain dan wanita yang meminta wajahnya ditato, terhadap wanita
yang memasang dan menyuruh dipasangkan rambut palsu (sanggul),
terhadap wanita yang mencukur dan yang menyuruh dicukur seluruh
alisnya.31
2. Hindari perbuatan riba, penulis, dan saksinya. Allah berfirman dalam Q.S.
al-Baqarah ayat 278-279:
30
Majid Assayid Ibrahim, wanita dan laki-laki yang dilaknat, (Jakarta: GEMA INSAN
PRESS 1995) cet. 17, h. 22-23 31
Majid Assayid Ibrahim, wanita dan laki-laki yang dilaknat, (Jakarta: GEMA INSAN
PRESS 1995) cet. 17, h. 14
34
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba),
Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan
jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok
hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”32
3. Jauhi minuman arak, penuangnya, pembuatnya, yang menyuruh
membuatnya, penjualnya, yang membeli, yang memakan uang laba, yang
membawanya, dan yang menerima pemberiannya.
4. Jauhi perbuatan mencaci maki kedua orang tua.
5. Jauhi perbuatan homoseks, suap menyuap dan perbuatan maksiat
lainnya.33
32
Al-Quran dan Terjemahannya, DEPAG RI.,1997. 33
Majid Assayid Ibrahim, wanita dan laki-laki yang dilaknat, (Jakarta: GEMA INSAN
PRESS 1995) cet. 17, h. 14
35
BAB IV
PENAFSIRAN AHMAD MUSTAFÂ AL-MARÂGHÎ
TERHADAP AYAT-AYAT LAKNAT
A. Identifikasi Ayat-Ayat Tentang Laknat
Lafadz-lafadz dalam al-Qur’an jika dilihat dari segi tartîb nuzȗ l
suratnya maka urutannya sebagai berikut: 1
no Nama Surat No
Ayat
Lafad Keterangan
1 Shaad [38]: 78
Kutukan-Nya
sampai hari
pembalasan (Iblis)
2
al-A‟raf
[7]: 38
Dia mengutuk
kawannya (Yang
menyesatkannya)
[7]: 44
Kutukan Allah
ditimpakan kepada
orang-orang yang
zalim, janji Allah
ketika di dunia.
3 al-Qashash [28]: 42
Pemimpin-
pemimpin yang
menyeru ke
neraka. mereka
dilaknat di dunia
ini.
4 al-Isra‟ [17]: 60
Ancaman Allah
yaitu Pohon kayu
yang terkutuk
dalam Al Quran
(Zaqqum adalah
jenis pohon yang
tumbuh di neraka.)
5 Hud [11]: 18
Ingatlah, kutukan
Allah
1 Tartîb Nuzȗl al-Sȗrat digital versi 3.21
36
(ditimpakan) atas
orang-orang yang
zalim,(dusta)
[11]: 60
Mereka selalu
diikuti dengan
kutukan di dunia
ini
[11]: 99
(Begitu pula)
mereka diikuti
dengan kutukan di
hari kiamat
6 Al-Hijr [15]: 35
Laknat atau
kutukan tetap
menimpa sampai
hari kiamat (iblis)
7 al-Mu‟min [40]: 52
Bagi merekalah
laknat dan bagi
merekalah tempat
tinggal yang
buruk.
8 al-Ankabut [29]: 25
Sebahagian kamu
mela'nati
sebahagian (yang
lain)
9 QS. Al-Baqarah [2]: 88
Sebenarnya Allah
telah mengutuk
mereka karena
keingkaran
mereka.
[2]: 89
Maka la'nat Allah-
lah atas orang-
orang yang ingkar
itu.
[2]: 159
Mereka itu
dilaknati Allah
dan dila'nati (pula)
oleh semua
(mahluk) yang
dapat melaknati,
37
[2]: 161
Mendapat laknat
Allah, Para
Malaikat dan
manusia
seluruhnya.
10 Ali-Imran [3]: 61
Laknat Allah atas
orang-orang yang
Dusta.
[3]: 87
laknat Allah
ditimpakan kepada
mereka, (demikian
pula) laknat Para
Malaikat dan
manusia
seluruhnya.
11 al-Ahzab [33]: 57
Laknat bagi
orang-orang yang
menyakiti Allah
dan Rasul-Nya
[33]: 61
Dalam Keadaan
terlaknat.(orang
munafik dan
dusta) akan
dibunuh..
[33]: 64
Allah mela'nati
orang-orang kafir
dan menyediakan
bagi mereka
neraka.
[33]: 68
Mereka dikutuk
dengan kutukan
yang besar.
12 an-Nisa [4]: 46
Allah mengutuk
mereka, karena
kekafiran mereka
[4]: 47
Kutuki mereka
sebagaimana
Kami telah
mengutuki orang-
orang (yang
berbuat maksiat)
pada hari Sabtu
38
[4]: 52
Barangsiapa yang
dikutuki Allah,
niscaya kamu
sekali-kali tidak
akan memperoleh
penolong baginya.
[4]: 93
Laknat Allah dan
‘adzâb bagi yang
membunuh
seorang mukmin.
[4]: 118
Laknat Allah bagi
penyembah
berhala.
13 Muhammad [47]: 23
Laknat Allah dan
menulikan telinga
mereka.
14 ar-Ra‟d [13]: 25
Orang yang ingkar
dan membuat
kerusakan akan
dilaknat Allah
dengan tempat
yang buruk.
15 an-Nuur [24]: 23
Laknat bagi
penuduh zina
wanita mukminat.
16 al-Fath [48]: 6
Laknat dan neraka
bagi orang
musyrik.
17 al-Maidah [5]: 13
Laknat Allah bagi
yang ingkar janji
atau khianat.
[5]: 60
Allah mengutuk
dan memurkai
mereka yang
menyembah
Thagut.
[5]: 64
Laknat bagi orang
yang berprasangka
buruk kepada
Allah
[5]: 78
Laknat Allah bagi
kafir Bani Israil.
39
18 al-Taȗbah [9]: 68
Allah mela'nati
mereka, dan bagi
mereka ‘adzâb
yang kekal.
Jika lafadz laknat di atas dilihat dari segi sebab nuzul suratnya, maka di sini
lafadz laknat dilihat dari urutan dalam kitab Majma’ al-Mufahras al-fâdz al-
Qur’an al-Karîm sebagai berikut: QS. Al-Baqarah [2]: 88, 89, 159, 161; Ali-
‘Imrân [3]: 61, 87; al-Nisâ[4]: 46, 47, 52, 93, 118; al-Mâidah[5]: 13, 60, 78, 64, ;
al-A’râf [7]: 38, 44; al-Taȗbah [9]: 68; Hȗd [11]: 18, 60, 99; ar-Ra’d [13]: 25; Al-
hijr [15]: 35; al-Isrâ’ [17]: 60; an-Nȗr [24]: 23; al-Qashash [28]: 42; al-Ankabȗt
[29]: 25; al-Ahzâb [33]: 64, 57, 68, 61; Shâd [38]: 78; al-Mu’min [40]: 52;
Muhammad [47]: 23; al-Fath [48]: 6.2
B. Penafsiran Ahmad Mustafâ al-Marâghî terhadap Ayat-Ayat Laknat
(tafsir ijmali)
Penafsiran Ahmad Mustafâ al-Marâghî terhadap orang yang mendapatkan
laknat dalam al-Qur‟an :
2 Muh. Fuad Abdul Baqi, Majma’ al-Mufahros al-Alfazh al-Qur’an al-Karim, (Libanon::
Maktabah Islâmiyyah 1984), h. 649-650.
40
1. Orang-Orang Yang Berdusta
Di dalam ayat-ayat ini Allah menjelaskan laknat bagi pelaku dusta
diantaranya terdapat dalam Q.S. Ali imran/3: 61, Q.S. al-Baqarah/2: 159, Q.S. an-
Nȗ r/24: 7, 23.
“Sesungguhnya orang-orang yang Menyembunyikan apa yang telah Kami
turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami
menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dila'nati Allah dan
dila'nati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat mela'nati,”( Q.S. al-Baqarah/2:
159)
Penefsirsan kata-kata sulit
Al-Kitmân : menyembunyikan. Pengertiannya ialah – الكتمان
menyembunyikan atau menutup-nutupi sesuatu. Terkadang mempunyai
pengertian menghapus atau mengganti yang lain. Dalam hal ini, kaum yahudi
melakukan dua hal tersebut terhadap kitab mereka, Taurat. Mereka telah
menyembunyikan hukum rajam bagi pelaku zina, dan mengingkari berita gembira
yang tersebut di dalam Taurat berkenaan akan datangnya Nabi Muhammad SAW.
al-Bayyinât : adalah dalil-dalil yang jelas dan menunjukkan tentang – البينت
kenabian Muhammad saw, masalah hukum rajam bagi pelaku zina dan masalah
pemindahan kiblat.
.al-Hudâ : bimbingan dan tuntunan terdapat dalam taurat – الهدى
al-Kitâb : maksudnya adalah seluruh kitab Allah yang diturunkan – الكتب
dilangit.
41
al- La’nah : (laknat), artinya dijauhkan atau diusir. Laknat Allah – العنة
berarti dijauhkan dari rahmat Allah. Padahal rahmat inilah yang melindungi kaum
muslimin di dunia dan di akhirat.
al-Lâ’inȗ – االعنون n : orang yang melaknat. Mereka adalah para malaikat
dan manusia. Yang dimaksud dengan laknat mereka adalah doa‟ mereka agar
seseorang dijauhi dari rahmat Allah.
Tafsiran Ayat:
Sesungguhnya kaum ahli kitab yang menyembunyikan agama islam dan
kenabian Muhammad saw. – padahal mereka mengetahui dari kitab Taurat dan
Injil – maka mereka itu termasuk orang yang pantas dijauhkan dari rahmat Allah.
Mereka juga pantas mendapat laknat dari para malaikat dan umat manusisa karena
perbuatan mereka, yakni menyembunyikan kebenaran.
Pengertian ayat ini mencakup orang yang menyembunyikan ilmu yang
seharusnya disampaikan kepada orang lain, dan seluruh umat yang terkena laknat
Allah adalah akibat dari tidak adanya upaya amar ma’ruf nahi mungkar.
Karenanya, didalam suatu umat sudah seharusnya terdapat orang yang dapat
melakukan amar ma’ruf nahi mungkar.3
Asbabun nuzul: Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Mu‟adz bin
Jabal, Sa‟d bin Mu‟adz dan Kharijah bin Zaid bertanya kepada segolongan Padri
Yahudi tentang beberapa hal yang terdapat di dalam Taurat. Para Padri
menyembunyikan hal tersebut dan nggan untuk memberitahukannya. Maka Allah
3 Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah,
1992), jilid 1 h. 54
42
menurunkan ayat tersebut diatas yang membeberkan keadaan mereka (Padri-
padri).4
Munasabah ayat : dalam ayat 146 telah diterangkan bahwa orang Yahudi
mengenal Nabi Muhammad dari kitab-kitab mereka seperti mengenal anak-anak
mereka sendiri, karena di sana disebutkan segala sifat-sifatnya dengan jelas dan
bahwa beliau akan diutus sebagai Rasul, tetapi mereka tetap mengingkarinya dan
selalu menyembunyikan apa yang mereka ketahui itu. Dalam ayat ini disebutkan
lagi sifat-sifat Ahli Kitab tersebut, dan bahwa mereka mendapat laknat dari Allah,
malaikat dan manusia seluruhnya.5
“Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang
meyakinkan kamu), Maka Katakanlah (kepadanya): "Marilah kita memanggil
anak-anak Kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri Kami dan isteri-isteri kamu, diri
Kami dan diri kamu; kemudian Marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita
minta supaya la'nat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.”6 (Q.S. Ali
imrân/3: 61)
Menurut al-marâghî :Yang dapat dipahami dari ayat di atas ialah, Nabi
saw, memerintahkan agar mendoakan orang-orang yang berhujjah dan
membantah masalah isa, yang terdiri dari kalangan Ahli Kitab, agar
berkumpul, lelaki, wanita, dan anak-anaknya. Nabi pun beserta kaum
Mu‟minin, laki-laki , wanita, atau anak-anak. Lalu, bersama-sama beribtihâl
4Qamaruddin Shaleh, Asbabun Nuzul, (Bandung: CV. DIPONEGORO 1995) h. 50
5 Departemen Agama RI, al-Quran dan Tafsirnya (edisi yang disempurnakan),(Jakarta:
Depeartemen Agama RI, 2004), h. 218-219 6 Mubahalah ialah masing-masing pihak diantara orang-orang yang berbeda Pendapat
mendoa kepada Allah dengan bersungguh-sungguh, agar Allah menjatuhkan la'nat kepada pihak
yang berdusta. Nabi mengajak utusan Nasrani Najran bermubahalah tetapi mereka tidak berani dan
ini menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad s.a.w. (al-Quran dan Terjemahan, DEPAG RI, h.
342)
43
kepada Allah SWT agar dia melaknat orang yang bohong dalam ucapannya
tentang Nabi Isa as.7
Asbabun Nuzul: Dalam riwayat dikemukakan bahwa sebelum turun ayat 31
surat 27, Rasullulah saw menulis surat kepada orang Najran seperti berikut:
“Dengan nama Tuhan Ibrahim dan Ishaq dan Ya‟qub, dari Muhammad Nabi
Allah” sampai akhir Hadis. Dan selanjutnya dalam hadis itu dikemukakan bahwa
kaum Najran mengutus Syarahbil bin Wada‟ah al-Hamdani dan Abdullah bin
Syarahbil al-Ashbahi dan Jabbar al-Hartsi untuk menghadap kepada Rasulullah
saw dan terjadilah dialog, akan tetapi masih tertunda satu masalah, yaitu
pertanyaan mereka: “Bagaimana pendapat tuan tentang Isa”. Nabi menjawab:
“Belum ada isyarat padaku tentang itu, tetapi cobalah kalian bermalam sampai
besok, agar aku dapat terangkan hal itu. Keesokan harinya turunlah ayat diatas (S.
3: 59, 60, 61, 62) yang menegaskan siapa Isa. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi di
dalam kitab ad-Dalail dari Salamah bin Abi Yasyu‟ dari bapaknya, yang
bersumber dari datuknya).8
Munasabah ayat: dalam ayat-ayat lalu diterangkan bahwa Nabi Isa yakin
akan keingkaran Bani Israil kepada agama yang dibawanya, serta yakin pula akan
pernyataan dari sahabat-sahabat setianya (Hawariyȗ n) bahwa mereka sanggup
untuk menjadi pembantu-pembantunya; beliau juga yakin terhadap sikap orang-
orang kafir yang selalu membuat tipu daya untuk menghalang-halangi tersiarnya
agama Allah. Kemudian dalam ayat-ayat ini diterangkan tentang sanggahan
terhadap tipu daya mereka, yaitu bahwa Allah akan melahirkan Isa dari tipu daya
7 Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah,
1992), jilid 1 h. 154-156 8 Qamaruddin Shaleh, Asbabun Nuzul, (Bandung: CV. DIPONEGORO 1995) h. 96
44
mereka dengan mengangkatnya kepada-Nya, guna menyelamatkan dirinya dari
siksaan dan hinaan orang-orang kafir.9
“Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika Dia Termasuk
orang-orang yang berdusta.” (Q.S. an-Nȗ r/24: 7)
Penafsiran kata-kata sulit
La’natu ‘l-Lah : pengusiran dari rahmat Allah.
“Menurut al-marâghî tentang ayat ini: para suami yang menuduh istrinya
berbuat zina tanpa mempunyai para saksi yang menguatkan
kebenarantuduhannya itu, maka masing-masing suami itu wajib bersumpah
empat kali bahwa dia telah berkata benar dalam tuduhannya itu, dan pada
sumpah yang kelima dia mengatakan bahwa laknat Allah ditimpakan
kepadanya jika dia termasuk orang-orang yang berkata dusta dalam
tuduhannya itu.”10
“Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang
lengah11
lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la'nat di dunia dan akhirat, dan
bagi mereka ‘adzâb yang besar”.(Q.S. an-Nȗ r /24: 23)
Tasiran kata-kata sulit:
Al-Muhsanât : para wanita yang memelihara kesuciannya.
Al-Gâfilât : para wanita yang lengah dari perbuatan keji, yakni hati mereka
suci dan tidak berfikir untuk melakukan perbuatan itu.
Lu’inȗ : mereka di akhirat diusir dari rahmat Allah dan di dunia diazab
dengan had.
9 Departemen Agama RI, al-Quran dan Tafsirnya (edisi yang disempurnakan),(Jakarta:
Depeartemen Agama RI, 2004), jilid 1, h. 484 10
Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah,
1992), jilid 6 h. 73 11
Yang dimaksud dengan wanita-wanita yang lengah ialah wanita-wanita yang tidak
pernah sekali juga teringat oleh mereka akan melakukan perbuatan yang keji itu.
45
“Menurut Al-Marâghî : Orang-orang yang menuduh berbuat keji terhadap
para wanita yang memelihara kesuciannya dan beriman kepada Allah serta
Rasul-Nya, tetapi lengah terhadap perbuatan keji itu, sesungguhnya akan
dijauhkan dari rahmat Allah di dunia dan di akhirat. Mereka mendapat azab
besar di akhirat, sebagai balasan atas kejahatan yang telah mereka lakukan,
karena mereka adalah sumber perkataan buruk tentang wanita-wanita
mu‟minat dan penyebaran kekejian di tengah-tengah kaum mu‟minin, serta
contoh teladan yang buruk bagi orang-orang yang berbicara tentang
kekejian itu, maka mereka berhak menerima dosa penyebaran kekejian itu
dan dosa orang yang membicarakannya. 12
Asbabun Nuzul : Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ayat diatas
turun khusus berkenaan dengan istri-istri Nabi. (Diriwayatkan oleh at-Thabrani
yang bersumber dari adl-Dhahhak bin Muzahim).13
Pada ayat di atas dapat dipahami bahwa Nabi saw, memerintahkan agar
mendoakan orang-orang yang berhujjah dan membantah masalah isa, yang terdiri
dari kalangan Ahli Kitab, agar berkumpul, lelaki, wanita, dan anak-anaknya. Nabi
pun beserta kaum Mukminin, laki-laki , wanita, atau anak-anak. Lalu, bersama-
sama beribtihâl kepada Allah SWT agar dia melaknat orang yang bohong dalam
ucapannya tentang Nabi Isa as.14
Sedangkan ayat sesudahnya menerangkan
tentang kaum Ahli Kitab yang menyembunyikan agama islam dan kenabian
Muhammad saw. – padahal mereka mengetahui dari kitab Taurat dan Injil – maka
mereka itu termasuk orang yang pantas dijauhkan dari rahmat Allah. Mereka juga
pantas mendapat laknat dari para malaikat dan umat manusisa karena perbuatan
mereka, yakni menyembunyikan kebenaran. Setelah Allah melaknat Para Ahli
Kitab yang menyembunyikan kebenaran, 15
Allah menjelaskan para suami yang
12
Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah,
1992), jilid 6 h. 152 13
Qamaruddin Shaleh, Asbabun Nuzul, (Bandung: CV. DIPONEGORO 1995) h. 379 14
Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah,
1992), jilid 1 h. 154-156 15
Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah,
1992), jilid 1 h. 54
46
menuduh istrinya berbuat zina tanpa mempunyai para saksi yang menguatkan
kebenaran tuduhannya itu, maka masing-masing suami itu wajib bersumpah
empat kali bahwa dia telah berkata benar dalam tuduhannya itu, dan pada sumpah
yang kelima dia mengatakan bahwa laknat Allah ditimpakan kepadanya jika dia
termasuk orang-orang yang berkata dusta dalam tuduhannya itu.16
Dan kemudian
dilanjutkan dengan ancaman atau hukuman orang yang menuduh orang-orang
baik sebagai orang sering perbuatan yang keji dan penyebaran kekejian di tengah-
tengah kaum mu‟minin, serta contoh teladan yang buruk bagi orang-orang yang
berbicara tentang kekejian itu, maka mereka berhak menerima dosa penyebaran
kekejian itu dan dosa orang yang membicarakannya.17
2. Laknat Terhadap Orang Yang Zalim
Ada beberapa ayat al-Qur‟an yang mengecam orang-orang zalim dengan
laknat Allah. Diantaranya ialah terdapat pada Q.S. al-A’râf /7: 44, Q.S. Hȗ d/11:
18, Q.S. al-Mu’min/40: 52,
“Dan penghuni-penghuni surga berseru kepada penghuni-penghuni neraka
(dengan mengatakan): "Sesungguhnya Kami dengan sebenarnya telah
memperoleh apa yang Tuhan Kami menjanjikannya kepada kami. Maka Apakah
kamu telah memperoleh dengan sebenarnya apa (‘adzâb ) yang Tuhan kamu
menjanjikannya (kepadamu)?" mereka (penduduk neraka) menjawab: "Betul".
kemudian seorang penyeru (malaikat) mengumumkan di antara kedua golongan
16
Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah,
1992), jilid 6 h. 73 17
Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah,
1992), jilid 6 h. 152
47
itu: "Kutukan Allah ditimpakan kepada orang-orang yang zalim,” (Q.S. al-A’râf
/7: 44)
“Menurut Al-Marâghî: Sesungguhnya, penghuni surga ketika mereka
telah tinggal di dalamnya, dan penghuni neraka ketika telah tinggal di
dalamnya, maka apabila para penghuni surga itu menghadapkan
penglihatan mereka kepada penghuni neraka, maka bertanyalah penghuni
surga kepada penghuni neraka dengan pertanyaan yang mengungkapkan
kebanggaan atas keadaan mereka yang baik, dan dengan pertanyaan
ejekkan yang mengingatkan kejahatan penghuni neraka atas diri mereka
sendiri yang mendustakan para Rasul Allah, di samping pertanyaan yang
menetapkan kepada mereka oleh para Rasul bagi orang yang beriman dan
bertakwa, berupa surga-surga yang penuh kenikmatan. Lalu, kata mereka
kepada para penghuni neraka itu: sesungguhnya kami telah mendapati
kenikmatan dan kemuliaan yang telah dijanjikan oleh Tuhan kami lewat
para Rasul-Nya adalah benar-benar menjadi kenyataan, tanpa diragukan
lagi. Dan inilah kami tengah menikmati apa yang tak pernah dilihat oleh
mata, tak pernah didengar telinga, dan tak pernah terlintas dalam hati
seseorang pun. Maka, apakah kalian mendapati kehinaan dan siksaanyang
pernah diancamkan kepadamu oleh Tuhanmu telah menjadi kenyataan
pula? Penghuni neraka berkata : Ya, kami mendapati apa yang diancamkan
kepada kami oleh Tuhan kami benar-benar telah menjadi kenyataan,
sebagaimana pernah disampaikan kepada kami lewat para Rasul. Dan
buntut dari soal jawab dan kalahnya hujjah penghuni neraka itu adalah,
bahwa seorang penyeru mengumumkan dengan katanya: Laknat Allah-lah
atas orang-orang menganiaya diri sendiri, yang berbuat jahat terhadap diri
sendiri dengan melakukan hal-hal yang menyebabkan dirinya tidak
memperoleh nikmat yang abadi.18
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat Dusta
terhadap Allah?. mereka itu akan dihadapkan kepada Tuhan mereka, dan Para
saksi akan berkata: "Orang-orang Inilah yang telah berdusta terhadap Tuhan
mereka". Ingatlah, kutukan Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zalim”.
(Q.S. Hȗ d/11: 18)
Tafsiran kata-kata sulit:
Al-Asyhâd : Jamak dari Syahid (saksi)
18
Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah,
1992), jilid 5 h. 213-214
48
Al-La’natu : Terusir dari Rahmat.
“Menurut Al-Marâghî: Tidak ada seorang pun yang lebih aniaya
terhadap dirinya dan orang lain, dibanding orang yang mengada-adakan
kedustaan terhadap Allah mengenai firman-firman Allah atau pekerjaan-
pekerjaan-Nya, hukum-hukum-Nya, sifat-sifat-Nya atau dalam hal
menganggap adanya pemberi syafa‟at para wali tanpa izin-Nya atau dalam
menyangka bahwa Allah itu mempunyai anak dari kalangan para
Malaikat-malaikat iru anak-anak perempuan Allah. Juga orang-orang
Nasrani yang juga mengatakan bahwa al-Masih itu anak Allah, atau dalam
mendustakan ajaran yang dibawah oleh para Rasul, supaya orang-orang
berpaling dari jalan Allah. Dan pada hari kiamat, perbuatan dan perkataan
mereka diajukan di hadapan Tuhan supaya mereka diperhitungkan. Di
sanalah para saksi yang member kesaksian atas mereka. Yaitu, para
malaikat, para Nabi, dan orang-orang mu‟min yang saleh. Mereka berkata,
“orang-orang itulah yang dulu mendustakan Tuhan mereka dengan
mengada-adakan kedustaan terhadap Allah. Dengan kesaksian seperti
inilah orang-orang zalim ini dipermalukan dengan kepastian yang
dibarengi dengan kutukan yang menunjukkan bahwa mereka terusir dari
lingkaran rahmat. 19
“(yaitu) hari yang tidak berguna bagi orang-orang zalim permintaan
maafnya dan bagi merekalah la'nat dan bagi merekalah tempat tinggal yang
buruk”.(Q.S. al-Mu’min/40: 52)
“Menurut Al-Marâghî: Yaitu hari ketika alasan yang disampaikan oleh
orang-orang musyrik itu tidak berguna bagi mereka. Karena mereka
menyampaikan alasan yang tak lain berupa kebatilan pula, sebagaimana
Alla SWT menceritakan tentang perkataan mereka:
"Demi Allah, Tuhan Kami, Tiadalah Kami mempersekutukan Allah".(Qs.
al-An‟am, 6:23)
Dan pada hari itu mereka mendapatkan kutukan dan pengusiran dari
rahmat Allah, dan mereka mendapatkan pula sesuatu yang terburuk di
akhirat, yaitu azab yang pedih dan tinggaldalam neraka yang terburuk.20
Munasabah ayat: Pada ayat-ayat yang lalu diterangkan bahwa yang
mengingkari ayat-ayat Allah itu hanyalah orang-orang kafir saja. Juga terdapat
19
Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah,
1992), jilid 3 h. 20
Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah,
1992),), jilid 8 h. 82
49
bantahan Allah terhadap orang-orang kafir itu dengan mengemukakan bukti-bukti
kebenaran ayat-ayat-Nya, untuk menghibur hati Rasulullah saw dan orang-orang
beriman dalam menghadapi tantangan serta sikap permusuhan kaumnya. Pada
ayat-ayat berikut ini diterangkan bahwa Allah berjanji akan menolong para rasul-
Nya dan orang-orang yang beriman serta memberikan kebahagiaan di dunia dan di
akhirat.21
Pada ayat diatas menjelaskan Sesungguhnya, orang-orang yang zalim di
sini, yang dimaksud ialah orang-orang yang berpaling dari menempuh jalan Allah
yang dapat menyampaikan kepada keridhaan dan pahala-Nya, serta mencegah
orang lain dari menempuh jalan itu, di samping menginginkan agar jalan itu
bengkok, hingga tak bisa ditempuh oleh seorang pun.
Dan pada hari kiamat, perbuatan dan perkataan mereka diajukan di hadapan
Tuhan supaya mereka diperhitungkan. Di sanalah para saksi yang member
kesaksian atas mereka. Yaitu, para malaikat, para Nabi, dan orang-orang mu‟min
yang saleh. Mereka berkata, “orang-orang itulah yang dulu mendustakan Tuhan
mereka dengan mengada-adakan kedustaan terhadap Allah. Dengan kesaksian
seperti inilah orang-orang zalim ini dipermalukan dengan kepastian yang
dibarengi dengan kutukan yang menunjukkan bahwa mereka terusir dari lingkaran
rahmat.22
Dan ketika itu permintaan maafnya tidak berguna, dan pada hari itu
mereka mendapatkan kutukan dan pengusiran dari rahmat Allah, dan mereka
21
Departemen Agama RI, al-Quran dan Tafsirnya (edisi yang disempurnakan),(Jakarta:
Depeartemen Agama RI, 2004), jild. 8 h.554 22
Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah,
1992), jilid 3 h. 113-114
50
mendapatkan pula sesuatu yang terburuk di akhirat, yaitu ‘azâb yang pedih dan
tinggal dalam neraka yang terburuk.23
3. Orang-Orang Yang Ingkar (Kafir, Musyrik)
Seperti yang terdapat dalam al-Qur‟an tentang laknat bagi orang-orang
yang ingkar (kafir, musyrik) diantaranya Q.S. al-Qasas/28: 42, Q.S. Hud/11: 60,
Q.S. al-Baqarah/2: 88, 89, Q.S. Ali imran/3: 87, Q.S. Ar-ra’d /13: 25 dan Q.S. al-
Mâidah/5: 13, 60.
“Dan Kami ikutkanlah laknat kepada mereka di dunia ini; dan pada hari
kiamat mereka Termasuk orang-orang yang dijauhkan (dari rahmat Allah). (Q.S.
al-Qasas/28: 42)
Penafsiran kata-kata sulit.
- La’natun : pengusiran dari rahmat.
- Minal maqbȗ hîn : orang-orang yang dihinakan
“Menurut Al-Marâghî: Kami tetapkan bagi Fir‟aun dan kaumnya di
dunia ini harus mendapat kenistaan dan kemurkaan dari kami. Karena itu
Kami tetapkan mereka menerima kebinasaan dan menjadi buah tutur yang
buruk. Di samping itu Kami perikutkan kepada mereka kutukan yang lain
pada hari kiamat, maka Kami timpakan kepada mereka kenistaan dan
kehinaan yang terus-menerus, tidak bisa lari darinya.24
23
Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah,
1992), jilid 8 h. 82 24
Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah,
1992) jilid 7 h. 82
51
“Dan mereka selalu diikuti dengan kutukan di dunia ini dan (begitu pula) di
hari kiamat. Ingatlah, Sesungguhnya kaum 'Ad itu kafir kepada Tuhan mereka.
ingatlah kebinasaanlah bagi kaum 'Ad (yaitu) kaum Huud itu.”( Q.S. Hȗ d/11: 60)
“Menurut Al-Marâghî : Dan mereka itu telah menerima kutukan di
dunia. Artinya bahwa setiap orang yang tahu akan kelakuan mereka, siapa
pun yang mengetahui jejak-jejak mereka, dan siapa pun yang mendengar
Rasul-rasul sesudah mereka tentang berita mereka, maka semuanya akan
mengutuk dan mereka pun akan mendapat laknat pada hari kiamat. Yaitu
ketika para saksi mengutuk orang-orang zalim, seperti mereka. Qatadah
mengatakan, mereka akan mendapatkan dua laknat dari Allah. Yaitu,
kutukan di dunia dan di akhirat. Kemudian Allah menegaskan tentang
kekafiran mereka dengan kesaksian-Nya, seraya berfirman: “Ingatlah
sesungguhnya kaum „Ad telah kafir terhadap nikmat-nikmat Tuhan yang
diberikan kepada mereka dengan mengingkari ayat-ayat-Nya, disamping
pendustaan terhadap para Rasul-Nya dengan sikap sombong dan
menentang”. Ingatlah kebinasaan bagi kaum „Ad, yaitu kaum Hud itu.
Kata-kata ini merupakan do‟a atas kebinasaan dan dijauhkannya mereka
dari rahmat Allah. Yakni, kata-kata yang juga merupakan pencatatan atas
mereka, bahwa mereka patut dibinasakan, juga pernyataan bahwa
kebinasaan itu berlaku selama-lamanya.25
“Dan mereka berkata: "Hati Kami tertutup". tetapi sebenarnya Allah telah
mengutuk mereka karena keingkaran mereka; Maka sedikit sekali mereka yang
beriman. (Q.S. al-Baqarah/2: 88).
“Menurut Al-Marâghî : “Mereka berkata: "Hati Kami berada dalam
tutupan (yang menutupi) apa yang kamu seru Kami kepadanya dan telinga
Kami ada sumbatan dan antara Kami dan kamu ada dinding, Maka
Bekerjalah kamu; Sesungguhnya Kami bekerja (pula). Merekalah orang-
orang yang mengatakan demikian, termasuk kaum Bani Israil yang hidup
semasa dengan diturunkannya al-Qur‟an. Jadi, Allah-lah yang sebenarnya
menjauhkan mereka dari rahmat Allah karena ingkarnya mereka terhadap
para nabi sebelumnya dan karena mereka tidak mengamalkan kandungan al-
Kitab, bahkan mereka berani merubah untuk memuaskan nafsu belaka. Pada
akhir ayat Allah SWT menuturkan sebab turunya laknat yang ditimpakan
kepada mereka. Jadi, bukan karena Allah berbuat aniaya terhadap mereka.
Tetapi justru merekalah yang menganiaya diri sendiri karena kekafiran dan
kemaksiatan yang dilakukan secara berkepanjangan. 26
25
Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah,
1992), jilid 3 h. 134-135 26
Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah,
1992), jilid 1 h. 164-166
52
Munasabah ayat: didalam ayat yang lalu Allah memberikan penegasan
tentang akibat yang akan menimpa orang-orang Yahudi, bahwa mereka akan
mendapat siksa yang berat karena mereka telah mementingkan kebahagiaan dunia
dari pada kebahagiaan akhirat. Kemudian ayat-ayat berikut ini Allah menerangkan
kejahatan orang-orang Yahudi di luar batas perikemanusiaan. Karena meskipun
mereka telah diberi petunjuk melalui beberapa rasul yang datang secara berturut-
turut, namun tidak saja petunjuk-petunjuk itu mereka abaikan, bahkan di antara
rasul-rasul itu ada yang didustakan dan ada pula yang dibunuh.27
“Dan setelah datang kepada mereka Al Quran dari Allah yang membenarkan
apa yang ada pada mereka, Padahal sebelumnya mereka biasa memohon
(kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, Maka
setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar
kepadanya. Maka la'nat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu.”( Q.S. al-
Baqarah/2: 89)
“Menurut Al-Marâghî : Artinya, mereka mendukung kaum musyrik Arab
dan kaum kafir Makkah, sekalipun mereka memegang al-Kitab (Taurat).
Tetapi mereka juga mengatakan bahwa Kitab mereka akan menegakkan
ajaran tauhid yang didatangkan oleh Musa dan menghancurkan ajaran
berhala yang kalian (kaum musyrik arab) ikuti. Sebab kekafiran mereka
terhadap Rasulullah adalah karena mereka merasa iri hati kenapa yang
diangkat sebagai rasul adalah Nabi Muhammad, tetapi bukan kelompok
Yahudi? Hal inilah yang meyebabkan mereka ingkar terhadap kenabian
Muhammad saw. Maka Allah memberikan balasan kepada mereka, yakni
terusirnya mereka dari tanah Arab, sekaligus dijauhkan dari rahmat Allah.
Itulah balasan kekafiran mereka karena mengerti kebenaran tetapi
mengingkarinya.28
27
Departemen Agama RI, al-Quran dan Tafsirnya (edisi yang disempurnakan),(Jakarta:
Depeartemen Agama RI, 2004), h. 132 28
Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah,
1992), jilid 1 h. 167-169
53
Asbabun Nuzul: Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa kaum Yahudi
Khaibar dahulu memerangi kaum Ghathafan (Bangsa Arab). Tiap kali bertempur,
kaum Yahudi kalah. Kemudian kaum Yahudi meminta pertolongan dengan do‟a
ini: “Ya Allah, sesungguhnya kami meminta kepada-Mu dengan hak Muhammad,
Nabi yang Ummi, yang telah engkau janjikan kepada kami, akan Engkau utus Dia
diakhir zaman. Tidaklah Engkau akan menolong kami untuk mengalahkan
mereka?”
Apabila bertempur, mereka tetap berdo‟a dengan do‟a ini, sehingga kalahlah
kaum Ghathafan. Tetapi ketika Rasulullah diutus, mereka kufur terhadap Nabi
saw. Maka Allah menurunkan ayat ini (S. 2: 89) sebagai laknat kepada orang-
orangyang memohon pertolongan Allah, yang setelah dikabulkan
mengingkarinya. (Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak dan al-
Baihaqi dalam kitab ad-Dala‟il dengan sanad yang lemah yang bersumber dari
Ibnu Abbas).29
“Mereka itu, balasannya Ialah: bahwasanya la'nat Allah ditimpakan kepada
mereka, (demikian pula) la'nat Para Malaikat dan manusia seluruhnya,”( Q.S. Ali
imrân/3: 87)
“Menurut Al-Marâghî : Mereka benar-benar pantas mendapatkan murka
Allah, selain murka para Malaikat dan umat manusia. Sebab, tatkala
mereka mengetahui ulah orang-orang tersebut, mereka pasti melaknatnya.
Sebab, perbuatan mereka sudah sepantasnya mendapatkan kutukan.
Mereka telah mengetahui bukti tetapi mengingkarinya, sebagaimana
firman Allah swt30
:
29
Qamaruddin Shaleh, Asbabun Nuzul, (Bandung: CV. DIPONEGORO 1995) h. 28 30
Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah,
1992), jilid 1 h. 205-206
54
„Dan berkata Ibrahim: "Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu sembah
selain Allah adalah untuk menciptakan perasaan kasih sayang di antara
kamu dalam kehidupan dunia ini kemudian di hari kiamat sebahagian
kamu mengingkari sebahagian (yang lain) dan sebahagian kamu mela'nati
sebahagian (yang lain); dan tempat kembalimu ialah neraka, dan sekali-
kali tak ada bagimu Para penolongpun.”31
Azbabun Nuzul: dalam suatu riwayat lain dikemukakan bahwa seorang
laki-laki dari kaum Ansar murtad setelah masuk islam. Ia menyesal atas
kemurtadannya. Ia meminta meminta kepada kaumnya agar mengutus seseorang
menghadap Rasulullah saw untuk menanyakan apakaah diterima taubatnya. Maka
turunlah ayat tersebut di atas (Q.S. 3 Ali Imran: 87), dan disampaikan oleh utusan
itu kepadanya, sehingga ia pun kembali memeluk islam. (Diriwayatkan oleh
Musaddad di dalam musnad-nya dan „Abdurrazzaq, yang bersumber dari
mujahid).32
Munasabah Ayat: Ayat yang lalu telah membantah orang Yahudi yang
tidak mengakui kedatangan seorang Nabi dari bangsa arab karenanya
kesombongan dan kedengkian mereka. Maka pada ayat ini Allah menetapkan
kenabian Muhammad dengan mengemukakan alasan-alasan.33
31
Al-Quran dan Terjemahannya, DEPAG RI.,1997 (Q.S. al-Ankabut, 29:25) 32
Qamaruddin Shaleh, Asbabun Nuzul, (Bandung: CV. DIPONEGORO 1995) h. 105 33
Departemen Agama RI, al-Quran dan Tafsirnya (edisi yang disempurnakan),(Jakarta:
Depeartemen Agama RI, 2004), h. 513
55
“Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh
dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan
Mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang Itulah yang memperoleh kutukan
dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam).”( Q.S. Ar-ra’d /13:
25)
“Menurut Al-Marâghî: Allah mensifati orang-orang durhaka dengan
sifat-sifat yang merupakan sebab kerugian mereka: Orang-orang yang
merusak janji Allah yang diwajibkan atas para hamba-Nya dengan
menegakkan dalil-dalil ‘aqli, seperti janji mentauhidkan-Nya, mengakui
kekuasaan dan kehendak-Nya, beriman kepada para nabi dan wahyu, dan
sebagainya. Perusak janji tersebut seperti dengan tidak memperhatikannya,
sehingga tidak memungkinkan mereka mengerjakan tuntunannya. Atau
dengan memperhatikannya dan mengetahui kebenarannya, kemudian
mereka menentangnya dan tidak mengerjakan apa yang mereka ketahui
dan yakini kebenarannya. Min ba’di misâqihî berarti setelah mereka
mengakuinya dan mengikrarkan kebenarannya. Orang-orang memutuskan
hal-hal yang diperintahkan Allah supaya menghubungkannya, seperti
beriman kepada Allah dan kepada para Nabi yang membawa kebenaran,
maka mereka beriman kepada sebagian Rasul dan kafir kepada sebagian
yang lain; serta memutuskan hubungan silaturrahim, sehingga mereka
memerangi kaum mu‟minin dan menolong kaum kafir, serta mencegah
pemberian bantuan yang melahirkan rasa saling mencintai di antara kaum
mu‟minin.Dan orang-orang yang mengadakan kerusakan di bumi dengan
cara berbuat zalim terhadap diri mereka sendiri dan terhadap orang lain
dengan merampas harta mereka secara tidak benar, mengobarkan fitnah di
antara kaum muslimin, memaklumkan perang dan memperhatikan
permusuhan terhadap mereka. Kemudian, Allah menetapkan hukum bagi
mereka yang berhak diterima, karena mereka melakukan perbuatan yang
mengotori diri sendiri: Orang-orang yang memiliki sifat-sifat buruk dan
hina itu tidak akan memperoleh rahmat dan keridhaan Allah, bahkan akan
dijauhkan dari kebaikan di dunia dan di akhirat. Dan mereka akan
memperoleh akibat yang buruk, yaitu azab Jahannam, sebagai balasan
yang setimpal bagi amal buruk, kejahatan, dan dosa yang telah mereka
lakukan di dunia.34
34
Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah,
1992)), jilid 4 h. 113-114
56
“(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuki mereka, dan
Kami jadikan hati mereka keras membatu. mereka suka merobah Perkataan
(Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa
yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) Senantiasa
akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit diantara mereka (yang tidak
berkhianat), Maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berbuat baik.”( Q.S. al-Mâidah/5: 13)
Penafsiran kata-kata sulit:
La’annahum : Kami kutuk mereka. Maksudnya, Kami usir dan jauhkan
mereka dari rahmat Kami.
Qâsiyah: kering, keras dan nggan menerima kebenaran.
At-Tahrîf : merubah sesuatu dari tempatnya ke salahsatu sisi.
Al-Khâ’inah : Khianat.
Menurut Al-Marâghî : Maka, dikarnakan mereka melanggar janji yang
telah mereka ikrarkan, yang di antaranya ialah beriman dengan Rasullulah
yang diutus kepada mereka, menolong dan menghormati mereka, maka
kemudian Bani Israil mendapat kurukan dan murka Kami, dan dijauhkan
dari belas kasih Kami. Karenanya, dengan pelanggaran janji itu, rusaklah
fitrah mereka. Jiwa mereka menjadi kotor, hati mereka menjadi keras
membatu. Sampai, mereka membunuh para nabi-nabi mereka tanpa alasan
yang hak, dan menuduh yang tidak-tidak terhadap Maryam, di samping
menghina putranya yang diutus kepada mereka. Dengan semua perbuatan
itu, maka mereka dijauhkan dari rahmat Allah. Merubah firman Allah dari
tempatnya bisa terjadi, terkadang merubah lafal-lafal, yang semestinya di
depan dibelakang, atau sebaliknya, menambah dan mengurangi.
Terkadang, dengan merubah makna-makna, yakni mengartikan lafal-lafal
secara tidak benar, yang masing-masing dari perubahan-perubahn tersebut
benar-benar dialami oleh kitab Taurat maupun kitab-kitab Bani Israil
lainnya. Bahwa kaum Yahudi telah kehilangan kitab mereka, yaitu ketika
bangsa Babilonia membakar kuil dan merobohkan kota mereka, kemudian
menangkap hidup-hidup orang yang masih tinggal. Dan ketika mereka
mendapatkan kemerdekaan kembali, maka mereka himpun kembali apa
yang masih sepat mereka hafal, dengar dan amalkan dari Taurat. Maksud
ayat, sesungguhnya engkau hai Nabi Muhammad, akan senantiasa melihat
penghianatan demi penghianatan yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi
itu. Oleh sebab itu, jangan sekali-kali kamu menyangka aman dari tipu
daya mereka, sekalipun kamu telah member jaminan atas keamanan jiwa
mereka. Karena, mereka memang kaum yang tidak setia dan tidak bisa
dipercaya. Kalau janji dan sumpah dari Allah saja sudah berani mereka
langgar, mana mungkin diharap kesetiaan mereka? Dan mana mungkin
diaharap amanatnya? Kecuali sedikit saja di antara mereka yang tidak
57
berkhianat, seperti Abdullah bin Salam dan kawan-kawan yang masuk
islam dan membenarkan Allah dan rasul-Nya. kepada kelompok ini jangan
sekali-kali kamu berburuk sangka, dan tak perlu khawatir mereka
melakukan penghianatan dan penipuan. Maka, maafkanlah mereka yang
hanya sedikit itu atas keteledorannya, dan ampunilah kekeliruannya,
perlakukanlah mereka kebaikan yang diridhoi Allah. Karena, kamulah
orang yang patut melakukan apa yang disukai dan diridhoi Allah.35
“Katakanlah: "Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang
yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu disisi Allah, Yaitu
orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang
dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah thaghut?". mereka itu lebih
buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus.”( Q.S. al-Mâidah/5: 60)
Menurut al-Marâghî : Dipakainya kata al-Masȗ bah untuk arti balasan
yang baik, adalah lebih banyak dari pada untuk arti balasan yang buruk.
Maksud ayat, apakah akan aku beritakan kepadamu, hai orang yang
memperolok-olokkan agama kami dan serua azan kami, tentang sesuatu
yang lebih buruk balasan dan ganjaran di sisi Allah daripada perbuatanmu
ini? Pernyataan seperti ini mengundang pertanyaan pula dari mereka
tentang apa yang dikatakan lebih buruk. Maka, Allah Ta‟ala menjawab
pertanyaan mereka dengan firman-Nya:
“orang yang dikutuki Allah…….”, maksudnya ialah “balasan orang yang
dikutuki Allah….”
Adapun maksud dari ayat di atas ialah, bahwa yang lebih buruk
balasannya dan ganjarannya daripada perbuatannya itu adalah balasan
orang yang dikutuk dan dimurkai Allah, yang di antara mereka ada yang
dijadikan kera dan babi, juga balasan orang yang menyembah tagut.
Sesungguhnya, orang-orang yang bersifat huna dan keji seperti tersebut di
atas, itulah orang-orang terburuk tempatnya. Karenanya, tempat mereka di
akhirat tak lain adalah neraka, dan mereka itulah orang-orang yang paling
35
Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah,
1992)), jilid 2 h. 124-125
58
sesat dari jalan yang lurus dan pertengahan, yaitu jalan yang tidak terlalu
berlebih-lebihan dan tidak terlalu melengahkan.36
Pada ayat di atas menerangkan tentang orang yang mengetahui
kejelekannya maka mereka pun ikut mengutuknya, 37
seperti tentang kaum „Ad ,
Bani Israil dan Fir‟aun serta kaumnya yang kafir terhadap nikmat-nikmat Allah
dan mengingkari ayat-ayat-Nya serta mereka berbuat sombong terhadapnya
sehingga dampak perbuatan mereka itu membuat mereka melakukan perbuatan
maksiat secara berkepanjangan dan Allah menutup hati mereka karena mereka
sendiri yang menganiaya diri mereka sendiri dan keingkaran di dunia sehingga
Allah melaknat mereka dan mendapat kenistaan dan murka-Nya dan tidak bisa lari
darinya sampai hari kiamat nanti. 38
4. Laknat Bagi Orang-Orang Munafik
Di antara ayat yang dijelaskan oleh Allah tentang laknat bagi orang munafik
ialah yang terdapat dalam surat al-Fath [48]: 6: Q.S. al-Taȗ bah/9: 68.
“Dan supaya Dia meng’adzâb orang-orang munafik laki-laki dan
perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang mereka itu
berprasangka buruk terhadap Allah. mereka akan mendapat giliran (kebinasaan)
yang amat buruk dan Allah memurkai dan mengutuk mereka serta menyediakan
bagi mereka neraka Jahannam. dan (neraka Jahannam) Itulah sejahat-jahat tempat
kembali.”( al-Fath [48]: 6)
36
Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah,
1992), jilid 2 h. 153-154 37
Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah,
1992), jilid 1 h. 205-206 38
Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah,
1992), jilid 3 h. 134-135
59
Menurut al-Marâghî : Dan supaya Allah mengazab orang-orang munafik
dan orang-orang musyrik, baik lelaki maupun perempuan yang
berprasangka buruk kepada Allah di dunia, dengan menurunkan kesedihan
dan kesusahan kepada mereka dikarenakan lebih unggulnya orang-orang
islam, dan karena kemenangan islam dan kalahnya orang-orang yang
melawannya, sebagaimana mereka saksikan, di samping karena Nabi saw
dapat menguasai mereka dengan kemampuannya untuk membunuh,
melawan dan memperbudak mereka dan supaya Allah mengazab mereka
di dunia dan azab Jahannam di akhirat. Kesimpulannya, bahwa kedua
golongan munafik dan musyrik itu menuduh bahwa Allah takkan
menolong rasul-Nya maupun orang-orang mukmin terhadap orang-orang
kafir. Namun Allah SWT mengutuk orang-orang munafik dan musyrik,
bahwa mereka akan ditimpa kerusakan-kerusakan dan bencana-bencana
yang mereka sangka akan menimpa orang-orang mukmin. Firman-Nya:
Justru merekalah yang akan diliputi oleh bencana-bencana dan mereka
akan ditimpa kerusakan-kerusakan yang mereka tunggu-tunggu agar
menimpa orang-orang mukmin, berupa pembunuhan, penangkapan
maupun penawanan. Selanjutnya Allah menerangkan tentang murka dan
laknat-Nya yang mereka terima.
Dan mereka mendapat murka dari Allah, dan Allah menjauhkan Mereka
sejauh-jauhnya dari rahmat-Nya, dan Dia menyediakan bagi mereka
neraka Jahannam yang bakal mereka masuki pada hari kiamat, dan
jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat singgah yang akan disinggahi
oleh orang-orang munafik dan orang-orang musyrik laki-laki maupun
perempuan.39
“Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan
orang-orang kafir dengan neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya. cukuplah
neraka itu bagi mereka, dan Allah mela'nati mereka, dan bagi mereka ‘adzâb
yang kekal”.( Q.S. al-Taȗ bah/9: 68)
39
Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah,
1992), jilid 9 h. 167-168
60
Menurut al-Marâghî : Allah menjanjikan bagi mereka semua neraka
jahannam yang akan mereka masuki, mereka kekal berada di dalamnya.
Allah mendahulukan orang-orang munafik atas orang-orang kafir dalam
ancaman ini, untuk menunjukkan bahwa meski orang-orang munafik itu
memperlihatkan keimanan dan mengerjakan perbuatan-perbuatan islam,
namun mereka lebih buruk dari pada orang-orang kafir, terutama orang-
orang di antara mereka yang memeluk agama yang telah disimpangkan
atau telah dihapuskan, seperti Ahli Kitab.
Sesungguhnya di dalam neraka Jahannam terdapat balasan atas amal
mereka yang cukup sebagai siksaan bagi mereka di akhirat. Di samping
itu, Allah mengutuk mereka di dunia dan di akhiratdengan tidak memberi
mereka rahmat yang hanya berhak dimiliki oleh kaum Mu‟minin yang
benar. Mereka juga akan mendapatkan azab yang kekal selain azab neraka
Jahannam, seperti angin panas yang membakar muka mereka, air mendidih
yang menghancurkan isi perut mereka, serta makanan berupa pohon
berduri yang tidak akan mengemukkan, tidak mengenyangkan, di samping
mereka tidak akan dapat bertemu dengan Allah dan tidak akan
mendapatkan kemurahan-Nya, serta ditutupi sehingga tidak dapat melihat-
Nya, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Mutaffifin (83: 15-26).
“Sekali-kali tidak, Sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar
tertutup dari (rahmat) Tuhan mereka. Kemudian, Sesungguhnya mereka
benar-benar masuk neraka.”40
Dan pada ayat selanjutnya Allah meng’adzâb orang-orang munafik dan
orang-orang musyrik, baik lelaki maupun perempuan yang berprasangka buruk
kepada Allah di dunia, dengan mengingkari janji Allah dan menurunkan
kesedihan dan kesusahan kepada mereka dikarenakan lebih unggulnya orang-
orang islam. Kesimpulannya, bahwa kedua golongan munafik dan musyrik itu
menuduh bahwa Allah takkan menolong rasul-Nya maupun orang-orang mukmin
terhadap orang-orang kafir.
Dan mereka mendapat murka dari Allah, dan Allah menjauhkan Mereka
sejauh-jauhnya dari rahmat-Nya, dan Dia menyediakan bagi mereka neraka
40
Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah,
1992), jilid 2 h. 287-288
61
Jahannam yang bakal mereka masuki pada hari kiamat, dan jahannam itu adalah
seburuk-buruk tempat singgah yang akan disinggahi oleh orang-orang munafik
dan orang-orang musyrik laki-laki maupun perempuan.41
Allah mendahulukan orang-orang munafik atas orang-orang kafir dalam
ancaman ini, untuk menunjukkan bahwa meski orang-orang munafik itu
memperlihatkan keimanan dan mengerjakan perbuatan-perbuatan islam, namun
mereka lebih buruk dari pada orang-orang kafir, terutama orang-orang di antara
mereka yang memeluk agama yang telah disimpangkan atau telah dihapuskan,
seperti Ahli Kitab. 42
Sesungguhnya di dalam neraka Jahannam terdapat balasan atas amal mereka
yang cukup sebagai siksaan bagi mereka di akhirat. Di samping itu, Allah
mengutuk mereka di dunia dan di akhiratdengan tidak memberi mereka rahmat
yang hanya berhak dimiliki oleh kaum Mu‟minin yang benar. Mereka juga akan
mendapatkan ‘adzâb yang kekal selain ‘adzâb neraka Jahannam, seperti angin
panas yang membakar muka mereka, air mendidih yang menghancurkan isi perut
mereka, serta makanan berupa pohon berduri yang tidak akan mengemukkan,
tidak mengenyangkan, di samping mereka tidak akan dapat bertemu dengan Allah
dan tidak akan mendapatkan kemurahan-Nya.
41
Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah,
1992), jilid 9 h. 167-168 42
Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah,
1992), jilid 2 h. 124-125
62
C. Analisa Terhadap Penafsiran Mustafa Al-Marâghi Tentang Laknat.
Dalam melakukan analisa ini, penulis hanya mengambil dari sisi objek yang
terkena laknat dan sebab Allah menurunkan laknat kepada mereka. Ada beberapa
objek /pelaku yang terkena laknat dari Allah diantaranya: orang-orang zalim,
orang-orang berdusta, ingkar (kafir atau musyrik) dan orang-orang munafik.
1. Orang-Orang Zalim
Kezhaliman yang terbesar dari jenis ini adalah kufur (mengingkari Allah),
Syirik (Menyekutukan Allah), dan Musyrik. Mempersekutukan yang lain dengan
Allah adalah aniaya paling besar. Sebab tujuan hidup bisa jadi pecah berderai.
Menurut al-Marâghî bahwa orang-orang zalim yaitu orang-orang yang berpaling
dari menempuh jalan Allah yang dapat menyampaikan kepada keridhaan dan
pahala-Nya dan orang-orang mendustakan Tuhan mereka dengan mengada-
adakan kedustaan terhadap Allah. Menurut pandangan saya bahwa al-Marâghî
memandang orang-orang yang zalim kebanyakan sikapnya tertuju kepada
Rabbnya, seperti mengada-ngada atau mendustakan Allah. Sedangkan ketika saya
melihat tafsir Hamka bahwa bukan hanya kepada Rabbnya seseorang bisa terkena
laknat, tetapi kepada diri sendiri atau kepada orang lain. Seperti contoh menzalimi
diri sendiri, contohnya mabuk-mabukan, membuat keonaran dan lain-lain. 43
Jadi penulis berkesimpulan bahwa orang-orang yang zalim yang terkena
laknat bukan hanya kepada Rabbnya akan tetapi kepada dirinya sendiri atau orang
lain yang mereka zalimi.
43
Hamka, Tafsîr Al-Azhâr, (Pustaka Panjimas, Jakarta 1989).hal:179.
63
2. Orang-Orang Yang Ingkar (Kafir)
Menurut al-Marâghî bahwa orang-orang yang ingkar, kafir atau musyrik itu
adalah orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Allah serta mereka berbuat
sombong terhadapnya sehingga dampak perbuatan mereka itu membuat mereka
melakukan perbuatan maksiat sehingga Allah melaknat mereka,44
seperti tentang
kaum „Ad , Bani Israil dan Fir‟aun serta kaumnya yang kafir terhadap nikmat-
nikmat Allah.
Sedangkan menurut Hamka Bahwa yang termasuk orang-orang kafir adalah
siapa saja menolak islam membencinya, memusuhinya, memeranginya, membuat
dan melaksanakan hukum selain hukum Allah. Kategori kafir juga dapat
dikenakan kepada mereka yang merendahkan serta menganggap bahwa hukum
ciptaan manusia lebih baik dan lebih tepat untuk dilaksanakan serta lebih mampu
menjawab problema masyarakat modern yang terdiri dari berbagai suku, agama,
ras, dari pada hukum Allah. Termasuk kafir juga orang yang mengangkat
pemimpin selain orang yang beriman (Yahudi, Nasrani dan sejenisnya), sebagai
pemimpin mereka dengan meninggalkan orang-orang yang beriman. Mereka
merasa aman dan mencari kemuliaan di sisi orang-orang kafir, mereka tidak
menyukai kejayaan dan kemajuan orang-orang Islam, sebaliknya merasa gembira
jika umat islam mendapat musibah dan kekalahan, merekalah orang-orang kafir
lagi zalim.45
Jadi penulis berkesimpulan bahwa orang yang ingkar, kafir atau
musyrik kebih banyak yang berhubungan dengan Tuhan, karena ingkar, kafir atau
44
Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah,
1992), jilid 1 h. 205-206 45
Hamka, Tafsîr Al-Azhâr, (Pustaka Panjimas, Jakarta 1984).hal:99.
64
musyrik berhubungan dengan keimanan atau dengan ketauhidan seseorang. Jika
seseorang yang melanggarnya, maka Allah akan menurunkan laknat baginya.
3. Orang-Orang Munafik
Ayat diatas menjelaskan sebagian sifat-sifat orang munafik, yang
bermaksud menipu Allah dengan shalat, karena ketika mereka berdiri untuk
shalat, mereka berdiri dengan malas dan bermaksud riya. Yaitu melakukan suatu
amal tidak semata-mata mencari keridhaan Allah, tetapi untuk mencari pujian atau
polaritas di masyarakat, sementara mereka melakukan hal ii hanyalah sekali-kali
saja pada saat berada dihadapan orang banyak.
Dalam kitab tafsirnya ibnu katsir berkata, yang dikutip Hamka “ inilah sifat
orang munafik terhadap suatu amalan semulia-mulianya dan seutama-utamanya
dan sebaik-baiknya yaitu sembahyang. Kalau mereka berdiri akan mengerjakanya
merapun merasa malas, karena tidak ada niat terhadap sembahnyang itu tidak ada
imannya, dan tidak ada rasa takutnya kepada Allah dalam perasaan malam. Tetapi
hendaklah ia berdiri dengan muka jernih berseri. Dengan sebesar-besar keinginan
an kegembiraan. Sebab dia akan menyampaikan permohonan kepda allah dan
akan berhadapan dengan dia, dan Allah akan memberinya ampun dan akakan
memperkenankan doanya “Mereka hendak menonjol-nonjolkan kepada manusia”,
artinya, meskipun mereka mengerjakan sembahyang juga, namun maksud mereka
hanya semata-mata riya. Yaitu hendak mempertontonkan kepda manusia bahwa
dia orang sembahnya yang akan mengganggukesenangan nafsunya masalah dia
mengerjakan “46
.
46
Hamka, Tafsîr Al-Azhâr, (Pustaka Panjimas, Jakarta 1983).hal:332.
65
adapun orang disebut “munafik”, secara ringkas munafik itu dapat
disimpulkan antara lain adalah orang yang berpura-pura menampakkan
keislamannya dengan mengucapkan dua kalimah syahadat, mengerjakan shalat,
dan sebagainya.
4. Orang-Orang Musyrik
Syirik menurut etimologi adalah persekutuan atau bagian, sedangkan
menurut terminology adalah menyekutukan Allah dengan selain-Nya baik dalam
segi keyakinan, ucapan, ataupun perbuatan. Orang yang melakukan syirik disebut
musyrik. Perbuatan syrrik adalah dosa yang sangat besar dari semua dosa yang
dapat diapuni Allah yaitu syirik, terkecuali dosa syirik itu apabila ia dapat
bertaubat sebelum mati. 47
Sedangkan menurut al-Marâghî bahwa orang musyrik
ialah orang yang berprasangka buruk kepada Allah di dunia, dengan mengingkari
janji Allah dan orang tersebut akan dijauhkan dari rahmat Allah dan akan
dimurkai di akhirat kelak. Jadi penulis bisa mengambil kesimpulan bahwa
seseorang yang dianggap musyrik yaitu mereka yang orang yang menyekutukan
Allah, berprasangka buruk kepada Allah mengingkari janji Allah. Merekalah
orang-orang yang musyrik yang terkena laknat.
47
Hamka, Tafsîr Al-Azhâr, (Pustaka Panjimas, Jakarta 1984).hal: 38.
66
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian yang telah dipaparkan pada bab-bab
sebelumnya, maka dapat disimpulkan dari tulisan ini dengan merujuk kepada
rumusan masalah sebagai berikut:
Laknat menurut al-Marâghî adalah bermakna “jauh dan tersingkir dari
kebaikan.”, atau “tersingkir dan jauh dari rahmat Allah ‘azza wa jalla “. Jadi
apabila seseorang yang dilaknat Allah, maka mereka akan diusir dan dijauhkan
dari rahmat-Nya. Berbeda dengan kata laknat yang dipakai buat manusia atau
mahluk lainnya yang berarti bahwa mereka mendoakan atau memohon agar Allah
menimpakan balasan atau azab terhadap mereka yang melakukan perbuatan yang
dilaknat oleh Allah.
al-Marâghî mengemukakan bahwa orang-orang yang terkena laknat Allah
tidak lain adalah orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, berbuat
ingkar, dusta dan berbuat maksiat kepada Allah umumnya kepada manusia dan
khususnya kepada Bani Israil dan orang-orang kafir. Allah sangatlah memurkai
dan melaknat mereka atas perbuatannya dan mengazab mereka dengan azab yang
sangat pedih. Na'udzubillah.
Dengan demikian, untuk menjauhkan dari laknat Allah adalah tidak lain
hanyalah memohon perlindungan, melaksanakan perintah-Nya dan selalu berbuat
67
amar ma’ruf nahi mungkar dimanapun berada, sehingga Allah menjauhkan
murka dan laknat-Nya.
Akhirnya kita berharap kepada Allah SWT.agar dapat memahami apa
yang diungkapkan oleh al-Marâghî mengenai penafsiran ayat-ayat laknat, dan
mampu mengarahkannya, yang hanya tidak berkonotasi pada sebuah perjuangan
semata, namun lebih dari itu adalah pewaris sifat illahiyah dalam diri kita. Amien.
B. Saran-saran
Dalam skripsi ini penulis hanya memfokuskan pada ayat-ayat laknat dalam
al-Qur’an yang ditafsirkan al-Marâghî dalam tafsirnya. Maka dari itu penulis
berharap dikemudian hari ada penulis yang menyempurnakan penelitian ini
dengan bahasan dan penafsiran yang lebih luas lagi. Karena penulis sadar
kesimpulan akhir dari skripsi ini tidak menutup kemungkinan ada kesimpulan lain
dari analisis yang dilakukan penulis.
Penulis juga berharap ada penelitian lanjutan yang lebih komprehensif,
terhadap ayat-ayat laknat dalam al-Qur’an dan tidak hanya menggunakan tafsir al-
Marâghî saja.
Terakhir, semoga skripsi ini bermanfaat dan memberikan sedikit
pengetahuan untuk penulis khususnya, para pembaca sekalian dan orang lain pada
umumnya. Amien.
68
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: DEPAG RI, 1997.
Akram, Ahmad. Târîkh ‘ilm al-Tafsîr wa Manâhîj al-Mufassîrîn. Penerjemah Ali
Hasan al-‘Aridl. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1992.
al-Asfahâni, Al-Râghib. Mu’jam al-Mufradât fî al-fâdz al-Qur’an. Beirut: Dâr al-
Kutub al-‘ilmiyah, 2004.
al-Baqi, Muhammad Fuad Abdul. Majma’ al-Mufahras al-fâdz al-Qur’an al-
Karîm. Turky: Maktabah al-Islamiyyah, 1984.
al-Bukhârî, ‘Abdullâh Muhammad ibn Ismâ’îl. Sahih al-Bukhârî bi Hâsyah al-
Sanadî. T.tp:Dâr Nahr al-Nayl, t.t.
Departemen Agama RI. al-Quran dan Tafsirnya (edisi yang disempurnakan), Jilid
1 Jakarta: Departemen Agama RI, 2004.
-----------------------------. al-Quran dan Tafsirnya (edisi yang disempurnakan).
Jilid 8. Jakarta: Depeartemen Agama RI, 2004.
--------------------------------.al-Quran dan Tafsirnya (edisi yang disempurnakan).
Jilid 9. Jakarta: Depeartemen Agama RI, 2004.
Djalal, Abdul. Tafsir al-Maraghi dan Tafsir al-Nur Sebuah Studi Perbandingan,
Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1985.
al-Farmawi, Abdul Hayy. Metode Tafsir Maudhu’I; Sebuah Pengantar.
Terjemahan Surya A. Samran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1996.
Fathurrahman, Fathurrahman. Indonesia: Maktabah Dahlan, t.t.
Ghafur, Saiful Amin. Profil Para Mufasir al-Quran. Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani, 2008.
Hamka, Tafsîr Al-Azhâr. Juz 18. Jakarta: PT. Pustaka Panjimas.
Ibrahim, Majid Assayid. Wanita dan Laki-laki yang dilaknat. Jakarta: Gema Insan
Press, 1995.
al-Jauziah, Ibn Qayyim. Kiat Membersihkan Hati Dari Kotoran Dan Maksiat.
Jakarta: Pustaka Islam Klasik, t.t.
68
69
Manzȗr, Ibnu. Lisân al-Arab. Juz 1. Beirut: Dâr Sâdir, t.t.
al-Marâghî, Ahmad Mustafâ. Tafsîr al-Marâghî. Jilid 1. Kairo: Dâr al-Kutub al-
Ilmiyyah, 1992.
------------------------------. Tafsîr al-Marâghî, jilid 2. Kairo: Dâr al-Kutub al-
Ilmiyyah, 1992.
------------------------------. Tafsîr al-Marâghî. Jilid 3. Kairo: Dâr al-Kutub al-
Ilmiyyah, 1992.
------------------------------. Tafsîr al-Marâghî. Jilid 4. Kairo: Dâr al-Kutub al-
Ilmiyyah, 1992.
------------------------------. Tafsîr al-Marâghî. Jilid 5. Kairo: Dâr al-Kutub al-
Ilmiyyah, 1992.
------------------------------. Tafsîr al-Marâghî. Jilid 6. Kairo: Dâr al-Kutub al-
Ilmiyyah, 1992.
------------------------------. Tafsîr al-Marâghî. Jilid 7. Kairo: Dâr al-Kutub al-
Ilmiyyah, 1992.
------------------------------. Tafsîr al-Marâghî. Jilid 8. Kairo: Dâr al-Kutub al-
Ilmiyyah, 1992.
------------------------------. Tafsîr al-Marâghî. Jilid 9. Mesir: Dâr al-Kutub al-
Ilmiyyah, 1992.
------------------------------. Tafsîr al-Marâghî. jilid 1. Kairo: Mustafa al-Bab halabi
wa Auladuhu, 1963.
------------------------------. Tafsir al-Maraghi. Penerjemah Bachruddin AB. Lc.,
dan Drs. Hery Nur Ali. Semarang: CV. Toha Putra, t.t.
Munawwir, A. W. Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif, 2002.
Nuwayhid, Adil. Mu’jam al-Mufassîrîn Sadr al-Islam hatta al-Asr al-Hadir.
Beirut: Muassasah al-Nuwayhid al-Saqafiyah, 1409H/1988M.
Pusat Bahasa Depdiknas RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, diakses tanggal 22
Mei 2009 dari http:/pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php
al-Razi, Muhammad Abu Bakr ‘Abd al-Qadir. Al-Tard wa al-Ib’ad mina l-khair.
Kairo: Mukhtaral-Sihhah, 1950.
al-Quran digital versi 2.1
70
Ridwan, Kafrawi. ed. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ictiar Baru Van Hoeve,
1994.
Shaleh, Qamaruddin. Asbabun Nuzul. Bandung: CV. DIPONEGORO, 1995.
Shihab, M.Quraish. Membumikan Al-Qur’an. Jakarta: Mizan, 1992.
----------------------. Wawasan Al-Quran; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan
Umat. Jakarta: Mizan, 2004.
----------------------. Tafsir al-Misbah pesan, kesan dan keserasian al-Qur’an. vol.
2. Jakarta: Lentera Hati.
al-Suyûti, Jalâl al-din ‘Abdurrahman ibn Abu Bakar, Jami’ Saghîr. Jilid. I. Kudus:
Menara Kudus, t.t.
Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir. Tafsir ath-Thabari. Penerjemah
Ahsan Askan. Jakarta: pustaka Azzam, 2007.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,
1080.
Zaini, Hasan. Tafsir Tematik ayat-ayat kalam Tafsir al-Maraghi. Jakarta:
Pedoman Ilmu jaya, 1997.
http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/hikmah/10/07/10/124132-
waspadai laknat-tersamar-di-balik-nikmat