lampiran a review potensi penggunaan limbah cair …
TRANSCRIPT
1
LAMPIRAN
A REVIEW POTENSI PENGGUNAAN LIMBAH CAIR
PABRIK KELAPA SAWIT SEBAGAI BIOGAS PADA
PEMBANGKIT LISTRIK
AHMAD FAIS HAMONANGAN LUBIS.
Teknologi pengolahan hasil perkrbunan, stipap
(Sekolah tinggi ilmu pertanian agrobisnis perkebunan) jalan wiliem
Iskandar,
Medan, 20226, Indonesia
Abstraks. Indonesia merupakan negara dengan industri kelapa sawit terbesar di dunia.
Limbah cair pabrik kelapa sawit adalah limbah cair yang berminyak dan tidak beracun,
hasil pengolahan minyak sawit. Meski tak beracun, limbah cair tersebut dapat
menyebabkan bencana lingkungan karena dibuang di kolam terbuka dan melepaskan
sejumlah besar gas metana dan gas berbahaya lainnya yang menyebabkan emisi gas
rumah kaca. Digestasi anaerobik merupakan proses konversi senyawa organik menjadi
biogas dengan kondisi tanpa oksigen melalui empat tahapan. Limbah cair pabrik kelapa
sawit (POME) berasal dari proses produksi minyak mentah kelapa sawit atau biasanya
disebut crude palm oil (CPO). Kandungan yang terdapat didalam limbah cair pabrik
kelapa sawit ialah 95 % air dan 4 – 5 % padatan total. Tujuan dari artikel ini adalah
mereview potensi penggunaan limbah cair pabrik kelapa sawit sebagai biogas pada
pembangkit listrik
1. Pendahuluan
Indonesia saat ini merupakan produsen minyak kelapa sawit terbesar di
dunia , tercatat pada tahun 2011 terdapat sekitar 608 pabrik pengolahan kelapa
sawit (Ditjen dan pemanfaatan energi, 2001). Salah satu potensi perkebunan
yang cukup besar didapatkan dari Pabrik Kelapa Sawit (PKS), yang mengolah
Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit menjadi Crude Palm Oil (CPO), Panen
rata-rata tahunan minyak sawit mentah Indonesia meningkat sebesar tiga persen
pada 10 tahun terakhir, sedangkan wilayah yang ditanami kelapa sawit
meningkat selama sembilan tahun terakhir. Indonesia juga mengharapkan
peningkatan produksi minyak sawit mentah dari 28,5 juta metrik ton pada tahun
2014. Dampak lain perkembangan pesat produksi minyak sawit mentah adalah
limbah cair kelapa sawit, yang sering disebut sebagai palm oil milleffluent atau
2
POME. POME adalah limbah cair yang berminyak dan tidak beracun, hasil
pengolahan minyak sawit. Meski tak beracun, limbah cair tersebut dapat
menyebabkan bencana lingkungan karena dibuang di kolam terbuka dan
melepaskan sejumlah besar gas metana dan gas berbahaya lainnya yang
menyebabkan emisi gas rumah kaca. Pemanfaatan limbah padat dan cair dapat
dikonversikan menjadi energi listrik (Deublein, dan Steinhauster, 2008). Sebuah
PMKS dengan kapasitas 30 ton TBS/jam dapat menghasilkan tenaga biogas
untuk energi setara 237 KwH (Naibaho, 1996). Gas methana tersebut ternyata
juga memiliki tingkat emisi yang tinggi. UNFCCC, badan PBB yang menangani
perubahan iklim, mencatat gas methana memiliki tingkat emisi 24 kali jika
dibandingkan dengan gas karbon (CO2). Di sisi lain, gas methana ini juga
memiliki tingkat energi yang cukup tinggi. Gas methana ini memiliki nilai kalor
50,1 MJ/kg. Jika densitas methana 0,717 kg/m3 maka 1 m3 gas methana akan
memiliki energi setara dengan 35,9 MJ atau sekitar 10 kWh. Jika kandungan gas
methana adalah 62% dalam biogas, maka 1 m3 biogas akan memiliki tingkat
energi sebesar 6,2 kWh. Melihat potensi tersebut sangat disayangkan jika gas-
gas yang dihasilkan dari penguraian biomassa tersebut dibiarkan begitu saja.
Untuk dapat memanfaatkan potensi biogas tersebut, terdapat beberapa teknologi
yang dapat diterapkan. Tingginya kandungan Chemical Oxygen Demand (COD)
sejumlah 50.000-70.000 mg/l dalam limbah cair kelapa sawit memberikan
potensi untuk konversi listrik dengan menangkap gas metana yang dihasilkan
melalui serangkaian tahapan proses pemurnian.
1. Proses Pembuatan Biogas Dari Limbah Cair Kelapa Sawit
Pada proses pembuatan biogas dari limbah cair kelapa sawit sebenar nya
memiliki potensi energi yang tinggi, dengan penguraiaan di kolam limbah.
Proses biomasa ini akan menghasilkan biogas dengan kandungan utama (62%)
gas methana (CH4). Gas ini muncul sebagai akibat dari proses perombakan
senyawa-senyawa organik secara anaerobic. Tahapan proses pembuatan biogas
berbasis limbah cair kelapa sawit di tampilkan pada gambar 1.
3
1.1 Limbah cair
Pada tahap ini limbah cair pabrik kelapa sawit dilakukan proses penyaringan
untuk menghilangkan partikel besar seperti kotoran atau serat. Agar kondisi
limbah cair dapat mencapai nilai-nilai parameter yang dibutuhkan ntuk masuk
ke digester (pengadukan). Proses pengadukan dan netralisasi pH berpungsi
untuk mencapai pH optimal pada 6,5-7,5. Selanjutnya dilakukan sistem
pendingin (cooling tower atau heat exchanger) yang bertujuan untuk
menurunkan suhu limbah cair kelpa sawit menjadi sekitar 40˚-50˚C. Didalam
limbah cair ini juga terdapat beberapa senyawa mineral makro dan mikro
seperti potassium (K), sodium (Na), kalsium (Ca), iron (Fe), zinc (Zn),
kromium (Cr), dan lainnya. Maka, limbah cair kelapa sawit dapat dimanfaatkan
sebagai substrat untuk produksi biogas karena memiliki nutrien untuk bakteri
pada proses digestasi anaerobik. (Nazaruddin Sinaga, Ahmad Syukran 2016).
1.2 Kolam tertutup
Pada proses ini dilakukan dengan menutup kolam limbah konvensional dengan
bahan reinforced polypropylene yang berfungsi sebagai anaerobic digester.
LIMBAH CAIR
KOLAM TERTUTUP CONTINUOUS STIRRED
TANK REACTOR (CSTR)
SCRUBBER HIDROGEN SULFIDA
GAS ENGINE
DEHUMIDIFIER BIOGAS
4
Biogas akan tertangkap dan terkumpul di dalam cover. Dalam metode ini
memerlukan waktu retensi hidrolik antara 120-140 hari. Kolam limbah akan
mengeluarkan gas methan (CH4) dan karbon dioksida (CO2). (Alkusma, Y.M.,
Hermawan, dan Hadiyanto. 2016).
1.2.1 Continuous Stirred Tank Reactor (CSTR)
Adapun cara lain untuk mendapatkan biogas iyalah dengan cara
CONTINUOUS STIRRED TANK REACTOR (CSTR). juga dikenal
sebagai reaktor kontak, biasanya berbentuk silinder yang terbuat dari
beton atau logam dengan rasio diameter dan tinggi silinder yang kecil.
Sistem ini dilengkapi dengan thickener, clarifier, atau dissolved air
floatation (DAF). Untuk memekatkan biomassa. Tangki digester berfungsi
menggantikan kolam anaerobik yang dibantu dengan pemakaian bakteri
mesophilic dan thermophilic (Naibaho, 1996). Kedua bakteri ini
termasuk bakteri methanogen yang merubah substrat dan menghasilkan
gas methan. Teknologi ini lebih efektif baik dalam pengolahan limbah
limbah cair sehingga akan dihasilkan biogas dalam jumlah yang lebih
besar.(Luthfi, 2018).
Tabel 1. Perbandigan Antara CSTR Dan Kolam Tertutup.
Bahan
baku
Proses Tekanan Kapasitas
penyimpanan
Hasil Reference
Limbah
cair
Kolam
tertutup
Rendah
0-2
mbarg
1 – 2 hari 3.720
kWh
Alkusma,
dkk 2016.
Limbah
cair dan
padat
CSTR Tinggi 8-
12 mbarg
30 memit – 3
jam
5.208
kWh
Luthfi,
2018.
Dari tabel 1: teknologi cstr lebih unggul dari pada kolam limbah tertutup,
dengan jenis limbah yang bisa di jadikan gas cair & padat, energi yang di
hasilkan lebih baik dari kolam tertutup. Selain menghasilkan biogas,
pengolahan limbah cair dengan proses digester anaerobik dapat dilakukan
pada lahan yang sempit dan memberi keuntungan berupa penurunan jumlah
padatan organik, jumlah mikroba pembusuk yang tidak diinginkan, serta
5
kandungan racun dalam limbah. Di samping itu juga membantu peningkatan
kualitas pupuk dari sludge yang dihasilkan, karena sludge yang dihasilkan
berbeda dari sludge limbah cair PMKS biasa yang dilakukan melalui proses
konvensional (Tobing, 1997). Namun memiliki biaya yang lebih tinggi dalam
pembuatan nya.
1.3 Scrubber hidrogen sulfida
Scrubber hidrogen sulfida berpungsi untuk menurunkan konsentrasi H2S ke
tingkat yang disyaratkan oleh gas engine, biasanya di bawah 200 ppm. Pada
proses scrubber memiliki tiga jenis yang digunakan dalam proses desulfurisasi
untuk menurunkan kandungan H2S dalam biogas, yaitu scrubber biologis,
kimia, atau air. Scrubber biologis menggunakan bakteri sulfur-oksidasi untuk
mengubah H2S menjadi SO4, sementara scrubber kimia menggunakan bahan
kimia sperti NaOH untuk mengubah H2S menjadi SO4. Scrubber air berkerja
berdasarkan penyerapan fisik dari gas-gas terlarut dalam air dan menggunakan
air bertekanan tinggi. Pada umum nya scrubber biologis yang sering digunakan
untuk aplikasi limbah cair menjadi energi dikarena biaya operasionalnya
rendah (Deublein, D. dan Steinhauster, A.,2008).
1.4 Dehumidifier Biogas
Dehumidifier biogas berfungsi untuk mengurangi kadar air biogas yang akan
dialirkan ke dalam gas engine. Dehumidifier mengoptimalkan proses
pembakaran pada mesin, mencegah pengembunan, dan melindungi mesin dari
pembentukan asam. Asam akan terbentuk saat air bereaksi dengan H2S dan
oksigen. Biogas yang berkualitas tinggi dengan kelembapan relatif di bawah
80% meningkatkan efisiensi mesin dan mengurangi konsumsi bahan bakar gas.
(Ibrahim, H, 2018).
1.4 Gas Engine
Gas engine adalah mesin pembakaran yang bekerja dengan bahan bakar gas
seperti gas alam atau biogas . Setelah kandungan pengotor pada biogas
diturunkan hingga kadar yang di tentukan, kemudian biogas dialirkan ke gas
6
engine untuk menghasilkan listrik. Bergantung pada spesifikasi gas engine
yang digunakan, gas engine yang berbahan bakar biogas umumnya
memerlukan biogas dengan kadar air dibawah 80% dan konsentrasi H2S
kurang dari 200 ppm. Gas engine mengubah energi yang terkandung dalam
biogas menjadi energi mekanik untuk menggerakkan generator yang
menghasilkan listrik. Biasanya gas engine memiliki efisiensi listrik antara
36−42%. (Alkusma, Y.M., Hermawan, dan Hadiyanto. 2016).
Tabel 2. Perbandingan Hasil Listrik Yang Didapat Dari Kolam Tertup Dan CSTR
Dari tabel 2 : listrik yang dihasilkan melalui sistem cstr lebih besar daripada
menggunakan sistem kolam tertutup. Biogas yang di ubah melalui gas engine
menghasilkan listrik yang besar. Apabila listrik tersebut dijual ke PLN maka
pabrik akan mendapatkan keuntungan yang besar. namun belum banyak pabrik
pks yang memanfaatkan limbah cair tersebut.
Proses Bahan
baku
Kapasitas
pks
Biogas yang
didapat
Listrik yang
dihasilkan
menggunkan
gas engine
Reference
Kolam
tertutup
Limbah
cair
30 ton
tbs/jam
± 600
m3/jam
1.303
kWh/1,3MW
Alkusma,
dkk 2016.
CSTR Limbah
cair dan
padat
30 ton
tbs/jam ±840 m3/jam 1.822
kWh/1,8MW
Luthfi, 2018.
7
Kesimpulan
Limbah cair pabrik kelapa sawit dapat di ubah menjadi biogas dengan
melakukan beberapa proses penampungan gas dan biogas yang telah terkumpul
di ubah menjadi listrik. Penangkapan biogas dapat dilakukan dua cara yaitu
dengan kolam tertutup dan continuous stirred tank reactor (CSTR). Listrik yang
didapat dari limbah cair bila di jual kepada pln akan mendapatkan untung yang
lebih besar. Apabila listrik yang dijual dengan harga ditetapkan Rp. 975/kWh
untuk kolam tertutup akan medapatkan keuntungan sebesar Rp. 9,15 M/tahu.
Sedangkan untuk sistem CSTR dengan penjualan yang sama maka keuntungan
yang didapat sebesar Rp. 12,8 M/tahun.
Daftar Pustaka
1. Ditjen dan pemanfaatan energi, 2001.
2. Deublein, D. dan Steinhauster, A., (2008). “Biogas from Waste and
Renewabe
Resources. An Introduction”. WILEY-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA,
Weinheim.
3. Naibaho,P.M., (1996). Teknologi Pengolahan Kelapa Sawit. Pusat Penelitian
Kelapa Sawit,Medan.
4. Nazaruddin Sinaga, Ahmad Syukran (2016). Simulasi pengaruh
komposisi limbah cair pabrik kelapa sawit (POME) terhadap
kandungan air biogas dan daya listrik yang dihasilkan sebuah
pembangkit listrik tenaga biogas.
5. Alkusma, Yulian Mara,dkk, (2016), Pengembangan Potensi Energi Alternatif
Dengan Pemanfaatan Limbah Cair Kelapa Sawit Sebagai Sumber Energi
Baru Terbarukan di Kabupaten Kotawaringin Timur, Program Studi Ilmu
Lingkungan, Universitas Diponegoro: Semarang, Jawa Tengah.
6. Luthfi Parinduri (2018), Analisa Pemanfaatan Pome Untuk Sumber
Pembangkit Listrik Tenaga Biogas Di Pabrik Kelapa Sawit.
7. Tobing, P.L. 1997. Minimalisasi dan Pemanfaatan Limbah Cair – Padat
8
Pabrik
Kelapa Sawit dengan Cara daur Ulang. Medan; Pusat Penelitian Kelapa
Sawit.
8. Nugroho Panji, 2013. Panduan Membuat Kompos Cair. Jakarta: Pustaka baru
Press.
9. Ibrahim, H, 2018. Unjuk Kerja Sistem Pembangkit Listrik Menggunakan
Biogas Limbah Cair Pada Pabrik Kelapa Sawit.
10. Alkusma, Y.M., Hermawan, dan Hadiyanto. (2016). Pengembangan Potensi
Energi Alternatif dengan Pemanfaatan Limbah Cair Kelapa Sawit sebagai
Sumber Energi Baru Terbarukan di Kabupaten Kotawaringin Timur.
2
Lampiran 1
© 2016 Program Studi Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana UNDIP
JURNAL ILMU LINGKUNGAN
Volume 14 Issue 2 (2016): 96-102 ISSN 1829-8907
Pengembangan Potensi Energi Alternatif Dengan Pemanfaatan Limbah Cair Kelapa Sawit Sebagai Sumber Energi Baru
Terbarukan Di Kabupaten Kotawaringin Timur
Yulian Mara Alkusma1, Hermawan1,2, Hadiyanto1,3
1 Magister Ilmu Lingkungan Universtias Diponegoro
2Departemen Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Diponegoro
3 Departemen Teknik Kima Fakultas Teknik Universitas Diponegoro
ABSTRAK
Energi memiliki peranan penting dalam proses pembangunan yang pada akhirnya untuk mencapai tujuan sosial,
ekonomi dan lingkungan untuk serta merupakan pendukung bagi kegiatan ekonomi nasional. Sumber energi
terbarukan yang berasal dari pemanfaatan biogas limbah cair kelapa sawit dapat menghasilkan energi listrik yang saat
ini banyak bergantung pada generator diesel dengan biaya yang mahal.Limbah cair kelapa sawit (Palm Oil Mill Effluent
atau POME) adalah limbah cair yang berminyak dan tidak beracun, berasal dari proses pengolahan minyak kelapa
sawit, namun limbah cair tersebut dapat menyebabkan bencana lingkungan apabila tidak dimanfaatkan dan dibuang di
kolam terbuka karena akan melepaskan sejumlah besar gas metana dan gas berbahaya lainnya ke udara yang
menyebabkan terjadinya emisi gas rumah kaca. Tingginya kandungan Chemical Oxygen Demand (COD) sebesar 50.000-
70.000 mg/l dalam limbah cair kelapa sawit memberikan potensi untuk dapat di konversi menjadi listrik dengan
menangkap biogas (gas metana) yang dihasilkan melalui serangkaian tahapan proses pemurnian. Di Kabupaten
Kotawaringin Timur terdapat 36 Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit yang total kapasitas pabriknya adalah sebesar 2.115
TBS/jam, menghasilkan limbah cair sebesar 1.269 ton limbah cari/jam dan mampu menghasilkan
42.300 m3 biogas.
Kata kunci: Renewable Energy, Plam Oil Mill Effluent, Chemical Oxygen Demand, Biogass, Methane.
ABSTRACT
Energy has an important role in the development process and ultimately to achieve the objectives of social, economic
and environment for as well as an environmental support for national economic activity. Renewable energy source
derived from wastewater biogas utilization of oil palm can produce electrical energy which is currently heavily
dependent on diesel generators at a cost that mahal.Limbah liquid palm oil (Palm Oil Mill Effluent, or POME) is the
wastewater that is greasy and non-toxic, derived from the processing of palm oil, but the liquid waste could cause
environmental disaster if not used and disposed of in open ponds because it will release large amounts of methane
and other harmful gases into the air that cause greenhouse gas emissions. The high content of Chemical Oxygen
Demand (COD) of 50000-70000 mg / l in the liquid waste palm oil provides the potential to be converted into
electricity by capturing the biogas (methane gas) produced through a series of stages of the purification process. In
East Kotawaringin there are 36 palm oil processing factory that total factory capacity is of 2,115 TBS / hour, producing
1,269 tons of liquid waste wastewater / h and is capable of producing 42,300 m3 of biogas.
Keywords: Renewable Energy, Plam Oil Mill Effluent, Chemical Oxygen Demand, Biogass, Methane
3
Cara sitasi: Alkusma, Y.M., Hermawan, dan Hadiyanto. (2016). Pengembangan Potensi Energi Alternatif dengan Pemanfaatan Limbah Cair Kelapa Sawit sebagai Sumber Energi Baru Terbarukan di Kabupaten Kotawaringin Timur. Jurnal Ilmu Lingkungan,14(2),96-102, doi:10.14710/jil.14.2.96-102
1. PENDAHULUAN
Hutan bakau atau disebut juga hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di rawa-rawa
berair payau yang terletak pada garis pantai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan
mangrove ini bertumbuh pesat memenuhi tempat dimana terjadi pelumpuran dan akumulasi
bahan organik. Baik di daerah yang terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara
sungai dimana arus laut lemah dan mengendapkan lumpur yang dibawa dari hulu sungai.Energi
mempunyai peranan penting dalam pencapaian tujuan sosial, ekonomi dan lingkungan untuk
pembangunan berkelanjutan serta merupakan pendukung bagi kegiatan ekonomi nasional.
Penggunaan energi di Indonesia meningkat pesat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan
pertambahan penduduk. Sedangkan akses ke energi yang andal dan terjangkau merupakan
prasyarat utama untuk meningkatkan standar hidup masyarakat.Alkusma, Y.M., Hermawan, dan Hadiyanto. (2016).
Pengembangan Potensi Energi Alternatif dengan Pemanfaatan Limbah Cair Kelapa Sawit sebagai Sumber Energi Baru Terbarukan di Kabupaten Kotawaringin Timur. Jurnal Ilmu Lingkungan,14(2),96-102, doi:10.14710/jil.14.2.96-102
4
Keterbatasan akses ke energi komersial telah menyebabkan pemakaian energi per kapita
masih rendah dibandingkan dengan negara lainnya. Konsumsi per kapita pada saat ini sekitar 3
SBM yang setara dengan kurang lebih sepertiga konsumsi per kapita rata-rata negara ASEAN.
Dua pertiga dari total kebutuhan energi nasional berasal dari energi komersial dan sisanya
berasal dari biomassa yang digunakan secara tradisional (non-komersial). Sekitar separuh dari
keseluruhan rumah tangga belum terjangkau dengan sistem elektrifikasi Nasional.
Penggunaan BBM meningkat pesat, terutama untuk transportasi, yang sulit digantikan oleh
jenis energi lainnya. Ketergantungan kepada BBM masih tinggi, lebih dari 60 persen dari
konsumsi energi final. Pembangkitan tenaga listrik di beberapa lokasi tertentu masih
mengandalkan BBM karena pada waktu yang lalu harga BBM masih relatif murah (karena di
subsidi), jauh dari sumber batubara, jaringan pipa gas bumi masih terbatas, lokasi potensi tenaga
air yang jauh dari konsumen dan pengembangan panas bumi serta energi terbarukan lain yang
relatif masih lebih mahal.
Kebutuhan energi dalam negeri selama ini dipasok dari produksi dalam negeri dan sebagian
dari impor, yang pangsanya cenderung meningkat. Komponen terbesar dari impor energi adalah
minyak bumi dan BBM. Kemampuan produksi lapangan minyak bumi semakin menurun
sehingga membatasi tingkat produksinya. Dalam satu dekade terakhir, kapasitas produksi kilang
BBM dalam negeri tidak bertambah, sedangkan permintaan BBM di dalam negeri meningkat
dengan cepat. Pada tahun 2005 peranan minyak bumi impor untuk kebutuhan bahan baku kilang
BBM sudah mencapai 40 persen sedangkan peranan BBM impor untuk pemakaian dalam negeri
mencapai 32 persen.
Mengapa energi terbarukan? Energi Terbarukan harus segera dikembangkan secara
nasional bila tetap tergantungan energi fosil, ini akan menimbulkan setidaknya tiga ancaman
serius yakni: 1) Menipisnya cadangan minyak bumi yang diketahui (bila tanpa temuan sumur minyak baru) 2) Kenaikan/ketidakstabilan harga akibat laju permintaan yang lebih besar dari produksi minyak, dan 3) Polusi gas rumah kaca (terutama CO) akibat pembakaran bahan bakar fosil.
Kadar CO saat ini disebut sebagai yang tertinggi selama 125 tahun belakangan [2]. Bila
ilmuwan masih memperdebatkan besarnya cadangan minyak yang masih bisa dieksplorasi, efek
buruk CO terhadap pemanasan global telah disepakati hampir oleh semua kalangan. Hal ini
menimbulkan ancaman serius bagi kehidupan makhluk hidup di muka bumi. Oleh karena itu,
pengembangan dan implementasi bahan bakar terbarukan yang ramah lingkungan perlu
mendapatkan perhatian serius
Perkembangan bisnis dan investasi kelapa sawit dalam beberapa tahun terakhir mengalami
pertumbuhan yang sangat pesat. Permintaan atas minyak nabati dan penyediaan biofuel telah
mendorong peningkatan permintaan minyak nabati yang bersumber dari crude palm oil (CPO)
yang berasal dari kelapa sawit. Hal ini disebabkan tanaman kelapa sawit memiliki potensi
menghasilkan minyak sekitar 7 ton/hektar lebih tinggi dibandingkan dengan kedelai yang hanya 3
ton/hektar. Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dalam pengembangan perkebunan dan
industri kelapa sawit karena memiliki potensi cadangan lahan yang cukup luas, ketersediaan
tenaga kerja, dan kesesuaian agroklimat. Luas perkebunan kelapa sawit pada tahun 2007 sekitar
6,8 juta hektar (Heriyadi, 2009). Dari luas tersebut sekitar 60 % diusahakan oleh perkebunan
besar dan sisanya diusahakan oleh perkebunan rakyat (Soetrisno, 2008).
Kabupaten Kotawaringin Timur memiliki potensi perkebunan dengan jumlah perusahaan
perkebunan besar swasta hampir 60 perusahaan besar swasta dan hampir 50% dari jumlah
tersebut telah memiliki pabrik pengolahan kelapa sawit. Pada kenyataannya limbah kelapa sawit
yang ada masih belum dapat dimanfaatkan secara optimal, diantaranya sebagai sumber
pembangkit energi alternatif, terutama sebagai sumber energi alternatif bagi daerah-daerah
perdesaan yang belum terjangkau jaringan listrik yang dikelola oleh pemerintah (PLN) selama
ini. Tulisan ini merupakan gagasan dari melimpahnya limbah cair yang ada di Kabupaten
Kotawarngin Timur yang belum di maksimalkan penggunaannya berkaitan dengan kemandirian
energi dari sumber energi baru terbarukan.
5
2. Perkebunan Kelapa Sawit dan Biogas Salah satu potensi perkebunan yang cukup besar didapatkan dari Pabrik Kelapa Sawit
(PKS), yang mengolah Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit menjadi Crude Palm Oil
(CPO). Dalam proses pengolahannya, PKS menghasilkan limbah biomassa dengan jumlah yang
cukup besar dalam bentuk limbah organik berupa tandan kosong kelapa sawit (Tankos),
cangkang dan sabut, serta limbah cair (palm oil mill effluent/POME).
Seperti peta konversi di atas, pada umumnya cangkang dan sabut dikonversi menjadi
energi panas dengan dibakar di dalam boiler untuk menghasilkan uap (steam) bertekanan. Uap
tersebut selanjutnya dikonversi kembali menjadi energi listrik melalui turbin generator dan
sisanya digunakan untuk proses pengolahan kelapa sawit. Limbah biomassa yang lain, yaitu
tankos dan POME sebenarnya juga memiliki potensi energi yang tinggi, namun pada umumnya
belum dimanfaatkan secara optimal. POME diurai di kolam limbah sedangkan tankos biasanya
disebarkan ke lahan dan dibiarkan membusuk secara alami. Proses pembusukan biomassa ini
akan menghasilkan biogas dengan kandungan utama (62%) gas methana (CH4). Gas ini muncul
sebagai akibat dari proses perombakan senyawa-senyawa organik secara anaerobik.Jurnal Ilmu
Lingkungan, Vol. 14 (2): 96-102, 2016 ISSN : 1829-8907
Gas methana tersebut ternyata juga
memiliki tingkat emisi yang tinggi.
UNFCCC, badan PBB yang menangani
perubahan iklim, mencatat gas methana
memiliki tingkat emisi 24 kali jika
dibandingkan dengan gas karbon (CO2). Di
sisi lain, gas methana ini juga memiliki
tingkat energi yang cukup tinggi. Gas
methana ini memiliki nilai kalor 50,1 MJ/kg.
Jika densitas methana 0,717 kg/m3 maka 1
m3 gas methana akan memiliki energi setara
dengan 35,9 MJ atau sekitar 10 kWh. Jika
kandungan gas methana adalah 62% dalam
biogas, maka 1 m3 biogas akan memiliki
tingkat energi sebesar 6,2 kWh. Melihat
potensi tersebut sangat disayangkan jika gas-
gas yang dihasilkan dari penguraian
biomassa tersebut dibiarkan begitu saja.
Untuk dapat memanfaatkan potensi biogas
tersebut, terdapat beberapa teknologi yang
dapat diterapkan.
3. Palm Oil Mill Effluent (POME) Teknologi yang telah banyak
digunakan untuk mengambil biogas dari
POME adalah Covered Lagoon. Teknologi
ini dilakukan dengan menutup kolam limbah
konvensional dengan bahan reinforced
polypropylene sehingga berfungsi sebagai
anaerobic digester. Biogas akan tertangkap
dan terkumpul di dalam cover.
Dengan teknologi ini, akan dihasilkan
biogas sebanyak ±20 m3/ton TBS. Jadi jika
kapasitas PKS sebesar 30 ton TBS/jam akan
menghasilkan biogas
±600 m3/jam, atau setara dengan energi
sebesar 3.720 kWh. Jika energi tersebut
digunakan untuk membangkitkan listrik dengan
menggunakan gas engine (efisiensi 35%) maka
akan dapat dibangkitkan listrik sebesar 1.303
kWh atau 1,3 MW.
Jika dihitung secara ekonomi, dengan
asumsi pembangkit beroperasi selama 300
hari/tahun dan 24 jam/hari dan harga ditetapkan
Rp. 975/kWh, sesuai permen ESDM (04/2012)
untuk pulau Jawa, maka terdapat potensi
pendapatan sebesar Rp. 9,15 M/tahun.
Teknologi yang berbeda adalah dengan
menggunakan anaerobic digester. Teknologi ini
lebih efektif baik dalam pengolahan limbah
POME sehingga akan dihasilkan biogas dalam
jumlah yang lebih besar. Pengolahan POME
dilakukan dengan membuat instalasi anaerobic
digester seperti yang terlihat pada skema gambar
4. Komponen utama teknologi ini adalah sebuah
reaktor yang senantiasa terkontrol. Dengan
demikian proses penguraian senyawa organik
secara anaerobic dapat diatur, baik komposisi,
mikrobia maupun termperaturnya untuk
mendapatkan hasil yang maksimal dengan
tingkat BOD yang lebih rendah dari 100 mg/l.
Biogas yang dihasilkan ±28 m3/ton TBS.
Jadi jika kapasitas PKS sebesar 30 ton TBS/jam
akan dihasilkan biogas ±840 m3/jam, atau setara
dengan energi sebesar 5.208 kWh. Energi listrik
yang dapat dibangkitkan dengan gas engine
(efisiensi 35%) adalah sebesar 1.822 kWh, atau
1,8 MW. Dengan asumsi yang sama, maka
potensi pendapatan adalah sebesar Rp. 12,8
M/tahun.
6
Dengan potensi yang cukup besar
tersebut diharapkan sektor perkebunan
mulai tertarik untuk berkontribusi dalam
kemandirian energi. Maka menjadi penting
bahwa sektor energi menjadi salah satu
aksi korporasi yang cukup strategis untuk
diterapkan di industri perkebunan
Indonesia.
4. Operasional Unit
Pemanfaatan Biogas Metode pengolahan limbah dapat
dilakukan secara fisika, kimia, dan biologi.
Pengolahan limbah secara kimia dilakukan
dengan proses koagulasi, flokulasi,
sedimentasi, dan flotasi. Proses kimia
sering kurang efektif karena pembelian
bahan kimianya yang cukup tinggi dan
menghasilkan sludge dengan volume yang
cukup besar. Sedangkan pengolahan
limbah secara biologis dapat dilakukan
dengan proses aerob dan anaerob.
Secara konvensional pengolahan
limbah cair PMKS dilakukan secara
biologis dengan menggunakan kolam, yaitu
limbah cair diproses dalam kolam aerobik
dan anaerobik dengan memanfaatkan
mikrobia sebagai perombak BOD dan
menetralisir keasaman cairan limbah.
Pengolahan limbah cair PMKS
secara konvesional banyak dilakukan oleh
pabrik karena teknik tersebut cukup
sederhana dan biayanya lebih murah.
Namun pengolahan dengan cara tersebut
membutuhkan lahan yang luas untuk
pengolahan limbah. Dengan kapasitas 30
ton TBS/jam, maka dibutuhkan sekitar 7
hektar lahan untuk pengolahan limbah.
Selain itu efisiensi perombakan limbah cair
PMKS hanya 60-70 % dengan waktu
retensi yang cukup lama yaitu 120-140
hari. Kolam-kolam limbah konvensional
akan mengeluarkan gas methan (CH4) dan
karbon dioksida (CO2) yang
membahayakan karena merupakan emisi
penyebab efek rumah kaca yang berbahaya
bagi lingkungan. Disamping itu kolam-
kolam pengolahan limbah sering
mengalami pendangkalan, sehingga baku
mutu limbah tidak tercapai.
Pengolahan limbah cair PMKS
dengan menggunakan digester anaerob
dilakukan dengan mensubtitusi proses yang
terjadi di kolam anaerobik pada sistem
konvensional kedalam tangki digester. Tangki
digester berfungsi menggantikan kolam
anaerobik yang dibantu dengan pemakaian
bakteri mesophilic dan thermophilic (Naibaho,
1996). Kedua bakteri ini termasuk bakteri
methanogen yang merubah substrat dan
menghasilkan gas methan.
Fermentasi anaerobik dalam proses
perombakan bahan organik yang dilakukan
oleh sekelompok mikrobia anaerobik fakultatif
maupun obligat dalam satu tangki digester
(reaktor tertutup) pada suhu 35-55 0C.
Metabolisme anaerobik selulose melibatkan
banyak reaksi kompleks dan prosesnya lebih
sulit daripada reaksi-reaksi anaerobik bahan-
bahan organik lain seperti karbohidrat, protein,
dan lemak. Bidegradasi tersebut melalui
beberapa tahapan yaitu proses hidrolisis, proses
asidogenesis, proses asetogenesis, dan proses
methanogenesis. Proses hidrolisis berupa
proses dekomposisi
7
Alkusma, Y.M., Hermawan, dan Hadiyanto. (2016). Pengembangan Potensi Energi Alternatif dengan Pemanfaatan Limbah Cair Kelapa Sawit sebagai
Sumber Energi Baru Terbarukan di Kabupaten Kotawaringin Timur. Jurnal Ilmu Lingkungan,14(2),96-102, doi:10.14710/jil.14.2.96-102
biomassa kompleks menjadi gkukosa
sederhana memakia enzim yang dihasilkan
oleh mikroorganisme sebagai katalis.
Hasilnya biomassa menjadi dapat larut
dalam air dan mempunyai bentuk yang lebih
sederhana. Proses asidogenesis merupakan
proses perombakan monomer dan oligomer
menjadi asam asetat, CO2, dan asam lemak
rantai pendek, serta alkohol. Proses
asidogenesis atau fase non methanogenesis
menghasilkan asam asetat, CO2, dan H2.
Sementara proses methanogensesis
merupakan perubahan senyawa-senyawa
menjadi gas methan yang dilakukan oleh
bakteri methanogenik. Salah satu bakteri
methanogeneik yang populer dalam
Methanobachillus omelianskii.
Proses biokonversi methanogenik
merupakan proses biologis yang sangat
dipengaruhi oleh faktor lingkungan baik
lingkungan biotik maupun abiotik. Faktor
biotik meliputi mikroba dan jasad aktif.
Faktor jenis dan konsentrasi inokulum
sangat berperan dalam proses perombakan
dan produksi biogas. Hasil penelitian
Mahajoeno, dkk (2008) mengungkapkan
inokulum LKLM II-20% (b/v) dengan
substrat 15 L, diperoleh produksi biogas
paling baik dibandingkan konsentrasi
lainnya dimana produksi biogasnya
mencapai 121 liter.
Sedangkan faktor abiotik meliputi
pengadukan (agitasi), suhu, tingkat
keasaman (pH), kadar substrat, kadar air,
rasio C/N, dan kadar P dalam substrat, serta
kehadiran bahan toksik (Mahajoeno, dkk,
2008). Diantara faktor abiotik di atas, faktor
pengendali utama produksi biogas adalah
suhu, pH, dan senyawa beracun.
Kehidupan mikroba dalam cairan
memerlukan keadaan lingkungan yang
cocok antara lain pH, suhu, dan nutrisi.
Derajat keasaman pada mikroba yaitu antara
pH 5-9. Oleh karena itu limbah cair PMKS
yang bersifat asam (pH 4-5) merupakan
media yang tidak cocok untuk pertumbuhan
bakteri, maka untuk mengaktifkan bakteri
cairan limbah PMKS tersebut harus di
netralisasi. Penambahan bahan penetral pH
dapat meningkatkan produksi biogas.
Namun keasaman nya dibatasi agar tidak
melebihi pH 9, karena pada pH 5 dan pH 9
dapat menyebabkan terganggunya enzim bakteri
(enzim teridir dari protein yang dapat
mengkoagulasi pada pH tertentu). Peningkatan
pH optimum akan memacu proses pembusukan
sehingga meningkatkan efektifitas bakteri
methanogenik dan dapat meningkatkan produksi
biogas. Mahajoeno, dkk (2008) menyatakan
menunjukkan bahwa pH substrat awal 7
memberikan peningkatan laju produksi biogas
lebih baik dibandingkan dengan perlakuan pH
yang lain
Peningkatan suhu juga dapat
meningkatkan laju produksi biogas. Mikroba
menghendaki suhu cairan sesuai dengan jenis
mikroba yang dikembangkan. Berdasarkan sifat
adaptasi bakteri terhadap suhu dapat dibedakan
menjadi 3 (tiga) bagian (Naibaho, 1996) yaitu : ▪ Phsycrophill, yaitu bakteri yang dapat hidup aktif
pada suhu rendah yaitu 10 0C, bakteri ini ditemukan pada daerah-daerah sub tropis.
8
▪ Mesophill, yaitu bakteri yang hidup pada suhu 10- 50 0C dan merupakan jenis bakteri yang paling banyak dijumpai pada daerah tropis.
▪ Thermophill, yaitu bakteri yang tahan panas pada suhu 50-80 0C. bakteri ini banyak dijumpai pada tambang minyak yang berasal dari perut bumi.
Perombakan limbah dapat berjalan
lebih cepat pada penggunaan bakteri
thermophill. Suhu yang tinggi dapat
memacu perombakan secara kimiawi,
perombakan yang cepat akan dimanfaatkan
oleh bakteri metahonogenik untuk
menghasilkan gas methan, sehingga dapat
produksi biogas. Peningkatan suhu sebesar
40 0C dapat menghasilkan 68,5 liter biogas
(Mahajoeno, dkk, 2008).
Limbah cair mengandung
karbohidrat, protein, lemak, dan mineral
yang dibutuhkan oleh mikroba. Komposisi
limbah perlu diperbaiki dengan
penambahan nutrisi seperti untur P dan N
yang diberkan dalam bentuk pupuk TSP
dan urea. Jumlah kandungan bahan
makanan dalam limbah harus
dipertahankan agar bakteri tetap
berkembang dengan baik. Jumlah lemak
yang terdapat dalam limbah akan
mempengaruhi aktivitas perombak limbah
karbohidrat dan protein. Selain kontinuitas
makanan juga kontak antara makanan dan
bakteri perlu berlangsung dengan baik yang
dapat dicapai dengan melakukan agitasi
(pengadukan). agitasi juga berpengaruh
terhadap produksi biogas. Pemberian
agitasi berpengaruh lebih baik
dibandingkan tanpa agitasi dalam
peningkatan laju produksi gas. Dengan
agitasi substrat akan menjadi homogen,
inokulum kontak langsung dengan substrat
dan merata, sehingga proses perombakan
akan lebih efektif. Agitasi dimaksudkan
agar kontak antara limbah cair PMKS dan
bakteri perombak lebih baik dan
menghindari padatan terbang atau
mengendap. Agitasi pada 100 rpm dapat
meningkatkan produksi biogas.
Reaksi perombakan anaerobik tidak
menginginkan kehadiran oksigen, karena
oksigen akan menonaktifkan bakteri.
Kehadiran oksigen pada limbah cair dapat
berupa kontak limbah dengan udara.
Kedalaman reaktor akan mempengaruhi reaksi
perombakan. Semakin dalam reaktor akan
semakin baik hasil perombakan.
Kehadiran bahan toksik juga
menghambat proses produksi biogas.
Kehadiran bahan toksik ini akan menghambat
aktivitas mikroorganisme untuk melakukan
perombakan. Maka untuk memperoleh
produksi biogas yang baik, kehadiran bahan
toksik harus dicegah.
Hasil produksi biogas juga ditentukan
oleh faktor waktu fermentasi. Hal ini
disebabkan untuk melakukan perombakan
anaerob terdiri atas 4 (empat) tahapan. Untuk
itu setiap proses membutuhkan waktu yang
cukup. Pengaruh waktu fermentasi
memberikan hasil yang berbeda pada produksi
biogas. Semakin lama proses fermentasi, maka
akan semakin tinggi produksi biogas.
9
Jurnal Ilmu Lingkungan, Vol. 14 (2): 96-102, 2016 ISSN : 1829-8907
Ahmad (2003) menyatakan parameter
kinetik merupakan dasar penting dalam
desain bioreaktor terutama konstanta laju
pertumbuhan mikroba maksimum dan
menentukan waktu tinggal biomassa
minimum. Parameter kinetik biodegradasi
anerob limbah cair PMKS optimum
diperoleh pada konstanta setengah jenuh
(Ks) 1,06 g/L, laju pertumbuhan spesifik
maksimum (µm) 0,187 / hari, perolan
biomassa (Y) 0,395 gVSS/gCOD, konstanta
laju kematian mikroorganisme (Kd) 0,027 /
hari, dan konstanta pemanfaatan substat
maksimum (k) 0,474
/ hari.
menetapkan batas maksimal H2S yang
terkandung hanya 0,05% saja. NH3, sekitar 0-
0,05%, emisi NOx setelah pembakaran
merusak kandungan bahan bakar biogas ini,
dan meningkatkan sifat anti-knock pada
engine. Uap air, sekitar 1-5%, dapat
menyebabkan korosi, risiko pembekuan, pada
peralatan, instrument, plant dan system
perpipaan.
Potensi biogas yang dihasilkan dari
600-700 kg limbah cair PMKS dapat
diproduksi sekitar 20 m3 biogas (Goenadi,
2006) dan setiap m3 gas methan dapat
diubah menjadi energi sebesar 4.700 –
6.000 kkal atau 20-24 MJ (Isroi, 2008).
Sebuah PMKS dengan kapasitas 30 ton
TBS/jam dapat menghasilkan tenaga biogas
untuk energi setara 237 KwH (Naibaho,
1996). Selain menghasilkan biogas,
pengolahan limbah cair dengan
proses digester anaerobik dapat dilakukan
pada lahan yang sempit dan memberi
keuntungan berupa penurunan jumlah
padatan organik, jumlah mikroba pembusuk
yang tidak diinginkan, serta kandungan
racun dalam limbah. Di samping itu juga
membantu peningkatan kualitas pupuk dari
sludge yang dihasilkan, karena sludge yang
dihasilkan berbeda dari sludge limbah cair
PMKS biasa yang dilakukan melalui
proses konvensional (Tobing, 1997).
Kelebihan tersebut
adalah : ▪ Penurunan kadar BOD bisa mencapai 80-90 %. ▪ Baunya berkurang sehingga toidak disukai lalat. ▪ Berwarna coklat kehitam-hitaman. ▪ Kualitas sludge sebagai pupuk lebih baik, yaitu :
➢ Memperbaiki struktur fisik tanah ➢ Meningkatkan aerasi, peresapan, retensi,
dan kelembaban ➢ Meningkatkan perkembangbiakan
dan perkembangan akar ➢ Meningkatkan kandungan organik tanah,
pH, dan kapasitas tukar kation tanah, dan ➢ Meningkatkan populasi mikroflora
dan mikrofauna tanah maupun aktivitasnya.
Secara umum diagram alir proses
pemanfaatan limbah cair kelapa sawit yang di
ambil gas methane untuk menjadi biogas dan
menghasilkan energi listrik digambarkan pada
Gambar 1.
5. Operasional Genset Berbahan
Bakar Biogas Biogas mengandung beberapa komponen
yaitu CO2, sekitar 25% sampai 50% per
volume, akibat yang ditimbulkan kandungan
CO2 yaitu menurunkan nilai kalori,
meningkatkan jumlah methane dan anti knock
pada engine, menyebabkan korosi (kurangnya
kandungan karbon acid)jika gas dalam keadaan
basah, serta merusak alkali dalam baan bakar
biogas ini. H2S, sekitar 0 sampai 0,5%, akibat
yang ditimbulkan kandungan H2S yaitu :
mengakibatkan korosi pada peralatan dan
system perpipaan (stress corrosion) oleh karena
itu banyak produsen mesin
10
Gambar 1. Contoh Salah Satu Diagram alir Unit
Pengolahan biogas
Gambar 2. Contoh Layout Unit Pengolahan Biogas PT. Laguna
Mandiri.
Debu / Dust, sekitar >5µm,
mengakibatkan terhalangnya nozzle, dan
kandungan biogas. N2, sekitar 0-5%, akibat
yang ditimbulkan yaitu mengurangi
kandungan nilai kalori, dan meningkatkan
anti-knock pada engine. Siloxanes, sekitar
0-5mg m-3 , mengakibatkan terjadinya
abrasive dan kerusakan pada mesin.
Perubahan biogas menjadi energi
listrik dilakukan dengan memasukkan gas
dalam tabung penampungan kemudian
masuk ke conversion kit yang berfungsi
menurunkan tekanan gas dari tabung
11
Alkusma, Y.M., Hermawan, dan Hadiyanto. (2016). Pengembangan Potensi Energi Alternatif dengan Pemanfaatan Limbah Cair Kelapa Sawit sebagai
Sumber Energi Baru Terbarukan di Kabupaten Kotawaringin Timur. Jurnal Ilmu Lingkungan,14(2),96-102, doi:10.14710/jil.14.2.96-102
sesuai dengan tekanan operasional mesin
dan mengatur debit gas yang bercampur
dengan udara di dalam mixer, dari mixer
bahan bakar bersama dengan udara masuk
kedalam mesin dan terjadilah pembakaran
yang akan menghasilkan daya untuk
menggerakkan generator yang menghasilkan
energi listrik. Karakteristik pembakaran
yang terjadi pada mesin diesel berbeda
dengan pembakaran pada mesin bensin. ➢ Karakteristik pembakaran biogas di dalam mesin
diesel
Bahan bakar biogas membutuhkan
rasio kompresi yang tinggi untuk proses
pembakaran sebab biogas mempunyai titik
nyala yang tinggi 645 C – 750C
dibandingkan titik nyala solar 220C, maka
mesin diesel umumnya digunakan secara
dualfuel dengan rasio kompresi sekitar 15 –
18. Proses pembakaran pada mesin dualfuel,
bahan bakar biogas dan udara masuk ke
ruang bakar pada saat langkah hisap dan
kemudian dikompresikan di dalam silinder
seperti halnya udara dalam mesin diesel
biasa. Bahan bakar solar dimasukkan lewat
nosel pada saat mendekati akhir langkah
kompresi, dekat titik mati atas (TMA)
sehingga terjadi pembakaran.
Temperatur awal kompresi tidak boleh
lebih dari 80 C karena akan menyebabkan
terjadinya knocking dan peristiwa knocking
yang terjadi pada mesin dualfuel hampir
sama dengan yang terjadi pada mesin bensin,
yaitu terjadinya pembakaran yang lebih awal
akibat tekanan yang tinggi dari mesin diesel.
Hal ini disebabkan karena bahan bakar
biogas masuk bersama-sama dengan udara
ke ruang bakar, sehingga yang
dikompresikan tidak hanya udara tapi juga
biogas
➢ Karakteristik pembakaran biogas di dalam mesin bensin
Mesin bensin dengan rasio kompresi
yang hanya berkisar antara 6 – 9,5 tidak
cukup untuk melakukan pembakaran biogas
karena titik nyala biogas yang tinggi 645C -
750 C, untuk itu dilakukan penambahan
rasio kompresi mesin menjadi 10 – 12.
Proses pembakaran biogas sama seperti pada
mesin bensin normal, yaitu biogas dan udara
masuk ke ruang bakar dan pada akhir langkah
kompresi terjadi pembakaran, pembakaran ini
terjadi karena bantuan loncatan bunga api dari
busi.
6. Perkebunan di Kabupaten Kotawaringin Timur
Kabupaten Kotawaringin Timur
merupakan salah satu dari 13 kabupaten/kota
yang ada di Propinsi Kalimantan Tengah.
Secara geografis berkedudukan pada 112˚7’ 29”
- 113˚ 14’ 22” Bujur
Timur dan 1˚ 11’ 504” - 3˚ 18’ 51” Lintang Selatan, dengan luas wilayah 16.496 Km
Potensi sektor tanaman perkebunan di
Kabupaten Kotawaringin Timur meliputi karet,
kelapa dalam, kopi, lada dan kelapa sawit.
Untuk tanaman perkebunan rakyat, karet dan
kelapa dalam
12
merupakan komoditas yang memiliki luas
terbesar. Kelapa dalam terkonsentrasi di
wilayah pesisir Kabupaten Kotawaringin
Timur dengan Kecamatan Mentaya Hilir
Selatan mempunyai luas terbesar diikuti
Kecamatan Pulau Hanaut. Untuk
perkebunan karet terutama berkembang di
wilayah tengah sampai utara Kabupaten
Kotawaringin Timur dengan luas terbesar
di Kecamatan Mentaya Hulu. Untuk
perkebunan kelapa sawit diusahakan oleh
perkebunan besar swasta dengan pola inti
atau plasma dengan kelompok tani atau
Koperasi Unit Desa (KUD). Di Kabupaten
Kotawaringin Timur Terdapat 60 PBS
kelapa sawit dengan luas lahan
pencadangan total mencapai 681.415,16 Ha
dan luas lahan penanaman total mencapai
461.237,3 Ha, yang terdiri atas inti seluas
404.360,7 Ha dan plasma seluas 56.876,6
Ha. Dari 60 PBS yang telah beroperasi
tersebut, terdapat 25 PBS yang telah
memiliki pabrik pengolahan kelapa sawit,
dimana 10 diantaranya berada di lintas
kabupaten dengan total kapasitas produksi
mencapai 1.490 ton TBS/jam.
Tabel 1. Perusahaan PBS yang Memiliki Pabrik Pengolahan
Kelapa Sawit di Kabuopaten Kotawaringin Timur per Deember
2014
No Nama Perusahaan Kapasitas Pabrik PKS
(ton TBS/jam) 1. PT. Karya Makmur Bahagia 75
2. PT. Karya Makmur Bahagia (II) 45
3. PT. Katingan Indah Utama 90
4. PT. Uni Primacom 20
5. PT. Suka Jadi Sawit Mekar (I) 90
6. PT. Sukajadi Sawit Mekar (II) 45
7. PT. Tunas Agro Subur Kencana 120
8. PT. Windu Nabatindo Lestari 90
9. PT. Swadaya Sapta Putra 45
10. PT. Sapta Karya Damai 30
11. PT. Bangkit Giat Usaha Mandiri 45
12. PT. Maju Aneka Sawit 45
13. PT. Sarana Prima Multi Niaga 45
14. PT. Agro Bukit 90
15. PT. Bumi Sawit Kencana 45
16. PT. Surya Inti Sawit Kahuripan 60
17. PT. Mentaya Sawit Mas 45
18. PT. Hutan Sawit Lestari 90
19. PT. Unggul Lestari 45
20. PT. Windu Nabatindo Abadi 60
21. PT. Adhyaksa Dharmasatya 30
22. PT. Agro Wana Lestari 90
23. PT. Karunia Kencana Permaisejati 45
24. PT. Mulia Agro Permai 60
25 PT. Intiga Prabhakara Kahuripan 45 TOTAL KOTIM 1.490
1. PT. Agro Indomas ( I ) *) 90
2. PT. Agro Indomas ( II ) *) 90
3. PT. Kridatama Lancar *) 60
4. PT. Bisma Dharma Kencana *) 30
5. PT. Mustika Sembuluh (I) *) 60
6. PT. Mustika Sembuluh (II) *) 45
7. PT. Teguh Sempurna *) 30
8. PT. Bumi Hutani Lestari *) 60
9. PT. Tapian Nadenggan (Unit
Semilar) *) 80
10. PT. Agrokarya Primalestari (Unit
Kuayan) *) 80
TOTAL LINTAS KABUPATEN 625
*) : Lintas Kabupaten
Sumber : Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah,
tahun 2014
13
Jurnal Ilmu Lingkungan, Vol. 14 (2): 96-102, 2016 ISSN : 1829-8907
Sebanyak 25 perusahaan yang telah
memiliki pabrik pengolahan kelapa sawit
dengan kapasitas olah Tandan Buash Segar
mencapai 1.490 ton TBS/jam dan 10 pabrik
pengolahan kelapa sawit berada di lintas
kabupaten Kotawaringin Timur dengan total
kapasitas olah pabrik sebesar 625 ton TBS
/jam, dengan asumsi material balance
selama proses produksi tandan buah segar
kelapa sawit secara umum dimana limbah
cair yang dihasilkan adalah sebesar 60%
dari total proses produksi. Dengan demikian
jumlah kapasitas pabrik total di Kabupaten
Kotawaringin Timur sebesar 2.115 ton
TBS/jam, maka limbah cair yang dihasilkan
adalah sebesar 1.269 ton limbah cair/jam
dihasilkan selam proses produksi
berlangusng. Dengan potensi limbah cair
kelapa sawit yang bisa menghasilkan biogas
sangat besar. Dimana beradasarkan asumsi
bahwa setiap 600 – 700 kg limbah cair yang
dihasilkan dapat di produksi sekitar 20 m3
biogas (Goenadi, 2006) maka potensi biogas
yang ada di Kabupaten Kotawaringin Timur
adalah sebesar 42.300 m3 biogas. Dengan
besarnya potensi biogas yang dihasilkan
tersebut pemerintah kabupaten
Kotawaringin Timur berpeluang besar untuk
melakukan pengembangan penggunaan
energi baru terbarukan yang berasal dari
Limbah Cair Kelapa Sawit. Yang pada
akhirnya akan meningkatkan rasio
eletrifikasi yang saat ini hanya sebesar 60%.
7. Penutup Dengan meningkatnya kebutuhan
energi di Kabupaten Kotawaringin Timur,
dengan berkembang pesatnya potensi
ekonomi dari sektor pertanian subsektor
perkebunan, maka penggunaan energi baru
terbarukan sangat penting untuk
dikembangkan. Mengingat kondisi
pembangunan energi listrik yang belum
merata, maka kebutuhan pasokan energi
listrik bagi daerah terpencil dan tersebar di
Kabupaten Kotawaringin Timur, hendaknya
pemerintah Daerah mendorong pihak
perusahaan besar swasta yang bergerak di
bidang perkebunan kelapa sawit untuk bisa
memanfaatkan energi yang berasal dari
limbah cair kelapa sawit yang melimah
keberadaanya.
Dengan Total kapasitas pabrik di
Kabupaten Kotawaringin Timur sebesar 2.115
ton TBS/jam, maka limbah cair yang bisa di
manfaatkan adalah sebsar 1.269 ton limbah
cari/jam dan mampu menghasilkan biogas
sebesar 1.269.000 m3.
Diperlukan adanya perhitungan dan kajian
yang lebih mendalam berapa besar potensi
limbah cair kelapa sawit yang dapat di
manfaatkan untuk memenuhi kebutuhan energi
di Kabupaten Kotawaringin Timur.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (2015) Dokumen Addendum AMDAL Pemanfaatan Biogas PT.
Laguna Mandiri Kab. Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan
Anonim. (2012). Materi Teknik RTRW Kabupaten Kotawaringin Timur
Tahun 2012-2032. Bappeda Kab. Kotim
14
Brojonegoro, B., & Permadi, B. (1992). "AHP" Pusat Antar
Universitas, Studi Ekonomi. Jakarta : UI
Budiati, Lilin. (2014). Good Governance dalam Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Ghalia Indonesia. Bandung
Danim, S. (2002).Menjadi Peneliti Kualitatif. Pustaka Setia.
Bandung.
Ginting, Perdana (2007). Sistem Pengelolaan Lingkungan dan
Limbah Industri. CV. Yrama Widya. Bandung.
Hariyadi. 2009. Dampak Ekologi Pengembangan Kelapa Sawit
untuk
Bioe
nergi.
http:/energi.infogue.com/dampak_ekologi_pengembangan_ kelapa_sawit _untuk_bioenergi. (17 Maret 2009).
Isroi. 2008. Energi Terbarukan dari Limbah Pabrik Kelapa Sawit.
isroi.wordpress.com/2008/02/2005energi_dari_limbah_s
a wit/-70-k. (17 Maret 2009).
Keputusan Menteri KLH Nomor KEP 51/MEN KLH/10/1995
tentang Baku Mutu Limbah Cair bagi Kegiatan Industri.
Mahajoeno, Edwi, Lay, Bibiana Widiati, Sutjahjo, Suryo Hadi, dan
Siswanto. 2008. Potensi Limbah Cair Pabrik Minyak
Kelapa Sawit untuk Produksi Biogas. Jurnal Bioversitas
Volume 9 No. 1.
Mutu'ali, L. ((2012). Daya Dukung Lingkungan untuk Perencanaan
Pengembangan Wilayah. Badan Penerbit Fakultas Geografi
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Naibaho, Ponten M. 1996. Teknologi Pengolahan Kelapa Sawit, Medan
: Pusat Penelitian Kelapa Sawit.
Naibaho, Ponten M. 1999. Aplikasi Biologi dalam Pembangunan
Industri Berwawasan Lingkungan, Jurnal Visi 7.
Nazir, Moh. 2005. Metode Penelitian. Penerbit Ghalia Indonesia.
Bogor
Sastrosayono, S., 2003. Budidaya Kelapa Sawit. Agromedia Pustaka,
Jakarta.
Setyamidjaja, D. 2006. Budidaya Kelapa Sawit. Kanisius. Yogyakarta.
62 Hal.
Soerjani, Muhamad, Yowono, Arief, dan Fardiaz, Dedi. 2007.
Lingkungan : Pendidikan, Pengelolaan Lingkungan, dan
Keberlanjutan Pembangunan, Jakarta; Yayasan Institut
Pendidikan dan Pelatihan Lingkungan Jakarta
Sunarko, 2008. Petunjuk Praktis Budidaya dan Pengolahan Kelapa
Sawit. Agromedia Pustaka, Jakarta
Wahyuni, Sri. (2013). Panduan Praktis Biogas. Penebar Swadaya.
Jakarta
Lampiran 2
SIMULASI PENGARUH KOMPOSISI LIMBAH CAIR PABRIK KELAPA
SAWIT (POME) TERHADAP KANDUNGAN AIR BIOGAS DAN DAYA
LISTRIK YANG DIHASILKAN SEBUAH PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA
BIOGAS
Nazaruddin Sinaga1, Ahmad Syukran B. Nasution2
1Staf Pengajar Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro
Jl. Prof. Sudarto SH, Tembalang, Semarang, 50131
2MahasiswaJurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro
Jl. Prof. Sudarto SH, Tembalang, Semarang, 50131
*E-mail : [email protected]
ABSTRAK
67
Indonesia merupakan negara dengan industri kelapa sawit terbesar di dunia. Limbah cair pabrik kelapa
sawit adalah limbah cair yang berminyak dan tidak beracun, hasil pengolahan minyak sawit. Meski tak
beracun, limbah cair tersebut dapat menyebabkan bencana lingkungan karena dibuang di kolam terbuka
dan melepaskan sejumlah besar gas metana dan gas berbahaya lainnya yang menyebabkan emisi gas
rumah kaca. Digestasi anaerobik merupakan proses konversi senyawa organik menjadi biogas dengan
kondisi tanpa oksigen melalui empat tahapan. Limbah cair pabrik kelapa sawit (POME) berasal dari
proses produksi minyak mentah kelapa sawit atau biasanya disebut crude palm oil (CPO). Kandungan
yang terdapat didalam limbah cair pabrik kelapa sawit ialah 95 % air dan 4 – 5 % padatan total. Tujuan
dari penelitian ini untuk mempelajari pengaruh komposisi limbah cair pabrik kelapa sawit terhadap
kandungan air biogas dan daya listrik yang dihasilkan oleh mesin gas. Penelitian ini diharapkan dapat
menemukan informasi mengenai pengoptimalan data yang ingin dicapai. Dalam simulasi ini, metode
perhitungan biogas menggunakan metode stoikiometri danmetode pemurnian biogasnya ialahwater
scrubbing dengan kondisi operasi tekanan 9 bar dan jumlah stage sebanyak 4. Feedstream input limbah
cair sebesar 400 m3/day. Digester yang digunakan ialah CSTR dengan pendegradasian sebesar 71 %.
Kondisi mesophilik yang dipilih dalam simulasi ini yaitu 37 oC. Variasi Komposisi TSS POME berkisar 2
- 4 % dan komposisi air sebesar 95-96 %. Daya listrik dan panas yang dibangkitkan menggunakan mesin
gas. Debit massa air tanpa cooler sebesar 0.82 kg/h dan 0.8 kg/h tanpa cooler. Simulasi ini menghasilkan
daya listrik dan daya panas terbesar pada 4 % TSS sebesar 0.9961 MW menggunakan cooler. Pada
kondisi tanpa cooler menghasilkan daya listrik sebesar 0.9963 MW.
Kata kunci: POME, Daya listrik, Daya panas, Kandungan air
1. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara dengan
industri kelapa sawit terbesar di dunia. Panen
rata-rata tahunan minyak sawit mentah
Indonesia meningkat sebesar tiga persen pada
10 tahun terakhir, sedangkan wilayah yang
ditanami kelapa sawit meningkat selama
sembilan tahun terakhir.
Gambar 1. Sumber produksi kelapa sawit dunia [2]
Indonesia juga mengharapkan peningkatan
produksi minyak sawit mentah dari 28,5 juta metrik ton pada tahun 2014. Gambar 1.
menunjukkan negara – negara yang
68
memproduksi kelapa sawit di dunia. Dampak
lain perkembangan pesat produksi minyak
sawit mentah adalah limbah cair kelapa
sawit, yang sering disebut sebagai palm oil
milleffluent atau POME [1].
POME adalah limbah cair yang
berminyak dan tidak beracun, hasil
pengolahan minyak sawit. Meski tak
beracun, limbah cair tersebut dapat
menyebabkan bencana lingkungan karena
dibuang di kolam terbuka dan melepaskan
sejumlah besar gas metana dan gas
berbahaya lainnya yang menyebabkan emisi
gas rumah kaca. Tingginya kandungan
Chemical Oxygen Demand (COD) sejumlah
50.000-70.000 mg/l dalam limbah cair kelapa
sawit memberikan potensi untuk konversi
listrik dengan menangkap gas metana yang
dihasilkan melalui serangkaian tahapan
proses pemurnian [1].
Dalam jurnal ini, POME akan dimodelkan
sebagai substrat biogas kemudian kadar air
biogas, daya listrik dan panas yang
dihasilkan menggunakan mesin gas akan
dianalisa terhadap variasi komposisi TSS
POME. Simulasi ini menggunakan Aspen
Plus V 8.6 sebagai alat bantu perhitungan.
1.1. Limbah Cair Kelapa Sawit
Limbah cair kelapa sawit berasal dari
proses produksi minyak mentah kelapa sawit
atau biasanya disebut crude palm oil (CPO).
Kandungan yang terdapat didalamnya ialah
95 – 96 % air dan 4 – 5 % padatan total.
Karbohidrat, fat, dan protein di dalam limbah
cair kelapa sawit sebesar 29.55 %, 10.21 %,
dan 12.75 %. Total padatan campuran
berkisar 2 – 4 % [4]. Didalam limbah cair ini
juga terdapat beberapa senyawa mineral
makro dan mikro seperti potassium (K),
sodium (Na), kalsium (Ca), iron (Fe), zinc
(Zn), kromium (Cr), dan lainnya [5]. Maka,
POME dapat dimanfaatkan sebagai substrat
untuk produksi biogas karena memiliki
nutrien untuk bakteri pada proses digestasi
anaerobik.
1.2. Digestasi Anaerobik Digestasi anaerobik pada POME
merupakan proses konversi senyawa organik
menjadi biogas dengan kondisi tanpa oksigen
melalui empat tahapan seperti yang terdapat
pada Gambar 2.Empat tahapan tersebut ialah
hidrolisis, acidogenesis, acetogenesis, dan
metanogenesis. Umumnya POME didigestasi
dengan menggunakan kolam anaerobik.
Digestasi anaerobik dapat dilakukan pada
kondisi mesophilik dan termophilik.
Gambar 2. Empat proses digestasi anaerobik
[3]
2. METODOLOGI PENELITIAN
Dalam simulasi ini dibuat sebuah
diagram alir penelitian untuk memberikan
kemudahan dalam melakukan jalannya
penelitan ini. Gambar 3. adalah diagram alir
yang digunakan pada simulasi penelitian ini.
POME dimodelkan sebagai air, dextrose,
palmitic acid, dan protein [6]. Digester yang
digunakan ialah CSTR dengan efisiensi
pengurangan COD sebesar 71 %. Efisiensi
pengurangan COD digunakan sebagai
efisiensi pendegradasian masing – masing
senyawa organik dalam pensimulasian [7].
Kondisi mesophilik dipilih dalam simulasi ini
yaitu sebesar 37 oC.
69
Gambar 3. Diagram alir penelitian
Variasi Komposisi TSS POME yang
digunakan 5 - 9 % dengan komposisi air 90
%. Metode perhitungan biogas digunakan
metode stoikiometri. Untuk pemurnian
biogas, high pressure water scrubbing dipilih
dengan kondisi operasi tekanan 9 bar dan
jumlah stage sebanyak 4. Flowsheet mesin
gas pada pembangkit biogas sistem satu
stage dalam simulasi ini dapat dilihat pada
Gambar 4.High pressure water scrubbing
merupakan salah satu teknik pemurnian
biogas yang termudah dan termurah termasuk
dalam menggunakan air bertekanan tingggi
sebagai penyerap.
Metode properties dalam simulasi ini
menggunakan PR (Peng-Robinson) karena
persamaannya dapat menghasilkan prediksi
yang lebih baik terhadap kesetimbangan
sistem hidrokarbon [8]. Kondisi
pengoperasian mesin gas sama seperti mesin
pembakaran dalam [9]. Feedstream input
sebesar 400 m3/day [10]. Mesin gas
divalidasikan dengan salah satu mesin
Jenbacher type 3. Mesin gasdimodelkan
dengan beberapa unit operasi seperti :
expander, kompresor, coolers, dan RGibbs
[9].
Gambar 4. Mesin gas
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Validasi Mesin Gas
Mesin gas pada Aspen plus divalidasikan
dengan data mesin gas JMS 320 GS-B.LC
[11]. Tabel 1. Menampilkan beberapa
70
parameter yang dilihat antara hasil simulasi
dengan data literatur.
Data yang diambil seperti efisiensi
kelistrikan, efisiensi panas yang
dimanfaatkan, dan temperatur gas buang dari
hasil pembakaran mesingas.
Tabel 1. Perbedaan data simulasi
Data Unit JMS 320 GS-B.LC Simulasi Relative difference
3.2. Komposisi Senyawa Organik POME Komposisi senyawa organik POME
mengalami perubahan seperti yang terlihat
pada Gambar 5. berikut.
2.5
2
terhadap debit biogas yang dihasilkan
terhadap variasi TSS. Gambar 6.
Menampilkan perubahan debit biogas setelah
mengalami proses pemurnian dan debit make
up water yang dibutuhkan untuk
menghasilkan debit biogas dengan komposisi
gas metana sebesar 95 – 98 % massa biogas.
1.5
1
0.5
0
2 2 . 2 5 2 . 5 2 . 7 5 3 3 . 2 5 3 . 5 4
TSS (%)
3000
2500
2000
1500
1000
180.0
160.0
140.0
120.0
100.0
80.0
60.0
40.0
Gambar 5. Komposisi senyawa organik
POME terhadap TSS
Komposisi karbohidrat menjadi menjadi
senyawa organik POME dengan komposisi
terbesar terhadap variasi TSS. Sesuai dengan
Salihu, et al. [5], hal ini disebabkan oleh
komposisi karbohidrat di dalam senyawa
utama POME lebih besar dibandingkan fat
dan protein yaitu sebesar 29.55 %.
3.3. Debit Massa Make up Water Scrubber
Kebutuhan make up water dalam proses
pemurnian biogas, mengalami kenaikan
maka semakin besar debit make up water
yang dibutuhkan sebagai penyerap. Debit
biogas terbesar berada pada 4 % TSS,
dihasilkan sebesar 171.141 kg/h dan debit
make up water yang dibutuhkan untuk
pemurniannya sebesar 2750 kg/h.
Karbohidrat
Fat
Protein
PE
RS
EN
TA
SE
(%
)
DE
BIT
MA
SS
A M
AK
E U
P W
AT
ER
(K
G/H
)
DE
BIT
BIO
GA
S
(KG
/H)
(%)
Electrical efficiency % 40.9 42.5 4.03
Thermal efficiency % 42.3 42.7 0.98
Exhaust gas temperature oC 450.0 464.829 3.30
71
500
20.0
0 0.0
2 2 . 2 5 2 . 5 2 . 7 5 3 3 . 2 5 3 . 5 4
TSS (%)
Gambar 6. Debit make up water dan debit
biogas terhadap TSS
Menurut Bauer, et al. [13] debit make up
water berpengaruh terhadap kelarutan
senyawa yang terdapat dalam biogas.
Semakin besar debit biogas terhadap TSS
3.4. Debit dan Fraksi Massa Gas Metana Biogas
Debit dan fraksi massa gas metana di
dalam biogas yang dihasilkan melalui
metode stoikiometri dapat dilihat didalam
Gambar 7. Sesuai dengan Bauer, et al. [13],
proses pemurnian menggunakan air sebagai
72
DE
BIT
MA
SS
A B
IOG
AS
(K
G/H
)
penyerap pada metode high pressure water
scrubbing menyebabkan senyawa – senyawa
di dalam biogas terlarut berdasarkan derajat
kelarutannya. Debit dan fraksi massa gas
metana terbesar setelah proses pemurnian
yang ditampilkan dalam Gambar 7. Adalah
sebesar 168.6 kg/h dan 98.5 %.
Gambar 8.Kandungan airterhadap
komposisi TSS POME
Dari grafik diatas, terjadi kenaikan pada
komposisi 3% TSS.Kandungan air di dalam
biogas terbesar berada pada komposisi 4 %
TSS yaitu sebesar 0.82 kg/h dan setelah
didinginkan turun menjadi 0.8 kg/h.
Penurunan kadar air setelah didinginkan
sebesar 0.18 – 0.66 %. 180.0
160.0
140.0
120.0
100.0
80.0
60.0
40.0
20.0
0.0
2 . 0 0 2 . 2 5 2 . 5 0 2 . 7 5 3 . 0 0 3 . 2 5 3 . 5 0 4 . 0 0
TSS (%)
120.
0
100.
0
80.0
60.0
40.0
20.0
0.0
3.6. Daya Listrik
Setelah gas dikeringkan oleh COOLER,
gas dimanfaatkan sebagai bahan bakar di
dalam mesin gas. Mesin gas sebagai validasi
memiliki efisiensi kelistrikan sebesar 40.9 %.
Gambar 9. menunjukkan daya yang
dibangkitkan dari hasil pembakaran biogas
terhadap komposisi TSS.
1.2000
Gambar 7. Debit dan fraksi massa gas
metana terhadap TSS
Debit gas metana setelah proses
pemurnian tidak terlalu berbeda dengan debit
gas metana sebelum dimurnikan seperti yang
terlihat di dalam grafik diatas. Debit gas
metana yang terlarut saat proses pemurnian
sebesar 1 – 1.29 %.
1.000
0
0.800
0
0.600
0
0.400
0
0.200
0
0.000
0
2 . 0 0 2 . 2 5 2 . 5 0 2 . 7 5 3 . 0 0 3 . 2 5 3 . 5 0 4 . 0 0
TSS
(%)
Debit dengan scrubber
Debit tanpa scrubber
FR
AK
SI
(%)
DA
YA
(M
W)
73
3.5. Kandungan Air Biogas
Setelah proses pemurnian, biogas memiliki kandungan air. Gambar 8. adalah grafik debit
kandungan airterhadap komposisi TSS pada saat sebelum dan sesudah dikeringkan menggunakan
cooler.
0.9
0.8
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
2 . 0 0 2 . 2 5 2 . 5 0 2 . 7 5 3 . 0 0 3 . 2 5 3 . 5 0 4 . 0 0
TSS (%)
Gambar 9. Daya listrik terhadap komposisi TSS
Grafik daya terhadap komposisi TSS diatas selalu mengalami kenaikan. Daya listrik terbesar
berada pada komposisi 4 % TSS yaitu sebesar 0.9961 MW menggunakan cooler dan 0.9963
MW tanpa cooler. Hal ini disebabkan karena debit biogas yang diproduksi semakin besar
terhadap komposisi TSS di dalam POME yang ditingkatkan. Menurut Deng, et al. [14],
semakin besar bahan bakar yang digunakan dapat dikatakan bahwa semakin besar konversi
energi kimia dari bahan bakar menjadi energi listrik.
3.7. Daya Panas
Dari proses pembakaran biogas di dalam mesin gas, terdapat panas yang keluar dari mesin
tersebut. Daya panas ini dapat dimanfaatkan untuk keperluan tambahan pembangkit. Gambar 10.
menampilkan grafik produksi panas yang dihasilkan terhadap komposisi TSS. 1.2000
1.0000
0.8000
0.6000
0.4000
KA
ND
UN
GA
N A
IR
(KG
/H)
TE
RM
AL
(MW
)
74
0.2000
0.0000
2 . 0 0 2 . 2 5 2 . 5 0 2 . 7 5 3 . 0 0 3 . 2 5 3 . 5 0 4 . 0 0
TSS (%)
Gambar 10.Daya termal terhadap komposisi TSS
Dari grafik termal atau daya panas yang dihasilkan diatas, daya termal yang dihasilkan akan semakin besar saat
daya listrik yang dibangkitkan semakin besar juga. Menurut Ekwonu, et al. [8], Daya yang dikeluarkan, efisiensi,
dan temperatur gas buang tergantung pada LHV dari bahan bakar. Jumlah metan yang dihasilkan akan semakin
besar setiap TSS dinaikkan mengakibatkan daya panas yang dihasilkan dari pembakaran meningkat. Daya panas
terbesar berada pada komposisi 4 % TSS yaitu sebesar 1.0001 MWmenggunakan cooler dan 1.0016 MW tanpa
cooler
4. KESIMPULAN
Dari hasil simulasi perhitungan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa kandungan air
mengalami kenaikan terhadap variasi komposisi TSS yang semakin besar. Debit massa air terbesar
berada pada4 % TSS yaitu sebesar 0.82 kg/h dan setelah didinginkan turun menjadi 0.8 kg/h. Daya
terbesar yang dibangkitkan berada pada 4 % TSS yaitu sebesar 0.9961 MW menggunakan cooler dan
0.9963 MW tanpa cooler. Sementara daya panas yang dihasilkan oleh mesin gas, memiliki karakter
yang sama dengan daya listrik yang dibangkitkan. Semakin besar daya listrik yang dibangkitkan maka
semakin besar juga daya panas yang dihasilkan. Daya panas terbesar berada pada
4 % TSS juga yaitu sebesar 1.0001 MW menggunakan cooler dan 1.0016 MW tanpa
cooler.
REFERENSI
Wu TY, Mohammad AW, Md. Jahim J, Anuar, N. 2007. Palm oil mill effluent (POME)
treatment and bioresources recovery using ultrafiltration membrane: effect of pressure
on membrane fouling. Biochem Eng J:35:309-17.
Yeo A. 2010. Palm oil: environmental curse or a blessing.
Krich K, Augenstein D, Batmale JP, Benemann J, Rutledge B, Salour D., 2005.
Biomethane fromDairy Waste: A Sourcebook for the Productionand Use of Renewable
Natural Gas inCalifornia, USDA Rural Development Report.
Borja R, Banks CJ. Anaerobic digestion of palm oil mill effluent using an up-
flowanaerobic sludge blanket (UASB) reactor. Biomass Bioenergy
1994;6:381–9.
Salihu, A., & Alam, M.Z. 2012. Palm oil mill effluent: a waste or a raw material?.Journal of
Applied Sciences Research, 8, 466-473.
Maizirwan, Mel., 2015. Senyawa pada POME. Malaysia
75
Nasution, A. S. B., 2016. Optimasi Proses Produksi Biogas dari Palm Oil Mill Effluent
(POME) untuk Sistem Pembangkit Listrik dan Panas Terbarukan di Pabrik CPO Muaro
Jambi. Semarang.
Ekwonu, M. C., Perry S., Oyedoh, E. A., 2013. Modelling and Simulation of Gas Engine
Using Aspen HYSYS. Journal of Engineering Science and Technology Review (3) 1-4.
ISSN: 1791-2377 ©
2011 Kavala Institute of Technology. All rights reserved.
Megwai, G. U., 2014. Process Simulations of Small Scale Biomass Power Plant. MSc Thesis
in Resource Recovery-Sustainable Engineering. University of Boras
Lam, K. M., dan Lee. K. T., 2011.
Renewableandsustainablebionenergies production from palm oil mill effluent (POME) : Win-
win startegiestowardbetter environmental protection. Biotechnology Advances 29 124-141.
Technical data JMS 320 GS-B.LC, Biogas.
2G Bio-Energietechnik AG
F. Bauer, C. Hulteberg, T. Persson, and
D. Tamm, 2013. "Biogas upgrading - Review of commercial technologies," Svenskt
Gastekniskt Center (SGC) AB, Malmö, Sweden.
Deng, J., R.Z. Wang, and G.Y. Han, 2011. A review of thermally activated cooling
technologies for combined cooling, heating and power systems. Progress in Energy and
Combustion Science, 37(2):p. 172-203.
76
Lampiran 3
POTENSI PENANGKAPAN GAS METANA DAN PEMANFAATANNYA
SEBAGAI BAHAN BAKAR PEMBANGKIT LISTRIK DI PTPN VI JAMBI
Irhan Febijanto Pusat Teknologi Sumberdaya Energi, BPPT,
Jl. M.H. Thamrin No. 8, Jakarta Pusat, phone: (021)316 9860
Email: [email protected]
ABSTRAK
Umumnya di dalam pemanfaatan air limbah di Pabrik Kelapa Sawit (PKS) Indonesia terbatas hanya
untuk aplikasi daratan. Teknologi untuk menangkap dan memanfaatkan gas metana yang dihasilkan
dari kolam anaerobik pengolahan air limbah telah dikembangkan, akan tetapi halangan ekonomi
merupakan masalah besar untuk menerapkan teknologi ini. Karena Mekanisme Pembangunan
Bersih (CDM) telah diperkenalkan di Indonesia, teknologi untuk menangkap dan memanfaatkan gas
metana mempunyai peluang untuk diterapkan. Menggunakan revenue CDM, investor asing
mempunyai kesempatan untuk menginvestasikan instalasi untuk menangkap dan membakar gas
metana yang dihasilkan dari kolam anaerobik pengolahan air limbah di PKS. Sebagian dari mereka
memanfaatkan gas metana yang ditangkap sebagai bahan bakar untuk menggantikan bahan bakar
fosil. Di dalam studi ini, potensi pengurangan Gas Rumah Kaca dari gas metana di PKS PT.
Perkebunan Nusantara VI diteliti. Menggunakan AMS-III.H (Approved Methodology) mengenai
metodologi ”recovery metana di dalam pengolahan limbah” dan AMS-I.D mengenai ”pembangkitan
energi listrik terbarukan yang terkoneksi dengan jaringan grid”, potensi gas metana yang ditangkap
dan listrik yang dibangkitkan dihitung. Ada dua jenis revenue yang mungkin diperoleh dalam proyek
ini, yaitu satu dari penjualan karbon kredit ke para pembeli CER (reduksi emisi yang bersertifikat),
dan yang lainnya dari penjualan listrik ke PT. PLN (Perusahaan Listrik Negara). Telah diketahui
terdapat dua PKS yang layak menerapkan teknologi ini.
Kata kunci: Gas rumah kaca, Reduksi emisi bersertifikat, Listrik, Pabrik kelapa sawit, Effluen, Mekanisme
pembangunan bersih
ABSTRACT
In general waste water utilization in Indonesian palm oil mills (POMs) is only limited for aplikasi
lahan. The technology to capture and utilize methane gas generated from an-aerobic pond of waste
water treatment have been developed, unfortunately economical barrier is a big problem to
implement this technology. Since Clean Development Mechanism (CDM) has been being introducing
in Indonesia, the technology for methane gas capture and utilization have an opportunity to be
implemented. Using CDM revenue, foreign investors has an opportunity to invest an installation to
77
capture and flare methane gas generated from an-aerobic pond of waste water treatment in POM.
Some of them utilize methane gas captured as a fuel to substitute fossil fuel. In this study, the
potential reduction of Green House Gas of methane gas in POM of PT. Perkebunan Nusantara VI is
investigated. Using AMS-III.H (Approved Methodology) regarding “Methane recovery in waste
treatment” methodology and AMS-I.D regarding “Grid connected renewable electricity generation”,
the potential methane gas captured and electricity generated is calculated. There are two kinds of
revenue is possible in this project, one from selling credit carbon to CER (Certified Emission
Reduction) buyers, and the others from selling electricity to PT. PLN (Perusahaan Listrik Negara). It
was known that two POMs are feasible to be implemented this technology.
Key words: Green house gases, Certified emission reduction, Electricity, Palm oil mill, Palm mill oil
effluent, Clean development mechanism
1. PENDAHULUAN
Dalam rangka implementasi pengurangan emisi rumah kaca ini, PTPN VI selaku pemilik
proyek, bersama PTPSE-BPPT, selaku konsultan teknis CDM dan Shimizu Co., selaku
pembeli CER (Credit Emission Reduction) bekerjasama untuk melakukan inventarisasi
potensi pemanfaatan limbah cair dari Pabrik Kelapa Sawit milik PTPN VI. Pelaksanaan
studi berlangsung dari bulan September-Desember 2009.
1.1. Penangkapan Gas Metana di PKS sebagai Proyek CDM
Penangkapan gas metana di kolam pengolahan limbah cair ini merupakan aplikasi
pemanfaatan limbah cair, yang sudah diketahui lama oleh para peneliti, tetapi aplikasi ke
lahan belum banyak dilakukan di Indonesia karena tidak ekonomis.
Karena pelaksanaan pemanfaatan gas metana ini terkait dengan investasi, maka pemilihan
lokasi yang mempunyai potensi gas metana perlu dipilih dengan teliti dan seksama,
berdasarkan data-data yang terkait dengan jumlah TBS olah dan jumlah limbah cair
(POME/Palm Oil Mill Effluent) dalam kurun waktu beberapa tahun ke belakang.
Pada studi ini tiga kriteria menjadi bahan pertimbangan untuk menentukan lokasi
pemanfaatan limbah, yaitu :
1) Luasan kebun milik sendiri 2) Jumlah TBS olah per tahun 3) Kedekatan lokasi dengan kandidat lokasi PKS yang lain
Luasan kebun milik sendiri ini menjamin kepastian jumlah pasokan jumlah TBS (Tandan
Buah Segar) ke PKS (Pabrik Kelapa Sawit). Jika areal kebun milik sendiri kecil, berarti
78
produksi jumlah TBS untuk memenuhi kapasitas pabrik akan kecil, sehingga pabrik akan
sangat tergantung kepada pembelian jumlah TBS dari pihak ketiga dan suplai TBS dari
plasma. Akan tetapi, dengan berkembangnya alam market bebas di penjualan TBS ini,
semakin hari suplai TBS dari plasma, terkadang tidak dapat diprediksi dengan jelas.Hal ini
karena para petani plasma berusaha mencari harga beli TBS dari PKS lain yang lebih tinggi.
Adanya persaingan harga beli dengan PKS swasta lain, membuat suplai TBS dari plasma
tidak dapat diprediksi dengan pasti. Dalam persaingan harga beli TBS ini, pihak PTPN VI
selaku perusahaan negara, tidak bisa segesit perusahaan swasta lain dalam menentukan
harga beli, sehingga lebih sering mengalami kekurangan suplai akibat kalah bersaing di
harga beli TBS. Fluktuasi suplai TBS dari plasma ini akan semakin berkurang, jika 100%
suplai TBS merupakan produksi dari kebun sendiri.
Jumlah gas metana yang dihasilkan dari limbah cair mempunyai perbandingan yang linier
dengan jumlah TBS olah. Sehingga untuk mendapatkan jumlah produksi gas metana yang
optimal, kemampuan olah TBS yang tinggi dari PKS sangat diharapkan dalam proyek ini,
dan suplai TBS yang stabil akan menjamin produksi gas metana dari kolam
limbahpengolahan sesuai dengan prediksi perhitungan yang dilakukan sebelum proyek
berjalan.
Faktor kedekatan lokasi dengan PKS lain perlu dipertimbangkan untuk mempermudah
diversifikasi proyek ini ke lokasi lain, selain juga menguntunkan dalam hal koordinasi
pembangunan proyek, jika proyek ini dilaksanakan secara bersamaan, untuk menghemat
biaya konstruksi proyek.
1.2 Clean Development Mechanism (CDM)
Clean Development Mechanism (CDM) adalah suatu program yang bersifat international,
pengejawantahan dari Protokol Kyoto sebagai usaha untuk mengurangi efek dari Green
House Gasses (GHG) [1], seperti gas CO2, N2O, CH4, dsb. Jumlah emisi yang dikurangi
berdasarkan atas emisi GHG yang dihasilkan oleh tiap negara pada tahun 1990.
Melalui program CDM, negara maju (yang tergabung dalam ANNEX I) bersama negara-
negara berkembang untuk bekerja sama mengurangi emisi gas rumah kaca.
Keuntungan program CDM bagi negara berkembang antara lain adalah :
a. Adanya aliran investasi asing, yang dapat membantu kelancaran finansial proyek. b. Keikutsertaan investor asing dalam proyek dapat memperkecil resiko bagi
pengembang lokal. c. Adanya kemungkinan transfer teknologi, yang dapat membantu perkembangan
teknologi lokal. d. Jika pendanaan melalui pinjaman bank asing, biasanya akan mendapatkan bunga
yang lebih rendah dari bank nasional/lokal.
Dari keuntungan-keuntungan yang ada, keuntungan mendapatkan dukungan finansial atau
79
adanya investasi asing merupakan hal yang menarik dari program CDM bagi pengembang
lokal.
Bagi negara maju, program CDM merupakan cara pengurangan emisi gas rumah kaca yang
dapat dilakukan dengan biaya murah dibandingkan dengan pelaksanaan di negaranya
sendiri.
Program CDM sendiri mempunyai prosedur yang sudah ditentukan oleh UNFCCC (United
Frameworks for Convention Climate Change). Prosedur tersebut harus dilakukan agar suatu
proyek dapat diakui secara resmi oleh UNFCCC, selaku badan yang memberikan sertifikat
terhadap sebuah proyek CDM. Prosedur tersebut ditunjukkan dalam Gbr. 1.
Tiap langkah yang dilakukan dalam proses administrasi CDM, dapat memakan waktu lebih
dari satu tahun. Intinya perlu dilakukan klarifikasi terhadap pelaksanaan proyek CDM
apakah pengurangan CO2 terjadi dengan pasti, dan klarifikasi methodologi perhitungan bisa
dipertanggungjawabkan.
33
Dengan diratifikasinya Protokol Kyoto oleh negara Indonesia, maka negara Indonesia bisa
turut serta secara sukarela untuk melakukan pengembangan proyek proyek yang dapat
mengurangi emisi gas rumah kaca.
Pemanfaatan mekanisme CDM, dapat mengurangi resiko ketidaklayakan secara ekonomis
suatu proyek yang memakai sumber-sumber energi terbarukan. Proyek energi terbarukan
merupakan suatu proyek yang dapat mengurangi emisi karbon yang dihasilkan oleh
pembangkit berbahan bakar fosil dari suatu jaringan ketenagalisrikan di suatu daerah.
2. PENJELASAN OBYEK KAJIAN
2.1. Pabrik Kelapa Sawit di Indonesia
Indonesia merupakan negara pengekspor CPO (Crude Palm Oil) terbesar di dunia, dengan
produksi CPO sekitar 17 juta pada tahun 2009. Dari hasil pengolahan kelapa sawit ini,
dihasilkan limbah padat dan limbah cair. Limbah padat berupa tandan kosong, blotong,
cangkang dan serabut. Sedangkan limbah cair berupa limbah cair yang diolah sebelum
dikeluarkan ke lingkungan (sungai).
Dari limbah-limbah yang dikeluarkan oleh pabrik-pabrik kelapa sawit tersebut, limbah
tandan kosong dan limbah cair berpotensi besar menghasikan emisi gas metana yang
memicu terjadinya pemanasan global (global warming). Limbah cangkang dan serabut
(fibre) umumnya sudah digunakan oleh pabrik kelapa sawit sebagai bahan bakar pembangkit
listrik . Sedangkan tandan kosong , umumnya dibakar begitu saja di lahan pabrik. Tetapi saat
ini sudah ada usaha usaha untuk memanfaatkan tandan kosong tersebut sebagai bahan baku
pupuk. Pemakaian tandan kosong sebagai bahan bakar pembangkit listrik di pabrik kelapa
sawit belum diimplementasikan di Indonesia, karena dibutuhan teknologi khusus. Di negara
Malaysia ada beberapa proyek CDM (Clean Development Mechanism) yang sudah
memanfaatkan tandan kosong sebagai bahan bakar pembangkit.
Dengan adanya RSOP (Roundtable on Sustainable Palm Oil) dan usaha usaha yang
mendukung lingkungan, pemanfaatan limbah limbah padat dan cair mulai dilakukan oleh
pabrik-pabrik kelapa sawit.
Makalah ini membahas potensi pengurangan emisi gas metana yang terdapat di beberapa
pabrik kelapa sawit di PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) VI di Jambi.
Studi ini dilakukan dengan kerjasama Shimizu Co., sebuah perusahaan konstruksi yang
terkenal di Jepang [2]. Dimana semenjak Protokol Kyoto, ikut aktif dalam pembuatan
proyek-proyek CDM (Clean Development Mechanism) / Mekanisme Pembangunan Bersih
terutama untuk pemanfaatan gas metana di landfill. Umumnya proyek CDM yang dibangun
Shimizu ini berlokasi di Eropa Timur. Pelaksanaan studi berlangsung dari bulan September-
Desember 2009.
34
Dalam studi ini PTPSE-BPPT (Pusat Teknologi Sumber Daya Energi-BPPT) yang bertugas
sebagai fasilitator CDM berperan dalam mempromosikan potensi pengurangan gas metana
dari limbah cair di pabrik kelapa sawit. Perhitungan potensi gas metana menjadi tugas tim
CDM PTSPE-BPPT. Sedangan Shimizu Co. mempunyai tugas untuk mencari investor yang
berminat pada proyek ini berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan oleh tim CDM
PTPSE-BPPT.
Shimizu Co. [1], adalah perusahaan konstruksi besar dan tua di Jepang, usianya hampir
mencapai 200 tahun. Beberapa tahun yang lalu dari majalah Fortune terpilih sebagai
perusahaan konstruksi terbesar di dunia. Sejak ditanda tanganinya Protokol Kyoto, Shimuz
Co., aktif melakukan penelitian dan pembangungan proyek proyek untuk pengurangan Gas
Rumah Kaca (GRK). Beberapa proyek penangkapan gas metana di tempat pembuangan
sampah di Eropa Timur sudah terdaftar resmi sebagai proyek CDM. Dan masih ada
beberapa lagi yang sedang dalam proses administrasi CDM. Salah satunya di Indonesia
adalah di TPA Piyungan, Yogyakarta.
2.2. Limbah Cair PKS
Limbah cair yang dihasilkan dari Pabrik pengolahan minyak Kelapa Sawit (PKS) dapat
memberikan dampak negatif bagi lingkungan karena memiliki kandungan Biochemical
Oxygen Demand (BOD) dan Chemical Oxygen Demand (COD) yang sangat tinggi. Untuk
itu sebelum dialirkan ke lahan perkebunan, BOD dan COD dari limbah cair tersebut harus
diturunkan. Proses pengaliran limbah cair ke areal tanaman disebut dengan istilah aplikasi
lahan (land application). Pada dasarnya pengaliran limbah cair ke lahan bertujuan untuk
mengendalikan daya cemar limbah terhadap lingkungan sekitarnya.
Dua PKS di PTPN VI, yaitu PKS Bunut dan PKS Rimbo Dua telah memanfaatkan limbah
cair untuk aplikasi lahan sejak beberapa tahun yang lalu. Sesuai dengan aturan
KEPMENLH/28/2003 [3], nilai BOD limbah cair untuk aplikasi lahan tidak lebih dari 5000
mg/L. Dengan nilai BOD ini, limbah cair dianggap masih mempunyai nutrisi yang cukup
sebagai pupuk cair. Sedangkan PKS yang lainnya membuang limbah cair tersebut ke sungai.
BOD untuk limbah cair ini sesuai aturan KEPMEN harus dibawah 150 mg/L [3].
Pada PKS yang memanfaatkan limbah cair untuk land application, karena nilai BOD limbah
cair harus di bawah 5000 mg/L, maka beberapa kolam aerobik menjadi tidak dipakai.
Limbah cair yang sebelumnya dialirkan melalui 8-9 kolam pengolahan limbah cair, menjadi
hanya dialirkan ke 2-4 kolam limbah cair. Perubahan ini untuk menjaga agar zat organik
yang tersisa masih dapat dimanfaatkan sebagai bahan nutrisi dan untuk menjaga nilai BOD
agar mendekati nilai ambang batas (5000 mg/L). Lumpur/sludge dari kolam pengolahan
limbah cair biasanya dipakai untuk pupuk.
35
Gbr. 1. Kolam pengolahan limbah cair di salah satu PKS
milik PTPN VI
Gambar 2 menunjukkan kondisi umum limbah penampungan limbah cair. Nampak bagian
permukaan limbah cair ditutupi oleh sekam. Kolam pengolahan limbah cair ini terdiri dari 8-
10 kolam, dimana 2 kolam pertama merupakan kolam an-aerob, dan sisanya merupakan
kolam aerob. Limbah cair yang dialirkan ke perkebunan diambil dari kolam pengolahan
limbah nomor 4. Pada kolam nomor 4 ini, BOD masih relatif tinggi, yaitu sekitar di bawah
5000 mg/L. Untuk mempercepat proses pembusukan zat organik dalam limbah cair,
dilakukan sirkulasi air dari kolam aerobic nomor 3 atau 4 ke kolam an aerobic nomor 1.
Sirkulasi ini mempunyai dua tujuan, yaitu untuk mendinginkan suhu kolam 1, sehingga suhu
kolam sesuai untuk kehidupan bakteri pembusuk, juga untuk menambah kuantitas bakteri
dari kolam aerobic ke kolam an aerobic, kolam 1. Limbah cair yang masuk ke kolam 1,
masih relatif panas dengan suhu sekitar 70oC, untuk itu perlu didinginkan dengan memakai
water cooling atau dialirkan ke cooling pond sebelum dialirkan ke kolam 1.
Limbah cair ini rata-rata didisain dengan waktu tinggal sekitar 25-30 hari untuk setiap
kolam. Jika melebihi waktu, maka volume air akan melebihi daya tampung kolam, sehingga
air meluber ke kolam sebelahnya. Rata-rata disain kedalaman kolam adalah 5-6 meter.
Tetapi pada kenyataannya pendangkalan terjadi lebih cepat, sehingga kedalaman rata rata
hanya 2-3 m. Pendangkalan ini sebenarnya menganggu proses anaerobik, dan proses
terbentuknya gas metana.
Secara kasat mata, dari permukaan kolam pengolahan limbah ini di permukaannya nampak
gelembung-gelembung yang timbul diakibatkan adanya gas metana. Gas metana ini bisa
terbakar jika terkumpul dalam jumlah yang banyak di atas permukaan.
36
2.3. PTPN VI
PTP. Nusantara VI (Persero) [4] berdiri sejak tahun 1996, yaitu hasil dari penggabungan
PTP. III, PTP. IV, PTP. VI dan PTP.VIII yang berada di wilayah Propinsi Sumatera Barat dan
Propinsi Jambi, sesuai dengan peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 11 tahun 1996
tanggal 14 Pebruari 1996. Selanjutnya disahkan oleh Notaris Harun Kamil, S.H berdasarkan
Akte No. 39 tanggal 11 Maret 1996 serta Keputusan Menteri Kehakiman Republik
Indonesia No. C2-8334.HT.01.01 Tahun 1996 dan Akte Notaris Sri Rahayu Hadi Prasetyo,
SH Jakarta No.19 tahun 2002 tanggal 30 September 2002, kantor Direksi PT Perkebunan
Nusantara VI (Persero) berkedudukan di Jambi.
PT Perkebunan Nusantara VI (Persero) adalah perusahaan yang memiliki perkebunan
dengan total luas mencapai 90.122,14 hektar. Bidang usahanya meliputi pengelolaan 17 unit
perkebunan meliputi budidaya kelapa sawit, karet, dan teh, serta pabrik berteknologi modern
yang terdiri dari: 5 unit pabrik pengolahan kelapa sawit, 3 unit pabrik pengolahan karet, 2
unit pabrik pengolahan teh yang menghasilkan produk berkualitas.
Tabel 1. Kapasitas pabrik kelapa sawit
[4]
Pabrik Kelapa Sawit Kapasitas
(ton TBS/jam)
Sungai Bahar
Bunut Pinang Tinggi Tanjung Lebar
Muara Bungo
Rimbo Dua
Ophir
60 60 30
30 50
2.4. Pemilihan Lokasi
Lokasi PKS PTPN VI, terletak amat berjauhan, tiga PKS terletak di Propinsi Jambi di
37
daerah Sungai Bahar, dan 3 lainnya terletak di Muara Bungo di perbatasan antara propinsi
Sumatera Barat dan Jambi, dan 1 PKS lagi terletak di Sumatera Barat. Mengingat lokasi
yang berjauhan, ditinjau dari segi disertifikasi proyek dan kemudahan dan biaya transport,
maka dipilih lokasi yang berdekatan.
3. METODOLOGI
3.1. Perhitungan Emisi Rumah Kaca
Perhitungan emisi proyek ini memakai metodologi yang telah ditetapkan oleh UNFCCC
yaitu AMS-III.H (Approved Methodology, version 13): ”Methane recovery in waste
treatment”[5], untuk perhitungan jumlah gas rumah kaca yang dikeluarkan dari kolam
pengolahan limbah. Dan untuk perhitungan pengurangan jumlah gas rumah kaca untuk
penggantian bahan bakar fosil untuk membangkitkan listrik dipakai AMS-ID (Grid
connection renewable electricity version 11) [5]. .
Berdasarkan methodologi di atas, proyek ini termasuk ke dalam proyek implementasi
pengambilan gas bio dan pembakaran gas bio pada kolam pembuangan limbah air, dimana
gas bio diambil dari kolam anaerobik yang ada [5], kemudian listrik yang disambungkan ke
jaringan grid dapat menggantikan lisrik yang dibangkitkan oleh bahan bakar fosil. Dari
metodologi tersebut ditetapkan batasan proyek dengan ilustrasi seperti ditunjukan dalam
Gbr. 2.
Jaringan listrik Sumatera
POME GAS BIO
Cooling Tower
Power Generationt
38
EFFLUENT
Aplikasi Lahan
Aerobic
Pond
Aerobic Pond
Gbr. 2. Batasan proyek
Gambar ini menunjukkan bahwa proyek pengurangan emisi karbon terbatas kepada
kegiatan-kegiatan proyek yang berkaitan di sekitar kolam anaerobik saja. Limbah air / Palm
Oil Mill Effluent (POME) yang berasal dari pabrik, setelah didinginkan di cooling tower
dialirkan ke kolam anaerobik 1 dan 2. Setelah itu dialirkan ke kolam aerobik, dan
selanjutknya dipompakan ke areal perkebunan. Kolam anaerobik ditutupi HDPE (High
Density Polyethylene) pada bagian dasar kolam dan bagian atas kolam, untuk mencegah
kebocoran gas bio ke udara luar.
Gas bio yang dihasilkan dari kolam tersebut, terkumpul di atas permukaan kolam, lalu
disedot oleh blower dan dialirkan ke fasilitas pembangkit listrik, dan listrik yang dihasilkan
disambungkan ke jaringan tegangan menengah sistem interkoneksi Sumatera. Pada proses
ini gas metana, CH4, yang terkandung di dalam gas bio, diubah menjadi gas karbondioksida,
CO2, melalui proses pembakaran di dalam pembangkit listrik. Gas metana mempunyai daya
rusak 21 kali lipat dibandingkan gas karbondioksida. Jadi melalui proses pembakaran di
dalam pembangkit listrik, Gas Rumah Kaca (GRK) gas metana diubah menjadi gas
karbondioksida, merupakan proses utama dalam usaha penurunan efek GRK dari proyek ini.
Listrik yang dibangkitkan akan mengurangi pemakaian bahan bakar fosil yang menghasikan
GRK dalam jumlah besar. Jumlah gas rumah kaca yang dikurangi daam pembakaran untuk
membangkitkan listrik ditentukan dengan Baseline Emission Factor dari jaringan
interkoneksi Sumatera.
Lumpur/sludge yang dihasilkan dari kolam anaerobik dikeluarkan dari dalam kolam secara
berkala dengan penyedotan pompa. Pengurangan volume lumpur di dalam kolam ini
bertujuan untuk menjaga kedalaman kolam dan jumlah aliran limbah cair.
An-Aerobic Pond
An-Aerobic Pond
39
3.1.1. Baseline Proyek
Disain kedalaman kolam rata-rata adalah 5 m, dimana untuk menjaga kedalaman
sludge/lumpur diambil dari dalam kolam secara berkala. Lumpur tersebut dimanfaatkan
untuk pupuk di areal perkebunan atau ditumpuk begitu saja di sekitar kolam. Karena
sebelum (baseline) dan setelah proyek dilaksanakan (project activity), pengolahan lumpur
ini tidak mengalami perubahan, maka dianggap tidak ada pengurangan emisi pada proses
ini, maka BEs.treatment,y = 0. Dan karena lumpur digunakan sebagai pupuk/soil application
maka BEs.final,y = 0.
Baseline emission dari proyek penangkapan gas metana pada sistem pengolahan limbah air
dapat ditunjukkan dengan persamaan pada AMS-III.H (Approved Methodology) (version
13): ”Methane recovery in waste treatment” [5] :
BEy
(t − CO ) = BE
power,y
+ BE
ww.treatment,
y
+ BE
s.treatment,y
+ BEww.discharge,y + BE s. final,y
(1)
dimana, BEy : Emisi baseline pada tahun y (t-CO2) BEpower,y : Emisi baseline listrik atau kebutuhan bahan bakar pada tahun y (t-CO2) BEww.treatment,y : Emisi baseline pengolahan limbah cair (t-CO2) BEs.treatment,y : Emisi baseline pengolahan sludge/lumpur (t-CO2) BEww.discharge,y : Emisi baseline pembusukan karbon organik dari hasil pengolahan limbah
cair yang dibuang ke sungai/laut (t-CO2) BEs.final,y : Emisi baseline pembusukan anorganik lumpur (t-CO2)
Dalam kondisi biasa (sebelum proyek CDM), sumber listrik untuk proses pengolahan limbah cair
menggunakan bahan bakar biomasa yang berasal dari limbah padat (serabut dan cangkang) dari
proses pembuatan CPO. Sehingga energi listrik yang dipakai tidak menghasilkan emisi, maka
BEpower,y = 0.
Pengolahan sludge/lumpur pada proyek ini tidak mengalami perubahan dengan adanya
proyek ini, dimana lumpur diambil dari kolam anaerobik secara berkala untuk menjaga
kualitas air yang dikeluarkan ke areal perkebunan, sehingga dalam proyek ini BEs.treatment,y =
0.
Dalam proyek ini, limbah air yang keluar dari kolam anaerobik diolah dengan baik di kolam
aerobik, maka BEww.discharge,y = 0. Dengan kondisi proyek seperti itu, maka persamaan
baseline dalam kegiatan proyek ini menjadi,
2−e y
41
dimana, Qww,i,y : Jumlah limbah air (t/m3)
CODremoved,i,y : Nilai COD yang terambil/terolah
MCFww.treatment,BL,i : Faktor koreksi gas metana untuk baseline pengolahan limbah air, 0,8 [7] (kolam anaerobik dalam)
Bo,ww : Kapasitas produksi gas metana pada limbah air, 0,21 kg (CH4/kgCOD) [5]
UFBL : Faktor koreksi model untuk perhitungan ketidakpastian model, 0,94[5]
GWPCH4 : Potensi emisi gas metana pada sistem pengolahan limbah air yang dilengkapi sistem penangkap gas bio, 21 [5]
Pengukuran jumlah limbah air, Qww,i,y tidak dilakukan oleh PKS, karena selain harga
flowmeter mahal, tidak ada kepentingan bagi PKS untuk melakukan pengukuran volume air
limbah. Jumlah air limbah ini ditentukan dengan perhitungan menggunakan koefisien
perbandingan antara jumlah TBS yang diolah dan jumlah limbah air.
Dalam studi ini dipakai angka 0,6 , yang merupakan angka acuan dari PKS di PTPN V.
Untuk PKS di Malaysia dari literatur yang ada, memakai angka 0,7 [6].
Pengukuran COD di inlet dan outlet kolam anaerobik, yang merupakan parameter penting
untuk menentukan jumlah gas metana, nilainya diambil dari data laporan bulanan kualitas
limbah cair ke Badan Pengawasan Lingkungan Daerah di lokasi masing masing PKS. Nilai
COD di inlet kolam anaerobik tercatat 50.000 mg/L [7], dan untuk outlet tercatat 5000
mg/L[7].
Baseline emission dari penggantian bahan bakar fosil dengan menggunakan bahan bakar
gas metana ini ditunjukkan dengan persamaan pada AMS-ID (Grid connection renewable
elecricity vesion 11) [5]:
BEy ,electricity
dimana,
= MWHgrid EFgrid
(3)
42
MWHgrid : Jumlah energi yang dibangkitkan dengan menggunakan energi terbarukan (kWh)
EFgrid : Koefisien emisi dari sistem jaringan/grid, 0,743 t-CO2/MWh [8].
Total dari emisi baseline adalah total dari persamaan (2) dan (3).
3.1.2. Emisi proyek
Emisi proyek yang dihasilkan dari kegiatan proyek ini berdasarkan AMS-III.H
(ApprovedMethodology) (version 13): ”Methane recovery in waste treatment” [5], adalah :
PEy = PEpower,y + PEww.treatment,y + PEs.treatment,y + PEww.discharge,y
dimana,
+ PEs. final,y + PE fugitive,y + PEbiomass,y + PE flaring,y
(4)
PEy : Emisi proyek pada tahun y (t-CO2) PEpower,y : Emisi proyek dari listrik atau kebutuhan bahan bakar pada tahun y (t-
CO2) PEww.treatment,y : Emisi gas metana dari sistem pengolahan limbah air yang diakibatkan
kegiatan proyek dan tidak dipasang penangkap gas, pada tahun y (t-CO2) PEs.treatment,y : Emisi gas metana dari sistem pengolahan lumpur yang diakibatkan
kegiatan proyek dan tidak dipasang penangkap gas, pada tahun y (t-CO2) PEww.discharge,y : Emisi proyek dari pembusukan karbon organik dari hasil pengolahan
limbah cair pada tahun y (t-CO2) PEs.final,y : Emisi proyek dari pembusukan anaerobik dari hasil akhir lumpur pada
tahun y (t-CO2) PEfugitive,y : Emisi proyek dari biogas yang terlepas dari sistem penangkapan pada
tahun y (t-CO2) PEbiomass,y : Emisi gas metana dari penyimpanan biomasa pada kondisi anaerobik (t-
CO2) PEflaring,y : Emisi gas metana dari ketidaksempurnaan pembakaran pada tahun y (t-
CO2)
Pada kegiatan proyek ini, sumber bahan listrik yang dipakai adalah tetap seperti sebelum
proyek dilaksanakan, yaitu serabut dan cangkang (limbah biomasa) dari kelapa sawit,
sehingga emisi dianggap tidak ada, PEpower,y = 0.
Proses pengolahan limbah cair secara anaerobik pada aktivitas proyek ini adalah sama
dengan kondisi sebelum proyek (baseline), sehingga kualitas air yang diolah/nilai COD
limbah air setelah melewati kolam anaerobik pada saat sebelum proyek dan sebelum proyek
adalah sama, maka dalam perhitungan ini dapat dianggap PEww.discharge,y = 0.
Lumpur/sludge dari kolam anaerobik diambil secara periodik untuk menjaga kulitas proses
43
pengolahan air dan mencegah pendangkalan kolam. Lumpur diambil dari kolam,
dikeringkan dengan sinar matahari dan kemudian dibuang ke lahan perkebunan terdekat
sebagai pupuk, sehingga PEs.final,y = 0. Dengan tidak adanya pengolahan lumpur maka pada
emisi pada kegiatan tersebut tidak ada, dan tidak ada nilai PEs.treatment,y. Karena tidak ada
biomassa yang disimpan di bawah kondisi anaerobik, maka tidak ada nilai PEbiomass,y.
Dengan kondisi aktivitas proyek seperti di atas maka persamaan (4) menjadi,
45
(5
)P
E fugi
tive
,y
= PE fugitive,ww,y + PE fugitive,s,y (6)
karena pada proyek ini tidak ada sistem pengolahan sludge, maka, nilai PEfugitive,s,y tidak ada,
sehingga,
PE fugitive,y = PE fugitive,ww,y (7)
PE fugitive,ww,y = (1 − CFEww ) MEPww.treatment,y GWPCH 4 (8)
dimana,
CFEww : Efisiensi pengkapan dari fasilitas penangkapan gas pada sitem pengolahan limbah, 0,9 [5]
GWPCH4 : Potensi emisi gas metana pada sistem pengolahan limbah air yang dilengkapi sistem penangkap gas bio, 21 [5]
Potensi gas metana yang dihasilkan dari limbah cair dari kolam anaerobik dinyatakan dalam
persamaan di bawah ini,
MEPww.treatment,y = Qww,y Bo,ww UFPJ CODremoved,PJ ,k ,y MCFww.treatment,PJ ,k ,y (9)
dimana,
Qww,y : Jumlah limbah air (t/m3)
Bo,ww : Kapasitas produksi gas metana pada limbah air, 0,21 kg (CH4/kgCOD)[5]
UFPJ : Faktor koreksi model untuk perhitungan ketidakpastian model, 1,06[5]
CODremoved,PJ,k,y : Jumlah COD yang terambil/terolah.
MCFww,treatment,PJ,k :
0,8 (kolam anaerobik dalam) [5]
PE flaring,y = TMRGH (1−0,9) GWPCH 4 1000 (10)
dimana jumlah massa gas metana yang mengalir pada aliran gas bio pada fasilitas
pembakaran/flaring dianggap sama dengan jumlah massa gas metana yang dihasilkan kolam
anaerobik setelah dikurangi jumlah gas metana yang terlepas pada dari sistem penangkapan
46
( )1000 MEP
GWP − PE
( )− PE
+ LE
)+ PE
gas,
TMRGH GWPCH 4
ww.treatment,y CH 4 fugitive,ww,y
(11)
dimana
ΣTMRG,h : Jumlah massa gas metana pada aliran gas bio buang (kg/h)
Sehingga persamaan (10) dapat diubah menjadi persamaan di bawah ini,
PE flaring,y =
ww.treatment,
y
GWPCH 4
) − PE
fugitive,ww,y
(12)
3.1.3. Kebocoran / Leakage
Pada proyek ini instalasi sistem penangkapan dan pembakaran gas metana merupakan
sistem/peralatan yang baru, sehingga kebocoran/leakage dianggap nol, LE = 0.
3.1.4. Pengurangan emisi (Emission reduction)
Pengurangan emisi dari skenario proyek ini adalah sebagai berikut
ERy ,ex ante = BEy ,ex ante + BEy ,electricity
y,ex ante y,ex ante
(13)
Persamaan (11) ini dapat diubah menjadi,
ERy ,ex ante = BEww.treatment,y + BEy ,electricity
ww.treatment,
y
+ PE fugitive,y
flaring,y
(14)
(MEP
(− PE
47
Dari persamaan (14), pengurangan emisi dari proyek CDM ini, ERy,ex ante didapat dari
pengurangan antara emisi dari pengolahan limbah cair, BEww,treatment, dan emisi dari listrik
yang dipakai, BEy, electricity saat proyek CDM belum dimulai dikurangi dengan emisi dari
sistem pengolahan limbah cair, PEww,treatment, emisi proyek dari biogas yang terlepas dari
sistem penangkapan, PEfugitive dan emisi dari ketidaksempurnaan pembakaran, PEflaring di
tahun y pada proyek CDM.
3.2. Nilai Kalor Biogas
Komposisi gas metana dai biogas yang berasal dari POME berkisar 60-70% [9] atau 65%
[10], dimana sisanya adalah merupakan gas CO2 dan gas gas lainnya. Dari literatur yang
ada, setiap 1 ton POME akan menghasilkan 28,8 m3 biogas dengan nilai kalor biogas yang
dihasilkan dari POME adalah berkisar 4740-6560 kcal/m3, dan dengan konversi energi
sekitar 35%, maka nilai 1m3 biogas akan dapat menghasilkan listrik setara dengan 1,8
kWh/m3 biogas [10], [11].
3.3. Pendapatan Proyek
Biaya yang dikeluarkan untuk proyek ini digunakan untuk :
i) biaya pengurusan administrasi CDM ii) biaya investasi iii) biaya operasi proyek, dengan usia proyek 10 tahun.
Pendapatan dari proyek ini berasal dari :
i) penjualan karbon/CER (Certified Emission Reduction) ii) penjulaan listrik ke PT Perusahaan Listrik Negara.
Pendapatan dari CER sendiri, merupakan total CER dari pengurangan GRK yang berasal
dari penangkapan gas metana di kolam an-aerobik melalui penutupan kolam an-aerobik
dengan HDPE (High Density Polyethylene), dan dari pengurangan GRK yang didapat dari
penggantian gas metana sebagai bahan bakar untuk membangkitkan listrik.
Dalam hal ini terjadi pengurangan bahan bakar fosil. Listrik yang dihasilkan dikoneksikan
dengan jaringan sistem kelistrikan interkoneksi Sumatera.
Pada studi ini tidak dilakukan analisa keekonomian dari pelaksanaan proyek CDM, dengan
analisa terbatas hanya pada keuntungan dari penjualan karbon dan penjualan tenaga listrik.
3.4. Keekonomian Proyek
48
Keekonomian proyek penangkapan gas metana perlu dijelaskan dan menjadi bukti untuk
menjelaskan additionality dan kelayakan keekonoomian dari proyek ini, sebagai proyek
CDM.
Usaha penangkapan gas metana dari limbah cair di kolam pengolahan limbah cair, jelas
merupakan suatu proyek yang tidak menghasilkan pendapatan bagi perusahaan, sebaliknya
akan menjadi beban jika proyek ini harus dilaksanakan dengan biaya perusahaan.
Dengan memasukkan usaha penangkapan gas metana ini ke dalam mekanisme CDM, maka
akan didapatkan pendapatan dari penjualan sertifikat pengurangan GRK, yang dapat
digunakan untuk menutup biaya operasional usaha penangkapan gas metana ini. Dalam
perhitungan keekonomian, tanpa pedapatan dari penjualan sertifikat maka karena tidak ada
pendapatan, nilai Net Present Value (NPV) dari proyek ini akan menjadi negatif. Dan
melalui mekanisme CDM, dengan adanya pendapatan dari penjualan sertifikat kredit
karbon, jika nilai NPV berubah menjadi positif, maka menunjukkan proyek ini layak.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Pemilihan Lokasi
Dari lokasi yang telah ditentukan di daerah Muara Bahar, yaitu PKS Tanjung Lebar dan PKS
Pinang Tinggi. PKS Bunut tidak menjadi pilihan karena direncanakan akan akan dibangun
proyek pemanfaatan kompos. Kedua PKS ini tidak memanfaatkan limbah cair untuk aplikasi
lahan.
49
4.2. Emisi Gas Rumah Kaca Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dalam proyek ini adalah GRK yang dihasilkan dari
proses pembusukan material organik di limbah cair, yaitu gas metana, CH4.
Perhitungan emisi memakai persamaan-persamaan yang dijelaskan pada paragraf 2.2.
Sesuai dengan Metodologi III H, nomor 17, data yang dipakai adalah data satu tahun
terakhir, sebelum proyek dimulai, yaitu tahun 2008.
Perhitungan emisi baseline, BEy, dihitung dengan persamaan (2), emisi proyek, PEy,
dihitungan dengan persamaan (3). Pengurangan emisi, ERy, dari proyek ini dihitungan
dengan memakai persamaan (11), yang merupakan selisih dari hasil perhitungan emisi
baseline, saat aktivitas proyek belum dilaksanakan (persamaan (2)) dan emisi proyek,
saat aktivitas proyek dilaksanakan (persamaan (3)).
Hasil perhitungan ditunjukkan di Tabel 2. Penangkapan gas metana dari kolam
anaerobik di PKS Pinang Tinggi dan PKS Tanjung Lebar, dapat mengurangi emisi
sebesar 24.366 t-CO2. Dalam kurun waktu usia proyek, 10 tahun, maka reduksi emisi
dari penangkapan adalah sebesar 240.366 t-CO2.
Tabel 2. Pengurangan emisi tahun
2008
PKS TBS yg diproses
(ton)
Produksi air limbah Qww,i,y
(ton)
POME (ton)
Emisi Baseline
BE (t-CO2/y)
Emisi Proyek
PE (t-CO2/y)
Pengurangan Emisi ER
(t-CO2/y)
Pinang Tinggi 201.958 121.175 121.175 18.083 3874 14.029
Tanjung Lebar 144.373 86.624 86.624 12.927 2770 10.158
T o t a l 24.366
4.3. Pembangkit Listrik
Dari jumlah biogas yang dihasilkan dapat diprediksi energi yang dapat dikonversikan
untuk membangkitkan energi listrik adalah 1,8 kWh/m3 biogas. Dalam studi ini maka
dari dua PKS tersebut dengan asumsi Capacity Factor (CF) dari pembangkit adalah
90%, maka jumlah energi yang dibangkitkan dan kapasitas pembangkit yang
dibutuhkan adalah sebagai berikut :
Dari listrik yang digantikan, jumlah pengurangan GRK yang didapat dari pemakaian
bahan bakar fosil dihitung dengan persamaan (3), total dari kedua PKS tersebut
ditunjukkan di Tabel 3. Sehingga total reduksi GRK adalah 7411 t-CO2/tahun. Dalam
kurun waktu 10 tahun, GRK yang dikurangi sebesar 74.110 t-CO2.
Tabel 3. Jumlah energi listrik dan kapasitas pembangkit
50
Dengan biaya pokok penyediaan listrik sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor
2
6
9-
1
2/
26/600.3/2008 [12], BPP Daerah Jambi adalah Rp 869,-/kWh. Jika listrik yang
dihasilkan dikoneksikan ke jaringan menengah maka nilai BPP menjadi 80% [13], yaitu
Rp 695,2/kWh. Dengan harga BPP tersebut, tiap tahun PKS Pinang Tinggi dan PKS
Tanjung Lebar akan mendapatkan pendapatan kotor dari hasil penjualan listrik masing-
masing sebesar Rp 4,0 milyar dan Rp 2,9 milyar.
4.4 Penjualan Kredit Karbon
Penjualan kredit karbon ini akan menjadi pendapatan pemilik proyek. Jika nilai jual
kredit karbon adalah EURO 10/t-CO2, dan nilai kurs 1 EURO = Rp.14.000,-, maka pada
PKS Pinang Tinggi dan PKS Tanjung Lebar dari pengurangan GRK dari penangkapan
gas metana dan penggantian tenaga listrik didapat masing masing pengurangan GRK
sebesar 18.531 t- CO2/thn (4.322 t-CO2/thn +14.209 t-CO2/thn) t-CO2/thn dan 13.247 t-
CO2/thn (3.089 t-
CO2/thn +10.158 t-CO2/thn).
Dari total pengurangan GRK. PKS Pinang Tinggi dan PKS Tanjung Lebar masing –
masing mendapat keuntungan sebear Rp 2,6 Milyar/thn dan Rp 1,8 Milyar/thn.
Keuntungan dari penjualan karbon (CER/Certified Emission Reduction) didapat hampir
setengah dari pendapatan dari penjualan listrik.
Pengambilan gas metana dari kolam pengolahan limbah cari di PKS masih sangat
sedikit diaplikasikan di Indonesia. Kendala utama adalah faktor keekonomian, karena
usaha ini tidak menghasilkan pendapatan secara langsung. Dengan adanya mekanisme
CDM, usaha ini dapat menjadi layak secara ekonomi.
Skenario untuk penangkapan gas metana ini bisa dipilih menjadi dua bagian yaitu
i) Penangkapan gas metana dan flaring, atau penangkapan gas metana dan ii) Memanfaatkan gas tersebut untuk bahan bakar pengganti bahan bakar fosil. iii) Jika skenario ii) yang dipilih maka keuntungan dari CER/penjualan karbon
didapat dari pengurangan GRK dari penangkapan gas metana dan pengurangan GRK dari penggantian bahan bakar fosil.
Saat ini proses pelaksanaan proyek penangkapan gas metana di kolam pengolahan
limbah di PPTN VI masih dalam proses negoisasi antara investor dari Jepang, Shimizu
Co., dan PTPN VI, untuk mendapatkan bentuk skema bisnis yang sesuai bagi oleh
kedua belah pihak dan aturan kedua negara.
5. KESIMPULAN
Pemanfaatan gas metana di kolam pengolahan air limbah di PKS PTPN VI ini
PKS Tenaga listrik
(MWh)
Kapasitas Pembangkit
(kW)
Pengurangan GRK
(t-CO2)
Pinang Tinggi 5816 740 4322
Tanjung Lebar 4157 530 3089
51
merupakan salah satu upaya untuk mengurangi efek gas rumah kaca (GRK) dan
merupakan salah satu usaha diversifikasi bisnis industri hilir dari PKS. Mekanisme
CDM, membuat pemanfaatan limbah yang tidak ekonomis menjadi usaha yang
ekonomis yang berwawasan lingkungan.
Pemakaian gas metana sebagai bahan bakar pengganti fosil merupakan usaha
diversifikasi energi yang mendukung program pemerintah untuk pengurangan bahan
bakar minyak
Harga listrik yang menjadi asumsi pada studi ini pada kenyataannya dapat berubah
bergantung dari negoisasi dengan pihak PT PLN (Pembangkit Listrik Negara). Harga
CER saat ini cenderung menurun dan menunjukkan ketidakpastian terutama mendekati
tahun 2012.
DAFTAR PUSTAKA
[1] http://unfccc.int/kyoto_protocol/items/2830.php, 2010. [2] www.shimz.co.jp/english/, 2010. [3] Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup, No. 28 tahun 2003, tentang
Pedoman Teknis Pengkajian Pemanfaatan Air Limbah dari Industri Minyak Kelapa Sawit pada Tanah di Perkebunan Kelapa Sawit.
[4] http://www.ptpn6.com/profile.php, 2010. [5] Approved small-scales methodologies, http://cdm.unfccc.int/methodologies/
SSCmethodologies/approved.html, 2010. [6] Methane Recovery In Wastewater Treatment Project, Sumatera Utara, Indonesia,
UNFCCC Clean Development Mechanism Simplified Project Design Document for Small Scale Project Activity, Aes Agri Verde, Document ID: AIN07-W-01, ver.7, 27 October 2008.
[7] Hasil Pemeriksaaan Limbah Cair, Pemprov. Riau, Dinas Pekerjaan Umum, Pekan Baru, 3 Maret 2009.
[8] http://dna-cdm.menlh.go.id/Downloads/Others/KomnasMPBGrid_ umatera_JAMALI_ 2008.pdf, 2010.
[9] Status of Biomass Technologies Development & Utilization in Malaysia, S.S.Chen, Asean Biomass Meeting, Tsukuba, Japan, Oct., 29, 2004.
[10] CO2
Reduction Opportunities-Power Generation Perspectives, Dr. Salim Sairan and
Mohamad Irwan Aman, TNB Research Sdn. Bhd., No. 1, Jalan Ayer Itam, Kawasan Institusi Penyelidikan Bandar Baru Bangi, 43000 Kajang, Selangor, Malaysia.
[11] Asia Biomass Handbook, Nihon Energi Gakkai Zaidan, 2007. [12] Peraturan Menteri ESDM Nomor 269-12/26/600.3/2008, tentang Biaya Pokok
Penyediaan (BPP) Tenaga Listrik Tahun 2008. Peraturan Menteri No:002 tentang Pembangkit Listrik Skala Menengah Berbahan
bakar Energi Terbarukan
180
Lamiran 4
ISSN : 2598 – 1099 (Online) ISSN : 2502 – 3624 (Cetak) Luthfi Parinduri, Analisa Pemanfaatan....
Analisa Pemanfaatan Pome Untuk Sumber Pembangkit Listrik
Tenaga Biogas Di Pabrik Kelapa Sawit
Luthfi Parinduri
Dosen Fakultas Teknik, Universitas Islam
Sumatera Utara Jl. SM. Raja Teladan, Medan
(20217) [email protected]
Abstrak
Salah satu produk samping dari pabrik pengolahan kelapa sawit adalah POME yang merupakan limbah cair. Limbah ini cukup besar jumlahnya dan dapat dikonversi menjadi biogas yang selanjutnya dapat digunakan sebagai sumber energi listrik. Pada pabrik kelapa sawit kapasitas PKS sebesar 30 ton TBS/jam yang telah
memanfaatkan POME dengan sistem Covered Lagoon dengan akan menghasilkan biogas ± 600 m3/jam, atau
setara dengan energi sebesar 3.720 kWh. Jika energi tersebut digunakan untuk membangkitkan listrik dengan menggunakan gas engine (efisiensi 35%) maka akan dapat dibangkitkan listrik sebesar 1.303 kWh atau 1,3 MW. Sedangkan dengan menggunakan digester anaerob biogas yang dihasilkan ± 28 m3/ton TBS. Jadi jika
kapasitas PKS sebesar 30 ton TBS/jam akan dihasilkan biogas ± 840 m3/jam, atau setara dengan energi sebesar
5.208 kWh. Energi listrik yang dapat dibangkitkan dengan gas engine (efisiensi 35%) adalah sebesar 1.822 kWh, atau 1,8 MW. Dengan menggunakan parameter umum konsumsi energi listrik di pabrik pengolahan kelapa sawit yakni sebesar 17-19 kWh/ton TBS maka potensi listrik POME dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Pemanfaatan POME akan memberi nilai tambah sekaligus meningkatkan profitabilitas. Manfaat lainnya adalah mengurangi dampak lingkungan dan menghasilkan energi terbarukan.
Kata Kunci : POME, Covered Lagoon, Digester Anaerob
181
I. PENDAHULUAN
Salah satu potensi perkebunan yang cukup besar didapatkan dari Pabrik Kelapa Sawit (PKS),
yang mengolah Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit menjadi Crude Palm Oil (CPO), adalah
limbah biomassa dengan jumlah yang cukup besar dalam bentuk limbah organik berupa tandan
kosong kelapa sawit (Tankos), cangkang dan sabut, serta limbah cair (Palm Oil Mill
Effluent/POME).
POME memiliki potensi energi yang tinggi, namun pada umumnya belum dimanfaatkan secara
optimal. POME diurai di kolam limbah dibiarkan membusuk secara alami. Proses pembusukan
biomassa ini akan menghasilkan biogas dengan kandungan utama (62%) gas methana (CH4). Gas
ini muncul sebagai akibat dari proses perombakan senyawa-senyawa organik secara anaerobik.
Gas methana tersebut ternyata juga memiliki tingkat emisi yang tinggi. UNFCCC, badan PBB
yang menangani perubahan iklim, mencatat gas methana memiliki tingkat emisi 24 kali jika
dibandingkan dengan gas karbon (CO2). Di sisi lain, gas methana ini juga memiliki tingkat energi
yang cukup tinggi. Gas methana ini memiliki nilai kalor 50,1 MJ/kg. Jika densitas methana 0,717
kg/m3 maka 1 m3 gas methana akan memiliki energi setara dengan 35,9 MJ atau sekitar 10 kWh.
Jika kandungan gas methana adalah 62% dalam biogas, maka 1 m3 biogas akan memiliki tingkat
energi sebesar 6,2 kWh. Melihat potensi tersebut sangat disayangkan jika gas-gas yang dihasilkan
dari penguraian biomassa tersebut dibiarkan begitu saja. Untuk dapat memanfaatkan potensi biogas
tersebut, terdapat beberapa teknologi yang dapat diterapkan.
Banjir merupakan bencana alam yang berpotensi merusak dan merugikan kehidupan bahkan
menelan korban manusia. Banjir menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah berair
banyak dan deras, kadang-kadang meluap atau peristiwa terbenamnya daratan (yang biasanya
kering) karena volume air yang meningkat. Banjir selalu datang secara tiba-tiba tanpa bisa
diprediksi. Hal inilah yang membuat masyarakat kesulitan menghindar dari bencana banjir. Banjir
tentu dapat diminimalisir dengan membangun lingkungan yang baik. Namun proses pembangunan
tersebut juga tidak dapat dilakukan secara instan.
II. PENGOLAHAN PALM OIL MILL EFFLUENT (POME)
Di Indonesia hampir semua pabrik pengolahan kelapa sawit untuk mengambil biogas dari
POME menggunakan sistem Covered Lagoon. Teknologi ini dilakukan dengan menutup
kolam limbah konvensional dengan bahan reinforced polypropylene sehingga berfungsi
sebagai anaerobic digester. Biogas akan tertangkap dan terkumpul di dalam cover.
Pengolahan limbah cair dengan cara ini banyak dilakukan oleh pabrik karena teknik tersebut
cukup sederhana dan biayanya lebih murah. Namun pengolahan dengan cara tersebut
membutuhkan lahan yang luas untuk pengolahan limbah. Dengan kapasitas 30 ton TBS/jam,
182
maka dibutuhkan sekitar 7 hektar lahan untuk pengolahan limbah. Selain itu efisiensi
perombakan limbah cair PMKS hanya 60-70 %
dengan waktu retensi yang cukup lama yaitu 120- 140 hari. Kolam-kolam limbah konvensional
akan mengeluarkan gas methan (CH4) dan karbon dioksida (CO2) yang membahayakan karena
merupakan emisi penyebab efek rumah kaca yang berbahaya bagi lingkungan. Disamping itu
kolam- kolam pengolahan limbah sering mengalami pendangkalan, sehingga baku mutu limbah
tidak tercapai.
Dengan teknologi ini, akan dihasilkan biogas sebanyak ±20 m3/ton TBS. Jadi jika
kapasitas PKS sebesar 30 ton TBS/jam akan menghasilkan biogas ± 600 m3/jam, atau setara dengan energi sebesar 3.720 kWh. Jika energi tersebut digunakan untuk membangkitkan listrik dengan menggunakan gas engine (efisiensi 35%) maka akan dapat dibangkitkan listrik sebesar 1.303 kWh atau 1,3 MW.
Pengolahan limbah cair PMKS dengan menggunakan digester anaerob dilakukan dengan
mensubtitusi proses yang terjadi di kolam anaerobik pada sistem konvensional kedalam tangki
digester. Tangki digester berfungsi menggantikan kolam anaerobik yang dibantu dengan
pemakaian bakteri mesophilic dan thermophilic. Kedua bakteri ini termasuk bakteri methanogen
yang merubah substrat dan menghasilkan gas methan.
Teknologi ini lebih efektif baik dalam pengolahan limbah POME sehingga akan dihasilkan
biogas dalam jumlah yang lebih besar. Pengolahan POME dilakukan dengan membuat instalasi
anaerobic digester, dengan komponen utama teknologi ini adalah sebuah reaktor yang senantiasa
terkontrol. Dengan demikian proses penguraian senyawa organik secara anaerobic dapat diatur,
baik komposisi, mikrobia maupun termperaturnya untuk mendapatkan hasil yang maksimal
dengan tingkat BOD yang lebih rendah dari 100 mg/l.
Biogas yang dihasilkan ±28 m3/ton TBS. Jadi jika kapasitas PKS sebesar 30 ton TBS/jam
akan dihasilkan biogas ±840 m3/jam, atau setara dengan energi sebesar 5.208 kWh. Energi listrik yang dapat dibangkitkan dengan gas engine (efisiensi 35%) adalah sebesar 1.822 kWh, atau 1,8 MW.
Luthfi Parinduri, Analisa Pemanfaatan.... ISSN : 2598 – 1099 (Online) ISSN : 2502 – 3624 (Cetak)
III. KEBUTUHAN LISTRIK PKS
Proses pengolahan kelapa sawit
menjadi CPO melalui beberapa
tahapan yang memerlukan konsumsi
energi listrik. Semakin besar
kapasitas produksi, kompleksitas
proses dan automation, konsumsi
energi listrik yang di perlukan
semakin tinggi. Parameter umum
konsumsi energi listrik (power
consumption) di pabrik pengolahan
kelapa sawit yakni sebesar 17-19
kWh/ton TBS.
Untuk mengetahui karakteristik
dan pemakaian beban listrik dapat
dibaca dengan alat ukur yang
terpasang dipanel kamar mesin
berupa kW-meter dan amperemeter.
Sedangkan energi listrik yang
terpakai
terukur melalui kWh-meter yang
terdapat dipanel masing-masing
pembangkit. Beban bakal mengalami
fluktuasi dan menyesuaikan kebutuhan
daya terhadap mesin atau listrik yang
digunakan masing-masing unit.
Penggunaan daya listrik untuk proses
pengolahan lebih dominan sebesar 77,62
%. Beban domestik menempati urutan
kedua mencapai 16,75 %. Sedangkan
beban lain berupa head office, kantor PKS,
Workshop, dan penerangan jalan memiliki
nilai yang kecil berkisar 0,5-3%. Sehingga
penggunaan untuk beban ini tidak terlalu
berpengaruh besar terhadap daya yang
ditanggung terhadap pembangkit.
Besarnya kebutuhan listrik PKS
berdasarkan kapasitas produksi untuk 30
183
ton tbs/jam adalah sebesar 1.659 KW
dan untuk kapasitas produksi 60 ton
tbs/jam adalah sebesar dan 2.360 KW
secara terperinci dapat dilihat pada Tabel
1 dan Tabel 2 berikut ini :
Tabel 1. Konsumsi tenaga listrik Pabrik Kelapa Sawit kapasitas 30 ton TBS/ Jam
Terpasang Beroperasi Demand
No. STATION
Power In I Terukur Power Factor
kW A A kW Df (%)
1. Reception & Sterilizer 147 279 175 92 63
2. Threshing 149 283 88 46 31
3. Pressing 240 456 200 105 44 4. Clarification 171 325 30 16 9
5. Oil Storage 23 44 12 6 27
6. Depericarper & Kernel 281 534 280 147 52
7. Boiler Control 230 437 320 168 73
8. WTP 193 367 63 33 17
9. Boiler Demint 76 144 20 11 14 10. Effluent Treatment 60 114 45 24 31
11. Factory Lighting 75 142 50 26 35
12. Domestic Lighting 50 95 40 21 42 Total 1695 705 42
184
ISSN : 2598 – 1099 (Online) ISSN : 2502 – 3624 (Cetak) Luthfi Parinduri, Analisa Pemanfaatan....
Tabel 2. Konsumsi Tenaga Listrik Pabrik Kelapa Sawit Kapasitas 60 ton
TBS/ Jam Two (2) Line
Terpasang Beroperasi Demand
No. STATION Power In I Terukur Power Factor
kW A A kW Df
1. Reception & Sterilizer 198 376 25 13 7 2. Threshing 121 229 95 50 42
3. Pressing Line 1 293 556 130 68 23
4. Preassing Line 2 293 556 140 74 25
5. Clarification 143 270 200 105 74
6. Oil Storage 33 63 12 6 19 7. Depericarper & Kernel Line 1 239 455 300 158 66
8. Depericarper & Kernel Line 2 240 456 225 118 49
9. Boiler Control 330 627 300 158 48
10. WTP 120 227 125 66 55
11. Boiler Demint 170 323 55 29 17
12. Effluent Treatment 66 125 40 21 32 13. Factory Lighting 75 142 50 26 35
14. Domestic Lighting 40 76 40 21 53 Total 2360 915 39
IV. PEMANFAATAN BIOGAS
PKS merupakan industri yang sarat
dengan residu pengolahan. PKS hanya
menghasilkan 25-30
% produk utama berupa 20-23 % CPO dan
5-7 % inti sawit (kernel). Sementara
sisanya sebanyak 70-
75 % adalah limbah yang dapat
digolongkan kedalam tiga golongan yaitu
limbah cair, limbah padat, dan limbah gas.
Jumlah limbah padat yang dihasilkan oleh
PKS berkisar antara 40 – 41% dari setiap
ton sawit yang diolah. Limbah PKS
sesungguhnya adalah buangan yang
merupakan komponen pencemar, namun
dapat dimanfaatkan
salah satunya sebagai sumber energi
listrik, dengan kandungan potensi energi
seperti Tabel 3.
Limbah cair organik yang dihasilkan
selama produksi kelapa sawit merupakan
sumber energi besar yang belum banyak
dimanfaatkan di Indonesia. Mengubah
POME menjadi biogas untuk dibakar
dapat menghasilkan energi sekaligus
mengurangi dampak perubahan iklim.
Tabel 4. dibawah ini menunjukkan potensi
dari dari konversi POME menjadi biogas
yang dihasilkan oleh pabrik kelapa sawit.
Tabel 3. Besaran energi dari limbah PKS
No. Biomassa Bentuk Jumlah*) Calori (Kcal)**)
1. Crude Palm Oil Cair 20 – 23% - 2. Inti Sawit (Kernel) Padat 5 – 7 % -
3. Janjang Kosong Padat 22 – 23% 4492/kg
4. Serat (Fiber) Padat 12 – 14% 2637 – 4554 /kg 5. Cangkang (Shell) Padat 6- 8% 4105 – 4802/kg
6. POME Cair 2 ton 4695 – 8569 /m3 *). Persentase dari TBS yang diolah
185
**). 1 Kcal = 4.187 Joule = 1,163 wh
Tabel 4. Proyeksi Potensi daya dari POME berdasarkan kapasitas PKS
POME yang dihasilkan Potensi Daya
No. Kapasitas PKS (ton TBS/Jam)
m3/jam m3/hari (Mwe)
1. 30 21 400 1,1
2. 45 31,5 600 1,6 3. 60 42 800 2,1
4. 90 63 1.200 3,2 *). Assumsi : Setiap ton tbs menghasilkan 0,7 m3 POME, 20
jam operasi/hari, konsentrasi COD 55.000 mg/l **). Sumber : Sri Rahayu Ade, dkk; (2015)
186
Indonesia saat ini merupakan produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia, tercatat pada
tahun 2011 terdapat sekitar 608 pabrik kelapa sawit. Industri kelapa sawit yang terus berkembang
dengan cepat yang diperkirakan pada tahun 2020 luas tanaman akan mencapai 9,1 juta ha
dengan produksi sekitar 34 juta ton CPO. Hal ini juga akan berdampak terhadap limbah
yang dihasilkanLuthfi Parinduri, Analisa Pemanfaatan.... ISSN : 2598 – 1099 (Online) ISSN : 2502 – 3624
(Cetak)
diantaranya POME. Peningkatan jumlah POME semakin meningkatkan petensi energi yang akan
dihasilkan. Pemanfaatan POME melalui penangkapan metana dan pengubahan biogas menjadi
energi listrik, menawarkan salah satu alternatif bagi pabrik kelapa sawit untuk mengurangi
dampak lingkungan sekaligus menghasilkan energi terbarukan.
V. KESIMPULAN
Salah satu produk samping dari pabrik pengolahan kelapa sawit adalah POME yang
merupakan limbah cair. Limbah ini cukup besar jumlahnya dan dapat dikonversi menjadi biogas
yang selanjutnya dapat digunakan sebagai sumber energi listrik. Jumlah pabrik kelapa sawit di
indonesia terus berkembang setiap tahun, namun belum semua pabrik kelapa sawit
menggunakannya sebagai sumber energi listriknya. Pada pabrik kelapa sawit yang telah
memanfaatkan POME baik dengan sistem Covered Lagoon maupun dengan menggunakan
digester anaerob telah terbukti dapat menghasilkan energi listrik mandiri dan dapat mengurangi
penggunaan BBM. Berdasarkan temuan dan hitungan yang dilakukan energi listrik yang berasal
dari POME cukup untuk memasok kebutuhan listrik pabrik kelapa sawit. Jika semua pabrik
kelapa sawit telah memanfaatkan POME akan memperoleh nilai tambah dari berkurangnya biaya
energi sekaligus meningkatkan profitabilitas. Manfaat lainnya adalah mengurangi dampak
lingkungan dan menghasilkan energi terbarukan.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Hambali, E., Mujdalipah, S., Tambunan, A.H., Pattiwiri, A.W. dan Hendroko, R., 2007, Teknologi Bioenergi, Agro
Media Pustaka, Jakarta [2] Ivanemmoy, 2013, Kelistrikan Pabrik Kelapa Sawit, diunduh pada tanggal 20 Agustus 2018 melalui
https://ivanemmoy. wordpress. com/ 2013/ 11/29/kelistrikan-pabrik-kelapa-sawit/ [3] Parinduri Luthfi, 2016, Analisa Pemanfaatan Biomassa Pabrik Kelapa Sawit Untuk Sumber Pembangkit Listrik,
Journal of Electrical Technology, Vol. 1 Nomor 2, Juni. [4] Rahman Safii, M., 2016, Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Biogas pada Pabrik Kelapa sawit PT. Pelita Agung
Agrindustri Simpang bango Duri, Laporan Kerja Praktek, Jurusan Teknik Elektro - Fakultas Teknik UISU, Medan. [5] Sam Sum Ting, Dr; 2016, Biomass Utilization : Challenges and Future Outlook, Kuliah Umum – Jurusan Teknik
Kimia – Institut Teknologi Medan. [6] Sri Rahayu Ade, dkk., 2015, Buku Panduan Konversi Pome Menjadi Biogas – Pengembangan Proyek di
Indonesia, Winrock International. [7] Syukry Othman, 2016, Overview of Palm Kernel Shell, Selesa Kreatif Resources, Kuliah Umum – Jurusan Teknik
Kimia – Institut Teknologi Medan. [8] Tri Watiningsih, dkk, 2014, Pembangkit Tenaga Listrik, Cetakan Pertama, Graha Ilmu, Yogyakarta. [9] ................., 2014, Data – data Instalasi Pabrik Unit Usaha Dolok Sinumbah, PT. Perekebunan Nusantara –IV
(Persero), Medan.
187
Lampiran 5
Unjuk Kerja Sistem Pembangkit Listrik Menggunakan
Biogas Limbah Cair Pada Pabrik Kelapa Sawit
Performance of the Power Plant System Using Biogas Liquid Waste at the Palm Oil Mill
Husin Ibrahim1)*, Darianto2), Dicky Dwi Cahya2)
1) Teknik Mesin, Politeknik Negeri Medan, Indonesia
2) Teknik Mesin, Universitas Medan Area, Indonesia
Abstrak
Pada umumnya, peralatan PLTBS di PT. Ukindo telah dirancang dengan menggunakan peralatan khusus untuk
memproduksi listrik, seperti: engine gas dan generator. Perusahaan ini merupakan salah satu pabrik kelapa
sawit (PKS) yang dapat menghasilkan energi listrik melalui teknologi energi terbarukan. Bahan bakar yang
digunakan ialah limbah cair hasil pengolahan PKS (POME). Tujuan penelitian ini ialah analisa potensi energi listrik
yang dapat dibangkitkan oleh PLTBS dengan menggunakan bahan bakar POME pada proses pengolahan TBS di
pabrik kelapa sawit PT. Upkindo. Limbah yang keluar dari pipa masuk ke bak penampungan limbah di tiup oleh
cooling tower. Setelah suhu limbah mendingin, limbah akan dipompa oleh Raw effluet feed masuk ke Digester
Tank dan selanjutnya menghasilkan gas metana. Hasilnya ialah pada rata‐rata pengolahan diatas ton 300
TBS/tahun, hasil analisis perhitungan diperoleh daya listrik yang dapat dibangkitkan ialah 1,3 MW. Jika kemudian
jumlah TBS diolah lebih besar, maka potensi daya yang dihasilkan jika akan lebih besar, sehingga daya terpasang
juga dapat meningkat.
Kata Kunci: Limbah Cair, Biogas, Pembangkit Listrik
Abstract
In general, PLTBS equipment at PT. Ukindo has been designed using special equipment to produce electricity,
such as: gas engines and generators. This company is one of the palm oil mills (PKS) that can produce electricity
through renewable energy technology. The fuel used is liquid waste from processing of PKS (POME). The purpose of this
study is to analyze the potential of electrical energy that can be generated by the PLTBS using POME fuel in the
processing of TBS in the palm oil mill of PT. Ukindo. The waste that comes out of the pipe enters the waste storage
tank is blown by the cooling tower. After the waste temperature cools, the waste will be pumped by raw effluet feed
into the Tank Digester and then produce methane gas. The result is that on average processing above tons of 300 TBS /
year, the results of the analysis of calculations obtained by the electric power that can be generated is 1.3 MW. If then
the amount of TBS processed is greater, then the potential power produced if it will be greater, so that the installed power
can also increase.
Keywords: Liquid Waste, Biogas, Power Plant
JMEMME, Vol. 2 (2) Des (2018) p‐ISSN: 2549‐6220e‐ISSN: 2549‐6239
JOURNAL OF MECHANICAL ENGINEERING,
188
How to Cite: Ibrahim, H, 2018. Unjuk Kerja Sistem Pembangkit Listrik Menggunakan Biogas Limbah Cair Pada Pabrik
Kelapa Sawit, JMEMME, 2 (2): 78‐85
Husin Ibrahim, Unjuk Kerja Sistem Pembangkit Listrik Menggunakan Biogas
Limbah
Cair Pada Pabrik Kelapa Sawit
189
PENDAHULUAN
Permintaan energi listrik yang meningkat setiap tahunnya menjadi masalah tersendiri
disetiap negara di dunia (Ensikom, S., 2016). Begitu pula dengan Indonesia, khususnya
Sumatera Utara. Pertumbuhan beban yang tidak diikuti dengan pertambahan pusat
pembangkit tenaga listrik menyebabkan krisis energi listrik. Di sisi lain bertambahnya
kebutuhan manusia menyebabkan pertumbuhan industri juga meningkat yang diiringi
dengan meningkatnya permasalahan tentang lingkungan.
Salah satu industri yang cukup penting dalam memenuhi kebutuhan umat manusia
adalah industri pengolahan kelapa sawit. Industri pengolahan kelapa sawit tersebut
menghasilkan limbah yang berpotensi mencemari lingkungan. Secara garis besar limbah
dalam industri pengolahan kelapa sawit dapat dibagi dua yaitu limbah cair dan limbah padat.
Limbah padat terdiri dari tiga jenis yaitu tandan kosong, cangkang dan serabut. Pada
umumnya, pabrik pengolahan kelapa sawit menggunakan limbah padat serabut sebagai
bahan bakar boiler pabrik itu sendiri, sehingga yang menjadi masalah adalah cangkang
sawit dan tandan kosong sawitnya. Oleh karena itu, diperlukan solusi untuk mengatasi
masalah‐masalah yang berkaitan dengan defisit pasokan tenaga listrik serta pengolahan
limbah PKS tersebut sehingga kebutuhan umat manusia terpenuhi tetapi tetap tidak
mencemari lingkungan.
Biogas merupakan gas yang dihasilkan dari limbah cair pabrik kelapa sawit
(POME) oleh mikroorganisme dalam kondisi anaerobic (Panji, 2013). Beberapa
keuntungan dari pemanfaatan biogas adalah mengurangi efek gas rumah kaca,
mengurangi pencemaran udara, tanah, air, dan hasil samping berupa pupuk padat dan cair.
Pabrik akan melakukan kegiatan produksi biogas yang akan menghasilkan gas
metana dari limbah kelapa sawit. Proses ini terdiri dari beberapa tahapan. Tahapan utama
ialah tahapan keempat yaitu proses prombakan asam asetat, karbon dioksida, dan juga
gas hidrogen menggunakan bakteri metan, sehingga dihasilkan gas metana dan karbon
dioksida.
Biogas terbentuk secara alami ketika limbah cair kelapa sawit (POME) teruarai
pada kondisi anaerob. Tanpa pengendalian, biogas merupakan kontributor utama bagi
perubahan iklim global. Jika pengelolaan POME tidak terkendali, metana di dalam
biogas terlepas langsung ke atmosfer. Sebagai gas rumah kaca (GRK), metana
mempunyai efek 21 kali lebih besar dibandingkan dengan hidrokarbon. Pembangkit
listrik tenaga biogas mengambil manfaat dari proses penguraian alami untuk
membangkitkan listrik. Limbah cair organik yang dihasilkan selama produksi kelapa
sawit merupakan sumber energi besar yang belum banyak dimanfaatkan di Indonesia.
Mengubah POME menjadi biogas untuk dibakar dapat menghasilkan energi sekaligus
mengurangi dampak perubahan iklim dari proses produksi minyak kelapa sawit.
Pemanfaatan limbah padat dan cair dapat dikonversikan menjadi energi listrik
(Deublein, dan Steinhauster, 2008). Komponen terbesar yang terkandung dalam biogas adalah CH (55 % – 70 %) dan
4
CO (30 % – 45 %) serta sejumlah kecil,
190
2
nitrogen dan hidrogen sulfida. Apabila
JMEMME, 2 (2) (2018): 78‐85
kandungan gas metan dalam biogas lebih
dari 50%, biogas tersebut layak digunakan
sebagai bahan bakar, bersifat mudah
meledak dan terbakar. Gas metana
memiliki nilai kalor 50,1 MJ/kg. Jika
densitas methana 0,717 kg/m3, gas 1 m
3
methana akan memiliki energi setara
dengan 35,9 MJ atau sekitar 10 kWh. Jika
kandungan gas methana adalah 62% dalam
biogas, biogas 1 m3 akan memiliki tingkat
energi sebesar 6,2 kWh, dengan asumsi
efisiensi konversi biogas menjadi sifat dan
kualitas biogas sebagai bahan bakar,
seperti di tunjukan tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Biogas.
korek api sudah cukup panas untuk
menyebabkan ledakan.
Indonesia saat ini merupakan
produsen minyak kelapa sawit terbesar di
dunia , tercatat pada tahun 2011 terdapat
sekitar 608 pabrik pengolahan kelapa
sawit (Ditjen dan pemanfaatan energi,
2001). Bagian utama dari suatu fasilitas
komersial konversi POME menjadi biogas
ditunjukan pada Setiap komponen dalam
gambar 1.
No Komposisi Jumlah
Biogas
1 Methana () 55 ‐70 % 2 Karbon Dioksida 30 –
45% ()
3 Nitrogen () 0 – 0,3%
4 Hidrogen 1 – 5%
191
Sulfida (S)
(Sumber: Deublein dan Steinhauster, 2008)
Kandungan CO dalam biogas sebesar
2
25 – 50 % dapat mengurangi nilai kalor
bakar dari biogas tersebut (Iqbal, 2008). Sedangkan, kandungan H S dalam biogas 2
dapat menyebabkan korosi pada peralatan dan perpipaan dan nitrogen dalam biogas juga
dapat mengurangi nilai kalor bakar biogas tersebut. Pada lower explosion limit (LEL) 5,4
vol % metana dan upper explosion limit (UEL) 13,9 vol %. Di bawah 5,4 % tidak cukup
metana sedangkan di atas 14% terlalu sedikit oksigen untuk menyebabkan ledakan.
Temperatur yang dapat menyebabkan ledakan sekitar 650– 750 oC, yaitu berupa
percikan api atau
Gambar 1 Diagram Pembangkit Listrik Tenaga Biogas.
Sumber : Winrock Internasional 2015
Pengertian pembakaran secara umum yaitu terjadinya oksidasi cepat dari bahan
bakar disertai dengan produksi panas dan cahaya. Pembakaran sempurna bahan bakar
terjadi jika ada pasokan oksigen yang cukup. Dalam setiap bahan bakar, unsur yang
mudah terbakar adalah karbon, hidrogen, dan sulfur. Tujuan dari pembakaran yang
sempurna adalah melepaskan seluruh panas yang terdapat dalam bahan bakar. Hal ini
dilakukan dengan pengontrolan “Tiga T” (Mitzlaff, 2000), yaitu :
Husin Ibrahim, Unjuk Kerja Sistem Pembangkit Listrik Menggunakan Biogas Limbah
Cair Pada Pabrik Kelapa Sawit
192
T‐Temperatur
Temperatur yang digunakan dalam pembakaran yang baik harus cukup tinggi sehingga
dapat menyebabkan terjadinya reaksi kimia.
T‐Turbulensi
Turbulensi pada dasarnya menyebabkan efek dan terjadinya pencampuran yang baik
antara bahan bakar dan bahan oksidasi.
T‐Time (Waktu)
Waktu yang cukup agar input panas dapat terserap oleh reaktan sehingga berlangsung
proses termokimia.
Dalam proses pembakaran tidak terlepas dari tahap awal yaitu penyalaan dimana
keadaan transisi dan tidak reaktif menjadi reaktif karena dorongan eksternal yang memicu
reaksi termokimia diikuti dengan transisi yang cepat sehingga pembakaran dapat
berlangsung. Penyalaan terjadi bila panas yang dihasilkan oleh pembakaran lebih besar
dari panas yang hilang ke lingkungan. Dalam proses penyalaan ini dapat dipicu oleh
energi thermal yang merupakan transfer energi thermal ke reaktan oleh konduksi,
konveksi, radiasi atau kombinasi dari ketiga macam proses tersebut.
Pembakaran yang sempurna akan menghasilkan tingkat konsumsi bahan bakar
ekonomis dan berkurangnya besar kepekatan asap hitam gas buang karena pada
pembakaran sempurna campuran bahan bakar dan udara dapat terbakar seluruhnya dalam
waktu dan kondisi yang tepat. Kualitas bahan bakar perlu diperhatikan sesuai dengan
karakteristiknya sehingga homogenitas campuran bahan bakar dengan udara
193
terjadi secara sempurna. Sistem bio‐ digester terdiri dari proses pengolahan awal, bio‐digester,
dan kolam sedimentasi.
Dalam proses pengolahan awal, POME dikondisikan untuk mencapai nilai‐ nilai
parameter yang dibutuhkan untuk masuk ke digester. Pada tahap ini, dilakukan proses
penyaringan untuk menghilangkan partikel besar seperti kotoran atau serat. Proses
pengadukan dan netralisasi pH dilakukan untuk mencapai pH optimal pada 6,5‐7,5.
Sebuah sistem pendingin (coooing tower atau heat exchanger) berfungsi untuk
menurunkan suhu POME menjadi sekitar 40˚‐50˚C. Suhu digester harus di jaga dibawah
40˚C agar kondisi mesofilik optimal. Penurunan suhu ini juga dibantu dengan proses
resirkulasi air limbah keluaran dari digester. Air limbah setelah pengolahan awal
dipompa ke bio‐digester dalam bentuk kolam tertutup atau CSTR. Proses penguraian
POME menghasilkan biogas dan residu (slurry). Digesterharus dirancang kedap udara
dan air. Digester dapat dibuat dalam berbagai bentuk dan ukuran, dan dari berbagai
bahan. Ukuran digester ditentukan berdasarkan laju aliran POME, beban COD, dan
waktu retensi hidrolik (HRT) yang diperlukan untuk penguraian yang optimal
(Herringshaw, 2009).
Air limbah hasil proses anaerobik dari digester mengalir ke kolam sedimentasi
dimana POME yang telah terurai dipisahkan lebih lanjut dari lumpur dan padatan.
Perkebunan dapat menggunakan limbah cair dari sedimentasi sebagai pupuk. Sistem
pembuangan padatan berfungsi untuk memisahkan lumpur dan padatan yang
terakumulasi baik di dalam digester maupun di dalam kolam sedimentasi. Biogas yang
dihasilkan
JMEMME, 2 (2) (2018): 78‐85
melalui proses anaerobik terkumpul di
bawah cover (penutup) digester pada
kolam tertutup atau pada bagian atap
tangki pada sistem tangki/CSTR. Sistem
kolam tertutup mempertahankan tekanan
rendah 0‐2 mbarg (tergantung pada desain
penyedia teknologi), sementara sistem
tangki menyimpan biogas pada tekanan
yang lebih tinggi yakni 8‐30 mbarg. Pabrik
pengolahan kelapa sawit umumnya tidak
menggunakan tangki penyimpanan biogas
yang terpisah karena biayanya tinggi.
Sistem tangki memiliki kapasitas
penyimpanan biogas antara 30 menit
hingga 3 jam, sedangkan kolam tertutup
memiliki kapasitas penyimpanan 1 hingga
2 hari. Biogas yang terkumpul di dalam
digester kemudian dialirkan dan diproses
lebih lanjut ke dalam sistem pengolahan gas
atau dibakar di dalam flare. Bentuk tangki
CSTR dan kolam tertutup diperlihatkan pada
gambar 2.
194
Gambar 2. Continously Stirred Tank
Reactor(kiri) dan Kolam tertutup(kanan).
Sumber : Winrock Internasional 2015.
Gas engine termasuk mesin
pembakaran dalam yang bekerja dengan
bahan bakar gas seperti gas alam atau
biogas. Setelah kandungan pengotor pada
biogas diturunkan hingga kadar tertentu,
biogas kemudian dialirkan ke gas engine
untuk menghasilkan listrik. Bergantung
pada spesifikasi gas engine yang
digunakan, gas engine yang berbahan
bakar biogas umumnya memerlukan
biogas dengan kadar air di bawah 80% dan
konsentrasi S kurang dari 200 ppm.
Gas engine mengubah energi yang
terkandung dalam biogas menjadi energi
mekanik untuk menggerakkan generator
yang menghasilkan listrik. Biasanya gas
engine memiliki efesiensi antara 36‐42%.
Bentuk gas engine diperlihatkan pada
gambar 3.
Gambar 3 Gas Engine. Winrock
Internasional 2015
Sumber : Winrock Internasional 2015.
Biogas yang dihasilkan dari proses
penguraian anaerobik dapat menjadi bahan
bakar boiler. Burner gas biasanya
dipasang pada dinding boiler. Biogas
merupakan bahan bakar alternatif bagi
boiler untuk menghasilkan panas atau
listrik menggantikan bahan bakar
196
Husin Ibrahim, Unjuk Kerja Sistem Pembangkit Listrik Menggunakan Biogas Limbah
Cair Pada Pabrik Kelapa Sawit
1
biasa digunakan di pabrik kelapa sawit. Bentuk burner diperlihatkan pada
gambar 4.
Gambar 4 Burner Biogas.
Sumber : Winrock Internasional 2015.
Flare digunakan di industri proses atau pabrik untuk membakar kelebihan
gas. Dengan alasan keamanan, pembangkit listrik dengan biogas harus memasang
flare untuk membakar kelebihan gas, terutama pada saat biogas tidak bisa
diumpankan ke gas engine atau peralatan pembakaran lainnya. Umumnya hal ini
terjadi saat puncak panen tandan buah segar, yang menyebabkan kelebihan
produksi biogas. Bentuk unit flare diperlihatkan pada gambar 5.
Gambar 5 Flare Biogas.
Sumber : Winrock Internasional 2015.
2
Operator tidak boleh melepaskan kelebihan biogas secara langsung ke
atmosfer karena sifatnya yang mudah terbakar pada konsentrasi tinggi. Selain
itu, pelepasan biogas secara langsung juga berarti pelepasan gas rumah kaca ke
atmosfer seperti layaknya di penggunaan kolam limbah terbuka
Tujuan penelitian ini ialah analisa potensi energi listrik yang dapat
dibangkitkan oleh PLTBS dengan menggunakan bahan bakar POME pada
proses pengolahan TBS di pabrik kelapa sawit PT. Upkindo.
METODE PENELITIAN
Bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini ialah POME (limbah cair kelapa
sawit). Alat yang dipergunakan terdiri dari cooling tower, kolam penampung POME
(limbah cair kelapa sawit), Raw effluent feed tank (tangki penampungan limbah
mentah), Digester tank (gas metana), covered lagoon compart ment 1, covered lagoon
compartment 2, covered lagoon compartment 3, solid removal tank (tangki zat padat
limbah), scrubber (tangki gas clean/gas bersih s), PTU (ruangan untuk mengendalikan
gas bersih masuk ke mesin chiller/pendingin, mesin chiller, dan flare (flaring).
Limbah yang keluar dari pipa masuk ke bak penampungan limbah di tiup oleh
cooling tower agar udara panas pada limbah berkurang. Setelah suhu limbah
mendingin, limbah akan dipompa oleh Raw effluet feed masuk ke Digester Tank. Limbah
yang masuk ke Digester Tank akan menguap dan menghasilkan gas metana. Apabila
gas metana berlebih akan di alirkan ke covered lagoon compartment 1, 2 dan 3. Lalu gas
clean (bersih) akan
JMEMME, 2 (2) (2018): 78‐85
ditampung di tangki scubber, dengan temperatur gas 40‐50˚C. Gas tersebut
didinginkan oleh mesin chiller sebelum di‐ supplay ke gas engine. Kebutuhan gas
untuk pabrik berbeda‐beda setiap harinya. Jika ada gas yang berlebih, gas
tersebut akan dibakar oleh alat flaring (flare). Gas akan di alirkan ke engine gas di
saat engine gas membutuhkan bahan bahan bakar gas melalui tekanan mixer gas.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dengan analisis neraca massa didapatkan rata‐rata POME sebesar 55%
dari total TBS terolah pada PT.UKINDO, maka total produksi POME dihitung
sebagai berikut:
Kapasita olahan = 30ton/jam POME/AIR = 1000kg/jam
3
COD POME = 62.000mg/l = 0,062
kg/l = 0,35%
Nilai kalor = 8900kkal/Watt
Gas engine = 35% Jadi,
POME = 55% × kapasitas olahan
= 55% × 30
= 16,50 m3/jam Dengan asumsi densitas POME sama
dengan air, yaitu 1.000 kg/m3 maka kapasitas POME perjam adalah 16,50
m3/jam atau 16.500 liter/jam.
Dari hasil pengujian sampel didapatkan nilai COD POME sebesar 62.000
mg/l atau sama dengan 0,062 kg/l, maka kandungan COD dalam POME dapat
dihitung sebagai berikut:
COD POME = 0,062× 16.500
= 1,023 kg/jam
4
Dari perhitungan reaksi kimia, bahwa dihasilkan sebesar 0,35 untuk setiap
kg COD, maka dihasilkan adalah:
= 0,35× 1,023
= 358,05 kg
Nilai kalor ditentukan sebesar 8.900 kkal/kg, maka total kalori terbangkit
adalah:
Total Kalori = Nilai Kalor × total COD
= 8900 kkal/kg ×358.05 kg
= 3186645 kkal
Konversi dari kkal menjadi Watt thermal adalah 1,163 Watt/kkal (4,186
kj/kkal). Maka total energi dalam Watt adalah:
Energi = 3186645 kkal × 1,163 W/kkal
=3706068 W
= 3706,068 kW
Dengan asumsi efisiensi pembangkit gas engine berkisar antara 35%,
maka potensi energi listrik ialah:
Potensi listris = energi kalor ×efisiensi
=3706,068 kW × 35%
= 1297 kW
= 1,3 MW
Dengan demikian, potensi energi listrik dari konversi limbah biogas yang
dapat dibangkitkan di PKS UKINDO sebesar 1296,8759 kW atau 1,3 MW.
SIMPULAN
Pabrik kelapa sawit PT. Ukindo memiliki potensi sebagai penghasil
energi listrik terbarukan, yang diambil dari limbah cair hasil (POME) proses
pengolahan di PKS. Berdasarkan hasil
Husin Ibrahim, Unjuk Kerja Sistem Pembangkit Listrik Menggunakan Biogas
Limbah
Cair Pada Pabrik Kelapa Sawitanalisis, daya listrik
yang dapat dihasilkan dari limbah POME dengan
kapasitas 16.500 liter/jam akan diperoleh daya listrik
5
sebesar 1,3 MW. Perhitungan ini menggunakan
asumsi pada produksi TBS terendah. Jika kemudian
jumlah TBS diolah lebih besar, maka potensi daya
yang dihasilkan jika akan lebih besar, sehingga
analisis daya terpasang masih bisa meningkat lagi.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terima kasih kepada Program Studi Teknik Mesin, Universitas Medan
Area yang telah membantu dan mendukung sepenuhnya penelitian ini hingga
diperoleh hasil dan laporannya.
DAFTAR PUSTAKA
Diklat PLN (2006), Panjaitan (2013), Unjuk Kerja Generator Biogas.
Deublein dan Steinhauster (2008), konversi POME menjadi biogas.
Febijanto(2010),pengolahankandungan BOD (Biochemical Oxygen Demand) dan COD
Iasrose (2010), Clean and Effient Biomassa Cogenaration Thecnology Asean.
Khudhori (2012), Nugraha S.A (2011), genset berbahan bakar hybrid (biogas‐ bensin). Mitzlaff
(2000), Alseadi Teodorita et.al. 2008,
Engine For Biogas, GTZ Afrika.
Panji (2013), Ahamd A,L(2005), Biogas ; limbah cair pabrik kelapa sawit oleh
mikroganisme dalam kondisi aneorobik. Pulkrabek (2014), Enginering Fundamental of
The Internal Combustion..
Sidementasi.Herringshaw (2009), Sistem Biodigester dan Kolam.
Singuda Ensikom(2016), Biogas ; sumber energi listrik.
Thani (1999), dalam ini AGM (2006), chemical oksigen demand (COD), biological demand
(BOD).