langerhan cell histiocytosis

18
LANGERHAN’S CELL HISTIOCYTOSIS PENDAHULUAN Sel Langerhans adalah sel dendritik penyaji antigen yang secara normal tersebar di banyak organ, terutama di kulit. 3 Mirip fungsinya dengan Histiosit, namun histiosit berasal dari monosit yang berada di sirkulasi, yang selanjutnya akan berdiferensiasi menjadi banyak jumlahnya dan masuk ke dalam jaringan (makrofag). Histiosit normal terdapat dalam jaringan, bila dalam jaringan jumlahnya meningkat disebut histiositosis. 2 Histiositosis, keadaan yang ditandai dengan penampakan makrofag (histiosit) yang abnormal di dalam darah. Sedangkan Langerhans cell histiocytosis, kelompok gangguan yang ditandai dengan ploriferasi sel-sel langerhans. 1 Dibawah mikroskop cahaya, sel langerhans yang berploriferasi pada penyakit ini tidak mirip dengan sel dendritik normal lainnya. Sel ini malah memiliki sitoplasma yang banyak, sering bervakuola, dengan inti vesikular. Gambaran ini mirip dengan gambaran histiosit jaringan (makrofag) sehingga muncul nama histiositosis sel langerhans (Langerhans cell histiocytosis). 3 Disebut juga dengan eosinophilik granuloma atau granulomatosis dan Langerhans cell granulomatosis, penyakit ini lebih sering mengenai anak- anak daripada orang dewasa. Lesi dapat unifokal atau multifokal 1

Upload: arie-krisnayanti-ida-ayu

Post on 11-Aug-2015

402 views

Category:

Documents


13 download

TRANSCRIPT

Page 1: Langerhan Cell Histiocytosis

LANGERHAN’S CELL HISTIOCYTOSIS

PENDAHULUAN

Sel Langerhans adalah sel dendritik penyaji antigen yang secara normal tersebar di

banyak organ, terutama di kulit.3 Mirip fungsinya dengan Histiosit, namun histiosit berasal dari

monosit yang berada di sirkulasi, yang selanjutnya akan berdiferensiasi menjadi banyak

jumlahnya dan masuk ke dalam jaringan (makrofag). Histiosit normal terdapat dalam jaringan,

bila dalam jaringan jumlahnya meningkat disebut histiositosis.2

Histiositosis, keadaan yang ditandai dengan penampakan makrofag (histiosit) yang

abnormal di dalam darah. Sedangkan Langerhans cell histiocytosis, kelompok gangguan yang

ditandai dengan ploriferasi sel-sel langerhans.1 Dibawah mikroskop cahaya, sel langerhans yang

berploriferasi pada penyakit ini tidak mirip dengan sel dendritik normal lainnya. Sel ini malah

memiliki sitoplasma yang banyak, sering bervakuola, dengan inti vesikular. Gambaran ini mirip

dengan gambaran histiosit jaringan (makrofag) sehingga muncul nama histiositosis sel

langerhans (Langerhans cell histiocytosis).3

Disebut juga dengan eosinophilik granuloma atau granulomatosis dan Langerhans cell

granulomatosis, penyakit ini lebih sering mengenai anak-anak daripada orang dewasa. Lesi dapat

unifokal atau multifokal dan dapat melibatkan sumsum tulang, sistem endokrin, atau paru-paru

(yang terakhir lebih sering pada orang dewasa daripada anak-anak).1

ETIOLOGI

Penyakit ini diduga berhubungan dengan proses reaksi terhadap infeksi atau merupakan suatu

kelainan genetik yang menyebabkan kerusakan sistem imunoregulator.2 Meskipun penyebabnya

tidak jelas, banyak yang mempercayai gangguan ini timbul akibat gangguan pengaturan sistem

imun.1 Menurut Lichtman dkk bahwa proliferasi terjadi karena adanya penyimpangan reaksi

imunologi atau terjadi penyakit autoimun.2

1

Page 2: Langerhan Cell Histiocytosis

Penyebab dari histiocytosis sel Langerhans (LCH) masih belum diketahui.4

Proliferasi sel Langerhans dapat dirangsang oleh infeksi virus, cacat dalam komunikasi

antarsel (sel T- interaksi makrofag), dan/atau sitokin- proses yang dimediasi oleh tumor

necrosis factor, interleukin 11, dan faktor penghambat leukemia.4

Merokok mungkin berperan sebagai iritan kronis dalam perkembangan eosinofilik

granuloma pada paru-paru.4

EPIDEMIOLOGI

Histiositosis sel Langerhans merupakan penyakit yang jarang. Estimasi insidensi

pertahun berkisar antara 0,5-5,4 kasus per satu juta orang per tahun. Rata-rata 1200 kasus baru

per tahunnya dilaporkan di Amerika Serikat.4

Mortalitas/morbiditas4

Lebih dari setengah pasien berusia di bawah 2 tahun mengalami histiositosis sel Langerhans

diseminata dan kerusakan organ sebagai penyebab kematian dari penyakit ini, sedangkan

histiositosis sel Langerhans unifokal dan sebagian besar kasus histiositosis self-healing

kongenital, dapat membaik dengan sendirinya (self-limited). Histiositosis sel Langerhans

multifokal kronis pada sebagian besar kasus bersifal self-limited, tetapi peningkatan angka

mortalitas telah ditemukan pada neonatus dengan distres pernafasan.

Ras4

Prevalensi histiositosis sel Langerhans diperkirakan lebih tinggi pada ras kulit putih dari pada ras

lainnya.

Sex4

Insidensi histiositosis sel Langerhans lebih besar pada laki-laki dari pada perempuan, dengan

rasio 2:1.

Age4

Histiositosis sel Langerhans dapat diderita oleh pasien neonatus hingga dewasa, walaupun lebih

sering pada anak usia 0-15 tahun (dilaporkan kira-kira 4 kasus per satu juta populasi). Onset

munculnya bervariasi bergantung dari tipe histiositosis sel Langerhans.

Penyakit Letterer-Siwe terjadi lebih banyak pada anak usia di bawah 2 tahun.

2

Page 3: Langerhan Cell Histiocytosis

Bentuk multifokal kronis, termasuk di dalamnya adalah sindrome Hand Schuller-

Christian, memiliki onset puncak pada anak usia 2-10 tahun.

Granuloma eosinofilik terlokalisasi, sebagian besar terjadi pada anak usia 5-15 tahun.

PATOGENESIS

Histiositosis terjadi karena ploriferasi dan infiltrasi dari histiosit dan mengalami

akumulasi sel dalam jaringan ikat. Fungsi dari histiosit adalah fagositosis dan antigen

presentation cell (APC) yang akan membantu sel T dan sel B untuk timbulnya antibodi.

Histiositosis dapat timbul mendahului suatu kelainan hematologi antara lain leukimia atau timbul

setelah terjadi penyakit infeksi. Kelainan ini terjadi secara sistemik ke berbagai organ dan

menimbulkan berbagai gambaran klinis sehingga disebut juga sindrom histiositosis.2

Berdasarkan pemeriksaan patologis anatomi histiositosis dibagi menjadi 3 tipe yaitu:2

1. Tipe I: Langerhans cell histiocytosis(LCH) / Histiositosis X, terdiri dari 3 kelainan klinis:

a. Letterrer-Siwe

b. Hand Schuller-Christian

c. Granuloma eosinofilik

2. Tipe II: Histiositosis atau fagosit mononuklear selain sel Langerhans terdiri dari:

a. Infection Associated Histiocytosis Syndrome (IAHS)

b. Familial Enthrophagocytic Limphohistiocytosis (FEL)

c. Sinus Histiocytosis with massive lymphadenophaty

3. Tipe III: Malignant histiocytosis terdiri dari 3 bentuk:

a. Acute Monocytic Leukemi

b. Malignant Histiocytosis

c. True Histiocytosis Lymphoma

Histiositosis Tipe I

Gambaran histologis tipe I, tidak diketahui dengan pasti, tetapi digolongkan sebagai

kelainan non herediter.2 Menurut Litchman dkk ploriferasi terjadi karena penyimpangan reaksi

imunologi atau terjadi penyakit autoimun.2 Pada sindrom Leterer-Siwe, penyakit Hand-Schuller-

3

Page 4: Langerhan Cell Histiocytosis

Christian, dan granuloma eosinofilik, ketiga penyakit ini mencerminkan ekspresi yang berbeda

dari suatu kelainan mendasar yang sama. Sel langerhans yang berploriferasi bersifat positif

human leukocyte antigen DR (HLA-DR) dan mengekspresikan antigen CD1.3

Sel langerhans ini bermanifestasi sebagai salah satu dari tiga entitas klinis: histiositosis

sel Langerhans, diseminata akut, granuloma eosinofilik yang multifokal. Bentuk khas, sel ini

memiliki struktur pentalaminar, tubular, mirip batang, dengan periodisitas khas dan kadang-

kadang ujung terminal yang melebar (mirip raket tenis). Histiositosis sel langerhans unifokal dan

multifokal (granuloma eosinofilik unifokal dan multifokal), ditandai dengan akumulasi sel

langerhans yang terus membesar dan menyebabkan erosi, biasanya di dalam rongga medula

tulang. Histiosit bercampur dengan eosinofil, limfosit, sel plasma dan neutrofil.3

Histiositosis Tipe II

Pada tipe II terdiri dari infection associated hemophagocytic syndrome (IAHS)

didapatkan adanya imunosupresi, yang terjadi akibat adanya riwayat infeksi yang berat oleh

virus (sitomegalo virus, epstein-barr, rubella), bakteri (demam tifoid, bruselosis, tuberkulosis)

dan parasit. Faktor genetik familial eritrophagocytic lymphohistiocytosis (FEL) yang diturunkan

secara autosomal resesif, yang didapatkan pada suatu keluarga dimana didapatkan menderita

imunodefisiensi.2

Histiositosis Tipe III

Pada tipe III, Malignant Histiocytosis (MH) yang terdapat 3 bentuk yaitu Acute

Monocytic Leukimia, Malignant Histiocytosis dan True Histiocytosis Lymphoma. Pada tipe ini

terjadi ploriferasi patologis dari histiosit atau prekursor sel.2

DIAGNOSIS

Manifestasi Klinis

Tipe I histiositosis. Pada sel langerhans diseminata akut (penyakit Lettere-Siwe)

Gambaran klinis dominannya adalah timbulnya lesi kulit yang mirip dengan erosi seboroik,

akibat sebukan histiosit langerhans. Sebagian besar pasien juga memperlihatkan

4

Page 5: Langerhan Cell Histiocytosis

hepatosplenomegali, limfadenopati, lesi paru, dan akhirnya lesi tulang osteolitik destruktif.

Infiltrasi luas sumsum tulang sering menyebabkan anemia, trombositopenia, dan kerentanan

mengalami infeksi berulang. Sehingga gambaran klinisnya mirip dengan leukimia akut.3 Pada

Histiositosis sel langerhans unifokal lesi, biasanya mengenai sistem tulang. Lesi mungkin

asimptomatik atau menyebabkan nyeri spontan nyeri tekan dan pada sebagian kasus terjadi

fraktur patologis.3 Sedangkan pada histiositosis sel Langerhans multifokal biasanya mengenai

anak, dengan demam, erupsi dan difus, terutama di kulit kepala dan saluran telinga, serta srangan

berulang infeksi. Infiltrasi sel langerhans dapat menyebabkan limfadenopati ringan,

hepatoslenomegali.3 Kombinasi cacat kalvarium, diabetes, insipidus, dan eksoftalmos disebut

sebagai trias Hand-Schuller-Christian. Banyak pasien yang mengalami regresi spontan yang

dapat diterapi dengan kemoterapi.3

Tipe II Histiositosis atau Fagosit Mononuklear selain sel Langerhans. Terjadi karena

adanya macrophage cell thype. Gambaran klinisnya berupa demam, hepatoslenomegali,

lymphadenopati, purpura, ikterik, hipergamaglobinemi. Terdapat dua bentuk yang sering ada

yaitu FEL dan LAHS, sedangkan yang ke 3 sinus hystiocytosis with massive lymphadenopathy.

Pada FEL tidak ada manifestasi klinis pada tulang dan kulit yang menonjol. Kelainan sistem

saraf pusat dengan infiltrasi histiosit pada meningen dan hemofagostik. Pada pemeriksaan

laboratorium terdapat gangguan fungsi hati dan koagulasi, hipfibrinogenemia, hiperlipidemia,

penurunan protein lipase, hiperferitinemia, pansitopenia, pada sumsum tulang infiltrasi eosinofil

minimal terdapat riwayat yang sama.2 Pada IAHS, awalnya diketahui sebagai sindroma virus

hemofagositik hanya disebabkan oleh virus. Tapi akhir-akhir ini ditemukan IAHS yang

disebakan oleh beberapa penyebab. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan pansitopenia dan

ploriferasi histiomonositik pada sumsum tulang. Biasanya tidak terdapat riwayat penyakit

keluarga yang sama. Gejala klinis adanya demam yang tinggi, hepatosplenomegali, kegagaalan

fungsi hati dan sistem koagulasi.2 Pada sinus histiositosis didapatkan demam tinggi, leukositosis

penonjolan nodus limphatikus yang besar secra patologi anatomi hanya dilatasi pada subskapulee

dan sinus modularis akibat ploriferasi histiosit. Tidak ada Birbecks granule dan CD 1a. Selalu

didapatkan dalam bentuk jinak dan tidak mengenai sumsum tulang, kulit, hati, limfe, dan paru.2

Tipe III (MH), penyakit ini non-familial, dengan cepat dapat terjadi fatal. Ditandai

dengan demam, limfadenopati, hepatoslenomegali, infiltrasi inflamasi subkutan, pansitopenia

5

Page 6: Langerhan Cell Histiocytosis

dan pada pemeriksaan tes Coomb positif terdapat anemia hemolitik, ikterik. Gambaran nodus

limphatikus adanya infiltrasi histiosit, sel tumor dalam sel inflamasi sehingga terjadi dilatasi

subskapular dan sinus medularis.2

Studi Laboratorium

1. Uji Darah4

a. Evaluasi diagnostik mendasar yang direkomendasikan untuk histositosis sel Langerhans

termasuk menghitung CBC dengan diferensial, hitung retikulosit, test Coombs langsung

dan tidak langsung, dan level immunoglobulin.

b. Pada kasus anemia, leukopenia, atau trombositopenia, diindikasikan untuk melakukan

aspirasi sumsum tulang.

c. Studi Koagulasi dapat diindikasikan.

2. Tes fungsi hati (termasuk protein total, albumin, alanine aminotransferase, aspartate

aminotransferase, alkali fosfatase, dan gamma-glutamyltransferase): jika hasil tes fungsi hati

abnormal, biopsi hati harus dipertimbangkan untuk membedakan histiocytosis sel

Langerhans dari sirosis.4 Bila terjadi kegagalan fungsi hati, total protein < 5,5 gr%, albumin

< 2,5 gr%, peningkatan LDH, masa protrombin (prothrombin time) memanjang, dan

gangguan osmolaritas urin.2

3. Urinalisis: berat jenis urin dan osmolalitas diukur setelah tidak minum air semalam untuk

pemeriksaan diabetes insipidus.4

Imunohistokimia berguna untuk mengkonfirmasi diagnosis. Sel yang menginfiltrasi pada

LCH adalah S-100, CD1, CD4, dan HLA-DR positif.7 Namun, perbandingan CD4 dan CD8 lebih

bertujuan untuk mengetahui penurunan komplemen.2 Mikroskop elektron akan mendeteksi

adanya granula Birbeck.5 Granula Birbeck’s ditemukan dalam sel pada tipe I, sedangkan pada

tipe lainnya tidak didapatkan.2 Pada lesi yang lama dan pada beberapa sistem organ, keberadaan

granula birbeck sudah mulai berkurang.5

Diagnosis spesifiknya dengan pemeriksaan biopsi patologi anatomi. Pada tipe I

didapatkan proliferasi yang terjadi spesifik pada sistem monosit – makrofag yang dikenal dengan

sel Langerhans dengan Birbeck granule, yang dapat disertai atau tidak reaksi inflamasi. Tipe II

6

Page 7: Langerhan Cell Histiocytosis

bentuk FEL didapatkan adanya macrophage cell type, sedangkan pada bentuk IAHS didapatkan

pansitopenia dan ploriferasi histiomonositik pada sumsum tulang. Sinus Histiocytosis dengan

limfadenopati masif; nodus limpatikus yang besar, secara patologi anatominya ada dilatasi pada

subskapuler dan sinus medularis akibat ploriferasi histiosit. Pada tipe III pada nosud liphatikus

adanya infiltrasi histiosit, sel tumor dan sel inflamasi sehingga terjadi dilatasi subskapular dan

sinus medularis. Yaitu tipe I: CD 1a, CD 38. Pada tipe II: CD 9, CDw 40, CD 34 dan pada tipe

III : CD 30.2

PENATALAKSANAAN

Pengobatan terhadap langerhans cell histiocytosis masih kontroversial secra umum. Namun,

dapat diberikan kemoterapi pada pasien, bila mengalami:2

a. Pasien dengan kelainan lebih dari 3 organ, karena risiko angka kematian tinggi

b. Pasien dengan adanya kegagalan fungsi organ

c. Pasien dengan relaps dan atau sedang dalam pengobatan intensif

Terapi inisial menurut Lanzkowsky2

Langkah ke 1:

Metilprednison dosis tinggi (HDMP): 30 – 40 mg/kg/dosis IV selama tiga hari setiap 3 – 4

minggu diberikan dua kali

Langkah ke 2:

Bila tidak ada respon atau berkembang menjadi progresif, mala diberikan Vinblastin 6,0

mg/m2/minggu IV dalam 12 minggu dan prednison 1 mg/kg/hari dalam 12 minggu

Langkah ke 3:

Bila tidak ada respons dan perkembangan progresif memburuk berikan:

Vinkristin 1,5 mg/m IV pada hari pertama saja setiap minggu yang dijadwalkan bersama

Ara-C (maksimum dosis tunggal vinkristin tidak melebihi 2 mg)

7

Page 8: Langerhan Cell Histiocytosis

Prednison 40 mg/hari sampai 4 minggu pertama, 20 mg/m/hari sampai 47 minggu, dan

lakukan penghentian dengan perlahan-lahan (tappering) pada minggu ke 46 sampai 52.

Dengan pemberian kemoterapi tersebut diatas pasien mencapai remisi 60 – 65%. Bila tidak

menunjukkan respon atau kehamilan relaps maka berikan etoposid dikombinasikan dengan

vinkristin, siklofosfamid, adriamisin dan prednison, dengan dosis:2

a. Etoposid 100 – 150 mg/m2/hari dalam 2 jam melalui infus tiga hari berurutan selama 3-4

minggu paling sedikit 3 bulan tergantung respon

b. Terapi dengan vinskristin, siklofosfamid, adriamisin dan prednison dengan dosis

Vinkristin 1,5 mg/m2/iv : hari ke 8, 15, 22, 29

Siklofosfamid 400 mg/m2 iv hari ke 15, 29

Adriamisin 20 mg/m2/ hari po hari ke 1-29

Pemberian diberikan setiap 4 minggu, selama 9 kali

Dalam mengevaluasi kemoterapi ada beberapa kesulitan antara lain:

- Perbedaan manifestasi klinis dan sistem organ yang terlibat

- Kriteria diagnosis yang tidak jelas

- Jarangnya remisi spontan

Pengobatan tipe FEL dengan memberikan kemoterapi atau alternatif lain adalah transplantasi

sumsum tulang dikombinasikan dengan transfusi tukar. Sedangkan pada tipe IAHS dengan cara

mengobati infeksi yang menyertai.

Pada penatalaksaan Lanzkowsky 1995:2

a. Kortikosteroid

b. Vinblastin 6 mg/m2/ minggu iv selama 12 minggu, prednison 1 mg/kg/hari po selama 12

minggu

c. Etoposoid (100 – 150 mg/m2 iv 2 jam melalui infus selama 3 hari berurutan setiap 3 – 4

minggu)

d. Intratekal metroteksat (IT MTX)

e. Transfusi tukar atau plasmaferesis

f. Antithymocyte globulin (ATG), matilprednison, siklosporin dan IT MTX dengan aturan

sebagai berikut :

8

Page 9: Langerhan Cell Histiocytosis

ATG 10 mg/kg/hari iv, 3 jam melalui infus/hari secara 5 hari berurutan

Metilprednisolon 2,5 mg/kg/hari selama 5 hari dan dihentikan secara tappering

Siklosporin A 3 – 5 mg/kg/hari melalui infus sampai mencapai kadar dalam darah

150 – 200 mg/ml, dapat diganti dengan pemberian oral 8 – 10 mg/kg/hari terbagi

dalam dua dosis

IT MTX diberikan 5 – 6 kali selama seminggu menurut umur:

Umur IT MXT (mg)

< 1 thn 6

1-2 thn 8

2-3 thn 10

> 3 thn 12

Untuk penyakit yang terbatas pada kulit, dapat digunakan kortikosteroid tropikal. Karena

remisi spontan sering terjadi, pengobatan paliatif cukup pantas. Mustard nitrogen topikal

(digunakan pada limfoma sel-T) efektif pada pendekatan nonspesifik. Beberapa pasien dengan

lesi superfisial memberikan respon terhadap PUVA (Psoralen plus ultraviolet A).5

PENUTUP

Histiositosis, keadaan yang ditandai dengan penampakan makrofag (histiosit) dalam

jaringan yang abnormal. Histiosit yang berasal dari monosit yang berada di sirkulasi,

berdiferensiasi menjadi banyak jumlahnya dan masuk ke dalam jaringan (makrofag).

Histiositosis sel Langerhans ini adalah sekelompok kelainan idiopatik ditandai dengan

perkembangan khusus, dari turunan sumsum tulang berupa sel Langerhans dan eosinofil dewasa.

Etiologinya tidak diketahui dengan pasti, tetapi digolongkan sebagai kelainan non herediter dan

banyak yang mempercayai gangguan ini timbul akibat gangguan pengaturan sistem imun.

Diagnosa penyakit ini dapat dilakukan dengan melakukan anamnesis, melihat manifestasi klinis,

9

Page 10: Langerhan Cell Histiocytosis

dan melalui beberapa pemeriksaan penunjang.Pada histiositosis sel langerhans diseminata akut

(penyakit Lettere-Siwe), biasanya muncul sebelum usia 2 tahun, walaupun terkadang muncul

juga pada orang dewasa.Prognosis penyakit ini, bila tidak diobati dengan cepat dapat

menyebabkan kematian. Dengan kemoterapi intensif, 50% pasien dapat bertahan hidup selama 5

tahun.

10

Page 11: Langerhan Cell Histiocytosis

DAFTAR PUSTAKA

Dorland, W.A. Newman. Kamus Kedokteran Dorland, Edisi 31. Jakarta: EGC; 2010

Permono, Bambang H, dkk. Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak, Cetakan Ketiga. Jakarta:

Badan Penerbit IDAI; 2010

Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku Ajar Patologi, 7th ed. Jakarta: EGC; 2007

Shea Christopher R. Langerhans cell histiocytosis. Emedecine. Augustus 26 2009. [cited 2012

Mei 10]. Available from: URL: http://emedicine.medscape.com/article/1100579-

overview #showall

Odom R, James W, Berger T. Andrews’ diseases of the skin clinical dermatology. 9 th ed.

Philadelphia :WB Saunders Company; 2000.

11

Page 12: Langerhan Cell Histiocytosis

TINJAU PUSTAKA

LANGERHAN’S CELL HISTIOCYTOSIS

Disusun Oleh

IDA AYU ARIE KRISNAYANTI

H1A010038

Fakultas Kedokteran Universitas Mataram

Nusa Tenggara Barat

2012

12