langerhan cell histiocytosis
TRANSCRIPT
LANGERHAN’S CELL HISTIOCYTOSIS
PENDAHULUAN
Sel Langerhans adalah sel dendritik penyaji antigen yang secara normal tersebar di
banyak organ, terutama di kulit.3 Mirip fungsinya dengan Histiosit, namun histiosit berasal dari
monosit yang berada di sirkulasi, yang selanjutnya akan berdiferensiasi menjadi banyak
jumlahnya dan masuk ke dalam jaringan (makrofag). Histiosit normal terdapat dalam jaringan,
bila dalam jaringan jumlahnya meningkat disebut histiositosis.2
Histiositosis, keadaan yang ditandai dengan penampakan makrofag (histiosit) yang
abnormal di dalam darah. Sedangkan Langerhans cell histiocytosis, kelompok gangguan yang
ditandai dengan ploriferasi sel-sel langerhans.1 Dibawah mikroskop cahaya, sel langerhans yang
berploriferasi pada penyakit ini tidak mirip dengan sel dendritik normal lainnya. Sel ini malah
memiliki sitoplasma yang banyak, sering bervakuola, dengan inti vesikular. Gambaran ini mirip
dengan gambaran histiosit jaringan (makrofag) sehingga muncul nama histiositosis sel
langerhans (Langerhans cell histiocytosis).3
Disebut juga dengan eosinophilik granuloma atau granulomatosis dan Langerhans cell
granulomatosis, penyakit ini lebih sering mengenai anak-anak daripada orang dewasa. Lesi dapat
unifokal atau multifokal dan dapat melibatkan sumsum tulang, sistem endokrin, atau paru-paru
(yang terakhir lebih sering pada orang dewasa daripada anak-anak).1
ETIOLOGI
Penyakit ini diduga berhubungan dengan proses reaksi terhadap infeksi atau merupakan suatu
kelainan genetik yang menyebabkan kerusakan sistem imunoregulator.2 Meskipun penyebabnya
tidak jelas, banyak yang mempercayai gangguan ini timbul akibat gangguan pengaturan sistem
imun.1 Menurut Lichtman dkk bahwa proliferasi terjadi karena adanya penyimpangan reaksi
imunologi atau terjadi penyakit autoimun.2
1
Penyebab dari histiocytosis sel Langerhans (LCH) masih belum diketahui.4
Proliferasi sel Langerhans dapat dirangsang oleh infeksi virus, cacat dalam komunikasi
antarsel (sel T- interaksi makrofag), dan/atau sitokin- proses yang dimediasi oleh tumor
necrosis factor, interleukin 11, dan faktor penghambat leukemia.4
Merokok mungkin berperan sebagai iritan kronis dalam perkembangan eosinofilik
granuloma pada paru-paru.4
EPIDEMIOLOGI
Histiositosis sel Langerhans merupakan penyakit yang jarang. Estimasi insidensi
pertahun berkisar antara 0,5-5,4 kasus per satu juta orang per tahun. Rata-rata 1200 kasus baru
per tahunnya dilaporkan di Amerika Serikat.4
Mortalitas/morbiditas4
Lebih dari setengah pasien berusia di bawah 2 tahun mengalami histiositosis sel Langerhans
diseminata dan kerusakan organ sebagai penyebab kematian dari penyakit ini, sedangkan
histiositosis sel Langerhans unifokal dan sebagian besar kasus histiositosis self-healing
kongenital, dapat membaik dengan sendirinya (self-limited). Histiositosis sel Langerhans
multifokal kronis pada sebagian besar kasus bersifal self-limited, tetapi peningkatan angka
mortalitas telah ditemukan pada neonatus dengan distres pernafasan.
Ras4
Prevalensi histiositosis sel Langerhans diperkirakan lebih tinggi pada ras kulit putih dari pada ras
lainnya.
Sex4
Insidensi histiositosis sel Langerhans lebih besar pada laki-laki dari pada perempuan, dengan
rasio 2:1.
Age4
Histiositosis sel Langerhans dapat diderita oleh pasien neonatus hingga dewasa, walaupun lebih
sering pada anak usia 0-15 tahun (dilaporkan kira-kira 4 kasus per satu juta populasi). Onset
munculnya bervariasi bergantung dari tipe histiositosis sel Langerhans.
Penyakit Letterer-Siwe terjadi lebih banyak pada anak usia di bawah 2 tahun.
2
Bentuk multifokal kronis, termasuk di dalamnya adalah sindrome Hand Schuller-
Christian, memiliki onset puncak pada anak usia 2-10 tahun.
Granuloma eosinofilik terlokalisasi, sebagian besar terjadi pada anak usia 5-15 tahun.
PATOGENESIS
Histiositosis terjadi karena ploriferasi dan infiltrasi dari histiosit dan mengalami
akumulasi sel dalam jaringan ikat. Fungsi dari histiosit adalah fagositosis dan antigen
presentation cell (APC) yang akan membantu sel T dan sel B untuk timbulnya antibodi.
Histiositosis dapat timbul mendahului suatu kelainan hematologi antara lain leukimia atau timbul
setelah terjadi penyakit infeksi. Kelainan ini terjadi secara sistemik ke berbagai organ dan
menimbulkan berbagai gambaran klinis sehingga disebut juga sindrom histiositosis.2
Berdasarkan pemeriksaan patologis anatomi histiositosis dibagi menjadi 3 tipe yaitu:2
1. Tipe I: Langerhans cell histiocytosis(LCH) / Histiositosis X, terdiri dari 3 kelainan klinis:
a. Letterrer-Siwe
b. Hand Schuller-Christian
c. Granuloma eosinofilik
2. Tipe II: Histiositosis atau fagosit mononuklear selain sel Langerhans terdiri dari:
a. Infection Associated Histiocytosis Syndrome (IAHS)
b. Familial Enthrophagocytic Limphohistiocytosis (FEL)
c. Sinus Histiocytosis with massive lymphadenophaty
3. Tipe III: Malignant histiocytosis terdiri dari 3 bentuk:
a. Acute Monocytic Leukemi
b. Malignant Histiocytosis
c. True Histiocytosis Lymphoma
Histiositosis Tipe I
Gambaran histologis tipe I, tidak diketahui dengan pasti, tetapi digolongkan sebagai
kelainan non herediter.2 Menurut Litchman dkk ploriferasi terjadi karena penyimpangan reaksi
imunologi atau terjadi penyakit autoimun.2 Pada sindrom Leterer-Siwe, penyakit Hand-Schuller-
3
Christian, dan granuloma eosinofilik, ketiga penyakit ini mencerminkan ekspresi yang berbeda
dari suatu kelainan mendasar yang sama. Sel langerhans yang berploriferasi bersifat positif
human leukocyte antigen DR (HLA-DR) dan mengekspresikan antigen CD1.3
Sel langerhans ini bermanifestasi sebagai salah satu dari tiga entitas klinis: histiositosis
sel Langerhans, diseminata akut, granuloma eosinofilik yang multifokal. Bentuk khas, sel ini
memiliki struktur pentalaminar, tubular, mirip batang, dengan periodisitas khas dan kadang-
kadang ujung terminal yang melebar (mirip raket tenis). Histiositosis sel langerhans unifokal dan
multifokal (granuloma eosinofilik unifokal dan multifokal), ditandai dengan akumulasi sel
langerhans yang terus membesar dan menyebabkan erosi, biasanya di dalam rongga medula
tulang. Histiosit bercampur dengan eosinofil, limfosit, sel plasma dan neutrofil.3
Histiositosis Tipe II
Pada tipe II terdiri dari infection associated hemophagocytic syndrome (IAHS)
didapatkan adanya imunosupresi, yang terjadi akibat adanya riwayat infeksi yang berat oleh
virus (sitomegalo virus, epstein-barr, rubella), bakteri (demam tifoid, bruselosis, tuberkulosis)
dan parasit. Faktor genetik familial eritrophagocytic lymphohistiocytosis (FEL) yang diturunkan
secara autosomal resesif, yang didapatkan pada suatu keluarga dimana didapatkan menderita
imunodefisiensi.2
Histiositosis Tipe III
Pada tipe III, Malignant Histiocytosis (MH) yang terdapat 3 bentuk yaitu Acute
Monocytic Leukimia, Malignant Histiocytosis dan True Histiocytosis Lymphoma. Pada tipe ini
terjadi ploriferasi patologis dari histiosit atau prekursor sel.2
DIAGNOSIS
Manifestasi Klinis
Tipe I histiositosis. Pada sel langerhans diseminata akut (penyakit Lettere-Siwe)
Gambaran klinis dominannya adalah timbulnya lesi kulit yang mirip dengan erosi seboroik,
akibat sebukan histiosit langerhans. Sebagian besar pasien juga memperlihatkan
4
hepatosplenomegali, limfadenopati, lesi paru, dan akhirnya lesi tulang osteolitik destruktif.
Infiltrasi luas sumsum tulang sering menyebabkan anemia, trombositopenia, dan kerentanan
mengalami infeksi berulang. Sehingga gambaran klinisnya mirip dengan leukimia akut.3 Pada
Histiositosis sel langerhans unifokal lesi, biasanya mengenai sistem tulang. Lesi mungkin
asimptomatik atau menyebabkan nyeri spontan nyeri tekan dan pada sebagian kasus terjadi
fraktur patologis.3 Sedangkan pada histiositosis sel Langerhans multifokal biasanya mengenai
anak, dengan demam, erupsi dan difus, terutama di kulit kepala dan saluran telinga, serta srangan
berulang infeksi. Infiltrasi sel langerhans dapat menyebabkan limfadenopati ringan,
hepatoslenomegali.3 Kombinasi cacat kalvarium, diabetes, insipidus, dan eksoftalmos disebut
sebagai trias Hand-Schuller-Christian. Banyak pasien yang mengalami regresi spontan yang
dapat diterapi dengan kemoterapi.3
Tipe II Histiositosis atau Fagosit Mononuklear selain sel Langerhans. Terjadi karena
adanya macrophage cell thype. Gambaran klinisnya berupa demam, hepatoslenomegali,
lymphadenopati, purpura, ikterik, hipergamaglobinemi. Terdapat dua bentuk yang sering ada
yaitu FEL dan LAHS, sedangkan yang ke 3 sinus hystiocytosis with massive lymphadenopathy.
Pada FEL tidak ada manifestasi klinis pada tulang dan kulit yang menonjol. Kelainan sistem
saraf pusat dengan infiltrasi histiosit pada meningen dan hemofagostik. Pada pemeriksaan
laboratorium terdapat gangguan fungsi hati dan koagulasi, hipfibrinogenemia, hiperlipidemia,
penurunan protein lipase, hiperferitinemia, pansitopenia, pada sumsum tulang infiltrasi eosinofil
minimal terdapat riwayat yang sama.2 Pada IAHS, awalnya diketahui sebagai sindroma virus
hemofagositik hanya disebabkan oleh virus. Tapi akhir-akhir ini ditemukan IAHS yang
disebakan oleh beberapa penyebab. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan pansitopenia dan
ploriferasi histiomonositik pada sumsum tulang. Biasanya tidak terdapat riwayat penyakit
keluarga yang sama. Gejala klinis adanya demam yang tinggi, hepatosplenomegali, kegagaalan
fungsi hati dan sistem koagulasi.2 Pada sinus histiositosis didapatkan demam tinggi, leukositosis
penonjolan nodus limphatikus yang besar secra patologi anatomi hanya dilatasi pada subskapulee
dan sinus modularis akibat ploriferasi histiosit. Tidak ada Birbecks granule dan CD 1a. Selalu
didapatkan dalam bentuk jinak dan tidak mengenai sumsum tulang, kulit, hati, limfe, dan paru.2
Tipe III (MH), penyakit ini non-familial, dengan cepat dapat terjadi fatal. Ditandai
dengan demam, limfadenopati, hepatoslenomegali, infiltrasi inflamasi subkutan, pansitopenia
5
dan pada pemeriksaan tes Coomb positif terdapat anemia hemolitik, ikterik. Gambaran nodus
limphatikus adanya infiltrasi histiosit, sel tumor dalam sel inflamasi sehingga terjadi dilatasi
subskapular dan sinus medularis.2
Studi Laboratorium
1. Uji Darah4
a. Evaluasi diagnostik mendasar yang direkomendasikan untuk histositosis sel Langerhans
termasuk menghitung CBC dengan diferensial, hitung retikulosit, test Coombs langsung
dan tidak langsung, dan level immunoglobulin.
b. Pada kasus anemia, leukopenia, atau trombositopenia, diindikasikan untuk melakukan
aspirasi sumsum tulang.
c. Studi Koagulasi dapat diindikasikan.
2. Tes fungsi hati (termasuk protein total, albumin, alanine aminotransferase, aspartate
aminotransferase, alkali fosfatase, dan gamma-glutamyltransferase): jika hasil tes fungsi hati
abnormal, biopsi hati harus dipertimbangkan untuk membedakan histiocytosis sel
Langerhans dari sirosis.4 Bila terjadi kegagalan fungsi hati, total protein < 5,5 gr%, albumin
< 2,5 gr%, peningkatan LDH, masa protrombin (prothrombin time) memanjang, dan
gangguan osmolaritas urin.2
3. Urinalisis: berat jenis urin dan osmolalitas diukur setelah tidak minum air semalam untuk
pemeriksaan diabetes insipidus.4
Imunohistokimia berguna untuk mengkonfirmasi diagnosis. Sel yang menginfiltrasi pada
LCH adalah S-100, CD1, CD4, dan HLA-DR positif.7 Namun, perbandingan CD4 dan CD8 lebih
bertujuan untuk mengetahui penurunan komplemen.2 Mikroskop elektron akan mendeteksi
adanya granula Birbeck.5 Granula Birbeck’s ditemukan dalam sel pada tipe I, sedangkan pada
tipe lainnya tidak didapatkan.2 Pada lesi yang lama dan pada beberapa sistem organ, keberadaan
granula birbeck sudah mulai berkurang.5
Diagnosis spesifiknya dengan pemeriksaan biopsi patologi anatomi. Pada tipe I
didapatkan proliferasi yang terjadi spesifik pada sistem monosit – makrofag yang dikenal dengan
sel Langerhans dengan Birbeck granule, yang dapat disertai atau tidak reaksi inflamasi. Tipe II
6
bentuk FEL didapatkan adanya macrophage cell type, sedangkan pada bentuk IAHS didapatkan
pansitopenia dan ploriferasi histiomonositik pada sumsum tulang. Sinus Histiocytosis dengan
limfadenopati masif; nodus limpatikus yang besar, secara patologi anatominya ada dilatasi pada
subskapuler dan sinus medularis akibat ploriferasi histiosit. Pada tipe III pada nosud liphatikus
adanya infiltrasi histiosit, sel tumor dan sel inflamasi sehingga terjadi dilatasi subskapular dan
sinus medularis. Yaitu tipe I: CD 1a, CD 38. Pada tipe II: CD 9, CDw 40, CD 34 dan pada tipe
III : CD 30.2
PENATALAKSANAAN
Pengobatan terhadap langerhans cell histiocytosis masih kontroversial secra umum. Namun,
dapat diberikan kemoterapi pada pasien, bila mengalami:2
a. Pasien dengan kelainan lebih dari 3 organ, karena risiko angka kematian tinggi
b. Pasien dengan adanya kegagalan fungsi organ
c. Pasien dengan relaps dan atau sedang dalam pengobatan intensif
Terapi inisial menurut Lanzkowsky2
Langkah ke 1:
Metilprednison dosis tinggi (HDMP): 30 – 40 mg/kg/dosis IV selama tiga hari setiap 3 – 4
minggu diberikan dua kali
Langkah ke 2:
Bila tidak ada respon atau berkembang menjadi progresif, mala diberikan Vinblastin 6,0
mg/m2/minggu IV dalam 12 minggu dan prednison 1 mg/kg/hari dalam 12 minggu
Langkah ke 3:
Bila tidak ada respons dan perkembangan progresif memburuk berikan:
Vinkristin 1,5 mg/m IV pada hari pertama saja setiap minggu yang dijadwalkan bersama
Ara-C (maksimum dosis tunggal vinkristin tidak melebihi 2 mg)
7
Prednison 40 mg/hari sampai 4 minggu pertama, 20 mg/m/hari sampai 47 minggu, dan
lakukan penghentian dengan perlahan-lahan (tappering) pada minggu ke 46 sampai 52.
Dengan pemberian kemoterapi tersebut diatas pasien mencapai remisi 60 – 65%. Bila tidak
menunjukkan respon atau kehamilan relaps maka berikan etoposid dikombinasikan dengan
vinkristin, siklofosfamid, adriamisin dan prednison, dengan dosis:2
a. Etoposid 100 – 150 mg/m2/hari dalam 2 jam melalui infus tiga hari berurutan selama 3-4
minggu paling sedikit 3 bulan tergantung respon
b. Terapi dengan vinskristin, siklofosfamid, adriamisin dan prednison dengan dosis
Vinkristin 1,5 mg/m2/iv : hari ke 8, 15, 22, 29
Siklofosfamid 400 mg/m2 iv hari ke 15, 29
Adriamisin 20 mg/m2/ hari po hari ke 1-29
Pemberian diberikan setiap 4 minggu, selama 9 kali
Dalam mengevaluasi kemoterapi ada beberapa kesulitan antara lain:
- Perbedaan manifestasi klinis dan sistem organ yang terlibat
- Kriteria diagnosis yang tidak jelas
- Jarangnya remisi spontan
Pengobatan tipe FEL dengan memberikan kemoterapi atau alternatif lain adalah transplantasi
sumsum tulang dikombinasikan dengan transfusi tukar. Sedangkan pada tipe IAHS dengan cara
mengobati infeksi yang menyertai.
Pada penatalaksaan Lanzkowsky 1995:2
a. Kortikosteroid
b. Vinblastin 6 mg/m2/ minggu iv selama 12 minggu, prednison 1 mg/kg/hari po selama 12
minggu
c. Etoposoid (100 – 150 mg/m2 iv 2 jam melalui infus selama 3 hari berurutan setiap 3 – 4
minggu)
d. Intratekal metroteksat (IT MTX)
e. Transfusi tukar atau plasmaferesis
f. Antithymocyte globulin (ATG), matilprednison, siklosporin dan IT MTX dengan aturan
sebagai berikut :
8
ATG 10 mg/kg/hari iv, 3 jam melalui infus/hari secara 5 hari berurutan
Metilprednisolon 2,5 mg/kg/hari selama 5 hari dan dihentikan secara tappering
Siklosporin A 3 – 5 mg/kg/hari melalui infus sampai mencapai kadar dalam darah
150 – 200 mg/ml, dapat diganti dengan pemberian oral 8 – 10 mg/kg/hari terbagi
dalam dua dosis
IT MTX diberikan 5 – 6 kali selama seminggu menurut umur:
Umur IT MXT (mg)
< 1 thn 6
1-2 thn 8
2-3 thn 10
> 3 thn 12
Untuk penyakit yang terbatas pada kulit, dapat digunakan kortikosteroid tropikal. Karena
remisi spontan sering terjadi, pengobatan paliatif cukup pantas. Mustard nitrogen topikal
(digunakan pada limfoma sel-T) efektif pada pendekatan nonspesifik. Beberapa pasien dengan
lesi superfisial memberikan respon terhadap PUVA (Psoralen plus ultraviolet A).5
PENUTUP
Histiositosis, keadaan yang ditandai dengan penampakan makrofag (histiosit) dalam
jaringan yang abnormal. Histiosit yang berasal dari monosit yang berada di sirkulasi,
berdiferensiasi menjadi banyak jumlahnya dan masuk ke dalam jaringan (makrofag).
Histiositosis sel Langerhans ini adalah sekelompok kelainan idiopatik ditandai dengan
perkembangan khusus, dari turunan sumsum tulang berupa sel Langerhans dan eosinofil dewasa.
Etiologinya tidak diketahui dengan pasti, tetapi digolongkan sebagai kelainan non herediter dan
banyak yang mempercayai gangguan ini timbul akibat gangguan pengaturan sistem imun.
Diagnosa penyakit ini dapat dilakukan dengan melakukan anamnesis, melihat manifestasi klinis,
9
dan melalui beberapa pemeriksaan penunjang.Pada histiositosis sel langerhans diseminata akut
(penyakit Lettere-Siwe), biasanya muncul sebelum usia 2 tahun, walaupun terkadang muncul
juga pada orang dewasa.Prognosis penyakit ini, bila tidak diobati dengan cepat dapat
menyebabkan kematian. Dengan kemoterapi intensif, 50% pasien dapat bertahan hidup selama 5
tahun.
10
DAFTAR PUSTAKA
Dorland, W.A. Newman. Kamus Kedokteran Dorland, Edisi 31. Jakarta: EGC; 2010
Permono, Bambang H, dkk. Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak, Cetakan Ketiga. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI; 2010
Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku Ajar Patologi, 7th ed. Jakarta: EGC; 2007
Shea Christopher R. Langerhans cell histiocytosis. Emedecine. Augustus 26 2009. [cited 2012
Mei 10]. Available from: URL: http://emedicine.medscape.com/article/1100579-
overview #showall
Odom R, James W, Berger T. Andrews’ diseases of the skin clinical dermatology. 9 th ed.
Philadelphia :WB Saunders Company; 2000.
11
TINJAU PUSTAKA
LANGERHAN’S CELL HISTIOCYTOSIS
Disusun Oleh
IDA AYU ARIE KRISNAYANTI
H1A010038
Fakultas Kedokteran Universitas Mataram
Nusa Tenggara Barat
2012
12