lapkas anastesi
DESCRIPTION
bbbTRANSCRIPT
BAB II
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. N. K.
Umur : 42 th
JenisKelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Kp. Sukapura 04/01 Cilincing – Jakut
Agama : Islam
Status : Menikah
Nomor RM : 21.08.20
Masuk RS : 3 Agustus 2015 am 21.40 WIB
ANAMNESIS (Auto dan Alloanamnesis) tanggal 8/8/2015
KU : perdarahan pervaginam sejak 1 hari sebelum masuk RS.
RPS : Pasien datang ke RSIJ Sukapura dengan keluhan perdarahan pervaginam
sejak 1 hari sebelum masuk RS. Perdarahan awalnya sedikit, namun makin lama makin
banyak, berwarna merah kehitaman dan sedikit bergumpal gumpal, disertai nyeri perut
bagian bawah. Pasien mengaku sedang tidak hamil dengan test pack negatif. Mual (-),
muntah (-), sakit kepala (-), pandangan berkunang-kunang (+), lemas (+), jantung berdebar
debar (-), keringat dingin (-), demam (-)
R Peny. Dahulu : Pasien pernah berobat selama + 3 tahun di Malaysia dengan diagnosis
mioma dan anemia. Riwayat hipertensi (-), Riwayat jantung (-), Riwayat
asma (-), riawayat DM (-), riwayat epilepsi (-), Riwayat operasi (-), dan
riwayat keguguran (+) dan dikuret 1x
R Keluarga : Tidak ada anggota keluarga yang mengalami riwayat keguguran,
Hipertensi, DM dan jantung disangkal
R. Pengobatan : Os mengkonsumsi obat obatan yang berhubungan dengan penyakitnya.
1
R. Alergi : Os menyangkal memiliki alergi seperti obat -, makanan -, zat tertentu –
R. Psikososial : Os tidak merokok -, Konsumsi alkohol -
Riwayat Obstetri
P2A0
1. ♂ , 3300 gr, spontan normal di bidan, aterm, sehat, 8 tahun
2. ♂, 3200 gr, spontan normal di bidan, aterm, sehat, 5 tahun
KB : Pil KB selama 5 tahun.
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
TTV : TD : 162/82 mmHg
HR : 103x/menit
RR : 22x/menit
S : 36,80
Antropometri : BB : 50 kg
TB : 158 cm
Kepala : Normocephal
Mata : konjungtiva anemis (-/-),sclera ikterus (-/-), sianosis (-)
ODS : reflex cahaya+/+
Mulut : Gigi geligi dbn, gigi palsu -
Leher : bruit (-) pembesaran KGB (-)
Thorax :
Inspeksi : bentuk dada normochest, simetris kiri=kanan, ikut gerak napas
2
Palpasi : MT (-), NT (-), focal fremitus kiri=kanan
Perkusi : sonor kiri=kanan, BPH ICS VI dextra anterior
Auskultasi : vesikuler (+/+), Rh -/-, Wh-/-
Jantung :
Inspeksi : IC tidak tampak
Palpasi : Ictus Cordis teraba di ICS V linea midclavicularis sinistra
Perkusi : Batas kanan jantung di linea para sternal dextra
Batas kiri jantung di interkostalis 5 midclavicularis sinistra
Auskultasi : S1/S2 murni, regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : Cembung
Auskultasi : peristaltik (-)
Palpasi : NT (+) kuadran hipogastrium, massa benjolan + 10x6x6 cm, keras,
mobile, nyeri, permukaan rata, hepar/lien tidak teraba
Perkusi : timpani (-), ballottement (-)
Extremitas :
Atas : akral hangat +/+, sianosis -/-, edema -/-, RCT <2 dtk +/+
Bawah : akral hangat +/+, sianosis -/-, edema -/-, RCT <2 dtk +/+
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan Satuan
HEMATOLOGI RUTIN
Hb 9 11,7-15,5 g/dL
3
leukosit 10.300 3,60-11,00 10 F3 /µl
Ht 27 35-47 %
trombosit 301.000 150-440 10 F3 /µL
Masa Perdarahan 2’00”
Masa Pembekuan 4’00”
Test pack : (-)
Hasil USG : Mioma uteri
RESUME
Perempuan 42 tahun datang dengan keluhan : perdarahan pervaginam sejak 1 hari sebelum
masuk RS. Perdarahan awalnya sedikit yang makin lama semakin banyak, berwarna merah
kehitaman dan sedikit bergumpal gumpal, disertai nyeri perut bagian bawah. Pasien mengaku
pandangan berkunang-kunang, lemas. Pasien mengaku sedang tidak hamil dengan test pack
negatif, namun belum pernah di USG sebelumnya
Pemeriksaan fisik:
TD : 162/82 mmHg
HR : 103x/menit
RR : 22x/menit
Pemeriksaan Penunjang :
Test pack : (-)
Hasil USG : Mioma uteri
Diagnosis : 1. Mioma uteri
2. Anemia
4
LAPORAN STATUS ANASTESIA
Nama :Ny.N.K.
Umur : 42 tahun
Ruangan : ADW
Anastesiologis : Dr. Nazaruddin, Sp.An.
Operator : Dr. Riady, Sp. OG
Jenis Operasi : Histerektomi total
Jenis Anastesi : Regional Anasthesia
Respirasi : Kendali, O2 nasal : 2 lt/ mnt
Anastesia dengan : Bupivacaine
Tekhnik Anastesia : Spinal Anasthesia
a) Diagnosis pra-bedah : Mioma uteri
b) Diagnosis post-bedah : Mioma uteri
c) Jenis pembedahan : Histerektomi Total
Preoperatif :
TD: 140/70 mmHg; HR: 90x/menit; RR : 20x/menit; T : 36,50C
TB : 158 cm; BB : 50 kg
HB : 11,2; HT : 33,6
Riwayat asma (-)
Riwayat jantung ( -)
Riwayat DM (-)
Riwayat alergi obat2an (-)
Riwayat operasi (-)
5
Riwayat kuretase 1x
Premedikasi :
Tidak Terdapat gigi palsu
ASA : II (Terdapat penyakit sistemik ringan/sedang)
Persiapan Operasi :
Dipuasakan 6-8 jam sebelum op. :
Intake oral terakhir : 00.30 WIB tgl 7 Agustus 2015
Saat di ruang persiapan, pasien di infus dg Rl.
Lalu pasien masuk ruang op jam 09.00 WIB
Dilakukan pemasangan pengukur saturasi 02, manset utk mengukur TD
Catatan Anasthesia :
Jenis Anestesi : Regional Anesthesia
Teknik Anestesi : Spinal Anasthesia
Pelaksanaan :
Pasien diinduksi pd jam 09.00
Dg obat :
o Bupivacaine 20 mg
Monitoring :
o TTV :
o TD : 140/85 mmHg, Nadi : 92 x/menit, RR : 20x/menit kendali, SpO2 99%.
Dilakukan pemsangan kanul oksigen 2 liter permenit
Monitoring TTV, SpO2
Pemberian Obat-obatan :
Pukul 09.10:
o Fenthanyl 0,25 mg
o Pethidin 25 mg
o Midazolam 5 mg
o Tramadol 100 mg
6
Pukul 09.30
o Efedrin 20 mg
o Ondansentron 4 mg
Stlh nafas pasien adekuat, lalu pasien dipindahkan ke ruang observasi.
Dilakukan monitoring Skor ALDRETE, TD, Nadi dan SpO2
Post Bedah : Didapatkan massa pada uterus diameter 10x6x6 cm, keras, permukaan licin.
Skor Aldrete
Pasien pulih sesuai skor aldrete jam 09.55
Skor Aldrete 10.
* Aktivitas 2 pasien mampu menggerakkan ke 4 ekstremitas
* Respirasi 2 pasien mampu bernapas spontan/batuk
* TD 2 20% pra anestesi
* Kesadaran 2 Sadar
* Saturasi 02 2 > 99%
Pasca anastesia :
TTV :
* TD : 124/65 mmHg
* Nadi : 72 x/menit
* RR : 20 x/menit
* T : 36.50C
Sp O2 : 99% dan tanpa O2
Jumlah Medikasi :
(1) Bupivacaine 20 mg
(2) Fentanyl 0,25 mg
(3) Midazolam 5 mg
(4) Pethidin 25 mg
(5) Ondansentron 4 mg
7
(6) Cairan : Ringer Laktat 20 tpm
BAB III
PEMBAHASAN
A. MIOMA UTERI
Mioma uteri dikenal juga dengan sebutan fibromioma, fibroid ataupun leiomioma merupakan
neoplasma jinak yang berasal dari otot uterus dan jaringan ikat yang menumpanginya. Sering
ditemukan pada wanita usia reproduksi (20-25%), dimana prevalensi mioma uteri meningkat lebih
dari 70 % dengan pemeriksaan patologi anatomi uterus, membuktikan banyak wanita yang menderita
mioma uteri asimptomatik. Walaupun jarang terjadi mioma uteri biasa berubah menjadi malignansi
(<1%). Gejala mioma uteri secara medis dan sosial cukup meningkatkan morbiditas, disini termasuk
menoragia, ketidaknyamanan daerah pelvis, dan disfungsi reproduksi. Mioma uteri terdapat pada
wanita di usia reproduktif, pengobatan yang dapat dilakukan adalah histerektomi, dimana mioma uteri
merupakan indikasi yang paling sering untuk dilakukan histerektomi di USA (1/3 dari seluruh angka
histerektomi).1
Jenis mioma uteri yang paling sering adalah jenis intramural (54%), subserosa (48%),
submukosa (6,1%) dan jenis intraligamenter (4,4%).1
1. Mioma submukosa1
Berada di bawah endometrium dan menonjol ke dalam rongga uterus.
Jenis ini sering memberikan keluhan gangguan perdarahan Tumor jenis ini sering mengalami infeksi,
terutama pada mioma submukosa pedinkulata. Mioma submukosa pedinkulata adalah jenis mioma
submukosa yang mempunyai tangkai. Tumor ini dapat keluar dari rongga rahim ke vagina, dikenal
dengan nama mioma geburt atau mioma yang dilahirkan, yang mudah mengalami infeksi, ulserasi dan
infark. Pada beberapa kasus, penderita akan mengalami anemia dan sepsis karena proses di atas.
2. Mioma intramural1
Terdapat di dinding uterus di antara serabut miometrium. Karena pertumbuhan tumor,
jaringan otot sekitarnya akan terdesak dan terbentuk simpai yang mengelilingi tumor. Bila di dalam
dinding rahim dijumpai banyak mioma, maka uterus akan mempunyai bentuk yang berbenjol-benjol
dengan konsistensi yang padat. Mioma yang terletak pada dinding depan uterus, dalam
pertumbuhannya akan menekan dan mendorong kandung kemih ke atas, sehingga dapat menimbulkan
keluhan miksi.
3. Mioma subserosa1
8
Apabila mioma tumbuh keluar dinding uterus sehingga menonjol pada permukaan uterus
diliputi oleh serosa. Mioma subserosa dapat tumbuh di antara kedua lapisan ligamentum latum
menjadi mioma intraligamenter.
4. Mioma intraligamenter1
Mioma subserosa yang tumbuh menempel pada jaringan lain, misalnya ke ligamentum atau
omentum kemudian membebaskan diri dari uterus sehingga disebut wondering parasitis fibroid.
Jarang sekali ditemukan satu macam mioma saja dalam satu uterus. Mioma pada servik dapat
menonjol ke dalam satu saluran servik sehingga ostium uteri eksternum berbentuk bulan sabit.
Apabila mioma dibelah maka tampak bahwa mioma terdiri dari bekas otot polos dan jaringan ikat
yang tersusun seperti kumparan (whorie like pattern) dengan pseudokapsul yang terdiri dari jaringan
ikat longgar yang terdesak karena pertumbuhan.
Keluhan yang diakibatkan oleh mioma uteri sangat tergantung dari lokasi, arah pertumbuhan,
jenis, besar dan jumlah mioma. Hanya dijumpai pada 20-50% saja mioma uteri menimbulkan
keluhan, sedangkan sisanya tidak mengeluh apapun. Hipermenore, menometroragia adalah
merupakan gejala klasik dari mioma uteri. Mioma uteri mudah ditemukan melalui pemeriksaan
bimanual rutin uterus. Diagnosis mioma uteri menjadi jelas bila dijumpai gangguan kontur uterus oleh
satu atau lebih massa yang lebih licin, tetapi sering sulit untuk memastikan bahwa massa seperti ini
adalah bagian dari uterus. Anemia merupakan akibat paling sering dari mioma. Hal ini disebabkan
perdarahan uterus yang banyak dan habisnya cadangan zat besi. Kadang-kadang mioma menghasilkan
eritropoeitin yang pada beberapa kasus menyebabkan polisitemia.1
B. ANATOMI DALAM SPINAL ANESTESI
Kolumna vertebralis terdiri atas 33 vertebre, yaitu 7 vertebra servikalis, 12 vertebra
thorakalis, 5 vertebra lumbal, 5 vertebra sacral dan 4 vertebra coccygeus. Disatukan oleh ligamentum
vertebralis membentuk kanalis spinalis dimana medulla spinalis terdapat didalamnya. Kanalis spinalis
terisi oleh medulla spinalis dan meningen, jaringan lemak, dan pleksus venosus. Sebagian besar
vertebra memiliki corpus vertebra, 2 pedikel dan 2 lamina.2
9
Gambar 1. Anatomi vertebrae3
Untuk menjaga dan mempertahankan medulla spinalis seluruh vertebra dilapisi oleh beberapa
ligamentum. Tiga ligamentum yang akan dilalui pada prosedur spinal anestesi teknik midline adalah
ligamentuim supraspinosum, ligamentum interspinosum dan ligamentum flavum.2,3 Ligamentum
interspinosum bersifat elastis, pada L3-4, panjangnya sekitar 6 mm dan pada posisi fleksi maksimal
menjadi 12 mm. Ligamentum flavum merupakan ligamentum terkuat dan tebal, diservikal tebalnya
sekitar 1,5-3 mm, thorakal 3-6 mm, sedangkan daerah lumbal sekitar 5-6 mm. Medulla spinalis
dibungkus oleh tiga jaringan ikat yaitu durameter, arakhnoid, dan piameter yang membentuk tiga
ruangan yaitu; ruang epidural, sudural dan subarachnoid. Ruang subarakhnoid adalah ruang yang
terletak antara arakhnoid dan piameter. Ruang subarakhnoid terdiri dari trabekel, saraf spinalis, dan
cairan serebrospinal. Ruang subdural merupakan suatu ruangan yang batasnya tidak jelas, yaitu
ruangan potensial yang terletak antara dura dan membrane arakhnoid. Ruang epidural didefinisikan
sebagai ruangan potensial yang dibatasi oleh durameter dan ligamentum flavum. Medulla spinalis
secara normal hanya sampai level vertebra L1 atau L2 pada orang dewasa. Pada anak-anak medulla
spinalis berakhir pada lvel L3. Dibawah level ini elemen saraf berupa akar-akar saraf yang keluar dari
conus medularis yang sering disebut dengan cauda equine terendam dalam cairan serebrospinal.2
Gambar 2. Anatomi vertebra lumbal 43
C. ANESTESI SPINAL
10
Analgesia atau anestesia regional adalah tindakan analgesia yang dilakukan dengan cara
menyuntikkan obat anestetika local pada lokasi serat saraf yang menginervasi regio tertentu, yang
menyebabkan hambatan konduksi impuls aferen yang bersifat temporer.4 Jenis – jenis analgesia
regional adalah blok saraf, blok pleksus brakhialis, blok spinal subarachnoid, blok spinal epidural dan
blok regional intravena4
Analgesia spinal ialah pemberian obat anestetik local ke dalam ruang subaraknoid. Anestesia
spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik local ke dalam ruang subaraknoid.5
1. Indikasi5
a) Bedah ekstremitas bawah
b) Bedah panggul
c) Tindakan sekitar rectum – perineum
d) Bedah obstetric – ginekologi
e) Bedah urologi
f) Bedah abdomen bawah
2. Kontraindikasi Absolut5
a) Pasien menolak
b) Infeksi pada tempat suntikan
c) Hipovolemia berat, syok
d) Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan
e) Tekanan intracranial meninggi
f) Fasilitasi resusitasi minim
g) Kurang pengalaman/tanpa didampingi konsultan anesthesia
3. Kontraindikasi Relatif5
a) Infeksi sistemik
b) Infeksi sekitar tempat suntikan
c) Kelainan neurologis
d) Kelainan psikis
e) Bedah lama
f) Penyakit jantung
g) Hipovolemia ringan
h) Nyeri punggung kronis
4. Persiapan Analgesia Spinal5
Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada anesthesia umum.
Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan
11
anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tidak teraba tonjolan prosesus spinosus.
Selain itu perlu diperhatikan hal – hal dibawah ini :
a) Informed consent; kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anesthesia spinal.
b) Pemeriksaan fisik; tidak dijumpai kelainan fisik seperti kelainan tulang punggung.
c) Pemeriksaan laboratorium anjuran; Hemoglobin, hematokrit, protombin time, thrombin time.
5. Peralatan Analgesia Spinal5
a) Peralatan monitor; tekanan darah, nadi, oksimetri denyut dan EKG
b) Peralatan resusitasi/anesthesia umum
c) Jarum spinal; jarum spinal dengan ujung tajam (quincke-Babcock) atau jarum spinal dengan
ujung pensil (pencil point, whitecare)
Gambar 3. Jarum spinal (jarum tajam dan jarum pinsil)3
6. Teknik Analgesia Spinal5
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah posisi
yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya
diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan
menyebabkan menyebarnya obat.
a) Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus lateral. Beri bantal
kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat pasien
membungkuk maksimal agar prosesus spinosus mudah teraba. Posisi lain ialah duduk.
12
Gambar 4. Posisi pasien pada anastesi spinal (posisi duduk dan lateral dekubitus)3
b) Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua Krista iliaka dengan tulang punggung
ialah L4 atau L4-5. Tentukan tempat tusukan misalnya L2-3, L3-4, atau L4-5. Tusukan pada
L1-2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis.
c) Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
d) Beri anastetik lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3 ml.
e) Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22 G, 23 G atau 25 G dapat
langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27 G atau 29 G, dianjurkan menggunakan
penuntun jarum (introducer), yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan introduser
sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kea rah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut
mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock)
irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel
mengarah ke atas atau ke bawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat
timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resistensi menghilang, mandarin jarum spinal
dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan
(0,5 ml/ detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.
Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar
arah jarum 90° biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukkan
kateter.
13
Gambar 5. Tusukan jarum pada anestesi spinal6
f) Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid (wasir) dengan
anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa ± 6cm.
Anastetik lokal untuk Analgesia Spinal5
Berat jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada suhu 37°C ialah 1.003-1.008. Anestetik lokal
dengan berat jenis sama dengan CSS disebut isobarik. Anestetik local dengan berat jenis lebih besar
dari CSS disebut hiperbarik. Anestetik local dengan berat jenis lebih kecil dari CSS disebut hipobarik.
Anestetik lokal yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan mencampur
anestetik local dengan dekstrosa. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh
dengan mencampur dengan air injeksi.
Tabel 2. Anestesi Lokal Pada Anestesi Spinal5
Anestetik Lokal Berat Jenis Sifat Dosis
Lidokain
2% plain
5% dalam dekstrosa 7,5%
1.006
1.033
Isobaric
Hiperbarik
20 -100 mg (2-5 ml)
20 – 50 mg (1-2 ml)
Bupivakain
0,5% dalam air
0,5 % dalam dekstrosa
8,25%
1.005
1.027
Isobaric
Hiperbarik
5 - 20 mg (1-4 ml)
5 – 15 mg (1-3 ml)
14
7. Penyebaran anestetik local tergantung:5
a) Faktor utama
1) Berat jenis anestetika local (barisitas)
2) Posisi pasien (kecuali isobarik)
3) Dosis dan volum anestetik local (kecuali isobarik)
b) Faktor tambahan
1) Ketinggian suntikan
2) Kecepatan suntikan/barbotase
3) Ukuran jarum
4) Keadaan fisik pasien
5) Tekanan intraabdominal
8. Lama kerja anestetik lokal tergantung:5
a) Jenis anestetik lokal
b) Besarnya dosis
c) Ada tidaknya vasokonstriktor
d) Besarnya penyebaran anestetika lokal
9. Komplikasi tindakan5
a) Hipotensi berat
Akibat blok simpatis, terjadi ‘venous pooling’. Pada dewasa dicegah dengan
memberikan infuse cairan elektrolit 1000 ml atau koloid 500 ml sebelum tindakan.
b) Bradikardi
Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia, terjadi akibat blok sampai T-2.
c) Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali napas.
d) Trauma pembuluh darah
e) Trauma saraf
f) Mual-muntah
g) Gangguan pendengaran
h) Blok spinal tinggi, atau spinal total
10. Komplikasi pasca tindakan5
a) Nyeri tempat suntikan
b) Nyeri punggung
15
c) Nyeri kepala karena kebocoran likuor
d) Retensio urin
e) Meningitis
D. PENILAIAN PASCA ANESTESI
Pulih dari anestesi umum atau regional secara rutin dikelola di kamar pulih atau unit
perawatan pasca anestesi. Idealnya dapat bangun dari anesthesia secara bertahap, tanpa keluhan dan
mulus. Kenyataannya sering dijumpai hal – hal yang tidak menyenangkan akibat stress pasca operasi
atau pasca anesthesia yang berupa gangguan napas, gangguan kardiovaskular, gelisah, kesakitan, mual
–muntah, menggigil dan kadang – kadang perdarahan.5
Selama di unit perawatan pasca anestesi pasien dinilai tingkat pilih – sadarnya untuk criteria
pemindahan ke ruang perawatan biasa
Tabel 3. Aldrete Score
KESADARAN 2. sadar, orientasi baik
1. dapat dibangunkan
0. tidak dapat dibangunkan
WARNA KULIT 2. Merah muda, tanpa oksigen saturasi 92%
1. pucat atau kehitaman, perlu oksigen agar
saturasi 90%
0. sianosis
AKTIFITAS 2. 4 ekstremitas bergerak
1. 2 ekstremitas bergerak
0. tidak ada ekstremitas bergerak
RESPIRASI 2. dapat nafas dalam, batuk
1. Nafas dangkal, sesak nafas
0. apnoe atau obstruksi
16
KARDIOVASKULER 2. tekanan darah berubah ≤ 20%
1. berubah 20 – 30%
0. berubah ≥ 50%
Keterangan :
- 9-10 pindah dari unit perawatan pasca anestesi
- 7-8 Pindah ke ruangan
- 5-6 Pindah ke ICU
17
DISKUSI KASUS
Pada pasien ini didiagnosis mioma uteri dengan status fisik ASA II dengan anemia dan akan
dilakukan tindakan pembedahan berupa histerektomi. Pada pembedahan tersebut akan dilakukan
anestesi spinal karena memenuhi indikasi untuk dilakukannya anestesi spinal, yaitu bedah obstetri –
ginekologi dan merupakan tindakan pembedahan yang berlokasi di abdomen bawah. Pada tindakan
pembedahan tersebut juga tidak terdapat kontraindikasi dari anestesi spinal. Atas dasar tersebut maka,
anestesi spinal menjadi pilihan.
Pada kasus ini menggunakan obat bupivacaine 20 mg yang dikombinasikan dengan
midazolam 5 mg dan yang disuntikkan memakai jarum spinal no.26 pada regio L3 – L4.
Bupivacain merupakan anestesi lokal yang digunakan untuk mencegah rasa nyeri dengan
memblok konduksi sepanjang serabut saraf secara reversible. Obat menembus saraf dalam bentuk
tidak terionisasi (lipofilik), tetapi saat di dalam akson terbentuk beberapa molekul terionisasi, dan
molekul-molekul ini memblok kanal Na+, serta mencegah pembentukan potensial aksi. Bupivacaine
memiliki onset 5 – 8 menit dengan durasi sampai 150 menit. Dosis bupivacaine untuk blokade hingga
T10 adalah 8-12 mg, sedangkan hingga blockade T4 adalah 14-20 mg Bupivacaine memiliki periode
analgesia yang tetap setelah kembalinya sensasi.
Pada pasien diberikan ondansetron yang berisi untuk mencegah emesis selama durante
operasi. Ondansetron adalah antagonis reseptor serotonin 5-HT3 selektif yang ditemukan secara
perifer pada terminal saraf vagal dan sentral dalam zona pemicu kemoreseptor dari area postrema.
Ondansetron dapat mengantagonis efek emetik serotonin pada salah satu atau kedua reseptor. Onset
ondansetron < 30 menit dengan durasi 12 – 24 jam.
Pada pasien juga diberikan midazolam 5 mg sebagai obat sedatif. Midazolam dalam sistem
saraf pusat, dapat menimbulkan, antikejang, hipnotik, relaksasi otot dan mepunyai efek sedasi, efek
analgesik tidak ada, menurunkan aliran darah otak dan laju metabolisme. Dosis midazolam IV untuk
sedasi 0,5 – 5 mg (0,025 – 0,1 mg/KgBB) dengan onset 30 detik-1 menit dan durasi 15 – 80 menit.
Pemberian bupivacaine dan fenthanyl dapat membuat tekanan darah arteri menurun, oleh
karena itu pada pasien diberikan efedrin 10 mg untuk mencegah hipotensi. Efedrin merupakan
simpatomimetik nonkatekolamin yang meningkatkan curah jantung, tekanan darah dan nadi melalui
stimulasi adrenergic alfa dan beta. Dosis efedrin IV adalah 5 – 20 mg (100 – 200 mcg/kgBB) dengan
onset hampir langsung dan durasi kerja 10 – 60 menit.
18
Pada durante operasi pasien diberikan pethidin 25 mg sebagai analgetik. Operasi selesai
dalam waktu 1 jam 55 menit, pasien masuk ke ruang pulih sadar dengan tekanan darah 107/62 mmHg
dan Nadi 63 x/menit, dengan aldrete score 9 (dapat masuk ruang perawatan).
Selama operasi diberikan 3 colf infuse RL dikarenakan untuk mengganti kebutuhan cairan
karena puasa selama 8 jam dan stress operasi
Selama operasi cairan urin yang keluar berjumlah 200 ml (produksi urin normal minimal 0,5 –
1 ml/KgBB/jam.
19
REFERENSI
1. Said A. Latif dkk, Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi kedua, Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2002.
2. “Intravenous Anesthetics” didapat dari http://www.metrohealthanesthesia.com/edu.htm
3. “Intravenous anesthesic” didapat dari http://anesthesiologyinfo.com/intravenousanesthetic
4. “Hipnotika dan Sedativa” didapat dari http://www.medicastore.com
5. “Anestesi Intravena” didapat dari http://ryan-mul.blogspot.com/2009/04/anestesi
intravena.html
6. “Opioid” didapat dari http://en.wikipedia.org/wiki/Wikipedia: Opioid
7. “Anestesi Umum” didapat dari http://www.scribd.com/anestesiumum
20