lapkas dhf anak
DESCRIPTION
dhfTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit infeksi virus dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus
dengue I,II III dan IV, yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
albocpitus. Sejak tahun 1968 penyakit ini ditemukan di Surabaya dan Jakarta,
selanjutnya sering terjadi kejadian luar biasa dan meluas ke seantero wilayah
Republik Indonesia. Oleh karena itu penyakit ini menjadi masalah kesehatan
masyarakat yang awalnya banyak menyerang anak tetapi akhir-akhir ini menunjukkan
pergeseran menyerang dewasa.
Perjalanan penyakit infeksi dengue sulit diramalkan. Pasien yang pada waktu
masuk keadaan umumnya tampak baik, dalam waktu singkat dapat memburuk dan
tidak tertolong (stadium Sindrome Syok Dengue=SSD). Sampai saat ini masih sering
dijumpai penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) yang semula tidak tampak berat
secara klinis dan laboratoris, namun mendadak syok sampai meninggal dunia.
Sebaliknya banyak pula penderita DBD yang klinis maupun laboratoris nampak berat
namun ternyata selamat dan sembuh dari penyakitnya. Kenyataan di atas
membuktikan bahwa sesungguhnya masih banyak misteri di dalam imunopatogenesis
infeksi dengue yang belum terungkap, walaupun sampai saat ini tidak sedikit peneliti
yang mendalami bidang tersebut, namun hasil yang memuaskan belum terlihat secara
jelas di dalam mengungkapkan berbagai faktor yang dapat menyebabkan hal tersebut
di atas.
Angka kesakitan Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia cenderung
meningkat, mulai 0,05 insiden per 100.000 penduduk di tahun 1968 menjadi 35,19
insiden per 100.000 penduduk di tahun 1998, dan pada saat ini DBD di banyak
negara kawasan Asia Tenggara merupakan penyebab utama perawatan anak di rumah
sakit. Program pencegahan DBD yang tepat guna harus dilaksanakan secara integral
mencakup surveilans laboratory based, penyuluhan dan pendidikan pengelolaan
penderita bagi dokter dan paramedis, dan pemberantasan sarang nyamuk dengan
peran serta masyarakat.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Demam dengue (DD) merupakan sindrom benigna yang disebabkan oleh
“arthropod norne viruses” dengan ciri demam bifasik, mialgia, atau atralgia, rash,
leukopeni dan limfadenopati. Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit
demam akibat virus dengue yang berat dan sering kali fatal1.
DBD dibedakan dari DD berdasarkan adanya peningkatan permeabilitas
vaskuler dan bukan dari adanya perdarahan2. Demam berdarah dengue (DBD) adalah
penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus dengue serta memenuhi kriteria
WHO 1997 untuk DBD. DBD adalah salah satu manifestasi simptomatik dari infeksi
virus dengue4.
Infeksi virus dengue
Asimptomatik Simptomatik
Demam tidak spesifik Demam Dengue
Perdarahan (-) Perdarahan (+) Syok (-) Syok (+)
(SSD)
DD DBD
Gambar 1. Spektrum Klinis Infeksi virus dengue
2.2 Klasifikasi4
Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu:
Derajat 1 : Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah uji torniquet.
Derajat 2 : Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan perdaran lain.
Derajat 3 : Didapatkan kegagalan sirkulasi,yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi
menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut kulit dingin
dan lembab, tampak gelisah.
Gambar derajat infeksi virus dengue4
2.3 Etiologi6
Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan virus
dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) yang
sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae, dan mempunyai 4
jenis serotipe, yaitu ; DEN-1, DEN2, DEN-3, DEN-4. Infeksi salah satu serotipe akan
menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang
terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan
perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut. Seseorang yang tinggal
di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya.
Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Di
Indonesia, pengamatan virus dengue yang dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa
rumah sakit menunjukkan bahwa keempat serotipe ditemukan dan bersirkulasi
sepanjang tahun. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan
banyak yang menunjukkan manifestasi klinik yang berat.
Cara Penularan
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus dengue,
yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada manusia
melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes albopictus, Aedes
polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat juga menularkan virus ini, namun
merupakan vektor yang kurang berperan. Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung
virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia.
Kemudian virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari
(extrinsic incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada
saat gigitan berikutnya. Virus dalam tubuh nyamuk betina dapat ditularkan kepada
telurnya (transovanan transmission), namun perannya dalam penularan virus tidak
penting. Sekali virus dapat masuk dan berkembangbiak di dalam tubuh nyamuk,
nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh
manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 46 hari (intrinsic incubation period)
sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat
terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari
sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul.
Dalam perjalanan penyakit infeksi dengue, terdapat tiga fase perjalanan infeksi
dengue, yaitu :
1. Fase demam: viremia menyebabkan demam tinggi
2. Fase kritis/ perembesan plasma: onset mendadak adanya perembesan
plasma dengan derajat bervariasi pada efusi pleura dan asites
3. Fase recovery/ penyembuhan/ convalescence: perembesan plasma
mendadak berhenti disertai reabsorpsi cairan dan ekstravasasi plasma.
2.4 Patofisiologi3
Patofisiologi Demam Dengue
Walaupun demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue( DBD)
disebabkan oleh virus yang sama, tapi mekanisme patofisiologisnya yang berbeda
yang menyebabkan perbedaan klinis. Perbedaan yang utama adalah pada peristiwa
renjatan yang khas pada DBD. Renjatan itu disebabkan karena kebocoran plasma
yang diduga karena proses imunologi. Pada demam dengue hal ini tidak terjadi.
Manifestasi klinis demam dengue timbul akibat reaksi tubuh terhadap
masuknya virus. Virus akan berkembang di dalam peredaran darah dan akan
ditangkap oleh makrofag. Segera terjadi viremia selama 2 hari sebelum timbul gejala
dan berakhir setelah lima hari gejala panas mulai. Makrofag akan segera bereaksi
dengan menangkap virus dan memprosesnya sehingga makrofag menjadi
APC(Antigen Presenting Cell). Antigen yang menempel di makrofag ini akan
mengaktifasi sel T-Helper dan menarik makrofag lain untuk memfagosit lebih banyak
virus. T-helper akan mengaktifasi sel T-sitotoksik yang akan melisis makrofag yang
sudah memfagosit virus. Juga mengaktifkan sel B yang akan melepas antibodi. Ada 3
jenis antibodi yang telah dikenali yaitu antibodi netralisasi, antibodi hemaglutinasi,
antibodi fiksasi komplemen.
Proses diatas menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang merangsang
terjadinya gejala sistemik sepehrti demam, nyeri sendi, otot, malaise dan gejala
lainnya. Dapat terjadi manifetasi perdarahan karena terjadi aggregasi trombosit yang
menyebabkan trombositopenia, tetapi trombositopenia ini bersifat ringan.
Gambar 2. Respon imun infeksi virus dengue3
Pato genesis DBD 4
Sekarang ini terdapat beberapa hipotesis mengenai patogenesis dengue yang
diajukan. Namun tidak terdapat satu teori manapun yang dapat berdiri sendiri untuk
menerangkan seluruh patogenesis yang terjadi pada pasien infeksi dengue. Masih
terdapat banyak hal yang terjadi dalam tubuh manusia pada infeksi dengue yang
belum dapat sepenuhnya dipahami. Secara patofiologis, peningkatan permeabilitas
pembuluh darah secara mendadak akan menyebabkan hilangnya cairan intravaskular
sehingga mengakibatkan terjadinya peningkatan hematokrit, hipotensi dan efusi
serosa.
Beberapa teori patogenesis yang diusulkan antara lain adalah patogenesis
yang diperantarai oleh tubuh, patogenesis yang diperantarai sel, fenomena badai
sitokin, pengaruh latar belakang genetik individu, perbedaan serotipe virus, jumlah
atau kadar virus yang terdapat dalam sirkulasi selama fase akut, dan status gizi
individu yang terinfeksi.
Dua teori yang banyak dianut dalam menjelaskan patogenesis infeksi dengue
adalah hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection theory) dan
hipotesis immune enhancement.
Menurut hipotesis infeksi sekunder yang diajukan oleh Suvatte, 1977 pada
gambar diatas sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berbeda,
respon antibodi anamnestik pasien akan terpicu, menyebabkan proliferasi dan
transformasi limfosit dan menghasilkan titer tinggi IgG anti dengue. Karena
kesamaan tempat, proliferasi limfosit juga menyebabkan tingginya angka replikasi
virus dengue. Hal ini mengakibatkan terbentuknya kompleks virus-antibodi yang
selanjutnya mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a menyebabkan
peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya cairan ke
ekstravaskular. Hal ini terbukti dengan peningkatan kadar hematokrit, penurunan
natrium dan terdapatnya cairan dalam rongga serosa.
Hipotesis immune enhancement menjelaskan menyatakan secara tidak
langsung bahwa mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog mempunyai
risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD berat. Antibodi heterolog yang
telah ada akan mengenali virus lain kemudian membentuk kompleks antigen-
antibodi yang berikatan dengan Fc reseptor dari membran leukosit terutama
makrofag. Sebagai tanggapan dari proses ini, akan terjadi sekresi mediator vasoaktif
yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga
mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.
Seiring dengan berjalannya waktu hipotesis ini mengalami beberapa
modifikasi dan pembaruan untuk dapat mencakup aspek lain dari respon imun,
termasuk mengenai berbagai turunan limfosit T dan kaskade sitokin. Antibodi
terhadap virus dengue akan berikatan dengan virus, membentuk kompleks antibodi-
virus non-netralisasi yang berikatan dengan reseptor Fc pada monosit-makrofag dan
kemudian diikuti dengan infeksi yang produktif. Antigen virus selanjutnya
dipresentasikan oleh sel yang terinfeksi sebagai antigen MHC, mengakibatkan
terjadinya pematangan dan perangsangan limfosit T CD4+ dan CD8+. Salah satu
konsekuensi dari aktivasi sel limfosit T ini adalah terjadinya produksi sitokin,
terutama interferon-γ(IFN-γ) yang mengaktivasi sel-sel lain, termasuk makrofag,
sehingga mengakibatkan upregulation ekspresi reseptor Fc dan MHC. Faktor-faktor
lain seperti aktivasi komplemen, aktivasi trombosit, dan produksi sitokin yang
berpotensi bersifat sitotoksik oleh makrofag, limfosit dan sel epitel/endotel, termasuk
faktor nekrosis tumor (tumor necrosis factor / TNF-α, interleukin (IL)-1 dan IL-6, IL-
8, IL-10, juga turut membantu dan memicu eksaserbasi
kaskade peristiwa inflamasi ini.
Kaskade komplemen diaktifkan oleh kompleks virus -antibodi dan beberapa
sitokin untuk melepaskan C3a dan C5a yang juga memiliki efek langsung pada
permeabilitas pembuluh darah. Efek sinergistik dari IFN-γ,TNF-α, dan komplemen
yang teraktivasi akan memicu terjadinya kebocoran plasma dari sel endotel pada
infeksi virus dengue sekunder. Aktivasi komplemen kemungkinan terjadi karena
keparahan penyakit, bukan sebagai penyebab DBD.
Teori yang berkembang akhir-akhir ini menyatakan bahwa intensitas respon
imun terhadap virus dengue berperan penting dalam kaskade patofisiologi yang
mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma. DBD dan sindrom renjatan dengue
tampaknya berkaitan dengan tingginya kadar sitokin pro- inflamasi dalam serum
pasien. Selain itu, mediator-mediator lain yang diproduksi oleh sel-sel fagositik serta
peran dari pengimitasian antibodi juga diperkirakan terlibat dalam patofisiologi
tersebut.
Noisakran S, dkk menilai bahwa walaupun beberapa hipotesis telah diajukan,
masih terdapat beberapa faktor yang harus dipertimbangkan berperan dalam
patogenesis infeksi virus dengue. Antibodi IgM alamiah pada fase awal infeksi
dengue diperkirakan mempengaruhi perjalanan klinis penyakit. Peran trombosit
sebagai sumber infeksi primer dan/atau sebagai pembawa virus serta respon imun
bawaan terhadap trombosit yang terinfeksi virus diperkirakan juga berperan dalam
induksi terjadinya DBD.
Teori lain mengenai trombositopenia pada infeksi Dengue sekunder diajukan
oleh Rachman A. Ia menyatakan bahwa trombositopenia terjadi karena adanya reaksi
silang antara IgG anti-NS-1 dan trombosit GP IIb/IIIa. Paparan anti-NS1 terhadap
trombosit secara in vivo menyebabkan terjadinya destruksi trombosit yang ditandai
oleh peningkatan bersihan trombosit.
2.5 Manifestasi Klinis
a. Undifferentiated fever (sindrom infeksi virus)
Pada undifferentiated fever, demam sederhana yang tidak dapat dibedakan
dengan penyebab virus lain. Demam disertai kemerahan berupa makulopapular,
timbul saat demam reda. Gejala dari saluran pernapasan dan saluran cerna sering
dijumpai.
b. Demam dengue (DD)
Anamnesis: demam mendadak tinggi, disertai nyeri kepala, nyeri otot &
sendi/tulang, nyeri retro-orbital, photophobia, nyeri pada punggung, facial flushed,
lesu, tidak mau makan, konstipasi, nyeri perut, nyeri tenggorok, dan depresi umum.
Pemeriksaan fisik
Demam: 39-40°C, berakhir 5-7 hari
Pada hari sakit ke 1-3 tampak flushing pada muka (muka kemerahan), leher,
dan dada
Pada hari sakit ke 3-4 timbul ruam kulit makulopapular/rubeolliform
Mendekati akhir dari fase demam dijumpai petekie pada kaki bagian dorsal,
lengan atas, dan tangan
Convalescent rash, berupa petekie mengelilingi daerah yang pucat pada kulit
yg normal, dapat disertai rasa gatal
Manifestasi perdarahan
o Uji bendung positif dan/atau petekie
o Mimisan hebat, menstruasi yang lebih banyak,
perdarahan saluran cerna (jarang terjadi, dapat terjadi
pada DD dengan trombositopenia)
c. Demam berdarah dengue
Terdapat tiga fase dalam perjalanan penyakit, meliputi fase demam, kritis,
dan masa penyembuhan (convalescence, recovery) (Lampiran 1).
Fase demam
Anamnesis
Demam tinggi, 2-7 hari, dapat mencapai 40°C, serta terjadi kejang
demam. Dijumpai facial flush, muntah, nyeri kepala, nyeri otot dan
sendi, nyeri tenggorok dengan faring hiperemis, nyeri di bawah
lengkung iga kanan, dan nyeri perut.
Pemeriksaan fisik
o Manifestasi perdarahan
Uji bendung
positif2)merupakan(≥10manifestasipetekie/inchperdarahan
yang paling banyak pada fase demam awal.
Mudah lebam dan berdarah pada daerah tusukan untuk jalur
vena.
Petekie pada ekstremitas, ketiak, muka, palatum lunak.
Epistaksis, perdarahan gusi
Perdarahan saluran cerna
Hematuria (jarang)
Menorrhagia
o Hepatomegali teraba 2-4 cm di bawah arcus costae kanan
dan kelainan fungsi hati (transaminase) lebih sering
ditemukan pada DBD.
Berbeda dengan DD, pada DBD terdapat hemostasis yang tidak normal,
perembesan plasma (khususnya pada rongga pleura dan rongga peritoneal),
hipovolemia, dan syok, karena terjadi peningkatan permeabilitas kapiler.
Perembesan plasma yang mengakibatkan ekstravasasi cairan ke dalam
rongga pleura dan rongga peritoneal terjadi selama 24-48 jam.
Fase kritis
Fase kritis terjadi pada saat perembesan plasma yang berawal pada masa
transisi dari saat demam ke bebas demam (disebut fase time of fever
defervescence) ditandai dengan,
Peningkatan hematokrit 10%-20% di atas nilai dasar
Tanda perembesan plasma seperti efusi pleura dan asites, edema
pada dinding kandung empedu. Foto dada (dengan posisi right
lateral decubitus = RLD) dan ultrasonografi dapat mendeteksi
perembesan plasma tersebut.
Terjadi penurunan kadar albumin >0.5g/dL dari nilai dasar /
<3.5 g% yang merupakan bukti tidak langsung dari tanda
perembesan plasma.
Tanda-tanda syok: anak gelisah sampai terjadi penurunan kesadaran, sianosis, nafas cepat,
nadi teraba lembut sampai tidak teraba. Hipotensi, tekanan nadi,dengan ≤20 mmHg peningkatan tekanan diastolik. Akral dingin, capillary refill time memanjang (>3 detik).Diuresis menurun (< 1ml/kg berat badan/jam), sampai anuria.
Komplikasi berupa asidosis metabolik, hipoksia, ketidakseimbangan elektrolit, kegagalan multipel organ, dan perdarahan hebat apabila syok tidak dapat segera diatasi.
Fase penyembuhan (convalescence, recovery)
Fase penyembuhan ditandai dengan diuresis membaik dan nafsu makan kembali merupakan indikasi untuk menghentikan cairan pengganti. Gejala umum dapat ditemukan sinus bradikardia/ aritmia dan karakteristik confluent petechial rash seperti pada DD.
d. Expanded dengue syndrome
Manifestasi berat yang tidak umum terjadi meliputi organ seperti hati, ginjal, otak,dan jantung. Kelainan organ tersebut berkaitan dengan infeksi penyerta, komorbiditas, atau komplikasi dari syok yang berkepanjangan.
2.6 Diagnosis4
Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal ini
terpenuhi:
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik.
2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bendung positif;
petekie, ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa; hematemesis dan
melena.
3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml).
4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sbb:
• Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai umur
dan jenis kelamin.
• Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
• Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites,
hipoproteinemia, hiponatremia.
Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu:
Derajat 1 : Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah uji torniquet.
Derajat 2 : Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan perdaran lain.
Derajat 3 : Didapatkan kegagalan sirkulasi,yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi
menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut kulit dingin
dan lembab, tampak gelisah.
Derajat 4 : Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.
2.7 Pemeriksaan Penunjang 4,6
Laboratorium
1. Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit,
jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis
relatif disertai gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke 3).
Trombositopenia umumnya dijumpai pada hari ke 3-8 akibat depresi
sumsum tulang. Hemokonsentrasi dapat mulai dijumpai mulai hari ke 3
demam. Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan
terjadinya kelainan koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis (PT,
APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP). Pemeriksaan lain yang dapat
dikerjakan adalah albumin, SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin. Antigen NS1
dapat dideteksi pada hari ke-1 setelah demam dan akan menurun sehingga
tidak terdeteksi setelah hari sakit ke-5-6. Deteksi antigen virus ini dapat
digunakan untuk diagnosis awal menentukan adanya infeksi dengue, namun
tidak dapat membedakan penyakit DD/DBD.
2. Uji serologi IgM dan IgG anti dengue
Antibodi IgM anti dengue dapat dideteksi pada hari sakit ke-5 sakit,
mencapai puncaknya pada hari sakit ke 10-14, dan akan menurun/
menghilang pada akhir minggu keempat sakit.
Antibodi IgG anti dengue pada infeksi primer dapat terdeteksi pada
hari sakit ke-14. dan menghilang setelah 6 bulan sampai 4 tahun.
Sedangkan pada infeksi sekunder IgG anti dengue akan terdeteksi pada
hari sakit ke-2.
Rasio IgM/IgG digunakan untuk membedakan infeksi primer dari
infeksi sekunder. Apabila rasio IgM:IgG >1,2 menunjukkan infeksi
primer namun apabila IgM:IgG rasio <1,2 menunjukkan infeksi
sekunder.
Tabel 1. Interpretasi uji serologi IgM dan IgG pada infeksi dengue
Diagnosis Antibodi anti dengue Keterangan
IgM IgG
Infeksi primer positif negatif
Infeksi
sekunder
positif positif
Infeksi lampau negatif positif
Bukan dengue negatif negatif Apabila klinis mengarah ke infeksi
dengue, pada fase penyembuhan: IgM
dan IgG diulang
Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan foto dada dalam posisi right lateral decubitus dilakukan atas indikasi :
Distres pernafasan/ sesak
Dalam keadaan klinis ragu-ragu, namun perlu diingat bahwa
terdapat kelainan radiologis terjadi apabilapada perembesan
plasma telah mencapai 20%-40%
Pemantauan klinis, sebagai pedoman pemberian cairan, dan
untuk menilai edema paru karena overload pemberian cairan.
Kelainan radiologi yang dapat terjadi: dilatasi pembuluh
darah paru terutama daerah hilus kanan, hemitoraks kanan lebih
radioopak dibandingkan yang kiri, kubah diafragma kanan lebih
tinggi daripada kanan, dan efusi pleura.
Pada pemeriksaan ultrasonografi dijumpai efusi pleura,
kelainan dinding vesika felea, dan dinding buli-buli.
2.8 Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue5
Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah
terapi suportif. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat
diturunkan hingga kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan
tindakan yang paling penting dalam penangana kasus DBD. Asupan cairan pasien
harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu
dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena untuk dehidrasi
dan hemokonsentrasi secara bermakna.
1. Kasus DBD yang diperkenankan berobat jalan
Bila penderita hanya mengeluh panas, tetapi keingingan makan dan minum
masih baik. Untuk mengatasi panas tinggi yang mendadak diperkenankan
memberikan obat panas paracetamol 10 – 15 mg/kg BB setiap 3-4 jam diulang
jika simptom panas masih nyata diatas 38,5 0C. Obat panas salisilat tidak
dianjurkan karena mempunyai resiko terjadinya penyulit perdarahan dan asidosis.
Sebagian besar kasus DBD yang berobat jalan ini adalah kasus DBD yang
menunjukkan manifestasi panas hari pertama dan hari kedua tanpa menunjukkan
penyulit lainnya.
Apabila penderita DBD ini menunjukkan manifestasi penyulit hipertermi dan
konvulsi sebaiknya kasus ini dianjurkan di rawat inap.
2. Kasus DBD derajat I & II
Pada hari ke 3, 4, dan 5 panas dianjurkan rawat inap karena penderita ini
mempunyai resiko terjadinya syok. Untuk mengantisipasi kejadian syok tersebut,
penderita disarankan diinfus cairan kristaloid dengan tetesan berdasarkan tatanan
7, 5, 3.
Pada saat fase panas penderita dianjurkan banyak minum air buah atau oralit
yang biasa dipakai untuk mengatasi diare. Apabila hematokrit meningkat lebih
dari 20% dari harga normal, merupakan indikator adanya kebocoran plasma dan
ssebaiknya penderita dirawat di ruang observasi di pusat rehidrasi selama kurun
waktu 12-24 jam.
Penderita DBD yang gelisah dengan ujung ekstremitas yang teraba dingin,
nyeri perut dan produksi air kemih yang kurang sebaiknya dianjurkan rawat inap.
Penderita dengan tanda-tanda perdarahan dan hematokrit yang tinggi harus
dirawat di rumah sakit untuk segera memperoleh cairan pengganti.
Volume dan macam cairan pengganti penderita DBD sama dengan seperti
yang digunakan pada kasus diare dengan dehidrasi sedang (6-10% kekurangan
cairan) tetapi tetesan harus hati-hati. Kebutuhan cairan sebaiknya diberikan
kembali dalam waktu 203 jam pertama dan selanjutnya tetesan diatur kembali
dalam waktu 24-48 jam saat kebocoran plasma terjadi. Pemeriksaan hematokrit
ecara seri ditentukan setiap 4-6 jam dan mencatat data vital dianjurkan setiap saat
untuk menentukan atau mengatur agar memperoleh jumlah cairan pengganti yang
cuykup dan cegah pemberian transfusi berulang. Perhitungan secara kasar sebagai
berikut :
(ml/jam) = ( tetesan / menit ) x 3
Jumlah cairan yang dibutuhkan adalah volume minimal cairan pengganti yang
cukup untuk mempertahankan sirkulasi secara efektif selama periode kebocoran
(24-48 jam), pemberian cairan yang berlebihan akan menyebabkan kegagalan
faal pernafasan (efusi pleura dan asites), menumpuknya cairan dalam jaringan
paru yang berakhir dengan edema.
Jenis Cairan
(1) Kristaloid
Ringer Laktat
5% Dekstrose di dalam larutan Ringer Laktat
5% Dekstrose di dalam larutan Ringer Ashering
5% Dekstrose di dalam larutan setengah normal garam fisiologi (faali), dan
5% Dekstrose di dalam larutan normal garam fisiologi (faali)
(2) Koloidal
Plasma expander dengan berat molekul rendah (Dekstran 40)
Plasma
Kebutuhan Cairan
Tabel 1. Kebutuhan cairan untuk dehidrasi sedang
Berat waktu masuk (kg) Jumlah cairan ml/kg BB per hari
< 7 220
7 – 11 165
12 – 18 132
> 18 88
Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur dan
berat badan pasien serta derajat kehilangan plasma sesuai dengan derajat
hemokonsentrasi yang terjadi. Pada anak yang gemuk, kebutuhan cairan
disesuaikan dengan berat badan ideal anak umur yang sama. Kebutuhan cairan
rumatan dapat diperhitungkan dari tabel berikut.
Tabel 2. Kebutuhan cairan rumatan
Berat badan (kg) Jumlah cairan (ml)
10 100 per kg BB
10 – 20 1000 + 50 x kg (diatas 10 kg)
> 20 1500 + 20 x kg (diatas 20 kg)
3. Kasus DBD derajat III & IV
“Dengue Shock Syndrome” (sindrome renjatan dengue) termasuk kasus
kegawatan yang membutuhkan penanganan secara cepat dan perlu memperoleh
cairan pengganti secara cepat.
Biasanya dijumpai kelaian asam basa dan elektrolit (hiponatremi). Dalam hal
ini perlu dipikirkan kemungkinan dapat terjadi DIC. Terkumpulnya asam dalam
darah mendorong terjadinya DIC yang dapat menyebabkan terjadinya perdarahan
hebat dan renjatan yang sukar diatasi.
Penggantian secara cepat plasma yang hilang digunakan larutan gaam isotonik
(Ringer Laktat, 5% Dekstrose dalam larutan Ringer Laktat atau 5% Dekstrose
dalam larutan Ringer Asetat dan larutan normal garam faali) dengan jumlah 10-20
ml/kg/1 jam atau pada kasus yang sangat berat (derajat IV) dapat diberikan bolus
10 ml/kg (1 atau 2x).
Jika syok berlangsung terus dengan hematokrit yang tinggi, larutan koloidal
(dekstran dengan berat molekul 40.000 di dalam larutan normal garam faal atau
plasma) dapat diberikan dengan jumlah 10-20 ml/kg/jam.
Selanjutnya pemberian cairan infus dilanjutkan dengan tetesan yang diatur
sesuai dengan plasma yang hilang dan sebagai petunjuk digunakan harga
hematokrit dan tanda-tanda vital yang ditemukan selama kurun waktu 24-48 jam.
Pemasangan cetral venous pressure dan kateter urinal penting untuk
penatalaksanaan penderita DBD yang sangat berat dan sukar diatasi. Cairan
koloidal diindikasikan pada kasus dengan kebocoran plasma yang banyak sekali
yang telah memperoleh cairan kristaloid yang cukup banyak.
Pada kasus bayi, dianjurkan 5% dekstrose di dalam setengah larutan normal
garam faali (5% dekstrose ½NSS) dipakai pada awal memperbaiki keadaan
penderita dan 5% dekstrose di dalam 1/3 larutan normal garam faali boleh
diberikan pada bayi dibawah 1 tahun, jika kadar natrium dalam darah normal.
Infus dapat dihentikan bila hematokrit turun sampai 40% dengan tanda vital stabil
dan normal. Produksi urine baik merupakan indikasi sirkulasi dalam ginjal cukup
baik. Nafsu makan yang meningkat menjadi normal dan produksi urine yang
cukup merupakan tanda penyembuhan.
Pada umumnya 48 jam sesudah terjadi kebocoran atau renjatan tidak lagi
membutuhkan cairan. Reabsorbsi plasma yang telah keluar dari pembuluh darah
membutuhkan waktu 1-2 hari sesudahnya. Jika pemberian cairan berkelebihan
dapat terjadi hipervolemi, kegagalan faal jantung dan edema baru. Dalam hal ini
hematokrit yang menurun pada saat reabsorbsi jangan diintepretasikan sebagai
perdarahan dalam organ. Pada fase reabsorbsi ini tekanan nadi kuat (20 mmHg)
dan produksi urine cukup dengan tanda-tanda vital yang baik.
Koreksi Elektrolit dan Kelainan Metabolik
Pada kasus yang berat, hiponatremia dan asidosis metabolik sering dijumpai,
oleh karena itu kadar elektrolit dan gas dalam darah sebaiknya ditentukan secara
teratur terutama pada kasus dengan renjatan yang berulang. Kadar kalium dalam
serum kasus yang berat biasanya rendah, terutama kasus yang memperoleh
plasma dan darah yang cukup banyak. Kadanga-kadang terjadi hipoglemia.
Obat Penenang
Pada beberapa kasus obat penenang memang dibutuhkan terutama pada kasus
yang sangat gelisah. Obat yang hepatotoksik sebaiknya dihindarkan, chloral hidrat
oral atau rektal dianjurkan dengan dosis 12,5-50 mg/kg (tetapi jangan lebih dari 1
jam) digunakan sebagai satu macam obat hipnotik. Di RSUD Dr. Soetomo
digunakan valium 0,3 – 0,5 mg/kg/BB/1 kali (bila tidak terjadi gangguan
pernapasan) atau Largactil 1 mg/kgBB/kali.
Terapi Oksigen
Semua penderita dengan renjatan sebaiknya diberikan oksigen
Transfusi Darah
Penderita yang menunjukkan gejala perdarahan seperti hematemesis dan
melena diindikasikan untuk memperoleh transfusi darah. Darah segar sangat
berguna untuk mengganti volume masa sel darah merah agar menjadi normal.
Kelainan Ginjal
Dalam keadaan syok, harus yakin benar bahwa penggantian volume
intravaskular telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum
mencukupi 2 ml/kgBB/jam sedangkan cairan yang diberikan sudah sesuai
kebutuhan, maka selanjutnya furasemid 1 mg/kgBB dapat diberikan. Pemantauan
tetap dilakukan untuk jumlah diuresis, kadar ureum dan kreatinin. Tetapi apabila
diuresis tetap belum mencukupi, pada umumnya syok juga belum dapat dikoreksi
dengan baik, maka pemasangan CVP (central venous pressure) perlu dilakukan
untuk pedoman pemberian cairan selanjutnya.
Monitoring
Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara
teratur untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada
monitoring adalah:
Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-30 menit
atau lebih sering, sampai syok dapat teratasi.
Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sampai keadaan klinis pasien
stabil
Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis cairan,
jumlah, dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah
mencukupi.
Jumlah dan frekuensi diuresis.
Kriteria Memulangkan Pasien
Pasien dapat dipulangkan, apabila:
Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
Nafsu makan membaik
Tampak perbaikan secara klinis
Hematokrit stabil
Tiga hari setelah syok teratasi
Jumlah trombosit > 50.000/μl
Tidak dijumpai distress pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau
asidosis)
BAB III
STATUS PASIEN DAN FOLLOW UP
A. Identitas Pasien :
1. No. Rekam medik : 121820
2. Nama anak : an. FB
3. Umur : 5 tahun
4. Berat badan : 16 kg
5. Jenis kelamin : Perempuan
6. Alamat : Salo
7. Tanggal masuk : 22 September 2015
B. Anamnesis : Alloanamnesis dari ibu pasien
Keluhan utama :
Demam terus menerus sejak 6 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS)
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang dengan keluhan demam terus menerus sejak 6 hari SMRS dan
tidak menggigil. Pasien mengeluhkan nyeri ulu hati , gusi berdarah SMRS
dan bibir pecah-pecah sejak seminggu SMRS. Pasien mengalami mual dan
muntah selama seminggu ini. Muntah sebanyak 3 kali sehari, muntah berisi
cairan dan sisa makanan dan tidak ada darah. Nafsu makan pasien menurun.
BAK tidak ada keluhan dan BAB berwarna hitam. Pasien tidak mengeluhkan
nyeri perut, pasien tidak mimisan, pasien juga lemas.
Riwayat penyakit dahulu :
Pasien tidak pernah mengalami hal seperti ini.
Riwayat penyakit keluarga :
Kakak kandung pasien mengalami keluhan yang sama dan dirawat di RS
dengan diagnosis DBD.
Riwayat pengobatan :
Pasien belum pernah berobat untuk mengatasi keluhannya.
Riwayat Kelahiran:
Pasien anak kedua, lahir secara normal dan lahir langsung menangis, tidak ada
cacat. BBL 3000 gram.
Riwayat imunisasi :
Imunisasi lengkap. Imunisasi hepatitis B, BCG, DPT, Polio dan campak
Keadaan rumah dan tempat tinggal :
Tinggal di rumah permanen dan lingkungan tidak padat
Ventilasi dan pencahayaan cukup
Sumber air minum : air sumur bor
Sumber air MCK : air sumur bor
C. Pemeriksaan Fisik
Status generalis
Keadaan umum : Tampak sakit
Kesadaran : komposmentis kooperatif
Berat badan : 16 kg
Staus gizi : baik (persentil berdasarkan CDC)
Vital sign :
o Tekanan darah : mmHg
o Nadi : 84 x/menit
o Suhu : 36,5o C
o Pernapasan : 20 x/menit
D. Pemeriksaan khusus
Kepala dan leher :
Kulit dan wajah : wajah tampak sayu
Mata : konjungtiva anemis (-/-)
Sklera ikterik (-/-)
Pupil isokor, refleks cahaya (+/+), mata cekung (-)
Mulut : lidah tidak kotor, mukosa bibir lembab, sianosis (-),
gusi tidak ada perdarahan, tonsil (T1/T1) faring
hiperemis (-).
Leher : KGB tidak ada pembesaran
Thoraks :
Paru
- Inspeksi :pengembangan dinding dada simetris kiri = kanan, gerak nafas
simetris, tidak ada bagian yang tertinggal
- Palpasi : vokal fremitus normal
- Perkusi : sonor pada kedua lapangan paru
- Auskultasi : vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
- Inspeksi : ictus cordis tidakterlihat
- Palpasi : ictus cordis teraba
- Perkusi : batas jantung tidak dilakukan
- Auskultasi : bunyi jantung I-II normal, reguler, gallop (-), murmur (-).
Abdomen :
- Inspeksi : perut datar, distensi abdomen (-)
- Palpasi : supel, nyeri tekan epigastrium, hepar tidak teraba, lien tidak teraba
- Perkusi : timpani (+)
- Auskultasi : bising usus (+), meningkat.
Ekstremitas :
- Akral dingin (-/-)(-/-)
- CRT <2 detik
- Ptekie (+)
- +
+ +
E. Diagnosis : DHF grade II
F. Planing :
Medikamentosa
IVFD RL 50 tpm
Psidii syr 3 x 1½ cth
Imunos syr 1 x 1½ cth
Edukasi : perbanyak minum
G. Follow Up
Tanggal Follow up
22/09/15 S :
Demam (-), muntah (+) 1 kali, gusi berdarah (+), mimisan (-),
BAB berwarna hitam (-), nyeri kepala (-), nyeri sendi (-), lemas
(+), nafsu makan menurun (+)
O: nadi (84 x/i), pernapasan (20 x/i), suhu (36,5oC)
Hasil lab : Hb (10,8) Ht (31,5) L (8,7) T (120)
A: DHF grade II
P:
Medikamentosa
IVFD RL 50 tpm
Psidii syr 3 x 1½ cth
Imunos syr 1 x 1½ cth
Edukasi : perbanyak minum
23/09/15 S:
Demam (+), muntah (-), nyeri perut (-), gusi berdarah (-), BAB
kehitaman (+), BAB encer (+) 2x, nyeri kepala (-), nyeri sendi
(-), lemas (+), nafsu makan menurun (+)
O: TD (90/60 mmHg), Nadi (72 x/i), pernapasan (20 x/i), suhu
(36,6o C)
Hasil lab: Hb (10,1), Ht (29,6), L (14,1), T (121) anti dengue
IgG (+) dan anti dengue IgM (+).
A: DHF grade II
P : Medikamentosa
IVFD RL 50 tpm
Psidii syr 3 x 1½ cth
Imunos syr 1 x 1½ cth
Edukasi : perbanyak minum
24/09/15 S:
Demam (-), muntah (-), nyeri perut (-), gusi berdarah (-), BAB
kehitaman (+), nyeri kepala (-), nyeri sendi (-), lemas (+), nafsu
makan menurun (-)
O :
TD (90/60 mmHg), Nadi (68 x/i), pernapasan (28 x/i), suhu
(36o C)
Hasil lab: Hb (10), Ht (30,1), L (9,7), T (151)
A: DHF grade II
P : Medikamentosa
IVFD RL 50 tpm
Psidii syr 3 x 1½ cth
Imunos syr 1 x 1½ cth
Edukasi : perbanyak minum
25/09/15 S:
Demam (-), muntah (-), nyeri perut (-), gusi berdarah (-), BAB
kehitaman (-), nyeri kepala (-), nyeri sendi (-), lemas (-), nafsu
makan menurun (-)
O :
A: DHF grade II (perbaikan)
P : pasien diizinkan pulang
BAB III ANALISA KASUS
BAB IV KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Halstead SB. Dengue Fever and Dengue Hemorrhagic Fever. Dalam :
Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Textbook of
Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelpia : WB Saunders. 2004
2. Setiabudi D. Evaluation of Clinica Pattern and Pathogenesis of
Dengue Haemorrhagic Fever. Dalam Garna H, Nataprawira HMD,
Alam A, penyunting. Proceedings Book 13th National Congress of
Child Health. KONIKA XIII. Bandung, july 4-7, 2005
3. Soegijanto S. Patogenesa dan Perubahan Patofisiologi Infeksi Virus
Dengue. Ketua Team Peneliti DBD TDC. Unair Surabaya
http://old.pediatrik.com/buletin/20060220-8ma2gi-buletin.pdf
[Diakses 29 September 2015]
4. Setiwan B, Chen K, Pohan HT. Diagnosis dan Terapi Cairan pada
Demam Berdarah Dengue. Scientific Journal of Pharmaceutical
Development and Medical Application .Vol 22 no 1; 3-8. 2009
http://www.dexa-medica.com/sites/default/files/publication_upload09
0324152955001237863562medicinus_maret-mei_2009.pdf [diakses
29 september 2015]
5. Soegijanto S. 2001. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue pada
Anak. Lab. Ilmu Kesehatan Anak – FK UNAIR / RSUD Dr. Soetomo
Surabaya Tropical Disease Center – Universitas Airlangga
6. Karyanti MR, Diagnosis dan Tata Laksana Terkini Dengue. Divisi
Infeksi dan Pediatri Tropik, Departemen Ilmu Kesehatan Anak,
RSUPN Cipto Mangunkusumo, FKUI