laporan akhir anjak ta - pse.litbang.pertanian.go.id · bahkan dua-tiga kali sidang kabinet...

39
LAPORAN AKHIR ANJAK TA.2013 STABILISASI HARGA DAN KETAHANAN PANGAN Oleh: Erwidodo PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013

Upload: nguyenhanh

Post on 12-Aug-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: LAPORAN AKHIR ANJAK TA - pse.litbang.pertanian.go.id · Bahkan dua-tiga kali sidang Kabinet terbatas digelar untuk secara khusus mencari jalan keluar untuk menangani lonjakan harga

LAPORAN AKHIR ANJAK TA.2013

STABILISASI HARGA DAN KETAHANAN PANGAN

Oleh:

Erwidodo

PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

KEMENTERIAN PERTANIAN 2013

Page 2: LAPORAN AKHIR ANJAK TA - pse.litbang.pertanian.go.id · Bahkan dua-tiga kali sidang Kabinet terbatas digelar untuk secara khusus mencari jalan keluar untuk menangani lonjakan harga

1

STABILISASI HARGA DAN KETAHANAN PANGAN

ABSTRACT

UU Pangan No 12/2012 mengamatkan kepada pemerintah untuk mencapai kemandirian

dan ketahanan pangan nasional. Istilah „kemandirian‟ pangan menjadi menarik dan

kontroversial mengingat kenyataan terus menurunnya kapasitas produksi pangan

nasional dan terus meningkatnya ketergantungan Indonesia terhadap produk pangan

impor. Tujuan untuk mencapai ketahanan dan kemandirian pangan merupakan

„legitimate objective‟ yang perlu didukung semua komponen bangsa. Namun untuk

mencapainya perlu strategi, kebijakan dan instrumen kebijakan yang tepat, tidak hanya

terbatas kepada langkah melarang dan/atau membatasi impor yang membebani

konsumen dan perekonomian. Disamping memberikan perlindungan dari ancaman

produk impor („border measures‟), sangat diperlukan kebijakan dan program „behind

the border‟ yang mencerminkan keberpihakan dan perhatian lebih besar untuk

meningkatkan kapasitas produksi pangan nasional. Kebijakan stabilisasi harga pangan

pokok (strategis) merupakan salah satu kebijakan yang dinilai penting dalam mencapai

tujuan ini, khususnya untuk menjamin keuntungan layak dan kelangsungan usaha

petani. Namun, kebijakan stabilisasi harga pangan tidak mungkin efektif jika tidak

dibarengi dengan kebijakan dan program lain, khususnya kebijakan dan program

peningkatan kapasitas produksi pangan nasional, pembenahan standar mutu produk

pangan dan perluasan Sistem Resi Gudang (SRG). Roadmap pembenahan dan

penerapan standar mutu produk pangan sangat penting dilakukan, tidak hanya karena

standar mutu menjadi syarat memperoleh RG tetapi „urgent‟ untuk menghadapi pasar

tunggal ASEAN 2015.

PENDAHULUAN

Beberapa bulan terakhir ini, media masa diramaikan oleh berita seputar

kelangkaan pasokan dan lonjakan harga eceran beberapa produk pangan. Belum

sampai lonjakan harga satu komoditas pangan selesai ditangani dan dicari

pemecahannya oleh pemerintah, muncul lagi berita kelangkaan dan lonjakan harga

komoditas pangan lainnya. Tidak hanya beras, gula, jagung, kedele yang selama ini

Page 3: LAPORAN AKHIR ANJAK TA - pse.litbang.pertanian.go.id · Bahkan dua-tiga kali sidang Kabinet terbatas digelar untuk secara khusus mencari jalan keluar untuk menangani lonjakan harga

2

dikenal sebagai komoditas pangan rawan gejolak, tetapi juga terjadi pada komoditas

pangan lain seperti daging sapi dan beberapa produk sayuran. Situasi ini tidak hanya

meresahkan konsumen, khususnya para ibu rumah tangga, tetapi juga meresahkan

para pedagang dan membuat sibuk pemerintah. Bahkan dua-tiga kali sidang Kabinet

terbatas digelar untuk secara khusus mencari jalan keluar untuk menangani lonjakan

harga daging sapi, cabe dan bawang merah, serta kedele.

Situasi ini telah memancing debat publik, pro-kons, seputar politik pangan dan

kebijakan pertanian umumnya. Kebijakan pemerintah dinilai gagal dalam menciptakan

stabilitas harga dan ketahanan pangan nasional. Sebagian politisi dan pengamat

ekonomi mengungkapkan kerisauan mereka dengan terus meningkatnya impor produk

pangan dan menuntut pemerintah untuk mengendalikan dan kalau perlu menyetop

impor beberapa produk pangan. Yang menarik, karena harga terus meningkat dan tidak

terkendali, pemerintah justru mengambil langkah ad-hoc yang sebaliknya, yakni

melonggarkan aturan impor dengan menghilangkan tarif impor dan meningkatkan

kuota impor kedele, daging sapi dan sapi bakalan.

Beberapa tahun terkahir memang ada keinginan kuat dari pemerintah yang

didukung para politisi di Parlemen (DPR) untuk mencapai swasembada dan kemandirian

pangan, tidak hanya pangan mencakup beras, gula, kedele dan jagung, tetapi juga

daging sapi dan beberapa produk hortikultura. Terbitnya UU No 18/2009 tentang

Peternakan dan Kesehatan Hewan, UU No 13/2010 tentang Hortikultura dan UU No

18/2012 tentang Pangan, menjadi bukti komitmen politik untuk mencapai tujuan itu.

Kementerian Pertanian (Kementan) bahkan mentargetkan surplus beras 10 juta ton,

mencapai swasembada jagung, kedele, gula dan daging sapi pada tahun 2014.

Keinginan kuat untuk merealisasi swasembada daging sapi dan meningkatkan

kemandirian produk hortikultura terlihat dari langkah Kementan bersama Kemendag

untuk membatasi impor daging sapi dan produk hortikultura lewat kebijakan

Rekomendasi Impor Produk Peternakan (RIPP) dan Rekomendasi Impor Produk

Hortikultura (RIPH) (Erwidodo dan Sayaka, 2013).

Sesuai alam demokrasi saat ini, silang pendapat (pro-kons) sering terjadi seputar

kebijakan perdagangan dan ketahanan pangan. Ada pendapat moderat ada pula

Page 4: LAPORAN AKHIR ANJAK TA - pse.litbang.pertanian.go.id · Bahkan dua-tiga kali sidang Kabinet terbatas digelar untuk secara khusus mencari jalan keluar untuk menangani lonjakan harga

3

pendapat ekstrim dalam menyikapi kebijakan perdagangan. Pendapat moderat

menyatakan pentingnya negara hadir dan berperan untuk menjamin stabilisasi harga

dan ketahanan pangan (pokok) tanpa mendistorsi pasar secara berlebihan, serta tetap

konsisten dengan aturan perdagangan multilateral (WTO). Sementara pendapat yang

ekstrem menyatakan bahwa pemerintah harus „berdaulat‟ dan berperan aktif untuk

mencapai kemandirian dan ketahanan serta stabilisasi harga pangan „at all costs‟, tidak

harus mengikuti aturan WTO. Mereka yang terakhir ini berpandangan bahwa impor

pangan harus dikendalikan atau kalau perlu distop dan urusan pangan tidak dapat

diserahkan kepada mekanisme pasar. Mereka ini juga berpandangan bahwa

keterpurukan sektor pertanian dan membanjirnya produk pangan impor sebagai akibat

masuknya Indonesia dalam berbagai perjanjian perdagangan internasional, baik

perdagangan multilateral (WTO) maupun regional (AFTA dan ASEAN+partner).

Diluar kebijakan perdagangan, ada juga keinginan kuat untuk mencapai

diversifikasi produksi pertanian, yang diartikan meningkatkan produksi semua produk

pangan khususnya dan produk pertanian umumnya. Mereka menganggap, impor

pangan berapapun besarnya dan prosentasinya terhadap total konsumsi tetap dianggap

sebuah kegagalan Negara dalam mencapai kemandirian pangan. Semua produk

pangan, mulai dari beras, kedele, jagung, sayuran buah2an harus meningkat

produksinya, tanpa kejelasan dimana lokasi, berapa luas area dan produksinya. Tidak

heran jika program peningkatan produksi dan produktivitas hanya sebatas angka2

target area tanam dan produksi tanpa disertai pemetaan lokasi. Mereka kurang

memperhitungkan kenyataan adanya keterbatasan dan kompetisi dalam penggunaan

lahan, baik secara total wilayah maupun pemilikan lahan petani.

Tulisan ini mencoba menganalisa beberapa pertanyaan diatas dan polemik

tentang kebijakan stabilisasi harga, „kemandirian‟ dan ketahanan pangan, dengan

mengambil kasus komoditas pangan beras, kedele, dan jagung. Sengaja hanya

mengambil ketiga komoditas ini karena ketiganya diusahakan secara intensif di Jawa

dan sangat terkait dengan masalah konversi lahan dan kompetisi penggunaan lahan.

Tulisan ini menjelaskan aturan WTO dan keterikatan Indonesia dalam perjanjian

perdagangan bebas regional yang membatasi kebebasan negara anggota untuk memilih

Page 5: LAPORAN AKHIR ANJAK TA - pse.litbang.pertanian.go.id · Bahkan dua-tiga kali sidang Kabinet terbatas digelar untuk secara khusus mencari jalan keluar untuk menangani lonjakan harga

4

instrumen kebijakan perdagangan. Kebijakan harga dan stabilisasi harga pangan

menjadi fokus bahasan dalam tulisan ini. Selain kebijakan stabilisasi harga juga dibahas

kebijakan lain dalam upaya menyiasati masalah instabilitas harga yakni kebijakan dan

program peningkatan kapasitas produksi pangan nasional, Sistem Resi Gudang (SRG)

dan penerapan standar mutu produk pangan.

KEDAULATAN, KEMANDIRIAN DAN KETAHANAN PANGAN

Sebelum membahas lebih lanjut ketahanan pangan (food security) yang menjadi

fokus bahasan makalah ini, ada baiknya memperjelas beberapa definisi terkait lainnya,

yaitu kedaulatan pangan (food severegnity), kemandirian pangan (food resilience),

swasembada pangan (food self sufficiency) dan keamanan pangan (food safety)

sebagaimana tertuang dalam UU No. 18/2012, sebagai berikut:

„Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri

menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan

yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang

sesuai dengan potensi sumber daya lokal‟.

„Kemandirian Pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam

memproduksi Pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat

menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat

perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia,

sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat‟.

„Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai

dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik

jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta

tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk

dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan‟.

Page 6: LAPORAN AKHIR ANJAK TA - pse.litbang.pertanian.go.id · Bahkan dua-tiga kali sidang Kabinet terbatas digelar untuk secara khusus mencari jalan keluar untuk menangani lonjakan harga

5

„Keamanan Pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah

Pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat

mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak

bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman

untuk dikonsumsi‟.

Kata „kedaulatan‟, sebagaimana diuraikan dalam bagian penjelasan, merupakan

landasan filosofis yang memberikan pesan bahwa sebagai negara merdeka dan

berdaulat maka Indonesia punya kebebasan atau kedaulatan untuk menentukan

strategi, kebijakan dan program serta sistem pangan sesuai dengan potensi

sumberdaya yang dimilikinya, tidak dapat atau tidak boleh diatur, didekte atau

diintervensi oleh negara lain. Namun demikian, perlu dicatat bahwa keterikatan

Indonesia dalam perjanjian perdagangan internasional (WTO) yang juga telah

diratifikasi dalam UU nasional, memberikan makna bahwa „kebebasan atau kedaulatan‟

tersebut tidak lagi penuh dalam menentukan „instrumen kebijakan‟ tetapi harus

disesuaikan atau konsisten dengan aturan internasional/regional yang telah disepakati

dan diratifikasi dalam UU Republik Indonesia.

Kata „kemandirian‟ menjelaskan perlunya kemampuan negara dan bangsa untuk

memproduksi sendiri pangan yang beraneka ragam di dalam negeri dengan

memanfaatkan potensi sumber daya alam di dalam negeri. Definisi ini juga perlu

interpretasi secara hati-hati karena dapat mengarah ke interpretasi bahwa Indonesia

harus memproduksi beragam pangan sendiri dan kegiatan impor adalah suatu bentuk

kegagalan sehingga harus dibatasi atau dilarang. Yang lebih mengkawatirkan adalah

interpretasi bahwa untuk memproduksi dan mencukupi kebutuhan pangan nasional

adalah tanggung jawab sepenuhnya Kementerian Pertanian, sementara para Menteri

terkait tidak secara langsung turut bertanggung-jawab. Contoh nyata dari situasi ini

adalah terus berlangsungnya konversi lahan pertanian/sawah di Jawa sementara

pembukaan lahan pertanian dan pencetakan sawah baru di luar Jawa berjalan sangat

lambat. Kementerian keuangan, Bappenas dan kementerian PU tidak menganggap

situasi ini sebagai situasi darurat yang harus disikapi bersama dengan menyusun

Page 7: LAPORAN AKHIR ANJAK TA - pse.litbang.pertanian.go.id · Bahkan dua-tiga kali sidang Kabinet terbatas digelar untuk secara khusus mencari jalan keluar untuk menangani lonjakan harga

6

program nasional pencetakan sawah sawah. Hal ini menunjukan bahwa politik pangan

nasional belum ada atau baru sebatas wacana.

Definisi ketahanan pangan dalam UU No 18 2012 diatas merupakan

penyempurnaan dan „pengkayaan cakupan‟ dari definisi dalam UU No 7 tahun 1996

yang memasukan „perorangan‟ dan „sesuai keyakinan agama‟ serta „budaya‟ bangsa.

Definisi UU No 18 secara substantif sejalan dengan definisi ketahanan pangan dari FAO

yang menyatakan bahwa ketahanan pangan sebagai suatu kondisi dimana setiap orang

sepanjang waktu, baik fisik maupun ekonomi, memiliki akses terhadap pangan yang

cukup, aman, dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan gizi sehari-hari sesuai

preferensinya.

Satu lagi definisi yang kita kenal adalah swasembada pangan, yakni merujuk

kepada suatu keadaan dimana suatu Negara dapat mencukupi seluruh atau sebagian

besar kebutuhan pangan penduduknya dari produksi dalam negeri 1 . Dalam kaitan

dengan komoditas beras, Indonesia pernah pertama kali mencapai swasembada pada

tahun 1994 dan berhasil mengekspor sebagian berasnya. Namun beberapa tahun

kemudian status swasembada beras secara perlahan tergerus dengan seiring

pertambahan jumlah penduduk dan meluruhnya kapasitas produksi beras dalam negeri.

Selanjutnya dan sampai sekarang, Indonesia menggunakan istilah swasembada “on

trend” dengan membuka kemungkinan untuk impor maksimal 10 persen dari jumlah

konsumsi.

Interpretasi atau penjelasan lebih detail yang tertuang dalam bagian „Penjelasan‟

dari UU No 18 2012 tidak cukup jelas dan masih dapat memicu perbedaan interpretasi.

Namun demikan, makalah ini tidak membahas lebih lanjut. Dari 5 definisi tersebut

diatas, sesuai judul makalah ini, penulis fokus kepada „ketahanan pangan‟ dan

mengkaitkannya dengan isu kemandirian. Penulis berpendapat bahwa yang paling

penting bagi Indonesia sebagai negara berdaulat dan berpenduduk besar (250 juta

jiwa) adalah langkah kongkrit dan berkelanjutan untuk meningkatkan kapasitas

1 Yang menarik definisi ‘swasembada pangan’ tidak masuk dalam UU no 18 2012. Alasannya adalah bahwa definisi

‘kemandirian’ dinilai lebih penting dan mencakup kondisi swasembada, dimana kemandirian dapat mencapai 100 persen (swasembada), kurang atau lebih dari 100 persen.

Page 8: LAPORAN AKHIR ANJAK TA - pse.litbang.pertanian.go.id · Bahkan dua-tiga kali sidang Kabinet terbatas digelar untuk secara khusus mencari jalan keluar untuk menangani lonjakan harga

7

produksi pangan nasional yang berdaya-saing sehingga tercapai ketahanan dan

sekaligus kemandirian pangan. Semakin besar „kapasitas‟ Indonesia untuk memproduksi

produk pangan secara efisien maka semakin besar peluang Indonesia mencapai

ketahanan dan kemandirian pangan. Polemik dan „pro-kons‟ terkait dengan definisi

menjadi tidak lagi muncul.

PERKEMBANGAN KAPASITAS PRODUKSI PANGAN NASIONAL

Banyak faktor yang menentukan besarnya kapasitas produksi pangan nasional.

Salah satunya yang penting adalah ketersediaan lahan yang dapat ditanami tanaman

pangan. Ketersediaan lahan pada gilirannya menentukan luas pengusaan dan skala

usaha tani. Sayangnya pemerintah tidak menyadari hal ini. Terus berkurangnya luas

lahan sawah dan lahan kering untuk tanaman pangan, akibat konversi lahan ke

penggunaan non-pertanian dan perkebunan (khususnya kelapa sawit), mengakibatkan

kapasitas produksi pangan nasional semakin menurun. Dengan terus meningkatnya

kebutuhan pangan akibat terus meningkatnya jumlah penduduk dan berkembangnya

industri pangan, tidak mengherankan apabila Indonesia beberapa tahun terkahir

mengalami defisit pangan dan impor produk pangan terus meningkat. Kalau situasi ini

dibiarkan terus berlangsung, hampir dapat dipastikan dari sekarang, ketergantungan

terhadap pangan impor akan terus meningkat membuat Indonesia menjadi salah satu

negara importir pangan terbesar di dunia.

Tabel 1 memperlihatkan bahwa dalam periode 2005-2010, total luas lahan

pertanian di Indonesia hanya sedikit bertambah, dari 40.1 juta ha tahun 2005 menjadi

40.7 juta ha tahun 2010. Penambahan tersebut terjadi di areal sawah irigasi dan lahan

kering, sementara terjadi penurunan luas pada jenis lahan sawah non-irigasi dan lahan

terlantar. Statistik juga memperlihatkan bahwa sebagian besar dari pertambahan luas

lahan kering didominasi oleh usaha perkebunan, khususnya kelapa sawit.

Sampai saat ini Pulau Jawa masih menjadi penyedia pangan nasional. Konversi

lahan pertanian ke non-pertanian di Jawa terus berlangsung. Tabel 2 memperlihatkan

penurunan luas lahan sawah beririgasi di wilayah Pantura akibat dikonversi menjadi

Page 9: LAPORAN AKHIR ANJAK TA - pse.litbang.pertanian.go.id · Bahkan dua-tiga kali sidang Kabinet terbatas digelar untuk secara khusus mencari jalan keluar untuk menangani lonjakan harga

8

kawasan industri dan sebagian untuk pembangunan jalan (tol). Selama periode 2005-

2010, luas lahan sawah irigasi di Jawa Barat menurun dari 748 ribu ha menjadi 674 ribu

ha, atau berkurang dengan laju 2 persen per tahun. Situasi ini perlu diwaspadai

mengingat sawah irigasi di Jawa Barat, khususnya di daerah Pantura, merupakan

sawah berigasi teknis. Berkurangnya luas lahan berigisasi teknis tentu saja akan

menurunkan produksi dan kontribusi Jawa Barat secara nyata. Situasi yang sama juga

terjadi di DI Yogyakarta. Lebih jauh, minimnya anggaran untuk pemeliharaan sarana

dan saluran irigasi membuat kualitas irigasi juga terus menurun. Situasi ini akan

semakin menurunkan kapasitas produksi beras (pangan) nasional.

Tabel 1. Luas Lahan Pertanian menurut Jenis di Indonesia, 2005-2010 (Juta Ha)

Jenis Lahan 2005 2010 Growth rataan

Sawah 7.8 8.1 0.8

Irigasi 4.4 5.7 5.9

non-irigasi 3.1 2.4 -4.5

Tegal 11.5 11.9 0.7

Ladang/Huma 5.2 5.3 0.4

Lahan terlantar 15.6 14.9 -0.9

Total 40.1 40.7 0.3

Sumber: Statistik Pertanian, Kementerian Pertanian.

Tabel 2. Perkembangan Lahan Sawah di Jawa, 2005-2010

Jenis lahan 2005 2010 Growth rataan

Sawah Irigasi 2483.9 2684.6 1.6

Jawa Barat 748.3 674 -2.0

Banten 116.7 156.9 6.9

Jawa Tengah 704.3 902.3 5.6

Yogyakarta 47.9 40.9 -2.9

Jawa Timur 866.7 910.5 1.0

Sawah Non-irigasi 791.8 758.5 -0.8

Jawa Barat 177.6 251.6 8.3

Banten 79.5 34.1 -11.4

Jawa Tengah 291.6 199.5 -6.3

Yogyakarta 9.3 31 46.7

Jawa Timur 233.8 242.3 0.7

Sumber: Statistik Pertanian, Kementerian Pertanian.

Page 10: LAPORAN AKHIR ANJAK TA - pse.litbang.pertanian.go.id · Bahkan dua-tiga kali sidang Kabinet terbatas digelar untuk secara khusus mencari jalan keluar untuk menangani lonjakan harga

9

Terus merosotnya luas lahan pertanian (arable land) juga telah diutarakan oleh

beberapa penulis lain termasuk Kasryno (2013) dan Soemarno (2013). Menurut

Soemarno (2013), dari luas lahan yang dapat ditanami 24.9 juta ha, sekitar 11 juta ha

merupakan lahan perkebunan, sisanya 13.4 juta ha merupakan lahan sawah dan lahan

kering yang diperuntukan bagi usaha produksi tanaman pangan. Kalau tidak ada

penambahan area, maka pada tahun 2020 pengusaan lahan per kapita hanya 495 m2

turun dibandingkan pada tahun 2000 seluas 608 m2 per kapita (Soemarno, 2013).

Mengingat teknologi ada batasnya, maka masalah defisit pangan tidak mungkin

dipecahkan jika tidak dibarengi dengan perluasaan lahan yang dapat ditanami

(Soemarno (2013); Suyamto dan Zaini (2009)).

Tabel 3 memperlihatkan perkembangan penguasaan lahan pertanian per kapita

tahun di beberapa negara tahun 1970, 1990 dan 2010 (World Bank, 2012). Secara

keseluruhan, penurunan luas lahan per kapita terjadi di semua negara, yang berbeda

luas penguasaan dan laju penurunan. Eksportir utama produk pangan dunia umumya

adalah negara-negara yang mempunyai lahan pertanian dan penguasaan lahan per

kapita yang luas, seperti Australia, Brazil, Canada, Amerika Serikat, New Zealand, dan

Thailand. Oleh karena itu, agar Indonesia dapat mencapai ketahanan sekaligus

kemandirian dan surplus pangan, maka program intensifikasi harus disertai dengan

program ekstensifikasi yang didukung dengan perluasan lahan pertanian, khususnya

lahan sawah beririgasi baru.

Pemerintah, dipimpin oleh Presiden dan seluruh anggota Kabinet, seharusnya

segera menyadari situasi ini, dan segera mengambil langkah proaktif untuk menambah

luas lahan pertanian (pangan) dan mencetak lahan sawah baru. Penambahan lahan

pertanian dan pencetakan sawah di luar Jawa harus menjadi program nasional dan

prioritas kedepan. Terlepas adanya „Pro-Kons‟ waktu itu, progran „Sawah Sejuta Hektar‟

jaman pemerintah Orde baru merupakan langkah terobosan „kongkrit‟ yang didasari

oleh pemahaman pentingnya kecukupan lahan pertanian untuk mencapai ketahanan

sekaligus kemandirian pangan nasional. Presiden Suharto, berani mengambil keputusan

tidak populer dan melaksanakannya meskipun mengundang pro-kons. Sayangnya,

pemerintahan era reformasi tidak meneruskan langkah tersebut dengan mengambil sisi

Page 11: LAPORAN AKHIR ANJAK TA - pse.litbang.pertanian.go.id · Bahkan dua-tiga kali sidang Kabinet terbatas digelar untuk secara khusus mencari jalan keluar untuk menangani lonjakan harga

10

positif dan meninggalkan sisi negatif, tetapi terlalu banyak „berwacana‟ tanpa dibarengi

langkah nyata untuk keluar dari permasalahan.

Tabel 3. Perkembangan Lahan Pertanian per Kapita di Beberapa Negara, 1970-2010.

Negara 1970 1990 2010

Argentina 1.0843 0.8146 0.9218

Australia 3.3273 2.8069 1.9292

Brazil 0.3644 0.3387 0.3602

Canada 2.0061 1.6374 1.2716

China 0.1223 0.1090 0.0832

Indonesia 0.1578 0.1134 0.0981

India 0.2892 0.1874 0.1306

Korea, Rep. 0.0674 0.0456 0.0305

Malaysia 0.0843 0.0933 0.0637

New Zealand 1.0549 0.7943 0.1142

Pakistan 0.3237 0.1844 0.1187

Philippines 0.1304 0.0885 0.0578

Thailand 0.3335 0.3092 0.2373

United States 0.9204 0.7438 0.5167

Vietnam 0.1318 0.0809 0.0740

Sumber: World Bank: World Development Indicators.

PERKEMBANGAN HARGA BEBERAPA PRODUK PANGAN

Kurangnya pasokan dan terus meningkatnya permintaan mengakibatkan

lonjakan harga. Situasi ini yang terjadi di pasar domestik untuk beberapa komoditas

pangan beberapa tahun terakhir ini. Lonjakan harga kedele dan harga beberapa produk

sayuran merupakan bukti kurangnya pasokan. Gambar 1, 2 dan 3, memperlihatkan

perkembangan dan fluktuasi harga eceran beras, kedele dan jagung beberapa tahun

terakhir disandingkan dengan harga paritas impor di tingkat eceran dari ketiga

kemoditas tersebut. Ketiga gambar memperlihatkan pola perkembangan harga yang

serupa, yakni berfluktuasi dan cenderung terus meningkat.

Kecuali untuk beras, harga eceran kedele dan Jagung selama periode 2009-2013 lebih

tinggi dibandingkan harga paritas impor di tingkat eceran. Perbedaan harga ini

memperlihatkan bahwa konsumen kedele dan jagung menanggung beban harga yang

Page 12: LAPORAN AKHIR ANJAK TA - pse.litbang.pertanian.go.id · Bahkan dua-tiga kali sidang Kabinet terbatas digelar untuk secara khusus mencari jalan keluar untuk menangani lonjakan harga

11

lebih tinggi dibandingkan jika tidak ada hambatan impor. Selisih harga tersebut besar

kemungkinan dinikmati oleh importir dan pedagang dalam bentuk rente ekonomi

(keuntungan diatas normal), belum tentu petani ikut menikmatinya. Untuk beras agak

berbeda karena beras impor yang digunakan untuk perhitungan harga paritas adalah

beras kualitas Thai 5% broken yang kualitasnya lebih baik dibandingkan beras yang

beredar di pasar domestik pada umumya. Jika menggunakan beras kualitas Thai 20%

broken, dapat dipastikan harga eceran beras akan lebih tinggi dibandingkan harga

paritas impornya.

Relatif kecilnya fluktuasi harga ketiga komoditas tersebut merupakan hasil dari

intervensi pemerintah. Pemerintah menerapkan kebijakan stabilisasi harga untuk ketiga

komoditas tersebut, hanya berbeda dalam instrumen kebijakan yang dipergunakan.

Untuk beras, stabilisasi harga dilakukan dengan menugaskan BULOG mengelola stok

penyangga dan menerapkan operasi pasar dengan menetapkan Harga Pembelian

Pemerintah (HPP) dan Harga Jual Pemerintah (HJP), sementara untuk kedele dan

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

7000

8000

9000

Jan

Mar

Me

i

Jul

Sep

No

v

Jan

Mar

Me

i

Jul

Sep

No

v

Jan

Mar

Mei Ju

l

Sep

No

v

Jan

Mar

Mei Ju

l

Sep

No

v

Jan

Mar

Mei Ju

l2009 2010 2011 2012 2013

Gambar 1: Harga Paritas Impor dan Eceran Beras di Jawa

H-Eceran H-Paritas

Page 13: LAPORAN AKHIR ANJAK TA - pse.litbang.pertanian.go.id · Bahkan dua-tiga kali sidang Kabinet terbatas digelar untuk secara khusus mencari jalan keluar untuk menangani lonjakan harga

12

jagung intervensi pemerintah terbatas kepada pengaturan impor (membatasi dan

membuka kran impor) untuk mencegah gejolak dan lonjakan harga eceran kedua

komoditas tersebut. Sampai bulan Agustus 2013, Pemerintah belum menetapkan HPP

untuk kedele dan jagung dan belum menugaskan BULOG untuk mengelola stok

penyangga.

Beberapa bulan lalu Media ramai memberitakan gejolak harga kedele dan

langkah mogok berproduksi pengrajin tahu dan tempe sebagai bentuk tuntutan agar

pemerintah menurunan harga kedele. Tidak demikian halnya untuk komoditas jagung.

Ada beberapa alasan mengapa hal ini terjadi. Pertama, relatif masih rendahnya

ketergantungan terhadap impor jagung (rasio dibawah 10%) membuat kenaikan harga

jagung dunia tidak secara langsung memacu kenaikan harga eceran jagung di pasar

domestik. Kedua, jagung tidak dikonsumsi secara langsung melainkan sebagai bahan

baku pakan ternak sehingga gejolak harganya tidak langsung dirasakan oleh konsumen.

Oleh karena itu, lonjakan harga jagung tidak dirasakan langsung oleh konsumen rumah

tangga sehingga tidak menimbulkan keresahan rumah tangga. Berbeda halnya dengan

kedele, besarnya ketergantungan terhadap kedele impor membuat harga kedele

domestik ikut bergejolak seiring dengan gejolak harga kedele di pasar dunia. Kenaikan

harga kedele dunia ditransmisikan secara sempurna ke pasar domestik, yakni menaikan

harga kedele, harga tahu dan tempe yang merupakan menu keseharian masyarakat

Indonesia. Oleh karena itu, kenaikan harga kedele secara bersamaan meresahkan

pengrajin dan konsumen tahu dan tempe secara luas.

Dalam merespon tuntutan para pengrajin tahu-tempe, pemerintah mengambil

langkah adhoc-jangka pendek dengan menambah kuota impor kedele dan menentukan

patokan harga kedele di tingkat penrajin serta mengharuskan para impotir terdaftar

(IT) untuk menjual kedele ke pengrajin tahu-tempe pada tingkat harga tersebut. Untuk

kepentingan jangka menengah-panjang, pemerintah memutuskan untuk melakukan

stabilisasi harga kedele dengan menentukan HPP dan HJP kedele serta menugaskan

BULOG untuk menangani operasi pasar, terutama pembelian kedele pada saat panen

raya pada tingkat HPP tersebut. Namun, informasi yang penulis peroleh, pemerintah

tidak menyediakan anggaran untuk melaksanakan kebijakan dukungan harga (price

Page 14: LAPORAN AKHIR ANJAK TA - pse.litbang.pertanian.go.id · Bahkan dua-tiga kali sidang Kabinet terbatas digelar untuk secara khusus mencari jalan keluar untuk menangani lonjakan harga

13

support) tetapi meminta BULOG untuk melaksanakannya dengan dana

komersial/BULOG. Kebijakan pemerintah seperti ini dinilai tidak serius dan belum jelas

apakah akan dilaksanakan oleh BULOG atau tidak.

0100020003000400050006000700080009000

10000

Jan

Mar

Mei Ju

l

Sep

No

v

Jan

Mar

Mei Ju

l

Sep

No

v

Jan

Mar

Mei Ju

l

Sep

No

v

Jan

Mar

Mei Ju

l

Sep

No

v

Jan

Mar

Mei Ju

l

2009 2010 2011 2012 2013

Gambar 2: Harga Paritas Impor dan Eceran Kedele di Jawa

H-Eceran H-Paritas

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

7000

Jan

Mar

Mei Ju

l

Sep

No

v

Jan

Mar

Mei Ju

l

Sep

No

v

Jan

Mar

Mei Ju

l

Sep

No

v

Jan

Mar

Mei Ju

l

Sep

No

v

Jan

Mar

Mei Ju

l

2009 2010 2011 2012 2013

Gambar 3: Harga Paritas Impor dan Eceran Jagung di Jawa

H-Eceran H-Paritas

Page 15: LAPORAN AKHIR ANJAK TA - pse.litbang.pertanian.go.id · Bahkan dua-tiga kali sidang Kabinet terbatas digelar untuk secara khusus mencari jalan keluar untuk menangani lonjakan harga

14

PRODUKSI, KEBUTUHAN DAN IMPOR PRODUK PANGAN

Sebagaimana disajikan dalam Tabel 4, produksi beras nasional terus meningkat

dari tahun ke tahun. Namun demikian, kebutuhan atau konsumsi beras juga terus

meningkat, melebihi peningkatan produksi. Akibatnya, sebagian dari tambahan

kebutuhan tersebut harus dipenuhi dari impor. Situasi inilah yang dihadapi oleh

Indonesia, tidak hanya beras tetapi juga produk pangan lain termasuk jagung dan

kedele.

Pada tahun 2006, misalnya, produksi beras 33.8 juta ton meningkat menjadi

40.8 juta ton pada tahun 2011. Meningkatnya kebutuhan beras memaksa Indonesia

harus tetap mengimpor beras bahkan dalam jumlah lebih besar, yakni meningkat dari

0.438 juta ton pada tahun 2006 menjadi 2.7 juta ton pada tahun 2011. Kenyataan ini

mengakibatkan rasio impor (terhadap total konsumsi) meningkat dari 1.3 persen

menjadi 6.3 persen. Meskipun masih dibawah 10 persen, peningkatan rasio impor beras

ini seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah.

Perhatian serius perlu diberikan terhadap kenyataan bahwa lebih dari 50 persen

produksi padi/beras dihasilkan di pulau Jawa. Ketergantungan produksi beras (dan

produk pangan lain) ke pulau Jawa menjadi sangat rentan manakala konversi lahan

pertanian ke non-pertanian di Jawa semakin tidak terkendali, sementara perluasan

lahan untuk tanaman pangan, khususnya lahan sawah irigasi, di luar jawa tidak

dilakukan. Lebih dari 17 persen beras di produksi di Jawa Barat, sementara luas lahan

sawah irigasi di wilayah ini terus berkurang akibat konversi dengan laju penurunan 2

persen per tahun.

Kenyataan bahwa kebutuhan beras terus meningkat seiring dengan

meningkatnya jumlah penduduk haruslah menyadarkan para pemimpin, khususnya

Presidem sebagai Kepala Negara/Pemerintahan dan jajaran Kabinetnya, untuk segera

mengambil langkah kongkrit dan antisipatif untuk meningkatkan kapasitas produksi

beras nasional. Langkah antisipatif utama adalah dengan menambah luas lahan baku

tanaman pangan dan mencetak sawah irigasi baru, khususnya di luar Jawa. Menjadi

sangat ironis bilamana defisit beras dan pangan lainnya yang dihadapi selalu

Page 16: LAPORAN AKHIR ANJAK TA - pse.litbang.pertanian.go.id · Bahkan dua-tiga kali sidang Kabinet terbatas digelar untuk secara khusus mencari jalan keluar untuk menangani lonjakan harga

15

diselesaikan dengan langkah adhoc-jangka pendek dengan cara menambah impor,

tanpa dibarengi dengan langkah jangka menengah-panjang untuk meningkatkan

kapasitas produksi melalui program perluasan area atau ekstensifikasi.

Dari sudut devisa, perluasan areal perkebunan sawit memang menguntungkan,

namun tidak seharusnya melupakan pentingnya untuk mempertahankan atau

meningkatkan luas areal tanaman pangan bila „ketahanan atau kemandirian‟ pangan

menjadi tujuan nasional. Bagaimana mungkin mencapai ketahanan pangan bila

pemerintah hanya mengandalkan kebijakan pembatasan atau pelarangan impor. Bisa

saja kemandirian pangan tercapai, dengan melarang atau membatasi impor, tetapi

dengan harga pangan mahal yang tidak terjangkau oleh konsumen secara luas,

termasuk para petani sendiri. Artinya, kemandirian pangan mungkin dapat tercapai

tetapi ketahanan pangan tidak.

Tabel 4. Produksi, Impor dan Kebutuhan Beras, 2005-2012

Tahun

Produksi

Gabah

Produksi

Beras Impor Permintaan Rasio

2005 na 190

2006 54455 33762 438 34200 1.3

2007 57157 35437 1396 36833 3.8

2008 60326 37402 289 37691 0.8

2009 64399 39927 250 40177 0.6

2010 66469 41211 688 41899 1.6

2011 65757 40769 2744 43513 6.3

2012 68956 42753 Na na Na

Situasi lebih rawan terjadi di kedele, dimana produksi kedele dalam negeri yang

sangat fluktuatif dan cenderung menurun sementara konsumsi terus meningkat.

Akibatnya impor kedele terus meningkat, dari 1.1 juta ton tahun 2006 meningkat

menjadi 2.1 juta ton tahun 2011 (Tabel 5). Ketergantungan terhadap impor meningkat

dari 60 persen menjadi 71 persen. Kalau situasi saat ini dibiarkan terus berlansung,

maka target kemandirian kedele hanya sekedar retorika dan impian belaka.

Pada tahun 2011, lebih dari 67 persen produksi kedele nasional dihasilkan di

Pulau Jawa. Jawa Timur merupakan penghasil kedele terbesar dengan kontribusi 43.1

Page 17: LAPORAN AKHIR ANJAK TA - pse.litbang.pertanian.go.id · Bahkan dua-tiga kali sidang Kabinet terbatas digelar untuk secara khusus mencari jalan keluar untuk menangani lonjakan harga

16

persen, disusul Jawa Tengah 13.2 persen dan Jawa Barat 6.6 persen. Propinsi Aceh

merupakan penghasil kedele terbesar di Luar Jawa dengan kontribusi 5.9 persen,

sementara kontribusi propinsi-propinsi lain sebesar 26.7 persen dari total produksi

kedele 2011.

Tabel 5. Produksi, Impor dan Kebutuhan Kedele 2005-2011

Tahun Produksi Impor Permintaan Rasio

2005 na 1086

2006 748 1132 1880 60.2

2007 593 1420 2013 70.5

2008 776 1177 1953 60.3

2009 975 1321 2296 57.5

2010 907 1741 2648 65.7

2011 851 2089 2940 71.1

2012 783 Na Sumber: Statistik Pertanian, Kementerian Pertanian

Situasi serupa juga terjadi di jagung. Sebagaimana terlihat dalam Tabel 6,

produksi jagung nasional mengalami peningkatan dari 11.6 juta ton tahun 2006

menjadi 17.6 juta ton. Namun demikian, kenaikan konsumsi jagung untuk industri

pakan dan industri makanan membuat impor jagung meningkat drastic periode 2008-

2011, dari 0.265 juta ton menjadi 3.2 juta ton. Rasio atau ketergantungan terhadap

impor meningkat dari 1.6 persen menjadi 15.4 persen.

Produksi jagung nasional juga sangat tergantung ke Pulau Jawa, dimana 53.7

persen produksi jagung nasional tahun 2011 (17.6 juta ton) dihasilkan pulau Jawa. Dari

total produksi nasional tersebut, Jawa Timur memberikan kontribusi sebesar 31 persen,

disusul oleh Jawa Tengah dengan kontribusi 16 persen dan Lampung 10 persen.

Dengan meningkatnya persaingan penggunaan lahan di Jawa kedepan, produksi jagung

di Jawa dikuatirkan kontribusi produksi jagung di Jawa akan menurun dan

rasio/ketergantungan terhadap impor akan semakin bertambah.

Page 18: LAPORAN AKHIR ANJAK TA - pse.litbang.pertanian.go.id · Bahkan dua-tiga kali sidang Kabinet terbatas digelar untuk secara khusus mencari jalan keluar untuk menangani lonjakan harga

17

Tabel 6. Produksi, Impor dan Kebutuhan Jagung 2005-2011

Tahun Produksi Impor Permintaan Rasio

2005 na 186 na Na

2006 11609 1775 13384 13.3

2007 13288 702 13990 5.0

2008 16317 265 16582 1.6

2009 17630 339 17969 1.9

2010 18328 1528 19856 7.7

2011 17643 3208 20851 15.4

2012 18962 na na na Sumber: Statistik Indonesia, Kementerian Pertanian

Dari data dan uraian diatas nampak jelas bahwa laju peningkatan produksi ketiga

komoditas pangan tersebut tidak dapat mengimbangi laju peningkatan

konsumsi/permintaan akibat pertambahan penduduk, perkembangan industri pangan

dan industri perunggasan. Gejolak dan lonjakan harga eceran yang terjadi merupakan

indikator situasi kelangkaan pasokan. Sampai saat ini, membuka kran impor menjadi

langkah ad-hoc pemerintah dalam upaya meredam gejolak harga. Merosotnya luas

lahan pertanian dan sawah di Jawa akibat konversi dipastikan akan memperburuk

situasi dan ketahanan pangan kedepan. Defisit pangan dan ketergantungan impor

kedepan semakin besar, akibatnya „kemandirian‟ menjadi sekedar „jargon‟ politik dan

impian belaka. Oleh karenanya, agar kemandirian pangan dapat dicapai tanpa harus

melanggar aturan WTO, menjadi keniscayaan dan keharusan bagi pemerintah untuk

menggulirkan program nasional ekstensifikasi produksi pangan didukung program

pencetakan sawah dan pembangunan sarana irigasi di Luar Jawa. Dalam ketentuan

WTO, program seperti ini termasuk kategori „Green Box‟ yang diperbolehkan.

WTO DAN ATURAN PERDAGANGAN PRODUK PERTANIAN

WTO adalah organisasi perdagangan Dunia yang beranggotakan Negara-negara,

baik kelompok Negara anggota pendiri maupun Negara anggota yang melalui proses

aksesi. Saat ini WTO beranggotakan 159 Negara anggota, terdiri dari 123 Negara

pendiri dan siasanya 36 Negara anggota lewat proses aksesi. Untuk menjadi anggota

WTO lewat proses aksesi melewati proses yang panjang dan membutuhkan waktu

Page 19: LAPORAN AKHIR ANJAK TA - pse.litbang.pertanian.go.id · Bahkan dua-tiga kali sidang Kabinet terbatas digelar untuk secara khusus mencari jalan keluar untuk menangani lonjakan harga

18

lama. China, misalnya, menjadi anggota WTO lewat proses aksesi selama lebih dari 10

tahun dan harus melakukan berbagai “economic and trade reforms” sebelum akhirnya

diterima menjadi anggota WTO. Demikian pula Rusia, baru resmi diterima menjadi

anggota WTO tahun 2012 setelah melalui proses aksesi selama 15 tahun.

Aturan WTO bersifat mengikat (binding) bagi seluruh Negara anggota, tidak ada

pengecualian. Artinya, aturan WTO mengikat setiap negara anggota sehingga kebijakan

dan aturan perdagangan nasional tetap konsisten dengan ketentuan WTO. Adalah

menjadi kewajiban setiap negara anggota untuk menyelaraskan aturan dan kebijakan

perdagangannya sehingga konsisten dengan ketentuan WTO. Konsistensi aturan dan

kebijakan perdagangan nasional secara periodik dievaluasi oleh seluruh anggota WTO

dalam forum „Trade Policy Review Mechanism (TPRM)‟ dan laporan kuartalan Dirjen

WTO dalam sidang TPRB. Disamping itu, aturan WTO memberikan hak kepada anggota

untuk mempertanyakan atau menggugat aturan dan kebijakan nasional yang tidak

konsisten dengan ketentuan WTO dalam sidang regular komite dan kemungkinan

berakhir dalam proses penyelesaian sengketa dagang di forum „Dispute Settlement

Mechanism‟.

Aturan WTO yang terkait dengan perdagangan produk pertanian antara lain

adalah: (i) perjanjian di bidang pertanian (Agreement on Agriculture-AoA), (ii) aturan

Sanitary and Phyto-sanitary (SPS), (ii) aturan Import licencing, dan (iv) aturan General

Agreement on Tarif and Trade (GATT 1994). Perjanjian Pertanian (AoA) terutama

mencakup ketentuan tentang akses pasar sesuai „schedule of concession‟ Negara

anggota, ketentuan tentang subsidi domestik, ketentuan kompetisi ekspor, dan

ketentuan subsidi ekspor dan pembatasan larangan ekspor. Aturan SPS terutama terkait

dengan ketentuan „basic right and obligation‟, ketentuan harmonisasi, adaptasi kondisi

regional, dan ketentuan transparansi melalui notifikasi, control dan inspeksi. Aturan

„Import Licensing‟ mencakup ketentuan automatic import licensing dan non-automatic

import licensing. Aturan GATT 1994, antara lain terkait dengan ketentuan penerapan

Most Favored Nation (MFN), ketentuan „National Treatment on internal taxation and

regulation‟, ketentuan tentang „General Elimination of Quantitative Restriction‟, dan

General Assistance to Economic Development. Perdagangan produk pertanian juga

Page 20: LAPORAN AKHIR ANJAK TA - pse.litbang.pertanian.go.id · Bahkan dua-tiga kali sidang Kabinet terbatas digelar untuk secara khusus mencari jalan keluar untuk menangani lonjakan harga

19

terikat oleh aturan WTO lainnya, seperti ketentuan Technical Barriers to Trade (TBT),

State Trading Enterprises (STE), Anti-dumping and Counterveiling Measures, Safeguard

dan trade defense lainnya.

KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN INSTRUMEN PEMBATASAN IMPOR

Secara umum, kebijakan pengaturan dan pembatasan impor diperlukan untuk

melindungi petani dan produk pertanian domestik agar tidak merugi atau tersingkir

akibat melimpahnya produk impor. Dalam teori perdagangan internasional, dikenal

argumen „Terms of Trade‟ dan „Domestic market failure‟ sebagai justifikasi penerapan

proteksi perdagangan. Teori dan ilmu perdagangan internasional memberikan landasan

teoritis untuk memilih instrumen kebijakan impor yang efektif dan tidak berdampak

negatif terhadap konsumen dan perekonomian. Sejalan dengan landasan teoritis,

aturan WTO juga mengatur instrumen pembatasan impor yang „less trade distorting‟.

Aturan WTO, sebagaimana tertuang dalam GATT 1994 Article XI “General

Elimination of Quantitative Restriction” melarang negara anggota menerapkan restriksi

kuantitatif, termasuk kuota impor, dan menggantikannya dengan tariff (tariffication)

karena didasari landasan teoritis dan bukti empiris bahwa kuota impor tidak transparan

dan lebih distortif dibandingkan tariff impor. Namun demikian, disamping

memanfaatkan bound tariff, masih ada instrumen pembatasan impor dan perlindungan

kepada produsen domestik antara lain, lisensi impor, standar atau technical barriers to

trade, „trade remedies‟ (anti-dumping, safeguard, anti-subsidy dan counterveiling

measures) dan instrumen trade defense lainnya. Indonesia dapat menaikan tarif impor

dan mengkombinasikan dengan kebijakan lisensi impor secara „automatic‟ untuk

melindungi petani produsen di Indonesia dari serbuan produk pangan impor.

Secara teoritis tariff impor lebih „superior‟ dibandingkan kuota (Timmer, 1986;

Krugman dan Obstfeld, 2003). Pertama, pemerintah menerima „revenue‟ dari tariff

impor yang berlaku. Kedua, tariff impor dikenal sebagai „the second best policy‟ karena

„less trade distorting‟ dan lebih transparan dibandingkan kuota. Ketiga, tariff impor tidak

menyuburkan praktek „rent seeking‟. Keempat, kebijakan tariff tidak mengakibatkan

Page 21: LAPORAN AKHIR ANJAK TA - pse.litbang.pertanian.go.id · Bahkan dua-tiga kali sidang Kabinet terbatas digelar untuk secara khusus mencari jalan keluar untuk menangani lonjakan harga

20

melonjaknya harga produk yang bersangkutan di pasar domestik manakala terjadi

kenaikan permintaan, sebaliknya terjadi untuk kebijakan kuota impor (Erwidodo dan

Sayaka, 2013).

Permasalahnya adalah apakah kebijakan menaikan tariff impor dimungkinkan

dalam konteks FTA (ASEAN)? Ada pemahaman banyak pihak, baik di Kemendag

maupun Kementan, bahwa instrumen „import tariff‟ tidak lagi efektif dalam memberikan

perlindungan kepada petani dan produsen domestik umumnya, karena tingkat tariff

impor di AFTA dan ASEAN+partner umumnya sdh „rendah‟ dan bahkan „zero‟. Mereka

berpendapat bahwa menaikan tarif tidak berlaku bagi Negara anggota ASEAN dan

ASEAN+partner. Mereka berpandangan bahwa kalau Indonesia menaikan tarif impor,

harus melakukan renegosiasi dengan seluruh anggota ASEAN dan ASEAN+partner,

sedangkan kalau menerapkan kuota impor tidak perlu renegosiasi. Tidak mengherankan

kalau kuota impor belakangan menjadi populer dan menjadi andalan Kemendag

maupun Kementan2.

Benarkah pemahaman seperti itu? Memang benar, dalam perdagangan intra-

ASEAN, pemerintah Negara ASEAN tidak lagi leluasa menerapkan kebijakan tariff,

kecuali dalam situasi emergensi akibat lonjakan impor yang menyebabkan atau

mengancam akan menyebabkan kerugian petani produsen, sebagaimama diatur dalam

Artikel 6 tentang „Emergency Measures‟ perjanjian CEPT-AFTA (1992) dan Chapter 9

ATIGA (ASEAN Trade in Good Agreement) tentang „Trade Remedy Measures‟, artikel 86

tentang „safeguard measure‟ dan artikel 87 tentang „Anti-dumping and Countervailling

Measures‟.

Dengan demikian, dalam perdagangan intra-ASEAN pemerintah Negara anggota

masih dapat menerapkan kebijakan tarif untuk melindungi petani dan sektor pertanian,

sesuai dengan aturan yang telah disepakati. Bilamana terjadi lonjakan produk impor

yang merugikan atau berpotensi merugikan petani, Negara anggota ASEAN dapat

menerapka tariff beamasuk sesuai dengan aturan general safeguard-WTO, Demikian

juga, jika terjadi lonjakan impor akibat „dumping‟ yang diterapkan oleh Negara eksportir

2 Pemahaman ini secara resmi tercermin dalam Nota Dinas dari Kepala Badan Ketahanan Pangan kepada Menteri Pertanian, tanggal 7 Mei 2013, tentang pertimbangan penggunaan tarif impor produk hortikultura

Page 22: LAPORAN AKHIR ANJAK TA - pse.litbang.pertanian.go.id · Bahkan dua-tiga kali sidang Kabinet terbatas digelar untuk secara khusus mencari jalan keluar untuk menangani lonjakan harga

21

anggota ASEAN, maka pemerintah dapat menerapkan „anti-dumping measures‟ berupa

kenaikan tariff bea-masuk, sesuai dengan aturan Anti-Dumping Measures WTO. Namun

Negara anggota yang menerapkan kebijakan „safeguard‟ dan „anti-dumping‟ tersebut

harus dapat membuktikan terjadinya lonjakan impor yang secara potential akan

merugikan petani.

KEBIJAKAN HARGA DAN KETAHANAN PANGAN

Hampir semua pemerintahan/negara di dunia melakukan kebijakan harga dan

intervensi pasar terhadap produk pangan utama (Timmer, 1986). Kebijakan harga

dilakukan pemerintah dengan cara mempengaruhi besar-kecilnya kuantitas dan

distribusi dari produk di pasar. Umumnya intervensi pemerintah hanya fokus ke proses

pembentukan (formasi) harga sedangkan fungsi „engineering‟ lain dari pemasaran suatu

produk, yakni fungsi transportasi, pengelolaan cadangan (storage) dan pengolahan

produk, diserahkan kepada meanisme pasar. Kebijakan harga yang mengkombinasikan

intervensi pemerintah dan mekanisme pasar semacam ini yang paling banyak

diterapkan, termasuk di negara yang menganut sistem pasar bebas. Kebijakan harga

semacam ini tidak memerlukan anggaran pemerintah dan efektif dalam menekan

gejolak dan fluktuasi harga pangan.

Secara umum formasi harga terdiri dari: (i) determinasi harga domestik untuk

petani dan konsumen relative harga paritas dan harga produk pangan lain, (ii)

stabilisasi harga pangan domestic terhadap pengaruh fluktuasi harga pangan dunia,

dan (iii) penentuan „margin harga‟ antar wilayah dan antar waktu (transportasi dan

storage), serta margin harga antar bentuk produk akibat pengelolahan produk (Timmer,

1986; Newbery and Stiglitz, 1981). Sangat mungkin kebijakan harga hanya berfokus

tujuan pertama, yakni pembentukan harga domestik. Penerapan tariff impor, tanpa

intervensi lainnya, hanya membuat harga domestik lebih mahal dibanding harga paritas

impornya. Tujuannya terutama untuk memperoleh penerimaan negara dari tariff dan

tidak untuk tujuan stabilisasi harga dari produk pangan yang bersangkutan.

Page 23: LAPORAN AKHIR ANJAK TA - pse.litbang.pertanian.go.id · Bahkan dua-tiga kali sidang Kabinet terbatas digelar untuk secara khusus mencari jalan keluar untuk menangani lonjakan harga

22

Kebijakan stabilisasi harga pangan merupakan salah satu kebijakan penting

untuk menjamin harga layak bagi produsen untuk keberlansungan usahatani dan

ketahanan pangan. Stabilisasi harga tidak hanya untuk kepentingan produsen tetapi

juga konsumen, yakni kebijakan harga yang bertujuan untuk menjamin harga „layak‟

(remunerative) bagi produsen dan pedagang tetapi masih terjangkau konsumen.

Pertanyaan yang sering muncul adalah berapa tingkat harga yang dipandang layak dan

harga mana yang dijadikan pembanding?

Bagaimana menentukan harga „layak‟ bagi petani dan konsumen domestik dalam

situasi pasar dunia yang terdistorsi. Demikian juga, berapa nilai tukar yang seharusnya

dipergunakan?. Dalam bukunya „Getting Prices Right‟ Timmer (1986) membahas “harga

tepat” untuk produk pertanian. Terlepas perlunya catatan dan koreksi, harga

perbatasan “border price” masih tetap penting sebagai referensi dalam menentukan

harga layak untuk produk pertanian tertentu. Dalam pasar bersaing, pembentukan

harga domestik yang mengacu kepada harga perbatasan menghasilkan tingkat

kesejahteraan masyarakat maksimum. Namun, mengingat pasar tidak bersaing

sempurna dan kenyataan bahwa pasar dunia “terdistorsi” maka diperlukan koreksi

terhadap penggunaan harga perbatasan dengan pendekatan „harga bayangan (shadow

price)‟ atau dengan rataan harga untuk jangka waktu tertentu. Pendekatan serupa juga

dilakukan untuk memilih nilai tukar.

Kebijakan harga tidak selalu bertentangan dengan mekanisme pasar. Namun,

kebijakan harga yang menggunakan pembatasan impor kuantitatif (kuota) mendistorsi

mekanime pasar dalam pembentukan harga keseimbangan. Kebijakan harga yang tetap

membuka peluang terjadinya proses pembentukan harga antar wilayah, waktu dan

bentuk produk serta interaksi antar penjual-pembeli secara kompetitif masih tetap

dapat mencapai efisiensi eonomi. Dengan demikian, penerapan kebijakan harga tidak

selalu bertentangan dengan mekanisme pasar bebas dan kalau dilakukan dengan „tepat‟

justru dapat mengkoreksi kegagalan pasar untuk tujuan melindungi petani dan

konsumen.

Page 24: LAPORAN AKHIR ANJAK TA - pse.litbang.pertanian.go.id · Bahkan dua-tiga kali sidang Kabinet terbatas digelar untuk secara khusus mencari jalan keluar untuk menangani lonjakan harga

23

ATURAN WTO DAN STABILISASI HARGA

Awal tahun 2013, Presiden memberikan penugasan kepada kementerian terkait

dan Perum Bulog untuk melaksanakan pengelolaan cadangan dan stabilisasi harga 4

komoditas pangan lain, disamping beras, yaitu kedele, jagung, gula dan daging sapi.

Belum sampai rencana ini dilaksanakan, ada wacana yang berkembang agar

pemerintah perlu hadir dan proaktif dalam menjamin stabilisasi harga pangan lainnya

termasuk sayuran (cabe, bawang merah dan bawang putih) yang juga sering

mengalami gejolak harga akhir-akhir ini.

Dalam diskusi terbatas yang dikoordinasi oleh Staff Khusus Presiden Bidang

Pangan dan Energi, dibahas beberapa pertanyaan berikut : (i) apakah aturan WTO

melarang Negara anggota untuk menerapkan kebijakan stabilisasi harga pangan dan

„public stock holding‟, (ii) apakah aturan WTO melarang Negara anggota untuk

memberikan hak monopoli impor kepada state trading Enterpises (STE), (iii) Negara-

negara mana yang menerapkan program stabilisasi dan stok penyangga ?

Aturan WTO tidak melarang Negara anggota untuk melakukan kebijakan harga.

Secara umum Article GATT XXXVIII 1994 bahkan memberikan hak Negara anggota

untuk melakukan „joint action including action through international arrangements to

stabilize and improve conditions of the world markets in commodities‟. Tidak ada aturan

WTO yang melarang keterlibatan STE. Namun demikian ada aturan yang mengharuskan

Negara anggota untuk memperlakukan STE konsisten dengan “general principles of

non-discriminatory treatment” dalam kegiatan impor dan ekspor yang diberlakukan bagi

pemain swasta (Understanding on the interpretation of Artcle XVII of GATT 1994).

Tidak ada aturan WTO yang melarang Negara memberikan hak monopoli kepada STE

sepanjang tidak melanggar prinsip-prinsip Most Favored Nation (MFN) and National

Treatment yang merugikan Negara anggota lain. Upaya untuk

membatasi/mendisiplinkan STE sedang dalam proses perundingan Doha (DDA) yang

sampai sekarang belum selesai.

Namun demikian, mengingat program stabilisasi harga secara langsung terkait

dengan peran pemerintah untuk melakukan intervensi pasar, mengatur impor dan

Page 25: LAPORAN AKHIR ANJAK TA - pse.litbang.pertanian.go.id · Bahkan dua-tiga kali sidang Kabinet terbatas digelar untuk secara khusus mencari jalan keluar untuk menangani lonjakan harga

24

ekspor serta mengelola stock, maka dalam pemilihan “policy instruments” dan

pelaksanaannya perlu konsisten dengan aturan WTO. Misalnya, dalam pengelolaan

stock, operasi pasar (pembelian oleh STE pada saat musim panen dan penjualan saat

musim paceklik) perlu mengacu kepada aturan WTO tentang “domestic subsidy”

(aturan de minimis dan amber box). Demikian juga aturan WTO melarang pemerintah

Negara anggota melakukan pelarangan impor/ekspor dan menerapkan restriksi

kuantitatif (quota) kecuali disebutkan/termasuk dalam Schedule of commitment tahun

1994 (UR disepakati). Dengan demikian, program stabilisasi harga tidak dilarang tetapi

pemilihan instrument kebijakan “subject to” atau harus “compliance with” aturan WTO

yang berlaku.

Negara-negara anggota WTO yang menerapkan program stabilisasi harga antara

lain India, China, Pakistan, Singapura, Malaysia, Philipina, Thailand, Korea Selatan,

Turki, Swiss, Finlandia dan Estonia. Hampir semua Negara „net-food importing‟,

pemerintahnya melaksanakan program stabilisasi harga pangan, menggunakan

berbagai instrumen kebijakan mulai dari pengaturan/pembatasan impor, public

stockholding dan operasi pasar. Seperti Indonesia, India dan China menerapkan

program stabilisasi melalui pengaturan impor, pembelian pemerintah dan pengelolaan

stok, serta melakukan operasi pasar.

KEBIJAKAN STABILISASI HARGA KEDELE

Untuk kedele pemerintah telah memutuskan untuk melakukan stabilisasi harga

dengan menugaskan Bulog untuk melakukan pembelian kedele petani, melakukan

impor dan mengelola cadangan (stok penyangga), serta melakukan penjualan (operasi

pasar) saat pasokan ke pasar langka dan harga kedele melonjak. Pada awal Juli 2013,

pemerintah lewat Permendag 25/M-Dag/Per/6/2013 menetapkan HPP kedele petani

seharga Rp7000 per kg, dan lewat Permendag no 26/M-Dag/Per/6/2013 memutuskan

untuk melakukan penjualan kedele ke pengrajin tahu dan tempe per 1 Juli 2013 dengan

harga Rp7450 per kg. Selanjutnya, melalui Permendag 37/M-Dag/Per/6/2013

Page 26: LAPORAN AKHIR ANJAK TA - pse.litbang.pertanian.go.id · Bahkan dua-tiga kali sidang Kabinet terbatas digelar untuk secara khusus mencari jalan keluar untuk menangani lonjakan harga

25

menugaskan Bulog untuk penjualan ke pengrajin tahu dan tempe per 1 Agustus dengan

harga jual Rp7700 per kg.

Kebijakan stabilisasi harga kedele tidak berjalan efektif terlihat dari kenyataan

terus meningkatnya harga kedele di tingkat pengrajin diatas Rp9500 per kg. Salah satu

penyebabnya adalah terus meningkatnya harga kedele impor seiring dengan kenaikan

harga kedele di pasar dunia dan depresiasi nilai tukar rupiah terhadap US dollar.

Diperoleh informasi bahwa Bulog diminta untuk melakukan operasi pasar dengan „dana

komersial‟, tidak didukung dengan „dana pemerintah‟ sebagaimana dilakukan untuk

stabilisasi harga beras. Situasi inilah yang membuat kebijakan stabilisasi harga kedele

tidak berjalan efektif. Ketersediaan „anggaran pemerintah‟ untuk pengelolaan cadangan

dan operasi pasar merupakan suatu keniscayaan agar kebijakan stabilisasi harga suatu

komoditas pangan tertentu berjalan efektif. Keniscayaan ini menjadi semakin nyata

pada situasi dimana Bulog diwajibkan untuk membeli kedele pada tingkat harga subsidi

(HPP) dan menjual stok penyangga dibawah harga keseimbangan pasar.

Apa yang sebaiknya dilakukan pemerintah agar stabilisasi harga kedele berjalan

efektif? Mungkinkah stabilisasi harga berjalan efektif tanpa anggaran pemerintah yang

besar? Jawabannya mungkin, yakni dengan mengkombinasikan peran Perum Bulog

sebagai pengelola stok penyangga dan kebijakan impor yang lebih terbuka dan

transparan dengan instrumen tariff impor dan automatic import licensing, dimana Bulog

bersama Importer Terdaftar (IT) sebagai pelaku impor. Pemerintah harus mendorong

agar swasta (importir) berkembang agar bisa lebih cepat merespon signal yang muncul

baik di pasar domestik maupun pasar dunia. Stok penyangga yang dikelola Bulog masih

tetap diperlukan, namun jumlahnya relatif kecil. Agar dapat befungsi efektif, Perum

Bulog membutuhkan keuangan yang kuat, manajemen handal dan jadwal pembelian

dan penjualan yang ketat. Kebijakan stabilisasi harga pangan di beberapa Negara

terbukti berjalan efektif melalui kombinasi kebijakan pengelolaan stok penyangga dan

kebijakan perdagangan (impor) secara transparan.

Pemerintah menerapkan tariff impor optimum, yakni tingkat tarif impor yang

menjamin keuntungan layak bagi petani dan harga eceran yang terbentuk tidak

memberatkan konsumen (Erwidodo dan Sayaka, 2013). Dengan tingkat tarif optimum

Page 27: LAPORAN AKHIR ANJAK TA - pse.litbang.pertanian.go.id · Bahkan dua-tiga kali sidang Kabinet terbatas digelar untuk secara khusus mencari jalan keluar untuk menangani lonjakan harga

26

ini, semua IT dan Bulog dapat melakukan impor sepanjang mereka membayar tariff

impor yang berlaku. Bulog dapat menjalankan perannya untuk mengamankan HPP,

melakukan impor untuk mengisi stok penyangga, dan melakukan operasi penjualan

manakala harga di pasar domestik melebihi HJP yang ditetapkan pemerintah.

Secara ringkas langkah yang harus diambil dalam melakukan kebijakan stabilisasi

harga pangan adalah sebagai berikut:

(1) Menghitung berapa Break Even Point (BEP)3 dan tingkat harga yang membuat

produsen memperoleh keuntungan yang wajar untuk terus berusahatani

komoditas dimaksud

(2) Secara periodik menghitung dan menetapkan Harga Pembelian Pemerintah

(HPP) dan Harga Jual Pemerintah (HJP). Pengamanan kedua „administered

prices‟ ini dilakukan oleh Perum Bulog melalui operasi pembelian kedele petani

khususnya saat musim panen raya, manakala harga farm-gate kedele anjlok, dan

penjualan kedele ke pasar manakala harga pasar melampaui HJP.

(3) Melakukan pengendalian impor untuk mencegah membanjirnya kedele impor ke

pasar domestik khususnya bila harga kedele impor jauh lebih murah dari harga

di pasar domestik. Dalam situasi ini pemerintah perlu menerapkan tarif impor

optimum agar HPP dapat diamankan berlakunya. Instrumen kuota impor harus

dihindari, karena melanggar ketentuan WTO dan berpotensi menyuburkan

perilaku mencari rente ekonomi (rent seeking behavior) serta sangat rawan

terhadap penyalah-gunaan wewenang dan suap-menyuap.

(4) Kebijakan pengendalian atau pembatasan impor harus dilakukan secara

transparan, yakni dengan menerapkan „automatic import licensing‟. Pemerintah

harus bertindak sebagai promotor persaingan sehat, tidak malah sebaliknya.

Kebijakan lisensi impor ekstra ketat yang membatasi jumlah importir dengan

persyaratan-persyaratan berlebihan justru membuka peluang terjadinya pasar

3 Ketersediaan data ‘Struktur Ongkos Usahatani’ yang ‘reliable’ dan ‘updated’ menjadi sangat penting untuk mengetahui biaya produksi dan keuntungan petani. Sampai dengan akhir tahun 1990an, BPS secara rutin melakukan survei dan mempublikasikan data ini, namum kemudian ditiadakan. Lewat tulisan ini, penulis mengusulkan agar BPS kembali melakukan kegiatan survei dan mempublikasi data ‘struktur ongkos usahatani’ sebagai referensi resmi untuk menentukan HPP dan HJP dalam perumusan kebijakan impor dan kebijakan stabilitas hraga pangan (strategis).

Page 28: LAPORAN AKHIR ANJAK TA - pse.litbang.pertanian.go.id · Bahkan dua-tiga kali sidang Kabinet terbatas digelar untuk secara khusus mencari jalan keluar untuk menangani lonjakan harga

27

tidak bersaing/oligopoli, praktek kartel dan imperfeksi pasar lain yang merugikan

konsumen dan perekonomian. Pengalaman selama ini membuktikan situasi ini,

dan pemerintah tidak mampu mencegah atau mengendalikan. Gejolak dan

lonjakan harga daging sapi dan kedele belakangan ini menjadi bukti adanya

imperfeksi pasar sebagai akibat kesalahan kebijakan pemerintah (policy failure).

(5) Untuk melaksanakan kebijakan stabilisasi harga kedele dan empat produk

strategis lain (beras, jagung, gula dan daging sapi), pemerintah menugaskan

Perum Bulog sebagai Badan Penyangga untuk mengelola stock penyangga dan

melakukan operasi pasar guna menjamin berlakunya HPP dan HJP.

(6) Mengingat kebijakan stabilisasi harga terkait dengan anggaran pemerintah

(subsidi) dan untuk menghindari polemik politik (terkait Hak Budget DPR), perlu

disiapkan UU Stabilisasi Harga Pangan dan aturan pelaksanaan sebagai payung

hukum bagi pemerintah dan kementerian terkait untuk meyiapkan dan

membelanjakan anggaran „subsidi‟ stabilisasi harga pangan.

Butir ke-6 diatas sangat penting mengingat kebijakan ini mmemerlukan

anggaran pemerintah/Negara. Dengan adanya UU seperti ini, secara politik DPR telah

memberikan mandat kepada pemerintah untuk menganggarkan dan membelanjakan

dana publik untuk stabilisasi harga ke-5 komoditas pangan strategis diatas. Keberadaan

anggaran ini mirip dengan „Dana Pengadaan Pangan dan Stabilisasi Harga Pangan‟ di

masa Orde Baru. Bedanya adalah sekarang pemerintah harus mengikuti aturan dan

disiplin anggaran dan Bank Indonesia tidak lagi dalam pengaruh langsung pemerintah.

Pada masa Orde Baru anggaran tersebut berasal dari „Kredit Likuiditas Bank Indonesia

(KLBI)‟ yang jumlahnya tidak terbatas tergantung kebutuhan dan BI berada dalam

komando pemerintah. Artinya, kebijakan stabilisasi harga pangan kedepan menuntut

akuntabilitas anggaran dan kredibilitas Pemerintah dan Bulog.

Agar efektif, kebijakan stabilisasi harga pangan harus menjadi keputusan politik

dan dipayungi oleh UU. Kebijakan ini menjadi terbuka dan transparan baik dalam

pelaksanaan maupun pertanggung-jawaban anggarannya. Perum Bulog sebagai

pengelola stok penyangga dan pelaksana operasi pasar mempunyai kepastian hukum

Page 29: LAPORAN AKHIR ANJAK TA - pse.litbang.pertanian.go.id · Bahkan dua-tiga kali sidang Kabinet terbatas digelar untuk secara khusus mencari jalan keluar untuk menangani lonjakan harga

28

dalam melaksanakan tugas stabilisasi dan didukung dengan anggaran yang cukup dan

jelas keberadaannya. Penggunaan anggaran stabilisasi harga pangan harus dimonitor

dan di-audit secara ketat, pemerintah harus transparan dan bersedia memfasilitasi

kelompok-kelompok penggiat pemberantasan korupsi untuk ikut memonitor

penggunaan anggaran ini.

Langkah transparansi anggaran seperti diatas juga sesuai dengan aturan „subsidi

domestik‟ di WTO. Negara anggota berkewajiban untuk menotifikasikan anggaran

„subsidi domestik‟ dalam kategori „Amber box‟ yakni subsidi yang dinilai akan

mendistorsi pasar dan perdagangan. Bagi Negara berkembang umumnya termasuk

Indonesia, batas maksimum subsidi domestik mengacu ketentuan „de minimis‟, yakni

10% dari nilai total produksi pertanian (Value of Agricultural Production). Sampai saat

ini, Indonesia baru sekali menyampaikan notifikasi subsidi domestik, yakni pada tahun

2005. Alasannya adalah anggaran subsidi domestik yang dikeluarkan pemerintah

secara total maupun per komoditas pertanian tidak pernah diketahui dan dihitung

berapa besarnya. Dengan transparansi anggaran seperti tersebut diatas, tidak akan

ada kesulitan lagi untuk memenuhi kewajiban notifikasi di WTO.

Kebijakan stabilisasi harga kedele akan lebih mudah dilakukan pada saat harga

kedele di pasar dunia lebih murah dibandingkan harga di pasar domestik. Dalam situasi

ini, yang harus dilakukan pemerintah adalah pengendalian/pembatasan impor dengan

penerapan tariff impor optimum agar petani, tidak dirugikan oleh banjir impor kedele

dari manca-negara. Dengan tarif impor optimum harga kedele eceran di pasar domestik

akan meningkat tetapi tidak kelewat tinggi sehingga tetap terjangkau konsumen secara

luas.

Polemik muncul pada saat harga dunia kedele tinggi seperti saat ini. Meskipun

semua hambatan impor termasuk tariff telah dihilangkan, harga kedele impor masih

kelewat tinggi karena depresaiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Dalam kondisi

seperti ini, komitmen pemerintah untuk menjamin stabilisasi harga diuji. Pemerintah

harus konsisten untuk menjamin berlakunya HJP. Tentu saja pemerintah harus

menanggung biaya subsidi, yakni selisih harga pasar dengan HJP. Dalam situasi seperti

ini, keberadaan UU Stabilisasi Harga Pangan sebagaimana dibahas diatas sangat

Page 30: LAPORAN AKHIR ANJAK TA - pse.litbang.pertanian.go.id · Bahkan dua-tiga kali sidang Kabinet terbatas digelar untuk secara khusus mencari jalan keluar untuk menangani lonjakan harga

29

diperlukan sebagai pijakan hukum dalam menyiapkan dan menggunakan anggaran

(APBN).

Ulasan diatas sebagai ilustrasi „kehadiran‟ pemerintah/Negara dalam mengatasi

masalah instabilitas harga dan keberpihakan kepada petani produsen dan konsumen

komoditas pangan secara luas. Kebijakan stabilisasi harga berperan sangat penting

dalam mendukung program peningkatan produksi dan produktivitas untuk mencapai

ketahanan dan swasembada pangan secara berkelanjutan. Dari ulasan diatas dan

instrument yang dipergunakan, sangat jelas bahwa kebijakan stabilisasi harga pangan

mencakup tidak hanya „border measures‟ tetapi juga „measures beyond the border‟.

Keberadaan program peningkatan produksi dan produktivitas yang kongkrit dan

terukur, sebagaimana dibahas diatas, harus menjadi komitmen politik Negara agar

ketahahan pangan secara berkelanjutan dapat dicapai.

Pengalaman negara lain memperlihatkan bahwa kebijakan stabilisasi harga yang

dikombinasikan dengan kebijakan impor secara transparan dapat berjalan efektif tanpa

perlu anggaran publik (stok penyangga) yang besar. Instrumen kebijakan lain yang

efektif dalam menghadapi instabilitas harga pangan adalah sistem resi gudang

(warehouse receipt system).

SISTEM RESI GUDANG

Sifat musiman dari produksi pertanian pada umumnya rentan terhadap fluktuasi

dan gejolak harga. Harga jatuh pada saat musim panen raya (peak harvest season) dan

naik pada saat non-musim (off season). Banyak negara, khususnya negara maju,

memiliki instrumen untuk menghadapi fluktuasi harga produk pertanian, mulai dari

bursa berjangka komoditas, sistem kontrak serah (future contract) sampai ke Sistem

Resi Gudang-RSG (warehouse receipt system). Sistem ini sudah lama diterapkan di

banyak negara, termasuk negara berkembang pengekspor produk pertanian. SRG baru

mulai dikenal di Indonesia sejak terbitnya UU No 9/2006 tentang Resi Gudang, dan

mulai diterapkan secara bertahap sejak tahun 2007.

Page 31: LAPORAN AKHIR ANJAK TA - pse.litbang.pertanian.go.id · Bahkan dua-tiga kali sidang Kabinet terbatas digelar untuk secara khusus mencari jalan keluar untuk menangani lonjakan harga

30

Resi Gudang (RG) adalah dokumen bukti kepemilikan barang yang disimpan di

suatu gudang yang diterbitkan oleh pengelola gudang dan merupakan sekuriti yang

menjadi instrumen perdagangan. RG merupakan surat berharga yang dapat

diperdagangkan, diperjaul-belikan, dipertukarkan atau digunakan sebagai jaminan bagi

pinjaman maupun dapat dipergunakan untuk pengiriman barang dalam transaksi

derivative seperti halnya kontrak serah (future contract). RG dapat digunakan oleh

petani untuk memperoleh kredit pembiayaaan dari per-bank-an untuk usahataninya.

SRG sangat cocok untuk komoditas pertanian yang rentan terhadap fluktuasi

harga. Untuk mengatasi masalah anjloknya harga saat panen raya, petani dapat

menyiasatinya dengan cara menunda penjualan produksinya, tetapi tetap mendapatkan

uang tunai untuk melaksanakan usahatani dan menyambung hidup keluarganya. SRG

merupakan alternatif bagi petani untuk melakukan strategi pemasaran hasil

produksinya.

Sesuai Permendag No 26/M-DAG/PER/2007, pemerintah telah menetapkan 8

komoditas pertanian sebagai produk yang dapat disimpan di gudang dalam

penyelenggaraan SRG, yaitu: gabah, beras, kopi, kakao, lada, karet, rumput laut dan

jagung, belakangan menyusul dua tambahan produk yaitu rotan dan garam. Adapun

persyaratannya produknya adalah: (i) memiliki daya simpan minimal 3 bulan, (ii)

memenuhi standar mutu tertentu, dan (iii) memenuhi jumlah minimum yang disimpan.

Bank dan Lembaga Keuangan yang telah berpartisipasi dalam menyalurkan pembiayaan

resi gudang, antara lain, Bank BRI, Bank Jabar, Bank Jatim, Bank Kalsel.

Data resmi dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti),

Kementerian Perdagangan, memperlihatkan bahwa pelaksanaan SRG masih terbatas,

meskipun terjadi peningkatan cukup nyata dalam peneribitan resi gudang selama tiga

tahun terakhir (Gambar 4). Sejak 2008-November 2013, dilaporkan 1216 resi gudang

telah diterbitkan dengan total nilai Rp213 milyar, mencakup 1070 RG untuk gabah

dengan nilai Rp 197 milyar, 77 RG untuk beras dengan nilai Rp 32 milyar, 45 RG untuk

jagung dengan nilai Rp 4 milyar, sisanya 24 RG untuk produk lain dengan nilai Rp 3.1

milyar. Dari total RG yang telah diterbitkan, sebanyak 975 pemilik RG memperoleh

kredit dari lembaga keuangan/perbankan dengan total nilai kredit Rp141 milyar. Dari

Page 32: LAPORAN AKHIR ANJAK TA - pse.litbang.pertanian.go.id · Bahkan dua-tiga kali sidang Kabinet terbatas digelar untuk secara khusus mencari jalan keluar untuk menangani lonjakan harga

31

total nasabah penerima kredit 863 pemilik RG gabah dan 61 pemilik RG beras dengan

total nilai kredit masing-masing sebesar Rp 119 milyar dan Rp 17 milyar.

Menteri Perdagangan (2013) menyatakan bahwa Indonesia kekurangan gudang

penyimpanan pangan, yang bisa dikelola secara modern untuk menerapkan SRG.

Menurut Mendag, saat ini baru ada 81 unit dan hanya mampu menampung 5 persen

kebutuhan pangan (beras) nasional. Kondisi ini sangat merugikan petani, yang sulit

mendapatkan kepercayaan kredit dari bank, karena tak ada bukti kepemilikan hasil

produksi yang dapat dijadikan jaminan (agunan) untuk memperoleh kredit perbankan.

Mendag menyatakan perlunya situasi ini terus disuarakan agar pemerintah bersedia

menambah anggaran untuk membangun gudang modern. Pertanyaannya adalah

mengapa Mendag (Kemendag) tidak mengusulkan rencana ini ke Menteri Keuangan

(Kemenkeu) dan Ka-Bappenas dalam sidang Kabinet yang dipimpin oleh Presiden?

Bukankah keberadaan SRG merupakan amanat Undang-Undang yang harus

dilaksanakan oleh pemerintah? Mengapa Mendag masih harus berwacana di dalam

Seminar?

Jika pemerintah benar-benar serius untuk membangun sektor pertanian,

membantu dan melindungi petani dari masalah anjloknya harga saat musim panen

serta memfasilitasi petani untuk memperoleh kredit perbankan maka sudah seharusnya

pemerintah melaksanakan amanat UU SRG No 9/2006 secara penuh. Jika SRG

diterapkan secara meluas di seluruh propinsi, maka instabilitas harga produk pangan

dapat dikurangi, petani memperoleh margin keuntungan lebih besar serta dapat

memperoleh kredit perbankan untuk usahataninya. Pemerintah tidak harus melakukan

program „stabilisasi harga pangan‟ secara konvensional dengan mengelola stok

penyangga yang memerlukan anggaran besar. Stok penyangga pemerintah (yang

dikelola BULOG) tidak perlu terlalu besar, digantikan oleh stok swasta (pedagang) dan

petani yang dibentuk lewat SRG. Disamping itu, penerapan SRG yang memerlukan

syarat „standar mutu‟ akan mendorong dan membudayakan petani untuk menghasilkan

produk yang memenuhi standar mutu.

Page 33: LAPORAN AKHIR ANJAK TA - pse.litbang.pertanian.go.id · Bahkan dua-tiga kali sidang Kabinet terbatas digelar untuk secara khusus mencari jalan keluar untuk menangani lonjakan harga

32

Standar mutu menjadi penting tidak hanya karena menyadi syarat penerbitan RG tetapi

sangat „urgent‟ untuk menghadapi pasar tunggal ASEAN dengan diberlakukannya

Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Perdagangan antar negara ASEAN (intra-ASEAN

trade) bebas hambatan tariff, namun harus memenuhi standar mutu yang disepakati

bersama. Jika Indonesia tidak segera membenahi, mensosialisasikan dan menerapkan

standar mutu secara wajib (Standar Nasional Indonesia-SNI) maka produk pangan

Indonesia tidak dapat masuk ke pasar negara ASEAN, sementara produk pangan

Negara ASEAN membanjiri pasar Indonesia. Jadi, Kementan perlu menyusun roadmap

penerapan standar mutu produk pertanian (pangan) agar dapat membantu petani

memanfaatkan SRG dan sekaligus menghadapi persaingan di era MEA 2015.

0

100

200

300

400

500

2008 2009 2010 2011 2012 2013 **)

16 13 57

271

379,0

480,0

6 5 35

218

334 377

Res

i Gu

dan

g Gambar 4 Penerbitan dan Pembiayaan Resi Gudang

Penerbitan RG Pembiayaan RG

Page 34: LAPORAN AKHIR ANJAK TA - pse.litbang.pertanian.go.id · Bahkan dua-tiga kali sidang Kabinet terbatas digelar untuk secara khusus mencari jalan keluar untuk menangani lonjakan harga

33

MELINDUNGI PETANI TANPA MEMBEBANI KONSUMEN DAN PEREKONOMIAN

Melonjaknya harga beberapa produk pangan beberapa bulan terakhir sangat

membebani konsumen rumah tangga termasuk rumah tangga di pedesaan. Lonjakan

harga beberapa produk pangan tersebut memicu inflasi dan membebani perekonomian

nasional. Apakah petani produsen diuntungkan dengan lonjakan harga tersebut? Secara

teoritis kenaikan harga akan mendorong petani produk yang bersangkutan untuk

memperluas areal tanam dan meningkatkan produksi. Namun, harus juga disadari

bahwa peningkatan harga produk juga akan memacu permintaan dan harga input

produksi. Mungkin keuntungan petani sedikit meningkat, tetapi belum tentu meningkat

kesejahteraannya karena ikut meningkatnya harga kebutuhan pokok lainnya. Yang pasti

jutaan rumah tangga miskin termasuk rumah tangga petani di pedesaan akan terbebani

oleh lonjakan harga pangan pada umumnya.

Tujuan pemerintah (Kementan) untuk mencapai ketahanan dan kemandirian

pangan merupakan „legitimate objective‟ dan perlu didukung seluruh komponen bangsa.

Namun untuk mencapainya diperlukan strategi, kebijakan, program dan instrumen

kebijakan yang tepat. Mustahil dapat mencapai tujuan tersebut hanya dengan

membatasi atau melarang impor. Keberpihakan pemerintah kepada petani tidak

seharusnya dilakukan dengan instrumen kuota impor yang justru menyuburkan praktek

„rent seeking‟ dan membebani konsumen. Menjadi sangat keliru manakala keberpihakan

tersebut justru tidak dinikmati oleh petani produsen namun hanya dinikmati oleh

segelintir pedagang dan importir. Fenomena ini yang belakangan ini terjadi. Jika

keadaan ini terus berlangsung, dapat dipastikan target untuk mencapai ketahanan dan

kemandirian pangan tidak akan pernah tercapai.

Disamping memberikan perlindungan dari ancaman produk impor (border

measures), sangat diperlukan kebijakan dan program yang mencerminkan

keberpihakan dan perhatian lebih besar untuk meningkatkan kapasitas produksi,

produktivitas dan kualitas produk pangan pada umumnya (behind the border

measures). Bahkan yang terakhir ini lebih penting bila „kemandirian‟ produk pangan

(kedele) menjadi tujuan nasional. Behind the border measures mencakup antara lain

Page 35: LAPORAN AKHIR ANJAK TA - pse.litbang.pertanian.go.id · Bahkan dua-tiga kali sidang Kabinet terbatas digelar untuk secara khusus mencari jalan keluar untuk menangani lonjakan harga

34

kebijakan dan program penigkatan kapasitas produksi, stabilisasi harga pangan,

perluasan sistem resi gudang. Tidak hanya komitmen politik dan kecukupan anggaran,

langkah ini harus menjadi gerakan nasional, sebagaimana dilakukan pemerintah saat

menggulirkan program swasembada beras akhir tahun 70an.

Mengambil pelajaran dari sukses pemerintah mencapai swasembada beras,

dapat kita ingat kembali berbagai program dan langkah kongkrit yang dilakukan antara

lain, dibentuknya Badan Bimas mulai dari Pusat sampai daerah termasuk Dewan

Pembina Bimas yang diketuai langsung oleh Presiden, program intensifikasi dan

ekstensifikasi, pencetakan sawah baru, dan pembangunan sarana dan saluran irigasi.

Program peningkatan produksi dan produktivitas pertanian tidak akan berhasil tanpa

ada dukungan kementerian terkait lainnya. Dukungan kementerian Pekerjaan Umum

sangat vital untuk memastikan ketersediaan dan peningkatan sarana irigasi, pencetakan

lahan sawah dan sarana jalan pedesaan. Terus menurunnya kualitas irigasi dan luas

lahan baku pertanian harus disikapi serius oleh pemerintah kalau ingin

mempertahankan dan meningkatkan kapasitas produksi pertanian nasional. Demikian

pula dukungan Kementerian Keuangan dan Bappenas untuk memastikan ketersediaan

dan kontinuitas anggaran roadmap peningkatan produksi dan produktivitas komoditas

strategis yang telah ditetapkan.

Pertanyaan menarik adalah apakah kebijakan, program dan langkah kongkrit

seperti itu dilakukan Pemerintah saat ini untuk mencapai ketahanan dan kemandirian

pangan umumnya dan kedele atau jagung khususnya? Nampaknya tidak demikian yang

terjadi. Bahkan hasil penelusuran penulis mendapatkan kenyataan sampai saat ini

belum ada roadmap dan program yang kongkrit dalam upaya peningkatan kapasitas

produksi pangan. Dari sisi kebijakan perdagangan juga belum ada roadmap

pengembangan dan perluasan SRG. Dengan demikian, haruslah diakui masih banyak

pekerjaan rumah yang segera harus dilakukan agar ketahanan dan kemandirian pangan

dapat dicapai, tidak hanya sekedar „jargon‟ politik.

Page 36: LAPORAN AKHIR ANJAK TA - pse.litbang.pertanian.go.id · Bahkan dua-tiga kali sidang Kabinet terbatas digelar untuk secara khusus mencari jalan keluar untuk menangani lonjakan harga

35

KESIMPULAN

1. Gejolak dan lonjakan harga eceran kedele dan jagung serta beberapa produk

pangan lain yang terjadi akhir-akhir ini merupakan indikator kelangkaan pasokan.

Peningkatan produksi domestik tidak dapat mengimbangi laju peningkatan konsumsi

akibat pertambahan penduduk, perkembangan industri pangan dan industri

perunggasan.

2. Terus berkurangnya luas lahan pertanian dan sawah berigasi, khususnya di Jawa,

akibat konversi lahan dipastikan akan semakin meningkatkan defisit pangan,

meningkatkan ketergantungan terhadap pangan impor dan memperburuk ketahanan

pangan. Perluasan lahan pertanian pangan dan pencetakan sawah (beririgasi) di

luar Jawa harus menjadi program nasional prioritas untuk mewujudkan ketahanan

sekaligus kemandirian pangan.

3. Tujuan untuk mencapai „ketahanan‟ dan „kemandirian‟ pangan merupakan

„legitimate objective‟ yang perlu didukung semua komponen bangsa. Namun untuk

mencapainya perlu strategi, kebijakan, program dan instrumen kebijakan yang

tepat, tidak hanya terbatas kepada langkah melarang dan/atau membatasi impor

yang justru membebani konsumen dan perekonomian.

4. Disamping kebijakan yang memberikan perlindungan dari ancaman melimpahnya

produk pangan impor (border measures), sangat diperlukan kebijakan yang

mencerminkan keberpihakan untuk meningkatkan kapasitas produksi pangan

nasional dan kebijakan yang dapat menjamin keuntungan dan kelangsungan usaha

petani (behind the border measures). Kebijakan stabilisasi harga pangan (strategis)

merupakan salah satu kebijakan penting dalam menjamin keuntungan layak dan

kelangsungan usaha petani dan pada gilirannya mencapai „ketahanan‟

dan „kemandirian‟ pangan. Kebijakan stabilisasi harga pangan tidak hanya

menguntungkan petani tetapi juga konsumen secara luas.

5. Aturan WTO tidak melarang Negara anggota melakukan stabilisasi harga pangan di

pasar domestik, dan tidak melarang State Trading Enterpises (STE) untuk

melaksanakan dan mengelola stok pangan. Tidak ada aturan WTO yang melarang

Page 37: LAPORAN AKHIR ANJAK TA - pse.litbang.pertanian.go.id · Bahkan dua-tiga kali sidang Kabinet terbatas digelar untuk secara khusus mencari jalan keluar untuk menangani lonjakan harga

36

Negara memberikan hak monopoli kepada STE sepanjang tidak melanggar prinsip-

prinsip Most Favored Nation (MFN) and National Treatment yang merugikan Negara

anggota lain.

6. Mengingat program stabilisasi harga secara langsung terkait dengan peran

pemerintah untuk melakukan intervensi pasar, mengatur impor dan ekspor serta

mengelola stock penyangga, maka dalam pemilihan “instrumen kebijakan” dan

pelaksanaannya perlu memperhatikan dan konsisten dengan aturan WTO.

Pengelolaan stock dan operasi pasar perlu mengacu kepada aturan WTO tentang

“domestic subsidy” (aturan de minimis dan Agregate Measures of Support-AMS).

7. Pengalaman beberapa Negara maju memperlihatkan bahwa kebijakan stabilisasi

harga yang dikombinasikan dengan kebijakan impor secara transparan dan terbuka

dapat berjalan efektif tanpa perlu anggaran publik (stok penyangga) yang besar.

Kebijakan dan instrumen lain yang penting dan efektif dalam menghadapi

instabilitas harga pangan dan membantu kelangsungan usahatani adalah sistem resi

gudang (SRG).

8. Resi Gudang (RG) adalah dokumen bukti kepemilikan barang yang disimpan di suatu

gudang yang diterbitkan oleh pengelola gudang dan merupakan sekuriti yang

menjadi instrumen perdagangan. RG merupakan surat berharga yang dapat

diperdagangkan, diperjaul-belikan, dipertukarkan atau digunakan sebagai jaminan

untuk memperoleh kredit dari per-bank-an dan lembaga keuangan.

9. SRG sangat cocok untuk komoditas pertanian yang rentan terhadap fluktuasi harga.

Untuk mengatasi masalah anjloknya harga saat panen raya, petani dapat

menyiasatinya dengan menunda penjualan produksinya, tetapi tetap mendapatkan

uang tunai untuk melaksanakan usahataninya dan menyambung hidupnya. SRG

merupakan alternatif bagi petani untuk melakukan strategi pemasaran hasil

produksinya.

10. Data resmi memperlihatkan pelaksanaan SRG masih terbatas, baik dalam cakupan

produk, jumlah RG yang terbit dan nilai transaksi. Sejak mulai beroperasi sampai

sekarang (2008-Nov 2013), baru mencakup 10 produk, yaitu gabah, beras, kopi,

kakao, lada, karet, rumput laut, jagung, rotan dan garam. Total RG yang diterbitkan

Page 38: LAPORAN AKHIR ANJAK TA - pse.litbang.pertanian.go.id · Bahkan dua-tiga kali sidang Kabinet terbatas digelar untuk secara khusus mencari jalan keluar untuk menangani lonjakan harga

37

baru 1216 buah dengan total nilai Rp213 milyar. Kendala utama adalah kurangnya

Gudang modern yang dapat digunakan. Sampai saat ini baru ada 81 unit gudang

dan hanya mampu menampung 5 persen kebutuhan pangan (beras) nasional.

11. Penerapan standar mutu produk pangan menjadi sangat penting tidak hanya karena

menyadi syarat penerbitan RG tetapi sangat „urgent‟ untuk menghadapi pasar

tunggal ASEAN 2015. Oleh karenanya, Kementan perlu segera menyusun roadmap

penerapan standar mutu produk pertanian (pangan) agar dapat membantu petani

memanfaatkan SRG dan sekaligus menghadapi persaingan pada era MEA 2015.

DAFTAR PUSTAKA

Erwidodo dan B. Sayaka. 2013. Kebijakan Impor dan Stabilisasi Harga Mendukung

Peningkatan Produksi Hortikultura. Makalah di Seminar Kebijakan Diversifikasi

Pangan dan Transformasi Pembangunan Pertanian jangka Panjang Badan

Litbang Pertanian, Cipayung 24-25 Oktober 2013

Hermanto, 2013. Diversifikasi Pnagan Menuju Kemandirian Pangan: Pemikiran untuk

Implementasi UU No 18/2012 Tentang Pangan. Makalah di Seminar Kebijakan

Diversifikasi Pangan dan Transformasi Pembangunan Pertanian jangka Panjang

Badan Litbang Pertanian, Cipayung 24-25 Oktober 2013

Kasryno, Faisal. 2013. Politik Revitalisasi Pertanian dan Dampak Pelaksanaannya: Politik

Pertanian adalah Pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945 di Sektor Pertanian. Makalah

di Seminar Kebijakan Diversifikasi Pangan dan Transformasi Pembangunan

Pertanian jangka Panjang Badan Litbang Pertanian, Cipayung 24-25 Oktober

2013

Kenyon, Don and David Lee. 2006. The Struggle for Trade Liberalization in Agriculture:

Australia and the Cairns Group in the Uruguay Round. Department of Foreign

Affairs and Trade, Australia. Commonwealth of Australia 2006.

Krugman, Paul R and M. Obstfeld. 2003. Internasional Economics: Theory and Policy.

6th edition. World Student Series, Addison Wesley, New York.

Newbery, D.M and J.E. Stiglitz. 1981. The Theory of Commodity Price Stabilization: A

Study in the Economics of Risk. Oxford: Clarendon Press.

Page 39: LAPORAN AKHIR ANJAK TA - pse.litbang.pertanian.go.id · Bahkan dua-tiga kali sidang Kabinet terbatas digelar untuk secara khusus mencari jalan keluar untuk menangani lonjakan harga

38

Norton, RD. 2004. Agricultural Development Policy: Concepts and Experiences. FAO

published by John Wiley & Sons Ltd, the Atrium, Southern gate, Chichester, West

Sussex, England.

Soemarno, 2013. Evolusi Kemajuan Usaha Pertanian Tanaman Pangan. Makalah di

Seminar Kebijakan Diversifikasi Pangan dan Transformasi Pembangunan

Pertanian jangka Panjang Badan Litbang Pertanian, Cipayung 24-25 Oktober

2013

Suyamto dan Z. Zaini. 2009. Kapasitas Produksi Bahan Pangan pada Lahan Sawah

Irigasi dan Tadah Hujan. Dalam: Suyamto dan N. Suharta (eds): Analisis

Sumberdaya Lahan menuju Ketahanan Pangan Berkelanjutan. Badan Litbang

Pertanian, Jakarta.

Timmer ; Peter C. 1986. Getting Prices Right: The Scope and Limits of Agricultural Price

Policy. Cornell University Press, Ithaca and London.

WTO. 1995. The Legal Text. World Trade Organization, Geneve, Switzerland.