laporan bioetik
DESCRIPTION
tugas kampusTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Pemicu
X, 39 tahun, dan Y, 46 tahun, merupakan pasangan yang sudah menikah
selama 13 tahun dan belum dikaruniai anak. Y merasakan kesepian dalam
kehidupannya karena tak kunjung dapat menimang buah hati. X yang melihat
kemurungan hati suaminya itu kemudian mengusulkan untuk menjalani bayi
tabung. Y merasa bahagia dengan ide yang dilontarkan istrinya.
Mereka kemudian mengkonsultasikan hal tersebut kepada salah seorang
dokter kandungan di kota mereka. Sang dokter menyarankan untuk dilakukan
fertilisasi buatan dengan cara bayi tabung. Setelah menjalani beberapa minggu
program, pembuahan dinyatakan berhasil, dokter mendapatkan 10 buah embrio.
Sejak awal mengikuti program ini X dan Y memang menghendaki seorang
anak saja. X dan Y merasa sudah cukup tua untuk merawat anak lebih dari
seorang. Dokter menanamkan hanya satu embrio pada rahim X
X dan Y sangat bahagia dengan kehamilan X. Akhirnya yang menjadi
keinginan mereka selama ini terkabul. X dan Y rajin memeriksa kehamilan. X dan
Y juga tidak menolak dilakukan pemeriksaan genetik terhadap janinnya. Bagai di
sambar petir di siang bolong, X dan Y merasa kaget karena mendapati penjelasan
dokter bahwa bayinya kemungkinan akan lahir cacat karena kelainan genetik.
X merasa begitu terpukul dengan penjelasan dokter tersebut. Y tidak kalah
bersedih. Mereka merasa bimbang untuk menentukan nasib si bayi selanjutnya.
Mempertahankan bayi, dengan kemungkinan bayi akan terlahir cacat, sesuai
penjelasan dokter. Atau menggugurkannya, sembari mempertimbangkan sudah
berbagai usaha yang mereka lakukan untuk mendapatkan kehamilannya itu.
Rumusan Masalah
Terjadi kelainan genetik pada bayi tabung dan dipetimbangkan terminasi
Analisis Masalah
Hipotesis
Tidak boleh dilakukan aborsi atau terminasi
Bayi Tabung
Kelainan Genetik
Pertimbangan terminasi
Hukum dan profesionalisme medikolegal bayi tabung dan aborsi atau terminasi
Kaidah Dasar Bioetika
Keputusan Akhir
Primafaci
Pertanyaan Diskusi
1. Jelaskan mengenai Kaidah Dasar Bioetika
2. Jelaskan hukum dan profesionalisme medikolegal bayi tabung
3. Jelaskan hukum dan profesionalisme medikolegal aborsi atau terminasi
4. Analisis Kaidah Dasar Bioetika pada kasus
5. Analisis hukum dan profesionalisme medikolegal bayi tabung
6. Analisis hukum dan profesionalisme medikolegal aborsi atau terminasi
7. Primafaci dan pengambilan keputusan
BAB II
PEMBAHASAN
1. Kaidah Dasar Bioetika
Prinsip-Prinsip Etika (Kaidah Dasar Bioetik)
Prinsip-prinsip etika adalah aksiom yang mempermudah penalaran etik.
Prinsip-prinsip tersebut harus spesifik. Pada prakteknya, satu prinsip dapat
dipertimbangkan dengan prinsip lain. Pada beberapa kasus, satu prinsip dapat
bersifat lebih penting dari prinsip lainnya.1
Beauchamp dan Childress (1994) menguraikan ( Empat prinsip etika
Eropa ) bahwa untuk mencapai ke suatu keputusan ETIK diperlukan 4 Kaidah
Dasar Moral / Kaidah Dasar Bioetik (Moral Principle) dan beberapa rules atau
kriteria dibawahnya. Keempat Kaidah Dasar Moral tersebut adalah1 :
1. Prinsip “Autonomy” (self-determination)
Yaitu prinsip yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak
otonomi pasien (the rights to self determination) dan merupakan kekuatan
yang dimiliki pasien untuk memutuskan suatu prosedur medis. Prinsip
moral inilah yang kemudian melahirkan doktrin Informed consent. Prinsip
ini menyatakan bahwa setiap manusia memiliki kebebasan untuk
menentukan keputusannya, dalam konteks orang tersebut adalah orang
yang dianggap mampu untuk mengambil keputusan sendiri.
2. Prinsip tidak merugikan “Non-maleficence”
Adalah prinsip menghindari terjadinya kerusakan atau prinsip
moral yang melarang tindakan yang memperburuk keadaan pasien. Prinsip
ini dikenal sebagai “primum non nocere” atau “above all do no harm”.
3. Prinsip murah hati “Beneficence”
Yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan
ke kebaikan pasien atau penyediaan keuntungan dan menyeimbangkan
keuntungan tersebut dengan risiko dan biaya. Dalam Beneficence tidak
hanya dikenal perbuatan untuk kebaikan saja, melainkan juga perbuatan
yang sisi baiknya (manfaat) lebih besar daripada sisi buruknya (mudharat).
Prinsip etika yang dapat digunakan adalah minus malum dan double effect.
Apabila kita terpaksa memilih diantara dua pilihan yang buruk, maka
harus dipilih suatu pilihan yang mempunyai nilai konsekuensi kejahatan
paling minimum.
4. Prinsip keadilan “Justice”
Yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan
dalam bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya (distributive
justice) atau pendistribusian dari keuntungan, biaya dan risiko secara adil.
2. Hukum dan Profesionalisme Medikolegal Bayi Tabung
Hukum dan Profesionalisme Medikolegal Bayi Tabung
Beberapa masalah hukum dapat muncul dari teknologi reproduksi,
diantaranya menyangkut pelaksananya (dokter, peneliti, ilmuwan), suami, istri,
donor sperma, donor ovum, ibu pengganti (surrogate mother), dan bayi yang
dilahirkan/diciptakan dengan proses tersebut. Secara legal, harus pula dijabarkan
beberapa definisi yang jelas,misalnya: ayah legal (sah secara hokum), ayah
biologis (ayah genetis), ayah tiri, ibulegal (sah menurut hukum), ibu biologis I
(yang mengandung janin pada permulaan),ibu biologis II (yang mengandung
selanjutnya dan melahirkan), ibu tiri, ibu surrogate,anak kandung, anak tiri, anak
biologis I, anak biologis II, anak angkat, anak cloning atau genetic engineering . 2
Inseminasi Buatan (Artificial Insemination).
Pada inseminasi buatan, sperma dimasukkan dalam rahim (uterus) dengan
cara mekanis buatan (injeksi). Proses pembuahan, penyuburan, kehamilan,
persalinan, dan kelahiran selanjutnya berjalan seperti pada inseminasi normal.
Inseminasi buatan dapat dilakukan dengan sperma dari suami (Artificial
Insemination Husband /AIH atau inseminasi buatan homolog) atau dengan
sperma laki-laki lain/donor (Artificial Insemination Donor /AID atau inseminasi
buatan heterolog), atau dapat juga digunakan campuran sperma suamidan donor
(Combined Artificial Insemination/ CAI).2
Etik dan Hukum Reproduksi Buatan di Indonesia
Di Indonesia hukum dan perundangan yang mengatur tentang teknik reproduksi
buatan di atur di dalam:
A. Undang-undang kesehatan No. 23 tahun 1992, pasal 16, yang
menyebutkan antara lain:
1. Kehamilan di luar cara alami dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir
untuk membantuk suami-isteri mendapatkan keturunan.
2. Upaya kehamilan di luar cara alami sebagai mana dimaksud dalam ayat
(1) hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami-isteri yang sah dengan
ketentuan:
a. Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami-isteri yang
bersangkutan, ditanam dalam rahim isteri dari mana ovum berasal.
b. Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu.
c. Pada sarana kesehatan tertentu.
3. Keputusann mengenai persyaratan penyelenggaraan kehamilan di luar
cara alami sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
B. Keputusan menteri Kesehatan NO. 72/ Menkes/Per/II/1999 tentang
Penyelenggaraan Teknologi Reproduksi Buatan, yang berisikan tentang:
Ketentuan Umum, perizinan, Pembinaan dan Pengawasan, Ketentuan
Peralihan, dan ketentuan Penutup.
Selanjutnya, atas keputusan Menkes RI tersebut diatas, dibuat pedoman
Pelayanan Bayi tabung di Rumah Sakit, oleh Direktorat Rumah Sakit Khusus dan
Swasta, Departemen kesehatan RI yang menyatakan bahwa3:
1. Pelayanan Teknologi Buatan hanya dapat dilakukan dengan sel telur
dan sperma suami-isteri yang bersangkutan.
2. Pelayanan Reproduksi Buatan merupakan bagian dari pelayanan
infertilitas, sehingga kerangka pelayanannya merupakan bagian dari
pengelolaan pelayanan infertilitas secara keseluruhan.
3. Embrio yang dapat dipindahkan satu waktu ke dalam rahim isteri tidak
lebih dari tiga; boleh dipindahkan empat embrio pada kesehatan:
a Rumah sakit memiliki 3 tingkat perawatan intensif bayi baru
lahir.
b Pasangan suami-isteri sebelumnya sudah mengalami sekurang-
kurangnya dua kali prosedur teknologi reproduksi yang gagal,
atau
c Isteri berumur lebih dari 35 tahun.
4. Dilarang melakukan surogasi dalam bentuk apapun.
5. Dilarang melakukan jual beli embrio, ova dan spermatozoa.
6. Dilarang menghasilkan embrio manusia semata-mata untuk penelitian.
Penelitian atau sejenisnya terhadap embrio manusia hanya dilakukan
kalau tujuan penelitiannya telah dirumuskan dengan sangat jelas.
7. Dilarang melakukan penelitian terhadap atau dengan menggunakan
embrio manusia yang berumur lebih dari 14 hari sejak tanggal
fertilisasi.
8. Sel telur manusia yang dibuahi dengan spermatozoa manusia tidak
boleh dibiak in-vitro lebih dari 14 hari (tidak termasuk hari-hari
penyimpanan dalam suhu yang sangat rendah atau simpan beku).
9. Dilarang melakukan penelitian atau eksperimentasi terhadap atau
dengan menggunakan embrio, ova dan atau spermatozoa manusia
tanpa izin khusus dan dari siapa sel telur atau spermatozoa itu
diperoleh.
10. Dilarang melakukan fertilisasi trans-spesies kecuali apabila fertilisasi
trans-spesies diakui sebagai cara untuk mengatasi atau mendiagnosis
infertilisasi pada manusia. Setiap hybrid yang terjadi akibat fertilisasi
trans-spesies harus segera diakhiri pertumbuhannya pada tahap 2 sel.
Dapat disimpulkan dari pasal tersebut bahwa hasil pembuahan sperma dan
sel telur diluar cara alami dari suami atau istri yang bersangkutan harus
ditanamkan dalam rahim istri dari mana sel telur itu berasal. Pelaksanaan
inseminasi buatan yang diperbolehkan hanya kepada pasangan suami isteri yang
sah, lalu menggunakan sel sperma dan sel telur dari pasangan tersebut yang
kemudian embrionya ditanam dalam rahim isteri. Pernyataan ini menjawab
pertanyaan tentang kemungkinan dilakukannya pendonoran embrio. Hal ini
dilakukan untuk menjamin status anak tersebut sebagai anak sah dari pasangan
suami isteri tersebut. 4
Inseminasi Buatan dari Segi Hukum di Luar Indonesia
Seperti halnya yang terjadi di Indonesia, di luar negeri, seperti di Australia
misalnya, masalah hukum biasanya lebih banyak menyertai praktek inseminasi
buatan AID, bukannya AIH karena sperma yang digunakan adalah berasal bukan
dari suami. Masalah hukum diantaranya seperti hak anak, hak orangtua pendonor,
hak pemeliharaan, perawatan, dan hak mewaris. Anak dari pasangan yang telah
menikah dan lahir dari proses AID memiliki posisi hukum yang berbeda
dibandingkan dengan anak yang lahir dari hubungan seksual. Anak tersebut bukan
anak biologis dari suami ibunya dan oleh karena itu dipandang haram di depan
hukum. Di depan hukum, anak juga sebaiknya tidak diikutsertakan dalam warisan
yang diturunkan ‘ayah kepada anaknya’ dan tidak ikut mengklaim tanah milik si
ayah setelah si ayah meninggal. Sebagai tambahan, sebaiknya ayah tidak
diikutsertakan dalam merawat si anak jika suatu saat orangtua berpisah. Pada
hukum secara umum, yang memiliki hak dan tanggung jawab tersebut adalah
pendonor sperma.
Pada Oktober 1983, pemerintah Australia mengamandemen Family Law
Act 1975. Dari seksi 5A(1) dan (3) pada Family Law Amandement Act 1983,
dapat disimpulkan bahwa seorang anak yang lahir melalui proses AID dapat
dipandang sebagai anak sah dari ayah sosialnya, apabila prosedur medis itu
dilakukan dengan persetujuan ayah atau dibawah suatu UU/peraturan negara anak
itu dipandang anak dari ayahnya. Yang dimaksud sebagai prosedur medis disini
adalah inseminasi buatan atau implantasi sebuah embrio dalam tubuh
seorangwanita.
Di negara bagian New South Wales, the Artificial Conception Act pada
tahun 1984 dan Status of Children ( Amandement) Act tahun 1984 di Victoria,
Australia mengatakan bahwa anak yang lahir dari pasangan yang secara de facto
telah menikah dan hasilfertilisasi-in-vitro atau pembuahan oleh donor akan
diperlakukan, untuk segala keperluan hukum sebagai anak dari orang tua sosial
mereka. Pendonor sperma atau sel telur, berdasarkan undang undang tersebut
untuk segala maksud, tidak diakui sebagai ayah atau ibu dari anak manapun yang
lahir sebagai hasil dari kehamilan yang terjadi.
Yuridiksi pertama di dunia yang mengatur secara komprehensif apa yang
boleh atau tidak boleh dilakukan oleh praktisi medis dalam prosedur fertilisasi-in-
vitro adalah Infertility (Medical Procedures) Act tahun 1984 di Victoria,
Australia. UU tersebut secara tegas menjatuhkan sanksi, termasuk hukuman
hingga empat tahun penjara kepada pelaku yang melakukan fertilisasi-in-vitro
atau bereksperimen dengan embriomanusia tidak berdasarkan UU. Ketetapan itu
termasuk:
Prosedur fertilisasi-in-vitro hanya bisa dilaksanakan di rumah sakit
yang telah disetujui.
Melaksanakan fertilisasi-in-vitro atau pembuahan oleh donor, oleh
orang yang bukan praktisi kedokteran adalah dilarang
Hanya pasangan yang telah menikah dan memiliki hubungan secara
de facto (seksi 3(22)) dapat mengikuti program fertilisasi-in-vitro.
Semua pasien, dalam kurun waktu dua belas bulan sebelum program
fertilisasi-in-vitro dimulai, telah berusaha mencari pengobatan untuk
infertilitas danmenerima konseling.
Menggunakan donor sperma, telur, atau embrio adalah pilihan terakhir
dandiijinkan hanya jika tidak ada kemungkinan yang rasional untuk
terjadinyakehamilan, atau anak yang akan dilahirkan oleh wanita
tersebut didugamengidap penyakit keturunan.
Tidak ada pembayaran untuk sperma, telur, atau embrio, selain yang
telahditentukan untuk pengeluaran medis atau biaya perjalanan yang
dikeluarkan pendonor.
Pembekuan embrio diperbolehkan, pelaksanaannya bertujuan untuk
mengimplantasikan embrio tersebut di masa yang akan datang.
Standing Review and Advisory Committeeditetapkan beranggotakan
delapan orang. Dimana para anggotanya termasuk dua orang praktisi
kedokteran dan duaanggota mewakili lembaga keagamaan.
Pencatatan kelahiran bayi melalui proses fertilisasi-in-vitro harus
dilakukan daninformasi yang tidak memihak diberikan kepada
pendonor, pasien, serta anak yang lahir dari proses fertilisasi-in-vitro
Eksperimen pada embrio tidak diijinkan, kecuali telah disetujui oleh
Standing Review and Advisory Committe.
Penggunaan sel gamet yang dihasilkan oleh orang dibawah umur 18
tahun dan belum menikah adalah melanggar UU.
Komersialisasi ibu pengganti (surrogate mother) tidak dapat
dibenarkan secarahukum dan dapat dikenakan sanksi dua tahun
penjara jika memberi ataumenerima pembayaran sebagai ibu
pengganti.
Memasang iklan untuk mencari ibu pengganti atau untuk
memberitahukankeberadaan jasa ibu pengganti adalah melanggar UU.
Kloning dan pembuahan antar spesies adalah melanggar UU.Pada
bagian 10,11,12,13, dan 13A dari Infertility (Medical Procedures) Act
tahun1984 di Victoria telah jelas disebutkan bahwa ‘wanita dan
suaminya’ harus memberikan persetujuan secara tertulis untuk
mengimplantasikan embryo dan tidak dapat membatalkannya di
kemudian hari. Dampak dari ketentuan ini tampak jika pasangan
inimemutuskan untuk berpisah dan suami berkeberatan dilakukannya
implantasi embriomaka implantasi embrio pada ibu tidak dapat
dilakukan.
3. Hukum dan Profesionalisme Medikolegal Aborsi atau Terminasi
Abortus telah dilakukan oleh manusia selama berabad-abad, tetapi selama
itu belum ada undang-undang yang mengatur mengenai tindakan abortus.
Peraturan mengenai hal ini pertama kali dikeluarkan pada tahun 4 M di mana telah
ada larangan untuk melakukan abortus. Sejak itu maka undang-undang mengenai
abortus terus mengalami perbaikan, apalagi dalam tahun-tahun terakhir ini di
mana mulai timbul suatu revolusi dalam sikap masyarakat dan pemerintah di
berbagai negara di dunia terhadap tindakan abortus.
Hukum abortus di berbagai negara dapat digolongkan dalam beberapa
kategori sebagai berikut:
Hukum yang tanpa pengecualian melarang abortus, seperti di Belanda.
Hukum yang memperbolehkan abortus demi keselamatan kehidupan
penderita (ibu), seperti di Perancis dan Pakistan.
Hukum yang memperbolehkan abortus atas indikasi medik, seperti di
Kanada, Muangthai dan Swiss.
Hukum yang memperbolehkan abortus atas indikasi sosio-medik, seperti
di Eslandia, Swedia, Inggris, Scandinavia, dan India.
Hukum yang memperbolehkan abortus atas indikasi sosial, seperti di
Jepang, Polandia, dan Yugoslavia.
Hukum yang memperbolehkan abortus atas permintaan tanpa
memperhatikan indikasi-indikasi lainnya (Abortion on requst atau
Abortion on demand), seperti di Bulgaris, Hongaria, USSR, Singapura.
Hukum yang memperbolehkan abortus atas indikasi eugenistis (aborsi
boleh dilakukan bila fetus yang akan lahir menderita cacat yang serius)
misalnya di India
Hukum yang memperbolehkan aborsi atas indikasi humanitarian (misalnya
bila hamil akibat perkosaan) seperti di Jepang,
Negara-negara yang mengadakan perubahan dalam hukum abortus pada
umumnya mengemukakan salah satu alasan/tujuan seperti yang tersebut di
bawah ini:
Untuk memberikan perlindungan hukum pada para medisi yang
melakukan abortus atas indikasi medik.
Untuk mencegah atau mengurangi terjadinya abortus provocatus
criminalis.
Untuk mengendalikan laju pertambahan penduduk.
Untuk melindungi hal wanita dalam menentukan sendiri nasib
kandungannnya.
Untuk memenuhi desakan masyarakat.
Di Indonesia, baik menurut pandangan agama, Undang-Undang Negara,
maupun Etik Kedokteran, seorang dokter tidak diperbolehkan untuk melakukan
tindakan pengguguran kandungan (abortus provokatus). Bahkan sejak awal
seseorang yang akan menjalani profesi dokter secara resmi disumpah dengan
Sumpah Dokter Indonesia yang didasarkan atas Deklarasi Jenewa yang isinya
menyempurnakan Sumpah Hippokrates, di mana ia akan menyatakan diri untuk
menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan.
Dari aspek etika, Ikatan Dokter Indonesia telah merumuskannya dalam
Kode Etik Kedokteran Indonesia mengenai kewajiban umum, pasal 7d: :Setiap
dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk
insani. Pada pelaksanaannya, apabila ada dokter yang melakukan pelanggaran,
maka penegakan implementasi etik akan dilakukan secara berjenjang dimulai dari
panitia etik di masing-masing RS hingga Majelis Kehormatan Etika Kedokteran
(MKEK). Sanksi tertinggi dari pelanggaran etik ini berupa "pengucilan" anggota
dari profesi tersebut dari kelompoknya. Sanksi administratif tertinggi adalah
pemecatan anggota profesi dari komunitasnya.
Ditinjau dari aspek hukum, pelarangan abortus justru tidak bersifat
mutlak. Abortus buatan atau abortus provokatus dapat digolongkan ke
dalam dua golongan yakni:
A. Abortus buatan legal
Yaitu pengguguran kandungan yang dilakukan menurut syarat dan cara-
cara yang dibenarkan oleh undang-undang. Alasan yang mendasar untuk
melakukannya adalah untuk menyelamatkan nyawa ibu. Abortus atas indikasi
medik ini diatur dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 36
Tahun2009 tentang Kesehatan5:
PASAL 75
1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi
2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan
berdasarkan:
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini
kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/ atau janin, yang
menderita penyakit genetik berat dan/ atau cacat bawaan, maupun
yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut
hidup di luar kandungan; atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma
psikologis bagi korban perkosaan
3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan
setelah melalui konseling dan/ atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri
dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang
kompeten dan berwenang.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan
perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
PASAL 76:
Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan:
a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari petama
haid terakhir, kecuali dalamhal kedaruratan medis;
b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang
memiliki sertifikat yangditetapkan oleh menteri;
c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh
Menteri.
PASAL 77:
Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bermutu, tidak aman,
dan tidak bertanggung jawab serta bertentangandengan norma agama dan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
B. Abortus buatan illegal ( Abortus Provocatus Criminalis)
Yaitu pengguguran kandungan yang tujuannya selain untuk menyelamatkan atau
menyembuhkansi ibu, dilakukan oleh tenaga yang tidak kompeten serta tidak
memenuhi syarat dan cara-cara yang dibenarkan oleh undang-undang. Abortus
golongan ini sering juga disebut dengan abortus provocatus criminalis karena di
dalamnya mengandung unsur kriminal atau kejahatan.11 Beberapa pasal yang
mengatur abortus provocatus dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP):6,7
PASAL 299
1) Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh
supayadiobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan, bahwa
karena pengobatan itu hamilnya dapatdigugurkan, diancam dengan
pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak
empatpulu ribu rupiah.
2) Jika yang bersalah, berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau
menjadikanperbuatan tersebut sebagai pencaharian atau kebiasaan atau
jika dia seorang tabib, bidan atau juru obat,pidananya dapat ditambah
sepertiga.
3) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalammenjalankan
pencaharian, maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencaharian.
PASAL 346
Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau
menyuruh orang lain, untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama
empat tahun.
PASAL 347
1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan
seorang wanita tanpa persetujuan, diancam dengan pidana penjara paling
lama dua belas tahun.
2) Jika perbuatan itu menyebabkan matinya wanita tersebut, dikenakan
pidana penjara paling lama lima belas tahun.
PASAL 348
1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan
seseorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun enambulan.
2) Jika perbuatan tersebut mengakibatkan matinya wanita tersebut,
dikarenakan pidana penjarapaling lama tujuh tahun.
PASAL 349
Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang
tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu
kejahatan yang diterangkandalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang
ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengn sepertigadan dapat dicabut hak
untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.
PASAL 535
Barang siapa secara terang-terangan mempertunjukkan suatu sarana
untuk menggugurkan kandungan, maupun secara terang-terangan atau tanpa
diminta menawarkan, ataupunsecara terang-terangn atau dengan menyiarkan
tulisan tanpa diminta, menunjuk sebagai bias didapat,sarana atau perantaraan yang
demikian itu, diancam dengan kurungan paling lama tiga bulan atau dendapaling
banyak empat ribu lima ratus rupiah.
4. Analisis Kaidah Dasar Bioetika pada Kasus
1. Autonomy
Secara autonomy, pasien dapat memiliki keinginan untuk mempertahankan
bayi tersebut atau menggugurkan kehamilan tersebut. Bila pasien
mempertahankan bayi tersebut, maka itu merupakan hak pasien. Bila pasien
memilih menggugurkan kehamilan tersebut, sebenarnya pasien telah melanggar
autonomy dari calon bayi yang akan dilahirkannya, karena bagaimanapun juga,
janin telah memiliki kehidupan dan berhak untuk mempertahankan kehidupannya,
meskipun mengalami cacat genetik. Dalam hal ini dokter harus menjelaskan
secara rinci kepada pasien, mengenai kondisi bayi, dan mengenai tidak
diperbolehkannya abortus tanpa indikasi.
2. Non-Maleficence
Pada kondisi ini, kemungkinan cacat genetik yang dialami oleh janin tidak
sampai membahayakan kehamilan. Dalam kondisi ini, aborsi justru dapat
membahayakan nyawa pasien. Hal ini akan berbeda jika kelainan genetik pada
janin membahayakan nyawa pasien, maka akan dikaji ulang menurut dan
mempertimbangkan kaidah dasar bioetik yang lain.
3. Beneficence
Dalam kaidah beneficence, keuntungan pasien harus disesuaikan dengan
risiko. Jika aborsi dirasakan tidak membawa manfaat bagi ibu maupun janin,
sebaiknya tidak dilakukan, karena justru akan membahayakan nyawa ibu dan
merenggut nyawa janin.
4. Justice
Dalam justice, dokter harus memberikan keadilan, terutama kepada
kelompok yang rentan. Dokter harus dapat berlaku adil, terhadap pasien, maupun
terhadap janin yang dikandung pasien. Janin yang dikandung pasien memiliki hak
untuk hidup, dan perlu dibela kehidupan dan keadilannya.
5. Analisis hukum dan profesionalisme medikolegal bayi tabung
Teknologi inseminasi buatan di Indonesia telah diatur dalam pasal 16
Undang-Undang No.23/1992 tentang Kesehatan dan Peraturan Menteri Kesehatan
nomor 72 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi
Buatan. Dalam kedua peraturan tersebut pelaksanaan inseminasi buatan yang
diperbolehkan hanya kepada pasangan suami isteri yang sah, lalu menggunakan
sel sperma dan sel telur dari pasangan tersebut yang kemudian embrionya ditanam
dalam rahim isteri. Mengacu padaUU No.23/1992 tentang Kesehatan tersebut,
upaya yang dilakukan pasangan suami istri pada kasus untuk melakukan
bayi tabung diperbolehkan jika memenuhi syarat-syarat yang terteta pada
peraturan tersebut.
6. Analisis hukum dan profesionalisme medikolegal aborsi atau
terminasi
Pada kasus ini, secara undang-undang kandungan X harus tetap
dipertahankan. Kandungan X memiliki kelainan genetik, dan kemungkinan
mengalami kelainan atau cacat, namun kandungannya tidak memiliki indikasi
medis yang membahayakan si Ibu. Pengguguran kandungan yang tujuannya selain
untuk menyelamatkan atau menyembuhkan si ibu, digolongkan sebagai abortus
provocatus criminalis karena di dalamnya mengandung unsur kriminal atau
kejahatan dan dapat dikenai hukuman.
7. Primafaci dan pengambilan keputusan
Berdasarkan pertimbangan aspek Kaidah Dasar Bioetika dan Hukum
Profesionalisme Medikolegal Aborsi atau Terminasi kandungan X tidak boleh
diterminasi.
Dari segi kaidah bioetika, terminasi melanggar non maleficence.
Melakukan terminasi pada kandungan berarti melanggar non maleficence dari
calon bayi yang akan dilahirkannya, karena bagaimanapun juga janin telah
memiliki kehidupan dan berhak untuk dipertahankan kehidupannya serta dengan
mempertahankan si-janin tidak akan membahayakan ibunya.
Selain itu secara medikolegal kasus bayi tabung ini tidak boleh dilakukan
terminasi. Karena terminasi pada tujuannya selain indikasi medis untuk
menyelamatkan atau menyembuhkan si ibu berarti termasuk Abortus Provocatus
Criminalis, dan dapat dikenai KUHP.
BAB III
Kesimpulan
Hipotesis diterima
Tidak boleh dilakukan aborsi atau terminasi
DAFTAR PUSTAKA
1. Beauchamp dan Childress. Principlers of biomedical ethics. New York:
Oxford University Press; 1994
2. Idries, AM. Aspek medikolegal pada Inseminasi Buatan/BayiTabung. Ed.1.
Jakarta : Binarupa Aksara; 1997.
3. Depkes. 2000. Pedoman Pelayanan Bayi Tabung di Rumah Sakit. Direktorat
Rumah Sakit Khusus Dan Swasta, Direktur Jenderal Pelayanan Medik,
Departemen Kesehaan RI.
4. Kansil, CST. Suplemen Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Cet.2 Jakarta :
Pradnya Paramita; 2003
5. 5.Juita SR, Heryanti, BR. Perlindungan Hukum Pidana Pada Korban
Perkosaan Yang MelakukanAbortus Provokatus. Jakarta : PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia; 2002
6. Nainggolan LH. Aspek Hukum Terhadap Abortus Provokatus dalam
Perundang-undangan di Indonesia. Journal Equality Vol. 11 no. 2; 2006.4.
7. Budhiartie A. Legalisasi Abortus Provokatus Karena Pemerkosaan Sebagai
Implementasi Hak Asasi Perempuan. Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri
Humaniora Vol. 13 No. 2; 2011.