laporan bioinsektisida

15
Laporan Praktikum Hari, tanggal : Rabu, 22 April 2015 Teknologi Bioindustri Gol/Kel : P1/ 6 Dosen : Dr.Ir. Hj. Mulyorini R., MS Asisten : 1. Iis Solihat ( F34110045 ) 2. Ahmad Muhaimin ( F34110069 ) PRODUKSI BIOINSEKTISIDA DENGAN KULTIVASI CAIR DAN PADAT Disusun oleh : Haryati Widyastuti (F34120018) Rezki Septiany (F34120025) Kadek Didit Agus P. (F34120030) Julia Paulina (F34120034) Dedi Sudirman (F34120036)

Upload: didit-agus-pryanjana

Post on 26-Sep-2015

53 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

ini yaaa

TRANSCRIPT

Laporan PraktikumHari, tanggal : Rabu, 22 April 2015

Teknologi BioindustriGol/Kel : P1/ 6

Dosen : Dr.Ir. Hj. Mulyorini R., MS

Asisten :

1. Iis Solihat ( F34110045 )

2. Ahmad Muhaimin( F34110069 )

PRODUKSI BIOINSEKTISIDA DENGAN

KULTIVASI CAIR DAN PADAT

Disusun oleh :

Haryati Widyastuti (F34120018)

Rezki Septiany(F34120025)

Kadek Didit Agus P.(F34120030)

Julia Paulina (F34120034)

Dedi Sudirman (F34120036)

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2015

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pertanian di Indonesia belum bisa dikategorikan bebas masalah. Lebih lagi ketika masalah hama menjadi perbincangan di masyarakat umum. Banyaksekali upaya untuk menangani kasus hama yang menyerang tumbuhan. Banyak orang pula yang mempercayakan pestisida untuk membasmi tuntas hama ini. Pestisida disini memiliki definisi sebagai bahan untuk mengendalikan,menolak, memikat atau membasmi organism pengganggu dan nama ini berasal dari pest (hama) yang diberi akhiran cide (pembasmi). Sasarannya bermacam-macam seperti serangga, tikus, gulma, burung dan ulat yang dianggap mengganggu. Kehadiran pestisida bukan tanpa resiko, pestisida tersususn atas unsur kimia yang jumlahnya tidak kurang dari 105 unsur. Namun yang sering digunakan sebagai unsur pestisida adalah 21 unsur. Unsur-unsurtersebut adalah karbon, phosphor, chlorine, sulfur, ferum, cuprum, mercury, zincdan arsenic. Dari komposisi unsur kimia tersebut akan ditimbulkan beberapa dampak negatif yang diterima oleh lingkungan sekitar ataupun kesehatan manusia.

Konsentrasi pestisida yang tinggi dalam air dapat membunuh organisme air. Sementara dalam kadar rendah akan meracuni organisme kecil seperti plankon. Pestisida juga memicu timbulnya hama spesies baru yang tahan terhadap takaranpestisida yang diterapkan. Hama ini baru musnah bila takaran pestisida diperbesarjumlahnya.

Karena begitu banyak hal negatif yang diberikan dalam penggunaan insektisida kimia tersebut. Maka sangat penting untuk mengembangkan insektisida organik. Insektisida yang mampu membunuh hama tanpa memberikan efek samping yang tinggi pada lingkungan maupun organisme hidup/nonhidup disekitarnya. Begitu banyak pengembangan insektisida organik yang telah ada seperti pemanfaatan tumbuhan dalam produksi insektisida. Dalam praktikum kali ini akan dilakukan pembuatan bioinsektisida yang memanfaatkan mikroorganisme dalam fermentasi dan menggunakan limbah sebagai bahan bakunya yaitu onggok dan limbah cair tahu.

Tujuan

Praktikum bertujuan untuk mengetahui dan memahami tahap-tahap produksi bioinsektisida dengan menggunakan kultivasi cair dan padat, dalam hal ini menggunakan limbah onggok dan limbah cair tahu sebagai bahan baku bioinsektisida.

METODOLOGI

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah tabung reaksi, Erlenmeyer, otoklaf, pH meter, spektrofotometer, oven, timbangan, gelas ukur, cawan petri. Bahan yang digunakan adalah B.thuringiensis, nutrient broth, glukosa 4%, urea 1%, MgSO4 7 H2O, FeSO4 7 H2O, MnSO4 7 H2O dan CaCO3.

Metode

a) Kultivasi Cair

a.1. Tahap Propagasi.

50 ml nutrient broth disiapkan dan distrerilkan dengan otoklaf 121C selama 15 menit. Diinokulasi dengan satu lup B. Thuringiensis aizawai. Diinkubasi pada incubator goyang 150 rpm selama 12 jam.

a.2. Tahap Fermentasi

Media fermentasi disiapkan sebanyak 5 erlenmeyer masing-masing 50 ml. pH diatur agar 7.00, disterilkan dengan otoklaf 121C selama 15 menit. Urea dan glukosa dicampur. Diambil 50 ml untuk OD dan sisanya diinokulasi dengan hasil tahap propagasi sebanyak 5% (v/v).

a.3. Pengambilan sampel dan pengamatan

Parameter yang diamati adalah pH, OD, dan biomassa kering. Sampel disentrifugasi. Endapakan dan diambil dan dikeringkan dengan menggunakan oven 50C selama 24 jam.

a.4. Viable Spore Count ( VSC )

1 ml sampel direnjatan panas 70C selama 15 menit. Dilakukan pengenceran berseri. Diinokulasi ke dalam media nutrient dalam cawan petri. Diinkubasi selama 24 jam hingga 48 jam. Pertumbuhan koloni diamati dan dihitung.

b) Kultivasi Padat

Onggok ditambahn dengan limbah cair tahu ditambahkan kapur bubuk hingga pH 6-8. Diratakan dalam Erlenmeyer dan ditutup dengan aluminium foil. Diotoklaf 121C selama 15 menit dan dinginkan. Diinokulasi dengan 10% media propagasi secara merata. Diinkubasi pada suhu ruang. Dipanen pada jam ke 0, 24, 48, 72 dan 96. Dikeringkan dalam oven bersuhu 50C dihaluskan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

( terlampir )

Pembahasan

Pengertian Bioinsektisida

Pestisida merupakan bahan yang digunakan untuk mengurangi hama pada tanaman. Jenis pestisida bermacam-macam diantaranya insektisida, fungisida dan herbisida. Insektisida merupakan pestisida yang digunakan dalam membasmi insekta atau serangga. Biasanya bahan yang digunakan adalah bahan kimia sehingga berbahaya bagi manusia dan tanaman lainnya. Lain hal nya dengan bioinsektisida yang merupakan jenis pestisida yang bahan aktifnya adalah mikroorganisme yakni bakteri Bacillus thuringiensis, cendawan Beaveria sp, Metarrhizium sp, dan virus Spodotera litura nuclea polyhidrosis. Bioinsektisida dapat berfungsi untuk membunuh atau menghambat perkembangan spesies insekta yang dapat dihasilkan oleh tumbuhan maupun yang menggunakan organisme hidup seperti virus, bakteri, dan jamur dan dalam bioinsektisida terkandung bahan senyawa toksik. Berbeda dengan insektisida biasanya, bioisektisida ini aman terhadap organisme non-target, manusia dan lingkungan. Bioinsektisida memilki efektivitas yang sama dengan pestisida yang berbasis bahan kimia. Oleh karena itu dengan penggunaan bioinsektisida dapat mengurangi pemakaian insektisida kimia yang telah banyak menimbulkan kerugian bagi lingkungan. Bioinsektisida mikrobial yang diperoleh dari Bacillus thuringiensis (B.t) yang bersifat aman karena memiliki derajat spesifisitas yang tinggi dan relatif kecil terjadinya resistensi (kekebalan) pada serangga hama. Bacillus thuringiensis aizawai merupakan salah satu jenis bakteri yang banyak dimanfaatkan dalam produksi bioinsektisida microbial (Behle et al. 1999).

Jenis pestisida lainnya yakni fungisida dan herbisida. Fungisida dan herbisida merupakan bahan pestisida yang mengandung senyawa kimia yang beracun dan tentu saja mengandung racung yang berbahaya bagi manusia dan lingkungan sekitar. Perbedaanya dengan bioinsektisida yakni pada fungisida berfungsi untuk menghambat atau membunuh cendawan yang ada pada tanaman sedangkan pada herbisida berfungsi untuk menghambat atau membunuh gulma pada tanaman. Bahan aktifnya yang merupakan bahan kimia yang bersifat toksik sangat berbahaya bagi manusia sehingga apabila secara tidak sengaja dikonsumsi oleh manusia dapat menyebabkan keracunan bahkan kematian. Selain tidak aman bagi manusia, fungisida dan herbisida juga tidak ramah lingkungan karena bahan kimia yang terkandung didalamnya sehingga dapat menyebabkan kerusakan pula pada tanaman lain yang bukan target utama (Semangun 1993).

Mekanisme Kerja Bioinsektisida

Bacillus thuringiensis merupakan bakteri yang patogen terhadap serangga. Bakteri ini mengandung kristal protein yang bersifat toksin sehingga dapat memberantas hama-hama pada suatu tanaman. Seluruh kristal protein bakteri hanya bersifat toksin apabila termakan oleh larva serangga. Protein kristal Bacillus thuringiensis berpotensi besar sebagai agen pengendali serangga. Bakteri ini akan membentuk spora dorman (spora yang mengandung satu atau lebih jenis kristal protein) apabila suplai makanan mengalami penurunan. Sampai saat ini telah diidentifikasi kristal protein yang beracun terhadap larva dari berbagai ordo serangga yang menjadi hama pada tanaman pangan dan hortikultura. Kebanyakan dari kristal protein tersebut lebih ramah lingkungan karena mempunyai target yang spesifik sehingga hanya menyerang serangga yang menjadi sasaran dan tidak menyerang serangga lainnya serta mudah terurai sehingga tidak menumpuk dan mencemari lingkungan (Asmaliyah 2001).

Bacillus thuringiensis adalah racun perut bagi serangga hama dan Bacillus thuringiensis merupakan bakteri yang menghasilkan kristal protein yang bersifat membunuh serangga (Insektisida) sewaktu mengalami proses sporulasinya (Hofte dan Whiteley 1989). Kristal protein yang bersifat insektisidal ini sering disebut dengan -endotoksin. Kristal protein yang ada pada Bacillus thuringiensis ini sebenarnya merupakan pro-toksin yang jika larut dalam usus serangga akan berubah menjadi poli-peptida yang lebih pendek serta mempunyai sifat insektisidal. Kristal protein yang dimakan oleh serangga akan dipecah oleh enzim protease di bagian tengah dalam saluran pencernaan menjadi molekul toksik. Toksin tersebut akan mempengaruhi permeabilitas membrane sel, mikrovili pada sel-sel epitalium yang dapat menyebabkan paralisis saluran makanan dan berubahnya keseimbangan pH hemophilia, yang kemudian dapat menyebabkan kematian.

Bacillus thuringiensis ini dapat menyebabkan terbentuknya pori-pori (lubang yang sangat kecil) di sel membrane saluran pencernaan dan dapat mengganggu keseimbangan osmotic dari sel-sel tersebut. Karena keseimbangan osmotic terganggu, maka serangga atau hama akan mati. Kematian serangga biasanya terjadi dalam waktu 3-5 hari, akan tetapi ada larva yang dapat bertahan hidup lebih lama. Tanda-tanda awal serangan bakteri Bacillus thuringiensis pada serangga yaitu aktivitas makan serangga menurun bahkan berhenti. Serangga menjadi lemah dan kurang tanggap terhadap sentuhan. Setelah mati, serangga kelihatan berwarna cokelat tua atau hitam.

Tahapan Pembuatan Bioinsektisida

Produktivitas Bioinsektisida

Pembuatan bioinsektisida dengan bakteri Bacillus thuringiensis memiliki parameter-parameter yang harus diperhatikan agar produktivitas bioinsektisida tersebut maksimal, diantaranya yakni nilai pH, nilai OD, biomassa kering dan nilai VSC pada kultivasi cair. Nilai pH dapat diuji untuk mengetahui kondisi bakteri tersebut. diketahuinya nilai pH selama proses fermentasi maka dapat diketahui pula rentang nilai pH untuk bakteri yang digunakan dan berapa nilai pH optimumnya. Setalah diketahuinya nilai pH maka pH tersebut dapat dikontrol supaya selalu pada kondisi optimum atau minimal pada rentang hidup dari bakteri (Quinlan dan Lisansky, 1985). Parameter selanjutnya yakni pengaruh lama fermentasi dengan nilai optical density (OD). OD merupakan salah satu metode langsung untuk mengetahui pertumbuhan sel. Semakin tinggi nilai OD menunjukkan semakin keruh larutan tersebut, hal tersebut disebabkan adanya pertumbuhan sel yang membuat kandungan sel di dalam larutan menjadi meningkat. Pertumbuhan sel Bacillus thuringiensis akan memasuki fase stasioner dimana pertumbuhan sel mulai melambat atau terkesan statis pada jam ke 36 dan umumnya pertumbuhan optimum pada sekitar jam ke 30 fermentasi (Benhard, 1993).

Parameter berikutnya yakni biomassa kering. Pengujian biomassa kering merupakan pengukuran selisih massa biomassa setelah dan sebelum proses fermentasi. Selama proses fermentasi, biomassa akan tumbuh dan secara tidak langsung massa nya akan meningkat. Peningkatan massa ini akan terjadi seiring waktu fermentasi sampai terjadi fase stasioner (Gumbira, 1987). Parameter terakhir yakni mengenai nilai VSC. VSC (Viable Spore Count) merupakan uji yang digunakan untuk menganalisa jumlah spora hidup yang terkandung dalam campuran spora kristal. Pengujian VSC dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan spora pada media cair dan media padat. Penentuan nilai VSC dilakukan hanya pada jam ke 24-72. Hal tersebut karena pada jam ke 0 spora belum bertumbuh dan pada jam ke 96 pertumbuhan spora dianggap telah menurun (Salamah 2002).

Pengaruh Agitasi terhadap Produksi Bioinsektisida

Agitasi diperlukan agar terjadi difusi oksigen terlarut dalam larutan. Adanya padatan pada media menghambat laju agitasi sehingga pemecahan gelembung udara rendah mengakibatkan jumlah oksigen terlarut yang semakin sedikit. Hal ini mengakibatkan respirasi sel akan meningkat sehingga mempengaruhi laju pertumbuhan maksimum. Jika konsentrasi oksigen terlarut lebih kecil dari konsentrasi oksigen kritis, maka metabolisme sel akan terganggu. (Darwis 2012).

Faktor Kontrol Produksi Bioinsektisida

Beberapa faktor yang sangat mempengaruhi fermentasi Bacillus thuringiensis, diantaranya komposisi medium dan kondisi untuk pertumbuhan mikroba seperti pH, oksigen dan suhu (Dulmage dan Rhodes, 1971). Lalu, media merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh pada proses fermentasi Bacillus thuringiensis. Menurut Dulmage et al. (1990) medium basal untuk pertumbuhan Bacillus thuringiensis terdiri dari garam, glukosa, dan asam amino seperti asam glutamat, asam aspartat dan alanin dalam konsentrasi yang cukup untuk mendukung pertumbuhan dan sporulasi Bacillus thuringiensis. Karbon adalah bahan utama untuk mensintesis sel baru atau produk sel. Beberapa sumber karbon yang dapat digunakan untuk memproduksi bioinsektisida dari Bacillus thuringiensis dengan fermentasi terendam adalah glukosa, sirup jagung, dekstrosa, sukrosa, laktosa, gula, minyak kedelai, dan molase dari bit dan tebu (Dulmage dan Rhodes 1971).

Menurut Gumbira Said (1987), faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan sel dan pembentukan produk adalah suhu dan pH awal medium. Spora dan kristal protein dihasilkan pada saat akhir dari fase logaritmik (Pearson dan Ward, 1988). Kondisi kultur dalam medium fermentasi berpengaruh terhadap pembentukan spora dan kristal protein. Menurut Morris et al., (1996), derajat keasaman (pH) berpengaruh terhadap produksi spora dan kristal protein.

Suhu berpengaruh terhadap pertumbuhan sel, tetapi tidak ada hubungan secara langsung antara pertumbuhan sel dengan produksi kristal protein (Sikdar et al., 1991). Struktur dan susunan asam-asam amino didalam toksin berpengaruh terhadap toksisitas bioinsektisida (Schnepf et al., 1998).

Hampir semua mikroorganisme memiliki kisaran suhu untuk tumbuh dan berkembang. Suhu yang optimal untuk produksi sel atau produk sel dapat ditentukan secara empiris. Biasanya suhu yang optimal terjadi sedikit dibawah suhu maksimal untuk pertumbuhannya dan suhu yang paling baik untuk pembentukan produk sering tidak sama untuk pertumbuhan maksimalnya (Dulmage dan Rhodes, 1971). Menurut Heimpel (1967) dan Deacon (1983), Bacillus thuringiensis dapat tumbuh dengan medium buatan dengan suhu pertumbuhan berkisar antara 15 - 40 oC. Bacillus thuringiensis dapat tumbuh pada medium yang memiliki pH pada kisaran 5.5 - 8.5 dan tumbuh optimum pada pH 6.5 - 7.5 (Benhard dan Utz, 1993). Selama fermentasi pH dapat berubah dengan cepat tergantung pada penggunaan karbohidrat (menurunkan pH) dan protein (menaikkan pH). Nilai pH dapat dikendalikan dengan memelihara keseimbangan antara senyawa gula dan nitrogen (Quinlan dan Lisansky, 1985). Pengaturan nilai pH medium merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan dan pembentukan produk (Ketaren,1990).

Bioinsektisida berbahan aktif kristal protein diproduksi dengan cara kultivasi bakteri dalam media dan kondisi pertumbuhan yang optimum. Kondisi kultivasi media berpengaruh terhadap toksisitas bioinsektisida yang dihasilkan (Pearson dan Ward, 1988; Morris et al., 1996). Formulasi media fermentasi yaitu rasio C/N berpengaruh terhadap produksi bioinsektisida, densitas optik dan pembentukan spora dari Bacillus thuringiensis subsp. israelensis (Rahayuningsih, 2003). Mineral (trace element) seperti K2HPO4, MgSO4.7H2O, CaCO3, Fe, Mn dan Cu berpengaruh terhadap pembentukan N-endotoksin (Sikdar et al., 1991).

Pengaruh Faktor Produksi

Tahapan Hilir Bioinsektisida

Fermentasi yang umum digunakan untuk memproduksi bahan aktif bioinsektisida dengan menggunakan kultur Bacillus thuringiensis adalah fermentasi semi padat (semi solid fermentation) dan fermentasi terendam (submerged fermentation). Pada umumnya fermentasi terendam atau fermentasi cair lebih disukai karena menjaga kesterilan kultur serta proses pemanenan dan pengaturan parameter proses produksi atau fermentasi yang lebih sederhana. Selain itu, produk hasil fermentasi cair dapat langsung digunakan dibandingkan hasil fermentasi semi padat yang sulit disuspensikan karena ada kecenderungan menggumpal (Sjamsuritra et al. 1984).

Bernhard dan Utz (1993) menyatakan bahwa produksi bioinsektisida Bacillus thuringiensis pada umumnya dilakukan dengan fermentasi sistem tertutup karena hasil akhir yang diharapkan adalah spora dan kristal protein yang dibentuk selama proses sporulasi. Menurut Dulmage dan Rhodes (1971), faktor-faktor yang mempengaruhi proses fermentasi Bacillus thuringiensis adalah komposisi medium dan kondisi untuk pertumbuhan mikroba seperti pH, oksigen dan temperatur.

Kondisi fermentasi Bacillus thuringiensis dalam labu kocok dilakukan pada suhu 28-32oC, pH awal medium kultur sekitar 6.8-7.2, agitasi 142-340 rpm dan dipanen pada waktu inkubasi 24-48 jam (Dulmage dan Rhodes 1971). Sedangkan menurut Sikdar dan Majumdar (1993) menyatakan bahwa fermentasi Bacillus thuringiensis dalam fermentor dilakukan pada suhu 28-32oC, pH awal medium 6.8-7.2, volume medium sekitar setengah sampai dua per tiga dari kapasitas volume fermentor, agitasi 400-700 rpm, aerasi 0.5-0.15 vvm, dan dipanen pada waktu inkubasi 40-72 jam.

Pemanenan produk bioinsektisida Bacillus thuringiensis berupa campuran spora dan kristal protein (delta-endotoksin ini dapat dilakukan dengan sentrifugasi, filtrasi, presipitasi, freeze drying atau kombinasi dari proses-proses berikut. Bahan aktif bioinsektisida ini dapat diformulasikan menjadi produk wettable powder, flowable liquid, dust atau granular tergantung pada tipe fermentasi, segi ekonomi serta kebutuhan formulasi (Ignofo dan Anderson 1979).

PENUTUP

Simpulan

Pembuatan bioinsektisida dengan bakteri Bacillus thuringiensis memiliki parameter-parameter yang harus diperhatikan agar produktivitas bioinsektisida tersebut maksimal, diantaranya yakni nilai pH, nilai OD, biomassa kering dan nilai VSC pada kultivasi cair. Beberapa faktor yang sangat mempengaruhi fermentasi Bacillus thuringiensis, diantaranya komposisi medium dan kondisi untuk pertumbuhan mikroba seperti pH, oksigen dan suhu. Agitasi diperlukan agar terjadi difusi oksigen terlarut dalam larutan. Adanya padatan pada media menghambat laju agitasi sehingga pemecahan gelembung udara rendah mengakibatkan jumlah oksigen terlarut yang semakin sedikit. Fermentasi yang umum digunakan untuk memproduksi bahan aktif bioinsektisida dengan menggunakan kultur Bacillus thuringiensis adalah fermentasi semi padat (semi solid fermentation) dan fermentasi terendam (submerged fermentation).

Pemanenan produk bioinsektisida Bacillus thuringiensis berupa campuran spora dan kristal protein (delta-endotoksin ini dapat dilakukan dengan sentrifugasi, filtrasi, presipitasi. Bahan aktif bioinsektisida ini dapat diformulasikan menjadi produk wettable powder, flowable liquid, dust atau granular tergantung pada tipe fermentasi, segi ekonomi serta kebutuhan formulasi

Saran

Alat dan prasarana yang lengkap akan lebih memudahkan praktikan untuk menyelesaikan praktikumnya. Serta prosedur yang jelas sangat diharapkan untuk kelancaran praktikum agar tidak menghabiskan waktu lama.

DAFTAR PUSTAKA

Asmaliyah.2001. Prospek Pemanfaatan Insektisida Mikroba Bacillus thuringiensis Sebagai Alternatif Dalam Pengendalian Hama. Palembang: Buletin Teknologi Reboisasi No.08, 1998.

Hofte, H. and H.R. Whiteley. 1989. Insecticidal crystal proteins of Bacillus thuringiensis. Microbiol. Rev. 53:42-255.

Darwis AA, Khaswar S, Ummi S. 2012. Kajian Produksi Bioinsektisida dari Bacillus thuringiensis subsp israelensis Pada Media Tapioka.Jurnal Teknologi Industri Pertanian Vol. 14(1) hal 1-5.

Pearson D. and Ward O.P. 1988. Effect Of Culture Condition On Growth and Sporulation Of Bacillus thuringiensis subsp. israelensis and Development of Media For Production Of the protein Crystal Endotoxin. Biotechnology Letters Vol.10 no.7 451-456.

Rahayuningsih, M. 2003. Toksisitas dan Perbedaaan Aktivitas DipterosidalBioinsektisida Bacillus thuringiensis var. israelensis Tipe Liar dan Mutan pada berbagai Formulasi Media dan Kondisi Kultivasi. Disertasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sikdar D.P., M.K. Majumdar dan S.K. Majumdar. 1991. Effect of Mineral On The Production of delta Endotoksin By Bacillus thuringiensis Subsp. israelensis. Biotechnology Letters Vol.13 No.7 pp. 511-514.

Gumbira-Said, E. 1987. Bioindustri. Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta.

Morris, O.N., P. Kanagaratnam, dan V. Converse. 1997. Sutability of 30 Product and By Product as Nutrient Sources for Laboratory Production of Bacillus thuringiensis subsp. aizawai (HD133). Journal of Inverteb. Pathol. 67:129-136.

Schnepf, E., N. Crickmore, J. Van Rie, D. Lereclus, J. Baum, J. Feitelson, D. R. Zeigler, dan D. H. Dean. 1998. Bacillus thuringiensis and Its Pesticidal Crystal Proteins. Microbiology and Molecular Biology Reviews. 62: 775-806.

Dulmage, H. T. dan R.A. Rhodes. 1971. Production of Pathogens in Artificial Media, pp.507-540 Di dalam : Burges, H.D. (editor). Microbial Control of Pest and Plant Diseases 1970-1980. Acad Press, New York.

Deacon, J. W. 1983. Microbial Control of Plant and Diseases. Van Nostrand Reinhold (VK) Co, Ltd.

Heimpel, A.M. 1967. A Critical Review of Bacillus thuringiensis var. thuringiensis Berl, and Other Crystalliferous Bacteria. Ann. Rev. Entomol.12:287-322.

Bernhard, K. dan R. Utz. 1993. Production of Bacillus thuringiensis Insecticide for Experimental and Commercial Uses. Di dalam P. F. Enwistle, J. S. Cory, M. J. Bailey dan S.

Higgs (editor). Bacillus thuringiensis , An Enviromental Biopesticide : Theory and Practice. John Wiley and Son, Chichester : 255-266.

Quinlan, R. J. And S. G. Lisansky. 1985. Microbial Insecticides, pp. 233-254. Di dalam H. Dellweg (editor). Biotechnology vol. 3. Verlag Chemis, Weinheim.

Ketaren, S. 1990. Kinetika Reaksi Biokimia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi PAU Bioteknologi. IPB, Bogor.

Ignoffo, C. M. dan R. F. Anderson. 1979. Bioinsecticides. Di dalam H. J. Peppler dan D. Perlman (editor). Microbial Technology. Academic Press, New-York: 1-27.

Behle, et all. 1999. Makalah Formulations Forum 99. Formulating Bionsecticides To Improve Residual Activity. University Peoria. Illinois.

Bernhard, K. dan R. Utz. 1993. Production of Bacillus thuringiensis Insecticide for Experimental and Commercial Uses. Di dalam P. F. Enwistle, J. S. Cory, M. J. Bailey dan S. Higgs (editor). Bacillus thuringiensis, An Enviromental Biopesticide : Theory and Practice. John Wiley and Son, Chichester : 255-266.

Gumbira Said, E. 1987. Bioindustri. Jakarta: Penebar Swadaya.

Quinlan, R.J. dan S.G Lisansky. 1985. Mikrobial Insecticides. Weinheim: Verlag Chemist.

Salamah, U. 2002. Kajian Produksi Bioinsektisida dari Bacillus thuringiensis subsp. Israelensis Pada Media Tapioka. Terhubung berkala http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/16303/F02usa.pdf?sequence=2 (2 Mei 2015)

Semangun, Haryono. 1993. Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.