laporan farfis
DESCRIPTION
mas aji maaf ya aku share disini..TRANSCRIPT
I. JUDUL
Kelarutan Intrinsik Obat
II. TUJUAN
Memperkenalkan konsep dan proses pendukung sistim kelarutan obat dan
menentukan parameter kelarutan zat
III. DASAR TEORI
Kelarutan dapat didefinisikan dalam dua hal yaitu secara kualitatif dan secara
besaran kuantitatif. Secara kualitatif kelarutan dapat didefinisikan sebagai kadar jenuh
solute dalam sejumlah solven pada suhu tertentu yang menunjukan bahwa interaksi
spontan satu atau lebih solute dengan solven telah terjadi dan membentuk dispersi
molekuler yang homogen. Sedangkan secara besaran kuantitatif kelarutan
didefinisikan sebagai konsentrasi zat terlarut dalam larutan jenuh pada temperatur
tertentu. Suatu larutan dikatakan larutan jenuh apabila terjadi kesetimbangan antara
fase solute dan fase solute dalam larutan yang bersangkutan. Variabel-variabel yang
dapat dipilih untuk penetapan kelarutan diru,uskan oleh aturan fase gibbs, yaitu
F = C – P + 2.
F = Derajat Kebebasan ( variabel, misal: T,P,C )
C = Jumlah komponen
P = Jumlah fase
Kelarutan dapat diungkapkan melalui banyak cara antara lain dengan
menyatakan jumlah pelarut ( dalam ml ) yang dibutuhkan untuk setiap gram solute,
dengan pendekatan yang berupa perbandingan misal : 1 bagian solute dapat larut
dalam 100-1000 bagian solven disebut sukar larut, fraksimol dan molar.
Kelarutan suatu zat (solute) dalam solven tetrtentu digambarkan sebagai like
disolves like (senyawa atau zat yang strukturnya menyerupai akan saling melarutkan ),
yang penjabarannya didasarkan atas polaritas antara solven dan solute yang
dinyatakan dengan tetapan dielektrikum atau momen dipol, ikatan hidrogen, ikatan
van der waals (london) atau ikatan elektrostatik yang lain.
Kelarutan gas dalam cairan dipengaruhi tekanan, suhu, salting out dan reaksi
kimia sedangkan perhitungan kelarutan dapat dilakukan menurut hukum Henry
(tetapan α) maupun koefisien absorbsi bunsen (tetapan α). Kelarutan cairan dapat
digolongkan menjadi dua atas dasar ada atau tidaknya penyimpangan terhadap hukum
Raoult. Disebut larutan ideal (larutan nyata = real solution) apabila tidak ada
1
penyimpangan terhadap hukum raoult dan disebut larutan non ideal apabila ada
penyimpangan. Dalam hal ini perlu diperhatikan tentang sistemnya (tercampur
sempurna atau sebagian), pengaruh zat asing, komponen penyusun (binair/tenair),
tetapan dielektrik, hubungan molekuler, dan luas permukaan molekuler.
Kelarutan zat padat dalam cairan merupakan masalah yang lebih komplek
tetapi paling banyak dijumpai dalam kefarmasian. Asumsi dasar untuk kelarutan zat
padat dalam (sebagai) larutan ideal adalah tergantung pada suhu perobaan (proses
larut), suhu (titik) lebur solute, dan beda entalpi peleburan molar (∆Hf) solute (yang
dianggap sama dengan panas pelarutan molar solute). Hubungan tersebut yang
diturunkan dari hokum-hukum termodinamika dirumuskan oleh Hildebrand dan Scott
sebagai berikut :
∆Hf T0 - T- Log Xi 2 = ( ) = ……………………1
2,303 R T.T0
Xi2 = Kelarutan ideal zat dalam fraksi mol
∆ = Beda entalpi peleburan
T0 = Suhu lebur
T = Suhu perobaan
R = Tetapan gas
Tetapi tipe larutan ideal ini jarang sekali dijumpai dalam praktek. Untuk
larutan non ideal harus diperhitungkan pula faktor-faktor aktifitas solute yang
koefisiennya sebanding dengan volume (molar) solute dan fraksi volume solven,
parameter kelarutan yang besarnya sama dengan harga akar tekanan dalam (Pi) solute
dan interaksi antara solen-solute, dengan demikian persamaan yang paling sederhana
untuk larutan non ideal, dinyatakan sebagai kelarutan regular oleh Scatchard-
Hildebrand sebagai berikut :
∆Hf T0 – T V2.Φ21
- Log Xi 2 = ( ) + (δ1 . δ2)2 = ….2 2,303 RT T.T0 2,303 RT
V2 = volume molar solute
2
δ1 = Parameter kelarutan solven
δ2 = Parameter kelarutan solute
Φ = Fraksi volume solven
Keterbatasan persamaan ini adalah tidak cocok untuk proses-proses yang
didalamnya terjadi solvasi dan asosiasi antara solute dan solven, demikian pula untuk
larutan elektrolit. Persamaan (2) hanya berlaku apabila dalam larutan tidak terdapat
ikatan lain selain ikatan Van der Waals.
Kelarutan merupakan salah satu sifat fisikokimia yang penting untuk
diperhatikan pada tahap preformulasi sebelum memformula bahan obat menjadi
sediaan. Beberapa metode dapat digunakan untuk meningkatkan kelarutan obat,
antara lain: melalui pembentukan garam, perubahan struktur internal kristal
(polimorfi) atau penambahan suatu bahan penolong, misalnya bahan pengompleks,
surfaktan dan kosolven.
Larutan terdiri dari beberapa golongan, antara lain larutan jenuh, larutan tidak
jenuh atau hampir jenuh, dan larutan lewat jenuh. Larutan jenuh adalah suatu arutan
di mana zat terlarut berada dalam kesetimbangan dengan fase padat zat terlarut).
Suatu larutan tidak jenuh atau hampir jenuh adalah suatu larutan yang mengandung
hampir zat terlarut dalam konsentrasi di bawah konsentrasi yang dibutuhkan untk
penjenuhan sempurna pada temperatur tertentu. Sedangkan larutan lewat jenuh adalah
suatu larutan yang mengandung zat terlarut dalam konsentrasi lebih banyak daripada
yang seharusnya pada temperatur tertentu, terdapat juga zat terlarut yang tidak larut .
Kelarutan obat sebagian besar disebabkan oleh polaritas pelarut yaitu momen
dipolnya. Kelarutan suatu zat padat dalam air akan semakin tinggi bila suhunya
dinaikan. Adanya panas (kalor) mengakibatkan semakin renggangnya jarak antar
molekul zat padat tersebut. Merenggangnya jarak antar molekul zat padat menjadikan
kekuatan gaya antar molekul tersebut menjadi lemah sehingga mudah terlepas oleh
gaya tarik molekul-molekul air. Berbeda dengan zat padat, adanya pengaruh kenaikan
suhu akan menyebabkan kelarutan gas dalam air berkurang. Hal ini disebabkan karena
gas yang terlarut di dalam air akan terlepas meninggalkan air bila suhu meningkat.
3
Kelarutan suatu zat sangat dipengaruhi oleh polaritas pelarut. Pelarut polar
akan melarutkan lebih baik zat-zat polar dan ionik, begitu pula sebaliknya. Kelarutan
juga bergantung pada struktur zat, seperti perbandingan gugus polar dan non polar
dari suatu molekul. Makin panjang rantai gugus non polar suatu zat, makin sukar zat
tersebut larut dalam air. Menurut Hilderbrane : kemampuan zat terlarut untuk
membentuk ikatan hidrogen lebih pentig dari pada kemolaran suatu zat.
Senyawa polar (mempunyai kutub muatan) akan mudah larut dalam senyawa
polar. Sedangkan senyawa nonpolar akan mudah larut dalam senyawa nonpolar,
misalnya lemak mudah larut dalam minyak. Pelarut non polar tidak dapat mengurangi
daya tarik-menarik antara ion-ion karena konstanta dielektiknya yang rendah. Pelarut
polar mempunyai konstanta dielektrik yang tinggi dapat melarutkan zat-zat non polar
sukar larut di dalamnya, begitu pula sebaliknya. Tetapan dielektrik suatu campuran
pelarut merupakan hasil penjumlahan dari tetapan dielektrik masing-masing yang
sudah dikalikan dengan % volume masing-masing komponen pelarut
Menurut Farmakope Indonesia IV, kelarutan terutama dimaksudkan terutama
sebagai informasi dalam penggunaan, pengolahan dan peracikan suatu bahan, kecuali
apabila disebutkan khusus dalam judul tersendiri dan disertai cara ujinya secara
kuantitatif .
Ahli farmasi mengetahui bahwa air adalah pelarut yang baik untuk garam,
gula, dan senyawa sejenis, sedang minyak mineral dan benzena biasanya merupakan
pelarut untuk zat yang biasanya hanya sedikit larut dalam air.
IV. ALAT
1. Spektrofotometer UV-Vis
2. Beaker glass
3. Labu takar
4. Pipet volume
5. Disolution tester
6. Corong kaca
7. Neraca elektrik
8. Kertas saring
9. Thermometer
10. Kuvet
4
V. BAHAN
1. Larutan dapar asetat
2. Asetosal
3. Natrium Asetat
4. Asam asetat glacial
5. Aquadest
VI. CARA KERJA
Pengaruh suhu pada kelarutan obat asetosal
1. Pembuatan larutan dapar asetat pH 4,5 0,05 M sebanyak 2L. Dengan cara
menimbang 5,98 gram Natrium asetat ditambahkan Asam asetat glacial
tambahkan sampai 2L.
2. Membuat larutan baku dengan cara menimbang 100 mg Asetosal kemudian
masukkan ke dalam labu ukur tambahkan 5ml Alkohol 95% sampai larut dan
tambahkan larutan dapar sampai 100 ml, kemudian tutup labu ukur dan
homogenkan campuran dalam labu ukur.
3. Membuat kurva baku sebagai standart
a. Dari Larutan Baku yang dibuat diambil 1mL, 2mL, 3mL, 4mL, dan 5 mL,
6 ml
b. Kemudian diukur Absorbansinya menggunakan Spektrofotometer UV-Vis
dengan lamda (λ) 265 nm
Diambil 1 mL larutan baku dengan pipet volume masukkan labu takar
25 mL dalam kuvet tambahkan larutan dapar sampai 25 ml lalu
masukan ke dalam kuvet ( sebelum di gunakan bilas kuvet
dengan menggunakan aquadest setelah itu bilas lagi
dengan menggunakan acetosal sampai bersih ) kemudian
kuvet dimasukkan kedalam alat spektrofotometer UV-Vis dan catat
nilai absorbansinya.
Diambil 2 mL larutan baku dengan pipet volume masukkan labu takar
25 mL dalam kuvet tambahkan larutan dapar sampai 25 ml kemudian
masukan ke dalam kuvet ( sebelum di gunakan bilas kuvet
dengan menggunakan aquadest setelah itu bilas lagi
dengan menggunakan acetosal sampai bersih )
5
kemudian kuvet dimasukkan kedalam alat spektrofotometer UV-
Vis dan catat nilai absorbansinya.
Diambil 3 mL larutan baku dengan pipet volume masukkan labu takar
25 mL dalam kuvet tambahkan larutan dapar sampai 25 ml kemudian
masukan ke dalam kuvet ( sebelum di gunakan bilas kuvet
dengan menggunakan aqua dest setelah itu bilas lagi
dengan menggunakan acetosal sampai bersih )
kemudian kuvet dimasukkan kedalam alat spektrofotometer UV-
Vis dan catat nilai absorbansinya.
Diambil 4 mL larutan baku dengan pipet volume masukkan labu takar
25 mL dalam kuvet tambahkan larutan dapar sampai 25 ml kemudian
masukan ke dalam kuvet ( sebelum di gunakan bilas kuvet
dengan menggunakan aqua dest setelah itu bilas lagi
dengan menggunakan acetosal sampai bersih )
kemudian kuvet dimasukkan kedalam alat spektrofotometer UV-
Vis dan catat nilai absorbansinya.
Diambil 5 mL larutan baku dengan pipet volume imasukkan labu takar
25 mL dalam kuvet tambahkan larutan dapar sampai 25 ml kemudian
masukan ke dalam kuvet ( sebelum di gunakan bilas kuvet
dengan menggunakan aqua dest setelah itu bilas lagi
dengan menggunakan acetosal sampai bersih )
kemudian kuvet dimasukkan kedalam alat spektrofotometer UV-
Vis dan catat nilai absorbansinya.
Diambil 6 mL larutan baku dengan pipet volume masukkan labu takar
25 mL dalam kuvet tambahkan larutan dapar sampai 25 ml kemudian
masukan ke dalam kuvet ( sebelum di gunakan bilas kuvet
dengan menggunakan aqua dest setelah itu bilas lagi
dengan menggunakan acetosal sampai bersih ) kemudian
kuvet dimasukkan kedalam alat spektrofotometer UV-Vis dan catat
nilai absorbansinya.
4. Menimbang 500 mg asetosal dimasukan dalam labu disolusi tambahkan
larutan dapar asetat 500 ml pada suhu tertentu contoh : 300C, 350C, 400C
5. Pengadukan kecepatan 100 rpm
6
6. Sampling + 10ml pada menit ke 20, larutan tersebut disaring lalu dibaca
absorbansinya menggunakan spektofotometer pada λ = 265rpm nilai
absorbansinya yang baik antara 0,2-0,8.
VII. HASIL PRAKTIKUM
A. DATA PERCOBAAN
Tabel kurva baku regresi linier konsentrasi Vs absorbansi
Volume (ml) Konsentrasi (mg %) Absorbansi
1 4 0,084
2 8 0,228
3 12 0,345
4 16 0,496
5 20 0,633
6 24 0,761
1. Absorbansi pada suhu 300C = 2,394 menjadi 0,593 (5x)
2. Absorbansi pada suhu 350C = 2,369 menjadi 0,605 (5x)
3. Absorbansi pada suhu 400C = 2,314 menjadi 0,562 (5x)
Regresi linier konsentrasi Vs absorbansi
Y = a + bx
Dimana :
Y = Absorbansi
x = Konsentrasi
Hasil dari perhitungan regresi linier Vs absorbansi menggunakan kalkulator
adalah :
1. a = - 0,0506
2. b = 0,0339
3. r = 0,9996
r yang bagus adalah r yang sama dengan 1 atau mendekati 1.
7
B. PERHITUNGAN
a. Pelarutan Kurva Baku
1. Pada volume 1 ml
V1 . N1 = V2 . N21 ml . 100 mg % = 25 ml . N2
N2 = 4 mg %
2. Pada volume 2 ml
V1 . N1 = V2 . N22 ml . 100 mg % = 25 ml . N2
N2 = 8 mg %
3. Pada volume 3 ml
V1 . N1 = V2 . N23 ml . 100 mg % = 25 ml . N2
N2 = 12 mg %
4. Pada volume 4 ml
V1 . N1 = V2 . N24 ml . 100 mg % = 25 ml . N2
N2 = 16 mg %
5. Pada volume 5 ml
V1 . N1 = V2 . N25 ml . 100 mg % = 25 ml . N2
N2 = 20 mg %
6. Pada volume 6 ml
V1 . N1 = V2 . N26 ml . 100 mg % = 25 ml . N2
N2 = 24 mg %
8
b. Perhitungan regresi linier Vs absorbansinya
1. Pada suhu 300C
Y = a + bx
0,593 = - 0,0506 + 0,0339 x
0,593 + 0,0506 = 0,0339 x
0,6436 = 0,0339 x
X = 0,6436
0,0339
= 18,9852 x 5
= 94,926 %
Jadi konsentrasi pada suhu 300C adalah 94,926 mg %
2. Pada suhu 350C
Y = a + bx
0,605 = - 0,0506 + 0,0339 x
0,605 + 0,0506 = 0,0339 x
0,6556 = 0,0339 x
X = 0,6556
0,0339
= 19,33 x 5
=96,69 %
Jadi konsentrasi pada suhu 350C adalah 96,69 mg %
3. Pada Suhu 400C
Y = a + bx
0,562 = - 0,0506 + 0,0339 x
0,562 + 0,0506 = 0,0339 x
9
0,6126 = 0,0339 x
X = 0,6126
0,0339
= 18,0707 x 5
=90,35
Jadi konsentrasi pada suhu 350C adalah 90,35 mg %
VIII. PEMBAHASAN
Kelarutan dapat didefinisikan dalam dua hal yaitu kelarutan didefinisikan
sebagai besaran kuantitatif dan kualitatif. Kelarutan besaran kuantitatif dapat
didefinisakan sebagai konsentrasi zat terlarut dalam larutan jenuh pada temperatur
tertentu, sedangkan kelarutan dalam hal kualitatif dapat didefinisikan sebagai kadar
jenuh solute dalam sejumlah solven pada suhu tertentu yang
menujukkan bahwa interaksi spontan satu atau lebih solute dengan
solven telah terjadi dan membentuk dispersi molekuler yang
homogen. Bilamana suatu zat cair larut dalam zat cair lainnya maka dapat
dibayangkan bahwa molekul-molekul solven memisahkan diri sedemikian rupa untuk
memberikan tempat kepada molekul-molekul solut. Hal yang sama terjadi, untuk
solute yang memasuki larutan. Suatu larutan di katakan larutan jenuh apabila terjadi
kesetimbangan antara fase solute dan fase solute dalam latutan yang bersangkutan.
Kelarutan merupakan salah satu sifat fisikokimia yang penting untuk
diperhatikan pada tahap preformulasi sebelum memformula bahan obat menjadi
sediaan. Beberapa metode dapat digunakan untuk meningkatkan kelarutan obat,
antara lain: melalui pembentukan garam, perubahan struktur internal kristal
(polimorfi) atau penambahan suatu bahan penolong, misalnya bahan pengompleks,
surfaktan dan kosolven
Secara kuantitatif, kelarutan dapat diartikan sebagai konsentrasi bahan terlarut
dalam suatu larutan jenuh pada suatu suhu tertentu. Kelarutan obat sebagian besar
disebabkan oleh polaritas pelarut yaitu momen dipolnya.
Pada saat praktikum sering terjadi penyimpangan sehingga menyebabkan
kekeliruan dalam proses perhitungan. Faktor-faktor tersebut dapat disebabkan karena :
1. Kadar sampel dapat berubah saat tercampur dengan sidik jari hal ini terjadi
pada saat proses pemipetan dan memasukan cairan ke dalam kuvet.
10
2. Pengukuran sampel yang kurang tepat hal ini terjadi pada proses
pemipetan larutan standart dan akan berpengaruh pada proses perhitungan.
3. Pembilasan kuvet yang kurang bersih, hal ini terjadi pada saat akan
memasukan cairan ke dalam kuvet, kuvet harus dibilas dengan aquadest
terlebih dahulu.
4. Cara pembacaan spektofotometer yang salah, hal ini terjadi pada saat
pembacaan data absorbansi di spektofotometer.
5. Bisa jadi sampel terkontaminasi dengan zat lain sehingga konsentrasi
sampel menjadi berubah dan tidak murni lagi.
IX. KESIMPULAN
Setelah melakukan percobaan diatas dapat disimpulkan bahwa :
A. Pelarutan Kurva Baku
1. Pada volume 1 mlDidapatkan N2 sebanyak 4 mg %
2. Pada volume 2 mlDidapatkan N2 sebanyak 8 mg %
3. Pada volume 3 mlDidapatkan N2 sebanyak 12 mg %
4. Pada volume 4 mlDidapatkan N2 sebanyak 16 mg %
5. Pada volume 5 mlDidapatkan N2 sebanyak 20 mg %
6. Pada volume 6 mlDidapatkan N2 sebanyak 24 mg %
B. Data absorbansi
1. Absorbansi pada suhu 300C = 2,394 menjadi 0,593 (5x)
2. Absorbansi pada suhu 350C = 2,369 menjadi 0,605 (5x)
3. Absorbansi pada suhu 400C = 2,314 menjadi 0,562 (5x)
11
C. Penentuan regresi linier Vs absorbansi
1. Pada suhu 300C
Didapatkan konsentrasi sebanyak 94,926 mg %
2. Pada suhu 350C
Didapatkan konsentrasi sebanyak 96,69 mg %
3. Pada Suhu 400C
Didapatkan konsentrasi sebanyak 90,35 mg %
D. Penentuan regresi linier Vs absorbansi menggunakan kalkulator
1. a = - 0,0506
2. b = 0,0339
3. r = 0,9996
r yang bagus adalah r yang sama dengan 1 atau mendekati 1.
12
X. DAFTAR PUSTAKA
Situswebsite:http://www.google.co.id/search? file:///H:/FARFIS/kelarutan/intrinsik
-%20Wikipedia%20bahasa%20Indonesia,%20ensiklopedia%20bebas.htm
Martin A. 1990. Farmasi Fisik. Universitas Indonesia press. Jakarta.
Dzakwan , Muhammad. 2010 . Petunjuk praktikum farmasi fisik I . Universitas
Setia Budi , 1-3
Martin A. N ,Suargick , J. , dan cammarata , J. 1990 . Farmasi Fisika: Dasar-
dasar farmasi fisika dalam ilmu farmasetika, diterjemahkan oleh Yoshita , edisi
III , jilid I , penerbit UI ,Jakarta , 8-309-318, 454-495, 559-687
Dewi Ekowati, M.Sc., Apt. 2013 . Petunjuk Praktikum Farmasi Fisik
I. Surakarta : Laboratorium Farmasi Fisik Universitas Setia Budi
Anonim, Farmakope Indonesia edisi IV. Depkes RI, Jakarta
13