laporan fkelompok 2

Upload: nanazhifah

Post on 08-Oct-2015

33 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

...........

TRANSCRIPT

LAPORAN TUTORIAL SKENARIO ABLOK IX

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 02Tutor : Fatmawati. Ssi.MsiZana Almira04011281320007Fira Andriani04011381320065Mia Esta Poetri A.F04011281320033Bella Melinda04011281320041Vivi Lutfiyani M04011281320043Naurah Nazhifah04011381320011Ghiena Inayati A04011381320015Citta Ananggadipa P04011381320027Ratu Rizki Ana04011381320047Shafira Amalia04011381320049M. Auzan Ridho P.04011381320075Fitri Aulia Dina 04011181320025Ha Sakinah Se04011181320027Helvie Rahmadaniati04011181320071Dea Firstianty Hendarman04011181320081PENDIDIKAN DOKTER UMUMFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA2014KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas ridho dan karunia-Nya laporan tugas tutorial skenario ini dapat terselesaikan dengan baik.Laporan ini betujuan untuk memenuhi tugas tutorial yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Tak lupa penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan tugas tutorial ini. Laporan ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran akan sangat bermanfaat untuk perbaikan di kemudian hari.

Palembang, 29 Mei 2014

Penyusun

DAFTAR ISI

Kata Pengantar.......................................................................................................................... 2 Daftar Isi.................................................................................................................................... 3 Skenario..................................................................................................................................... 4 Klarifikasi Istilah....................................................................................................................... 4 Identifikasi Masalah.................................................................................................................. 4Analisis Masalah....................................................................................................................5 Kerterkaitan antarmasalah........................................................................................................27Learning Issues.........................................................................................................................27Sintesis.....................................................................................................................................28Kerangka Konsep.....................................................................................................................62Kesimpulan...............................................................................................................................63Daftar Pustaka..........................................................................................................................63

SKENARIO ATn. Aam Syaroni, 42 tahun seorang WNI asli Sunda, mempunyai kebiasaan mengkonsumsi terasi, ikan asin dan produk awetan lainnya. Dia datang ke Rumah Sakit dengan keluhan benjolan di leher sebelah kiri sejak 6 bulan yang lalu. Kemudian dokter melakukan pemeriksaan dan menduga adanya tumor di sebelah kiri. Untuk menegakkan diagnosis dokter melakukan pemeriksaan Patologi Anatomi (PA), pemeriksaan serologi serta PCR-RFLP. Hasil pemeriksaan PA mengesankan sebagai karsinoma nasofaring, sedangkan pada pemeriksaan serologi didapatkan peningkatan titer antibody terhadap EBV. Hasil pemeriksaan PCR-RFLP menunjukan adanya polimorfisme.I. KLARIFIKASI ISTILAH

1. Tumor : pembengkakan jaringan tubuh karena ketidaknormalan kondisi atau bengkak akibat dari radang2. Produk Awetan : produk yang tahan lama atau tidak mudah rusak3. Pemeriksaan Serologi : tes laboratorium yang melihatkan sero reaksi, terutama pengukuran titer antibodi dalam serum4. Karsinoma Nasofaring : tumor ganas yamg tumbuh pada nasofaring dengan prediksi difosa rosen moller dan atap nasofaring5. Titer Antibody : tes laboratorium yang mengukur iv dari antibodi dalam suatu sampel darah6. Polimorfisme: terdapat perbedaan bentuk individual dalam suatu populasi, spesies atau tingkat yang berbeda7. Pemeriksaan PCR : teknik genetik molekulerdimana sekuen DNA tertentu di isolasi dan diamplifikasi untuk mempermudah analisis genetik8. EBV(Ebstein Barr Virus) : Virus Epstein Barr (EBV) merupakan virus dsDNA yang memiliki capsid ichosahedral termasuk dalam family Herpesviridae, merupakan salah satu penyebab karsinoma nasofaring9. Sero Reaksi : reaksi demonstrasi antibody spesifik atau antigen dalam serum10. Pemeriksaan RFLP: pemeriksaan polimorfisme genetik dalam sekuen DNA yang bisa dideteksi berdasarkan perbedaan panjang fragmen DNA

II. IDENTIFIKASI MASALAH1. Tn. Aam Syaroni, 42 tahun seorang WNI asli Sunda, mempunyai kebiasaan mengkonsumsi terasi, ikan asin dan produk awetan lainnya. 2. Dia datang ke Rumah Sakit dengan keluhan benjolan di leher sebelah kiri sejak 6 bulan yang lalu. Kemudian dokter melakukan pemeriksaan dan menduga adanya tumor di sebelah kiri.3. Dokter melakukan pemeriksaan Patologi Anatomi (PA), pemeriksaan serologi serta PCR-RFLP. Hasil pemeriksaan PA karsinoma nasofaring, pemeriksaan serologi didapatkan peningkatan titer antibody terhadap EBV. Hasil pemeriksaan PCR-RFLP menunjukan adanya polimorfismeIII. ANALISIS MASALAH1. Tn. Aam Syaroni, 42 tahun seorang WNI asli Sunda, mempunyai kebiasaan mengkonsumsi terasi, ikan asin dan produk awetan lainnya.

a. Bagaimana dampak kebiasaan mengonsumsi terasi, ikan asin dan produk awetan? Terasi, ikan asin, dan produk awetan lainnya mengandung nitrosamine. Nitrosamin dapat memicu terjadinya karsinoma nasofaring.

b. Apa saja kandungan dari terasi, ikan asin, dan produk awetan yang bersifat karsinogen bagi tubuh?Kandungan yang bersifat karsinogen dalam terasi, ikan asin, dan produk awetan adalah nitrosamine. Nitrosamin akan terbentuk jika nitrit bereaksi dengan amina sekunder karena suhu yang tinggi yang terjadi saat membakar, memanggang, menggoreng produk berprotein tinggi, misalnya daging, ikan, dll. Alkilamin yang berada dalam ikan asin akan bereaksi dengan nitrit dari sayuran atau bereaksi dengan natrium pada daging yang diawetkan. Reaksi antara nitrit dan alkilamin akan membentuk nitrosamine yang bersifat karsinogenik kimiawi terkuat.

c. Bagaimana hubungan kebiasaan mengonsumsi terasi, ikan asin, dan produk awetan dengan keluhan pada kasus? Terasi yang merupakan produk pangan dengan cara dibakar, ikan asin yang diawetkan dengan garam dan bahan pangan berpengawet lainnya dapat mebentuk senyawa berbahaya yaitu nitrosamine. Nitrosamin akan terbentuk jika nitrit bereaksi dengan amina sekunder karena suhu yang tinggi yang terjadi saat membakar, memanggang, menggoreng produk berprotein tinggi, misalnya daging, ikan, dll. Nitrosamine ini merupakan senyawa karsinogenik. Pada kasus telah diketahun melalui tes PCR-RFLP bahwa Tn. Aam mengalami polimorfisme, khususnya pada gen CYP2E1 yang menyebakan timbulnya karakteristik poor metabolizer terhadap nitrosamine, sehingga nitrosamine terus menerus menumpuk karena kebiasan diet Tn. Aam. Penumpukan nitrosamine ini selain mengaktifkan virus EBV juga menyebabkan terbentuknya mutan p53. P53 merupakan protein yang termasuk dalam TSG (Tumor Supressor Gene) dimana salah satu produknya yaitu p21 yang berperan sebagai pengikat komplek cyc-cdk yang menyebakan berhentinya siklus sel (Transisi G1 ke S). Ketika terjadi mutasi ada p53 maka berakibat signifikan terhadap siklus sel, siklus sel akan berlangsung terus, dan dihasilkanlah sel sel baru dengan tidak terkendali. Berhubungan dengan EBV, yang sering menyerang fossa Rosenmulleri pada nasofaring dan mekanisme sebelumnya maka terjadilah karsinoma nasofaring, atau kanker pada epitel nasofaring. Karsinoma nasofaring menginvasi secara lokal, menyebar ke kelenjar getah bening leher. Mekanisme timbulnya benjolan pada leher diawali dengan displasia dan metaplasia pada sel matur akibat berbagai faktor sehingga proses diferensiasi sel tidak lagi sempurna. Displasia ini menimbulkan sejumlah kelainan fisiologis molekuler seperti peningkatan laju pembelahan sel dan inaktifasi mekanisme apoptosis. Hal ini berakibat pada ploriferasi sel yang tak terkendali yang bermanifestasi pada benjolan di jaringan. Penyebaran ke kelenjar getah bening merupakan salah satu penyebab utama sulitnya menghentikan proses metastasis suatu karsinoma. Pada KNF, penyebaran ke kelenjar getah bening sangat mudah terjadi akibat banyaknya stroma kelanjar getah bening pada lapisan sub mukosa nasofaring. Biasanya penyebaran ke kelenjar getah bening diawali pada nodus limfatik yang terletak di lateral retropharyngeal yaitu Nodus Rouvier. Di dalam kelenjar ini sel tersebut tumbuh dan berkembang biak sehingga kelenjar menjadi besar dan tampak sebagai benjolan pada leher bagian samping. Benjolan ini dirasakan tanpa nyeri oleh Tn. Aam.

d. Bagaimana hubungan umur, jenis kelamin, dan asal daerah (sunda) dengan penyakit yang dideritanya?Berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan, insiden KNF dua sampai tiga kali lipat lebih sering terjadi pada laki-laki. Dan walaupun KNF tergolong jarang, di belahan dunia seperti Asia Tenggara, Timur Tengah, Afrika Utara, dan Cina karsinoma ini sering ditemukan. Bagi daerah endemik ini, usia puncak terjadinya adalah sekitar usia 40-50an. Dan berdasarkan penelitian lokal yang dilakukan, ditemukan bahwa frekuensi KNF lebih tinggi pada suku Sunda yang mungkin dikarenakan oleh gaya hidup yang suka makan ikan asin dan belacan yang mengandung nitrosamine (karsinogenik bagi tubuh) dan cenderung mengalami polimorfisme gen CYP2E1.

e. Apa dampak kandungan makanan yang dikonsumsi Tn. Aam Syaroni terhadap kondisi genetiknya? Peningkatan insidensi KNF dilaporkan berkaitan erat dengan faktor makanan seperti makanan yang diawetkan (ikan asin), difermentasi, dan diasapi. Telah dijelaskan di skenario bahwa Tn. Aam memang menjalani diet seperti itu. Diet tersebut berhubungan dengan ras yaitu asli Sunda. Makanan-makanan tersebut dapat meningkatkan kandungan nitrosamin, sehingga dapat mengaktivasi Epstein-Barr virus (EBV) dan menginduksi perkembangan KNF. Selain itu, konsumsi minuman beralkohol juga dapat meningkatkan risiko terkena KNF.Nitrosamin juga disebut sebagai zat karsinogenik karena nitrosamin dapat merusak rantai DNA. Nitrosamin tersebut dapat mengubah pasangan basa pada rantai DNA, karena nitrosamin dapat mentransfer gugus metil atau etil kepada ikatan fosfat atau basa pada rantai DNA. Biasanya pasangan basa yang sering mendapat gugus metil atau etil tersebut adalah Guanin sehingga terbentuk senyawa nitrosoguanin.

2. Dia datang ke Rumah Sakit dengan keluhan benjolan di leher sebelah kiri sejak 6 bulan yang lalu. Kemudian okter melakukan pemeriksaan dan menduga adanya tumor di sebelah kiri.

a. Bagaimana mekanisme terjadinya benjolan di leher sebelah kiri pada kasus?Sudah hampir dipastikan karsinoma nasofaring disebabkan oleh virus eipstein barr (EBV). Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya protein-protein laten pada penderita karsinoma nasofaring. Sel yang terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protin tertentu yang berfungsi untuk proses proliferasi dan mempertahankan kelangsungan virus didalam sel host. Protein tersebut dapat digunakan sebagai tanda adanya EBV, seperti EBNA-1 dan LMP-1, LMP-2A dan LMP-2B. EBNA-1 adalah protein nuclear yang berperan dalam mempertahankan genom virus. EBV tersebut mampu aktif dikarenakan konsumsi ikan asin yang berlebih serta pemaparan zat-zat karsinogen. Produk dari EBV, yaitu LMP1 akan memicu kerja protein BCl2 yang berimbas pada kerja protein BAX (protein BAX ini diregulasi oleh p53). Ekpresi protein BAX yang menurun menyebabkan tidak mampu terbukan Pt-Pore pada membran mitokondria sel epitel nasofaring ini sehingga mekanisme apoptosis tidak terjadi. Selain itu EBV akan mnyebabkan gangguan fisiologis terhadap protein p53 sehingga siklus sel terus berjalan dan terjadilah KNF. Pada KNF, penyebaran ke kelenjar getah bening sangat mudah terjadi akibat banyaknya stroma kelanjar getah bening pada lapisan sub mukosa nasofaring. Biasanya penyebaran ke kelenjar getah bening diawali pada nodus limfatik yang terletak di lateral retropharyngeal yaitu Nodus Rouvier. Di dalam kelenjar ini sel tersebut tumbuh dan berkembang biak sehingga kelenjar menjadi besar dan tampak sebagai benjolan pada leher bagian samping. Benjolan ini dirasakan tanpa nyeri oleh Tn. Aam.

b. bagaimana anatomi dan histologi benjolan di leher pada kasus? AnatomiBenjolan yang terjadi pada leher Tn. Aam merupakan metastase dari KNF yang dideritanya. Metastase ini terjadi secara limfogen karena memang nasofaring mengandung banyak jaringan limfe pada sub mukosanya Jaringan limfe di nasofaring terdapat banyak saluran limfe yang terutama mengalir ke lateral bermuara di kelenjar retrofaring Krause (kelenjar rouviere). Terdapat hubungan bebas melintasi garis tengah dan hubungan langsung dengan mediastinum melalui rongga ruang retrofaring. Metastasis jauh sering terjadi.

HistologiPermukaan nasofaring berbenjol-benjol, karena dibawah epitel terdapat banyak jaringan limfosid, sehingga berbentuk seperti lipatan atau kripta. Hubungan antara epitel dengan jaringan limfosid ini sangat erat, sehigga sering disebut Limfoepitel . Bloom dan Fawcett ( 1965 ) membagi mukosa nasofaring atas empat macam epitel :1. Epitel selapis torak bersilia2. Epitel torak berlapis 3. Epitel torak berlapis bersilia 4. Epitel torak berlapis semu bersilia Mengenai distribusi epitel ini, masih belum ada kesepakatan diantara para hali. Enam puluh persen dari mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel berlapis gepeng Stratified Squamous Epithelium, dan 80 % dari dinding posteroir nasofaring dilapisi oleh epitel ini, sedangkan pada dinding lateral dan depan dilapisi oleh epitel transisional, yang meruapkan epitel peralihan antara epitel berlapis gepeng dan torak bersilia. Epitel berlapis gepeng ini umumnya dilapisi Keratin, kecuali pada Kripta yang dalam. Di pandang dari sudut embriologi, tempat pertemuan atau peralihan dua macam epitel adalah tempat yang subur untuk tumbuhnya suatu karsinoma.HISTOPATOLOGIKlasifikasi gamabaran histopatologi yang direkomendasikan oleh organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sbelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe, yaitu :1. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi ( Keratinizing Squamous Cell Carcinoma). Tipe ini daoat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan buruk.2. Karsinoma non keratinisasi (Non keratinizing Carcinoma)Pada tipe ini dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa tanpa jembatan intersel. Pada umumnya batas sel cukup jelas. 3. Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undiffrentiated Carcinoma)Pada tipe ini sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval atau bulat yang jelas. Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan jelas.

c. Bagaimana anatomi dan histologi nasofaring?Anatomi :

Anatomi Nasofaring : Nasopharynx terletak di belakang rongga hidung, di atas palatum molle. Bila palatum molle diangkat dan dinding posterior pharynx ditarik ke depan, seperti waktu menelan, maka nasopharynx tertutup dari oropharynx. Nasopharynx mempunyai atap, dasar, dinding anterior, dinding posterior, dan dinding lateral. Atap, dibentuk oleh corpus ossis sphenoidalis dan pars basilaris ossis occipitalis. Kumpulan jaringan limfoid yang disebut tonsila pharyngealis, terdapat di dalam submucosa daerah ini. Dasar, dibentuk oleh permukaan atas palatum molle yang miring. Isthmus pharyngeus adalah lubang di dasar nasopharynx di antara pinggir bebas palatum molle dan dinding posterior pharynx. Selama menelan, hubungan antara naso dan oropharynx tertutup oleh naiknya palatum molle dan tertariknya dinding posterior pharynx ke depan. Dinding anterior, dibentuk oleh apertura nasalis posterior, dipisahkan oleh pinggir posterior septum nasi. Dinding posterior, membentuk permukaan miring yang berhubungan dengan atap. Dinding ini ditunjang oleh arcus anterior atlantis. Dinding lateral;, pada tiap-tiap sisi memiliki muara tuba auditiva ke pharynx. Pinggiran posterior tuba membentuk elevasi yang disebut elevasi tuba. M. salphingoparyngeus yang melekat pada pinggir bawah tuba membentuk lipatan vertikal pada membran mucosa yang disebut plica salphingopharyngeus. Recessus pharyngeus adalah lekukan kecil pada dinding lateral di belakang elevasi tuba. Kumpulan jaringan limfoid di dalam submucosa di belakang muara tuba auditiva disebut tonsila tubaria.Histologi nasofaring :Permukaan nasofaring berbenjol-benjol, karena dibawah epitel terdapat banyak jaringan limfosid,sehingga berbentuk seperti lipatan atau kripta. Hubungan antara epitel dengan jaringan limfosid inisangat erat, sehigga sering disebut " Limfoepitel ".Bloom dan Fawcett ( 1965 ) membagi mukosa nasofaring atas empat macam epitel :1. Epitel selapis torak bersilia 2. Epitel torak berlapis 3. Epitel torak berlapis bersilia 4. Epitel torak berlapis semu bersilia Mengenai distribusi epitel ini, masih belum ada kesepakatan diantara para hali.60 % persen dari mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel berlapis gepeng " Stratified Squamous Epithelium ", dan 80 % dari dinding posteroir nasofaring dilapisi oleh epitel ini, sedangkan pada dinding lateral dan depan dilapisi oleh epitel transisional, yang meruapkan epitel peralihan antara epitel berlapis gepeng dan torak bersilia.Epitel berlapis gepeng ini umumnya dilapisi Keratin, kecuali pada Kripta yang dalam. Di pandang dari sudut embriologi, tempat pertemuan atau peralihan dua macam epitel adalah tempat yang subur untuk tumbuhnya suatu karsinoma.d. Mengapa gejala penyakit baru timbul sejak 6 bulan yang lalu dari kebiasaan hidupnya selama 42th?Pertama-tama kita harus mengetahui bagaimana mekanisme terjadinya kanker. Berikut ada mekanisme terjadinya kanker:Kanker berkembang dalam tiga lahap: inisiasi, promosi, dan progresi. Sebagai analogi kasar, proses kanker sangat mirip dengan menanam rumput. Inisiasi adalah saat kita menanam benih di dalam tanah, promosi adalah saat rumput mulai tumbuh, dan progresi adalah saat rumput mulai tumbuh tidak terkendali, menyebar hingga ke pematang, semak-semak, dan bahu jalan.Unsur kimia yang memicu sel menjadi sel rawan kanker disebut karsinogen. Bahan kimia tersebut biasanya merupakan produk sampingan dari proses industri, walaupun dalam jumlah kecil dapat terbentuk secara alami di alam, seperti halnya dalam kasus aflatoxin. Zat karsinogen tersebut secara genetis mentransformasi, atau memutasi sel normal menjadi sel rawan-kanker dengan merusak DNA-nya.Tahap Pertama : Inisiasi KankerSetelah memasuki sel tubuh kebanyakan karsinogen tidak dengan sendirinya menjalani proses kanker. Karsinogen harus dikonversi menjadi produk-produk yang lebih reaktif dengan bantuan enzim enzim tertentu. Produk-produk karsinogen tersebut kemudian mengaitkan diri dengan kuat ke DNA sel untuk membentuk DNA-karsinogen kompleks, atau adduct .Kecuali kita dapat memperbaiki atau melenyapkannya, DNA-karsinogen adduct memilikj potensi menimbulkan kekacauan dalam kinerja genetis sel. Namun dengan begitu cerdas. Adduct-adduct tersebut dapat diperbaiki dalam waktu relatif cepat. Namun, jika adduct tersebut tetap bertahan diposismya saat sel mulai membelah diri membentuk sel baru, kerusakan genetis terjadi. Kerusakan (atau notasi) genetis ini akan terus terbawa ke seluruh sel yang terbentuk setelahnya.Seluruh tahap dapat memakan waktu sangat singkat, bahkan dalam hitungan menit. Itu adalah waktu yang dibutuhkan unsur kimia karsinogen untuk dikonsumsi, diserap darah, ditransportasikan ke dalam sel, berubah menjadi produk yang aktif, mengikat diri ke DNA, dan meneruskan kerusakan DNA kepada sel-sel baru. Saat sel baru terbentuk, proses tersebut selesai sepenuhnya. Sel-sel baru tersebut selamanya akan memiliki kerusakan genetis, menyebabkan meningkatnya potensi kanker. Kecuali untuk beberapa kasus, penyelesaian proses inisiasi dianggap tidak dapat dihentikan.Di tahap ini dalam analogi rumput, benih rumput telah selesai ditanam dan siap bertunas. Inisiasi sudah selesai. Tahap kedua disebut promosi. Seperti halnya rumput yang siap bertunas dan berubah menjadi lembaran-lembaran daun hijau di ladang, sel rawan-kanker yang baru siap untuk tumbuh dan berlipat hingga sel-sel tersebut dapat secara jelas terdeteksi sebagai kanker. Tahap ini berlangsung dalam waktu jauh lebih lama daripada inisiasi. Pada manusia sering memakan waktu bertahun-tahun. Selain itu bila dikaitkan dengan kasus zat zat promoter selain angiogenesis (Pertumbuhan pembuluh darah yang menyuplai nutrisi untuk sel kanker) juga dikarenakan kebiasan diet Tn. Aam. Saat kelompok sel terinisiasi mulai berlipat dan tumbuh menjadi lebih besar dan lebih besar, secara klinis terbentuklah tumor.Namun, seperti halnya rumput di ladang, sel kanker terinisiasi tidak akan tumbuh dan berlipat ganda, kecuali tersedia kondisi-kondisi yang mendukung. Jika salah satu faktor pertumbuhan (misalnya nutrisi), sel sel inisiator tidak akan tumbuh, akan dormant (tidak aktif/tidur) sambil menunggu tersedianya faktor yang menghilang tersebut. Ini adalah salah satu prinsip dalam tahap promosi. Promosi dapat dihentikan, tergantung dari apakah pertumbuhan kanker di awal mendapat kondisi yang mendukung untuk dapat tumbuh. Di sinilah faktor-faktor makanan menjadi begitu penting. Faktor-faktor makanan, disebut promotor, memberi makan bagi pertumbuhan kanker. Faktor-faktor makanan lainnya, disebut antipromotor, memperlambat pertumbuhan kanker. Pertumbuhan kanker bersemi jika terdapat lebih banyak promotor daripada antipromotor. lika antipromotor menang jumlah, pertumbuhan kanker akan melambat atau berhenti. Ini adalah sebuah proses tarik-dorong.Tahap ketiga, progresi, dimulai saat segerombolan sel kanker yang dewasa melanjutkan pertumbuhan hingga mereka berhasil melakukan kerusakan fatal, seperti rumput tinggi yang memenuhi semua lahan di sekitarnya: kebun, pematang, dan bahu jalan. Serupa dengan hal itu, tumor dan kanker yang berkembang dapat menyebar dari tempat awalnya tumbuh di dalam tubuh dan menyerang ke jaringan yang bersebelahan maupun jaringan yang jauh. Jika kanker menyerang jaringan yang dekat, kanker itu dianggap ganas, Jika kanker lepas dari rumah awalnya dan berpindah, kanker itu dianggap metastasis. Akibat dari tahap akhir kanker ini adalah kematian.

e. Apa perbedaan tumor dengan karsinoma? Setiap benjolan yang terdapat di dalam atau diluar tubuh biasanya disebut dengan tumor. Tumor adalah sebutan untuk neoplasma atau lesi padat yang terbentuk akibat pertumbuhan sel tubuh yang tidak semestinya, yang mirip dengan simtoma bengkak. Tumor ada dua macam, tumor jinak dan ganas. Tumor jinak biasanya tidak bahaya karena tidak tumbuh besar dan tidak menyebar keluar jaringan. Sedangkan Tumor ganas, adalah kanker yang tumbuh dengan cepat dan tidak terkendali serta merusak jaringan lain.Sedangkan Karsinoma adalah kanker yang dimulai di kulit atau jaringan yang melapisi atau menutupi organ-organ tubuh.

3. Dokter melakukan pemeriksaan Patologi Anatomi (PA), pemeriksaan serologi serta PCR-RFLP. Hasil pemeriksaan PA karsinoma nasofaring, pemeriksaan serologi didapatkan peningkatan titer antibody terhadap EBV. Hasil pemeriksaan PCR-RFLP menunjukan adanya polimorfisme

a. Apa saja pemicu terjadinya karsinoma nasofaring?Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan penyakit yang multifaktor. Ada beberapa faktor yang memicu timbulnya KNF yaitu kerentanan genetik, faktor lingkungan dan infeksi virus eptein-barr (EBV). Karsinoma nasofaring merupakan penyakit genetik, dimana ras mongoloid lebih rentan untuk terkena penyakit ini. Faktor lingkungan juga mempengaruhi karena adanya iritasi bahan kimia. Asap kayu bakar yang digunakan untuk memasak. Mengonsumsi makanan yang diasapi akan menimbulkan terbentuknya nitrosamine yang bersifat karsinogenik. Makanan yang diawetkan merupakan sumber nitrit dan nitrosamine. Derivat senyawa N-Nitroso yaitu dimetilnitrosaminosa dan N-nitroso N-metilurea juga terdapat dalam makanan yang diawetkan. Senyawa ini terbentuk dari amina sekunder (amida) dan nitrit. Selain senyawa amin yang terdapat dalam asam amino, terdapat juga senyawa amin asil metabolit dalam ikan asin yaitu alkilamin. Alkilamin yang berada dalam ikan asin akan bereaksi dengan nitrit dari sayuran atau bereaksi dengan natrium pada daging yang diawetkan. Reaksi antara nitrit dan alkilamin akan membentuk nitrosamine yang bersifat karsinogenik kimiawi terkuat. Senyawa karsinogen akan berinteraksi dengan makromolekul DNA dan membentuk carcinogen adduct serta menginduksi perubahan kimiawi lainnya pada DNA. Karsinogen ini akan mengaktifkan senyawa onkogen untuk mengubah sel normal menjadi sel kanker. Sel tumor yang telah mengalami inisiasi akan tetap tenang dalam jangka waktu yang lama sebelum terjadinya proliferasi. Sel yang terinfeksi EBV akan mengekspresikan beberapa antigen virus yang spesifik untuk setiap periode infeksi. Infeksi ini ditandai oleh ekspresi protein Epstein-Barr Virus Nuclear Antigen (EBNA-1), EBNA-2, Membran Protein Laten (MPL), dan Epstein Barr Virus Encoded small RNAs (EBER). Protein-protein ini mengadakan interaksi atau mempunyai homolog dengan berbagai protein tubuh seperti protein antiapoptosis, sitokin dan transduksi sinyal. Antiapoptosis inilah yang ahirnya bermanifestasi terhadap karsinoma pada jaringan yang diserang EBV, yaitu daerah nasofaring.b. Bagaimana patofisiologi dari karsinoma nasofaring pada kasus?

Berdasarkan bagan di atas maka,kebiasaan buruk dalam bahan makanan yang rutin di konsumsi berpengaruh terhadap terjadinya karsinoma nasofaring.

c. Bagaimana hubungan benjolan di leher kiri dengan karsinoma nasofaring? Pada mulanya karsinoma nasofaring hanya akan terasa pada telinga dan hidung. Telinga akan terasa berdengung dan terasa penuh pada satu sisi tanpa disertai rasa sakit sampai dengan pendengaran berkurang, hidung sering mimisa, ingus bercampur darah. Namun jika sel telah mengalami metastasis gejala ini akan menyebabkan timbulnya benjolan di leher yaitu pada kelenjar getah beningnya. Pada karsinoma nasofaring benjolan yang timbul bukan berasal dari leher itu sendiri, melainkan metastase dari sel sel kanker yang terlepas dari induk primernya dan mnyebar secara limfogen ke nodulus Lymphaticus sekitar. Letak tumor di ujung prosesus mastoid, di belakang angulus mandibula, di dalam muskulus sternokleidomastoideus, keras dan tidak mudah bergerak.

d. Bagaimana sistem pemeriksaan: PA Pemeriksaan Patologi Anatomi (PA) ialah pemeriksaan morfologitumor, meliputi pemeriksaan makroskopi dan mikroskopi. Bahanuntuk pemeriksaan PA dapat diperoleh dari biopsi tumor ganas ataudari spesimen operasi. Ada beberapa cara biopsi yang seringdilakukan, 4 yaitu:1. Biopsi insisi, yaitu mengambil sebagian kecil jaringan tumorganas dengan menggunakan pisau bedah;2. Biopsi eksisi (biopsi in toto), yaitu mengambil seluruh tumor.Untuk tumor jinak, tindakan ini sekaligus sebagai terapi; 3. Biopsi truneut, yaitu mengambil sebagian jaringan tumor dengan alat biopsi khusus berbentuk jarum besar yang dapat memotong dan mengambil jaringan tumor;4. Biopsi aspirasi dengan jarum (Needle Aspiration Biopsy), yaitu mengambil sebagian kecil jaringan tumor ganas dengan cara disedot menggunakan jarum yang ditusukkan kedalam jaringan tumor.5. Biopsi endoskopi, yaitu mengambil sebagian kecil jaringan tumor dengan menggunakan endoskop.Patologi anatomi merupakan ilmu kedokteran di mana bidang ini sangat membantu dalam membuat diagnosis (termasuk stadium) dan penentuan pengobatan yang tepat bagi kanker. Dalam bidang ilmu patologi anatomi, tumor / kanker dapat diketahui dengan melihat penampakan suatu sel jaringan di bawah mikroskop. Penentuan tumor / kanker berdasarkan patologi anatomi berdasarkan bentukan sel yang dapat dilihat dengan mikroskop. Sifat Jinak Ganas diferensiasi anaplasi berdiferensiasi baik, struktur mirip jaringan asal kurang berdiferensiasi dan terdapat anaplasia, struktur sering atipik kecepatan pertumbuhan dan gambaran mitosis (pembelahan) progresif dan lambat, dapat tetap atau regresi (menciut), gambaran mitosis jarang dan normal kacau dan dapat lambat-cepat, gambaran mitosis banyak danabnormal pembentukan simpai-invasi jarang membentuk simpai; umumnya kohesif dan bersifat ekspansif invasif tanpa simpai; biasanya infiltratif, tetapi dapat tampak kohesif dan ekspansif metastasis tidak ada sering ada, besar dan makin tidak berdiferensiasi tumor primer, makin sering terjadi metastasis. Sifat Jinak Ganas diferensiasi anaplasi berdiferensiasi baik, struktur mirip jaringan asal kurang berdiferensiasi dan terdapat anaplasia, struktur sering atipik kecepatan pertumbuhan dan gambaran mitosis (pembelahan) progresif dan lambat, dapat tetap atau regresi (menciut), gambaran mitosis jarang dan normal kacau dan dapat lambat - cepat, gambaran mitosis banyak dan abnormal pembentukan simpai - invasi jarang membentuk simpai; umumnya kohesif dan bersifat ekspansif invasif tanpa simpai; biasanya infiltratif, tetapi dapat tampak kohesif dan ekspansif metastasis tidak ada sering ada, besar dan makin tidak berdiferensiasi tumor primer, makin sering terjadi metastasisAdapun contoh pemeriksaan dengan patalogi anatomi ini berupa :1. Sitologi : contohnya berupa pemeriksaan Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB), di mana cara pengambilan contoh jaringan dengan menggunakan jarum suntik yang kemudian ditusukkan ke dalam tumor atau ductal lavage of breast cell untuk cairan yang diproduksi payudara. Biasanya tumor yang berkonsistensi lunak atau cair atau dapat juga berupa cairan tubuh (cairan pleura paru, cairan cerebral, dan lain - lain).2. Histo Patologi : contohnya berupa pemeriksaan biopsi jaringan (kanker payudara, kanker kulit dan sebagainya), di mana dalam pengambilan contoh jaringan seperti operasi, namun bahan yang diambil hanya sedikit dan kemudian contoh ini dilihat di bawah mikroskop.3. VriesCoupe : pemeriksaan jaringan kanker yang dilakukan di tengah - tengah operasi, di mana ketika jaringan tumor / kanker bersama jaringan sekitarnya yang dianggap normal diangkat, jaringan tersebut dibekukan dengan cairan nitrogen dan kemudian langsung dibawa ke bagian patologi anatomi yang memang sudah disediakan di ruang operasi. Bila patholog menyatakan bahwa jaringan yang diambil tidak menyebar ke sekitarnya, maka operasi selesai. Dan bila sebaliknya, maka operasi dilanjutkan sampai didapatkan jaringan yang benat normal atau dapat juga dihentikan bila operasi tak dapat dilanjutkan oleh karena riskan untuk mengangkat jaringan sekitarnya yang memiliki fungsi tak tergantikan.

Serologi Pemeriksaan serologi untuk KNF dilakukan dengan mengecek titer IgA dan IgG, karena biasanya dua antibody ini yang meningkat saat ada EBV. Apabila ada kenaikan pada titer VCA-IgA, EA/D-IgG dan EA/D-IgA maka dapat dipastikan orang tersebut positif karsinoma nasofaring. Pemeriksaan IgA anti-EA biasanya hanya digunakan untuk menentukan prognosis pengobatan. Virus juga dapat dideteksi dengan pemeriksaan imunohistokimia dantekhnik PCR.

PCR - RFLP Pemeriksaan PCR-RFLP sebagaimana pemeriksaan dengan PCR, dimulai dengan isolasi DNA yang lalu diamplifikasi dengan mesin PCR. Setelah itu dilakukan pemotongan dengan enzim restriksi dan terakhir eletroforesis gel.

e. Apa hubungan EBV dengan karsinoma nasofaring pada kasus?Infeksi virus Epstein-Barr dapat menyebabkan karsinoma nasofaring. Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya keberadaan protein-protein laten pada penderita karsinoma nasofaring. Pada penderita ini sel yang terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protein tertentu yang berfungsi untuk proses proliferasi dan mempertahankan kelangsungan virus di dalam sel host. Protein laten ini dapat dipakai sebagai petanda (marker) dalam mendiagnosa karsinoma nasofaring, yaitu EBNA-1 dan LMP-1, LMP- 2A dan LMP-2B. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya pada 50% serum penderita karsinoma nasofaring LMP-1 sedangkan EBNA-1 dijumpai di dalam serum semua pasien karsinoma nasofaring.Selain itu, dibuktikan oleh hasil penelitian Khrisna dkk (2004) dalam Rusdiana (2006) terhadap suku Indian asli bahwa EBV DNA di dalam serum penderita karsinoma nasofaring dapat dipakai sebagai biomarker pada karsinoma nasofaring primer. Hubungan antara karsinoma nasofaring dan infeksi virus Epstein-Barr juga dinyatakan oleh berbagai peneliti dari bagian yang berbeda di dunia ini. Pada pasien karsinoma nasofaring dijumpai peninggian titer antibodi anti EBV (EBNA-1) di dalam serum plasma. EBNA-1 adalah protein nuklear yang berperan dalam mempertahankan genom virus. Huang dalam penelitiannya, mengemukakan keberadaan EBV DNA dan EBNA di dalam sel penderita karsinoma nasofaring.Terdapat 5 stadium pada karsinoma nasofaring yaitu:1. Stadium 0: sel-sel kanker masih berada dalam batas nasopharing, biasa disebut nasopharynx in situ2. Stadium 1: Sel kanker menyebar di bagian nasopharing3. Stadium 2: Sel kanker sudah menyebar pada lebih dari nasopharing ke rongga hidung. Atau dapat pula sudah menyebar di kelenjar getah bening pada salah satu sisi leher.4. Stadium 3: Kanker ini sudah menyerang pada kelenjar getah bening di semua sisi leher5. Stadium 4: kanker ini sudah menyebar di saraf dan tulang sekitar wajah.Konsumsi ikan asin yang berlebih serta pemaparan zat-zat karsinogen dapat mengaktifkan Virus Epstein Barr ( EBV). Ini akan menyebabkan terjadinya stimulasi pembelahan sel abnormal yang tidak terkontrol, sehingga terjadi differensiasi dan proliferasi protein laten (EBNA-1). Hal inilah yang memicu pertumbuhan sel kanker pada nasofaring, dalam hal ini terutama pada fossa Rossenmuller.

f. Bagaimana mekanisme terjadinya peningkatan titer antibodi dan indikasinya? Mekanisme :Dalam tubuh manusia terdapat suatu mekanisme pertahan tubuh terhadap bahaya berbagai mikroorganisme yang bersifat destruktif terhdap tubuh dalam lingkungan hidup disebut dengan sistem imun. Sistem imun ini terdiri atas sistem imun non spesifik yang merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme yang tidak ditujukan terhadap rnikroorganisme tertentu. Sistem imun spesifik merupakan pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme tertentu, termasuk di dalamnya yaitu antibodi yang disebut imunoglobulin, dibentuk oleh sel plasma berasal dari proliferasi sel B akibat adanya kontak dengan antigen. Pada manusia dikenal 5 kelas utama imunoglobulin, yaitu IgG, IgM, IgA, IgD, IgB. Imunoglobulin terpenting diseluruh permukaan mukosa yang berfungsi sebagai penolakan infeksi adalah 1gA, mempunyai kelas imunoglobulin kedua terbanyak dalam serum dan paling dominan pada seluruh permukaan mukosa. Eperti yang kita ketahui bahwa penularan EBV terutama melalui saliva, IgA kadarnya dalam cairan saliva lebih tinggi dalam bentuk Sekretori IgA (SIgA), maka ketika terjadi infeksi EBV maka antibody yang akan menjadi barrier utama nya adalah IgA. SIgA bertindak pada jalur utama perlindungan mukosa mulut terutama oleh pengikatan sederhana untuk melarutkan dan memecah antigen, pertahanan terhadap serbuan mikrobial. SIgA merupakan pertahanan imun spesifik yang dominan pada ,rongga mulut. SlgA membatasi melekatnya sptreptokokus oral, gonococci dan anggota enterobacteriaceae pada sel epitel yang terisolasi, mengaglutinasi bakteri, menetralkan racun, enzim dan virus-virus dalam rongga mulut.Indikasi :Keganasan nasofaring (KNF) merupakan salah satu keganasan yang paling erat hubungannya dengan infeksi virus Epstein Barr (EBV), terutama di daerah endemik. Salah satu cara untuk melakukan skrining terhadap kecurigaan perubahan epitel dari nasofaring yang noninvasif adalah dengan melakukan pemeriksaan antibodi IgA EBV early antigen (EA) dan IgA EBV viral capsid antigen (VCA). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingginya titer antibodi saat diagnosis keganasan nasofaring ditegakkan dan besarnya perubahan titer antibodi IgA EBV EA dan Ig EBV VCA sesudah mendapatkan pengobatan sistemik serta hubungan antara peningkatan titer antibodi tersebut dengan stadium penyakit. Penelitian dilakukan secara retrospektif dari catatan rekam medis pasien baru dengan keganasan nasofaring.. Gambaran jenis histopatolgi terbanyak undifferenciated carcinoma nasopharynx dan stadium kanker terbanyak adalah stadium III dan IV . Dari 76 pasien, hanya 37 pasien yang mempunyai data pemeriksaan antibodi IgA EBV. Dari penelitian ini terlihat peninggian titer antibodi IgA EBV EA dan IgA EBV VCA dengan nilai rerata 113,57 dan 221,72 yang berkorelasi dengan diagnosis KNF. Didapatkan kecenderungan penurunan titer antibodi IgA EBV EA dan VCA pasca-pemberian terapi sistemik, namun tidak ada hubungan yang bermakna antara tingginya titer antibodi tersebut dengan stadium penyakit.g. Bagaimana patofisiologi polimorfisme pada kasus? Perlu diketahui bahwa polimorfisme tidak selalu merupakan patologi, terkadang terjadi polimorfisme dengan hasil asam amino yang dikode tidak berubah sehingga tidak menyebakan dampak berarti bagi sel penjamu.Mutasi merupakan sumber yang utama bagi adanya variasi genetik (HARTL, 1988; HARTL dan CLARK, 1989). Mutasi akan memunculkan alel-alel baru atau merubah struktur genom dan akhirnya menghasilkan keragaman genetik. Mutasi pada tingkat molekuler terjadi dalam beberapa cara, yaitu: (1) hasil penggantian satu pasang nukleotida dengan nukleotida yang lain (substitusi basa), (2) hasil delesi atau duplikasi dari sekuen nukleotida, dan (3) hasil dari transposisi sekuen DNA dari satu lokasi ke lokasi lain di dalam genom organisme. Penggantian/substitusi satu nukleotida tidak selalu menghasilkan perubahan pada produk asam amino. Penggantian satu nukleotida yang menghasilkan kodon sinonimnya tidak menghasilkan perubahan pada produk asam amino (substitusi sinonim). Namun demikian penggantian satu nukleotida yang menghasilkan kodon nonsinonim dapat mengakibatkan perubahan asam amino yang dihasilkan dan jika posisi asam amino ini berperan penting dalam menentukan fungsi enzim maka dapat menurunkan atau merusak fungsi dari enzim tersebut dalam metabolisme sehingga menyebabkan gangguan pada tubuh, seperti yang terjadi pada anemia sickle cell, albinisme, fenilketonuria (HARTL dan CLARK, 1989). Di samping itu jika penggantian nonsinonim ini menyebabkan stop kodon maka akan merusak fungsi dari produk gen tersebut.Polimorfisme pada kasus ini terjadi pada gen PIGR juga gen CYP2E1.h. Bagaimana hubungan polimorfisme dengan karsinoma nasofaring? Karsinoma Nasofaring sebenarnya bukan merupakan tumor genetik, tetapi kerentanan seseorang bisa berhubungan dengan Gen Polymeric Immunoglobulin Receptor (PIGR). Missense Mutation pada Gen PIGR menyebabkan kerentanan individu terhadap KNF pada populasi etnis Cina dan Thailand.Isoform PIGR terjadi karena perubahan asam amino yang dikode dan menyebabkan lapisan epitel nasofaring lebih mudah diinfeksi oleh EBV akibat terjadinya perubahan asam amino alanin menjadi valin. ini menyebabkan epitel nasofaring mudah diinfeksi oleh EBV. Bentuk polimorfik gen PIGR (varian) ini dapat mengganggu efisiensi PIGR sehingga meningkatkan suseptibilitas individu terkena KNF pada populasi di daerah endemik. Selain itu, gen yang berperan dalam metabolisme karsinogen (CYP2E1)yang menyandi ensim Cytochrome P-450 isoform 2E1 berhubungan erat dengan KNF dan terjadi polimorfisme pada gen ini. Polimorfisme pada gen ini telah membuat populasi manusia terbagi jadi dua subgroup yang mempunyai kemampuan memetabolisme yang berbeda. Subgroup yang mempunyai kemampuan metabolism berkurang atau menurun disebut sebagai poor metabolizer atau fenotif PM dan subgroup dengan metabolisme normal yang disebut extensive metabolizer atau fenotif EM. Polimorfisme pada CYP2E1 yang terlibat dalam kemampuan dalam menginaktivasi nitrosamine (fenotif PM) akan menyebabkan nitrosamine yang karsinogenik tidak mampu diubah menjadi produk non toksik sehingga dapat menyebabkan kerusakan DNA yang berasosiasi dengan timbulnya kanker khusunya KNF. Gen yang menyandi CYP2E1 terletak di kromosom 10q24.3-q. Gen ini terdiri atas 9 exon dan 8 intron yang regulasinya melibatkan mekanisme transkripsi dan post transkripsi yang kompleks. Gen CYP2E1 pada populasi dijumpai dalam bentuk polimorfik yang bervariasi. Pada manusia gen CYP2E1 dipertahankan secara fungsional. Beberapa alel polimorfik yang diidentifikasi disebabkan adanya mutasi-mutasi pada region 5 UTR (substitusi c-1054T dan insersi 96 bp) dan intron. Substitusi T7668A pada daerah intron 6 gen CYP2E1 yang dapat dideteksi dengan metode restriction fragment length polymorphism dengan menggunakan enzim restriksi DRAI dihubungkan dengan kepekaan terjadinya karsinoma nasofaring. Selain itu substitusi c-105T pada 5UTR (promoter) gen CYP2E1 yang bersifat homozigot dapat dideteksi dengan enzim restriksi RSAI (alel C2) juga mempunyai resiko tinggi untuk terkena KNF. i. Apa yang di maksud dengan polimorfisme? Polimorfismeadalah sifat keragaman sel yang disebabkan oleh adanya sejumlah mutasi yang terjadi secara alamiah dan tidak membawa akibat buruk yang memunculkan variasi individu-individu yang khas. Sifat keberagaman gen(polimorfisme)ini juga dapat digunakan dalam rangka penelusuran asal usul manusia dan hubungan kekerabatan antara berbagai ras dan suku, dan untuk membedakan ras yang satu dengan yang lain. Rangkaian informasi genetik yang terkandung dalam DNA mitokondria dapat juga menggambarkan karakteristik suatu populasi.Polimorfisme genetikdidefinisikan sebagai adanya individu-individu dengan sifat genetik yang berlainan tetapi hidup secara bersamaan dalam populasi, di mana frekuensi masing-masing selalu tetap dan tidak berubah oleh karena adanya mutasi genetik. Adanya perbedaan genetik ini bisa menyebabkan perbedaan fenotip (penampilan). Salah satunya adalah dalam hal perbedaan respon seseorang terhadap penggunaan obat. Obat yang sama, dengan dosis yang sama, bisa memberikan efek yang berbeda pada orang yang memiliki genetik yang berbeda.

j. Bagaimana proses terjadinya mutasi gen pada kasus? Polimorfisme dan KNF sebenarnya berhubungan erat, seperti penjelasan pada analisis sebelumnya telah dijelaskan bahwa mutasi gen pada PIGR dan CYP2E1 dapat meningkatkan suseptibilitas invidu terhadap EBV yang ditambah dengan faktor diet maka dapat menjadi KNF.Mutasi gen terjadi apabila ada pergantian ataupun pengurangan/penyisipan basa, jika asam amino yang dikode oleh triplet-triplet mRNA/RNAd tidak menyebabkan pergantian jenis asam amino maka tidak terjadi perubahan fenotip yang signifikan dan hanya merubah struktur genotip saja yang dikenal dengan istilah polimorfisme. Ada dua reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV kedalam sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan PIGR ( Polimeric Immunogloblin Receptor ). Hirunsatit et almelaporkan bahwa mutasi missense pada gen PIGR (1739CT) menyebabkan kerentanan terhadap KNF pada populasi etnis Cina dan Thailand. Dilaporkan pula bukti bahwa PIGR berfungsi sebagai reseptor epitel nasofaring bagi EBV melalui transitosis kompleks IgA-EBV. Mutasi gen PIGR 1739CT dapat mengubah asam amino alanin menjadi valin yang berdekatan dengan situs pembelahan enzim endoproteolitik. Varian tersebut dapat mengganggu efisiensi PIGR dalam melepaskan kompleks IgA-EBV ke lumen sehingga meningkatkan kerentanan individu terhadap infeksi EBV dan meningkatkan risiko KNF. Langkah awal infeksi litik EBV ditandai dengan aktivitas protein ZEBRA yang disandi oleh gen BZLF1 yang terdapat pada sel epitel dan limfosit B. Beberapa produk yang berbeda-beda dari gen yang mempuyai korelasi dengan tahapan siklus replikasi litik dapat diidentifikasi dan dikategorikan menjadi: Early Membrane Antigen (EMA), Early Intra Celulair Atigen (EA), Viral capcid Antigen (VCA),Late Membrane Antigen (LMA). Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu EBERs,EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankanvirus pada infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyaltyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gentersebut, gen yang paling berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur proteinLMP1 terdiri atas 368 asam amino yang terbagi menjadi 20 asam amino pada ujung N, 6segmen protein transmembran (166 asam amino) dan 200 asam amino pada ujung karboksi(C). Protein transmembran LMP1 menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor necrosis) Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi kerentananterhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relative menonjol danmemiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyteantigen) dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan adalah genkerentanan terhadap karsinoma nasofaring. Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atasaktivasi metabolik yang terkait nitrosamine dan karsinogen. Gen yang mengkode enzim sitokrom P450 subtipe CYP2D6, CYP2C9, dan CYP2C19, karena mereka merupakan enzim yang paling banyak dilaporkan mengalami polimorfisme dan bertanggungjawab terhadap banyak kejadian.

k. Gen apa yang termutasi pada kasus? Gen PIGR dan gen CYP2E1 adalah gen gen yang termutasi sesuai kasus. Mutasi gen PIGR menyebabkan peningkatan suseptibilitas individu terhadap EBV sedangkan mutasi gen pada gen CYP2E1 menyebabkan karakteristik poor metabolizer terhadap nitrosamine pada seseorang.

l. Basa nitrogen apa yang termutasi pada gen yang termutasi pada kasus? gen yang mengalami gangguan adalah p53, Bcl2 yang berperan dalam apoptosis akibat insersi DNA virusPolimorfisme dan KNF sebenarnya berhubungan erat, seperti penjelasan pada analisis sebelumnya telah dijelaskan bahwa mutasi gen pada PIGR dan CYP2E1 dapat meningkatkan suseptibilitas invidu terhadap EBV yang ditambah dengan faktor diet maka dapat menjadi KNF. Sedangkan kita tahu bahwa mutasi merupakan sumber utaa terjadinya polimorfisme.Gen CYP2E1 : beberapa alel polimorfik yang telah diidentifikasi disebabkan adanya mutasi-mutasi pada regio 5UTR(substitusi C-1054T dan insersi96 bp)dan intron.SubstitusiT7668A pada daerah intron 6 gen CYP2E1 yang dapat dideteksi dengan metode Length Polymorphism (RFLP) dengan menggunakan enzim restriksi.Gen PIGR : mutasi missense pada gen PIGR (1739CT) menyebabkan kerentanan terhadap KNF pada populasi etnis Cina dan Thailand. Dilaporkan pula bukti bahwa PIGR berfungsi sebagai reseptor epitel nasofaring bagi EBV melalui transitosis kompleks IgA-EBV. Mutasi gen PIGR 1739CT dapat mengubah asam amino alanin menjadi valin yang berdekatan dengan situs pembelahan enzim endoproteolitik. Varian tersebut dapat mengganggu efisiensi PIGR dalam melepaskan kompleks IgA-EBV ke lumen sehingga meningkatkan kerentanan individu terhadap infeksi EBV dan meningkatkan risiko KNF.

m. Bagaimana hub polimorfisme dengan RAS sunda? Sebenarnya tidak ada hubungan yang mendasar antara polimorfisme dengan suku Sunda. Ras/Suku Sunda lebih berhubungan dengan angka kejadian karsinoma nasofaring karena pola makannya. Seperti yang kita tahu bahwa penyebab kanker bersifat multifaktorial, bisa dipicu oleh faktor diet, faktor lingkungan, infeksi virus, maupun faktor genetik (polimorfisme).Ras Sunda mempunyai kebiasaan untuk mengonsumsi ikan asin, terasi, dan prosuk awetan yang mengandung nitrosamin. Untuk memahami bentuk Nitrosamin, diperlukan penjelasan ringkas mengenai senyawa kimia amine. Amine adalah senyawa kimia turunan dari Amonia (NH3). Dengan penggantian satu atau beberapa hydrogen pada ammonia dengan gugus karbon tambahan (-R), primer, sekunder dan tersier amine dibuat. Penggantian satu atom hydrogen dengan satu gugus karbon tambahan menghasilkan amine primer. Penggantian dua atau tiga atom hydrogen pada dua atau tiga gugus karbon tamabahan menghasilkan masing-masing amine sekunder dan amine tersier.Nitrosamine terbentuk oleh amine sekunder dengan nitrogen yang teroksidasi. Nitrogen teroksidasi dibentuk oleh pemanasan senyawa yang mengandung nitrogen, melalui udara (oksidasi oleh atmosfir). Reaksi ini disebut nitrosation.Manusia mempunyai peluang luas mendapatkan senyawa N-nitro (NOCs) yaitu dari makanan, rokok mengandung tembakau, tempat kerja dan air minum, yang mana merupakan sumber yang sering dijumpai dalam kehidupan masyarakat umumnya. Pada pembentukan luar, nitrosamine ditemukan paling banyak sebagai pengawet berbagai produk daging, makanan yang diawetkan dengan pengasapan, makanan tertentu yang dikeringkan dengan zat aditif seperti gandum, pada produksi beer dan whiskey, makanan yang diawetkan dengan air garam dan garam. Selain itu Nitrosamin juga terdapat dalam susu kering tanpa lemak, asam lambung, produk karet, pembuatan karet, industri logam, produk pestisida dan penggunaan kosmetik tertentu. (Journal Nitrosamine and related food intake and gastric andoesophageal cancer risk: A systematic review of theepidemiological evidence).

IV. KETERKAITAN ANTAR MASALAH

Tn. Aam, laki-laki, 42 tahun

Kebiasaan makan terasi, ikan asin, dan makanan berpengawetOrang Sunda

Polimorfisme Genetik

Mutasi genetik

Tumor

Karsinoma Nasiofaring

EBV

V. LEARNING ISSUES

Pokok BahasanWhat I KnowWhat I dont KnowWhat I have to ProveHow I Will Learn

Mutasi GenDefinisiKlasifikasi-Internet & textbok

PolimorfismeDefinisi Jenispengaruhnya terhadap tubuhInternet & textbok

Karsinoma NasofaringPatofisiologiDampak lebih lanjut-Internet & textbook

EBVDefinisiMekanisme penularan-Internet & textbook

Produk AwetanKandungan Perbedaan dampak-Internet & textbook

Pemeriksaan PA, PCR, dan serologiDefinisi InterpretasiLangkah pemeriksaanInternet & textbook

VI. SINTESIS MASALAH1. Mutasi GenPerubahan permanen pada urutan DNA yang membentuk gen. Mutasi mencakup mulai dari satu basa DNA hingga segmen besar pada kromosom.Mutasi dapat muncul melalui dua cara : Diturunkan dari orang tua, disebut mutasi herediter : mutasi yang diturunkan dari orang tua ke anak (mutasi gen seks) Mutasi de novo (de novo : baru) : mutasi yang baru terjadi sesudah fertilisasi (mutasi berasal dari gen seks orang tua (mutasi pada ovum atau sperma)), sehingga tidak ditemukan mutasi yang sama pada anggota lain keluarga orang yang terkena mutasi)Jenis mutasi Mutasi de novo (de novo : baru) : mutasi yang baru terjadi sesudah fertilisasi (mutasi berasal dari gen seks orang tua (mutasi pada ovum atau sperma)), sehingga tidak ditemukan mutasi yang sama pada anggota lain keluarga orang yang terkena mutasi). Mutasi ini terjadi pertama kali dalam sejarah keluarga. Mutasi somatik (mutasi yang didapatkan) : mutasi DNA yang didapat ketika orang tersebut hidup. Mutasi didapat melalui faktor lingkungan, seperti sinar UV, atau apabila terjadi kesalahan pengkopian DNA ketika pembelahan sel. Mutasi yang didapat pada sel somatik tidak dapat diturunkan ke generasi selanjutnya. Mosaicism : mutasi yang terjadi pada satu sel pada tahap awal embrio. Ketika semua sel membelah, beberapa sel akan memiliki gen yang telah termutasi dan sel lainnya tidak mengalami perubahan gen. Mutasi polimorf : perubahan genetik yang kemungkinan terjadinya lebih dari 1 % pada sebuah populasi. Contoh mutasi ini adalah perbedaan warna mata, rambut, dan golongan darah pada tiap orang.

MekanismemutasiMutasi titik : mutasi pada satu basa DNA, terdiri dari:Substitusi, terdiri dari : Transisi : Berubahnya basa DNA dari purin ke purin, atau pirimidin ke pirimidin. Transversi : Berubahnya basa DNA dari purin ke pirimidin dan sebaliknya.Sifat mutasi titik : Mutasi missense : Perubahan pada satu basa pasangan DNA yang menghasilkan substitusi satu asam amino dan menyebabkan protein jenis lain yang dihasilkan. Mutasi nonsense : Perubahan pada satu basa pasangan DNA . Perubahan basa ini akan. menyebabkan munculnya kode stop yang menghentikan pembentukan protein. Mutasi ini menyebabkan pemendekan protein sehingga fungsinya tidak sempurna atau tidak dapat berfungsi sama sekali. Mutasi diam (silent mutation) : Perubahan pada satu basa pasangan DNA yang menghasilkan protein sama dengan protein hasil sebelum basa DNA terkena mutasi. Mutasi rangka (frameshift mutation), terdiri dari: Mutasi insersi : menambahkan sebuah pasangan basa DNA pada gen. Menyebabkan perubahan (bertambah) jumlah basa, yang menyebabkan perubahan protein yang akan dihasilkan. Mutasi delesi : perubahan jumlah basa DNA dengan mengurangi basa DNA. Delesi kecil akan mengurangi satu atau hanya beberapa basa pada gen, sedangkan delesi besar akan menghilangkan seluruh gen atau beberapa gen tetangganya. Menyebabkan perubahan protein yang dihasilkan. Mutasi duplikasi : merupakan pengkopian abnormal sebuah basa DNA yang dilakukan satu kali atau lebih. Mutasi ini akan menyebabkan berubahnya protein yang dihasilkan Mutasi pengulangan trinukleotida (trinucleotide repeat mutation) adalahmutasi yang ditandai dengan amplifikasi urutan basa tiga nukleotida. Mutasi ini memiliki nukleotida guanin (G) dan sitosin (C). Mutasi bersifat dinamik (derajat amplifikasinya meningkat saat gametogenesis).Penyebab Mutasi (Mutagen)Penyebab mutasi dalam lingkungan dapat bersifat fisik, kimia, dan biologis. Mutagen FisikPenyebab mutasi dalam lingkungan yang bersifat fisik adalah radiasi dan suhu. Radiasi sebagai penyebab mutasi dibedakan menjadi radiasi pengion dan radiasi bukan pengion. Radiasi pengion adalah radiasi berenergi tinggi sedangkan radiasi bukan pengion adalah radiasi berenergi rendah. Contoh radiasi pengion adalah radiasi sinar X, sinar gamma, radiasi sinar kosmik. Contoh radiasi bukan pengion adalah radiasi sinar UV. Radiasi pengion mampu menembus jaringan atau tubuh makhluk hidup karena berenergi tinggi.Sementara radiasi bukan pengion hanya dapat menembus lapisan sel-sel permukaan karena berenergi rendah. Radiasi sinar tersebut akan menyebabkan perpindahan elektron-elektron ke tingkat energi yang lebih tinggi. Ataom-ataom yang memiliki elektron-elektron sedemikian dinyatakan tereksitasi atau tergiatkan.Molekul-molekul yang mengandung atom yang berada dalam keadaan tereksitasi maupun terionisasi secara kimiawi lebih reaktif daripada molekul yang memiliki atom-atom yang berada dalam kondisi stabil. Raktivitas yang meningkat tersebut mengundang terjadinya sejumlah reaksi kimia, terutama mutasi. Radiasi pengion dapat menyebabkan terjadinya mutasi gen dan pemutusan kromosom yang berakibat delesi, duplikasi, insersi, translokasi serta fragmentasi kromosom umumnya. Mutagen KimiawiPenyebab mutasi dalam lingkungan yang bersifat kimiawi disebut juga mutagen kimiawi. Mutagen-mutagen kimiawi tersebut dapat dipilah menjadi 3 kelompok, yaitu analog basa, agen pengubah basa dan agen penyela. Senyawa yang merupakan contoh analog basa adalah 5-Bromourasil (5 BU). 5-BU adalah analog timin. Dalam hubungan ini posisi karbon ke-5 ditempati oleh gugus brom padahal posisi itu sebelumnya ditempati oleh gugus metil. Keberadaan gugus brom mengubah distribusi muatan serta meningkatkan peluang terjadinya tautomerik. Senyawa yang tergolong agen pengubah basa adalah mutagen yang secara langsung mengubah struktur maupun sifat kimia dari basa, yang termasuk kelompok ini adalah agen deaminasi, agen hidroksilasi serta agen alkilasi. Perlakuan dengan asam nitrit, misalnya, terhadap sitosin akan menghasilkan urasil yang berpasangan dengan adenin sehingga terjadi mutasi dari pasangan basa S-G menjadi T-A. Agen hidroksilasi adalah mutagen hydroxammin yang bereaksi khusus dengan sitosin dan menguabhnya sehingga sitosisn hanya dapat berpasangan dengan adenin. Sebagai akibatnya terjadi mutasi dari SG menjadi TA.agen alkilasi mengintroduksi gugus alkil ke dalam basa pada sejumlah posisi sehingga menyebabkan perubahan basa yang akibatnya akan terbentuk pasangan basa yang tidak lazim. Senyawa yang tergolong agen interkalasi akan melakukan insersi antara basa-basa yang berdekatan pada sati atau kedua unting DNA. Contoh agen interkalasi adalah proflavin, aeridine, ethidium bromide, dioxin dan ICR-70.Gen yang mengkode KNFVirus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam limfosit B.Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sellimfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B dengan cara berikatan dengan reseptor virus,yaitu komponen komplemen C3d (CD21 atau CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul EBV berikatan dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini merupakanrangkaian yang berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B danselanjutnya menyebabkan limfosit B menjadi immortal. Sementara itu, sampai saat ini mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun demikian, ada dua reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV kedalam sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan PIGR ( Polimeric Immunogloblin Receptor ). Sel yang terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu : selmenjadi mati bila terinfeksi dengan virus epstein-barr dan virus mengadakan replikasi, atauvirus epstein- barr yang menginfeksi sel dapat mengakibatkan kematian virus sehingga selkembali menjadi normal atau dapat terjadi transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat sel sehingga terjadi transformsi selmenjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker. Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu EBERs,EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankanvirus pada infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyaltyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gentersebut, gen yang paling berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur proteinLMP1 terdiri atas 368 asam amino yang terbagi menjadi 20 asam amino pada ujung N, 6segmen protein transmembran (166 asam amino) dan 200 asam amino pada ujung karboksi(C). Protein transmembran LMP1 menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor necrosis) Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi kerentananterhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relative menonjol danmemiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyteantigen) dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan adalah genkerentanan terhadap karsinoma nasofaring. Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atasaktivasi metabolik yang terkait nitrosamine dan karsinogen. HLA merupakan petanda imunogenetik seseorang yang berperan pada respon imun terutama pada infeksi intraselular seperti infeksi virus Epstein-Barr. HLA diturunkan secara heterozigot dan bersifat kodominan serta mengikuti pola induk kelompok rasnya. Akibatnya, kelompok ras tertentu akan mengahadapi resiko menderita penyakit tertentu. HLA sebagai petanda genetik seseorang sangat berperan pada respon imun terutama pada infeksi intraselular seperti VEB. Infeksi VEB sebagai salah satu faktor penyebab KNF sangat ditentukan keberadaanya di dalam tubuh manusia oleh HLA. Infeksi VEB berhubungan erat dengan derajat imunitas seluler seseorang, yang terkait dengan pengaruh faktor imunogenetik. Dalam proses ini, salah satu faktor yang memiliki peran penting adalah HLA yang bekerja sebagai regulator pada respon imun, sekaligus sebagai petanda genetic setiap individu. Pada infeksi laten, terjadi rekombinan DNA VEB dan DNA host yang mengakibatkan terbentuknya gen-gen yang mengespresikan protein seperti EBNA, LMP, VCA, EBER yang berperan pada transfortasi keganasan, dapat menyebabkan mutasi gen p53. Keadaan ini akan menekan proses apoptosis sehingga terjadi proliferasi sel yang tidak terkontrol yang mengarah pada proses keganasan.2. PolimorfismePolimorfismeadalah sifat keragaman sel yang disebabkan oleh adanya sejumlah mutasi yang terjadi secara alamiah dan tidak membawa akibat buruk yang memunculkan variasi individu-individu yang khas. Sifat keberagaman gen (polimorfisme)ini juga dapat digunakan dalam rangka penelusuran asal usul manusia dan hubungan kekerabatan antara berbagai ras dan suku, dan untuk membedakan ras yang satu dengan yang lain. Rangkaian informasi genetik yang terkandung dalam DNA mitokondria dapat juga menggambarkan karakteristik suatu populasi.polimorfisme genetikdidefinisikan sebagai adanya individu-individu dengan sifat genetik yang berlainan tetapi hidup secara bersamaan dalam populasi, di mana frekuensi masing-masing selalu tetap dan tidak berubah oleh karena adanya mutasi genetik. Adanya perbedaan genetik ini bisa menyebabkan perbedaan fenotip (penampilan). Salah satunya adalah dalam hal perbedaan respon seseorang terhadap penggunaan obat. Obat yang sama, dengan dosis yang sama, bisa memberikan efek yang berbeda pada orang yang memiliki genetik yang berbeda.

Variasi merupakan suatu fenomena umum yang terdapat pada suatu populasi. Variasi di dalam populasi terjadi sebagai akibat adanya keragaman di antara individu yang menjadi anggota populasi, yaitu adanya perbedaan ciriciri mengenai suatu karakter atau beberapa karakter yang dimiliki oleh individu-individu di dalam populasi. Variasi yang dimiliki suatu populasi dengan populasi yang lain bisa dan sering tidak sama. Ciri variasi dari suatu populasi dapat menjadi ciri tertentu populasi tersebut yang membedakan populasi tersebut dengan populasi yang lain dalam satu spesies. Keragaman dapat terjadi pada beberapa tingkat, yaitu keragaman di dalam individu, diantara individu di dalam populasi, atau di antara populasi di dalam satu spesies. Variasi juga bisa dikaitkan dengan taksonomi di mana penggolongan suatu organisme adalah berdasarkan banyaknya kesamaan yang dimiliki kelompok organisme dibandingkan dengan kelompok yang lain. Keragaman yang dimiliki suatu populasi juga tidak selalu sama dari waktu ke waktu dan dari generasi ke generasi.Adanya ciri yang bervariasi bisa diidentifikasi secara visual dari kenampakan morfologi (fenotipe) maupun yang lebih dalam lagi adalah variasi secara molekuler yang berkaitan dengan variasi di dalam protein dan bahan genetik (DNA). Baik variasi di dalam DNA, protein dan fenotipe dari suatu individu telah diketahui sebenarnya berkaitan erat. Bahan genetik yang terdapat di dalam sel melalui transkripsi dan translasi diekspresikan informasinya dalam beberapa bentuk terutama rangkaian asam amino (polipeptida) yang mempunyai berbagai fungsi di dalam metabolisme tubuh. Sebagai akibat dari hasil metabolisme tersebut adalah fenotipe yang menjadi ciri dari individu tersebut. Besarnya variasi fenotipe (morfologi) yang terlihat tidak berarti menggambarkan besarnya variasi di dalam bahan genetik, karena variasi dalam fenotipe dipengaruhi juga oleh lingkungan. Di lain pihak variasi di dalam bahan genetik tidak selalu diekspresikan (muncul) dalam level fenotipe yang cukup bervariasi (hidden variation) karena beberapa hal yaitu tidak semua bahan genetik diekspresikan, adanya regulator pengekspresian, dan beberapa variasi dalam sekuens nukleotida menghasilkan produk (protein) yang sama. Penentuan level identifikasi (morfologi, protein atau DNA) untuk menentukan variasi di dalam populasi perlu disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai dan seberapa besar level yang dipilih itu dapat menggambarkan variasi yang sebenarnya. Informasi keragaman dari suatu populasi dengan populasi yang lain dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti seleksi, pendugaan hubungan kekerabatan, penentuan asal usul ataupun penggolongan suatu spesies dalam taksonomi.Faktor-faktor yang mempengaruhi variasiTeori mengenai variasi telah dikemukakan oleh Lamarck yang mengemukakan bahwa adanya variasi di dalam suatu populasi adalah sebagai hasil dari adanya kekuatan yang menghasilkan variasi dan kekuatan yang memelihara variasi dan menyebabkan organisme beradaptasi dengan baik terhadap lingkungannya (RIDLEY, 1991). BEARDMORE (1983) mengemukakan bahwa variasi di alam dipengaruhi oleh empat faktor dimana untuk membedakannya merupakan pekerjaan yang tidak mudah dan dalam beberapa kasus malah tidak mungkin dilakukan. Keempat faktor tersebut adalah:Variasi yang meningkat sebagai hasil dari mutasi yang berulang,Variasi yang meningkat karena adanya aliran gen dari populasi yang lain (migrasi),Variasi yang meningkat karena proses stokastik seperti genetic drift,Variasi yang bertahan di dalam populasi oleh adanya seleksi.Mutasi merupakan sumber yang utama bagi adanya variasi genetik (HARTL, 1988; HARTL dan CLARK, 1989). Mutasi akan memunculkan alel-alel baru atau merubah struktur genom dan akhirnya menghasilkan keragaman genetik. Mutasi pada tingkat molekuler terjadi dalam beberapa cara, yaitu: (1) hasil penggantian satu pasang nukleotida dengan nukleotida yang lain (substitusi basa), (2) hasil delesi atau duplikasi dari sekuen nukleotida, dan (3) hasil dari transposisi sekuen DNA dari satu lokasi ke lokasi lain di dalam genom organisme. Penggantian/substitusi satu nukleotida tidak selalu menghasilkan perubahan pada produk asam amino. Penggantian satu nukleotida yang menghasilkan kodon sinonimnya tidak menghasilkan perubahan pada produk asam amino (substitusi sinonim). Namun demikian penggantian satu nukleotida yang menghasilkan kodon nonsinonim dapat mengakibatkan perubahan asam amino yang dihasilkan dan jika posisi asam amino ini berperan penting dalam menentukan fungsi enzim maka dapat menurunkan atau merusak fungsi dari enzim tersebut dalam metabolisme sehingga menyebabkan gangguan pada tubuh, seperti yang terjadi pada anemia sickle cell, albinisme, fenilketonuria (HARTL dan CLARK, 1989). Di samping itu jika penggantian nonsinonim ini menyebabkan stop kodon maka akan merusak fungsi dari produk gen tersebut.Mutasi yang disebabkan delesi dan transposisi dapat berakibat bermacam-macam. Delesi berarti terhapusnya satu basa atau segmen DNA dari genom sedangkan transposisi adalah berpindahnya segmen DNA dari satu lokasi ke lokasi lain di dalam genom individu tersebut. Apabila delesi terjadi pada sebagian dari segmen suatu gen maka gen tersebut akan menghasilkan polipeptida (enzim) yang kemungkinan besar bisa tidak berfungsi sedangkan apabila seluruh segmen gen terhapus maka berarti gen tersebut hilang dari individu tersebut. Kejadian transposisi terjadi diketahui pada segmen yang disebut dengan elemen loncat (transposable genetic element) yang dapat dibedakan menjadi insertion sequence dan transposon, yang telah diamati pertama kali terjadi pada jagung dan juga teramati pada Drosophila (SUZUKI et al., 1989).Laju mutasi secara alami (mutasi spontan) adalah sangat rendah, berkisar 10-4 sampai 10-6 mutasi per gen per generasi. Pengaruh kumulatif dapat menjadi terasa selama periode yang panjang (HARTL dan CLARK,, 1989). Bila mutasi yang terjadi tidak bersifat letal dan diwariskan ke generasi berikutnya maka akan meningkatkan variasi di dalam populasi dengan merubah frekuensi gen. Populasi di alam hampir selalu mempunyai frekuensi alel yang berbeda di antara satu CLARK, 1989). Migrasi sebagian atau keseluruhan suatu populasi ke populasi lain yang mempunyai frekuensi alel berbeda akan menghasilkan frekuensi gen populasi gabungan (mengubah variasi genetik populasi). Berdasarkan prinsip WAHLUND, populasi gabungan ini akan mempunyai frekuensi alel sama dengan rataan frekuensi alel dari kedua populasi dan penurunan genotipe yang homosigot (HARTL dan CLARK, 1989). Random genetic drift dapat merubah frekuensi gen (terutama pada populasi kecil), karena dalam pembentukan gamet atau pembuahan terjadi peristiwa pencuplikan secara random yang menyimpang dari frekuensi gen yang ada sehingga mengubah frekuensi gen pada generasi berikutnya. Mutasi spontan terjadi secara acak dan tidak dapat diperkirakan (unpredictable). Kejadian mutasi sehingga membentuk kombinasi gen baru menyediakan bahan mentah bagi seleksi alam (LI, 1976). Mutasi dan seleksi merupakan dua kekuatan utama yang menggerakkan evolusi. Mutasi yang terjadi ini harus diwariskan dan disukai oleh seleksi alam sehingga frekuensinya meningkat dari generasi ke generasi. Seleksi alam pada dasarnya menyesuaikan frekuensi gen, dan memantapkan gen yang menghasilkan adaptasi sehingga memberi kemampuan untuk mereproduksi gen lain. Jika mutasi yang terjadi tidak sesuai dengan lingkungan dan merupakan alel yang merugikan maka seleksi alam akan mencegah frekuensi gen tersebut meningkat di dalam populasi sehingga tetap berada dalam frekuensi yang sangat rendah (HEDRICK, 1985). Seleksi buatan melalui campur tangan manusia juga dapat meningkatkan frekuensi gen tertentu dan biasanya diiringi dengan sebisa mungkin menyediakan lingkungan yang cocok dengan kelompok hewan terseleksi.Variasi molekulerInformasi genetik yang terdapat di dalam gen struktural diekspresikan melalui proses transkripsi dan translasi sehingga menghasilkan asam amino yang terangkai menjadi polipeptida (protein) dengan berbagai fungsi dalam metabolisme tubuh. Jika digolongkan menurut fungsinya maka protein yang terbentuk tersebut terdiri dari enzim, hormon, protein toksin, antibodi, protein sistem transportasi, protein sistem konstraksi, protein penyimpan dan cadangan, dan protein penyangga struktur. Fenotipe dan proses metabolisme individu ditentukan oleh proteinprotein tersebut, sehingga adanya variasi yang nampak di dalam populasi adalah merupakan indikasi bervariasinya protein-protein yang dimiliki oleh individu-individu di dalam populasi. Dengan telah diketahui adanya hubungan gen dengan protein (satu gen satu rantai polipeptida) maka variasi yang terjadi sebenarnya adalah merupakan variasi alel yang ada di dalam populasi dan lebih jauh lagi merupakan variasi di dalam sekuen DNA yang dimiliki individu anggota populasi.Berdasarkan uraian sebelumnya maka pendugaan variasi secara molekuler di dalam populasi dapat dilakukan pada dua level molekul, yaitu level molekul protein atau level molekul DNA. Beberapa metode telah dikembangkan untuk menduga variasi pada level protein atau DNA.1. Polimorfisme proteinSatu jenis protein adalah representasi dari lokus yang dimiliki oleh individu yang bersangkutan, dengan demikian jika suatu protein terdeteksi maka dapat diperkirakan gen yang dimiliki di dalam individu tersebut. Akan tetapi tidak mungkin untuk mempelajari semua (protein) lokus yang dimiliki oleh suatu individu karena tidak diketahui seberapa banyak protein (lokus) yang dimiliki oleh individu (AYALA dan KIGER, 1980). Jalan keluar terbaik yang dilakukan adalah mengambil sampel beberapa jenis enzim (protein) yang tidak bias dan representatif bagi populasi tersebut sehingga dapat menggambarkan variasi atau polimorfisme yang terdapat di dalam populasi. Pengamatan polimorfisme protein antara lain dapat dilihat dari polimorfisme enzim, protein jaringan, protein plasma, protein susu, golongan darah dan sebagainya.Metode umum yang dapat diterapkan untuk memperlihatkan polimorfisme sejumlah besar enzim adalah metode elektroforesis. Metode ini dapat menemukan perubahan dalam struktur molekul enzim yang mengakibatkan perubahan muatan listrik molekul. Walaupun demikian HARRIS (1994) mengemukakan bahwa terdapat beberapa enzim yang memberikan perbedaan aktivitas biokimia menyolok di antara fenotipe tetapi tanpa disertai perbedaan mobilitas pada saat elektroforesis, seperti kolinesterase dan dopamin--hidroksilase.Meskipun teknik elektroforesis merupakan teknik umum dan paling kuat untuk menemukan varian alelik, namun taksiran jumlah macam alel dan banyaknya heterosigositas pada berbagai lokus yang diperoleh terkadang under estimate dari keadaan sesungguhnya. HARRIS (1994) mengemukakan beberapa hal mengapa bisa demikian, yaitu :Polimorfisme yang timbul akibat substitusi basa tunggal yang tidak menghasilkan perubahan asam amino (polimorfisme kodon sinonim) tidak akan dapat ditemukan dengan elektroforesis.Hanya sebagian mutan dengan penggantian asam amino tunggal ditemukan dalam elektroforesis. Dimana banyak penggantian asam amino tunggal ini tidak menyebabkan perubahan muatan listrik sehingga tidak akan menunjukkan perubahan mobilitas elektroforetik.Penggantian dua asam amino yang berbeda dalam suatu enzim dapat menghasilkan perubahan yang sama dalam mobilitas elektroforetik.Teknik elektroforesis mempunyai kekuatan yang sangat beraneka ragam sebagai pembeda enzim yang beraneka ragam dan masih terus dikembangkan. Teknik yang kurang mencukupi dapat menyebabkan varian sesungguhnya tidak ditemukan.Karena sebab lain yang agak kurang jelas. Diketahui alel mutan tertentu menyebabkan hilangnya atau berkurangnya aktivitas enzim sehingga pewarnaan yang dirancang tidak dapat menemukan aktivitas enzim yang diselidiki.Perbedaan-perbedaan biokimia yang diatur secara genetis yang lain adalah faktor antigen yang dibawa oleh sel darah merah dan ini umumnya disebut dengan golongan darah (WARWICK et al., 1990). Perbedaan ini pada awalnya karena adanya fenomena di mana percampuran suspensi sel darah merah yang berasal dari beberapa individu jika dicampur dengan serum darah dari beberapa individu lain akan mengakibatkan penggumpalan atau tidak terjadi penggumpalan (tidak terpengaruh).2. Polimorfisme DNAVariasi genetik pada level DNA dapat ditemukan pada DNA inti atau DNA mitokondria dengan melihat variasi situs pemotongan atau dengan cara melakukan sekuen DNA. Cara yang pertama umumnya menggunakan enzim restriksi endonuklease (RE) (tipe II) yang mempunyai situs yang khas untuk melakukan pemotongan pada suatu sekuens DNA sedangkan cara kedua adalah mencari urutan basa sekuens DNA dengan menggunakan mesin sequencer DNA. Banyak enzim RE yang telah tersedia yang dapat digunakan untuk memotong DNA dengan panjang situs pengenalan antara 4 sampai 8 basa. DNA yang diinkubasi bersama enzim RE dalam suhu dan larutan buffer yang sesuai dengan kemampuan kerja optimal enzim, akan dipotong pada situs-situs yang dikenal oleh enzim RE sehingga sekuens DNA terpisah menjadi fragmen-fragmen DNA.

Fragmen-fragmen DNA ini dapat diseparasi dengan proses elektroforesis gel sehingga akan nampak pita-pita fragmen yang dihasilkan sesuai hasil potongan enzim RE. Sekuen DNA pada individu yang berbeda akan bervariasi maka situs pemotongan dari enzim RE bisa ada atau tidak ada dalam sekuen DNA yang diuji, yang akan direfleksikan dengan ada atau tidak adanya pita-pita DNA pada gel elektroforesis. Dengan demikian pada pengujian dari beberapa individu akan diperoleh beberapa variasi situs pemotongan atau polimorfisme potongan DNA, sehingga metode ini dinamakan Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) (HARTL dan CLARK, 1989; PRIMROSE, 1995). Biasanya untuk memilih fragmen tertentu dan memperbanyak fragmen tersebut untuk kemudian dipotong dengan enzim metode ini dikombinasikan dengan mesin Polymerase Chain Reaction(PCR) sehingga dinamakan PCR-RFLP.

Jika pita protein dari dua individu bermigrasi sama dalam elektroforesis protein atau pola fragmen restriksi dari gen terlihat sama, belum bisa dipastikan bahwa alel tersebut identik. Untuk itu perlu dilakukan sekuensing DNA sehingga diketahui sekuen fragmen DNA yang dimaksud dan hasilnya dapat bervariasi di antara individu yang diuji. Dalam proses sekuensing DNA diperlukan sejumlah kecil DNA target yang telah dipurifikasi. Ada dua metode utama untuk sekuensing DNA, yaitu metode Maxam-Gilbert dan metode Sanger Dideoxy Chain- Termination. Metode Sanger Dideoxy Chain- Termination lebih umum digunakan, lebih sederhana, lebih cepat dan lebih akurat (HARTL dan CLARK, 1989). Tiap metode menyangkut pembuatan serangkaian utas tunggal berlabel yang panjangnya bervariasi, dimulai dari salah satu ujung fragmen yang sedang disekuen. Elektroforesis utas-utas tersebut pada gel poliakrilamida memisahkan utas tersebut berdasarkan ukurannya, yang menghasilkan tangga pita berlabel, dengan tiap pita mewakili tersekuennya satu basa. Jika radioaktif digunakan dalam pelabelan, gel tersebut kemudian dikeringkan dan dilekatkan pada film x-ray yang akan mencatat keberadaan tiap pita pada autoradiograf yang dihasilkan. Fluorescen yang diaktifkan dengan sinar laser juga dapat digunakan sebagai pelabel. Sekali pita-pita tersebut telah divisualisasikan melalui kedua sistem pelabelan itu, sekuen basa pada fragmen dapat dibaca secara langsung dari tangga pita. Dengan metode Maxam-Gilbert dapat disekuen sekitar 250 basa sedangkan dengan metode Sanger dapat disekuen sekitar 1000 basa.Metode deteksi polimorfisme1. Panjang fragmen restriksi polimorfisme (Restriction Fragment Length Polymorphism, RFLP): polimorfisme DNA, sehingga molekul DNA dan jumlah situs restriksi perubahan, dipotong dengan kelompok gen enzim restriksi, jumlah fragmen yang dihasilkan dan berbeda dengan panjang setiap fragmen, yang dikenal sebagai polimorfisme panjang fragmen restriksi, pembatasan panjang fragmen perubahan yang dihasilkan situs restriksi, juga dikenal sebagai polimorfisme. Yang paling awal adalah Blot / RFLP metode Selatan terdeteksi kemudian oleh polymerase chain reaction (PCR) dan pembatasan metode enzim pencernaan menggabungkan. Sekarang metode PCR-RFLP multi guna untuk mempelajari gen fragmen restriksi panjang polimorfisme.

2. Untai tunggal konformasi polimorfisme (SSCP): didasarkan pada perbedaan titik metode DNA beruntai tunggal konformasi mutasi deteksi. DNA beruntai tunggal panjang yang sama jika urutan yang berbeda, atau bahkan jenis basa tunggal, akan membentuk konformasi yang berbeda. Mobilitas Elektroforesis pada kecepatan yang berbeda. Produk PCR elektroforesis gel terdenaturasi DNA beruntai tunggal, DNA target substitusi basa tunggal dalam hal perubahan tersebut, akan ada perpindahan berenang (pergeseran mobilitas), adanya beberapa mutasi untuk identifikasi dan diagnosis diketahui mutasi.PCR-ASO penyelidikan metode (PCR-alel oligonukleotida spesifik, ASO): alel spesifik metode penyelidikan oligonukleotida. Setelah amplifikasi PCR dari fragmen DNA, oligonukleotida langsung dengan hibridisasi probe yang sesuai, dapat mengkonfirmasi diagnosis jika ada Mutasi dan heterozigot atau homozigot. Prinsipnya adalah: amplifikasi PCR, produk tersebut dot blot hybridization atau Slot, mutasi, masing-masing, untuk setiap mensintesis sepasang fragmen oligonukleotida sebagai probe, salah satunya memiliki urutan normal, yang lain memiliki basis bermutasi. Basis bermutasi dan fragmen sesuai yang normal nukleotida oligonukleotida seragam di pusat, kontrol yang ketat dari hibridisasi dan kondisi elusi, sehingga hanya urutan penyelidikan alel sepenuhnya melengkapi ditampilkan sinyal hibridisasi dengan pusat penyelidikan basis alel yang berbeda tidak menunjukkan sinyal hibridisasi, jika probe normal dan mutan hibridisasi, menunjukkan bahwa gen mutan bersifat heterozigot, karena hanya bermutasi probe mampu hibridisasi, menunjukkan gen mutan homozigot, jika tidak mengandung mutasi oligonukleotida hibridisasi penyelidikan urutan, tetapi dengan normal nukleotida yang sesuai oligonukleotida hibridisasi probe, maka tidak ada seperti mutasi subjek. Jika gen mutan dengan diketahui probe hibridisasi oligonukleotida tidak seragam, sugestif tipe baru mutasi.

3. Karsinoma nasofaringAnatomi NasofaringNasofaring disebut juga Epifaring, Rinofaring. merupakan yang terletak dibelakang rongga hidung, diatas Palatum Molle dan di bawah dasar tengkorak. Bentuknya sebagai kotak yang tidak rata dan berdinding enam, dengan ukuran melintang 4 sentimeter, tinggi 4 sentimeter dan ukuran depan belakang 2-3 sentimeter.

Batas-batasnya :- Dinding depan : Koane- Dinding belakang : Merupakan dinding melengkung setinggiVertebra Sevikalis I dan II.- Dinding atas : Merupakan dasar tengkorak.- Dinding bawah : Permukaan atas palatum molle.- Dinding samping : di bentuk oleh tulang maksila dan sfenoid.Dinding samping ini berhubungan dengan ruang telinga tengah melalui tuba Eustachius. Bagian tulang rawan dari tuba Eustachius menonjol diatas ostium tuba yang disebut Torus Tubarius. Tepat di belakang Ostium Tuba. Terdapat cekungan kecil disebut Resesus Faringeus atau lebih di kenal dengan fosa Rosenmuller; yang merupakan banyak penulis merupakan lokalisasi permulaan tumbuhnya tumor ganas nasofaring. Tepi atas dari torus tubarius adalah tempat meletaknya oto levator veli velatini; bila otot ini berkontraksi, maka setium tuba meluasnya tumor, sehingga fungsinya untuk membuka ostium tuba juga terganggu. Dengan radiasi, diharapkan tumor primer dinasofaring dapat kecil atau menghilang. Dengan demikian pendengaran dapat menjadi lebih baik.Sebaliknya dengan radiasi dosis tinggi dan jangka waktu lama, kemungkinan akan memperburuk pendengaran oleh karena dapat terjadi proses degenerasi dan atropidari koklea yang bersifat menetap, sehingga secara subjektif penderita masih mengeluh pendengaran tetap menurun.Di nasofaring terdapat banyak saluran limfe yang terutama mengalir ke lateral bermuara kelenjar retrofaring Krause (kelenjar Rouviere). Terdapat hubungan bebas melintasi garis tengah dan hubungan langsung dengan mediastinum melalui ruang retrofaring. Metastasis jauh sering terjadi.Pembagian daerah nasofaring : Dinding posterosuperior : daerah setinggi batas palatum durum dan mole sampai dasar tengkorak. Dinding lateral: termasuk fosa Rosenmuleri Dinding inferior: terdiri atas permukaan superior palatum mole.Catatan: Pinggir orifisium koana termasuk pinggir posterior septum hidung dimasukkan sebagai fosa nasal.Histologi Nasofaring

Permukaan nasofaring berbenjol-benjol, karena dibawah epitel terdapat banyak jaringan limfosid,sehingga berbentuk seperti lipatan atau kripta. Hubungan antara epitel dengan jaringan limfosid inisangat erat, sehigga sering disebut " Limfoepitel ".Bloom dan Fawcett ( 1965 ) membagi mukosa nasofaring atas empat macam epitel :1. Epitek selapis torak bersilia " Simple Columnar Cilated Epithelium "2. Epitel torak berlapis " Stratified Columnar Epithelium ".3. Epitel torak berlapis bersilia "Stratified Columnar Ciliated Epithelium"4. Epitel torak berlapis semu bersilia " Pseudo-Stratifed Columnar Ciliated Epithelium ".Mengenai distribusi epitel ini, masih belum ada kesepakatan diantara para hali.60 % persen dari mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel berlapis gepeng " Stratified Squamous Epithelium ", dan 80 % dari dinding posteroir nasofaring dilapisi oleh epitel ini, sedangkan pada dinding lateral dan depan dilapisi oleh epitel transisional, yang meruapkan epitel peralihan antara epitel berlapis gepeng dan torak bersilia.Epitel berlapis gepeng ini umumnya dilapisi Keratin, kecuali pada Kripta yang dalam. Di pandang dari sudut embriologi, tempat pertemuan atau peralihan dua macam epitel adalah tempat yang subur untuk tumbuhnya suatu karsinoma.Pengertian Karsinoma NasofaringKarsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring. Keganasan ini termasuk 5 besar bersama kanker mulut rahim, payudara, kulit dan getah bening sedangkan pada laki-laki merupak tumor yang paling banyak ditemukan (Roezin, 2003). Karsinoma nasofaring merupakan keganasan yang mempunyai predisposisi rasial yang sangat mencolok. Insidennya paling tinggi pada ras Mongoloid terutama pada penduduk di daerah Cina bagian selatan, Hongkong, Singapura, Malaysia dan Indonesia. Di Indonesia penyakit ini ditemukan pertamakali oleh Banker pada tahun 1926, kemudian laporan kasus dalam jumlah cukup banyak baru setelah tahun 1953. Keganasan ini ditemukan lebih banyak pada laki-laki dari perempuan dalam perbandingan 2,5:1.Nasofaring sendiri merupakan bagian nasal dari faring yang mempunyai struktur berbentuk kuboid. Banyak terdapat struktur anatomis penting di sekitarnya. Banyak syaraf kranial yang berada di dekatnya, dan juga pada nasofaring banyak terdapat limfatik dan suplai darah. Struktur anatomis ini mempengaruhi diagnosis, stadium, dan terapi dari kanker tersebut.

Histopatologi

Kesukaran timbul dalam mengidentifikasi karsinoma nasofaring jenis sangat tidak berdiferensiasi dimana sudah tidak ada kekhususan epitelnya. Lebih dari 85% kemungkinan adalah karsinoma, mungkin 15% limfoma maligna dan kuang dari 2% tumor jaringan ikat. Sekali-sekali ditemukan neuroblastoma, silindroma dan tumor campur ganas. Menggunakan mikroskop electron, Ditemukan karsinoma nasofaring tumbuh dari lapisan skuamosa atau lapisan epitel respiratorius pada permukaan kripti nasofaring. Dindinga lateral yang ada fosa Rossenmulleri Merupakan lokasi tersering karsinoma nasofaring dan dinding faring posterior sedikit lebih jarang. Lebih jarang lagi tumor pada atap dan hanya sekali-kali pada dasar. Pada mulanya tumor sedemikian kecil sehingga sukar diketahui, atau tumbuh didaerah yang gejalanya tidak diketahui seperti pada fosa Rosenmulleri. Kemudian geajla-gejala akan muncul sesuai dengan arah penyebaran. Mungkin meluas melalui lubanga pada sisi yang sama dengan tumor atau mengikis tulang secara nekrosis tekanan.Sesuai dengan klasifikasi karsinoma nasofaring yang diusulkan WHO tahun 1978. ada tiga jenis bentuk histologik :Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi, terdapat jembatan interseluler dan keratin, dapat dilihat dengan mikroskop cahaya.Karsinoma nonkeratinisasi, pada pemeriksaan dengan mikroskop cahaya, terdapat tanda difrensiasi, tetapi tidak ada difrensiasi skuamosa.Karsinoma tidak berdifrensiasi, sel mempunyai inti vesikuler, nucleolus yang menonjol dan dinding sel tidak tegas; tumor tampak lebih berbentuk sinsitium daripada bentuk susunan batubata.Karsinoma limfoepitelioma didapatkan dalam bentuk kedua atau ketiga. Ditandai olah tampak banyak limfosit non maligna dan secara klinis sesuai karena respon terhadap terapi lebih baik disbanding dengan bentuk lain.Tahun 1965 Svaboda melaporkan bahwa dari contoh jaringan yang diambil dari 14 pasien Amerika dan Cina dengan karsinoma nasofaring berdiferensiasi buruk yang diperiksa dengan mikrosko electron, semua menunjukkan adanya fibrilkeratin. Ini menimbulkan keraguan karena Who Dalam symposium internasionalnya mengenai karsinoma nasofaring than 1977 mendasarkan klasifikasinya atas hasil pemeriksaan mikroskop cahaya seperti tercantum diats, dimana tidak selalu tampak keratin. Meskipun demikian klasifikasi WHO mengenai tumor nasofaring ini masih tetap dipakai.Pertumbuhan Dan EkspansiLokasi predileksi karsinoma nasofaring adalah dinding lateral nasofaring (terutama di recessus pharyngeus) dan dinding supero-posterior. Tingkat kegananasan karsinoma nasofaring tinggi, tumbuh infiltratif, dapat langsung berekspansi hingga menginfiltrasi ke struktur yang berbatasan. Ke atas, dapat langsung merusak basis kranial. Juga dapat melalui foramen spinosum, kanalis karotis internal atau sinus sfenoid dan selula etmoidal posterior dll. Lubang saluran atau retakan alamiah menginfiltrasi kranial, mengenai saraf kranial; ke anterior menyerang rongga nasal, sinus maksilaris, selula etmoidalis anterior, kemudian ke dalam orbita, juga dapat melalui intrakranium, fisura orbitalis superior atau kanalis pterigoideus, resesus pterigopalatina lalu ke orbita. Ke lateral tumor dapat menginfiltrasi celah parafaring, fosa intratemporal dan kelompok otot kunyah dll. Ke posterior menginfiltrasi jaringan lunak prevertebra servikal, vertebra servikal. Ke inferior mengenai orofaring bahkan laringofaring.MetastasisSubmukosa nasofaring kaya akan jaringan limfatik, drainase limfatik dapat melintasi garasi tengah ke sisi leher kontra-lateral. Penyebaran limfogen ke kelenjar limfe leher dari kanker nasofaring terjadi secara dini. Lokasi metastasis kelenjar limfe tersering ditemukan pada kelenjar limfe profunda leher atas di bawah otot digastrik, yang kedua adalah kelenjar limfe leher profunda kelompok tengah dan kelenjar limfe rantai nervus aksesorius di trigonum servikal posterior. Metasasis jauh kanker nasofaring berkaitan erat dengan metastasis ke kelenjar leher, menyusul limfadenopati servikal, jumlahnya bertambah, peluang metastasis juga meningkat jelas. Lokasi metastasis jauh tersering adalah ke tulang, lalu ke paru, dan sering terjadi metastais ke banyak organ sekaligus (Desen, 2008) tetapi, jarang ke hati (Brennan, 2006)Etiologi dan Faktor Predisposisi Ada 3 faktor penyebab terjadinya kanker nasofaring, yaitu adanya infeksi Virus Epstein Barr (EBV), faktor genetik, dan faktor lingkungan yang memungkinkan terjadinya insidens yang tinggi pada kanker nasofaring di Cina.a. Virus Epstein Barr (EBV) Pada hampir semua kasus kanker nasofaring telah mengaitkan terjadinya kanker nasofaring dengan keberadaan virus ini. Virus ini merupakan virus DNA yang diklasifikasi sebagai anggota famili virus Herpes yang saat ini telah diyakini sebagai agen penyebab beberapa penyakit yaitu, mononucleosis infeksiosa, penyakit Hodgkin, limfoma-Burkitt dan kanker nasofaring.Virus ini seringkali dijumpai pada beberapa penyakit keganasan lainnya tetapi juga dapat dijumpai menginfeksi orang normal tanpa menimbulkan manifestasi penyakit. Virus tersebut masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal di sana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu yang lama. Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator. Jadi, adanya virus ini tanpa faktor pemicu lain tidak cukup untuk menimbulkan proses keganasan.b. Faktor Genetik Telah banyak ditemukan kasus herediter dari pasien karsinoma nasofaring. Penelitian pertama menemukan adanya perubahan genetik pada ras Cina yang dihubungkan dengan karsinoma nasofaring adalah penelitian tentang Human Leucocyte Antigen (HLA). Perubahan genetik mengakibatkan proliferasi sel-sel kanker secara tidak terkontrol. Beberapa perubahan genetik ini sebagian besar akibat mutasi, putusnya kromosom, dan kehilangan sel-sel somatik. Teori tersebut didukung dengan adanya studi epidemiologik mengenai angka kejadian dari kanker nasofaring. Kanker nasofaring banyak ditemukan pada masyarakat keturunan Tionghoa.c. Faktor Lingkungan Ikan yang diasinkan kemungkinan sebagai salah satu faktor etiologi terjadiny