laporan kasus kejang demam

Upload: muamar-ray-amirullah

Post on 10-Mar-2016

12 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Punya Ray

TRANSCRIPT

  • LAPORAN KASUS

    dr Anton

    Disusun dalam rangka mengikuti Kegiatan Internsip Dokter Indonesia

    Angkatan IV Tahun 2015 (

    di Rumah Sakit Tingkat III Robert Wolter Monginsidi

    Teling

    LAPORAN KASUS

    KEJANG DEMAM

    Disusun Oleh :

    dr Muamar Amirullah

    Pembimbing :

    dr Antonius Rumambi DK, M.Kes.

    Disusun dalam rangka mengikuti Kegiatan Internsip Dokter Indonesia

    Angkatan IV Tahun 2015 (November 2015 s/d November 2016)

    Rumah Sakit Tingkat III Robert Wolter Monginsidi

    Teling-Manado-Sulawesi Utara

    Disusun dalam rangka mengikuti Kegiatan Internsip Dokter Indonesia

    November 2015 s/d November 2016)

    Rumah Sakit Tingkat III Robert Wolter Monginsidi

  • 1

    KEJANG PADA ANAK

    Kejang merupakan suatu manifestasi klinis yang sering dijumpai di ruang gawat

    darurat. Hampir 5% anak berumur di bawah 16 tahun setidaknya pernah mengalami sekali

    kejang selama hidupnya. Kejang penting sebagai suatu tanda adanya gangguan neurologis.

    Keadaan tersebut merupakan keadaan darurat. Kejang dapat bersifat sederhana, dapat

    berhenti sendiri dan sedikit memerlukan pengobatan lanjutan, atau merupakan gejala awal

    dari penyakit berat, atau cenderung menjadi status epileptikus. Tatalaksana kejang seringkali

    tidak dilakukan secara baik. Karena diagnosis yang salah atau penggunaan obat yang kurang

    tepat dapat menyebabkan kejang tidak terkontrol, depresi nafas dan rawat inap yang tidak

    perlu. Langkah awal dalam menghadapi kejang adalah memastikan apakah gejala saat ini

    kejang atau bukan. Selanjutnya melakukan identifikasi kemungkinan penyebabnya.

    Sangat penting untuk membedakan apakah serangan yang terjadi adalah kejang atau

    serangan yang menyerupai kejang. Perbedaan diantara keduanya adalah :

    Tabel 1. Perbedaan serangan kejang dan keadaan yang menyerupai kejang

    Keadaan Kejang Menyerupai Kejang

    Onset Tiba-tiba Mungkin gradual

    Lama serangan Detik/menit Beberapa menit

    Sianosis Sering Jarang

    Gerakan ekstremitas Sinkron Asinkron

    Stereotipik serangan Selalu Jarang

    Lidah tergigit atau luka lain Sering Jarang

    Gerakan abnormal bola mata Sering Jarang

    Fleksi pasif ekstremitas Gerakan tetap ada Gerakan hilang

    Dapat diprovokasi Jarang Hampir selalu

    Tahanan terhadap gerakan pasif Jarang Selalu

    Bingung pasca serangan Selalu Tidak pernah

  • 2

    Setelah diyakini bahwa serangan yang dialami adalah kejang, selanjutnya perlu

    ditentukan jenis kejang. Klasifikasi kejang berdasarkan International League Against

    Epilepsy of Epileptic Seizure [ILAE] 1981 :

    I. Kejang parsial (fokal, local)

    a. Kejang fokal sederhana

    b. Kejang parsial kompleks

    c. Kejang parsial yang menjadi umum

    II. Kejang umum

    a. Absens

    b. Mioklonik

    c. Klonik

    d. Tonik

    e. Tonik-klonik

    f. Atonik

    III. Tidak dapat diklasifikasi

    Langkah selanjutnya adalah mencari penyebab kejang. Pada anak penyebab kejang

    yang paling sering adalah :

    1. Kejang demam

    2. Infeksi : meningitis, ensefalitis

    3. Gangguan metabolik : hipoglikemia, hiponatremia, hipoksemia, hipokalsemia,

    defisiensi piridoksin, gagal ginjal, gagal hati, gangguan metabolik bawaan

    4. Trauma kepala

    5. Keracunan : alkohol, teofilin

    6. Penghentian obat anti-epilepsi

    7. Lain-lain : hipertensif ensefalopati, tumor otak, perdarahan intrakranial, idiopatik

    Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu

    rectal > 380C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang merupakan

    gangguan saraf yang sering dijumpai pada anak. Kejang demam terjadi pada 2-4% anak

    berumur 6 bulan 5 tahun. Kejang disertai demam pada bayi berusia kurang dari 1 bulan

    tidak termasuk dalam kejang demam. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam,

    kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Bila anak berumur

    kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului demam, pikirkan

  • 3

    kemungkinan lain misalnya infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama

    demam. Anak laki-laki lebih sering dari pada perempuan dengan perbandingan 1,21,6:1.

    Klasifikasi Kejang Demam

    1. Kejang Demam Sederhana (simple febrile seizure)

    2. Kejang Demam Kompleks (complex febrile seizure)

    Kejang Demam Sederhana

    Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, dan umumnya akan berhenti

    sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak

    berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh

    kejang demam.

    Kejang Demam Kompleks

    Kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini :

    1. Kejang lama > 15 menit

    Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang

    lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang lama terjadi pada

    8% kejang demam.

    2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial.

    3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam. Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau

    lebih dalam 1 hari, di antara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada

    16% di antara anak yang mengalami kejang demam.

    Gambar 1. Ilustrasi Kejang Demam

  • 4

    Terdapat interaksi 3 faktor sebagai penyebab kejang demam, yaitu :

    a. Imaturitas otak dan termoregulator

    b. Demam, dimana kebutuhan oksigen meningkat. Demam pada kejang demam sering

    disebabkan oleh infeksi yang umum pada anak seperti tonsillitis, infeksi traktus

    respiratorius (38-40%), otitis media (15-23%) dan gasrtroenteritis akut (7-9%). Pada

    anak usia prasekolah sering mendapat infeksi tersebut dan disertai demam, yang bila

    dikombinasikan dengan ambang kejang yang rendah mudah mendapatkan kejang.

    Setiap anak juga memiliki suhu ambang kejang yang berbeda, hanya 11% anak

    dengan kejang demam mengalami kejang terjadi pada suhu 7 lokus kromosom (poligenik, autosomal dominan).

    Patofisiologi Kejang Demam

    Kejang merupakan manifestasi klinis akibat lepasnya muatan listrik yang berlebihan

    di sel neuron otak karena gangguan fungsi pada neuron tersebut baik berupa fisiologi,

    biokimia maupun anatomi. Sel saraf seperti juga sel hidup pada umumnya, mempunyai

    potensial membran, yaitu selisih potensial antara intrasel dan ekstrasel. Potensial intrasel

    lebih negatif dibandingkan dengan dengan ekstrasel. Patofisiologi Kejang Demam terjadi

    karena peningkatan reaksi kimia tubuh, dengan demikian reaksi-reaksi oksidasi terjadi lebih

    cepat dan akibatnya oksigen akan lebih cepat habis sehingga terjadilah keadaan hipoksia.

    Transport aktif yang memerlukan ATP terganggu, sehingga Na intrasel dan K ekstrasel

    meningkat. Apabila neurotransmiter eksitator lebih dominan daripada inhibitor maka akan

    terjadi depolarisasi post sinapsis. Adanya peristiwa sumasi dan fasilitasi mengakibatkan

    keadaan depolarisasi diperbesar dan apabila mencapai nilai ambang letup akan terjadi

    potensial aksi pada neuron post sinapsis. Apabila potensial aksi meluas dan terjadi

    sinkronisasi akan menimbulkan bangkitan kejang demam.

    Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1 derajat celcius akan mengakibatkan kenaikan

    metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada seorang

    anak berumur 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan

    orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi

    perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi

    difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya

  • 5

    lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga meluas ke seluruh

    sel maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmiter

    dan terjadilah kejang.

    Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi

    rendahnya ambang kejang seseorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu.

    Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 380 Celcius,

    sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 400C

    atau lebih. Terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah

    sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita

    kejang.

    Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak

    menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit)

    biasanya disertai terjadinya apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk

    kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat

    disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak

    tertaur dan suhu tubuh makin meningkat disebabkan meningkatnya aktivitas otot dan

    selanjutnya menyebabkan metabolisme yang meningkat. Faktor terpenting adalah gangguan

    peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler

    dan timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak.

  • 6

    Gambar 2. Patofisiologi Kejang Demam Pada Anak

    PENEGAKAN DIAGNOSIS

    Anamnesis

    Adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang

    Suhu sebelum/saat kejang, frekuensi dalam 24 jam, interval, keadaan anak pasca kejang,

    penyebab demam di luar infeksi susunan saraf pusat (gejala Infeski saluran napas akut/

    ISPA, infeksi saluran kemih/ISK, otitis media akut/OMA, dll)

    Riwayat perkembangan, riwayat kejang demam dan epilepsi dalam keluarga,

  • 7

    Singkirkan penyebab kejang yang lain (misalnya diare/muntah yang mengakibatkan

    gangguan elektrolit, sesak yang mengakibatkan hipoksemia, asupan kurang yang dapat

    menyebabkan hipoglikemia)

    Pemeriksaan fisik

    Kesadaran: apakah terdapat penurunan kesadaran, Suhu tubuh: apakah terdapat

    demam

    Tanda rangsang meningeal : Kaku kuduk, Brudzinski I dan II, Kernig, Lasegue

    1. Kaku Kuduk

    Interpretasi: kaku kuduk (+) bila terasa ada tahanan dan dagu tidak dapat mencapai

    dada. Kaku Kuduk (+) dijumpai pada meningitis, miositis otot kuduk, abses

    retrofaringeal, arthritis di servikal.

    2. Tes Lasegue

    Caranya: Pasien yang sedang baring diluruskan (ekstensi) kedua tungkainya.

    Kemudian satu tungkai diangkat lurus. Tungkai satunya lagi dalam keadaan lurus

    (tidak bergerak)

    - Interpretasi: Tanda lasegue (+) bila sakit / tahanan timbul pada sudut < 70

    (dewasa) dan < 60 (lansia). Tanda Lasegue (+) dijumpai pada meningitis, isialgia,

    iritasi pleksus lumbosakral (seperti HNP lumbosakralis)

    3. Tanda Kernig/Kernigs Sign

    - Caranya: Penderita baring, salah satu pahanya difleksikan sampai membuat sudut

    90. Lalu tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut. Biasanya ekstensi

    dilakukan sampai membentuk sudut 135

  • 8

    - Interpretasi: Tanda Kernig Sign (KS) (+) bila terdapat tahanan dan rasa nyeri

    sebelum mencaai sudut 135. dijumpai pada penyakit penyakit seperti yang

    terdapat pada tanda lasegue (+)

    4. Brudzinski (I, II, III, IV)

    Brudzinski I (Brudzinskis Neck Sign)

    Tangan ditempatkan di bawah kepala yang sedang baring. Kita tekuk kepala

    (fleksi) sampai dagu mencapai dada. Tangan yang satu lagi sebaiknya ditempatkan

    di dada pasien untuk mencegah diangkatnya badan. Interpretasi (+) bila terdapat

    fleksi pada kedua tungkai

    Tes Brudzinski I

    Brudzinski II (Brudzinskis Contra-Lateral Leg Sign)

    Pada pasien yang sedang baring, satu tungkai di fleksikan pada persendian

    panggul, sedang tungkai yang satunya lagi berada dalam keadaan ekstensi (lurus).

    Interpretasi: (+) bila tungkai yang satunya ikut pula terfleksi.

    Tes Brudzinski II

    Brudzinski III. Tekan os zigomaticum Tanda Brudzinski III (+) bila terjadi

    fleksi involunter ekstremitas superior (lengan tangan fleksi)

    Brudzinski IV. Tekan simfisis ossis pubis (SOP), Tanda Brudzinski IV (+) bila

    terjadi fleksi involunter ekstremitas inferior (kaki)

    Pemeriksaan nervus cranial

    Tanda peningkatan tekanan intrakranial : ubun ubun besar (UUB) membonjol , papil

    edema

    Tanda infeksi di luar SSP : ISPA, OMA, ISK, dll

    Pemeriksaan neurologi: tonus, motorik, reflex fisiologis, reflex patologis.

  • 9

    Pemeriksaan penunjang

    Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai indikasi untuk mencari penyebab demam

    atau kejang. Pemeriksaan dapat meliputi darah perifer lengkap, gula darah, elektrolit,

    urinalisis dan biakan darah, urin atau feses.

    Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan/menyingkirkan

    kemungkinan meningitis. Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau

    menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Jika yakin

    bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal. Pungsi lumbal

    dianjurkan pada :

    Bayi usia kurang dari 12 bulan : sangat dianjurkan

    Bayi usia 12-18 bulan : dianjurkan

    Bayi usia > 18 bulan : tidak rutin dilakukan

    Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak direkomendasikan. EEG masih dapat

    dilakukan pada kejang demam yang tidak khas, misalnya : kejang demam kompleks

    pada anak berusia lebih dari 6 tahun atau kejang demam fokal.

    Pencitraan (CT-Scan atau MRI kepala) dilakukan hanya jika ada indikasi, misalnya :

    Kelainan neurologi fokal yang menetap (hemiparesis) atau kemungkinan adanya lesi

    struktural di otak (mikrosefali, spastisitas)

    Terdapat tanda peningkatan tekanan intrakranial (kesadaran menurun, muntah

    berulang, UUB membonjol, paresis nervus VI, edema papil).

    PENATALAKSANAAN

    Tujuan pengobatan kejang demam pada anak adalah :

    1. Mencegah kejang demam berulang

    2. Mencegah status epileptikus

    3. Mencegah epilepsy dan/atau retardasi mental

    4. Normalisasi kehidupan anak dan keluarga

    a. Penatalaksanaan Fase Akut

    Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang kejang sudah

    berhenti. Anak yang sedang mengalami kejang, prioritas utama adalah menjaga agar jalan

    nafas tetap terbuka. Pakaian dilonggarkan, posisi anak dimiringkan untuk mencegah

    aspirasi. Sebagian besar kasus kejang berhenti sendiri, tetapi dapat juga berlangsung terus

    atau berulang. Pengisapan lendir dan pemberian oksigen harus dilakukan teratur, kalau

  • 10

    perlu dilakukan intubasi. Keadaan dan kebutuhan cairan, kalori dan elektrolit harus

    diperhatikan. Suhu tubuh dapat diturunkan dengan kompres air hangat (diseka) dan

    pemberian antipiretik.

    Saat ini diazepam merupakan obat pilihan utama untuk kejang demam fase akut, karena

    diazepam mempunyai masa kerja yang singkat. Diazepam dapat diberikan secara

    intravena atau rectal, jika diberikan intramuskular absorbsinya lambat. Dosis diazepam

    intravena adalah 0,3-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau

    dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg, tetapi pemberian tersebut sering

    gagal pada anak yang lebih kecil. Jika jalur intravena belum terpasang, diazepam dapat

    diberikan per rectal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5

    mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih

    dari 10 kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun

    atau dosis 7,5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun. Pemberian diazepam secara rektal

    aman dan efektif serta dapat pula diberikan oleh orang tua di rumah.

    Bila diazepam tidak tersedia, dapat diberikan luminal suntikan intramuskular dengan

    dosis awal 30 mg untuk neonatus, 50 mg untuk usia 1 bulan 1 tahun, dan 75 mg untuk

    usia lebih dari 1 tahun. Midazolam intranasal (0,2 mg/kg BB) telah diteliti aman dan

    efektif untuk mengantisipasi kejang demam akut pada anak. Kecepatan absorbsi

    midazolam ke aliran darah vena dan efeknya pada sistem syaraf pusat cukup baik. Namun

    efek terapinya masih kurang bila dibandingkan dengan diazepam intravena.

    Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi dengan

    cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali pemberian

    diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah sakit dapat

    diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg. Bila kejang tetap belum

    berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal 10-20 mg/kg/kali dengan

    kecepatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis

    selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal. Bila dengan

    fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang rawat intensif.

    Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang

    demam apakah kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor risikonya.

  • 11

    Ada beberapa indikasi rawat inap pasien kejang demam, antara lain :

    Kejang demam kompleks

    Hiperpireksia

    Usia dibawah 6 bulan

    Kejang demam pertama kali

    Terdapat kelainan neurologis

    Gambar 2. Penatalaksanaan Kejang Demam Pada Anak

  • 12

    b. Pengobatan profilaksis

    Dikenal 2 cara profilaksis, yaitu :

    1) Profilaksis intermiten pada waktu demam berupa :

    Antipiretik

    Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko

    terjadinya kejang demam, namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik

    tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10 15

    mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis Ibuprofen 5-10

    mg/kg/kali, 3-4 kali sehari. Selain itu dapat diberikan kompres air hangat jika suhu

    > 390C dan kompres air biasa jika > 380C. Meskipun jarang, asam asetilsalisilat

    dapat menyebabkan sindrom Reye terutama pada anak kurang dari 18 bulan,

    sehingga penggunaan asam asetilsalisilat tidak dianjurkan.

    Anti Konvulsan

    Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat demam

    menurunkan risiko berulangnya kejang pada 30%-60% kasus, begitu pula dengan

    diazepam rektal dosis 0,5 mg/kg setiap 8 jam pada suhu > 38,50C. Terdapat efek

    samping berupa ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25-39% kasus.

    Fenobarbital, karbamazepin, dan fenitoin pada saat demam tidak berguna untuk

    mencegah kejang demam

    2) Profilaksis jangka panjang

    Pengobatan jangka panjang hanya diberikan jika kejang demam menunjukkan ciri

    sebagai berikut (salah satu) :

    1. Kejang lama > 15 menit

    2. Kelainan neurologi yang nyata sebelum/sesudah kejang : hemiparesis, paresis Todd,

    palsi serebral, retardasi mental, hidrosefalus.

    3. Kejang fokal. Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan

    bahwa anak mempunyai fokus organik.

    4. Pengobatan jangka panjang dipertimbangkan jika :

    Kejang berulang 2 kali/lebih dalam 24 jam

    Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan

    Kejang demam > 4 kali per tahun.

    Obat untuk pengobatan jangka panjang : fenobarbital (dosis 3-4 mg/kgBB/hari dibagi 1-2

    dosis) atau asam valproat (dosis 15-40 mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis). Pemberian obat

  • 13

    ini efektif dalam menurunkan risiko berulangnya kejang. Pemakaian fenobarbital setiap

    hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus.

    Obat pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama yang

    berumur kurang dari 2 tahun asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati.

    Pengobatan diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian dihentikan secara bertahap

    selama 1-2 bulan.

    PROGNOSIS

    Kemungkinan berulangnya kejang demam

    Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko berulangnya kejang

    demam adalah :

    Riwayat kejang demam dalam keluarga

    Usia kurang dari 12 bulan

    Temperatur yang rendah saat kejang

    Cepatnya kejang setelah demam

    Jika seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah 80%,

    sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya kejang demam hanya

    10%-15%. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar pada tahun pertama.

    Faktor risiko terjadinya epilepsi

    Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama.

    Kejang demam kompleks

    Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung

    Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4%-6%,

    kombinasi dari faktor risiko tersebut meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10%-

    49%. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumat

    pada kejang demam.

    EDUKASI

    Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat kejang

    sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah meninggal. Kecemasan ini harus

    dikurangi dengan memberikan edukasi kepada orang tua mengenai kejang demam.

  • 14

    1. Bagaimana cara mencegah kejang demam?

    Pencegahan kejang demam yang pertama tentu dengan usaha menurunkan suhu tubuh

    apabila anak demam. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan obat penurun panas,

    misalnya parasetamol atau ibuprofen. Hindari obat dengan bahan aktif asam asetilsalisilat,

    karena obat tersebut dapat menyebabkan efek samping serius pada anak. Pemberian

    kompres air hangat pada dahi, ketiak, dan lipatan siku juga dapat membantu.

    Sebaiknya orangtua memiliki termometer di rumah dan mengukur suhu anak saat sedang

    demam. Pengukuran suhu berguna untuk menentukan apakah anak benar mengalami

    demam dan pada suhu berapa kejang demam timbul. Pengobatan jangka panjang hanya

    diberikan pada sebagian kecil kejang demam dengan kondisi tertentu.

    2. Apakah kejang demam membuat anak menjadi bodoh atau menderita epilepsi di

    kemudian hari?

    Kejang demam tidak berpengaruh terhadap perkembangan atau kecerdasan anak. Biasanya

    kejang demam menghilang dengan sendirinya setelah anak berusia 5-6 tahun. Sebagian

    besar anak yang pernah mengalami kejang demam akan tumbuh dan berkembang secara

    normal tanpa adanya kelainan. Epilepsi terjadi pada kurang dari 5 persen anak kejang

    demam, dan biasanya pada anak-anak ini terdapat faktor risiko lain. Oleh karena itu,

    sebagian besar anak dengan kejang demam tidak memerlukan bermacam pemeriksaan

    seperti rekam otak atau elektroensefalografi (EEG) atau CT scan.

    3. Kapan orangtua perlu khawatir?

    Tidak semua kejang yang disertai demam adalah kejang demam. Apabila terjadi kejang

    disertai demam di luar rentang usia 6 bulan sampai 5 tahun, maka perlu disingkirkan

    penyebab kejang lainnya, misalnya epilepsi atau radang otak. Jika sesudah kejang anak

    tidak segera sadar kembali, lebih banyak tidur, atau tidak dapat mengadakan kontak

    dengan baik, dokter akan melakukan pemeriksaan penunjang untuk mencari penyebab

    kejang lain, terutama radang selaput otak (meningitis) atau radang otak (ensefalitis).

    Evaluasi lebih lanjut juga diperlukan apabila anak pernah kejang tanpa demam. Walau

    tampak menakutkan, umumnya kejang demam tidak berbahaya, tidak merusak otak, tidak

    mengganggu kecerdasan anak, dan akan menghilang sendiri seiring bertambahnya usia.

  • 15

    4. Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang

    a) Tetap tenang dan tidak panik

    b) Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher

    c) Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan muntahan

    atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah tergigit, jangan

    memasukkan sesuatu kedalam mulut.

    d) Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang.

    e) Tetap bersama pasien selama kejang

    f) Berikan diazepam rektal. Dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti.

    g) Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih

    VAKSINASI

    Sejauh ini tidak ada kontra indikasi untuk melakukan vaksinasi terhadap anak yang

    mengalami kejang demam. Kejang setelah demam karena vaksinasi sangat jarang. Angka

    kejadian pasca vaksinasi DPT adalah 6-9 kasus per 100.000 anak yang divaksinasi sedangkan

    setelah vaksinasi MMR 25-34 per 100.000.

  • 16

    STATUS PASIEN I. Identitas Pasien

    Nama : An S. M

    Jenis Kelamin : Laki-laki

    Umur : 3 tahun

    Alamat : Teling Atas Wanea

    II. Anamnesis

    1. Keluhan Utama

    Kejang

    2. Riwayat Penyakit Sekarang

    Pasien datang dikeluhkan kejang sekitar 20 menit sebelum MRS. Sehari sebelum

    MRS ibu pasien mengatakan anaknya demam. Demamnya mendadak, selalu tinggi,

    malamnya mengigau, rewel, tidak menggigil dan tidak berkeringat dingin. Besok

    paginya pasien masih demam tinggi dan ibu pasien membawa pasien berobat ke

    puskesmas lalu diberi obat puyer penurun panas. Panasnya turun sebentar namun

    tinggi lagi setelah beberapa jam. Kurang lebih 20 menit sebelum MRS pasien

    mengalami kejang dengan durasi kurang dari 1 menit. Pada saat kejang seluruh badan

    pasien kaku, mata mendelik ke atas tetapi tidak keluar busa dari mulut. Setelah kejang

    pasien langsung menangis dan ibu pasien membawa pasien ke rumah sakit.

    Pasien dikeluhkan batuk pilek sejak 1 hari sebelum MRS tidak disertai nyeri

    tenggorokan. Pasien tidak mual dan muntah, tidak diare dan tidak ada riwayat trauma

    pada kepala. Menurut ibu pasien, ini adalah kali ke 3 pasien mengalami kejang.

    Pada saat umur 1 dan 2 tahun pasien pernah mengalami keluhan kejang yang sama.

    Kejangnya selalu didahului demam, pasien kaku waktu kejang dengan mata mendelik

    ke atas, tidak keluar busa dari mulut dan durasi kejangnya selalu kurang dari 1 menit.

    Setelah kejang pasien selalu menangis. Selama ini ibu pasien hanya membawa pasien

    ke puskesmas bila kejang dan tidak pernah dirawat di rumah sakit. Kakak pasien juga

    mempunyai riwayat kejang sewaktu kecil.

  • 17

    3. Riwayat Kehamilan/Kelahiran

    a. Kehamilan

    Morbiditas : Selama kehamilan ibu sehat

    Perawatan antenatal : Ibu berkunjung untuk ANC 2x selama kehamilan

    b. Kelahiran

    Tempat Kelahiran : Rumah Sakit

    Penolong : Dokter

    Cara Persalinan : Spontan

    Usia Kehamilan : Cukup bulan

    Keadaan bayi :

    Berat lahir : 3000 g

    Panjang : Ibu Lupa

    Lingkar kepala : Ibu lupa

    Bayi setelah dilahirkan langsung menangis

    Tidak ada kelainan bawaan pada saat dilahirkan

    4. Riwayat Perkembangan

    Tengkurap : 6 bulan

    Duduk : 10 bulan

    Berdiri : 11 bulan

    Berjalan : 13 bulan

    Bicara : 13 bulan

    Baca Tulis : -

    5. Riwayat Imunisasi

    BCG : 0 bulan

    DPT/DT : + 3 kali, ibu lupa umur berapa

    Polio : + 3 kali, ibu lupa umur berapa

    Hepatitis B : + 3 kali, ibu lupa umur berapa

    Campak : + 1 kali, ibu lupa umur berapa

    Kesimpulan riwayat imunisasi : lengkap, Scar BCG +

    6. Riwayat Penyakit Keluarga

    Riwayat kejang demam pada keluarga (+), kakak pasien mengalami kejang saat

    demam tinggi pada saat umur 4 tahun, saat ini sudah tidak pernah kejang lagi.

    Anggota keluarga lain dengan keluhan kejang disangkal.

  • 18

    III. Pemeriksaan Fisik

    Keadaan umum:

    Keadaan Sakit : Sakit Sedang

    Kesadaran : Compos Mentis

    Status Gizi : Cukup

    Berat Badan : 15 Kg

    Tanda vital:

    Frekuensi Nadi : 120 x/Menit

    Frekuensi Nafas : 22 x/Menit

    Suhu Tubuh : 39 oC

    Status Generalis :

    Kepala : Normocephali, Deformitas (-), Ubun-ubun besar : rata

    Mata: edema palpebra (), konjungtiva tidak anemis, Sklera putih, Kornea jernih

    Pupil : bentuk bulat, isokor, refleks cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung

    +/+, diameter 3 mm, Lensa jernih, Gerakan kedua bola mata baik.

    Telinga: Daun dan liang telinga:bentuk, besar, posisi normal. Mastoid : tidak ada nyeri tekan

    Hidung: Bentuk normal, simetris, Sekret (+) putih serosa, Epistaksis (-)

    Bibir: Tidak kering, Mukosa warna kemerahan

    Mulut: Bentuk dan ukuran normal, mukosa pipi kemerahan, warna gusi normal merah jambu

    Arkus palatum normal, tidak ada paresis, faring hiperemis (+)

    Lidah: Warna merah, tidak kotor, ukuran normal

    Tonsil : T2-T2, hiperemis (-)

    Tenggorokan : Stridor (-)

    Leher : Kaku kuduk (-), Massa di leher (-), Kelenjar tiroid : ukuran, bentuk, posisi,

    konsistensi, permukaan normal, tidak ada nyeri, tidak ada pembesaran

    Toraks: bentuk simetris, gerakan dinding dada simetris, deformitas (-), pembengkakan (-)

    Cor :

    Inspeksi : tidak tampak denyutan iktus cordis

    Palpasi : teraba denyutan iktus cordis pada ICS V linea midclavicula kiri

    Perkusi : batas jantung kiri ICS IV sedikit lateral midclavicula kiri

    Auskultasi : S1S2 regular, murmur (-) gallop (-)

  • 19

    Pulmo :

    Inspeksi : pernafasan sisi simetris abdomino torakal

    Palpasi : vokal fremitus simetris, krepitasi subkutis (-)

    Perkusi : sonor simetris, nyeri ketok -/-

    Auskultasi : suara nafas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-

    Abdomen

    Inspeksi : simetris, datar, dilatasi vena (-)

    Palpasi : supel, nyeri tekan atau lepas (-), Hepar/lien tidak teraba membesar

    Perkusi : timpani seluruh abdomen, ascites (-)

    Auskultasi : bising usus + normal

    Kelenjar getah bening:

    KGB oksipital : tidak teraba membesar

    KGB retroaurikuler : tidak teraba membesar

    KGB servikal : tidak teraba membesar

    Ekstremitas:

    Panjang dan bentuk normal, kelainan kongenital (-), nyeri tekan (-), jari tabuh (-), gerakan

    otot baik, tonus otot baik, tanda peradangan (-), nyeri atau keterbatasan gerakan sendi,

    oedema (-), akral dingin (-)

    Pemeriksaan Neurologis

    Refleks fisiologis positif

    Refleks patologis : Refleks babinsky (-), kaku kuduk (-), Tanda Brudzinski I (-) Tanda

    Brudzinski II (-), Tanda Kernig (-) Tanda Lasegue (-)

    Uji sensibilitas : Normal

    Kulit:

    Sianosis (-), Anemis (-), Turgor baik, Hiperpigmentasi (), Hipopigmentasi (), Luka ()

    IV. Pemeriksaan Penunjang

    Tidak dilakukan

  • 20

    V. Diagnosis Kerja

    Kejang Demam Sederhana + faringitis akut

    VI. Penatalaksanaan

    1. Farmakologis

    Diazepam rektal 10 mg (k/p)

    Paracetamol rectal 250 mg 1x

    Paracetamol sirup 4 x 1 cth

    Tremenza 3 x tab

    Ambroxol sirup 3x1 cth

    2. Non-farmakologis

    Kompres air hangat

    VII. Prognosis

    Dubia ad vitam (hidup) : bonam

    Dubia ad functionam (fungsi) : bonam

    Dubia ad sanationam (sembuh) : bonam

  • 21

    PEMBAHASAN

    Pada pasien didapatkan keluhan utama kejang sejak 20 menit SMRS, durasi kurang dari 1

    menit. Pada saat kejang badan pasien kaku, mata mendelik ke atas tetapi tidak keluar busa

    dari mulut. Setelah kejang pasien langsung menangis. Keluhan kejang hilang dengan sendiri

    tanpa pengobatan apapun. Keluhan kejang diawali demam mendadak tinggi. Saat ini

    merupakan keluhan yang kejang yang ke-3. Sebelumnya pasien memiliki riwayat kejang saat

    demam tinggi seperti ini sebelumnya pada usia 1 dan 2 tahun.

    Hal ini sesuai dengan definisi kejang demam sederhana dimana kejang berlangsung singkat,

    kurang dari 15 menit, dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik

    dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam.

    Dari hasil pemeriksaan fisik tanda vital didapatkan suhu 390C. untuk anak dengan demam

    suhu > 390C dapat diberikan pemberian antipiretik. Pada pasien diberikan antipiretik secara

    rectal karena onset kerja yang lebih cepat dibandingkan pemberian secara oral. Sesuai dengan

    berat badan pasien (16 kg) diberikan paracetamol rectal 250 mg sebanyak 1 kali. Pasien

    diobservasi 20 menit kemudian diukur kembali suhu didapatkan suhu tubuh sudah turun

    menjadi 37,60C. Selama observasi 1 jam pasien tidak mengalami kejang berulang, sehingga

    diberikan pengobatan untuk rawat jalan. Tidak ditemukan kelainan neurologis.

    Untuk pengobatan akut, diberikan sirup ambroxol sebagai mukolitik dan tremenza tablet

    untuk mengatasi keluhan pilek. Terapi antibiotic tidak diberikan karena belum ada indikasi

    infeksi kronis pada pasien. Untuk pengobatan di rumah, paracetamol sirup 4 kali sehari 1

    sendok takar diteruskan untuk mencegah demam yang dapat memicu timbulnya kejang.

    Pasien juga diberikan persiapan obat diazepam rectal 10 mg yang dapat diberikan saat anak

    mengalami kejang. Pemberian obat diazepam rectal hanya diberikan saat kejang saja.

  • 22

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, Febrile Seizures in Nelson Textbook of

    Pediatrics, 20th Edition, Philadelphia: WB Saunders Company, 2014.

    2. Pusponegoro HD, Widodo DP, Ismael S, Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam,

    Unit Kerja Koordinasi Neurologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2006.

    3. Akib A dr, Kejang Demam, Panduan Pelayanan Medis, Departemen Ilmu Kesehatan

    Anak, Jakarta: RSCM 2005

    4. American Academy Of Pediatrics, Febrile Seizures : Guideline for the Neurodiagnostic

    Evaluation of the Child with a Simple Febrile Seizure, Pediatrics, 2011;127;389.

    5. Deliana, M, Tatalaksana Kejang Demam Pada Anak, Sari Pediatri, Vol. 4, No. 2,

    September 2002: 59 62

    LAPORAN KASUS Kejang merupakan suatu manifestasi klinis yang sering dijumpai di ruang gawat darurat. Hampir 5% anak berumur di bawah 16 tahun setidaknya pernah mengalami sekali kejang selama hidupnya. Kejang penting sebagai suatu tanda adanya gangguan neurologis. Keadaan tersebut merupakan keadaan darurat. Kejang dapat bersifat sederhana, dapat berhenti sendiri dan sedikit memerlukan pengobatan lanjutan, atau merupakan gejala awal dari penyakit berat, atau cenderung menjadi status epileptikus. Tatalaksana kejang seringkali tidak dilakukan secara baik. Karena diagnosis yang salah atau penggunaan obat yang kurang tepat dapat menyebabkan kejang tidak terkontrol, depresi nafas dan rawat inap yang tidak perlu. Langkah awal dalam menghadapi kejang adalah memastikan apakah gejala saat ini kejang atau bukan. Selanjutnya melakukan identifikasi kemungkinan penyebabnya. Sangat penting untuk membedakan apakah serangan yang terjadi adalah kejang atau serangan yang menyerupai kejang. Perbedaan diantara keduanya adalah : Tabel 1. Perbedaan serangan kejang dan keadaan yang menyerupai kejang Setelah diyakini bahwa serangan yang dialami adalah kejang, selanjutnya perlu ditentukan jenis kejang. Klasifikasi kejang berdasarkan International League Against Epilepsy of Epileptic Seizure [ILAE] 1981 : I. Kejang parsial (fokal, local) a. Kejang fokal sederhana b. Kejang parsial kompleks c. Kejang parsial yang menjadi umum II. Kejang umum a. Absens b. Mioklonik c. Klonik d. Tonik e. Tonik-klonik f. Atonik III. Tidak dapat diklasifikasi Langkah selanjutnya adalah mencari penyebab kejang. Pada anak penyebab kejang yang paling sering adalah : 1. Kejang demam 2. Infeksi : meningitis, ensefalitis 3. Gangguan metabolik : hipoglikemia, hiponatremia, hipoksemia, hipokalsemia, defisiensi piridoksin, gagal ginjal, gagal hati, gangguan metabolik bawaan 4. Trauma kepala 5. Keracunan : alkohol, teofilin 6. Penghentian obat anti-epilepsi 7. Lain-lain : hipertensif ensefalopati, tumor otak, perdarahan intrakranial, idiopatik Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rectal > 380C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang merupakan gangguan saraf yang sering dijumpai pada anak. Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan 5 tahun. Kejang disertai demam pada bayi berusia kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam. Anak laki-laki lebih sering dari pada perempuan dengan perbandingan 1,21,6:1. Klasifikasi Kejang Demam 1. Kejang Demam Sederhana (simple febrile seizure) 2. Kejang Demam Kompleks (complex febrile seizure) Kejang Demam Sederhana Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam. Kejang Demam Kompleks Kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini : 1. Kejang lama > 15 menit Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam. 2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial. 3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam. Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, di antara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% di antara anak yang mengalami kejang demam. Terdapat interaksi 3 faktor sebagai penyebab kejang demam, yaitu : a. Imaturitas otak dan termoregulator b. Demam, dimana kebutuhan oksigen meningkat. Demam pada kejang demam sering disebabkan oleh infeksi yang umum pada anak seperti tonsillitis, infeksi traktus respiratorius (38-40%), otitis media (15-23%) dan gasrtroenteritis akut (7-9%). Pada anak usia prasekolah sering mendapat infeksi tersebut dan disertai demam, yang bila dikombinasikan dengan ambang kejang yang rendah ( mudah mendapatkan kejang. Setiap anak juga memiliki suhu ambang kejang yang berbeda, hanya 11% anak dengan kejang demam mengalami kejang terjadi pada suhu 7 lokus kromosom (poligenik, autosomal dominan). Patofisiologi Kejang Demam Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1 derajat celcius akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada seorang anak berumur 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmiter dan terjadilah kejang. PENEGAKAN DIAGNOSIS Anamnesis Adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang Suhu sebelum/saat kejang, frekuensi dalam 24 jam, interval, keadaan anak pasca kejang, penyebab demam di luar infeksi susunan saraf pusat (gejala Infeski saluran napas akut/ ISPA, infeksi saluran kemih/ISK, otitis media akut/OMA, dll) Riwayat perkembangan, riwayat kejang demam dan epilepsi dalam keluarga, Singkirkan penyebab kejang yang lain (misalnya diare/muntah yang mengakibatkan gangguan elektrolit, sesak yang mengakibatkan hipoksemia, asupan kurang yang dapat menyebabkan hipoglikemia) Pemeriksaan fisik Kesadaran: apakah terdapat penurunan kesadaran, Suhu tubuh: apakah terdapat demam Tanda rangsang meningeal : Kaku kuduk, Brudzinski I dan II, Kernig, Lasegue Pemeriksaan nervus cranial Tanda peningkatan tekanan intrakranial : ubun ubun besar (UUB) membonjol , papil edema Tanda infeksi di luar SSP : ISPA, OMA, ISK, dll Pemeriksaan neurologi: tonus, motorik, reflex fisiologis, reflex patologis. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai indikasi untuk mencari penyebab demam atau kejang. Pemeriksaan dapat meliputi darah perifer lengkap, gula darah, elektrolit, urinalisis dan biakan darah, urin atau feses. Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan/menyingkirkan kemungkinan meningitis. Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Jika yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal. Pungsi lumbal dianjurkan pada : Bayi usia kurang dari 12 bulan : sangat dianjurkan Bayi usia 12-18 bulan : dianjurkan Bayi usia > 18 bulan : tidak rutin dilakukan Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak direkomendasikan. EEG masih dapat dilakukan pada kejang demam yang tidak khas, misalnya : kejang demam kompleks pada anak berusia lebih dari 6 tahun atau kejang demam fokal. Pencitraan (CT-Scan atau MRI kepala) dilakukan hanya jika ada indikasi, misalnya : Kelainan neurologi fokal yang menetap (hemiparesis) atau kemungkinan adanya lesi struktural di otak (mikrosefali, spastisitas) Terdapat tanda peningkatan tekanan intrakranial (kesadaran menurun, muntah berulang, UUB membonjol, paresis nervus VI, edema papil). PENATALAKSANAAN b. Pengobatan profilaksis Dikenal 2 cara profilaksis, yaitu : 1) Profilaksis intermiten pada waktu demam berupa : Antipiretik Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko terjadinya kejang demam, namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10 15 mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis Ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari. Selain itu dapat diberikan kompres air hangat jika suhu > 390C dan kompres air biasa jika > 380C. Meskipun jarang, asam asetilsalisilat dapat menyebabkan sindrom Reye terutama pada anak kurang dari 18 bulan, sehingga penggunaan asam asetilsalisilat tidak dianjurkan. Anti Konvulsan Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat demam menurunkan risiko berulangnya kejang pada 30%-60% kasus, begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/kg setiap 8 jam pada suhu > 38,50C. Terdapat efek samping berupa ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25-39% kasus. Fenobarbital, karbamazepin, dan fenitoin pada saat demam tidak berguna untuk mencegah kejang demam 2) Profilaksis jangka panjang Pengobatan jangka panjang hanya diberikan jika kejang demam menunjukkan ciri sebagai berikut (salah satu) : 1. Kejang lama > 15 menit 2. Kelainan neurologi yang nyata sebelum/sesudah kejang : hemiparesis, paresis Todd, palsi serebral, retardasi mental, hidrosefalus. 3. Kejang fokal. Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak mempunyai fokus organik. 4. Pengobatan jangka panjang dipertimbangkan jika : Kejang berulang 2 kali/lebih dalam 24 jam Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan Kejang demam > 4 kali per tahun. Obat untuk pengobatan jangka panjang : fenobarbital (dosis 3-4 mg/kgBB/hari dibagi 1-2 dosis) atau asam valproat (dosis 15-40 mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis). Pemberian obat ini efektif dalam menurunkan risiko berulangnya kejang. Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang dari 2 tahun asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Pengobatan diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan. PROGNOSIS Kemungkinan berulangnya kejang demam Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah : Riwayat kejang demam dalam keluarga Usia kurang dari 12 bulan Temperatur yang rendah saat kejang Cepatnya kejang setelah demam Jika seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya kejang demam hanya 10%-15%. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar pada tahun pertama. Faktor risiko terjadinya epilepsi Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama. Kejang demam kompleks Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4%-6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10%- 49%. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumat pada kejang demam. EDUKASI 1. Bagaimana cara mencegah kejang demam? Pencegahan kejang demam yang pertama tentu dengan usaha menurunkan suhu tubuh apabila anak demam. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan obat penurun panas, misalnya parasetamol atau ibuprofen. Hindari obat dengan bahan aktif asam asetilsalisilat, karena obat tersebut dapat menyebabkan efek samping serius pada anak. Pemberian kompres air hangat pada dahi, ketiak, dan lipatan siku juga dapat membantu. Sebaiknya orangtua memiliki termometer di rumah dan mengukur suhu anak saat sedang demam. Pengukuran suhu berguna untuk menentukan apakah anak benar mengalami demam dan pada suhu berapa kejang demam timbul. Pengobatan jangka panjang hanya diberikan pada sebagian kecil kejang demam dengan kondisi tertentu. 2. Apakah kejang demam membuat anak menjadi bodoh atau menderita epilepsi di kemudian hari? Kejang demam tidak berpengaruh terhadap perkembangan atau kecerdasan anak. Biasanya kejang demam menghilang dengan sendirinya setelah anak berusia 5-6 tahun. Sebagian besar anak yang pernah mengalami kejang demam akan tumbuh dan berkembang secara normal tanpa adanya kelainan. Epilepsi terjadi pada kurang dari 5 persen anak kejang demam, dan biasanya pada anak-anak ini terdapat faktor risiko lain. Oleh karena itu, sebagian besar anak dengan kejang demam tidak memerlukan bermacam pemeriksaan seperti rekam otak atau elektroensefalografi (EEG) atau CT scan. 3. Kapan orangtua perlu khawatir? Tidak semua kejang yang disertai demam adalah kejang demam. Apabila terjadi kejang disertai demam di luar rentang usia 6 bulan sampai 5 tahun, maka perlu disingkirkan penyebab kejang lainnya, misalnya epilepsi atau radang otak. Jika sesudah kejang anak tidak segera sadar kembali, lebih banyak tidur, atau tidak dapat mengadakan kontak dengan baik, dokter akan melakukan pemeriksaan penunjang untuk mencari penyebab kejang lain, terutama radang selaput otak (meningitis) atau radang otak (ensefalitis). Evaluasi lebih lanjut juga diperlukan apabila anak pernah kejang tanpa demam. Walau tampak menakutkan, umumnya kejang demam tidak berbahaya, tidak merusak otak, tidak mengganggu kecerdasan anak, dan akan menghilang sendiri seiring bertambahnya usia. 4. Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang