laporan kasus sha
TRANSCRIPT
LAPORAN KASUS
I. STATUS PASIEN
- MRS : Senin, 26 November 2012
- Waktu Pemeriksaan : Kamis, 06 Desember 2012
- Bangsal : Angsoka
Identitas
- Nama : Ny. NW
- Usia : 35 tahun
- Jenis Kelamin : Perempuan
- Alamat : Jln. Gerilya, Samarinda
- Pekerjaan : IRT
- Agama : Islam
A. Hasil Anamnesa
1. Keluhan Utama
Tangan dan kaki kanan terasa lemah.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan lemah pada tangan dan kaki kanan sejak bulan
Oktober 2012. Awalnya pasien mengeluhkan sakit gigi di bulan puasa
(Agustus 2012) pada gigi bagian bawah, kemudian ternyata yang
dicabut yang dibagian atas. Pada lebaran H-1, tiba-tiba bola mata kiri
pasien tampak lebih ke pinggir, seperti sulit dibuka, pandangan
berbayang, dan kepala pusing serta sakit kepala. Tidak riwayat kejang.
Nyeri kepala dirasakan semakin memberat sampai pada akhirnya
mengeluhkan lemah anggota gerak kanan. Gangguan ini muncul tiba-
tiba dan sejak awal terkena sampai sekarang tidak ada perburukan
1 | S t r o k e H e m i p a r e s e A l t e r n a n s
gejala. Pasien juga mengeluhkan tidak bisa berbicara terlalu banyak,
karena jika berbicara banyak, pasien merasa ingin muntah. Pasien sulit
untuk berjalan, karena jika bangun dari tempat tidur, kepala seperti
berputar dan kaki kanan terasa lemas.
3. Riwayat Medis dan Penyakit Dahulu
- Pasien memiliki riwayat operasi SC karena gawat janin beberapa
tahun yang lalu.
- Pasien tidak menggunakan kontrasepsi oral
- Tidak ada riwayat stroke sebelumnya
- Tidak ada riwayat tekanan darah tinggi
- Tidak ada riwayat sakit jantung
- Tidak ada riwayat kencing manis
4. Riwayat Penyakit Keluarga
- Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan yang serupa
- Tidak ada keluarga yang memiliki riwayat tekanan darah
tinggi
- Tidak ada keluarga yang memiliki riwayat sakit jantung
- Tidak ada keluarga yang memiliki riwayat kencing manis.
5. Riwayat Kebiasaan
- Pasien tidak merokok
- Riwayat konsumsi alkohol (-)
- Riwayat konsumsi Jamu (-)
B. Hasil Pemeriksaan Fisik
1. Status Praesens
Keadaan Umum : Sakit Ringan
Kesadaran : Composmentis, GCS E4V5M6
Status Gizi
2 | S t r o k e H e m i p a r e s e A l t e r n a n s
- Berat Badan : 60 Kg
- Tinggi Badan : 155 cm
- BMI : 24,9 Kg/m2
Tanda Vital
- Tekanan Darah : 130/85mmHg
- Nadi : 96 x/menit
- Pernafasan : 24 x/menit
- Suhu : 36,50C
Kepala
- Bentuk normal
- Konjungtiva anemis (-/-)
- Pupil anisokor, OD Ɵ 3 mm, Ɵ OS 4,5 mm refleks cahaya (-/-)
- Bibir sianosis (-)
Leher
o Pembesaran KGB (-)
o Trakea teraba di tengah
Thoraks
○ Paru
- Inspeksi : Bentuk normal, pergerakan simetris,
retraksi ICS (-).
- Palpasi : Pelebaran ICS (-)
- Perkusi : Sonor di seluruh lapangan paru
- Auskultasi : Vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
○ Jantung
- Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak
- Palpasi : Iktus cordis tidak teraba
- Perkusi : Batas jantung atas : ICS III
sinistra
Batas jantung kanan : PSL dextra
Batas jantung kiri : MCL sinistra
3 | S t r o k e H e m i p a r e s e A l t e r n a n s
Batas jantung bawah : ICS V sinistra
- Auskultasi : S1 S2 tunggal, reguler, Murmur (-), Gallop (-)
Abdomen
- Inspeksi : Bentuk flat
- Palpasi : Soefel, nyeri tekan epigastrium (-),
hepar dan lien tidak teraba, Massa (-), Jejas/Bekas Trauma (-)
- Perkusi : Timpani di seluruh abdomen
- Auskultasi : Bising usus normal
Ekstremitas atas dan bawah
- Akral hangat, Oedem (-).
2. Status Psychicus
Cara berpikir dan tingkah laku : baik
Kecerdasan, perasaan hati dan ingatan : baik
3. Status Neurologicus
Kesadaran
Kompos mentis, GCS 15 (E4V5M6)
Kepala
Bentuk normal, simetris. Nyeri tekan (-)
Leher
Sikap tegak, pergerakan baik.
Pemeriksaan Tanda Rangsangan Meningeal
- Kaku Kuduk (-)
- Brudzinsky I Sign (-/-)
- Brudzinsky II Sign (-/-)
- Lasseque Sign (-/-)
- Kernig Sign (-)
Pemeriksaan Saraf Kranialis
4 | S t r o k e H e m i p a r e s e A l t e r n a n s
Pemeriksaan Saraf Kranialis Kanan Kiri
Olfaktorius (I)
Subjektif Normal Normal
Optikus (II)
Tajam penglihatan (Subjektif)
Lapangan pandang (Subjektif)
Melihat warna
Normal
Normal
(+)
Berbayang
Normal
(+)
Okulomotorius (III)
Sela mata
Pergerakan mata kearah medial,
inferior, torsi inferior
Pergerakan mata ke superior
Strabismus
Nystagmus
Exoptalmus
Refleks pupil terhadap sinar
Melihat kembar
Pupil besarnya
Midriasis
Ptosis
Normal
(+)
(-)
(-)
(+) horisontal
(-)
(-)
(-)
3 mm
(-)
(-)
Menurun
(-)
(-)
(+) divergen
(+) horisontal
(-)
(-)
(+)
4,5 mm
(+)
(+) ringan
Troklearis (IV)
Pergerakan mata (ke bawah-
keluar)
(+) (+)
Trigeminus (V)
Membuka mulut
Mengunyah
Menggigit
Palpasi Otot Masseter
Sensibilitas muka
(Taktil, Nyeri)
(+) terbatas
(+) kaku
(+) kaku
(+)
(+)
(+) terbatas
(+) kaku
(+) kaku
(+)
(+)
5 | S t r o k e H e m i p a r e s e A l t e r n a n s
Abdusens (VI)
Pergerakan mata ke lateral (+) (+)
Fasialis (VII)
Mengerutkan dahi
Menutup mata
Memperlihatkan gigi
Sudut bibir
Pengecapan (2/3) Anterior
(+)
(+)
(-)
(-)
(+)
(+)
(-)
(+)
(+)
(+)
Vestibulokoklearis (VIII)
Fungsi pendengaran (Subjektif)
Tes Scwabach
Tes Rinne
Tes Weber
Kepala berputar (Vertigo)
(+)
Normal
(+)
(+)
(+)
(+)
Normal
(+)
(+)
(+)
Glossofaringeus (IX)
Perasaan lidah (bagian belakang)
Refleks muntah
(+)
(+)
(+)
(+)
Vagus (X)
Bicara
Menelan
Arcus Pharynx
Uvula
Agak kaku
Sulit (sering tersedak)
Sulit dievaluasi
Sulit divaluasi
Assesorius (XI)
Mengangkat bahu
Memalingkan kepala
(+)
(+)
(+)
(+)
Hipoglossus (XII)
Pergerakan lidah
Atrofi
Deviasi ke kanan
(-)
Pemeriksaan Motorik, Sensorik dan Refleks
- Anggota Gerak Atas
6 | S t r o k e H e m i p a r e s e A l t e r n a n s
Kanan Kiri
Motorik
Bentuk/Massa Otot
Pergerakan
Kekuatan
Tonus
Normal
Agak lemah
4/4/4/4
Agak lemah
Normal
Normal
5/5/5/5
Normal
Sensibilitas
Taktil
Nyeri
(+)
(+)
(+)
(+)
Refleks fisiologis
Biseps
Triceps
Brachioradialis
(+4)
(+4)
(+4)
(+2)
(+2)
(+2)
Refleks patologis
Tromner
Hoffman
Leri
(+)
(+)
(+)
(-)
(-)
(-)
Anggota Gerak Bawah
Pemeriksaan Kanan Kiri
Motorik
Bentuk/Massa Otot
Pergerakan
Kekuatan
Tonus
Normal
Normal
4/4/4/4
Normal
Normal
Normal
5/5/5/5
Normal
Sensibilitas
Taktil
Nyeri
(+)
(+)
(+)
(+)
Refleks fisiologis
Patella (+4) (+2)
7 | S t r o k e H e m i p a r e s e A l t e r n a n s
Achilles (+4) (+2)
Refleks patologis
Babinski
Chaddock
Schaefer
Oppenheim
Gordon
Gonda
(+)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
Pemeriksaan tambahan
Tes Patrick
Tes kontra Patrick
(-)
(-)
(-)
(-)
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium :
Ruangan Angsoka, 27 November 2012
- Ureum : 23,7 mg/dl
- Creatinin : 1,2 mg/dl
D. DIAGNOSA
Diagnosa klinis : Stroke Hemiparese Alternans
Diagnosa topis : Parese N.III Komplit
Diagnosa etiologik : Infark Mesensefalon
SOL Mesensefalon
E. PENATALAKSANAAN
Terapi :
8 | S t r o k e H e m i p a r e s e A l t e r n a n s
- IVD RL 12 tpm
- Drip Neurobion 1 amp/hari
- Inj. Citicoline 2x500 mg
- Inj. Ketorolac 3x30 mg
- Inj Ranitidin 2x1 amp
- Paracetamol 3x500 mg
- Betahistin 3x6 mg
- Aspilet 80 mg 1x1
- Antasida syr 3xCI
- Fisioterapi
F. PROGNOSIS
Vitam : Dubia
Fungsionam : Dubia
Sanationam : Dubia
9 | S t r o k e H e m i p a r e s e A l t e r n a n s
FOLLOW UP RUANGAN
(Sejak 26 November 2012- 4 Desember 2012)
Tanggal Perjalanan Penyakit Terapi
26/11/2012 S: Nyeri kepala, mual, tetapi tidak
sampai muntah, kaki kanan terasa
lemah
O: CM, E4V5M6 TD : 130/85 mmHg,
nadi : 96x/menit, RR : 24 x/menit,
Temp : 36,50C, MMT
Babinsky (+/-)
A: Cephalgia
- IVFD RL 12 tetes per
menit
- Inj. Antrain 3x1 amp IV
- Inj. Ranitidin 2x1 amp IV
- Metilprednisolon tab 3x16
mg
27/11/2012 S: nyeri dada (+), mual (+), lemas (+).
O: CM, E4V5M6 TD : 130/90 mmHg,
nadi : 68x/menit, RR : 20 x/menit,
Temp : 36,5 0C, BU (+) N, NTE (-)
MMT
Babinsky
(+/-)
A: Cephalgia + Strabismus
- IVFD RL 12 tetes per
menit
- Inj. Antrain 3x1 amp IV
- Inj. Ranitidin 2x1 amp IV
- Metilprednisolon tab 3x16
mg
- MS CT Scan kepala +
Kontras
28/11/2012 S: Nyeri kepala, nyeri dada, mual,
penglihatan berbayang, sariawan.
O: CM, E4V5M6 TD : 110/70 mmHg,
nadi : 68x/menit, RR : 20 x/menit,
Temp : 36,5 0C, MMT
Babinsky (+/-)
A: Cephalgia + Strabismus + Suspect
SOL
- IVFD RL 12 tetes per
menit
- Inj. Ranitidin 2x1 amp IV
- Metilprednisolon tab 3x16
mg
- Paracetamol 500 mg 3x1
- MS CT Scan kepala +
Kontras
10 | S t r o k e H e m i p a r e s e A l t e r n a n s
4 5
4 5
4 5
4 5
4 5
4 5
29/11/12 S: Nyeri kepala, nyeri dada, mual,
muntah 1x, penglihatan berbayang,
lemas.
O: CM, E4V5M6 TD : 120/80 mmHg,
nadi : 72x/menit, RR : 20 x/menit,
Temp : 36,7 0C, MMT
Babinsky (+/-)
A: Cephalgia + Strabismus + Suspect
SOL
- IVFD RL 12 tetes per
menit
- Inj. Ranitidin 2x1 amp IV
- Paracetamol 500 mg 3x1
- Inj. Dexamethason 3x1
amp
- MS CT Scan kepala +
Kontras
30/11/12 S: Nyeri kepala, nyeri dada, mual,
muntah 2x, penglihatan berbayang.
O: CM, E4V5M6 TD : 130/90 mmHg,
nadi : 72x/menit, RR : 18 x/menit,
Temp : 36,2 0C, MMT
Babinsky (+/-)
A: Cephalgia + Strabismus + Suspect
SOL
- IVFD RL 12 tetes per
menit
- Inj. Ranitidin 2x1 amp IV
- Paracetamol 500 mg 3x1
- Inj. Dexamethason 3x1
amp
1/12/12 S: Nyeri kepala, nyeri dada, mual,
muntah 1x, penglihatan berbayang,
mata berair.
O: CM, E4V5M6 TD : 120/80 mmHg,
nadi : 68x/menit, RR : 20x/menit,
Temp : 36,2 0C, MMT
Babinsky (+/-),
A: Cephalgia + Strabismus + Suspect
SOL
- IVFD RL 12 tetes per
menit
- Inj. Ranitidin 2x1 amp IV
- Paracetamol 500 mg 3x1
- Inj. Ondansentron 3x1
amp
- Drip Neurobion 1 amp/hari
- Inj. Ketorolac 3x1 amp
3/12/12 S: Nyeri kepala, nyeri dada, mual,
muntah 1x, penglihatan berbayang,
mata berair.
O: CM, E4V5M6 TD : 120/80 mmHg,
nadi : 68x/menit, RR : 20x/menit,
Temp : 36,2 0C, MMT
- IVD RL 12 tpm
- Drip Neurobion 1 amp/hari
- Inj. Citicoline 2x500 mg
- Inj. Ondansentron 3x1
amp
- Inj. Ketorolac 3x30 mg
11 | S t r o k e H e m i p a r e s e A l t e r n a n s
4 5
4 5
4 5
4 5
4 5
4 5
4 5
4 5
Babinsky (+/-),
A: Cephalgia + Strabismus + Suspect
SOL
- Inj Ranitidin 2x1 amp
- Paracetamol 3x500 mg
- Betahistin 3x6 mg
- Aspilet 80 mg 1x1
- Antasida syr 3xCI
4/12/12 S: Nyeri kepala, nyeri dada, mual,
muntah, penglihatan berbayang, nyeri
dada, pusing berputar.
O: CM, E4V5M6 TD : 120/90 mmHg,
nadi : 72x/menit, RR : 20 x/menit,
Temp : 35,8 0C, MMT
Babinsky (-/-)
A:
Dx Klinis : Stroke Hemiparese
Alternans
Dx Topis : Parese N.III complete
Dx Etiologis : Infark Mesensefalon
SOL Mesensefalon
- IVD RL 12 tpm
- Drip Neurobion 1 amp/hari
- Inj. Citicoline 2x500 mg
- Inj. Ketorolac 3x30 mg
- Inj Ranitidin 2x1 amp
- Paracetamol 3x500 mg
- Betahistin 3x6 mg
- Aspilet 80 mg 1x1
- Antasida syr 3xCI
- Fisioterapi
12 | S t r o k e H e m i p a r e s e A l t e r n a n s
4 5
4 5
TINJAUAN PUSTAKA
A. Stroke Infark
I. Definisi Stroke Infark (Stroke Non Hemoragik)
Stroke merupakan suatu sindrom yang ditandai dengan gejala dan atau
tanda klinis yang berkembang dengan cepat yang berupa gangguan fungsional
otak fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam (kecuali ada
intervensi bedah atau membawa kematian) yang tidak disebabkan oleh sebab
lain selain penyebab vaskuler. Definisi ini mencakup stroke akibat infark otak
(Stroke Iskemik), perdarahan intraserebral (PIS) non traumatik, perdarahan
intraventrikuler dan beberapa kasus perdarahan subarachnoid (Warlow, Gijn,
Hankey, Sandercock, & Bamford, 2007)
Stroke infark merupakan stroke yang disebabkan oleh menurunnya aliran
darah ke otak akibat obstruksi pada pembuluh darah pada suatu area otak
sehingga area tersebut kekurangan nutrisi dan oksigen (Gofir, 2011)
II. Patofisiologi Stroke Infark
1. Mekanisme Aterosklerosis dan Atherotrombus
Aterosklerosis merupakan kerusakan dinding arteri akibat deposit
lemak/plak sehingga terjadi penyempitan dan pengerasan yang
menyebabkan berkurangnya fungsi pada jaringan yang disuplai oleh arteri
tersebut. Berulangnya kerusakan dinding arteri akan membentuk bekuan
darah yang disebut trombus. Pada proses ini akan terjadi penurunan aliran
darah lebih lanjut. Pada beberapa kasus thrombus akan membesar dan
menutup lumen arteri atau trombus dapat terlepas dan membentuk emboli
yang akan mengikuti aliran darah dan menyumbat arteri di daerah yang
lain.
Aterosklerosis dapat menyebabkan masalah kesehatan yang serius
seperti PJK (Penyakit Jantung Koroner), Stroke, dan penyakit arteri perifer
13 | S t r o k e H e m i p a r e s e A l t e r n a n s
tergantung arteri yang terkena (Gofir, 2011). Berikut merupakan proses
terjadi plak aterosklerosis :
Gambar 1. Proses pembentukan Plak Aterosklerosis
Keterangan :
1. Akumulasi lipoprotein pada tunika intima. Lipoprotein yang
tertimbun terutama adalah LDL dan VLDL. Hal ini bisa terjadi oleh
karena kebiasaan buruk seperti makan makanan tinggi kolestrol dan
jarang berolahraga.
2. Stress Oksidatif. Timbunan VLDL dan atau LDL akan dioksidasi
karena pembuluh darahnya mengalami jejas (stress)
3. Aktivasi Sitokin. Stress oksidatif akan menimbulkan reaksi inflamasi.
Sel-sel radang mengeluarkan mediator-mediator inflamasi berupa
sitokin seperti IL-2 (Interleukin-2) dan TNF (Tumor Necrosis Factor)
4. Penetrasi Monosit. Sel-sel radang juga menghasilkan semacam
Monocyte Chemotactic Factor, sehingga monosit akan melakukan
14 | S t r o k e H e m i p a r e s e A l t e r n a n s
penetrasi sampai ke dasar tunika intima dan kemudian berubah
menjadi makrofag.
5. Migrasi Makrofag dan Pembentukan Foam Cell. Makrofag
bermigrasi sambil memfagosit LDL yang tertimbun dan terbentuk sel
foam/sel sabun.
6. Migrasi Smooth Muscle Cell (SMCs). Selain migrasi makrofag,
terjadi migrasi SMCs dari tunika media vasa menuju tunika intima
yang akan menimbulkan akumulasi matriks.
7. Akumulasi Matriks Ekstra Seluler. Matriks ekstra seluler seperti
serabut hialin, kolagen, elastin, dan fibrosa. Matriks ini diproduksi
oleh SMCs.
8. Kalsifikasi dan Fibrosis. Adanya akumulasi matriks ekstraseluler
menimbulkan kalsifikasi dan fibrosis plak ateroma sehingga elastisitas
dan diameter pembuluh darah berkurang.
Atherosklerosis dan pembentukan plak yang terjadi selanjutnya
menghasilkan penyempitan atau oklusi arteri dan merupakan penyebab
stenosis arteri yang paling sering. Pembentukan trombus paling mungkin
terjadi pada area dimana aterosklerosis menyebabkan penyempitan
pembuluh darah yang paling berat.
2. Pembentukan Trombus
Endotel pembuluh darah yang normal bersifat anti-trombosis. Hal
ini disebabkan adanya glikoprotein dan proteoglikan yang melapisi sel
endotel serta adanya prostasiklin (PGI2) pada endotel yang bersifat
vasodilator dan inhibisi agregasi trombosit. Endotel yang mengalami
kerusakan akan menyebabkan darah berhubungan langsung dengan serat
kolagen pembuluh darah dan merangsang agregasi trombosit serta
pengeluaran bahan-bahan granula trombosit dan bahan-bahan dari
makrofag yang mengandung lemak.
Proses thrombosis pada pembuluh darah yang rusak melewati tiga
fase yakni :
15 | S t r o k e H e m i p a r e s e A l t e r n a n s
a) Adhesi trombosit. Merupakan proses perlekatan trombosit pada
jaringan sub-endotelial lewat interaksi antara glikoprotein Ib
dengan von wildebrand factor (vWF).
b) Perubahan bentuk dan sekresi. Merupakan tanda dari aktivasi
trombosit dimana bentuk trombosit yang awalnya bulat berubah
menjadi cakram akibat pembentukan pseudopodia yang kemudian
melekat pada endotel. Trombosit yang sudah aktif tadi kemudian
mensekresikan ADP (adhenosine diphospate) yang memulai proses
agregasi trombosit
c) Agregasi trombosit. Proses ini diawali dengan ADP yang
disekresikan oleh trombosit aktif yang membentuk agregasi primer
yang bersifat reversibel. Trombosit pada agregasi primer kemudian
akan mengeluarkan ADP lagi yang memicu proses agregasi
sekunder yang ireversibel. Selain ADP juga dibutuhkan kalsium
dan fibrinogen yang menunjang terjadinya agregasi trombosit.
Proses ini akan terus berlanjut dimana ADP juga akan disekresikan
bersama dengan tromboksan A2 yang menyebabkan trombosit lain
ikut beragregrasi ke tempat endotel yang rusak tadi.
3. Mekanisme Kematian Neuron pada Stroke Infark
Aliran darah otak (ADO) adalah jumlah darah yang menuju ke
otak. Otak orang dewasa menggunakan 20 % darah yang dipompa oleh
jantung pada saat keadaan istirahat dan darah dalam keadaan normal
mengisi 10 % dari ruang intracranial. ADO secara ketat meregulasi
kebutuhan dari metabolik otak, rata-rata aliran ADO dipertahankan 50
ml/100 gram jaringan otak per menit pada manusia dewasa. Sangat
penting untuk mempertahankan ADO dalam batas yang normal, karena
jika terlalu banyak maka akan meningkatkan tekanan intrakranial sehingga
akan menekan dan merusak jaringan otak, sedangkan terlalu sedikit ADO
akan menyebabkan suplai darah yang tidak adekuat. Iskemik akan terjadi
jika aliran darah ke otak dibawah 18-20 ml/100 gram otak per menit dan
16 | S t r o k e H e m i p a r e s e A l t e r n a n s
kematian jaringan otak terjadi bila ADO turun di bawah 8-10 ml/100 gram
jaringan otak per menit.
Berikut faktor-faktor yang mempengaruhi volume aliran darah ke
otak :
1. Faktor Intrinsik
a) Tekanan darah sistemik
b) Kemampuan jantung untuk memompa
c) Kualitas arteri karotis dan vertebrobasiler
d) Kualitas darah yang menentukan viskositas darah
2. Faktor Ekstrinsik
a) Autoregulasi cerebral
- Vasokonstriksi terjadi jika tekanan intra luminalnya
meningkat dan vasodilatasi terjadi jika tekanan
intraluminalnya menurun.
- Jika tekanan darah sistemik turun <50 mmHg
autoregulasi tidak lagi mampu mengatur ADO.
b) Biokimiawi Regional
- Kadar CO2
Peningkatan kadar CO2 menyebabkan vasodilatasi
arteri cerebral sehingga terjadi peningkatan ADO.
- Kadar O2
Peningkatan kadar O2 menyebabkan vasokonstriksi
sehingga terjadi penurunan ADO.
- Asam Laktat menyebabkan vasodilatasi
- PH darah
Asidemia akan meningkatkan ADO sedangkan
Alkalosis akan menurunkan ADO
c) Syaraf Otonom
Ketika perfusi ke otak menghilang dalam beberapa detik atau
menit akan menyebabkan terjadinya reaksi cascade iskemik yang
17 | S t r o k e H e m i p a r e s e A l t e r n a n s
menyebabkan gambaran pusat sentral area infark irreversible yang
dikelilingi oleh penumbra (potensial reversibel).
Gambar 2. Skema Kematian Neuron pada Stroke Infark
III. Klasifikasi Stroke Infark
1. Perjalanan Klinis
a) Transient Ischemic Attack (TIA)
Merupakan suatu gangguan akut dari fungsi fokal serebral yang
gejalanya berlangsung kurang dari 24 jam dan disebabkan oleh
trombus atau emboli.
18 | S t r o k e H e m i p a r e s e A l t e r n a n s
b) Reversible Ischemic Neurological Deficit (RIND)
Gejala pada RIND sama seperti TIA namun butuh waktu lebih lama
untuk menghilang. RIND akan membaik dalam waktu 24-48 jam,
sedangkan PRIND (Prolonged Reversible Neurological Deficit) akan
membaik dalam beberapa hari yakni 3-4 hari.
c) Stroke In Evolution (Progressing Stroke)
Pada bentuk ini, gejala dan tanda neurologis fokal terus memburuk
setelah 48 jam. Kelainan atau deficit neurologic yang timbul
berlangsung secara bertahap dari yang bersifat ringan menjadi lebih
berat.
d) Complete Stroke non hemmorhagic
Kelainan neurologis yang ada sifatnya sudah menetap, tidak
berkembang lagi. Kelainan neurologis yang muncul bermacam-
macam, tergantung pada daerah otak mana yang mengalami infark.
2. Oxfordshire Community Stroke Project Classification (OCSP)
Klasifikasi ini menggolongkan stroke iskemik berdasarkan gambaran
klinis pada waktu onset stroke muncul. Klasifikasi ini mempunyai
kelemahan pada penjelasan patofisiologi stroke, namun klasifikasi ini
memiliki kelebihan disisi kemudahan, kecepatan, dan tidak membutuhkan
pemeriksaan diagnostik yang banyak.
a) TACS (Total Anterior Circulation Syndrome)
Jika ditemukan trias gejala, yaitu : Hemiparesis (atau hemisensory
loss), disfasia (atau gangguan fungsi luhur yang lain) dan homonymous
hemianopia.
b) PACS (Partial Anterior Circulation Syndrome)
Jika hanya ditemukan dua dari tiga gambaran klinis di atas atau dengan
disfungsi kortikal tunggal atau deficit motorik dan sensorik sebagian
(misalnya hanya tangan saja)
c) LACS (Lacunar Syndrome)
19 | S t r o k e H e m i p a r e s e A l t e r n a n s
Jika ditemukan gangguan motorik murni, gangguan sensorik murni
atau ataksia hemiparesis.
d) POCS (Posterior Circulation Syndrome)
Jika ditemukan adanya gangguan batang otak, gangguan serebelum,
atau ditemukan hanya homonymous hemianopia.
IV. Diagnosis
1. Anamnesis
a) Karateristik Gejala dan Tanda
Modalitas yang terlibat (motorik, sensorik, visual)
Daerah anatomi yang terlibat
Apakah gejala tersebut fokal atau non fokal
Gejala Fokal : Gejala motorik (kelemahan atau kekakuan tubuh
satu sisi atau kedua sisi, gangguan menelan, gangguan
keseimbangan tubuh), Gangguan berbicara atau berbahasa
(kesulitan pemahaman atau ekspresi berbahasa, kesulitan
membaca/disleksia, atau menulis, kesulitan menghitung), Gejala
sensorik (perubahan kemampuan sensorik tubuh satu sisi).
Gejala Non Fokal : Kelumpuhan seluruh tubuh dan atau gangguan
sensorik, “Light Headedness”, pingsan, “Blackouts” dengan
gangguan kesadaran, inkontinensia urine atau feses, bingung,
tinnitus.
Apa kualitasnya (apkah negative misalnya hilangnya kemampuan
sensorik, hilangnya kemampuan motorik atau visual), ataukah
positif (misalnya menyebabkan sentakan tungkai limb jerking,
tingling, halusinasi)
b) Konsekuensi Fungsional
Misalnya tidak bisa berdiri, tidak bisa mengangkat tangan.
c) Kecepatan Onset dan Perjalanan Gejala Neurologis
Kapan gejala tersebut dimulai (hari apa dan jam berapa)
Apakah onsetnya mendadak ?
20 | S t r o k e H e m i p a r e s e A l t e r n a n s
Apakah gejala tersebut lebih minimal atau lebih maksimal saat
onset, apakah menyebar atau semakin parah secara bertahap, hilang
timbul, ataukah progresif dalam menit/jam/hari. Atau apakah ada
fluktuasi antara fungsi normal dan abnormal.
d) Apakah ada kemungkinan presipitasi?
Apakah yang pasien sedang lakukan pada saat dan tidak lama
sebelum onset?
e) Apakah ada gejala-gejala lain yang menyertai
Nyeri kepala, kejang epilepsi, panik, anxietas, muntah, neyri dada
f) Apakah ada riwayat penyakit dahulu atau riwayat penyakit
keluarga yang relevan
Apakah ada riwayat TIA atau stroke terdahulu
Apakah ada riwayat hipertensi, hiperkolestrolemia, diabetes
mellitus, angina, IMA, intermittent claudication atau arteritis.
g) Apakah ada perilaku atau gaya hidup yang relevan
Merokok, konsumsi alcohol, diet, aktivitas fisik, obat-obatan
(khususnya obat kontrasepsi oral, obat antitrombotik, antikoagulan)
2. Pemeriksaan Fisik dan Neurologis
Pada stroke infark, pemeriksaan fisik dan neurologis sama dengan
pemeriksaan gangguan saraf lainnya. Tujuannya adalah untuk menunjang
diagnosis dan mencari komplikasi sistemik dan neurologis dari stroke. Hal
ini harus dilakukan dengan cepat karena pada beberapa kasus pasien dalam
keadaan kritis dan butuh penanganan segera.
Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan kesadaran dengan
menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS). Hal ini dilakukan untuk
menilai kondisi kesadaran awal dan untuk mengikuti perkembangan
tingkat kesadaran.
Pemeriksaan selanjutnya yang penting adalah pemeriksaan tanda
rangsangan meningeal untuk mencari apakah ada tanda-tanda iritasi
selaput meningeal. Gejala subyektifnya meliputi sakit kepala, kuduk terasa
21 | S t r o k e H e m i p a r e s e A l t e r n a n s
kaku, fotofobia, hiperakusis dan opistotonus. Secara obyektif, hal ini dapat
dinilai dengan pemeriksaan kaku kuduk (Nuchal/Neck Rigidity), Lasegue,
Kernig, Brudzinsky I, dan Brudzinsky II.
Setelah itu, kita tanda dapat melakukan pemeriksaan fungsi saraf otak
(nervus cranialis). Pemeriksaan saraf otak (I-XII) dapat membantu untuk
menentukan lokasi dan jenis penyakit. Pemeriksaan Motorik juga harus
dilakukan karena sebaagian besar manifestasi objektif kelainan saraf. Pada
pasien dengan stroke infark terjadi kerusakan pada Upper Motor Neuron
(UMN) dengan karakteristik lumpuh, hipertoni, hiper refleksi dan klonus
serta reflex patologis. Pemeriksaan sensorik juga dilakukan untuk
mengetahui apakah ada komplikasi ke sistem sensorik.
3. Pemeriksaan Penunjang
Untuk pemeriksaan penunjang pada pasien dengan stroke, maka
pemeriksaan yang harusnya dilakukan adalah CT Scan, EKG, glukosa
darah, elektrolit serum, tes fungsi ginjal, hitung darah rutin, dan activated
partial thromboplastin time (aPTT).
V. Manajemen Terapi
1. Manajemen Umum Stroke
a) Memberikan life support (bantuan hidup) secara umum
1) Pembebasan jalan nafas dengan suction atau intubasi
2) Oksigenasi jika diperlukan untuk mencegah hipoksia
3) Pengendalian sirkulasi darah agar tidak terjadi penurunan perfusi ke
jaringan otak
4) Manajemen cairan dan elektrolit
5) Mengatur posisi kepala lebih tinggi 150-300 sehingga memperbaiki
venous return.
6) Mengatasi kejang
7) Mengatasi rasa nyeri
8) Menjaga suhu tubuh normal <37,50 C
9) Menghilangkan rasa cemas
22 | S t r o k e H e m i p a r e s e A l t e r n a n s
b) Meminimalkan lesi stroke
c) Mencegah komplikasi akibat stroke
d) Melakukan rehabilitasi
e) Mencegah timbulnya serangan ulang stroke
2. Manajemen Stroke Infark
a) Tatalaksana Hipertensi
Selama jam-jam pertama setelah onset gejala stroke, terapi
hipertensi berat menjadi masalah, karena penurunan mendadak tekanan
darah arteri dapat menyebabkan penurunan perfusi lokal yang
berbahaya. Manajemen hipertensi dilakukan tanpa obat kecuali bila
mean arterial pressure (MAP) lebih dari 140 mmHg atau tekanan
darah sistolik > 220 mmHg. Ini dikarenakan otoregulasi sirkulasi
serebral di dalam dan disekitar lesi iskemik terganggu, dan aliran darah
regional pada area tersebut berubah secara pasif seperti perubahaan
tekanan perfusi. Selain itu hamper pada semua kasus tekanan darah
akan turun dengan sendirinya dalam 1-2 minggu. Penggunaan terapi
anti hipertensi juga harus berhati-hati karena terdapat bukti klinis yang
menunjukkan efek merugikan dari penurunan tekanan darah yakni
perluasan infark.
b) Antikoagulan (LMWH, Heparin)
Pemakaian anti koaguloan yang mendesak dengan tujuan
pencegahan stroke rekuren, menghambat perburukan neurologis, atau
memperbaiki outcome setelah stroke iskemik akut tidak
direkomendasikan untuk terapi pada pasien stroke iskemik akut. Bagi
pasien dengan stroke iskemik atau TIA dengan AF persisten atau
paroksismal direkomendasikan anti koagulan adjusted-dose warfarin.
Pemakaian rutin antikoagulan tidak direkomendasikan untuk terapi
strike iskemik dan progressing stroke.
c) Antiplatelet agregasi
Pemberian aspirin oral (dosis awal 325 mg) dalam 24-48 jam setelah
onset stroke direkomendasikan. Bagi pasien dengan stroke iskemik
23 | S t r o k e H e m i p a r e s e A l t e r n a n s
non kardioembolik atau TIA, obat antiplatelet lebih direkomendasikan
dibanding antikoagulan oral untuk mengurangi resiko stroke rekuren
dan kejadian kardiovaskuler lainnya. Pilihan obat yang tersedia untuk
terapi awal adalah aspirin (50-325 mg), kombinasi aspirin dan
extended-release dipiridamol (25-200 mg) dan monoterapi clopidogrel
(75 mg).
B. Stroke Hemiparese Alternans
Karena lesi vaskular regional di otak akan menyebabkan terjadinya
hemipaaralisis atau hemiparesis yang kontralateral terhadap sisi lesi. Jika lesi
vaskular berada di daerah batang otak sesisi, maka akan menyebabkan
hemiparesis atau hemihipestesia alternans yang mana berarti pada tingkat lesi
hemiparesis atau hemihipestesia bersifat ipsilateral sedangkan pada bagian
distal dari lesi hemeiparesis atau hemihipestesi bersifat kontralateral.
Kerusakan unilateral pada kortikobulbar atau kortikospinal di tingkat
batang otak menimbulkan di tingkat batang otak menimbulkan sindrom
hemiplegia alternans. Sindrom tersebut terdiri atas kelumpuhan UMN yang
melanda otot-otot belahan tubuh kontralateral yang berada di bawah tingkat
lesi, sedangkan setingkat lesinya terdapat kelumpuhan LMN yang melanda
otot-otot yang disarafi oleh saraf kranial yang terlibat dalam lesi. Tergantung
pada lokasi lesi paralitiknya, dapatlah dijumpai sindrom hemiplegiaa alternans
di mesensefalon, pons, dan medulla oblongata.
1. Sindrom Hemiplegia Alternans Alternans di Mesensefalon
Gambaran penyakit tersebut di atas dijumpai bilamana hemilesi di
batang otak menduduki pedunkulus serebri di tingkat mesensefalon.
Nervus okulomotorius (N.III) yang hendak meninggalkan mesensefalon
melalui permukaan ventral melintasi daerah yang terkena lesi sehingga
ikut terganggu fungsinya. Hemiplegiaa alternans dimana nervus
okulomotorius ipsilateral ikut terlibat dikenal sebagai hemiplegiaa
alternans n. okulomotorius atau sindrom dari weber.
24 | S t r o k e H e m i p a r e s e A l t e r n a n s
Adapun manifestasi kelumpuhan n.III itu ialah (a) paralisis m.rectus
internus (medialis), m.rectus superior, m.rectus inferior, m.obliqus
inferior, dan m.levator palpebrae superior sehingga terdapat strabismus
divergen, diplopia jika melihat ke seluruh jurusan dan ptosis. (b) paralisis
m.sfingter pupilae, sehingga terdapat pupil yang melebar (midriasis).
Jika salah satu cabang dari rami perforantes paramedialis a. basilaris
yang tersumbat, maka infark akan ditemukan di daerah yang mencakup
dua pertiga bagian pedunkulus serebri dan nucleus ruber. Oleh karena itu,
maka hemiparesis alternans yang ringan sekali tidak saja disertai oleh
paresis ringan n.III, akan tetapi dilengkapi juga dengan adanya gerakan
involunter pada lengan dan tungkai yang paretic ringan (di sisi
kontralateral). Sindrom ini disebut dengan sindrom benedikt.
2. Sindrom Hemiplegia Alternans Alternans di Pons
Sebagaimana sudah disinggung di atas, sindrom hemiplegiaa di
pons disebabkan oleh lesi vascular unilateral. Selaras dengan pola
percabangan arteri-arteri maka lesi vaskuler di pons dapaat divagi di
dalam: (1) Lesi paramedian akibat penyumbatan salah satu cabang dari
rami perforantes medialis arteri basilaris (2) Lesi lateral yang sesuai
dengan kawasan perdarahan cabang sirkumferens yang pendek. (3) Lesi
di tegmenum bagian rostral pons akibat penyumbatan arteri serebeli
25 | S t r o k e H e m i p a r e s e A l t e r n a n s
superior. (4) lesi di tegmentum bagian kaudal pons yang sesuai dengan
kawasan perdarahan cabang sirkumferens yang panjang.
Hemiplegiaa alternans akibat lesi di pons adalah selamanya
kelumpuhan UMN yang melibatkan belahan tubuh sisi kontralateral, yang
berada di bawah tingkat lesi yang berkombinasi dengan kelumpuhan
LMN pada otot-otot yang disarafi oleh nervus abdusens (n.VI) atau
nervus fasialis (n.VII).
Jenis-jenis hemiplegia alternans di pons berbeda karena adanya
selisih derajat kelumpuhan UMN yang melanda lengan dan tungkai
berikut dengan gejala pelengkapnya yang terdiri dari kelumpuhan (LMN)
pada otot-otot yang disarafi oleh n. VI (abdusens) dan n.VII (fasialis) dan
gejala-gejala okuler.
Penyumbatan parsial dari terhadap salah satu cabang dari rami
perforantes medialis a. basilaris sering disusul oleh terjadinya lesi-lesi
paramedian. Jika lesi paramedian itu bersifat unilateral dan luas, maka
jaras kortikobulbar/kortikospinal berikut dengan inti-inti pes pontis serta
serabut-serabut pontoserebelar akan terusak. Tegmentum pontis tidak
terlibat dalam lesi tersebut. Manifestasi lesi semacam itu ialah
hemiplegiaa kontralateral, yang pada lengan lebih berat daripada tungkai.
26 | S t r o k e H e m i p a r e s e A l t e r n a n s
Jika lesi paramedian itu terjadi secara bilateral, maka kelumpuhan terlukis
diatas terjadi pada kedua sisi tubuh.
Jika lesi paramedian terletak pada baagian kaudal pons, maka akar
nervus abdusens tentu terlibat. Maka dari itu pada sisi lesi terdapat
kelumpuhan LMN m.rectus lateralis yang membangkitkan strabismus
konvergen ipsilateral, yang mencakup lengan tungkai sisi kontralateral
berikut dengan otot-otot yang dipersarafi oleh n.VII, n.IX, n.X, n.XI, dan
n.XII sisi kontralateral. Gambaran penyakit ini dikenal dengan nama
sindrom hemiplegiaa alternans nervus abdusens. Dapat juga terjadi suatu
lesi unilateral di pes pontis yang meluas ke samping sehingga melibatkan
juga daerah yang dilintasi n. fasialis. Sindrom hemiplegia alternans pada
sisi ipsilateral yang menyebabkan kelumpuhan LMN pada otot-otot yang
dipersarafi oleh n. abdusens dan n. fasialis dikenal sebagai sindrom
millard gubler. Jika serabut-serabut kortikobulbar untuk nukleus n.VI
ikut terlibat dalam lesi, mala “deviation conjugee” mengiringi sindrom
millard gubler. Kelumpuhan gerak bola mata yang konjugat itu dikenal
juga sebagai sindrom foville, sehingga hemiplegia alternans n. abdusens
et n. fasialis yang disertai sindrom foville itu disebut sindrom Foville-
Millard-Gubler.
3. Sindrom Hemiplegiaa Alternans Alternans di Batang Otak
Kawasan-kawasan vaskularisasi di medulla oblongata ternyata
sesuai dengan area lesi-lesi yang mendasari sindrom hemiplegiaa
alternans di medulla oblongata. Bagian paramedian medulla oblongata
diperdarahi oleh cabang a. vertebralis. Bagian lateralnya mendapat
vaskularisasi dari a. serebeli inferior posterior, sedangkan bagian
dorsalnya divaskularisasi oleh a. spinalis posterior dan a. serebeli inferior
posterior. Lesi unilateral yang menghasilkan hemiplegiaa alternans sudah
jelas harus menduduki kawasan pyramid sesisi dan harus dilintasi oleh
radiks n. hipoglossus. Maka dari itu, kelumpuhan UMN yang terjadi
melanda bagian tubuh kontralateral yang berada di bawah tingkat leher
27 | S t r o k e H e m i p a r e s e A l t e r n a n s
dan diiringi oleh kelumpuhan LMN pada belahan lidah sisi ipsilateral.
Itulah sindrom hemiplegia alternans nervus hipoglossus atau sindrom
medular medial.
Dejerine telah melukis sindrom tersebut berikut dengan
kuadriplegia UMN yang disertai kelumpuhan LMN bilateral pada lidah.
Sindrom itu disebabkan oleh lesi median yang bilateral. Selain itu juga
ada sindrom medular lateral, yang lebih dikenal dengan nama sindrom
Wallenberg. Gejala pokoknya ialah hemihipestesia alternans, yaitu
hipestesia pada belahan tubuh sisi kontralateral yang berkombinasi
dengan hipestesia pada belahan wajah ipsilateral.
C. Sindrom Weber (Sindrom Hemiplegia Alternans Alternans Mesensefalon)
Kelumpuhan piramidalis akibat lesi di batang otak merupakan gejala
bagian dari sindroma batang otak yang dapat diperinci dalam: (1) sindroma
mesensefalon (sindrom Weber, sindrom Benedict, sindrom Caude), (2)
sindrom pons (sindrom foville, sindrom Raymond-Cestan, sindrom Millard-
Gubler) dan (3) sindrom medulla oblongata (sindrom Pra-Olivar, sindrom
retro-Olivar, sindrom Lateralis/Wallenberg). Sindrom-sindrom tersebut terdiri
dari manifestasi gangguan motorik dan sensibilitas, bahkan manifestasi
gangguan sistema autonom juga bisa menjadi gejala tambahan.
28 | S t r o k e H e m i p a r e s e A l t e r n a n s
Kelumpuhan piramidalis akibat kelumpuhan di batang otak, tidak perduli
lokalisasinya, mempunyai satu ciri yang khas, yaitu: kelumpuhan UMN
kontralateral yang disertai oleh kelumpuhan saraf otak motorik atau defisit
sensorik akibat kerusakan pada saraf otak sensorik pada sisi dan tingkat lesi.
Kelumpuhan tersebut berupa hemiparesis. Dan hemiparesis yang diiringi
gangguan saraf otak tersebut dinamakan hemiparesis alternans.
Anatomi
Mesensefalon dapat dibagi dalam daerah-daerah yang sesuai dengan
kawasan arteri-arteri. (1) daerah di kedua sisi garis tengah, yang mengandung
inti nurvus okulomotorius, inti nervus trokhlearis, fasikulus longitudinalis
medialis dan satu per tiga bagian medial dari pedunkulus serebri, diperdarahi
oleh ramus perforantes medial dari arteria basilaris. Sebagai cabang arteria
basilaris yang menembus ke dalam mesensefalon dari bawah, tepat di garis
tengahnya, ia menuju ke dorsal dan memberikan cabang-cabang ke dua
samping kepada bangunan-bangunan tersebut tadi. (2) cabang-cabang arteria
basilaris yang menembus permukaan bawah mesensefalon di sisi lateral dari
29 | S t r o k e H e m i p a r e s e A l t e r n a n s
garis tengah mesensefalon dinamakan rami perforantes paramedialis. Cabang
ini mengurus vaskularisasi dua pertiga bagian lateral dari pedunkulus dan
hampir seluruh daerah nucleus rubber berikut substansia nigra. (3) bagian
tektum mesensefalon diperdarahi oleh cabang-cabang arteria serebeli superior
(kolikulus inferior) dan cabang-cabang arteria serebri posterior (kolikulus
superior).
Definisi
Sindrom Weber adalah suatu sindrom yang terdiri dari paralysis
okulomotor pada sisi yang sama dengan lesi, yang mengakibatkan ptosis,
strabismus, dan hilangnya refleks cahaya serta akomodasi, juga hemiplegi
spastik pada sisi yang berlawanan dengan lesi dengan peningkatan refleks-
refleks serta hilangnya refleks superfisial. Sindrom Weber disebut juga
Alternating oculomotor hemiplegia atau Weber’s paralysis atau hemiparesis
alternans nervus okulomotorius. Sindrom Weber dapat disebabkan oleh hal
sebagai berikut:
1. Penyumbatan pembuluh darah cabang samping yang berinduk pada
ramus perforantes medialis arteria basilaris.
2. Insufisiensi peredarah darah yang mengakibatkan lesi pada batang
otak.
3. Lesi yang disebabkan oleh proses neoplasmatik sebagai akibat invasi
dari thalamus atau serebelum. Lesi neoplasmatik sukar sekali
memperlihatkan keseragaman oleh karena prosesnya berupa
pinealoma, glioblastoma dan spongioblastoma dari serebelum.
4. Lesi yang merusak bagian medial pedunkulus serebri.
5. Stroke (perdarahan atau infark) di pedunkulus serebri.
6. Hematoma epiduralis.
7. Tumor lobus temporalis.
30 | S t r o k e H e m i p a r e s e A l t e r n a n s
Manifestasi Klinis
Manifestasi yang ditimbulkan dapat dengan mudah dimengerti oleh
karena setiap gejala dan tanda mencerminkan disfungsi sistem saraf yang
terlibat dalam lesi tertentu. Lesi yang disebabkan oleh proses neoplasmatik
dapat merusak bangunan-bangunan mesensefalon sebagai akibat invasi dari
thalamus atau serebelum. Oleh karena proses tersebut berupa pinealoma,
glioblastoma dan spongioblastoma dari serebelum, maka tiap corakan
kerusakan dapat terjadi, sehingga lesi neoplasmatik sukar sekali
memperlihatkan suatu keseragaman. Lesi unilateral di mesensefalon
mengakibatkan timbulnya hemiparesis atau hemiparesis kontralateral. Lesi
yang merusak bagian medial pedunkulus serebri akan menimbulkan
hemiparsis yang disertai paresis nervus okulomotorius ipsilateral. Kombinasi
kedua jenis kelumpuhan ini dikenal dengan nama hemiparesis alternans nervus
okulomotorius atau Sindroma dari weber. Lesi pada daerah fasikulus
longitudinalis medialis akan mengakibatkan timbulnya hemiparesis alternans
nervus okulomotorius yang diiringi juga dengan gejala yang dinamakan
oftalmoplegia interneklearis.
Diagnosis
Diagnosis sindroma dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis
tentang riwayat penyakit, termasuk juga riwayat keluhan, berapa lama keluhan
sudah timbul dan apakah unilateral ataukah bilateral. Pemeriksaan saraf
biasanya dapat dilakukan dan dapat sangat membantu untuk menentukan
adanya sindroma weber.
Pemeriksaan nervus okulomotorius biasanya dilakukan bersama-sama
dengan pemeriksaan nervus troklearis dan nervus abdusen, pemeriksaan
tersebut terdiri atas:
1. Celah kelopak mata
Pasien disuruh memandang lurus ke depan, kemudian dinilai
kedudukan kelopak mata terhadap pupil dan iris.
31 | S t r o k e H e m i p a r e s e A l t e r n a n s
2. Pupil
Yang perlu diperiksa adalah (1) ukuran: apakah normal (diameter 4-5
mm), miosis, midriasis atau pin pont pupil (2) bentuk: apakah normal,
isokor atau anisokor (3) posisi: apakah central atau eksentrik (4) refleks
pupil: refleks cahaya langsung dan tidak langsung.
3. Gerakan Bola Mata
Fungsi otot-otot ekstrinsik bola mata dinilai dengan gerakan bola mata
ke-enam arah yaitu lateral, medial, lateral atas, medial atas, medial atas
dan medial bawah, cara: pasien menghadap ke depan dan bola mata
digerakkan menurut perintah atau mengikuti arah objek.
Kelainan-kelainan yang dapat terjadi
a. Kelemahan otot-otot bola mata (opthalmoparese/opthalmoplegi) berupa : (1)
gerakan terbatas (2) kontraksi sekunder dari anta-gonisnya (3) strabismus (4)
diplopia
b. Nistagmus (gerakan bolak-balik bola mata yang involunter) dapat terlihat saat
melihat ke samping, atas dan bawah.
32 | S t r o k e H e m i p a r e s e A l t e r n a n s
PEMBAHASAN
Pasien atas nama Ny. NW usia 35 tahun dengan keluhan kelemahan pada
tangan kanan dan kaki kanan. Kelemahan ini juga diikuti dengan pandangan yang
berbayang, nyeri kepada, kepala terasa seperti berputar, mual dan muntah. Selain
iti juga didapatkan tanda-tanda kelumpuhan pada n. III (Oculomotor), dengan
tanda berupa ptosis ringan dan midriasis pada mata sebelah kiri, refleks cahaya
yang negatif, mata yang tampak juling ke lateral (strabismus divergens) dan
padangan yang berbayang (diplopia). Awalnya diduga oleh pasien hal ini
disebabkan pencabutan gigi yang terasa nyeri pada awalnya. Dari hasil radiologi
pemeriksaan diketahui bahwa ada lesi infark di serebellum dan adanya massa pada
lobus paretal kiri.
Fakta Kasus Teori
ANAMNESIS
Pasien mengeluhkan kelemahan
pada kaki dan tangan kanan.
Awalnya pasien mengeluhkan sakit
gigi pada seluruh gigi bawah
Bola mata kiri pasien tampak lebih
ke pinggir, seperti sulit dibuka,
pandangan berbayang.
Kepala pusing disertai sakit kepala.
Tidak riwayat kejang.
Nyeri kepala dirasakan semakin
memberat sampai pada akhirnya
mengeluhkan lemah anggota gerak
kanan.
Gangguan ini muncul tiba-tiba dan
sejak awal terkena sampai sekarang
Stroke merupakan suatu sindrom
yang ditandai dengan gejala dan
atau tanda klinis yang berkembang
dengan cepat yang berupa gangguan
fungsional otak fokal maupun
global yang berlangsung lebih dari
24 jam yang tidak disebabkan oleh
sebab lain selain penyebab vaskuler.
Jika lesi vaskular berada di daerah
batang otak sesisi, maka akan
menyebabkan hemiparesis atau
hemihipestesia alternans yang mana
berarti pada tingkat lesi hemiparesis
atau hemihipestesia bersifat
ipsilateral sedangkan pada bagian
33 | S t r o k e H e m i p a r e s e A l t e r n a n s
tidak ada perburukan gejala. distal dari lesi hemeiparesis atau
hemihipestesi bersifat kontralateral.
PEMERIKSAAN FISIK DAN NEUROLOGIS
Pupil Anisokor (OD 2 mm/OS 4,5
mm), Refleks Cahaya (-)
Penglihatan berbayang pada mata
kiri
Lapangan pandang menurun pada
daerah vertikal
Pergerakan mata ke superior,
medial, inferior, torsi inferior tidak
ada pada mata kiri, sedangkan pada
mata kanan hanya tidak bisa
bergerak ke superior
Strabismus (+) pada mata kiri tipe
lateral (Divergen)
Pada mata sebelah kiri pupil tampak
midriasi, dan juga taampak ptosis
ringan.
Sulit untuk membuka mulut,
mengunyah dan menggigit karena
terasa kaku, dominan pada sebelah
kiri.
Sulit untuk memperlihatkan gigi,
sudut bibir tampak asimetris pada
sebelah kiri
Bicara terasa berbeda dan agak
kaku, dan saat menelan sering
tersedak.
Kelemahan motorik pada sisi dextra
ekstremitas superior dan inferior
Kerusakan unilateral pada
kortikobulbar atau kortikospinal di
tingkat batang otak menimbulkan di
tingkat batang otak menimbulkan
sindrom hemiplegia alternans.
Sindrom tersebut terdiri atas
kelumpuhan UMN yang melanda
otot-otot belahan tubuh kontralateral
yang berada di bawah tingkat lesi,
sedangkan setingkat lesinya terdapat
kelumpuhan LMN yang melanda
otot-otot yang disarafi oleh saraf
kranial yang terlibat dalam lesi.
Bila hemilesi di batang otak
menduduki pedunkulus serebri di
tingkat mesensefalon. Nervus
okulomotorius (N.III) yang hendak
meninggalkan mesensefalon melalui
permukaan ventral melintasi daerah
yang terkena lesi sehingga ikut
terganggu fungsinya. Hemiplegiaa
alternans dimana nervus
okulomotorius ipsilateral ikut
terlibat dikenal sebagai hemiplegiaa
alternans n. Okulomotorius
Manifestasi kelumpuhan n.III itu
ialah (a) paralisis m.rectus internus
(medialis), m.rectus superior,
34 | S t r o k e H e m i p a r e s e A l t e r n a n s
Sensasi taktil dan nyeri masih bagus
pada seluruh tubuh
Seluruh refleks fisiologis meningkat
pada sisi tubuh bagian kanan
Tidak tampak atropi pada kedua sisi
otot ekstremitas
Refleks patologis (Babinsky, Leri,
Tromner, Hofman) positif
m.rectus inferior, m.obliqus inferior,
dan m.levator palpebrae superior
sehingga terdapat strabismus
divergen, diplopia jika melihat ke
seluruh jurusan dan ptosis. (b)
paralisis m.sfingter pupilae,
sehingga terdapat pupil yang
melebar (midriasis).
Sindrom Weber adalah suatu
sindrom yang terdiri dari paralysis
okulomotor pada sisi yang sama
dengan lesi, yang mengakibatkan
ptosis, strabismus, dan hilangnya
refleks cahaya serta akomodasi, juga
hemiplegi spastik pada sisi yang
berlawanan dengan lesi dengan
peningkatan refleks-refleks serta
hilangnya refleks superfisial
LAMPIRAN
35 | S t r o k e H e m i p a r e s e A l t e r n a n s
1. CT Scan Kepala Polos
2. MS CT Scan Kepala dengan Kontras (Potongan HLP)
36 | S t r o k e H e m i p a r e s e A l t e r n a n s
3. MS CT Scan Kepala dengan Kontras (Potongan HRA)
37 | S t r o k e H e m i p a r e s e A l t e r n a n s
4. MS CT Scan Kepala dengan Kontras
38 | S t r o k e H e m i p a r e s e A l t e r n a n s
5. MS CT Scan Kepala dengan Kontras
39 | S t r o k e H e m i p a r e s e A l t e r n a n s
6. Hasil pembacaan foto CT Scan kepala tanpa kontras
40 | S t r o k e H e m i p a r e s e A l t e r n a n s
7. Hasil pembacaan foto MS CT Scan kepala dengan kontras
DAFTAR PUSTAKA
41 | S t r o k e H e m i p a r e s e A l t e r n a n s
Ada lesi radiolusen kecil pada hemisphere sinistra anterior, tampak pada scan 9 dan 10
Tidak tampak mass, mass effect, shifting dari midline ataupun kalsifikasipatologis
pada intrakranial
Ventricular system normal. Cysterna dalam batas normal
Daerah basis cranii, cavum nasii dan cavum orbitales tidak tampak kelainan
Tidak tampak fraktur atau kelainan pada ossa capitis
Aerasi ossa mastoid baik
Ada perselubungan pada sinus maxillaries dextra, scan 16
Kesan : SNH ringan pada hemisphere sinistra anterior
MSCT Scan kepala dengan kontras, irisan axial, coronal dan sagital menunjukkan :
Sinus paranasalis normal
Tampak gambaran area hypodens di daerah fossa posterior cerebellum sisi dextra
dengan densitas 19-24 NU
Sistem ventrikel baik, midlineshift (-)
Mengesankan suatu infrak cerebri di cerebellum dan periventrikular lateral/capsula
interna dekstra
Tampak pula gambaran massa bulat di parietal sinistra dengan densitas 21-40 NU,
curiga suatu massa di daerah parietal sinistra
DD : Meningioma
Glioma
Gofir, A. (2011). Manajemen Stroke. Yogyakarta: Pustaka Cendikia Press.
Warlow, C., Gijn, V., Hankey, G., Sandercock, P., & Bamford, J. (2007). Stroke In : a practical guide to management. London: Blackwell Science.
42 | S t r o k e H e m i p a r e s e A l t e r n a n s