laporan keuangan komisi-komisi – gkmi...

29
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Era Globalisasi yang dipicu oleh perkembangan tekhnologi membawa dampak kemajuan dalam segala hal. Ilmu pengetahuan berkembang pesat pada segala dimensinya, Informasi menjalar dan merambah segi-segi kehidupan manusia hingga menembus ranah- ranah pribadi, jalur komunikasi pun melesat cepat mempersempit jarak. Dunia yang begitu luas terasa makin menciut, batas-batas sosial dan budaya menjadi kabur, transformasi kehidupan manusia pun mengalami percepatan-percepatan yang tak terprediksikan. Orang tidak perlu mengunjungi dan atau berinteraksi langsung dengan masyarakat dari belahan dunia yang lain untuk mengetahui perkembangan yang ada, atau mengetahui trend-trend yang sedang hangat dibicarakan (trending topic). Dengan duduk di belakang meja dan menghadapi layar komputer dengan akses internet yang canggih, orang dapat dengan cepat “menjelajah dunia” dan mempelajari ragam pengetahuan, gaya hidup maupun cara berpikir lintas budaya, lintas bangsa dan lintas keyakinan. Segala input yang masuk potensial memberikan pengaruh bagi gaya hidup dan cara berpikir seseorang. Pengaruh inipun dengan cepat menyebar luas menembus ragam komunitas dan menghasilkan perubahan- perubahan yang memoles tata kehidupan manusia. Di tengah-tengah dunia yang serba mudah berubah inilah Tuhan menempatkan gereja-Nya. Gelombang demi gelombang perubahan pun turut masuk dan mewarnai tata kelola dan nafas hidup bergereja. Tata ibadah mengalami pembaharuan, khotbah-khotbah dituntut mengikuti perkembangan zaman, disain-disain arsitektural mendapat sentuhan-sentuhan baru, demikian juga dengan penataan administrasi, organisasi hingga kepemimpinan gerejawi. Gereja di tempatkan Allah dalam dunia ini untuk menjadi garam dan terang bagi dunia (Matius 5:13-14). Hal ini membawa konsekuensi bahwa gereja tidak dapat memisahkan diri dari dunia, namun pada saat yang bersamaan gereja pun dituntut untuk mengembangkan sikap kritis dan memberi rasa pada dunia. Dalam doanya, Yesus pernah berkata “Aku tidak meminta, supaya Engkau mengambil mereka dari dunia, tetapi supaya Engkau melindungi mereka dari pada yang jahat” (Yohanes 17:15). Dalam perjalanan sejarah, gereja memang telah menunjukkan kemampuan untuk bertahan di tengah berbagai situasi yang mengitarinya. Sistem organisasi dan pola kepemimpinan tertata begitu rupa dan digunakan selama berabad-abad. Namun kenyataannya dunia belum berhenti berputar ©UKDW

Upload: duongmien

Post on 07-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: LAPORAN KEUANGAN KOMISI-KOMISI – GKMI EBENHAEZERsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/51130003/e0457d... · tidak perlu mengunjungi dan ... kritis dan realistis

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH

Era Globalisasi yang dipicu oleh perkembangan tekhnologi membawa dampak

kemajuan dalam segala hal. Ilmu pengetahuan berkembang pesat pada segala dimensinya,

Informasi menjalar dan merambah segi-segi kehidupan manusia hingga menembus ranah-

ranah pribadi, jalur komunikasi pun melesat cepat mempersempit jarak. Dunia yang begitu

luas terasa makin menciut, batas-batas sosial dan budaya menjadi kabur, transformasi

kehidupan manusia pun mengalami percepatan-percepatan yang tak terprediksikan. Orang

tidak perlu mengunjungi dan atau berinteraksi langsung dengan masyarakat dari belahan

dunia yang lain untuk mengetahui perkembangan yang ada, atau mengetahui trend-trend

yang sedang hangat dibicarakan (trending topic). Dengan duduk di belakang meja dan

menghadapi layar komputer dengan akses internet yang canggih, orang dapat dengan cepat

“menjelajah dunia” dan mempelajari ragam pengetahuan, gaya hidup maupun cara berpikir

lintas budaya, lintas bangsa dan lintas keyakinan. Segala input yang masuk potensial

memberikan pengaruh bagi gaya hidup dan cara berpikir seseorang. Pengaruh inipun

dengan cepat menyebar luas menembus ragam komunitas dan menghasilkan perubahan-

perubahan yang memoles tata kehidupan manusia. Di tengah-tengah dunia yang serba

mudah berubah inilah Tuhan menempatkan gereja-Nya. Gelombang demi gelombang

perubahan pun turut masuk dan mewarnai tata kelola dan nafas hidup bergereja. Tata

ibadah mengalami pembaharuan, khotbah-khotbah dituntut mengikuti perkembangan

zaman, disain-disain arsitektural mendapat sentuhan-sentuhan baru, demikian juga dengan

penataan administrasi, organisasi hingga kepemimpinan gerejawi.

Gereja di tempatkan Allah dalam dunia ini untuk menjadi garam dan terang bagi

dunia (Matius 5:13-14). Hal ini membawa konsekuensi bahwa gereja tidak dapat

memisahkan diri dari dunia, namun pada saat yang bersamaan gereja pun dituntut untuk

mengembangkan sikap kritis dan memberi rasa pada dunia. Dalam doanya, Yesus pernah

berkata “Aku tidak meminta, supaya Engkau mengambil mereka dari dunia, tetapi supaya

Engkau melindungi mereka dari pada yang jahat” (Yohanes 17:15). Dalam perjalanan

sejarah, gereja memang telah menunjukkan kemampuan untuk bertahan di tengah berbagai

situasi yang mengitarinya. Sistem organisasi dan pola kepemimpinan tertata begitu rupa

dan digunakan selama berabad-abad. Namun kenyataannya dunia belum berhenti berputar

©UKDW

Page 2: LAPORAN KEUANGAN KOMISI-KOMISI – GKMI EBENHAEZERsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/51130003/e0457d... · tidak perlu mengunjungi dan ... kritis dan realistis

2

dan perubahan masih terus terjadi. Masa depan merupakan terra incognita (wilayah yang

belum dikenal dan sulit diperkirakan bentuknya)1, yang menawarkan ragam kemungkinan

perubahan atas pola kehidupan, budaya maupun sistem sosial termasuk di dalamnya

tatanan dan dinamika hidup bergereja. Fenomena global ini memaksa seluruh tatanan

kehidupan untuk berani mengoreksi diri, mengambil kebijakan, dan membangun nilai-nilai

yang mampu berdiri kokoh di tengah kisaran zaman. Tak terkecuali dengan gereja dan

para pemimpinnya.

Sebuah statemen di keluarkan oleh Paus Yohanes XXIII saat membuka Konsili

Vatikan II, yaitu “aggiornamento”2, yang berarti bahwa gereja perlu membuka diri,

membaharui diri dan menyesuaikan dengan situasi terkini. Sebaik-baiknya gereja di masa

lalu dalam menata sistem bergereja dan pola kepemimpinan, perubahan yang ada menuntut

gereja untuk berani membuka diri, mengadakan pembaharuan-pembaharuan dengan kreatif

dan menyesuaikan diri secara kontekstual dengan situasi serta tuntutan yang ada agar

gereja tidak tertinggal atau ditinggalkan oleh anggota-anggotanya. Apabila gereja berhenti

dan berpuas diri, maka statemen yang dimunculkan Eddie Gibbs menjadi sebuah

peringatan :

“Gereja-gereja yang gagal membaca dan menafsirkan tanda-tanda

zaman

beresiko menghadapi masa depan yang suram”3.

Ketika gelombang perubahan zaman menarik gereja dalam arus perubahan, maka

tak pelak pemimpin pun menghadapi tantangan sekaligus tuntutan untuk mengalami

pembaharuan. Bahkan jauh sebelum pergeseran dan ragam perubahan menjamah gereja,

teks Alkitab telah menunjukkan data-data sahih tentang kemungkinan perubahan dalam

pola kepemimpinan, misalnya dalam model kepemimpinan Musa. Paradigma baru dalam

kepemimpinan Musa yang mengalami pergeseran dari model kepemimpinan “strong and

powerfull leadership” kepada “sharing leadership” merupakan tonggak penting bagi para

pemimpin untuk melihat fleksibilitas dalam kepemimpinan. Perubahan ini

menghembuskan nafas segar dalam dunia yang berbudaya paternalistik, bahkan menjadi

model penting dalam diskusi dan pemikiran mengenai perkembangan kepemimpinan di era

modern ini. Kepemimpinan merupakan bagian yang penting dalam kehidupan manusia dan

1 Benny Salindeho, “Mengelola Perubahan di Era Reformasi”, dalam STT Jakarta, Kepemimpinan Kristiani:

Spiritualitas, Etika, dan Tekhnik-tekhnik kepemimpinan dalam Era Penuh Perubahan, (Jakarta: Penerbit Sekolah Tinggi Teologia, 2001), h.44

2 http://vatican2voice.org/3butlerwrites/aggiorna.htm, secara etimologi berarti “A bringing up to date”

3 Eddie Gibbs, Kepemimpinan Gereja Masa Mendatang: Membentuk dan Memperbarui Kepemimpinan yang

Mampu Bertahan dalam Zaman yang Berubah, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), h. 3

©UKDW

Page 3: LAPORAN KEUANGAN KOMISI-KOMISI – GKMI EBENHAEZERsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/51130003/e0457d... · tidak perlu mengunjungi dan ... kritis dan realistis

3

tak terpisahkan, sehingga – tidak mungkin tidak – Alkitab tidak bisa bungkam mengenai

masalah yang satu ini4. Namun Alkitab tidak pernah menawarkan satu model

kepemimpinan yang ready for use dalam segala konteks zaman. Alkitab hanya

memberikan prinsip-prinsip, pola-pola atau model-model kepemimpinan yang masih

membutuhkan daya kreatif dan inovatif untuk mereaktualisasikannya dalam situasi yang

kongkret. Sehingga perubahan-perubahan dalam situasi kongkret yang menyekitari para

pemimpin gereja menjadi dorongan dan alasan utama bagi para pemimpin untuk

mengembangkan daya kreatifnya agar kepemimpinannya tetap up to date serta mampu

menjawab kebutuhan zaman dan jemaat seiring perubahan yang ada.

Namun tidak semua pemimpin gereja tanggap terhadap tuntutan ini. Krisis

kepemimpinan seringkali terjadi bukan semata-mata karena ketidakmampuan para

pemimpin mengalami perubahan dan pembaharuan, melainkan karena ketidakmauan dan

ketakutan untuk keluar dari zona kenyamanan. Baik kenyamanan atas situasi/sistem yang

stabil dan terprediksi, maupun kenyamanan atas kekuasaan yang melekat pada pola

kepemimpinan lama sebagai pusat segalanya. Perubahan memang berarti gejolak, dan

gejolak seringkali tampil dalam wajah ketidakpastian. Hal inilah yang melahirkan

keraguan dan ketakutan untuk melangkah. Kestabilan bahkan stagnasi menjadi pilihan

karena minim resiko dibandingkan perubahan, sekalipun hal ini dapat berdampak

“kematian” / krisis pada diri pemimpin. Myron Rush mengingatkan bahwa krisis

kepemimpinan seperti ini akan berdampak bagi krisis pengikut, dan krisis pengikut akan

berdampak bagi kepemimpinan masa depan5

Krisis pada diri pemimpin gereja nampak dalam berbagai bentuk. Misalnya

ketiadaan sukacita dalam pelayanan, terjebak dalam rutinitas tanpa ujung pangkal,

membeku dalam belenggu kelelahan tanpa akhir, kemalasan mengembangkan kreatifitas,

hilangnya kekuatan otoritas/pengaruh untuk mengatasi persoalan, pudarnya hasrat

memelihara spiritualitas pribadi, terkontaminasi oleh kepahitan/kekecewaan yang

berdampak stress dan mudah curiga dengan rekan pelayanan atau jemaat. Akibatnya kalau

tidak angkat kaki meninggalkan pelayanan, seorang pemimpin akan meringkuk tanpa daya

“seperti landak tanpa duri”6 hingga emiritus organisasi maupun “emiritus alami” datang

menjemput.

4 Eka Darmaputera, “Kepemimpinan: Perspektif Alkitab” dalam STT Jakarta, Kepemimpinan Kristiani:

Spiritualitas, Etika, dan Tekhnik-Tekhnik Kepemimpinan dalam Era Penuh Perubahan, (Jakarta: Penerbit Sekolah Tinggi Teologia, 2001), h.2

5 Myron D.Rush, Pemimpin Baru, (Jakarta: Yayasan Pekabaran Injil Immanuel, 1993) h.7

6 Eddie Gibbs, Kepemimpinan Gereja Masa Mendatang, h.17

©UKDW

Page 4: LAPORAN KEUANGAN KOMISI-KOMISI – GKMI EBENHAEZERsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/51130003/e0457d... · tidak perlu mengunjungi dan ... kritis dan realistis

4

Menyitir balik apa yang dikatakan oleh Bill Hybels bahwa “Vitalitas gereja yang

berjuang terletak pada pemimpinnya”7 maka jelas bahwa peran pemimpin gereja sangat

mempengaruhi dinamika kehidupan bergereja. Ketika pemimpin gereja hanya melakukan

aktivitas rutin namun tidak ada gairah kehidupan atau tidak menghasilkan perubahan maka

gereja pun akan mengalami “zombification” dan “pengerdilan”8, yaitu suatu keadaan yang

nampaknya hidup namun sebenarnya mati, atau nampaknya bertumbuh namun tidak

berbuah. Menurut Eka Darmaputera, itulah masa ketika gereja terjebak dalam stagnasi,

yaitu ketika gereja berjalan di tempat, berputar-putar dan tertimbun dalam “rutinisme,

formalisme dan verbalisme”9 sehingga kehilangan fungsi positif, kritis dan realistis dalam

perkembangan masyarakat10

. Dengan makna senada, Hadiwitanto mengutip statemen John

Cobb yang menyebut kondisi semacam ini sebagai “kesuaman” (lukewarmness), yaitu

ketika pemimpin gereja tidak lagi mengembangkan teologi, dan ini menyebabkan gereja

gagal menjawab berbagai perubahan dan melakukan misinya di dalam dunia11

. Hal ini –

mau tidak mau – terkait dengan peran pemimpinnya, karena pemimpin yang baik menjadi

syarat mutlak bagi pertumbuhan, kestabilan dan kemajuan kelompok apapun12

. Tanpa

pemimpin yang baik, gereja akan sulit bertumbuh atau berkembang. Kalaupun bergerak,

geraknya pun sekedar maju mundur, ke sana kemari dan tanpa arah13

.

Kenyataan ini seharusnya mendorong para pemimpin gereja untuk berani

mendefinisikan ulang model kepemimpinan mereka sekaligus menantang para pemimpin

untuk menata ulang bentuk, metode dan gaya kepemimpinannya. Keberanian ini akan

menjadi sebuah ancangan revolusioner yang mendobrak pola kemapanan sekaligus

membuka peluang memasuki ranah baru model kepemimpinan yang lebih terbuka

terhadap perubahan dan pengubahan.

“Di balik setiap pelayanan yang berhasil/berjaya selalu ada pemimpin

yang berani dan berorientasi melayani” 14

Demikian dikatakan oleh Bill Hybels, seorang pemimpin yang telah berpengalaman

memimpin lebih dari 30 tahun pada Willow Creek Community Church di Amerika Utara

7 Bill Hybels, Kepemimpinan Yang Berani, (Batam: Gospel Press, 2004), h. 26

8 Kenneth Cloke dan Joan Goldsmith dalam Eddie Gibbs, Kepemimpinan Gereja Masa Mendatang, h. 16

9 Eka Darmaputera, Kepemimpinan dalam Perspektif Alkitab, (Yogyakarta: Kairos Books, 2005), h.32

10 Eka Darmaputera, “Pertumbuhan Gereja dan Konteks Kontemporer Indonesia” dalam Makalah Seminar Pertumbuhan Gereja (Jakarta: Panitia SPG, 1989), h.54

11 Handi Hadiwitanto, “Teologi Praktis-Empiris, Pembangunan Jemaat dan Relevansi Pemikiran Pdt.Prof.E.Gerrit Singgih, Ph.D”, dalam Victorius A.Hamel dkk, Sang Guru dari Labuang Baji, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), h.125

12 Eka Darmaputera, “Kepemimpinan: Perspektif Alkitab”, h.1

13 Ibid

14 Bill Hybels, Kepemimpinan Yang Berani, h. 27

©UKDW

Page 5: LAPORAN KEUANGAN KOMISI-KOMISI – GKMI EBENHAEZERsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/51130003/e0457d... · tidak perlu mengunjungi dan ... kritis dan realistis

5

dan berhasil mengembangkan jemaat tersebut dari “segelintir orang menjadi kekuatan

Kerajaan Allah yang tersebar di seluruh dunia”. Keberanian seorang pemimpin bukan

hanya ketika menghadapi tantangan dan resiko perubahan, melainkan juga keberanian

untuk keluar dari zona nyaman, memahami realita dengan jujur dan membangun kesadaran

diri yang kuat terhadap peran kepemimpinannya. Keberanian dan kejujuran tersebut

merupakan tanggung jawab mendasar yang harus dimiliki seorang pemimpin untuk dapat

menjalankan peran kepemimpinannya dengan benar.

Namun sayangnya model kepemimpinan gereja di Indonesia masih menunjukkan

pola-pola yang perlu dikaji ulang karena tidak berdampak positif bagi pembangunan

jemaat. Beberapa fenomena persoalan yang menggambarkan situasi kepemimpinan gereja

di Indonesia antara lain :

1. Orientasi nilai budaya Indonesia yang tertuju vertikal ke atas15

menyebabkan

kepemimpinan cenderung berpola hierarkis. Menurut teori elite kekuasaan Suzanne

Keller sebagaimana dikutip oleh Budiarjo, seorang pemimpin hierarkis berada di

puncak piramida kekuasaan16

. Karena posisi ini, maka model kepemimpinan yang

dijalankan pun cenderung berdasarkan kekuasaan dan otoritas, baik dilakukan

dengan cara force/tekanan maupun persuasi. Pola ini akhirnya menempatkan

pemimpin sebagai “pusat segalanya”. Jaringan kerja pada pola kepemimpinan

hierarki lebih bersifat formal daripada sebagai tim kerja, karena yang terjadi lebih

banyak kepemimpinan tunggal sementara anggota tim hanyalah pelaksana.

Kepemimpinan seperti ini rentan bagi munculnya penyakit “narsisisme” sebagai

konsekuensi alami kedudukannya17

. Pada dirinya akan muncul keyakinan bahwa

hanya dia saja yang dapat mengambil keputusan dan didukung oleh semua orang.

Bahkan dalam keyakinan akan otoritas kepemimpinannya, ia sangat meyakini

bahwa hanya keputusannya yang paling benar dan tepat. Pemimpin seperti ini akan

sulit bekerja dalam sebuah “team work”, karena ia tidak dapat melihat kebenaran

yang dimungkinkan muncul dari pendapat yang berbeda dan juga akan sulit melihat

adanya potensi pada jemaat. Apabila dalam satu gereja terdapat lebih dari satu

pemimpin maka pola hierarki akan memperkuat persaingan. Menurut Nouwen, hal

ini disebabkan karena godaan menjadi populer, hebat dan berkuasa merupakan

15

Koentjoroningrat, “Kepemimpinan dan Kekuasaan : Tradisional, Masa Kini, Resmi dan Tak Resmi”, dalam Budiardjo, Miriam (ed), Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa (Jakarta: Sinar Harapan, 1984) h.142

16 Miriam Budiardjo, “Konsep Kekuasaan : Tinjauan Kepustakaan”, dalam Ibid, h.22-23

17 Brian P.Hall, Panggilan Akan Pelayanan : Citra Pemimpin Jemaat, (Yogyakarta: Practical Theology Project Universitas Kristen Duta Wacana dan Yogyakarta: Penerbit Kanisius ; Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992) h.57

©UKDW

Page 6: LAPORAN KEUANGAN KOMISI-KOMISI – GKMI EBENHAEZERsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/51130003/e0457d... · tidak perlu mengunjungi dan ... kritis dan realistis

6

salah satu godaan berat bagi para pemimpin18

. Godaan ini paling erat melekat pada

model kepemimpinan yang dibangun di atas kekuasaan, jabatan dan otoritas.

Kepemimpinan seperti ini menimbulkan persoalan bagi sang pemimpin

sendiri maupun bagi gereja yang dipimpinnya. Pemimpin yang menanggung beban

sendirian akan mengalami kelelahan, keputusasaan dan kekeringan spiritualitas19

.

Dengan jujur, Nolan mengatakan :

“Kita saling membutuhkan. Tidak ada jenis spiritualitas yang

sempurna yang dapat saya peroleh tanpa bantuan orang lain. Jika

sungguh tidak ada orang yang membantu saya, tidak ada seorangpun

untuk berbagi maka perkembangan saya akan berhenti”20

.

Sehebat apa pun seorang pemimpin, ia tidak akan sanggup menanggung segala hal

sendirian. Ia membutuhkan orang-orang yang turut memikul beban bersamanya,

saling berbagi dan menguatkan serta terlibat dalam jaringan kepemimpinan yang

saling melengkapi.

Menarik untuk dipertimbangkan apa yang dikatakan Peter Wiwcharruck

yang dikutip oleh Eka Darmaputera, yaitu :

“Bila sebuah jemaat terkondisi untuk menerima tradisi bahwa

seluruh wewenang dan tanggungjawab itu semata-mata ada di

tangan pendeta atau hanya di tangan satu kelompok eksklusif di

lapisan puncak, maka hampir dipastikan akan terjadi ini : 80 %

warga jemaat, lambat atau cepat, akan mengalami situasi spiritual

yang suam, pasif dan apatis. 10 % menanggapinya dengan positif;

sedangkan 10 % sisanya akan mengabaikan sama sekali

kepemimpinan yang ada. Mereka akan mencari jalan mereka sendiri.

Tidak jarang mereka tersesat dan menemui kesulitan serius “di

tengah jalan” 21

.

Terlepas dari kebenaran terhadap angka prosentase yang disebutkan, memang

sangat dimungkinkan hal ini terjadi, karena ketergantungan pada kepemimpinan

terpusat akan melemahkan kreatifitas dan mematikan daya juang jemaat, terlebih di

era yang penuh godaan, tawaran dan perubahan seperti sekarang ini. Bahkan tidak

mustahil hal ini akan melemahkan gereja di masa depan.

Perkembangan ilmu pengetahuan – khususnya tekhnologi informasi –

membuka kesadaran adanya banyak area yang tidak terjangkau oleh satu orang atau

18

Henri J.M.Nouwen, Dalam Nama Yesus: Permenungan tentang Kepemimpinan Kristiani, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), h.17-19

19 Flora Slosson Wuellner, Gembalakanlah Gembala-Gembala-Ku, Penyembuhan dan Pembaruan Spiritual bagi Para Pemimpin Kristen, (Jakarta : Gunung Mulia, 2012) h.16

20 Albert Nolan, Jesus Today : Spiritualitas Kebebasan Radikal, (Yogyakarta: Kanisius, 2009) h.247

21 Eka Darmaputera, Kepemimpinan dalam Perspektif Alkitab, h. 32

©UKDW

Page 7: LAPORAN KEUANGAN KOMISI-KOMISI – GKMI EBENHAEZERsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/51130003/e0457d... · tidak perlu mengunjungi dan ... kritis dan realistis

7

sekelompok orang tertentu. Pemimpin tidak akan mampu menjangkau semuanya, ia

harus membangkitkan partisipasi dan potensi jemaat. Menanggapi perkembangan

zaman di abad XXI ini, Jimmy Oentoro mengatakan :

“Kepemimpinan Kristen seharusnya bersifat demokratis, yang

terwujud melalui penggalangan sinergi dan membangun suasana

share leadership, yaitu kepemimpinan yang dengan penuh

kepercayaan membagikan kekuasaan, keputusan bahkan

pengikut”22

.

2. Pada umumnya para pemimpin gereja memasuki pelayanannya pada sebuah gereja

yang telah terstruktur begitu rupa dengan sistem yang sudah jelas dan terpelihara

bertahun-tahun lamanya. Kehadirannya dalam lingkup komunitas gereja tersebut

adalah sebagai pendatang yang diundang/ditugaskan untuk dijadikan sebagai

pemimpin di wilayah baru tersebut. Itulah sebabnya muncul masa

orientasi/penjajagan/magang yang intinya merupakan tahap pengenalan dan

adaptasi, baik dari pihak yang dipimpin terhadap (calon) pemimpinnya maupun

dari (calon) pemimpin terhadap konteks jemaat yang dipimpinnya.

Persoalan yang muncul pada diri pemimpin dalam situasi ini adalah upaya

penyesuaian diri terhadap apa yang sudah ada dan berlaku. Keberhasilan ditentukan

oleh kemampuannya menjadi “sama/sesuai” dengan warna, kebiasaan dan

dinamika yang ada. Akibatnya seorang pemimpin dapat dengan mudah terjebak

dalam lingkaran status quo dan mengalir bersama arus yang sudah terpola tanpa

ada daya maupun hasrat untuk melakukan perubahan. Gereja pun akhirnya berjalan

stagnan, mengalir begitu saja dari waktu ke waktu tanpa ada perkembangan atau

perubahan yang berarti sekalipun berulang kali terjadi pergantian kepemimpinan.

Orang pun terbangun dengan mental models “biasanya begini, dari dulu juga

sudah begitu” yang prinsipnya merupakan penolakan atas perubahan.

Kepemimpinan yang ada cenderung melanjutkan apa yang ada dan sudah

berlangsung bertahun-tahun lamanya, seolah-olah apa yang lama dan stabil selalu

diartikan baik dan tepat. Padahal belum tentu demikian, karena zaman sudah

berubah begitu rupa.

Kreatifitas pemimpin pun akan “terberangus” karena dalam kreatifitas

senantiasa tersimpan kemungkinan perubahan, sementara di balik perubahan

tersimpan kemungkinan pertentangan, dan dibalik pertentangan senantiasa terbuka

22

Jimmy Oentoro, Pemimpin Rohani Abad XXI, Kepemimpinan dan pembinaan Warga Gereja, (Jakarta: Yayasan Wahana Dharma Nusa, 1998), h.210

©UKDW

Page 8: LAPORAN KEUANGAN KOMISI-KOMISI – GKMI EBENHAEZERsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/51130003/e0457d... · tidak perlu mengunjungi dan ... kritis dan realistis

8

kemungkinan penolakan (baca : pemecatan). Pemimpin tidak lagi memiliki fungsi

kritis kepemimpinan sebagai “pengendali, penggerak, pendorong dan pengubah”23

,

melainkan pemimpin yang “dikendalikan, digerakkan, didorong dan diubah” oleh

lingkungan/komunitas yang dipimpinnya. Padahal seorang pemimpin pada

prinsipnya adalah mereka yang membuat sesuatu terjadi, They make things

happen24

, artinya pada diri seorang pemimpin seharusnya terdapat kapasitas dan

otoritas untuk melakukan sesuatu, termasuk perubahan-perubahan.

Fenomena ini menunjukkan bahwa gereja membutuhkan model

kepemimpinan yang kritis, berani membuat keputusan/perubahan yang tepat dan

bijaksana bagi kebaikan komunitas sekaligus berani mengambil resiko dan

menanggungnya. Dalam orasi ilmiah di hadapan para winisuda program pasca

sarjana STT INTI – Bandung pada tgl. 18 Agustus 2009 di bawah tajuk

“Kepemimpinan Transformatif”, Frans Magnis Suseno menyatakan :

” Seorang pemimpin transformatif harus mempunyai keberanian.

Masyarakat memerlukan pimpinan karena mereka berhadapan

dengan tantangan, ancaman dan masalah. Tantangan, ancaman dan

masalah hanya bisa diatasi dengan keberanian. Karenanya, seorang

pemimpin harus memperlihatkan bahwa ia orang yang berani

mengambil keputusan yang berat, berani memilih kebijakan yang

tidak populer jika diperlukan, dan berani

mempertanggungjawabkan kebijaksanaan yang tidak populer

tersebut kepada mereka yang dipimpinnya”25

.

3. Percepatan dunia yang diakibatkan ledakan perkembangan ilmu pengetahuan dan

tekhnologi, khususnya komunikasi dan informasi menghembuskan perubahan yang

cepat dan radikal dalam berbagai aspek yang berdampak pada transformasi yang

luas dalam peta kehidupan manusia. Pemimpin gereja tidak jarang berada dalam

kebingungan arah. Imbas dari kebingungan ini bukan hanya merusak konsepsi jati

diri, ajaran, moral, etika dan pelayanan, namun juga membawa jemaat dalam

keadaan bertanya dan mencari, sehingga tidak jarang mereka terjebak ke dalam

“jalan yang disangka lurus tetapi ujung-ujungnya menuju maut” (Ams 14:12).

Ketika menghadapi perubahan dan kebingungan seperti ini, orang akan

cenderung berpaling kepada pemimpinnya yang dianggap lebih mampu membaca

dan mengetahui masalah, dan memiliki kemampuan untuk menunjukkan jalan yang

23

Eka Darmaputera, Kepemimpinan dalam Perspektif Alkitab, h.15 24

Eka Darmaputera, Kepemimpinan dalam Perspektif Alkitab, h.13 25

Frans Magnis Suseno, “Kepemimpinan Transformatif”, dalam http://sttinti.ac.id/welcome/95-artikel1/126-transformatif.html , di unduh pada tgl. 24/4/2015

©UKDW

Page 9: LAPORAN KEUANGAN KOMISI-KOMISI – GKMI EBENHAEZERsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/51130003/e0457d... · tidak perlu mengunjungi dan ... kritis dan realistis

9

harus ditempuh26

. Mereka menginginkan arahan, kepercayaan dan meletakkan

harapan pada para pemimpin. Yaitu pemimpin yang mampu memberikan solusi,

memunculkan visi yang jauh melebihi masa kini, menyodorkan skenario alternatif

yang dapat mengatasi ancaman dan memberdayakan orang-orang yang

dipimpinnya untuk sigap dan tanggap dalam menghadapi perubahan. Eka

Darmaputera menegaskan bahwa :

“Kualitas kepemimpinan seorang pemimpin ditentukan oleh

kepekaan serta kemampuannya untuk melakukan apa yang tepat,

pada saat yang tepat, dengan cara yang tepat”27

.

Ini berarti para pemimpin gereja perlu bersikap lebih proaktif daripada reaktif,

mampu berpikir action-oriented, kritis dan positif serta memiliki ketrampilan nyata

dalam kepemimpinan yang membuat dirinya dapat dipercaya dan dapat menjadi

tumpuan harapan jemaat.

Namun celakanya banyak pemimpin gereja pada masa kini yang tidak

cukup bertumbuh dalam hikmat dan pengetahuan dalam memimpin jemaat. Tidak

jarang dijumpai pemimpin yang justru ikut terjebak dalam kebingungan-

kebingungan yang sama, sehingga mungkinkah “orang buta menuntun orang

buta”? (Mat 15:14). Hybells menyerukan bahwa :

“Gereja setempat adalah harapan dunia dan masa depannya

terletak di tangan para pemimpinnya”28

.

Hal itu berarti seorang pemimpin harus memiliki sikap, nilai-nilai, visi dan hikmat

yang memampukannya menjawab pergolakan yang ada sekaligus menjadi sumber

inspirasi bagi jemaat. Seorang pemimpin memang bukan “kamus” yang bisa

menjawab segala pertanyaan, pergumulan dan kebingungan jemaat. Namun

seorang pemimpin harus menyadari dirinya sebagai pembelajar yang dituntut untuk

terus mengembangkan diri, potensi, ketrampilan dan tidak cukup puas/berhenti

dengan apa yang dimiliki.

4. Persoalan dan tantangan lain yang dijumpai dalam kepemimpinan gereja masa kini

juga nampak dari fakta teralienasinya kaum awam dalam gelanggang pelayanan.

Meskipun gereja memiliki banyak anggota dan berlimpah sumber daya manusia

(SDM) namun kerapkali dijumpai barisan “pengangguran kaum awam” yang

mengindikasikan bahwa gereja kurang memberikan perhatian serius bagi

26

Benny Salindeho, “Mengelola Perubahan di Era Reformasi”, h.44 27

Eka Darmaputera, Kepemimpinan dalam Perspektif Alkitab, h.17 28

Bill Hybels, Kepemimpinan Yang Berani, h.28

©UKDW

Page 10: LAPORAN KEUANGAN KOMISI-KOMISI – GKMI EBENHAEZERsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/51130003/e0457d... · tidak perlu mengunjungi dan ... kritis dan realistis

10

pemberdayaan jemaat atau kurang melibatkan jemaat secara aktif. Kepemimpinan

masih berkutat pada orang-orang yang sama dalam kurun waktu yang lama.

Regenerasi kepemimpinan berada pada titik terendah. Jemaat menjadi penonton

daripada pemain, pasif daripada aktif, pengikut daripada pemimpin. Akibatnya

tingkat mobilitas gereja menjadi kecil, lemah dan stagnan.

Demokratisasi sebagai wajah dari kebangkitan kaum awam sebenarnya

akan menjadi kekuatan luar biasa jika gereja mampu membangun sinergi yang

memadukan semua kekuatan dan potensi jemaat. Tetapi demokratisasi juga

berpotensi memunculkan iritasi dan friksi jika tidak diimbangi dengan

pemberdayaan yang memadai. Di sinilah kepemimpinan ditantang untuk mampu

merangkul dan membekali jemaat dengan pendidikan/pengajaran yang seimbang

antara aspek kognitif, afektif dan aktif dalam gerak pertumbuhan dan pelayanan.

Dengan demikian jemaat akan menyadari dirinya sebagai bagian dari komunitas

yang berharga dan dapat berkontribusi di dalamnya.

Gereja memerlukan perubahan paradigma dalam hal kepemimpinan. Bukan

sekedar pemimpin yang menempati posisi/status formal, melainkan sebuah model

kepemimpinan yang mampu menembus dan merangkul seluruh lapisan komunitas,

sekaligus dapat menjawab kebutuhan masa kini dan berwawasan ke masa depan (visioner).

Dalam wacana kepemimpinan modern, konsep-konsep kepemimpinan yang mengandalkan

tangan besi dan kekerasan telah semakin ditinggalkan29

, demikian juga dengan model

kepemimpinan tunggal maupun “strong and powerful leadership”. Teori-teori

kepemimpinan pada masa kini telah mengalami perkembangan begitu rupa sehingga

semakin memberikan ruang dan kesempatan bagi model-model kepemimpinan yang

hangat, bersahabat dan memberikan dorongan (encouraging), menghargai pentingnya

apresiasi dan penyataan perasaan (expressing feeling), mendamaikan konflik dan

perbedaan (harmonizing), bersedia mengalah dan mengubah diri terhadap pendapat orang

yang dipimpin (compromising), memperlancar keikutsertaan anggota (gatekeeping)30

hingga model kepemimpinan yang berbagi, memberdayakan, melengkapi, menggerakkan

dan mengubahkan (transformational). Hal ini dibutuhkan bagi kepemimpinan dalam

organisasi-organisasi, tak terkecuali dalam kepemimpinan gereja.

29

Andreas Harefa, “Visi dan Misi Kepemimpinan Kristen” dalam STT Jakarta, Kepemimpinan Kristiani, h.35 30

Charles J.Keating, Kepemimpinan: Teori dan Pengembangannya, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1986) h.10

©UKDW

Page 11: LAPORAN KEUANGAN KOMISI-KOMISI – GKMI EBENHAEZERsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/51130003/e0457d... · tidak perlu mengunjungi dan ... kritis dan realistis

11

Bagi Ted W.Engstrom, karakteristik seorang pemimpin memang seharusnya

merujuk pada kemampuan untuk membuat sesuatu terjadi, bertindak untuk membantu

orang lain dalam lingkup pengaruhnya, sehingga lewat dorongan dan stimulasi, orang lain

ditolong untuk merealisasikan potensinya secara penuh sehingga dapat memberikan

kontribusi maksimal31

. Di sini nampak adanya korelasi erat antara perubahan

(transformational) dengan pemberdayaan (empowering/energizing). Kedua hal tersebut

pada prinsipnya merupakan menjadi ide dasar dari model kepemimpinan transformatif32

.

Perubahan yang dimaksudkan di sini berbeda dengan perubahan yang disebabkan karena

force/tekanan melainkan perubahan yang muncul dari dalam diri jemaat karena termotivasi

dan terinspirasi dari pemimpinnya. Di dalamnya tidak ada paksaan, melainkan

kesukarelaan bahkan tidak jarang tanpa disadari oleh yang bersangkutan karena terlahir

dari kesadaran, pergumulan dan harapan bersama. Kepemimpinan ini tidak leader-oriented

melainkan follower-oriented, tidak otoriter melainkan kooperatif. Visi pemimpin tidak

lagi menjadi visi tunggal melainkan menjadi visi bersama (common vision) dan pekerjaan

kepemimpinan tidak lagi menjadi beban tunggal di bahu pemimpin melainkan berada

dalam jalinan kerja untuk mencapai tujuan bersama. Jemaat tidak lagi menjadi penonton

melainkan sebagai pemain yang partisipatif dan turut bertanggung jawab bagi dinamika

struktural dan tumbuh kembang gereja. Pada kenyataannya, jemaat akan mampu menaruh

apresiasi terhadap efektifitas pelayanan ketika pemimpin gereja mampu membawa

transformasi positif yang melibatkan jemaat33

. Transformasi ini pada gilirannya akan

menghasilkan perubahan yang menghasilkan regenerasi dan kualifikasi kepemimpinan

yang memadai bagi pelayanan dan pembangunan jemaat.

Dalam kehidupan bergereja di GKMI, penyusun melihat bahwa topik

kepemimpinan merupakan hal yang serius digumulkan, bukan hanya bagi gereja-gereja

pada umumnya, namun juga di lingkungan GKMI. Pengembangan dan peningkatan

kualitas pemimpin gereja merupakan agenda penting. Misalnya dalam konven pendeta

dan penyusunan Pernyataan Iman Bersama (PIB) pada tanggal 16 Juni 2015 di Jepara,

Sinode GKMI mengangkat topik kepemimpinan yang dilanjutkan pembahasannya di

lingkungan gereja-gereja lokal maupun wilayah. Demikian juga dengan dimunculkannya

langkah-langkah spesifik terkait dengan penjaringan, pembekalan dan evaluasi/ujian

31

Ted W.Engstrom, The Making of Christian Leader (Michigan, Zondervan Publishing House,1999), h.20 32

Jerry C. Wofford, Kepemimpinan Kristen yang Mengubahkan, (Yogyakarta: Penerbit Andi,2001) h.9 ; bdk Eka Darmaputera, “Kepemimpinan: Perspektif Alkitab”, h.14.

33 Agus Lay , Kepemimpinan yang Efektif di Tengah-Tengah Tantangan dan Peluang Abad 21, (Kudus: Lembaga Pelayanan Mahasiswa Indonesia, 1997) h.2

©UKDW

Page 12: LAPORAN KEUANGAN KOMISI-KOMISI – GKMI EBENHAEZERsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/51130003/e0457d... · tidak perlu mengunjungi dan ... kritis dan realistis

12

peremptoar bagi para calon pemimpin gereja. Hal tersebut menunjukkan bahwa topik

kepemimpinan menjadi urgensitas ketika gereja berpikir ke arah pengembangan jemaat di

masa depan. Keberadaan pemimpin diakui memiliki peranan besar yang dapat membawa

kemajuan atau sebaliknya, dapat menyebabkan gereja mengalami stagnasi, kemunduran

bahkan rentan dengan persoalan-persoalan tak terselesaikan. Bahkan dapat yang berujung

pada perpecahan gereja. Secara faktual, GKMI Ebenhaezer merupakan salah satu gereja

yang terbentuk akibat perpecahan terkait konflik internal. Sekalipun ada banyak faktor

terkait di dalamnya, namun peranan pemimpin dan para pengambil keputusan merupakan

bagian yang tidak terpisahkan atas tragedi tersebut. Sebagai bagian dari GKMI dan selaku

pemimpin jemaat GKMI Ebenhaezer, pergumulan tersebut menjadi salah satu pendorong

bagi penyusun untuk berupaya menggali, menemukan dan mengembangkan model

kepemimpinan yang dapat meningkatkan kualitas kepemimpinan gereja di lingkungan

GKMI. Upaya ini merupakan bagian kecil dari pergumulan kepemimpinan gereja dalam

pengertian yang lebih luas, namun setidaknya melalui pemikiran-pemikiran dalam tesis

ini, penyusun dapat turut ambil bagian dan memberikan kontribusi bagi gereja di mana

penyusun telah terhisab di dalamnya.

Secara khusus, dalam konteks jemaat GKMI Ebenhaezer, hal kepemimpinan gereja

merupakan sebuah harapan dan pergumulan penting bagi gereja. Pertama, GKMI

Ebenhaezer merupakan gereja yang masih muda – berusia 7 tahun pada tahun 2015 ini -

dan sedang bertumbuh menuju gereja yang dewasa. Dalam perjalanan pertumbuhan

tersebut, sangat dibutuhkan adanya model kepemimpinan yang dapat menunjang arah

pertumbuhan gereja. Kedua, sebagai gereja yang terbentuk akibat perpecahan, penyusun

melihat adanya ketidakpuasan yang berimbas pada harapan terhadap model kepemimpinan

gereja. Perpecahan menimbulkan kekecewaan dan ketidakpercayaan terhadap pemimpin

gereja yang dianggap cenderung terpusat pada pribadi/kelompok tertentu, lebih

menekankan otoritas kekuasaan daripada keperdulian pada aspirasi jemaat, serta kurang

tanggap dan peka dalam menjawab krisis34

. Hal ini memunculkan harapan adanya

pemimpin yang berbeda dengan model kepemimpinan tersebut. Untuk itu dibutuhkan

sebuah model kepemimpinan sebagaimana harapan jemaat, yaitu kepemimpinan yang

berorientasi pada jemaat sekaligus memiliki kemampuan sebagai problem solver dalam

krisis yang menggoyahkan jemaat.

34

Kesimpulan ini berdasarkan pada analisa sejarah, brainstorming dan hasil penelitian CSI (Conggregational Systems Inventory) sebagaimana tertuang dalam paper ekklesiologi-kontekstual yang telah dipertahankan penyusun dalam ujian peremptoar Sinode GKMI, November 2014, h.11, 17, 45

©UKDW

Page 13: LAPORAN KEUANGAN KOMISI-KOMISI – GKMI EBENHAEZERsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/51130003/e0457d... · tidak perlu mengunjungi dan ... kritis dan realistis

13

Model kepemimpinan transformatif merupakan model kepemimpinan yang

memberikan penekanan kuat pada orientasi pada pengikut (follower-oriented), namun juga

menekankan sisi keteladanan pemimpin sebagai sumber pengaruh yang melampaui

kekuatan otoritas kekuasaan. Kepemimpinan yang juga memiliki orientasi kuat pada

perubahan paradigma, sikap hidup dan pemberdayaan jemaat ini merupakan model

kepemimpinan yang menarik untuk dikaji dan dikembangkan, baik dalam ranah

kepemimpinan lokal maupun terkait pergumulan sinodal. Di dalamnya terdapat ruang yang

besar bagi pembelajaran bahkan reframing dalam memandang kesalahan, luka maupun

kegagalan untuk menemukan perspektif baru bagi pengembangan yang lebih baik. Bagi

model kepemimpinan ini, menemukan hal-hal yang positif, realistis dan indah, dipandang

lebih perlu daripada berorientasi pada masa lalu. Dan hal ini menjadi daya pendorong

positif untuk mengarahkan gerak bersama yang berorientasi pada masa depan yang lebih

baik

1.2. RUMUSAN MASALAH.

Apabila paparan dan harapan tersebut ditarik ke dalam konteks GKMI Ebenhaezer

maka rumusan masalah yang menjadi acuan penelitian tesis ini berporos pada pertanyaan

mengenai bagaimanakah sebuah model kepemimpinan transformatif dapat dimengerti dan

diterapkan sebagai model kepemimpinan gereja di GKMI Ebenhaezer.

Rumusan masalah tersebut mengerucut dalam beberapa pertanyaan penelitian,

yaitu :

1. Apa pengertian yang sesungguhnya dari model kepemimpinan transformatif ?

Pertanyaan ini mengarah pada upaya pencarian jawaban terhadap model

kepemimpinan transformatif secara teoritis-konseptual beserta aspek-aspek yang

terkait di dalamnya. Baik terhadap metode kepemimpinan yang dijalankan maupun

komponen -komponen atau variabel utama yang dibutuhkan oleh pemimpinnya.

2. Bagaimanakah pemahaman dan pengharapan (idealisme) jemaat terhadap model

kepemimpinan gereja yang tepat ?

Pertanyaan ini mengarah pada penggalian empiris terhadap konsep

kepemimpinan ideal yang dipahami dan diharapkan jemaat, serta menemukan titik

singgungnya dengan konsep kepemimpinan transformatif. Jawaban atas pertanyaan

ini akan menjadi salah satu skala ukur untuk mengkaji apakah kepemimpinan

transformatif mampu menjawab idealisme jemaat sekaligus sebagai batu pijak yang

©UKDW

Page 14: LAPORAN KEUANGAN KOMISI-KOMISI – GKMI EBENHAEZERsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/51130003/e0457d... · tidak perlu mengunjungi dan ... kritis dan realistis

14

melahirkan action point bagi langkah konstruktif berkesinambungan menuju ke

model kepemimpinan transformatif yang tepat guna bagi gereja.

3. Seberapa jauh model kepemimpinan transformatif ini dapat diejawantahkan bagi

kepemimpinan gereja di GKMI Ebenhaezer ?

Esensi dari pertanyaan ini pertama-tama adalah menemukan dasar teologis

melalui kajian biblika yang diperjumpakan dengan teoritis-konseptual

kepemimpinan transformatif dan empiris-praktis idealisme jemaat. Kajian biblika

akan menjadi batu uji dan titik acu bagi pengejawantahan model kepemimpinan

transformatif sebagai model kepemimpinan gereja. Hal ini mengingat bahwa model

kepemimpinan ini pertama-tama justru muncul dari dunia kepemimpinan dan

literatur sekuler35

, karena itu penerapan dalam konteks bergereja membutuhkan

landasan teologis yang perlu digali melalui studi biblika sekaligus kesesuaian

dengan konteks lokal kehidupan bergereja di GKMI Ebenhaezer. Jawaban atas

pertanyaan ini selanjutnya akan menjadi kerangka model yang mengacu pada

pengejawantahan kepemimpinan transformatif bagi GKMI Ebenhaezer. Mendarat

tidaknya sebuah konsep sangat ditentukan oleh interaksi antara teks (pustaka dan

biblika) dengan konteks36

. Kerangka berpikir akademis-biblika-empiris dengan

aksentuasi pada kepemimpinan ini pada gilirannya akan mewarnai teologia praktis

pembangunan jemaat dan dinamika kehidupan bergereja di GKMI Ebenhaezer .

1.3. TUJUAN PENELITIAN

Tesis ini dibuat dengan tujuan :

1. Secara teoritis : Meneliti model kepemimpinan transformatif sebagai salah satu model

kepemimpinan melalui kajian pustaka

2. Secara teologis : Menemukan dasar – dasar teologis melalui kajian biblika yang

memungkinkan kepemimpinan transformatif menjadi model yang dapat diterapkan bagi

kepemimpinan gereja.

3. Secara empiris : Meneliti dan mendapatkan sebuah deskripsi dan analisa terhadap

pemikiran dan harapan jemaat GKMI Ebenhaezer mengenai kepemimpinan gereja yang

ideal sesuai konteks lokal dan kebutuhan jemaat.

35

Jerry C. Wofford, Kepemimpinan Kristen yang Mengubahkan, h.7 36

Emanuel Gerrit Singgih, Berteologia dalam Konteks: Pemikiran-Pemikiran mengenai Kontekstualisasi Teologi di Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius dan Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000) h.88

©UKDW

Page 15: LAPORAN KEUANGAN KOMISI-KOMISI – GKMI EBENHAEZERsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/51130003/e0457d... · tidak perlu mengunjungi dan ... kritis dan realistis

15

4. Secara praktis : Menghasilkan sebuah rekomendasi aksi bagi upaya penerapan model

kepemimpinan transformatif di GKMI Ebenhaezer yang mengarah pada peningkatan

kualitas kepemimpinan dan berdampak bagi upaya pembangunan jemaat.

5. Secara akademis : Untuk memenuhi salah satu syarat akademis guna mencapai gelar

Magister Sains Teologi pada program Pascasarjana (S.2) Fakultas Teologia Universitas

Kristen Duta Wacana Yogyakarta prodi Master of Arts in Practical Theology (MAPT)

1.4. MANFAAT PENELITIAN

1. Dalam perkembangan teologia praktis (practical theology): Penelitian ini memberikan

sumbangsih mengenai satu model kepemimpinan yang berguna bagi peningkatan

kualitas kepemimpinan gereja. Kajian ini bukan hanya berbicara tentang teori dan

model kepemimpinan, melainkan juga memberikan dasar-dasar teologis serta

perealisasiannya dalam kepemimpinan gereja.

2. Dalam dimensi ekklesiologi: Penelitian ini bertujuan untuk memberikan sumbangsih

yang berguna bagi pertumbuhan gereja yang sehat dan dinamis melalui model

kepemimpinan transformatif37

. Secara khusus, penelitian ini bermanfaat bagi

pengembangan pola kepemimpinan di GKMI (sinodal) maupun GKMI Ebenhaezer

(lokal).

3. Bagi para pemimpin gereja: Penelitian ini sangat berguna bagi pengembangan diri

sebagai pemimpin-pemimpin yang menerima panggilan mulia dari Allah untuk

“menggembalakan kawanan domba-Nya” (I Petrus 5:2-3). Melalui penelitian ini, para

pemimpin gereja didorong untuk berani mengkritisi ulang model kepemimpinannya

sekaligus menantang para pemimpin gereja untuk melakukan transformasi diri secara

eksistensial terkait tanggung jawab dan peran kepemimpinannya di gereja.

4. Bagi penyusun: Penelitian ini akan memperluas wawasan penyusun mengenai

kepemimpinan transformatif sebagai salah satu model kepemimpinan modern dalam

lautan pengetahuan tentang kepemimpinan, sekaligus sebagai pendorong bagi

manajemen pengembangan diri selaku pemimpin gereja.

1.5. PENJELASAN ISTILAH

Tesis ini mengambil judul : “Kepemimpinan Transformatif bagi GKMI Ebenhaezer”

dengan pemahaman dan batasan pengertian istilah sebagai berikut :

a. Pemimpin

37

Peter C.Wagner, Gereja Saudara Dapat Bertumbuh, (Malang: Gandum Mas, 2003) h.31 bdk Roma 12:4-6

©UKDW

Page 16: LAPORAN KEUANGAN KOMISI-KOMISI – GKMI EBENHAEZERsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/51130003/e0457d... · tidak perlu mengunjungi dan ... kritis dan realistis

16

Kata pemimpin (leader) berasal dari kata kerja pimpin, dan merujuk pada

orang/ personal/petunjuk/manual book yang berfungsi/menjalankan tugas/peran dalam

memimpin, mengarahkan, membimbing, menuntun, memandu, mendidik, mengajari

dan atau melatih 38

.

Dalam area gereja, dikenal adanya pemimpin klerus (klerk, clergyman) dan

pemimpin awam (lay,layman). Pemimpin klerus merujuk pada pemimpin gereja full

timer yang diangkat secara resmi dan memiliki latar belakang pendidikan teologia,

misalnya tenaga orientasi, pendeta muda dan pendeta. Di lingkungan GKMI, pendeta

muda dan pendeta juga memegang jabatan fungsional sebagai gembala jemaat.

Sedangkan pemimpin awam adalah pemimpin yang berasal dari jemaat, tidak

melengkapi diri secara profesional dengan pendidikan teologia, misalnya dalam

kategori ini adalah para pengurus dan majelis gereja39

.

Istilah pemimpin dalam tesis ini menunjuk kepada pemimpin gereja dalam arti

pemimpin klerus, yang disahkan otoritasnya melalui pengangkatan resmi di hadapan

jemaat dan memiliki masa bakti dalam periode waktu tertentu.

b. Kepemimpinan

Kamus Besar Bahasa Indonesia40

menjelaskan istilah kepemimpinan sebagai

perihal pemimpin atau cara memimpin. Menurut Mar‟at, Kata pemimpin baru

tercatat dalam The Oxford English Dictionary pada tahun 1300, sedangkan istilah

kepemimpinan sebagai terjemahan resmi dari kata “leadership” belum muncul

sebelum tahun 1800. Lebih lanjut Mar‟at mengatakan bahwa :

“Sejauh ini belum ada penelitian khusus tentang kapan kata

“pemimpin” dan “kepemimpinan” mulai digunakan dalam

bahasa

Indonesia” 41

.

Charles J.Keating, mengatakan bahwa kepemimpinan menunjuk pada fungsi

seorang pemimpin yang mencakup dua area, yaitu hal menyelesaikan pekerjaan/

tugasnya sebagai pemimpin (task function) dan hal yang terkait dengan kelompok

orang yang dipimpinnya (relationship function)42

38

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi III (Jakarta: Balai Pustaka, 2002) h.874.

39 David Sriyanto, “Peranan Klerus dan Awam”, dalam Eddy Paimoen & Soegiharto (ed), Bekerjalah Selama Siang: Buku Bunga rampai 75 tahun Gereja Kristen Muria Indonesia (Semarang: Panitia HUT ke-75 GKMI, 1994) h.21

40 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 874

41 Mar’at, Pemimpin dan Kepemimpinan (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984) h.8

42 Charles J.Keating, Kepemimpinan: Teori dan Pengembangannya, h.9

©UKDW

Page 17: LAPORAN KEUANGAN KOMISI-KOMISI – GKMI EBENHAEZERsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/51130003/e0457d... · tidak perlu mengunjungi dan ... kritis dan realistis

17

Dari uraian tersebut, maka istilah kepemimpinan dalam tesis ini dipahami :

a. Task function, yaitu cara seseorang menjalankan peran/fungsi/ pekerjaannya

sebagai seorang pemimpin. Di dalamnya terkandung muatan metode, strategi,

tujuan hingga kontrol/pengawasan menuju goal yang diharapkan. Sebuah

tindakan/aksi yang aktif, bukan pasif.

b. Relationship function, yaitu tanggung jawab pemimpin terkait interaksinya

dengan komunitas yang dipimpinnya. Di dalamnya terkandung muatan

tindakan dan perilaku untuk mewujudkan maupun menjaga interaksi.

c. Kepemimpinan gereja (klerus) merujuk pada peran dan fungsi pemimpin

terkait task function dan relationship function yang dijalankan di dalam

lingkup gereja, yaitu sebagai pendeta atau gembala jemaat.

c. Kepemimpinan Transformatif

Kata transformatif termasuk kelas kata adjectiva yang menjelaskan nomina

(kata benda) transformasi yang berarti perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi). KBBI

menterjemahkan kata transformatif itu sendiri sebagai “bersifat berubah-ubah bentuk

(rupa, macam, sifat, keadaan dsb)”43

. Kata ini merupakan kata serapan dari bahasa

Inggris “transform” . Dalam kata kerja transitip, kata ini menunjuk pada suatu

tindakan aktif yang dengan sengaja dilakukan dengan tujuan mengubah atau merubah

menjadi sesuatu (bentuk, sifat, fungsi) yang berbeda dengan (bentuk, sifat dan fungsi)

sebelumnya44

. Misalnya perubahan panas menjadi energi, potensi menjadi daya,

inspirasi menjadi aksi. Dalam bahasa latin digunakan kata “transformare” yang berarti

perubahan sifat, fungsi, kondisi, bentuk dan karakter45

yang menunjuk pada perubahan

mendasar/radikal. Transformasi merupakan sebuah proses perubahan yang radikal

namun terarah dan sistematis.

Jika dilihat dari akar katanya, kata “transform” merupakan bentukan dari dua

kata dasar, yaitu “trans” yang berarti melintasi dari satu sisi ke sisi lain (across) atau

melampaui (beyond) dan “form” yang berarti bentuk. Sehingga kata transformasi

dapat dimaknai sebagai perubahan bentuk yang “lebih dari atau melampaui” bentuk

semula. Bentuk yang baru dipahami lebih baik dari bentuk yang lama.

43

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h.1209 44

John M.Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, cet.XX (Jakarta: PT.Gramedia, 1992) h. 601 45

Stephen Hacker dan Tammy Roberts, Transformational Leadership : Creating Organizations of Meaning, (Milwaukee: American Society for Quality (ASQ), 2004), h.1

©UKDW

Page 18: LAPORAN KEUANGAN KOMISI-KOMISI – GKMI EBENHAEZERsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/51130003/e0457d... · tidak perlu mengunjungi dan ... kritis dan realistis

18

Dalam kaitannya dengan kepemimpinan, istilah transformatif ini merujuk pada

proses memimpin atau mempengaruhi pengikut menuju pada sebuah perubahan

mendasar yang semakin baik/meningkat dari keadaan sebelumnya. Dengan demikian,

kepemimpinan transformatif dapat dipahami sebagai kepemimpinan yang

mengubahkan (transforming) atau yang bersifat mengubah (transformational).

Menurut Jerry C.Wofford dalam bukunya “Transforming Christian Leadership”

(1999), penggunaan istilah-istilah tersebut pada intinya sama, baik dalam makna

maupun tujuan yaitu kepemimpinan yang menghasilkan perubahan46

.

d. GKMI Ebenhaezer

GKMI (Gereja Kristen Muria Indonesia) Ebenhaezer adalah sebuah gereja

yang terletak di Kabupaten Pati – Jawa Tengah dan saat ini digembalakan penyusun.

Gereja ini beraliran Mennonite yang dijalankan menurut tata cara konggregasional-

sinodal :

“Suatu cara “pemerintahan” yang tidak ditentukan oleh majelis

jemaat atau oleh orang yang paling “berpengaruh”. Sebaliknya cara

kongregasional (bersifat kejemaatan) bukan dan tidak boleh

diartikan

sebagai demokrasi (wewenang tertinggi oleh rakyat)”47

.

Dalam konsep tentang kepemimpinan, GKMI Ebenhaezer mengakui

kewenangan tertinggi ada pada Kristus sebagai Kepala Gereja dan sumber dari segala

kekuasaan atau kewibawaan gereja (Matius 23:10; Efesus 5:23), sedangkan

kewenangan tertinggi dalam pengambilan keputusan penting dalam konteks hidup

bergereja ada pada suara jemaat dalam terang Firman Tuhan dan Roh Kudus.

Pemimpin selaku pemegang jabatan gerejawi dipilih dan diangkat oleh jemaat untuk

melaksanakan tugas kepemimpinan dalam kehidupan bergereja. Dalam kaitannya

dengan kepemimpinan Kristus sebagai pemegang kewenangan tertinggi, para

pemimpin gereja ini dipahami sebagai pelaksana tugas dan panggilan Tuhan Yesus

Kristus untuk memelihara gereja-Nya dan untuk melanjutkan pelaksanaan panggilan

para Rasul.

Dengan demikian, istilah GKMI Ebenhaezer dalam tesis ini merujuk pada

komunitas terbatas dengan tata organisasi dan pemahaman tentang kepemimpinan

sebagaimana paparan tersebut di atas.

46

Jerry C. Wofford, Kepemimpinan Kristen yang Mengubahkan, h. 8 47

Persatuan Gereja-gereja Kristen Muria Indonesia, aku dan AKU: Pedoman bagi Calon warga Jemaat (Semarang: Komisi Literatur Sinode GKMI, Cet.V, 2007), h.74

©UKDW

Page 19: LAPORAN KEUANGAN KOMISI-KOMISI – GKMI EBENHAEZERsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/51130003/e0457d... · tidak perlu mengunjungi dan ... kritis dan realistis

19

Selain istilah yang termuat dalam judul tersebut, ada beberapa istilah tekhnis yang

digunakan dalam tesis dengan pemahaman dan batasan pengertiannya sebagai berikut :

a. Gaya Kepemimpinan (style of leadership)

KBBI menterjemahkan kata “gaya” dalam arti sikap, irama dan lagu, ragam

yang menyangkut cara, rupa, bentuk48

. Dalam bahasa Inggris, digunakan kata “style”

yang berarti corak, mode. Dari kata tersebut mengembang turunan kata seperti

stylewise (kemahiran untuk mengikuti mode), stylish (kemampuan untuk bergaya),

stylist (menunjuk pada person stylish), stylize (menyesuaikan dengan mode)49

Gaya Kepemimpinan mengandung pengertian sebagai bentuk sikap/tingkah

laku atau cara seseorang dalam memimpin sesuai pola/ bentuk tertentu. Gaya

Kepemimpinan ini bisa bersifat alamiah sesuai bakat, kecenderungan dan karakter

pribadi seorang pemimpin, namun bisa juga sebagai hasil bentukan dari pelatihan,

disiplin dan konsep/teori tertentu.

b. Model Kepemimpinan (model of leadership)

Gaya kepemimpinan berbeda dengan model kepemimpinan. Yang pertama

lebih mengarah kepada cara atau sikap seorang pemimpin dalam menjalankan

perannya, yang kedua lebih mengarah pada sebuah pola kepemimpinan. Kata model

itu sendiri berarti pola (contoh, acuan) dari sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan50

.

Dengan demikian, istilah model kepemimpinan dapat dipahami pemaknaannya

sebagai sebuah pola kepemimpinan berdasarkan sistem dan kerangka pemahaman

tertentu, yang berada dalam jalinan antara teori, metode dan kemampuan/ketrampilan.

c. Teori Kepemimpinan (theory of leadership)

Kata teori menunjuk pada pendapat yang didasarkan pada penelitian dan

penemuan, yang didukung oleh data dan argumentasi. Dapat juga dipahami sebagai

sebuah asas/hukum umum yang menjadi dasar dari suatu ilmu pengetahuan51

. Dalam

penggunaan teori kepemimpinan pada tesis ini, penyusun akan merujuk pada

referensi-referensi tertentu dan bukan pada asumsi/dugaan/pra-anggapan, perandaian.

d. Awam

48

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h.340 49

John M.Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, h. 564 50

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h.751 51

Ibid, h. 1177

©UKDW

Page 20: LAPORAN KEUANGAN KOMISI-KOMISI – GKMI EBENHAEZERsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/51130003/e0457d... · tidak perlu mengunjungi dan ... kritis dan realistis

20

Kata awam berarti umum, am. Kata ini digunakan untuk menunjuk pada

orang-orang kebanyakan, orang biasa atau orang yang tidak istimewa (bukan ahli,

bukan rohaniawan, bukan tentara)52

. Dalam bahasa Inggris digunakan kata “lay”

(layman, laity) yang merupakan terjemahan dari bahasa Yunani “laikos” (laikos)

sebagai bagian “laos” (laos) yang berarti rakyat (biasa), orang banyak, massa, bangsa,

suku-suku bangsa atau umat Allah53

(bdk Kis 15:14; Rm 10:21; Ibr 8:10). Dalam

Ensiklopedia Indonesia disebutkan bahwa kata awam ini merupakan kata serapan dari

bahasa Arab yang menunjuk pada orang biasa, bukan ahli, dan dibedakan dengan para

ulama dan cendekiawan yang disebut “khawas”54

. Dalam bahasa Inggris, kata

“layman” (awam, orang biasa) ini juga dibedakan dengan “clergyman” (pendeta,

pastor).

Penggunaan istilah awam dalam tesis ini menunjuk pada pengertian jemaat

sebagai umat Allah dalam artian yang netral, bukan sebagai orang yang tidak

istimewa/tidak punya keahlian apalagi dalam pengertian “bodoh” sebagaimana

dipahami oleh sebagian orang55

. Istilah ini digunakan untuk membedakan peran (role)

dalam gereja, terkait dengan pemimpin (secara formal) dan umat yang dipimpin

(jemaat). Bagi GKMI yang menganut sistem konggregasional, peran kaum awam ini

justru sangat strategis, terutama dalam hal pengambilan keputusan penting dalam

kehidupan bergereja56

.

1.6. BATASAN PENELITIAN

Dalam penelitian ini, penyusun membatasi penelitian pada konteks jemaat di

GKMI Ebenhaezer dengan pertimbangan bahwa GKMI Ebenhaezer merupakan salah

satu anggota Sinode GKMI, sehingga pergumulan sinodal terkait dengan

kepemimpinan pada hakekatnya juga merupakan pergumulan gereja-gereja lokal.

Pertimbangan yang lain karena GKMI Ebenhaezer merupakan gereja yang

masih muda dan sedang bertumbuh menuju gereja yang dewasa. Dalam perjalanan

pertumbuhan gereja tersebut, sangat dibutuhkan adanya model kepemimpinan yang

tepat dan menunjang arah pertumbuhan gereja. Gereja ini juga merupakan komunitas

jemaat yang terbentuk sebagai dampak perpecahan gereja terkait konflik-intern yang

52

Ibid, h. 78 53

Hasan Sutanto, Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru (PBIK), Jilid II, (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2010) L.20, h.480. Kata ini disebutkan 142 x dalam Alkitab PB (Yunani)

54 Ensiklopedia Nasional Indonesia vol.10 (Jakarta: PT.Cipta Adi Pustaka, 1990) h.23

55 Herlianto, Pengantar PTE YBA Maya (Bandung: Yayasan Bina Awam, 2001) h.1

56 Persatuan Gereja-gereja Kristen Muria Indonesia, aku dan AKU, h.75

©UKDW

Page 21: LAPORAN KEUANGAN KOMISI-KOMISI – GKMI EBENHAEZERsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/51130003/e0457d... · tidak perlu mengunjungi dan ... kritis dan realistis

21

tidak terlepas dari peran kepemimpinan. Sehingga hal kepemimpinan menjadi sebuah

harapan dan pergumulan penting bagi gereja.

Pada penelitian biblika, penyusun membatasi kajian pada model

kepemimpinan Yesus Kristus dengan pertimbangan bahwa Yesus adalah contoh nyata

pemimpin ideal dengan pengaruh yang menembus semua lapisan masyarakat.

Kepemimpinan Yesus telah menghasilkan perubahan-perubahan yang nyata pada

zaman-Nya, dan tetap terasa pengaruh-Nya hingga masa kini. Dalam pemahaman

tentang kepemimpinan, GKMI juga telah menetapkan Yesus Kristus sebagai acuan

dasar bagi kepemimpinan gereja57

.

Untuk penelitian kualitatif, penyusun membatasi wawancara pada 10 orang

informan terdiri dari lima anggota jemaat dan lima simpatisan. Tujuh di antaranya

adalah fungsionaris gereja, baik sebagai pengurus organisasi maupun aktivis pelayanan

non-kepengurusan. Adapun alasan pemetaan penelitian ini adalah :

a. Para fungsionaris gereja atau aktivis pelayanan adalah pemimpin-pemimpin

awam pada bidangnya masing-masing. Karena itu pengalaman, pengamatan dan

penghayatan mereka merupakan kisi-kisi penting yang patut dipertimbangkan.

b. Jemaat GKMI Ebenhaezer merupakan profil pengikut dalam konteks

kepemimpinan gereja. Idealisme jemaat merupakan masukan yang penting

untuk memahami model kepemimpinan yang dapat dikembangkan dan

menjawab kebutuhan/harapan jemaat.

c. Jemaat simpatisan merupakan pengamat yang patut dipertimbangkan

pemahamannya, yang secara praktis terlahir dari pengalaman dan pengamatan

model kepemimpinan di gereja asal masing-masing atau gereja lain yang pernah

dikunjungi.

d. Penetapan jumlah 10 orang dalam penelitian kualitatif terkait dengan tingkat

kejenuhan informasi, di mana informasi yang didapatkan pada prinsipnya

mengulang atau menegaskan informasi yang telah didapatkan sebelumnya.

1.7. METODOLOGI PENELITIAN

Tesis ini merupakan hasil perpaduan dari penelitian kepustakaan, baik secara

teoritis maupun biblika, dan penelitian lapangan. Melalui penelitian kepustakaan,

penyusun akan mempelajari dan menggali pengertian kepemimpinan transformatif beserta

aspek-aspek yang terkait di dalamnya, yang pada gilirannya akan menjadi sebuah model

57

Lihat h. 18

©UKDW

Page 22: LAPORAN KEUANGAN KOMISI-KOMISI – GKMI EBENHAEZERsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/51130003/e0457d... · tidak perlu mengunjungi dan ... kritis dan realistis

22

kepemimpinan yang penyusun perjumpakan dengan analisa-interpretatif hasil penelitian

lapangan dan kajian teologis kepemimpinan Yesus Kristus

Penelitian lapangan merupakan penelitian kualitatif yang memerlukan tahapan

kerja berupa pengumpulan data, penyusunan laporan, analisa dan interpretasi data, dan

evaluasi. Pengumpulan data akan penyusun tempuh menggunakan metode wawancara

terbuka – terfokus dalam rentang waktu antara tanggal 7 – 12 Agustus 2015 pada lokasi

pertemuan sesuai kesepakatan yang dibangun terlebih dahulu dengan informan dan

didokumentasikan dalam rekaman audio sepengetahuan/seijin informan. Sebagai

wawancara terbuka, setiap pertanyaan bukan untuk dijawab begitu saja seperti dalam

sebuah angket, melainkan untuk ditanggapi dan dikomentari, diolah dan diperbaiki,

dibahas dan dianalisa bersama58

. Wawancara ini bersifat fleksibel dan spontan dalam

konteks persahabatan dan kepercayaan sebagai warna khas sebuah wawancara terbuka.

Sebagai wawancara terfokus, wawancara ini bermaksud komparatif (membandingkan

jawaban) dan representatif (memasukkan jawaban dalam konteks keyakinan dan tema

umum dari kelompok)59

. Oleh karena itu penulis mempersiapkan beberapa pertanyaan

utama sebagai acuan wawancara yang akan berkembang sesuai alur pemikiran informan

tanpa menyimpang dari topik utama penelitian.

1.8. KERANGKA TEORI

Kepemimpinan adalah sebuah keniscayaan. Di mana ada kehidupan bersama maka

di situ kepemimpinan juga ada. Hal ini berlaku bagi kehidupan berbangsa dan bernegara

hingga komunitas gereja, bahkan komunitas terkecil yaitu keluarga. Dalam lingkaran

komunitas tersebut, seseorang dapat berperan sebagai orang yang dipimpin atau sebagai

pemimpin, bahkan tidak jarang merupakan kombinasi dari keduanya. Pada satu saat dan

dalam satu konteks, ia akan menjadi pemimpin dan pada saat lain dalam konteks yang

berbeda, ia menjadi orang yang dipimpin.

Sebagai sebuah keniscayaan, maka tak terhindarkan muncul pula pemikiran-

pemikiran tentang kepemimpinan. Ada banyak sekali definisi kepemimpinan dengan

berbagai penekanan/pendekatannya. Hal ini disebabkan karena topik tentang

kepemimpinan telah diminati banyak orang berabad-abad lamanya. Perbedaan pendapat

tentang definisi kepemimpinan didasarkan pada kenyataan bahwa kepemimpinan

melibatkan interaksi yang kompleks antara pemimpin, pengikut dan situasi. Kebanyakan

58

John Mansford Prior, Meneliti Jemaat : Pedoman Riset Partisipatoris, (Jakarta: Penerbit Grasindo, 1997), h.96 59

Ibid, h.95

©UKDW

Page 23: LAPORAN KEUANGAN KOMISI-KOMISI – GKMI EBENHAEZERsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/51130003/e0457d... · tidak perlu mengunjungi dan ... kritis dan realistis

23

definisi tersebut mencerminkan asumsi bahwa kepemimpinan merupakan sebuah proses

pengaruh sosial yang sengaja dijalankan seseorang terhadap orang lain untuk menstruktur

aktivitas-aktivitas serta hubungan-hubungan di dalam kelompok atau organisasi tersebut60

.

Konsep dan definisi kepemimpinan ini dapat mengalami perubahan karena pengaruh sosial

yang juga berubah.

Eddie Gibbs mengumpulkan ragam definisi tentang kepemimpinan antara lain61

:

“Seorang pemimpin Kristen adalah seorang yang mendapat kapasitas

dan tanggung jawab dari Allah untuk memberi pengaruh kepada

sekelompok umat Allah tertentu untuk menjalankan kehendak Allah

bagi

kelompok tersebut” (J.Robert Clinton , Leadership Emergency Theory).

Definisi ini memberikan penekanan pada otoritas pemimpin yang dipahami bukan berasal

dari orang yang dipimpin melainkan datang dari Allah. Dimensi supranatural sangat kuat

mewarnai definisi ini. Tugas pemimpin adalah melakukan kehendak Allah bagi kelompok

yang dipimpinnya.

“Kepemimpinan bukanlah milik pribadi dari beberapa orang yang

memiliki karisma. Kepemimpinan adalah proses yang digunakan oleh

orang-orang biasa ketika mereka memberikan apa yang terbaik dari diri

mereka dan dari orang lain. Kepemimpinan adalah kapasitas anda untuk

menuntun orang lain ke tempat yang belum pernah mereka (dan anda)

datangi” (James Kouzes dan Barry Posner, The Leadership Challenge).

Definisi ini memberikan ruang dan peluang bagi pemimpin yang muncul dari bawah

(pemimpin awam). Penekanannya bukan pada karisma melainkan pada pemberian

diri dan kemampuan untuk mengarahkan. Pemimpin dipahami sebagai bagian dari

umat yang mendapatkan otoritas bertolak dari kepercayaan orang-orang yang

dipimpin.

“Kepemimpinan saat ini dipahami banyak orang untuk mengacu pada

tindakan kolektif, dirancang dengan suatu cara agar membawa

perubahan yang signifikan sembari meningkatkan kompetensi dan

motivasi dari semua yang terlibat – tindakan di mana lebih dari satu

individu memengaruhi proses” (Steven Bernstein dan Anthony Smith,

The Puzzle

of Leadership).

Definisi ini memberikan penekanan pada kepemimpinan tim yang terbentuk melalui

sebuah perencanaan untuk mencapai tujuan tertentu yang mengarah pada sebuah

perubahan. Kerjasama dan visi bersama menjadi aspek penting. Setiap orang yang terlibat

60

A. Gary Yukl, Leadership In Organizations, Seventh Edition, (New Jersey: Prentice Hall, 2010) h.11 61

Eddie Gibbs, Kepemimpinan Gereja Masa Mendatang, h.19-22

©UKDW

Page 24: LAPORAN KEUANGAN KOMISI-KOMISI – GKMI EBENHAEZERsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/51130003/e0457d... · tidak perlu mengunjungi dan ... kritis dan realistis

24

berada dalam jaringan yang saling mempengaruhi, meningkatkan dan memiliki peran yang

sama bagi keberhasilan organisasi.

“Kepemimpinan melibatkan orang , kelompok atau organisasi yang

menunjukkan jalan dalam aspek kehidupan – dalam jangka waktu

singkat maupun panjang – dan dengan demikian, akan memengaruhi

bahkan memberdayakan cukup orang untuk membawa perubahan

terhadap aspek kehidupan tersebut. (Robert Banks dan Bernice

M.Ledbetter, Reviewing

Leadership).

Definisi ini memberi tekanan pada proses dan kemampuan pemimpin untuk mengarahkan

anggota kepada suatu tujuan tertentu yang terkait dengan peningkatan kualitas hidup.

Pemberdayaan dipahami sebagai konsekuensi logis dari keyakinan terhadap tujuan

tersebut dan menjadi kunci bagi terjadinya perubahan bagi kehidupan anggota.

“Kepemimpinan adalah sebuah hubungan – sebuah hubungan di mana

satu orang mencoba memengaruhi pemikiran-pemikiran, perilaku-

perilaku, kepercayaan – kepercayaan atau nilai - nilai orang lain.

(Walter

Wright, Relational Leadership).

Definisi ini memberikan penekanan pada relasi dan kemampuan seorang pemimpin dalam

mempengaruhi dan mentransformasikan ide dan nilai-nilai yang dipegangnya. Perubahan

tertuju pada dimensi internal yang terwujud pada perilaku pengikut.

Meskipun definisi-definisi tentang kepemimpinan tersebut di atas dilakukan

dengan berbagai pendekatan, baik dengan teori sifat (sifat pemimpin sebagai determinan

utama), perilaku, kontinum (penekanan pada relasi transaksional), kontingensi atau

situasional (gaya kepemimpinan berkorelasi tepat dengan variable-situasional) namun

ragam pendefinisian tersebut bermuara pada satu pengertian yaitu bahwa kepemimpinan

merupakan sebuah proses yang berpaut-erat dengan kemampuan untuk mempengaruhi

orang lain kepada suatu tujuan yang menghasilkan perubahan. Persoalannya apakah

pengaruh itu dinyatakan melalui kekuatan yang menekan (force) ataukah meyakinkan

(persuasion), berdasar otoritas-formal ataukah legitimasi-informal, kepatuhan membuta

ataukah kesadaran, itulah yang membedakan bagaimana sebuah model kepemimpinan

dijalankan. Menurut Hall, ketaatan pengikut terhadap pemimpin sebenarnya telah

mengalami pergeseran. Pada masa lalu ketaatan berarti melaksanakan apa yang

diperintahkan, namun pada masa kini ketaatan berarti konsensus, yaitu ketika pemimpin

dan pengikut terampil berbagi dan saling mendengarkan lalu mencapai keputusan

bersama62

.

62

Brian P.Hall, Panggilan Akan Pelayanan, h. 58

©UKDW

Page 25: LAPORAN KEUANGAN KOMISI-KOMISI – GKMI EBENHAEZERsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/51130003/e0457d... · tidak perlu mengunjungi dan ... kritis dan realistis

25

Dari pemahaman terakhir nampak bahwa kepemimpinan pada masa sekarang ini

seharusnya sudah memasuki ranah keterbukaan dan bukan eksklusif-instruksional dengan

mendiktekan apa yang harus mereka jalankan63

. Gaya kepemimpinan hierarkis yang

mengandalkan kekuasaan dan otoritas pada masa kini sudah banyak ditinggalkan, dan

berganti dengan gaya kepemimpinan yang lebih bersahabat. Bornemann, sebagaimana

dikutip oleh Hendriks menyebut gaya ini “bukan otoriter tetapi kooperatif”, dengan

perbedaan sebagai berikut :

Gaya otoriter menempatkan referensi pada jabatan; gaya kooperatif pada

rundingan bersama; gaya otoriter membangun jarak dan hierarkis; gaya

kooperatif membangun kedekatan dan susunan datar; gaya otoriter

mengutamakan anggota yang patuh, taat dan disiplin; gaya kooperatif

mengutamakan karakter yang kuat dan menghargai orang yang bebas dan

dewasa pikirannya; gaya otoriter mengakibatkan pengikut kurang

dimengerti dan dihargai, merasa diperas dan tangan terikat; gaya

kooperatif mengakibatkan pengikut merasa dihargai dan dimengerti

sebagai person; gaya otoriter membangun iklim yang penuh ketegangan,

bahaya kecurigaan satu sama lain dan pembentukan klik; gaya kooperatif

bertendensi ke arah kepercayaan, kesatuan, intern dan harmoni; gaya

otoriter tidak membangun kemandirian dan tanggung jawab sehingga

harus mengandalkan otoritas jabatan; gaya kooperatif menghasilkan

kemandirian dan tanggung jawab sehingga memberikan

peneguhan dan pembenaran kepercayaan kepada pemimpin64

.

Dalam paparannya mengenai kepemimpinan gereja masa mendatang, Eddie Gibbs

menyatakan bahwa kepemimpinan pada masa kini harus bergerak dari model transaksional

ke model transformasional65

. Dalam kepemimpinan transaksional terjadi transaksi di mana

pemimpin akan menukarkan apa yang dibutuhkan pengikutnya untuk memperoleh apa

yang dibutuhkannya. Pemimpin transaksional memiliki satu tujuan dan para pengikutnya

memiliki tujuan yang lain66

sedangkan kepemimpinan transformatif terjalin dalam koneksi

karena memiliki tujuan dan visi yang dihidupi bersama. Mempertajam hal tersebut, Eka

Darmaputera mengekspos apa yang dituturkan oleh Leighton Ford :

“Kepemimpinan transaksional bekerja dalam situasi, kepemimpinan

transformasional bekerja mengubah situasi; yang satu menerima apa

yang dibicarakan orang, yang lain mengubah apa yang dibicarakan

orang; yang satu menerima aturan dan nilai-nilai; yang lain

mengubahnya; yang satu asyik berbicara mengenai apa yang harus

dipertukarkan, yang lain berbicara mengenai tujuan67

.

63

Jan Hendriks, Jemaat Vital dan Menarik, Membangun Jemaat dengan Menggunakan Metode Lima Faktor. (Yogyakarta: Kanisius, Cet.V, 2006) h. 68

64 Jan Hendriks, Jemaat Vital dan Menarik, h.76-77

65 Eddie Gibbs, Kepemimpinan Gereja Masa Mendatang, h.29

66 Jerry C. Wofford, Kepemimpinan Kristen yang Mengubahkan, h.8

67 Eka Darmaputera, “Kepemimpinan: Perspektif Alkitab”, h. 14

©UKDW

Page 26: LAPORAN KEUANGAN KOMISI-KOMISI – GKMI EBENHAEZERsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/51130003/e0457d... · tidak perlu mengunjungi dan ... kritis dan realistis

26

Bertolak dari uraian-uraian tersebut di atas nampak bahwa kepemimpinan

transformatif merupakan satu model kepemimpinan yang mengubahkan, kreatif dan tidak

terpancang pada status quo. Kepemimpinan transformatif menggunakan pengaruhnya

bukan dengan gaya menekan atau memaksa, melainkan dengan membangun relasi

berdasarkan penghargaan dan kepercayaan. Dengan demikian jemaat/pengikut tidak

merasa didikte atau diindoktrinasi. Penghargaan dan kepercayaan akan membangkitkan

rasa simpati, dan pada gilirannya dapat mendorong keinginan untuk terlibat dengan

sukarela. Dengan gaya kepemimpinan seperti ini, beban seorang pemimpin akan menjadi

lebih ringan karena ditanggung bersama. Demikian juga dengan visi, tanggung jawab dan

upaya pencapaian tujuan. Model kepemimpinan ini pun sangat terbuka bagi kemungkinan

perubahan, kreatifitas, pembaruan dan pemberdayaan yang menunjang pencapaian tujuan

bersama.

Sebagai sebuah komunitas, gereja juga membutuhkan pemimpin dengan gaya dan

model kepemimpinan yang mampu menjawab kebutuhan umat di tengah-tengah arus

zaman yang bergerak cepat dan serba mudah berubah seperti saat ini. Sebuah model

kepemimpinan yang tidak statis namun dinamis. Sebuah model kepemimpinan yang tidak

berpusat pada kultus individu maupun kekuasaan kelompok tertentu melainkan mampu

melibatkan, memberdayakan bahkan melahirkan pemimpin-pemimpin baru. Sebuah model

kepemimpinan yang tidak eksklusif melainkan terbuka atas perubahan bahkan mampu

menghasilkan perubahan yang meningkatkan kualitas hidup, harkat kemanusiaan dan

sistem-sistem yang menata kehidupan bersama. Sebuah model kepemimpinan yang tidak

membekukan kreatifitas dan potensi, tidak mematikan inspirasi dan inovasi, tidak

memanipulasi namun memotivasi, tidak sebatas teori namun sungguh-sungguh

teraktualisasi, tidak sekedar mengalir namun bergerak dalam visi, tidak berpusatkan pada

diri dan ambisi melainkan berorientasi pada hasrat melayani, tidak hanya menjawab

kebutuhan masa kini namun juga berorientasi ke masa depan. Model kepemimpinan yang

mampu menjawab kebutuhan tersebut adalah model kepemimpinan transformatif, karena

kepemimpinan ini memberikan penekanan yang kuat pada nilai, visi, relasi, apresiasi,

inspirasi, mobilisasi, pemberdayaan, pelayanan, keteladanan hingga cara kerja team work.

Model kepemimpinan transformatif ini memang terkesan baru dan sedang populer

pada dasa warsa terakhir ini, terutama di kalangan sekuler semacam dunia pendidikan,

perusahaan/bisnis maupun instansi-instansi pemerintah. Namun jauh sebelum teks

kepemimpinan transformatif ini mencuat ke permukaan, Alkitab telah menunjukkan

©UKDW

Page 27: LAPORAN KEUANGAN KOMISI-KOMISI – GKMI EBENHAEZERsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/51130003/e0457d... · tidak perlu mengunjungi dan ... kritis dan realistis

27

prinsip-prinsip kepemimpinan semacam ini telah dijalankan oleh para pemimpin di

Alkitab. Tidak hanya Musa dengan perubahan paradigma kepemimpinan yang mampu

mendelegasikan tugas, membentuk team work, men-transformasikan nilai-nilai dan visi

yang dipegangnya, dan memberdayakan orang-orang yang dipimpinnya. Alkitab pun

mencatat nama Yusuf sebagai pemimpin yang berprinsip (memiliki keyakinan dan nilai

yang teguh), berkarakter, trampil dan visioner yang merupakan konsekuensi dari

kepemimpinan transformatif68

. Demikian juga dengan kepemimpinan Yohanes Pembaptis,

yang dalam kesederhanaannya ia berani menyuarakan perubahan sekaligus dalam segala

kebesarannya ia mampu memberikan tempat bagi pemimpin lain (bdk. Mat 3:1-17, Mrk

1:1-11, Yoh 1:6-8, 19-34; Luk 7:28). Catat juga tokoh pemimpin besar di Alkitab

Perjanjian Lama seperti Daniel, Elia, Nehemia, Yeremia, Ezra hingga era Perjanjian Baru

seperti Paulus, Petrus dan Yesus Kristus. Pada para pemimpin tersebut dapat ditemukan

prinsip-prinsip dan ide kepemimpinan transformatif.

Salah satu pemimpin yang menarik untuk dikaji model kepemimpinan-Nya adalah

Yesus Kristus. Sejarah telah menunjukkan dampak transformasi yang dilakukan Yesus.

Nilai-nilai dan prinsip hidup yang mendasari kepemimpinan-Nya sampai saat ini tetap

eksis sekalipun sudah ribuan tahun berlalu sejak kehadiran, pelayanan dan kiprah

kepemimpinan-Nya mewarnai konteks sosial, politik dan religiositas yang menyekitari

umat Israel. Transformasi kehidupan yang Yesus ajarkan dan teladankan telah mendasari

berbagai model kepemimpinan yang ada di dunia sekuler maupun gereja hingga era digital

sekarang ini. Sejarah di tangan pemimpin transformatif tidak akan berjalan biasa-biasa

saja, melainkan akan menembus kebekuan dan menghasilkan perubahan dan pembaruan.

Dalam perjumpaannya dengan kepemimpinan Yesus Kristus maka model

kepemimpinan transformatif menemukan dasar teologis dan penyempurnaan untuk

diterapkan sebagai model kepemimpinan gereja. Nilai-nilai prinsip yang dipegang,

diperjuangkan dan dibagikan Yesus menjadi nilai-nilai ideal bagi para pemimpin Kristen

transformatif dalam membentuk karakteristik kepemimpinan dan arah bagi pengembangan

jemaat. Orientasi yang kuat terhadap pengikut membentuk sebuah kepemimpinan yang

rendah hati dan melayani sekaligus yang mengubah dan meningkatkan kualitas kehidupan

jemaat sesuai Firman Tuhan dan keteladanan Yesus. Kesadaran akan peran dan otoritas

Ilahi menjadikan kepemimpinan transformatif mendapatkan penyempurnaan dari sisi

spiritualitas sebagai satu model kepemimpinan gereja.

68

Eka Darmaputera, “Kepemimpinan: Perspektif Alkitab”, h .14

©UKDW

Page 28: LAPORAN KEUANGAN KOMISI-KOMISI – GKMI EBENHAEZERsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/51130003/e0457d... · tidak perlu mengunjungi dan ... kritis dan realistis

28

Bagi GKMI Ebenhaezer pada khususnya, kepemimpinan transformatif

menawarkan sebuah model kepemimpinan yang terbuka bagi aspirasi jemaat, peka dan

tangguh menghadapi krisis, terbuka bagi pembelajaran dan pemberdayaan, serta

memberikan ruang penting bagi terbangunnya interaksi dan keterpercayaan terhadap

pemimpin.

1.9. SISTEMATIKA

Tesis ini di susun dengan sistematika penulisan sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini penyusun akan mengutarakan latar belakang dan rumusan masalah,

tujuan dan manfaat penelitian, penjelasan istilah, batasan dan metodologi

penelitian, kerangka teori dan sistematika penulisan tesis.

BAB II : KEPEMIMPINAN TRANSFORMATIF

Pada bab ini penyusun akan menguraikan model kepemimpinan transformatif

dalam kajian teoritis-konseptual. Di dalamnya akan diuraikan tentang pengertian

kepemimpinan transformatif, keberadaannya sebagai paradigma baru dalam

dunia kepemimpinan, konsep kepemimpinan dan variabel pemimpin

transformatif serta evaluasi terkait keunggulan dan kelemahan model

kepemimpinan ini.

BAB III : IDEALISME KEPEMIMPINAN GEREJA DALAM PARADIGMA

JEMAAT GKMI EBENHAEZER

Bab III merupakan kajian terhadap hasil laporan penelitian pada lampiran 2.

Pada bab ini akan diinformasikan terlebih dahulu hal-hal yang terkait dengan

penelitian mencakup lokasi, populasi, subyek, topik penelitian dan deskripsi

profil informan. Kemudian akan diuraikan hasil analisa-interpretatif data

informan untuk memahami idealisme kepemimpinan gereja dalam kerangka

berpikir (paradigma) jemaat GKMI Ebenhaezer. Bab ini akan diakhiri dengan

kesimpulan.

©UKDW

Page 29: LAPORAN KEUANGAN KOMISI-KOMISI – GKMI EBENHAEZERsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/51130003/e0457d... · tidak perlu mengunjungi dan ... kritis dan realistis

29

BAB IV : PERSPEKTIF KEPEMIMPINAN TRANSFORMATIF TERHADAP

IDEALISME KEPEMIMPINAN GEREJA, YESUS KRISTUS DAN

HIDUP MENGGEREJA

Pada bab ini penyusun akan menyajikan pandangan-pandangan dari perspektif

kepemimpinan transformatif. Pertama, sebagai evaluasi terhadap idealisme

kepemimpinan gereja sebagaimana terurai pada bab III. Kedua, kajian terhadap

kepemimpinan Yesus Kristus sebagai model ideal. Dan ketiga, perspektif

kepemimpinan transformatif dalam hidup menggereja terkait dengan idealisme

jemaat dan kepemimpinan Yesus Kristus.

BAB V : PENUTUP

Pada bab terakhir ini penyusun akan memberikan kesimpulan, saran dan strategi

bagi pengejawantahan model kepemimpinan transformatif bagi GKMI

Ebenhaezer.

©UKDW