laporan kunjungan kerja komisi vi dpr ri masa...
TRANSCRIPT
-
LAPORAN KUNJUNGAN KERJA KOMISI VI DPR RI
KE PROVINSI JAWA BARAT
Masa Persidangan III Tahun Sidang 2018-2019 12 - 14 Maret 2019
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
2019
-
1
LAPORAN KUNJUNGAN KERJA SPESIFIK KOMISI VI DPR RI
KE PT KIMIA FARMA (PERSRO) Tbk & PT BIO FARMA (PERSERO) DI PROVINSI JAWA BARAT
PADA MASA PERSIDANGAN IV TAHUN SIDANG 2018 – 2019 12 - 14 MARET 2019
I. PENDAHULUAN
A. DASAR
Pasal 98 ayat (4) huruf f Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah mengalami perubahan
pertama dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 dan perubahan
kedua dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018.
Keputusan Rapat Intern Komisi VI DPR RI tanggal 4 Maret 2019
mengenai Sasaran dan Obyek Kunjungan Kerja Spesifik Komisi VI DPR
RI dalam Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2018 - 2019.
Surat Tugas Nomor: ST/…/Kom.VI/DPR RI/I/2019 tentang Penugasan
Anggota Komisi VI DPR RI untuk melakukan Kunjungan Kerja Spesifik
Pada Masa Persidangan III Tahun Sidang 2017 - 2018 ke Provinsi Jawa
Barat.
B. MAKSUD DAN TUJUAN
Kunjungan Kerja Spesifik ini dimaksudkan untuk mengetahui kinerja, pokok-
pokok kebijakan, tantangan dan permasalahan yang dihadapi oleh PT. Kimia
Farma (Persero) Tbk dan PT Bio Farma (Persero) khususnya tentang kinerja
operasional dan keuangan, aset perusahaan, jumlah anak perusahaan serta
kondisi aktual yang tengah dihadapi perusahaan khsususnya di Provinsi
Jawa Barat dengan tujuan untuk menjadi bahan masukan kepada
Pemerintah guna ditindaklanjuti sesuai ketentuan yang berlaku.
-
2
C. SASARAN DAN OBYEK KUNJUNGAN KERJA
1. Sasaran Kunjungan Kerja Spesifik dititikberatkan pada aspek:
a. Pengawasan Pelaksanaan Peraturan Perundang-undangan,
khususnya yang berkaitan dengan bidang tugas mitra kerja Komisi
VI DPR RI.
b. Pengawasan, monitoring dan evaluasi kinerja, pokok-pokok
kebijakan, tantangan dan permasalahan yang dihadapi PT Kimia
Farma (Persero) Tbk dan PT Bio Farma (Persero) di Provinsi Jawa
Barat khususnya tentang kinerja operasional dan keuangan, aset
perusahaan, jumlah anak perusahaan, kondisi aktual yang tengah
dihadapi perusahaan.
c. Menampung aspirasi yang berkaitan dengan tanggung jawab sosial
perusahaan terhadap masyarakat sekitar, pengembangan industri,
penciptaan lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat lokal.
2. Objek yang dikunjungi dan dibahas meliputi:
a. PT Kimia Farma (Persero) Tbk
b. PT Bio Farma (Persero)
D. WAKTU DAN ACARA KUNJUNGAN KERJA
(Terlampir)
E. ANGGOTA TIM KUNJUNGAN KERJA
(Terlampir)
II. KONDISI OBJEKTIF & PERMASALAHAN SPESIFIK
A. Kondisi Objektif PT Kimia Farma (Persero) Tbk
1. Profil Perseroan
Sejarah Perseroan.
Dimulai sejak tahun 1817 yang merupakan NV Chemicalien Handle
Rathkamp & Co yang selanjutnya pada tahun 1958 dilakukan
Nasionalisasi Eks Perusahaan Belanda dan di tahun 1969 menjadi PNF
Bhinneka Kimia Farma (PNF Radja Farma, PNF Nakula Farma, PNF
Bhinneka Kina Farma, dan PN Sari Husada). Selanjutnya pada tahun
1971 Menjadi perseroan terbatas PT. Kimia Farma (Persero) dan di
-
3
tahun 2001 Perseroan menjadi PT. Kimia Farma (Persero) Tbk pada 4
Juli 2001 melalui IPO.
Struktur Korporasi Perseroan.
Korporasi Kimia Farma terdiri atas saham Pemerintah RI sebesar
90,025% dan publik sebesar 9,975% dengan struktur korporasi yang
terdiri dari: (i) Kimia Farma Trading & Distribution dengan komposisi KF
99,99% dan KFA 0,001%; (ii) Kimia Farma Apotik dengan komposisi KF
99,99% dan YKKKF 0,001%; (iii) Kimia Farma Labolatorium klinik
dengan komposisi KF 99,99% dan YKKKF 0,001%; (iv) SIL dengan
komposisi KF 51% dan PTPN VIII 49%; (v) KF-Mandiri inhealth dengan
komposisi KF 10%, Jasindo 10%, penyertaan modal Bank Mandiri 80%;
(vi) Kimia Farma Sungwun farmachopia dengan komposisi KF 75%, SWI
5,19%, SWP 19,81%; (vii) Kimia Farma WAA Pharmacy KF 60%, MBM
40%.
Salah satu ekspansi yang telah dilakukan ialah mengakuisisi 60%
saham perusahaan jaringan ritel farmasi di Arab Saudi, DaWaa Medical
Limited Company, salah satu anak perusahaan Marei Bin Mahfouz
(MBM) Group yang bergerak di bidang kesehatan yang ditopang oleh
31 gerai apotek di Mekkah dan Jeddah, Arab Saudi. Melalui ekspansi ke
pasar baru, KAEF berharap konstibusi penjualan ekspor untuk produk
obat over the counter (OTC) dapat meningkat.
Integrasi Bisnis Perseroan.
Kimia farma mengintegrasikan end to end business dari hulu ke hilir
yang diawali dari: (i) Kimia Farma Sungwun Pharmacopia (KFSP)
sebagai Manufaktur dan Marketing Bahan Baku Obat dimana 75%
merupakan produk ekspor yang ditopang oleh 5 (lima) pabrik yang saat
ini beroperasi dengan Research and Development guna pengembangan
dan penelitian new product dan existing; (ii) National distribution Center
(NDC) yang merupakan warehouse dan distributor Produk KF dan mitra
pihak ketiga; (iii) Kimia Farma Trading & Distribution (KFTD) yang terdiri
dari 47 Cabang yang menangani perdagangan dan distribusi produk KF
dan produk mita pihak ketiga; (iv) Kimia Farma Apotek (KFA) dengan
jaringan apotek terluas dan tersebar di Indonesia yang memiliki 1157
outlet, 538 klinik kesehatan, 10 optik, serta Kimia Farma Dawaa yang
merupakan Ritel Farmasi dan Alat Kesehatan di Arab Saudi juga Kimia
Farma Diagnostik (KFD) dengan 55 Cabang, Flagship, Hub, dan Spoke.
-
4
Portofolio Bisnis Perseroan.
PT Kimia Farma (Persero) Tbk yang bergerak di bidang Manufaktur dan
Marketing Produk Farmasi dan Kimia memiliki jaringan layanan
perusahaan yaitu 8 pabrik, 47 Trading & Distribution Center, 1157
Apotek, 55 Diagnostic Lab, 538 klinik yang ditopang oleh; (i) Kimia
Farma Trading & Distribution melalui 47 cabang perdagangan dan
distribusi produk KF dan produk mitra pihak ketiga; (ii) Kimia Farma
Apotek melalui 1157 Apotek, 538 Klinik Kesehatan, 55 Lab Klinik, 10
Optik; (iv) Sinkona Indonesia Lestari sebagai Manufaktur dan Marketing
Kina dan Turunannya dimana 97% produknya diekspor; (v) Kimia
Farma Dawaa merupakan Ritel Farmasi dan Alat Kesehatan di Arab
Saudi yang memiliki 34 gerai di Makkah, Madinah, dan Jeddah; (vi)
Kimia Farma Sungwun Pharmacopia sebagai Manufaktur dan Marketing
Bahan Baku Obat dimana 75% produk diekspor ke Korea, Jepang, dan
Amerika Serikat.
Saat ini Kimia Farma telah memiliki beragam sertifikasi yaitu; (i) Cara
Pembuatan Obat Yang Baik (CPOB) untuk pabrik di Watodakan, Medan,
Bandung, dan Jakarta; (ii) Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik
(CPOTB) untuk pabrik di Bandung dan Jakarta; (iii) Cara Pembuatan
Bahan Baku Aktif Yang Baik (CPBBOB) untuk di pabrik kina SIL; (iv)
Cara Distribusi Obab Yang Baik (CDOB) untuk Trading & Distribusi; (v)
ISO 9001: 2008 untuk pabrik di Jakarta, Bandung, Watodakan, dan
Medan; (vi) ISO 9001:2015 untuk pabrik di Semarang dan pabrik kina
SIL; (vii) ISO 14000:2015 untuk di pabrik Watodakan; (viii) Food Safety
System Sertification (FSSC) 22000 untuk di pabrik kina SIL;
(ix)Certificate of Suitability untuk di pabrik kina SIL; (x) sertifikat Halal
MUI untuk di pabrik Bandung, Semarang, Watodakan, dan pabrik kina
SIL; (xi) Sertifikat kosher untuk pabrik kina SIL; (xii) Sertifikat Proper Biru
untuk pabrik di Jakarta, Bandung, Watodakan, dan Medan.
2. Kinerja Perseroan
Laporan Posisi Keuangan
Aset selama 5 (lima) tahun terakhir terus meningkat dengan
pertumbuhan tahunan majemuk atau CAGR (Compound Annual
Grouth Rate) 24,25% yaitu di tahun 2014 sebesar Rp 3,194,664;
tahun 2015 sebesar Rp 3,434,879; tahun 2016 sebesar Rp
4,612,562; tahun 2017 sebesar Rp 6,096,149; dan tahun 2018
sebesar Rp 9,460,427
-
5
Liabilitas selama 5 (lima) tahun terakhir terus meningkat dengan
CAGR 36,42% yaitu di tahun 2014 sebesar Rp 1,291,700; tahun
2015 sebesar Rp 1,378,320; tahun 2016 sebesar Rp 2,341,155;
tahun 2017 sebesar Rp 3,523,628; dan tahun 2018 sebesar Rp
6,103,967.
Ekuitas selama 5 (lima) tahun terakhir terus meningkat dengan
CAGR 12,02% yaitu di tahun 2014 sebesar Rp 1,902,964; tahun
2015 sebesar Rp 2,056,560; tahun 2016 sebesar Rp 2,271,407;
tahun 2017 sebesar Rp 2,572,521; dan tahun 2018 sebesar Rp
3,356,459.
Laba-Rugi Perseroan
Penjualan selama 5 (lima) tahun terakhir terus meningkat dengan
CAGR sebesar 10,52% yaitu di tahun 2014 sebesar Rp 4,521,024;
tahun 2015 sebesar Rp 4,860,371; tahun 2016 sebesar Rp
5,811,503; tahun 2017 sebesar Rp 6,127,479; dan tahun 2018
sebesar Rp 7,454,115.
Laba Bersih selama 5 (lima) tahun terakhir terus meningkat dengan
CAGR 9,28 % yaitu di tahun 2014 sebesar Rp 257,836; tahun 2015
sebesar Rp 265,550; tahun 2016 sebesar Rp 271,598; tahun 2017
sebesar Rp 331,708; dan tahun 2018 sebesar Rp 401,793.
Biaya Pokok Produksi selama 5 (lima) tahun terakhir terus menurun
dengan CAGR 8,31% yaitu di tahun 2014 sebesar Rp 4,673,936;
tahun 2015 sebesar Rp 3,925,600; tahun 2016 sebesar Rp
3,947,607; tahun 2017 sebesar Rp 3,323,619; dan tahun 2018
sebesar Rp 3,135,542.
Beban Usaha selama 5 (lima) tahun terakhir terus menurun dengan
CAGR 15,55% yaitu di tahun 2014 sebesar Rp 2,206,877; tahun
2015 sebesar Rp 1,791,958; tahun 2016 sebesar Rp 1,479,784;
tahun 2017 sebesar Rp 1,227,054; dan tahun 2018 sebesar Rp
1,071,425.
Kontribusi Perseroan
Kontribusi Pajak selama 5 (lima) tahun terakhir terus meningkat yaitu
di tahun 2014 sebesar Rp 120,225 juta; tahun 2015 sebesar Rp
176,863 juta; tahun 2016 sebesar Rp 119,299 juta; tahun 2017
sebesar Rp 184,415 juta; dan tahun 2018 sebesar Rp 287,264 juta.
-
6
Dividen selama 5 (lima) tahun terakhir terus meningkat yaitu di tahun
2014 sebesar Rp 46,925 juta; tahun 2015 sebesar Rp 49,770 juta;
tahun 2016 sebesar Rp 53,485 juta; tahun 2017 sebesar Rp 98,084
juta
Kebijakan Strategis
a. Menyikapi Paket Kebijakan Ekonomi XI Tahun 2016, Inpres No.
6/2016, dan Permenkes No. 17/2017 mengenai Kebijakan
pemerintah untuk percepatan kemandirian farmasi nasional yang
belum merangsang tumbuhnya industri Bahan Baku Obat (BBO)
serta Rencana kebijakan TKDN Farmasi sebagai insentif bagi
Industri BBO dalam negeri yang akan meningkatkan kepastian
serapan produk BBO KFSP dan peluang produk KF pada pasar
pemerintah (E–Catalogue), untuk itu Kimia Farma mendirikan KF
Sungwun Pharmacopia.
1) Review Product Plan
a) Line Pharma (Capacity 15-30 MT/thn) untuk mendukung
kebijakan konten lokal TKDN pada Simvastatin, Atorvastatin,
Clopidogrel, Pantoprazole, Esomeprazole, Rabemeprazolen,
Rosuvastatin, Sapogrelate, yang berorientasi pada:
(i) High value product khususnya KF Product & Government
Support;
(ii) Export market dan Domestic market priority yang meliputi
Atorvastatin, Simvastatin, Clopidogrel, Tenofovir,
Efavirens, Lamivudine, Entecavir, Zidovudine,
Nevirapine, Sofosbuvir, Rifampicin, Pantoprazole,
PovidoneIodine, Esomeprazole, Rosuvastatin,
Pregabalin.
b) Line Non Pharma (Capacity 75-150 MT/thn) untuk menopang
Market Demand Turbulence pada Lauoylysine, Argine
Nitrate, Argine a-ketoglutalate, Milk Thistle, Thiamine
dilaurylsulfate, Ceramide,1,2-henandiol dengan orintasi pada
Intermediete Product yaitu BAPA, ACCA, ANCA
2) Potensi Kontribusi Penurunan Impor API
a) Pada tahun 2019, potensi penurunan impor 3,38% untuk
Atorvastatin Calcium (1,2 MT), Simvastatin (4,4 MT),
Clopidogrel bisulfate (4,3 MT).
-
7
b) Pada tahun 2020, potensi penurunan impor 7,19% untuk
Tenofovir (5,0 MT), Efavirens (4,1 MT), Lamivudine (3,2 MT),
Entecavir (0,4 Kg), Zidovudine (120 Kg), Nevirapine (4,9 MT),
Sofosbuvir (NA), Rifampisin (29,2 MT), Pantoprazole (263
Kg), Esomeprazole Mg (167 Kg), Povidone Iodine (129,3 MT)
c) Pada tahun 2021, potensi penurunan impor 7,92% hingga
15,44% untuk Rosuvastatin (186 Kg), Pregabalin (884 Kg),
10 item Cephalosporin
b. Menyikapi paket kebijakan ekonomi XI Point IV tentang
Pengembangan Industri Kefarmasian dan Alat Kesehatan, INPRES
No.6/2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi Dan
Alat Kesehatan khususnya untuk menjamin ketersediaan sediaan
farmasi untuk peningkatan pelayanan kesehatan (JKN),
meningkatkan daya saing industri farmasi dan alat kesehatan di
dalam negeri dan ekspor, serta mendorong penguasaan teknologi
dan inovasi dalam bidang farmasi, untuk itu Kimia Farma
mengoptimalkan pabrik di Banjaran dengan keunggulan high
production capacity, integrated production process, high technology
equipment comply with GMP, Automation process & facility with
Internet of Things (IoT).
1) Kapasitas Produksi Plant Banjaran
a) Pharma Product menghasilkan Kapsul sebanyak 447.000.000
Kapsul, Tablet dan Tablet Salut sebanyak 12.315.000.000
Tablet, Serbuk Oral sebanyak 60.000 Kg, Cairan Oral
sebanyak 1.500.000 Liter.
b) Herbal Product menghasilkan Kapsul sebanyak 3.000.000
Kapsul, Tablet dan Tablet Salut sebanyak 182.985.000
Tablet, Serbuk Oral sebanyak 150.000 Kg, Cairan Oral
sebanyak 1.860.000 Liter
2) Kelas Terapi Produk Plant Banjaran menghasilkan produk-
produk Antivirus, Antibakteri, Antifungi, Antituberkulosis,
Antimalaria, Antikolesterol, Antihipertensi, Antidiabetik,
Antidepresan, Antialergi, Antimigrain/Vertigo, Immunosupresan,
Obat untuk Saluran Cerna, Obat untuk Saluran Nafas, Analgetik,
Antipiretik, Antirematik, Antipirai, Obat yang mempengaruhi
darah, Larutan Elektrolit, Nutrisi, Diuretik, Vitamin dan Mineral,
serta obat untuk Gigi dan Mulut.
-
8
3. Pengembangan Bisnis Perseroan
a. Aksi Korporasi
1) PT Kimia Farma (Persero) Tbk. memacu penjualan ekspor pada
tahun ini sebagai strategi diversifikasi pasar dan natural hedging.
KAEF berkomitmen terus memperkuat penetrasi pasar luar
negeri. Untuk mencapai target itu, KAEF fokus mengoptimalkan
gerai eksisting, sembari tetap melakukan penambahan atau
relokasi. Disisi lain, dinamisnya kurs berdampak terhadap pelaku
industri farmasi mengingat hampir sebagian besar bahan baku
farmasi masih impor. Untuk itu Kimia Farma perlu menerapkan
beberapa strategi sentralisasi procurment, pembelian dalam
jumlah besar di depan. Hal ini merupakan bentuk hedging yang
dapat dilakukan untuk mengantisipasi kenaikan valas yang tidak
dapat diprediksi.
2) PT Kimia Farma (Persero) Tbk dan Rajawali Nusantara Indonsia
telah menandatangani perjanjian jual beli 476,90 juta saham PT
Phapros Tbk pada Rabu (13/2). Jumlah saham yang dibeli ini
adalah keseluruhan kepemilikan Rajawali Nusantara pada
Phapros yaitu 56,77% saham. sumber dana untuk pembelian
saham Phapros didapatkan dari pinjaman perbankan dan dari
kas internal.
Kimia Farma membeli saham Phapros untuk untuk
meningkatkan pangsa pasar dan juga menambah portofolio
bisnis. Lewat akuisisi ini, Kimia Farma menargetkan kenaikan
pangsa pasar di atas 6%. Selain itu, bertujuan untuk
memperkaya portofolio produk obat dan alat kesehatan. Lebih
lanjut aksi korporasi ini juga bertujuan untuk meningkatkan
distribusi produk milik KAEF. Kimia Farma dapat
memanfaatkan kanal distribusi Phapros dan lakukan efisiensi
biaya baik untuk pemasaran maupun penelitian.
Sebagai pemegang saham pengendali di Phapros, dampak
terhadap kegiatan operasional Kimia Farma setelah ini ialah
transaksi pengambilalihan saham Phapros akan membuat
kapasitas produksi Kimia Farma secara konsolidasi
meningkat dan membuat Perseroan dapat memenuhi
permintaan terkait dengan sediaan farmasi (obat, kosmetik,
bahan baku obat), alat kesehatan lainnya dengan lebih baik.
-
9
b. Sinergi antar BUMN
1) PT Kimia Farma (Persero) Tbk menggandeng Bank Mandiri
untuk menyediakan berbagai layanan perbankan yang
terintegrasi bernama "Bank at Work". Melalui kerja sama
tersebut, karyawan Kimia Farma semakin mudah dalam
mendapatkan akses layanan finansial seperti asuransi dan
investasi termasuk layanan co-branding kartu identitas BUMN
farmasi tersebut dengan Bank Mandiri. Beberapa layanan yang
bisa dinikmati yaitu Bank Syariah Mandiri, Mandiri Dana Pensiun
Lembaga Keuangan, Mandiri Inhealth, Mandiri Tunas Finance,
Mandiri Utama Finance, Mandiri Investasi, AXA Mandiri
Financial Services, Mandiri AXA General Insurance, Mandiri
Sekuritas, dan lainnya.
2) PT Kimia Farma Tbk berencana akan membangun pabrik garam
farmasi nasional. Pabrik yang berlokasi di Watudakon, Jombang,
Jawa Timur ini merupakan pabrik bahan baku obat garam
farmasi pertama di Indonesia. Saat ini suplai kebutuhan garam
farmasi di Indonesia seluruhnya masih dipenuhi melalui
importasi. Ini karena hingga saat ini belum ada industri dalam
negeri yang memproduksi garam tersebut. Importasi garam
farmasi dilakukan dari berbagai negara, seperti Jerman,
Tiongkok, Australia, Selandia Baru, dan India. Adapun kapasitas
pabrik garam farmasi direkomendasikan minimal 2.000 ton per
tahun atau sekitar dua per tiga dari total pasar garam farmasi
saat ini dan kapasitasnya dapat dioptimalkan menjadi 3.000 ton.
Sementara itu, bahan baku berasal dari PT Garam. Garam
farmasi merupakan bahan baku yang digunakan untuk
memproduksi infus, produksi tablet, pelarut vaksin, sirup, oralit,
cairan, cuci darah, minuman kesehatan, dan sebagainya. Dalam
bidang kosmetika, garam farmasi dipakai sebagai bahan
campuran pembuatan sabun dan shampoo.
c. Transformasi Bisnis Kimia Farma
1) Kimia Farma terus berupaya melakukan terobosan di tengah
kompetisi industri farmasi yang semakin meningkat serta
disrupsi seiring dengan penerapan program BPJS Kesehatan
yang diprediksi memicu peningkatan permintaan obat generik,
namun demikian tunggakan pembayaran obat masih
menghantui produsen farmasi. Karenanya Kimia Farma
-
10
melakukan transformasi meliputi tiga area, yakni model
business, operational process, dan customer experience,
dengan ditopang tiga program prioritas, yakni peningkatan
sumber daya manusia yang andal dan kompeten, digitalisasi,
dan aliansi strategis. Transformsi digital dalam model bisnis dan
operasional Kimia Farma ditujukan untuk memberikan
kemudahan konsumen.
Kimia Farma bergerak ke model bisnis platform untuk
menyatukan ekosistem farmasi yang terdiri dari manufaktur,
distribusi, apotek, laboratorium diagnostik, perbankan,
asuransi, BPJS dan konsumen. Digitalisasi yang diterapkan
adalah smart stock, menjamin ketersediaan obat di outlet
Kimia Farma di seluruh Indonesia. Dengan smart stock, data
persediaan obat di tidak lagi dicek secara manual. Sistem
akan memonitor jumlah persediaan dan jumlah obat yang
tersebar di seluruh apotek Kimia Farma di seluruh Indonesia.
Jadi, pendistribusian obat akan efektif dan efisien sesuai
dengan demand sehingga Tidak terjadi penumpukan obat
sampai kadaluarsa dan kekurangan persediaan obat.
Keuntungan smart stock adalah meningkatkan buying
commitment dengan adanya pembuatan komitmen,
performance monitoring, commitment watchlist dan supporting
document. Centrilized purchasing meminimalisir perbedaan
kompensasi dan benefit dalam pembelian obat langsung ke
distributor.
Dengan pembelian terpusat, pembelian dari outlet lebih
terkontrol. Sistem secara otomatis akan menginformasikan
jika barang/obat sudah berkurang atau habis jadi bagian
pengadaan langsung mengorder obat melalui aplikasi,
memantau proses pembelian hingga penerimaan obat di
outlet.
Selain itu, melalui resep elektronik dan jaminan ketersediaan
obat; integrasi klinik, digitalisasi Kimia Farma mempermudah
pasien dengan adanya integrasi klinik pasien klinik Kimia
Farma A dapat memeriksakan diri ke Kimia Farma B, karena
pasien memiliki id yang sama dan terintegrasi antar klinik.
Semua data klien sudah tersimpan dalam database. Ini tak
-
11
hanya memudahkan pemeriksaan, tapi juga penulisan resep
dan pembelin obat.
Terkait operational process transformation, Kimia Farma juga
menerapkan lean warehouse management untuk menghindari
pemborosan dan meningkatkan nilai tambah produk. Ada
monitory invetory oleh pusat ke seluruh outlet, hingga proses
pengadaan dan pengembalian barang termonitor dalam
sistem track and trace; sistem terintegrasi antara Kimia Farma
dan BPOM dalam mengendalikan SCM sehingga masyarakat
bisa aktif berpartisipsi mengecek keaslian obat.
2) Kimia Farma juga mengembangkan program rujuk balik yang
merupakan pelayanan kesehatan bagi penderita penyakit kronis,
di fasilitas kesehatan dengan kondisi stabil dan masih
memerlukan pengobatan yang dilaksanakan di faskes tingkat
pertama atas rekomendasi atau rujukan dokter spesialis yang
merawat. Manfaat rujuk balik bagi peserta BPJS adalah
meningkatkan kemudahan akses dan pelayanan kesehatan
yang mencakup akses promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif. Juga meningkatkan hubungan dokter dan pasien
dalam konteks hubungan yang holistik. Dalam data app terdapat
buku kontrol berisi medical record pasien yang ada dalam
pegangan pasien yang bisa dibawa ke manapun pasien berobat
di klinik Kimia Farma seluruh Indonesia. Riwayat kesehatan
yang didapat pasien dari klinik otomatis akan terekam
dalam electronic health record yang bisa diakses konsumen di
manapun kapanpun.
Dalam aspek digitalisasi, pembuatan aplikasi Track & Trace
yang bekerja sama dengan Badan POM telah memasuki
tahap roll-out dimana aplikasi ini berfungsi untuk melindungi
masyarakat terhadap pemalsuan produk obat dan makanan.
Selain itu, juga dikembangkan e-commerce Apotek Kimia
Farma melalui kimiafarmaapotek.co.id Kimia Farma Apotek
juga melakukan kerja sama dengan layanan belanja pesan
antar Go-Mart. Melalui Go-Mart layanan layanan belanja
pesan antar Kimar Farma Apotek dapat diakses pelanggan di
wilayah Jabodetabek, Bandung, Surabaya, Bali, dan
Makassar dengan lebih dari 250 pilihan lokasi Apotek Kimia
Farma. Untuk membedakan layanan online Kimia Farma
-
12
Apotek dengan layanan online lain adalah akses hingga
keunikan dan metode pembayaran yang bisa dilakukan oleh
semua jenis payment gateway. Layanan online tersebut
hanya untuk obat-obat dengan jenis umum tidak untuk resep
dokter. Produk dilengkapi dengan Form Informasi Obat (FIO)
yang berisi informasi tentang indikasi, cara dan aturan pakai,
efek samping dan informasi obat lainnya yang ditulis langsung
oleh apoteker.
3) Kimia Farma bertransformasi menjadi healthcare company
dengan membidik orang-orang yang membangun lifestyle sehat,
bugar dan cantik serta mengembangkan one stop care service
dan beauty clinic yang digunakan untuk apotek dan klinik
pratama yang dilengkapi laboratorium dan hemodialisa. Pasien
bisa mendapatkan fasilitas dokter umum, dokter spesialis, dan
laboratorium di satu tempat saja sehingga semua kebutuhan
pasien bisa terpenuhi.
Kosmetik merupakan kebutuhan lifestyle. Pemilihan produk
kosmetik mesti mempertimbangkan segi kecantikan sekaligus
kesehatan. Label kosmetik PT Kimia Farma (Persero) Tbk,
Marcks’ dan Venus. Marcks’ Teens hadir dengan produk Marcks’
Teens Compact Powder dan Marcks’ Teens Micellar Water.
Sementara itu, Venus Cosmetic menghadirkan Lip Series
(Venus Soft Matte Lipcream dan Venus Water Shine Lipstick)
dan Eyes Series (Venus Eyebrow, Venus Eyeliner, dan Venus
Mascara).
B. Kondisi Objektif PT Bio Farma (Persero)
1. Profil Perseroan
Sejarah Perusahaan
Bio Farma didirikan dengan nama Parc Vaccinogen pada tanggal 6
Agustus 1890 di Jakarta yang saat ini menjadi RSPAD Gatot
Subroto dan pada tahun 1895 berubah namanya menjadi Parc
Vaccinogene en Instituut Pasteur, selanjutnya di tahun 1902 kembali
berubah nama menjadi Landskoepoek Inrichting en Instituut Pasteur
dan pada tahun 1923 pindah ke Bandung.
Pada saat penjajahan jepang namanya diganti menjadi Bandung
Boeki Kenkyuso pada tahun 1942.
-
13
Pada tahun 1945 namanya diganti menjadi Lembaga Pasteur dan
Gedung Cacar pindah dari Bandung ke Klaten selanjutnya di tahun
1950 berada di bawah Kementerian Kesehatan RI. Seiring kebijakan
Nasionalisasi perusahaan maka Lembaga Pasteur diubah menjadi
Perusahaan Negara Pasteur pada tahun 1955 dan selanjutnya
diubah namanya menjadi PN Bio Farma pada tahun 1961. Status
Bio Farma berubah menjadi Perusahaan Umum pada tahun 1978
dan di tahun 1997 hingga saat ini statusnya menjadi PT Bio Farma
(Persero).
Produk Bio Farma
Pengembangan vaksin dimulai dari adanya beban penyakit yang disikapi
melalui pengembangan bibit selama 3 tahun diikuiti pengembangan
vaksin 3 tahun yang dilanjutkan dengan uji klinik 3 tahun, kemudian
dilakukan skala produksi dalam 2 tahun yang meliputi proses perizinan,
pq ke WHO, investasi dan sebagainya baru dilakukan vaksinasi selama 1
tahun
Vaccine: tOPV (10ds & 20ds), bOPV (10ds & 20ds), mOPV-1 (20ds),
measles (10ds), Hepatitis B 0,5mL (1ds), Hepatitis B 1mL (1ds), TT
(10ds), Bio TT (1ds), Td (10ds), Bio Td (1ds), DTP (10ds), DTP-HB10
(10ds), DTP-HB-Hib/Pentadio (1ds, 5ds & 10ds)
Bulk: Polio bulk, Measles bulk, Diphteria bulk, Tetanus bulk, Pertussis
bulk, hib bulk.
2. Kinerja Bio farma
a. Jumlah negara penghasil vaksin menurun dari 63 negara pada
tahun 1990 menjadi hanya 44 negara di tahun 2010. Penurunan
tersebut karena pembuatan vaksin dianggap sebagai bisnis yang
sangat kompleks terutama karena pengembalian investasi yang
lambat dan risiko tinggi pada saat penelitian dan
pengembangannya. Selanjutnya di tahun 2011, lebih dari 70%
permintaan vaksin di dunia berasal dari China, India, dan Indonesia.
b. Bio Farma merupakan satu-satunya produsen biotech di Indonesia,
dibandingkan dengan negara lain yang memiliki lebih dari satu
produsen di negaranya. Karena itu Bio Farma berencana untuk
melakukan pengembangan bisnis antara lain di bidang
pengembangan dan produksi produk plasma (blood product). Produk
plasma yang akan diproduksi adalah albumin, immunoglobulin, dan
faktor VIII yang dibutuhkan untuk kasus penyakit kronis dan
-
14
keganasan, pengobatan pemeliharaan pasien hemofili, serta
penyembuhan infeksi maupun kegagalan sistem kekebalan tubuh.
c. Bio Farma berkonsentrasi pada lima pilar percepatan, yaitu:
Percepatan produk baru dengan semangat inovasi, On time project
yang fokus, pengendalian biaya, penambahan pangsa pasar dalam
negeri dan global serta peningkatan kompetensi SDM. Untuk itu Bio
Farma melakukan penguatan R&D melalui Sistem Manajemen
Inovasi yang meliputi produksi, proses dan strategi, yang dilakukan
secara top down dan bottom up sebagai komitmen Bio Farma untuk
mendukung inovasi industri farmasi di Indonesia menuju
kemandirian produk obat termasuk produk biopharmaceutical
dengan mengintegrasikan sistem Enterprise Resources Planning
untuk perusahaan Bio Teknologi, serta menerapkan teknologi sistem
track and trace yang dapat memonitor distribusi vaksin sejak dari
pabrik sampai ke konsumen untuk menjamin risiko pemalsuan
produk vaksin.
d. Layanan terbaru imunisasi Bio Farma, yaitu Imunicare yang
berbasis Customer Focus dan Friendly Experience dengan
menyediakan vaksinasi Meningitis bagi Jamaah umrah. Imunicare
merupakan bagian dari Klinik Pratama Bio Farma yang memberikan
pelayanan kesehatan terpercaya melalui pelayanan
vaksinasi. Dengan tagline Solution to Immunity, Imunicare hadir
menawarkan jaminan pelayanan yang memuaskan dengan
dukungan kualitas produk dan petugas medis yang
terpercaya. Vaksin meningitis merupakan syarat yang ditetapkan
oleh Pemerintah Arab Saudi bagi setiap warga negara yang akan
pergi kesana untuk melaksanakan Ibadah Umrah dan Haji. Vaksin
meningitis adalah vaksin wajib yang harus dilakukan calon jemaah
umrah untuk melindungi risiko tertular meningitis meningokokus,
suatu infeksi yang terjadi pada selaput otak dan sumsum tulang
belakang.
e. Bio Farma telah menerima status Pre-Qualification WHO (PQ-
WHO), yaitu syarat pemenuhan standar mutu, keamanan, dan
penggunaan secara internasional untuk produksi vaksin, vaksin yang
diproduksi oleh Indonesia ini melingkupi 12 produk yang digunakan
untuk program imunisasi dasar dan imunisasi nasional di masing-
masing negara. Jadi sudah didistribusikan di lebih dari 140 negara.
-
15
Produk-produk lain yang sedang dikembangkan oleh Bio Farma:
Vaksin rotavirus dan vaksin pneumococcal. Selain vaksin Bio
Farma juga melakukan riset pengembangan protein rekombinan.
Vaksin hepatitis B termasuk vaksin wajib dalam imunisasi.
Proses pemberian vaksin dilakukan sebanyak tiga kali, yaitu saat
anak lahir, saat anak berusia satu bulan, dan saat anak berusia
3-6 bulan, tetapi orang dewasa dari segala umur dianjurkan
untuk menerima vaksin hepatitis B. (NNS)
Vaksin polio tunggal (mOPV1) digunakan sebagai imunisasi
tambahan untuk mengatasi secara cepat penyebaran/transmisi
virus polio saat terjadi kejadian luar biasa (KLB), seperti terjadi
di Indonesia tahun 2005. Vaksin tersebut dapat memutus mata
rantai penularan virus polio dengan cepat. Sementara pada
imunisasi rutin, tetap digunakan vaksin polio trivalen (tOPV).
Vaksin polio tunggal selain menyebabkan kekebalan mukosa
usus yang tinggi, juga merangsang peningkatan antibodi
antipolio 1 lebih cepat dan tinggi di dalam darah dibandingkan
dengan vaksin polio trivalent. Vaksin polio tunggal, pertama kali
digunakan di Indonesia bersamaan Pekan Imunisasi Nasional
(PIN) ke-5, November 2005 karena beberapa bulan sebelumnya
terjadi KLB polio. Pemberian vaksin tersebut mengacu
pengalaman negara Amerika, Yaman, dan India yang berhasil
mengatasi KLB penyakit polio.
3. Inovasi Bio Farma
a. Bio Farma merupakan BUMN produsen Vaksin dan Antisera, saat ini
berkembang menjadi perusahaan Lifescience, didirikan 6 Agustus
1890. Dengan filosofi Dedicated to Improve Quality of Life, Bio
Farma berperan aktif dalam meningkatkan ketersediaan dan
kemandirian produksi Vaksin di negara-negara berkembang
termasuk negara-negara Islam untuk menjaga keamanan
kesehatan global (Global Health Security). Selama 128 tahun
pendiriannya Bio Farma telah berkontribusi untuk meningkatkan
kualitas hidup bangsa, baik di Indonesia maupun mancanegara.
Lebih dari 140 negara telah menggunakan produk Vaksin Bio Farma
terutama negara–negara berkembang, dan 50 diantaranya adalah
Negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam
(OKI). Dengan kapasitas produksi lebih dari 2 miliar dosis per tahun,
Bio Farma merupakan produsen vaksin terbesar di Asia Tenggara.
-
16
b. Inovasi yang dilakukan oleh Bio Farma di bidang produksi adalah
melakukan optimasi dan efisiensi proses produksi guna
meningkatkan kapasitas produksi antara lain peluncuran produk
pentabio, yang sesuai dengan namanya, pentabio merupakan lima
jenis vaksin dalam satu kemasan yang terdiri dari Vaksin Difteri,
Tetanus, Pertusis, Hepatitis B dan Haemophilus Influenzae type b
(DTP-HB-Hib). Selanjutnya melalui inovasi kemasan uniject
dapat mengurangi jumlah limbah jarum suntik, kemasan vial,
penghematan penggunaan energi dan sumber daya.
Inovasi produk lainnya adalah vaksin Typhoid Conjugate (Vaksin
untuk mencegah penyakit tifus) yang merupakan vaksin tifoid
generasi baru. Vaksin ini dapat memberi kekebalan lebih lama
terhadap penyakit tifus dari vaksin tifoid yang ada saat ini dan
sudah bisa digunakan untuk anak usia dua tahun.
Produk lainnya adalah vaksin Rotavirus yang digunakan untuk
pencegahan terhadap penyakit diare yang disebabkan oleh
kuman rotavirus pada bayi. Vaksin ini direncanakan akan
diluncukan pada tahun 2020.
c. Inovasi dibidang distribusi dilakukan melalui digitalisasi Track &
Trace System sejak dari proses packaging di manufacturer,
selanjutnya track produck dan authenticate di Distributor yang
berfungsi untuk melindungi masyarakat terhadap pemalsuan produk
d. Untuk menindaklanjuti pertemuan internasional The First Meeting of
Heads of National Medicines Regulatory Authorities (NMRAs) yang
dihadiri oleh Kepala Otoritas Medis dan Regulator negara Organisasi
Kerjasama Islam (OKI) dan menghasilkan Deklarasi Jakarta yaitu
komitmen bersama untuk mewujudkan kemandirian dalam bidang
produksi obat dan vaksin dan juga akses untuk mendapatkannya,
serta mewujudkan Sustainable Development Goals (SGDs) ke-3
tentang Kesehatan dan Kesejahteraan yang baik, dan penelitian dan
pengembangan vaksin dan obat-obatan untuk penyakit menukar dan
penyakit tidak menular di negara berkembang, maka Bio Farma
sebagai produsen lifescience dari negara anggota OIC yang sudah
memiliki PQ-WHO, dan sebagai Centre of Excellence untuk vaksin
dan Bioteknologi memerlukan ada percepatan untuk pembuatan
vaksin halal. Secara bertahap Bio Farma akan membantu
proses downstream pembuatan vaksin untuk salah satu perusahaan
-
17
di Arab Saudi. Kemudian, untuk bidang penelitian, Bio Farma akan
menggandeng Tunisia dan Maroko
e. PT Bio Farma (Persero) mengajak para akademisi untuk
berkolaborasi dalam mencari potensi untuk riset produk-produk baru
vaksin Bio Farma. Hingga kini sudah 14 vaksin produk Bio Farma
yang diakui Badan Kesehatan Dunia WHO.
Para peneliti dari Bio Farma, Universitas Indonesia, dan
International Vaccine Institute (IVI) Korea, baru-baru ini
mempublikasikan hasil uji klinis fase I dari vaksin baru (novel)
yaitu vaksin konjugat tifoid. Uji klinis ini melibatkan orang
dewasa dan anak-anak di Indonesia. Hasil menunjukkan bahwa
vaksin tersebut aman dan berpotensi menghasilkan respons
imun protektif.
Studi ini telah dilakukan bersama antara Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo, Universitas Indonesia, dan Bio Farma, bekerja
sama dengan IVI yang mengembangkan vaksin dan melakukan
transfer teknologi pada produsen vaksin dan antisera di
Indonesia. Saat ini, Studi fase II dari vaksin ini sedang
berlangsung di Indonesia.
Demam tifoid, yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi,
memiliki beban penyakit yang tinggi secara global, dan
diperkirakan menyebabkan angka kematian hingga 200.000 per
tahun. Vaksinasi tifoid merupakan pencegahan yang penting.
Namun demikian, vaksin polisakarida tifoid konvensional (Vi-
PS) ini tidak dianjurkan untuk anak di bawah usia 2 tahun.
4. Kinerja Keuangan
Laporan Posisi Keuangan
Aset selama 5 (lima) tahun terakhir terus meningkat yaitu di tahun
2014 sebesar Rp 3,045miliar; tahun 2015 sebesar Rp 5,681miliar;
tahun 2016 sebesar Rp 5,922miliar; tahun 2017 sebesar Rp
6,449miliar; dan tahun 2018 sebesar Rp 7,401miliar
Liabilitas selama 5 (lima) tahun terakhir terus meningkat dengan
liabiliatas lancar di tahun 2014 sebesar Rp 340miliar; tahun 2015
sebesar Rp 457miliar; tahun 2016 sebesar Rp 453miliar; tahun 2017
sebesar Rp 580miliar; dan tahun 2018 sebesar Rp 745milar. Adapun
liabiliatas tidak lancar di tahun 2014 sebesar Rp 161miliar; tahun
-
18
2015 sebesar Rp 180miliar; tahun 2016 sebesar Rp 167miliar; tahun
2017 sebesar Rp 220miliar; dan tahun 2018 sebesar Rp 693milar.
Ekuitas selama 5 (lima) tahun terakhir terus meningkat yaitu di tahun
2014 sebesar Rp 2,544miliar; tahun 2015 sebesar Rp 5,044miliar;
tahun 2016 sebesar Rp 5,302 miliar; tahun 2017 sebesar Rp
5,650miliar; dan tahun 2018 sebesar Rp 5,963miliar.
Laba-Rugi Perseroan
Pendapatan selama 5 (lima) tahun terakhir terus meningkat yaitu di
tahun 2014 sebesar Rp 2,044miliar; tahun 2015 sebesar Rp
2,346miliar; tahun 2016 sebesar Rp 2,316miliar; tahun 2017 sebesar
Rp 3,012miliar; dan tahun 2018 sebesar Rp 3,235 miliar.
Laba Kotor selama 5 (lima) tahun terakhir terus meningkat yaitu di
tahun 2014 sebesar Rp 1,264miliar; tahun 2015 sebesar Rp
1,478miliar; tahun 2016 sebesar Rp 1,310miliar; tahun 2017 sebesar
Rp 1,354miliar; dan tahun 2018 sebesar Rp 1,411 miliar.
Laba Bersih selama 5 (lima) tahun terakhir terus meningkat yaitu di
tahun 2014 sebesar Rp 582miliar; tahun 2015 sebesar Rp 671miliar;
tahun 2016 sebesar Rp 501 miliar; tahun 2017 sebesar Rp
525miliar; dan tahun 2018 sebesar Rp 543miliar.
Kontribusi Perseroan
Kontribusi Pajak selama 5 (lima) tahun terakhir terus meningkat yaitu
di tahun 2014 sebesar Rp 333miliar; tahun 2015 sebesar Rp
379miliar; tahun 2016 sebesar Rp 302miliar; tahun 2017 sebesar Rp
538miliar; dan tahun 2018 sebesar Rp 720miliar.
Dividen selama 5 (lima) tahun terakhir terus meningkat yaitu di tahun
2014 sebesar Rp 229miliar (40% dari laba tahun buku 2013); tahun
2015 sebesar Rp 145miliar (25% dari laba tahun buku 2014); tahun
2016 sebesar Rp 235miliar (35% dari laba tahun buku 2015); tahun
2017 sebesar Rp 150miliar (30% dari laba tahun buku 2016); tahun
2018 sebesar Rp 236miliar (45% dari laba tahun buku 2017).
5. Rencana Pengembangan Bisnis
Arah Pengembangan Perusahaan
1) Pengembangan Produk
Prioritas utama mengimplementasikan strategi “way to pay”
dalam 5 (lima) tahun kedepan yang difokuskan pada produk life
-
19
science yaitu vaksin dan antisera, biosimilar, stemcell based
product, diagnostic kit, dan blood product.
Mengingkatkan portofolio melalui kemitraan strategis di bidang
riset, produksi, dan pemasaran
2) Pengembangan Bisnis
Percepatan pengembangan kapasitas produksi/manufaktur
dengan menambah kapasitas dan meningkatkan kualitas produk
serta mengefektifkan proses produksi.
Mengembangkan infrastruktur dan perangkat pendukung
pengembangan karyawan melalui penataan organisasi berbasis
produk.
Menerapkan kepatuhan terhadap regulasi internasional dan
regulasi dalam negeri serta terhadap sistem mutu sesuai standar
internasional.
Mengembangkan kemampuan kemandirian bahan baku, riset,
produksi, jaringan distribusi dan pelayanan kesehatan.
3) Pengembangan Pemasaran
Mempertahankan pasar dengan memenuhi permintaan
pemerintah dan meningkatkan pasar swasta dan ekspor.
Mengembangkan jaringan distribusi dan pelayanan di dalam dan
di luar negeri.
4) Pengembangan SDM
Menciptakan keahlian utama yang dibutuhkan korporasi yaitu
keahlian produk, perekayasaan produk, dan pengelolaan
korporasi guna menunjang pengembangan bisnis.
Pengembangan kompetensi, risetatau kehlian untuk
pengembangan produk
Menempatkan personil setingkat relationship manager di negara
atau organisasi internasional yang menjadi stakeholders utama
Menerapkan pengukuran kinerja berbasis KPI dan
mengalokasikan biaya pengembangan SDM sebesar 5% per
tahun
5) Pengembangan Keuangan
-
20
Penyediaan pendanaan melalui internal funded yang
menggunakan dana mandiri dari perusahaan maupun external
funded dari luar perusahaan dengan funding mix yang termurah.
Optimalisasi CAPEX dan pengendalian OPEX
Rencana Pengembangan Bisnis
Vaksin merupakn bisnis inti yang menjadi fokus utama Bio Farma
terutama vaksin PCV13, sIPV, vaksin Typhoid, vaksin Rotavirus, dan
vaksin Hepatitia-A. Sedangkan produk biosimilar, diagnostic kit, stem
cell, dan blood product merupakan bisnis terkait yang dikembangkan
oleh Bio Farma melalui riset jangka panjang.
1) Pada tahun 2018, fokus di bidang vaksin dan antisera melalui
partnership untuk produk varicella dan japanese enchephalitis, serta
melalui kemitraan fill & finish untuk produk IPV
2) Pada tahun 2019, mengembangkan pharmaceutical engineering &
expertise di bidang JV Vial dan ampul melalui partnership untuk
produk PCV13, EPO, Flubio Halal, Yellow Fever, Serum Rabies
3) Pada tahun 2020, mengembangkan biosimilar melalui partnership
untuk produk Diagnostik DM dan Diagnostik Serviks, serta melalui
kemityraan fill & finish untuk produk enoxaparin
4) Pada tahun 2021, mengembangkan blood product (albumin,
immunoglobin, dan faktor vill) serta Diagnostic Kit melalui
partnership untuk produk blood product, Hepatitis a, Stem Cell, dan
Vac Rabies, serta melalui kemitraan fill & finish untuk produk flu
quadrivalent dan MR. Adapun untuk produk nOPV2 melalui stock
pile.
5) Pada tahun 2022, mengembangkan stem cell based product dengan
melaunching produk hasil riset yaitu Rotavirus dan melalui kemitraan
fill & finish untuk produk PCV13.
C. Permasalahan Spesifik
1. Peraturan Perundang-undangan Bidang Kesehatan dan Industri
Farmasi
a. UU No.36/2009 tentang Kesehatan
-
21
a. Bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah
satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan
cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. Bahwa setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif,
partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan
sumber daya manusia Indonesia, serta peningkatan ketahanan
dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional;
c. Bahwa setiap hal yang menyebabkan terjadinya gangguan
kesehatan pada masyarakat Indonesia akan menimbulkan
kerugian ekonomi yang besar bagi negara, dan setiap upaya
peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga berarti investasi
bagi pembangunan negara;
d. Bahwa setiap upaya pembangunan harus dilandasi dengan
wawasan kesehatan dalam arti pembangunan nasional harus
memperhatikan kesehatan masyarakat dan merupakan
tanggung jawab semua pihak baik Pemerintah maupun
masyarakat. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau
serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu,
terintregasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk
pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan
penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau
masyarakat.
e. Upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-
tingginya pada mulanya berupa upaya penyembuhan penyakit,
kemudian secara berangsur-angsur berkembang ke arah
keterpaduan upaya kesehatan untuk seluruh masyarakat
dengan mengikutsertakan masyarakat secara luas yang
mencakup upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif
yang bersifat menyeluruh terpadu dan berkesinambungan.
f. Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
kesehatan ditujukan untuk menghasilkan informasi kesehatan,
teknologi, produk teknologi, dan teknologi informasi (TI)
kesehatan untuk mendukung pembangunan kesehatan.
-
22
Pengembangan teknologi, produk teknologi, teknologi informasi
(TI) dan Informasi Kesehatan dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan hak kekayaan intelektual (HKI). Untuk penelitian
penyakit infeksi yang muncul baru atau berulang (new emerging
atau re emerging diseases) yang dapat menyebabkan
kepedulian kesehatan dan kedaruratan kesehatan masyarakat
(public health emergency of international concern/PHEIC) harus
dipertimbangkan kemanfaatan (benefit sharing) dan penelusuran
ulang asal muasalnya (tracking system) demi untuk kepentingan
nasional.
g. Yang dimaksud dengan teknologi kesehatan adalah cara,
metode, proses, atau produk yang dihasilkan dari penerapan
dan pemanfaatan disiplin ilmu pengetahuan di bidang kesehatan
yang menghasilkan nilai bagi pemenuhan kebutuhan,
kelangsungan, dan peningkatan mutu kehidupan manusia.
h. Kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi terdiri atas unsur
perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan, badan
usaha, dan lembaga penunjang. Lembaga penelitian dan
pengembangan kesehatan berfungsi menumbuhkan
kemampuan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di
bidang kesehatan.
i. Yang dimaksud dengan uji coba adalah bagian dari kegiatan
penelitian dan pengembangan. Penelitian adalah kegiatan yang
dilakukan menurut kaidah dan metode ilmiah secara sistematis
untuk memperoleh informasi, data, dan keterangan yang
berkaitan dengan pemahaman dan pembuktian kebenaran atau
ketidakbenaran suatu asumsi dan/atau hipotesis di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi serta menarik simpulan ilmiah bagi
keperluan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
j. Pengembangan adalah kegiatan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang bertujuan memanfaatkan kaidah dan teori ilmu
pengetahuan yang telah terbukti kebenarannya untuk
meningkatkan fungsi, manfaat, dan aplikasi ilmu pengetahuan
dan teknologi yang telah ada atau menghasilkan teknologi baru.
k. Ilmu pengetahuan adalah rangkaian pengetahuan yang digali,
disusun, dan dikembangkan secara sistematis dengan
menggunakan pendekatan tertentu yang dilandasi oleh
metodologi ilmiah, baik yang bersifat kuantitatif, kualitatif,
-
23
maupun eksploratif untuk menerangkan pembuktian gejala alam
dan/atau gejala kemasyarakatan tertentu.
l. Semua uji coba yang menggunakan manusia sebagai subjek uji
coba wajib didasarkan pada tiga prinsip etik umum, yaitu
menghormati harkat martabat manusia (respect for persons)
yang bertujuan menghormati otonomi dan melindungi manusia
yang otonominya terganggu/kurang, berbuat baik (beneficence)
dan tidak merugikan (nonmaleficence) dan keadilan (justice).
m. Uji coba pada manusia harus dilakukan dengan memperhatikan
kesehatan dan keselamatan yang bersangkutan. Penelitian dan
pengembangan yang menggunakan manusia sebagai subjek
harus mendapat informed consent. Sebelum meminta
persetujuan subyek penelitian, peneliti harus memberikan
informasi mengenai tujuan penelitian dan pengembangan
kesehatan serta penggunaan hasilnya, jaminan kerahasiaan
tentang identitas dan data pribadi, metode yang digunakan,
risiko yang mungkin timbul dan hal lain yang perlu diketahui oleh
yang bersangkutan dalam rangka penelitian dan pengembangan
kesehatan.
n. Hewan percobaan harus dipilih dengan mengutamakan hewan
dengan sensitivitas neurofisiologik yang paling rendah
(nonsentient organism) dan hewan yang paling rendah pada
skala evolusi. Keberhati-hatian (caution) yang wajar harus
diterapkan pada penelitian yang dapat mempengaruhi
lingkungan dan kesehatan hewan yang digunakan dalam
penelitian harus dihormati.
o. Norma yang diatur dalam batang tubuh UU No. 36/2009:
Pasal 3: Pembangunan kesehatan bertujuan untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup
sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi
pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara
sosial dan ekonomis.
Pasal 14 ayat (1): Pemerintah bertanggung jawab
merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, dan
mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata
dan terjangkau oleh masyarakat.
-
24
Pasal 17: Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan
akses terhadap informasi, edukasi, dan fasilitas pelayanan
kesehatan untuk meningkatkan dan memelihara derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya.
Pasal 18: Pemerintah bertanggung jawab memberdayakan
dan mendorong peran aktif masyarakat dalam segala bentuk
upaya kesehatan.
Pasal 19: Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan
segala bentuk upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien,
dan terjangkau.
Pasal 36 ayat (1): Pemerintah menjamin ketersediaan,
pemerataan, dan keterjangkauan perbekalan kesehatan,
terutama obat esensial;
Pasal 36 ayat (2): Dalam menjamin ketersediaan obat
keadaan darurat, Pemerintah dapat melakukan kebijakan
khusus untuk pengadaan dan pemanfaatan obat dan bahan
yang berkhasiat obat.
Pasal 37 ayat (1): Pengelolaan perbekalan kesehatan
dilakukan agar kebutuhan dasar masyarakat akan perbekalan
kesehatan terpenuhi;
Pasal 37 ayat (2): Pengelolaan perbekalan kesehatan yang
berupa obat esensial dan alat kesehatan dasar tertentu
dilaksanakan dengan memperhatikan kemanfaatan, harga,
dan faktor yang berkaitan dengan pemerataan.
Pasal 38 ayat (1): Pemerintah mendorong dan mengarahkan
pengembangan perbekalan kesehatan dengan
memanfaatkan potensi nasional yang tersedia;
Pasal 38 ayat (2): Pengembangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diarahkan terutama untuk obat dan vaksin baru
serta bahan alam yang berkhasiat obat;
Pasal 38 ayat (3): Pengembangan perbekalan kesehatan
dilakukan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan
hidup, termasuk sumber daya alam dan sosial budaya.
Pasal 40 ayat (1) Pemerintah menyusun daftar dan jenis obat
yang secara esensial harus tersedia bagi kepentingan
masyarakat;
-
25
Pasal 40 ayat (2) Daftar dan jenis obat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditinjau dan disempurnakan paling
lama setiap 2 (dua) tahun sesuai dengan perkembangan
kebutuhan dan teknologi;
Pasal 40 ayat (3): Pemerintah menjamin agar obat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersedia secara merata
dan terjangkau oleh masyarakat;
Pasal 40 ayat (6): Perbekalan kesehatan berupa obat generik
yang termasuk dalam daftar obat esensial nasional harus
dijamin ketersediaan dan keterjangkauannya, sehingga
penetapan harganya dikendalikan oleh Pemerintah.
Pasal 98 ayat (1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus
aman, berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan terjangkau;
Pasal 98 ayat (2) Setiap orang yang tidak memiliki keahlian
dan kewenangan dilarang mengadakan, menyimpan,
mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan
bahan yang berkhasiat obat;
Pasal 98 ayat (3) Ketentuan mengenai pengadaan,
penyimpanan, pengolahan, promosi, pengedaran sediaan
farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu
pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah;
Pasal 98 ayat (4) Pemerintah berkewajiban membina,
mengatur, mengendalikan, dan mengawasi pengadaan,
penyimpanan, promosi, dan pengedaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
Pasal 99 ayat (2) Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-
luasnya untuk mengolah, memproduksi, mengedarkan,
mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan sediaan
farmasi yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan
keamanannya;
Pasal 99 ayat (3) Pemerintah menjamin pengembangan dan
pemeliharaan sediaan farmasi.
Pasal 100 ayat (1) Sumber obat tradisional yang sudah
terbukti berkhasiat dan aman digunakan dalam pencegahan,
-
26
pengobatan, perawatan, dan/atau pemeliharaan kesehatan
tetap dijaga kelestariannya;
Pasal 100 ayat (2) Pemerintah menjamin pengembangan dan
pemeliharaan bahan baku obat tradisional .
Pasal 101 ayat (1) Masyarakat diberi kesempatan yang
seluas-luasnya untuk mengolah, memproduksi, mengedarkan,
mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan obat
tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan
keamanannya;
Pasal 101 ayat (2) Ketentuan mengenai mengolah,
memproduksi, mengedarkan, mengembangkan,
meningkatkan, dan menggunakan obat tradisional diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 108 ayat (1) Praktik kefarmasiaan yang meliputi
pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi,
pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian
obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi
obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat
tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. PP No.51/2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian
1) Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk
pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan,
penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan obat,
pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan
informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat
tradisional.
2) Pembangunan bidang kesehatan pada dasarnya ditujukan untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat
bagi setiap orang untuk mewujudkan derajat kesehatan yang
optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan sebagaimana
diamanatkan oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
3) Tenaga Kefarmasian sebagai salah satu tenaga kesehatan
pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat mempunyai
-
27
peranan penting karena terkait langsung dengan pemberian
pelayanan, khususnya Pelayanan Kefarmasian.
4) Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
di bidang kefarmasian telah terjadi pergeseran orientasi
Pelayanan Kefarmasian dari pengelolaan obat sebagai komoditi
kepada pelayanan yang komprehensif (pharmaceutical care)
dalam pengertian tidak saja sebagai pengelola obat namun
dalam pengertian yang lebih luas mencakup pelaksanaan
pemberian informasi untuk mendukung penggunaan obat yang
benar dan rasional, monitoring penggunaan obat untuk
mengetahui tujuan akhir serta kemungkinan terjadinya kesalahan
pengobatan (medication error).
5) Perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan praktik
kefarmasian dirasakan belum memadai, selama ini masih
didominasi oleh kebutuhan formal dan kepentingan Pemerintah,
dan belum memberdayakan Organisasi Profesi dan pemerintah
daerah sejalan dengan era otonomi.
6) Pemberian obat oleh dokter pada dasarnya mempunyai
hubungan sangat erat dengan Pekerjaan Kefarmasian di mana
obat pada dasarnya mempunyai fungsi mempengaruhi atau
menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka
penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan
dan peningkatan kesehatan, oleh karena itu perlu dijaga
kerahasiaannya dan agar tidak menimbulkan dampak negatif
kepada pasien. (Penjelasan Pasal 30 Ayat (1)
7) Standar kefarmasian pada sarana produksi adalah cara
pembuatan yang baik (Good Manufacturing Practices), pada
sarana distribusi adalah cara distribusi yang baik (Good
Distribution Practices), dan pada sarana pelayanan adalah cara
pelayanan yang baik (Good Pharmacy Practices). (Penjelasan
Pasal 35 Ayat (3)
8) Norma yang diatur dalam batang tubuh PP No.51/2009
Pasal 4: Tujuan pengaturan Pekerjaan Kefarmasian untuk: (a)
memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat
dalam memperoleh dan/atau menetapkan sediaan farmasi dan
jasa kefarmasian; (b) mempertahankan dan meningkatkan
mutu penyelenggaraan Pekerjaan Kefarmasian sesuai dengan
-
28
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
peraturan perundangan-undangan; dan (c) memberikan
kepastian hukum bagi pasien, masyarakat dan Tenaga
Kefarmasian.
Pasal 8: Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi dapat berupa
industri farmasi obat, industri bahan baku obat, industri obat
tradisional, dan pabrik kosmetika.
Pasal 9 ayat (1) Industri farmasi harus memiliki 3 (tiga) orang
Apoteker sebagai penanggung jawab masing-masing pada
bidang pemastian mutu, produksi, dan pengawasan mutu
setiap produksi Sediaan Farmasi.
Pasal 32: Pembinaan dan pengawasan terhadap audit
kefarmasian dan upaya lain dalam pengendalian mutu dan
pengendalian biaya dilaksanakan oleh Menteri.
c. PP No. 72/1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi Dan Alat
Kesehatan
1) bahwa pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan
sebagai salah satu upaya dalam pembangunan kesehatan
dilakukan untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang
disebabkan oleh penggunaan sediaan farmasi dan alat
kesehatan yang tidak tepat serta yang tidak memenuhi
persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan;
2) Pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan dilakukan
untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh
sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak tepat dan/atau
yang tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan
kemanfaatan. Selain hal tersebut, sediaan farmasi dan alat
kesehatan perlu dijamin ketersediaannya yang tersebar secara
merata dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat
dalam rangka pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan
masyarakat.
3) Selain hal tersebut, untuk menjamin terpenuhinya persyaratan
mutu, keamanan dan kemanfataan sediaan farmasi dan alat
kesehatan diatur persyaratan jaminan pemeliharaan mutu
sediaan farmasi dan alat kesehatan.
4) Sejalan dengan pengaturan persyaratan mutu, keamanan dan
kemanfataan, maka sediaan farmasi dan alat kesehatan yang
-
29
telah diberikan ijin edar yang kemudian ternyata terbukti tidak
memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan oleh
menteri dicabut ijin edarnya dan ditarik dari peredaran.
5) Untuk melindungi masyarakat dari informasi yang tidak obyektif,
tidak lengkap dan/atau menyesatkan karena dapat
mengakibatkan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan
yang tidak tepat, peraturan pemerintah ini mengatur mengenai
penandaan dan informasi sesiaan farmasi dan alat keshatan.
Penandaan dan informasi tersebut harus memenuhi persyaratan
obyektovitas dan kelengkapan serta tidak menyesatkan.
6) Yang dimaksud dengan obat adalah bahan atau paduan bahan
yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem
fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan
diagnosa, pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit,
pemulihan, dan peningkatan kesehatan termasuk kontrasepsi
dan sediaan biologis.
7) Yang dimaksud dengan obat tradisional adalah bahan atau
ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan,
bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari
bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untk
pengobatan berdasarkan pengalaman.
8) Yang dimaksud dengan perdagangan dalam peredaran sediaan
farmasi dan alat kesehatan adalah setiap kegiatan atau
serangkaian kegiatan dalam rangka penjualan dan/atau
pembelian sediaan farmasi dan alat kesehatan dan kegiatan lain
berkenaan dengan pemindahtanganan sediaan farmasi dan alat
kesehatan dengan memperoleh imbalan.
9) Pada dasarnya produksi sediaan farmasi dan alat kesehatan
hanya dapat dilakukan oleh badan usaha yang telah memiliki ijin
usaha industri. Namun demikian, untuk sediaan farmasi yang
berupa obat tradisional tertentu yang diproduksi oleh perorangan
dikecualikan untuk memiliki ijin usaha industri tersebut.
Pengecualian tersebut dimaksudkan untuk
menumbuhkembangkan produksi sediaan farmasi yang berupa
obat tertentu yang dilakukan perorangan sebagai upaya
peningkatan kesehatan dan pengobatan yang secara turun
temurun digunakan berdasarkan pengalaman. Yang dimaksud
-
30
dengan sediaan farmasi yang berupa obat tradisional tertentu
antara lain usaha jamu gendong dan usaha jamu rumah tangga.
10) Norma yang terdapat dalam batang tubuh PP No.72/1998
Pasal 2 ayat (1): Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang
diproduksi dan/atau diedarkan harus memenuhi persyaratan
mutu, keamanan, dan kemanfaatan
Pasal 2 ayat (2): Persyaratan mutu, keamanan, dan
kemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk :
(a) Sediaan farmasi yang berupa bahan obat dan obat
sesuai dengan persyaratan dalam buku farmakope atau
buku standar lainnya yang ditetapkan oleh Menteri; (b)
Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional sesuai dengan
persyaratan dalam buku Materia Medika Indonesia yang
ditetapkan oleh Menteri; (c) Sediaan farmasi yang berupa
kosmetika sesuai dengan peryaratan dalam buku Kodeks
Kosmetika Indonesia yang ditetapkan oleh Menteri; (d) Alat
kesehatan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh
Menteri.
Pasal 3: Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat
diproduksi oleh badan usaha yang teleh memiliki izin usaha
industri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 4 ayat (1): Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 tidak berlaku bagi sediaan farmasi yang berupa obat
tradisional yang diproduksi oleh perorangan.
Pasal 4 ayat (2): Ketentuan lebih lanjut mengenai produksi
sediaan farmasi yang berupa obat tradisional oleh
perorangan diatur oleh Menteri.
Pasal 5 ayat (1): Produksi sediaan farmasi dan alat
kesehatan harus dilakukan dengan cara produksi yang baik.
Pasal 5 ayat (2): Cara produksi yang baik sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 17: Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang
dimasukkan ke dalam dan dikeluarkan dari wilayah
Indonesia untuk diedarkan harus memenuhi persyaratan
mutu, keamanan dan kemanfaatan.
-
31
Pasal 23 ayat (1): Terhadap sediaan farmasi yang berupa
obat yang sangat dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan
serta belum diproduksi di Indonesia, dapat dilakukan
pemasukan ke dalam wilayah Indonesia selain oleh importir
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
Pasal 23 ayat (2): Pemasukan sediaan farmasi yang berupa
obat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
dilakukan untuk : (a) Keadaan darurat; (b) Atas
pertimbangan dari tenaga kesehatan yang berwenang dalam
pemberian pelayanan kesehatan; (c) Jumlahnya terbatas
sesuai dengan yang dibutuhkan dalam pemberian
pelayanan kesehatan.
Pasal 31: Iklan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang
diedarkan harus memuat keterangan mengenai sediaan
farmasi dan alat kesehatan secara obyektif, lengkap dan
tidak menyesatkan.
Pasal 32: Sediaan farmasi yang berupa obat untuk
pelayanan kesehatan yang penyerahannya dilakukan
berdasarkan resep dokter hanya dapat diiklankan pada
media cetak ilmiah kedokteran atau media cetak ilmiah
farmasi.
Pasal 49: Masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan
serta yang seluas-luasnya dalam mewujudkan perlindungan
masyarakat dan bahaya yang disebabkan oleh penggunaan
sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak tepat
dan/atau tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan
kemanfaatan.
Pasal 50: Peran serta masyarakat diarahkan untuk
meningkatkan dan mendayagunakan kemapuan yang ada
pada masyarakat dalam rangka pengamanan sediaan
farmasi dan alat kesehatan.
Pasal 51: Peran serta masyarakat dilaksanakan melalui : (a)
Penyelenggaraan produksi dan peredaran sediaan farmasi
dan alat kesehatan yang memenuhi persyaratan mutu,
keamanan dan kemanfaatan; (b) Penyelenggaraan,
pemberian bantuan, dan/atau kerjasama dalam kegiatan
penelitian dan pengembangan di bidang sediaan farmasi
-
32
dan alat kesehatan; (c) Sumbangan pemikiran dan
pertimbangan berkenaan dengan penentuan kebijaksanaan
dan/atau pelaksanaan program pengamanan sediaan
farmasi dan alat kesehatan; (d) Melaporkan kepada instansi
pemerintah yang berwenang dan/atau melakukan tindakan
yang diperlukan atas terjadinya penggunaan sediaan
farmasi dan alat kesehatan yang tidak rasional dan/atau
memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan;
(e) Keikutsertaan dalam penyebarluasan informasi kepada
masyarakat berkenaan dengan penggunaan sediaan farmasi
dan alat kesehatan yang tepat serta memenuhi persyaratan
mutu, keamanan dan kemanfaatan.
Pasal 52: Peran serta masyarakat dapat dilakukan oleh
perorangan, kelompok, atau badan yang diselenggarakan
oleh masyarakat.
d. INPRES No.6/2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri
Farmasi dan Alat Kesehatan
bahwa dalam mewujudkan kemandirian dan meningkatkan daya
saing industri farmasi dan alat kesehatan dalam negeri melalui
percepatan pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan,
dinstruksikan kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian,
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan
Kebudayaan, Menteri Kesehatan, Menteri Keuangan, Menteri Riset,
Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Menteri Perindustrian, Menteri
Perdagangan, Menteri Pertanian, Menteri Badan Usaha Milik
Negara, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan; dan Kepala Lembaga
Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, untuk:
1) Mengambil langkah-langkah sesuai tugas, fungsi, dan
kewenangan masing-masing untuk mendukung percepatan
pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan, dengan:
Menjamin ketersediaan farmasi dan alat kesehatan sebagai
upaya peningkatan pelayanan kesehatan dalam rangka
Jaminan Kesehatan Nasional;
Meningkatkan daya saing industri farmasi dan alat
kesehatan di dalam negeri dan ekspor;
-
33
Mendorong penguasaan teknologi dan inovasi dalam bidang
farmasi dan alat kesehatan; dan
Mempercepat kemandirian dan pengembangan produksi
bahan baku obat dan alat kesehatan untuk pemenuhan
kebutuhan dalam negeri dan ekspor serta memulihkan dan
meningkatkan kegiatan industri/utilisasi kapasitas industri.
2) Menginstruksikan kepada Menteri Kesehatan untuk:
Menyusun dan menetapkan rencana aksi pengembangan
industri farmasi dan alat kesehatan;
Memfasilitasi pengembangan industri farmasi dan alat
kesehatan terutama pengembangan ke arah
biopharmaceutical, vaksin, natural, dan Active
Pharmaceutical Ingredients (API) kimia;
Mendorong dan mengembangkan penyelenggaraan riset
dan pengembangan sediaan farmasi dan alat kesehatan
dalam rangka kemandirian industri farmasi dan alat
kesehatan;
Memprioritaskan penggunaan produk sediaan farmasi dan
alat kesehatan dalam negeri melalui e-tendering dan e-
purchasing berbasis e-catalogue;
Mengembangkan sistem data dan informasi secara
terintegrasi yang berkaitan dengan kebutuhan, produksi dan
distribusi sediaan farmasi dan alat kesehatan, pelayanan
kesehatan serta industri farmasi dan alat kesehatan;
Menyederhanakan sistem dan proses perizinan dalam
pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan; dan
melakukan koordinasi dengan Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan untuk meningkatkan
kapasitas BPJS sebagai payer dan memperluas kontrak
dengan fasilitas pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan.
3) Menginstruksikan kepada Menteri Keuangan untuk merumuskan
kebijakan insentif fiskal yang mendukung tumbuh dan
berkembangnya industri farmasi dan alat kesehatan.
4) Menginstruksikan kepada Menteri Riset, Teknologi, dan
Pendidikan Tinggi untuk:
-
34
Mengoordinasikan dan mengarahkan penelitian dan
pengembangan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang
berorientasi terhadap kebutuhan dan pemanfaatan; dan
Melakukan dan mendorong pengembangan tenaga riset dan
mendirikan fasilitas riset terutama studi klinik dan studi non-
klinik dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga ahli,
industri farmasi dan alat kesehatan.
5) Menginstruksikan kepada Menginstruksikan kepada Menteri
Perindustrian untuk:
Menetapkan kebijakan yang mendukung pengembangan
industri farmasi dan alat kesehatan;
Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap implementasi
kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN),
dibidang farmasi dan alat kesehatan; dan
Meningkatkan ketersediaan bahan baku kimia dasar dan
komponen pendukung industri sediaan farmasi dan alat
kesehatan.
6) Menginstruksikan kepada Menteri Perdagangan untuk:
Merumuskan kebijakan perdagangan dalam negeri dan luar
negeri yang diperlukan guna mendukung pengembangan
industri farmasi dan alat kesehatan; dan
Memfasilitasi promosi sediaan farmasi dan alat kesehatan
produksi dalam negeri untuk meningkatkan ekspor.
7) Menginstruksikan kepada Menteri Pertanian menetapkan
kebijakan pengembangan dan peningkatan ketersediaan bahan
baku natural untuk memenuhi kebutuhan industri farmasi dan
alat kesehatan.
8) Menginstruksikan kepada Menteri Badan Usaha Milik Negara
meningkatkan kemampuan badan usaha milik negara industri
farmasi dan alat kesehatan untuk melakukan pengembangan
biopharmaceutical, vaksin, natural, Active Pharmaceutical
Ingredients (API) kimia dan alat kesehatan.
9) Menginstruksikan kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman
Modal untuk:
-
35
Merumuskan kebijakan yang mendorong investasi pada
sektor industri farmasi dan alat kesehatan; dan
Memfasilitasi kerjasama investasi pada sektor industri
farmasi dan alat kesehatan antara industri dalam negeri dan
luar negeri.
10) Menginstruksikan kepada Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan untuk:
Memfasilitasi pengembangan obat dalam rangka
mendukung akses dan ketersediaan obat untuk masyarakat
sebagai upaya peningkatan pelayanan kesehatan dalam
rangka Jaminan Kesehatan Nasional;
Mendukung investasi pada sektor industri farmasi dan alat
kesehatan melalui fasilitasi dalam proses sertifikasi fasilitas
produksi dan penilaian atau evaluasi obat; dan
Mendorong pelaku usaha untuk meningkatkan kepatuhan
terhadap regulasi dan standar dalam rangka menjamin
keamanan, mutu dan khasiat serta peningkatan daya saing
industri farmasi.
11) Menginstruksikan kepada Kepala Lembaga Kebijakan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah untuk memprioritaskan dan
mempercepat proses e-catalogue sediaan farmasi dan alat
kesehatan dalam negeri.
12) Menginstruksikan kepada Menteri Koordinator Bidang
Pembangunan Manusia dan Kebudayaan melakukan koordinasi
peningkatan penggunaan produk farmasi dan alat kesehatan
sebagai upaya peningkatan pelayanan kesehatan termasuk
untuk mendukung pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional.
13) Menginstruksikan kepada Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian untuk:
Melakukan koordinasi untuk terlaksananya percepatan
pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan
sebagaimana dimaksud dalam Instruksi Presiden ini; dan
Memantau pelaksanaan Instruksi Presiden ini dan
melaporkan kepada Presiden secara berkala setiap 6
(enam) bulan atau sewaktu-waktu apabila diperlukan.
-
36
2. Peluang dan Tantangan Industri Farmasi
a. Obat merupakan bagian penting dalam kesehatan masyarakat dan
industri farmasi. Berdasarkan sifatnya obat-obatan ada yang
mempunyai barang substitusi, tetapi ada pula yang tidak. Dengan
sifat tersebut maka obat merupakan barang ekonomi strategis di
rumah sakit. Berbagai rumah sakit melaporkan bahwa keuntungan
dari obat yang dijual merupakan hal paling mudah dilakukan
dibandingkan dengan keuntungan pada jasa lain, misalnya
pelayanan laboratorium, radiologi, pelayanan rawat inap, ataupun
pelayanan gizi.
b. Seringkali muncul prasangka yang berkembang di masyarakat
bahwa dokter menerima berbagai keuntungan dan fasilitas dari
industri farmasi. Sementara itu, masyarakat sering mengeluh
tentang mahalnya harga obat yang dibutuhkan justru pada saat
orang sakit dan tidak mampu bekerja.
c. Kompetisi dalam industri farmasi sangat dinamis, tergantung pada
elastisitas harga dan sistem asuransi kesehatan, dan kebijakan
pemerintah. Pola kerja untuk memproduksi obat pada industri
farmasi dapat dibagi menjadi dua periode. Periode pertama adalah
penelitian dasar dan pengembangan di laboratorium, merupakan
investasi yang mempunyai risiko tinggi berupa kegagalan secara
ilmiah. Periode kedua adalah tata niaga obat di masyarakat, undang-
undang paten melindungi industri farmasi dari pesaing. Apabila
masa paten selesai, maka pabrik obat lain boleh memproduksi
dalam bentuk obat generik sehingga pendapatan akan turun.
1) Mekanisme mendapat keuntungan ini dipengaruhi berbagai sifat
khas industri farmasi yang tidak dijumpai pada industri lain.
Salahsatu sifat tersebut adalah adanya Barriers to Entry yang
akan mempengaruhi harga obat. Hambatan untuk masuk ke
industri farmasi dilakukan dalam berbagai bentuk: (1) regulasi
obat; (2) hak paten; dan (3) sistem distribusi.
Hambatan pertama masuk pada industri farmasi adalah aspek
regulasi dalam industri farmasi yang sangat ketat. Di Amerika
Serikat regulator utama adalah Food and Drug Administration
(FDA), sedang di Indonesia dipegang oleh Badan
Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Proses pengujian
obat di Amerika Serikat (termasuk dalam periode 1)
berlangsung lama, bisa terjadi hingga 15 tahun dengan
-
37
proses yang sangat kompleks. Setelah menemukan formula
kimia baru untuk menangani suatu penyakit, perusahaan obat
harus melakukan uji coba pada binatang untuk mengetahui
daya racun jangka pendek dan keselamatan obat.
Selanjutnya, FDA akan memberikan persetujuan melakukan
uji klinik yang tersusun atas tiga tahap. Tahap I dimulai
dengan sekelompok kecil orang sehat dan berfokus pada
dosis dan keamanan obat. Tahap II akan diberikan kepada
sejumlah orang yang lebih banyak (sampai ratusan) yang
mempunyai penyakit untuk menguji efikasi obat
(kemanjurannya). Tahap III akan dilakukan ke ribuan pasien
dengan berbagai latar belakang berbeda untuk menguji
efikasi dan keselamatannya secara lebih terinci. Dapat
dibayangkan betapa berat dan mahal proses ini.
Faktor penghambat kedua adalah hak paten yang diberikan
oleh pemerintah untuk industri farmasi yang berhasil
menemukan obat baru. Contoh yang paling hangat adalah
hak paten untuk obat Viagra® yang sangat menguntungkan
karena pembelinya banyak dan harga tinggi. Dengan adanya
kebijakan paten maka perusahaan farmasi baru harus
mempunyai obat baru yang membutuhkan biaya riset tinggi
atau memproduksi obat-obat generik yang sudah tidak ada
patennya lagi dengan risiko banyak pesaing. Setelah sebuah
obat habis waktu hak patennya, perusahaan-perusahaan lain
dapat memproduksi obat serupa. Oleh karena itu, hambatan
untuk masuk menjadi lebih rendah, dan harga dapat turun.
Obat-obat ini disebut generik yang dampak terapinya sama
dengan obat bermerek. Secara logika, paten memang
ditujukan dalam usaha merangsang penelitian ilmiah untuk
menemukan obat-obatan baru. Reuter Business Insight
menggambarkan life-cycle produksi obat, bahwa ketika
industri farmasi menikmati masa monopoli obat karena paten
sekitar 17-25 tahun maka terdapat kebebasan bagi pabrik
menetapkan harga setinggi mungkin untuk mendapatkan
profit setinggi-tingginya.
Hambatan ketiga untuk masuk adalah sistem jaringan
distribusi dan pemasaran industri farmasi yang sangat
kompleks. Jaringan sistem distribusi dan pemasaran
mempunyai ciri menarik yaitu menggunakan konsep
-
38
‘detailling’, yaitu perusahaan farmasi dengan melalui jaringan
distributor melakukan pendekatan tatap muka dengan dokter
yang berpraktik di rumah sakit ataupun praktik pribadi.
Kegiatan detailing ini melibatkan banyak pihak dan
mempunyai berbagai nuansa termasuk adanya komunikasi
untuk mendapatkan situasi saling menguntungkan antara
dokter dan industri farmasi. Dalam komunikasi ini terbuka
kemungkinan terjadi bentuk kolusi antara dokter dan industri
farmasi. Dengan bentuk pemasaran seperti ini, akan sulit bagi
pemain baru masuk dalam industri farmasi.
2) Di dalam masyarakat, sistem promosi dan pemasaran obat akan
menambah mahalnya harga obat. Berbagai hal tersebut terkait
secara kompleks sehingga sulit untuk menurunkan harga obat.
Sebagai contoh, kebijakan memperpendek waktu paten, atau
memberi lisensi kepada pabrik obat di negara sedang
berkembang memproduksi obat secara murah ditentang keras
oleh perusahaan obat. Logika yang dipergunakan adalah apabila
kebijakan ini berjalan maka motivasi melakukan penelitian obat
baru akan rendah. Dengan logika ini diperkirakan bahwa di
dunia tidak akan ada penelitian baru mengenai obat, kecuali
yang disponsori pemerintah tanpa ada hak paten yang optimal.
3) Kebijakan obat generik ternyata tidak mampu menekan biaya
obat secara signifikan. Graboswski dan Vernon (1992)
melaporkan bahwa walaupun ada obat generik yang murah,
produsen obat tetap menaikkan harga. Dalam hal ini terdapat
loyalitas dokter terhadap merek-merek obat yang bukan generik.
Hellerstein (1998) melaporkan bahwa hanya 29% resep ditulis
dengan obat generik di Amerika Serikat. Keadaan ini dapat
dipahami karena adanya teori dokter sebagai agen pasien dalam
memilih obat dan informasi. Dalam teori agensi, para dokter
tidak mendapat manfaat ekonomi dari penghematan harga obat.
Sementara itu, berdasarkan informasi, para dokter tidak
menerima informasi cukup mengenai efektivitas dan harga obat
generik. Seperti yang diduga, dokter yang berada dalam sistem
managed care lebih cenderung menulis obat generik. Hal ini
disebabkan oleh tekanan sistem managed care dengan daftar
formularium dan sistem insentif atau disinsentif untuk para
dokter dalam peresepan obat, termasuk mensponsori
pertemuan-pertemuan ilmiah, jurnal, bahkan penelitian-
-
39
penelitian ilmiah. Semua kegiatan ini tentunya dimasukkan
dalam proses penetapan harga obat.
4) Secara praktis harga obat memang sulit diturunkan. Di Indonesia
keadaan menjadi lebih sulit karena pemerintah tidak mempunyai
wewenang mengendalikan harga obat, berbeda dengan
Pemerintah Italia atau Kanada yang mengatur harga obat yang
beredar di negara itu, atau India yang mengatur harga obat yang
dianggap sangat esensial, Indonesia tidak secara langsung
mengatur harga obat bermerek (branded). Indonesia hanya
membuat program obat generik yang harganya ditetapkan
pemerintah.
Dalam keadaan ini apa yang dapat dilakukan? Pendekatan
pertama adalah menekan harga obat mulai dari fase riset
hingga pemasaran. Penekanan ini dapat menggunakan
berbagai bentuk, termasuk pembiayaan riset oleh
pemerintah atau masyarakat. Di samping itu, diharapkan
kerja sama antara perusahaan obat yang mempunyai sistem
produksi dan distribusi baik dengan pemerintah untuk
menyediakan obat murah terutama bagi masyarakat miskin
(Wildus 2001). Pendekatan ini sedang dilakukan oleh TB
Alliance, kelompok yang berusaha mengembangkan obat
TB baru dengan dana campuran dari berbagai sumber,
pemerintah, masyarakat, dan industri farmasi. Di samping
itu, timbul usaha untuk memperpendek waktu paten, tetapi
hal ini ditentang keras oleh industri obat.
Pendekatan kedua adalah menggunakan pendekatan etika.
Dalam hal ini Burton dkk (2001) menyatakan bahwa harus
ada nilai normatif dalam bentuk etika yang dipunyai oleh
sektor kesehatan dalam mengendalikan biaya obat. Nilai-
nilai tersebut akan hadir apabila timbul kesadaran mengenai
keterbatasan sumber daya untuk pengadaan obat, rasa
kemanusiaan untuk menolong orang yang sakit dan
sengsara, adanya hak pasien mendapatkan yang terbaik,
kepercayaan bersama, dan adanya kesadaran mengenai
pemilihan obat sebagai keputusan bersama. Apa yang
diuraikan oleh Burton dkk(2001) merupakan harapan
normatif yang disampaikan untuk sektor kesehatan dan
-
40
industri farmasi. Banyak pihak yang skeptis terhadap
pendekatan normatif ini, tanpa suatu peraturan tegas.
5) Velasquez (1998) menguraikan sebuah contoh etika bisnis
perusahaan yang berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh
Merck, perusahaan obat raksasa. Pada tahun 1979, Dr. William
Campbell, seorang peneliti yang bekerja pada Merck and Co,
menemukan bukti bahwa salah satu obat binatang Ivermectin®
mungkin dapat membunuh parasit yang menyebabkan penyakit
river blindness di Afrika dan Amerika Latin. Dr. Campbell dan
timnya kemudian menghubungi Dr. P. Roy Vagelos, Chairman
Merck mengenai hal ini. Penemuan ini menjadikan perdebatan di
dalam Merck, apakah akan meneruskan penelitian ini dan
mencobakannya ke manusia. Para manajer yang menentang
menyatakan bahwa masyarakat miskin tidak akan mampu
membeli obat ini. Di samping itu, timbul pertanyaan mengenai
bagaimana ongkos distribusinya untuk mencapai penduduk
miskin di pedalaman? Di samping itu, risiko Merck akan rugi
besar karena dapat menghancurkan pasar obat binatang
Ivermectin® yang mempunyai omzet 300 juta $ setahun. Dalam
perdebatan ini, muncul isu moral yang menyatakan bahwa
manfaat obat ini untuk manusia tidak dapat diabaikan.
Pertimbangan ini akhirnya mengalahkan aspek untung-rugi
sehingga nama Merck akan menjadi kenangan baik. Tentunya
dalam hal ini akan timbul pengaruh positif untuk penjualan Merck
di kelak kemudian hari. Memang pada jangka pendek, seolah
etika akan bertabrakan dengan tujuan bisnis untuk
menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Akan tetapi,
dalam jangka panjang etika dan profit akan berjalan bersama.
6) Praktik bisnis industri farmasi selalu saja dikaitkan dengan
sejumlah isu etika. Penelitian Sillup, GP., and SJ. Porth. 2008.
“Ethical Issues in The Pharmaceutical Industry : An Analysis of
US Newspapers”. International Journal of Pharmaceutical and
Healthcare. Vol 2 No 3, hal 163 – 180. Menyatakan bahwa ada
enam isu etika yang terjadi pada industri farmasi, yakni terkait
keamanan obat, kebijakan harga, pengungkapan data, kebijakan
impor dan reimpor, desain studi klinis, dan terkait dengan
pemasaran obat.
-
41
Hasil penelitian Ahmed, R.R and A. Saeed. 2012. “Pharma-
ceutical Drug Promotions in Pakistan : Issues in Ethical and
Non Ethical Practices”. Interdiciplinary Journal of
Contemporary Research in Business. Vol 4 No 4, hal 149 –
164. menyatakan bahwa telah terjadi praktik pemasaran tidak
beretika di industri farmasi Pakistan dan harus segera
dihentikan oleh semua stakeholders industri farmasi disana.
Pelanggaran etika di farmasi juga terjadi pada aspek
kekayaan intelektual seperti pelanggaran hak paten (Gewertz
and Amado 2004).
Pelanggaran praktik bisnis di industri farmasi juga terjadi di
Indonesia terutama pada praktik kerjasama atau kontrak
antara perusahaan farmasi dengan tenaga kesehatan. Kerja
sama atau kontrak ini diperhitungkan sebagai biaya promosi
yang kemudian dimasukkan ke biaya produksi sehingga biaya
produksi menjadi tinggi dan harga obat menjadi mahal.
Mahalnya harga obat menjadi tanggungan konsumen.
Tentang dugaan banyaknya praktik pemasaran yang tidak
sesuai dengan kode etik pemasaran dibenarkan oleh
International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG),
sebuah organisasi yang terdiri dari 24 perusahaan farmasi
internasional yang berbasis riset di Indonesia (Purwo 2012).
Akibat praktik kolusi tersebut harga oba