laporan modul i blok xvii ketergantungan zat …docshare04.docshare.tips/files/5049/50494319.pdf ·...
TRANSCRIPT
LAPORAN MODUL I BLOK XVII
KETERGANTUNGAN ZAT PSIKOAKTIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UMUM
UNIVERSITAS MULAWARMAN
2009
1
Disusun oleh : Kelompok I
Rocherman Gema Aditama (0708015033)
Okki Masitah Safitri N (0708015043)
Khoirun Nisa (0708015002)
Sisca Andriany (0708015024)
Hajrah (0708015039)
Rahmatul Yasiro (0708015055)
Siti Desy Astari (0708015032)
Nurul Salamah (0708015001)
Arbaiyah (0708015018)
Tutor: dr. Nurul Hasanah, M. Kes.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas rahmat dan hidayah-Nyalah makalah zat-zat psikoaktif ini dapat diselesaikan
tepat pada waktunya. Makalah ini disusun dari berbagai sumber ilmiah sebagai
hasil dari diskusi kelompok kecil (DKK) kami. Makalah ini secara menyeluruh
membahas mengenai infeksi dan inflamasi pada hidung, sinus paranasalis dan
telinga.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu terselesaikannya makalah ini, antara lain :
1. dr. Abdillah Iskandar, M.Kes selaku tutor kelompok I yang telah membimbing
kami dalam melaksanakan diskusi kelompok kecil (DKK) modul I blok XVII
ini.
2. Teman-teman kelompok I yang telah mencurahkan pikiran dan tenaganya
sehingga diskusi kelompok kecil (DKK) 1 dan 2 dapat berjalan dengan baik
dan dapat menyelesaikan makalah hasil diskusi kelompok kecil (DKK)
kelompok I.
3. Teman-teman mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
angkatan 2007 dan pihak-pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan satu
persatu.
Akhirnya, tiada gading yang tak retak, tentunya makalah ini sangat jauh
dari sempurna. Oleh karena itu, saran serta kritik yang bersifat membangun sangat
kami harapkan demi tercapainya kesempurnaan dari isi makalah hasil diskusi
kelompok kecil (DKK) ini.
Samarinda, 20 Maret 2010
Penyusun
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar........................................................................................................2
Daftar Isi.................................................................................................................3
Pendahuluan............................................................................................................4
a. Latar Belakang .......................................................................................4
b. Tujuan Modul .........................................................................................4
Isi............................................................................................................................5
a. Terminologi Asing .........................................................................5
b. Identifikasi Istilah ....................................................................................5
c. Analisis Masalah .....................................................................................5
d. Strukturisasi ............................................................................................9
e. Learning Objective ..............................................................................10
f. Belajar Mandiri ......................................................................................10
g. Sintesis .................................................................................................10
Penutup..................................................................................................................88
Kesimpulan............................................................................................................88
Daftar Pustaka........................................................................................................89
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Penyalahgunaan atau ketergantungan NAPZA dari tahun ke tahun
semakin meningkat, sementara fenomena NAPZA itu sendiri bagaikan
fenomena gunung es (ice berg) artinya yang tampak di permukaan lebih kecil
dibandingkan dengan yang tidak tampak (di bawah permukaan laut).
Permasalahan penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA mempunyai
dimensi yang luas dan kompleks; bai dari sudut medik, psikiatrik, kesehatan
jiwa maupun psikososial. Dampak yang ditimbulkan dari ketergantungan
NAPZA antara lain merusak hubungan kekeluargaan, menurunkan
kemampuan belajar dan produktivitas kerja secara dratis, ketidakmampuan
membedakan yang mana baik dan buruk, perilaku maladaptive, gangguan
kesehatan (fisik dan mental), mempertinggi jumlah kecelakaan lalu lintas,
tindak kekerasan dan kriminalitas.
Dalam laporan kali ini, akan membahas mengenai NAPZA dan
ketergantungan terhadap NAPZA.
B. Manfaat modul
Tujuan modul I blok XVII ini adalah mempelajari tentang jenis-jenis
NAPZA dan terjadinya ketergantungan terhadap NAPZA sesuai dengan
masing-masing zatnya. Modul I ini digambarkan dengan jelas di skenario
sehingga dapat mengarahkan ke learning objective yang harus dicapai.
4
BAB II
ISI
STEP 1
TERMINOLOGI ASING
• Withdrawal Syndrome : suatu keadaan penarikan diri yang
patologis dari kontak antar personal dan lingkungan social yang timbul
bila obat yang telah terjadi ketergantungan padanya, dihentikan.
Contohnya depresi. Gejala-gejala itu dinamankan gejala putus obat
• Paranoid : perasaan takut yang berlebihan,
delusional disorder, psychotic disorder.
• Sakaw : [sakit karena putaw] merupakan
gejala dari putus obat.
• Narkoba : [narkotika dan obat berbahaya]
bahan yang dapat mempengaruhi kejiwaan atau psikologis bila digunakan
secara tidak benar.
• Zat psikoaktif : zat atau obat baik alamiah ataupun
sintesis yang bukan narkotika dan bersifat psikoaktif yang dapat
berpengaruh selektif pada SSP menyebabkan perubahan khas pada
aktivitas mental dan perilaku.
STEP 2
IDENTIFIKASI MASALAH
1. Apa sajakah gejala – gejala withdrawal ?
2. Mengapa bisa terjadi gejala withdrawal, lengan memar-memar dan luka-
5
luka iris, dan luka lecet di pelipis ?
3. Mengapa terjadi lakrimasi, rhonore, midriasis dan paranoid ?
4. Apa saja kemungkinan obat yang digunakan dalam scenario ?
5. Bagaimana mekanisme kerja dari obat sehingga menimbulkan
ketergantungan obat ?
6. Hal apa saja yang bias menimbulkan ketergantungan ?
7. Mengapa pada scenario dianjurkan pemeriksaaan urin pada saat itu juga ?
dan apa hasil interpretasi dari pemeriksaan?
8. Apa diagnosa sementara dari gejala-gejala yang ada di scenario ?
9. Apa sajakah factor resiko dari diagnosa tersebut ?
10. Bagaimana penangan awal pada kasus di scenario ?
STEP 3
BRAINSTORMING
1. Gejala withdrawal yang terjadi bergantung dari jenis dan keparahan
pemakaian obat. Gejala –gejala withdrawal yang mungkin timbul antara
lain lakrimasi, rhinore, midriasis, demam, hipertensi, diare, mengantuk,
berat badan menurun, mual muntah, insomnia, chepalgia, emosional dan
pegal pegal.
2. Gejala withdrawal dapat terjadi bila obat yang telah terjadi ketergantungan
padanya dihentikan. Hal ini sesuai dengan teori adaptasi seluler (neuro-
adaptation), tubuh beradaptasi dengan menambah jumlah reseptor dan sel-
sel saraf bekerja keras. Jika NAPZA dihentikan, sel yang masih bekerja
keras tadi mengalami keausan, yang dari luar nampak sebagai gejala-
gejala putus NAPZA. Lengan memar dan luka pada pelipis kemungkinan
6
besar terjadi karena pada saat pemakaian NAPZA tersebut umumnya salah
satu gejala yang ditimbulkan adalah kurangnya keseimbangan, kurangnya
konsentrasi, dan kurang awas. Hal itu yang mnyebakan pengguna obat
tersebut sering mendapat luka-luka seperti itu. Sedangkan, luka-luka iris
yang terjadi kemungkinan besar disengaja oleh pengguna sebagai salah
satu cara penggunaan obat-obat yang di intra vena.
3. Lakrimasi , rhinorea, pupil midriasis, dan paranoid yang timbul sebagai
bentuk dari gejala putus obat yang dimulai 12-16 jam sesudah dosis
terakhir.. Hal tersebut merupakan efek dari toleransi yang menimbulkan
dependensi.
4. Jenis-jenis zat psikoaktif yang munkin disalahgunakan dan menimbulkan
ketergantungan seperti scenario, antara lain :
a. Psikotropika, dalam 2 bentuk yaitu ekstasi dan shabu-shabu
b. Narkotika, digolongkan dalam 2 golongan yaitu opiod dan non
opiod.
5. Mekanisme kerja dari obat sehingga menimbulkan ketergantungan sesuai
dengan teori adaptasi seluler (neuro-adaptation), tubuh beradaptasi dengan
menambah jumlah reseptor dan sel-sel saraf bekerja keras. Jika NAPZA
dihentikan, sel yang masih bekerja keras tadi mengalami keausan, yang
dari luar nampak sebagai gejala-gejala putus NAPZA. Gejala putus
NAPZA ini memaksa seseorang untuk mengulangi pemakaian NAPZA
tersebut, demikianlah seterusnya.
6. Hal-hal yang menimbulkan ketergantungan selain zat psikoaktif antara lain
:
a. Kafein
b. Alcohol
c. Nikotin
7
d. Lem
e. Thiner
f. Aseton atau pembersih cat kuku
g. Inhalasi
7. Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan urin karena dari pemeriksaan
urin didapatkan kandungan zat psikoaktif karena beberapa zat tersebut
akan dieksresikan melalui urin oleh tubuh.
8. Diagnosa sementara adalah ketergantungan penyalahgunaan obat.
9. Factor resiko terjadinya ketergantungan penyalahgunaan obat-obatan :
a. Factor internal
i. Usia
ii. Depresi
iii. Kepribadian
iv. Pemecahan masalah
v. Coba-coba
b. Factor eksternal
i. Keluarga
ii. Lingkungan
iii. Teman sebaya
iv. Sosioekonomi
10. Penanganan yang dapat dilakukan kepada seorang ketergantungan obat-
obat psikoaktif :
8
a. Primer dengan kita kenali dan dekati pengguna
b. Sekunder, diberikan terapi pengobatan untuk pengguna
c. Tersier, diberikan rehabilitasi pada pengguna obat-obat psikoaktif
STEP 4
SKEMA
9
WITHDRAWAL SYNDROME
TOLERANSI
ADIKTIF
DRUG ABUSE
FAKTOR RESIKO
INTERNAL EKSTERNAL
STEP 5
LEARNING OBJECTIVE
1. Mengetahui dan menjelaskan tentang jenis – jenis NAPZA
2. Mengetahui dan menjelaskan etiologi, patofisiologi, gejala klinis,
diagnosis, diagnosis banding, terapi, komplikasi dan pencegahan dari
ketergantungan NAPZA
STEP 6
BELAJAR MANDIRI
Dari hasil diskusi kelompok kecil yang pertama kami akan mencoba untuk
1
PENCEGAHAN
PEMERIKSAAN
TATALAKSANA
mencari referensi lain lagi untuk kembali didiskusikan pada diskusi kelompok
kecil yang kedua.
STEP 7
SINTESA
GANJA
Daun Ganja
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Urticales
Famil : Cannabaceae
Genus : Cannabis
Spesies : C. sativa
Nama binomial : Cannabis sativa Linnaeus Subspecies
1
C. sativa L. subsp. sativa
C. sativa L. subsp. indica
Ganja (Cannabis sativa syn. Cannabis indica) adalah tumbuhan budidaya
penghasil serat, namun lebih dikenal karena kandungan zat narkotika pada bijinya,
tetrahidrokanabinol (THC, tetra-hydro-cannabinol) yang dapat membuat
pemakainya mengalami euforia (rasa senang yang berkepanjangan tanpa sebab).
Ganja menjadi simbol budaya hippies yang pernah populer di Amerika Serikat.
Hal ini biasanya dilambangkan dengan daun ganja yang berbentuk khas. Selain itu
ganja dan opium juga didengungkan sebagai simbol perlawanan terhadap arus
globalisme yang dipaksakan negara kapitalis terhadap negara berkembang. Di
India, sebagian Sadhu yang menyembah dewa Shiva menggunakan produk
derivatif ganja untuk melakukan ritual penyembahan dengan cara menghisap
Hashish melalui pipa Chilam/Chillum, dan dengan meminum Bhang.
Ganja.
Dikategorikan sebagai "depresan" (obat yang mengurangi kegiatan sistem saraf)
dan "halusinogen" (menimbulkan halusinasi). Ganja terbuat dari daun tanaman
kanabis. THC (Delta 9 tetrahydrocannibinol) adalah salah satu dari 400 bahan
kimia yang ditemukan di dalam ganja. THC-lah yang menyebabkan pengaruh
yang mengubah suasana hati. Kadar THC yang terdapat pada ganja yang beredar,
semakin hari semakin meningkat.
Ganja (kanabis) mempunyai beberapa bentuk.
• Ganja biasanya berbentuk dedaunan seperti tembakau berwarna hijau.
• Hashish atau minyak hashish merupakan bentuk ganja yang lebih kuat.
Hashish adalah getah pohon ganja dan dijual dalam bentuk minyak atau
kubus padat kecil.
Nama-nama lain: gele, daun, cimeng, dll. Pengaruh langsung pemakaian ganja
Ganja dapat menimbulkan efek yang berbeda-beda. Beberapa orang mengalami
reaksi yang lebih kuat dari yang lain. Reaksi yang paling umum adalah perasaan
"teler" atau "melayang". Pengaruh-pengaruh lain termasuk: Paranoia (ketakutan
1
yang berlebihan dan tidak rasional) Muntah-muntah Kehilangan koordinasi
Kebingungan Nafsu makan meningkat Mata merah Halusinasi Pengaruh jangka
panjang pemakaian ganja Penelitian menunjukan bahwa terdapat pengaruh yang
lebih berat apabila ganja digunakan secara teratur. Beberapa diantaranya:
• Resiko tinggi bronkhitis
• Kanker paru-paru dan penyakit-penyakit pernafasan (ganja mengandung
tar dua kali lebih banyak dari rokok).
• Kehilangan minat dan semangat untuk melakukan kegiatan, kehilangan
tenaga dan kebosanan.
• Kerusakan memori jangka pendek, daya pikir logikal dan koordinasi
gerakan badan.
• Dorongan seks menurun.
• Jumlah sperma berkurang (pada pria), siklus menstruasi tidak teratur (pada
wanita).
• Gejala gangguan kejiwaan yang berat.
• Kerusakan sistem kekebalan tubuh.
• Addiction
Ganja menimbulkan ketergantungan mental dan mengakibatkan kecanduan secara
mental.
Drive and Accident
Ganja mempengaruhi keterampilan motorik dan koordinasi, penglihatan dan
kemampuan untuk mengukur jarak dan kecepatan. Mengendarai mobil atau motor
dengan orang yang sedang "teler" karena ganja adalah sangat berbahaya.
Daya ingat dan belajar
Ganja mempengaruhi kemampuan mengingat. THC akan mengganggu proses
berpikir terutama yang membutuhkan logika. Ganja juga dapat mengakibatkan
kesulitan belajar, walaupun pelajaran/tugas yang sederhana, sehingga seseorang
1
dapat berprestasi buruk dalam pekerjaan atau belajar.
Obat-obat lain
Ganja dianggap sebagai 'gerbang narkoba' karena seseorang yang memakai ganja
memiliki resiko yang lebih besar untuk memakai zat-zat adiktif yang lebih keras.
Berdasarkan hasil survey, sekitar 98% pemakai heroin bermula dari memakai
ganja.
OPIOID
Opioid ditentukan oleh kemampuan mereka untuk mengikat dan pengaruh
candu reseptor pada membran sel. Mereka dapat dibagi menjadi 3 kelas:
• opioid alami klasik adalah opium dan morfin. Opium diekstrak dari
tanaman Papaver somniferum (opium poppy), dan morfin adalah
komponen aktif utama opium. Seperti polipeptida endogen saraf dan
endorfin dan juga enkephalins opioid alami.
• Semi-sintetik opioid: Semisynthesis adalah jenis sintesis kimia yang
menggunakan senyawa terisolasi dari sumber-sumber alam (misalnya,
tanaman) sebagai bahan awal. Semi-sintetik opioid termasuk heroin,
oxycodone, oxymorphone, dan hydrocodone.
• Sintetik opioid: opioid sintetik dibuat menggunakan sintesis total, di mana
molekul-molekul besar disintesis dari kombinasi bertahap kecil dan murah
(petrokimia) blok bangunan. Sintetik opioid termasuk buprenorfin,
metadon, fentanyl, alfentanil, levorphanol, meperidine, codeine, dan
propoxyphene.
Istilah candu dan narkotika biasanya digunakan bergantian dengan istilah
opioid.
Opioid adalah yang paling kuat penghilang rasa sakit yang dikenal. Their use and
abuse date back to antiquity. Penggunaan dan penyalahgunaan tanggal kembali
ke kuno. Rasa sakit dan gembira menghilangkan efek opioid dikenal Sumeria
1
(4000 SM) dan Mesir (2000 SM). Kesadaran internasional penyalahgunaan opioid
dirangsang pada awal abad ke-20 ketika Presiden Theodore Roosevelt rapat
dengan Komisi Candu Shanghai pada tahun 1909 untuk membantu memberi
stempel kekaisaran Cina keluar opioid kecanduan, terutama candu merokok.
Pada tahun 1913, Presiden Woodrow Wilson's administrasi disusun undang-
undang untuk membatasi penggunaan narkotika, memerlukan resep dalam itikad
baik, ini menjadi efektif pada tahun 1915. Penyedia sah narkotika dan kokain
persiapan yang diperlukan untuk mendaftar dengan Biro Internal Revenue dan
mandat untuk mencatat transaksi.
Pada tahun 1917, Undang-Undang Pajak Narkotika Harrison ditafsirkan oleh
pengadilan sedemikian rupa sehingga opioid tidak dapat diresepkan untuk
pengobatan ketergantungan opioid.
Tahun 1960-an, Dole dan Nyswander menunjukkan bahwa metadon adalah
pengobatan yang efektif untuk ketergantungan opioid.
Pada 1974, Undang-Undang Perawatan Addict Narkotika diperbolehkan diatur
pengobatan metadon untuk ketergantungan opioid, tetapi dibuat off-label
penggunaan opioid ilegal.
Pada tahun 2000, Drug Addiction Treatment Act (DATA) diperbolehkan
dokter berkualifikasi untuk menggunakan Jadwal III, IV, atau V obat-obatan
untuk pengobatan ketergantungan opioid. Buprenorphine is currently the only
drug approved under DATA. Buprenorfin pada saat ini hanya obat yang disetujui
di bawah DATA.
Patofisiologi
Reseptor opioid dalam SSP mamalia termasuk mu, kappa, sigma, delta,
dan epsilon subtipe. Reseptor ini terletak di otak (kebanyakan di periaqueductal
abu-abu), urat saraf tulang belakang, saraf perifer, adrenal medula, ganglia, dan
1
usus.
Rangsangan dari reseptor sigma mu dan perasaan yang kuat menghasilkan
kesejahteraan dan euforia. Kappa-reseptor rangsangan menghasilkan dysphoria.
Antagonisme pada reseptor ini dapat menghasilkan dysphoria, tetapi tidak
konsisten. Euforia blok antagonis diproduksi oleh opioid. Endogen opioid,
meskipun tidak sangat selektif, memiliki preferensi untuk jenis reseptor tertentu.
Beta-endorfin adalah ligan endogen untuk mu-reseptor; enkephalins dan
dynorphins memiliki hubungan untuk sigma dan kappa-reseptor, masing-masing.
Mesolimbic yang dopaminergik sistem, yang berasal dari daerah tegmental ventral
(VTA) dari otak tengah dan proyek dengan nukleus accumbens, sangat penting
dalam (1) efek pahala intrakranial stimulasi diri, (2) imbalan alamiah air dan
makanan asupan, dan (3) tindakan penyalahgunaan obat, termasuk opioid.
Aktivitas basal sistem ini, dinyatakan dalam pelepasan dopamin di nukleus
accumbens, berada di bawah kendali dari 2 tonik menentang sistem opioid,
aktivasi mu-dan-reseptor sigma meningkat, sedangkan aktivasi reseptor kappa-
mengurangi aktivitas basal sistem mesolimbic. Bukti eksperimental dengan
binatang laboratorium mendukung gagasan bahwa manipulasi reseptor ini dengan
opioid dan penyalahgunaan zat lain (dan juga rangsangan listrik) mempengaruhi
perilaku pemberian diri. Jalur imbalan ini diperkirakan telah berevolusi untuk
imbalan alam seperti asupan makanan dan air
Skematik diagram sirkuit otak-pahala dari mamalia (tikus laboratorium) otak
dengan situs di mana berbagai zat abusable muncul untuk bertindak untuk
meningkatkan pahala dan otak, dengan demikian, untuk mempengaruhi perilaku
mengambil obat-obat dan mungkin keinginan. Courtesy William & Wilkins
Substance Abuse oleh Eliot L Gardner.KEY - INTI accumbens (Acc), ventral
daerah tegmental (VTA), amigdala (AMYG), lokus seruleus (LC), sistem
mesolimbic dopaminergik (DA), ventral pallidum (VP), noradrenergik serat (NF),
enkephalinergic arus keluar (ENK), korteks frontal (FCX), sistem serat
penghambatan GABAergic (GABA), dynorphinergic arus keluar (DYN),
1
komponen pahala sirkuit listrik preferentially intrakranial diaktifkan oleh
stimulasi diri (ICSS).
Frekuensi
Amerika Serikat
Penggunaan dan penyalahgunaan opioid telah meningkat tajam di Amerika
Serikat dimulai pada 1990-an dan terus berlanjut sampai setidaknya 2006. Tren ini
bertepatan dengan kampanye AS yang kontroversial undertreatment melawan rasa
sakit yang telah menyebabkan peningkatan yang sangat besar opioid resep.
Penyalahgunaan resep opioid telah berkembang sangat eksplosif selama waktu ini.
Beberapa statistik secara dramatis menggambarkan masalah ini:
• Amerika merupakan 4,6% dari populasi dunia, tapi mengkonsumsi sekitar
80% dari pasokan opioid dunia. Amerika mengkonsumsi 99% dari
pasokan dunia hydrocodone (komponen yang opioid Vicodin).
• Amerika mengkonsumsi sekitar dua pertiga dari dunia obat-obatan
terlarang.
The 2006 National Survey on Drug Use dan Kesehatan (NSDUH), disponsori oleh
1
Terlarang dan Administrasi Layanan Kesehatan Mental (SAMHSA), memberikan
data yang menggambarkan secara grafis resep opioid peningkatan kekerasan
dalam dekade terakhir:
• Antara 1999 dan 2006, jumlah orang yang berusia 12 dan yang lebih tua
tidak sah menggunakan resep penghilang rasa sakit di bulan sebelum
disurvei meningkat dari 2,6 juta pada tahun 1999 menjadi 5,2 juta pada
2006.
• Pada tahun 2006, 5,2 juta orang yang disurvei telah menggunakan resep
obat penghilang rasa sakit tidak sah pada bulan lalu, dibandingkan dengan
0,3 juta orang yang telah menggunakan heroin.
• Pada tahun 2006, 2,2 juta orang berusia 12 atau lebih tua yang digunakan
sah resep penghilang rasa sakit untuk pertama kalinya. Ini lebih dari obat
terlarang lainnya, melebihi ganja (2,1 juta pengguna baru), dan
pengerdilan heroin (91.000 pengguna baru). Sementara tahun lalu memulai
resep penghilang rasa sakit telah meningkat 63% 1.997-2.006, tahun lalu
memulai untuk heroin menurun sebesar 20% selama periode yang sama.
• Resep opioid telah diusulkan untuk menjadi gerbang penting obat, dan
fakta bahwa mereka yang diresepkan oleh dokter ketenangan pengguna
menjadi percaya mereka aman.
• Sebagian besar digunakan resep opioid sah diperoleh dari 1 dokter, bukan
dari pengedar narkoba.
• Pada tahun 2006, di antara orang berusia 12 dan lebih yang telah
menggunakan resep obat penghilang rasa sakit nonmedically dalam 12
bulan terakhir, sumber-sumber berikut dilaporkan:
o 55,7% melaporkan bahwa mereka memperoleh obat secara gratis
dari keluarga atau teman.
o 14,8% melaporkan mereka membeli atau mencuri obat-obatan dari
keluarga atau teman.
o 19.1% melaporkan mereka diperoleh obat-obatan dari 1 dokter.
o Hanya 1,6% dilaporkan mendapatkan obat dari lebih dari 1 dokter.
1
o Hanya 3,9% dilaporkan membeli obat dari penyalur atau orang
asing.
o Hanya 0,1% dilaporkan membeli obat di internet.
o Dalam kasus di mana pengguna nonmedical penghilang rasa sakit
resep obat mereka diperoleh dari seorang teman atau saudara untuk
bebas, 80,7% orang melaporkan bahwa teman atau kerabat mereka
telah memperoleh obat hanya dari satu dokter.
Mencolok, data ini menunjukkan bahwa pengedar narkoba merupakan sumber
relatif kecil yang digunakan tidak sah resep opioid. Penyimpangan melalui
keluarga dan teman-teman sekarang sumber terbesar terlarang opioid, dan
mayoritas opioid ini diperoleh dari 1 dokter, bukan dari "dokter berbelanja."
Mortalitas / Morbiditas
Sejak 1990, data dari berbagai jurisdiksi AS telah melaporkan peningkatan
dramatis kematian yang berhubungan dengan keracunan obat. Peningkatan ini
terutama disebabkan oleh keracunan obat tidak disengaja dikaitkan baik untuk
pereda nyeri opioid atau obat-obatan tidak ditentukan.
• Dari 1979-1990, tidak sengaja keracunan obat meningkat rata-rata 5,3%
per tahun.
• Dari 1990-2002, tidak sengaja keracunan obat meningkat rata-rata 18,1%
per tahun. This corresponded with increased prescription of opioids for
pain management Hal ini berhubungan dengan peningkatan resep opioid
untuk rasa sakit manajemen
• Dari 1999-2002, opioid analgesik keracunan pada sertifikat kematian
meningkat 91%. Selama periode yang sama, fatal heroin dan kokain
keracunan meningkat 12,4% dan 22,8%, masing-masing.
• Pada tahun 2002, kematian yang dilaporkan 5.528 dari analgesik opioid
resep keracunan, lebih daripada heroin atau kokain. Peningkatan mortalitas
umumnya berkorespondensi untuk meningkatkan penjualan untuk setiap
1
resep opioid.
Peningkatan disengaja overdosis heroin yang mendalilkan sebagian berasal
dari kombinasi penurunan biaya dan meningkatkan kesucian. Menurut DEA,
kemurnian heroin rata-rata meningkat dari 7% pada tahun 1980, menjadi 48%
pada tahun 2000, menjadi 70% pada tahun 2003. Ini pertama kali memungkinkan
pengguna untuk mendapatkan tinggi oleh mendengus heroin, dan akhirnya maju
ke intravena digunakan ketika toleransi berkembang, membuat awal penggunaan
heroin lebih cocok untuk beberapa pecandu. Peningkatan kemurnian juga
membuat kesalahan dalam pemberian dosis berpotensi lebih mematikan.
Sex
Pria penyalahgunaan opioid lebih sering daripada perempuan, dengan laki-
laki-untuk-perempuan yang kira-kira rasio 3:1 untuk heroin dan 1.5:1 resep
opioid.
Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan Polandia pada tahun 1996,
angka kematian langsung dari orang-orang yang menggunakan obat IV adalah
25,7 kematian per 1.000 orang-tahun bagi laki-laki dan 14,3 kematian per 1.000
orang-tahun untuk perempuan. Dibandingkan dengan populasi umum, risiko
kematian adalah 11 kali lebih tinggi di antara laki-laki yang menggunakan obat-
obatan dan 20 kali lebih tinggi di antara wanita yang menggunakan obat-obatan.
Age Usia
Kebanyakan orang-orang yang baru pengguna heroin lebih muda dari 26 tahun.
Penggunaan heroin dalam 30 hari terakhir adalah sekitar 0,6% pada usia 12-17
tahun, dan insiden penggunaan berkurang secara bertahap di kelompok usia yang
lebih tua. Prevalensi seumur hidup penggunaan opioid pada usia 12-17 tahun
adalah sekitar 2,3%, dan sedikit lebih tinggi pada orang berusia 35-44 tahun
karena penggunaan heroin puncak pada 1960-an dan 1970-an.
2
Klinis
Sejarah
penyalahgunaan opioid mendefinisikan sebagai maladaptive pola penggunaan
opioid menyebabkan kerusakan yang signifikan secara klinis atau tertekan yang
terjadi di salah satu dari bidang-bidang berikut, dalam 12 -- bulan.
• Kegagalan untuk memenuhi kewajiban pekerjaan utama di tempat kerja,
sekolah, atau rumah
• Berulang opioid digunakan dalam situasi berbahaya, seperti mengemudi
atau mengoperasikan mesin berat sementara terganggu
• Opioid-masalah hukum yang terkait
• Masalah sosial dan interpersonal yang disebabkan oleh atau diperparah
oleh penggunaan opioid
Kebanyakan individu yang memenuhi kriteria penyalahgunaan opioid dan terus
menggunakan akhirnya memenuhi kriteria ketergantungan opioid.
The DSM-IV-TR 3 mendefinisikan ketergantungan opioid sebagai sindrom
yang ditandai oleh pola maladaptive opioid digunakan, menyebabkan kerusakan
yang signifikan secara klinis atau tertekan, sebagaimana diperlihatkan oleh
sekurang-kurangnya 3 dari yang berikut ini dan terjadi dalam periode 12 bulan.
• Toleransi (lihat definisi di bawah)
• Penarikan (lihat definisi di bawah)
• Opioid yang diambil dalam jumlah yang besar atau lebih lama daripada
yang dimaksudkan
• menerus gagal keinginan atau upaya untuk mengurangi atau mengontrol
penggunaan opioid
• Jumlah yang signifikan waktu yang dihabiskan dalam kegiatan-kegiatan
untuk memperoleh opioid
2
• Sosial yang penting, pekerjaan, atau kegiatan rekreasi yang diberikan atas
atau dikurangi
• problem Terus opioid menggunakan pengetahuan meskipun memiliki
persisten atau berulang fisik atau masalah psikologis
Toleransi dan penarikan mungkin atau mungkin tidak dapat dikaitkan dengan
ketergantungan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan ketergantungan obat sebagai
sindrom di mana penggunaan suatu obat atau golongan obat yang memerlukan
prioritas lebih tinggi untuk orang tertentu dari perilaku yang pernah memiliki nilai
lebih tinggi.. Penurunan volitional kontrol atas penggunaan obat opioid adalah
bagian tengah dari gejala perilaku diamati dalam ketergantungan opioid.
Toleransi
Toleransi adalah kebutuhan untuk meningkatkan dosis obat untuk mencapai efek
awal obat. Toleransi ke euphoriant analgesik dan efek dan efek samping yang
tidak diinginkan, seperti depresi pernapasan, sedasi, dan mual, mungkin
berkembang. Namun, sedikit toleransi berkembang untuk sembelit dan meiosis.
Toleransi opioid biasanya tidak berkembang pada pasien dengan kanker yang
sedang dirawat karena sakit; kebutuhan untuk meningkatkan dosis pada pasien
biasanya ini disebabkan oleh peningkatan tingkat rasa sakitTidak ada hubungan
yang konsisten antara keberhasilan dan toleransi intrinsik ada.
Withdrawal
Administrasi secara terus-menerus opioid menyebabkan ketergantungan fisik,
munculnya gejala penarikan selama pantang. Ketergantungan fisik diharapkan
setelah 2-10 hari terus-menerus digunakan ketika obat itu berhenti tiba-tiba. Onset
dan durasi penarikan bervariasi dengan obat yang digunakan. Sebagai contoh,
gejala penarikan meperidine puncaknya pada 8-12 jam dan berlangsung selama 4-
2
5 hari. Gejala putus heroin biasanya puncak dalam waktu 36-72 jam dan dapat
berlangsung selama 7-14 hari. penarikan opioid adalah sebagai berikut:
• gejala - Diare, Rhinorrhea, diaphoresis, lacrimation, menggigil, mual,
emesis, piloerection (ungkapan berhenti "kalkun dingin" mengacu pada
piloerection, atau "merinding")
• Sistem saraf pusat gairah - sulit tidur, gelisah, tremor
• kram perut, nyeri tulang, dan sakit otot baur
• - Untuk obat
Addiction
Fenomena kecanduan terlihat pada variabel jumlah pasien yang menggunakan
narkoba. Kecanduan ini dicirikan sebagai sindrom psikologis dan perilaku di
mana fitur berikut diamati:
• Obat hasrat
• Kompulsif menggunakan
• Kecenderungan yang kuat untuk kambuh setelah penarikan
Addiction harus didefinisikan oleh maladaptive pengamatan perilaku, seperti
konsekuensi yang merugikan akibat penggunaan narkoba, kehilangan kontrol atas
penggunaan narkoba, dan keasyikan dengan memperoleh opioid, daripada
fenomena farmakologis ketergantungan fisiologis, toleransi, dan dosis eskalasi.
jangan menggunakan istilah kecanduan untuk menggambarkan pasien yang hanya
bergantung secara fisik. Juga, perlu diingat bahwa undertreatment pada pasien
dengan nyeri dapat mengakibatkan pseudoaddiction, dan perilaku mencari opioid
mungkin keliru untuk kecanduan.
Long-bertindak obat, seperti metadon dan berkelanjutan-release morfin,
cenderung memiliki onset lebih lambat tindakan, dan terburu-buru atau
berpengalaman tinggi dengan lebih cepat-onset obat tidak begitu menonjol.
semakin lama-acting opioid cenderung tidak disalahgunakan.
2
Fisik
• Ketergantungan
o Efek status mental meliputi depresi dengan salah satu atau semua
gejala-gejalanya, seperti gangguan tidur, kurangnya minat, tidak
mementingkan diri sendiri, bunuh diri ideation, dan keterampilan
mengatasi miskin.
o Efek fisiologis: Karena toleransi kepada banyak tindakan opioid
berkembang, itu tidak mungkin bahkan untuk pengamat yang
cermat memperhatikan efek opioid.. Murid berukuran kecil
mungkin satu-satunya hanya pengamatan karena mengembangkan
toleransi sangat ringan untuk miosis. dilihat. Meradang mukosa
hidung dapat jika heroin mendengus.
• Withdrawal
o Efek status mental meliputi purposive perilaku, seperti keluhan dan
manipulasi semakin diarahkan pada obat, dan kecemasan.
o Efek fisiologis
Takikardia, tekanan darah tinggi, demam, piloerection
(daging angsa), mydriasis, dan lacrimation
Sistem saraf pusat gairah - mudah tersinggung
Menguap
o Dalam sindrom pantang ringan, fitur klinis mungkin terbatas pada
dysphoria, keinginan, menguap, lacrimation, Rhinorrhea, dan
gelisah. Dalam moderat-untuk-kasus yang parah, piloerection,
mydriasis, peningkatan BP dan denyut nadi, dan gejala GI dilihat
sebagai baik.
• Kemabukan
o Efek status mental termasuk euforia, obat penenang, mengurangi
kecemasan, rasa tenteram, dan ketidakpedulian terhadap rasa sakit
yang dihasilkan oleh ringan hingga sedang mabukMabuk berat
dapat menyebabkan delirium dan koma.
2
o Efek fisiologis
Respiratory depresi (mungkin terjadi ketika pasien
mempertahankan kesadaran)
Perubahan peraturan suhu
Hypovolemia (true as well as relative), leading to
hypotension Hipovolemia (benar maupun relatif),
menyebabkan hipotensi
Miosis Miosis
Needle marks or soft tissue infection Jarum tanda atau
infeksi jaringan lunak
Increase sphincter tone (can lead to urinary retention)
Meningkatkan sfingter nada (dapat mengakibatkan retensi
urin)
• Addiction
o Pemeriksaan fisik memberikan sedikit informasi untuk
menambahkan dalam diagnosis kecanduan. Namun, gejala
penarikan opioid dan melacak tanda yang sugestif dari kecanduan.
o . Sembelit umum terjadi karena hampir terus menerus
menggunakan narkotika.
Penyebab
Ketergantungan opioid biopsychosocial dianggap sebagai gangguan..
Farmakologis, sosial, genetik, dan faktor psikodinamik berinteraksi untuk
mempengaruhi perilaku yang berhubungan dengan penyalahgunaan narkoba.
Namun, faktor-faktor farmakologis dapat sangat menonjol, lebih daripada di lain
penggunaan narkoba jenis gangguan.
• Faktor-faktor farmakologis: memperkuat opioid kuat agen karena efek
euforia dan melaporkan kemampuan untuk mengurangi kecemasan,
meningkatkan harga diri, dan membantu mengatasi masalah-masalah
sehari-hari.. Kebanyakan opioid berhubungan dengan penyalahgunaan dan
2
ketergantungan adalah mu-agonis, seperti heroin, morfin, hydrocodone,
oxycodone, dan meperidine. Beberapa mu-agonis parsial seperti
buprenorfin, atau beberapa yang tidak memiliki mu-agonism, seperti
pentazocine, juga dapat memiliki properti memperkuat.. Perkembangan
pesat ketergantungan fisik dan pantangan sindrom yang berkepanjangan
adalah unik untuk opioid menggunakan dan dapat membuat pantang sulit.
• Faktor-faktor sosial: Mudah ketersediaan obat dan sikap sosial diterima
membuat eksperimen mudah. Tingkat tinggi penggunaan narkoba dilihat
di daerah kota dengan orangtua miskin berfungsi dan lebih tinggi tingkat
kejahatan dan pengangguran. Kecuali hubungan antara paparan lebih
tinggi terhadap obat dan kecanduan tingkat yang lebih tinggi, peran yang
tepat faktor-faktor sosial dalam menciptakan perilaku adiktif tergantung
dan tidak pasti. Tenaga pelayanan AS di Vietnam antara tahun 1970 dan
1972, 42% mencoba heroin; satu setengah dari personil mereka menjadi
tergantung secara fisik, tapi sangat sedikit terus menggunakan heroin
dalam kehidupan sipil.
• Faktor psikologis: Ego cacat pada pasien tertentu sebagai dalil untuk
membentuk dasar penggunaan narkoba. Opioid yang berteori untuk
membantu ego dalam mengelola efek menyakitkan seperti rasa cemas, rasa
bersalah, dan kemarahan. Teori perilaku mendalilkan bahwa dasar
mekanisme penghargaan-hukuman melanggengkan perilaku adiktif
• . Faktor genetik Genetic studi epidemiologi menunjukkan tingkat tinggi
diwariskan kerentanan untuk ketergantungan opioid. Polimorfisme gen
untuk reseptor dopamin / pengangkut, reseptor opioid, resetor serotonin /
pengangkut, proenkephalin, dan catechol-O-methyltransferase
(COMTsemua tampak berhubungan dengan kerentanan terhadap
ketergantungan opioid. Depan intervensi untuk ketergantungan opioid
dapat mencakup obat-obatan yang diidentifikasi melalui penelitian
genetik.
2
Diagnosis Banding
Gastroenteritis bakteri Pankreatitis kronis
Gastroenteritis Viral Peptic Ulcer Disease
Influenza Barbiturate Racun, obat bius tidur
Pankreatitis akut Racun, Benzodiazepine
Masalah lain to Be Considered
Sepsis
Kepribadian antisosial
Panik
Pontine infarct or hemorrhage
Depressed mood
Meskipun gejala GI mual, muntah, dan sakit perut yang dominan dan umum
dalam penarikan opioid, mereka mungkin menjamin pertimbangan
Gastroenteritis, pankreatitis, penyakit ulkus peptikum, dan obstruksi usus.
Simpatik overactivity harus mengarah pada serangan panik pertimbangan dan
perangsang SSP, seperti amfetamin.
Karena multi-penyalahgunaan narkoba adalah umum, menyelidiki keracunan oleh
obat selain narkotik (benzodiazepin, barbiturat) pada pasien tidak sadar.
Seseorang yang penyalahgunaan opioid mungkin menyembunyikan informasi
tentang obat yang kasar lainnya. Karena kemabukan opioid umumnya tidak
menyebabkan tremulousness, delirium, dan kejang, kehadiran mereka harus
meningkatkan kecurigaan dari ketergantungan alkohol dan benzodiazepine.
2
Berukuran kecil siswa diamati di opioid mabuk, pontine lesi, dan tetes cholinergic
lokal.
Sebuah kepribadian antisosial mungkin keliru sebagai perilaku adiktif (dan
sebaliknya), terutama jika konfrontasi dengan hukum yang terlibat.
Selain opioid-induced kelainan jiwa, prevalensi tinggi non-opioid berhubungan
dengan gangguan jiwa ada. Di Baltimore selama awal tahun 1990-an, sebuah studi
tentang orang yang kecanduan dan diperlakukan dengan metadon ini dilakukan,
dan seumur hidup prevalensi komorbiditas gangguan mood dan kecemasan adalah
19% dan 8,2% masing-masing. Seumur hidup tingkat gangguan kepribadian
dalam menurunkan frekuensi adalah sebagai berikut:
• Gangguan antisosial (25,1%)
• Avoidant kelainan (5,2%)
• Borderline kelainan (5,2%)
• Pasif agresif kelainan (4,1%)
• Paranoid disorder (3,2%)
Pada wanita, depresi, gangguan kecemasan, dan gangguan kepribadian borderline
adalah jauh lebih umum, dan gangguan kepribadian antisosial kurang umum
dibandingkan dengan laki-laki.
Dalam penelitian yang sama, komorbiditas ketergantungan juga diamati untuk
kokain (64,7%), ganja (50,8%), alkohol (50%), dan sedatif (46,6%).
Pemeriksaan
Laboratorium Studi
• Penyalahgunaan dan ketergantungan
o Urine obat layar
o Deteksi obat dalam keringat dan rambut adalah suatu penambahan
2
yang baru pada teknologi deteksi penyalahgunaan narkoba.
However, it is not used widely. Namun, tidak digunakan secara
luas.
• Penarikan
o Elektrolit
o CBC count
o Obat kencing layar jarang berguna.
• Kemabukan
o Obat tes urine komprehensif dilakukan ketika kebiasaan
penyalahgunaan obat pasien tidak diketahui, tetapi diduga.
Beberapa laboratorium murah menggunakan kromatografi lapis
tipis (TLC) prosedur.. Tes ini mempunyai sensitivitas yang rendah
biasanya digunakan untuk obat-obatan. TLC tidak dapat
mendeteksi fentanyl.
o Radioimmunoassay enzim immunoassay dan lebih sensitif
daripada TLC, tetapi mereka kurang spesifik karena molekul-
molekul dengan kelompok-kelompok fungsional yang serupa
bereaksi silang dengan antibodi. Ini adalah tes relatif murah.
o Kromatografi gas-cair (GLC) dan kromatografi gas-spektrometri
massa (GC-MS) sangat sensitif dan tes khusus, tetapi mereka
memakan waktu, tenaga kerja intensif, dan mahal.
o Pada deteksi penyalahgunaan obat, mengetahui paruh obat
tersebut, biotransformation obat, dan rute ekskresi obat penting.
o Pemutaran dan konfirmasi cut-off konsentrasi untuk heroin,
metadon, morfin, dan kodein adalah 300 ng / mL dan terdeteksi
dalam air seni dalam waktu 1-4 hari.
o Hasil negatif palsu terjadi lebih mudah daripada positif palsu,
hanya karena sekali tes disaring negatif, tidak diuji lebih lanjut..
Pemerintah federal mengharuskan bahwa hasil dari program
pengujian obat langsung ke kantor tinjauan medis untuk mencegah
penafsiran yang tidak tepat dari data uji narkoba.
2
o Tingkat alkohol darah juga dapat diuji.
• Kecanduan: Dalam kasus historis atau bukti klinis IV penyalahgunaan
obat, lakukan hal berikut:
o LFT Lft
o ) Rapid plasma reagen (RPR)
o Virus hepatitis pengujian
o Tes HIV
o ) Kultur darah (dalam klinis yang tepat)
Tes lain
Tes ini dilakukan untuk menilai ketergantungan fisik. Sebagai injeksi
intramuskular atau IV, 0,2-0,8 mg nalokson ini dikelola.
• Sebuah tes positif menunjukkan ketergantungan fisik dan terdiri dari
penarikan khas gejala dan tanda-tanda. Gejala dan tanda-tanda ini biasanya
berlangsung selama 30-60 menit.
• Tes ini ditemukan akan sangat membantu sebelum memulai candu
antagonis untuk terapi pemeliharaan. Mulai opioid antagonis, seperti
naltrexone, segera setelah detoksifikasi dapat menyebabkan gejala
penarikan dan mencegah pasien dari perawatan lebih lanjut.
PENATALAKSANAAN
KONSEP DASAR PENATALAKSANAAN
Dalam bidang kedokteran, penatalaksanaan bermakna terapi dan tindakan-
tindakan yang berkait dengannya. Umumnya tujuan terapi ketergantungan napza
adalah sebagai berikut:
1. Abstinensia atau penghentian total penggunaan napza. Tujuan terapi ini
tergolong
2. sangat ideal, namun sebagian besar
pasien tidak mampu atau tidak bermotivasi untuk mencapai sasaran ini, terutama
3
pasien-pasien pengguna awal. Usaha pasien untuk mempertahankan abstinensia
tersebut dapat di-dukung dengan meminimasi efek-efek yang langsung ataupun
tidak langsung akibat penggunaan napza. Sedangkan sebagian pasien lain
memang telah sungguh-sungguh abstinen terhadap salah satu napza, tetapi
kemudian beralih menggunakan jenis
napza yang lain.
3. Pengurangan frekuensi dan keparahan relaps. Tujuan utamanya adalah
mencegah relaps. Bila pasien pernah menggunakan satu kali saja setelah
abstinensia, maka ia disebut "slip". Bila ia menyadari kekeliruannya, dan
ia memang telah
4. dibekali keterampilan untuk mencegah pengulangan peng-gunaan kembali,
pasien akan tetap mencoba bertahan untuk selalu abstinen. Program
pelatihan ketrampilan mencegah relaps (relapse prevention program),
terapi perilaku kognitif (cognitive behavior therapy), opiate antagonist
maintenance
therapy dengan naltrexone merupakan beberapa alternatif untuk
mencapai tujuan terapi jenis ini. 3. Memperbaiki fungsi psikologi, dan fungsi
adaptasi sosial. Dalam kelompok ini, abstinensia bukan merupakan sasaran utama.
Terapi rumatan metadon, syringe exchange program merupakan pilihan untuk
mencapai tujuan terapi jenis iniTerapi medik ketergantungan napza merupakan
kombinasi psikofarmakoterapi dan terapi perilaku(1) Meskipun telah dipahami
bahwa banyak faktor yang terlibat dalam terapi ke-tergantungan zat (termasuk
faktor problema psikososial yang sangat kompleks), narnun upaya penyembuhan
ketergantungan napza dalam konteks medik tetap selalu diupayakan. Seperti
diketahui, terapi medik ketergantungan napza ter-diri atas dua fase berikut:
Detoksifikasi, Rumatan (maintenance, pemeliharaan, perawatan). Kedua bentuk
fase terapi ini merupakan suatu proses ber-kesinambungan, runtut, dan tidak dapat
berdiri sendiri.
Farmakoterapi :
3
Manfaat farmakoterapi terhadap pasien ketergantungan napza adalah untuk : 1.
Medikasi untuk menghadapi intoksikasi dan sindrom putus zat. Misalnya adalah
penggunaan metadon dan klonidin untuk sindrom putus opioida, klordiazepoksid
untuk sindrom putus
alkohol. 2. Medikasi untuk mengurangi efek memperkuat (reinforcing effect) dari
zat yang disalahgunakan. Misalnya pemberian antagonis opioida seperti
naltrekson dapat memblok/meng-hambat pengaruh fisiologi dan subyektif dari
pemberian opioida berikutnya. Pada kasus lain, gejala-gejala abstinensia yang
dicetuskan oleh penggunaan antagonis opioida, misalnya nalokson, dianggap
sebagai provocative test untuk mengetahui adanya penggunaan opioida. 3.
Medikasi untuk mengendalikan gejala-gejala klinis seperti anti agresi
(haloperidol, fluphenazine, chlorpromazine) , anti anxietas (diazepam, lorazepam)
, anti halusinasi (trifluoperazine, thioridazine) , anti insomnia (estazolam,
triazolam). 4. Terapi substitusi agonis, seperti metadon, klordiazepoksid
5. Medikasi untuk menyembuhkan komorbiditas mediko- psikiatri. 6. Terapi
terhadap overdosis: seperti pemberian nalokson untuk pasien overdosis opioida
pada pengguna IDU (Injecting Drug User), 7. Mengatur keseimbangan cairan: air
dan elektrolit 8Antibiotika: infeksi akibat komplikasi TB pulmonum, hepatitis dan
infeksi sekunder karena HIV/AIDS 9. Terapi untuk gangguan ekstrapiramidal.
TERAPI DETOKSIFIKASI
Detoksifikasi merupakan langkah awal proses terapi ketergantungan opioida dan
merupakan intervensi medik jangka singkat. Seperti telah disebutkan di atas,
terapi detoksifikasi tidak dapat berdiri sendiri dan harus diikuti oleh terapi
rumatan. Bila terapi
detoksifikasi diselenggarakan secara tunggal, misal-nya hanya berobat jalan saja,
maka kemungkinan relaps lebih besar dari 90 %. Tujuan terapi detoksifikasi
opioida adalah Untuk mengurangi, meringankan, atau meredakan keparah-an
gejala-gejala putus opioida
3
Untuk mengurangi keinginan, tuntutan dan kebutuhan pasien untuk "mengobati
dirinya sendiri" dengan menggunakan zat-zat ilegal Mempersiapkan proses
lanjutan yang dikaitkan dengan
modalitas terapi lainnya seperti therapeutic community atau
berbagai jenis terapi rumatan lain .Menentukan dan memeriksa komplikasi fisik
dan mental, serta mempersiapkan perencanaan terapi jangka panjang, seperti
HIV/AIDS, TB
pulmonum, hepatitis. Berdasarkan lamanya proses berlangsung, terapi detoksi-
fikasi dibagi atas: Detoksifikasi jangka panjang (3-4 minggu) seperti dengan
menggunakan metadon .Detoksifikasi jangka sedang (3-5 hari) : naltrekson, mida-
zolam, klonidin .Detoksifikasi cepat (6 jam sampai 2 had): rapid detox Variasi
dan pilihan terapi detoksifikasi napza cukup banyak. Di Indonesia, sebagian
dokter/psikiater masih menggunakan terapi detoksifikasi opioida konservatif
seperti penggunaan obat simptomatik (analgetika, anti-insomnia, dan lainnya).
Bahkan beberapa psikiater masih menggunakan berbagai bentuk neuroleptika
dosis tinggi, yang di negara maju sudah
lama ditinggalkan. Metadon: adalah substitusi opioida yang merupakan pilih-
an utama dalam terapi detoksifikasi opioida secara gradual. Proses detoksifikasi
berlangsung relatif lama (>21 hari) Selama proses terapi detoksifikasi metadon
berlangsung, angka relaps dapat ditekan. Setelah detoksifikasi berhasil, kemudian
dilan-
jutkan dengan terapi rumatan : Methadone Maintenance Treat-ment Program.
Klonidin: adalah suatu central alpha-2-adrenergic re-ceptor agonist, yang
digunakan dalam terapi hipertensi. Klonidin mengurangi lepasnya noradrenalin
dengan mengikatnya
pada pre-synaptic alpha2 receptor di daerah locus cereleus, dengan demikian
3
mengurangi gejala-gejala putus opioida. Karena terbatasnya substitusi opioida lain
di Indonesia, beberapa dokter (termasuk penulis) telah menggunakan kombinasi
klonidin, kodein dan papaverin untuk terapi detoksifikasi. Klonidin digunakan
dalam kombinasi untuk mengurangi gejala putus opioida ringan seperti: menguap,
keringat dingin, air
mata dan lainnya. Clocopa method tersebut dapat digunakan untuk berobat jalan
maupun rawat inap. Namun karena klonidin sendiri tidak dapat memperpendek
masadetoksifikasi, maka diperlukan kombinasi dengan naltrekson. Naltrekson
adalah suatu senyawa antagonis opioida. Caratersebut dikenal dengan nama
Clontrex Method yang dapat
dilakukan untuk pasien berobat jalan maupun pasien rawat inap. Umumnya
program detox dengan cara Clontrex method ini berlangsung selama 3-5 hari dan
kemudian diikuti dengan terapi rumatan : Opamat-ED Program.
Lofeksidin dan Guanfasin: Lofeksidin adalah analog klonidin tetapi mempunyai
keuntungan bermakna karena tidak banyak mempengaruhi tekanan darah
(Washton et al 1982). Guanfasin adalah senyawa alpha-2 adrenergic agonist yang
juga mempunyai kemampuan untuk mengurangi gejala putus opioida.
Buprenorfin: adalah suatu senyawa yang berkerja ganda sebagai agonis dan
antagonis pada reseptor opioida. Gejala putus opioida pada terapi buprenorfin
sangat ringan dan hilang dalam sehari setelah pemberian buprenorfin sublingual.
Pemberian buprenorfin juga digunakan sebagai awal dari terapi
kombinasi Clontrex Method.
Midazolam-Naltrekson: kombinasi midazolam-naltrekson juga telah digunakan
untuk memperpendek waktu terapi detoksifikasi. Selama dalam pengaruh sedasi
midazolam intravena, pasien diberi nalokson intravena, suatu antagonis opioida.
TERAPI RUMATAN
Terapi rumatan ketergantungan opioida bertujuan antara lain untuk : Mencegah
3
atau mengurangi terjadinya craving terhadap opioida .Mencegah relaps
(menggunakan zat adiktif kembali),Restrukturisasi kepribadian , Memperbaiki
fungsi fisiologi organ yang telah rusak akibat penggunaan opioida . Tujuan
farmakoterapi rumatan pasca detoksifikasi adalahMenambah holding power untuk
pasien yang berobat jalan sehingga menekan biaya pengobatan . Menciptakan
suatu window of opportunity sehingga pasien dapat menerima intervensi
psikososial selama terapi rumatan dan mengurangi risiko(3)Mempersiapkan
kehidupan yang produktif selama meng-gunakan terapi rumatan
Methadone: adalah suatu substitusi opioida yang bersifat agonis dan long-acting.
Sejak tahun 1960an di Amerika dan Eropa, penggunaan metadon dianggap
sebagai terapi baku untuk pasien keter-gantungan opioida. Klinik-klinik Metadon
berkembang di beberapa tempat dengan berbagai variasi program. Beberapa
kelemahan terapi metadon: harus datang ke fasilitas kesehatan sekurang-
kurangnya sekali sehari, terjadinya overdosis, ketergantungan metadon, dan
kemungkinan terjadinya peredaran ilegal metadon. Dewasa ini dikembangkan
suatu bentuk derivat metadon, levacethylmethadol, yang mempunyai
masa aksi lebih lama (72 jam) sehingga pasien tidak perlu tiap hari datang ke
fasilitas kesehatan.
Buprenorfin: dapat juga digunakan untuk terapi rumatan. Seperti
levacethylmethadol, hanya diberikan 2 atau 3 kali dalam seminggu karena masa
aksinya yang panjang. Karena
kemungkinan penyalahgunaan, kombinasi buprenorfin dan naltrekson juga telah
dipelajari dan dicoba untuk terapi ketergantungan opioida.
Disulfiram, Disulfiram & Behaviour Therapy: Disulfiram, suatu alcohol
antabuse yang diketemukan di Denmark tahun 1948. Disulfiram sangat efektif
jika diberikan kepada pasien ketergantungan alkohol secara ambulatory di bawah
supervisi. Disulfiram dibuat sebagai tablet buih yang mudah larut dalam air,
sehingga mudah diminum. Terapi disulfiram tanpa pemantauan hasilnya kurang
menguntungkan. Hasil yang memuaskan justru diperoleh melalui kombinasi
3
disulfiram dengan terapi perilaku kognitif.
MODIFIKASI LAIN
Ultra rapid detoxification: Rapid detox adalah kombinasi antara prosedur terapi
detoksifikasi dengan anestesia; karena itu yang bertanggung jawab dalam teknik
terapi rapid detox ini adalah psikiater dan ahli dokter ahli anestesia. Istilah "rapid
detox" rasanya kurang tepat, narnun sudah sangat populer sehingga sukar diganti.
Istilah yang tepat adalah "rapid anta-gonist induction" yang kemudian diikuti
dengan terapi nal-
trekson. Teknik rapid detox pertama kali berasal dari Loimer dari Bagian Psikiatri
University Hospital of Vienna, Austria (first published technique in details, 1988).
Dalam laporannya ia menggunakan 6 kasus ketergantungan heroin berusia antara
21-28 tahun. Penemuan rapid detox tersebut kemudian diikuti oleh Brewer (1989)
di Stapleford Centre di London. Dalam perkembangan berikutnya rapid detox
telah berkembang secara luas di berbagai institusi dan klinik di Amerika Serikat
dan Eropa. Beberapa institusi dan klinik tersebut berkembang pesat di Eropa dan
mengadakan konferensi setiap tahun, menerbitkan berbagai karya kedokteran
ilmiah; sebagian lagi mengembang-kannya secara komersial seperti yang
dilakukan oleh suatu kelompok "Spanish-Israeli CITA group" yang secara kurang
etis mencoba mematenkan prosedur yang dilakukannya.
Usaha-usaha mereka telah berhasil masuk ke Indonesia. Sebutan untuk teknik
rapid detox dalam berbagai literatur berbeda-beda, narnun mempunyai makna
yang hampir mirip, antara lain adalah: Ultra-rapid opiate detoxification, Rapid
Opiate Detoxification under general Anesthesia (RODA) - Vienna Method,
Rapidly Accelarated Narcotic Detoxification (RAND) - Addiction Medical Group
Inc. (AMGI), Ultra Rapid Detoxification with Anesthesia (UROD) - NIDA,
Antagonist Assisted Abstinence (A3) Detoxification - Dr. Lance L. Goober-man,
Treatment Accelerated Neuro-regulation of Opiate DEpendency - Dr. Waismann.
3
Rapid detox dilakukan atas pasien dalam keadaan di bawah pengaruh anestesia
umum; dalam keadaan itu diberikan sejumlah besar antagonis opioida sehingga
memblokade semua reseptor yang ada dalam otak dan tubuh pasien. Dengan
masuknya antagonis opioida, semua opioida yang semula ada di dalam tubuh
dipindahkan, sehingga mem-presipitasi timbulnya gejala putus opioida sementara
pasien sedang asyik tertidur nyenyak karena pengaruh anestesia umum; pasien
tentu saja tidak mengalami gejala putus obat yang terjadi, bahkan bermimpi
tentang kejadian itu juga tidak. Gejala-gejala putus opioida umumnya adalah
nausea, muntah, diare, kejang-kejang kecil, nafas lambat atau cepat, kram otot,
sakit dan ngilu pada sendi dan otot, tegang, mrinding, air mata keluar, menguap,
demam, berkeringat, depresi umum, insomnia dan gejala-gejala sedih lainnya;
gejala-gejala tersebut muncul selama beberapa jam, kemudian berhenti.
Umumnya prosedur rapid detox berlangsung selama 4-6 jam di
ruang ICU, sehingga pasien memerlukan perawatan sekurang-kurangnya selama
satu hari. Beberapa rumah sakit di Indonesia memfalisitasi perawatan di VIP
selama satu sampai tiga hari. Keuntungan-keuntungan rapid detox antara lain :
waktu detoksifikasi singkat, terhindarnya rasa sakit atau rasa tidak menyenangkan
lainnya selama masa detoksifikasi, cepat masuk ke fase rehabilitasi untuk
mengikuti suatu program pemulihan jangka panjang atau dapat menghemat waktu
agar dapat di-manfaatkan untuk segera bekerja atau keperluan keluarga lain.
Stadium 1: Pre-Rapid Detox Pemilihan pasien dengan indikasi ketat
(ketergantungan
opioida, bermotivasi tinggi, penggunaan opioida yang sering) . Konfirmasi
terhadap kemungkinan pasien menggunakan program hanya untuk abstinensia
opioida jangka pendek . Pasien bersedia mengikuti pemeriksaan jangka panjang/
aftercare setelah detoksifikasi . Memastikan bahwa pasien (dan atau keluarganya)
dapat
menerima risiko medik dan memahami informed consent . Pemeriksaan: darah
rutin, skrining napza dalam urine, EKG, Rontgen foto thorax . Melakukan
3
pemeriksaan latar belakang sosial, psikologi dan klinis secara detail . Kepada
pasien dijelaskan tentang perlunya terapi rumatan menggunakan naltrekson;
naltrekson mengurangi craving; selain itu naltrekson dapat mem-blok reseptor
opioida sehingga menghambat pasien mengalami high atau gifting. Dengan
menggunakan anestesia pasien secara cepat dibawa ke kondisi
persiapan menggunakan naltrekson. Wawancara Pre-Rapid Detox harus disertai
dengan penandatanganan kontrak dan rencana terapi mendatang.
Stadium 2: Rapid Detox plus Anesthesia Sesudah selesai stadium 1, ahli
anestesia di ICU mulai melakukan anestesia umum sehingga pasien masuk dalam
stadium "tidur", selama prosedur detoksifikasi berlangsung. Pada sta-dium ini
diberikan nalokson, naltrekson dan juga klonidin dalam jumiah yang cukup untuk
menginduksi terjadinya gejala- gejala putus opioida secara cepat. Setelah gejala-
gejala putus opioida selesai sempurna, pasien diperkenankan bangun; umumnya
antara 4-6 jam sejak terapi dimulai. Ketika bangun tidur pasien sudah tidak
merasakan sama sekali fisik yang "tergantung" dan siap dengan Cepat untuk mulai
mengikuti program rehabilitasi.
Stadium 3: Program Setengah Hari Sebagian besar pasien mulai menjalani
stadium 2 pada pagi hari pertama dan kemudian diperkenankan keluar rumah sakit
pada pagi hari ke dua. Stadium 3 dimulai pada hari ke dua dan kemudian
dilanjutkan pada hari ke tiga dan ke empat. Struktur komponen inti stadium 3
adalah: Evaluasi medis , Review isyu-isyu tentang naltrekson , Penilaian dengan
Addiction Severity Index dan rekomen-
dasi intervensi , Komponen tambahan lainnya sebagai introduksi sebelum benar-
benar memasuki terapi antara lain : Konseling individual , Konseling kelompok ,
Relapse Prevention Training atau Craving Coping Skill , Cognitive Behavioural
Therapy . Sessi edukasional misal tentang reproduksi dan HIV/AIDS
Terapi Ko-dependensi
Umumnya proses rapid detox itu sendiri tidak mempunyai hambatan klinis
3
bermakna. Menurut pengalaman kami ketika awal awal melakukan Rapid Detox
adalah akibat persiapan pasien yang belum sempurna (diare sebagai gejala putus
opioida terjadi begitu hebat ketika selesai anestesia umum, dan dapat
menimbulkan dehidrasi). Teknik Rapid Detox hanya sebuah langkah awal dalam
proses panjang terapi ketergantungan opioida.Untuk mencapai status bebas
opioida sebelum penggunaan naltrekson, teknik
rapid detox dapat digunakan untuk membantu transisi cepat menuju terapi
rumatan naltrekson. Beberapa zat yang digunakan dalam rapid detox adalah :
Klonidin Oral/IV
mengurangi gejala withdrawal , Midazolam IV hipnotik , Ondansetron IV
anti muntah-mual Nalokson IV menduduki reseptor opioida , Naltrekson Oral
antagonis/terapi rumatan Oktreotid
IV/SC , mencegah komplikasi intestinal , Propofol IV anestetik , Dextrose 5 %
Infus
cegah hipoglikemia , Haloperidol IM anti-agresi
OutPatient Intensive Program: Terapi konvensional untuk pasien
ketergantungan napza yang berobat jalan dapat dilakukan secara individual
maupun kelompok. OPI-Program didisain dengan variasi yang sangat luas, ada
yang sepanjang hari selama 6-7 hari seminggu. Sebagian lagi menyediakan hanya
2-3 jam contact hours sehari selama 5-7 hari seminggu. Program dibuat dengan
struktur ketat, termasuk di dalamnya: ketrampilan meningkatkan sosialisasi,
pertemuan yang bersifat vokasional dan didaktik, edukasi moral dan spiritual atau
religi,
Dual Diagnosis Treatment Program: Dual diagnosis adalah istilah klinis untuk
penyebutan diagnosis ganda atau multipel pada pasien ketergantungan napza yang
juga menderita gangguan psikiatrik lain secara independen. Banyak penelitian
yang menyebutkan bahwa prevalensi gangguan psikiatri pada pasien dengan
ketergantungan napza jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan populasi umum.
3
Pasien dengan
kombinasi gangguan psikiatrik dan ketergantungan napza membutuhkan terapi
khusus guna mempersiapkan dirinya dalam program pemulihan yang sesuai dan
adekuat. Terapi
kelompok yang dilakukan oleh para pasien dengan dual diagnosis disebut dengan
double trouble meeting. Pertemuan tersebut antara lain bersifat edukasi guna
memahami manfaat
obat yang digunakan untuk menyembuhkan gangguan psikiatrinya.
Residential Treatment: adalah suatu bentuk terapi pasien ketergantungan napza
yang ditempatkan dalam suatu institusi tertutup. Ada bermacam-macam
modifikasi residential treatment antara lain: Hospital Based Program: program
dengan struktur ketat dibuat oleh pimpinan RS bersama stafnya. Umumnya skedul
baku dibuat setiap minggu, termasuk suatu pertemuan dengan pimpinan RS.
Elemen terapi: psikoterapi individual, konseling kelompok dan The 12-step
Recovery Program. Lamanya tinggal di RS 1-3 bulan. Psychiatric Hospital:
program sangat erat kaitannya engan skedul konvensional fasilitas psikiatri.
Umumnya elemen terapi: psikofarmaka, psikoterapi berorientasi dinamikanalitik.
Sangat bermanfaat untuk pasien ketergantungan napza yang menunjukkan
gangguan jiwa berat.
Cognitive Behavior Therapy (Terapi Perilaku Kognitif - sering disingkat dengan
CBT), merupakan terapi yang paling sering digunakan terhadap pasien
ketergantungan napza
CBT terhadap pasien ketergantungan napza pasca detoksifikasi dilakukan
sebanyak 12-20 sessi seminggu sekali, didasarkan kepada social learning theories
dengan analisis fungsional dan latihan ketrampilan terhadap pasien-pasien
ketergantungan napza. CBT dapat juga diberikan dalam bentuk terapi kelompok
atau terapi perorangan. CBT dirintis pertama kali oleh Albert Ellis dan Aron Beck
sejak tahun 1963 khusus untuk pasien psikiatri dengan gangguan depresi dan
4
cemas. Beck mulai melakukan terapi CBT untuk
pasien ketergantungan kokain sejak tahun 1993, kemudian dimodifikasi oleh
Caroll (1999). CBT terhadap pasien dengan ketergantungan opioda di Indonesia,
sejauh ini belum dilakukan lebih intensif. CBT merupakan terapi berjangka
singkat, sepadan dengan sebagian besar program klinis, berstruktur dan
berorientasi pada sasaran. CBT untuk pasien ketergantungan napza merupakan
kom-binasi dari beberapa bentuk terapi lain seperti prinsip-prinsip dari RPT dan
CE-Therapy, dan kemudian diberikan berbagai tugas rumah di luar sessi. CBT
terdiri dari 12 sessi @ 2 jam. Beberapa guidelines yang diberikan oleh Beck
adalah :
1. Don't fire with fire
2. Maintain honesty
3. Remain focused on the goals of treatment
4. Remain focused on the patient's redeeming qualities
5. Disarm the patient with genuine humility and empathy
6. Confront, but use diplomacy.
Drug Abuse Counseling (DAC): adalah suatu bentuk pelayanan terapi yang
difokuskan untuk mengidentifikasi kebutuhan spesifik sesaat. Umumnya bersifat
lebih eksternal
dan bukan merupakan proses intra-psikik. DAC umumnya dilakukan oleh ex-
addicts yang telah clean and sober dan men-dapatkan pendidikan khusus sebagai
konselor adiksi sekurang-kurangnya selama setahun.
Relapse Prevention Training (RPT): RPT adalah prog-ram kendali diri yang
didisain untuk meng-edukasi seseorang yang berusaha mengubah perilakunya,
bagaimana meng-
antisipasi dan mengatasi problema relaps. RPT adalah suatu program psiko-
4
edukasi yang menggabungkan prosedur latihan ketrampilan perilaku dengan
teknik intervensi kognitif. Prinsip utamanya adalah berdasarkan social leaming
theory. Sebagian ahli dalam bidang ketergantungan zat telah melakukan sejumlah
penelitian yang berkait dengan perilaku relaps sejak tahun 1985 (Marlatt and
Gordon). Tujuan RPT adalah mendidik seseorang bagaimana mencapai suatu
lifestyle yang seimbang dan mencegah pola kebiasaan yang
tidak sehat. Pasien dibimbing untuk mengenali high risk situation - situasi tertentu
yang dapat menjadi ancaman terhadap kendali diri pasien dan dapat meningkatkan
risiko relaps. Ada beberapa situasi yang tergolong high risk ; yaitu: status emosio-
nal yang negatif (35% dari sampel relaps), konflik interpersonal (16% dari sampel
relaps) dan tekanan sosial (20% dari sampel). Strategi RPT terdiri dari tiga
kategori berikut: skill
training, cognitive refraining dan lifestyle intervention.
Cue-exposure Therapy (CE-Therapy): Pada pasien ketergantungan opioida
dipaparkan sejumlah alat-alat atau situasi yang mendatangkan timbulnya craving.
Dalam proses terapi selama 20 jam (dibagi atas beberapa sessi) pada pasien
diperagakan alat-alat atau situasi tersebut, untuk menurunkangejala-gejala
craving. Pasien dirawat selama 3 minggu se-bagai pasien rawat inap. Bentuk lain
dari CETherapy adalah extinction therapy. Banyak studi yang menggunakan CE-
Therapy terhadap pasien ketergantungan opioida. CE-Therapy pada pasien yang
sedang menjalani detoksifikasi dibandingkan dengan kontrol menunjukkan bahwa
CE-Therapy dan CE-Therapy plus cogni-tive aversion strategy menurunkan
craving cukup bermakna. Namun suatu studi kontrol lain tidak menghasilkan
perbedaan hasil antara CE-Therapy saja dengan kelompok kontrol pada
follow-up pasien ketergantungan opioida. Suatu penelitian meta-analisis atas 41
studi dengan komparasi berbagai zat adik-tif, menunjukkan paradigma cue
reactivity mempunyai makna klinis di masa-masa mendatang.
Opiate Antagonist Maintenance Treatment Program: Farmakoterapi rumatan
pasca detox dilakukan dengan meng-gunakan Naltrekson. Program terapi tersebut
4
dikenal dengan istilah OpamatED (Opiate Antagonist Maintenance Therapy) yang
merupakan kombinasi antara farmakoterapi dan konseling kelompok. Naltrekson
adalah suatu potent competitive anta-gonist pada reseptor opioida µ.;karena itu
naltrekson sangat baik digunakan untuk pasien-pasien non-dependent opioid
abuser (misalnya pada beberapa orang yang dengan mudah menyelesaikan proses
detoksifikasi-nya). Opamat-ED dimulai seketika setelah pasien berhasil
menyelesaikan terapi rapid detox atau setelah 1-2 minggu abstinensia pada terapi
detoxi-fikasi konvensional. Tujuan terapi adalah untuk mengurangi risiko relaps
dan mecegah terjadinya ketergantungan fisik kembali. Banyak cara pemberian
dosis harian naltrekson, antara lain 50 mg setiap hari atau dosis 100 mg/100
mg/150 mg dalam waktu 3 kali seminggu, disarankan sekurang-kurangnya selama
satu tahun. Angka drop-out nya cukup tinggi. Namun sangat besar manfaatnya
bagi pasien yang mempunyai motivasi tinggi, dukungan keluarga yang kuat serta
berkarir dalam pekerjaan. No Smoking Clinic: adalah suatu klinik yang
digunakan untuk membantu adiksi nikotin (perokok) menghentikan ke-
biasaannya. Beberapa zat yang digunakan sebagai replacement therapy antara
lain: nicotine patch, nicotine gum, zyban.
Co-Dependency Therapy: berdasarkan fakta yang menun-bahwa
penyalahgunaan dan ketergantungan napza merupakan "family disease" dan
semua anggota keluarga memerlukan pertolongan. CDTherapy dipandu oleh
seorang ahli psikologi, psikiater atau seorang konselor adiksi. Filosofi yang paling
sering digunakan dalam CDTherapy adalah
(15). CD-therapy dapat dilakukan dalam
berbagai bentuk seperti : -Terapi kelompok atau terbatas: beberapa orang anggota
keluarga berkumpul bersama dengan anggota keluarga lainnya atau hanya terdiri
dari semua anggota keluarga dari satu pasien saja. -Pasien rawat inap atau rawat
jalan. CD-Therapy harus dibedakan dengan Family Therapy atau Terapi Keluarga,
Spouse Therapy, Konseling Keluarga.
HARM REDUCTION PROGRAM
4
Harm reduction adalah suatu kebijakan atau program yang ditujukan untuk
menurunkan konsekuensi kesehatan, sosial dan ekonomi yang merugikan akibat
penggunaan zat adiktif tanpa kewajiban abstinensia dari penggunaan zat. Di
Indonesia, pendekatan konsep harm reduction masih kontroversial karena belum
dapat diterima masyarakat luas. Namun transmisi HIV/ AIDS, hepatitis dan TB
pulmonum di kalangan IDUs cukup
memprihatinkan akhir-akhir ini. Karakteristik utama prinsip-prinsip harm
reduction adalah: pragmatis (memandang sesuatu berdasarkan azas manfaatnya
saja), nilai-nilai humanistik, hanya berfokus pada masalah harms, penyeimbangan
pengeluaran dan keuntungan, serta memprioritaskan sasaran antara.
Syringe Exchange Program, availabilitas jarum suntik: tersedianya tempat
penukaran jarum suntik bekas dengan yang steril atau tersedianya jarum suntik
tanpa penukaran me-
rupakan beberapa bentuk pendekatan harm reduction. Di be-berapa negara telah
lama dilakukan, seperti di Geneva, Zurich, Amsterdam dan di banyak tempat di
Amerika. DiJakarta dan Denpasar telah diselenggarakan projek percontohan sejak
beberapa tahun yang lalu. Methadone Maintenance Treatment Program: sejak
Tahun 60an di Amerika, dikembangkan MMTP sebagai suatu cara untuk
mengurangi angka kriminalitas, sosialisasi dan in-feksi HIV/AIDS. Di Nederland,
MMTP mempunyai tiga tujuan yaitu: membangun kontak dengan pengguna
heroin, men-stabilisasi pengguna heroin, melakukan detoksifikasi dan meng-
hentikan kebiasaannya. Dengan MMTP, kebiasaan menyuntik diubah menjadi
penggunaan metadon oral. Di Australia, Eropa danUnited Kingdom, metadon
dapat diperoleh melalui dokter terlatih yang bekerja di klinik-klinik terbatas atau
melalui bus yang disediakan. Beberapa sebutan untuk MMTP antara lain: opioid
replacement therapy ; opioid substitution therapy.
Education, Outreach Program and Bleach Kits: suatu program edukasi
membersihkan jarum suntik yang sudah di-pakai dengan menyediakan detergen
untuk mensuci-hamakan
4
jarum bekas.
Tolerance Areas: adalah suatu tempat di mana seseorang diperkenankan untuk
melakukan kebiasaan menggunakan heroin melalui suntikan tanpa mendapat
hukuman. Cara tersebut memerlukan koordinasi yang ketat. Di banyak negara
angka transmisi HIV menunjukkan penurunan tajam berkait dengan cara ini.
Tempat-tempat tersebut antara lain: shooting gallery dan injection rooms (Bern,
Basel), tolerance zones (Geneva), platform zero (Rotterdam) yang diawasi oleh
polisi, Narcosala (Madrid), Needle Park (Zurich) dan banyak tempat lain di Eropa
dan Amerika.
Kawasan Bebas Asap Rokok: merupakan lokasi atau gedung-gedung di mana
orang tidak diperkenankan merokok. Ruangan-ruangan tersebut senantiasa
disterilkan dari asap rokok sehingga menghindarkan second-hand smokers (meng-
inhalasi asap rokok orang lain). Cara ini telah dijalankan di banyak tempat di
Jakarta (gedung-gedung, mal dan restoran).
Amfetamin
Amfetamin adalah satu jenis narkoba yang dibuat secara sintetis dan kini terkenal
di wilayah Asia Tenggara. Amfetamin dapat berupa bubuk putih, kuning, maupun
coklat, atau bubuk putih kristal kecil. Cara yang paling umum dalam
menggunakan amfetamin adalah dihirup melalui tabung. Zat tersebut mempunyai
mempunyai beberapa nama lain: shabu, SS, ubas, ice, dan lain-lain.
Stimulan seperti amfetamin memengaruhi sistem saraf pusat dengan mempercepat
kinerja beberapa zat yang ada di otak. Beberapa stimulan lain termasuk kafein dan
kokain.
Dampak Langsung dari Amfetamin
• Pengurangan nafsu makan.
• Peningkatan ritme pernafasan.
4
• Pembesaran pupil mata.
• Perasaan nyaman; meningkatnya kepercayaan diri dan tenaga.
• Insomnia.
• Hiperaktivitas dan banyak berbicara.
• Mudah panik.
• Lekas marah dan agresif.
Dampak Jangka Panjang dari Amfetamin
• Pengurangan daya tahan tubuh terhadap infeksi dan penyakit.
• Pecandu berat, cenderung menderita kekurangan gizi.
• Gila amfetamin. Hal ini termasuk berkhayal, halusinasi dan perilaku
ganjil.
• Harus menggunakan zat lain untuk menghadapai efek-efek yang
ditimbulkan.
• Ketergantungan, tubuh pengguna beradaptasi dengan zat tersebut.
Bahaya dan efek lainnya
Toleransi dan ketergantungan
Toleransi amfetamin berarti pengguna harus mengkonsumsi dosis yang lebih
besar dan lebih banyak dari dosis yang sebenarnya, untuk mendapatkan efek-efek
asli dari zat tersebut. Zat itu menjadi segala-galanya bagi si pengguna dalam
kegiatan, emosi serta pemikirannya, yang membuat mereka sulit untuk berhenti
4
atau mengurangi pemakaian. Hal ini disebut ketergantungan.
Overdosis
Amfetamin sering dicampur dengan berbagai zat berbahaya lainnya, jadi kita
tidak mungkin dapat mengetahui bagaimana reaksi tubuh. Kita juga sulit
mengetahui seberapa banyak dosis yang dipakai. Hal ini dapat memicu seseorang
mengalami overdosis.
Overdosis amfetamin dapat menyebabkan:
• Detak jantung yang tidak beraturan.
• Serangan jantung.
• Berselera makan tinggi.
• Pecah pembuluh darah di otak.
• Kematian.
Tindakan kriminal
Para pengguna sering memutuskan untuk melakukan tindakan kejahatan untuk
mempertahankan kecanduan amfetamin mereka. Mereka bisa mencuri dari orang
tua dan kerabat, baik uang maupun barang-barang lain yang bisa mereka jual.
Mereka mungkin akan terlibat dalam tindak kejahatan yang lebih serius yang akan
membawa mereka ke penjara atau ke dalam situasi yang sangat berbahaya.
Narkoba dan Hukum
4
Memiliki, menggunakan atau menjual amfetamin di Indonesia adalah melanggar
hukum dan akan terkena denda yang besar dan atau hukuman penjara. Siapa saja
yang dituduh dengan tuduhan narkoba akan mendapatkan catatan kriminal. Hal ini
dapat membawa masalah lain dalam kehidupan: dari mencari pekerjaan atau
membuat visa untuk perjalanan, sampai pada hilangnya kesempatan mengenyam
pendidikan, baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Tanda-tanda overdosis
Jika salah satu dari gejala di bawah ini timbul, segera cari pertolongan.
Membiarkan seseorang dalam kondisi ini akan berakibat fatal.
• Muka pucat.
• Ketidaksadaran.
• Denyut nadi lemah.
• Ling-lung.
• Nafas pendek atau sulit bernafas.
Langkah-langkah yang harus diambil ketika bantuan datang:
Ketika bantuan datang, beritahu paramedis jenis narkoba apa yang menyebabkan
korban mengalami overdosis. Informasi ini yang dapat menyelamatkan hidup
mereka.
• Bersihkan saluran pernafasan (hidung dan mulut).
• Baringkan korban di sisi paramedis (untuk mencegah tersedak).
4
• Periksa pernafasan.
• Periksa denyut jantung.
HIPNOTIK SEDATIF
• Hipnotik dan sedatif merupakan golongan obat depresi susunan saraf
pusat. Efeknya tergantung pada dosis. Pada dosis terapi, obat sedatif
menekan aktivitas mental, menurunkan respon terhadap rangsangan
emosis sehingga menenangkan. Obat hipnotik menyebabkan kantuk dan
memudahkan tidur serta mempertahankan tidur yang menyerupai tidur
fisiologis.
• Efek sedasi juga merupakan efek samping beberapa golongan obat lain
yang tidak terasuk obat golongan depresan SSP. Walaupun obat tersebut
memperkuat penekanan SSP, secara tersendiri obat tersebut
memperlihatkan efek yang lebih spesifik pada dosis yang jauh lebih kecil
daripada dosis yang dibutukan untuk mendepresi SSP secara umum.
• Beberapa obat dalam golongan hipnotik dan sedatif, khususnya golongan
benzodiazepin diindikasikan juga sebagai pelemas otot, antiepilepsi,
antiansietas, dan sebagai penginduksi anestasi.
BENZODIAZEPIN
• Benzodiazepin berefek hipnosis, sedasi, relaksasi otot, ansiolitik, dan
antikonvulsi dengan potensi yang berbeda-beda.
• Farmakodinamik dan Farmakokinetik
• Benzodiazepin hanya mempunyai kemampuan terbatas untuk
menghasilkan depresi SSP yang kuat dan berpotensi fatal. Obat-obat
sedatif-hipnotik nonbenzodiazepin termasuk dalam kelompok obat yang
mendepresi sistem saraf pusat (SSP) dengan cara yang tergantung dosis,
yang secara progresif menghasilkan penenangan atau rasa kantuk (sedasi),
4
tidur (hipnosis farmakologis), ketidaksadaran, koma, anastesi bedah, serta
depresi pernapasan dan regulasi kardiovaskular yang fatal.
• Hampil semua efek benzodiazepin dihasilkan dari kerja obat-obat ini pada
SSP. Efek yang paling menonjol adalah aktivitas sedasi, hipnosis,
berkurangnya ansietas, relaksasi otot, anterograde amnesia, dan
antikonvulsan. Benzodiazepin dipercaya memunculkan sebagian besar
efeknya melalui interaksinya dengan reseptor neurotransmiter inhibitori
yang secara langsung diaktivasi oleh GABA. Reseptior GABA merupakan
protein terikat membran yang dapat dibagi menjadi dua subtipe utama
yaitu reseptor GABA A dan GABA B. Benzodiazepin bekerja pada
reseptor GABA A tetapi tidak pada reseptor GABA , dengan berikatan
secara langsung pada tempat spesifik yang berbeda dengan tempat ikatan
GABA pada kompleks reseptor/saluran ion. Tidak seperti barbiturat,
benzodizepin tidak secara langsung mengaktivasi reseptor GABA A, tetapi
membutuhkan GABA untuk mengekspresikan efeknya; yaitu senyawa-
senyawa ini hanya memodulasi efek GABA. Ligan reseptor benzodiazepin
dapat bekerja sebagai agonis, antagonis, atau agonis invers pada tempat
reseptor benzodiazepin, tergantung pada senyawanya. Agonis pada
reseptor benzodiazepin meningkatkan jumlah arus klorida yang dihasilkan
melalui aktivasi reseptor GABA A, sedangkan agonis invers
menurunkan.Kedua efek ini dapat diblok oleh antagonis pada tempat
reseptor benzodiazepin. Salah satu antagonis tersebut, flumazenil,
digunakan secara klinis untuk membalikkan efek benzodiazepin dosis
tinggi.
• Dosis hipnotik benzodiazepin tidak memiliki efek terhadap pernapasan
pada subjek normal, tetapi perhatian khusus harus diberikan dalam
penangan anak-anak dan individu yang mengalami gangguan fungsi
hepatik, seperti alkoholik. Efek kardiovaskular benzodiazepin pada orang
normal hanya sedikit, kecuali pada intoksikasi parah; efek merugikan pada
penderita gangguan tidur obstruktif atau penyakit jantung.
• Sifat fisikokimia dan farmakokinetik benzodiazepin sangat mempengaruhi
5
kegunaan klinisnya. Semua benzodiazepin pada dasarnya diabsorpsi
sempurna, kecuali klorazepat; obat ini cepat mengalami dekarboksilasi
dalam cairan lambung menjadi N-desmetil-diazepam (nordazepam), yang
kemudian diabsorpsi sempurna. Beberapa benzodiazepin (seperti
prazepam dan flurazepam) mencapai sirkulasi sistemik hanya dalam
bentuk metabolit aktif.
• Obat-obat yang aktif pada reseptor benzodiazepin dapat dibagi menjadi
empat kategori berdasarkan waktu paruh eliminasinya: 1) benzodiazepin
kerja sangat singkat; 2) obat kerja-singkat, dengan t1/2 kurang dari 6 jam,
antara lain: triazolam, zolpidem, nonbenzodiazepin (t1/2, sekitar 2 jam),
dan zopiklon (t1/2 5 sampai 6 jam); (3) obat kerja-sedang, dengan t1/2 6
sampai 24 jam, antara lain estazolam dan temazepam; dan (4) obat kerja
lama, dengan t1/2 lebih dari 24 jam, antara lain flurazepam, diazepam, dan
kuazepam. Benzodiazepin dan metabolit aktifnya berikatan dengan protein
plasma.
• Benzodiazepin banyak dimetabolisme oleh enzim-enzim dalam kelompok
sitokrom P450, terutama CYP3A4 dan CYP2C19. Beberapa
benzodiazepin, seperti oksazepam, langsung terkonjugasi dan tidak
dimetabolisme oleh enzim ini. Karena metabolit aktif beberapa
benzodiazepin mengalami biotransformasi lebih lambat daripada senyawa
induknya, hubungan antara durasi kerja beberapa benzodiazepin dengan
waktu paruh eliminasinya setelah diberikan adalah kecil.
• Efek Samping
• Pada kadar puncak dapat menimbulkan efek samping : kepala ringan,
malas, lamban, inkoordinasi motorik, ataksia, gangguan fungsi mental dan
psikomotor, gangguan koordinasi berpikir, bingung, disatria, dan
anamnesa anterograd. Kemampuan motorik lebih dipengaruhi
dibandingkan kemampuan berpikir. Interaksi dengan etanol dapat
menimbulkan depresi berat.
• Efek samping yang lain relatif lebih umum terjadi ialah lemas, sakit
5
kepala, pandangan kabur, vertigo, mual, muntah, diare, nyeri epigastrik,
nyeri sendi nyeri dada, dan pada beberpa pasien dapat mengalami
inkontenensia.
• Efek Samping Psikologis
• Dapat menimbulkan efek paradoksal. Gejala amnesia, euforia, gelisah,
halusinasi, dan tingkah laku hipomaniak. Selain itu juga dilaporkan
timbulnya reaksi berupa tingkah laku aneh, bermusuhan, dan kemarahan.
Kadang-kadang terjadi gejala paranoid, depresi, dan keinginana bunuh
diri. Pengunaan kronik memiliki resiko terjadinya ketergantungan dan
penyalahgunaan.
• Gejala putus obat dapat berupa semakin hebatnya kelainan yang semula
akan diobati, misalnya insomnia dan ansietas. Disforia, mudah
tersinggung, berkeringat, mimpi buruk, tremor, anoreksi dan pusing dapat
terjadi. Penggunaan benzodiazepin dosis tinggi dalam waktu yang lama
dapat mengakibatkan gejala putus obat lebih parah setelah pemutusan
obat, yaitu : agitasi, panik, paranoid, mialgia, kejang otot bahkan konvulsi.
BARBITURAT
• Barbiturat selama beberapa saat telah digunakan secara ekstensif sebagai
hipnotik dan sedatif. Namun sekarang kecuali untuk beberapa penggunaan
yang spesifik, barbiturat telah banyak digantikan dengan benzodiazepine
yang lebih aman, pengecualian fenobarbital, yang memiliki anti konvulsi
yang masih banyak digunakan.
A. Farmakodinamik
Secara kimia, barbiturat merupakan derivat asam barbiturat. Asam
barbiturat (2,4,4-trioksoheksahidropirimidin) merupakan hasil reaksi
kondensasi antara ureum dengan asam malonat.
5
• Susunan Saraf Pusat efek utama barbiturat ialah depresi SSP. Semua
tingkat depresi dapat dicapai, mulai dari sedasi, hipnosis, koma sampai
dengan kematian. Efek antianseitas barbiturat berhubungan dengan tingkat
sedasi yang dihasilkan. Efek hipnotik barbiturat dapat dicapai dalam waktu
20-60 menit dengan dosis hipnotik. Tidurnya menyerupai tidur fisiologis,
tidak disertai mimpi yang mengganggu. Efek anastesi umumnya
diperlihatkan oleh golongan tiobarbital dan beberapa oksibarbital untuk
anastesi umum. Untuk efek antikonvulsi umumnya diberikan oleh
berbiturat yang mengandung substitusi 5-fenil misalnya fenobarbital.
• Pada SSP
• Barbiturat berkerja pada seluruh SSP, walaupun pada setiap tempat tidak
sama kuatnya. Dosis nonanastesi terutama menekan respon pasca sinap.
Penghambatan hanya terjadi pada sinaps GABA-nergik. Walaupun
demikian efek yang terjadi mungkin tidak semuanya melalui GABA
sebagai mediator.
• Barbiturat memperlihatkan beberapa efek yang berbeda pada eksitasi dan
inhibisi transmisi sinaptik. Kapasitas berbiturat membantu kerja GABA
sebagian menyerupai kerja benzodiazepine, namun pada dosis yang lebih
tinggi dapat bersifat sebagai agonis GABA-nergik, sehingga pada dosis
tinggi barbiturat dapat menimbulkan depresi SSP yang berat.
• Pada susunan saraf perifer
• Barbiturat secara selektif menekan transmisi ganglion otonom dan
mereduksi eksitasi nikotinik oleh esterkolin. Efek ini terlihat dengan
turunya tekanan darah setelah pemberian oksibarbital IV dan pada
intoksikasi berat.
• Pada pernafasan
• Barbiturat menyebabkan depresi nafas yang sebanding dengan besarnya
dosis. Pemberian barbiturat dosis sedatif hampir tidak berpengaruh
terhadap pernafasan, sedangkan dosis hipnotik menyebabkan pengurangan
frekuensi nafas. Pernafasan dapat terganggu karena : (1) pengaruh
5
langsung barbiturat terhadap pusat nafas; (2) hiperefleksi N.vagus, yang
bisa menyebabkan batuk, bersin, cegukan, dan laringospasme pada
anastesi IV. Pada intoksikasi barbiturat, kepekaan sel pengatur nafas pada
medulla oblongata terhadap CO2 berkurang sehingga ventilasi paru
berkurang. Keadaan ini menyebabkan pengeluaran CO2 dan pemasukan O2
berkurang, sehingga terjadilah hipoksia.
• Pada Sistem Kardiovaskular
• Barbiturat dosis hipnotik tidak memberikan efek yang nyata pada system
kardiovaskular. Frekuensi nadi dan tensi sedikit menurun akibat sedasi
yang ditimbulkan oleh berbiturat. Pemberian barbiturat dosis terapi secara
IV dengan cepat dapat menyebabkan tekanan darah turun secara
mendadak. Efek kardiovaskular pada intoksikasi barbiturat sebagian besar
disebabkan oleh hipoksia sekunder akibat depresi nafas. Selain itu pada
dosis tinggi dapat menyebabkan depresi pusat vasomotor diikuti
vasodilatasi perifer sehingga terjadi hipotensi.
• Pada Saluran Cerna
• Oksibarbiturat cenderung menurunkan tonus otot usus dan kontraksinya.
Pusat kerjanya sebagian diperifer dan sebagian dipusat bergantung pada
dosis. Dosis hipnotik tidak memperpanjang waktu pengosongan lambung
dan gejala muntah, diare dapat dihilangkan oleh dosis sedasi barbiturat.
• Pada Hati
• Barbiturat menaikan kadar enzim, protein dan lemak pada
retikuloendoplasmik hati. Induksi enzim ini menaikan kecepatan
metabolisme beberapa obat dan zat endogen termasuk hormone stroid,
garam empedu, vitamin K dan D.
• Pada Ginjal
• Barbiturat tidak berefek buruk pada ginjal yang sehat. Oliguri dan anuria
dapat terjadi pada keracunan akut barbiturat terutama akibat hipotensi
yang nyata.
B. Farmakokinetik
5
• Barbiturat secara oral diabsorpsi cepat dan sempurna dari lambung dan
usus halus kedalam darah. Secara IV barbiturat digunakan untuk
mengatasi status epilepsi dan menginduksi serta mempertahankan anastesi
umum. Barbiturat didistribusi secara luas dan dapat melewati plasenta,
ikatan dengan protein plasma sesuai dengan kelarutan dalam lemak;
tiopental yang terbesar.
• Barbiturat yang mudah larut dalam lemak, misalnya tiopental dan
metoheksital, setelah pemberian secara IV, akan ditimbun di jaringan
lemak dan otot. Hal ini akan menyebabkan kadarnya dalam plasma dan
otak turun dengan cepat. Barbiturat yang kurang lipofilik, misalnya
aprobarbital dan fenobarbital, dimetabolisme hampir sempurna didalam
hati sebelum diekskresi di ginjal. Pada kebanyakan kasus, perubahan pada
fungsi ginjal tidak mempengaruhi eliminasi obat. Fenobarbital diekskresi
ke dalam urine dalam bentuk tidak berubah sampai jumlah tertentu (20-30
%) pada manusia.
• Faktor yang mempengaruhi biodisposisi hipnotik dan sedatif dapat
dipengaruhi oleh berbagai hal terutama perubahan pada fungsi hati sebagai
akibat dari penyakit, usia tua yang mengakibatkan penurunan kecepatan
pembersihan obat yang dimetabolisme yang terjadi hampir pada semua
obat golongan barbiturat.
C. Indikasi
• Penggunaan barbiturat sebagai hipnotik sedatif telah menurun secara nyata
karena efek terhadap SSP kurang spesifik yang telah banyak digantikan
oleh golongan benzodiazepine. Penggunaan pada anastesi masih banyak
obat golongan barbiturat yang digunakan, umumnya tiopental dan
fenobarbital.
· Tiopental
• 1. Di gunakan untuk induksi pada anestesi umum.
5
• 2. Operasi yang singkat (reposisi fraktur, insisi, jahit luka).
• 3. Sedasi pada analgesik regional
• 4. Mengatasi kejang-kejang pada eklamsia, epilepsi, dan tetanus
· Fenobarbital
• 1. Untuk menghilangkan ansietas
• 2. Sebagai antikonvulsi (pada epilepsi)
• 3. Untuk sedatif dan hipnotik
D. Kontra Indikasi
• Barbiturat tidak boleh diberikan pada penderita alergi barbiturat, penyakit
hati atau ginjal, hipoksia, penyakit Parkinson. Barbiturat juga tidak boleh
diberikan pada penderita psikoneurotik tertentu, karena dapat menambah
kebingungan di malam hari yang terjadi pada penderita usia lanjut.
E. Efek Samping
• Hangover, Gejala ini merupakan residu depresi SSP setelah efek hipnotik
berakhir. Dapat terjadi beberapa hari setelah pemberian obat dihentikan.
Efek residu mungkin berupa vertigo, mual, atau diare. Kadang kadang
timbul kelainan emosional dan fobia dapat bertambah berat.
• Eksitasi paradoksal, Pada beberapa individu, pemakaian ulang barbiturat
(terutama fenoberbital dan N-desmetil barbiturat) lebih menimbulkan
eksitasi dari pada depresi. idiosinkrasi ini relative umum terjadi diantara
penderita usia lanjut dan lemah.
• Rasa nyeri, Barbiturat sesekali menimbulkan mialgia, neuralgia, artalgia,
terutama pada penderita psikoneurotik yang menderita insomnia. Bila
diberikan dalam keadaan nyeri, dapat menyebabkan gelisah, eksitasi, dan
bahkan delirium.
• Alergi, Reaksi alergi terutama terjadi pada individu alergik. Segala bentuk
5
hipersensitivitas dapat timbul, terutama dermatosis. Jarang terjadi
dermatosis eksfoliativa yang berakhir fatal pada penggunaan fenobarbital,
kadang-kadang disertai demam, delirium dan kerusakan degeneratif hati.
• Reaksi obat, Kombinasi barbiturat dengan depresan SSP lain misal etanol
akan meningkatkan efek depresinya; Antihistamin, isoniasid, metilfenidat,
dan penghambat MAO juga dapat menaikkan efek depresi barbiturat.
F. Intoksikasi
• Intoksikasi barbiturat dapat terjadi karena percobaan bunuh diri, kelalaian,
kecelakaan pada anak-anak atau penyalahgunaan obat. Dosis letal
barbiturat sangan bervariasi. Keracunan berat umumnya terjadi bila lebih
dari 10 kali dosis hipnotik dimakan sekaligus. Dosis fatal fenobarbital
adalah 6-10 g, sedangkan amobarbital, sekobarbital, dan pentobarbital
adalah 2-3 g. kadar plasma letal terendah yang dikemukakan adalah 60
mcg/ml bagi fenobarbital, dan 10 mcg/ml bagi barbiturat dengan efek
singkat, misal amobarbital dan pentobarbital.1,3,8
• Gejala simtomatik keracunan barbiturat ditunjukan terutama terhadap SSP
dan kardiovaskular. Pada keracunan berat, reflek dalam mungkin tetap ada
selama beberapa waktu setelah penderita koma. Gejala babinzki sering kali
positif. Pupil mata mungkin kontraksi dan bereaksi terhadap cahaya, tapi
pada tahap akhir keracunan mungkin dapat terjadi dilatasi. Gejala
intoksikasi akut yang bahaya ialah depresi pernafasan berat, tekanan darah
turun rendah sekali, oligiuria dan anuria.3
G. Pengobatan Intoksikasi
• Intoksikasi barbiturat akut dapat diatasi dengan maksimal dengan
pengobatan simtomatik suportif yang umum.
• Dalamnya koma dan ventilasi yang memadai adalah yang pertama dinilai.
Bila keracunan terjadi < 24 jam sejak makan obat, tindakan cuci lambung
dan memuntahkan obat perlu dipertimbangkan, sebab barbiturat dapat
5
mengurangi motilitas saluran cerna. Tindakan cuci lambung serta
memuntahkan obat perlu dilakukan hanya setelah tindakan untuk
menghindari aspirasi dilakukan. Setelah cuci lambung, karbon aktif dan
suatu pencahar (sarbitol) harus diberikan. Pemberian dosis ulang karbon
(setelah terdengar bising usus) dapat mempersingkat waktu paruh
fenobarbital. Pengukuran fungsi nafas perlu dilakukan sedini mungkin.
Pco2 dan O2 perlu dimonitor, dan pernafasan buatan harus dimulai bila
diindikasikan.1,7,3
• Pada keracunan barbiturat akut yang berat, syok merupakan ancaman
utama. Sering kali penderita dikirim ke rumah sakit dalam keadaan
hipotensi berat atau syok, dan dehidrasi yang berat pula. Hal ini segara
diatasi, bila perlu tekanan darah dapat ditunjang dengan dopamine
H. Interaksi Obat
• Interaksi obat yang paling sering melibatkan hipnotik-sedatif adalah
interaksi dengan obat depresan susunan saraf pusat lain, yang
menyebabkan efek aditif. Efek aditif yang jelas dapat diramalkan dengan
penggunaan minuman beralkohol, analgesik narkotik, antikonvulsi,
fenotiazin dan obat-obat anti depresan golongan trisiklik.
Nikotin
Nikotin adalah suatu alkaloid dengan nama kimia 3-(1-metil-2-pirolidil) piridin.
Saat diekstraksi dari daun tembakau, nikotin tak berwarna, tetapi segera menjadi
coklat ketika bersentuhan dengan udara. Nikotin dapat menguap dan dapat
dimurnikan dengan cara penyulingan uap dari larutan yang dibasakan.
Nikotin adalah bahan alkaloid toksik yang merupakan senyawa amin tersier,
bersifat basa lemah dengan pH 8,0. Pada pH tersebut, sebanyak 31% nikotin
berbentuk bukan ion dan dapat melewati membran sel. Pada pH ini nikotin berada
dalam bentuk ion dan tidak dapat melewati membran secara cepat sehingga di
5
mukosa pipi hanya terjadi sedikit absorpsi nikotin dari asap rokok.
Nikotin adalah zat alkaloid yang ada secara natural di tanaman tembakau. Nikotin
juga didapati pada tanaman-tanaman lain dari famili biologis Solanaceae seperti
tomat, kentang, terung dan merica hijau pada level yang sangat kecil dibanding
pada tembakau. Zat alkaloid telah diketahui memiliki sifat farmakologi, seperti
efek stimulan dari kafein yang meningkatkan tekanan darah dan detak jantung.
Alkaloid nikotin mengalami proses metabolisme, yaitu suatu proses dimana
nikotin mengalami perubahan struktur karena adanya senyawa–senyawa kimia di
sekitarnya. Sebagian besar in vivo metabolit dari nikotin adalah konitin laktam.
Transformasi metabolit ini mewakili semua oksidasi 4–elektron. Studi in vitro
menunjukkan hilangnya nikotin dari campuran inkubasi tidak dihambat, walaupun
pembentukan nikotin diblok secara sempurna.
Metabolisme oksidatif pada nikotin dengan pembuatan mirkosomal hati kelinci
dengan adanya ion sianida ditunjukkan dengan adanya isomer kedua senyawa
siano nikotin. Pembentukan struktur N-(sianometil) nornikotin didapatkan dari
penyerangan nukleofilik oleh ion sianida pada senyawa antara jenis metil
iminium. Senyawa ini dibentuk dengan ionisasi jenis N hidroksimetil nornikotin.
Senyawa antara karbinolamin yang sama terlihat pada N-demetilasi dari nikotin
menjadi nornikotin.
Nikotin dapat disintesis dari sebuah asam amino yaitu ornitin. Biosintesis nikotin
dari asam amino ornitin Pada biosintesis nikotin, cincin pirolidin berasal dari
asam amino ornitin dan cincin piridin berasal dari asam nikotinat yang ditemukan
dalam tumbuhan tembakau. Gugus amino yang terikat pada ornitin digunakan
untuk membentuk cincin pirolidin dari nikotin.
Efek penggunaan nikotin dalam tubuh
Nikotin yang terdapat di tembakau, merupakan salah satu zat aditif yang dikenal.
5
Nikotin adalah penghambat susunan syaraf pusat (SSP) yang mengganggu
keseimbangan syaraf. Ketergantungan fisik dan psikologi pada nikotin
berkembang sangat cepat. Menghisap tembakau menghasilkan efek nikotin pada
SSP dalam waktu kurang lebih sepuluh detik. Jika tembakau dikunyah, efek pada
SSP dialami dalam waktu 3–5 menit.
Efek nikotin tembakau yang dipakai dengan cara menghisap, menguyah atau
menghirup tembakau dengan sedotan, menyebabkan penyempitan pembuluh
darah, peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, nafsu makan berkurang,
sebagian menghilangkan perasaan cita rasa dan penciuman serta membuat paru-
paru menjadi nyeri. Penggunaan tembakau dalam jangka panjang dapat
menyebabkan kerusakan pada paru–paru, jantung, dan pembuluh darah .
Nikotin membuat ketagihan. Itulah sebabnya para perokok ingin terus menghisap
tembakau secara rutin karena mereka ketagihan nikotin. Ketagihan tersebut
ditandai dengan keinginan yang menggebu untuk selalu mencari dan
menggunakan, meskipun mengetahui akan konsekuensi negatif terhadap
kesehatan.
Dari sifat ketergantungan alami yang muncul ditemukan bahwa nikotin
mengaktifkan jaringan otak yang menimbulkan perasaan senang, tenang, dan
rileks. Sebuah bahan kimia otak termasuk dalam perantara keinginan untuk terus
mengkonsumsi, yakni neurotransmiter dopamine, dalam penelitian menunjukkan
bahwa nikotin meningkatkan kadar dopamine tersebut. Efek akut dari nikotin
dalam beberapa menit menyebabkan perokok melanjutkan dosis secara frekuentif
per harinya sebagai usaha mempertahankan efek kesenangan yang timbul dan
mempertahankan diri dari efek ketergantungan.
Nikotin dapat berlaku sebagai sebuah stimulan dan obat penenang atau penghilang
rasa sakit. Secara langsung setelah kontak dengan nikotin maka timbul
rangsangan terhadap kelenjar adrenal yang menyebabkan terlepasnya hormon
6
adrenalin. Hormon adrenalin ini merangsang tubuh dan menyebabkan pelepasan
glukosa secara mendadak yang akhirnya kadar gula dalam darah menurun, dan
tekanan darah juga meningkat. Begitu pula pada pernapasan dan detak jantung.
Reaksi ini hampir sama seperti yang terlihat pada kasus penyalahgunaan obat
misalnya kokain dan heroin yang diduga dapat menimbulkan sensasi senang.
Namun di sisi lain nikotin dapat menimbulkan efek sebagai obat penenang atau
penghilang rasa sakit, tergantung dari kadar yang dikonsumsi dalam sistem dan
dosis yang digunakan.
Nikotin dalam metabolisme dapat menghilang dari tubuh dalam beberapa jam,
namun jika perokok terus menerus merokok dan semakin lama bertambah kuat
sehingga merokok hanya untuk mendapatkan rangsangan yang diinginkan.
Sayangnya jika menghentikan masukan nikotin biasanya diikuiti dengan reaksi
ketergantungan (withdrawl syndrome) yang mungkin membutuhkan waktu sekitar
satu bulan atau lebih. Hal tersebut termasuk gejalanya, yakni muncul sifat lekas
marah, terlalu sensitif, kecanduan, pengurangan fungsi kognitif tubuh dan
pemusatan perhatian, serta terjadi gangguan tidur.
Efek paling berbahaya dari mengkonsumsi tembakau dan kertergantungan nikotin
adalah menyebabkan kanker dan sepertiga dari semua penyakit kanker itu yakni
kanker paru-paru. Penyakit ini pembunuh pertama pada pria maupun wanita dan
menguasai sekitar 90% dari semua kasus kanker paru-paru pada perokok.
Kafein
Kafein adalah sejenis obat yang secara natural diproduksi oleh daun dan benih
pada beberapa jenis tanaman. Kafein juga bisa diproduksi dengan sengaja dan
ditambahkan pada bahan-bahan makanan. Kafein dimasukkan kategori obat
karena memberikan rangsangan pusat sistem saraf yang meningkatkan stamina.
Kafein menyumbangkan energi sementara pada individu yang mengkonsumsinya
dan juga menghilangkan rasa tidak mood.
6
Kafein ada di dalam teh, kopi, cokelat, dan beberapa minuman ringan, pada obat
yang menghilangkan rasa sakit dan beberapa jenis obat-obatan lainnya. Dalam
bentuk yang alami, kafein terasa sangat pahit. Tetapi, beberapa minuman
berkafein sudah melalui beberapa proses yang berhasil menyamarkan rasa pahit
kafein.
Remaja biasanya mengonsumsi kafein dari minuman ringan dan minuman
penambah energi. (Selain tambahan bahan kafein buatan, minuman ini juga
mengandung bahan tambahan pemanis dan perasa buatan). Kafein tidak akan
meresap ke dalam tubuh, tetapi dapat dirasakan efeknya selama enam jam.
Kebanyakan orang merasakan bahwa kafein meningkatkan stamina. Kafein
dengan dosis tinggi menyebabkan rasa bimbang, pusing, sakit kepala, dan rasa
gugup. Kafein juga dapat mempengaruhi pola tidur normal.
Sensitivitas kafein (jumlah kafein yang dapat memberikan efek pada seseorang)
sangat bervariasi dari individu ke individu. Rata-rata, semakin kecil seseorang
semakin sedikit kafein memberikan efek samping. Sensitivitas kafein memberikan
efek berdasarkan jumlah kafein yang dikonsumsi sehari-hari. Orang yang biasa
mengonsumsi kafein dalam jumlah besar secara rutin lama-lama memiliki
sensitivitas kecil pada kafein. Hal ini berarti mereka harus mengonsumsi jumlah
kafein lebih besar untuk mendapatkan efek yang sama.
Mengonsumsi kafein menyebabkan orang menjadi lebih sering buang air kecil.
Kafein juga menyebabkan tubuh kehilangan kalsium dan memicu hilangnya masa
tulang dari waktu ke waktu. Meminum kafein yang ada di dalam minuman ringan
dan juga kopi yang dicampur dengan susu, bahkan memberikan efek yang lebih
besar pada massa tulang dan risiko menderita osteoporosis.
Kafein dapat memperburuk penyakit jantung tertentu. Kafein juga bisa
berinteraksi dengan beberapa jenis oabt-obatan dan suplemen. Jika kamu merasa
stres atau cemas, kafein bisa memperparah keadaan ini. Meskipun kafein kadang-
kadang digunakan untuk pengobatan sakit kepala migrain, kafein dapat
memperburuk sakit kepala pada beberapa orang.
6
Kafein biasanya aman dikonsumsi dalam jumlah yang tidak berlebihan. Para ahli
menyarankan 200-300 miligram konsumsi kafein dalam sehari merupakan jumlah
yang cukup untuk orang dewasa. Tapi, mengonsumsi kafein sebanyak 100
miligram tiap hari dapat menyebabkan individu tersebut tergantung pada kafein.
Maksudnya, seseorang dapat mengalami gejala seperti rasa lelah, perasaan
terganggu atau sakit kepala jika ia tiba-tiba berhenti mengonsumsi kafein.
Remaja harus mencoba untuk membatasi konsumsi kafein dengan tidak lebih 100
miligram kafein dalam sehari. Anak-anak harus jauh lebih sedikit
mengonsumsinya..
Cobalah dengan mengganti minuman bersoda yang mengandung kafein dengan
menggantinya yang tanpa kafein. Contohnya air putih, minuman soda bebas
kafein, dan teh bebas kafein. Tetap menghitung jumlah kafein yang dikonsumsi
setiap harinya.
ALKOHOL (MINUMAN KERAS)
Miras atau minuman keras adalah jenis NAZA dalam bentuk minuman yang
mengandung alkohol tidak peduli berapa kadar alkohol di dalamnya. Bahkam
MUI sudah mengeluarkan fatwa bahwa setetes alkohol saja dalam minuman
hukumnya sudah haram.
Alkohol termasuk zat aditif, artinya zat tersebut dapat menimbulkan adiksi yaitu
ketagihan dan dependensi (ketergantungan). Penyalahgunaan NAZA jenis alkohol
ini dapat menimbulkan gangguan mental organik yaitu gangguan dalam fungsi
berfikir, berperasaan dan berperilaku. Gangguan mental organik ini desebabkan
reaksi langsung alkohol pada neurotransmitter sel-sel sarf pusat. Karena sifat
adiktifnya itu, maka orang yang meminumnya lama-kelamaan tanpa disadari aka
menambah takaran/dosis sampai pada dosis keracunan atau mabuk.
Gangguan mental organik yang terjadi pada diri seseorang ditandai dengan gejala-
gejala sebagai berikut:
1. Terdapat dampak berupa perubahan perilaku, misalnya perkelahian dan
6
tindakan kekerasan lainya, ketidakkemampuan menilai realitas dan
gangguan dalam fungsi sosial dan pekerjaan
2. Terdapat gejala fisiologik sebagai berikut:
a. Pembicaraan cadel
b. Gangguan koordinasi
c. Cara jalan yang tidaak mantap
d. Mata jereng
e. Muka merah
3. Tampak gejala-gejala psikologik sebagai berikut:
a. Perubahan alam perasaan misalnya euforia atau disforia
b. Mudah marah dan tersinggung
c. Banyak bicara (melantur)
d. Hendaya atau gangguan perhatian
Bagi mereka yang sudah ketagihan NAZA jenis alkohol ini,bila pemakaiannya
dihentikan akan menimbulkan sindrom putus alkohol, yaitu gejala ketagihan atau
ketergangtungan yang ditandai dengan gejala-gejala sebagai berikut:
1. Gemetaran,kasar pada tangan,lidah dan kelopak mata
2. Tampak gejala fisik sebagai berikut:
a. Mual dan muntah
b. Lemah, leyih dan lesu
c. Hiperaktivitas saraf otonom, misalnya jantung berdebar-debar,
keringat berlebihan dan tekanan darah tinggi
6
d. Hipotensi ortostatik
3. Tampak gejala psikoligik sebagai berikut:
a. Kecemasan dan ketakutan
b. Perubahan alam perasaan menjadi pemurung dan mudah
tersinggung. Banyak diantara peminum berat jatuh dalam keadaan
depresi berat, timbul fikiran ingin bunuh diri dan melakukan
tindakan bunuh diri
c. Mengalami halusinasi dan delusi
Sindrom putus alkohol merupakan gejala yang tidak mengenakkna baik psikis
maupun fisik, untuk mengatasinya yang bersangkutan meminum alkohol dengan
takaran yang lebih banyak dan lebih sering (penyalahgunaan semakin bertambah
baik dari segi kualitas maupun kuantits)
Penelitian membuktikan bahawa penyalahgunaan NAZA jenis alkohol ini tidak
hanya menmbulkan gangguan mental dan perilaku, tetapi dalam jangka panjang
dapat menimbulkan gangguan pada otak, liver, alat pencernaan, pankreas, otot,
janin, endokrin, nutrisi, metabolisme dan resiko kanker.
Ada 3 golongan minuman berakohol, yaitu :
• Golongan A : kadar etanol 1-5%, (misalnya: bir)
• Golongan B : kadar etanol 5-20%, (misalnya: berbagai jenis minuman
anggur)
• Golongan C : kadar etanol 20-45 %, (misalnya: Whiskey, Vodca, TKW,
Manson House, Johny Walker, Kamput.)
Alkohol murni tidaklah dikonsumsi manusia. Yang sering dikonsumsi adalah
minuman yang mengandung bahan sejenis alkohol, biasanya adalah ethyl alcohol
atau ethanol (CH3CH2OH ). Bahan ini dihasilkan dari proses fermentasi gula
yang dikandung dari malt dan beberapa buah-buahan seperti hop, anggur dan
6
sebagainya.
Beberapa jenis minuman dan kandungan alkoholnya :
- Beer : 2 – 8 %
- Dry wine : 8 – 14 %
- Vermouth : 18 – 20 %
- Cocktail wine: 20 – 21 %
- Cordial : 25 – 40 %
- Spirits : 40 – 50 %
Klasifikasi Gangguan yang Berkaitan dengan Penggunaan Zat Psikoaktif
menurut ICD-10
Dalam ICD-10, gangguan jiwa yang berkaitan dengan penggunaan zat psikoaktif
dikelompokkan dalam satu kelompok gangguan dengan nomer kode F1, yaitu
gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif. Kelompok ini
selanjutnya dibedakan menjadi 10 subkelompok menurut jenis zat psikoaktif
dengan nomer kode sebagai berikut :
F10 : Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan alcohol
F11 : Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan opoida
F12 : Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan kanabinoid
F13 : Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan sedative dan hipnotik
F14 : Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan kokain
F15 : Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan stimulant lain, termasuk
kafein
F16 : Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan halusinogen
F17 : Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan tembakau
6
F18 : Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan pelarut yang mudah
menguap
F19 : Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat multiple dan
penggunaan zat psikoaktif lainnya.
Kriteria Diagnostik untuk Kondisi Klinis
Fix.0 Intoksikasi akut
Suatu kondisi yang timbul akibat penggunaan zat psikoaktif sehingga
terjadi gangguan kesadaran, fungsi kognitif, persepsi, afek, perilaku, atau fungsi
dan respons psikofisiologis lainnya. Intoksikasi akut merupakan diagnosis utama
hanya pada kasus intoksikasi yang terjadi tanpa berkaitan dengan penggunaan zat
psikoaktif lain. Bila terjadi kondisi klinis yang lebih menetap, diagnosis yang
diutamakan adalah kondisi klinis yang lebih menetap itu, misalnya syndrome
ketergantungan atau keadaan putus zat. Intosikasi akut akan menghilang bila
berhenti mengkonsumsi zat psikoaktif lagi, kecuali terjadi kerusakan jaringan
tubuh
Kriteria diagnostic kelompok intoksikasi akut
K1. Harus ada bukti nyata bahwa baru saja menggunakan zat psikoaktif sehingga
menimbulkan intoksikasi
K2. Harus ada keluhan atau gejala intoksikasi yang sesuai dengan kerja zat
psikoaktif tertentu
K3. Keluhan atau gejala yang ada tidak disebabkan oleh kondisi medis dan
gangguan mental
F1x.00 Tanpa komplikasi
F1x.01 Dengan trauma atau cedera tubuh lainnya
6
F1x.02 Dengan komplikasi medis lainnya, misalnya hematemesis
F1x.07 Intoksikasi patologis
F10.0 Intoksikasi akut alcohol
Kriteria diagnostic
A. Harus memenuhi criteria umum untuk intoksikasi akut
B. Harus terdapat disfungsi perilaku yang dibuktikan dengan
1. disinhibisi
2. suka berdebat
3. agresi
4. suasana perasaan yang labil
5. gangguan memusatkan perhatian
6. daya nilai terganggu
7. interferensi personal
C. Harus terdapat salah satu gejala di bawah ini
1. jalan sempoyongan
2. sulit berdiri
3. bicara pelo
4. nistagmus
5. kesadaran menurun
6. muka merah
7. konjungtiva merah
F10.07 Intoksikasi patologis ( alcohol )
Kriteria diagnostik
A. Harus memenuhi criteria umum intoksikasi akut
B. Terdapat ucapan agresif atau perilaku kekerasan fisik yang mencerminkan
orang dalam keadaan intoksikasi
C. Intoksikasi terjadi segera sesudah mengkonsumsi alcohol
D. Tidak terdapat bukti adanya gangguan otak organik atau gangguan mental
6
lain
F11.0 Intoksikasi akut Opioida
Kriteria diagnostic
A. Harus memenuhi kriteria umum intoksikasi akut
B. Harus terdapat disfungsi perilaku, yang dibuktikan dengsn salah satu
gejala di bawah ini
1. Apatis dan sedasi
2. disinhibisi
3. retardasi psikomotor
4. gangguan memusatkan perhatian
5. gangguan daya nilai
6. interferensi fungsi personal
C. Harus tedapat salah satu dari gejala di bawah ini
1. mengantuk
2. bicara cadel
3. pupil menyempit, kecuali pada kelevihan dosis
4. kesadaran menurun ( koma )
F12.0 Intoksikasi akut ganja
Kriteria diagnostic :
A. harus memenuhi criteria umum intoksikasi akut
B. harus terdapat disfungsi perilaku atau gangguan persepsi paling tidak salah
satu dari gejala di bawah ini :
1. euphoria dan disinhibisi
2. ansietas atau agitasi
3. kecurigaan atau ide paranoid
4. adanya sensasi bahwa waktu berjalan sangat lambat, dan menghayati suatu
arus ide – ide yang cepat
5. gangguan daya nilai
6. gangguan memusatkan perhatian
6
7. gangguan waktu reaksi
8. ilusi penglihatan, pendengaran, dan perabaan
9. halusinasi tanpa gangguan orientasi
10. depersonalisasi
11. derealisasi
12. interferensi fungsi personal
C. Harus ada salah satu gejal di bawah ini :
1. Nafsu makan bertambah
2. mulut kering
3. konjungtiva merah
4. denyut jantung cepat
F13.0 Intosikasi akut sedative – Hipnotik
Kriteria diagnostik :
A. harus memenuhi criteria umum intoksikasi akut
B. harus terdapat disfungsi perilaku paling tidak salah satu dari gejala di
bawah ini :
1. euphoria
2. Apatis dan sedasi
3. marah marah dan agresif
4. suasana perasaan yang labil
5. gangguan memusatkan perhatian
6. amnesia anterograd
7. gangguan kemampuan motorik
8. interferensi fungsi personal
C. Harus terdapat salah satu gejala di bawah ini
1. jalan sempoyongan
2. sulit berdiri
3. bicara pelo
4. nistagmus
7
5. kesadaran menurun
6. lesi pada kulit berupa eritema atau melepuh
F14.0 Intoksidasi Akut Kokain
Kriteria diagnostic :
A. harus memenuhi criteria umum intoksikasi akut
B. harus terdapat disfungsi perilaku atau persepsi yang tidak normal yang
dibuktikan dengan paling tidak salah satu dari gejala di bawah ini :
1. euphoria atau adanya sensasai kekuatan fisiknya bertambah
2. kewaspadaan berlebihan
3. keyakinan atau perilaku grandiose
4. marah marah dan agresif
5. suka berdebat
6. suasana perasaan yang labil
7. perilaku yang diulang – ulang
8. ilusi pendengaran, penglihatan, dan perabaan
9. halusinasi tanpa adanya disorientasi
10. ide paranoid
11. interferensi fungsi personal
C. Sekurangnya terdapat dua dari gejala di bawah ini :
1. Denyut jantung cepat ( kadang kadang lambat )
2. denyut jantung tidak teratur
3. tekanan darah tinggi ( kadang kadang rendah )
4. berkeringat dan menggigil
5. mual atau muntah
6. berat badan berkurang
7. pupil melebar
8. agitasi atau retardasi psikomotor
9. kelemahan pada otot
10. nyeri dada
7
11. kejang
F15.0 Intoksikasi AKut Stimulansia Lain, Termasuk Kafein
Kriteria diagnostic :
A. harus memenuhi criteria umum intoksikasi akut
B. harus terdapat disfungsi perilaku atau gangguan persepsi paling tidak salah
satu dari gejala di bawah ini :
1. euphoria atau adanya sensasai kekuatan fisiknya bertambah
2. kewaspadaan berlebihan
3. keyakinan atau perilaku grandiose
4. marah marah dan agresif
5. suka berdebat
6. suasana perasaan yang labil
7. perilaku yang diulang – ulang
8. ilusi pendengaran, penglihatan, dan perabaan
9. halusinasi tanpa adanya disorientasi
10. ide paranoid
11. interferensi fungsi personal
C. Paling sedikit terdapat dua gejala di bawah ini :
1. Denyut jantung cepat ( kadang kadang lambat )
2. denyut jantung tidak teratur
3. tekanan darah tinggi ( kadang kadang rendah )
4. berkeringat dan menggigil
7
5. mual atau muntah
6. berat badan berkurang
7. pupil melebar
8. agitasi atau retardasi psikomotor
9. kelemahan pada otot
10. nyeri dada
11. kejang
F.16.0 Intoksidasi Akut Halusinogen
Kriteria diagnostic :
A. harus memenuhi criteria umum intoksikasi
B. harus terdapat disfungsi perilaku atau persepsi yang tidak normal yang
dibuktikan dengan paling tidak salah satu dari gejala di bawah ini :
1. kecemasan dan ketakutan
2. ilusi pendengaran, penglihatan, atau peabaan, atau halusinasi dalam
keadaan terjaga dan tersadar
3. depersonalisasi
4. derealisasi
5. ide paranoid
6. keyakinan bahwa dirinya menjadi pusat pehatian
7. suasana perasaan yang labil
8. hiperaktif
9. impulsive
10. gangguan memusatkan perhatian
11. interferensi fungsi personal
C. Harus ada paling sedikit dua dari gejala di bawah ini :
1. denyut jantung cepat
2. Berdebar- debar
3. berkeringat dan menggigil
7
4. penglihatan kabur
5. pupil melebar
7. gangguan koordinasi
F17.0 Intoksikasi Akut Tembakau (Nikotin)
Kriteria diagnostic :
A. harus memenuhi criteria umum intoksikasi akut
B. harus terdapat disfungsi perilaku atau gangguan persepsi paling tidak salah
satu dari gejala di bawah ini :
1. insomnia
2. mimpi yang bizarre (aneh)
3. suasana perasaan yang labil
4. derealisasi
5. interferensi fungsi personal
C. Paling sedikit terdapat satu dari gejala di bawah ini:
1. nausea atau muntah
2. berkeringat
3. denyut jantung cepat
4. irama jantung tidak teratur
F18.0 Intoksikasi Akut Inhalan ( Pelarut yang Mudah Menguap )
Kriteria diagnostic :
A. harus memenuhi criteria umum intoksikasi
7
B. harus terdapat disfungsi perilaku, yang dibuktikan dengan paling tidak
salah satu dari gejala di bawah ini :
1. apatis dan letargi
2 selalu berdebat
3 marah marah atau agresif
4 suasana perasaan yang labil
5 gangguan daya nilai
6 gangguan memusatkan perhatian dan ingatan
7 retardasi psikomotor
8 interferensi fungsi personal
C. Harus ada paling sedikit satu dari gejala di bawah ini :
1. jalan sempoyongan
2. sulit berdiri
3. bicara pelo
4. nistagmus
5. kesadaran menurun
6. kelemahan otot
7. penglihatan kabur atau diplopia
F19.0 Intoksikasi Akut Zat Majemuk
Kriteria diagnostic :
Kategori ini digunakan bila terdapat bukti intoksikasi akibat penggunaan zat
psikoaktif lain ( fensiklidin ) atau zat psikoaktif majemuk dan tidak diketahui
zat psikoaktif mana yang predominan
F1x.1 Penggunaan yang Merugikan
Suatu pola yang menyebabkan terganggunya kesehatan, dapat berupa
gangguan kesehatan fisik ( hepatitis ) maupun gangguan mental ( episode
7
depresi sekunder akibat alcohol )
Kriteria diagnostic :
A. Harus terdapat bukti nyata bahwa penggunaan zat psikoaktif menjadi
penyebab atau ikut menyebabkan terjadinya kerugian secara fisik
maupun psikologis.
B. Kerugian yang trjai harus dapat dijelaskan
C. Pola penggunaan telah berlangsung secara tetap sekurangnya satu
bulan atau terjadi berulang kali dalam waktu 12 bulan
D. Gangguan ini tidak memenuhi criteria gangguan mental dan perilaku
berkaitan dengan zat yang sama
F1x.2 Sindrom Ketergantungan
Criteria diagnostic :
A. Tiga atau lebih gejala di bawah ini terjadi bersamaan paling sedikit satu
bulan lamanya, atau bila kurang dari satu bulan harus terjadi berulang
ulang secara bersamaan dalam kurun waktu 12 bulan :
1. Ada keinginan yang kuat harus menggunakan zat psikoaktif.
2. Gangguan kemampuan untuk mengendalikan perilaku menggunakan zat
psikoaktif dalam hal onset, terminasi atau tingkat penggunaan
3. Adanya keadaan putus zat secara psikologis bila zat psikoaktif yang
digunakan dikurangi atau berhenti menggunakan
4. adanya bukti toleransi terhadap zat psikoaktif, seperti adanya kebutuhan
yang meni9ngkat terhadap zat psikoaktif
5. Adanya preokupasi terhadap zat psikoaktif, seperti yang tampak dengan
terhentinya atau berkurangnya kesenangan dan minat penting lainnya
6. Tetap menggunakan zat psikoaktif tanpa menghiraukan adanya bukti
nyata terdapat efek merugikan akibat menggunakan zat psikoaktif
7
F1x.3 Keadaan Putus Zat
Kriteria diagnostic kelompok ( K = Kelompok )
K1 harus ada bukti yang jelas akhir akhir ini menghentikan atau
mengurangi penggunaan zat psikoaktif, sesudah penggunaan berulang kali
K2. keluhan dan gejala sesuai dengan gamberan keadaan putus zat
psikoaktif tertentu.
K3. Keluhan dan gejala bukan disebabkan oleh kondisi medis yang tidak
berkaitan dengan penggunaan zat psikoaktif, dan bukan disebabkan oleh
gangguan mental dan perilaku lain
F10.3 Keadaan Putus Alkohol
Kriteria diagnostic :
A. harus memenuhi criteria umum keaaan putus zat psikoaktif
B. Harus terdapat tiga dari gejala di bawah ini :
1 Tremor pada lidah, mata, dan tangan yang direnggangkan
2 Berkeringat
3 Mual dan muntah
4 Denyut jantung cepat atau hipertensi
5 Agitasi psikomotor
6 Nyeri kepala
7 Insomnia
8 Lesu dan lemah
9 Halusinasi atau ilusi penglihatan, perabaan, pendengaran yang
bersifat sementara
10 Kejang
F11.3 Keadaan Putus Opioida
A. Harus memenuhi criteria umum keaaan putus zat psikoaktif ( catatan:
7
keadaan putus opioida dapat dibangkitkan karena pemberian antagonis
opioida pada orang yang menggunakan opioida dalam kurun waktu yang
pendek )
B. Harus terdapat tiga dari gejala di bawah ini :
1.keinginan yang kuat untuk mengkonsumsi opioida
2 Hidung basah ( rinore )
3 Mata basah karena air mata (lakrimasi)
4 Kejang perut
5 Mual
6 Diare
7 Pupil melebar
8 Piloereksi ( bulu roma berdiri ), atau menggigil
9 Denyut jantung cepat
10 Menguap berulang kali
11 Tidur tidak lelap
F12.3 Kadaan Putus Ganja
Belum terdapat criteria diagnostic yang pasti. Sesudah penggunaan ganja yang
cukup lama dan dalam jumlah yang banyak, bila berhenti menggunakan akan
timbul kecemasan, iritabel, tremor pada tangan yang diregangkan, berkeringat,
dan nyeri otot
F13.3 Keadaan Putus Sedatif-Hipnotik
Kriteria diagnostic :
A. Harus memenuhi criteria umum keaaan putus zat
B. Harus terdapat tiga dari gejala di bawah ini :
1 Tremor pada lidah, mata, dan tangan yang direnggangkan
2 Mual dan muntah
3 Denyut jantung cepat
7
4 Hipotensi postural
5 Agitasi psikomotor
6 Nyeri kepala
7 Insomnia
8 Lesu dan lemah
9 Halusinasi atau ilusi penglihatan, perabaan, pendengaran yang bersifat
sementara
10 Ide paranoid
11 Kejang
F14.3 Keadaan Putus Kokain
Kriteria diagnostic :
A. harus memenuhi criteria umum keaaan putus zat psikoaktif
B. Terdapat suasana perasaan disforia ( kesedihan, atau anhedonia )
C. Terdapat dua dari gejala di bawah ini :
1. lesu dan letih
2. hambatan psikomotor
3. keinginan kuat untuk mengkonsumsi kokain
4. nafsu makan bertambah
5. insomnia atau hipersomnia
6. mimpi aneh atau yang tidak menyenangkan
F15.3 Keadaan Putus Stimulan Lain, Termasuk Kafein
Kriteria diagnostic :
A. harus memenuhi criteria umum keaaan putus zat psikoaktif
B. Terdapat suasana perasaan disforia ( kesedihan, atau anhedonia )
7
C. Terdapat dua dari gejala di bawah ini :
1. lesu dan letih
2. hambatan psikomotor
3. keinginan kuat untuk mengkonsumsi stimulansia
4. nafsu makan bertambah
5. insomnia atau hipersomnia
6. mimpi aneh atau yang tidak menyenangkan
Catatan : tidak dikenal adanya keadaan putus halusinogen
F17.3 Keadaan Putus Tembakau
A. harus memenuhi criteria umum keaaan putus zat psikoaktif
B. Terdapat dua dari geja la di bawh ini :
1. keingina kuat untuk menkonsumsi tembakau
2.. lesu dan lemah
3.. ansietas
4. suasana perasaan disforia
5. Iritabel dan tidak tenang
6.. nafsu makan bertambah
7. insomnia
8. batuk bertambah
9. tikus dimulut
10. sulit memusatkan perhatian
8
Catatan : belum terdapat cukup onformasi untuk menetapkan criteria diagnostic
keadaan putus inhalan atau pelarut yang mudah menguap
F1x.4 Keadaan Putus zat dengan Delirium
A. harus memenuhi criteria umum keaaan putus zat psikoaktif
B. harus memenuhi criteria delirium, Dibedakan menjadi :
F1x40 tanpa kejang
F1x41 dengan kejang
F1x..5 gangguan Psikoaktif ( Akibat zat Psikoaktif )
Kriteria diagnostic :
A. Gejala psikosis muncul pada waktu atau dalam waktu dua minggu
penggunaan zat psikoaktif.
B. Gejala psikosis menetap lebih dari 48 jam.
C. Lama gejala psikosis tidak lebih dari enam bulan.
F1x.6 Sindrom Amnestik ( Akibat zat Psikoaktif )
Kriteria diagnostic :
A. Gangguan ingatan berupa kedua hal di bawah ini :
1. cacat pada daya ingat pendek sehingga tidak dapat mempelajari hal baru.
2. berkurngnya kemampuan mengingat pengalaman masa lalu.
B. Semua yang tersebut di bawah ini tidak ada :
1. gangguan daya ingat segera
2. kesadaran berkabut dan gangguan memusatkan perhatian
3. penurunan fungsi intelektual global
C. Tidak ada bukti melalui pmeriksaan fisik dan neurologist, tes laboratorium
8
maupun riwayat penyakit otak.
F1x.7 Gangguan Psikoaktif Residual dan Psikoaktif ddengan Onset Lambat
( Akibat Zat Psikoaktif )
Kriteria diagnostic :
Kondisi atau gangguan psikosis yang jelas berkaitan dengan penggunaan zat
psikoaktif.
PROGNOSIS
Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif merupakan
gangguan mental yang bersifat kronis, berlangsung bertahun – tahun, sering
kambuh atau terjadi eksaserbasi.
Prognosis gangguan mental dan perilaku inio sangat bergantung pada banyak
factor, seperti factor kepribadian, ada tidaknya komorbiditas, lingkungan
keluarga, lingkungan pergaulan, mudah tidaknya zat psikoaktif diperoleh.
Semakin muda seseorang mulai menggunakan zat psikoaktif, biasanya
prognosisnyalebih buruk. Bila dalam satu keluarga lebih dari satu pengguna ,
prognosisinya lebih buruk.
DIAGNOSA DAN PROGNOSIS
DIAGNOSIS
Menetapkan diagnose suatu kondisi klinis akibat penggunaan zat
psikoaktif bukan merupkan hal yang mudah, lebih-lebih bila zat
psikoaktif yang digunakan lebih dari satu, seperti pada polydrug
use karena gejala akibat pengguna suatu jenis zat psikoaktif
dapat berbaur atau tertutup oleh gejala akibat pengguna zat
psikoaktif lain, yang digunakan secara bersamaan waktu atau
bercampur dengan gejala putus zat psikoaktif lain.
8
Kesulitan lain disebabkan oleh pengguna sering kali tidak
berterus terang karena takut ancaman hukuman, dikeluarkan
dari sekolah, dipecat dari pekerjaan, atau orang tuanya marah,
serta perasaan malu. Sebaliknya, terdapat juga pengguna zat
psikoaktif yang membesar-besarkan masalahnya, misalnya
mengaku pernah menggunakan semua jenis zat psikoaktif yang
ditanyakan kepadanya, atau menyebut jumlah dosis penggunaan
yang besar, hal ini dilakukan agar ia dipandang hebat.
Diagnosa Multiaksial
Sejak tahun 1974 telah dikembangkan metode diagnosis
multiaksial, khususnya dalam bidang psikiatrik. Di Indonesia,
pada tahun 1983 telah diterbitkan buku Pedoman Penggolongan
Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia (PPDGJ), yang
menggunakan metode diagnosis multiaksial, mengganti metode
diagnosis multiaksial diperoleh diskripsi yang lebih menyeluruh
tentang kondisi penyakit pasien.
Saat ini, PPDGJ-III beserta suplemennya untuk menetapkan
diagnosis gangguan jiwa. Dalam buku nini klasifikasi dan criteria
diagnosis berbagai kondisi klinis yang berkaitan dengan
penggunaan zat psikoaktif mengikuti ICD-10, sedangkan metode
diagnostic multiaksial mengikuti DSM-IV.
Diagnose multiaksial dapat ditetapkan berdasarkan anamnesa
dan pemeriksaan medis. Anamnesa terdiri atas pemeriksaan
fisik, pemeriksaan psikiatrik, pemeriksaan laboratorium.
Fluoroskopi, elektrofisiologi, tes psikologis, dan evaluasi social.
Kelima aksis dalam diagnosis multiaksial adalah sebagai berikut ;
Aksisi I : gangguan klinis
8
Kondisi lain yang dapat menjadi pusat perhatian
klinis
Aksis II : gangguan kepribadian
Retardasi mental
Aksis III : kondidi medis umum
Aksis IV : masalah psikososial dan lingkungan
Aksis V : asesmen fungsi secara global.
Autoanamnesa
Tahap pertama autoanamnesa bertujuan untuk membentuk rasa
percaya pasien terhadap terapis sehingga pasien merasa yakin
bahwa data tentang dirinya akan terjamin kerahasiannya di
tangan terapis.
Bila pasien bersikap terbuka dan mengakui secara terus terang
tentang penggunaan zat psikoaktif, terapis dapat langsung
menanykana seputar penggunaan zat psikoaktif tersebut.
Sebaliknya, bila langsung menanyakan seputar penggunaan zat
psikoaktif, melainkan tanyakan apa masalah yang dihadapinya
dan apa yang terapis dapat lakukan untuk membantunya.
Terapis dapat menanyakan apakah pasien mempunyai kesulitan
pada pelajarn atau masalah lain di sekolah, apakah mengalami
kesulitan tidur, apakah ada masalah dengan orangtua, teman
atau guru. Bagi mereka yang sudah bekerja, terapid
menanyakan apakah ada masalah di tempat kerja, dan bai yang
sudah berkeluarga, menanyakan apakah ada masalah dengan
pasangan. Sudah berapa lam penggunaan zat psikoaktif itu
mempunyai masalah dan usaha apa saja yang sudah dilakukan
untuk mengatasinya.
8
Aloanamnesa
Biasanya seorang anak menggunakan zat psikoaktif secara
sembunyi-sembunyi, tidak diketahui oleh orang tuanya, terutama
bila zat psikoaktif yang digunakan ditolak oleh masyarakat
umum atau dilarang oleh undang-undang. Orang tua baru mulai
ragu apakah anaknya menggunakan zat psikoaktif atau tidak dari
perubahan perilaku atau kebiasaan hidupnya. Aloanamnesa
terhadap orang tua, guru, atau orang dekat lainnya berkisar
pada perubahan perilaku dan kebiasaan tersebut.
Penggunaan zat psikoaktif seringa terdapat pada mereka yang
sebelumnya menderita gangguan jiwa atau gangguan
kepribadian. Oleh karena itu, perlu ditanyakan pula kepada
orang tua perihal riwayat pertumbuhan dan perkembangan anak,
riwayat pendidikan, riwayat pekerjaan, riwayat perkawinan, dan
ciri-ciri masa kanak dan remaja.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus dilakukan dengan cermat dan
menyeluruh. Dibawah ini diuraikan beberapa gejala klinis yang
sering ditemukan berkaitan dengan penggunan zat psikoaktif.
Pemeriksaan fisik hendaknya tidak hanya terbatas untuk
menemukan gejala-gejala yang disebutkan dibawah ini.
Pemeriksaa
n
Hasil Keterangan
Kesadaran Somnolen
Sopor koma
Pada intoksikasi opiode, sedative
hipnotik, alkoho, dan inhalan, atau
pada putus zat amfetamin, dan
kokain
Pada keadaan kelebihan dosis yang
8
Berkabut berat zat apapun
Pada putus zat sedative-hipnotik
atau alkoho, pada intoksikasi
amfetamin atau PCPDenyut nadi Bertambah cepat
Lambat
Pada intoksikasi amfetamin atau
LSD, pada putus zat opioida
Pada intoksikasi opioida, sedative-
hipnotik, alcohol atau inhalanSuhu badan Naik
Turun
Pada pengguna LSD, amfetamin;
putus alcohol, sedative-hipnotik,
atau opioid; adanya penyakit infeksi
Pada intoksikasi opioidPernapasan Lambat
Cepat dan dangkal
Pada pemakaian sedative-hipnotik,
alcohol atau opioid
Pada intoksikasi sedative-hipnotik,
dosis tinggiTekanan
darah
Naik
Turun
Pada pemakaian amfetamin, kokain,
LSD, ganja
Pada putus alcohol, opiod walaupun
pada awalnya tekanan darah naikHidung Rinore
Ulkus atau
perforasi
Putus zat opiiod
Pada pengguna kokain secara
inhalan
Pemeriksaan Psikiatrik
Bertujuan mengetahui ada tidaknya gangguan psikiatirk yang
sering kali terdapat bersamaan dengan penggunaan zat
psikoaktif.
Agitatif : intoksikasi amfetamin, kokain, kafein, PCP
Agresif : intoksikasi amfetamin, kokain, PCP
8
Depresi : putus amfetamin, kokain, sedative-hipnotk,
alcohol
Disforia : pengguna pemula ganja atau opioid
Euphoria : intoksikais semua jenis zat psikoaktif
Gelisah : penggunaan amfetamin, kokain, halusinogen,
kafein, PCP, ganja, dan putus zat opioid, sedative-
hidptonik, alcohol, dan nikotin
Impulsiff ; intoksikasi PCP
Iritabel : intoksikasi alcohol , sedative-hipnotik, inhalan,
atau pada putuss zat alcohol, sedative hipnotik,
nikotin.
Labil : intoksitasi sedative-hipnotik, alcohol, PCP.
Gangguan Bicara
Banyak bicara : intoksitasi alkoho, sedative hipnotik,
amfetamin, kokain, kafein
Cadel : intoksikasi alcohol, sedative-hipnotik, opioid,
inhalan.
Gangguan Persepsi
Halusinasi : intoksikasi amfetamin, halusinogen, putus alcohol
Ilusi : intoksikasi halusinogen
Sinestesi : intoksikasi halusinogen
Pemeriksaan Laboratorium
8
Analisis air seni diperlukan untuk memgetahui zat psikoaktif apa
saja yang dikonsumsi pasien. Air seni sebaiknya diambil kurang
dari 48 jam sejak penggunaan zat psikoaktif terakhir karena
setalah 48 jam, banyak zat yang tidak terdeteksi lagi dalam air
seni. Harus dijaga agar yang diperiksa adalah benar air seni
pasien dan bukanny air seni orang lain. Jangka waktu sesudah
mengkonsumsi yang masih terdeteksi
Amfetamin : 2 hari
Barbiturat, kerja jangka pendek : 1 hari
Barbiturate, kerja jangka panjang : 21 hari
Benzodiazepine : 3 hari
Benzodiazepine, jangka panjang : 7 hari
Ganja : 7-10 hari
Heroin : 1-2 hari
Kodein : 1-2 hari
Kokain : 2-4 hari
Metadon : 3 hari
Morfin : 2-5 hari
Pemeriksaan Khusus
Tes Nalokson
Nalokson HCl (narcan) adalah antagonis opiod berjangka
kerja pendek. Pada orang yang mengalami ketergantungan
opioid, bila diberi narcan, ia akan memperlihatkan gejala putus
opioid. Seseorang yang tidak mengalami ketergantungan opioid
8
bila diberikan Narcan, ia tidak akan memperlihatkan gejala putus
opioid.
Sebelum dilakukan tes nalokson, terlebih dahulu
pemeriksaaan fisik dilakukan dan hasil pemeriksaan dicatat yaitu
denyut nadi, suhu badan, tekanan darah, ukuran pupil mata,
apakah ada piloereksi di dada, apakah terdapat lakrimasi, rinore,
dan banyak berkeringat.
Suntikan 0,16 mg narcan im pada otot trisep seseudah 20-
30 menit, pemeriksaaaan tersebut di ulang dan hasilnya dicatat.
Tes dinyatakan positif bila denyut adi bertambah cepa, suhu
badan menurun, pupil midriasis, berkeringat, lakrimasi, rinore
tekanan darah naik piloereksi di dada, dan menguap berulang-
ulang.
Tes Nembutol
Nembutol (penobarbiturat) adalah barbiturate jangka kerja
pendek. Tes ini dimaksud untuk mengetahui derajt toleransi
pasien terhadap sedative-hinotik atau alcohol.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari skenario di modul I blok XVII ini dan setelah menjalani proses
diskusi, kami dapat menyimpulkan bahwa orang tersebut mengalami
ketergantungan Putaw atau ganja. Karena timbulnya gejala – gejala pada skenorio
merupakan ciri khas dari ketergantungan putaw. Gejala – gejala yang timbul
8
sendiri timbul akibat dari putusnya penggunaan obat-obatan yang sering dia
gunakan. Hal ini akan menyebabkan kondisi pengguna menjadi kondisi sakaw.
Kondisi tersebut harus ditangani secara tepat dan akurat karena apabila tidak
ditangani bias mengakibatkan pengguna tersebut akan mencari lagi NAPZA atau
berujung kematian. Dalam penanganannya sendiri, banyak pihak yang terkait
antara lain individu, keluarga, teman sebaya, dan masyarakat.
3.2 Saran
Dengan memahami LO yang didapat, penulis menyarankan pembaca dapat
termotivasi untuk mendalami materi yang kami ulas, sehingga nantinya saat
diklinik atau rotasi klinik para mahasiswa dapat menerapkannya. Mengingat
masih banyaknya kekurangan dari kelompok kami, baik dari segi diskusi
kelompok, penulisan tugas tertulis dan sebagainya, untuk itu kami mengharapkan
kritik dan saran dari dosen dan rekan-rekan angkatan 2007.
DAFTAR PUSTAKA
H. Sarjono, Santoso dan Hadi R D.2007.Farmakologi dan Terapi, Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Indonesia : Jakarta
9
Hawari, Dadang.2000.Penyalahgunaan & Ketergantungan NAZA.FKUI.Jakarta.
9