laporan organik final beluntas.pdf
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kardinan dalam Koirewoa (2012) menjelaskan bahwa Indonesia memiliki
banyak jenis tanaman yang dapat dibudidayakan karena bermanfaat dan
kegunaannya besar bagi manusia dalam hal pengobatan. Dalam tanaman ada
banyak komponen kimia yang dapat digunakan sebagai obat. Pada saat ini,
banyak orang yang kembali menggunakan bahan-bahan alam yang dalam
pelaksanaannya membiasakan hidup dengan menghindari bahan-bahan kimia
sintesis dan lebih mengutamakan bahan-bahan alami. Ada banyak pengobatan
dengan bahan alam yang dapat dipilih sebagai solusi mengatasi penyakit yang
salah satunya ialah penggunaan ramuan obat berbahan herbal
Dalam pengobatan secara tradisional, sebagian besar ramuan berasal dari
tumbuhan, baik berupa akar, kulit batang, kayu, daun, bunga atau bijinya. Ada
pula yang berasal dari organ binatang dan bahan-bahan mineral. Agar pengobatan
secara tradisional dapat dipertanggung jawabkan maka diperlukan penelitian-
penelitian ilmiah seperti penelitianpenelitian dibidang farmakologi, toksikologi,
identifikasi dan isolasi zat kimia aktif yang terdapat dalam tumbuhan (Adfa:2005)
Dalimartha dalam Koirewoa (2012) mengatakan bahwa salah satu
tumbuhan yang mengandung senyawa obat yaitu beluntas (Pluchea indica L.).
Beluntas umumnya tumbuh liar di daerah kering pada tanah yang keras dan
berbatu, atau ditanam sebagai tanaman pagar. Tumbuhan ini memerlukan cukup
cahaya matahari atau sedikit naungan, banyak ditemukan di daerah pantai dekat
laut sampai ketinggian 1.000 m dpl. Daun beluntas mengandung alkaloid,
flavonoid, tanin, minyak atsiri, natrium, kalium, aluminium, kalsium, magnesium,
dan fosfor. Sedangkan akarnya mengandung flavonoid dan tanin
Daun beluntas berbau khas aromatis dan rasanya getir, berkhasiat untuk
meningkatkan nafsu makan (stomatik), penurun demam (antipiretik), peluruh
keringat (diaforetik), penyegar, TBC kelenjar, nyeri pada rematik dan
keputihan.Menurut purnomo dalam susanti (2007) flavonoid dalam daun beluntas
memiliki aktifitas antibakteri terhadap Staphylococcus sp, Propionobacterium sp
2
dan Corynebacterium. Di dalam flavonoid mengandung suatu senyawa fenol.
Fenol merupakan suatu alkohol yang bersifat asam sehingga disebut juga asam
karbolat. Pertumbuhan bakteri Escherichia coli dapat terganggu disebabkan
adanya suatu senyawa fenol yang terkandung dalam ekstrak etanol daunbeluntas.
Kondisi asam oleh adanya fenol dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan bakteri
Esherichia coli.
Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi dan mengidentifikasi senyawa
flavonoid yang terdapat dalam daun beluntas (Pluchea indica L.). Dari proses
isolasi akan didapatkan isolat-isolat suatu senyawa atau kumpulan senyawa
sehingga dapat mempermudah untuk melakukan identifikasi senyawa-senyawa
yang terdapat dalam simplisia. Sedangkan identifikasi diperlukan untuk
mengetahui jenis senyawa flavonoid yang berada dalam simplisia.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara mengisolasi flavonoid yang terdapat dalam daun beluntas
(P. Indica)?
2. Bagaimana mengidentifikasi senyawa flavonoid dalam daun beluntas (P.
Indica)?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum ini adalah :
1. Mengetahui cara untuk mengisolasi senyawa flavonoid dalam daun
beluntas (P. Indica).
2. Mengidentifikasi senyawa flavonoid yang ada dalam daun beluntas (P.
Indica)
1.4 Manfaat
Adapun manfaat yang diperoleh dari praktikum ini adalah memberikan
informasi kepada pembaca tentang cara isolasi senyawa flavonoid dan dan
mengetahui senyawa flavonoid yang terkandung dalam daun beluntas.
3
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Daun Beluntas
Menurut Dalimartha dalam Siringoringo (2012) salah satu tanaman yang
telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesiasejak dahulu, yaitu tanaman beluntas
(Pluchea indica less).Tanaman ini seringdigunakan sebagai tanaman pagar di
halaman rumah penduduk. Nama daerah:beluntas (Melayu), baluntas, baruntas
(Sunda), luntas (Jawa), baluntas (Madura), lamutasa (Makasar), lenabou (Timor),
sedangkan nama asing untuk tanamanbeluntas adalah Luan Yi (Cina), Phatpai
(Vietnam), dan Marsh fleabane (Inggris).Pada masyarakat daun beluntas secara
tradisional berkhasiat sebagai penurundemam (antipiretik), meningkatkan nafsu
makan (stomakik), peluruh keringat(diaforetik), dan penyegar (Siringoringo,
2012)
Beluntas (Pluchea indica Less) merupakan tanaman herba family
Asteraceae yang telah dimanfaatkan sebagai pangan dan sediaan obat bahan
alamTumbuh liar di daerah kering di tanah yang keras dan berbatu atau
ditanamsebagai tanaman pagar.Memerlukan cukup cahaya matahari atau sedikit
naungan.Banyak ditemukan di daerah pantai dekat laut sampai ketinggian 1.000 m
dpl.Perdu kecil, tumbuh tegak sampai 2 m atau lebih.Bercabang banyak,
berusukhalus, berambut lembut.Daun bertangkai pendek, letak berseling, helaian
daun bulat telur sungsang. Ujung bulat melancip, tepi bergigi, berkelenjar,
panjang 2,5 sampai 9 cm. Lebar 1-5,5 cm. dengan warna hijau terang bila
diremasmengeluarkan bau harum. Bunga majemuk dengan bentuk malai rata,
keluar dariketiak daun dan ujung tangkai.Bunga berbentuk bonggol, bergagang
ataupunduduk, berwarna putih kekuningan sampai ungu.Buah berbentuk gasing,
kecil,keras berwarna coklat dengan sudut-sudut berwarna putih.Biji kecil,
coklatkeputih-putihan. Perbanyakan dengan stek batang yang cukup tua. Cabang
bunga sangat banyak sehingga membentuk rempuyung cukupbesar antara 2,5-12,5
cm. Bunga berbentuk bonggol, bergagang atau duduk.Bentuknya seperti silinder
sempit dengan panjang 5-6 mm. Panjang daun pembalut sampai 4 mm. Daun
4
pelindung bunga tersusun dari 6-7 helai.Daunpelindung yang terletak di dalam
berbentuk sudut (lanset) dan di luar berbentuk bulat telur. Daun pelindung berbulu
lembut, berwarna ungu dan pangkalnya ungumuda. Kepala sari menjulur dan
berwarna ungu. Tangkai putik pada bunga betinalebih panjang. Buah beluntas
longkah berbentuk seperti gasing, warnanya coklatdengan sudut-sudut putih dan
lokos 10 (gundul atau licin) panjang bauh 1 mm (Susanti, 2007).
Beluntas telah lama dikenal mempunyai banyak kegunaan baik
sebagaitanaman pagar maupun tanaman obat dengan menggunakan seluruh
bagiantanamannya dalam bentuk kering maupun segar.
Gambar 1. Tanaman beluntas
2.1.1Klasifikasi Daun Beluntas
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Asterales
Famili : Asteraceae
Genus : Pluchea
Spesies : Pluchea indica Less (Susanti, 2007).
2.1.2 Kandungan Daun Beluntas
Kandungan senyawa fitokimia pada daun beluntas mempunyai
beberapaaktivitas biologis, salah satunya sebagai antioksidan. Senyawa fitokimia
padatanaman terdistribusi dengan kadar yang berbeda pada setiap bagian.
Perbedaankadar senyawa fitokimia pada daun dan buah sangat dipengaruhi oleh
tingkatketuaan daun atau kematangan, kondisi tanah, pemberian pupuk serta stres
5
lingkungan baik secara fisik, biologi maupun kimiawi. Kandungan dan
kadarsenyawa fitokimia yang berbeda akan mempengaruhi aktivitas
antioksidannya
Kandungan kimia daun beluntas adalah alkaloid (0,316%), minyak atsiri,
tanin(2,351%) dan flavonoid (4,18%).Komponen sangat polarpenyusun rendemen
terdiri atas senyawa glikosida, asam amino, dan gula sertasenyawa aglikon
vitamin C. Daun beluntas mengandung protein sebesar 17.78-19.02%, vitamin
Csebesar 98.25 mg/100 g, dan karoten sebesar 2.55 g/100 g. Dalimarta
(1999)menginformasikan jenis asam amino penyusun daun beluntas, meliputi
leusin,isoleusin, triptofan, dan treonin(Siringiringo, 2012).
Senyawa bioaktif yang terdapat pada daun beluntas (Pluchea indica Less)
adalah alkaloid, flavonoid, tanin, minyak atsiri, asam chlorogenik, natrium,
kalium, aluminium, kalsium, magnesium dan fosfor.Sedangkan akarnya
mengandung flavonoid dan tannin (Susanti,2007).Senyawa-senyawa ini
merupakan senyawa metabolit sekunder.
Flavonoid
Flavonoid merupakan salah satu metabolit sekunder, kemungkinan
keberadaannya dalam daun dipengaruhi oleh adanya proses fotosintesis sehingga
daun muda belum terlalu banyak mengandung flavonoid.
Flavonoid mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15 atom
karbon, dimana dua cincin benzene (C6) terikat pada rantai propane (C3) sehingga
membentuk suatu susunan C6-C3-C6. Susunan ini dapat menghasilkan tiga jenis
struktur yakni 1,3-diarilpropan atau flavonoid, 1,2-diarilpropan atau isoflavonoid,
dan 1,1 diarilpropan atau neoflavonoid. Ketiga struktur tersebut dapat dilihat pada
gambar 2.
Gambar 2. Struktur Flavonoid (a) Flavonoid, (b) Isoflavonoid,
(c) Neoflavonoid.
6
Flavonoid merupakan senyawa pereduksi yang baik, menghambat banyak
reaksioksidasi, baik secara enzim maupun non enzim. Flavonoid bertindak
sebagai penampung yang baik radikal hidroksi dan superoksida dengan demikian
melindungi lipid membran terhadap reaksi yang merusak. Aktivitas
antioksidannya dapat menjelaskan mengapa flavonoid tertentu merupakan
komponen aktif tumbuhan yang digunakan secara tradisional untuk mengobati
gangguan fungsi hati flavonoid merupakan golongan terbesar senyawa fenol alam.
Flavonoid merupakan senyawa polar karena mempunyai sejumlah gugus hidroksil
yang tak tersulih atau suatu gula, sehingga akan larut dalam pelarut polar seperti
etanol, metanol, butanol, aseton, dimetil sulfoksida, dimetilformamida, dan air.
Adanya gula yang terikat padaflavonoid cenderung menyebabkan flavonoid lebih
mudah larut dalam air dandengan demikian campuran pelarut dengan air
merupakan pelarut yang lebih baikuntuk glikosida.
Semua flavonoid menurut strukturnya merupakan turunan senyawa induk
flavon. Flavonoid banyak ditemukan dalam bentuk tepung putih pada tumbuhan
primula contohnya pada tanaman beluntas dan biasanya terdapat pada vakuola sel.
Pada bidang farmakologi flavonoid dapat digunakan sebagai antiradang, antibody,
antitumor, antidiare, antidoksidan, meningkatkan immunoglobulin, mengurangi
kerapuhan pembuluh kapiler. Flavonoid berperan untuk meningkatkan efektifitas
vitamin C mendukung manfaat daun beluntas untuk menurunkan kadar kolesterol,
yaitu dapat menurunkan kolesterol pada sejumlah orang yang memiliki kolesterol
tinggi. Namun, pada orang dengan kadar kolesterol normal hal tersebut tidak
berlaku. Flavonoid yang merupakan komponen polifenol sering ditemukan di
dalam berbagai jenis tumbuhan mempunyai efek antioksidan secarain vitro dan ex
vivo serta mempunyai efek menurunkan kolesterol pada manusia maupun hewan.
Peran daun beluntas sebagai antikolesterol disebabkan pengaruh dari
senyawaantioksidan yang dikandung daun beluntasyaitu senyawa
fenolik.Senyawa ini dapat mengurangi timbunan lemak jahat (LDL) di dalam
pembuluh darah. Komponen senyawa fenolik bersifat polar dan dapat larut dalam
air serta memiliki fungsi antaralain sebagai penangkap radikal bebas dan peredam
terbentuknya oksigen singlet. Salah satu senyawa fenolik yang terdapat dalam
7
beluntas adalah flavonoid. Flavonoid dapat menurunkan kadar kolesterol darah
dengan cara meningkatkan ekskresi asam empedu. Kadar flavonoid dalam daun
beluntas adalah 287.38 mg/100 g.
2.2 Isolasi flavonoid
2.2.1Ekstraksi
secara umum ekstraksi senyawa metabolit sekunder dari seluruh bagian
tumbuhan seperti bunga, buah, kulit batang, daun dan akar menggunakan system
maserasi dengan pelarut organic polar seperti methanol.
Beberapa ekstraksi senyawa organic bahan alam yang umum digunakan
antara lain : (Darwis. D, 2000)
1. Maserasi
Maserasi merupakan proses perendaman sampel menggunakan pelarut
organik pada temperatur ruangan. Proses ini sangat menguntungkan dalam
isolasi senyawa bahan alam karena dengan perendaman sampel tumbuhan
akan terjadi pemecahan dinding dan membran sel akibat perbedaan
tekanan antara di dalam dan di luar sel, sehingga metabolit sekunder yang
ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik dan ekstraksi
senyawa akan sempurna karena dapat diatur lama perendaman yang
dilakukan. Pemilihan pelarut untuk proses maserasi akan memberikan
efektivitas yang tinggi dengan memperhatikan kelarutan senyawa bahan
alam dalam pelarut tersebut. Secara umum pelarut metanol merupakan
pelarut yang banyak digunakan dalam proses isolasi senyawa organik
bahan alam karena dapat melarutkan seluruh golongan metabolit sekunder.
2. Perkolasi
Merupakan proses melewatkan pelarut organic pada sampel sehingga
pelarut akan membawa senyawa organic bersama-sama pelarut. Tetapi
efektifitas dari proses ini hanya akan lebih besar untuk senyawa organic
yang mudah larut dalam pelarut yang digunakan.
8
3. Soxhletasi
Soxhletasi merupakan suatu cara pengekstraksian tumbuhan dengan
memakai alat soxhlet. Pada cara ini pelarut dan simplisia ditempatkan
secara terpisah. Soxhletasi digunakan untuk simplisia dengan khasiat yang
relatif stabil dan tahan terhadap pemanasan. Prinsip soxhletasi adalah
penyarian secara terus menerus sehingga penyarian lebih sempurna dengan
memakai pelarut yang relatif sedikit. Jika penyarian telah selesai maka
pelarutnya diuapkan dan sisanya adalah zat yang tersari. Biasanya pelarut
yang digunakan adalah pelarut yang mudah menguap atau mempunyai
titik didih yang rendah. Hasil yang diperoleh berupa ekstra yang mana
seluruh senyawa bahan alam yang terlarut dalam pelarut yang digunakan
akan berada pada ekstrak ini. Penentuan jumlah komponen senyawa dapat
dideteksi dengan kromatografi lapis tipis (KLT) dengan menggunakan plat
KLT yang sudah siap pakai. Terjadinya pemisahan komponen-komponen
pada KLT dengan rf tertentu dapat dijadikan sebagai panduan untuk
memisahkan komponen kimia tersebut dengan menggunakan
Kromatografi Kolom.
2.2.2 Identifikasi Senyawa dan Penentuan Struktur Flavonoid
Suatu senyawa bahan alam hasil isolasi akan diidentifikasi berdasarkan
kimia, fisika dan spekroskopi.
Identifikasi senyawa metabolit sekunder dan elusidasi struktur senyawa
ditemukan merupakan pekerjaan yang sangat menentukan dalam proses
mengenal, mengetahui dan pada akhirnya menetapkan rumus molekul yang
sebenarnya dari senyawa tersebut.
Diantara metode identifikasi dan elusidasi struktur yang diperoleh dapat
dilakukan dengan metode standar yang sudah dikenal untuk menentukan senyawa
kimia dan termasuk derivate-derivatnya antara lain : (Silverstein, 1991)
1. Metoda spektroskopi
metoda spektroskopi saat ini sudah merupakan metoda standar dalam
penentuan struktur senyawa organic pada umumnya dan senyawa
9
metabolit sekunder pada khususnya. Metoda tersebut terdiri dari beberapa
peralatan dan mempunyai hasil pengamatan yang berbeda, yaitu :
- Spektroskopi UV
Merupakan metoda yang akan memberikan informasi adanya krofomor
dari senyawa organic dan membedakan senyawa aromatic atau
senyawa ikatan rangkap yang berkonjugasi dengan senyawa alifatik
rantai jenuh.
- Spektroskopi IR
Metoda yang dapat menentukan serta mengidentifikasi gugus fungsi
yang terdapat dalam senyawa organic, yang mana gugus fungsi dari
senyawa organic akan dapat ditentukan berdasarkan ikatan dari tiap
atom dan merupakan bilangan frekuensi yang spesifik.
- Nuklir Magnetik Resonansi Proton
Metoda ini akan mengetahui posisi atom-atom karbon yang
mempunyai proton atau tanpa proton. Disamping itu akan dikenal
atom-atom lainnnya yang berkaitan dengan proton/.
- Spektroskopi massa
Mengetahui berat molekul senyawa dan ditunjang dengan adanya
fragmentasi ion molekul yang mengahasilkan pecahan-pecahan
spesifik untuk suatu senyawa berdasarkan m/z dari masing-masing
fragmen yang terbentuk. Terbentuknya fragmen-fragmen dengan
terjadinya pemutusan ikatan apabila disusun kembali akan dapat
menentukan kerangka struktur senyawa yang diperiksa.
2. Kromatografi
Penggunaan kromatografi sangat membantu dalam pendeteksian
senyawa metabolit sekunder dan dapat dijadikan sebagai patokan untuk
proses pengerjaan berikutnya dalam menentukan struktur senyawa.
Berbagai jenis kromatografi yang umum digunakan antara lain
(Darwis.D, 2000)
- Kromatografi lapis tipis
10
Merupakan slah satu metoda identifikasi awal untuk menentukan
kemurnian senyawa yang detemukan atau dapat menentukan jumlah
senyawa dari ekstrak kasar metabolit sekunder. Cara ini sangat
sederhana dan merupakan suatu pendeteksian awal dari hasil isolasi.
- Kromatografi kolom
Digunakan untuk pemisahan campuran beberapa senyawa yang
diperoleh dari isolasi tumbuhan. Dengan menggunakan fasa padat dan
fasa cair maka fraksi-fraksi senyawa akan menghasilkan kemurnian
yang cukup tinggi.
11
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Pelaksanaan
Praktikum ini dilakukan selama I (satu) semester di Laboratorium Kimia
Jurusan Pendidikan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Gorontalo
3.2Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah Pipet tetes, Gelas
ukur 250 ml, kaca arloji, toples, gelas kimia 250 ml, batang pengaduk, pipa
kapiler, alumunium voil, oven, blender, Ayakan 65 mesh, pinset, dan
spektrofotometer UV-Vis
3.2.2 Bahan
3.2.2.1 Bahan Alam
Bahan alam yang digunakan dalam praktikum ini adalah daun beluntas
yang diambil di kota gorontalo tepatnya di Jl. Pangeran Hidayat 1 Kel. Dulaluwo
Kec. Kota tengah.
3.3.2.2 Bahan Kimia
Dalam praktikuum ini memerlukan beberapa bahan kimia antara lain n-
heksana, asam asetat, n-butanol, metanol, etanol 96% p.a, asam klorida,
aquadesdan plat kromatografi lapis tipis (KLT) GF254 (Merck).
3.3 Prosedur Kerja
3.3.1 Preparasi Sampel
Untuk mendapatkan ekstrak daun beluntas, mula-mula daun beluntas
diambil dan dicuci. Setelah itu dikeringkan dengan diangin-anginkan pada udara
terbuka dengan tidak dikenai sinar matahari langsung, kira-kira pada suhu kamar
yaitu 25-30°C selama 2 minggu untuk menghilangkan air dan mencegah
terjadinya perubahan kimia (daun cepat busuk sehingga dapat menghasilkan
mikroorganisme yang dapat merubah senyawa kimia yang terkandung di daun
tersebut) dan kembali di oven pada suhu 40 °C selama 3 hari. Sampel yang telah
12
kering diblender untuk memperluas permukaan serta membantu pemecahan
dinding dan membran sel, sehingga lebih mudah memaksimalkan proses ekstraksi
lalu diayak dengan ayakan nomor 65 mesh.
3.3.2 Ektraksi dengan Cara Maserasi
Metode yang digunakan dalam praktikum ini adalah ekstraksi maserasi.
Serbuk daun beluntas yang telah kering tersebut ditimbang sebanyak 50 g
kemudian Dimasukkan ke dalam Toples. Selanjutnya, ditambahkan 250 ml
etanolteknis Toples tersebut ditutup dan dibiarkan selama 3 hari sambil sesekali
dikocok. Ekstrak yang diperoleh dipekatkan dengan menggunakan vacum rotary
evaporator pada suhu 700 C sehingga diperoleh ekstrak pekat daun beluntas.
3.3.3 Ekstraksi Cair-Cair Menggunakan Corong Pisah
Ekstrak pekat daun beluntas Dimasukkan ke dalam corong pisah dan
ditambahkan dengan 100 ml n-heksana dan 100 ml etanol kemudian Ditutup.
Campuran ini dikocok selama 10 menit dengan sesekali membuka penutup
corong pisah selanjutnya didiamkan sampai terbentuk 2 lapisan. Masing-masing
lapisan tersebut dikeluarkan dari corong pisah. Selanjutnya dilakukan uji fitokimia
pada masing-masing lapisan.
3.3.4 Uji Fitokimia
Pemeriksaan golongan flavonoid dapat dilakukan dengan uji warna yaitu :
1. Test dengan NaOH 10%
Beberapa mililiter sampel dalam alkohol ditambahkan 2-4 tetes larutan
NaOH 10%. Perubahan warna yang terjadi diamati dari kuning tua
menjadi kuning muda.
2. Test dengan H2SO4 (pekat)
Beberapa mililiter sampel dalam alkohol ditambahkan 2-4 tetes larutan
H2SO4 (pekat). Perubahan warna yang terjadi diamati dari kuning tua
menjadi merah tua.
3.3.5 Pemisahan Senyawa Flavonoid dengan KLT GF254 (Merck).
Lapisan atas yang merupakan hasil dari ekstraksi dengan menggunakan
corong pisah dilarutkan pada etanol 96 % p.a. Eluat tersebut ditotolkan pada plat
(ukuran 5 cm x 10 cm) dengan menggunakan pipet mikro pada jarak 1 cm dari
13
garis bawah dan 1 cm dari garis atas dan totolan noda sampel pada KLT
dikeringkan. Plat tersebut dimasukkan ke dalam Chamber yang telah berisi eluen
(n-butanol : asam asetat : air dengan perbandingan 4:1:5) dan menutup bagian atas
chamber dengan penutupnya. Diperhatikan jalannya eluen sampai tanda batas lalu
mengangkatnya menggunakan pinset dan plat KLT keringkan dan dilihat warna
noda yang dihasilkan dengan menggunakan sinar UV serta memberi tanda pada
noda tersebut.
3.3.6 Identifikasi Senyawa dengan Menggunakan Spektrofotometri Inframerah
(IR)
Setetes sampel ditempatkan antara dua plat KBr atau plat NaCl untuk membuat
film tipis. Kemudian plat ditempatkan dalam tempat sampel alat spektroskopi inframerah
untuk dianalisis. umumnya mempunyai panjang berkas radiasi kurang dari 1 mm Dapat
pula dibuat larutan yang kemudian dimasukkan ke dalam sel larutan.
14
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Preparasi Sampel
Daun beluntas yang digunakan dalam praktikum ini adalah daun beluntas
yang tumbuh di kota gorontalo tepatnya di Jl. Pangeran Hidayat 1 Kel. Dulaluwo
Kec. Kota tengah. Daun beluntas yang diambil adalah daun yang berada pada
pertengahan ranting karena kadar flavonoidnya lebih tinggi daripada kadar
flavonoid pada daun beluntas yang masih muda atau berada di pucuk. Daun
beluntas yang telah dipetik dari pohonnya kemudian dicuci hingga bersih dan
dirajang atau di potong keil-kecil. Hal ini bertujuan untuk mempercepat proses
pengeringan dimana pengeringan sampel dilakukan secara alami yaitu dikering
anginkan di tempat terbuka dengan tidak terkena sinar matahari secara langsung
yaitu pada suhu 25-30°C. Proses pengeringan ini hanya dilakukan selama 11 hari.
Proses pengeringan sampel kurang maksimal karena hanya dilakukan dengan
waktu yang relatif singkat dan sampel juga tidak dioven sehingga sampel masih
mengandung kadar air yang cukup tinggi. Hal ini dapat mempengaruhi proses
ekstraksi nantinya.
4.2 Ekstraksi dengan cara Maserasi
Ekstraksi merupakan proses pemisahan suatu zat berdasarkan perbedaan
kelarutannya terhadap dua cairan tidak saling larut yang berbeda (Rahayu, 2009).
Metode ekstraksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah maserasi. Maserasi
adalah salah satu metode pemisahan senyawa dengan cara perendaman
menggunakan pelarut organik pada temperatur ruangan. Proses ekstraksi ini tidak
dilakukan dengan metode soxhlet karena dikhawatirkan ada golongan senyawa
flavonoid yang tidak tahan panas, selain itu senyawa flavonoid mudah teroksidasi
pada suhu yang tinggi. Proses maserasi sangat menguntungkan dalam isolasi
senyawa bahan alam karena selain murah dan mudah dilakukan, dengan
perendaman sampel tumbuhan akan terjadi pemecahan dinding dan membran sel
akibat perbedaan tekanan antara di dalam dan di luar sel, sehingga metabolit
sekunder yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut. Pelarut yang
15
mengalir ke dalam sel dapat menyebabkan protoplasma membengkak dan bahan
kandungan sel akan larut sesuai dengan kelarutannya (Lenny, 2006).
Senyawa flavonoid yang ada dalam daun beluntas merupakan senyawa
yang bersifat polar sehingga harus dilarutkan dengan pelarut yang bersifat polar
sehingga, pelarut yang digunakan dalam praktikum ini adalah etanol tehnis.
Sebanyak 50 gr sampel daun beluntas dimasukkan ke dalam gelas kimia
dan ditambahkaan dengan 1000 ml etanol. Pelarut yang digunakan pada proses
maserasi ini cukup banyak karena ukuran sampel daun beluntas tidak begitu halus
dan sampel belum benar-benar kering. Proses perendaman sampel hanya
dilakukan selama 1 hari dan kemudian disaring. Hal ini bertujuan agar pelarut
tidak mengalami kejenuhan akibat dari konsentrasi pelarut pekat karena telah ada
senyawa yang terekstrak dari sampel daun beluntas.
Filtrat hasil saringan merupakan campuran antaara ekstrak hasil maserasi
dengan pelarut etanol. Untuk memisahkan kedua senyawa ini, maka harus
dilakuakan dengan penguapan dengan menggunakan rotary evaporator.Maka, bisa
dikatakan bahwa instrumen ini akan jauh lebih unggul, karena pada instrumen ini
memiliki suatu teknik yang berbeda dengan teknik pemisahan yang lainnya.
Karena teknik itulah, sehingga suatu pelarut akan menguap dan senyawa yang
larut dalam pelarut tersebut tidak ikut menguap namun mengendap. Dan dengan
pemanasan dibawah titik didih pelarut, sehingga senyawa yang terkandung dalam
pelarut tidak rusak oleh suhu tinggi. Oleh sebab itu, etanol akan menguap dan
ekstrak kental akan tertinggal pada labu evaporator.
Pelarut etanol hasil dari penguapan digunakan kembali untuk merendam
maserat. Proses ekstraksi diulangi selama tiga kali pengulangan.
Semakin lama waktu ekstraksi, kesempatan untuk bersentuhan makin
besar sehingga hasilnya juga bertambah sampai titik jenuh larutan. Kontak antara
sampel dan pelarut dapat ditingkatkan apabila dibantu dengan pengocokan agar
kontak antara sampel dan pelarut semakin sering terjadi, sehingga proses ekstraksi
lebih sempurna
16
Ekstraksi dilakukan sebanyak 2 kali. Ekstraksi pertama diperoleh ekstrak
kental sebanyak 4 gram dan pada ekstraksi kedua diperoleh ekstrak kental
sebanyak 1,7993 gram.
4.3 Ekstaksi Cair-Cair dengan Menggunakan Corong Pisah
Warna hijau pekat pada filtrat terbentuk karena pelarut yang digunakan
tidak hanya mengekstraksi senyawa flavonoid melainkan juga mengekstraksi
klorofil yang ada dalam tumbuhan. Filtrat hasil penyaringan difraksinasi dengan
metode ekstraksi cair-cair menggunakan corong pisah dengan pelarut n-heksana
untuk memisahkan senyawa-senyawa nonpolar seperti klorofil, triterpen, lemak
dan senyawa nonpolar lain.
Ekstrak kental dilarutkan pada 100 mL etanol kemudian dimasukkan ke
dalam corong pisah dan ditambahkan dengan 100 mL n-heksana. Campuran ini
dikocok agar senyawa yang bersifat polar ataupun nonpolar terdistribusi pada
pelarutnya masing-masing, dimana etanol bersifat polar sedangkan n-heksana
bersifat nonpolar (like dissolved like) dengan sesekali membuka keran untuk
mengeluarkan gas yang dihasilkan pada saat pengocokkan.
Seharusnya, penambahan n-heksan menyebabkan terbentuk 2 fase dan
terdapat endapan pada dinding dasar corong pisah yang berwarna cokelat, karena
kedua pelarut tersebut memiliki berat jenis dan kepolaran yang berbeda. Berat
jenis n-heksana (0,6548 gr/ml) lebih besar dari pada etanol (0,7893 gr/ml)
sehingga lapisan n-heksana berada di bagian bawah dan lapisan etanol berada di
bagian atas. Namun, pemisahan tersebut tidak dapat teramati karena warna larutan
hijau pekat sehingga pemisahan tidak tampak walupun telah didiamkan selama 24
jam. Oleh karena itu dilakukan uji fitokimia flavonoid.
4.4 Uji Fitokimia
Sebelum dilakukan uji fitokimia sampel terlebih dahulu ditambahkan
etanol. Hal ini dilakukan agar sampel tidak terlalu kental. Kemudian melakukan
Uji fitokimia dengan menggunakan NaOH 10% dan H2SO4 pekat. Pada uji
fitokimia yang menggunakan reagen NaOH 10%, filtrat yang diuji mengalami
perubahan warna dari warna kuning tua menjadi kuning muda. Sedangkan uji
fitokimia menggunakan reagen H2SO4 pekat filtrat yang tadinya berwarna kuning
17
berubah menjadi merah. Perubahan warna ini menunjukkan adanya kandungan
flavonoid pada daun beluntas.
4.5 Pemisahan Senyawa Flavonoid dengan KLT GF254 (Merck).
Pemisahan senyawa flavonoid daun beluntas dilakukan dengan metode
kromatografi lapis tipis (KLT). KLT merupakan suatu metode pemisahan suatu
senyawa berdasarkan perbedaan distribusi dua fase yaitu fase diam dan fase gerak.
Fase diam yang digunakan ialah plat silika gel yang bersifat polar, sedangkan
eluen yang digunakan sebagai fase gerak bersifat sangat polar karena mengandung
air. Kepolaran fase diam dan fase gerak hampir sama, tetapi masih lebih polar fase
gerak sehingga senyawa flavonoid yang dipisahkan terangkat mengikuti aliran
eluen, karena senyawa flavonoid bersifat polar. KLT yang digunakan terbuat dari
silika gel. Penggunaan bahan silika karena pada umumnya silica digunakan untuk
memisahkan senyawa asam-asam amino, fenol, alkaloid, asam lemak, sterol dan
terpenoid. Eluen yang dipakai dalam KLT ialah eluen campuan n-butanol : asam
asetat : air (4:1:5).
Ekstrak kental hasil ekstraksi kemudian ditotolkan pada plat KLT dengan
menggunakan pipa kapiler pada jarak 1 cm dari garis bawah dan 1 cm dari garis
atas. Selanjutnya dielusi dengan menggunakan eluen yaitu n-butanol:asam asetat:
air dengan perbandingan (4:1:5). Hasil KLT seperti pada gambar 3 kemudian
diangin-anginkan dan diperiksa di bawah sinar UV pada panjang gelombang 366
nm. Noda yang terbentuk yaitu sebanyak 4 noda, noda-noda tersebut lalu
dilingkari dan dihitung nilai Rf-nya. Pemisahan
dengan KLT menghasilkan harga Rf dari noda
pertama sebesar 0,4, noda kedua memiliki nilai
Rf sebesar 0,6, noda ketiga memiliki Rf sebesar
0,7 dan noda keempat sebesar 0,8.
KLT dilakukan kembali untuk
mendapatkan noda yang lebih baik dengan
perbandingan eluen yang berbeda, yaitu n-
butanol : asam asetat : air (4:6:5), (4:2:5) dan
(4:1:4).
18
Pada hasil KLT dengan perbandingan eluen 4:6:5 diperoleh sebanyak 2
noda. Noda pertama memiliki Rf sebesar 0,43 dan noda kedua memiliki Rf
sebesar 0,91. Noda pertama berbentuk panjang dan berekor. Pada KLT dengan
perbandingan eluen 4:2:5 menghasilkan 1 noda dengan Rf sebesar 0,8. Dilakukan
kembali KLT dengan perbandingan eluen 4:1:4 dan diperoleh sebanyak 4 noda.
Noda pertama memiliki Rf 0,28 (noda berekor), noda kedua memiliki Rf 0,65,
noda ketiga memiliki Rf 0,8 dan noda keempat dengan Rf 0,91. Noda-noda
tersebut ditunjukkan pada gambar 4.
Gambar 4. Noda dengan perbandingan eluen (a) 4:6:5 (b) 4:2:5 (c) 4:1:4
Eluen yang baik ialah eluen yang bisa memisahkan senyawa dalam jumlah
yang banyak yang ditandai dengan munculnya noda. Noda yang terbentuk tidak
berekor dan jarak antara noda satu dengan yang lainnya jelas. Noda yang
demikian diperoleh dengan perbandingan eluen 4:1:5 yang mampu memberikan
pemisahan terbaik. Karena dari komposisinya, eluen tersebut bersifat sangat polar
sehingga bisa memisahkan senyawa flavonoid yang juga bersifat polar.
Selanjutnya dilakukan KLT preparatif dengan menggunakan perbandingan
eluen yang memberikan pemisahan terbaik yaitu dengan perbandingan n-
butanol:asam asetat:air (4:1:5). Ukuran plat (10 x 5) cm dengan panjang 10 cm
dan lebar 5 cm. Penotolan dilakukan sebanyak 20 titik kemudian dimasukkan
kedalam gelas kimia pengganti chamber yang berisi eluen. Dari hasil lampu UV
KLT tersebut, noda yang dihasilkan terdapat 4 titik noda yang identik dengan
noda KLT kualitatif. Noda pertama menghasilkan warna hijau, noda kedua
menghasilkan warna kuning kehijauan, noda ketiga menghasilkan warna kuning
19
kehijauan dan noda keempat menghasilkan warna kuning. Langkah selanjutnya
mengerok 4 noda hasil KLT dengan menggunakan spatula. Masing-masing noda
dimasukkan kedalam botol vial.
Masing-masing noda yang terdapat dalam botol vial tersebut dilarutkan
dengan menggunakan pelarut etanol sebanyak 2 mL dan dikocok degan tujuan
agar senyawa yang terdistribusi pada silika gel dapat larut dalam etanol. Untuk
memisahkan pelarut dengan silika, maka campuran tersebut disentrifuge.
Campuran tersebut dimasukkan ke dalam tabung sentrifuge dan kemudian
disentrifuge. Waktu yang digunakan dalam proses sentrifuge yakni 15 menit
dengan kecepatan perputaran 3,6. Masing-masing pelarut etanol yang telah
terpisah dengan silika, dimasukkan ke dalam botol vial. Selanjutnya, dilakukan
analisis spektrofotometri Inframerah.
4.6 Identifikasi Senyawa dengan Menggunakan Spektrofotometri
Inframerah (IR)
Pada data spektrum inframerah, terlihat bahwa pola spektrum senyawa yang
diperoleh menunjukkan serapan melebar pada daerah bilangan gelombang 3356,18 cm -1
,
yang diduga adalah serapan OH. Dugaan ini diperkuat oleh adanya serapan pada daerah
bilangan gelombang 1047,00 cm-1
yang merupakan C-O alkohol. Pada bilangan
gelombang 2975,21 cm-1
dan 2891,38 menunjukkan adanya ikatan C-H (sp3), bilangan
gelombang 1649,47 cm-1
diduga adanya ikatan C=C pada senyawa aromatik. Selain itu,
diperkuat pada bilangan gelombang 879,86 cm-1
yang merupakan ikatan C-H aromatik
dan bilangan gelombang 1453,23 yang diduga merupakan ikatan C-C pada senyawa
aromatik serta bilangan gelombang 1088,09 cm-1
merupakan ikatan C-O pada senyawa
aromatik. Spektrum inframerah dari sampel dipaparkan pada Gambar 5 dan
analisisnya pada Tabel 1.
20
Bilangan
gelombang isolat
(cm-1
)
Bilangan
gelombang teori
(cm-1
)
Bentuk pita Penempatan
gugus
3356,18 3000-3700 Melebar OH
2975,21 2800-3000 Tajam C-H (sp3)
2891,38 2800-3000 rendah C-H (sp3)
1649,47 1600-1700 rendah C=C
1453,23 1450-1600 rendah C-C aril
1088,09 1050-1260 Tajam C-O
1047,00 1000- 1300 Tajam C-O alkohol
879,86 675-900 Tajam C-H aromatic
Tabel 1. Data spektrum spektrofotometri inframerah (gelombang, bentuk pita dan penempatan gugus terkait) dari isolat (Sumber: Fessenden: 2003)
Gambar 5. Spektra inframerah
Dari spektra inframerah menunjukkan bahwa sampel mempunyai gugus
fungsi C-H aromatik, C-C aromatik, C-O aromatik, C=C romatik, C-O alkohol,
CH (sp3), dan OH. Sehingga kemungkinan senyawa flavonoid yang terkandung
pada sampel adalah golongan flavonol.
Gambar 6. Struktur Flavonol
21
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa isolasi
senyawa flavonoid dalam daun beluntas (Pluchea incica L.) dapat ditentukan
dengan menggunakan spektrofotometri Inframerah dimana diperoleh bahwa isolat
etanol dari daun beluntas mengandung gugus fungsi C-H aromatik, C-C
aromatik, C-O aromatik, C=C romatik, C-O alkohol, CH (sp3), dan OH. Sehingga
kemungkinan senyawa flavonoid yang terkandung pada sampel adalah golongan
flavonol.
5.2 Saran
Untuk dapat menentukan struktur senyawa golongan flavonoid dari
isolate dapat dilakukan penelitian lebih lanjut dengan mempergunakan metode
spektrofotometri NMR, dan GC-MS.
22
DAFTAR PUSTAKA
Adfa, morina. 2005. Survey Etnobotani, Studi Senyawa Flavonoid dan Uji Brine
Shrimp Beberapa Tumbuhan Obat Tradisional Suku Serawai di Propinsi
Bengkulu. Jurnal Gradien Vol.1 No.1 Januari 2005 : 43-50
Asih, Astiti I.A.R.2009. Isolasi dan Identifikasi Senyawa Isoflavon dari Kacang
Kedelai. Juirusan Kimia FMIPA Universitas Udayana:Jurnal Kimia 3 (1),
Januari 2009 : 33-40
Darwis.D, 2000. Tekni Dasar Laboratorium dalam Penelitian Senyawa Bahan
Alami Hayato, Workshop Pengembangan Sumber Daya Manusia Dalam
Bidang Kimia Organik Bahan Alam Hayati. FMIPA Universitas Andalas
Padang
Silverstein.R.M, 1991. Spectrometric Identification of Organic Compounds, edisi
ke 5: Jhon willey & Sons
Koirewoa, Yohanes Adithya, Fatimawali, Weny Indayany Wiyono. 2012. Isolasi
dan Identifikasi Senyawa Flavonoid Dalam Daun Beluntas (Pluchea indica L.).
Manado: Universitas Samratulangi
Susanti, ary. 2007. Daya Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Beluntas (Pluchea
indica less) Terhadap Escherichia Coli Secara In Vitro. Universitas Erlangga.
Surabaya
Siringoringo, Herlina. 2012. Pengaruh Pemberian Tepung Daun Beluntas
(Pluchea indica Less) Terhadap Penurunan Kolesterol Mencit (Mus musculus
l.). Universitas Negeri Medan: Medan