laporan pendahuluan bph.doc

29
LAPORAN PENDAHULUAN BENIGNA PROSTAT HYPERPLASIA ( BPH ) DI SUSUN OLEH : NIDA FAUZIYAH NOOR P 17420213107

Upload: nida

Post on 04-Dec-2015

129 views

Category:

Documents


20 download

DESCRIPTION

laporan pendahuluan

TRANSCRIPT

LAPORAN PENDAHULUAN

BENIGNA PROSTAT HYPERPLASIA ( BPH )

DI SUSUN OLEH :

NIDA FAUZIYAH NOOR

P 17420213107

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLTEKKES KEMENKES SEMARANG

PRODI D III KEPERAWATAN PURWOKERTO

A. Pengertian BPH

Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah pembesaran kelenjar prostat nonkanker,

(Corwin, 2000).

Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan.

Price&Wilson (2005).

Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah pembesanan prostat yang jinak bervariasi

berupa hiperplasia kelenjar atauhiperplasia fibromuskular. Namun orang sering

menyebutnya dengan hipertropi prostat namun secarahistologi yang dominan adalah

hyperplasia (Sabiston, David C,2004)

BPH (Hiperplasia prostat benigna) adalah suatu keadaan di mana kelenjar

prostat mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan

menyumbat aliran urin dengan menutup orifisium uretra. BPH merupakan kondisi

patologis yang paling umum pada pria. (Smeltzer dan Bare, 2002)

B. Etiologi

           Penyebab  yang  pasti  dari  terjadinya  BPH  sampai  sekarang  belum  diketahui. 

Namun  yang  pasti  kelenjar  prostat  sangat  tergantung  pada  hormon  androgen. 

Faktor  lain  yang  erat  kaitannya   dengan  BPH  adalah  proses  penuaan  Ada beberapa

factor kemungkinan penyebab antara lain :

1. Dihydrotestosteron

Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen  menyebabkan  epitel  dan 

stroma  dari  kelenjar  prostat  mengalami  hiperplasi .

2. Perubahan  keseimbangan  hormon  estrogen  -  testoteron

Pada  proses  penuaan  pada  pria  terjadi  peningkatan  hormon  estrogen  dan 

penurunan   testosteron  yang  mengakibatkan  hiperplasi  stroma.

3. Interaksi  stroma  -  epitel

Peningkatan  epidermal  gorwth  factor  atau  fibroblast   growth    factor  dan 

penurunan  transforming  growth  factor  beta  menyebabkan  hiperplasi  stroma  dan 

epitel.

4. Berkurangnya  sel  yang  mati

Estrogen  yang  meningkat  menyebabkan   peningkatan  lama  hidup  stroma  dan 

epitel  dari  kelenjar  prostat.

5. Teori  sel  stem

Sel  stem  yang  meningkat  mengakibatkan    proliferasi  sel  transit  ( Roger  Kirby, 

1994 :  38 ).

C. Tanda dan Gejala

1.  Gejala iritatif meliputi  :

a) Peningkatan frekuensi berkemih

b) Nokturia (terbangun pada malam hari untuk miksi)

c) Perasaan ingin miksi yang sangat mendesak/tidak dapat ditunda (urgensi)

d) Nyeri pada saat miksi (disuria)

2.  Gejala obstruktif meliputi :

a) Pancaran urin melemah

b) Rasa tidak puas sehabis miksi, kandung kemih tidak kosong dengan baik

c) Kalau mau miksi harus menunggu lama

d) Volume urin menurun dan harus mengedan saat berkemih

e) Aliran urin tidak lancar/terputus-putus

f) Urin terus menetes setelah berkemih

g) Waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urin dan inkontinensia karena

penumpukan berlebih.

h) Pada gejala yang sudah lanjut, dapat terjadi Azotemia (akumulasi produk sampah

nitrogen) dan gagal ginjal dengan retensi urin kronis dan volume residu yang besar.

3.  Gejala generalisata seperti seperti keletihan, anoreksia, mual dan muntah, dan rasa tidak

nyaman pada epigastrik.

Berdasarkan keluhan dapat dibagi menjadi :

a) Derajat I : penderita merasakan lemahnya pancaran berkemih, kencing tak puas,

frekuensi kencing bertambah terutama pada malam hari

b) Derajat II : adanya retensi urin maka timbulah infeksi. Penderita akan mengeluh waktu

miksi terasa panas (disuria) dan kencing malam bertambah hebat.

c) Derajat III : timbulnya retensi total. Bila sudah sampai tahap ini maka bisa timbul aliran

refluk ke atas, timbul infeksi ascenden menjalar ke ginjal dan dapat menyebabkan

pielonfritis, hidronefrosis.

D. Patofisiologi

Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah

inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari

dengan berat normal pada orang dewasa ± 20 gram. Menurut Mc Neal (1976) yang

dikutip dan bukunya Purnomo (2000), membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona,

antara lain zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan

periuretra (Purnomo, 2000). Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia lanjut

akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena produksi testosteron

menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di

perifer. Purnomo (2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung

pada hormon tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah

menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase.

Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar

prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar prostat.

Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya perubahan

pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi yang

disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh kombinasi resistensi uretra

daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatan kontraksi detrusor. Secara

garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika

dan prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat

akan terjadi resistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian

detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan

detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan

sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa

dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan

sakula sedangkan yang besar disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut Fase

kompensasi otot dinding kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor

menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk

berkontraksi sehingga terjadi retensi urin.Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda

gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi

dengan cukup lama dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan

miksi), miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas

setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau

pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi

walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi

miksi meningkat, nokturia, miksi sulit ditahan/urgency, disuria).

Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak mampu lagi

menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter dan

obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi kronik

menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak

dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi

kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan

peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis

urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambal. Keluhan

iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media

pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks

menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)

E. Pathway

F. Manifestasi Klinik

Gambaran klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi

dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama

dan kuat sehingga mengakibatkan: pancaran miksi melemah, rasa tidak puas sehabis

miksi, kalau mau miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus mengejan (straining)

kencing terputus-putus (intermittency), dan waktu miksi memanjang yang akhirnya

menjadi retensio urin dan inkontinen karena overflow.

Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran

prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum

penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor dengan tanda dan gejala antara

lain: sering miksi (frekwensi), terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia),

perasaan ingin miksi yang mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria)

(Mansjoer, 2000)

Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4 stadium :

a) Stadium I

Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai habis.

b) Stadium II

Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine

walaupun tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa ridak

enak BAK atau disuria dan menjadi nocturia.

c) Stadium III

Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.

d) Stadium IV

Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes

secara periodik (over flow inkontinen)

G. Komplikasi

Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan semakin

beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak mampu melewati

prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi saluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat

mengakibatkan gagal ginjal. (Corwin, 2000)

Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan

penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan

intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko

urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasi dan hematuria.

Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan

mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan

pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).

H. Penatalaksanaan Medis

Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH tergantung

pada stadium-stadium dari gambaran klinis

a. Stadium I

Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan pengobatan

konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti alfazosin dan terazosin.

Keuntungan obat ini adalah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak

mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini

tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.

b. Stadium II

Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya

dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra)

c. Stadium III

Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan prostat

sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam. Sebaiknya

dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans

vesika, retropubik dan perineal.

d. Stadium IV

Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari retensi

urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan

pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive

dengan TUR atau pembedahan terbuka.

Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan pembedahan

dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan obat penghambat

adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif adalah dengan memberikan obat anti

androgen yang menekan produksi LH.

Menurut Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan pada BPH dapat

dilakukan dengan:

a. Observasi

Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi kopi,

hindari alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok dubur.

b. Medikamentosa

1. Penghambat alfa (alpha blocker)

Prostat dan dasar buli-buli manusia mengandung adrenoreseptor-α1, dan prostat

memperlihatkan respon mengecil terhadap agonis. Komponen yang berperan dalam

mengecilnya prostat dan leher buli-buli secara primer diperantarai oleh reseptor α1a.

Penghambatan terhadap alfa telah memperlihatkan hasil berupa perbaikan subjektif

dan objektif terhadap gejala dan tanda (sing and symptom) BPH pada beberapa

pasien. Penghambat alfa dapat diklasifikasikan berdasarkan selektifitas reseptor dan

waktu paruhnya

2. Penghambat 5α-Reduktase (5α-Reductase inhibitors)

Finasteride adalah penghambat 5α-Reduktase yang menghambat perubahan

testosteron menjadi dihydratestosteron. Obat ini mempengaruhi komponen epitel

prostat, yang menghasilkan pengurangan ukuran kelenjar dan memperbaiki gejala.

Dianjurkan pemberian terapi ini selama 6 bulan, guna melihat efek maksimal

terhadap ukuran prostat (reduksi 20%) dan perbaikan gejala-gejala

3. Terapi Kombinasi

Terapi kombinasi antara penghambat alfa dan penghambat 5α-Reduktase

memperlihatkan bahwa penurunan symptom score dan peningkatan aliran urin hanya

ditemukan pada pasien yang mendapatkan hanya Terazosin. Penelitian terapi

kombinasi tambahan sedang berlangsung

4. Fitoterapi

Fitoterapi adalah penggunaan tumbuh-tumbuhan dan ekstrak tumbuh-tumbuhan untuk

tujuan medis. Penggunaan fitoterapi pada BPH telah popular di Eropa selama

beberapa tahun. Mekanisme kerja fitoterapi tidak diketahui, efektifitas dan keamanan

fitoterapi belum banyak diuji

c. Terapi Bedah

Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan fungsi ginjal,

infeksi saluran kemih berulang, divertikel batu saluran kemih, hidroureter,

hidronefrosis jenis pembedahan:

1) TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)

Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat melalui

sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan malalui uretra.

2) Prostatektomi Suprapubis

Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada kandung

kemih.

3) Prostatektomi retropubis

Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen bagian

bawah melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung kemih.

4) Prostatektomi Peritoneal

Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi diantara

skrotum dan rektum.

5) Prostatektomi retropubis radikal

Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula seminalis dan

jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi pada abdomen bagian bawah,

uretra dianastomosiskan ke leher kandung kemih pada kanker prostat.

d. Terapi Invasif Minimal

1) Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)

Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan ke

kelenjar prostat melalui antena yang dipasang melalui/pada ujung kateter.

2) Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy (TULIP)

3) Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)

I. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Doenges (1999), pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan pada pasien

dengan BPH adalah :

a. Laboratorium

1). Sedimen Urin

Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran kemih.

2). Kultur Urin

Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan

sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.

b. Pencitraan

1). Foto polos abdomen

Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat dan

kadang menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi urin yang merupakan

tanda dari retensi urin.

2). IVP (Intra Vena Pielografi)

Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter atau

hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-buli.

3). Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal)

Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur sisa urin

dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.

4). Systocopy

Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra parsprostatika

dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.

KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

PADA KLIEN DENGAN BPH

A. PENGKAJIAN

Pengkajian pada pasien BPH dilakukan dengan pendekatan proses keperawatan.

Menurut Doenges (1999) fokus pengkajian pasien dengan BPH adalah sebagai berikut :

a. Sirkulasi

Pada kasus BPH sering dijumpai adanya gangguan sirkulasi; pada kasus preoperasi

dapat dijumpai adanya peningkatan tekanan darah yang disebabkan oleh karena efek

pembesaran ginjal. Penurunan tekanan darah; peningkatan nadi sering dijumpai pada.

kasus postoperasi BPH yang terjadi karena kekurangan volume cairan.

b. Integritas Ego

Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas egonya karena

memikirkan bagaimana akan menghadapi pengobatan yang dapat dilihat dari tanda-

tanda seperti kegelisahan, kacau mental, perubahan perilaku.

c. Eliminasi

Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang seringkali dialami oleh pasien

dengan preoperasi, perlu dikaji keragu-raguan dalam memulai aliran urin, aliran urin

berkurang, pengosongan kandung kemih inkomplit, frekuensi berkemih, nokturia,

disuria dan hematuria. Sedangkan pada postoperasi BPH yang terjadi karena tindakan

invasif serta prosedur pembedahan sehingga perlu adanya obervasi drainase kateter

untuk mengetahui adanya perdarahan dengan mengevaluasi warna urin. Evaluasi

warna urin, contoh : merah terang dengan bekuan darah, perdarahan dengan tidak ada

bekuan, peningkatan viskositas, warna keruh, gelap dengan bekuan. Selain terjadi

gangguan eliminasi urin, juga ada kemugkinan terjadinya konstipasi. Pada preoperasi

BPH hal tersebut terjadi karena protrusi prostat ke dalam rektum, sedangkan pada

postoperasi BPH, karena perubahan pola makan dan makanan.

d. Makanan dan cairan

Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek

penekanan/nyeri pada abomen (pada preoperasi), maupun efek dari anastesi pada

postoperasi BPH, sehingga terjadi gejala: anoreksia, mual, muntah, penurunan berat

badan, tindakan yang perlu dikaji adalah awasi masukan dan pengeluaran baik cairan

maupun nutrisinya.

e. Nyeri dan kenyamanan

Menurut hierarki Maslow, kebutuhan rasa nyaman adalah kebutuhan dasar yang

utama. Karena menghindari nyeri merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Pada

pasien postoperasi biasanya ditemukan adanya nyeri suprapubik, pinggul tajam dan

kuat, nyeri punggung bawah.

f. Keselamatan/ keamanan

Pada kasus operasi terutama pada kasus penyakit BPH faktor keselamatan tidak luput

dari pengkajian perawat karena hal ini sangat penting untuk menghindari segala jenis

tuntutan akibat kelalaian paramedik, tindakan yang perlu dilakukan adalah kaji

adanya tanda-tanda infeksi saluran perkemihan seperti adanya demam (pada

preoperasi), sedang pada postoperasi perlu adanya inspeksi balutan dan juga adanya

tanda-tanda infeksi baik pada luka bedah maupun pada saluran perkemihannya.

g. Seksualitas

Pada pasien BPH baik preoperasi maupun postoperasi terkadang mengalami masalah

tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksualnya, takut inkontinensia/menetes

selama hubungan intim, penurunan kekuatan kontraksi saat ejakulasi, dan pembesaran

atau nyeri tekan pada prostat.

h. Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium diperlukan pada pasien preoperasi maupun postoperasi

BPH. Pada preoperasi perlu dikaji, antara lain urin analisa, kultur urin, urologi., urin,

BUN/kreatinin, asam fosfat serum, SDP/sel darah putih. Sedangkan pada

postoperasinya perlu dikaji kadar hemoglobin dan hematokrit karena imbas dari

perdarahan. Dan kadar leukosit untuk mengetahui ada tidaknya infeksi.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Nyeri akut berhubungan agen injuri fisik (insisi sekunder pada TURP)

2. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan retensi urin

3. Resiko Infeksi berhubungan dengan prosedur infasiv pembedahan

4. Cemas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi proses

bedah.

C. INTERVENSI

Diagnosa Keperawatan Rencana Keperawatan

Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

1. Nyeri akut

berhubungan agen

injuri fisik (insisi

sekunder pada TURP)

2. Gangguan eliminasi

urin berhubungan

dengan retensi urin

Pain Level pain control comfort level

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …. Pasien tidak mengalami nyeri, dengan kriteria hasil:

1. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)

2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri

3. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)

4. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang

5. Tanda vital dalam rentang normal

1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi

2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan

3. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan

4. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan

5. Kurangi faktor presipitasi nyeri

6. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi

7. Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas dala, relaksasi, distraksi, kompres hangat/ dingin

8. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri: ……...

9. Tingkatkan istirahat10. Berikan informasi

tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan berkurang dan

3. Resiko Infeksi

berhubungan dengan

prosedur infasiv

pembedahan

Urinary elimination Urinary ContiunenceSetelah dilakukan tindakan keperawatan selama …. retensi urinpasien teratasi dengan kriteria hasil:

1. Kandung kemih kosong secarapenuh

2. Tidak ada residu urine >100-200 cc

3. Intake cairan dalam rentang normal

4. Bebas dari ISK5. Tidak ada spasme

bladder6. Balance cairan

seimbang

Immune Status Knowledge : Infection control Risk controlSetelah dilakukan tindakan keperawatan

antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur

Urinary Retention Care1. Monitor intake dan

output2. Monitor penggunaan

obat antikolinergik3. Monitor derajat

distensi bladder4. Instruksikan pada

pasien dan keluarga untuk mencatat output urine

5. Sediakan privacy untuk eliminasi

6. Stimulasi reflek bladder dengan kompres dingin pada abdomen.

7. Kateterisaai jika perlu

8. Monitor tanda dan gejala ISK (panas, hematuria, perubahan bau dan konsistensi urine)

1. Pertahankan teknik aseptif

2. Batasi pengunjung bila perlu

3. Cuci tangan setiap

4. Cemas berhubungan

dengan perubahan

status kesehatan atau

menghadapi proses

bedah.

selama…… pasien tidak mengalami infeksi dengan kriteria hasil:1. Klien bebas dari

tanda dan gejala infeksi

2. Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi

3. Jumlah leukosit dalam batas normal

4. Menunjukkan perilaku hidup sehat

5. Status imun, gastrointestinal, genitourinaria dalam batas normal

Kontrol kecemasan Koping

Setelah dilakukan asuhan selama ……………klien kecemasan teratasi dgn

sebelum dan sesudah tindakan keperawatan

4. Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung

5. Ganti letak IV perifer dan dressing sesuai dengan petunjuk umum

6. Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung kencing

7. Tingkatkan intake nutrisi

8. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal

9. Pertahankan teknik isolasi k/p

10. Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase

11. Monitor adanya luka

12. Dorong masukan cairan

13. Dorong istirahat14. Ajarkan pasien dan

keluarga tanda dan gejala infeksi

Anxiety Reduction (penurunan kecemasan)

1. Gunakan pendekatan yang menenangkan

2. Nyatakan dengan

kriteria hasil:1. Klien mampu

mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas

2. Mengidentifikasi, mengungkapkan dan menunjukkan tehnik untuk mengontol cemas

3. Vital sign dalam batas normal

4. Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan tingkat aktivitas menunjukkan berkurangnya kecemasan

jelas harapan terhadap pelaku pasien

3. Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur

4. Temani pasien untuk memberikan keamanan dan mengurangi takut

5. Berikan informasi faktual mengenai diagnosis, tindakan prognosis

6. Libatkan keluarga untuk mendampingi klien

7. Instruksikan pada pasien untuk menggunakan tehnik relaksasi

8. Dengarkan dengan penuh perhatian

9. Identifikasi tingkat kecemasan

10. Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan kecemasan

11. Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan, persepsi

12. Kelola pemberian obat anti cemas:........

DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC

Price and Wilson. 2005. Konsep Klinis Penyakit. Jakarta : Buana Ilmu Populer

Sabiston, David C. 2004. Penyakit Striktur Uretra. Dalam: Sistem Urogenital, Buku Ajar Bedah

Bagian 2, hal.488. EGC. Jakarta

Smeltzer and Bare. 2002. Buku Ajar Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2. Alih Bahasa Kuncara,

H.Y, dkk, EGC, Jakarta

Wilkinson, Judith.M, 2006, Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan

Kriteria Hasil Noc, EGC, Jakarta.