laporan pendahuluan masalah utama definisidocshare01.docshare.tips/files/12734/127349068.pdf ·...

22
LAPORAN PENDAHULUAN MASALAH UTAMA : Spinal Cord Injury DEFINISI Trauma spinal adalah injuri/cedera/trauma yang terjadi pada spinal, meliputi spinal collumna maupun spinal cord, dapat mengenai elemen tulang, jaringan lunak, dan struktur saraf pada cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat trauma berupa jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olah raga, dan sebagainya. Trauma spinalis menyebabkan ketidakstabilan kolumna vertebral (fraktur atau pergeseran satu atau lebih tulang vertebra) atau injuri saraf yang aktual maupun potensial (kerusakan akar-akar saraf yang berada sepanjang medula spinalis sehingga mengakibatkan defisit neurologi). KLASIFIKASI Klasifikasi cedera medulla spinalis berdasarkan lokasi cedera, antara lain : a. Cedera Cervikal Lesi C1-C4 Pada lesi C1-C4, otot trapezius, sternomastoideus, dan otot platisma masih berfungsi. Otot diafragma dan interkostal mengalami paralisis dan tidak ada gerakan volunter (baik secara fisik maupun fungsional). Di bawah transeksi spinal tersebut. Kehilangan sensori pada tingkat C1-C3 meliputi oksipital, telinga dan beberapa daerah wajah.

Upload: others

Post on 08-Feb-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • LAPORAN PENDAHULUAN

    MASALAH UTAMA : Spinal Cord Injury

    DEFINISI

    Trauma spinal adalah injuri/cedera/trauma yang terjadi pada spinal,

    meliputi spinal collumna maupun spinal cord, dapat mengenai elemen tulang,

    jaringan lunak, dan struktur saraf pada cervicalis, vertebralis dan lumbalis

    akibat trauma berupa jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan

    olah raga, dan sebagainya. Trauma spinalis menyebabkan ketidakstabilan

    kolumna vertebral (fraktur atau pergeseran satu atau lebih tulang vertebra)

    atau injuri saraf yang aktual maupun potensial (kerusakan akar-akar saraf

    yang berada sepanjang medula spinalis sehingga mengakibatkan defisit

    neurologi).

    KLASIFIKASI

    Klasifikasi cedera medulla spinalis berdasarkan lokasi cedera, antara lain :

    a. Cedera Cervikal

    • Lesi C1-C4

    Pada lesi C1-C4, otot trapezius, sternomastoideus, dan otot

    platisma masih berfungsi. Otot diafragma dan interkostal mengalami

    paralisis dan tidak ada gerakan volunter (baik secara fisik maupun

    fungsional). Di bawah transeksi spinal tersebut. Kehilangan sensori

    pada tingkat C1-C3 meliputi oksipital, telinga dan beberapa daerah

    wajah.

  • Pasien pada quadriplegia C1, C2 dan C3 membutuhkan

    perhatian penuh karena ketergantungan terhadap ventilator mekanis.

    Orang ini juga tergantung semua aktivitas kebutuhan sehari-harinya.

    Quadriplegia pada C4 mungkin juga membutuhkan ventilator mekanis

    tetapi dapat dilepas. Jadi penggunaannya secara intermitten saja.

    • Lesi C5

    Bila segmenC5 medulla spinalis mengalami kerusakan, fungsi

    diafragma rusak sekunder terhadap edema pascatrauma akut. Paralisis

    intestinal dan dilatasi lambung dapat disertai dengan depresi

    pernafasan. Quadriplegia pada C5 biasanya mengalami ketergantungan

    dalam melakukan aktivitas seperti mandi, menyisir rambut, mencukur,

    tetapi pasien mempunyai koordinasi tangan dan mulut yang lebih baik.

    • Lesi C6

    Pada lesi segmen C6, distress pernafasan dapat terjadi karena

    paralisis intestinal dan edema asenden dari medulla spinalis. Biasanya

    akan terjadi gangguan pada otot bisep, triep, deltoid dan pemulihannya

    tergantung pada perbaikan posisi lengan. Umumnya pasien masih

    dapat melakukan aktivitas higiene secara mandiri, bahkan masih dapat

    memakai dan melepaskan baju.

    • Lesi C7

    Lesi medulla pada tingkat C7 memungkinkan otot diafragma

    dan aksesoris untuk mengkompensasi otot abdomen dan interkostal.

    Fleksi jari tangan biasanya berlebihan ketika kerja refleks kembali.

    Quadriplegia C7 mempunyai potensi hidup mandiri tanpa perawatan

    dan perhatian khusus. Pemindahan mandiri, seperti berpakaian dan

    melepas pakaian melalui ekstrimitas atas dan bawah, makan, mandi,

    pekerjaan rumah yang ringan dan memasak.

    • Lesi C8

    Hipotensi postural bisa terjadi bila pasien ditinggikan pada

    posisi duduk karena kehilangan control vasomotor. Hipotensi postural

    dapat diminimalkan dengan pasien berubah secara bertahap dari

    berbaring ke posisi duduk. Jari tangan pasien biasanya mencengkram.

  • Quadriplegia C8 harus mampu hidup mandiri, mandiri dalam

    berpakaian, melepaskan pakaian, mengemudikan mobil, merawat

    rumah, dan perawatan diri.

    b. Cedera Torakal

    • Lesi T1-T5

    Lesi pada region T1-T5 dapat menyebabkan pernafasan dengan

    diafragmatik. Fungsi inspirasi paru meningkat sesuai tingkat

    penurunan lesi pada toraks. Hipotensi postural biasanya muncul.

    Timbul paralisis parsial dari otot adductor pollici, interoseus, dan otot

    lumrikal tangan, seperti kehilangan sensori sentuhan, nyeri, dan suhu.

    • Lesi T6-T12

    Lesi pada tingkat T6 menghilangkan semua refleks adomen.

    Dari tingkat T6 ke bawah, segmen-segmen individual berfungsi, dan

    pada tingkat 12, semua refleks abdominal ada. Ada paralisis spastik

    pada tubuh bagian bawah. Pasien dengan lesi pada tingkat torakal

    harus befungsi secara mandiri.

    Batas atas kehilangan sensori pada lesi torakal adalah:

    T2 Seluruh tubuh sampai sisi dalam dari lengan atas

    T3 Aksilla

    T5 Putting susu

    T6 Prosesus xifoid

    T7, T8 Margin kostal bawah

    T10 Umbilikus

    T12 Lipat paha

    c. Cedera Lumbal

    • Lesi L1-L5

    Kehilangan sensori lesi pada L1-l5 yaitu:

    L1 Semua area ekstrimitas bawah, menyebar ke lipat paha

    & bagian belakang dari bokong.

    L2 Ekstrimitas bagian bawah kecuali sepertiga atas aspek

    anterior paha

    L3 Ekstrimitas bagian bawah dan daerah sadel.

  • L4 Sama dengan L3, kecuali aspek anterior paha.

    L5 Aspek luar kaki dan pergelangan kaki serta ekstrimitas

    bawah dan area sadel.

    d. Cedera Sakral

    • Lesi S1-S6

    Pada lesi yang mengenai S1-S5, mungkin terdapat beberapa

    perubahan posisi dari telapak kaki. Dari S3-S5, tidak terdapat paralisis

    dari otot kaki. Kehilangan sensasi meliputi area sadel, skrotum, dan

    glans penis, perineum, area anal, dan sepertiga aspek posterior paha.

    e. Klasifikasi berdasarkan keparahan

    1. Klasifikasi Frankel :

    Grade A : motoris (-), sensoris (-)

    Grade B : motoris (-), sensoris (+)

    Grade C : motoris (+) dengan ROM 2 atau 3, sensoris (+)

    Grade D : motoris (+) dengan ROM 4, sensoris (+)

    Grade E : motoris (+) normal, sensoris (+)

    2. Klasifikasi ASIA (American Spinal Injury Association)

    Grade A : motoris (-), sensoris (-) termasuk pada segmen sacral

    Grade B : hanya sensoris (+)

    Grade C : motoris (+) dengan kekuatan otot < 3

    Grade D : Motoris (+) dengan kekuatan otot > 3

    Grade E : motoris dan sensoris normal

    ETIOLOGI

    1. Kecelakaan lalu lintas/jalan raya adalah penyebab terbesar.

    2. Injuri atau jatuh dari ketinggian.

    3. Kecelakaan karena olah raga. Di bidang olahraga, tersering karena

    menyelam pada air yang sangat dangkal

    4. Luka jejas, tajam, tembak pada daerah vertebra.

  • 5. Pergerakan yang berlebih: hiperfleksi, hiperekstensi, rotasi berlebih, stress

    lateral, distraksi (stretching berlebih), penekanan.

    6. Gangguan lain yang dapat menyebabkan cedera medulla spinalis seperti

    spondiliosis servikal dengan mielopati, yang menghasilkan saluran sempit

    dan mengakibatkan cedera progresif terhadap medulla spinalis dan akar;

    mielitis akibat proses inflamasi infeksi maupun noninfeksi; osteoporosis

    yang disebabkan oleh fraktur kompresi pada vertebrata; siringmielia;

    tumor infiltrasi maupun kompresi; dan penyakit vaskuler.

    FAKTOR RESIKO

    a. Pria 80 % sedangkan wanita hanya 20 %.

    b. Usia 16-30 tahun. Kecelakaan sering terjadi pada usia di bawah 65 tahun

    dibandingkan usia di atas 65 tahun, tersering pada usia 16-30 tahun.

    c. Beberapa kegiatan olah raga seperti gulat, menyelam, berselancar, roller-

    skating, in-line skating, hockey, berselancar di atas salju.

    d. Memiliki kelainan tulang atau sendi seperti arthritis dan osteoporosis.

    MANIFESTASI KLINIS

    Cedera tulang belakang harus selalu diduga pada kasus di mana setelah

    cedera pasien mengeluh nyeri serta terbatasnya pergerakan leher dan

    pinggang. Deformitas klinis mungkin tidak jelas dan kerusakan neurologis

    mungkin tidak tampak pada pasien yang juga mengalami cedera kepala atau

    cedera berganda. Tidak lengkap pemeriksaan pada suatu cedera bila fungsi

    anggota gerak belum dinilai untuk menyingkirkan kerusakan akibat cedera

    tulang belakang. Tanda dan gejala trauma spinal antara lain adalah:

    • Nyeri pada area spinal atau paraspinal

    • Nyeri kepala bagian belakang, pundak, tangan, kaki

    • Kelemahan/penurunan/kehilangan fungsi motorik (kelemahan, paralisis)

    • Penurunan/kehilangan sensasi (mati rasa/hilang sensasi nyeri, kaku,

    parestesis, hilang sensasi pada suhu, posisi, dan sentuhan)

    • Paralisis dinding dada menyebabkan pernapasan diafrgma

    • Shock dengan kecepatan jantung menurun

  • • Priapism

    • Kerusakan kardiovaskuler

    • Kerusakan pernapasan

    • Kesadaran menurun

    • Tanda spinal shock (pemotongan komplit rangsangan), meliputi: Flaccid

    paralisis di bawah batas luka, hilangnya sensasi di bawah batas luka,

    hilangnya reflek-reflek spinal di bawah batas luka, hilangnya tonus

    vasomotor (hipotensi), Tidak ada keringat dibawah batas luka,

    inkontinensia urine dan retensi feses jika berlangsung lama akan

    menyebabkan hiperreflek/paralisis spastic

    • Pemotongan sebagian rangsangan: tidak simetrisnya flaccid paralisis, tidak

    simetrisnya hilangnya reflek di bawah batas luka, beberapa sensasi tetap

    utuh di bawah batas luka, vasomotor menurun, menurunnya bladder atau

    bowel, berkurangnya keluarnya keringat satu sisi tubuh.

    POHON MASALAH

    (Terlampir)

    PEMERIKSAAN PENUNJANG

    1. Spinal X-ray: melihat fraktur / pergeseran vertebra

    2. Myelogram: Lokasi obstuksi aliran CSF, melihat lebih jelas saraf spinal

    3. CT Scan: melihat lebih jelas kelainan yang ditemukan pada hasil X-ray

    4. MRI: membantu melihat spinal cord dan mengidentifikasi adanya

    pembekuan darah atau massa lain yang mungkin menekan spinal cord.

    PENATALAKSANAAN

    1. Cidera pada cervikal

    - Immobilisasi sederhana

    - Traksi skeletal

    - Pembedahan untuk spinal dekompresi

    2. Cidera pada thoracal dan lumbal

    - Immobilisasi pada lokasi fraktur

  • - Hiperekstensi dan branching

    - Bed-rest

    3. Obat: adrenal corticosteroid untuk mencegah dan mengurangi edema

    medulla spinalis

    PRINSIP-PRINSIP UTAMA PENATALAKSANAAN TRAUMA

    SPINAL:

    1. Immobilisasi

    Tindakan immobilisasi harus sudah dimulai dari tempat

    kejadian/kecelakaan sampai ke unit gawat darurat.. Yang pertama ialah

    immobilisasi dan stabilkan leher dalam posisi normal; dengan

    menggunakan ’cervical collar’. Cegah agar leher tidak terputar (rotation).

    Baringkan penderita dalam posisi terlentang (supine) pada tempat/alas

    yang keras. Pasien diangkat/dibawa dengan cara ”4 men lift” atau

    menggunakan ’Robinson’s orthopaedic stretcher’.

    2. Stabilisasi Medis

    Terutama sekali pada penderita tetraparesis/etraplegia:

    a. Periksa vital signs

    b. Pasang ’nasogastric tube’

    c. Pasang kateter urin

    d. Segera normalkan ’vital signs’.

    Pertahankan tekanan darah yang normal dan perfusi jaringan yang

    baik. Berikan oksigen, monitor produksi urin, bila perlu monitor AGD

    (analisa gas darah), dan periksa apa ada neurogenic shock. Pemberian

    megadose Methyl Prednisolone Sodium Succinate dalam kurun waktu 6

    jam setaleh kecelakaan dapat memperbaiki konntusio medula spinalis.

    3. Mempertahankan posisi normal vertebra (”Spinal Alignment”)

    Bila terdapat fraktur servikal dilakukan traksi dengan Cruthfield tong

    atau Gardner-Wells tong dengan beban 2.5 kg perdiskus. Bila terjadi

  • dislokasi traksi diberikan dengan beban yang lebih ringan, beban ditambah

    setiap 15 menit sampai terjadi reduksi.

    4. Dekompresi dan Stabilisasi Spinal

    Bila terjadi ’realignment’ artinya terjadi dekompresi. Bila

    ’realignment’ dengan cara tertutup ini gagal maka dilakukan ’open

    reduction’ dan stabilisasi dengan ’approach’anterior atau posterior.

    5. Rehabilitasi.

    Rehabilitasi fisik harus dikerjakan sedini mungkin. Termasuk dalam

    program ini adalah ’bladder training’, ’bowel training’, latihan otot

    pernafasan, pencapaian optimal fungsi – fungsi neurologik dan program

    kursi roda bagi penderita paraparesis/paraplegia.

    KOMPLIKASI

    - Perubahan tekanan darah, bisa menjadi ekstrim (autonomic hyperreflexia)

    - Komplikasi akibat imobilisasi:

    o Deep vein thrombosis o Infeksi pulmonal : atelektasis, pneumoniao Kerusakan integritas kulit : dekubituso Kontraktur - Peningkatan resiko injuri pada bagian tubuh yang mati rasa

    - Meningkatkan resiko gagal ginjal

    - Meningkatkan resiko infeksi saluran kemih

    - Hilangnya kontrol pada bladder

    - Hilangnya kontrol pada bowel

    - Kehilangan sensasi

    - Disfungsi seksual (impoten pada pria)

    - Spasme otot

    - Nyeri

    - Paralysis otot pernapasan

    - Paralysis (paraplegia, quadriplegia)

    http://health.nytimes.com/health/guides/disease/deep-venous-thrombosis/overview.html

  • - Shock

    PROGNOSIS

    Pada awal tahun 1900, angka kematian 1 tahun setelah trauma pada

    pasien dengan lesi komplit mencapai 100 %. Namun kini, angka ketahanan

    hidup 5 tahun pada pasien dengan trauma quadriplegia mencapai 90 %.

    Perbaikan yang terjadi dikaitkan dengan pemakaian antibiotik untuk

    mengobati pneumonia dan infeksi traktus urinarius. Pasien dengan trauma

    tulang belakang komplit berpeluang sembuh < 5 %. Jika terjadi paralisis

    komplit dalam waktu 72 jam setelah trauma, peluang perbaikan adalah 0 %.

    Prognosis trauma tulang belakang inkomplit lebih baik. Jika fungsi sensoris

    masih ada, peluang pasien untuk dapat berjalan kembali > 50 %.

    PENGKAJIAN

    A. Data subyektif

    - Pengetahuan pasien tentang penyakit (cedera dan akibat dari gangguan

    neurologis)

    - Inforasi tentang kejadian cidera, bagaimana sampai terjadi

    - Adanya dyspnea

    - Sensasi yang tidak biasannya (parasthesia)

    - Riwayat hilangnya kesadaran

    - Tidak adanya sensasi - gangguan sensorik

    B. Data Obyektif

    - Tingkat Kesadaran (Sadar/tidak sadar), GCS, pupil

    - Status respirasi (Bervariasi)

    - Orientasi tempat, waktu dan orang

    - Sikap tubuh pasien, kekuatan motorik

    - TTV (TD, Temp, Nadi), Integritas kuli

    - Distensi bowel dan bladder

    DIAGNOSA KEPERAWATAN

    http://health.nytimes.com/health/guides/injury/shock/overview.html

  • 1. Ketidakefektifan pola napas yang berhubungan dengan kerusakan

    tulang punggung, disfungsi neurovaskular, kerusakan sistem

    muskuloskeletal.

    2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan

    perfusi ventilasi dan perubahan membran alveolar kapiler.

    3. Bersihan jalan nafas inefektif berhubungan dengan

    ketidakmampuan untuk membersihkan sekret yang menumpuk.

    4. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan fungsi

    motorik dan sesorik.

    5. Resiko terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan

    penurunan immobilitas, penurunan sensorik.

    6. Gangguan BAK berhubungan dengan penurunan isyarat kandung

    kemih atau kerusakan kemampuan untuk mengenali isyarat kandung

    kemih sekunder terhadap cedera medulla spinalis.

    7. Konstipasi berhubungan dengan kurangnya kontrol sfingter

    volunter sekunder terhadap cedera medulla spinalis di atas T11 atau arkus

    refleks sakrum yang terlibat (S2-S4).

    8. Nyeri berhubungan dengan pengobatan immobilitas lama, cedera

    psikis dan alat traksi

    9. Risiko tinggi cidera berhubungan dengan stimulasi refleks sistem

    saraf simpatis sekunder terhadap kehilangan kontrol otonom.

    10. Risiko tinggi aspirasi yang berhubungan dengan kehilangan

    kemampuan untuk menelan.

    11. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang

    berhubungan dengan ketidakmampuan menelan sekunder terhadap

    paralisis.

    12. Kurang perawatan diri (mandi, gigi, berpakaian) yang berhubungan

    dengan paralisis.

    13. Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang proses

    penyakit dan prosedur perawatan

  • INTERVENSI KEPERAWATAN

    1. Ketidakefektifan pola napas yang berhubungan dengan kerusakan

    tulang punggung, disfungsi neurovaskular, kerusakan sistem

    muskuloskeletal.

    Tujuan: Mempertahankan pola nafas klien efektif

    Kriteria hasil :

    - RR = 12-20x/menit

    - Nadi = 60-100x/menit

    - Pernafasan cuping hidung (-)

    - Retraksi dinding dada (-)

    - Bunyi nafas vesikuler

    - Cyanosis (-)

    - CRT < 2 detik

    Rencana Tindakan

    1. Beri posisi kepala netral, tinggikan sedikit kepala

    tempat tidur jika dapat ditoleransi klien

    2. Observasi TTV

    3. Auskultasi suara nafas

    4. Kaji tanda-tanda pola nafas tidak efektif

    (penggunaan otot-otot bantu pernafasan, pernafasan cuping hidung,

    cyanosis)

    5. Ajarkan teknik nafas dalam

    6. Lakukan suction jika diperlukan

    7. Beri tambahan O2 sesuai indikasi

    2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan

    perfusi ventilasi dan perubahan membran alveolar kapiler.

    Tujuan: Mengoptimalkan pertukaran gas pernafasan

    Kriteria hasil :

    - BGA dalam batas normal :

    pH : 7,35-7,45

    CO2 : 20-26 mEq (bayi), 26-28 mEq (dewasa)

  • PO2 (PaO2): 80-110 mmHg

    PCO2 (PaCO2): 35-45 mmHg

    SaO2 : 95-99 %

    - Cyanosis (-)

    - CRT < 2 detik

    - RR = 12-20x/menit

    - Suhu = 36,5 – 37,50 C

    Intervensi

    1. Istirahatkan klien dalam posisi semifowler.

    2. Pertahankan oksigenasi NRM 8-10 L/menit.

    3. Observasi TTV tiap jam atau sesuai respon klien.

    4. Kolaborasi pemeriksaan BGA

    3. Bersihan jalan nafas inefektif berhubungan dengan

    ketidakmampuan untuk membersihkan sekret yang menumpuk.

    Tujuan : jalan napas bersih

    Kriteria hasil : Batuk efektif, pasien mampu mengeluarkan seket, bunyi

    napas normal, jalan napas bersih, respirasi normal, irama dan jumlah

    pernapasan.

    Rencana Tindakan

    a. Kaji kemampuan batuk dan reproduksi sekret

    R/ Hilangnya kemampuan motorik otot intercosta dan abdomen

    berpengaruh terhadap kemampuan batuk.

    b. Pertahankan jalan nafas (hindari fleksi leher, bersihkan sekret)

    R/ Menutup jalan nafas.

    c. Monitor warna, jumlah dan konsistensi sekret, lakukan kultur

    R/ Hilangnya refleks batuk beresiko menimbulkan pnemonia.

    d. Lakukan suction bila perlu

    R/ Pengambilan secret dan menghindari aspirasi.

    e. Auskultasi bunyi napas

    R/ Mendeteksi adanya sekret dalam paru-paru.

    f. Lakukan latihan nafas

  • R/ mengembangkan alveolu dan menurunkan prosuksi sekret.

    g. Berikan minum hangat jika tidak kontraindikasi

    R/ Mengencerkan sekret

    h. Berikan oksigen dan monitor analisa gas darah

    R/ Meninghkatkan suplai oksigen dan mengetahui kadar olsogen dalam

    darah.

    i. Monitor tanda vital setiap 2 jam dan status neurologi

    R/ Mendeteksi adanya infeksi dan status respirasi.

    4. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan

    fungsi motorik dan sesorik.

    Tujuan : Memperbaiki mobilitas

    Kriteria Hasil : Mempertahankan posisi fungsi dibuktikan oleh tak

    adanya kontraktur, footdrop, meningkatkan kekuatan bagian tubuh yang

    sakit /kompensasi, mendemonstrasikan teknik /perilaku yang

    memungkinkan melakukan kembali aktifitas.

    Rencana Tindakan

    a. Kaji fungsi-fungsi sensori dan motorik pasien setiap 4 jam.

    R/ Menetapkan kemampuan dan keterbatasan pasien setiap 4 jam.

    b. Ganti posisi pasien setiap 2 jam dengan memperhatikan kestabilan

    tubuh dan kenyamanan pasien.

    R/ Mencegah terjadinya dekubitus.

    c. Beri papan penahan pada kaki

    R/ Mencegah terjadinya foodrop

    d. Gunakan otot orthopedhi, edar, handsplits

    R/ Mencegah terjadinya kontraktur.

    e. Lakukan ROM Pasif setelah 48-72 setelah cedera 4-5 kali /hari

    R/ Meningkatkan stimulasi dan mencehag kontraktur.

    f. Monitor adanya nyeri dan kelelahan pada pasien.

    R/ Menunjukan adanya aktifitas yang berlebihan.

    g. Konsultasikan kepada fisiotrepi untuk latihan dan penggunaan otot

    seperti splints

  • R/ Memberikan pancingan yang sesuai.

    5. Resiko terhadap kerusakan integritas kulit yang berhubungan

    dengan penurunan immobilitas, penurunan sensorik.

    Tujuan : Mempertahankan Intergritas kulit

    Kriteria Hasil : Keadaan kulit pasien utuh, bebas dari kemerahan, bebas

    dari infeksi pada lokasi yang tertekan.

    Rencana Tindakan

    a. Kaji faktor resiko terjadinya gangguan integritas kulit

    R/ Salah satunya yaitu immobilisasi, hilangnya sensasi, Inkontinensia

    bladder /bowel.

    b. Kaji keadaan pasien setiap 8 jam

    R/ Mencegah lebih dini terjadinya dekubitus.

    c. Gunakan tempat tidur khusus (dengan busa)

    R/ Mengurangi tekanan 1 tekanan sehingga mengurangi resiko dekubitas

    d. Ganti posisi setiap 2 jam dengan sikap anatomis

    R/ Daerah yang tertekan akan menimbulkan hipoksia, perubahan posisi

    meningkatkan sirkulasi darah.

    e. Pertahankan kebersihan dan kekeringan tempat tidur dan tubuh pasien.

    R/ Lingkungan yang lembab dan kotor mempermudah terjadinya

    kerusakan kulit

    f. Lakukan pemijatan khusus / lembut diatas daerah tulang yang menonjol

    setiap 2 jam dengan gerakan memutar.

    R/ Meningkatkan sirkulasi darah

    g. Kaji status nutrisi pasien dan berikan makanan dengan tinggi protein

    R/ Mempertahankan integritas kulit dan proses penyembuhan

    h. Lakukan perawatan kulit pada daerah yang lecet / rusak setiap hari

    R/ Mempercepat proses penyembuhan

    6. Gangguan BAK berhubungan dengan penurunan isyarat kandung

    kemih atau kerusakan kemampuan untuk mengenali isyarat kandung

    kemih sekunder terhadap cedera medulla spinalis.

  • Tujuan : Peningkatan eliminasi urine

    Kriteria Hasil : Pasien dpat mempertahankan pengosongan blodder tanpa

    residu dan distensi, keadaan urine jernih, kultur urine negatif, intake dan

    output cairan seimbang.

    Rencana tindakan

    a. Kaji tanda-tanda infeksi saluran kemih

    R/ Efek dari tidak efektifnya bladder adalah adanya infeksi saluran kemih

    b. Kaji intake dan output cairan

    R/ Mengetahui adekuatnya gunsi gnjal dan efektifnya blodder.

    c. Lakukan pemasangan kateter sesuai program

    R/ Efek trauma medulla spinalis adlah adanya gangguan refleks berkemih

    sehingga perlu bantuan dalam pengeluaran urine

    d. Anjurkan pasien untuk minum 2-3 liter setiap hari

    R/ Mencegah urine lebih pekat yang berakibat timbulnya ........

    e. Cek bladder pasien setiap 2 jam

    R/ Mengetahui adanya residu sebagai akibat autonomic hyperrefleksia

    f. Lakukan pemeriksaan urinalisa, kultur dan sensitibilitas

    R/ Mengetahui adanya infeksi

    g. Monitor temperatur tubuh setiap 8 jam

    R/ Temperatur yang meningkat indikasi adanya infeksi.

    7. Konstipasi berhubungan dengan kurangnya kontrol sfingter

    volunter sekunder terhadap cedera medulla spinalis di atas T11 atau arkus

    refleks sakrum yang terlibat (S2-S4).

    Tujuan : Memperbaiki fungsi usus

    Kriteria hasil : Pasien bebas konstipasi, keadaan feses yang lembek,

    berbentuk.

    Rencana tindakan

    a. kaji pola eliminasi bowel

    R/ Menentukan adanya perubahan eliminasi

    b. b. Berikan diet tinggi serat

    R/ Serat meningkatkan konsistensi feses

  • c. Berikan minum 1800 – 2000 ml/hari jika tidak ada kontraindikasi

    R/ Mencegah konstipasi

    d. Auskultasi bising usus, kaji adanya distensi abdomen

    R/ Bising usus menentukan pergerakan perstaltik

    e. Hindari penggunaan laktasif oral

    R/ Kebiasaan menggunakan laktasif akan tejadi ketergantungan

    f. Lakukan mobilisasi jika memungkinkan

    R/ Meningkatkan pergerakan peritaltik

    g. Berikan suppositoria sesuai program

    R/ Pelunak feses sehingga memudahkan eliminasi

    h. Evaluasi dan catat adanya perdarah pada saat eliminasi

    R/ Kemungkinan perdarahan akibat iritasi penggunaan suppositoria

    8. Nyeri yang berhubungan dengan pengobatan immobilitas lama,

    cedera psikis dan alt traksi

    Tujuan : Memberikan rasa nyaman

    Kriteria hasil : Melaporkan penurunan rasa nyeri /ketidak nyaman,

    mengidentifikasikan cara-cara untuk mengatasi nyeri, mendemonstrasikan

    penggunaan keterampilan relaksasi dan aktifitas hiburan sesuai kebutuhan

    individu.

    Rencana tindakan

    a. Kaji terhadap adanya nyeri, bantu pasien mengidentifikasi dan

    menghitung nyeri, misalnya lokasi, tipe nyeri, intensitas pada skala 0 – 1-

    R/ Pasien biasanya melaporkan nyeri diatas tingkat cedera misalnya dada /

    punggung atau kemungkinan sakit kepala dari alat stabilizer

    b. Berikan tindakan kenyamanan, misalnya, perubahan posisi, masase,

    kompres hangat / dingin sesuai indikasi.

    R/ Tindakan alternatif mengontrol nyeri digunakan untuk keuntungan

    emosionlan, selain menurunkan kebutuhan otot nyeri / efek tak diinginkan

    pada fungsi pernafasan.

    c. Dorong penggunaan teknik relaksasi, misalnya, pedoman imajinasi

    visualisasi, latihan nafas dalam.

  • R/ Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol, dan dapat

    meningkatkan kemampuan koping

    d. kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi, relaksasi otot, misalnya

    dontren (dantrium); analgetik; antiansietis.misalnya diazepam (valium)

    R/ Dibutuhkan untuk menghilangkan spasme /nyeri otot atau untuk

    menghilangkan-ansietas dan meningkatkan istrirahat.

    9. Risiko tinggi cidera berhubungan dengan stimulasi refleks sistem

    saraf simpatis sekunder terhadap kehilangan kontrol otonom,

    ketidakstabilan kolumna spinalis

    Tujuan: Membebaskan klien dari cidera karena menurunnya fungsi reflex

    Kriteria hasil:

    - Cidera tidak terjadi

    - Klien tidak terjatuh

    - Ala-alat imobilisasi terpasang paten

    Intervensi

    1. Pertahankan tirah baring dan alat-alat imobilisasi tetap terpasang

    dengan paten

    R/ memastikan pasien aman dan menghindari terjadinya cedera

    2. Pasang penghalang samping tempat tidur dan beri bantalan lunak

    R/ mencegah agar pasien tidak jatuh dari tempat tidur

    3. Atur posisi tempat tidur serendah mungkin

    R/ meminimalkan kemungkinan pasien jatuh dari tempat yang tinggi

    4. Atur posisi tempat tidur klien sedekat mungkin dengan jangkauan

    pantauan perawat

    R/ memudahkan perawat dalam memberikan penanganan pada pasien

    10. Resiko aspirasi berhubungan dengan kehilangan kemampuan untuk

    menelan.

    Tujuan : Tidak terjadi aspirasi

    Kriteria Hasil:

  • Makanan dan minuman tidak lagi kembali keluar melalui hidung, jalan

    nafas paten dari aspirasi makanan dan minuman

    Intervensi:

    1. kaji status pernapasan tiap jam

    R/ Takipnu, pernafasan dangkal dan gerakan dada tak simetris sering

    terjadi karena adanya sekret.

    2. lakukan suction

    R/ Menurunkan resiko aspirasi atau aspiksia dan osbtruksi.

    3. miringkan pasien untuk drainase

    R/ Memudahkan dan meningkatkan aliran sekret dan mencegah lidah

    jatuh yang menyumbat jalan nafas.

    4. Pertahankan kepatenan jalan nafas dan bersihkan mulut.

    R/ Memaksimalkan fungsi pernafasan untuk memenuhi kebutuhan tubuh

    terhadap oksigen dan pencegahan hipoksia.

    5. Kolaborasi: Pemberian oksigen

    R/ Memaksimalkan oksigen untuk kebutuhan tubuh dan membantu dalam

    pencegahan hipoksia.

    11. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang

    berhubungan dengan ketidakmampuan menelan sekunder terhadap

    paralisis.

    Tujuan: Status nutrisi terpenuhi

    Kriteria Hasil:

    Intake cukup, makan dan minuman yang masuk lewat mulut tidak kembali

    lagi melalui hidung, BB meningkat, protein atau albumin ≥ 3,5 mg%

    Intervensi:

    1. Pasang dan pertahankan NGT untuk intake makanan.

    R/ Intake nutrisi yang seimbang dan adekuat akan mempertahankan

    kebutuhan nutrisi tubuh

    2. Kaji bising usus bila perlu

    R/ Bising usus membantu dalam menentukan respon untuk makan atau

    mengetahui kemungkinan komplikasi dan mengetahui penurunan obsrobsi air

  • 3. Berikan nutrisi yang tinggi kalori dan protein.

    R/

    4. Timbang berat badan sesuai protokol

    R/

    Intervensi Rasional5. Pasang dan pertahankan NGT

    untuk intake makanan.

    6. Kaji bising usus bila perlu, dan

    hati-hati karena sentuhan dapat

    merangsang kejang.

    7. Berikan nutrisi yang tinggi

    kalori dan protein.

    8. Timbang berat badan sesuai

    protokol

    1. Suplai kalori dan protein yang

    adekuat mempertahankan metabolisme

    tubuh.

    2. Mengevalusai kefektifan atau

    kebutuhan mengubah pemberian nutrisi.

    Dx.7 Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan

    aktifitas kejang.

    Tujuan : Kebutuhan aktifitas sehari-hari/perawatan diri terpenuhi

    Kriteria Hasil:

    Kejang (-), bed rest (-), bau badan (-), gigi bersih, rambut bersih,

    tempat tidur bersih, iritasi kulit (-).

    Intervensi Rasional1. Pemenuhan kebutuhan aktifitas

    sehari-hari.

    2. Bantu pasien dalam memenuhi

    kebutuhan aktifitas , BAB/BAK,

    membersihkan tempat tidur dan

    1. Kebutuhan sehari-hari terpenuhi

    secara adekuat dapat membantu proses

    kesembuhan.

    2. mempertahankan status kesehatan

    dan kebersihan diri pasien.

  • kebersihan diri juga oral hygiene.

    3. Libatkan keluarga dalam

    perawatan diri sehari-hari.

    3. Keluarga dapat meningkatkan

    motivasi pasien untuk melakukan aktivitas

    kebersihan diri

    Dx. 8 Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan pasien tentang

    penanganan penyakitnya dikarenakan kurangnya informasi.

    Tujuan : pasien menunjukan rasa cemas berkurang atau hilang

    Kriteria Hasil:

    Takut

  • Carpenito, Lynda Juall. 2001. Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC

    Doengoes, Marilyn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk

    perencanaan dan Pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: EGC

    Hudak, carolyn M. 1996. Keperawatan Kritis vol 2 Pendekatan Holistik. Jakarta :

    EGC

    Pinzon, Rizaldy. 2007. Mielopati Servical Traumatika: Telaah Pustaka terkini.

    www.kalbe.co.id/files/cdk/files.154_13_mielopatiservicaltraumatika.pdf/154

    _13_ mielopatiservicaltraumatika.html. diakses tanggal 6 Nopember 2009

    pukul 09.45 WIB.

    Sunardi. 2008. Asuhan Keperawatan Pasien dengan Trauma Medula Spinalis.

    http://nardinurses.files.wordpress.com/2008/10/askep-pasien-dengan-

    trauma-medspin.ppt.Diakses tanggal 31 Agustus 2009 Pukul 10:58 WIB

    http://www.scribd.com/doc/29042954/Penatalaksanaan-Trauma-Spinal-Dan-

    Cedera-Cervikal

    http://www.mayoclinic.com/health/spinal-cord-

    injury/DS00460/DSECTION=treatments-and-drugs

    http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18784/1/mkn-jun2007-

    40%20%287%29.pdf Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 � �

    Juni 2007 Penatalaksanaan Trauma Spinal

    Hafas Hanafiah

    Divisi Ilmu Bedah Orthopaedi dan Traumatologi

    Departemen Ilmu Bedah

    Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

    Brunner & Suddarth, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol.

    3 . Jakarta : EGC.

    Carpenito, L. T, 1998. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 6. Jakarta ; EGC

    Doengoes, M. E, 1999, Rencana Asuham Keperawatan Pedoman untuk

    Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta ;

    EGC

    Luckman, J. and Sorensens R.C. 1993. Medical Surgical Nursing a

    Psychophysiologic approach, Ed : 4. Philadelphia ; WB, Souders Company.

    Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi 3 Jakarta : FKUI

    http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18784/1/mkn-jun2007-40%20(7).pdfhttp://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18784/1/mkn-jun2007-40%20(7).pdfhttp://www.mayoclinic.com/health/spinal-cord-injury/DS00460/DSECTION=treatments-and-drugshttp://www.mayoclinic.com/health/spinal-cord-injury/DS00460/DSECTION=treatments-and-drugshttp://www.scribd.com/doc/29042954/Penatalaksanaan-Trauma-Spinal-Dan-Cedera-Cervikalhttp://www.scribd.com/doc/29042954/Penatalaksanaan-Trauma-Spinal-Dan-Cedera-Cervikalhttp://nardinurses.files.wordpress.com/2008/10/askep-pasien-dengan-trauma-medspin.ppt.Diakseshttp://nardinurses.files.wordpress.com/2008/10/askep-pasien-dengan-trauma-medspin.ppt.Diakseshttp://www.kalbe.co.id/files/cdk/files.154_13_mielopatiservicaltraumatika.pdf/154_13_%20mielopatiservicaltraumatika.htmlhttp://www.kalbe.co.id/files/cdk/files.154_13_mielopatiservicaltraumatika.pdf/154_13_%20mielopatiservicaltraumatika.html

  • Pearce Evelyn C. 1997. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta : PT.

    Gramedia.