laporan pendahuluan week 4 kmb
DESCRIPTION
lp week 4 kmbTRANSCRIPT
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN
ABSES PEDIS POST DEBRIDEMENT
DI RUANG DAHLIA RSU BANYUMAS
(Minggu ke-4 Stase KMB)
Tugas Mandiri
Stase Keperawatan Medikal Bedah
Disusun oleh :
DIVA VIYA FEBRIANA
15/390672/KU/18384
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2015
BAB I
TINJUAN TEORI
1. Definisi
Abses (Latin: abscessus) merupakan kumpulan nanah (netrofil yang
telah mati) yang terakumulasi di sebuah kavitas jaringan karena adanya
proses infeksi (biasanya oleh bakteri atau parasit) atau karena adanya benda
asing (misalnya serpihan, luka peluru, atau jarum suntik). Proses ini
merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan untuk mencegah
penyebaran/perluasan infeksi ke bagian tubuh yang lain. Abses adalah infeksi
kulit dan subkutis dengan gejala berupa kantong berisi nanah (Siregar, 2004).
Abses adalah pengumpulan nanah yang terlokalisir sebagai akibat dari
infeksi yang melibatkan organisme piogenik, nanah merupakan suatu
campuran dari jaringan nekrotik, bakteri, dan sel darah putih yang sudah mati
yang dicairkan oleh enzim autolitik (Morison, 2003). Pedis adalah anggota
badan yang menopang tubuh dan dipakai untuk berjalan (dari pangkal paha
ke bawah) (Mansjoer, 2007).
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa abses pedis adalah
terbentuknya kantong berisi nanah pada jaringan kutis dan subkutis di bagian
pedis akibat infeksi kulit yang disebabkan oleh bakteri/parasit atau karena
adanya benda asing.
2. Etiologi
Menurut Siregar (2004) suatu infeksi bakteri bisa menyebabkan abses
melalui beberapa cara :
a) Bakteri masuk ke bawah kulit akibat luka yang berasal dari tusukan
jarum yang tidak steril
b) Bakteri menyebar dari suatu infeksi di bagian tubuh yang lain
c) Bakteri yang dalam keadaan normal hidup di dalam tubuh manusia dan
tidak menimbulkan gangguan, kadang bisa menyebabkan terbentuknya
abses.
Peluang terbentuknya suatu abses akan meningkat jika :
a) Terdapat kotoran atau benda asing di daerah tempat terjadinya infeksi
b) Daerah yang terinfeksi mendapatkan aliran darah yang kurang
Nyeri(Pre Operasi) Nyeri
(Post Operasi)
c) Terdapat gangguan sistem kekebalan
Bakteri tersering penyebab abses adalah Staphylococus Aureus
3. Patofisiologi dan Pathway
Bakteri Gram Positif (Staphylococcus aureus Streptococcus mutans)
Mengeluarkan enzim hyaluronidase dan enzim koagulase
merusak jembatan antar sel
transpor nutrisi antar sel terganggu
Jaringan rusak/mati/nekrosis
Media bakteri yang baik
Jaringan terinfeksi
Peradangan Sel darah putih mati
Demam Jaringan menjadi abses
& berisi PUS
Pecah
Reaksi Peradangan (Rubor, Kalor, Tumor, Dolor, Fungsiolaesea)
Sumber : Hardjatmo Tjokro Negoro, PHD dan Hendra Utama, 2001.
Pembedahan
Luka Insisi
Resiko Penyebaran Infeksi(Pre dan Post Operasi)
Gangguan Thermoregulator
(Pre Operasi)
Proses abses merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan untuk
mencegah penyebaran atau perluasan infeksi ke bagian lain tubuh. Organisme
atau benda asing membunuh sel-sel lokal yang pada akhirnya menyebabkan
pelepasan sitokin. Sitokin tersebut memicu sebuah respon inflamasi
(peradangan), yang menarik kedatangan sejumlah besar sel-sel darah putih
(leukosit) ke area tersebut dan meningkatkan aliran darah setempat.
Struktur akhir dari suatu abses adalah dibentuknya dinding abses, atau
kapsul, oleh sel-sel sehat di sekeliling abses sebagai upaya untuk mencegah
pus menginfeksi struktur lain di sekitarnya. Meskipun demikian, seringkali
proses enkapsulasi tersebut justru cenderung menghalangi sel-sel imun untuk
menjangkau penyebab peradangan (agen infeksi atau benda asing) dan
melawan bakteri-bakteri yang terdapat dalam pus. Abses harus dibedakan
dengan empyema. Empyema mengacu pada akumulasi nanah di dalam
kavitas yang telah ada sebelumnya secara normal, sedangkan abses mengacu
pada akumulasi nanah di dalam kavitas yang baru terbentuk melalui proses
terjadinya abses tersebut.
Abses adalah suatu penimbunan nanah, biasanya terjadi akibat suatu
infeksi bakteri. Jika bakteri menyusup ke dalam jaringan yang sehat, maka
akan terjadi infeksi. Sebagian sel mati dan hancur, meninggalkan rongga
yang berisi jaringan dan sel-sel yang terinfeksi. Sel-sel darah putih yang
merupakan pertahanan tubuh dalam melawan infeksi, bergerak ke dalam
rongga tersebut dan setelah menelan bakteri, sel darah putih akan mati. Sel
darah putih yang mati inilah yang membentuk nanah, yang mengisi rongga
tersebut.
Akibat penimbunan nanah ini, maka jaringan di sekitarnya akan
terdorong. Jaringan pada akhirnya tumbuh di sekeliling abses dan menjadi
dinding pembatas abses, hal ini merupakan mekanisme tubuh untuk
mencegah penyebaran infeksi lebih lanjut. Jika suatu abses pecah di dalam
maka infeksi bisa menyebar di dalam tubuh maupun dibawah permukaan
kulit, tergantung kepada lokasi abses (Price, 2005).
4. Tanda dan Gejala
Abses bisa terbentuk diseluruh bagian tubuh, termasuk paru-paru,
mulut, rektum, dan otot. Abses yang sering ditemukan di dalam kulit atau
tepat dibawah kulit terutama jika timbul di wajah.
Menurut Smeltzer & Bare (2001), gejala dari abses tergantung kepada
lokasi dan pengaruhnya terhadap fungsi suatu organ saraf. Gejalanya bisa
berupa:
a) Nyeri
b) Nyeri tekan
c) Teraba hangat
d) Pembengkakan
e) Kemerahan
f) Demam
Suatu abses yang terbentuk tepat dibawah kulit biasanya tampak
sebagai benjolan. Adapun lokasi abses antara lain ketiak, telinga, dan tungkai
bawah. Jika abses akan pecah, maka daerah pusat benjolan akan lebih putih
karena kulit diatasnya menipis. Suatu abses di dalam tubuh, sebelum
menimbulkan gejala seringkali terlebih tumbuh lebih besar. Paling sering,
abses akan menimbulkan Nyeri tekan dengan massa yang berwarna merah,
hangat pada permukaan abses, dan lembut.
5. Komplikasi
Komplikasi mayor dari abses adalah penyebaran abses ke jaringan
sekitar atau jaringan yang jauh dan kematian jaringan setempat yang
ekstensif (gangren). Pada sebagian besar bagian tubuh, abses jarang dapat
sembuh dengan sendirinya, sehingga tindakan medis secepatnya
diindikasikan ketika terdapat kecurigaan akan adanya abses. Suatu abses
dapat menimbulkan konsekuensi yang fatal. Meskipun jarang, apabila abses
tersebut mendesak struktur yang vital, misalnya abses leher dalam yang dapat
menekan trakea (Siregar, 2004).
6. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium : Peningkatan jumlah sel darah putih.
2) Untuk menentukan ukuran dan lokasi abses dilakukan pemeriksaan
rontgen, USG, CT Scan, atau MRI.
7. Penatalaksanaan
Menurut Morison (2003), Abses luka biasanya tidak membutuhkan
penanganan menggunakan antibiotik. Namun demikian, kondisi tersebut butuh
ditangani dengan intervensi bedah, debridement dan kuretase. Suatu abses harus
diamati dengan teliti untuk mengidentifikasi penyebabnya, terutama apabila
disebabkan oleh benda asing, karena benda asing tersebut harus diambil. Apabila
tidak disebabkan oleh benda asing, biasanya hanya perlu dipotong dan diambil
absesnya, bersamaan dengan pemberian obat analgetik dan antibiotik.
Drainase abses dengan menggunakan pembedahan diindikasikan apabila
abses telah berkembang dari peradangan serosa yang keras menjadi tahap nanah
yang lebih lunak. Drain dibuat dengan tujuan mengeluarkan cairan abses yang
senantiasa diproduksi bakteri. Apabila menimbulkan risiko tinggi, misalnya pada
area-area yang kritis, tindakan pembedahan dapat ditunda atau dikerjakan
sebagai tindakan terakhir yang perlu dilakukan. Memberikan kompres hangat dan
meninggikan posisi anggota gerak dapat dilakukan untuk membantu penanganan
abses kulit.
Karena sering kali abses disebabkan oleh bakteri Staphylococcus
aureus, antibiotik antistafilokokus seperti flucloxacillin atau dicloxacillin sering
digunakan. Dengan adanya kemunculan Staphylococcus aureus resisten
Methicillin (MRSA) yang didapat melalui komunitas, antibiotik biasa tersebut
menjadi tidak efektif. Untuk menangani MRSA yang didapat melalui komunitas,
digunakan antibiotik lain: clindamycin,trimethoprim-sulfamethoxazole,
dan doxycycline. Adapun hal yang perlu diperhatikan bahwa penanganan hanya
dengan menggunakan antibiotik tanpa drainase pembedahan jarang merupakan
tindakan yang efektif.Haltersebut terjadi karena antibiotik sering tidak mampu
masuk ke dalam abses, selain itu antibiotik tersebut seringkali tidak dapat bekerja
dalam pH yang rendah.
DAFTAR PUSTAKA
Harrison. Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Editor dalam bahasa Inggris : kurt J.
Lessebacher. Et. Al : editor bahasa Indnesia Ahmad H. Asdie. Edisi 13.
jakarta : EGC. 1999.
Siregar, R,S. Atlas Berwarna Saripati Kulit. Editor Huriawati Hartanta. Edisi 2.
Jakarta:EGC,2004.
Suzanne, C, Smeltzer, Brenda G Bare. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah
Bruner and Suddarth. Ali Bahasa Agung Waluyo. ( et,al) Editor bahasa
Indonesia :Monica Ester. Edisi 8 jakarta : EGC,2001.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius FKUI: Jakarta
Price, Sylvia.2005.Patofisiologi.Jakarta:EGC.
Mansjoer,Arief.2007.Kapita selekta kedokteran. Jakarta. EGC
NANDA, Nursing Diagnoses 2015 – 2017. Tenth Edition.
NIC, Nursing Interventions Classification. 2013. Sixth Edition. Elsevier
NOC, Nursing Outcomes Classification. 2013. Fifth Edition. Elsevier