laporan penelitian · kemasyarakatan di mahkamah konstitusi . kelompok peneliti : bisariyadi nip....
TRANSCRIPT
KEPANITERAAN DAN SEKRETARIAT JENDERAL MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
LAPORAN PENELITIAN
KONSTITUSIONALITAS PEMBATASAN KEBEBASAN BERSERIKAT:
Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan di Mahkamah Konstitusi
Kelompok Peneliti : Bisariyadi NIP. 19790103 200604 1 003 Abdul Ghoffar NIP. 19800701 200712 1 001 Intan Permata Putri
Pusat Penelitian, Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi
2014
i
D A F T A R I S I
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 12
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kebebasan Berserikat 14
B. Pembatasan terhadap Kebebasan Berserikat 20
C. Masyarakat Sipil (civil society) 26
D. Organisasi Kemasyarakatan 34
E. Hubungan Negara dan Organisasi Kemasyarakatan 41
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian 46
B. Metode Pendekatan 47
C. Sumber penelitian Hukum 47
D. Metode Pengumpulan Data 48
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Perkembangan Organisasi Kemasyarakatan 51
B. Konstitusionalitas Definisi Organisasi Kemasyarakatan menurut
Undang-Undang Ormas 60
C. Konstitusionalitas Pembatasan Kebebasan Berserikat secara Prosedural
dalam Undang-Undang Ormas 88
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 112
B. Saran 116
Daftar Pustaka
LAMPIRAN
Lampiran I. Daftar Organisasi Kemasyarakatan dan Lembaga Swadaya Masyarakat
yang Terdaftar di Kementerian Dalam Negeri Tahun 2010
ii
Abstraksi
Kajian mengenai organisasi kemasyarakatan lebih banyak dilakukan oleh
ilmu-ilmu sosial politik. Ketika Mahkamah Konstitusi menerima perkara
judicial review Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan, persoalan organisasi kemasyarakatan tidak hanya
menjadi milik kajian ilmu sosial politik semata. Kadar konstitusionalitas
keberlakuan Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan sejatinya tidak
semata diukur dengan bejana hukum konstitusi. Polemik rumusan
pengertian “organisasi masyarakat” menjadi persoalan utama yang perlu
mendapat perhatian karena rumusan pengertian ini menjadi roh yang
menjiwai pengaturan dalam seluruh Undang-Undang Ormas. Selain itu,
pengaturan hal-hal yang bersifat prosedural perlu diukur dari parameter
sejauhmana negara dapat campur tangan membatasi kebebasan
berserikat warga negara. Penelitian ini mencoba mengkaji dua
permasalahan besar ini. Manfaat penelitian ini adalah untuk memberi
masukan atas pemeriksaan perkara judicial review Undang-Undang Ormas
di Mahkamah Konstitusi. Kajian ini tidak dimaksudkan untuk
mempengaruhi pendapat para hakim konstitusi yang belum menjatuhkan
putusan atas perkara tersebut. Penelitian ini sekedar masukan serta
dimaksudkan untuk mengisi kekurangan penelitian atas kajian-kajian
mengenai ormas terutama dari sudut pandang hukum, terutama hukum
tata negara.
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Kebebasan berserikat dan berkumpul merupakan hak alami (natural
rights) 1 yang dimiliki oleh setiap individu. Karakteristik dasar manusia
sebagai makhluk sosial menjadikannya hidup berkelompok dalam
masyarakat. Kecenderungan untuk berkelompok ini juga merupakan
keniscayaan sebagai pemenuhan kebutuhan alamiahnya atau yang disebut
dengan organizational imperatives.2
1 Menurut Natural Rights Theory, hak asasi manusia merupakan hak yang dimiliki oleh seluruh manusia tanpa kecuali. Tidak diperlukan adanya pengakuan untuk pelaksanaan hak asasi manusia ini. Sumber pengakuan adanya hak asasi manusia dalam diri setiap individu berasal dari keberadaan individu itu sendiri di lingkungan masyarakat. Pengakuan sebagai salah satu syarat berlakunya suatu hak asasi manusia akan membatasi pelaksanaan hak asasi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu hak asasi manusia dalam hal pengakuan hukum juga akan menjadi terbatas. Bentuk pengakuan ini secara tidak langsung akan mengubah definisi hak asasi manusia menjadi hak warga Negara, sebab kealamiahan manusia sebagai pemilik suatu hak asasi akan menjadi sangat terbatas dan terkesan sebagai hak yang diberikan bukan hak yang ada sejak lahir. Konsep Natural Rights Theory ini berkembang dalam abad ke 18 dan ke 19, tokoh-tokoh yang berpikiran sama mengenai konsep Natural Rights Theory antara lain adalah John Locke, Montesquieu, J.J Rousseau dan Immanuel Kant. Hasil pemikiran ini dicantumkan dalam beberapa bentuk perjanjian, seperti Bill of Rights(1689), Colonial America’s Declaration of Independence (1776), Declaration des droits de l’homme et du citoyen (1789), Universal Declaration of Human Rights(1948). Lihat Muladi, Hak Asasi Manusia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2005), hal. 37.. Lihat juga Slamet Marta Wardaya. Hakekat Konsep dan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia. Dalam buku kumpulan artikel Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat. Bandung: PT Refika Aditama. 2009. Cet. Ketiga. Hal. 3
2 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006) cet. ketiga, hal. 44
1
Instrumen internasional mengakui dan memberi jaminan setiap individu
akan hak berserikat dan berkumpul. Pasal 20 (1) Universal Declaration of
Human Rights menyebutkan bahwa “everyone has the right to freedom of
peaceful assembly and association”. Penekanan pada instrumen
internasional ini adalah pada kata setiap orang (everyone), yang artinya
lingkup jaminan atas hak kebebasan berserikat dan berkumpul adalah
untuk semua orang tanpa terkecuali. Namun, bukan berarti bahwa
kebebasan berserikat dan berkumpul diimplementasikan tanpa batasan.
Setiap negara yang menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul
dalam aturan konstitusionalnya juga mencantumkan klausula pembatasan
kebebasan berserikat dan berkumpul, salah satunya Indonesia. UUD 1945
memberikan jaminan yang sama kepada setiap warga negaranya untuk
berserikat dan berkumpul. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menjamin bahwa
“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan
mengeluarkan pendapat”. Pelaksanaan kebebasan berserikat dan
berkumpul ini dalam UUD 1945 bagi setiap orang wajib tunduk pada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang.3
Kebebasan berserikat dan berkumpul bagi warga negara
diimplementasikan dengan beragam bentuk dan jenis organisasi.
Keragaman bentuk dan jenis organisasi yang ada di masyarakat adalah
seiring dengan kompleksitas dinamika masyarakat itu sendiri. Dalam
kerangka hubungan domain pemangku kepentingan kekuasaan antara
3 Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28J ayat (2).
2
negara (state), pasar (market) dan masyarakat (civil society) terdapat
penggolongan bentuk dan jenis organisasi. Organisasi yang erat kaitannya
dengan negara (state) dan tujuan pembentukannya adalah untuk
memperoleh kekuasaan (power) adalah partai politik. Pembahasan
akademik dan penelitian dari beragam perspektif mengenai organisasi
partai politik banyak dilakukan. Partai politik memperoleh tempat
tersendiri dalam pembahsan mengenai sendi-sendi ketatanegaraan dan
mendapat peran yang penting bagi kehidupan berdemokrasi. Dilain sisi,
terdapat pula individu sebagai warga negara (citizen) yang berkelompok
tanpa bertujuan untuk memperoleh kekuasaan namun dalam aktivitasnya
berhadapan dengan negara (state). Tidak hanya berhubungan dengan
negara (state), individu yang berkelompok (civil society) juga sering kali
berhadapan dengan pasar (market), dalam pola hubungan konsumen dan
produsen.4 Kelompok masyarakat ini yang digolongkan sebagai ormas
dengan beragam penyebutannya, baik itu civil society organisation (CSO),
non-governmental organisation (NGO), organisasi non pemerintah
(ornop), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan sebagainya. Dalam
hubungan antara ormas dengan negara memiliki pola yang tidak seragam,
baik pada sifat maupun modelnya. Pola relasi ini dipengaruhi oleh
berbagai faktor, baik dari eskalasi situasi negara, dinamika internal
organisasi masyarakat sipil, maupun konteks ruang dan waktu relasi
keduanya. Secara garis besar, paling tidak ada dua pola hubungan yaitu
4 Op. Cit., Jimly Asshiddiqie, hal 45
3
(i) yang menempatkan masyarakat sipil sebagai “the other” bagi negara
dan, (ii) yang menempatkan masyarakat sebagai bagian tak terpisahkan.5
Dalam lingkup hukum positif, pengaturan mengenai partai politik dan
ormas dibedakan secara diametral. Dapat disimpulkan bahwa pola
penggolongan kelompok masyarakatpun dalam rangka memberi jaminan
kebebasan berserikat dan berkumpul dibedakan antara pengaturan
mengenai partai politik dan pengaturan mengenai ormas. Dalam hukum
positif Indonesia, pembatasan kebebasan berserikat dan berkumpul warga
negara dibatasi dengan berlakunya UU mengenai partai politik6 dan UU
mengenai ormas.7
Pelaksanaan kebebasan berserikat dan berkumpul warga negara yang
tergabung dalam ormas diatur dengan UU nomor 17 tahun 2013. Dalam
kenyataan di masyarakat, pemberlakuan UU ormas ini ditolak terutama
dari kalangan ormas sendiri. Kontroversi penolakan pemberlakuan UU
mengenai ormas bukanlah hal yang baru. Ketika UU nomor 8 tahun 1985
diberlakukan pun, masyarakat banyak yang menolak keberadaannya.
5 Halili, “Tantangan Kontemporer Organisasi Masyarakat Sipil Dalam Gerakan Hak Asasi Manusia”, CIVICS (Jurnal Kajian Kewarganegaraan) Volume 6, Nomor 1, Juni 2009
6 Indonesia, UU nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 2 tahun 2011 tentang Perubahan atas UU nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik. Sebelumnya, pernah berlaku Undang-Undang Nomor 7 Pnps Tahun 1959 tentang Syarat-Syarat dan Penyederhanaan Kepartaian; Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1960 tentang Pengakuan, Pengawasan, dan Pembubaran Partai-Partai; Undang-Undang Nomor 3 tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya; Undang-Undang Nomor 3 tahun 1985 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya; Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik; Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik
7 Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan; Sebelumnya, pernah berlaku Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
4
Alasan yang diajukan pun tetap sama bahwa pemberlakuan UU ormas
melanggar kebebasan berserikat dan berkumpul8.
Pada era Orde Baru, pelembagaan organisasi masyarakat (ormas)
diperkuat dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985
tentang Organisasi Kemasyarakatan. Permasalahannya, pengaturan
pelembagaan organisasi masyarakat tidak didukung oleh sistem politik
saat itu yang tidak menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul.
Keberadaan UU Nomor 8 Tahun 1985 justru dimaksudkan untuk
memperkuat kontrol negara terhadap kehidupan berserikat dan berkumpul
bagi warga negara. Pemberlakuan asas tunggal Pancasila sebagai satu-
satunya asas pembentukan organisasi kemasyarakatan menjadi salah satu
alat negara untuk mengontrol ormas. Selain itu, peran negara sangat
dominan dalam mendorong tumbuh dan berkembangnya ormas dengan
memberikan fasilitas negara sebesar-besarnya. Hal ini dilakukan terutama
untuk ormas berbasis profesi seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)
Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Komite Nasional Pemuda
Indonesia (KNPI), Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) yang pada
umumnya mengarah pada organisasi tunggal.9
Ormas diarahkan menjadi wadah partisipasi masyarakat dalam
pembangunan sesuai dengan politik hukum pada zaman Orde Baru yang
mengusung jargon pembangunan. Oleh karena itu, UU Ormas menjadi
9 DPR RI, Naskah Akademis RUU Organisasi Masyarakat
5
satu paket dalam UU politik yang termasuk didalamnya adalah UU tentang
Partai Politik dan UU tentang Pemilihan Umum. Selain itu ormas juga
menjadi alat kekuatan orde baru dengan mengafiliasikan diri dengan satu-
satunya golongan kekaryaan yang ikut serta dalam politik, yaitu Golongan
Karya (Golkar).10
Perkembangan ormas, pada saat itu, juga ditandai dengan munculnya
lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memiliki karakteristik yang
berbeda dengan ormas yang telah terbentuk sebelumnya. LSM lebih
banyak digagas oleh beberapa orang yang memiliki basis isu dan kajian
dan seringkali merupakan organisasi yang bersifat kritis terhadap
kebijakan pembangunan yang dilaksanakan pemerintah.
LSM yang dalam bahasa Indonesia juga sering digunakan istilah organisasi
non-pemerintah (Ornop), memiliki padanan dengan istilah non-
governmental organization (NGO). Dalam perkembangan wacana
internasional, NGO/LSM merupakan salah satu agen demokrasi yang
10 Pengaturan Organisasi Masyarakat di orde baru dilaksanakan melalui UU No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Masyarakat. Watak regulasi produk rezim otoriter saat itu adalah membungkam kebebasan berekspresi dan berserikat masyarakat sipil dalam disain korporatik. Regulasi itu sebagai instrument pemerintah untuk mengontrol warganya agar tidak tumbuh partisipasi kritis pengimbang jalannya kekuasaan. Terbukti UU Organisasi Masyarakat versi Orde Baru telah melumpuhkan masyarakat dan mereproduksi watak kekuasaan yang otoriter. Masyarakat tidak berdaya, sementara negara melakukan represi dengan sejumlah pelanggaran atas konstitusi. Begitu besarnya pengaruh tekanan pemerintah yang menganut system otoritarian terhadap Baik kebebasan berserikat dan berkumpul, sulit bagi untuk menghindari campur tangan kekuasaan pemerintah, guna mempertahankan kekuasaannya, agar kesalahan-kesalahan yang terjadi dan yang dilakukan oleh pemerintahannya tidak ekpose diruang publik. Lihat dalam Jamhur Poti. Demokratisasi Media Massa dalam Prinsip Kebebasan Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Vol. 1, No. 1, 2011, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji.
6
dianggap penting.11 Konsepsi LSM ini juga diadopsi dan diimplementasikan
di Indonesia. Peranan LSM yang banyak menyuarakan aspirasi masyarakat
dan melakukan advokasi kebijakan yang berpihak pada masyarakat
meneguhkan eksitensinya. LSM yang bermunculan ini disandingkan
dengan konsep ormas yang telah diatur dalam UU ormas. Dalam
prakteknya selama orde baru, terjadi relasi yang kritis antara LSM dan
negara, apalagi ketika negara semakin terjebak pada rezim pemerintahan
otoriter. Di masa itu, LSM diposisikan menjadi opisisi pemerintah. Jaminan
atas kebebasan berserikat dan berkumpul dan menyatakan pendapat
melalui ormas/LSM dibatasi oleh pemerintah untuk melalui pengaturan UU
ormas.
Memasuki era Reformasi, pertumbuhan ormas sangat pesat. Ormas,
terutama dengan bentuk LSM/NGO, banyak bermunculan dengan latar
belakang yang sangat beragam misalnya atas dasar profesi, etnis
(kedaerahan), kepemudaan, kemahasiswaan, keagamaan dan lain-lain.
Ormas/LSM juga bermunculan di tingkat nasional dan dan didaerah. Selain
itu, ada ormas/LSM yang berafiliasi dengan jaringan organisasi
internasional. Pesatnya perkembangan ormas tidak diiringi dengan
penyesuaian peraturan. UU ormas yang telah berlaku selama 28 tahun
dianggap sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Oleh karena itu, pembentuk UU menerbitkan UU Nomor 17 tahun 2013
11 Peter Willets, “What Is a Non-Governmental Organization?”, UNESCO Encyclopaedia of Life Support Systems, Section 1 Institutional And Infrastructure Resource Issues, Article 1.44.3.7, http://www.staff.city.ac.uk/p.willetts/CS-NTWKS/NGO-ART.HTM diunduh pada 5 Maret 2014.
7
tentang Organisasi Kemasyarakatan yang menggantikan UU Nomor 8
tahun 1985.
Namun demikian, revisi UU ormas ini mengalami penolakan dari sejumlah
kelompok masyarakat, terutama kalangan ormas sendiri. Bahkan,
penolakan terhadap UU ormas telah dimulai ketika masih dalam
pembahasan RUU. Pembahasan isi RUU Ormas, kala itu, dinilai sebagai
sebuah langkah mundur dalam kehidupan berdemokrasi karena
keberadaan UU Ormas justru mengekang kebebasan berserikat,
berkumpul, dan berorganisasi di Indonesia.12 Banyak kalangan ormas
menyatakan penolakan terhadap RUU ormas. Setidaknya ada beberapa
alasan yang melandasi penolakan dari kalangan ormas terhadap
12 Lihat berita-berita mengenai penolakan pembahasan RUU Ormas seperti yang termuat dalam http://www.jurnalparlemen.com/view/2362/makin-membesar-penolakan-terhadap-ruu-ormas.html “Jakarta - Sejumlah organisasi kemasyarakatan dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) lebih suka DPR membahas RUU Perkumpulan ketimbang RUU Ormas. Sikap penolakan terhadap pembahasan RUU Ormas makin membesar. Para penolak tak hanya berasal dari kelompok LSM yang berafiliasi dengan lembaga donor dari Barat, tapi juga dari kalangan ormas keagamaan. Bahkan, menurut Direktur Eksekutif PSHK Ronald Rofiandri, sikap itu menjalar hingga ke ormas keagamaan, asosiasi buruh, organisasi wartawan, pelajar, dan akademisi. Bahkan pula lembaga negara seperti Komnas Hak Asasi Manusia dan Komisi Hukum Nasional memberikan catatan khusus. Begitu pula dengan Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-bangsa. "Intinya, kami meminta UU No. 8/1985 tentang Ormas tidak dilanjutkan. Kembalikan saja kepada UU Yayasan dan RUU Perkumpulan," kata Ronald Rofiandri di Jakarta, Minggu (31/3). Imam Aziz dari PBNU mengatakan bahwa RUU Ormas coba membungkam sikap kritis masyarakat. Materinya tumpang tindih dengan UU Yayasan. Bagi NU, lebih baik yang diatur oleh pemerintah adalah badan hukumnya (bentuk badan perkumpulan) saja. Ia berharap badan amal usaha di bawah NU tidak terjebak pada birokratisasi. Zuly Qodir dari PP Muhammadiyah berpendapat bahwa RUU Ormas merupakan tindak lanjut negara dan aparatur dalam menindas ormas, khususnya ormas keagamaan. Muhammadiyah tak jarang menerima sumbangan tanpa mencantumkan identitas. Terkadang pula, kata dia, melakukan serangkaian aktifitas pemantauan lapangan. "Apakah kemudian dikategorikan sebagai larangan seperti yang dimaksud Pasal 61 ayat (3) huruf c atau sebagai kegiatan intelijen yang dalam Pasal 61 ayat 5 (RUU Ormas versi 15 Maret 2013) dilarang?" ujarnya. Kamis (28/3), ratusan anggota ormas keagamaan Hizbut Tahrir menggelar unjuk rasa menolak RUU Ormas di depan Kompleks Parlemen Senayan. Aksi ini merupakan salah satu rentetan dari aksi-aksi sebelumnya yang dilakukan kelompok penolak aturan baru bagi ormas.”
8
pembahasan RUU ormas kala itu. Pertama, paradigma yang mendasari
RUU Ormas meletakkan masyarakat sipil sebagai ancaman terhadap
pemerintah, sehingga ditempatkan sebagai objek yang harus diatur,
diawasi, dan ditertibkan. Oleh karenanya, Negara perlu melakukan kontrol
dan pengawasan terhadap organisasi masyarakat sipil. Kedua, pandangan
mengenai kontrol dan penertiban ormas oleh negara terhadap ormas-
ormas yang kerap melakukan kekerasan dan pengerusakan merupakan
pandangan yang keliru. Persoalan kekerasan yang dilakukan oleh ormas-
ormas tertentu tersebut bukan merupakan persoalan normatif akibat
kekosongan hukum, melainkan persoalan empirik atau problem
penegakan hukum yang bertumpu pada kinerja aparat penegak hukum.
Aparat penegak hukum dapat menjangkau perbuatan anarkhis dengan
menggunakan aturan pidana yang berlaku, seperti KUHP, UU terorisme,
UU pendanaan terorisme, atau UU tentang pencucian uang. Ketiga, dalam
perspektif kelembagaan terjadi ketidakjelasan dan tumpang tindih aturan
yang mengatur ormas sebagai badan hukum seperti dalam UU Yayasan
dan aturan hukum tentang perkumpulan. Jika pembuat UU merasa aturan
tentang perkumpulan ataupun yayasan sudah tidak dapat menjawab
persoalan hukum kekinian mengenai keberadaan ormas maka selayaknya
aturan mengenai yayasan dan perkumpulan yang diperbaharui atau
disempurnakan.
Tindak lanjut penolakan ormas terhadap pembahasan RUU berujung di
meja pengadilan. Tidak lama sejak UU nomor 17 tahun 2013 disahkan
oleh pemerintah dan DPR, salah satu ormas Islam besar di Indonesia,
9
Muhammadiyyah, mengajukan permohonan pengujian UU ormas ke
Mahkamah Konstitusi.13 Setelah itu, beberapa ormas dan perseorangan
warga negara juga menggabungkan diri dan mendaftarkan gugatan
pengujian UU ormas.14
Sejumlah persoalan norma dalam UU ormas diajukan para pemohon
dalam uji materiil UU ormas sebagai obyek pengujian konstitusional.
Namun, secara garis besar persoalan pengaturan UU ormas ini adalah
mengenai pengaturan berlebihan oleh negara terhadap ormas dan
berdampak pada pembatasan ruang geraknya. Aturan pembatasan ruang
gerak ini melanggar kebebasan warga negara untuk berserikat dan
berkumpul yang merupakan seharusnya mendapatkan jaminan
konstitusional.
Disisi lain, pembuat UU menyatakan telah memperhatikan masalah
pembatasan hak konstitusional warga negara untuk berserikat dan
berkumpul. Dalam Naskah Akademis RUU Ormas, pembuat UU menyadari
bahwa pembatasan kebebasan warga negara oleh UU haruslah
berdasarkan alasan yang dapat diukur secara rasional (reasonable
ground).15 Oleh sebab itu, Pembuat UU mempertimbangkan Prinsip
13 Perkara nomor 82/PUU-XII/2013 diregistrasi oleh Kepaniteraan MK pada tanggal 23 September 2013 yang diajukan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyyah.
14 Perkara nomor 3/PUU-XIII/2014 diregistrasi oleh Kepaniteraan MK pada tanggal 9 Januari 2014 yang diajukan oleh Yayasan Fitra Sumatera Utara; Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI); Perkumpulan Indonesian Corruption Watch (ICW); Yayasan Penguatan Partisipasi Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (Yappika); Ir. H. Said Iqbal; M. Choirul Anam, S.H.; Poengky Indrarti, S.H.
15 DPR RI, Naskah Akademis RUU Ormas hal. 14
10
Siracusa (Siracusa Principles)16 sebagai acuan untuk mengukur
pembatasan hak kebebasan berserikat dan berkumpul dalam UU ormas.
Aturan dalam UU ormas disusun dengan mengacu pada standar
berdasarkan konvensi internasional sehingga tidak mungkin aturan UU
ormas ini melanggar hak konstitusional warga negara untuk berserikat dan
berkumpul.
Perbedaan perspektif antara pembuat UU dan pemohon uji materi UU
Ormas ini yang menjadi obyek penelitian. Disatu sisi, pembuat UU
menyatakan telah mempertimbangkan alasan pembatasan kebebasan
berserikat dan berkumpul disesuaikan dengan ukuran yang berlaku secara
internasional. Disisi lain, para pemohon yang diwakili oleh ormas
menyatakan bahwa UU ormas yang berlaku tetap mengekang ruang gerak
kebebasan berserikat dan berkumpul yang dimilikinya.
Penelitian ini tidak dimaksudkan untuk menjawab setiap isu
konstitusionalitas norma yang diperiksa oleh Majelis Hakim Konstitusi
dalam perkara nomor 82/PUU-XII/2013 dan 3/PUU-XIII/2014. Secara
umum, tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan tingkat
konstitusionalitas keberlakuan UU ormas dengan diukur dari implementasi
jaminan konstitusionalitas kebebasan berserikat dan berkumpul yang
diatur dalam UUD 1945. Dari tujuan umum ini dirumuskan dua
permasalahan utama yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu (i)
16 United Nations, Economic and Social Council, Siracusa Principles on the Limitation and Derogation Provisions in the International Covenant on Civil and Political Rights, U.N. Doc. E/CN.4/1985/4, Annex (1985).
11
mengenai batasan dan lingkup konsepsi ormas dan (ii) pola relasi ideal
antara negara dan ormas.
Berkaitan dengan 2 (dua) permasalahan besar yang menjadi materi
penelitian ini, terdapat beberapa isu-isu turunan yang akan diulas secara
mendalam. Dalam hal pembahasan mengenai batasan dan lingkup
konsepsi ormas, pertanyaan-pertanyaan yang terungkap adalah siapa saja
yang termasuk dalam lingkup pengertian ormas? Variabel-variabel apa
yang tepat untuk memberi batasan lingkup ormas? Apakah definisi ormas
sebagaimana diatur dalam UU ormas menimbulkan kerancuan dan
menimbulkan ketidakjelasan? Sedangkan, dalam permasalahan kedua,
penelitian ini mencari pola relasi ideal antara negara dan ormas dalam
pengaturannya di UU ormas. Permasalahan ini lebih lanjut dikupas dalam
hal kontrol negara dalam UU ormas mengenai syarat dan tata cara
pendirian ormas, pola pemberdayaan yang difasilitasi oleh pemerintah,
serta mengenai pembubaran ormas.
B. RUMUSAN MASALAH
Secara garis besar, 2 (dua) permasalahan utama dalam penelitian ini
adalah :
1. Apa yang termasuk dalam lingkup organisasi kemasyarakatan?
2. Bagaimana konstruksi hubungan ideal antara negara dan ormas,
dimana negara berwenang untuk mengatur ormas sekaligus
menjamin pelaksanaan kebebasan berserikat dan berkumpul?
12
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
a. Menemukan konsepsi ideal mengenai organisasi kemasyarakatan
dan mengadopsi konsepsi itu untuk mengukur batasan organisasi
kemasyarakatan sebagaimana diatur dalam UU nomor 17 tahun
2013;
b. Menemukan konsepsi ideal mengenai pola relasi antara ormas dan
negara untuk dijadikan ukuran konstitusionalitas keberlakuan UU
nomor 17 tahun 2013 sebagaimana dijadikan sebagai obyek
permohonan uji materiil di Mahkamah Konstitusi.
2. Manfaat Penelitian
Secara ideal, penelitian ini dapat bermanfaat untuk mengisi ruang
kosong pembahsan akademis mengenai keberadaan organisasi
masyarakat dan pola hubungan negara (state) dan civil society. Disisi
lain, secara praktis penelitian ini adalah merupakan kajian dari
perkara yang sedang diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi. Adalah
harapan dari peneliti bahwa kajian ini dapat bermanfaat bagi
Mahkamah Konstitusi, tempat bernaung para peneliti, dalam
memutus perkara uji materiil UU ormas, yaitu perkara nomor
82/PUU-XII/2013 dan 3/PUU-XIII/2014.
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. KEBEBASAN BERSERIKAT (FREEDOM OF ASSOCIATION)
Hak-hak asasi manusia (HAM) adalah hak-hak yang diakui secara universal
sebagai hak-hak yang melekat pada manusia karena hakekat dan kodrat
kelahiran manusia itu sebagai manusia. Pengakuan atas adanya hak-hak
manusia yang asasi memberikan jaminan, secara moral maupun demi
hukum, kepada setiap manusia untuk menikmati kebebasan dari segala
bentuk perhambaan, penindasan, perampasan, penganiayaan atau
perlakuan apapun lainnya yang menyebabkan manusia itu tak dapat hidup
secara layak sebagai manusia.17
Dalam perkembangannya, hak asasi manusia tersebut diatur dalam
berbagai instrumen nasional maupun internasional yang pada prinsipnya
bertujuan melindungi manusia dari berbagai praktik yang bertentangan
dengan harkat dan martabat manusia.
Salah satu hak yang dianggap sebagai salah satu yang hak fundamental
bagi manusia adalah kebebasan untuk berserikat atau berorganisasi
(freedom of association), kebebasan berkumpul (freedom of assembly),
17 Soetandyo Wignjosoebroto, Hak-Hak Asasi Manusia Konsep Dasar Dan Perkembangan Pengertiannya Dari Masa Ke Masa, Bahan Bacaan Kursus HAM Pengacara, ELSAM
14
dan kebebasan menyatakan pendapat (freedom of expression). Hak ini
dikenal sebagai tiga kebebasan dasar yang merupakan bagian dari konsep
hak-hak asasi manusia, terutama dalam rumpun hak sipil dan politik.
Secara nasional perlindungan terhadap hak-hak terkait dengan kebebasan
berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat diatur dalam UUD
1945. Pasal 28 UUD 45 sebelum amandemen menyatakan bahwa
“Kebebasan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan
dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Landasan
konstitusional ini memberi jaminan atas
1) Kemerdekaan seseorang atau kelompok masyarakat untuk
berserikat;
2) Kemerdekaan seseorang atau kelompok masyarakat untuk
berkumpul;
3) Kemerdekaan seseorang atau kelompok masyarakat untuk
meyatakan pendapat secara lisan maupun tulisan;
Akan tetapi secara tersirat pasal tersebut mengandung pengertian bahwa
kebebasan berserikat adalah “pemberian negara” melalui undang-
undang.18
Menurut James A. Donald hukum yang baik berawal dari natural right ini
karena “True law derives from this right, not from the arbitrary power of
18 Jakob Tobing, Kebebasan Berserikat Sebagai Hak Asasi, Civis Vol. 3 No. 1 Jul 2011
15
the omnipotent state”.19 Dengan kata lain, hak asasi bukanlah suatu
pemberian negara. Pengaturan terhadap kemerdekaan berserikat dan
berkumpul pada Pasal 28 UUD 1945 tersebut hanya sebatas pada
pengakuan tapi tetap belum menjamin terlaksana kemerdekaan berserikat
dan berkumpul tersebut karena harus “ditetapkan undang-undang”.
Dengan demikian, sebelum ditetapkan dengan undang-undang masih
belum ada jaminan terhadap kemerdekaan berserikat dan berkumpul
tersebut. Apabila dikaitkan dengan konsep natural right maka
kemerdekaan berserikat dan berkumpul itu merupakan suatu hak yang
alami melekat pada setiap manusia karena manusia memiliki kebutuhan
untuk berserikat dan berkumpul yang kemudian berubah menjadi hak
warga negara karena kealamiahan manusia sebagai pemilik suatu hak
asasi akan menjadi sangat terbatas dan terkesan sebagai hak yang
diberikan bukan hak yang ada sejak lahir.
Perdebatan para Founding Fathers dalam merumuskan Pasal 28 UUD 1945
juga terjadi dalam hal menentukan subyek dari kemerdekaan berserikat
dan berkumpul tersebut dengan mencantumkan subyek warga negara
atau penduduk karena hal ini berkaitan dengan hak rakyat. Pada risalah
naskah persiapan Undang-Undang Dasar 1945 khususnya berkaitan
dengan perdebatan kemerdekaan berserikat dan berkumpul, tanggal 15
Juli 1945. Anggota SUPOMO mengusulkan: 20
19 James A. Donald, “Natural Law and Natural Rights”, http://jim.com/rights.html, diunduh tanggal 12 September 2014
20 Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, cet. I. (Djakarta: Jajasan Prapantja, 1959), hal. 357-359
16
“... kami usulkan suatu aturan jang mengandung kompromis, akan tetapi tidak akan menentang sistimatik rantjangan anggaran dasar ini, jalah dengan menambahkan didalam undang-undang suatu pasal jang berbunyi: “Hukum jang menetapkan kemerdekaan penduduk untuk bersidang dan berkumpul, untuk mengeluarkan fikiran secara lisan atau tulisan dan lain-lain diatur dengan undang-undang”. Dengan ini, pertama, kita tidak mengemukakan hak jang dinamai subjectiefrecht, seperti hak perseorangan, oleh karena itu adalah hasil aliran fikiran perseorangan, akan tetapi disini hal itu disebut hukum; bagaimanapun djuga diatur dalam undang-undang, bahwa hukum jang menetapkan kemerdekaan penduduk untuk bersidang dan berkumpul, untuk mengeluarkan fikiran dengan lisan ditetapkan dalam undang-undang. Dengan demikian hal itu adalah kewadjiban. Ketentuan itu mewadjibkan Pemerintah untuk membikin undang-undang tentang hal itu. Djadi dengan ini para anggota jang hendak mendorong kepada sidang untuk memasukkan hal itu mudah-mudahan hendakja puas. Usul tuan Hatta bunjija begini: “Hak rakjat untuk menjatakan perasaan dengan lisan dan tulisan, hak bersidang dan berkumpul, diakui oleh negara dan ditentukan dalam undang-undang”. Kalau begini bunjija, sebetulnja menjatakan ada pertentangan antara rakjat dengan negara. Akan tetapi jang dimaksud oleh tuan Hatta sebetulnja, supaja Pemerintah membuat undang-undang tentang hal itu dan sudah tentu hukum jang menetapkan hak bersidang itu tidaklah nanti ada undang-undang jang melarangnja. Tidak, sebab itu Panitia mengusulkan:”Hukum jang menetapkan kemerdekaan penduduk untuk bersidang dan berkumpul untuk mengeluarkan fikiran secara lisan atau tulisan dan lain-lain diatur dengan undang-undang”
Atas usulan tersebut, Yamin berpendapat :
“Saja hanja minta perhatian betul-betul, karena jang kita hitjarakan ini hak rakjat. Kalau hal ini tidak terang dalam hukum dasar, maka ada kechilafan dari pada grondwet; grondwettelijke fout, kesalahan undang-undang hukum dasar, besar sekali dosanja buat rakjat dosanja buat rakjat jang menanti-nantikan hak dari pada republik; misalnja mengenai jang tertudju kepada warga negara, djangan dipikirkan bahwa
17
hanja warga-negara jang akan mendapat hak, djuga penduduk akan diperlindungi oleh republik ini. Djadi harus dipikirkan betul-betul redaksinja; pertama-tama harus djelas buat republik. Djadi sudah terang bahwa dibelakang perkataan “warga negara” harus ditambah “penduduk”, seperti diatur oleh konstitusi-konstitusi lain berhubungan dengan hak souvereiniteit negara-negara lain.”
Dari kutipan risalah itu maka dapat diketahui bahwa pengaturan
kemerdekaan berserikat dan berkumpul di Indonesia sudah ada lebih
dahulu daripada Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB Tahun 1948. Tetapi
jaminan terhadap pelaksanaan kemerdekaan berserikat dan berkumpul
tersebut belum ada karena “ditetapkan dengan undang-undang”.
Perbaikan terhadap substansi Pasal 28 UUD 45 dilakukan melalui
Amandemen UUD 45 tahap ke-2 tahun 2000 yang mempertegas dan
sekaligus memperluas makna kebebasan berserikat dan berkumpul dalam
UUD 45. Isi Pasal 28 tersebut di atas adalah : “kebebasan berserikat dan
berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya
ditetapkan dengan undang-undang”, tetap dipertahankan tetapi esensi
kebebasan berserikat ditegaskan bukan sebagai pemberian negara, tetapi
sebagai bagian dari hak asasi manusia yang melekat pada warga dan
dihargai oleh Negara. Pasal 28E ayat (3) menegaskan bahwa “setiap
orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat”.
Dengan demikian dapat diartikan bahwa hak atas kebebasan berserikat
dan berkumpul dan mengeluarkan pendapat bukan saja merupakan
substansi HAM semata-mata, akan tetapi juga merupakan hukum positif
18
karena mendapat pengakuan konstitusi oleh negara. Substansi HAM yang
dimaksud ketentuan tersebut dari kata “setiap orang”, jadi yang dijamin
dan diakui UUD NRI Tahun 1945 adalah hak individu setiap orang bukan
setiap serikat atau kelompok atau perkumpulan.
Kebebasan berserikat masuk dalam ranah hak-hak sipil dan politik yang
menempatkan hak asasi manusia dalam terminologi negatif (freedoms
from) daripada sesuatu yang positif (rights to). Terminologi negatif ini
dikaitkan dengan peran negara bahwa pelaksanaannya sebisa mungkin
untuk bebas dari intervensi negara. Hak-hak sipil dan politik merupakan
generasi HAM pertama yang juga digolongkan sebagai hak negatif. Hak-
hak ini menjamin suatu ruang kebebasan dimana individu sendirilah yang
berhak menentukan dirinya sendiri. Hak-hak generasi pertama ini dengan
demikian menuntut ketiadaan intervensi oleh pihak-pihak luar, baik negara
maupun kekuatan-kekuatan sosial lainnya, terhadap kedaulatan individu.
Dengan kata lain, pemenuhan hak-hak yang dikelompokkan dalam
generasi pertama ini sangat tergantung pada absen atau minusnya
tindakan negara terhadap hak-hak tersebut. Jadi negara tidak boleh
berperan aktif (positif) terhadapnya, karena akan mengakibatkan
pelanggaran terhadap hak-hak dan kebebasan tersebut.
Kebebasan berserikat merupakan hak yang juga diatur dalam instrumen
internasional. Pasal 20 Universal Declaration of Human Rights, yang
menyatakan:
1) Everyone has the rights to freedom of peacefull assembly and association,
19
2) No one maybe, compelled to belong to an association”
Begitu juga, Pasal 22 International Covenant on Civil and Political Rights
(ICCPR) menyebutkan:
1. Everyone shall have the right to freedom of association with others, including the right to form and join trade unions for the protection of his interests.
2. No restrictions may be placed on the exercise of this right other than those which are prescribed by law and which are necessary in a democratic society in the interests of national security or public safety, public order (ordre public), the protection of public health or morals or the protection of the rights and freedoms of others. This Article shall not prevent the imposition of lawful restrictions on members of the armed forces and of the police in their exercise of this right.
3. Nothing in this Article shall authorize States Parties to the International Labour Organisation Convention of 1948 concerning freedom of association and Protection of the Right to Organize to take legislative measures which would prejudice, or to apply the law in such a manner as to prejudice, the guarantees provided for in that Convention.”
Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil
dan Politik (ICCPR) menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005
tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights
(Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik).
B. PEMBATASAN TERHADAP KEBEBASAN BERSERIKAT
Pengaturan tentang kemerdekaan berserikat, secara bebas diakui. Tiada
suatu pembatasan pun dapat dikenakan terhadap pelaksanaan hak ini,
kecuali yang ditetapkan oleh hukum dan yang diperlukan dalam
masyarakat demokratis. Oleh karenanya, kemerdekaan berserikat dalam
hal ini tidak dapat diartikan sebebas-bebasnya, melainkan kebebasan yang
20
bertanggungjawab, yaitu yang memperhatikan kepentingan masyarakat
demokratis, kepentingan keamanan nasional atau keselamatan umum,
ketertiban umum, perlindungan terhadap kesehatan, dan moral umum
atau perlindungan terhadap hak-hak serta kebebasan orang lain.
Kemerdekaan (freedom) dalam pengertian klasik, mengarah pada konsep
individu yang biasanya merujuk pada pemikiran Adam Smith, David Hume,
dan dalam bagian tertentu John Locke. Lebih lanjut, secara intelektual
freedom dirumuskan oleh Robert Nozick, dan Friedrich von Hayek. Dalam
sejarah Indonesia, sebagian perdebatan ini dicerminkan pada perdebatan
founding fathers dalam merumuskan antara hak individu dan pemajuan
sosial dalam UUD 1945 dengan rumusan pertanyaan “untuk apa individu
dilindungi kalau hal tersebut tidak memajukan kemakmuran masyarakat”.
Hayek melihat bahwa sebenarnya layanan publik negara (bahkan jika itu
memang bertujuan melindungi warga negara) hanya akan membuat
warga negara hidup dalam perbudakan modern (serfdom). Sedang Nozick
melihat bahwa hak milik adalah mutlak, tidak soal bagaimana manusia
mendapatkan hak miliknya itu.21 Hak merupakan pengejawantahan dari
martabat manusia dan kebebasan merupakan pengakuan terhadap
eksistensi manusia.
Dengan demikian, kebebasan berserikat sebagaimana telah diatur dalam
UUD termasuk hak yang dapat ditangguhkan. Kebebasan ini dibatasi
21 Lihat Henry Simarmata, Kovenan HAM Internasional: Pandangan Umum mengenai Signifikasi dan Perkembangan, Jurnal HAM 2007 (Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2007), hal. 8-9.
21
dalam rangka masyarakat demokratis, demi kepentingan keamanan
nasional atau keselamatan umum, ketertiban umum, perlindungan
terhadap kesehatan dan moral umum atau perlindungan terhadap hak-hak
serta kebebasan orang lain.
Tidak boleh adanya pengurangan hak kecuali atas kondisi tertentu juga
diatur dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM) dan
ICCPR. Pasal 29 DUHAM menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan hak dan
kebebasannya, setiap orang hanya tunduk pada batasan-batasan yang
ditentukan oleh (i) hukum, (ii) semata-mata untuk menjamin pengakuan
dan penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain, dan (iii)
memenuhi persyaratan-persyaratan moral, (iv) ketertiban umum dan (v)
kesejahteraan umum yang adil dalam masyarakat yang demokratis.
Sedangkan, pada paragraf 22 ICCPR disebutkan bahwa
“Tidak ada satu pun pembatasan dapat dikenakan pada pelaksanaan hak ini, kecuali jika hal tersebut dilakukan (i) berdasarkan hukum (prescribed by law), dan (ii) diperlukan dalam masyarakat yang demokratis (iii) untuk kepentingan keamanan nasional dan (iv) keselamatan publik, (v) ketertiban umum, (vi) perlindungan terhadap kesehatan atau (vii) moral masyarakat, atau (viii) perlindungan terhadap hak dan kebebasan orang lain. Pasal ini tidak boleh mencegah pelaksanaan pembatasan yang sah anggota angkatan bersenjata dan polisi dalam melaksanakan hak ini.”
Pembatasan dan pengurangan hak-hak asasi manusia yang diatur di
dalam ICCPR diterjemahkan secara lebih detil di dalam Prinsip-Prinsip
Siracusa (Siracusa Principles). Di dalam Prinsip ini disebutkan bahwa
pembatasan hak tidak boleh membahayakan esensi hak. Semua klausul
pembatasan harus ditafsirkan secara tegas dan ditujukan untuk
22
mendukung hak-hak. Semua pembatasan harus ditafsirkan secara jelas
dan dalam konteks hak-hak tertentu yang terkait. Prinsip ini menegaskan
bahwa pembatasan hak tidak boleh diberlakukan secara sewenang-
wenang. Secara umum, pembatasan dan pengurangan hak asasi manusia
hanya bisa dilakukan jika memenuhi kondisi-kondisi berikut:
1. Diatur berdasarkan hukum (prescribed by law/conformity with the
law). Tidak ada pembatasan yang bisa diberlakukan kecuali
didasarkan oleh hukum nasional. Namun hukum yang membatasi
hak tersebut tidak boleh sewenang-wenang dan tanpa alasan.
Aturan hukum yang membatasi pelaksanaan HAM harus jelas dan
bisa diakses siapa pun. Hukum tersebut harus dapat diakses, tidak
bersifat ambigu, dan dibuat secara hati-hati dan teliti, yang
memungkinkan setiap individual untuk melihat apakah suatu
tindakan bertentangan dengan hukum atau tidak.
2. Diperlukan dalam masyarakat yang demokratis (in a democratic
society). Beban untuk menetapkan persyaratan pembatasan ini ada
pada negara yang menetapkan aturan pembatasan dengan
menunjukkan bahwa pembatasan tersebut tidak mengganggu
berfungsinya demokrasi di dalam masyarakat.
3. Untuk melindungi ketertiban umum (public order/ordre public).
Frasa “ketertiban umum” di sini diterjemahkan sebagai sejumlah
aturan yang menjamin berfungsinya masyarakat atau seperangkat
prinsip mendasar yang hidup di masyarakat. Ketertiban umum juga
melingkupi penghormatan terhadap hak asasi manusia. Selain itu,
23
ketertiban umum di sini harus dilihat dalam konteks hak yang
dibatasinya. Negara atau badan negara yang bertanggungjawab
untuk menjaga ketertiban umum harus dapat dikontrol dalam
pengggunaan kekuasaan mereka melalui parlemen, pengadilan
atau badan mandiri lain yang kompeten.
4. Untuk melindungi moral publik (public moral). Negara harus
menunjukkan bahwa pembatasan itu memang sangat penting bagi
terpeliharanya nilai-nilai mendasar komunitas. Dalam hal ini negara
memiliki diskresi untuk menggunakan alasan moral masyarakat.
Namun klausul ini tidak boleh menyimpang dari maksud dan tujuan
Kovenan Sipol.
5. Untuk melindungi keamanan nasional (national security). Klausul ini
digunakan hanya untuk melindungi eksistensi bangsa, integritas
wilayah atau kemerdekaan politik terhadap adanya kekerasan atau
ancaman kekerasan. Negara tidak boleh menggunakan klausul ini
sebagai dalih untuk melakukan pembatasan yang sewenang-
wenang dan tidak jelas. Pembatasan dengan klausul ini juga tidak
sah, jika tujuan yang sesungguhnya atau dampak yang
dihasilkannya adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan
yang tidak berhubungan dengan keamanan nasional.
6. Untuk melindungi hak dan kebebasan orang lain (rights and
freedom of others). Ketika terjadi konflik antar-hak, maka harus
diutamakan hak dan kebebasan yang paling mendasar. Klausul ini
24
tidak bisa digunakan untuk melindungi negara dan aparatnya dari
kritik dan opini publik.
Selain itu, ICCPR juga memasukkan istilah “perlu” (necessary) dalam
ketentuan-ketentuan yang mengandung pembatasan. Hal ini
memperlihatkan adanya maksud dari perancang ICCPR untuk membatasi
penerapan pembatasan hak-hak hanya pada situasi dimana ada
kebutuhan riil untuk pembatasan tersebut. Untuk menyatakan bahwa
kebutuhan itu memang ada, beberapa persyaratan yang harus dipenuhi
adalah:
a) Pembatasan sejalan dengan semangat dan apa yang tertulis dalam Kovenan;
b) Syarat-syarat yang ditetapkan dalam beberapa putusan Pengadilan HAM Eropa yaitu persyaratan lawfulness, legitimate aim dan necessity.
Hal ini juga dijelaskan oleh Prinsip Siracusa yang menyatakan istilah
‘necessary’ mengimplikasikan bahwa pembatasan:
a. Didasarkan pada salah satu alasan yang membenarkan pembatasan yang diakui oleh pasal yang relevan dalam Kovenan.
b. Menjawab kebutuhan sosial. c. Untuk mencapai sebuah tujuan yang sah. d. Proporsional pada tujuan tersebut di atas.
Sebagaimana dapat dilihat di atas, terhadap hak untuk kebebasan
berserikat, pembatasan dapat dilakukan jika berdasarkan hukum, dan
diperlukan dalam masyarakat yang demokratis untuk kepentingan
keamanan nasional dan keselamatan publik, ketertiban umum,
25
perlindungan terhadap kesehatan atau moral publik, atau perlindungan
terhadap hak dan kebebasan orang lain
C. MASYARAKAT SIPIL (CIVIL SOCIETY)
Masyarakat sipil merupakan sebuah konsep yang sangat luas. Istilah civil
society berasal dari bahasa Latin societes civiles yang mula-mula dipakai
oleh Cicero. Sejak saat itu sampai dengan abad ke-18, pengertian civil
society masih disamakan dengan negara (the state), yakni sekelompok
masyarakat yang mendominasi seluruh kelompok lain.
Dalam rentang waktu yang panjang, hadir Thomas Hobbes, John Locke
dan Jean-Jacques Rousseau yang kembali menghidupkan dan
mengembangkan istilah civil society (masyarakat sipil) dengan merujuk
kepada masyarakat dan politik. Hobbes, misalnya, berpendapat bahwa
perjanjian masyarakat diadakan oleh individu-individu untuk membentuk
suatu masyarakat politik atau negara. Locke mendefinisikan masyarakat
sipil sebagai masyarakat politik (political society) yang mana dihadapkan
dengan keadaan alami (state of nature) sekelompok manusia. Masyarakat
politik itu sendiri, menurut Rousseau yang senada dengan Hobbes,
merupakan hasil dari suatu kontrak sosial. Perlu digarisbawahi bahwa
pengertian-pengertian ini lahir ketika perbedaan antara masyarakat sipil
dan negara belum dikenal, sehingga negara merupakan bagian dari
masyarakat sipil yang mengontrol pola-pola interaksi warga negaranya.
Barulah pada paruh kedua abad 18 Adam Ferguson dan Thomas Paine
memberi tekanan lain terhadap makna civil society. Civil society dan
26
negara dipahami sebagai dua buah entitas yang berbeda, sejalan dengan
proses pembentukan sosial dan perubahan-perubahan struktur politik
sebagai akibat pencerahan (enlightment). Keduanya diposisikan dalam
posisi yang diametral. Masyarakat sipil bahkan dinilai sebagai anti tesis
terhadap negara yang harus lebih kuat untuk mengontrol negara demi
kepentingannya.
Pemahaman ini mengundang reaksi para pemikir lainnya seperti Hegel
yang beraliran idealis. Menurutnya, civil society tidak dapat dibiarkan
tanpa terkontrol. Ia justru memerlukan berbagai macam aturan dan
pembatasan melalui kontrol hukum, administrasi dan politik. Lebih lanjut,
Hegel membedakan masyarakat politik (the state) dan masyarakat sipil
(civil society). Masyarakat politik adalah perkumpulan-perkumpulan yang
mengandung aspek politik yang mengayomi masyarakat secara
keseluruhan. Sedangkan masyarakat sipil ialah perkumpulan merdeka
yang membentuk apa yang disebut sebagai masyarakat borjuis.
Karl Marx sependapat dengan Hegel dalam melihat civil society sebagai
masyarakat borjuis. Bedanya, Hegel menganggap hanya melalui negara,
kepentingan-kepentingan masyarakat yang universal dan mengandung
potensi konflik bisa terselesaikan. Maka dari itu, negara merupakan
sesuatu yang ideal. Marx berpandangan sebaliknya, ia menganggap
negara tak lain sebagai badan pelaksana kepentingan kaum borjuis. Oleh
sebab itu, negara harus dihapuskan, atau harus diruntuhkan oleh kelas
proletar. Ketika negara akhirnya lenyap, maka yang tinggal hanyalah
27
masyarakat tanpa kelas. Visi ini berseberangan dengan visi Hegel yang
mengatakan di masa depan masyarakat sipil-lah yang akan runtuh dari
dalam, jika negara telah mampu mengayomi seluruh kepentingan
masyarakat.
Sedangkan menurut Antonio Gramsci yang juga memandang civil society
sebagai milik kaum borjuis yang akhirnya menjadi pendukung negara,
disamping mereka memegang hegemoni, mereka juga seharusnya bisa
menjalankan fungsi etis dalam mendidik dan mengarahkan perkembangan
ekonomi masyarakat.22 Secara umum saat ini, penganut sosialis banyak
mengadopsi konsep hegemoni Gramsci dalam memahami civil society
dimana hegemoni tidak lagi dilakukan secara fisik, melainkan melalui
penjinakan budaya dan ideologi yang diselenggarakan secara terstruktur
oleh negara. Perspektif lain dikemukakan oleh Gramsci yang
mendefinisikan masyarakat sipil sebagai kumpulan organisme “privat”,
berbeda dengan negara yang disebutnya masyarakat politik (political
society).23 Secara konkret, Gramsci menegaskan masyarakat sipil sebagai
suatu wilayah institusi privat mencakup gereja, serikat-serikat
dagang/pekerja, dan lembaga pendidikan, sementara negara adalah
institusi-institusi publik seperti pemerintah, pengadilan, polisi dan tentara.
Gramsci terkadang mendefinisikan negara sebagai masyarakat politik
ditambah masyarakat sipil – “the state should be understood not only as
22 Dawam Raharjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial, Jakarta: LSAF, 1999
23 Gramsci, A. (1971). Selection from the Prison Notebooks. New York: International Publishers.
28
the apparatus of the government, but also ths private apparatus of Civil
Society” (negara tidak harus dipahami hanya sebagai lembaga
pemerintahan, tetapi juga sebagai lembaga masyarakat sipil).
Adapun menurut Alexis de Tocqueville, masyarakat sipil tidak secara a
priori subordinatif terhadap negara, tetapi lebih dari itu ia bersifat otonom
dan memiliki kapasitas politik cukup tinggi sehingga mampu menjadi
kekuatan penyeimbang menghadapi intervensi negara dan tidak hanya
berorientasi pada kepentingan sendiri tetapi juga terhadap kepentingan
publik. Pendapat Tocqueville ini kemudian diperkuat oleh Hannah Arendt
dan Jurgen Habermas dengan konsep ”a free public sphere”, sebuah
wilayah di mana masyarakat sebagai warga negara memiliki akses penuh
terhadap setiap kegiatan publik. Penciptaan ruang publik, bagi Arendt
merupakan prasyarat terciptanya civil society dan demokratisasi. Hal
senada diungkapkan Ernest Gellner yang memandang perlunya ruang dan
kebebasan publik. Menurutnya civil society adalah seperangkat institusi
non pemerintah yang cukup kuat untuk mengimbangi negara dan
mencegah timbulnya tirani kekuasaan.
Penganut kapitalis lebih tertarik kepada civil society versi Tocqueville
dimana masyarakat dapat melakukan partisipasi mengenai pembuatan
kebijakan-kebijakan publik dalam sebuah negara dan dapat saling
berinterksi dengan semangat toleransi. Adapun di negara-negara
berkembang umumnya, sikap Hegelian terhadap negara merupakan
pandangan yang dominan. Di satu sisi mereka memandang negara
29
sebagai wadah segala sesuatu yang ideal dan di sisi lain mereka kurang
percaya terhadap masyarakat sipil.
Cohen dan Arato24 mendefinisikan masyarakat sipil sebagai wilayah
interaksi sosial yang di dalamnya mencakup semua kelompok sosial paling
akrab (khususnya keluarga), asosiasi (terutama yang bersifat sukarela),
gerakan kemasyarakatan, dan berbagai wadah komunikasi publik lainnya
yang diciptakan melalui bentuk-bentuk pengaturan dan mobilisasi diri
secara independen baik dalam hal kelembagaan maupun kegiatan.
Menurut AS Hikam,25 masyarakat sipil sebagaimana dikonsepsikan oleh
para pemikirnya mempunyai tiga ciri khusus yaitu pertama, adanya
kemandirian yang cukup tinggi dari individu-individu dan kelompok dalam
masyarakat, terutama saat berhadapan dengan negara. Kedua, adanya
ruang publik bebas sebagai wahana bagi keterlibatan politik secara aktif
dari warga negara demi kepentingan publik. Ketiga, adanya kemampuan
membatasi kuasa negara agar tidak intervensionis dan otoriter.
Konsep masyarakat sipil pada hakikatnya merupakan konsep masyarakat
yang mandiri atau otonom. Dalam batas-batas tertentu masyarakat sipil
dilihat sebagai entitas yang mampu memajukan diri sendiri, bisa
“membatasi” intervensi pemerintahan dan negara dalam realitas yang
diciptakannya, serta senantiasa memperlihatkan sikap kritis dalam
24 Cohen, J.L., & Arato, A. (1992). Civil Society and Political Theory. Massachusets: MIT.
25 Muhammad AS Hikam. 1999. Demokasi dan Civil Society. Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia.
30
kehidupan politik. Beberapa karakteristik penting dari keberadaan
masyarakat sipil adalah adanya aspek otonomi politik berhadapan dengan
negara, di samping aspek keswadayaan, dan keswasembadaaan. Namun
demikian, hal paling utama yang ditekankan adalah karakteristik otonomi
politiknya.
Menurut Einstadt, civil society memiliki empat komponen sebagai syarat;
pertama otonomi, kedua akses masyarakat terhadap lembaga negara,
ketiga arena publik yang bersifat otonom dan keempat arena publik yang
terbuka bagi semua lapisan masyarakat.26 Dalam artian civil society
sebagai suatu ruang publik antara negara dan masyarakat, kekuasaan
negara dibatasi didalam ruang publik oleh partisipasi politik masyarakat
dalam rangka pembentukan kebijaksanaan publik. Dalam konteks ini
organisasi kemasyarakatan cukup potensial ikut menciptakan civil society
karena dengan peranannya yang mampu mengisi ruang publik.
Istilah “masyarakat sipil” sebagai terjemahan dari civil society digunakan
oleh Dr. Mansour Fakih.27 Meskipun dalam arti terjemahan lebih sesuai
tapi kelihatannya dalam arti makna tidak terlalu mengena karena
mengimplikasikan sebagai lawan dari masyarakat militer. Istilah
“masyarakat madani” sebagai alternatif istilah “masyarakat sipil” pertama
kali diperkenalkan oleh Anwar Ibrahim yang saat itu Timbalan P.M.
26 Affan Gafar. Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, Hal. 80
27 Mansour Fakih, Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial: Pergolakan Ideologi LSM Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000)
31
Malaysia, dalam Festival Istiqlal di Jakarta tahun 1995. M. Dawam
Rahardjo sepakat bahwa alih bahasa dan definisi yang tepat dari civil
society adalah masyarakat madani.28 Akan tetapi, M. AS. Hikam tetap
mempertahankan istilah aslinya karena pengertian masyarakat madani,
menurutnya, memiliki arti dan konteks yang sangat berbeda dengan civil
society.29 Istilah yang lebih netral, meskipun juga menimbulkan masalah
adalah “masyarakat warga” yang diajukan oleh Lembaga Etika Atmajaya
atau “masyarakat kewargaan” yang ditawarkan oleh AIPI (Asosiasi Ilmu
Politik Indonesia).30
Terlepas dari pembatasan dalam bentuk penggunaan istilah,
permasalahan mengenai masyarakat sipil senantiasa menyisakan
beberapa pertanyaan, yaitu pertama apakah organisasi politik, seperti
partai, tergolong sebagai masyarakat sipil? Dalam perspektif Tocqueville,
orgnisasi politik tidaklah termasuk dalam masyarakat sipil. Tocqueville
menawarkan spesifikasi sempit mengenai "masyarakat politik", yang
mengartikan masyarakat politik sebagai kegiatan penduduk karena terlibat
secara aktif dengan urusan pemerintahan dan kekuasaan. Dalam
pendekatan ini, masyarakat politik berbeda dengan masyarakat sipil,
hubungan pribadi antara warga dan asosiasi non-politik mereka. Antonio
Gramsci juga membuat perbedaan antara masyarakat politik dan
28 M. Dawam Raharjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial, (Jakarta: LP3ES dan LSAF, 1999), hlm. 133-173
29 Muhammad AS. Hikam, Demokrasi dan Civil Society, (Jakarta: LP3ES, 1999)
30 M. Ryaas Rasyid, Perkembangan Pemikiran tentang Masyarakat Kewargaan, Jurnal Ilmu Politik, No. 17, 1997.
32
masyarakat sipil. Oleh sebab itu, pertanyaan yang muncul kemudian
adalah apakah organisasi yang menyertakan asosiasi politik merupakan
bagian dari masyarakat sipil belum terjawab. Kedua, apakah organisasi
bisnis termasuk dalam masyarakat sipil? Dalam hal ini, Marx dan Adam
Smith dalam mengidentifikasikan masyarakat sipil mengaitkannya dengan
interaksi ekonomi melalui pasar. Tetapi dalam literatur terbaru, Cohen dan
Arato membedakan masyarakat sipil dari pasar dan dari negara. Jadi,
peran pasar dalam masyarakat sipil masih menjadi masalah yang belum
terpecahkan.31
Menurut pandangan Jimly Asshiddiqie, pasar (market), negara (state) dan
masyarakat sipil (civil society) diidealkan harus berjalan seiring dan
sejalan, sama-sama kuat, dan sama-sama saling mengendalikan satu
sama lain, tetapi tidak boleh saling mencampuri atau dicampuradukan.
Ketiga wilayah kekuasaan ini tumbuh seimbang, sama-sama kuat dan
saling pengaruh dan mempengaruhi satu sama lain dalam hubungan yang
fungsional dan simetris. Jika kekuasaan negara melampaui kekuatan
masyarakat (civil society) dan pasar (market), demokrasi dinilai tidak akan
tumbuh karena terlalu didikte dan dikendalikan oleh kekuasaan negara.
Jika kekuasaan pasar terlalu kuat, melampaui kekuatan ‘civil society’ dan
negara, berarti kekuatan uanglah atau kaum kapitalislah yang
menentukan segalanya dalam peri kehidupan bermasyarkat dan
bernegara. Tetapi jika kekuasaan yang domain adalah ‘civil society’,
31 Guo gong, Civil Society: Definitions, Causes, And Functions http://home.olemiss.edu/~gg/paperhtm/civlsoct.htm
33
sementara negara dan pasar lemah, maka yang akan terjadi adalah
‘chaos’, ‘messy’, ‘government less’, yang berkembang tanpa arah yang
jelas.32
D. ORGANISASI KEMASYARAKATAN
Selama ini pengertian ormas lebih dikenal sebagai organisasi massa,
sampai ditetapkannya UU No. 8 Tahun 1985 yang mengatur tentang
Organisasi Kemasyarakatan yang biasa disingkat juga sebagai ormas.
Padahal ada perbedaan prinsipil antara pengertian organisasi
kemasyarakatan dengan organisasi masyarakat, dan apalagi dengan
organisasi massa. Kata kemasyarakatan menunjuk kepada pengertian sifat
kemasyarakatan atau sifat kegiatan kemasyarakatan, sedangkan
masyarakat pada organisasi masyarakat menunjuk kepada pengertian
organisasi non-negara atau non-pemerintah, atau organisasi milik
masyarakat. Demikian pula yang dimaksud dengan organisasi massa,
adalah organisasi masyarakat dengan keanggotaan yang bersifat massal.
Arbi sanit mengemukakan klasifikasi organisasi masyarakat sebagaimana
tercantum pada tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi Organisasi masyarakat berdasar aspek kehidupan
Organisasi Masyarakat
Aspek Kehidupan Contoh
Organisasi Politik Mengacu kepada kekuasaan negara baik dalam rangka memperoleh
Partai Politik
32 Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008
34
manfaat darinya, maupun dalam rangka menguasainya
Organisasi Ekonomi
Mencari keuntungan materi berdasarkan tatacara berinteraksi yang didasarkan kepada perhitungan untung rugi
PT dan CV
Organisasi Sosial, Kebudayaan dan Agama
Memusatkan perhatian untuk merealisir dan melindungi kepentingan masyarakat tanpa mencari keuntungan materi untuk anggota dan organisasi tersebut dan bukan untuk memegang kendali atas kekuasaan negara
Organisasi sosial (masyarakat) seperti HMI, Yayasan Dian Desa; Organisasi kebudayaan seperti PARFI (Persatuan Artis Film Indonesia), HSBI (Himpunan Seniman Budayawan Indonesia); Organisasi agama seperti PGI (Persekutuan Gereja Indonesia), KWI (Konferensi Waligereja Indonesia) NU; dan lain-lain.
Keseluruhan organisasi yang berada dalam lingkungan aspek kehidupan
masih belum dapat membedakan mana yang berbasis organisasi
kemasyarakatan atau organisasi gerakan masyarakat dari antara
organisasi sosial, kebudayaan dan agama. Oleh karena itu perlu
menggunakan indikator yang dilihat dari keterlibatan masyarakat.
Organisasi masyarakat dan organisasi kemsyarakatan dapat dibedakan
antara sosial, budaya, dan agama yang melibatkan masyarakat secara dan
jauh melebihi batas formal organisasi dengan organisasi yang hanya
menyertakan masyarakat berdasarkan keterkaitan mereka kepada struktur
35
organisasi seperti keanggotan dalam organisasi. Selain itu dari sudut
keanggotaan, pada organisasi gerakan masyarakat, keanggotaan dipilih
secara cermat, karena mereka yang berada di dalam organisasi harus
bekerja secara teknis di dalam masyarakat luas, untuk menggerakkan
mereka kepada tujuan masyarakat yang sudah disusun oleh organisasi.
Jadi anggota yang terpilih itu adalah mereka yang mempunyai
kemampuan untuk menggerakkan masyarakat supaya berdikari mencapai
tujuannya (mengutamakan tingkat pengkaderan). Lain halnya pada
organisasi kemasyarakatan yang tidak membatasi jumlah anggota. Jumlah
anggota seringkali dijadikan sebagai pertimbangan utama untuk
menyatakan tingkat kekuatan atau kebesaran organisasi (menekankan
sifat massal).
Dalam perspektif tujuan, organisasi masyarakat lebih spesifik, jelas, dan
operasional dalam merumuskan tujuan organisasinya sehingga mudah
dikenali baik oleh anggota maupun oleh masyarakat yang hendak
digerakkan. Keperluannya ialah supaya tujuan tersebut menjadi kenyataan
dan dirasakan oleh masyarakat dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Sedangkan,tujuan organisasi kemasyarakatan biasanya diformulasikan
secara umum, bermakna luas dan mempesona, walaupun belum
operasional. Tujuan itu diharapkan dapat mencakup kalangan yang luas
dan selanjutnya anggota masyarakat luas yang dicakup tersebut
menyadari akan persatuan mereka.
36
Dari segi ideologi, kedua jenis organisasi memiliki persamaan untuk
menerima peranan ideologi di dalam kehidupannya. Perbedaannya adalah
pada organisasi gerakan masyarakat, ideologi dianggap sebagai gambaran
umum dari apa yang sebaiknya dicapai oleh organisasi dan sudah menjadi
tugas organisasi untuk merumuskan tujuan yang jelas dan bersifat
operasional tersebut. Namun, dalam organisasi kemasyarakatan ideologi
memegang peranan penting dalam mempertajam formulasi tujuan
organisasi, merekatkan semua anggota yang berjumlah besar,
memberikan identitas kepada semua anggota dan ideologi digunakan
untuk menuntut organisasi dalam memainkan peranannya terhadap
kehidupan politik.
Istilah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mulai populer sekitar tahun
1970-an sebagai pengganti istilah sebelumnya yaitu Organisasi Non
Pemerintah (ORNOP) yang merupakan terjemahan langsung dari istilah
bahasa Inggris Non Government Organization (NGO).33 Diperkirakan
istilah LSM lazim digunakan, beranjak dari rujukan yang dikemukakan Dr.
Sarino Mangunpranoto dalam pertemuan antar ORNOP di Ungaran, Jawa
33 Kajian mutakhir mengenai Ornop di Indonesia, misalnya adalah: Korten, Third Generation NGO Strategies: A Key to People-Centered Development, World Development, September 1987; Indeco de Unie, Laporan Studi tentang LSM, 1993; beberapa laporan CPSM/PERAN: 'Gerakan Transformasi Sosial Untuk Menegakkan Kedaulatan Rakyat di dalam Masyarakat Sipil yang Kokoh: Fajar Baru bagi Ornop, Januari 1994; Ornop Mencari Format Bant: Laporan Peitemuan Cisanta', Juli 1993; 'Laporan Kunjuugan Dialog lentang Visi, Masalab, Posisi dan Paradigma Ornop di Indonesia serta Upaya untuk mengalasinya, 1993; Eldridge, Non-Government Organisation and Democratic Participation in Indonesia, Kuala Lumpur, Oxford University Press, 1995; Fakih, Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial: Pergolakau Ideologi LSM Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,1996; Sedawan, Organisasi Non-Pemerintah dan Masyarakat Sipil, PRISMA, No.7 Tahun XXV, Juli 1996; Uhlin, Oposisi Berserak: Ants Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia, Bandung, Penerbit Mizan, 1998; Setiawan, Ornop dalam Gerakan Masyarakat Sipil: Analisis terhadap Riposisi Ornop Pasca Orde Baru, INFID, Jakarta, 1998 (tidak dipublikasikan).
37
Tengah pada tahun 1978. Dalam pertemuan tersebut diusulkan nama
pengganti ORNOP dengan sebutan Lembaga Pembinaan Swadaya
Masyarakat (LPSM) yang kemudian berubah menjadi Lembaga
Pengembangan Masyarakat (LPM) dan yang terakhir berubah menjadi
LSM.34 Perubahan istilah yang dilakukan dengan pertimbangan karena
timbulnya kesan dan anggapan negatif bahwa istilah ORNOP seakan-akan
sebagai lawan Pemerintah. Sedang dikalangan aktivisnya sendiri pada
waktu itu ada kesadaran bahwa gerakan mereka sendiri dilandasi dengan
satu misi positif yakni mengembangkan kemandirian dan membangun
keswadayaan.35
Oleh karena kegiatannya dipandang bermanfaat bagi masyarakat dan
keberadaannya tidak bisa dibaikan, dalam perkembangan LSM diformalkan
penggunaannya melalui Undang-Undang Nomor 4/1982 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Lingkungan Hidup, sebagaimana disebutkan
LSM berperan sebagai penunjang bagi pengelola lingkungan hidup yang
mencakup antara lain kelompok profesi, hobi dan minat. Karena dalam UU
tersebut mencakup pengertian LSM secara umum yang dapat menampung
seluruh ruang lingkup LSM yang meliputi bidang hukum, sosial
kemasyarakatan, pembangunan pedesaan, ekonomi, koperasi dan
sebagainya, kemudian pemerintah dalam hal ini Departemen Dalam
34 Tirta Nugraha Mursitama, Laporan Pengkajian Hukum Tentang Peran Dan Tanggungjawab Organisasi Kemasyarakatan Dalam Pemberdayaan Masyarakat, Pusat Penelitian Dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI Tahun 2011
35 Ibid.
38
Negeri membuat pengertian baru dalam rangka kebijakannya
sebagaimana tertuang dalam instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 8
tahun 1990 tentang Pembinaan LSM. Dalam peraturan ini LSM diartikan
sebagai dalah satu komponen kemasyarakatan yang bercirikan
keswadayaan, kemandirian dan kebersamaan dalam rangka meningkatkan
partisipasinya untuk mensukseskan Pembangunan Nasional.
Terminologi istilah dalam organisasi kemasyarakatan sangat beragam.
Dalam bahasa Inggris meliputi beberapa istilah yaitu voluntary
agencies/organisations, non-government organisation (NGO), private
voluntary organization (PVO), community (development) organization,
‘social action groups, non-party group, micro or people’s movement. Tidak
ada istilah tunggal yang mampu mencakup semua istilah tersebut dan
untuk membuka beberapa batasan dan pemisahan. Phillip Eldridge
mengemukakan bahwa:36
The term ‘non-government organisation’ is potentially open ended and could include groups whose composition is not necessarily targeted towards the poor and disadvantaged nor concerned specifically with their advancement or empowerment.
Dalam perspektif sejarah, NGO di dunia terbagi atas dua yaitu NGO di
Utara dan NGO di Selatan.37 Definisi Civil society organization (CSO),
Non-Governmental Organisation (NGO) atau Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), dalam UU Ormas tidak ditemukan. Bahkan istilah
36 Phillip Eldridge, NGOs In Indonesia: Popular Movement or Arm of Government?, (Victoria: The Centre of Southeast Asian Studies Monash University, 1989), hal. 3.
37 John Clark, NGO dan Pembangunan Demokrasi, Cet. I (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1995), hal. 37-43.
39
tersebut juga tidak dikenal. Namun kalau ditelusuri dari beberapa literatur
diperoleh kesamaan definisi antara ormas dengan CSO. Misalnya pendapat
yang disampaikan oleh Jeffrey Atkinson dan Martin Scurrah, dalam
bukunya Globalizing Social Justice, The Role of Non-Government
Organizations in Bringing about Social Change, mendefinisikan civil society
organization (CSO) sebagai organisasi yang beranggotakan warga
masyarakat yang memiliki kesamaan minat dan perhatian untuk secara
bersama-sama mewujudukannya. Mereka melakukan tindakan secara
formal dan informal, namun tidak untuk mendapatkan keuntungan.
Misalnya, serikat buruh, asosiasi konsumen, dll. Secara lengkap ia
mengatakan sebagai berikut:
“...organizations in which ordinary citizens come together to advance an interest or concern that they have in common, and about which they feel so strongly that they want to take collective action. They are formal and informal not-for-profit organizations, associations, networks and community groups, each with their own issue or area of concern. They include everything from labour unions and farmers’ cooperatives, through women’s groups, consumer associations and historic preservation groups, to professional or academic associations. They do not include government or business organizations.”38
Melengkapi pendapat di atas, Jonathan Garton dalam bukunya The
Regulation of Organised Civil Society, menjabarkan beberapa fungsi CSO
yaitu (a) market support; (b) the provision of public goods; (c) the
provision of private goods analogous to public goods; (d) the facilitation of
38 Jeffrey Atkinson and Martin Scurrah, Globalizing Social Justice The Role of Non-Government Organizations in Bringing about Social Change (England: Palgrave Macmillan, 2009), p. xii.
40
political action; (e) the provision of cultural services; (f) the facilitation of
self-determination; and finally (g) the facilitation of entrepreneurship.39
Sementara Non-government organization (NGO), menurut Jeffrey Atkinson
dan Martin Scurrah adalah, “a sub-set of CSOs. They are more formally
organized and constituted, usually self-governing, private, and not-for-
profit.”40
E. HUBUNGAN NEGARA DAN ORGANISASI MASYARAKAT
Relasi antara ormas dengan negara memiliki wajah yang tak tunggal.
Relasi banyak wajah tersebut, baik pada sifat maupun modelnya,
dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik dari eskalasi situasi negara,
dinamika internal organisasi masyarakat sipil, maupun konteks ruang dan
waktu relasi keduanya. Secara garis besar, cara pandang pakar terhadap
masyarakat sipil relasinya dengan negara dapat dikategorikan pada dua
golongan: pertama, yang menempatkan masyarakat sipil sebagai “the
other” bagi negara dan, kedua, mereka yang menempatkan masyarakat
39 Jonathan Garton, The Regulation of Organised Civil Society, Portland: Hart Publishing, 2009) hlm. 41.
40 Dalam bukunya, Jeffrey Atkinson and Martin Scurrah, menjelaskan NGO dalam kaitan dengan keadilan sosial yang perhatian utamanya adalah perbaikan kehidupan orang miskin, hak asasi manusia, atau perlindungan lingkungan. “Examples include environmental groups such as Friends of the Earth, aid and welfare organizations such as Oxfam or the Salvation Army, human rights organizations like Amnesty International, etc. NGOs provide services and/or undertake advocacy to promote particular causes or to bring about particular changes. They are usually governed by a board of trustees rather than by the elected representatives of a constituency, and typically receive a significant proportion of their income from voluntary donations. All NGOs are CSOs, but not all CSOs are NGOs. Representative groups such as labour unions or farmers’ associations that are the elected representatives of their constituencies would not normally be classed as NGOs. It is this issue of representation that differentiates them. Organizations of local people who have come together because of a shared problem or grievance are also CSOs but not NGOs”. Ibid., p. xii-xiii.
41
sebagai bagian tak tepisahkan dan keduanya terlibat dalam passionate
attachment.41
Clark mencatat bahwa organisasi masyarakat sipil progresif pasti
menjadikan pemerintah sebagai bagian dari masalah, sebab dikuasasi elit,
bias negara maju, korup dan anti pemberdayaan.42 Persepsi itu
menempatkan masyarakat sipil sebagai “mestinya berseberangan” dengan
pemerintah. Dalam cara pandang ini, ada tiga opsi pilihan: oposisi
terhadap pemerintahan, penyempurnaan, atau melakukan perubahan. Ada
tanda-tanda awal yang dapat dijadikan petunjuk sementara adanya tiga
cara bagaimana ormas memandang negara.43
Pertama, ormas yang menganut 'organic stateism' dan/atau 'corporate
stateism' adalah, (1) Ormas yang menganggap dirinya sebagai bagian
integral dari pemerintah dan (2) Ormas yang menganggap dirinya sebagai
mediator antara pemerintah dan masyarakat. Kelompok Ormas ini tidak
memberi perhatian pada demokrasi, karena dikuasai (ideologically occupied)
oleh developmentalisme dan tetap percaya pada 'bureaucratic polity', serta
tidak memiliki wawasan perubahan struktural dan bahkan juga pergeseran
kontrol dari sistem yang ada.
41 Halili, Tantangan Kontemporer Organisasi Masyarakat Sipil Dalam Gerakan Hak Asasi Manusia, CIVICS (Jurnal Kajian Kewarganegaraan) Volume 6, Nomor 1, Juni 2009
42 John Clark, 1995. NGO dan Pembangunan Demokrasi. Yogyakarta: Tiara Wacana
43 MM Billah, Perkembangan Ornop Di Indonesia, Pokok-pokok pikion yang disajikan pada seminar 'Wawasan lentang LSM Indonesia: Sejarah, Perkembangan dan Prospeknja' yang diselenggarakan oleh SMERU di Jakarta, 15 Agustus 2000.
42
Kedua, ormas yang menganut paham 'liberalist-pluralist' pada intinya
berpendapat bahwa masyarakat dibentuk oleh individu-individu yang
mengejar kepentingan ekonomi (pertumbuhan modal), sosial (status), dan
politik (power) mereka sendiri-sendiri. Negara diberi tugas berbeda, yaitu
(a) melindungi masyarakat dari kekerasan dan serbuan dari masyarakat
lain, (b) melindungi setiap anggota masyarakat dan ketidak-adilan dan
penindasan dari anggota lain, (c) melakukan dan memelihara pekerjaan
dan iembaga-lembaga publik yang ddak diiakukan oleh orang karena tidak
menguntungkan. Ormas ini menyebut dirinya sebagai 'pendamping rakyat"
yang berhadapan dengan negara. Kelompok Ornop ini berusaha mencari
dan menciptakan ruang bagi penyadaran sosial dan politik, analisa
struktural dan kepedulian tentang hak-hak dasar (HAM), dan demokrasi,
serta berinteraksi secara keras dengan pemerintah untuk mempengaruhi,
membujuk, dan bilamana perlu menantang dan melawan. Kelompok ini
menganggap dirinya mengemban misi untuk: (a) mcmbela rakyat yang
memperoleh perlakuan sewenang-wenang dan tidak adil dari negara, (b)
melakukan kontrol terhadap tindakan negara yang tidak demokratis,
melecehkan dan melanggar HAM, atau mendesak negara sampai ke titik di
mana 'negara hanya berperan seperlunya dan tidak berperan sejauh
mungkin'; (c) melakukan proses pemberdayaan masyarakat agar mampu
melindungi diri dari tindak kesewenang-wenangan negara, atau
mendorong (memfasilitasi, menyediakan peralatan bagi) rakyat untuk
mengambil peran (partisipasi) sejauh mungkin, dan memiliki akses
terhadap sumber-daya dan proses pengambilan keputusan sejauh
43
mungkin. Kelemahan Ornop ini, adalah bahwa demokradsasi yang
diiakukan dapat terjerumus ke dalam 'bias ideologi' karena perjuangannya
tidak diletakkan dalam perspektif perjuangan kelas tertindas, dan 'bias
kelas menengah' karena tidak menempatkan kelompok akir-rumput
sebagai basis gerakannya.
Ketiga, ormas radikal yang menyatakan bahwa negara adalah alat
kekuasaan dari kelas dominan untuk menindas, atau negara adalah alat
pemaksa (coercive instrument) dari kelas dominan. Negara pada awalnya
muncul sebagai satu alat paksaan yang diperlukan (a necessary means of
coercion) ketika terjadi pembagian kerja, dan pada gilirannya menjadi alat
penindasan (instrument of oppression) sampai dengan terbentuknya
masyarakat nir-kelas. Setelah pemilikan pribadi dihapus, dan perbedaan
kelas hilang, kebutuhan akan negara sebagai alat penindasan sudah tidak
ada lagi, sehingga pada tingkat ini negara tidak lagi diperlukan karena
pada dasarnya secara internal masyarakat bisa mengatur dirinya sendiri.
Masyarakat memiliki kapasitas otonom dan managemen yang non-
coercive untuk mengatur dirinya pandangan ini, sebagaimana telah
disebutkan, mengatakin bahwa negara dan masyarakat sipil adalah segi-
segi dari supra-struktur, sehingga saling berhadapan dalam kontradiksi.
Menurut kubu ini, Ornop haruslah 'menyatu dengan kelompok basis' dan
melakukan model pendekatan empowerment at the grass-roots. Kelompok
ini sangat menekankan 'peningkatan kesadaran' dan 'kepedulian akan
hak', melakukan kegiatan tatap muka secara informal mendorong gerakan
rakyat, dan kurang menggantungkan pada perubahan kebijaksanaan
44
pemerintah. Demokratisasi, dalam pandangan ormas ini, bukanlah
dilakukan dengan memperkuat masyarakat sipil, melainkan haruslah
secara tegas diletakkan di dalam perjuangan kelas yang tertindas untuk
membebaskannya.
45
BAB III
METODE PENELITIAN
A. JENIS PENELITIAN
Penelitian ini tergolong sebagai penelitian hukum normatif (normative law
research). Dengan mengacu pada pendapat Abdul Kadir Muhammad,
penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang menggunakan studi
kasus hukum normatif berupa produk hukum.44 Penelitian hukum normatif
fokus pada inventarisasi hukum positif, asas-asas dan doktrin hokum
dalam perkara in concreto, sistematik hukum, taraf sinkronisasi hukum,
perbandingan hukum dan sejarah hukum. Obyek penelitian ini adalah UU
Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat yang menjadi
materi pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 di Mahkamah
Konstitusi. Studi kasus yang menjadi perhatian penelitian ini merupakan
perkara yang telah diajukan para pemohon ke Mahkamah Konstitusi.
Kepaniteraan telah meregistrasi perkara judicial review UU nomor 17
tahun 2013 dengan nomor 82/PUU-XII/2013 dan 3/PUU-XIII/2014.
44 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet.1 (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004), Hal. 52
46
B. METODE PENDEKATAN
Dalam penelitian yuridis normatif, ada bebrapa pendekatan yang
digunakan.45 Pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum ini
adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan
pendekatan konsep (conceptual approach). Pendekatan perundang-
undangan (statute approach) dalam penelitian ini digunakan untuk
mengkaji UU nomor 17 tahun 2013 dan beberapa UU didalamnya
mengatur mengenai ormas, seperti UU nomor 39 tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, UU nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik, UU nomor
32 tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 16
tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana telah diubah dengan UU nomor
28 tahun 2004 dan Staatsblad 1870 No. 64 (Stb.1870-64) tentang
Perkumpulan. Sedangkan, pendekatan konseptual (conceptual approach)
digunakan untuk mengkaji konsep ormas serta konsep sejauh mana
kewenangan Negara dalam mengatur kehidupan hak berserikat dan
berkumpul warga negara didalam doktrin atau pendapat para pakar yang
diperoleh dari jurnal ilmiah maupun buku-buku.
C. SUMBER PENELITIAN HUKUM
Sumber data penulisan hukum ini diperoleh berdasarkan bahan hukum
primer, bahan hukum Sekunder dan bahan Hukum tersier, yang meliputi :
45 Peter Mahmud Marzuki.2009. Penelitian Hukum. Jakarta. Kencana : Hal.93
47
1. Bahan Hukum Primer berupa peraturan perundang undangan terkait
yakni Undang Undang Dasar 1945 dan UU nomor 17 tahun 2013
tentang Organisasi Masyarakat;
2. Bahan Hukum Sekunder meliputi semua publikasi tentang hukum
yang bukan dokumen resmi meliputi jurnal hukum, buku teks, dan
komentar atas putusan pengadilan. Bahan hukum sekunder dalam
penulisan hukum ini meliputi jurnal hukum, buku teks, dan artikel
ilmiah yang berkaitan dengan konsep ideal kebebasan berserikat dan
berkumpul bagi organisasi masyarakat.
D. METODE PENGUMPULAN DATA
Penulisan hukum ini merupakan jenis penelitian normatif sehingga teknik
pengumpulan bahan hukum menggunakan teknik studi pustaka. Setelah
mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminir hal-hal yang tidak relevan,
dilakukan pengumpulan bahan-bahan hukum yang dipandang mempunyai
relevansi dengan pokok bahasan46. Bahan hukum yang terkumpul
kemudian dibaca, dipelajari, dianalisis untuk mendapatkan pandangan
atas isu hukum yang diteliti.
46 Peter Mahmud, Op.Cit. hal. 171
48
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Sebagaimana telah diungkapkan diawal bahwa penelitian ini dimaksudkan
untuk mencari jawaban atas 2 (dua) permasalahan utama, yaitu:
1. Apa yang termasuk dalam lingkup organisasi kemasyarakatan? Apa
variabel yang dapat menjadi ukuran untuk mengkategorikan suatu
kelompok masyarakat sebagai ormas?
2. Bagaimana konstruksi hubungan ideal antara negara dan ormas,
dimana negara berwenang untuk mengatur ormas sekaligus
menjamin pelaksanaan kebebasan berserikat dan berkumpul?
Formulasi rumusan permasalahan ini disesuaikan dengan pemeriksaan
perkara konstitusional yang sedang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi
yang mengadili yaitu perkara nomor 82/PUU-XII/2013 dan 3/PUU-
XIII/2014.
Dalam perkara nomor yaitu perkara nomor 82/PUU-XII/2013 yang
diajukan oleh Pimpinan Pusat Persyarikatan Muhammadiyah, Pemohon
mengajukan pengujian Pasal 1 angka 1, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10, Pasal 11, Pasal 21, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 30 ayat
(2), Pasal 33 ayat (1) dan (2), Pasal 34 ayat (1), Pasal 35, Pasal 36, Pasal
38, Pasal 40 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), Pasal
49
57 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 58, dan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3)
huruf a dalam Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Organisasi
Kemasyarakatan.
Sedangkan, dalam perkara nomor 3/PUU-XIII/2014 yang diajukan oleh
beberapa badan hukum privat, seperti Yayasan FITRA Sumatera Utara,
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Perkumpulan
Indonesia Corruption Watch (ICW), Yayasan Penguatan Partisipasi Inisiatif
dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA), dan beberapa orang
warga negara Indonesia, meminta Mahkamah untuk menguji Pasal 1
angka 1, Pasal 1 angka 6, Pasal 5, Pasal 8, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 23,
Pasal 29 ayat (1), Pasal 42 ayat (2), Pasal 57 ayat (2) dan (3), serta Pasal
59 ayat (2) huruf b, c, dan e UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan.
Kedua perkara yang diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi tersebut secara
spesifik tidaklah identik. Terdapat Pasal-Pasal yang berbeda yang
dimintakan untuk diuji oleh masing-masing Pemohon. Meskipun demikian,
secara umum pertanyaan konstitusional yang diajukan oleh para Pemohon
adalah serupa yaitu mengenai :
1. Definisi organisasi kemasyarakatan
2. Sejauhmana negara dapat membatasi kebebasan berserikat yang
diwujudkan dalam mekanisme prosedural yang berkaitan dengan
ormas dari mulai pendirian, pendaftaran, konstitusi ormas,
50
pemberdayaan ormas, larangan-larangan hingga pembekuan atau
pembubaran ormas.
Sebelum membahas mengenai permaslahan utama penelitian tersebut,
perlu diungkapkan mengenai sejarah ormas dan peraturan perundang-
undangan yang pernah berlaku di Indonesia sebelum Undang-Undang
nomor 17 tahun 2013. Hal ini penting untuk memberikan gambaran
lengkap mengenai latar belakang hingga diberlakukannya Undang-Undang
nomor 17 tahun 2013 tersebut.
A. PERKEMBANGAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN
Pada kenyataannya di Indonesia, organisasi politik (orpol) dan ormas itu
mengalami perkembangan dalam hal fungsi. Pada masa-masa sebelum
kemerdekaan, arti maupun fungsi orpol itu belum jelas pembedaannya.
Hal ini dikarenakan bahwa ormas menjalankan fungsi sebagai orpol, pada
ketika yang lain orpol menjalankan fungsi sebagai ormas. Akibatnya fungsi
politik menjadi tidak jelas harus dilaksanakan organisasi yang mana,
konsekuensi lebih lanjut terjadi distabilitas politik secara menyeluruh.
Pada masa perjuangan kemerdekaan, sekalipun ormas seringkali menjadi
orpol, namun ormas menjadi lembaga binaan dan pendukung permanen
orpol yang dibentuknya. Pola hubungan ormas dengan orpol yang
dibentuknya. Pola hubungan ormas dengan orpol seperti itu hanya
bertahan selama lebih dari 50 tahun yaitu sejak awal tahun 1920-an
sampai akhir tahun 1960-an. Sejak 1800-1965, diketahui bahwa
51
pertumbuhan ormas mengalami pasang dan surut yang lebih banyak
ditentukan oleh pengaruh kekuasaan pemerintah.
Di awal pertumbuhannya sejak tahun 1908 sampai 1920, peningkatan
ormas yang tinggi dipengaruhi oleh perkembangan pegawai kolonial,
pertumbuhan industri dan perdagangan. Tapi dalam tahun 1920,
perkembangannya tertahan berkenaan adanya pengawasan pemerintah
kolonial yang dilatari oleh kekhawatiran mereka akan gerakan politik
rakyat secara terorganisir. Sehingga tidak dapat dibantah apabila
pengaruh kolonialisme Belanda merupakan salah satu pendorong
perkembangan ormas di Indonesia. Sehubungan dengan ormas yang
menjadi cikal bakal dari partai politik itu disebabkan Volksraad (Dewan
Rakyat) tidak berfungsi sebagai lembaga yang berinisiatif dalam
pembentukan partai politik di Indonesia. Misalnya Syarikat Islam terhadap
PSII, NU terhadap Partai NU, Studie Club Surabaya terhadap PNI.47
Di masa Jepang, ormas berkembang kembali dalam keterkaitannya
dengan keperluan Balatentara Jepang untuk menggerakkan keterlibatan
warga masyarakat ke dalam sistem pertahanan yang dibangunnya.
Sebelum Perang Dunia II dimulai, di Indonesia sudah berlangsung
kegiatan kepanduan dalam organisasi-organisasi kepanduan yang
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pergerakan nasional
pada waktu itu. Perhimpunan kepanduan bangsa Indonesia yang pertama
dibentuk adalah Jong Java Padvinderj (JJP), disusul oleh organisasi-
47 Arbi Sanit. Ormas dan Politik. Cet.I. Jakarta: Lembaga Studi Informasi Pembangunan, 1995. hal. 92-93 dan 129
52
organisasi lain seperti Hizbul Wathon, Sarekat Islam Afdeling Padvinderj
(SIAP), Surya Wirawan, dsb. Dalam masa pendudukan Jepang, semua
organisasi kepanduan dilarang oleh pemerintah pendudukan Jepang.
Kegiatan pemuda dan remaja disalurkan ke dalam organisasi-organisasi
bentukan Jepang seperti Seinendan dan Keibodan. Di Tahun 1950an
pertumbuhannya mencapai tingkat yang lebih tinggi sebagai impak dari
kebijaksanaan pemerintah dan keperluan partai politik yang menghendaki
keterlibatan seluas mungkin masyarakat di dalam proses politik, terutama
pemilu 1955. Namun, karena berbagai pembatasan yang dilaksanakan
oleh pemerintah di masa Demokrasi Terpimpin, maka pertumbuhan ormas
kembali menemui hambatan.
Pada era orde lama, kehidupan ormas ditandai dengan dua hal,48 yaitu
pertama, kedudukan dan peranan ormas tidak terlepas dari pengaruh
baying-bayang partai politik yang menaunginya. Dengan kata lain, ormas
adalah underbow partai politik yang ada. Karena partai politik yang ada
lebih berorientasi pada penggalangan massa, maka kedudukan ormas-
ormasnya sangat penting bagi eksistensi partai politik yang bersangkutan.
Tidak sedikit sebuah partai politik memiliki sejumlah ormas yang bergerak
di berbagai bidang kehidupan. Kedua, karena ormas berada di bawah
bayang-bayang partai politik, maka setiap ada pertarungan kepentingan
politik antar partai politik, ormas pun akan ikut terseret pula, sehingga
kompetisi yang kadangkala tidak sehat ini semakin memanaskan suhu
48 Kusnadi, “Kemandirian Ormas”, Organisasi Kemasyarakatan Kumpulan Kliping, Berita, Tajuk Rencana, Karangan/Artikel, (Jakarta: Bagian Dokumentasi dan Penerbitan Biro Dokumentasi dan Penerangan BP-7 Pusat, 1996), hal. 131
53
politik pada massa rakyat, yang dampaknya pun seringkali bersifat
negatif. Sebagai akibatnya fungsi politik menjadi tidak jelas harus
dilaksanakan dengan organisasi yang mana, akibat lebih lanjut terjadi
distabilitas politik secara menyeluruh. Secara legalistik, pengaturan ormas
pada orde lama ini hanya berdasarkan Staatblaad 1870 Nomor 64.
Pengaturan disamakan dengan bentuk badan hukum lainnya, jadi hanya
sebatas pengakuan keberadaan belum ada mengenai konsep batas-batas
pemberdayaan ormas dan pembinaan ormas secara khusus.
Pada masa Demokrasi Terpimpin terjadi perkembangan lain, yakni terjadi
penataan fungsi orpol dan ormas. Terdapat usaha meletakkan kembali
kedudukan ormas pada proporsi yang sebenarnya. Walaupun pada
prakteknya ternyata masih terdapat peristiwa-peristiwa politisasi ormas
oleh orpol.
Puncak dari kegiatan politik ormas di Indonesia tampaknya berawal dalam
Pemilu 1955 di mana partai-partai berusaha mengumpulkan pemilih
sebanyak mungkin, dan berakhir dengan pemilu 1971 dengan
dilaksanakannya kebijaksanaan politik massa mengambang. Setelah itu
ormas mencoba mencari pola kehidupan baru dengan menegakkan
kemandirian. Artinya menjaga jarak dengan organisasi politik pemerintah
di satu pihak dan di pihak lain tidak lagi terikat kepada partai. Contohnya:
Muhammadiyah, HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PMKRI (Perhimpunan
Mahasiswa Katholik Republik Indonesia) dan lain-lain. Timpang tindih
(overlaping) fungsi politik antara ormas dan orpol tersebut dijernihkan
54
oleh orde baru yang bertekad untuk mengadakan penyederhanaan
mekanisme maupun penyederhanaan mekanisme maupun struktur politik
melalui usaha-usaha konstitusional. Salah satu bentuk usaha
konstitusional itu adalah dikeluarkannnya Ketetapan MPRS No.
XXII/MPRS/1966 tentang Kepartaian, Keormasan dan Kekaryaan. Usaha
dilanjutkan terus dengan tekad untuk melaksanakan penyederhanaan
kepartaian dan penataan ormas-ormas. Produk yuridis yang kemudian
dihasilkan dari usaha konstitusional ini adalah dikeluarkannya Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya.
Sementara itu usaha penataan ormas-ormas yang sudah dirintis sejak
tahun 1966 terus diupayakan. Upaya penataan ormas oleh Pemerintah
pada orde baru kemudian menimbulkan gagasan Pancasila sebagai satu-
satunya asas.
Untuk memuluskan politik Orde Baru, pertengahan dasawarsa 1980-an,
pemerintah telah mengusulkan kepada DPR untuk meloloskan lima paket
perundang-undangan tentang kehidupan politik nasional yaitu:
1. Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (UU No. 1 Tahun 1985)
2. Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan
DPRD (UU No. 2 Tahun 1985)
3. Undang-Undang tentang Partai Politik dan Golongan Karya (UU No.
3 Tahun 1985)
4. Undang-Undang tentang Referendum (UU No. 5 Tahun 1985)
5. Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU No. 8
Tahun 1985).
55
Tujuan dari keseluruhan UU Pembangunan politik 1985 ialah
memantapkan stabilitas politik yang dianggap sebagai prakondisi bagi
perjalanan dan pertumbuhan sektor-sektor pembangunan lainnya. UU
Ormas pada dasarnya beranjak dari TAP No. II/MPR/1983 yang
menetapkan kepada semua organisasi masyarakat baik yang bergerak di
bidang sosial ekonomi, untuk hanya menggunakan Pancasila sebagai asas
kehidupan berorganisasi. Kesatuan asas dianggap sebagai upaya terakhir
yang paling mendasar untuk meredam konflik dan sosial yang mewarnai
sistem politik sebelum orde baru. Kesatuan asas diperkirakan mampu
menggeser persaingan dan konflik yang bersifat fundamental yang
sifatnya pragmatis dan praktis karena orang tidak lagi berbeda atas
ideologi akan tetapi atas cara dan teknik pencapaian ideologi yang
biasanya disebut program. Karena perbedaan program lebih mudah
dikompromikan daripada perbedaan asas, sehingga konhflik dapat
dihindari atau diselesaikan lebih mudah. Proses pencegahan dan
penyelesaian perbedaan inilah yang dianggap dapat menciptakan stabilitas
politik.
Pada tanggal 9 Maret 1983, secara konstitusional Pancasila sebagai satu-
satunya asas bagi organisasi kekuatan sosial politik (Partai Politik dan
Golongan Karya), ketika itu seluruh Bangsa Indonesia melalui wakil-
wakilnya dalam Lembaga Tertinggi Negara MPR menetapkannya
sebagaimana tertuang dalam Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1983 tentang
Garis-Garis Besar Haluan Negara. Dalam rangka meningkatkan peranan
organisasi profesi dan fungsional terutama dalam rangka pembangunan
56
nasional, maka MPR telah mengambil suatu keputusan sebagai berikut
dalam Bab IV Ketetapan MPR disebutkan:
Dalam rangka meningkatkan peranan organisasi-organisasi kemasyarakatan dalam Pembangunan Nasional sesuai dengan bidang kegiatan profesi dan fungsionalnya masing-masing maka perlu ditingkatkan usaha memantapkan dan menata organisasi-organisasi tersebut. Untuk itu perlu disusun Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan
Hakekat penyusunan Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan
tersebut merupakan wahana untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan
nasional, memantapkan ketahanan nasional, mendorong serta
meningkatkan perta serta masyarakat dalam pembangunan disamping
untuk mewujudkan kebebasan berserikat dan berkumpul. Dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi
Kemasyarakatan (UU Ormas) maka dapat terlihat jelas tentang arti dan
fungsi daripada ormas-ormas yang keduanya tetap hidup dalam wadah
yang satu yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Baik ormas maupun orpol juga
bergerak dalam lingkup yang sama dan satu, yaitu masyarakat Indonesia
yang telah memiliki pandangan hidupnya sendiri yaitu Pancasila.
Pengertian ormas dalam Pasal 1 UU Ormas yaitu:
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan Organisasi Kemasyarakatan adalah organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat Warganegara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk berperanserta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
57
Bentuk organisasi masyarakat sipil banyak sekali berbentuk organisasi
kemasyarakatan atau sering disebut dengan ormas yang lebih lanjut diatur
dalam UU No. 8 Tahun 1985. Ormas merupakan lembaga
nonpemerintahan yang keberadaannya sangat diperlukan dalam sebuah
negara demokrasi dan berfungsi sebagai salah satu wadah untuk
menyalurkan pendapat dan pikiran anggota masyarakat warga negara
Republik Indonesia dalam meningkatkan keikutsertannya secara aktif guna
mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Pemerintah memandang
Ormas sebagai organisasi yang dibentuk anggota masyarakat secara
sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Menurut Kelompok Petisi 50 sebagai salah satu pengamat kritis
berpendapat terhadap lima paket perundang-undangan tersebut yang
kurang demokratis yang solusinya adalah dengan memulihkan kembali
kedaulatan rakyat, atau dengan kata lain mendemokratiasasikan
kehidupan politik nasional. Pokok Pikiran Kelompok Petisi 50 tentang
“Organisasi Kemasyarakatan” adalah:49
1. Salah satu syarat adanya kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan yang demokratis ialah hidup dan bertumbuhnya Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).
2. Ormas merupakan manifestasi pelaksanaan hak-hak asasi manusia dan hak-hak dasar warga negara, yaitu hak-hak demokratis yang ditegaskan pada Pasal 28 UUD 1945: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”
49 Herman Hidayat, “Sistem Politik Orde Baru Menuju Kepudaran”, Krisis Masa Kini dan Orde Baru, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), hal. 200-202.
58
3. Ormas berfungsi untuk menampung dan menyalurkan aspirasi anggota-anggota atau kelompok masyarakat serta dapat mendorong berlangsungnya proses demokrasi termasuk kontrol sosial. Fungsi ini dilakukan dalam karakteristik sebagai kekuatan moral (moral force), tidak terlibat langsung dalam usaha mendapatkan kekuasaan politik.
4. Ormas bersifat independen dalam arti tidak memiliki hubungan kepentingan dengan kekuasaan politik baik dengan pemerintah politik, maupun dengan kekuatan sosial politik yang langsung terlibat dalam proses “power sharing”. Ormas tidak memiliki hubungan struktural dengan organisasi sosial-politik.
5. Ormas bebas dari campur tangan dan pengaruh pemerintah, sepanjang tidak mengganggu ketentraman umum.
Pada masa Orde Baru, masyarakat sipil hadir sebagai penentang terhadap
kekuatan hegemoni negara dan ekonomi yang menjadikan rakyat sebagai
obyek kekuasaan.Pada masa ini, organisasi masyarakat sipil dianggap
sebagai “lawan” dan eksistensinya dianggap mengamcam kekuasaan
negara.Oleh karenya, Orde Baru merespon keberadaan organisasi
masyarakat sipil dengan melakukan pembatasan dan pembungkaman
terhadap suara-suara kritisnya. Pada masa itu pula, negara tidak hanya
melakukan kooptasi pada struktur organisasi tetapi juga pada fungsi dan
pengendalian internal yang menjadi wilayah pengaturan internal
organisasi masyarakat sipil itu sendiri. Lahirnya UU No. 8 Tahun 1985
tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) tidak terlepas dari
kepentingan rezim Orde Baru untuk mengkonsolidasikan kekuasaan dan
mengontrol kehidupan sosial politik masyarakat. Bagi rezim Orde Baru,
masyarakat sipil pada satu sisi memiliki potensi untuk mengkonsolidasikan
kekuasaannya. Namun pada sisi yang lain berpotensi menghalangi dan
bahkan menentang kekuasaannya. Oleh karenanya rezim Orde Baru
59
menyusun aturan untuk memudahkan melakukan kontrol eksistensi dan
perannya. UU No 8 Tahun 1985 lahir dengan semangat mengontrol dan
merepresi dinamika organisasi masyarakat. Bentuk Ormas sendiri adalah
(bentuk) yang sebetulnya tidak memiliki tempat dalam kerangka hukum di
Indonesia, namun dipaksakan karena kebutuhan rezim Orde Baru untuk
menerapkan konsep “wadah tunggal” nya. Konsep wadah tunggal ini
bermaksud untuk melokalisir satu kelompok yang dianggap sejenis dalam
satu wadah yang “sah” sehingga mudah dikontrol karena nantinya hanya
akan ada satu wadah untuk setiap jenis kelompok. Selain itu, UU Ormas
juga memuat ancaman pembekuan dan pembubaran yang represif tanpa
mensyaratkan proses pengadilan yang adil dan berimbang.
B. KONSTITUSIONALITAS DEFINISI ORGANISASI
KEMASYARAKATAN MENURUT UNDANG-UNDANG ORMAS
Pasal 1 Angka 1 UU No. 17 tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan (Ormas), dikatakan bahwa
“Organisasi Kemasyarakatan yang selanjutnya disebut Ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.”
Bandingkan dengan pengertian ormas dalam Pasal 1 UU nomor 8 tahun
1985, yaitu:
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan Organisasi Kemasyarakatan adalah organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat Warganegara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan
60
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk berperanserta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
Pengertian dalam kedua UU ormas ini diformulasikan secara umum dan
tidak spesifik. Disatu sisi, pendefinisian dimaksudkan untuk memberikan
batasan-batasan dari suatu istilah, akan tetapi bila pendefinisian tersebut
dikonstruksikan secara umum maka yang terjadi adalah memasukkan
semua hal dalam wadah yang sama, padahal hal-hal tersebut mesti
dikelompok-kelompokkan. Segala organisasi, selain partai politik masuk
dalam organisasi kemasyarakatan bila mendasarkan pada pengertian yang
dirumuskan Pasal 1 angka 1 UU ormas. Dari organisasi berdasarkan minat
olahraga, seni/budaya, profesi (advokat, notaris, dokter, wartawan, dll),
hobi, keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, sosial, kepemudaan dan
sebagainya (Pasal 7, ayat 2 RUU Ormas). Apa pun istilah lain bagi ormas
itu (lembaga swadaya masyarakat, organisasi non-pemerintah, dan
organisasi sosial, RUU Ormas memang serba mencakup. Padahal semua
pemilihan istilah tersebut tentunya memiliki alasan dan sudut pandang
tertentu. Menjadi sebuah kompleksitas tersendiri jika kita mencoba
mendefinisikan masing-masing istilah di atas tanpa tolak ukur yang
jelas.Apa yang dimaksud dengan LSM?Apa bedanya dengan Ornop/NGO?
Kenapa pula ada yang disebut dengan Organisasi masyarakat sipil (civil
society organisation)? Kesimpangsiuran terjadi diakibatkan karena istilah-
istilah tersebut (LSM, Ornop/NGO, dll) sesungguhnya adalah istilah-istilah
yang berada pada wilayah praktis sehingga pemaknaan maupun perspektif
61
terhadap masing-masing istilah sangat bergantung pandangan para pihak
kepada organisasi yang bersangkutan.
Pengaturan oleh negara terhadap aneka bentuk dan jenis organisasi
tersebut, perlu diperhatikan pentingnya (i) prinsip pemisahan (decoupling)
antar ranah negara, masyarakat, dan dunia usaha itu, (ii) prinsip “legal
and constitutional organization”, (iii) prinsip “good governance”, dan (iv)
kebutuhan akan “organizational empowerment” dalam rangka (v)
perwujudan prinsip “freedom of association” yang (vi) tetap menjamin,
mencerminkan, dan tidak mengurangi arti dari prinsip-prinsip kebebasan
berkeyakinan, kebebasan berpikir, dan kebebasan berpendapat (freedom
of belief, freedom of thought, and freedom of expression).50
Organisasi dalam lingkungan kemasyarakatan dapat dibedakan antara
persekutuan orang dan persekutuan kekayaan itu. Bahkan, organisasi
kemasyarakatan ada pula yang merupakan pesekutuan organisasi atau
institusi, seperti badan kerjasama perguruan tinggi, dan sebagainya. Yang
termasuk organisasi kemasyarakatan dengan kategori persekutuan
kekayaan adalah:
a) Yayasan yang diatur berdasarkan UU No. 28 Tahun 2004 tentang
Yayasan;
b) Badan wakaf yang diatur berdasarkan UU tentang Wakaf.
50 Jimly Asshiddiqie, “Mengatur Kebebasan Berserikat Dalam Undang-Undang”, http://jimlyschool.com/read/analisis/274/mengatur-kebebasan-berserikat-dalam-undangundang/
62
Sedangkan organisasi kemasyarakatan atau organisasi masyarakat dengan
kategori persekutuan organisasi dapat terdiri atas organisasi-organisasi
berbadan hukum atau organisasi bukan berbadan hukum. Sementara itu,
organisasi kemasyarakatan yang termasuk kategori persekutuan orang
adalah:
a) Partai Politik yang diatur dengan UU tentang Partai Politik;
b) Perkumpulan (Vereeniging) berbadan hukum yang diatur
berdasarkan Staatsblad 1870 No. 64;
c) Lembaga Swadaya Masyarakat yang diatur berdasarkan UU
Lingkungan Hidup Tahun 1982; dan
d) Organisasi Kemasyarakatan yang diatur berdasarkan UU No. 8 Tahun
1985.
Di samping itu, di pelbagai bidang kegiatan partisipasi masyarakat yang
terkait dengan kegiatan instansi-instansi pemerintahan, terdapat pula
berbagai macam organisasi yang diatur tersendiri instansi yang
bersangkutan. Misalnya, organisasi masyarakat penyelenggara dakwah
keagamaan, pendidikan, kesehatan, sosial, lingkungan hidup, dan
sebagainya. Kesemua jenis organisasi dimaksud dirangkumkan
pengaturannya oleh UU No. 8 Tahun 1985 yang bersifat mencakup.
Kesemua jenis dan macam-macam organisasi tersebut, perlu dibuat
kategorisasi dan klasifikasi agar dapat dipahami dengan jenis factor-faktor
pembedanya satu dengan yang lain.
Untuk itu, kategorisasi dimaksud dapat dibedakan antara (1) status badan
hukum dan bukan badan hukumnya dan (2) kategorinya sebagai
63
persekutuan orang atau persekutuan kekayaan. Di samping itu,
kategorisasi dapat pula dilihat dari (3) susunan organisasinya yang
bersifat massal atau merupakan sistem unit. Jika keanggotaan bersifat
massal, maka organisasi itu biasanya disebut sebagai organisasi massa
dengan susunan yang terdiri atas cabang-cabang dan ranting, seperti
Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah. Sedangkan keanggotaan organisasi
unit tidak bersifat massal, melainkan terbatas, sehingga struktur
organisasinya hanya sebagai 1 unit organisasi, tidak memiliki cabang di
daerah-daerah, melainkan hanya kantor perwakilan saja. Selain itu,
organisasi kemasyarakatan dapat pula dibedakan dari (4) lingkup
kegiatannya yang bersifat umum atau bersifat khusus menurut bidang-
bidang tertentu saja, misalnya hanya di bidang pendidikan, atau
kesehatan saja. Dalam praktik, ada organisasi dengan keangotaan yang
bersifat massal dan dengan kegiatan yang bersifat umum, mencakup
semua bidang yang sangat luas, seperti organisasi Nahdhatul Ulama dan
Muhammadiyah tersebut di atas. Perbedaan-perbedaan tersebut
seharusnya diatur secara berbeda-beda satu dengan yang lain atau
setidaknya beberapa di antaranya diatur berbeda. Demikian pula untuk
memudahkan pemahaman, penamaan pelbagai jenis organisasi itu juga
dapat dibedakan.
Organisasi yang mencerminkan atau pelembagaan prinsip kemerdekaan
berserikat dapat terbentuk sebagai badan hukum (rechtspersoon).
Namun, tidak semua organisasi memerlukan status badan hukum. Jika
organisasi tersebut tidak menyangkut kepentingan umum atau berkenaan
64
urusan masyarakat luas, sangat mungkin organisasi itu tidak memerlukan
status yang ketat sebagai badan hukum (rechtspersoon). Namun,
organisasi yang tidak berbadan hukum ini ada juga yang kegiatannya
berkaitan dengan kepentingan umum atau berhubungan dengan program-
program pemerintah sehingga memerlukan pengaturan dengan undang-
undang.
Organisasi yang berstatus badan hukum tentu berbeda dari organisasi
yang bukan badan hukum. Dengan status badan hukum itu, organisasi
yang bersangkutan dapat bertindak sebagai subjek yang otonom atau
penuh dalam lalu lintas hukum. Badan hukum organisasi menyandang hak
dan kewajiban dalam lalu lintas hukum. Misalnya, organisasi badan hukum
dapat diberi hak-hak (i) untuk memiliki rekening bank atas nama
organisasi, (ii) untuk memiliki saham atau surat-surat berharga lainnya
atas nama organisasi, (iii) untuk memiliki harta bergerak dan tidak
bergerak, khususnya (iv) hak atas tanah atas nama organisasi. Organisasi
yang tidak berbadan hukum tidak dapat memiliki semua hak-hak yang
dapat diberikan kepada organisasi berbadan hukum tersebut.
Status badan hukum itu sendiri harus ditetapkan secara resmi melalui
pendaftaran di instansi pemerintah. Terkait hal itu, perlu dibedakan antara
(i) registrasi status badan hukum dan (ii) registrasi atau izin operasional
kegiatan, dan (iii) standarisasi dan akreditasi dalam rangka pembinaan
mutu. Registrasi badan hukum harus tersentralisasi dalam sistem
administrasi hukum Kementerian Hukum dan HAM. Sedangkan registrasi
65
atau izin operasional kegiatan dapat ditentukan dikaitkan dengan
kementerian yang bertanggungjawab dalam bidang kegiatan yang
bersangkutan. Misalnya, kegiatan organisasi di bidang pendidikan harus
terdaftar di atau memiliki izin operasional dari Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, organisasi keagamaan harus terdaftar di atau
mendapatkan izin operasional dari Kementerian Agama, organisasi social
harus terdaftar di atau diberi izin operasional dari Kementerian Sosial, dan
sebagainya. Oleh karena itu, tidak perlu diadakan pengaturan yang
menentukan harus adanya pendaftaran di Kementerian Dalam Negeri,
kecuali untuk organisasi asing yang beroperasi di Indonesia dan organisasi
warga negara asing yang ada di Indonesia yang harus diawasi oleh
kementerian yang bertanggungjawab untuk urusan pengawasan orang
asing.
Di samping itu, dapat dipersoalkan, setelah organisasi tersebut
mendapatkan status badan hukum, apakah kepadanya masih harus
dikenakan ketentuan untuk mendapatkan izin operasional untuk
melakukan sesuatu kegiatan? Ketentuan mengenai perizinan didasarkan
atas premis bahwa kegiatan yang bersangkutan pada dasarnya dilarang,
kecuali apabila telah mendapatkan izin untuk dilakukan. Padahal, (i) pada
dasarnya setiap orang berhak untuk bebas berorganisasi atau berserikat,
dan (ii) organisasinya itu sendiri, apalagi misalnya, telah didaftarkan
secara resmi dan mendapatkan status badan hukum sebagaimana
mestinya, juga harus dipandang memiliki kebebasan untuk mengadakan
kegiatan yang tidak melanggar hukum. Untuk apa lagi organisasi itu
66
diharuskan mendapatkan izin operasional? Bukankah baginya cukup
ditentukan harus mendaftarkan diri pada instansi pemerintah yang
membina bidang kegiatan yang bersangkutan, sehingga organisasi yang
bersangkutan dapat mengikuti pelbagai ketentuan yang berlaku di
lingkungan instansi yang bersangkutan, termasuk untuk kepentingan
standarisasi dan akreditasi. Jika organisasi yang bersangkutan ternyata
melakukan pelanggaran, bukan kah atas dasar itu, statusnya sebagai
badan hukum dapat dipersoalkan sebagaimana mestinya? Karena
sebenarnya, kepada semua organisasi berbadan hukum seharusnya dapat
ditentukan cukup memastikan (i) terdaftar sebagai badan hukum, (ii)
terdaftar sebagai penyelenggara kegiatan tertentu di lingkungan
kementerian negara yang bersangkutan, dan (iii) diakreditasi oleh instansi
pemerintah yang bersangkutan untuk kepentingan pembinaan mutu.
Badan Hukum Perkumpulan
Pengaturan mengenai badan hukum perkumpulan, sampai saat ini masih
menggunkan produk kolonial Belanda, yaitu pada Bab IX Pasal 1653
sampai Pasal 1665 KUHPerdata, Staatsblad 1870-64 tentang Kedudukan
Badan Hukum dari Perkumpulan (Rechtspersoonlijkheid van
Vereenigingen) dan Staatsblad 1939-570 jo 717 tentang Perkumpulan
Indonesia (Inlandsche Vereeniging). Dengan mengacu pada aturan
tersebut, maka dikenal ketentuan perundang-undangan mengenai
Perkumpulan yang berlaku bagi golongan Eropa dan Timur Asing
67
(KUHPerd dan Staatsblad 1970-64) dan Perkumpulan yang berlaku bagi
golongan Pribumi (Staatsblad 1939-570 jo 717).51
Menurut konsideran dari Staatsblad 1939-570 jo 717 Perkumpulan
Indonesia merupakan perkumpulan yang anggota-anggotanya hanya
terdiri dari orang-orang dari golongan Pribumi, mengatur secara
menyimpang dari Hukum Adat sekadar perlu untuk memenuhi kebutuhuan
sosial dan kepentingan umum dari masyarakat golongan Pribumi. Apabila
ada orang pribumi menjadi anggota perkumpulan menurut Staatsblad
1870-64, maka hak dan kewajiban dari orang Pribumi itu akan tunduk
pada Staatsblad 1870-64, demikian Bepaling vereniging op Indonesiërs
toepasselijk (Staatsblad 1904-272).52
Bab kesembilan Buku Ketiga Tentang Perkumpulan yang merupakan
terjemahan dari Van zedelijke ligchamen dianggap seolah-olah orang
selaku pembawa hak dan kewajiban dalam masyarakat, merupakan badan
hukum, demikian pula halnya dengan Staatsblad 1870-64. Di dalam
pertimbangan Staatsblad tersebut dinyatakan, bahwa agar sesuai dengan
ketentuan umum dari Pasal 75 Reglement op het Beleid der Regering van
Ned-Indië mengubah dan menambah Pasal 1653 dan berikutnya dari
KUHPerdata. Oleh Pasal 1653 KUHPerdata disebutkan adanya disamping
51http://ipkcenter.org/source/repo/ipkc%20dari%20tesalonika%20%20partners/naskah20akademis20ruu20tentang20perkumpulan202011.pdf
52 Ibid., hlm. 7. Staatsblad 1870 No. 64 (“Stb.1870-64“) yang kemudian disempurnakan dengan Staatsblad 1939 No. 570 mengenai Perkumpulan Indonesia (Inlandsche Vereniging) (“Stb. 1939-570″) yang pada awalnya hanya berlaku untuk daerah Jawa Madura saja. Kemudian berdasarkan Staatsblad 1942 No. 13 jo No. 14 (“Stb. 1942-13 jo 14″), http://www.tiaranusa.com/Perkumpulan-Information.pdf, diakses pada 8 Oktober 2014.
68
perseroan yang sejati (eigenlijke maatschap) diakui pula empat
perhimpunan-perhimpunan orang (vereenigingen van persoonen) sebagai
perkumpulan-perkumpulan (zedelijke ligchamen):53
1. Perkumpulan yang didirikan oleh kekuasaan umum (op openbaar
gezag ingesteld), didirikan oleh Pemerintah seperti Propinsi,
Kota/Kabupaten),
2. Perkumpulan yang diakui (erkend, misalnya badan keagamaan
Kristen atau Kerkgenootschappen),
3. Perkumpulan yang diizinkan sebagai diperbolehkan (geoorloofd
toegelaten),
4. Perkumpulan yang didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak
berlawanan dengan undang-undang atau kesusilaan (perkumpulan
didirikan oleh swasta).
Dari kalimat pertama Pasal 8 Staatsblad 1870-64 dapat diketahui adanya
perkumpulan yang tidak berbadan hukum. Sudah sejak dahulu kala
dibutuhkan pengertian dan pengaturan perundang-undangan tentang
badan hukum, yakni badan yang disamping orang juga dianggap dapat
melakukan tindakan hukum, mempunyai hak serta kewajiban, Timbullah
beberapa teori mengenai badan hukum, sehingga diperlukan ketegasan
perkumpulan orang atau kumpulan uang yang mana dapat dianggap
sebagai badan hukum.54
53 Ibid., hlm. 8
54 Ibid., hlm. 9
69
Perkumpulan terus mengalami perkembangan di Indonesia, sedangkan
aturan hukumnya masih merujuk pada Burgerlijk Wetboek (BW) untuk
Indonesia atau KUHPerdata dan Staatblad, yang keduanya merupakan
produk hukum Kolonial. Pencantuman ketentuan Perkumpulan dalam
KUHPerdata, Buku Ketiga tentang Hukum Perikatan ini menunjukkan
bahwa Perkumpulan adalah suatu bentuk persekutuan yang terdiri dari
dua orang atau lebih untuk mengikatkan diri pada ketentuan tertentu.
Pendirian Perkumpulan seyogyanya digolongkan pada tindakan hukum
berganda yang bukan merupakan perjanjian yang menimbulkan perikatan.
Perkumpulan yang merupakan terjemahan dari zedelijke ligchamen dalam
KUHPerdata ini adalah berbeda dengan persekutuan yang disebut sebagai
Perseroan (yang merupakan terjemahan dari maatschap), di mana
Perseroan dimaksudkan sebagai persekutuan antara dua orang atau lebih
dalam melakukan suatu usaha untuk memperoleh dan membagi
keuntungan (laba), sedangkan Perkumpulan tidak berorientasi pada
keuntungan (nirlaba).55
Perkumpulan yang diatur dalam Staatblad 1870-64, memberikan
ketentuan status badan hukum bagi suatu perkumpulan. Staatblad ini
menerjemahkan perkumpulan dari kata rechtspersoonlijkheid van
vereenigingen. Aturan inilah yang hingga kini masih berlaku dan dalam
prakteknya sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan perkumpulan-
perkumpulan di Indonesia. Apalagi, Perkumpulan sebagaimana dimaksud
55 Ibid., hlm. 9
70
oleh KUHPerdata dan Staatblad (yang masih mengandung definisi secara
luas, baik badan hukum, maupun bukan badan hukum, yang berorientasi
pada laba maupun nirlaba) secara parsial telah diatur dalam berbagai
Undang-Undang.56 Hal inilah yang mendasari pemerintah berinisitif
mengajukan RUU Perkumpulan dan sudah masuk dalam Prolegnas 2010-
2014, meskipun belum disahkan. Dan, tergeser dengan pengesahaan RUU
Ormas.57
Dari draft RUU yang beredar saat ini, RUU Perkumpulan terdiri dari 13
(tiga belas) Bab dan 75 (tujuh puluh lima) pasal. Di dalam Bab Ketentuan
Umum dinyatakan pengertian perkumpulan yaitu badan hukum yang
merupakan kumpulan orang, didirikan untuk mewujudkan kesamaan
kesamaan maksud dan tujuan tertentu sesuai dengan yang dicita-citakan
oleh para anggotanya, dan tidak membagikan keuntungan kepada
anggotanya dan organ perkumpulan. Orang adalah orang perseorangan
56 Ibid.
57 RUU Perkumpulan Tergeser Revisi UU Ormas,
http://jaringnews.com/politik-peristiwa/umum/3896/ruu-perkumpulan-tergeser-revisi-uu-ormas, diakses pada tanggal 1 Oktober 2014.
71
atau badan hukum sementara Organ perkumpulan terdiri dari: a. Rapat
Umum Anggota; Badan Pengurus dan; Badan Pengawas.58
RUU ini juga mengatur mengenai kegiatan yang dilakukan Perkumpulan,
yaitu harus sesuai maksud dan tujuan dan tidak bertentangan ketertiban
umum, kesusilaan dan/atau ketentuan peraturan peraturan
perundangundangan lain. Selain itu, penyertaan Perkumpulan dalam
badan usaha yang tidak selaras dengan kegiatan perkumpulan paling
banyak 25 % dari seluruh nilai kekayaan perkumpulan dan tidak melebihi
10%dari modal badan usaha.
RUU Perkumpulan juga mengatur mengenai Persyaratan Pendirian
Perkumpulan yaitu paling sedikit didirikan oleh 20 (dua puluh) orang
perseorangan atau paling sedikit 2 (dua) badan hukum, menyertakan akta
notaris dalam bahasa Indonesia atau berdasarkan kesepakatan semua
pendiri dalam notula rapat dibawah tangan yang kemudian dinyatakan
dengan akta notaris.
Selain memuat syarat pendirian, RUU Perkumpulan juga mengatur
mengenai Angaran Dasar yang memuat sekurang-kurangnya: a. nama dan
tempat kedudukan Perkumpulan, dengan catatan nama tidak boleh sama
dengan perkumpulan lain atau bertentangan dengan ketertiban umum
dan/atau kesusilaan. Sedangkan tempat kedudukan harus dijelaskan di di
daerah Kabupaten atau Kota; b. maksud dan tujuan; c. kegiatan untuk
58RatnawatiW. Prasodjo, Sosialisasi RUU Perkumpulan, http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/files/doc/894_Sosialisasi%20RUU%20Perkumpulan%20%5BCompatibility%20Mode%5D.pdf. Diakses pada tanggal 1 Oktober 2014.
72
mewujudkan maksud dan tujuan (kegiatan yang tidak komersial); d.
jangka waktu berdirinya Perkumpulan; e. perolehan dan penggunaan
kekayaan; f. ketentuan mengenai keanggotaan; hak dan kewajiban
anggota; h. tata cara pengangkatan, pemberhentian, penggantian
anggota Badan Pengurus dan anggota Badan Pengawas; i. hak dan
kewajiban Badan Pengurus dan Badan Pengawas; j. penetapan tempat
dan tata cara penyelenggaraan Rapat Umum Anggota (RUA); k.
penggabungan dan peleburan Perkumpulan; dan l. pembubaran dan
penggunaan kekayaan sisa hasil likuidasi.
Anggaran Dasar Perkumpulan dapat dilakukan perubahan dengan syarat
perubahan dilakukan melalui Keputusan RUA, dan dibuat dengan akta
notaris dalam bahasa Indonesia. Khusus perubahan terkait dengan nama,
tempat kedudukan, kegiatan, jangka waktu, diperlukan persetujuan
Menteri Hukum dan HAM. Sedangkan perubahan lainnya, cukup
diberitahukan kepada Menteri Hukum dan HAM.
Perkumpulan juga diperbolehkan mengumpulkan kekayaan dari iuran
anggota, sumbangan yang tidak mengikat, hibah/hibah wasiat, dan
perolehan lain yang tidak bertentangan dengan anggaran dasar
Perkumpulan dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Perolehan
kekayaan tersebut harus dilakukan secara terbuka dan akuntabel dan
wajib dilaporkan oleh Badan Pengurus kepada anggota Perkumpulan
setiap bulan.
73
RUU Perkumpulan juga mengatur mengenai keanggotaan. Anggota
Perkumpulan adalah orang perseorangan dan/atau badan hukum.
Anggota Perkumpulan “bersifat pribadi” (artinya tidak dapat dialihkan atau
diwariskan) kecuali ditentukan lain dalam anggaran dasar. Persyaratan,
hak dan kewajiban serta klasifikasi keanggotaan ditetapkan dalam
anggaran dasa. Persyaratan penerimaan anggota ditentukan dalam
anggaran dasar. Penerimaan anggota dilakukan oleh Badan Pengurus.
Berakhirnya keanggotaan karena: a. meninggal dunia kecuali dapat
diwariskan; b. status badan hukum berakhir jika anggota adalah badan
hukum; c. mengundurkan diri atas permintaan sendiri; d. diberhentikan
oleh Badan Pengurus atau berdasarkan keputusan RUA karena tidak
memenuhi persyaratan yang ditentukan Perkumpulan.59
Dalam RUU Perkumpulan juga diatur Hak Suara Anggota. Setiap anggota
berhak atas satu suara kecuali ditentukan lain dalam anggaran dasar,
misalnya dalam anggaran dasar ditentukan berdasarkan perwakilan dari
setiap jumlah tertentu diwakili oleh 1 (satu) orang anggota atau
berdasarkan wilayah, daerah atau cabang. Dalam mengambil keputusan,
RUA harus memenuhi kuorum. Kuorum Rapat I (pertama) lebih dari ½
(satu per dua) jumlah anggota jika tidak tercapai ditunda; Kuorum Rapat
II (kedua) paling sedikit 1/3 (satu per tiga) jika tidak tercapai ditunda;
Kuorum Rapat selanjutnya dilaksanakan tanpa memperhatikan kuorum.
Pengambilan keputusan lebih dari ½ (satu per dua) dari jumlah suara
59 Ibid.
74
yang dikeluarkan. RUA I (pertama) untuk mengubah anggaran dasar
kourum paling sedikit 2/3 bagian jumlah anggota Perkumpulan; RUA ke II
(kedua) setelah RUA pertama ditunda kuorum lebih dari ½; RUA
selanjutnya tanpa memperhatikan kourum. Pengambilan keputusan untuk
mengubah anggaran dasar paling sedikit 2/3 baik untuk RUA I, II, dan
III.60
Selain mengatur mengenai mekanisme pengambilan keputusan, RUU
Perkumpulan juga mengatur mengenai Badan Pengurus, yaitu paling
sedikit 3 orang anggota masing-masing 1 orang untuk Ketua, Sekretaris,
dan Bendahara. Susunan, tata cara pengangkatan, penggantian, dan
pemberhentian diatur dalam anggaran dasar, termasuk juga dalam hal
tugas dan tanggung jawab Badan Pengurus.
Selain Badan Pengurus, RUU perkumpulan juga mengatur mengenai
Badan Pengawas. Badan ini Paling sedikit 1 orang anggota. Yang dapat
diangkat adalah orang perseorangan anggota Perkumpulan. Seperti
halnya Badan Pengurus, susunan, tata cara pengangkatan, penggantian
dan pemberhentian Badan Pengawas juga diatur dalam anggaran dasar,
termasuk tugas dan tanggung jawabnya.
Dalam menjalankan tuigas dan tanggungjawabnya, Badan Pengurus
menyampaikan Laporan Tahunan ke RUA paling lambat 6 bulan setelah
tahun buku berakhir untuk disetujui RUA dan disampaikan kepada
Kementrian Hukum dan HAM. Apabila 2 tahun berturut-turut tidak
60 Ibid.
75
menyusun laporan tahunan maka masing-masing anggota Badan
Pengurus bertanggung jawab secara tanggung renteng. Ikhtisar Laporan
tahunan diumumkan pada papan pengumuman di kantor Perkumpulan
dan bagi perkumpulan yang memiliki kekayaan dalam jumlah tertentu
wajib diumumkan dalam2 surat kabar harian.
Perkumpulan juga bisa bubar atau dibubarkan akibat keputusan RUA,
jangka waktu berakhir, tujuan perkumpulan telah/tidak tercapai, dan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.61
Badan Hukum Yayasan
Badan Hukum Yayasan, menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 28 Tahun 2004
tentang Yayasan mendefinisikan Yayasan adalah badan hukum yang
terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai
tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak
mempunyai anggota.
Keterkaitan definisi yayasan dengan definisi perkumpulan yang dimuat
dalam Pasal 1 RUU Perkumpulan hanya terdapat pada tujuan badan
hukum ini yaitu sama-sama bergerak di bidang sosial, keagamaan dan
kemanusian. Perbedaannya bahwa yayasan adalah badan hukum terdiri
atas kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan para pendirinya sedangkan
perkumpulan pada hakekatnya adalah kumpulan orang bertujuan tidak
mencari keuntungan. Organ yayasan dalam Pasal 2 UU No.28/2004 terdiri
61 Ibid.
76
atas Pembina, Pengurus, dan Pengawas. Organ yayasan terkait dengan
organ perkumpulan yang diatur dalam dalam Pasal 3 RUU Perkumpulan
terutama keduanya sama-sama mengenal Organ Pengurus dan
Pengawas. Perbedaannya bahwa yayasan terdapat organ Pembina
sedangkan organ tertinggi dalam RUU Perkumpulan adalah Rapat Umum
Anggota (RUA).62
Pasal 3 ayat (2) UU Yayasan menyatakan bahwa yayasan tidak boleh
membagikan hasil kegiatan usaha kepada Pembina, Pengurus dan
Pengawas. Pasal 3 ayat (2) UU Yayasan tersebut terkait dengan ketentuan
Pasal 6 ayat (2) RUU Perkumpulan yang juga melarang membagikan hasil
yang diperoleh dari badan usaha kepada anggota Badan Pengurus dan
Anggota Badan Pengawas.
Pasal 4 UU Yayasan menyatakan bahwa Yayasan mempunyai tempat
kedudukan dalam wilayah Negara Republik Indonesia yang ditentukan
dalam Anggaran Dasar. Pasal 4 UU Yayasan terkait dengan Pasal 2 ayat
(2) RUU Perkumpulan yang menyatakan bahwa Perkumpulan mempunyai
tempat kedudukan dalam wilayah Negara Republik Indonesia yang
ditentukan dalam Anggaran Dasar.
Pasal 5 ayat (1) : Kekayaan yayasan baik berupa uang, barang maupun
kekayaan lain yang diperoleh yayasan berdasarkan Undang-Undang ini,
dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung
62 Opcit, hlm. 39. http://ipkcenter.org/source/repo/ipkc%20dari%20 tesalonika %20%20partners/naskah20akademis20ruu20tentang20perkumpulan202011.pdf
77
baik dalam bentuk gaji, upah atau honorarium atau bentuk lain yang
dapat dinilai dengan uang kepada Pembina, Pengurus dan Pengawas
Larangan pembagian kekayaan yayasan kepada Pembina, Pengurus dan
Pengawas yang diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 5 ayat (1) UU No.28/2004
memiliki keterkaitan dengan yang diatur dalam Pasal 6 ayat(2) RUU
Perkumpulan, sama-sama melarang pembagian hasil yang diperoleh dari
badan usaha kepada anggota Perkumpulan serta anggota Badan Pengurus
dan Anggota Badan Pengawas Perkumpulan. Larangan pembagian hasil ini
senada dengan tujuan dari badan hukum tersebut yang hanya bergerak di
bidang sosial, keagamaan dan kemasyarakatan dan tidak mencari
keuntungan.
Pasal 7 UU Yayasan menyebutkan bahwa: a. Yayasan dapat mendirikan
badan usaha yang kegiatannya sesuai dengan maksud dan tujuan
yayasan; b. Yayasan dapat melakukan penyertaan dalam berbagai bentuk
usaha yang bersifat prospektif dengan ketentuan seluruh penyertaan
tersebut paling banyak 25 % (dua puluh lima persen) dari seluruh nilai
kekayaan Yayasan; c. Anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas
Yayasan dilarang merangkap sebagai Anggota Direksi atau Pengurus dan
Anggota Dewan Komisaris atau Pengawas dari badan usaha sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 8 UU Yayasan menyebutkan bahwa Kegiatan usaha dari badan
usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) harus sesuai dengan
maksud dan tujuan Yayasan serta tidak bertentangan dengan ketertiban
78
umum, kesusilaan, dan/atau peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 7 ayat (1) UU Yayasan tersebut di atas terkait dengan Pasal 5 ayat
(1) dan (2) RUU Perkumpulan yang membolehkan Perkumpulan
mendirikan suatu badan usaha dan/atau melakukan penyertaan dalam
badan usaha yang selaras dengan maksud dan tujuan Perkumpulan.
Sedangkan Pasal 7 ayat (2) UU Yayasan terkait dengan Pasal 5 ayat (3)
RUU Perkumpulan yang sama-sama merekomendasikan paling banyak 25
% (duapuluh lima persern) dari kekayaan yayasan dalam penyertaan
modal untuk bentuk usaha yang bersifat prospektif dan untuk penyertaan
Perkumpulan dalam badan usaha jika kegiatan usahanya tidak selaras
dengan kegiatan Perkumpulan.
Dalam UU Yayasan, juga mengatur mengenai pendirian sebuah yayasan.
Pasal 9 UU Yayasan menyebutkan bahwa: (1) Yayasan didirikan oleh satu
orang atau lebih dengan memisahkan sebagian harta kekayaan
pendirinya, sebagai kekayaan awal; (2) Pendirian Yayasan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan akta notaris dan dibuat dalam
bahasa Indonesia Pendirian yayasan dengan pendirian perkumpulan
terdapat perbedaan dimana untuk mendirikan yayasan mensyaratkan satu
orang atau lebih. Sementara dalam pendirian perkumpulan disyaratkan
minimal 20 (duapuluh orang) atau lebih. Persamaannya bahwa yayasan
maupun perkumpulan harus dibuat dalam akta notaris yang dibuat dalam
bahasa Indonesia.
79
Status Badan Hukum Yayasan diatur dalam Pasal 11 UU Yayasan yang
menyebutkan bahwa: (1) Yayasan memperoleh status badan hukum
setelah akta pendirian Yayasan, memperoleh pengesahan dari Menteri; (2)
Untuk memperoleh pengesahan, pendiri atau kuasanya mengajukan
permohonan kepada Menteri melalui Notaris yang membuat akta pendirian
Yayasan tersebut; (3) Notaris wajib menyampaikan permohonan
pengesahan kepada Menteri dalam jangka waktu paling lambat 10 hari
terhitung sejak tanggal akta pendirian yayasan ditandatangani. Status
badan hukum yayasan yang diatur dalam Pasal 11 UU No. 28/2004 terkait
dengan pengesahan perkumpulan yang diatur dalam Pasal 9 RUU
Perkumpulan dimana perkumpulan memperoleh status badan hukum pada
saat diterbitkannya keputusan Menteri mengenai pengesahan badan
hukum. Untuk memperoleh pengesahan tersebut menurut Pasal 10 ayat
(1) RUU Perkumpulan pendiri Perkumpulan atau kuasanya mengajukan
permohonan tertulis kepada Menteri dengan melampirkan akta pendirian.
Pasal 12 UU Yayasan menyebutkan bahwa: (1) Pengesahan akta pendirian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) diajukan oleh pendiri atau
kuasanya dengan mengajukan permohonan tertulis kepada Menteri; (2)
Pengesahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan dalam waktu
paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan
diterima secara lengkap.
Ketentuan Pasal 12 ayat (1) dan (2) UU Yayasan terkait dengan Pasal 10
ayat (1) dan (2) RUU Perkumpulan dimana pendiri perkumpulan
80
mengajukan permohonan tertulis kepada Menteri d.h.i. Menteri Hukum
dan HAM dan pengesahan diberikan dalam waktu paling lama 30
(tigapuluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan diterima secara
lengkap.
Pasal 13 ayat (1) UU Yayasan menyebutkan bahwa, dalam hal
permohonan pengesahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1)
ditolak, Menteri wajib memberitahukan secara tertulis disertai dengan
alasannya, kepada pemohon mengenai penolakan pengesahan tersebut.
Ketentuan Pasal 13 ayat (1) UU Yayasan tersebut terkait dengan Pasal 10
ayat (3) RUU Perkumpulan yang mengatur perihal penolakan Serupa
dengan RUU Perkumpulan, UU Yayasan juga mengatur persoalan
Anggaran Dasar dan mekanisme Perubahannya. Pasal 14 ayat (2) UU
Yayasan menyebutkan bahwa Anggaran Dasar Yayasan sekurang-
kurangnya memuat:
a. nama dan tempat kedudukan;
b. maksud dan tujuan serta kegiatan untuk mencapai maksud dan tujuan
tersebut;
c. jangka waktu pendirian;
d. jumlah kekayaan awal yang dipisahkan dari kekayaan pribadi pendiri
dalam bentuk uang atau benda;
e. cara memperoleh dan penggunaan kekayaan;
f. tata cara pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian anggota
Pembina, Pengurus, dan Pengawas;
81
g. hak dan kewajiban anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas;
h. tata cara penyelenggaraan rapat organ Yayasan;
i. ketentuan mengenai perubahan Anggaran Dasar;
j. penggabungan dan pembubaran Yayasan; dan
k. Penggunaan kekayaan sisa likuidasi atau penyaluran kekayaan
Yayasan setelah pembubaran.
Ketentuan Anggaran Dasar Yayasan tersebut di atas hampir sama dengan
ketentuan Anggaran Dasar Perkumpulan yang tercantum pada Pasal 11
RUU Perkumpulan. UU Yayasan juga mengatur mengenai nama dari
sebuah yayasan. Pasal 15 ayat (1) UU Yayasan Yayasan tidak boleh
memakai nama yang: a. telah dipakai secara sah oleh Yayasan lain; atau
b. bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau kesusilaan. Ketentuan
Pasal 15 ayat (1) UU Yayasan ini terkait dengan Pasal 12 RUU
Perkumpulan.
Sementara terkait dengan perubahan Anggaran Dasar Yayasan diatur
dalam Pasal 17 UU Yayasan menyebutkan bahwa Anggaran Dasar dapat
diubah, kecuali mengenai maksud dan tujuan Yayasan. Ketentuan ini
sama dengan bunyi Pasal 14 RUU Perkumpulan yang membolehkan
mengubah anggaran dasar kecuali mengenai maksud dan tujuan
Perkumpulan.
Pasal 18 UU Yayasan menyatakan bahwa: (1) Perubahan Anggaran Dasar
hanya dapat dilaksanakan berdasarkan keputusan rapat Pembina; (2)
Rapat Pembina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
82
dilakukan, apabila dihadiri oleh paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari
jumlah anggota Pembina; (3) Perubahan Anggaran Dasar sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan akta notaris dan dibuat dalam
bahasa Indonesia; Ketentuan di atas hampir sama dengan Pasal 15 RUU
Perkumpulan dimana dalam ayat (1) disebutkan bahwa perubahan
anggaran dasar dapat dilaksanakan berdasarkan keputusan RUA dan ayat
(2) disebutkan bahwa perubahan tersebut dibuat dengan akta notaris.
Pada perkumpulan persyaratan untuk melangsungkan RUA harus dihadiri
1/2 (satu perdua) jumlah anggota. Kemudian dalam Pasal 37 ayat (1)
disebutkan bahwa untuk mengubah anggaran dasar RUA dapat
dilangsungkan jika dihadiri paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian jumlah
anggota Perkumpulan.
UU Yayasan juga mengatur mengenai pengumuman pendirian sebuah
yayasan. Pasal 24 UU Yayasan menyebutkan bahwa; (1) Akta pendirian
Yayasan yang telah disahkan sebagai badan hukum atau perubahan
Anggaran Dasar yang telah disetujui, wajib diumumkan dalam Tambahan
Berita Negara Republik Indonesia; (2) Pengumuman sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diajukan permohonannya oleh Pengurus Yayasan
atau kuasanya kepada Kantor Percetakan Negara Republik Indonesia
dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal
akta pendirian Yayasan yang disahkan atau perubahan Anggaran Dasar
yang disetujui.
83
Kalau dicermati, Ketentuan ini sama dengan bunyi ketentuan Pasal 21
ayat (1) RUU Perkumpulan yang mengharuskan akta pendirian yang telah
disahkan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia
dan Pasal 23 ayat (2) yang mengatur batas waktu pengumuman yaitu
paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pengesahan.
Persoalan lainnya yang diaturt dalam UU Yayasan adalah terkait kekayaan
Yayasan. Pasal 26 UU Yayasan menyebutkan bahwa: (1) Kekayaan
Yayasan berasal dari sejumlah kekayaan yang dipisahkan dalam bentuk
uang atau barang; (2) Selain kekayaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) kekayaan Yayasan dapat diperoleh dari:
a. Sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat;
b. Wakaf;
c. Hibah;
d. Hibah wasiat;
e. Perolehan lain yang tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar
Yayasan dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan tersebut di atas hampir sama dengan pengaturan kekayaan
perkumpulan yang diatur dalam Pasal 24 ayat (1) RUU Perkumpulan yang
menyebutkan bahwa Kekayaan Perkumpulan berasal dari :
a. Iuran anggota;
b. Sumbangan yang tidak mengikat;
c. Hibah; dan
d. Perolehan lain yang tidak bertentangan dengan anggaran dasar
Perkumpulan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
84
Dalam UU Yayasan, juga diatur organ yayasan, yaitu Pembina, Pengurus,
dan pengawas. Pembina sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (1) UU
Yayasan adalah organ Yayasan yang mempunyai kewenangan yang tidak
diserahkan kepada Pengurus atau Pengawas oleh Undang-undang ini atau
Anggaran Dasar. Ketentuan ini mirip dengan bunyi Pasal 30 RUU
Perkumpulan yang menyebutkan bahwa RUA (Rapat Umum Anggota)
mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Badan Pengurus dan
Badan Pengawas. Perbedaannya kalau pembina adalah orang
perseorangan sedangkan RUA adalah sekumpulan orang yang menjadi
anggota dari perkumpulan.
Pengurus Yayasan diatur dalam Pasal 31 UU Yayasan menyebutkan
bahwa: (1) Pengurus adalah organ Yayasan yang melaksanakan
kepengurusan Yayasan; (2) Yang dapat diangkat menjadi Pengurus adalah
orang perseorangan yang mampu melakukan perbuatan hukum; (3)
Pengurus tidak boleh merangkap sebagai Pembina atau Pengawas.
Pasal 31 ayat (2) UU Yayasan sama dengan yang diatur dalam Pasal 40
ayat (4) RUU Perkumpulan yang mensyaratkan kecakapan anggota
pengurus melakukan perbuatan hukum. Dalam hukum, seseorang
dianggap tidak cakap melakukan perbuatan hukum apabila orang tersebut
di bawah umur atau di bawah pengampuan.
Pasal 32 UU Yayasan menyebutkan bahwa: (1) Pengurus Yayasan
diangkat oleh Pembina berdasarkan keputusan rapat Pembina untuk
jangka waktu selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1
85
(satu) kali masa jabatan; (2) Susunan Pengurus sekurang-kurangnya
terdiri atas: a. seorang ketua; b. seorang sekretaris; dan c. seorang
bendahara. Sementara Ayat (3) mengatakan, dalam hal Pengurus
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) selama menjalankan tugas
melakukan tindakan yang oleh Pembina dinilai merugikan Yayasan, maka
berdasarkan keputusan rapat Pembina, Pengurus tersebut dapat
diberhentikan sebelum masa kepengurusannya berakhir; (4) Ketentuan
mengenai susunan dan tata cara pengangkatan, pemberhentian, dan
penggantian Pengurus diatur dalam Anggaran Dasar. Kalau dicermati,
Susunan Pengurus dalam Pasal 32 ayat (2) UU Yayasan sama dengan
yang diatur oleh Pasal 40 ayat (2) RUU Perkumpulan.
UU Yayasan juga mengatur mekanisme pergantian pengurus. Pasal 33 UU
Yayasan menyebutkan bahwa: (1) Dalam hal terdapat penggantian
Pengurus Yayasan, Pengurus yang menggantikan menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis kepada Menteri; (2) Pemberitahuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib disampaikan dalam jangka
waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal
penggantian Pengurus Yayasan.
Pasal 35 UU Yayasan menyebutkan bahwa: (1) Pengurus Yayasan
bertanggung jawab penuh atas kepengurusan Yayasan untuk kepentingan
dan tujuan Yayasan serta berhak mewakili Yayasan baik di dalam maupun
di luar Pengadilan; (2) Setiap Pengurus menjalankan tugas dengan itikad
baik, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan dan tujuan Yayasan;
86
(3) Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
Pengurus dapat mengangkat dan memberhentikan pelaksana kegiatan
Yayasan; (4) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan
pemberhentian pelaksana kegiatan Yayasan diatur dalam Anggaran Dasar
Yayasan; (5) Setiap Pengurus bertanggung jawab penuh secara pribadi
apabila yang bersangkutan dalam menjalankan tugasnya tidak sesuai
dengan ketentuan Anggaran Dasar, yang mengakibatkan kerugian
Yayasan atau pihak ketiga.
Pasal 35 ayat (1) UU Yayasan mirip dengan ketentuan Pasal 40 ayat (1)
RUU Perkumpulan yang menyatakan Badan Pengurus bertanggung jawab
penuh atas pengurusan Perkumpulan sesuai dengan maksud dan tujuan.
Di samping itu Pasal 35 ayat (1) UU Yayasan sama dengan yang diatur
dalam Pasal 46 ayat (1) RUU Perkumpulan yang menetapkan Badan
Pengurus mewakili Perkumpulan baik di dalam maupun di luar pengadilan.
Pasal 35 ayat (2) UU Yayasan sama dengan yang ditentukan Pasal 45 ayat
(1) RUU Perkumpulan yang mengharuskan Badan Pengurus menjalankan
tugas pengurusan dengan itikad baik, kehati-hatian dan penuh tanggung
jawab. Pasal 35 ayat (5) sama dengan ketentuan Pasal 45 ayat (2) yang
menyatakan Badan Pengurus bertanggung jawab penuh secara pribadi
atas kerugian Perkumpulan bila lalai atau salah dalam menjalankan
tugasnya.
Pasal 37 UU Yayasan menyebutkan bahwa: (1) Pengurus tidak
berwenang: a. mengikat Yayasan sebagai penjamin utang; b. mengalihkan
87
kekayaan Yayasan kecuali dengan persetujuan Pembina; dan c.
membebani kekayaan Yayasan untuk kepentingan pihak lain. (2)
Anggaran Dasar dapat membatasi kewenangan Pengurus dalam
melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama Yayasan. Kalau
dicermati, Pasal 37 ayat (1) UU Yayasan sama dengan yang diatur oleh
Pasal 47 ayat (1) RUU Perkumpulan.
Pasal 39 UU Yayasan menyebutkan bahwa: (1) Dalam hal kepailitan
terjadi karena kesalahan atau kelalaian Pengurus dan kekayaan Yayasan
tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka
setiap Anggota Pengurus secara tanggung renteng bertanggung jawab
atas kerugian tersebut; (2) Anggota Pengurus yang dapat membuktikan
bahwa kepailitan bukan karena kesalahan atau kelalaiannya tidak
bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
Sama halnya dengan ketentuan-ketentuan sebelumnya, ketentuan dalam
Pasal Pasal 39 ayat (1) dan (2) UU Yayasan sama dengan yang diatur oleh
Pasal 48 ayat (2) dan (3) RUU Perkumpulan.63
C. KONSTITUSIONALITAS PEMBATASAN PROSEDURAL
KEBEBASAN BERSERIKAT DALAM UNDANG-UNDANG ORMAS
63 Ibid. http://ipkcenter.org/source/repo/ipkc%20dari%20tesalonika%20%20 partners/naskah20akademis20ruu20tentang20perkumpulan202011.pdf
88
Dalam Undang-undang organisasi kemasyarakatan yang baru (UU nomor
17 tahun 2013) terdapat beberapa hal baru yang sebelumnya tidak diatur
dalam Undang-undang ormas lama (UU nomor 8 Tahun 1985), yakni:
a) Pendirian Ormas
b) Pendaftaran
c) Keputusan Ormas
d) AD/ART
e) Bidang Usaha Ormas
f) Pemberdayaan Ormas
g) Ormas yang didirikan warna Negara asing
h) Penyelesaian sengketa ormas
i) Larangan
Aturan-aturan baru mengenai ormas yang diatur dalam UU ormas,
menyisakan permasalahan. Beberapa ormas mengajukan permohonan
pengujian judicial review ke Mahkamah Konstitusi dengan menggugat
pasal-pasal yang berkaitan dengan hal-hal diatas. Meskipun tidak seluruh
hal yang baru tersebut yang digugat, namun sebagian besar ketentuan
tersebut diajukan oleh ormas yang menjadi Pemohon dalam judicial
review ke Mahkamah Konstitusi. Berikut ini adalah hal-hal yang digugat
oleh para Pemohon. Berdasarkan kajian konseptual yang telah dibahas
dalam bab sebelumnya terutama berkaitan dengan hubungan antara
ormas dengan negara maka berikut ini disampaikan pendapat peneliti
mengenai gugatan judicial review yang diajukan oleh para Pemohon.
Sifat dan Keanggotaan Ormas
89
Pasal 4 UU Ormas yang berbunyi “Ormas bersifat sukarela, sosial, mandiri,
nirlaba, dan demokratis”, berkaitan dengan Pasal 33 dan 34 UU ormas
yang menjadi bagian norma yang diminta untuk diuji oleh Pemohon. Pasal
33 ayat (1) UU Ormas menyatakan “Setiap warga negara Indonesia
berhak menjadi anggota Ormas.” Dan ayat (2) disebutkan bahwa
“Keanggotaan Ormas bersifat sukarela dan terbuka”. Sedangkan Pasal 34
UU Ormas mengatur “setiap anggota Ormas memiliki hak dan kewajiban
yang sama”.
Pengaturan mengenai keanggotaan ormas yang bersifat sukarela selaras
dengan sifat dari jaminan kebebasan berserikat merupakan negative
rights. Tiap warga negara memiliki hak untuk ikut maupun tidak ikut
bergabung dengan organisasi manapun dan keikutsertaan tersebut tidak
boleh atas dasar paksaan. Sifat keanggotaan ormas yang dicirikan sebagai
sukarela, terbuka dan berdasarkan prinsip kesetaraan sebagaimana
dijabarkan pada pasal 33 dan 34 UU a quo adalah sesuai dengan sifat
ormas yang “demokratis” sebagaimana disebutkan pada Pasal 4 UU a quo.
Dengan demikian, tidak terdapat pengaturan yang bertentangan dengan
UUD 1945 dalam pasal-pasal a quo.
Tujuan ormas
UU ormas merumuskan tujuan pendirian ormas adalah untuk
a. meningkatkan partisipasi dan keberdayaan masyarakat;
b. memberikan pelayanan kepada masyarakat;
90
c. menjaga nilai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa;
d. melestarikan dan memelihara norma, nilai, moral, etika, dan budaya
yang hidup dalam masyarakat;
e. melestarikan sumber daya alam dan lingkungan hidup;
f. mengembangkan kesetiakawanan sosial, gotong royong, dan toleransi
dalam kehidupan bermasyarakat;
g. menjaga, memelihara, dan memperkuat persatuan dan kesatuan
bangsa; dan
h. mewujudkan tujuan Negara
Perumusan tujuan ormas dalam Pasal a quo merupakan penjabaran dari
sifat ormas yang berrcirikan sosial dan nirlaba. Kepentingan dan
kebutuhan masyarakat menjadi prioritas pendirian ormas. Hal ini sesuai
dengan karakter civil society yang mengutamakan pemberdayaan
masyarakat. Perumusan yang menyatukan antara tujuan pembentukan
ormas dengan tujuan bernegara merupakan upaya penyelarasan oleh
pembentuk Undang-Undang atas keberadaan masyarakat (civil society)
dan negara (state). Penyelarasan tujuan ini merupakan upaya agar tidak
muncul dominasi satu pihak terhadap pihak lain, apakah itu negara yang
mendominasi masyarakat atau sebaliknya.
Bilamana kemudian muncul adanya penyelewengan terhadap tujuan
pendirian ormas, hal ini merupakan kasus konkrit yang harus diselesaikan
secara baik dan harus disediakan jalur hukum sebagai upaya penyelesaian
permasalahan ini. Misalnya, bilamana pendirian ormas tidak lagi
91
berorientasi sebagai organisasi nirlaba yang memberdayakan masyarakat
namun lebih mengutamakan mencari keuntungn layaknya sebuah
perusahaan maka terhadap hal demikian perlu dirumuskan aturan yang
mengakomodasi perubahan tujuan organisasi ini. Namun secara normatif
rumusan tujuan yang diatur dalam Pasal a quo tidaklah bertentangan
dengan UUD 1945
Lingkup ormas
Pengaturan mengenai lingkup ormas yang diatur dalam Pasal 8 UU ormas
menetukan bahwa “Ormas memiliki lingkup: a. nasional; b. provinsi; atau
c. kabupaten/kota”. Lingkup ormas ini berkaitan dengan syarat
kepengurusan ormas yang disesuaikan dengan lingkupnya sebagaimana
diatur dalam Pasal 23, 24 dan 25 UU ormas yang juga diminta untuk diuji
oleh Pemohon. Syarat kepengurusan ormas ditingkat nasional, provinsi
dan kabupaten/kota ditentukan bahwa “Ormas lingkup nasional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a memiliki struktur organisasi
dan kepengurusan paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah
provinsi di seluruh Indonesia.” Untuk ditingkat provinsi kepengurusan
ormas harus memiliki struktur organisasi dan kepengurusan yang ditur
pada Pasal 24 UU ormas yang berbunyi “Ormas lingkup provinsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b memiliki struktur organisasi
dan kepengurusan paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah
kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi.” Sedangkan ditingkat
kabupaten/kota, “Ormas lingkup kabupaten/kota sebagaimana dimaksud
92
dalam Pasal 8 huruf c memiliki struktur organisasi dan kepengurusan
paling sedikit dalam 1 (satu) kecamatan.”
Pengaturan mengenai lingkup ormas dimaksudkan untuk melihat ruang
lingkup kegiatan yang dicakup oleh ormas. Fakta menunjukkan bahwa ada
ormas yang berskala nasional dan ormas yang berskala lokal, bahkan ada
pula ormas yang memiliki jaringan internasional. Namun demikian,
pengaturan mengenai lingkup kerja ormas dengan pendekatan struktur
tingkatan pemerintahan, yaitu nasional, provinsi dan kabupaten/kota
justru menimbulkan permasalahan. Terlebih lagi, bila lingkup kegiatan
ormas tersebut dikaitkan dengan penetapan syarat kepengurusan ormas.
Disisi lain, UU ormas membuka kemungkinan beragam bentuk organisasi
yang bisa diadopsi oleh ormas sebagaimana diatur pada Pasal 10 UU a
quo. Ormas dimungkinkan untuk berbadan hukum maupun tidak berbadan
hukum serta ormas dapat berbasis anggota maupun tidak berbasis
anggota. Dalam hal ormas berbadan hukum, baik itu yayasan maupun
perkumpulan, berlaku UU mengenai yayasan (UU Nomor 16 tahun 2001
tentang Yayasan sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 28 tahun
2004) dan aturan mengenai perkumpulan (Staatsblad 1870 No. 64
(“Stb.1870-64”)). Tentunya, penetapan syarat kepengurusan ormas yang
diatur dalam UU ormas menjadi suatu yang wajib diperhatikan oleh
ormas-ormas yang berbentuk yayasan maupun perkumpulan. Padahal.
Dalam UU mengenai yayasan dan aturan mengenai perkumpulan tidak
93
disinggung mengenai syarat kepengurusan yang harus disesuaikan
dengan lingkup kegiatan ormas, apakah ormas dimaksud memiliki lingkup
kegiatan nasional, provinsi atau kabupaten/kota.
Untuk menyelesaikan persoalan ini perlu disusun peraturan yang
menjabarkan lebih rinci mengenai pengaturan lingkup kegiatan ormas
serta syarat kepengurusan ormas. Selain itu, peraturan tersebut juga
menjadi penting peranannya untuk harmonisasi peraturan perundang-
undangan antara UU ormas, UU yayasan dan Staatsblad mengenai
perkumpulan.
Bentuk Ormas
UU ormas mengakomodasi semua bentuk organisasi, baik itu berbadan
hukum atau tidak serta badan hukum yang berbasis anggota
(perkumpulan) atau badan hukum yang tidak berbasis anggota (yayasan).
Tersirat aturan bahwa UU ormas ini pada akhirnya mengatur semua
organisasi, selain partai politik. Secara a contrario disimpulkan bahwa
organisasi yang bukan partai politik adalah ormas. UU ormas menjadi
semacam UU pokok yang menaungi aturan mengenai yayasan dan
perkumpulan.
Persoalan ini sejatinya tidak mengandung permasalahan konstitusional.
Upaya untuk mengakomodasi semua jenis organisasi untuk digolongkan
sebagai ormas merupakan cara negara untuk memberikan jaminan
perlindungan kebebasan berserikat bagi seluruh warga negara.
Laporan Pertangungjawaban Ormas
94
Laporan pertanggungjawaban Ormas secara tegas diatur di dalam Pasal
38 UU Ormas. Ayat (1) menyatakan, “dalam hal Ormas menghimpun dan
mengelola dana dari iuran anggota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
ayat (1) huruf a, Ormas wajib membuat laporan pertanggungjawaban
keuangan sesuai dengan standar akuntansi secara umum atau sesuai
dengan AD dan/atau ART.”
Lebih lanjut Ayat (2) menyatakan, “dalam hal Ormas menghimpun dan
mengelola bantuan/sumbangan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37 ayat (1) huruf b, Ormas wajib mengumumkan laporan keuangan
kepada publik secara berkala.” Dan, ayat (3) berbunyi, “sumber keuangan
Ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf c, huruf d,
huruf e, dan huruf f dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.”
Menurut Peneliti, kalau dicermati secara mendalam, ketentuan Pasal 38
Ayat (1) tidak mengurangi hak ormas untuk mempertanggungjawabkan
iuran anggota berdasarkan AD/ART-nya.. Adapun kewajiban
mempertanggungjawabkan iuran anggota sesuai dengan standar akutansi
umum tetap dalam koridor sesuai AD/ART masing-masing dan mendorong
akuntabilitas tata kelola keuangan secara internal mencegah terjadinya
manipulasi iuran anggota oleh Pengurus Ormas.
Misalnya, sebuah Ormas menerima iuran dari anggotanya setiap bulan Rp
5.000/per anggota. Ormas tersebut memiliki anggota 40 juta orang, maka
uang tersebut sudah seharusnya disusun dalam akuntansi umum yang
95
dipertanggungjawabkan secara internal sesuai dengan AD/ART masing-
masing Ormas, dan dalam hal ini pemerintah tidak dapat melakukan
intervensi.
Pentingnya pertanggungjawaban keuangan sebab bagaimana pun uang
iuran itu adalah uang anggota yang dikelolah oleh pengurus. Sehingga
harus ada perlindungan terhadap anggota Ormas tersebut bahwa uangnya
telah dipergunakan sebagaimana mestinya, bukan dikorupsi oleh para
pengurus. Jika tidak ada laporan, maka sangat dimungkinkan
penyalagunaan dari penggunaan uang tersebut.
Selanjutnya terkait dengan ketentuan Pasal 38 ayat (2) UU Ormas yang
menyatakan, “Dalam hal Ormas menghimpun dan mengelola
bantuan/sumbangan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
ayat (1) huruf b, Ormas wajib mengumumkan laporan keuangan kepada
publik secara berkala.” Jika dicermati, ketentuan dalam ayat ini adalah
terkait dengan Ormas yang menggalang dana publik. Terhadap Ormas
yang menggalang dana publik maka sudah seharusnya
mempertanggungjawabkan dana tersebut kepada publik. Justru menjadi
aneh kalau ada Ormas yang menggunakan dana publik tapi tidak bersedia
mempertanggungjawabkannya kepada publik.
Banyak catatan sejarah yang menunjukkan bagaimana penyelewengan
yang dilakukan Ormas dalam mengelola dana publik. Padahal modal
utama Ormas adalah kepercayaan publik. oleh karenanya, penerapan
praktik manajemen yang baik di dalam pengelolaan sumber daya
96
(resources), khususnya keuangan, demi menjaga keberlanjutan
(sustainability) hidup Ormas, program, manfaat, dan kelompok sasaran
yang ingin dituju oleh Ormas tersebut. Jika itu tidak dilakukan, maka
secara otomatis akan kehilangan kepercayaa dan jika demikian terjadi
maka bisa dipastikan Ormas tersebut akan segera tiada.
Dalam perakteknya, Ormas memperoleh pendapatan dari berbagai macam
sumber. Menurut Pahala Nainggolan, setidaknya ada 6 sumber, yaitu:
1. Iuran anggota (membership fees);
2. Sumbangan perorangan (individual donation), baik yang bersifat
bersyarat (restricted) maupun tidak bersyarat (unrestricted);
3. Imbalan pelayanan jasa (service fee), misalnya penyediaan keahlian
tertentu, konsultansi, kontrak jasa (service contract), fasilitasi, dll.
maupun penyewaan properti/inventaris lembaga;
4. Bagian laba (profit share) dari unit usaha komersial (commercial
business unit);
5. Investasi modal (capital investment), yang bisa berupa bunga
simpanan dana abadi (interest of banked endowment fund), laba
saham atau dividen (divident), dan royalti karya intelektual (buku,
musik, mesin, dll.); serta
6. Hibah lembaga donor (donor grant) asing/internasional, baik yang
bersifat bersyarat (restricted) maupun tidak bersyarat (unrestricted)—
97
yang, karena sudah lazim, kini mestilah dijadikan sebagai alternatif
terakhir saja.64
Inilah kemudian menjadi penting pengurus Ormas untuk belajar dan
melengkapi kemampuan diri dengan pengetahuan pengelolaan keuangan
yang baik. Banyak buku yang bisa dipelajari terkait bagaimana
pengelolaan keuangan yang baik untuk sebuah Ormas (organisasi nir-
laba). Misalnya, sebuah buku yang ditulis oleh Terry Lewisyang berjudul
Practical Financial Management for NGOs: a Course Handbook—Getting
the Basics Right, Taking the Fear Out of Finance, terbitan MANGO, sebuah
lembaga nirlaba internasional yang berbasis di Oxford, Inggris. Buku
tersebut berisikan 7 (tujuh) bab yaitu Financial Management For NGOs,
Getting Organised, Financial Planning, Understanding Accounts, Financial
Reports, Safeguarding Your Assets, dan Managing Audit.65
Buku lainnya yang juga membahas secara mendalam tentang tema
serupa, misalnya, Financial Management For Nonprofit Organizations:
Policies and Practices, yang ditulis oleh John Zietlow, Jo Ann Hankin, dan
Alan Seidner.66 Buku ini juga membahas secara mendalam bagaimana
pentingnya pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan dalam
sebuah Ormas.
64 Pahala Nainggolan, Manajemen Keuangan Lembaga Nirlaba (Yogyakarta: USC-SATUNAMA, 2005).
65 Lihat Terry Lewis, Practical Financial Management for NGOs: a Course Handbook—Getting the Basics Right, Taking the Fear Out of Finance (Oxford: MANGO-Management Accounting for Non-governmental Organisations, 2009), hlm. 1-49.
66 John Zietlow, Jo Ann Hankin, dan Alan Seidner, Financial Management For Nonprofit Organizations: Policies and Practices (New Jersey: John Wiley & Sons, Inc., 2007), hlm. 1-619.
98
Dengan demikian, persoalan pertanggungjawaban Ormas, khusunya
dalam hal keuangan, adalah hal yang lazim diatur. Bahkan di banyak
negara lain aturan seperti ini juga kita temukan.
Pemberdayaan ormas
Pengaturan mengenai pemberdayaan ormas merupakan permasalahan
yang dilematis. Ormas tidak terdiri dari organisasi yang serupa dan
sejenis. Beragam jenis ormas telah berdiri dan berkembang, ada yang
tumbuh dan membesar namun tidak sedikit pula organisasi yang
mengerdil dan nyaris bubar. Aturan mengenai pemberdayaan oleh negara
merupakan harapan bagi ormas yang tidak bisa berkembang, namun bagi
ormas yang telah tumbuh berkembang fasilitasi pemberdayaan ormas oleh
negara tidaklah dibutuhkan, apalagi diharapkan.
Terlepas dari kondisi ormas, secara normatif, aturan mengenai adanya
pemberdayaan ormas oleh negara tidak selaras dengan karakteristik dasar
ormas sebagai organisasi yang bersifat sosial dan mandiri. Kemandirian
akan keberlangsungan berasal dari sifat sosial ormas. Organisasi sosial
didasarkan pada maksud filantropis dan nirlaba. Yayasan dan
perkumpulan yang didirikan adalah dengan tujuan tidak mencari
keuntungan namun melakukan kegiatan-kegiatan sosial guna
pemberdayaan masyarakat. Bila pada akhirnya ormas tidak mampu
meneruskan keberlangsungan organisasinya maka hal demikian
99
merupakan hal yang alamiah dan wajar. Negara tidak perlu intervensi dan
campur tangan untuk memberi dukungan dalam rangka pemberdayaan
ormas. Dengan adanya campur tangan negara maka sifat kemandirian
ormas menjadi hilang dan dikhawatirkan bila negara turut campur tangan
maka ormas tidak lagi menjadi organisasi nirlaba melainkan organisasi
yang didirikan sebagai profesi dan lapangan pekerjaan baru.
Selain itu, dalam konteks hubungan domain pemangku kepentingan
antara negara (state) dan masyarakat sipil (civil society) adanya aturan
pemberdayaan mendudukkan negara diatas masyarakat sipil. Dengan
demikian, tidak tercapai kesejajaran dalam hubungan yang ideal antara
negara dan masyarakat sipil.
Penyelesaian Sengketa Ormas
Pasal 57 dan Pasal 58 UU Ormas mengatur mengenai penyelesaian
sengketa Ormas. Kedua pasal tersebut termasuk norma yang baru jika
dibandingkan dengan UU Ormas sebelumnya yang tidak mengatur terkait
hal tersebut.
Dalam Pasal 57 UU Ormas, diatur bagiamana mekanisme jika sebuah
Ormas ada masalah internal. Langkah pertama yang harus dilakukan
adalah dengan menyelesaikan sendiri masalah tersebut sesuai dengan
AD/ART-nya. Namun, apabila penyelesaian sengketa tersebut gagal
dilakukan maka pemerintah dapat memfasilitasi mediasi atas permintaan
para pihak yang bersengketa.
100
Namun seandainya, mediasi yang dilakukan pemerintah tersebut tidak
berhasil juga, Pasal 58 UU Ormas memberikan pengaturan bahwa
penyelesaian sengketa Ormas dapat ditempuh melalui pengadilan negeri.
Terhadap putusan pengadilan negeri hanya dapat diajukan upaya hukum
kasasi. Pengadilan negeri dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan
puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan perkara dicatat di
pengadilan negeri. Sedangkan Mahkamah Agung wajib memutus dalam
jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal
permohonan kasasi dicatat oleh panitera Mahkamah Agung.67
Pengaturan mekanisme penyelesaian sengketa Ormas tersebut, menurut
Peneliti, harus difahami dalam ruang dan fakta bahwa selama ini cukup
banyak Ormas yang mengalami konflik internal. Proses penyelesaian
konflik internal itu seringkali buntu. Bahkan, ormas-ormas yang cukup
besar pun banyak yang dirundung konflik internal dan mengalami
kesulitan untuk menyelesaikannya karena AD-ART-nya tidak mengatur
sama sekali penyelesaian bagaimana jika terjadi konflik internal. Oleh
karenanya, dengan adanya pengaturan yang mengharuskan AD-ART
sebuah ormas mengatur mengenai penyelesaian konflik internal akan
memudahkan jika pada suatu ketika ada persoalan internal yang harus
diselesaikan.
Lebih lanjut manfaat dari pengaturan penyelesaikan konflik tersebut
adalah, jika ternyata secara internal Ormas tersebut sudah tidak bisa
67 Pasal 57 dan Pasal 58 UU No. 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
101
menyelesaikan persoalan yang dihadapinya maka para pihak bisa meminta
bantuan kepada pemerintah untuk memediasi. Upaya mediasi seperti ini
dianggap lazim dalam dunia hukum68, khususnya perdata, terutama
terkait dengan kontrak dan perjanjian. Salah satu manfaat dari mediasi
adalah tidak ada pihak yang dikalahkan. Masing-masing pihak diharapkan
sama-sama “menang”. Selain itu, prosesnya juga akan lebih cepat
daripada di pengadilan. Sementara kalau dibawa ke pengadilan, selain
prosesnya akan lebih panjang, juga dipastikan salah satu pihak akan ada
yang kalah.
Meski demikian, upaya mediasi yang dilakukan pemerintah ini sifatnya
pilihan. Jika para pihak tidak setuju dengan hasil mediasi tersebut, bisa
mengajukan ke Pengadilan Negeri, dan juga bisa mengajukan kasasi jika
merasa tidak puas dengan putusan pengadilan negeri. Pengaturan
demikian, menurut Peneliti, tidak ada yang salah. Sebab sudah
seharusnya negara memastikan ada pengaturan terhadap sebuah konflik
yang bisa saja terjadi pada banyak Ormas. Apalagi dalam konteks
Indonesia yang mana feodalisme dan patronase, ditambah dengan rasa
sungkan atau keengganan dalam bersikap terbuka membuat konflik dalam
Ormas seperti api dalam sekam. Masih sulit untuk penyelesaian konflik
secara imparsial, namun lebih pada pendekatan khas Indonesia dimana
budaya feodalisme dan patronase lebih dominan.
68 Istilahnya bukan mediasi tetapi arbitrase.
102
Bahkan lebih dari itu, kebanyakan para pendiri organisasi seringkali
melihat organisasi seperti miliknya, pembina merasa sebagai orang yang
dituakan dan masih dominan dalam menguasai gerak gerik organisasi.
Sementara itu pelaksana menempatkan diri sebagai abdi bagi tuannya
dalam hal ini sang pendiri atau pembina organisasi. Ketika terjadi konflik
maka terjadi dilema bagi manajemen puncak pelaksana organisasi, mau
membela pembina atau membela bawahan. Pola seperti ini tidak saja
terjadi pada organisasi Indonesia namun juga organisasi asing yang
berskala internasional yang bekerja di Indonesia.69
Para pimpinan Ormas tidak bisa melepaskan diri dari budaya organisasi
tersebut, karena dia sebagai individu lahir dari konteks sosial semacam
itu, dimana budaya organisasi mengalahkan prinsip prinsip imparsial.
Selain itu adalah aspek regenerasi, dimana kalangan Ormas tidak ada
masa pensiun. Organisasi bahkan melekat dan tidak bisa lepas dari pendiri
atau inisiatornya yang membesarkannya. Waktu boleh berganti,
kepemimpinan boleh beregenerasi namun kontrol dan intervensi “pemilik”
masih sangat kuat. Akhirnya aktivis dalam Ormas skala besar tidak bisa
mudah melakukan mobilitas sosial secara vertikal, terjadi kemampatan
dalam regenerasi sehingga munculah potensi konflik dalam organisasi.70
69 David Ardhian, Konflik Internal Organisasi Nirlaba, http://keuanganlsm.com/konflik-internal-organisasi-nirlaba-44/. Diakses pada tanggal 27 November 2014.
70 Ibid.
103
Celakanya pewarisan nilai tidak hanya berhenti pada nilai normatif dalam
teks statuta organisasi, juga nilai feodalisme dan patronase yang juga
menjangkiti kalangan aktivis Ormas yang lebih muda. Di sinilah, menurut
Peneliti, pentingnya diatur mekanisme penyelesaian konflik inernal Ormas
di dalam UU Ormas.
Larangan Ormas
Larangan Ormas secara khusus diatur dalam Pasal 59 UU Ormas. Pasal
tersebut berisikan 4 ayat. Ayat (1) menyatakan, “ormas dilarang: a.
menggunakan bendera atau lambang yang sama dengan bendera atau
lambang negara Republik Indonesia menjadi bendera atau lambang
Ormas; b. menggunakan nama, lambang, bendera, atau atribut yang
sama dengan nama, lambang, bendera, atau atribut lembaga
pemerintahan; c. menggunakan dengan tanpa izin nama, lambang,
bendera negara lain atau lembaga/badan internasional menjadi nama,
lambang, atau bendera Ormas; d. menggunakan nama, lambang,
bendera, atau simbol organisasi yang mempunyai persamaan pada
pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atau
simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang; e. atau
menggunakan nama, lambang, bendera, atau tanda gambar yang
mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan
nama, lambang, bendera, atau tanda gambar Ormas lain atau partai
politik.
104
Sedangkan Pasal 59 Ayat (2) menyatakan, “Ormas dilarang: a. melakukan
tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan; b.
melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama
yang dianut di Indonesia; c. melakukan kegiatan separatis yang
mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia; e.
melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan
ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial; atau
melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Sementara Pasal 59 Ayat (3) menyatakan, “Ormas dilarang: a. menerima
dari atau memberikan kepada pihak mana pun sumbangan dalam bentuk
apa pun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan; atau b. mengumpulkan dana untuk partai politik. Dan, Ayat (4)
berbunyi, “Ormas dilarang menganut, mengembangkan, serta
menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.”
Menurut Peneliti, setidaknya ada 4 (empat) norma besar yang termuat
dalam pasal tersebut. Pertama, norma tentang larangan penggunaan
simbol tertentu, seperti larangan menggunakan bendera atau lambang
yang sama dengan bendera atau lambang negara Republik Indonesia
menjadi bendera atau lambang Ormas. Larangan menggunakan nama,
lambang, bendera, atau atribut yang sama dengan nama, lambang,
bendera, atau atribut lembaga pemerintahan. Larangan menggunakan
dengan tanpa izin nama, lambang, bendera negara lain atau
105
lembaga/badan internasional menjadi nama, lambang, atau bendera
Ormas. Dan juga larangan menggunakan nama, lambang, bendera, atau
simbol organisasi yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau
keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi
gerakan separatis atau organisasi terlarang, serta larangan untuk
menggunakan nama, lambang, bendera, atau tanda gambar yang
mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan
nama, lambang, bendera, atau tanda gambar Ormas lain atau partai
politik.
Terhadap norma larangan tersebut, menurut Peneliti adalah hal yang
sudah selazimnya. Sebab secara esensi, simbol-simbol ormas yang berupa
nama, lambang, dan bendera adalah ditujukan sebagai penanda Ormas
tertentu dengan Ormas atau oragnisasi lainnya. Jika ternyata sama
dengan simbol organisasi lain maka tujuan dari simbol tersebut akan sirna.
Selain itu, larangan tersebut juga telah diatur lebih dulu sebelum UU
Ormas ini dibentuk. Misalnya, UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera,
Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Pasal 57 b atau c
atau d jo Pasal 69 menyatakan bahwa setiap orang dilarang: (b)
menggunakan Lambang Negara yang rusak dan tidak sesuai dengan
bentuk, warna, dan perbandingan ukuran; (c) membuat lambang untuk
perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau
perusahaan yang sama atau menyerupai Lambang Negara; dan (d)
menggunakan Lambang Negara untuk keperluan selain yang diatur dalam
106
Undang-Undang ini dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun
dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00.71
Kedua, norma tentang larangan melakukan tindakan permusuhan
terhadap suku, agama, ras, atau golongan. Larangan melakukan
penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut
di Indonesia. Larangan melakukan kegiatan separatis yang mengancam
kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Larangan melakukan
tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum,
atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial, atau melakukan kegiatan
yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menurut Peneliti, norma larangan tersebut juga sangat wajar. Bahkan
lebih dari itu, menurut peneliti norma seperti ini sangat diperlukan
mengingat berbagai kejadian dan fakta banyaknya Ormas yang sering
melakukan tindakan kekerasan. Misalnya, oknum sebuah Ormas yang
menyebut dirinya Front Pembela Islam (FPI). Dalam catatan media online
Tempo. Menurut catatan media tersebut, FPI kerap membuat onar di
sejumlah lokasi. Umumnya, kejadian itu berlangsung di kafe atau tempat
hiburan malam. Misalnya, pada 1 November 2004, sekitar 500 anggota
FPI merusak sejumlah kafe dan bentrok dengan Forum Masyarakat
Kemang. Tanggal 27 Juni 2005, FPI menyerang kontes Miss Waria di
Sarinah, Jakarta Pusat. Tanggal 12 April 2006, FPI menyerang kantor
71 UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan
107
majalah Playboy. Tanggal 1 Juni 2008, FPI bentrok dengan aktivis Aliansi
Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Sebanyak 27
aktivis terluka dianiaya FPI. Tanggal 31 April 2010, FPI membubarkan
acara kaum waria di Hotel Bumi Wiyata, Depok, Jawa Barat. Tanggal 24
Juni 2010, FPI Banyuwangi membubarkan sosialisasi kesehatan dari
Komisi Kesehatan DPR karena diduga berbau komunis. Tanggal 4 Mei
2012, FPI membubarkan diskusi buku Allah, Liberty, & Love karya Irshad
Manji di Salihara, Jakarta Selatan. Tanggal 28 Juni 2013, Juru bicara FPI,
Munarman, menyiramkan air teh ke pengamat Tamrin Amal Tomagola
dalam acara Kabar Pagi di TV One.72
Ulah oknum FPI ini sampai mengundang Presiden SBY kala itu untuk
menyampaikan official statement terutama setelah kekerasaan yang
terjadi di Kendal di bulan ramadhan tahun 2013. Seperti biasa Ormas
tersebut berdalih ingin membersihkan tempat-tempat mesum di bulan
suci, sesuai ketentuan yang diterbitkan Pemda setempat, sementara itu
pihak keamanan dianggap belum melakukan penegakan hukum secara
serius. Bentrokan-bentrokan semacam ini, tentu saja menimbulkan
kekhawatiran karena merupakan masalah yang dikaitkan dengan agama.
Dalam pernyataan resminya, Presiden SBY saat itu memerintahkan aparat
72 Aneka Kekerasan ala FPI,
http://www.tempo.co/read/news/2013/07/20/058498067/Aneka-Kekerasan-ala-FPI. diakses pada 28 November 2014.
108
terkait melakukan tindakan penegakan hukum terhadap Ormas yang
melakukan kegiatan "sweeping" dan menimbulkan bentrokan kekerasan di
lapangan. 73
Dari berbagai kejadian tersebut, banyak pihak yang meminta pemerintah
untuk segera membubarkan Ormas tersebut. Oleh karenanya, dengan
aturan yang terdapat dalam 59 Ayat (2) UU Ormas ini, menurut Peneliti,
sudah tepat dan memang sudah seharusnya diatur.
Ketiga, norma tentang larangan untuk menerima dari atau memberikan
kepada pihak mana pun sumbangan dalam bentuk apa pun yang
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan
mengumpulkan dana untuk partai politik.
Menurut Peneliti, aturan tentang larangan menerima dari atau
memberikan kepada pihak mana pun sumbangan dalam bentuk apa pun
yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
adalah sangat penting. Sebab jika tidak ada aturan seperti ini maka akan
memudahkan bagi pihak-pihak tertentu yang ingin melakukan pencucian
uang.
Pengakuan adanya sejumlah Ormas yang diduga menjadi tempat
pencucian uang sempat disampaikan oleh Kementerian Dalam Negeri
(Kemendagri). Reydonnizar (Donny) Moenek, Staf Ahli Menteri Dalam
Negeri (Mendagri) Bidang Politik Hukum dan Hubungan Antarlembaga
73 Ibnu Purna M , Jalan Panjang Membubarkan Ormas, http://old.setkab.go.id/artikel-9790-jalan-panjang-membubarkan-ormas.html
109
Reydonnizar, sebagaimana dikutip oleh Republika Online (7/7/2013),
mengaku memiliki data terkait lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang
menerima dana dari lembaga asing dengan tujuan tertentu, dan juga
terdapat LSM atau ormas yang juga menjadi tempat tindak pidana
pencucian uang (TPPU).74
Begitu juga norma yang melarang sebuah Ormas untuk mengumpulkan
dana untuk partai politik. Sebab jika hal demikian tidak dilarang, maka
tujuan Ormas yang nirlaba dan murni bertujuan sosial, akan bergesekan
dengan tujuan dari partai politik yang pada dasarnya adalah untuk
mendapat kekuasaan.
Selain itu, Peneliti juga meyakini bahwa pengaturan semacam ini juga
berangkat dari pengalaman selama ini yang mana banyak Ormas didirikan
untuk memudahkan pengumpulan massa dan dana. Padahal sejatinya
Ormas harusnya non-partisan, non-pemerintah, dan non-profit.
Ketiga karakter dasar Ormas tersebut bisa kita lihat dalam Istanbul CSO
Development Effectiveness Principles atau yang lebih dikenal dengan
Istanbul Principles,75 yang menyatakan bahwa The essential
characteristics of CSOs as distinct development actors – that they are
74 Kemendagri: Ada LSM Berdana Asing Terlibat Pencucian Uang, http://www.republika.co.id/berita/koran/news-update/13/07/08/mplaco-kemendagri-ada-lsm-berdana-asing-terlibat-pencucian-uang. Diakses pada 29 November 2014.
75 the Istanbul Principles adalah kesepakatan yang dibuat dalam the Open Forum’s Global Assembly di Istanbul, pada tanggal 28 -30 September 2010. Kesepakatan ini menjadi dasar untuk the Open Forum’s Draft International Framework on CSO Development Effectiveness.
110
voluntary, diverse, non-partisan, autonomous, non-violent, working and
collaborating for change – are the foundation for the Istanbul principles
for CSO development effectiveness.76 Dengan demikian maka sudah tepat
pembuat UU mengatur tentang larangan keterlibatan Ormas dalam
penggalangan dana untuk partai politik.
Keempat, norma larangan Ormas menganut, mengembangkan, serta
menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Menurut Peneliti, norma ini seharusnya memang ada sebagai konsekwensi
hidup dan berkembang di Indonesia. Pancasila adalah dasar dan falsafah
hidup bangsa Indonesia. Oleh karenanya, jika ada Ormas yang secara
nyata-nyata bertentangan dengan Pancasila maka sudah seharusnya
harus dibubarkan.
Dengan demikian, dari keempat norma larangan yang termuat dalam
Pasal 59 UU Ormas, tidak ada satupun norma yang menurut peneliti
bertentangan dengan UUD 1945.
76 http://cso-effectiveness.org/istanbul-principles,067
111
BAB V
PENUTUP
i. KESIMPULAN
1. Karakteristik UU ormas yang mengatur ketentuan-ketentuan secara
luas mengikat kepada setiap organisasi yang dapat disebut sebagai ormas
tidak terlepas dari pengertian ormas yang dirumuskan dalam UU ormas.
Ormas dirumuskan sebagai “organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh
masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak,
kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam
pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila.” Berangkat dari rumusan
pengertian ini maka batasan-batasan yang disebut sebagai ormas-pun
memiliki wilayah cakupan yang luas. Pengertian yang dirumuskan
sebagaimana dikutip diatas tidak cukup memberi batasan yang jelas
mengenai organisasi mana saja yang disebut sebagai ormas. Tak pelak
bila jumlah ormas yang terdaftar dalam kementerian dalam negeri
maupun ormas yang berbentuk badan hukum yang didaftarkan pada
kementerian hukum dan Hak Asasi Manusia menjadi sedemikian besar.
Menurut catatan sekilas yang disampaikan oleh Kasubdit Ormas Ditjen
Kesbangpol Kemendagri, pada tahun 2012 terdapat 65 ribu ormas yang
112
tercatat di kesbangpol kabupaten/kota, dan provinsi di seluru Indonesia.
Dan yang belum terdaftar, diperkirakan 10 kali lipat jumlahnya, yang
berati ada 650 ribu ormas. Tidak terbayangkan bila kemudian negara
diberikan kewajiban untuk melakukan pemberdayaan terhadap ormas-
ormas yang tidak berkembang. Alangkah sibuk dan repotnya negara
mengurus ormas yang sedemikian banyaknya. Padahal disisi lain, ormas
dikonstruksikan untuk berjalan bersama dengan pemerintah dalam pola
kemitraan dan kerjasama untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan
warga negara.
Ditambah lagi, rumusan istilah mengenai ormas sebagai “organisasi
kemasyarakatan” pun masih terdapat perbedaan terutama dikalangan
akademisi dalam membedakan konsep “organisasi masyarakat”,
“organisasi massa” dan “organisasi kemasyarakatan”. Selain itu,
dimasyarakat berkembang beragam istilah yang dapat dipadankan sebagai
organisasi kemasyarakatan dengan menggunakan istilah asing maupun
istilah yang telah diterjemahkan, seperti organisasi non pemerintah,
Lembaga Swadaya Masyarakat, Non-Governmental Organisation maupun
Civic society organisation.
Terlepas dari kompleksitas permasalahan dalam merumuskan definisi
ormas sebagaimana diungkapkan diatas, beban perumusan tersebut kini
berada dipundak Mahkamah Konstitusi untuk mengukur kadar
konstitusionalitasnya. Dengan adanya gugatan judicial review UU ormas
oleh Para Pemohon yang termasuk sebagai ormas maka Mahkamah
113
Konstitusi perlu dengan cermat dan hati-hati dalam melakukan
pertimbangan hukumnya.
Dengan pendekatan precedent, putusan-putusan Mahkamah Konstitusi
terdahulu telah banyak mempertimbangkan mengenai kaedah hukum
yang dikandung dalam rumusan bagian ketentuan umum dalam setiap
Undang-Undang. Yurisprudensi MK berdasar pada Putusan Nomor
56/PUU-VI/2008 tanggal 17 Februari 2009 paragraf [3.16] halaman 123-
124 yang berpendapat, "... Ketentuan Umum yang dimaksud dalam suatu
peraturan perundang-undangan dimaksudkan agar batas pengertian atau
definisi, singkatan atau akronim yang berfungsi untuk menjelaskan makna
suatu kata atau istilah memang harus dirumuskan sedemikian rupa
sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda”. Mahkamah Konstitusi
dalam putusan-putusan selanjutnya mempertimbangkan ketentuan yang
terdapat pada pasal 1 setiap Undang-Undang. Misalnya, ketika Mahkamah
Konstitusi memutus dalam putusan nomor 65/PUU-VIII/2010 dimana MK
memperluas definisi saksi dan keterangan saksi. Juga ketika MK memutus
dalam perkara nomor 45/PUU-IX/2011 dimana MK memberi penafsiran
atas definisi “kawasan hutan” dalam UU nomor 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan. Disamping itu, juga terdapat putusan MK nomor 28/PUU-
XI/2013 yang mempertimbangkan mengenai pengertian “koperasi”.
2. Selain rumusan pengertian “ormas”, yang dipermasalahkan dalam
UU ormas lainnya adalah mengenai hal-hal yang bersifat prosedural. Yang
dimaksud dengan hal-hal yang bersifat prosedural disini adalah mengenai
114
tata cara pendirian ormas, syarat struktur dan kepengurusan ormas,
kewajiban pendaftaran ormas, pemberdayaan ormas serta larangan-
larangan yang tidak boleh dilanggar oleh ormas. Dalam pandangan para
pemohon judicial review UU ormas ke MK, aturan-aturan prosedural ini
merupakan pembatasan atas kebebasan berserikat yang dimiliki oleh
setiap warga negara.
Dalam bagian hasil penelitan dan pembahasan sebgaimana tercantum
pada bab IV penelitian ini adalah mengukur tingkat campur tangan negara
dalam mengatur kebebasan berserikat setiap warga negara yang
diperbolehkan. Pengukuran campur tangan negara dalam pengaturan
kebebasan berserikat warga negara bukanlah hal yang mudah karena
banyak sisi yang perlu diperhatikan secara cermat. Dari sisi negara, harus
secara cermat memotret mengenai sistem yang dianut oleh negara, dalam
hal ini Indonesia. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang secara tegar
menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum perlu dielaborasi
lebih lanjut sejauhmana negara memberi perlindungan kepada negara dan
seberapa besar negara campur tangan dalam bidang kehidupan warga
negaranya. Saat ini, berkembang wacana “regulatory state” dimana peran
negara adalah sebagai penghasil regulasi dan tidak campur tangan secara
langsung dalam kehidupan warga negaranya. Oleh sebab itu, aturan yang
berkaitan dengan “pemberdayaan ormas” perlu dimaknai secara
mendalam. Peneliti dalam posisi bahwa aturan mengenai “pemberdayaan
ormas” tidaklah sesuai dengan semangat konstitusionalisme dan
115
bertentangan dengan prinsip pembatasan kebebasan berserikat warga
negara.
Sedangkan, mengenai aturan-aturan prosedural lainnya peneliti dalam
posisi bahwa aturan tersebut termasuk dalam kaidah hukum tanpa sanksi,
atau dalam istilah yang dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo sebagai
lex imperfecta. Tidak semua kaidah-kaidah hukum yang dilanggar itu
menimbulkan sanksi. Terdapat kewajiban-kewajiban yang tidak dapat
dituntut pemunuhannya secara paksa menurut hukum. Kewajiban-
kewajiban ini adalah berhubungan dengan “perikatan alamiah” (natuurlijke
verbintenis, obligatio naturalis). Perikatan alamiah adalah perikatan yang
tidak sempurna yang tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya. Aturan-
aturan prosedural yang diatur dalam UU ormas dapat digoloongkan
sebagai perikatan alamiah, dimana didalamnya tidak mengatur sanksi dan
negara tidak dapat memaksakan penjatuhan sanksinya.
ii. SARAN
Tanpa dimaksudkan untuk mempengaruhi putusan yang akan dijatuhkan
oleh MK dalam pemeriksaan perkara judicial review UU ormas, penelitian
ini merumuskan saran secara umum atas pemeriksaan perkara tersebut.
1. Berkaitan dengan definisi ormas yang dirumuskan dalam UU ormas,
memang terdapat permasalahan yang dalam praktek pelaksanaan UU
ormas dapat menimbulkan polemik yang bersifat teknis. Akan tetapi
bila dipertimbangkan bahwa rumusan definisi ormas itu memiliki
permasalahan konstitusional yang menyebabkan perlu dibatalkan
116
maka justru akan menimbulkan persoalan yang lebih besar. Rumusan
ormas tersebut merupakan roh kandungan dalam UU ormas, bila
rumusan itu dibatalkan maka konsekuensinya harus membatalkan
seluruh UU ormas. Saat ini, sulit untuk merumuskan pengertian
ormas, disebabkan data-data dilapangan tidak mendukung untuk
mengkonstruksikan definisi ormas.
2. Berkaitan dengan aturan prosedural yang diatur dalam UU ormas,
peneliti dalam posisi menyatakan bahwa aturan tersebut termasuk
kaidah hukum tanpa sanksi, lex imperfecta. Terkecuali, aturan
mengenai pemberdayaan ormas dimana peneliti berpendapat bahwa
pengaturan mengenai pemberdayaan ormas adalah bentuk campur
tangan negara terhadap kehidupan berserikat warga negera yang
berada diluar batas kewajaran. Negara tidak perlu atau tidak wajib
campur tangan dalam urusan ormas dengan mengatasnamakan upaya
“pemberdayaan”.
117
D A F T A R P U S T A K A
A. Seligman, The Idea of Civil Society, New York: Free Press, 1992
Alexis de Tocqueville, Democracy in America, George Lawrence (terj.), New York: Anchor Books, 1969
Andrew Arato, “Civil Society against the State: Poland 1980-81”. Telos, no. 47 (1981) hal 23-47
Achmad Fauzi. Et.al. Pancasila Ditinjau dari Segi Sejarah-Segi Yuridis Konstitusional dan Segi Filosofis. Cet.III Malang: Lembaga Penerbitan Universitas Brawijaya, tanpa tahun.
Ahmad Syahrizal. Peradilan Konstitusi; Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif. Cet. I. Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2006.
Alfan Alfian. Nakah Lengkap Silaturrahmi Hari Ulang Tahun ke-5 Gerakan Jalan Lurus Tema: Revitalisasi Pancasila. Ed. Cet.I. Jakarta: Gerakan Jalan Lurus, 2006.
Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manullang. Pengantar ke Filsafat Hukum. Cet. I. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007.
Arbi Sanit. Ormas dan Politik. Cet.I. Jakarta: Lembaga Studi Informasi Pembangunan, 1995.
Arifin P. Soeria Atmadja. Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum Teori, Praktek, dan Kritik. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Cees Flinterman. “Three Generations of Human Rights”, Human Rights in a Pluralist World Individuals and Collectivities. (The Netherlands: UNESCO-RSC-MECKLER, 1990). Hal. 76.
C.S.T. Kansil. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Pradnya Pramita, 1992.
Christopher Hann dan Elizabeth Dunn (eds), Civil Society: Challenging Western Models. New York: Routledge, 1966
Derrick Purdue (eds), Civil Societies and Social Movements: Potentials and Problems. NewYork: Routledge, 2007
Daniel Bell. Matinya Ideologi. Magelang: Indonesia Tera, 2001.
iv
Darji Darmodiharjo dan Sidharta. Pokok-pokok Filsafat Hukum, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995.
Donny Gahral Adian. Arus Pemikiran Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra, 2001.
Eka Darmaputera. Struggling in Hope Bergumul dalam Pengharapan. Cet. 3. Jakarta: Gunung Mulia, 2004.
Firmanzah. Mengelola Partai Politik. Ed. I. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.
Francis Fukuyama. The end of history and the last men; kemenangan kapitalisme dalam ideologi liberal. Yogyakarta: Qalam, 2003.
Franz Magnis-Suseno. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Gamal Komandoko. Boedi Oetomo. Yogyakarta: Media Pressindo, 2008.
Gunawan Setiardja. Hak-hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila. Yogykarta: Kanisius, 1993.
______. Dialektika Hukum dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1990.
Hans Kelsen. Nurainun Mangunsong dan Raisul Muttaqien. Ed. Teori Umum tentang Hukum dan Negara. Ujung Berung: Nusamedia, 2006.
Harun Alrasid. Naskah UUD 1945 Sesudah Empat Kali Diubah oleh MPR. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 2007.
Herman Hidayat. “Sistem Politik Orde Baru Menuju Kepudaran” dalam Krisis Masa Kini dan Orde Baru. Cet.I. Jakarta: Yayasan Obor, 2003.
H.A.R. Tilaar. Kekuasaan Pendidikan; Suatu Tinjauan dari Perspektif Pendidikan, Cet.1. Magelang: Indonesia Tera, 2003.
Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Konstitusi Press, 2006. Cet. ke-3
______. Menuju Negara Hukum yang Demokratis. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008.
______. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Ed. 1. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2009.
John Clark. NGO dan Pembangunan Demokrasi. Cet. I. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1995.
v
John McCormick. Comparative Politics in Transisition Fourth Edition. California: Wadsworth, 2004.
Jurgen Habermas, The structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into Bourgeois Society, Cambridge: MIT Press, 1994
K. Bertens. Sejarah Filsafat Yunani.Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1997.
Majda El-Muhtaj. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia Dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002. Cet. 1. Jakarta: Prenada Media, 2005.
Mahfud MD. Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi. Yogyakarta: Gama Media, 1999.
Maria Farida Indrati S. Ilmu Perundang-undangan Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan. Yogyakarta: Kanisius, 2007.
Miriam Budiarjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Cet. 3. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, Mei 1978.
Muhammad Yamin. Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Djilid Pertama. Djakarta: Jajasan Prapantja, 1959.
Muladi. Hak Asasi Manusia. Bandung: PT Refika Aditama, 2005.
Nurcholish Majid. Indonesia Kita. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004)
M.W. Foley dan B. Edwards. The Paradox of Civil Society. Journal of Democracy 7, no. 3 (1996): 38-52
Mansour Fakih, Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial: Pergolakan Ideologi LSM Indonesia. Yogyakarta: Putaka Pelajar, 2004
Muchammad Ali Safaat, Pembubaran Partai Politik: Pengaturan dan Praktik Pembubaran Partai Politik dalam Pergulatan Republik. Jakarta: Rajawali Press, 2011
Padmo Wahjono. Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983.
Peter R. Baehr. “Human Rights and Peoples Rights”, Human Rights in a Pluralist World Individual and Collectivities. (The Netherlands: UNESCO-RSC-MECKLER, 1990), hal. 99-100.
Phillip Eldridge. NGOs In Indonesia: Popular Movement or Arm of Government? Victoria: The Centre of Southeast Asian Studies Monash University, 1989.
Ramlan Surbakti. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1999.
vi
Ramlond Naning. Cita dan Citra Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jakarta: Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia Program Penunjang Bantuan Hukum Indonesia, 1983.
Richard H. Hall. Organizations Structures, Processes, and Outcomes. 8th ed. New Jersey: Pearson Education, 2002.
Robert A. Dahl. On Democracy. USA: Yale University Press, 1998.
Rocky Gerung. Ed. Hak Asasi Manusia Teori, Hukum, Kasus. Depok: Filsafat UI Press, 2006.
Satya Arinanto. Hak Asasi Manusia dalam Transaksi Politik di Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, cetakan ketiga, 2008.
Soehino. Hukum Tata Negara, Negara Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 adalah
Negara Hukum. Yogyakarta: Liberty, 1985.
Pradjoto, Kebebasan Berserikat Di Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan, 1983
Robert Putnam, Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy. Princeton: Princeton University Press, 1993
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif dan Tinjauan Singkat. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010.
_____. Peranan dan Penggunaan Perpustakaan di dalam Penelitian Hukum. Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1979.
Sri Utari. “Kemerdekaan Berserikat dan Berkumpul. Suatu Kajian terhadap Pengaturan tentang Partai Politik di Indonesia).” Disertasi Doktor Universitas Indonesia, 2004.
Sudargo Gautama. Pengertian Negara Hukum. Bandung: Alumni, 1983.
S. Suryountoro. Dasar-dasar Pengertian Pancasila. Jakarta: Ghalia Indonesia.
S. V. Parma. Teori Politik Modern. Rajawali: Jakarta, 1987.
Theo Huijbers. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1995.
Yayasan Idayu. Kilasan Petikan Sejarah Budi Utomo. Jakarta: Yayasan
Idayu, 1975.
vii
Artikel
Kuntara. “Kelebihan Ideologi Pancasila Dibanding dengan Komunisme dan Liberalisme”. Kertas Karya Perorangan (Taskap) Peserta Kursus Reguler Angktan ke XIX. Jakarta: Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Lembaga Pertahanan Nasional, 1986.
Kusnadi. “Kemandirian Ormas”. Organisasi Kemasyarakatan Kumpulan Kliping, Berita, Tajuk Rencana, Karangan/Artikel. Jakarta: Bagian Dokumentasi dan Penerbitan Biro Dokumentasi dan Penerangan BP-7 Pusat, 1996.
Lorens Bagus. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000.
Satya Arinanto. “Negara Orde Baru dan Hak-Hak Rakyat”. Jurnal Hukum dan Pembangunan XXVII (1) (Februari 1997).
Soetrisno. “Organisasi Kemasyarakatan dan Pancasila sebagai Satu-satunya Asas, Soeharto”. Kertas Karya Perseorangan (Taskap) Perseorangan Peserta Kursus Reguler Angkatan Ke XVIII 1985 Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Lembaga Pertahanan Nasional).
“Dua Kovenan Diratifikasi,dengan Reservasi pada Hak menentukan nasib sendiri”. Kompas. (Sabtu 1 Oktober 2005).
“Negara Lemah Terhadap Ormas”. Indo Pos. (2 November 2007),
James A. Donald. “Natural Law and Natural Rights” http://jim.com/rights.html.
Jimly Asshidiqqie. ”Ideologi, Pancasila dan Konstitusi” http://www.jimly.com/makalah/namafile/3/ideologi_pancasila_dan_konstitusi.doc-..
Komisi Hukum Nasional. “Arti Pengesahan Dua Kovenan HAM Bagi Penegakan Hukum” http://www.komisihukum.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=92%3Aarti-pengesahan-da-kovenan-ham-bagi-penegakan-hukum&catid=37%3Aopini&Itemid=61&lang=in.
Laode Ida. “Agama Sosial”, http://opinibebas.epajak.org/search Pancasila+sebagai+ideology/page/2.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). “Hak Asasi Manusia Tanpa Dukungan Politik” http://www.elsam.or.id/pdf/Catatan%20HAM%20Awal%20Tahun%202008%20-%20Elsam.pdf.
viii
Pipin Hanapiah. “Pemberdayaan Ormas dan LSM Dimensi Peraturan Perundang-undangan” http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content /uploads/2009/05/pemberdayaan ormaslsm.pdf..
Samuel Huntington. “Will More Countries Become Democratic?”http://www.cooperativeindividualism.org/huntingtonsamuel_democracy.html.
SETARA Institute. “Mengukur Komitmen Partai Politik Terhadap HAM” http://www.setara-institute.org/content/mengukurkomitmen-partai-politik-terhadap-ham.
Soeprapto. “Implementasi Pancasila dari Masa ke Masa Pemerintahan Presiden Soekarno”, http://www.pelita.or.id/baca.php?id=27970.
Solly Lubis, “Pembangunan Hukum Nasional” (Denpasar: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 14-18 Juli 2003)http://www.lfpi.org/English/pdf/baliseminar/Makalah%20-%20solly...-
Sudarsono. “Government by Amateurs” http://rezaal.blogspot.com/2009/03/government-byamateurs.html.
Tim Dirjen Kesbang Depdagri. “Pemberdayaan Ormas” http:www.sinarharapan.co.id/berita/07/12/08/nas05.html.
“Civil Society and Popular Participation” http://www.idea.int/sod/framework/civ_soc_pop_particip.cm
“Mass Organizations and Interest Groups” http://countrystudies.us/angola/103.htm.
“Pemerintah Berusaha Batasi Ormas” http://puspen.depdagri.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1576:pemerintah-berusaha-batasi-ormas&catid=61:actual-media-cetak&Itemid=76.
“Pemikiran Sosial Soekarno” http://tonytampake.files.wordpres.com/2008/04/pemikiran-sosial-soekarno.ppt.
“Perkumpulan-perkumpulan Berbadan Hukum (Rechtspersoonlijkheid van Vereenigingen) Keputusan Raja 28 Maret 1870, S- 1870-64” http://www.legalitas.org/database/staatsblad/stb1870-64.pdf.
ix
Peraturan Perundang-undangan
Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, UUD NRI Tahun 1945.
Indonesia. Konstitusi Republik Indonesia Serikat, Keputusan Presiden RIS 31 Djan. 1950 Nr. 48.(c) LN 50–3.
Indonesia. Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan, UU No. 8 Tahun 1985, LN No. 44 Tahun 1985, TLN No. 3298.
Indonesia. Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan, UU No. 17 Tahun 2013, LN No. 116 Tahun 2013, TLN No. 5430.
Indonesia. Peraturan Pemerintah Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, PP No. 18 Tahun 1986.
Indonesia. Undang-Undang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), UU No. 12 Tahun 2005, LN No. 119 Tahun 2005 TLN No. 4558.
Indonesia. Undang-Undang tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights. UU No. 11 Tahun 2005, LN No. 118 Tahun 2005 TLN No. 4557.
Staatsblaad van Nederlandsch-Indie voor Het Jaar 1870. Batavia Ter Landsdrukkerij 1870.
x