laporan penelitian masjid dan fragmentasi sosial ...repository.uinmataram.ac.id/323/1/323.pdf ·...
TRANSCRIPT
i
LAPORAN PENELITIAN
MASJID DAN FRAGMENTASI SOSIAL: Pencarian Eksistensi Salafi di Tengah Mainstream Islam di Lombok
Oleh:
Dr. Saparudin, M.Ag Dr. Emawati, M.Ag
PUSAT PENELITIAN DAN PUBLIKASI ILMIAH LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA
MASYARAKAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM
TAHUN 2018
No. Reg. 171020000008426/PDPPS
ii
iii
DAFTAR ISI
Halaman Sampul [i]
Halaman Pengesahan [ii]
Daftar Isi [iii]
Daftar Lampiran [iv]
Daftar Tabel [v]
BAB I: PENDAHULUAN [1]
A. Latar Belakang Masalah [1]
B. Rumusan Masalah [5]
C. Tujuan Penelitian [5]
D. Manfaat Penelitian [6]
BAB II: PERSPEKTIF PENELITIAN [7]
A. Penelitian Terdahulu [7]
B. Kerangka Teori [10]
BAB III: METODE PENELITIAN [13]
A. Paradigma dan Jenis Penelitian [13]
B. Lokasi Penelitian [14]
C. Data dan Sumber Data [14]
D. Teknik Pengumpulan Data [15]
E. Teknik Analisis [16]
BAB IV: MENGERAKKAN MASJID: SETTING SOSIAL DAN DINAMIKA SALAFI DI LOMBOK [17]
A. Lombok: Pulau Seribu Masjid dan Performa Islam [17]
B. Kemunculan Gerakan Salafi di Lombok [24]
C. Bagek Nyake sebagai Basis Membangun Eksistensi: Peran Masjid Jamaludin
dan Sulaiman al-Fauzan [25]
iv
D. Masjid Ummu Sulaiman Suela: Negosiasi dan Tensi [34]
E. Desa Bebidas: Ekspansi Salafi [39]
F. Doktrin Salafi: Teologi dan Sistingsi [42]
BAB V: MASJID, FRAGMENTASI SOSIAL DAN PENGUKUHAN EKSISTENSI SALAFI [55]
A. Mengalah untuk Menang: Kasus Pendirian Masjid Jamaludin [55]
B. Melawan untuk Menang: Kasus Ambil Alih Masjid An-Nur Bebidas [59]
C. Konflik dan Pengerusakan Masjid Salafi: Kasus Suela [62]
D. Perang Speaker, Justifikasi dan Penegasian: Kasus “Masjid dalam” dan
Jamaludin [65]
E. Bentuk Fragmentasi Sosial [66]
F. Masjid, Pembentukan Identitas Baru, dan Penguatan Eksistensi [68]
G. Respon Islam Mainstream [69]
H. Faktor-faktor Fragmentasi [73]
I. Akselerasi Gerakan Salafi: Media Pendukung [76]
BAB V: PENUTUP [79]
A. Simpulan [79]
B. Saran [80]
DAFTAR ISI [81] LAMPIRAN-LAMPIRAN
v
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Jumlah Umat Beragama [19]
Tabel 2. lembaga pendidikan keagamaan di Bagek Nyake [26]
Tabel 3. Jumlah Penduduk Desa Bagek Nyaka Berdasarkan Jenis Kelamin [27]
Tabel 4. Jumlah Penduduk Desa Suela [36]
Tabel 5. Sarana Ibadah di Desa Suela [37]
Tabel 6. Luas Wilayah Desa Bebidas [40]
Tabel 7. Jumlah Penduduk Desa Bebidas [40]
Tabel 8. Jumlah Umat Beragama di Desa Bebidas [41]
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sulit untuk disangkal bahwa reformasi yang diikuti proses demokratisasi
sejak 1998 memberi kontribusi terhadap semakin menguatnya rivalitas, keragaman
dan dinamika gerakan keagamaan. Analisis Martin van Bruinessen1 dan Robert W.
Hefner2 menunjukkan bahwa reformasi memberikan ruang yang semakin terbuka
untuk tumbuh dan bangkitnya berbagai gerakan keagamaan dengan identitas ideologi
masing-masing, baik yang bersifat demokratis, progressif maupun konservatif, dan
bahkan radikal. Hadir dan berkembangnya gerakan Islam yang bersifat transnasional
semisal Salafi, Hizbut Tahrir Indonesia, Jama’ah Islamiyah, Tarbiyah – Ikhwan al-
Muslim dan Jama’ah Tabligh di berbagai daerah semakin memperkuat
kecenderungan ini. Bahkan menurut Azra, gerakan keagamaan yang tidak diketahui
sebelumnya semisal Forum Komunikasi Ahlu-Sunnah Wal-Jama’ah (FKASWJ),
Lasykar Jihad, Fron Pembela Islam (FPI) mendapat momentum.3 Meuleman secara
tegas mengatakan bahwa runtuhnya orde baru berkontribusi dalam mengintensifkan
persaingan perebutan otoritas keagamaan antar kelompok keagamaan, dimana
kepentingan ideologis lintas Negara juga terlibat untuk menanamkan pengaruhnya.4
Kelompok Salafi, - sebagaimana yang akan ditunjukkan merupakan salah
satu gerakan keagamaan yang memiliki progress dan sebaran yang tinggi di tengah
keragaman tersebut. Perkembangannya menghadirkan corak baru pola keberagamaan
di Indonesia. Walaupun jumlahnya tidak begitu signifikan, namun lembaga-lembaga
pendidikan dan dakwah yang berafiliasi dengan salafi yang secara terus menerus
1Martin van Bruinessen, Contemporary Developments in Indonesian Islam Explaining the
“Conservative Turn” (Singapore: ISEAS, 2013), 21-53. 2Robert W. Hefner, Is lamic Schools, Social Movements, and Democrasy in Indonesia, dalam Robert
W. Hefner (ed.) Making Modern Muslims the Politics of Islamic Education in Southeast Asia (Honolulu: University of Hawai Press, 2009), 55-98. Lihat jugaRobert W. Hefner.“Public Islam and the problem of Democratization”.Sociology of Religion (2001): 62:4, 491-514.
3Azyumardi Azra, Distinguishing Indonesian Islam Some Lessons to Learn, dalam Jaja t Burhanuddin dan Kees van Dijk (eds.), Islam in Indonesia Contrasting Images and Interpretations. Amsterdam: ICAS/Amsterdam University Press, 2013), 72-73.
4Meuleman, J. (2011). Dakwah, competition for authority, and development. Bijdragen Tot De Taal-, Land- En Volkenkunde, 167(2), 236.
2
didukung oleh Arab Saudi, tumbuh dan tetap akan memberikan pengaruh terhadap
perubahan sosial dan politik di Indonesia.5 Sejumlah yayasan Timur Tengah, seperti
Rabitah al-Alam Islami6 dan International Islamic Relief Organization (IIRO)
memiliki kontribusi.7 Belakangan, sejumlah lembaga seperti Islamic Development
Bank, Kementerian Pendidikan Saudi, Raja Qatar dan Kuwait, dan sejumlah donatur
pribadi di kawasan Uni Emiret Arab, ikut terlibat dalam projek ini.8 Kehadiran
lembaga Ihya al-Turats bersama yayasan Jami’iyah Darul Birr, juga secara aktif
memberikan dukungan finansial lembaga pendidikan dan Masjid di berbagai daerah
di tanah air.9 Sehingga dari waktu ke waktu, perkembangan dakwah salaf i
menunjukkan peningkatan secara terus menerus.
Dalam konteks Lombok, meski tidak diketahui secara pasti kapan gerakan
Salafi diperkenalkan di daerah ini, - dengan menandaskan diri pada manhaj salaf,10
kelompok ini berkembang secara signifikan, dan terlibat secara aktif dalam
pembentukan struktur dan kultur keberagamaan masyarakat Sasak.11 Merasa
memperoleh legalitas normatif generasi salaf al-sha>leh, kelompok ini meneguhkan
dirinya sebagai gerakan Islam murni, untuk memurnikan keberislaman masyarakat.
Tidak heran jika dalam praktiknya, kelompok ini mengusung apa yang disebut
Charlene Tan sebagai sectarian brand of wahabisme12 untuk purifikasi dan
menegasikan pola keberagamaan kelompok lain.
Di tengah stereotype negatif dan resistensi dari kelompok mainstream
Nahdlatul Wathan (NW) dan Nahdlatul Ulama (NU), gerakan Salafi menunjukkan
dinamika dan memperoleh apresiasi yang semakin tinggi dari masyarakat. Hal ini
ditandai tidak hanya perkembangan jumlah Masjid dan lembaga pendidikan yang
5Robert W. Hefner, Islamic Schools, Social Movements, 91. 6Noorhaidi Hasan, The Salafi Madrasas of Indonesia, 255. Lihat juga Martin van Bruinessen,
Introduction: Contemporery Developments in Indonesian Islam , 51-52. 7Abdurrahman Wahid (ed.) Ilusi Negara Islam Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di
Indonesia (Jakarta: Wahid Institut, Maarif Institut dan Gerakan Bhineka Tunggal Ika, 2009), 75. 8Joseph Chinyong Liow, "Muslim Identity, Local Networks, and Transnational Islam in Thailand's
Southern Border Provinces." Modern Asian Studies 45, no. 6 (11, 2011): 1383-421. 9Lebih lengkap lihat Chris Chaplin, Imagining the Land of the Two Holy Mosques,225-226. 10Abd al-Salam ibn Salim al-Sahimy, Kun Salafiyyan ‘ala al-Ja>ddah (Madinah al-Nabawiyah, tp.
1423 H.), 50-51. 11Sasak merupakan suku asli masyarakat Lombok. Berdasarkan temuan bukti-bukti arkeologis
prasejarah Gumi Sasak, asal-usul suku Sasak adalah ras Mongoloid di Asia Tenggara, pencampuran dari suku Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Bali, dan Nusa Tenggara. Lihat H. Sudirman, Gumi Sasak dalam Sejarah (Bagian I), (Lombok: KSU Primaguna- Pusat Studi dan Kajian Budaya, 2012), 1, 16.
12Charlene Tan, Educative Tradition and Islamic school in Indonesia, Journal of Arabic and Islamic Studies, 14 (2014):47-62. 60
3
diselenggarakan, juga jumlah pengikut yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Beberapa lembaga pendidikan, seperti Ponpes: Abu Hurairah, Ubay bin Ka’ab dan
Imam Syafi’i Mataram; Abu Zar al-Ghifari, dan Abu Abdillah Lombok Barat, al-
Sunnah, al-Manar, al-Shifa’, Anas bin Malik dan Jamaludin Lombok Timur; dan
Abu Darda di Lombok Tengah,13 dapat disebut sebagai beberapa contoh yang
memberikan akselerasi gerakan Salafi.
Tumbuh di tengah kultur keberagamaan mainstream NW dan NU, gerakan
Salafi menempatkan Masjid sebagai wadah dan networking gerakan utama, di
samping lembaga pendidikan. Penempatan Masjid sebagai basis gerakan
sebagaimana diamati Chaplin, secara sosiologis dan teologis memiliki implikasi
psikologis, tidak hanya dipandang tempat sakral juga aktivitas di dalamnya
merupakan ibadah. Ustaz Abdullah, Pimpinan Ponpes Assunnah, dan Ustaz Syafi’,
Pimpinan Ponpes Anas bin Malik Lombok Timur menuturkan tidak kurang dari 90
Masjid Salafi tersebar di Lombok dalam 15 tahun terakhir. Meskipun jumlah ini
tidak signifikan jika dibandingkan jumlah Masjid yang mencapai 3.92814 di daerah
ini, namun jumlah ini akan terus bertambah bersamaan dengan semakin besarnya
dukungan Arab Saudi dan semakin opensif dan intensifnya dakwah Salafi di tempat
ini.
Bertambahnya jumlah Masjid, bagi salafi tidak semata-mata sebagai indikator
pertumbuhan proponen, lebih dari itu juga pembentukan identitas ideologis baru
masyarakat sasak. Konskuensinya, jika tidak dapat mengontrol aktivitas keagamaan
di suatu Masjid, maka kelompok Salafi bersikukuh memiliki Masjid tersendiri,
terpisah dari Masjid masyarakat sekitar pada umumnya, meskipun secara geografis
berdekatan. Sehingga dalam satu dusun di beberapa desa dapat dengan mudah
ditemui sejumlah Masjid yang saling berdekatan dengan tipologi jama’ah dan paham
keagamaan yang berbeda. Label “Masjid Salafi” atau “Masjid Wahabi” kerap
diperlawankan dengan “Masjid Umum”. Memiliki Masjid sendiri bermakna secara
teologis menjaga manhaj salaf, Islam murni bebas dari bid’ah, dan secara ideologis
bermakna memiliki ruang untuk menanamkan dan menyebarkan prilaku keagamaan
sesuai dengan paham yang dianutnya. Pada gilirannya, Masjid hanya akan
13 Saparudin, Salafism, State Recognition, and Social Tension: New Trend Islamic Education in
Lombok. Ulumuna Journal of Islamic Studies, vol. 21, no. 1, 2017, 81- 90. 14Badan Statistik NTB, Nusa Tenggara Barat dalam Angka tahun 2013, 223.
4
memperkuat eksistensi ideologis dan menjadi sarana yang ampuh dan instrumen
legimitasi sektarian kelompok tertentu.
Sikap puritan Salafi yang diwujudkan dalam pemisahan tempat ibadah dengan
kelompok Muslim mainstream memiliki resistensi sosial. Sebagian besar dari
pembangunan Masjid baru Salafi selalu disertai ketegangan sosial dan konflik.
Sejauh identifikasi awal, setidaknya ada 14 konflik keagamaan yang melibatkan
Salafi dengan mainstream Islam Lombok, dimana Masjid Salafi kerap menjadi objek.
Semakin meningkatnya tensi sosial yang melibatkan sentiment teologis-ideologis,
dimana perusakan Masjid dan rumah, serta pengusiran jama’ah Salafi kerap terjadi.
Dampak lebih jauh, sejumlah kasus pemutusan hubungan sosial dan pemutusan
hubungan keluarga antara anak dengan orang tua, antar saudara, dan perceraian
karena perbedaan afiliasi paham keagamaan dan pilihan Masjid, kini menjadi
fenomena baru. Pada akhirnya, masyarakat dipisahkan berdasarkan afiliasi paham
keagamaan dan Masjid.
Terjadinya fragmentasi sosial di atas, tidaklah semata-semata dipengaruhi isu
teologis perbedaan paham keagamaan, sebagaimana temuan Chaplin,15 Liow,16
Wiktorowicz,17 Alvi,18 Murdianto dan Azwani,19 Fauziah,20 Nuhrison M. Nuh.21
lebih dari itu, juga kontestasi pembentukan dan peneguhan eksistensi komunal Salafi
di tengah mainstream. Perbedaan paham keagamaan kini berkembang ke rivalitas
kelompok untuk mengontrol otoritas keagamaan dan masyarakat. Hal ini dilakukan
bersamaan dengan semakin konfidennya kelompok Salafi atas dukungan ideologis
dan finansial sejumlah donatur Timur Tengah dalam melakukan dakwah. Pada saat
yang bersamaan, bagi NW dan NU, perkembangan Salafi merupakan rival ideologis
15Chaplin, Chris. 2014. Imagining the Land of the Two Holy Mosques: The Social and Doctrina l
Importance of Saudi Arabia in Indonesian Salafi Discourse, ASEAS – Austrian Journal of South-East Asian Studies, 7 (2).
16Joseph Chinyong Liow, "Muslim Identity, Local Networks, and Transnational Islam in Thailand's Southern Border Provinces." Modern Asian Studies 45, no. 6 (11, 2011): 1383-421.
17Wiktorowicz, Quintan. 2000. “The Salafi Movement in Jordan.” International Journal of Middle East Studies 32, (2).
18Hayat Alvi. 2014. “The Diffusion of Intra-Islamic Violence and Terrorism: The Impact of the Proliferation of Salafi/Wahabi Ideologies.” Middle East Review of International Affairs 18, (2), 380.
19Murdianto dan Azwani, Dakwah dan Konflik Sosial Jama’ah Salafi d i Gunungsari Lombok Barat, Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 9, nomor 2, 2013.
20Faizah, Pergulatan Teologi Salafi dalam Maenstream Keberagamaan Masyarakat Sasak, Ulumuna Jurnal Studi Keislaman, Volume 16, no. 2, 2012.
21Nuhrison M. Nuh, Kelompok Salafi di Kabupaten Lombok Barat, dalam Ahmad Syafi’I Mufid (ed.), Kasus-Kasus Aliran/Paham Kegamaan Aktual di Indonesia (Jakarta: Balitbangdiklat Depag., 2009).
5
bahkan ancaman baru. Sebagai kelompok dominan yang telah lama menjadikan
tradisi sebagai ekspresi keislaman, NU dan NW memandang bahwa penegasian
Salafi ini adalah sikap provokatif dan mengabaikan perbedaan paham keagamaan.
Ketegangan semakin terasa ketika terjadinya konversi sejumlah jamaahnya ke
Salafi,22 dan adanya beberapa Masjid yang awalnya berafiliasi dengan dua Ormas
tersebut kini berada di bawah kontrol elit Salafi.
Berdasarkan realitas di atas, riset statement yang diajukan adalah Masjid kini
mengalami pergeseran untuk tidak hanya sebagai tempat pembentukan identitas
ideologis tertentu, juga sebagai wadah pencarian dan penguatan otoritas keagamaan
elit komunal kelompok keagamaan. Bahkan Masjid menjadi simbol fragmentasi
sosial, dimana antar kelompok saling menegasikan dan membangun sterotype negatif
di dalamnya pada tingkat lokal. Di sisi lain, fragmentasi sosial tidak lagi terbatas
karena perbedaan paham keagamaan, tetapi lebih jauh kontestasi dan proses
peneguhan eksistensi komunal dalam mengontrol otoritas keagamaan dan
masyarakat Islam.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan isu dan kecenderungan di atas, pertanyaan yang diajukan adalah
bagaimana Masjid Salafi tumbuh dan digunakan sebagai tempat pembentukan
identitas ideologis, dan implikasinya terhadap fragmentasi sosial dan eksistensi
Salafi sendiri di Lombok?.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini difokuskan untuk penggalian data tentang pola petumbuhan
Masjid-Masjid Salafi dan pembentukan identitas ideologis - dalam dan melalui
Masjid tersebut. Selanjutnya diidentifikasi, dianalisi dan dipetakan implikasi-
implikasi sosiologisnya terhadap terjadinya fragmentasi sosial masyarakat Islam
sekitar Masjid.
22Saparudin, Pemutusan Hubungan Keluarga Berdasarkan Afiliasi Lembaga Keagamaan,
Laporan Penelitian Dosen Muda. DP2M Dikti, 2007.
6
D. Manfaat Penelitian Penguatan pergulatan internal umat Islam yang direpresentasikan oleh
gerakan dan kelompok keagamaan berdampak tidak hanya terhadap semakin
beragamnya corak keberagamaan, namun juga semakin tingginya tensi sosial internal
umat Islam. Maka, membangun dan memperkuat kohesi sosial umat Islam yang
berbasis pada hasil-hasil penelitian semakin dibutuhkan. Menjadikan Salafi sebagai
fokus kajian, secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
empiris tentang dinamika dan eksistensi Salafi di tengah mainstream Islam Lombok,
respon lokalitas dan dampak sosiologis yang menyertainya. Bagi pemerintah daerah,
informasi ini dapat dijadikan dasar pengambilan kebijakan terhadap pembangunan
harmoni dan kerukunan internal umat beragama. Sedangkan bagi pimpinan
kelompok keagamaan, hasil studi ini dapat dijadikan evaluasi, terutama terkait
dengan implikasi-implikasi sosiologis (fragmentasi sosial) dari pergulatan ideologis
yang dijalankan. Sekaligus dapat dijadikan refleksi empiris atas kecenderungan
fenomena sosial keagamaan, terutama di tingkat lokal-Lombok.
Sedangakan secara teoritis, di tengah semakin menguatnya isu-isu radikalisme
dan konservatisme di satu sisi, dan tuntutan memperkuat pluralism dan
multikulturalisme di sisi lain, diskursus keragaman dan pergulatan gerakan
keagamaan semakin memperoleh perhatian. Maka hasil studi ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi pengetahuan terkait, dan sebagai salah satu bahan diskursus
akademik tentang dinamika sosial keagamaan, terutama di kawasan Indonesia Timur.
7
BAB II
PERSPEKTIF PENELITIAN
A. Penelitian Terdahulu Berdasarkan hasil identifikasi, ada beberapa hasil kajian tentang gerakan
keagamaan yang memimiliki titik singgung dan relevansi dengan fokus penelitian
ini. Sesuai theorical mapping yang dilakukan, - sebagaimana akan dijelaskan, para
peneliti menempatkan Salafi dalam hubungannya dengan doktrin teologis yang
dipertentangkan dengan tradisi lokal. Sehingga mereka memiliki kecenderungan
untuk memposisikan perbedaan paham keagamaanlah yang menjadi pemicu utama
konflik dengan kelompok Islam di berbagai tempat. Tanpa mengabaikan pandangan
ini, sebagaimana diuraikan pada latar belakang, bahwa fragmentasi sosial tidak lagi
terbatas karena perbedaan paham keagamaan, tetapi lebih jauh kontestasi dan
peneguhan eksistensi komunal dalam mengontrol otoritas keagamaan dan
masyarakat Islam. Di samping itu, bagaimana identitas ideologis dikonstruksi dan
instrument Masjid dijadikan wadahnya, serta pergeseran peran dan fungsi Masjid
dari sekedar tempat ibadah menjadi tempat ideologisasi, saling menegasikan dan
membangun sterotype negatif belum sepenuhnya mendapat perhatian. Hal ini
penting, mengingat militansi proponen Salafi untuk selanjutnya bersedia berjuang
dan berkorban untuk dan atas nama manhaj salaf dibangun pada aspek ini.
Berkaitan dengan gerakan keagamaan terdapat beberapa hasil studi yang
memadai. Martin van Bruinessen melalui hasil studinya Contemporary
Developments in Indonesian Islam Explaining the “Conservative Turn”,23 berhasil
memetakan orientasi dan afiliasi gerakan sosial keagamaan kontemporer. Secara
lugas ia menjelaskan bahwa gerakan-gerakan sosial keagamaan tidak hanya lahir dari
respon lokalitas-keindonesiaan, sebagaimana Muhammadiyah dan NU, juga
hubungan yang bersifat transnasional seperti Jamaah Islamiyah, gerakan Tarbiyah,
Majlis Muhjahidin Indonesia, Hizbut Tahrir dan kelompok Salafi Wahabi sendiri.
Hadirnya gerakan yang bercorak konservatif seperti Salafi menurut Bruinessen
merupakan kelompok independen yang memberikan warna tersendiri. Berbasis pada
23Martin van Bruinessen, Contemporary Developments in Indonesian Islam Explaining the “Conservative Turn” (Singapore: ISEAS, 2013).
8
isu-isu sosial-keagamaan dan respon kelompok keagamaan, ia menyebutnya sebagai
conservative turn, dimana islamisme memperoleh momentum.
Lebih lanjut, berdasarkan analisis Jajat Burhanudin, berkembangnya gerakan
yang cenderung konservatif semisal Salafi beberapa tahun terakhir karena
Muhammadiyah dan NU cenderung lebih konsentrasi terhadap politik. Sementara
program-program spiritualitas keagamaan cenderung terabaikan.24 Pada saat yang
bersamaan, kekosongan ini kemudian menjadi peluang bagi kelompok Islamis untuk
menarik simpati dengan mengusung isu-isu agama ke ruang publik. Di sisi lain, suara
dua Ormas tersebut tidak memadai bahkan terabaikan dari media massa, dimana
kelompok radikal atau konservatif lebih tertarik untuk memanfaatkannya.25
Pergulatan tersebut selanjutnya memperoleh pengabsahan oleh perbedaan
sosial budaya masyarakat. Meuleman dalam artikelnya Dakwah, Competition for
Authority, and Development,26 menjelaskan perbedaan sosial dan budaya masyarakat
Indonesia dan adanya transformasi yang mendasar mempengaruhi keragaman
gerakan dakwah. Kondisi ini mempengaruhi terjadinya persaingan perebutan otoritas
keagamaan di Indonesia. Hadirnya gerakan salafi dan gerakan transnasional lainnya
memperkuat tidak hanya kompetisi, juga tensi dan konflik horizontal.
Masih terkait dengan gerakan keagamaan yang mempengaruhi wajah Islam di
Asia Tenggara, dua hasil studi Angel M. Rabasa, penting dihadirkan. Masing-masing
Islamic Education in Southeast Asia,27 dan Radical Islamist Ideologis in Southeast
Asia.28 Melalui dua karyanya ini Rabasa berhasil mengidentifikasi keragaman dan
kecenderungan gerakan keagamaan di beberapa negara seperti Malaysia, Thailand,
Philifina, dan Indonesia. Gerakan keagamaan transnasional seperti Salafi Wahabi dan
Tarbiyah Ikhwan Al-Muslim, dan Jama’ah Islamiyah dijelaskan Rabasa sebagai
gerakan kontemporer yang secara intens terlibat dalam pembentukan identitas dan
orientasi masyarakat Islam, di samping organisasi lokal NU dan Muhammadiyah.
Berdasarkan analisisnya terhadap kecenderungan ini, ia sampai pada simpulan bahwa
24Jajat Burhanudin, “Redefening the Roles of Islamic Organizations in the Reformasi Era”. Studia Islamika, Vol. 17, No. 2, 2010.
25Azyumard i Azra, Distinguishing Indonesian Islam , 73. 26Meuleman, J. (2011). Dakwah, competition for authority, and development. Bijdragen Tot De
Taal-, Land- En Volkenkunde, 167 (2), 236. 27Angel M. Rabasa. "Islamic Education in Southeast Asia." Current Trends in Islamist Ideology 2
(2005): 97-109. 28Angel M. Rabasa. "Radical Islamist Ideologies in Southeast Asia." Current Trends in Islamist
Ideology 1 (2005): 27,38,83.
9
lembaga-lembaga keagamaan masih menjadi wadah yang melibatkan rambahan
ideologi transnasional di satu sisi, dan gerakan radikal di sisi lain.
Relevan dengan gerakan transnasional di atas, terdapat beberapa studi yang
secara spesifik menjadikan gerakan Salafi sebagai objek kajian. Berdasarkan
international networking-nya beberapa peneliti seperti Chaplin,29 Liow,30
Wiktorowicz31 dan Noorhaidi32 berpendapat bahwa perkembangan Salafi tidak dapat
dipisahkan dengan dukungan Arab Saudi dan beberapa negara di Timur-
Tengah.Sebagaimana ditunjukkan Chaplin dan Noorhaidi dalam studinya di
Yogyakarta, dan Liow di Thailand, Saudi Arabia memiliki peranan penting tidak
hanya secara ideologis, sebagai sumber otoritas keagamaan dan sosial, juga secara
finansial dalam mensuport kelompok dan lembaga pendidikan Salafi. Perbedaan
doktrin dan orientasi menjadi pemicu resistensi dengan kelompok Islam pada
umumnya. Dalam penetrasi ideologinya, berdasarkan temuan Liow di Thailand dan
Wiktorowicz di Yordan, Salafi lebih memilih lembaga non-formal seperti Masjid dan
kelompok-kelompok kajian dalam mempromosikan ideologinya.
Lebih fokus kajian tentang gerakan Salafi di Indonesia dilakukan Din Wahid.33
Dengan menggunakan pendekatan antropologi dalam studinya terhadap pesantren
Salafi: al-Nur al-Athari Ciamis, Assunnah Cirebon, dan al-Furqon Gresik, - tiga
pesantren berpengaruh di Jawa, ia sampai pada simpulan bahwa pesantren Salafi
hadir sebagai pemunculan kembali keberhasilan dan peran pesantren tradisional
dalam menanamkan ilmu agama dan melahirkan ulama. Peran ini cenderung semakin
tidak nampak, bersamaan dengan dimulainya pesantren mengadopsi pendidikan
formal: madrasah dan sekolah Islam, dimana siswa lebih banyak belajar pengetahuan
umum dan agama. Hal ini didasarkan atas pembacaannya terhadap dominannya
kajian keislaman dalam muatan kurikulum Pesantren Salafi.
29Chaplin, Chris. 2014. Imagining the Land of the Two Holy Mosques: The Social and Doctrina l
Importance of Saudi Arabia in Indonesian Salafi Discourse, ASEAS – Austrian Journal of South-East Asian Studies, 7 (2).
30Joseph Chinyong Liow, "Muslim Identity, Local Networks, and Transnational Islam in Thailand's Southern Border Provinces." Modern Asian Studies 45, no. 6 (11, 2011): 1383-421.
31Wiktorowicz, Quintan. 2000. “The Salafi Movement in Jordan.” International Journal of Middle East Studies 32, (2).
32Noorhaidi Hasan, “The Salafi Madrasas of Indonesia,”dalam Farish A. Noor, Yonginder Sikand Martin van Bruinessen (eds.), The Madrasa in Asia Political Activism and Transnational Lingkages (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2007).
33Din Wahid, Nurturing The Salafi Manhaj: A Studi of Salafi Pesantren in Contemporay Indonesia, Dissertation (Utrecht University Nederland, 2014).
10
Secara empiris kajian tentang Salafi di Lombok, berikut implikasi-implikasi
sosiologisnya, hasil penelitian Murdianto dan Azwani,34 Fauziah,35 Nuhrison M.
Nuh,36 dan Saparudin37 dapat dijadikan contoh. Dari aspek objek kajian, empat
penelitian ini mengkaji Salafi Wahabi sebagai gerakan dakwah yang dipertentangkan
dengan keberagamaan mainstrem masyarakat Lombok. Keempat penelitian ini
menemukan bahwa dengan semangat puritanisme yang keras atas berbagai ritual
yang dianggap sinkritis, kelompok Salafi Wahabi kerap menimbulkan tensi dan
konflik horizontal yang melibatkan sentiment teologis ideologis dengan masyarakat
yang secara teologis memegang kuat Islam tradisional sebagaimana
direpresentasikan oleh NU dan NW.
B. Kerangka Teori Menganalisis pembentukan ideologis keagamaan Salafi, teori apparartus
ideology Louis Althusser relevan untuk digunakan. Teori ini selanjutnya menjadi
grand theory dalam mengamati bagaimana Masjid digerakkan untuk kepentingan
ideologis kelompok keagamaan. Secara operasional dibantu oleh teori modus
operandi ideology Terry Eagleton dalam mengamati bagaimana ideologi bekerja dan
berproses, dan teori contestation Antje Wiener untuk mengamati bagaimana
justifikasi dan penegasian antar kelompok keagamaan melalui dan dalam Masjid.
Menurut Althusser, ideologi,- dalam rangka untuk eksis, mengharuskan apparatuses
mereproduksi kondisi produksinya, dimana ia sendiri menjadi produk dan produsen
sekaligus.38 Apparatus ideology ini selanjutnya berperan dalam reproduksi apparatus
baru (kader/jama'ah), juga subyek yang terlibat dalam persaingan pembentukan
identitas ideologi. Karena sebuah ideologi hanya eksis dalam apparatus dan
praksisnya, yang ia sebut sebagai eksistensi material ideologi.39 Karena itulah,
34Murdianto dan Azwani, Dakwah dan Konflik Sosial Jama’ah Salafi d i Gunungsari Lombok Barat,
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 9, nomor 2, 2013. 35Faizah, Pergulatan Teologi Salafi dalam Maenstream Keberagamaan Masyarakat Sasak, Ulumuna
Jurnal Studi Keislaman, Volume 16, no. 2, 2012. 36Nuhrison M. Nuh, Kelompok Salafi di Kabupaten Lombok Barat, dalam Ahmad Syafi’I Mufid
(ed.), Kasus-Kasus Aliran/Paham Kegamaan Aktual di Indonesia (Jakarta: Balitbangdiklat Depag., 2009). 37Saparudin, Pemutusan Hubungan Keluarga Berdasarkan Afiliasi Lembaga Keagamaan, Laporan
Penelitian Dosen Muda (DP2M Dikti, 2007). 38Louis Althusser, On The Reproduction of Capitalism Ideology, 233. 39Louis Althusser, 2004. Ideology and Ideological State Apparatuses, in In Literary Theory: An
Anthology, Second edition, edited by Julie Rivkin and Michael Ryan, Maiden USA, Blackwell Publishing. 693 – 695.
11
menurut Althusser apparatus membutuhkan rekrut atau transformasi individu
menjadi subject ideology (pengikut setia), yang dalam teorinya ia sebut sebagai
proses interpellation.40 Interpellation bermakna memanggil seseorang untuk
kemudian memisahkannya dari ikatan sebelumnya (Islam Mainstream) dimana ia
menjadi bagian di dalamnya.41 Selanjutnya interpellation secara empiris digunakan
untuk memahami bagaimana jama’ah sebagai individu untuk selanjutnya mengalami
interpelasi menjadi subyek konkrit ideologi Salafi.
Karakter ideologi yang ingin menjadi dominan, dan keterlibatan sejumlah
apparatus ideologi Salafi, dapat berimplikasi terhadap terjadinya kontestasi
pembentukan identitas ideologis. Karena memang salah satu dampak ideologi adalah
secara praktis menolak karakter ideologis dari dan dengan ideologi.42 Ditempatkan
dalam kerangka teori kontestasi yang dirumuskan Wiener, implikasi ini dalam
gerakan keagamaan memiliki struktur yang secara sistematis mencerminkan
dialektika yang intens antara kebutuhan penegasan di satu sisi dan penegasian di sisi
lain. Dalam pandangan Wiener, kontestasi merupakan pertarungan legality dan
legitimacy yang di dasarkan atas norms.43Norms menandung prinsip, ajaran dan
regulasi, yang selanjutnya menjadi standar prilaku dan memberikan arah semua
anggota yang terlibat di dalamnya, dan karenanya dapat menjadi perekat dalam
sebuah institusi sosial atau organisasi,44 tidak terkecuali gerakan keagamaan.
Sebagai aktivitas sosial, dalam kontestasi menurut Wiener interaksi sosial
dibentuk secara ekspelisit melalui persaingan, penolakan, perdebatan dan konflik ;
dan secara implisit melalui pengabaian, penegasian, dan ketidakpedulian.45 Dalam
implementasi norms terdapat tiga segmen norms yang dalam tataran praktis dapat
bersifat siklus, yaitu formal validity, seperangkat norma atau aturan yang secara
resmi merupakan pedoman atau basis prilaku dari organisasi atau kelompok sosial;
social recognition, yaitu penyebaran, sosialisasi dan pembelajaran formal validity
untuk memperoleh pengakuan sosial; dancultural validation, yaitu aktualisasi
normspada level individual yang melibatkan pengalaman, ekspektasi dan latar
40Louis Althusser, 2004. Ideology and Ideological State Apparatuses, 699. 41Warren Montag,Between Interpellation and Immunization, 3. 42Louis Althusser, 2004. Ideology and Ideological State Apparatuses, 700. 43Antje Wiener, A Theory of Contestation (New York: Springer, 2014), 3. 44Antje Wiener, A Theory of Contestation, 20-21. 45Antje Wiener, A Theory of Contestation, 2-3.
12
belakang ilmu pengetahuan.46 Pada level cultural validatioan inilah menurut Wiener
potensi konflik dan konflik berada dan terjadi.47
Memaknai ideology Salafi, berdasarkan teori apparatus ideology Althusser,
dan teori contestation Wiener di atas, penelitian ini akan melihat bagaimana ideologi
keagamaan ditempatkan sebagai identitas institusi dan komunal, yang
didiseminasikan dan ditransformasikan melalui Masjid, dan implikasi-implikasi
sosiologisnya dalam masyarakat. Bagaimanpun, kepentingan ideologis yang
diartikulasikan dalam Masjid sebagai sesuatu yang tidak bisa dihindari. Kepentingan
eksistensial kelompok yang dibingkai oleh legitimasi agama – dan kini lembaga
tempat ibadah seperti Masjid, secara internal umat Islam merupakan alasan dominan
penetrasi ideologi tersebut berproses.
46Antje Wiener (2009), The Quality of Norms is What Actors Make, 6-7; lihat juga Antje Wiener, A Theory of Contestation, 20.
47Antje Wiener (2009), The Quality of Norms is What Actors Make, 13.
13
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Paradigma dan Jenis Penelitian Sesuai dengan fokus kajian, penelitian ini merupakan field research, yang
dilakukan pada latar alamiah dengan lokus gerakan keagamaan Salafi pada
masyarakat Islam di Lombok. Maka dipandang relevan metode kualitatif dengan
pendekatan fenomenologi dan sosiologi dijadikan sebagai cognitive framework
dalam proses penelitian. Relevansi metode kualitatif karena menitikberatkan pada
fenomena sosial yang melibatkan interpretasi, pengalaman, perasaan dan persepsi
dari subyek yang diteliti.48 Penggunaan fenomenologi dipandang relevan karena:
pertama, sesuai dengan fokus penelitian, yang dikaji adalah konstruksi yang
mengandung pemaknaan dan manifestasi ideologi keagamaan. Sehingga yang
diamati bukan saja realitas yang manifes, tetapi yang lebih penting adalah apa
mendasari munculnya prilaku dan aktivitas ideologis di dalam Masjid Salafi; kedua,
pembentukan identitas salafi melibatkan dimensi belief dan religiusitas yang bersifat
subyektif, sehingga data yang diperoleh tergantung dan ditentukan oleh subyek itu
sendiri. Sesusai paradigma fenomenologi, data-data yang diperoleh tersebut akan
dikonstruksi dan diabstraksikan sesuai dengan pemaknaan subyek itu sendiri.
Sedangkan pendekatan sosiologi yang memberikan perhatian pada hubungan
interaksi dan konstruksi sosial,49 digunakan untuk melihat bagaimana relasi, interaksi
dan kontestasi dalam pencarian eksistensi Salafi dalam mengkonstruk dan
mempertahankan identitas ideologisnya. Adanya interaksi baik dalam bentuk
justifikasi maupun penegasian dan konflik sebagai respon mainstream Islam terhadap
dinamika Salafi merupakan alasan utama mengapa pendekatan sosiologi dipandang
relevan.
48Maguerite G. Lodico, Dean T. Spaulding, Katherine H. Voegtle, Methods in Educational Research From Theory to Practice (Fransisco: Jossey-Bass, 2010), 142-143.
49Michael S. Northcott, Sociological Approaches, dalam Peter Connoly (ed.) Approaches to the Study of Religion, 193-194.
14
B. Lokasi Penelitian Sesuai dengan paradigma yang digunakan, penentuan Masjid sebagai objek
kajian diseleksi berdasarkan basis atau afiliasi ideologisnya dengan kelompok Salafi.
Berdasarkan basis afiliasinya, Masjid Salafi yang dipilih dipastikan secara geografis
berdekatan dengan Masjid masyarakat non-Salafi. Selanjutnya ditentukan wilayah
yang selama ini menjadi wilayah pergerakan Salafi yang disertai resistensi sosial dari
kelompok Mainstream. Di samping itu, seberapa kuat muatan ideologis yang
diartikulasikan dalam berbagai kegiatan dan aspek Masjid juga menjadi dasar
penentuan. Didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan ini, maka akan diambil
masing-masing dua Masjid Salafi di Lombok Timur, dan satu Masjid Salafi di
Lombok Barat.
C. Data dan Sumber Data Pemilihan sumber data dalam penelitian ini ditentukan secara purposive
sampling, dengan mempertimbangkan kesesuainnya dengan kepentingan penelitian.
Sesuai dengan karakteristiknya, purposive sampling digunakan untuk memastikan
bahwa sumber data atau informan yang dipilih memiliki informasi yang
dibutuhkan.50 Penggunaan purposive merupakan langkah yang tepat sesuai dengan
jenis penelitian yang digunakan (kualitatif) , sehingga hal-hal yang dicari tampil di
permukaan dan lebih mudah diidentifikasi makna dan pemaknaannya.51 Sehingga
dianggap merepresentasikan subyek dan mencapai ketercukupan.52 Berdasarkan
teknik ini, maka subyek yang akan dijadikan informan adalah unsur pimpinan Salafi,
Takmir Masjid, para ustaz yang aktif memberikan kajian, jama’ah aktif, tokoh
masyarakat sekitar Masjid, Majlis Ulama Indonesia daerah, dan sejumlah pimpinan
dan jama’ah Ormas kegamaan non-Salafi. Sesuai dengan teknik penentuan sumber
data secara purposive, maka mereka yang akan diwawancarai ditentukan berdasarkan
kedalaman pengetahuan, peran, dan posisinya sesuai dengan fokus dalam studi ini.
Sedangkan sumber dokumentatif berupa kitab-kitab yang digunakan, kebijakan dan
regulasi internal dan eksternal, media cetak (majalah, bulletin, buku) dan elektronik
50Maguerite G. Lodico, Dean T. Spaulding dan Katherine H. Voegtle, Methods in Educational
Research, 163. 51Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, 149 52Royce A. Singleton dan Bruce C Straits. Approaches to Social Research Thrid Edition (New
York: Oxford University Press, 1999), 158.
15
(rekaman, video) yang memuat dan memiliki relevansi dengan dakwah Salafi, dan
dokumen-dokumen yang relevan.
D. Teknik Pengumpulan Data
Agar penelitian ini dapat menggali data secara utuh dan holistik, maka teknik
wawancara mendalam (indept interview), observasi dan dokumentasi digunakan
secara simultan. Berpedoman pada garis-garis besar bahan wawancara (semi
terstruktur), wawancara dilakukan dengan unsur pimpinan Salafi, Takmir Masjid,
para ustaz yang aktif memberikan kajian, jama’ah aktif, tokoh masyarakat sekitar
Masjid, Majlis Ulama Indonesia daerah, dan sejumlah pimpinan dan jama’ah Ormas
kegamaan non-Salafi. Sesuai dengan teknik penentuan sumber data secara purposive,
maka mereka yang akan diwawancarai ditentukan berdasarkan kedalaman
pengetahuan, peran, dan posisinya sesuai dengan fokus dalam studi ini. Dari mereka
diperoleh informasi tentang pemaknaan, manifestasi, konstruksi, motivasi, persepsi,
dan proses berbagai aspek tentang sejarah dan penyebaran Salafi, kegiatan-kegiatan
di dalam Masjid Salafi, respon masyarakat, serta pandangan terhadap perbedaan
orientasi ideologis, respon terhadap perbedaan dan tensi sosial yang melibatkan
sentimen ideologis dengan masyarakat sekitar.
Dokumentasi digunakan untuk menggali data dalam bentuk dokumen, baik
yang berkaitan dengan aspek normatif sebagai basis legitimasi (kitab-kitab yang
digunakan), kebijakan dan regulasi internal dan eksternal, media cetak (majalah,
bulletin, buku) dan elektronik (rekaman, video) yang memuat dan memiliki relevansi
dengan dakwah Salafi, dan dokumen-dokumen yang relevan. Sedangkan observasi
diarahkan untuk menggali data tentang setting sosial lokus penelitian, aktivitas
dakwah, proses pengajian, berbagai kegiatan di dalam Masjid, kegiatan sosial dan
keagamaan di luar Masjid yang relevan dengan fokus kajian. Lingkungan Masjid dan
pola interaksi antara jemaah Salafi dengan non-Salafi, fragmentasi masyarakat,
konflik dan berbagai implikasi sosial gerakan Salafi menjadi bagian penting yang
diobservasi.
16
E. Teknik Analis is Prosedur analisis data yang digunakan dalam studi ini adalah mengacu pada
prosedur analisis Milles dan Huberman. Menurut Milles dan Huberman analisis data
dalam penelitian kualitatif secara umum dimulai sejak pengumpulan data, reduksi
data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi.53 Penggunaan
prosedur ini dalam memahami diseminasi ideologi Salafi dalam Masjid dan implikasi
sosiologisnya, mengingat unsur–unsur metodologis dalam prosedur ini bersifat
interaktif dan fleksibel, sehingga sesuai dengan pendekatan dan karakteristik data
yang dibutuhkan. Kegiatan analisis selama pengumpulan data dimaksudkan untuk
menetapkan fokus di lapangan, penyusunan temuan sementara, pengembangan
pernyataan-prnyataan analitik dan penetapan sasaran-sasaran pengumpulan data
berikutnya. Data (data collection) tersebut direduksi (data reduction) sebagai upaya
pemilihan pemusatan perhatian pada penyederhanaan. Selanjutnya adalah
menyajikan sekumpulan data (data display) yang disusun sebagai basis penarikan
simpulan.
53Matthew B. Milles dan A. Michael Huberman. Qualitative Data Analysis: A Sourecbook of New
Methods (Bavery Hills: Sage Publication, 1986), 16.
17
BAB IV
MENGGERAKKAN MASJID:
SETTING SOSIAL DAN DINAMIKA SALAFI DI LOMBOK
Kemampuan kelompok Salafi menjadikan dan memanfaatkan Masjid sebagai
mobilitas dan modal sosial memberikan kontribusi signifikan terhadap dinamika
Salafi di Lombok. Kelompok ini berhasil mengisi ruang kosong, yang dulunya diisi
dan d bawah kontrol para elit Islam tradisional. Di tengah kuat Islam mainstream,
gerakan Salafi berhasil menempatkan Masjid sebagai basis dakwah dan networking
ideologis. Kemampuan memposisi Masjid secara strategis dalam penyebaran - apa
yang mereka sebut sebagai manhaj salaf, menempatkan gerakan ini secara perlahan
turut secara signifikan mempengaruhi pola dan prilaku kehidupan keagamaan di
Lombok. Karena memang Masjid bukanlah semata-mata sebagai tempat ibadah,
namun juga secara ideologis sebagai wadah semaian ideologi tertentu untuk
eksistensi kelompok. Menempatkan diri di tengah kompetisi komunal kelompok
keagamaan, - meski secara ideologis dan afiliasi kelembagaan berbeda dari konsep
dan gerakan mainstrem di Lombok, seperti NU dan NW, gerakan Salafi memperoleh
apresiasi oleh tidak hanya masyarakat pedesaan, tapi merambah ke masyarakat
menengah perkotaan. Gerakan ini dipandang mampu menawarkan alternatif baru
dengan mempromosikan terminologi “assunnah” sebagai framing dakwahnya.
Bagian ini menguraikan tentang setting sosial dan perkembangan Salafi di Lombok
secara umum, dimana Masjid secara spesifik dijadikan tools yang berperan. Hingga
kini tidak kurang dari 90 Masjid Salafi54 sudah beroperasi di Lombok.
A. Lombok: Pulau Seribu Masjid dan Performa Islam Pelekatan identitas sebagai “pulau seribu Masjid” bagi pulau Lombok tidaklah
berlebihan. Walaupun tidak diketahui secara pasti sejak kapan mulai digunakan,
istilahini tidak hanya merefleksikan secara fisik jumlah Masjid yang mencapai 3.928
(74%), dari 5.28855 buah Masjid di Nusa Tenggara Barat, juga tingginya religiusitas
54 Jumlah ini dio lah dari hasil wawancara dengan Ustaz Abdullah, P impinan Ponpes Assunah
Bagek Nyake, 2 Maret 2015 dan Ustaz Syafi’ Pimpinan Ponpes, wawancara 13 Oktober 2018. Keduanya adalah tokoh Salafi berpengaruh di Lombok Timur.
55Sisanya 1.360 (26%) Masjid berada di pulau Sumbawa. Lihat Badan Statistik NTB, Nusa Tenggara Barat dalam Angka tahun 2013, 223.
18
masyarakat di pulau ini.Berbagai prestasi yang disandang tokoh Islam Lombok,
seperti Shekh Ibnu Hajar al-Khaitamy (Tuan Guru Umar Kelayu), Shekh Wildan,
Shekh Khalid sebagai pengajar di Mekkah, dan sejumlah tuan gurualumni Mekkah
dan Mesir turut memperkuat identitas tersebut.56Tetapi secara ideologis menurut Kar i
Telle hal ini juga dapat dipahami untuk membedakan dengan Bali yang dikenal
dengan pulau seribu dewa.57Manifestasi keberagamaan masyarakat sasak58 (suku asli
masyarakat Lombok) yang disimbolkan dengan Masjid, mencerminkan Islam
memiliki tempat yang fundamental dalam struktur psikologis maupun sosiologis
masyarakatsasak.
Berbanding lurus dengan penyandingan identitas di atas, dominannya umat
Islam turut mempengaruhi jumlah dan pertumbuhan tempat ibadah. Masyarakat
sasak yang merupakan suku asli pulau Lombok59 hampir keseluruhannya menganut
agama Islam. Data statistik menunjukkan bahwa umat Islam mencapai 96.4%, dari
keseluruhan penduduk. Kendati jumlahnya lebih kecil dibanding penganut agama
Islam, agama Hindu mencapa 2.5%, jauh lebih besar dibanding agama Budha 0.5%,
Agama Kristen Protestan 0.4%, dan Kristen Katolik 0.2%. Berkuasanya Kerajaan
Karang Asem Bali selama 154 tahun,dari tahun 1740 sampai dengan 1894,60
memiliki kontribusi terhadap besarnya jumlah penganut agama Hindu di Pulau
Lombok.
56Departemen P dan K NTB, Pengaruh Budaya Asing terhadap Kehidupan Sosial Budaya
Masyarakat Sasak di Daerah NTB (Mataram: Departemen P dan K,1996), 35. 57Kari Telle, Canging Spiritual Landscapes and Religious Politics on Lombok, dalam Brigitta
Hauser-Schaublin and David D. Harnish (eds.), Between Harmony and Discrimination Negotiating religious Identities within Majority-Minority Relationship in Bali and Lombok(Leiden Boston, Brill, 2014), 35.
58Berdasarkan temuan bukti-bukti arkeologis prasejarah Gumi Sasak, asal-usul suku Sasak adalah ras Mongoloid di Asia Tenggara, pencampuran dari suku Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Bali, dan Nusa Tenggara. Lihat H. Sudirman, Gumi Sasak dalam Sejarah (Bagian I), (Lombok: KSU Primaguna- Pusat Studi dan Kajian Budaya, 2012), 1, 16. Migrasi orang Jawa bersamaan dengan proses is lamisasi yang menyertai keruntuhan kerajaan Majapahit memberikan kontribusi pertumbuhan suku sasak. Lihat Djalaludin Arzaki, dkk. Nilai-nilai Agama dan Kearifan Budya Lokal Suku Bangsa Sasak dalam Pluralisme Bermasyarakat: Sebuah Kajian Antthropologis-Sosiologis-Agamis, (Mataram: Redam, 2001), 4-7.
59Istilah Sasak dan Lombok walaupun dua hal yang berbeda, ditengarai secara etimologi memilik i ikatan yang erat. Kedua kata tersebut berasal dari “sa’sa’ loombo”, sa’ berarti satu, dan lombo berarti lurus, sehingga Sasak Lombok dimaknai satu-satunya kelurusan. Lihat H. Sudirman, Gumi Sasak dalam Sejarah (Bagian 1) (Lombok Timur: KSU Primaguna-Pusat Studi dan Kajian Budaya, 2012), 16.
60H. Lalu Lukman, Pulau Lombok dalam Sejarah Ditinjau dari Aspek Budaya, cet. 3 (Jakarta, 20 05), 28.
19
Tabel 1. Jumlah Umat Beragama61
No Kabupaten/Kota Agama
Islam Kristen Katolik Hindu Budha
1 Lombok Timur 1.170.829 175 47 875 2
2 Lombok Tengah 895.061 188 96 2.619 115
3 Lombok Barat 551.818 332 105 2.456 2.456
4 Lombok Utara 200.319 33 6 8.851 6.317
5 Kota Mataram 338.900 12.270 5.760 68.242 7.680
\ Jumlah 3.156.927 12.998 6.014 83.043 16.570
Tidak dapat dipastikan sejak kapan orang sasak mengenal Islam.
Sebagaimana ditengarai Mohammad Noor, dkk., selain kesulitan melacak jejak
sejarah masuknya Islam di pulau ini, juga kesulitan memetakan antara mitos dan
fakta sejarah yang tertuang dalam cerita-cerita legenda dan mistis lainnya.
Penuturan-penuturan yang ada selama ini sangat beragam dan agak sulit
dikompromikan satu sama lain menjadi ringkasan proses yang
berkesinambungan.62Namun dari berbagai studi yang dilakukan mengenai islamisasi
di di wilayah ini, umumnya memiliki persepsi yang sama bahwa Islam masuk ke
Lombok secara lebih jelas sekitar abad ke-16,63dengan tokoh utamanya Sunan
Prapen,64 setelah Islam diperkenalkan oleh bapaknya Sunan Giri tahun
1545.65Namun persepsi ini tidak menafikan bahwa adanya interaksi orang Muslim
Jawa, Sulawesi, Banten, dan Gresik pada abad ke-13 dengan masyarakat sasak.66
61Badan Statistik Pemprov. NTB, Nusa Tenggara Barat dalam Angka Tahun 2013. 226-227 62Mohammad Noor, dkk., Visi Kebangsaan Religius Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan
Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, Edisi Revisi (Jakarta: Ponpes NW Jakarta, 2014), 75.
63Sven Cederroth, The Spell of The Ancestors and The Power of Mekkah A Sasak Community on Lombok (Sweden: ACTA Universitis Gothoburgensis, 1981), 32.
64Sunan Prapen merupakan putera Sunan Giri salah seorang Wali Songo dari Jawa. Lihat Lalu Lukman, Pulau Lombok dalam Sejarah Ditinjau dari Aspek Budaya (Mataram, 2005), 6-7.
65Sven Cederroth, The Spell of The Ancestors and The Power, 32. 66Sudirman, Gumi Sasak dalam Sejarah, 19.
20
Mengingat interaksi ini hanya kepentingan perdagangan, bukan kepentingan dakwah,
patut diduga sebagai alasan mengapa abad ini cenderung tidak dijadikan sebagai
awal islamisasi di daerah ini.
Sebelum Islam diperkenalkan, masyarakat sasak menganut aliran kepercayaan
yang disebut boda. Boda bukanlah agama Budha, tetapi kepercayaan yang bertumpu
pada anasir Animisme, Dinamisme, dan Antromofisme. Oleh sebab itu, pemujaan
dan penyembahan terhadap roh-roh leluhur dan berbagai dewa lainnya merupakan
fokus utama keagamaan Sasak-Boda .67Dalam perkembangannya, praktik Boda
tergusur ke daerah pegunungan dan hutan bersamaan dengan infiltrasi budaya luar,
terutama agama Islam.
Dengan latarbelakang demikian, ketika Islam mulai diperkenalkan, masyarakat
sasak memperlihatkan pola keberagamaan yang sinkritis. Bartholomew
mengintrodusir bahwa campuran antara kepercayaan-kepercayaan Austronesia
dengan Islam merupakan keberislaman masyarakat sasak di masa awal.68 Pola ini
pada tahap selanjutnya bermetamorfosis menjadi Islam Wetu Telu,69 sebuah tipe
Islam sinkritis antara kepercayaan-kepercayaan Animisme, Hindu dan
Muslim.70Meskipun mereka mengaku sebagai Muslim, secara terus menerus memuja
para leluhur, berbagai dewa roh dan lain-lainnya dalam lokalitas mereka.
Walaupun tidak diterima secara keseluruhan,- sebagaimana yang nampak
dalam keberagamaan Islam Wetu Telu, Islam relatif mudah masuk dan dipraktikkan
masyarakat sasak. Hal ini dimungkinkan karena, pertama,secara konseptual ajaran
Islam cocok dengan, dan tidak mengancam struktur sosial dan kepercayaan-
67Sudirman, Gumi Sasak dalam Sejarah, 1. Bandingkan dengan Sven Cederroth, The Spell of The
Ancestors and The Power, 32-33. 68John Ryan Bartholomew, Alif Lam Mim, 95. 69Penggunaan istilah ini (versi Waktu Lima) didasarkan pada sistem keyakinan bahwa mereka
hanya menerapkan Islam dalam skala yang terbatas, yakni tiga rukun Is lam (Syahadah, Shalat, dan Puasa), tiga shalat dalam sehari (Subuh, Magrib dan Isya), dan tiga hari puasa pada bulan Ramdhan. Bersamaan dengan praktik keberislamaan ini Wetu Telu tetap melestarikan budaya dan praktik pemujaan leluhur yang sarat dengan anisme dan antromofisme. Sementara penganut Wetu Telu , memaknai istilah sebagai pembagian konsep kosmologi bahwa hidup terbagi dalam tiga siklus, yakni menganak (melahirkan), menteluk (bertelur), mentiuk (berkembang biak). Penjelasan lebih detail lihat Erni Budiwanti, Islam Sasak Wetu Telu versus Waktu Lima (Yogyakarta: LKiS, 2000). Belakangan ditengarai istilah Wetu Telu sebagai produk kolonial Belanda, yang dihadap-hadapkan dengan Islam ideal Waktu Lima . Lihat juga Sven Cederroth, The Spell of The Ancestors and The Power, 2-5.
70Departemen P dan K, Adat Istiadat Daerah Nusa Tenggara Barat (Jakarta: Departemen P dan K, 1978). Tentang peraktik-peraktik Islam Wetu Telu , Lihat Erni Budiwanti, Islam Sasak Wetu Telu, 139-195.
21
kepercayaan lokal.71Kedua, pola dakwah yang diterapkan mencerminkan strategi
yang fleksibel yang cenderung toleran terhadap budaya lokal. Ketiga,Islam yang
dibawakan Sunan Prapen bercita rasa sufisme – mistisme, sehingga dalam aspek
tertentu memiliki relevansi dengan ajaran nenek moyang orang sasak.72
Gencarnya proses dakwah yang dilakukan, pada tahap selanjutnya melahirkan
Islam Waktu Lima, yang secara dikotomis vis a vis Wetu Telu. Istilah Waktu Lima
digunakan sebagai kerangka teoritik untuk menggambarkan Islam yang sempurna,
yakni pola keberagamaan yang ditandai ketaatan yang tinggi terhadap ajaran-ajaran
Islam, sebagaimana muslim pada umumnya.73Munculnya dua tipe keberagamaan ini,
sebagai implikasi dari dua jalur dengan karakteristik islamisasi yang berbeda.
Harnish mentengarai, Islam yang datang dari Lombok Utara bercorak sufisme, yang
selanjutnya menghasilkan tipe Wetu Telu, dan Islam yang datang dari Timur
bercorak ortodoks, yang selanjutnya melahirkan tipe Waktu Lima.74Jadi
praksis,penggunaan dikotomi ini untuk menegasikan satu dengan yang lain.
Didukung oleh institusi pemerintah, dan berbagai organisasi sosial keagamaan,Waktu
Lima sebagai kelompok dominan, secara terus menerus menjadikan Wetu Telu
sebagai objek dakwahnya.75 Implikasinya, Wetu Telu menjadi minoritas, dan kini
hanya dapat dijumpai di daerah pedalaman tertentu di Lombok Utara dan Selatan.
Kemungkinan berdasarkan kecenderungan ini, Cederroth sampai pada pandangan
bahwa pada masa itu Islam Waktu Lima bukanlah pilihan asli, dan dipandang tidak
suitable dengan masyarakat Sasak.76
Terlepas dari dikotomi di atas, Islam telah menemukan bentuk dan tempatnya
di masyarakat sasak, sebagaimana dipraktikan secara luas.Wetu Telu bukanlah entitas
yang berdiri sendiri, sebagaimana dipahami banyak pihak, namun lebih sebagai
proses transisi dari agama Hindu menuju Islam yang ideal.Tidak pelak Wetu Telu
secara terus menerus menjadi objek dakwah Waktu Lima. Dalam konteks ini, tuan
71John Ryan Bartholomew, Alif Lam Mim Kearifan Masyarakat Sasak, penerjemah Imron Rosyid i
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), 95. 72Sudirman, Gumi Sasak dalam Sejarah, 25-26 73Erni Budiwanti, Islam Sasak Wetu Telu, 7. 74David Harnish, Worlds of Wayang Sasak: Music, Performance, and Negotiations of Religion and
Modernity. Asian Music 34, no. 2 (2003): 91-120. 75Lebih jelas lihat Team Penyusunan Monografi NTB, Monografi Daerah Nusa Tenggara Barat
(Departemen P dan K, 1977), 79-86. Lihat juga Erni Budiwanti, Islam Sasak Wetu Telu, 289-335. 76Sven Cederroth, The Spell of The Ancestors and The Power, 2-3.
22
guru77 memiliki posisi strategis, pengaruh, dan berkontribusi terhadap pembentukan
“Islam ideal”, sekaligus memperbesar otoritas tuan guruatas elit adat Bangsawan.
Keberhasilan ini menurut MacDougall, tidak terlepas dari dukungan pemerintah atas
dakwah tuan guru sebagai timbal balik atas dukungan dan keterlibatannya dalam
Golkar (partai penguasa) dan penumpasan PKI.78 Kondisi ini berbeda dengan masa
kolonialisme Belanda, dimana kaum bangsawan yang menopang Wetu Telu
memperoleh tempat yang istimewa, yangdipertentangkan dengan Waktu Lima, dalam
waktu yang bersamaan tidak hanya menjadi tantangan bagi tuan guru, juga
membatasi ruang tuan guru dalam melakukan dakwah.79
Hasil studi Kingsley menunjukkan, hingga kini, tuan guru memiliki posisi
sentral dalam berbagai aspek kehidupan, tidak hanya pimpinan agama, juga sosial,
ekonomi dan politik. Tuan guru menurut Kingsley merupakan actors non state yang
memiliki posisi sentral dan otoritas yang penting,- yang dalam hal tetentu, melebihi
aparatur pemerintah dan pimpinan politik. Dengan otoritas cultural religious yang
demikian tinggi, tuan guru ditempatkan dalam posisi terhormat tidak hanya dalam
kehidupan keagamaan, juga mediator sosial masyarakat Lombok.80 Dengan posisi
dan otoritas ini, tuan guru dengan mudah melakukan berbagai fungsi-fungsi sosial
dan politik dengan berbagai instrumen yang dimiliki.
Kondisi di atas menegasikan kondisi awal Islam yang dipraktikan masyarakat
sasak.Perkembagan Islam di Lombok, dan pembentukan keberislaman masyarakat
Sasaktidak bisa lepas peran dan kontribusi Nahdlatul Wathan sebagai organisasi
terbesar di daerah ini. Organisasi ini telah meletakkan suatu landasan bagi proses
penerjemahan Islam ke dalam sistem dan budaya masyarakat sasak. Secara ideologis
77Tuan Guru merupakan pimpinan Islam yang dapat disejajarkan dengan Kyai di Jawa, setelah
memenuhi sejumlah kriteria seperti pengetahuan keagamaan yang tinggi, pernah menunaikan haji, memiliki jama’ah atau pondok pesantren. Lihat Jeremy Kingsley, Tuan Guru, Community and Conflik in Lombok Indonesia, Dissertation, (Melbourne Law School The University of Melbourne, 2010), 78. Peran tuan guru pada periode islamisasi dan pembentukan masyarakat Is lam d i Lombok, lihat Sven Cederroth, The Spell of The Ancestors and The Power, 81-91.
78John M. MacDougall, Kriminalitas dan Ekonomi Politik Keamanan di Lombok, dalam Henk Schulte dkk. (eds.) Politik Lokal Indonesia, alih bahasa Bernard Hidayat (Jakarta: KITLV, 2007), 379.
79Tentang dialektika tuan guru dengan elit bangsawan di satu sisi, dan kolonial Belanda di sis i lain, lihat David Harnish, Worlds of Wayang Sasak, 94-95.
80Jeremy J. Kingsley, Village Election, Vio lence and Islamic Leadership in Lombok Eastern Indonesia, Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast Asia, Vol. 27, no. 2 (2012), 288.
23
keagamaan, - dalam banyak hal, NW sejajar dengan NU di Jawa81 atau disebut
Bartholomew NW sebagai saudara muda NU,82 meski berbeda dalam hal pola
indoktrinasi dan militansi. Di bawah pendiri dan sekaligus pimpinan Tuan Guru
Zainuddin Abdul Majid, organisasi ini melalui gerakan dakwah dan lembaga
pendidikan yang dimiliki, menjadi garda terdepan dalam membentuk struktur dan
kultur sosial keagamaan muslim Lombok, diikuti NU, Muhammadiyah, dan
belakangan gerakan Salafi.
Menguatnya demokrasi dan adanya otonomi daerah justru memberikan ruang
yang semakin terbuka bagi elit agama – tuan guru untuk memperluas peran dalam
berbagai sektor, terutama sosial politik.83 Kondisi ini berdampak terhadap semakin
berkurangnya peran-peran sosial keagamaan yang selama ini menjadi basis otoritas
dan modal sosial. Pada akhirnya membuka peluang bagi gerakan Salafi untuk
mengisi kekosongan, dan memberikan pola keberagamaan “baru” bagi masyarakat
Lombok. Sementara Muhammadiyah yang lebih terkosentrasi pada lembaga
pendidikan nampaknya bukanlah hambatan yang berarti bagi Salafi untuk
bernegosiasi, bahkan, - karena memiliki persamaan doktrin teologis, menjadi patner
dalam kondisi aspek tertentu. Akhirnya, sebagaimana dapat disaksikan pola
keberagamaan masyarakat Islam Lombok tidak hanya semakin plural, juga semakin
kompleks bersamaan dengan keinginan masing-masing gerakan keagamaan untuk
memperoleh otoritas dan kontrol sosial.
B. Kemunculan Gerakan Salafi di Lombok Dalam konteks Lombok, tidak dapat diketahui secara pasti sejak kapan gerakan
Salafi untuk pertama kalinya diperkenalkan di daerah ini. Selain karena minimnya
kajian-kajian tentang gerakan ini, juga fenomena Salafi dipandang sebagai realitas
yang relatif baru dibandingkan dengan NW, NU, dan Muhammadiyah. Hasil
pelacakan jejak kelompok ini, Tuan Guru Husni (alm.) Bagek Nyake Lombok Timur
81Jajat Burhanuddin, Pesantren, Madrasah, dan Islam di Lombok, dalam Jajat Burhanuddin dan Dina Afrianty (editor), Mencetak Muslim Modern Peta Pendidikan Islam Indonesia (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), 45.
82John Ryan Bartholomew, Alif Lam Mim, 30. Kesamaan ini dapat dilihat dari paham keagamaan yang dianut dengan merujuk kepada Imam Hasan Ash’ari dan al-Maturidi dalam tauhid, Imam Syafi’ i dalam shari’ah. Lihat Munawir Husni, Nahdlatul Wathan Restorasi Islam Indonesia Timur (Yogyakarta: Binafsi Publihser, 2015), 52-53.
83Jeremy J. Kingsley, “Redrawing Lines of Religious Authority in Lombok, Indonesia” Asian Journal of Social Science 42 (2014), 661.
24
dipandang sebagai tokoh utama yang pertama kalinya memperkenalkan Salafi di
Lombok pada tahun 1989.84 Tuan Guru Husni adalah sosok yang dibesarkan di
lingkungan keluarga NU. Orang tuanya Abdul Manan adalah salah seorang tuan
guru yang kharismatik dan disegani. Tuan Guru Husni menghabiskan masa mudanya
untuk belajar dan sebagai tenaga pengajar di Mekkah. Perbedaan setting sosial ini,
Tuan Guru Husni memperoleh tantangan dari orang tuanya sendiri, ketika mencoba
memperkenalkan ideologi Salafi untuk pertama kalinya. Implikasinya, ia tidak
diperkenankan mendakwahkan paham keagamaannya, kecuali ia (orang tuanya) telah
meninggal dunia.
Ponpes Al-Manar, yang didirikan tahun 1989 oleh Tuan Guru Husni diyakini
sebagai Lembaga pendidikan pertama yang berafiliasi dengan dengan gerakan Salafi,
dan menjadi tempat reproduksi kader salafi di masa-masa selanjutnya. Oleh tiga
orang putranya, lembaga ini mengalami perkembangannya yang cukup signifikan,
dan melahirkan beberapa lembaga pendidikan seperti Ponpes Assunnah, dan Ponpes
Ponpes Al-Manar. Berpusat di Aik Mel Lombok Timur, Tuan Guru Husni dipandang
orang pertama dan berhasil meletakkan dasar-dasar gerakan Salafi di daerah ini,85dan
mempengaruhi lahirnya Masjid dan lembaga-lembaga pendidikan Salafi di berbagai
tempat.
Sekitar tahun 80-an TGH.Husni datang ke Lombok dari Tanah Suci Makkah akan tetapi masih belum mengenalkan dan menyebarkan ajaran As-Sunnah dan lebih tepatnya TGH.Husni memantau situasi masyarakat sekitar. Beliau kembali lagi ke Makkah. Baru kedatangannya yang kedua kali pada tahun 1990 TGH. Husni mulai menyebarkan ajaran As-Sunnah ke Masyarakat di Lombok dengan Pusat penyebarannya berada di Daerah Lombok Timur Kecamatan Aik Mal. Akan tetapi benturan-benturan itu terlalu berat dirasakan TGH. Husni dalam berdakwah menyebarkan ajaran As-Sunnah yang berasal dari Keluarga maupun dari Masyarakat Sehingga beliau ingin kembali ke Makkah. Akan tetapi, beberapa hari sebelum beliau kembali ke Makkah. Ada sebgian pengikut beliau yaitu orang-orang Suralaga, Lombok Timur meminta TGH. Husni untuk tetap tinggal dan ditawari ssebidang tanah untuk mendirikan Pondok Pesantren untuk memotivasi TGH. Husni agar tetap melanjtukan dakwahnya. Sehingga beliau berfikir ulang dan pada akhirnya menetapkan hati
84Tuan Guru Manar, tokoh Salafi, Pimpinan Ponpes Jamaludin, wawancara , 7 September 2018.
Tuan Guru Manar adalah saudara Tuan Guru Husni yang memiliki memiliki peran dan kontribusi dalam pengembanagn Salafi di Lombok melalui Ponpes Jamaludin Bagek Nyake.
85Ustaz Sofyan, tokoh Salafi, wawancara, 9 September 2018.
25
untuk tetap tinggal di Lombok dan melanjutnya perjuangan dakwahnya dalam menyebarkan Ajaran As-Sunnah tersebut.86
C. Bagek Nyake sebagai Basis Membangun Eksistensi: Peran Masjid Jamaludin dan Sulaiman al-Fauzan
1. Setting Sosial Keagamaan Bagek Nyake Penulis memasuki wilayah Bagek Nyake untuk pertama kalinya sekitar
tahun 1995. Suasana pedesaan pada saat itu masih mewarnai kehidupan
penduduknya. Tanda-tanda perkembangan seperti sekarang ini hampir belum
terasakan. Jalan-jalan desa masih terlihat sepi dari hiruk pikuk kendaraan
bermotor, kecuali jalan nasional dari Mataram ke Sumbawa yang membentang
membelah desa ini. Sebagaimana desa-desa di Lombok pada umumnya, desa
Bagek Nyake masih terlihat hamparan sawah yang luas dengan beraneka ragam
tanaman. Di sebelah Selatan, Utara, dan Timur desa ini terlihat hamparan sawah.
Meskipun dalam perkembangannya beberapa tahun terakhir, ditengah-tengah
sawah persawahan dan pinggir-pinggir jalan mulai tumbuh bangunan-bangunan
perumahan penduduk, dan perlahan menjadi pemukiman masyarakat, namun
tetap pertanian menjadi yand dominan. Dari total luas daerah 96.50 ha/m² yang
dimiliki Bagek Nyake, sebagian besar merupakan area pertanian, yaitu 62.60
ha/m².87
Bagek Nyake adalah salah satu desa di Kecamatan Aik Mel Lombok
Timur. Desa ini memiliki posisi strategis mengingat dibentangi jalan nasional
menuju pulau Sumbawa. Posisi ini menjadikan desa Bagek Nyake mudah diakses
oleh masyarakat. Oleh karenanya, secara geografis posisi desa ini dapat
menguntungkan bagi tumbuh dan berkembangnya lembaga pendidikan di desa
ini. Hal ini nampak dari semakin banyaknya lembaga pendidikan keagamaan
dengan ribuan siswa/santri di dalamnya.
Tabel: lembaga pendidikan keagamaan di Bagek Nyake88
Nama Jumlah Status pemeri
ntah swasta
Jumlah siswa
Raudhatul 3 Terdaftar V 173
86 Ustaz Sofyan, Tokoh Salafi, wawancara 9 September 2018 87 Pemerintah Kabupaten Lombok Timur, Profile Desa Bagek Nyake Santri, 2017 88 Pemerintah Kabupaten Lombok Timur, Profile Desa Bagek Nyake Santri, 2017
26
atfal Ibtidaiayah 2 Terdaftar V 415
Tsanawiyah 4 Terdaftar v 519
Madrasah Aliyah
4 Terdaftar v 850
Ponpes 4 Terdaftar v 1.873
Seiring dengan pertumbuhan penduduk akibat pertumbuhan lembaga
pendidikan, perkembangan sarana dan prasarana juga meningkat. Sarana
transportasi, pengembangan jalan, perumahan, komunikasi, percetakan, lembaga
kesehatan, dan sebagainya. Banyaknya sarana ini menggambarkan bahwa
adanya suatu dinamika dan penduduknya pun mengalami mobilitas horizontal –
vertikal.
Tabel: Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
No Jenis kelamin Jumlah
1 Laki-laki 1.219 Orang
2 Perempuan 1.523 Orang
Jumlah total 2.742 Orang
Jumlah kepala keluarga 816 KK
Kepadatan penduduk 1.500 per km
Desa Bagek Nyake memang sedang berubah, pendudukanya mengalami
transisi dalam sikap dan prilakunya. Semakin menyempitnya lahan pertanian dan
mulai terbukanya peluang untuk bergerak ke sektor lain, memungkinkan
penduduknya melakukan diversifikasi orientasi profesi. Sebagian dari mereka
yang semula bertani, kini mencari sektor lain seperti wiraswasta, pegawai
formal, guru, dan sebagainya. Sikap dan gaya hidup mengalami pergeseran,
mereka kini lebih kompetitif, dinamis, dan bahkan memiliki orientasi masa
depan, terutama bagi anak-anak mereka. Perubahan ini menggambarkan adanya
27
perkembangan dari situasi pedesaan dengan berbagai macam karakteristiknya,
memiliki potensi dan bergerak kearah situasi yang cenderung semakin urban.
Kondisi di atas mempengaruhi kehidupan keagamaan masyarakat Bagek
Nyake yang semakin dinamis. Hingga 2018, tercatat enam gerakan keagamaan
yang berkembang di desa ini.89 Masing-masing adalah NW, NU, Salafi,
Marakita’lim, Muhammadiyah, dan Muhammadiyah. Dari enam gerakan
keagamaan tersebut, pola keberagamaan NW dan NU merupakan yang dominan,
meskipun belakangan gerakan Salafi semakin memperluas pengaruhya. Karena
memang, dalam hal kehidupan keagamaan, desa Bagek Nyake dikenal sebagai
basis gerakan kelompok Salafi. Sebutan ini tidaklah berlebihan, mengingat
sejarah masuk dan berkembangnya kelompok Salafi dimulai dari dusun ini.
Meskipun datang belakangan dan menjadi urutan kedua dalam perkembangan
kelompok keagamaan di desa ini, gerakan Salafi tetap memiliki posisi strategis
dalam membentuk dan menentukan identitas keagamaan masyarakat. Penolakan
dan tensi sosial yang kerap terjadi di masa awal perlahan mereda, bersamaan
dengan semakin diterimanya Salafi di tengah masyarakat. Dari tiga Masjid di
desa ini, dua di antaranya merupakan Masjid yang berafiliasi dengan gerakan
Salafi. Masing-masing adalah Masjid Jamaludin dan Masjid Sulaiman al-Fauzan
(yang oleh masyarakat kerap disebut masjid Assunnah atau Masjid luar).
Sedangkan Masjid Syamsul Falah merupakan Masjid pertama, dan menjadi pusat
ibadah non-Salafi atau Islam Mainstream (yang oleh masyarakat disebut Masjid
dalam).
2. Membangun Gerakan dari Masjid: Pendirian Masjid Jamaludin dan
Sulaiman Al-Fauzan Masjid adalah basis gerakan utama bagi kelompok Salafi. Posisi Masjid
sangat strategis untuk membuat jaringan dan melakukan kaderisasi dan dakwah
di berbagai tempat.90 Dalam konteks Bagek Nyake, munculnya Masjid
Jamalaudin dan Sulaiman Al-fauzan atau yang dikenal dengan Masjid Assunnah,
bersamaan dengan berkembangnya lembaga pendidikan Salafi. Dua Ponpes
89Pemerintah Kabupaten Lombok Timur, Profile Desa Bagek Nyake Santri, 2017 90 Chaplin…
28
Salafi yang kini masih eksis dan memilik kontribusi dalam akselerasi
perkembangan Salafi adalah Ponpes Al-Manar atau disebut juga Ponpes
Jamaludin.
Yayasan Pondok Pesantren Jamaluddin merupakan salah satu pondok
pesantren yang tertua di Bagek Nyake. Ponpes Jamaluddin didirikan oleh TGH.
Abdul Manan, nama Jamaludin diambil dari nama orang tuanya yang juga
seorang ulama yang cukup terkenal di Lombok. Setelah TGH. Abdul Manan
wafat, kepemimpinan ponpes Jamaluddin dilanjutkan oleh TGH. Husni yang baru
pulang dari Mekkah dan membawa pemahaman manhaj salafi, sehingga pada
saat itu pemahaman salafi menjadi pemahaman yang diajarkan di ponpes
Jamaluddin sampai sekarang. Selanjutnya, ponpes Jamaluddin dipimpin oleh adik
dari TGH. Husni yaitu Tuan Guru Abdul Manar dan ustadz Iswandi Abubakar.
Pada saat dipimpinan oleh TGH. Husni, ponpes Jamaluddin merupakan satu-
satunya ponpes salafi di wilayah Lombok Timur. Dalam perkembangannya, ponpes
Jamaluddin menjadi cikal bakal lahirnya ponpes-ponpes yang bermanhaj salafi di
wilayah Lombok Timur. Para santri awal ponpes Jamaluddin inilah yang
mengembangkan dakwah salafi melalui lembaga pendidikan yang ada di seputar
wilayah Lombok Timur. Disamping itu juga, setelah wafat TGH. Husni ponpes
mengalami perpecahan, dari perpecahan tersebut lahirlah Ponpes As-Sunnah,
disamping Ponpes Jamaludin sendiri.
Popes Jamaluddin menyelenggarakan beberapa lembaga pendidikan mulai
dari tingkat Taman Kanak-kanak, Madrasah Ibtida'iyah, Madrasah Tsanawiyah, dan
Madrasah Aliyah, dengan jumlah santri 400-an orang dari semua jenjang
pendidikan. Semua santri diwajibkan tinggal di dalam asrama. Mereka berasal dari
berbagai daerah tidak hanya Lombok juga dari luar daerah, seperti Sumbawa, Jawa
dan bahkan Sulawesi.91
Ponpes Jamaluddin memiliki beberapa program unggulan, salah satunya ialah
tahfidz al-Qur’an. Melalui program tahfidz diharapkan para santri lulusan ponpes
Jamaluddin mampu membaca dan menghafal al-Qur’an dengan baik. Tahfidz al-
Qur’an manjadi program wajib yang harus diikuti oleh para santri. Dalam
pelaksanaannya program tahfidz al-Qur’an dilakukan setiap hari yang dipusatkan di
91 Tuan Guru Manar, Pimpinan Ponpes Jamaludin, wawancara 5 September 2018
29
masjid pesantren yang bangunannya terletak di tengah-tengah pesantren dan
dikelilingi oleh gedung-gedung sekolah. Terdapat beberapa tingkatan pembelajaran
sebelum para santri mulai menghafal al-Qur’an, mulai dari tingkatan belajar
membaca al-Qur’an (tingkatan iqra’), tingkatan tahsin bagi santri yang belum
lancar membaca al-Qur’an sebagai tingkatan persiapan tahfidz, dan tingkatan
tahfidz al-Qur’an bagi santri yang telah lulus dari tingkatan sebelumnya.
Setelah Ponpes Jamaludin eksis, dan adanya tensi sosial di “Masjid dalam”
Syamsul Falah, maka Tuan Guru Manar mendirikan Masjid Jamaludin. Pendirian
masjid ini sebagai jawaban atas terjadinya pertentangan pemahaman keagamaan di
masjid Syamsul Falah yang merupakan Masjid umum dan tertua di Bagek Nyake.
Tuan Guru Manar, pendiri Masjid ini menuturkan bahwa pendirian Masjid
Jamaludin sebagai jawaban atas besarnya tantangan dakwah sunnah di Bagek
Nyake di masa awal. Menurutnya “pada masa awal kami memperkenalkan dakwah
sunnah, terutama ketika masa Ayahanda kami Ustaz Husni menghadapi tantangan
yang besar dari masyarakat. Di Masjid Syamsul Palah kerap terjadi perdebatan dan
ketegangan satu dengan yang lain, terutama dalam praktik ibadah. Manhaj salaf
yang kami yakini sebagai paham yang murni dipandang sebagai paham baru oleh
masyarakat, bahkan dianggap mengada-ada dan ajaran palsu.92
Pendirian Masjid ini (Masjid Jamaludin) sebenarnya untuk menghindari konflik. Masjid yang kami tempati dulu (Masjid Syamsul Falah) adalah bergabung dengan ajaran yang lain. Akan tetapi dikarenakan kami ingin mengembangkan ajaran As-Sunnah ini, kami memohon untuk membuat Masjid dari pada ada konflik yang terjadi dengan orang di luar Jama’ah As-Sunnah. Sehingga, setiap Dusun itu terdapat dua Masjid yang salah satunya milik jama’ah As-Sunnah. Tujuannya adalah untuk tidak ada konflik yang terjadi dan agar kami juga tenang dalam beribadah.93
Sebagaimana di beberapa tempat lain, pendirian Masjid baru Salafi dapat
dipandang sebagai strategi dakwah – kalau bukan strategi kontestasi, di tengah
sejumlah tantangan dari Islam mainstream. Pendirian Masjid Jamaludin Bagek
Nyake merefleksikan bagaimana strategi ini ditunjukkan, dan berhasil
memperoleh apresiasi masyarakat sekitar meski tetap sebagai kelompok minoritas
92 Tuan Guru Manar, Pimpinan Salafi sekaligus pendiri Masjid Jamaludin Bagek Nyake,
wawancara, 7 September 2018 93Tuan Guru Manar, Tokoh Salafi, wawancara, 7 September 2018
30
di desa ini. Kepala Desa Bagek Nyake menuturkan, “awalnya Masjid yang kita
miliki itu berjumlah satu yaitu masjid tua Samsul Falah yang digunakan untuk
Shalat berjamaah dan Jum’atan dan semua aliran keagamaan yang ada di Desa ini
berkumpul menjadi satu. Setelah itu mereka berpisah dikarenakan pemahaman
yang berbeda-beda terkait dengan ibadah. Hingga pada akhirnya mereka membaut
Masjid sendiri-sendiri.94
Melalui Masjid ini, di bawah bimbingan dakwah Tuan Guru Manar, kelompok
Salafi secara bebas dan independen melakukan penyebaran dan pelaksanaan manhaj
salaf sesuai dengan pemahamannya. Masjid Menjadi bagian terpenting dalam
pembentukan identitas religious-kultural masyarakat di daerah ini. Tuan Guru Manar
memiliki jangkauan dakwah di 30-an Masjid yang memiliki afiliasi paham dengan
ajaran As-Sunnah,95 dari ratusan Masjid Salafi di Lombok.
Lebih jauh Tuan Guru Manar menjelaskan, dalam pembangunan Masjid
Jamaludin didukung sepenuhnya dari donator Timur Tengah di bawah naungan
Yayasan Ihyat al-Turats. Bahkan seluruh Masjid yang berafiliasi dengan dakwah
Sunnah memperoleh dukungan dari Arab Saudi. Tidak mengherankan jika Masjid-
Masjid Salafi kerap dikunjungi para Syekh dari Arab Saudi, baik untuk mengamati
kondisi fisik bangunan, kegiatan keagamaan maupun untuk kepentingan berdakwah.
Pihak yayasan Ihya al-Turats selaku fasilitator hanya mensyaratkan adanya area
tanah sebagai tempat pembangunan, dan selanjutnya biaya pembangunan dan bahkan
tunjangan pengurus Masjidnya menjadi tanggung jawab yayasan tersebut.96
Dulu ketika masih di Masjid tua – Masjid Syamsul Falah, kita sempat memberikan dakwah yang dinamakan “Kuliah Shubuh” sebagai bagian dari strategi dakwah kami di masjid dan memberikan kesempatan-kesempatan untuk mereka untuk berdakwah. Dengan itu, kami tujuan kami hanya ingin meramaikan masjid shalat berjama’ah, bukan hanya meramaikan Masjid ketika Shalat Jum’atan saja. Pengajian-pengajian yang kami adakan rutin setiap minggunya. Mulai dari hari Jum’at pagi, Rabu, malam Ahad. Setiap malam ahad juga kami melakukan dakwah keliling di setiap Masjid terutama di wilayah Kecamatan Aik Mel ini. Dalam berdakwah ajaran As-Sunnah strategi dakwah kami sehingga bisa diterima di masyarakat adalah kita banyak mengambil pelajaran dari Sejarah Rasulullah melalui kesabaran beliau. Jika ada yang
94 ……. Kepala Desa Bagek Nyake, wawancara 7 September 2018
95 Tuan Guru Manar, Tokoh Salafi, wawancara, 7 September 2018 96 Tuan Guru Manar, Tokoh Salafi, wawancara, 7 September 2018
31
menentang, kita biarin. Selain itu, TGH. Rusni berdakwah dengan cara yang seperti itu. Memang ada juga terkadang kelompok yang lain dengan cara kekerasan. Tetapi kita tak menggunakannya.. cara TGH. Rusni berdakwah dengan cara pendidikan, beliau juga ketika disuruh talqin, mau melalukannya. Dengan cara itulah beliau masuk dengan cara merubah cara pandang suatu masyarakat.97
Sedangkan Masjid Sulaiman al-Fauzan atau yang lebih dikenal dengan
Masjid Assunnah adalah Masjid kedua sebagai basis gerakan Salafi di Bagek
Nyake. Masjid Sulaiman Fauzan Al-Fauzan didirikan sekitar tahun 2000 sebelum
pondok pesantren As-Sunnah didirikan. Masjid ini dulu awalnya adalah masjid
yang diperuntukkan bagi jama’ah secara umum. Baru setelah masjid ini digunakan
oleh As-Sunnah dibangunlah Ponpes As-Sunnah yang secara resmi memperoleh
pengakuan Kemenag tahun 2011. Sebagaimana halnya Masjid Jamaludin,
pembangunan dan biaya operasional Masjid ini sepenuhnya dibiayai Yayasan Ihya
al-Turats yang berpusat di Kuait.98
Masjid Sulaiman Fauzan al-fauzan dikenal luas sebagai pusat utama dakwah
Salafi di Lombok bersamaan dengan komitmen dakwah yang kuat dari para dai
Salafi di Masjid ini. Ustadz Mizan Qudsiyah, Ustadz Abdullah Husni, dan Sufyan
Bafein Zain, adalah tiga juru dakwah yang secara rutin mengelola Masjid ini, dan
berkontribusi penting dalam perkembangan Salafi di Lombok. Masjid ini semakin
berkembang bersamaan dengan pendirian Ponpes Assunnah dengan sejumlah
lembaga formal. Kehadiran lembaga formal ini turut memperluas kemasyhuran
Masjid ini.
Pondok pesantren As-Sunnah merupakan pecahan dari ponpes Al-Manar. Pada awalnya, di Bagik Nyaka terdapat Masjid Sulaiman Fauzan al-Fauzan yang dibangun oleh TGH. Husni sebagai markaz dakwah salafi di Lombok Timur atas bantuan dari yayasan Ihya’ at-Turast Kuwait. Dari masjid inilah dibentuk program pendidikan Diniyah Islamiyah pada tahun 1999 oleh ustadz Sufyan Bafein Zein yang merupakan adik ipar TGH. Husni, dengan jumlah santri pertama pada saat itu 15 orang. Pelaksanaan pembelajaran madrasah diniyah pada saat itu sepenuhnya dipusatkan di masjid Sulaiman Fauzan al-Fauzan, baik aktifitas belajar maupun tempat tinggal para santri, karena belum terdapat
97 Tuan Guru Manar, Tokoh Salafi, wawancara, 7 September 2018 98 UStadz Sabrihadi, Tokoh Agama, mantan guru Madrasah As-Sunnah Lombok Bagek Nyaka,
wawancara 13 Oktober 2018
32
gedung dan asrama khusus bagi para santri. Pada saat itu madrasah diniyah hanya dikhususkan bagi santri putra saja.99 Pada awal berdirinya, ponpes As-Sunnah dipimpin oleh ustadz Sufyan Bafien
Zein, namun setelah para keponakannya yang merupakan anak dari TGH. Husni
menyelesaikan studi mereka di Madinah dan kembali ke Lombok, ponpes As-Sunnah
dipimpin oleh mereka. Pimpinan yayasan diserahkan kepada ustadz Mizan Qudsiyah,
yang merupakan suami dari anak perempuan TGH. Husni, sedangkan Mudirul
ma’had diserahkan kepada ustadz Abdullah Husni, anak laki-laki dari TGH.
Husni.100
Kegiatan Keagamaan yang rutin dilakukan di Masjid Sulaiman adalah malam
Ahad kajian kitab Hadyun Nabi oleh ustadz Muharrir; malam Rabu kajian lepas
dengan para jama’ah dari luar pesantren oleh para ustadz yang digilir setiap
pekannya; malam Kamis kajian Uwaaiqutholib oleh ustadz Abu Ubadah; malam
Jum’at kajian kitab Raudhatul Anwar oleh ustadz Sufyan Bafein Zein; Jum’at ba’da
subuh kajian tentang adab menuntut ilmu oleh ustadz Mizan Qudsiyah, dan malam
Selasa kajian tafsir oleh ustadz Abdullah Husni. Tenaga pengajar di Masjid ini
merupakan para alumni dari luar dan dalam Negeri, seperti: Universitas Islam
Madinah, Ma’hadul Haram Makkah, Universitas Ibnu Utsaimin Unaizah, LIPIA
Jakarta, STAI Ali bin Abi Tholib Surabaya, Ma’hadul Furqon Gresik, Ma’had
Minhajus Sunnah Bogor, dan Ma'had-ma’had lainnya di Indonesia. Kajian-kajian
yang diberikan di Masjid Sulaiman lebih menekankan dan mengajarkan pada
bagaimana cara memahami dan menjalankan Islam sesuai dengan manhaj
salafusshalih. Kajian-kajian seperti kajian tentang tauhid dan akhlaq, fiqih, tafsir,
sirhah, dan materi-materi lain yang sesuai dengan manhaj salafi memperoleh
perioritas.
Masjid-masjid yang bernaung di bawah Yayasan As-Sunnah punya Program
untuk memberikan pengajian di setiap masjid-masjid yang dibangun. “Jadi, masjid-
masjid ini disumbang oleh orang-orang dari Kwait dan mereka berpesan agar masjid-
99UStadz Sabrihad i, Tokoh Agama, mantan guru Madrasah As-Sunnah Lombok Bagek Nyaka,
wawancara 13 Oktober 2018
100 UStadz Sabrihadi, Tokoh Agama, mantan guru Madrasah As-Sunnah Lombok Bagek Nyaka, wawancara 13 Oktober 2018
33
masjid yang dibangun dari uang sumbangan mereka digunakan untuk shalat lima
waktu secara berjama’ah, shalat Jum’at, dan kami juga diminta masjid-masjid yang
ada diisi dengan pengajian-pengajian, itulah fungsi dari Masjid. Di mataram, juga
kami sering mengisi pengajian-pengajian seperti di Lawata pada malam Kamisnya,
Gedung Putih di depan Rumah Sakit Islam Mataram, dan juga ada kerja sama dengan
Yayasan Hunafa’ di Mataram. Dan Yayasan Abu Hurairah.101
D. Masjid Ummu Sulaiman Suela: Negosiasi dan Tensi
1. Setting Sosial Keagamaan Desa Suela Desa Suela merupakan salah satu dari 8 (delapan) Desa yang berada
di Kecamatan Suela. Nama Suela sendiri memiliki sejarah tersendiri. Pada
zaman pemerintahan Anak Agung beberapa orang Monek pindah dan
mendirikan perkampungan baru yang namanya sama pengertiannya
dengan Monek yaitu Suela. Setelah penduduk Monek menempati lokasi
baru tempat yang agak tinggi (Suela) sebutan kerajaan tidak diungkit-
ungkit lagi dan masuklah Desa Suela pada zaman Belanda menjadi
wilayah Kedistrikan yaitu Kedistrikan Pringgabaya.102
Luas wilayah Desa Suela secara keseluruhan adalah seluas 994 Ha.
Desa Suela berada di ketinggian 520 meter di atas permukaan laut. Desa
Suela Kecamatan Suela secara topografi merupakan perbukitan. Wilayah
Desa Suela yang beriklim tropik basah memiliki curah hujan sebesar
2000-3000 mm per tahun. Desa Suela memiliki intensitas curah
hujancukup tinggi sehingga suhu udara rendah sehingga dapat
mendukung kegiatanmasyarakat dalam bidang pertanian.103
Potensi di bidang pertanian dan perkebunan merupakan potensi
unggulan yangterdapat di Desa Suela. Komoditas padi, jagung, singkong,
tanaman hortikultura sangat dominan didukung oleh lahan yang subur,
iklim yang baikserta kemampuan petani dalam bidang pertanian yang
memadai. Adanyabeberapa sumber air di Desa Suela menjadikan sumber
pengairan utamabagi masyarakat petani disekitar Desa Suela sehingga
pada saat musimkemarau dapat menjadi sumber cadangan air yang cukup
101 Ustaz Sufyan, Tokoh Salafi Pimpinan Ponpes Assunnah, wawancara 9 September 2018 102 Kades, Wawancara, 7 Oktober 2018 103 Profile Desa Suela, 2015
34
potensial untukdimanfaatkan. Iklim di Desa Suela terdapat dua musim
yaitu musim hujan danmusim kemarau. Musim hujan terjadi pada bulan
November hingga Mei. Musimkemarau umumnya terjadi pada bulan Juni
sampai Oktober.
Desa Suela merupakan salah satu Desa yang terdapat di Kawasan
lereng gunung Rinjani sehingga sangat menunjang aktivitas ekonomi
dalam bidangpertanian. Di Desa Suela terdapat jalan utama yang
merupakan aksesibilitasatau jalur penghubung yaitu menghubungkan
antar beberapa kecamatan seperti Kecamatan Sembalun, Kecamatan
Wanasaba, Kecamatan Pringgabaya, Kecamatan Aikmel serta merupakan
jalur penghubung untuk memasarkan hasil pertanian. Menurut data dari
http://prodeskel.pmd.depdagri.go.id, desa ini berada pada kooordinat (
Bujur) 116.5842dan koordinat (Lintang) 8.522 441, dengan ketinggian
520 meter dari permukaan laut serta curah hujan rata-rata 2000-3000
mm/tahun dengan suhu rata-rata ± 20- 32 ºC dengan batas-batas dengan
batas-batas wialayah sebagai berikut;
Sebelah utara : Desa Sapit dan Desa Bebidas
Sebelah timur : Desa Suntalanggu dan Desa Mekar Sari
Sebelah selatan : Desa Ketangga
Sebelah barat : Desa Wanasaba dan Desa Bebidas
Desa Suela merupakan pedesaan yang bersifat agraris, dengan
matapencaharian sebagianbesar penduduknya adalah bercocok
tanamterutama sektor pertanian tanaman pangan dengan hasil utama
padidan palawija. Sedangkan pencaharian lainnya diantaranya sector
industri kecil yang bergerak dibidang perbengkelan, kerajinan, Jasa
Angkutan, dan lain sebagainya.
Jumlah Penduduk berdasarkan Pemutahiran Data pada Bulan
Desember 2014, Desa Suela mempunyai Jumlah Penduduk 7.152 Jiwa,
terdiri dari 3.491 jiwa laki -Iaki dan 3.661 jiwa perempuan,terdiri 1.931
KK laki-laki 553 KK Perempuan tersebar di 4 Dusun 45 Rukun Tetangga.
Tabel: Jumlah Penduduk
No Nama Dusun Jumlah Jumla Jumlah Jumlah
35
Penduduk h (Jiwa)
Kepala Keluarga
(KK)
Lk Pr Lk Pr 1 Bilakembar 482 452 934 229 52 281 2 Suela Lauq 843 943 1.786 504 166 670 3 Suela Daya 1.099 1.230 2.329 631 196 827 4 Cempaka 1.067 1.036 2.103 567 139 706 Jumlah 3.491 3.661 7.152 1.931 553 2.484
Selain dalam pembinaan hukum, Kepala Desa Suela tidak absen dalam
membina kerukunan kehidupan beragama, sebagai konsekwensinya peningkatan
tarap keimanan dan ketaqwaaan terhadap Tuhan Yang maha Esa, adalah
kewajiban kita bersama sebagai umat beragama untuk bersama-samas memupuk
dan menumbuhkan nilai-nilai toleransi dan ketentraman dalam menjalankan dan
meningkatkan kehidupan beragama. Sehingga sebagai pongayom dan panutan
masyarakat, maka Pemerintah Desa Suela dengan sendirinya merasa terpanggil
untuk terus dan berusaha membangun sendi-sendi kehidupan beragama guna
mewujudkan keteguhan iman dan ketaqwaan sebagai sumber inpirasi dalam
membangun mental spritual masyarakat yang berkwalitas. Salah satu langkah
konkrit guna mencapai tujuan tersebut adalah dengan berupaya mendorong dan
meotivasi usaha perbaikan sarana pribadatan, dengan berupaya membangun dan
meperbaiki prasarana ibadah seperti mengadakan pembangunan-pembangunan
Masjid, Mushalla, ataupun TPQ/TPA, serta Diniah. Realita yang ada saat ini
adalah adanya gairah dan semangat seluruh lapisan masyarakat pada semua dusun
yang ada, dan bahkan TPQ/TPA banyak yang terbangun Masjid dan Mushlla
yang ada.
Tabel: Sarana Ibadah104
No Jenis Jumlah 1 2 3 4
Masjid Mushalla TPA/TPQ Majlis Ta’lim
6 unit 24 unit 15 unit 3 Klp
2. Alih Fungsi Masjid Ummu Sulaiman
104Profile Desa Suela, 2015
36
Masjid Ummu Sulaiman adalah Masjid Salafi di dusun Kopang desa Suela.
Masjid ini pada awalnya Mushalla yang berdiri sekitar tahun 1987. Karena
Mushalla, maka fungsinya sangat terbatas, sebatas tempat shalat lima waktu dan
mengaji. Namun perlahan sejak tahun 2000an Mushalla ini mulai dimanfaat oleh
Jama’ah Salafi. Bersamaan dengan penguasaannya terhadap Mushalla ini,
fungsinya diperluas untuk tidak hanya tempat shalat dan ngaji tapi juga untuk
Shalat Jum’at. Perluasan fungsinya diperkuat dengan dimulai pembangunan
Masjid Assunnah Ummu Sulaiman, nama baru dari Mushalla ini. Perubahan dari
Mushalla ke Masjid ini memperoleh tantangan dari masyarakat sekitar. Penolakan
ini selain disebabkan karena factor teologis perbedaan ajaran yang ditawarkan,
juga Dusun ini sudah mempunyai Masjid yang masih memadai untuk shalat
Jum’at. Sehingga masyarakat tidak butuh Masjid baru. Terlebih lagi jumalah
jama’ah Salafi sangat terbatas, tidak mencapai 15-an orang. Di samping itu
Mushalla tersebut adalah waqaf dari seseorang yang sudah lama dimanfaatkan
sebagai Mushalla. Penolakan ini berujung pada pengrusakan Masjid tersebut
ketika sedang berlangsung proses pembangunan.105
Pembangunan Masjid Ummu Sulaiman diinisiasi oleh Ustaz Syafi’, salah
seorang tokoh Salafi di desa ini. Sejak dimulai aktivitas pengajian oleh Jama’ah
Salafi, Ustaz Syafi’ berperan aktif. Ketika penolakan masyarakat yang berujung
pengerusakan Masjid terjadi, ustaz Syafi’ menjadi tokoh terdepan membela
meskipun tidak tinggal di dusun ini. Ia menuturkan:
…. ada penolakan dari masyarakat sekitar dikarenakan jama’ah kami kurang dari 40 orang untuk menunaikan shalat Jum’atan. Selain itu, kami dipandang kelompok minoritas dan dianggap ajaran yang menyimpang dari Islam. Pengerusakan masjid kami pada waktu itu diakibatkan masyarakat terprovokasi oleh kepala desa yang sebelumnya. Alhamdulillah, pemerintah dari Bangkespol dan Kemenag Lombok Timur memediasi konflik dan meninjau secara langsung lokasi pembangunan Masjid. Salah satu keputusan yang disepakati adalah kami diizinkan untuk membangun Masjid Ummu Sulaiman ini, dan selesai pembangunan pada tahun 2016. Kini kepala desa baru Desa Suela, bapak Eko sangat mendukung kami dan melindungi kami sebagai minoritas.106
105 Baharudin, Ketua RT Dusun Kopang Wawancara, 5 September 2018 106 Ustaz Ramli, Takmir Masjid Ummu Sulaiman Suela, wawancara, 20 Oktober 2018.
37
Meskipun terjadi penolakan, pembanguan Masjid ini tetap dilanjutkan
dengan catatan tidak merubah fungsi awalnya sebagai Mushalla, bukan Masjid
untuk shalat Jum’at. Keputusan ini diperoleh setelah ada proses mediasi oleh
Kemenag, FKUB dan Bangkespol Lombok Timur.107 Namun dalam
perkembangannya setelah pembangunan Masjid sudah selesai, perlahan jamaah
Salafi kembali menggunakan Masjid ini sebagai tempat shalat Jum’at. Sampai
penelitian ini dilakukan Masjid ini digunakan selaian untuk shalat lima waktu dan
mengaji, juga shalat Jum’at. Masjid ini nampak ramai dan memiliki jama’ah pada
saat tertentu, ngaji dan shalat Jum’at, dimana yang datang orang-orang luar, bukan
masyarakat setempat.108
Memang awal penyebaran ajaran As-Sunnah waktu itu mengikuti tradisi
masyakarat dan sedikit demi sedikit diubah. Begitu cara As-Sunnah pertama kali
menyebarkan ajarannya yang berlangsung selama setahun. Mereka mengkaji
budaya masyarakat dulu pada awalnya. Baru pada tahun kedua saya dibukakan
kitab Adabus Salam dan disuruh mengkajinya. Saya membaca kitab tersebut dan
bertepatan waktu itu saya membaca tentang makruh hukumnya bersalaman ketika
selesai sholat. Karena para sahabat tidak pernah mengerjakan hal tersebut.
Apalagi Rasulullah SAW. ini pendapat Imam Anas bin Malik. Bahkan imam
Syafi’i mengatakan Tahzir orang yang melakukan salaman ketika selesai Shalat
karena itu adalah perbuatan orang Syi’ah. Ketika itupula saya masih tetap
mempertahankan keyakinan sya mengikuti ajaran tarikat.
E. Desa Bebidas: Ekspansi Salafi
1. Setting Sosial Awal mula dinamakan kampun Bebidas, yaitu pada zaman dahulu sekitar
ahun 1930 an ada beberapa masyarakat dai Desa Wanasaba mencoba bercocok
tanam di wilayah kampung Bebidas, karena tanahnya yang sangat subur sehingga
masyarakat tersebut memilih untuk menetap tinggal diwilayah tersebut, itupun
menempati lahan masing-masing sengga antara rumah satu dengan yang lainnya
jaraknya berjauhan. pada saat itu belum banyak jenis tanaman yang bisa ditanam 107H. Sudirman, Kepala Bangkespol Lombok Timur, wawancara, 7 Oktober 2018 108Baharudin, Ketua RT Dusun Kopang Wawancara, 5 September 2018
38
hanya padi bulu, singkong dan ubi jalar, karena keadaan wilayahnya masih
rimbun, sangat digemari sekali oleh babi dan seringkali memakan tanaman
sehingga masyarakat sangat terganggu sekali dengan keberadaan babi-babi
tersebut, ambil menyuruh babi-babi itu pergi, penduduk setempat selalu memakai
kata "Babi Daus" dan kata-kata tersebut lazim dipakai oleh masyarakat setempat,
sehingga semua masyarakat yang tinggal diwilayah tersebut sepakat untuk
membanun sebuah kampung dengan nama "Bebidas".109
Desa Bebidas sebelum menjadi desa definitif, merupakan bagian dari
wilayah Desa Karang Baru, Desa Karang Barupeahan dari Desa Wanasaba.
seiring dengan perkembangan dan kebijakan pemerintah mengenai desa, maka
berdasarkan kesepakatan dan persetujuan semua masyarakat melalui musyawarah,
pada tahun2003 Desa Karang Baru dimekarka menjadi 2 (dua) desa, yakni Desa
Karang Baru (induk) dan Desa Bebidas (Pemekaran). Desa Bebidas definiif pada
tahun 2004, kemudian pada tahun 2011 Desa Bebidas dimekarkan lagi menjadi
dua desa yaitu Desa Bebidas (induk) dan Desa Otak Rarangan (pemekaran).110
Desa Bebidas memiliki luas wilayah 3.463 ha/m2, terletak:
Batas Desa/Kelurahan Kecamatan
Sebelah Utara Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR)
Suralaga
Sebelah Selatan Otak Rarangan Wanasaba
Sebelah Timur Suela Suela
Sebelah Barat Karang Baru Timur dan Jineng Wanasaba
Sedangkan jumlah penduduk desa Bebidas berdasarkan gendernya adalah
sebagai berikut:
Jumlah laki-laki 1142 Orang
Jumlah perempuan 1137 Orang
Jumlah total 2279 Orang
109 Pemerintah Daerah Lombok Timur, Profile Desa Bebidas 110 Kepala Desa Bebidas,
39
Jumlah kepala keluarga
737 KK
Kepadatan penduduk
500 perKM
Sedangkan dari aspek pemeluk agama dapat digambarkan sebagai berikut:
Agama Laki-laki Perempuan
Islam 1140 Orang 1136 Orang
Kristen - Orang - Orang
Katholik - Orang - Orang
Hindu 2 Orang 1 Orang
2. Pengambil alihan Masjid An-Nur: Ekspansi Awal Salafi
Desa Bebidas merupakan salah satu desa yang menjadi basis
perkembangan gerakan Salafi di masa awal hingga saat ini. Hampir di semua
dusun di desa ini terdapat Masjid Salafi yang terpisah dengan Masjid masyarakat
pada umumnya. Salah satu Masjid utama yang menjadi pusat dakwah Salafi
adalah Masjid Assunnah An-Nur di Dusun Lampit, Bebidas. Masjid ini memiliki
sejarah tersendiri, meskipun sudah puluhan tahun di bawah control Islam
mainstream, namun kini dibawah penguasaan Jama’ah Salafi.
Masjid An-Nur sebelum diambil alih oleh Jama’ah Salafi sebenarnya adalah
salah satu Masjid umum bagi masyarakat Bebidas, terutama bagi masyarakat
Dusun Lampit. Semua kegiatan keagamaan mencerminkan aktivitas keagamaan
Islam tradisional sebagaimana masyarakat pada umumnya. Perayaan berbagai
ritual dan tradisi keagamaan di pusatkan di Masjid ini. Tradisi maulid, serakalan,
tahlilan berjama’ah, dan berbagai kegiatan keagamaan sejenisnya menjadi
aktivitas yang turut menghidupkan suasana religiusitas di Masjid ini. Namun
bersamaan dengan muncul dan berkembangnya kelompok Salafi yang mengusung
isu syirik dan bid’ah, berbagai aktivitas tersebut tidak hanya tidak lagi
40
dilaksanakan, tetapi bahkan dianggap bid’ah yang sesat dan dipandang harus di
jauhi.111
Bersamaan dengan semakin banyaknya pengikut Salafi di dusun ini, pada
tahun 2012 Masjid An-Nur “diambil alih” oleh jama’ah Salafi, dan selanjutnya
nama Masjid An-Nur berubah menjadi Masjid Assunnah An-Nur.112 Perubahan
nama ini merefleksikan bagaimana identitas ideologis yang disemaikan di tempat
ibadah menjadi penting.
F. Doktrin Salafi: Teologi dan Sistingsi 1. Isu Bid’ah: Penegasian dan Distingsi Sosial Keagamaan
Sebagaimana gerakan Salafi di tempat lain, isu bid’ah113 tidak hanya
menjadi term teologis di kalangan Salafi yang secara sosiologis sebagai bentuk
penegasian, namun juga menjadi distingsi dengan kelompok lain. Lebih jauh, isu
bid’ah dipertautkan dengan klaim kebenaran dan klaim keselamatan kerap
berbenturan dengan faham mainstrem lebih akomodatif terhadap budaya lokal.
Dengan menandaskan diri pada hadith Nabi “man ‘amila ‘amalan laisa ‘alai>hi
amruna> fahua raddun”114 kelompok Salafi meneguhkan pandangan dan
pendiriannya sebagai pembawa Islam yang murni. Hal ini sebagai salah satu
manifestasi dari tiga karakter utama gerakan Salafi, yaitu pertama , menolak
segala bentuk pemikiran yang bernuansa filsafat, kalam, dan tasawuf. Kedua ,
menentang secara tegas dan keras segala hal yang dianggap bid’ah, shirik dan
111 Ustaz nawawi, Tokoh Agama, sekaligus Pimpinan Ponpes Islamiyah Bebidas, wawancara 7
Oktober 2018. 112 Amaq Ati, Pengurus Masjid Assunnah An-Nur, Lampit Bebidas, wawancara 21 Oktober 2018
113Kata bida’ah memiliki dua kata dasar, yaitu al-bad’u dan al-ibda’yang keduanya mengandung makna terjadinya sesuatu tanpa contoh sebelumnya, sesuatu yang baru, yang dibuat-buat. Karena itu bid’ah umum dimaknai sebagai praktik keagamaan yang dianggap baru dan tidak berdasarkan pada ajaran Islam. Dalam kajian Salafi, istilah ini sering d isandingkan dengan ahl al-hawa>’, yaitu kelompok yang menandaskan pemikiran dan praktik keagamaan pada hawa nafsu. Kedua istilah selanjutnya disebut ahl al-bid’ah wa al-ahwa>’ yang dalam praktiknya dipertentangkan dengan manhaj salaf, lihat Abd al-Sala>m al-Sihimy, Kun Salafiyyan ‘ala al-Ja>ddah, 91-92. Lihat juga Abd al-Razak al-Dawish, Fata>wa al-Lajnah al-Da>imah, Jilid 2, 461.
114Artinya: barang siapa yang beramal tidak atas perintah kami, maka tertolak (Muttafaqun ‘alaih). Lihat Abd al-Sala>m al-Sihimy, Kun Salafiyyan ‘ala al-Ja>ddah, 95. Diperkuat potongan hadith كل محدثة setiap yang baru adalah bid’dah, dan setiap yang bid’ah adalah sesat”. Meski“ بدعة وكل بدعة ضاللةinterpretasi terhadap hadith ini masih diperdebatkan, namun sudah populer menjadi landasan justifikas i kalangan puritanis, semisal Salafi. Lihat Nashir bin Abd al-Karim al-‘Akl, Isla>miyah La Wahabiyah (Saudi: Da>r al-Fad}ilah, 2007), 35, 143.
41
khurafat. Ketiga, sebagai kelanjutan dari karakter pertama, Salafi menolak
penafsiran bi al-ra’yi yang menekankan pada rasionalitas.115
Salah seorang tokoh Salafi, Mizan Qudsiyah menyatakan, istilah bid’ah
sebagaimana dipahami kelompok Salafi adalah cara baru yang sengaja dibuat-buat
dalam menjalankan agama sehingga menandingi syari’at Islam (yang sudah
ditetapkan), dengan maksud berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah.116
Tema ini sejalan dengan pokok-pokok pikiran manhaj salaf yang: pertama,
menitikberatkan pada tauhid uluhiyah (menggerakkan seluruh bentuk ibadah
hanya kepada Allah); kedua , menitikberatkan pada perbaikan akidah, karena
perbaikan akidah inilah yang pertama kali dilakukan oleh Nabi; ketiga, selalu
mengedepankan wahyu al-Qur’an dan Sunnah atas akal manusia.117 Lebih lanjut,
Mizan membagi bid’ah dalam dua macam, yaitu bid’ah h}aqiqiyah dan bid’ah
id}a>fiyah. Bid’ah h}aqiqiyah adalah bid’ah yang tidak dibangun di atas satu dalil
syari’at pun, baik dari kitabullah, as-Sunnah, atau ijma, serta tidak pula merujuk
pada kaidah para ulama dalam menetapkan hukum, baik secara global maupun
terperinci. Jadi, murni dibuat-buat tanpa contoh sebelumnya dalam syari’at.
Beberapa praktik keagamaan yang termasuk dalam kategori ini menurut Mizan
adalah perayaan maulid Nabi, memperingati isra’ mi’raj, mengingkari ijma, dan
berkeyakinan bahwa imam bersifat maksum, dan bid’ah-bid’ah lain yang tidak
pernah diajarkan oleh Rasulullah dan para sahabat.118
Sedangkan bid’ah id}a>fiiyah merupakan bid’ah yang dibangun di atas dalil
namun menjadi salah kaprah dalam memahaminya, sehingga melahirkan hal-hal
baru di dalam syari’at. Dalam hal tertentu, sebagai akibat pemahaman yang keliru
lahirlah sesuatu yang bisa dikatakan sebagai bid’ah haqiqiyah karena hanya
berlandaskan syubhat, bukan dalil. Bid’ah jenis ini menurut Mizan masih banyak
ditemui, seperti pengkhususan puasa pada hari Jum’at, pengkhususan umrah pada
115Muhammad Imarah, Thayya>rat al-Fikr al-Isla>m (Kairo: Da>r al-Syuru>q, 1995), 254. Lihat
juga Abd al-Sala>m al-Sihimy, Kun Salafiyyan ‘ala al-J}a>ddah. 116Mizan Qudsiyah, Kaidah-Kaidah Penting Mengamalkan Sunnah (Jakarta: Pustaka Imam
Syafi’i, 2013), 37. Buku ini merupakan bahan ajar yang digunakan pada mata pelajaran Manhaj di MA Plus Abu Hurairah, d imana penulisnya sendiri merupakan salah seorang di madrasah ini.
117Fakhruddin Abdurrahman, Pimpinan Pospes Abu Hurairah, wawancara 19 November 2014. Lihat juga Abd al-Sala>m al-Sihimy, Kun Salafiyyan ‘ala al-Ja>ddah.
118Mizan Qudsiyah, Kaidah-Kaidah Penting Mengamalkan Sunnah, 38
42
bulan Rajab, berzikir secara berjama’ah, dan berbagai praktik lainnya.119 Kendati
doa dan zikir adalah amal ibadah yang paling utama, ibadah itu harus didasari
oleh sikap ittiba>’ Nabi dengan konsisten, bukan dengan mengada-ada atau
bid’ah. Dengan mengutip pendapat Ibnu Taimiyah, Jawas menekankan bahwa
menggunakan hizib atau wirid yang berasal dari tuan gurunya, tanpa ada contoh
dari Nabi merupakan perbuatan sangat aib dan tercela.120 Lebih rinci Ibnu
Taimiyah menyebutkan beberapa contoh bid’ah yang kerap terjadi yaitu perayaan
maulid Nabi, Isra’ dan Mi’raj, Nisfu Sha’ban, Tahlil dan baca al-Qur’an untuk
orang yang telah meninggal, membesarkan suara bershalawat kepada Nabi, zikir
berjam’ah, dan kegiatan semisalnya.121
Menurut Mizan, di antara dua macam bid’ah di atas – kendatipun keduanya
sama-sama memperoleh dosa, tetapi dosa bid’ah haqiqiyah jauh lebih besar.
Karena murni ciptaan pelakunya dan menyimpang dari syari’at, tanpa ada dalil
syar’i yang menjadi landasan syubhatnya. Pola keberagamaan ini menurut Abd al-
Salam al-Sihimy, merupakan praktik ahl al-bid’u>n dan al-ahwa>’ yang
menyalahi manhaj ahl al-sunnah wa al-jama>’ahdan memecah belah umat Islam.
Ia menegaskan,praktik keagamaan yang tidak dilandaskan kepada al-Qur’an dan
Sunnah, dan hanya mengikuti pandangan nenek moyang dan akal, dan
menggunakan hadith-hadith d}ai>f, dan menerapkan ta’wil merupakan ciri-ciri
kelompok ini.122 Oleh karena itu, - dengan berlandaskan pada hadith Nabi Kullu
muh}dathatin bid’ah, wa kullu bid’atin d}ala>lah, Abdullah Al-Fauzan secara
tegas menyatakan bahwa bid’ah dalam agama adalah haram.123Oleh karena itu
menolak dan mengingkarinya, dan menjauhi (hajr) pelakunya merupakan
kewajiban.124
Dengan mengutip karya Imam al-Barbahari, al-Wajiz fi Aqi>dah al- Salafi
al-S}a>lih ahl Sunnah wa al-Jama>’ah, Mizan merumuskan beberapa ciri ahli
bid’ah, yaitu: 1) tidak memahami tujuan syari’at yang sesungguhnya; 2) hidup
119Mizan Qudsiyah, Kaidah-Kaidah Penting Mengamalkan Sunnah, 39. Pembagian bid’ah yang lain lihat Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Kitab Tauhid (Jakarta: Yayasan Al-Sofya, 1424 H), 137-138.
120Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Doa dan Wirid Mengobati Guna-Guna dan Sihir Menurut al-Qur’an dan al-Sunnah, cet. 24 (Jakarta: Pustaka Imam Syafi’ i, 2014), 6-7.
121Abd al-Razak al-Dawish, Fata>wa al-Lajnah al-Da>imah, Jilid 2, 462-464. 122Abd al-Salam al-Sihimy, Kun Salafiyyan ‘ala al-Ja>ddah, 91-92. 123Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Kitab Tauh}i>d, 138. Lihat jugaAbd al-Razak al-Dawish,
Fata>wa al-Lajnah al-Da>imah, Jilid 2, 464. 124Nashir bin Abd al-Karim al-‘Akl, Isla>miyah La Wahabiyah, 143.
43
dalam firqah-firqah dan memisahkan diri dari jama’ah Muslimin ; 3) suka
memperdebatkan masalah yang sudah jelas hukumnya, namun mereka tidak
memiliki ilmu tentangnya; 4) selalu mengikuti hawa nafsu; 5) tidak mengerti
sunnah-sunnah Nabi; 6) suka bergelut dengan ayat-ayat mustashabiha>t; 7)
mendahulukan akal dari wahyu; 8) tidak mau menisbatkan diri kepada salaf; 9)
berlebih-lebihan dalam mengagungkan seseorang; 10) berlebih-lebihan dalam
ibadah; 11) sikap, perbuatan, dan cara hidupnya menyerupai orang kafir; 12)
sangat benci kepada ahl al-sunnah, memberikan julukan-julukan yang buruk
kepada mereka; 13) memusuhi dan melecehkan ulama hadith; 14) mengkafirkan
orang yang tidak sependapat dengannya, tanpa disertai dalil; dan 15) bekerjasama
dengan penguasa untuk menghalangi-halangi dakwah ahl sunnah;125 16) fanatik
terhadap pendapat seseorang atau mazhab tertentu; dan 17) berpedoman terhadap
hadith yang lemah dan palsu.126Infilterasi doktrin Salafi, dengan menempatkan isu
bid’ah dan syirik atas berbagai praktik keagamaan lokal, mengantarkan Salafi
dalam proses penegasian yang intens terhadap dan dengan mainstream di berbagai
daerah.
Terhadap orang pelaku bid’ah, dalam prinsip manhaj salaf menurut Mizan
adalah membenci, tidak simpatik, tidak berteman, tidak sudi mendengarkan
ucapan, dan tidak berdiskusi dengan mereka. Ini dilakukan sebagai sikap menjaga
pendengaran dari ucapan-ucapan batil ahli bid’ah yang dapat menimbulkan was-
was dan merusak aqidah. Berdasarkan prinsip ini, maka menimba ilmu terhadap
mereka adalah sesuatu yang dilarang.127
Maka salah satu kriteria seseorang yang harus dijauhi adalah pelaku bid’ah, “karena dalam diri ahli bid’ah terdapat bahaya penularan bid’ah dan keburukannya”, bahkan “berteman dengannya adalah racun. Mereka para ahli bid’ah yang menghalang-halangi sunnah Nabi, menjadikan yang bid’ah sebagai sunnah, dan yang sunnah jadi bid’ah. Bergaul dengan mereka berarti mati atau minimal sakit.”128
125Mizan Qudsiyah, Kaidah-Kaidah Penting Mengamalkan Sunnah, 44-45. 126Abd al-Sala>m al-Sihimy, Kun Salafiyyan ‘ala al-J}a>ddah. 91. Mizan Qudsiyah, Kaidah-
Kaidah Penting Mengamalkan Sunnah, 47. 127Mizan Qudsiyah, Kaidah-Kaidah Penting Mengamalkan Sunnah, 50. 128Jamaludin, “Begini Seharusnya Memilih Teman”, dalam MA Plus Abu Hurairah, Media
Madrasah, edisi 3, Desember 2013.
44
Namun demikian, dalam doktrin manhaj salaf tidak menjustifikasi semua
ahli bid’ah memperoleh perlakuan yang sama, tergantung tingkatan
kebid’ahannya. Dalam konsepsi manhaj salaf ada tiga tingkatan pelaku bid’ah:
pertama, bid’ah yang menyebabkan kekufuran; kedua, bid’ah yang menyebabkan
dosa besar; dan ketiga bid’ah yang menyebabkan dosa kecil.Kategorisasi di atas
berimplikasi terhadap tata cara berinteraksi dengan ahli bid’ah. Menurut Mizan,
ahli bid’ah yang mendakwahkan bid’ahnya secara terang-terangan selain harus
diingkari, dibenci, dan juga harus dihajr, yaitu memtuskan hubungan dengan
seseorang atau kelompok orang dengan tidak berkomunikasi dan berinteraksi
dengannya(boikot).129 Konsep hajr sangat populer di kalangan Salafi, sebagai
bentuk penegasan atas identitas ideologis terhadap proponent-nya dihadapkan
dengan “oponent-nya”. Sikap ini ditempuh nampaknya sebagai antitesa terhadap
bahayanya bid’ah dalam pandangan Salafi. Sehingga hajrbagi Salafi bukanlah
sikap yang berlebihan, karena ahli bid’ah pada hakekatnya sudah keluar dari jalan
lurus yang ditempuh Rasulullah dan para sahabat, bahkan sebagian dapat
dianggap keluar dari Islam, dan karenanya dilarang bermajlis dengan meraka.130
Mizan menegaskan hajr merupakan ciri khas para ulama ahl al-Sunnah.131 Hal ini
juga sebagai konskwensi dari pemaknaan ittiba>’ tidak hanya sebagai sikap
ketundukkan kepada sunnah Nabi, juga dalam waktu yang bersamaan harus
meninggalkan bid’ah, dan melakukan tah}dhi>r terhadap pelaku bid’ah.132
Selain hajr, dalam paham Salafi juga dikenal konsep al-wala’ wal bara’. Al-
wala’ adalah membangun kedekatan dengan orang-orang shaleh dengan cara
menyayangi, dan membantu mereka dari musuh-musuh, dan tinggal bersama
mereka. Sedangkan al-bara’ adalah memutuskan hubungan dengan orang-orang
kafir atau ahli maksiat dengan cara membenci, tidak menolong dan tidak tinggal
bersama mereka.133 Maha Al-Bunyan menjelaskanal-bara’ merupakan sikap
129Mizan Qudsiyah, Kaidah-Kaidah Penting Mengamalkan Sunnah, 51 130Tabloid Al-Furqon, Metode Hajr terhadap Ahli Bid’ah, Edisi 3, tahun V/1426, 29-34. 131Mizan Qudsiyah, Kaidah-Kaidah Penting Mengamalkan Sunnah, 51. 132Konsep tah}dhir merupakan basis konseptual Salafi dalam memerangi mereka yang dianggap
bid’ah. Tah}dhi>r merupakan sikap menjauhi dan tidak bergaul terhadap mereka yang dianggap pelaku bid’ah.Abd al-Sala>m al-S ihimy, Kun Salafiyyan ‘ala al-J}a>ddah, 99-100. Lihat juga Nashir bin Abd al-Karim al-‘Akl, Isla>miyah La Wahabiyah, 359.
133Lihat MA Abu Hurairah, “Al-Wala wa al-Bara,” dalam Media Madrasah, Edisi 4, Juni 2014. 26-27; Wiza>rah al-Tarbiyah wa al-Ta’li>m, al-Tauh}id Lis}af al-Awwal al-Thana>wiyah, 82-83;Abd al-Razak al-Dawish, Fata>wa al-Lajnah al-Da>imah , Jilid 2, 64-134.
45
membenci apa yang dibenci oleh Allah, dan tidak meridoi apa yang tidak
diridoiNya.134Seperti halnya hajr, konsep ini dilakukan agar terlindung dar i
bid’ah, dan sekaligus memperkuat solidaritas jama’ahnya, serta dapat membangun
hidup sesuai dengan salaf al-s}a>lih. Implikasi lebih lanjut dari konsep hajr
adalah pelarangan hadir di majlis-majlis ahli bid’ah, manakala ia tidak sanggup
mengubah kebid’ahannya. Bahkan Mizan dalam bukunya Kaidah-Kaidah Penting
Mengamalkan Sunnah menyatakan: “barang siapa memahami syari’at yang suci
ini dengan sebenarnya, niscaya akan mengetahui bahwa bahaya duduk bersama
ahli bid’ah berkali-kali lipat dibandingkan duduk bersama orang-orang bermaksiat
kepada Allah dengan melakukan dengan hal-hal yang diharamkanNya.”135
Doktrin ini memperjelas betapa bid’ah dijadikan isu sentral sebagai instrumen
penegasian, dan memiliki implikasi sosiologis yang tidak sederhana.
Rambahan paradigma ideologis teologis di atas, dengan segera menuai
reaksi keras dari masyarakat sasak, yang selama ini memegang teguh sejumlah
tradisi keagamaan yang dipandang bid’ah oleh Salafi. Penyebaran doktrin manhaj
salaf dipandang telah dan akan terus merusak struktur keberagamaan masyarakat
sasak yang selama ini dipelihara. Klaim kebenaran (truth claim) dan klaim
keselamatan(salvation claim), dan penegasian dengan sebutan bid’ah dan
“d}alalah” terhadap kelompok mainstrem, dirasakan sebagai sikap yang sangat
berani dan “provokatif” dalam menyebarkan misi puritan gerakan Salafi.
Berdasarkan paham yang dianut, dan adanya pergeseran strategi dengan
mendirikan sekolah formal, Hefner menyebutkan gerakan Salafi dengan
kecenderungan yang sekarang sebagai ideologi konservatif modernis, yang
memiliki kontribusi terhadap semakin terbangunnya dialektika gerakan
keagamaan dengan negara. Dengan corak yang demikian, sekolah-sekolah yang
berafiliasi dengan Salafi secara perlahan mengalami perekembangan. Hefner
mengidentifikasi, sejak tahun 1980 hingga 2007, madrasah salafi mencapai lebih
dari 200-an madrasah yang tersebar di beberapa daerah.136 Jumlah ini tentu
mengalami peningkatan bersamaan dengan dinamika Salafi di berbagai daerah
saat ini, tidak terkecuali daerah Lombok. Sungguhpun ini merupakan
134 Maha Al-Bunyan, Al-Wala’ wa Al-Bara’ (Pustaka Ibnu Umar, 2014), 11-12. 135Mizan Qudsiyah, Kaidah-Kaidah Penting Mengamalkan Sunnah, 54. 136Robert W. Hefner, Islamic Schools, Social Movements, 87.
46
kecenderungan umum gerakan Salafi di berbagai daerah, tetapi memiliki
implikasi-implikasi sosiologis secara spesifik pada masyarakat sasak. Hal ini
setidaknya dapat diamati dari tiga hal: pertama, terjadinya konflik horizontal yang
berbasis teologis ideologis; kedua, terjadinya konversi internal umat Islam yang
berdampak terhadap perubahan prilaku beragama; ketiga, pembentukan dan
penguatan identitas, dan bahkan kontestasi melalui lembaga pendidikan formal.
Penetrasi ideologi keagamaan di satu sisi dan ikatan ideologis di sisi lain,
melebihi ikatan-ikatan kekerabatan hubungan famili. Pola interaksi patrilineal
yang dipegang dalam sistem kekerabatan masyarakat sasak,137 semakin pudar
sejalan semakin kuatnya penetrasi dan ikatan ideologis tersebut. Beberapa kasus
di banyak tempat, menunjukkan bahwa terjadi pemutusan hubungan keluarga
yang melibatkan sentimen ideologis teologis. Seorang tidak diperkenanka pulang
oleh orang tuanya, bertahun-tahun tidak tegur sapa dengan saudara kandungnya,
sepasang suami istri dipaksa cerai orang tuanya, perebutan hak pemakaman
terhadap orang tua, dan berbagai bentuk lainnya.138Keragaman kecenderungan
gerakan dan orientasi ideologis ini, pada akhirnya berimplikasi terhadap
tumbuhnya sikap justifikasi terhadap paham yang dianut, dan menegasikan paham
yang berbeda.
Menandaskan diri pada manhaj salaf, gerakan Salafi berkembang secara
signifikan, dan terlibat secara aktif dalam pembentukan struktur dan kultur
keberagamaan masyarakat sasak. Pemaknaan manhaj salaf yang merujuk kepada
generasi salafal-s}a>leh (sahabat Nabi, tabi’i>n, dan tabi’in al-tabi’i>n), yang
dipandang memperoleh legalitas normatif,139 kelompok ini meneguhkan dirinya
137Patrilineal merupakan sistem kekerabatan dimana keluara terdekat seperti suami-istri, anak,
kakek dan nenek disebut isi tolang mesak (keturunan sedarah sedaging). Penjelasan mengenai sistem kekerabatan ini lihat Departemen P dan K NTB, Pengaruh Budaya Asing terhadap Kehidupan Sosial, 35-39.
138Saparudin, Pemutusan Hubungan Keluarga Berdasarkan Afiliasi Lembaga Keagaman d i Lombok Timur, Laporan Penelitian (Mataram: Lemlit UMM, 2007). Penelitian ini dibiayai oleh DP2M Dikti melalui Program Dosen Muda.
139Sejumlah ayat al-Qur’an yang dijadikan legitimas i: Qs . at-Taubah:100, al-Maidah:3; Qs. al-Zukhruf:56; dan sejumlah hadith Nabi seperti man ‘amila ‘amalan laisa ‘alaihi amruna fahua raddun (muttafaqun ‘alaih), kullu muh}dathatin bid’ah wa kullu bid’atin d}ala>lah wakullu al-d}ala>lah fi al-na>r (HR. Bukhari), dan lain-lain yang berkaitan dengan kemuliaan masa Sahabat dan Tabi’in, tentang syirik dan bid’ah, dan sebagainya yang dipandang relevan. Lebih detil lihat Abd al-Sala>m al-Sahimy, Kun Salafiyyan ‘ala al-Ja>ddah (Madinah al-Nabawiyah, tp. 1423 H.), Waza>rah al-Tarbiyah wa al-Ta’li>m, Sharah Kitab Tauh}id Lishikh Muh}ammad ibn Abdul Wahab Lis}af al-Awwal al-Mutawa>sit}
47
sebagai gerakan Islam murni, untuk memurnikan keberislaman
masyarakat.Bahkan mereka menyebut dirinya sebagai kelompok gerakan yang
diberkahi, melihara Islam dari segala syirik, bid’ah dan kesesatan, yang wajib
diikuti.140Gerakan Salafi mengidentifikasi dirinya sebagai Islam murni, Islam
yang benar (h}aq), dan gerakan dakwah yang memperoleh tuntunan langsung dari
Nabi.141 Dengan menandaskan diri pada hadith Nabi “sebaik-baik manusia adalah
zamanku, kemudian sesudah mereka, dan kemudian sesudah mereka”142 dan al-
Qur’an Surat at-Taubah ayat 100,143 secara lokal gerakan Salafi menegasikan
dirinya dengan kelompok mainstream. Atas dasar justifikasi ini, mereka secara
terbuka dan massif di berbagai media cetak dan online menyatakan “menolak
salaf berarti menolak Islam, cinta salaf berarti cinta Islam, benci salaf berarti
membenci Islam” bahkan “membenci salaf berarti membenci Nabi
Muhammad”.144
Rivalitas ideologis antara Islam tradisionalis yang direpresentasikan oleh
NW dengan Islam puritanis yang direpresentasikan oleh Salafi dan
Muhammadiyah berimplikasi terhadap terjadinya fragmentasi sosial.
Sebagaimana dijelaskan di bagian sebelumnya, NW menekankan pendekatan
mazhab, sufisme dan akomodatif terhadap budaya dan tradisi lokal dalam
mengekspresikan religiusitasnya. Belakang, pola keberagamaan ini memperoleh
tantangan dan kritikan dari kelompok Salafi,yang mempromosikan manhaj
salafdengan klaim sebagaiIslam murni. Salafi berpandangan bahwa keberagaman
(Riyad: Markaz al-Tatwi>r al-Tarbawy: 2007), Waza>rah al-Tarbiyah wa al-Ta’li>m, al-Tauh}id Lis}af al-Awwal al-Thana>wiyah (Riyad:Waza>rah al-Ma’a>rif, 1999).
140Nashir bin Abd al-Karim Al-‘Aql, Isla>miyah La> Wahabiyah (Saudi: Da>r al-Fad}ilah, 2007), 35.
141Abd al-Sala>m al-Sihimy, Kun Salafiyyan ‘ala al-Ja>ddah, 38-39, lihat juga Waza>rah al-Tarbiyah wa al-Ta’li>m, al-Tauhi>d (Riyadh: Waza>rah al-Ma’arif, 1999), 9-10.
,Al-Bukhari, al-Jami’ al-S}ah}ih (Beirut: Da>r Ibn Kathirخیر الناس قرني ثم الذین یلونھم ثم الذین یلونھم 1421987), no.3450. Selanjutnya dimaknai al-quru>n mufad}d}alah, yaitu masa para sahabat Nabi, ta>bi’i>n , dan atba> al-ta>bi’i>n.Lihat Abd al-Razak al-Dawish, Fata>wa al-Lajnah al-Da>imah, Jilid 2, 242-243. Abd al-Sala>m al-Sihi>my, Kun Salafiyan ‘ala al-Ja>ddah, 72-73.
143 ضى هللا عنھ حسن ر وھم بإ واألنصار والذین اتبع مھجرین لون من ال ون األو وا ع والسبق ت م ورض نھ وأعدلھم جنا د ھآ أب ن فی Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari)تجرى تحتھا األنھر خلدیgolongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya).
144Abu Muslih, Lebih Dekat Mengenal Manhaj Salaf (Jogjakarta: tp, 1427 H). Berbagai pernyataan yang sejenis, dan penegasiannya terhadap kelompok Islam lain disebarluaskan diberbagai media cetak dan online semisal www.salafy.or.id, www.majalahsyariah.com, maktabah salafy press, dan lain-lain.
48
umat Islam saat ini sudah terdistorsi oleh kepercayaan-kepercayaan dan tradisi
lokal, dan karenanya harus diubah.145
Memperkuat komitmen purifikasinya, Salafi memiliki sejumlah doktrin
sosial yang memperjelas identitas dan gerakannya dengan kelompok lain.Pertama,
al-wala’ wa al-bara’, yang menekankanpada penguatan persaudaraan sesama
pengikut Salafi dan melarang siswa maupun pengikut Salafi untuk tidak
memberikan loyalitanya kepada non-Muslim146 Doktrin ini memiliki potensi
konflik antara Muslim dengan non-Muslim yang sudah lama terjadi. Kedua,al-
h}adhar wa al-tah}dhi>r, yaitu menekankan kehati-hatian dan kewaspadaan
terhadap praktik syirik dan bid’ah, dan pada saat yang bersamaan menjauhi
berbagai jenis kegiatan keagamaan ahlbid’ah. Hal ini mencakup bentuk-bentul
ritual dan tradisi yang selama ini dijalankan oleh NW dan NU. Ketiga,hajr,
memutus hubungan (boikot) dan menjauh dari kedua kelompok tersebut, non-
muslims and ahl bid’ah.147Qudsiah berpendapat bahwa berdasarkan prinsip-
prinsip manhaj salaf,pengikut Salafi diharapkan tidak simpatik dan tidak
bekerjasama dengan praktik-praktik ahl bid’ah.148Prinsip ini harus diikuti sebagai
cara untuk menjaga pemahaman Islam yang murni dari berbagai
pencampuradukkan ajaran Islam yang dapat memperlemah aqidah. Mencari
pengetahuan terhadap ahl bid’ah adalah terlarang.Hal ini sebagai konskuensi
orang Salafi yang ittiba>’, yaitu mengikuti sunnah Nabi tidak hanya ketaatan
terhadap sunnahnya, tetapi juga menghindari bid’ah dan menerapkan doktrin al-
tah}dhi>r.149Keempat,Salafi mencela tashabbuh, yaitu menyerupai tradisi dan
budaya Barat, seperti bernyanyi, mendengar music, interaksi wanita dengan laki-
145H. Mahsun, Tokoh Salafi, wawancara, 5 Desember 2013. Lihat juga Nashir b in Abd al-Karim Al-
‘Aql, Islamiyah La Wahabiyah(Saudi: Dar al-Fadilah, 2007), 35. 146Al-Dawish, Abd al-Razak. Fatawa al-Lajnah al-Da>imah Lilbuhuthi al-‘Ilmiyah wa al-
Ifta,Second book(Riyadh: Dar Bilnasiyah Linashr wa al-Tauzi, 1317 H), 64-134; lihat Adis Duderija, 2010 “Constructing the religious Self and the Other: neo-traditional Salafi Manhaj”, Islam and Christian-Muslim Relations, 21:1, 75-93; Waza>rah al-Tarbiyah wa al-Ta’li> m, al-Tauhi>d (Riyadh: Waza>rah al-Ma’arif, 1999), 82-83.MA Plus Abu Hurairah, Media Madrasah, edisi 3, Desember 2013.
147Mizan Qudsiah, Kaidah-Kaidah Penting Mengamalkan Sunnah. (Jakarta: Pustaka Imam Syafi’I, 2013). 51.
148Mizan Qudsiyah, Kaidah-Kaidah Penting, 50. 149Abd al-Salam Al-S ihimiy, Kun Salafiyan ‘Ala al-Jaddah (Madinah al-Nabawiyah, 1423H), 99-
100. Lihat juga Nashir bin Abd al-Karim Al-‘Aql, Islamiyah La Wahabiyah (Saudi: Dar al-Fadilah, 2007), 359.
49
laki tanpa alasan shar’i, melarang perempuan bekerja di luar rumah dan berbagai
budaya lainnya.
Doktrin dan sikap yang puritan yang dipromosikan dalam berbagai aspek
pendidikan, membawa siswa dan pengikut Salafi menghadapi resistensi dari
kelompok tradisionalis mainstream dalam kehidupan sosial. Salafi menggunakan
isu-isu paham Islam murnisebagai instrument ideologis untuk mempromosikan
dan memelihara doktrin dan identitas mereka, untuk selanjutnya
menghadapikelompok traditionalis. Pelabelan isu shirk dan bid’ahterhadap tradisi
keislaman lokal merupakan isu utama yang menyebabkan fragmentasi sosialdan
reaksi lokal.150Mengembangkan upaya ideologis di dalam sekolah formal
memiliki kontribusi terhadap semakin berkembangnya theological dispute, yang
membawasemakin kuatnya tensi sosial di Lombok. Karena memang, menurut
Nata perbedaan mazhab yang kemudian menjelma dalam komunalisme kerap
membawa benturan dan konflik. Isu-isu furu’>iyah menurutnya sering muncul
kepermukaan dan menjadi alasan utama terjadinya tensi sosial tersebut.151
Perbedaan penafsiran dan praktik keagamaan dipandang sebagai sumber
utama kontestasi dan konflik keagamaan di Lombok. Sejumlah konflik yang
melibatkan sentimen ideologis teologis kerap menimpa kelompok Salafi. Azwani
dan Murdianto mencatat, setidaknya telah terjadi lima konflik horizontal yang
menimpa kelompok ini. Klaim kebenaran dan keselamatan, pemahaman yang
tekstual-literalis, fanatisme yang berlebihan dan menguatnya isu bid’ah, takhayul
dan khurafat, menurutnya merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi.152
Memperkuat temuan ini, hasil identifikasi Faizah153 dan Nuhrison154 menunjukkan
bahwa terjadinya sejumlah konflik tersebut, bermuara pada gerakan purifikasi
Salafi atas berbagai upacara dan praktik keagamaanmasyarakat sasak yang
dianggap sinkritis, tanpa mempertimbangkan dimensi sosial dan psikologis.
150Liow, Joseph Chinyong. 2011. "Muslim Identity, Local Networks, and Transnational Islam in Thailand's Southern Border Provinces." Modern Asian Studies 45, no. 6 (11): 1383-421.
151Abuddin Nata,Studi Islam Komprehensif, cetakan ke 2 (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), 533-534.
152Murdianto dan Azwani, Dakwah dan Konflik Sosial Jama’ah Salafi di Gunungsari Lombok Barat, Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 9, no. 2, 2013.
153Faizah, Pergulatan Teologi Salafi dalam Maenstream Keberagamaan Masyarakat Sasak, Ulumuna Jurnal Studi Keislaman, Volume 16, no. 2, 2012. 393-399.
154Nuhrison M. Nuh, Kelompok Salafi di Kabupaten Lombok Barat, in Ahmad Syafi’i Mufid (editor), Kasus-Kasus Aliran/Paham Kegamaan Aktual di Indonesia.(Jakarta: Balitbangdiklat Depag, 2009).
50
Bahkan temuan Saparudin menunjukkan ikatan emosional teologis-ideologi dan
adanya konversi non-salafi ke paham Salafi, dapat berimplikasi terhadap
pemutusan hubungan keluarga, baik dalam pemutusan komunikasi anak dengan
orang tua, antar saudara, pemaksaan perceraian, maupun bentuk disharmoni
lainnya.155 Realitas ini membuktikan bahwa high contestation dapat terjadi
berawal dari perebutan otoritas penerjemahan simbol dan doktrin Islam.
Nahdlatul Wathan bersama kelompok mainstream lainnya memandang
bahwa dakwah Salafi mengancam pola keberagamaan masyarakat yang sudah
lama tertanam. Klaim kebenaran dan keselamatan dan penyesatan pelaku bid’ah
merupakan cara pandang yang menyulut kebencian dan kekerasan antar
Muslim.156 Sejauh identifikasi terhadap konflik keagamaan, setidaknya terdapat
12 konflik yang melibatkan kelompok Salafi dengan non-Salafi sepanjang 2004
sampai 2016 di Lombok. Pada tahun 2016 di Suela misalnya, Masjid Salafi
dirusak masyarakat sekitar. Muhammad Tahir, menuturkan pengerusakan tersebut
disebabkan karena masyarakat tidak membutuhkan Masjid baru yang secara
berdekatan dengan berada di Masjid umum yang sudah lama ada dan digunakan
masyarakat bersama. Selain itu, ajaran Salafi yang cenderung memandang bid’ah
terhadap ibadah-iabadah yang selama ini diamalkan masyarakat. Namun
demikian, menurut Tahir sudah berdiri Masjid-Masjid Salafi yang terpisah dengan
dengan masyarakat pada umumnya.157 Akhirnya, Masjid tidak semata-mata
sebagai tempat ibadah, juga simbol fragmentasi sosial internal Muslim.
Lebih lanjut Ustaz Sofyan memaparkan bahwa para tuan guru yang pernah
mengenyam pendidikan di Makkah pasti memiliki pemahaman yang sama dengan
apa yang kami ajarkan saat ini. Namun ketika mereka pulang ke Lombok mungkin
ada kepenting-kepentingan yang lain sehingga apa yang dipelajari di Makkah
tidak disampaikan sehingga terjadilah perbedaan-perbedaan sebagaimana yang
terjadi saat ini.158
155Saparudin, Pemutusan Hubungan Keluarga Berdasarkan Afiliasi Lembaga Keagamaan, Laporan
Penelitian Dosen Muda (DP2M Dikti, 2007), 60-75. 156Hasil d iskusi dengan Tuan Guru Abdul Aziz, dalam kegiatan FGD Aswaja dan Ke-NW-an, 18
Januari 2017. 157Muhammad Tahir, Tokoh Masyarakat, Sekdes Desa Bebidas, wawancara, 5 Juli 2018. 158 Ustaz Sofyan, Tokoh Salafi, wawancara 9 September 2018
51
Dalam perbedaan paham antara NU, NW, dengan ajaran Salaf/ As-Sunnah
adalah dalam ajaran As-Sunnah yang paling kami tekankan adalah untuk
mengamalkan al-Qur’an dan Hadits Nabi sesuai dengan pemahaman-pemahaman
ajaran Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Karena aliran Ahlussunah wal Jama’ah ini
adalah dagangan paling laris. Setiap orang yang ingin terkenal pasti mengatakan
bahwa diri mereka Ahlussunnah wal Jama’ah. Silahkan antum cari dimana dalil
ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah yang merayakan maulid, lalu mengapa mereka
mengatakan diri mereka Ahlussunnah Wal Jama’ah dan apa dalilnya.159
159 Ustaz Sufyan, Pimpinan Ponpes Assunnah Bagek Nyake, wawancara 8 September 2018
52
BAB V
MASJID, FRAGMENTASI SOSIAL DAN PENGUKUHAN EKSISTENSI SALAFI
Masjid pada masa awal Islam memiliki multi-fungsi, dan mengalami
simplikasi fungsi sejak abad pertengahan hingga masa modern. Pada masa
kontemporer saat ini, fungsi Masjid mulai diperluas, kembali difungsikan untuk tidak
hanya untuk ibadah, tetapi juga untuk pembentukan identitas ideologis dan
persaingan antar golongan. Dengan kata lain perluasan fungsi Masjid tersebut
berkaitan dengan semakin menguatnya persaingan ideologis dan komunal kelompok
keagamaan. Implikasinya, Masjid berada dalam pusaran penguatan fragmentasi
sosial yang melibatkkan sentimen teologis-ideologis masyarakat Islam. Bagian ini
menjelaskan bagaimana posisi strategis dan pengembangan Masjid sebagai basis
gerakan kelompok Salafi, dan bagaimana implikasinya dalam kehidupan social
keagamaan. Di bagian akhir juga dijelaskan media eksalator pengembangan Salafi di
Lombok.
A. Mengalah untuk Menang: Kasus Pendirian Masjid Jamaludin Ungkapan “menjadikan tantangan sebagai peluang” dapat digunakan untuk
menggambarkan bagaiman latar belakang historis pendirian Masjid Jamaludin.
Masjid ini merupakan salah satu dari tiga Masjid di Bagek Nyake, yang lahir dari
pertarungan teologis ideologis kelompok Salafi dengan Islam mainstream. Tuan
Guru Manar, pendiri Masjid ini menuturkan bahwa pendirian Masjid Jamaludin
sebagai jawaban atas besarnya tantangan dakwah sunnah di Bagek Nyake di masa
awal. Menurutnya “pada masa awal kami memperkenalkan dakwah sunnah, terutama
ketika masa Ayahanda kami Ustaz Husni menghadapi tantangan yang besar dari
masyarakat. Di Masjid Syamsul Palah kerap terjadi perdebatan dan ketegangan satu
dengan yang lain, terutama dalam praktik ibadah. Manhaj salaf yang kami yakini
sebagai paham yang murni dipandang sebagai paham baru oleh masyarakat, bahkan
dianggap mengada-ada dan ajaran palsu.160
Pendirian Masjid ini (Masjid Jamaludin) sebenarnya untuk menghindari konflik. Masjid yang kami tempati dulu (Masjid Syamsul Falah) adalah bergabung
160 Tuan Guru Manar, Pimpinan Salafi sekaligus pendiri Masjid Jamalud in Bagek Nyake,
wawancara, 7 September 2018
53
dengan ajaran yang lain. Akan tetapi dikarenakan kami ingin mengembangkan ajaran As-Sunnah ini, kami memohon untuk membuat Masjid dari pada ada konflik yang terjadi dengan orang di luar Jama’ah As-Sunnah. Sehingga, setiap Dusun itu terdapat dua Masjid yang salah satunya milik jama’ah As-Sunnah. Tujuannya adalah untuk tidak ada konflik yang terjadi dan agar kami juga tenang dalam beribadah.161
Sebagaimana di beberapa tempat lain, pendirian Masjid baru Salafi dapat
dipandang sebagai strategi dakwah – kalau bukan strategi kontestasi, di tengah
sejumlah tantangan dari Islam mainstream. Pendirian Masjid Jamaludin Bagek
Nyake merefleksikan bagaimana strategi ini ditunjukkan, dan berhasil memperoleh
apresiasi masyarakat sekitar meski tetap sebagai kelompok minoritas di desa ini.
Melalui Masjid ini, di bawah bimbingan dakwah Tuan Guru Manar, kelompok Salafi
secara bebas dan independen melakukan penyebaran dan pelaksanaan manhaj salaf
sesuai dengan pemahamannya. Masjid Menjadi bagian terpenting dalam
pembentukan identitas religious-kultural masyarakat di daerah ini. Tuan Guru Manar
memiliki jangkauan dakwah di 30-an Masjid yang memiliki afiliasi paham dengan
ajaran As-Sunnah,162 dari ratusan Masjid Salafi di Lombok.
Lebih jauh Tuan Guru Manar menjelaskan, dalam pembangunan Masjid
Jamaludin didukung sepenuhnya dari donator Timur Tengah di bawah naungan
Yayasan Ihyat al-Turats. Bahkan seluruh Masjid yang berafiliasi dengan dakwah
Sunnah memperoleh dukungan dari Arab Saudi. Tidak mengherankan jika Masjid-
Masjid Salafi kerap dikunjungi para Syekh dari Arab Saudi, baik untuk mengamati
kondisi fisik bangunan, kegiatan keagamaan maupun untuk kepentingan berdakwah.
Pihak yayasan Ihya al-Turats selaku fasilitator hanya mensyaratkan adanya area
tanah sebagai tempat pembangunan, dan selanjutnya biaya pembangunan dan bahkan
tunjangan pengurus Masjidnya menjadi tanggung jawab yayasan tersebut.163
Dalam konteks pembiayaan, Ustaz Syafi, Pimpinan Ponpes Anas bin Malik
mengakui adanya pembiayaan dari donatur Timur Tengah dan Arab Saudi, melalui
lembaga Ihya Al-Turath yang berpusat di Kwait. Namun ia menegaskan bahwa
komponen pembiayaan hanya terbatas pada bangunan fisik. Untuk Ponpes Anas bin
Malik yang dikelola Ustaz Syafi, memperoleh pembebasan 3 hektar lahan dan
161Tuan Guru Manar, Tokoh Salafi, wawancara, 7 September 2018 162 Tuan Guru Manar, Tokoh Salafi, wawancara, 7 September 2018 163 Tuan Guru Manar, Tokoh Salafi, wawancara, 7 September 2018
54
pembangunan Pondok dengan total rancangan anggaran 45 Miliar.164 Dapat
dipastikan semua bangunan fisik, baik lembaga pendidikan maupun Masjid yang
tersebar di pulau Lombok merupakan hasil dari pembiayaan lembaga ini. Bahkan
lebih dari itu, sejumlah guru memperoleh gaji dan tunjangan dari lembaga ini,
bersama sejumlah donatur yang bersifat individual dan kelembagaan. Mereka yang
memperoleh gaji ini pada umumnya adalah penanggung jawab lembaga atau
Masjid.165
Konskuensi dari penerimaan bantuan dana dari Timur tengah, maka elit salafi
harus menunjukkan prestasinya dalam dakwah. Tuan Guru Manar menceritakan:
Dulu ketika masih di Masjid tua – Masjid Syamsul Falah, kita sempat memberikan dakwah yang dinamakan “Kuliah Shubuh” sebagai bagian dari strategi dakwah kami di masjid dan memberikan kesempatan-kesempatan untuk mereka untuk berdakwah. Dengan itu, kami tujuan kami hanya ingin meramaikan masjid shalat berjama’ah, bukan hanya meramaikan Masjid ketika Shalat Jum’atan saja. Pengajian-pengajian yang kami adakan rutin setiap minggunya. Mulai dari hari Jum’at pagi, Rabu, malam Ahad. Setiap malam ahad juga kami melakukan dakwah keliling di setiap Masjid terutama di wilayah Kecamatan Aik Mel ini. Dalam berdakwah ajaran As-Sunnah strategi dakwah kami sehingga bisa diterima di masyarakat adalah kita banyak mengambil pelajaran dari Sejarah Rasulullah melalui kesabaran beliau. Jika ada yang menentang, kita biarin. Selain itu, TGH. Rusni berdakwah dengan cara yang seperti itu. Memang ada juga terkadang kelompok yang lain dengan cara kekerasan. Tetapi kita tak menggunakannya.. cara TGH. Rusni berdakwah dengan cara pendidikan, beliau juga ketika disuruh talqin, mau melalukannya. Dengan cara itulah beliau masuk dengan cara merubah cara pandang suatu masyarakat.166
Terkait dengan konflik-konflik dengan organisasi lain semisalnya NW, NW
dan lain-lain itu tidak pernah karena disekitar kami banyak orang-orang NW, NU dan
lain-lain. dan disetiap pengajian kami di masjid-masjid kami menyampaiakan apa
yang perlu kami sampaikan sesuai dengan tuntunan AL-Qur’an dan Al-Hadits. Jadi
jika mau membantah kami, bantahlah Qur’an dan Hadits dan jangan ke kami. Karena
kami hanya membaca dan menyampaikan.
Rambahan paradigma ideologis teologis Salafi di atas, dengan segera menuai
reaksi keras dari masyarakat yang selama ini memegang teguh sejumlah tradisi
164Ustaz Syafi’, Ketua Ponpes Anas bin Malik, wawancara 20 Oktober 2018. 165Ustaz Abdullah, tokoh Salafi, P imp inan Yayasan Assunnah Lombok Timur, wawancara, 1
Maret 2018. 166 Tuan Guru Manar, Tokoh Salafi, wawancara, 7 September 2018
55
keagamaan yang dipandang bid’ah oleh Salafi. Penyebaran doktrin manhaj salaf
dipandang telah dan akan terus merusak struktur keberagamaan masyarakat sasak
yang selama ini dipelihara. Klaim kebenaran (truth claim) dan klaim keselamatan
(salvation claim), dan penegasian dengan sebutan bid’ah dan “d}ala>lah” terhadap
berbagai ritual dan tradisi keagamaan kelompok NW, dirasakan sebagai sikap yang
sangat berani dan “provokatif” dalam menyebarkan misi puritan gerakan Salafi.
Perbeaan ideologis dua kelompok keagamaan ini melahirkan sejumlah tensi dan
fragmentasi sosial di tingkat lokal. Bahkan konflik fisik yang melibatkan sentiment
teologis ideologis kerap terjadi dalam sepuluh tahun terakhir.
Jika kami dianggap sesat, apa definisi dari sesat tersebut? Jika kami dikatakan
tidak zikir, kami zikir. jika kami dikatakan kami tidak mengaji, kami mengaji siang
dan malam. Sampai hari ini tidak ada titik temu definisi dari sesat tersebut. Jadi apa
definisi sesat yang ditujukan kepada kami? Kalau kami tidak shalat, kami shalat,
puasa, mengaji, kitab kami al-Qur’an, Tuhan kami Allah SWT. Jadi apa arti sesat
menurut mereka? Jika kami kaum As-Sunnah ditanyakan arti sesat, kami bisa
menjawab,sesat tidak mengamalkan Al-Qur’an, Sunnah Rasul, tetapi malahan
tuduhan itu selalu dialamatkan kepada kami.
Malahan ada penghasut masyarakat yang memprovokasi untuk menghancurkan
masjid-masjid kami. Kami seperti terdeskriminasi sementara orang-orang yang
mabuk-mabukan, judi, berzina, dan orang-orang kafir tidak prnah mereka urus. Jadi
mana lebih baik? Kami orang-orang yang shalat lima waktu atau mereka yang
mabuk-mabukan, judi, berzina, dan orang-orang kafir dan mengapa orang seperti itu
tidak pernah diusik.
Terutama sektar tahun 80-an didaerah ini dulu sering terjadi konflik tawuran
dan sekarang Alhamdulillah udah tidak ada karena secara perlahan mereka mulai
enerima dan mau mengaji kepada kita.
Dalam penyebaran awalnya ajaran As-Sunnah ini dilakukan oleh TGH. Husni
kakak dari TGH.Manar Bagek Nyaka. Jadi dulu-dulu itu, sering terjadi konflik antar
organisasi seperti tawuran dan pengerusakan. Alhamdulillah karena perjuangan kami
dengan niat karena Allah SWT. mereka yang melakukan kekerasan disadarkan.
Terkait dengan ajaran As-Sunnah, sering datang kepada kami Perguruan Tinggi
Pancor bertanya tentang ajaran As-Sunnah ini tentang penyebarannya. Kok bisa,
56
TGH. Husni ini dalam jangka waktu yang singkat mampu merubah Aik Mal ini dari
orang-orang yang memakai pakaian ”Kelemben”(Pakaian tradisional Sasak) hingga
memakai pakaian Syar’i. sehingga Aik Mal ini bisa menjadi basis-basis organisasi
besar.
Dalam perbedaan paham antara NU, NW, dengan ajaran Salaf/ As-Sunnah
adalah dalam ajaran As-Sunnah yang paling kami tekankan adalah untuk
mengamalkan Al-Qur’an dan Hadits Nabi sesuai dengan pemahaman-pemahaman
ajaran Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Karena aliran Ahlussunah wal Jama’ah ini adalah
dagangan paling laris. Setiap orang yang ingin terkenal pasti mengatakan bahwa diri
mereka Ahlussunnah wal Jama’ah. Silahkan antum cari dimana dalil ajaran
Ahlussunnah Wal Jama’ah yang merayakan maulid, lalu mengapa mereka
mengatakan diri mereka Ahlussunnah Wal Jama’ah dan apa dalilnya.
B. Melawan untuk Menang: Kasus Ambil Alih Masjid An-Nur Bebidas
Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya, Desa Bebidas merupakan
salah satu desa yang menjadi basis perkembangan gerakan Salafi. Hampir di semua
dusun terdapat Masjid Salafi yang terpisah dengan Masjid masyarakat pada
umumnya. Salah satu Masjid utama yang menjadi pusat dakwah Salafi adalah Masjid
Assunnah An-Nur di Dusun Lampit, Bebidas. Masjid ini memiliki sejarah tersendiri,
meskipun sudah puluhan tahun di bawah control Islam mainstream, namun kini
dibawah penguasaan Jama’ah Salafi.
Masjid An-Nur sebelum diambil alih oleh Jama’ah Salafi sebenarnya adalah
salah satu Masjid umum bagi masyarakat Bebidas, terutama bagi masyarakat Dusun
Lampit. Semua kegiatan keagamaan mencerminkan aktivitas keagamaan Islam
tradisional sebagaimana masyarakat pada umumnya. Perayaan berbagai ritual dan
tradisi keagamaan di pusatkan di Masjid ini. Tradisi maulid, serakalan, tahlilan
berjama’ah, dan berbagai kegiatan keagamaan sejenisnya menjadi aktivitas yang
turut menghidupkan suasana religiusitas di Masjid ini. Namun bersamaan dengan
muncul dan berkembangnya kelompok Salafi yang mengusung isu syirik dan bid’ah,
57
berbagai aktivitas tersebut tidak hanya tidak lagi dilaksanakan, tetapi bahkan
dianggap bid’ah yang sesat dan dipandang harus di jauhi.167
Bersamaan dengan semakin banyaknya pengikut Salafi di dusun ini, pada tahun
2012 Masjid An-Nur “diambil alih” oleh jama’ah Salafi, dan selanjutnya nama
Masjid An-Nur berubah menjadi Masjid Assunnah An-Nur.168 Perubahan nama ini
merefleksikan bagaimana identitas ideologis yang disemaikan di tempat ibadah
menjadi penting.
Semenjak diperkenalkan tahun 1990-an oleh Tuan Guru Husni, gerakan Salafi
yang belakangan disebut dakwah sunnah, terus memperoleh apresiasi meskipun
memperoleh sejumlah penolakan dari sejumlah masyarakat. Ustaz Nawawi, salah
seorang tokoh agama menuturkan:
Awal mula masuknya ajaran As-Sunnah di Desa Bebidas adalah dasarnya dulu kita pernah mengadakan pengajian di beberapa Masjid, awalnya kita tidak pernah tau ajaran As-Sunnah itu. Sampai pada akhirnya, di acara pengajian tersebut kita mengundang Tuan Guru Rusni. Ketika itu, kami mengundangnya dikarenakan orang tua beliau adalah Tuan Guru Manan. Beliau adalah salah seorang tuan guru termashur dan tokoh NU yang satu pemahaman dengan kita. Sehingga kami yakin apa yang Tuan Guru akan sampaikan sama sebagaimana Bapak beliau. Lama-kelamaan dalam pengajian itu, dibukakanlah kitab Fathul Mu’in, kan kitab Fathul Mu’in ini adalah kitab Madzhab Syafi’i, tetapi dalam penyampaian yang diberikan banyak perbedaan para ulama’. Sehingga pada waktu itu, Tuan Guru Rusni tersebut mengajak kita untuk bingung ulama’ mana yang harus kita ikuti. Sampai pada akhirnya beliau menyarankan lebih baik kita kembali kepada Al-Qur-an dan Hadits.169
Dengan menggelorakan “kembali ke al-Qur’an dan Hadits” Tuan Guru Husni
perlahan berhasil meyakinkan masyarakat. Dengan menyampaikan argument
normatif bahwa segala yang tidak diperintahkan oleh Allah dan Rasulnya, maka itu
adalah bid’ah, dan bid’ah adalah sesat, dan sesat adalah neraka. Konskuensinya, jika
tidak menguasai suatu Masjid, maka mereka para Jama’ah Salafi harus mendirikan
Masjid sendiri. Alasan mereka orang-orang As-Sunnah adalah tidak ingin satu masjid
dengan jama’ah di luar golongan mereka karena selain mereka itu adalah ahlul
bid’ah, berbuat kemusyrikan karena kami ziarah kubur.170
167 Ustaz nawawi, Tokoh Agama, sekaligus Pimpinan Ponpes Islamiyah Bebidas, wawancara 7
Oktober 2018. 168 Amaq Ati, Pengurus Masjid Assunnah An-Nur, Lampit Bebidas, wawancara 21 Oktober 2018 169 Ustaz Nawawi, Tokoh Agama, wawancara, 11 September 2018 170 Ustaz Nawawi, Tokoh Agama, wawancara, 11 September 2018
58
Pertambahan jumlah pengikut, menambah percaya diri jama’ah Salafi untuk
berdakwah dan menjadikan Masjid yang sudah ada sebagai basis dakwah. Setelah
berhasil mengambilalih Masjid An-Nur sebagaimana dijelaskan di atas, para ustaz
secara bebas dan terbuka menyampaikan doktrin sesuai dengan pemahamannya.
Pada awalnya dulu kami satu masjid akan tetapi, karena kami selalu disindir disetiap pengajiannya, ceramah, dan khotbah Jum’at. Maka dari itu, kami akhirnya mengalah untuk membuat masjid kami sendiri. Karena mereka adalah mayoritas di Desa Bebidas ini. masjid itu kan milik bersama tetapi, mayoritas itu yang lebih berhak berkuasa untuk mengambil alih masjid. Ketika dia yang menguasai, maka ketika itu dia yang menentukan wajah Islam itu sendiri.171 Masjid ini menurut amaq ati dulunya adalah masjib bersama, sejak masuknya assunnah ke desa ini, banyak jamaah yang menolak, namun sampai hari ini bisa bertahan dan menjadi tempat tetap jamaah melaksanakan ibadah. Awalnya penolakan sering terjadi, baik berupa saling sindir dan teguran lainnya. Penyelesaian masalah berjalan dengan sendirinya dan tidak ada penyelesaian baik secara hukum atau mediasi.172
Dulu pernah ada ketegangan bahwa merayakan maulid Nabi itu masih lebih
baik kita berzina katanya ketika itu ceramah dari salah satu Ustadz As-Sunnah
namanya Ustadz Masdar. Sampai pada akhirnya kami masyarakat yang lain di luar
aliran mereka nggk terima. Sehingga kami meminta mempertanggung jawabkan
tentang apa yang disampaikan oleh ustadz tersebut terkait maulid masih lebih baik
dari pada berzina. Ketika itu kami menantang mereka untuk melakukan debat
terbuka sampai kami menyuruh ustadz dari As-Sunnah itu membuka kitabnya.
Kebetulan Ustadz dari As-Sunnah itu pernah bersekolah di Madrasah kami. Sehingga
pada akhirnya mereka tak menghadiri debat tersebut.173
Kendala saya masuk ajaran As-Sunnah ini ketika itu, saya langsung
menyuruh murid saya untuk membakar kitab tarikat yang saya karang itu dan saya
mengatakan saya mengikuti As-Sunnah sekarang. Karena perkataan saya seperti
itu, murid saya sebagain menolah untuk mengikuti ajaran As-Sunnah dan tetap
kepada keyakinannya. Padahal sya mengatakan kepada mereka bahwa tarikat yang
171 Ustaz Nawawi, Tokoh Agama, wawancara, 11 September 2018 172 Amak Ati, Pengurus masjid Assunnah An-Nur Bebidas, wawancara 13 September 2018 173 Ustaz Nawawi, Tokoh Agama, pimpinan Ponpes Islamiyah Bagek Nayake, wawancara 5
Oktober 2018
59
dulu saya ajarkan sebagian besar tidak punya dalil. Itu dalilnya dari akal saja. Tidak
dari Allah.174
Adapun terkait alasan kenapa tertarik untuk masuk ke dalam jamaah assunnah ada beberapa alasan, hal ini disampaiakan oleh amaq ati, warga dusun tibu lampit mengungkapkan, bahwa ajaran assunnah tidak berbeda dengan ajaran islam pada umumnya, hanya saja ada beberapa hal yang diluruskan oleh ajaran ini ungkapnya, yakni menghilangkan kebiasaan-kebiasaan yang sudah membudaya, namun tidak ada dalam ajaran yang diajarkan Rasulullaah, misalnya maulid, zikiran dan lain sebagainya. Ditanya terkait pengajian, terkadang ada ustad yang datang mengisi pengajian, terkadang juga pergi mengaji ke bagek nyaka setiap sekali dalam sepekan. Heruna, ketika ditanya apa yang menjadi hal menarik sehinggga ikut assunnah, ia mengaku mengenal assunnah dari media sosial, awalnya sering mendapatan kiriman video ceramah dan kajian-kajian assunnah. Di keluarganya hanya dia yang ikut dalam jamaah assunnah, sedangkan kedua orang tuanya tidak. Namun, hubungan kekeluargaan tidak ada yang terganggu sama sekali, walaupun ada beberapa keluaraga yang menantang ikut assunnah. Setiap pengajian, ia selalu mengikuti pengajian di bagek nyaka. Terkait kitab yang digunakan, ia tidak mengetahui persis kitab apa yang digunakan. Menurut Heruna, perbedaan ajaran assunnah dengan ajaran lainnya adalah ajaran ini berusaha mengembalikan kemurnian ajaran dengan tidak mengada-adakan ajaran yang tidak sesuai dengan ajara rasulullah. Pemuda yang pernah berkuliah di fakultas tehnik UNRAM inipun mengaku dirinya tertarik untuk mendalami ajaran assunnah, hal ini dilakukan dengan tetap mengikuti pengajian langsung di bagek nyaka di ustad yang sering mengisi pengajian.175
C. Konflik dan Pengerusakan Masjid Salafi: Kasus Suela Ketua Takmir, Masjid Ummu Sulaiman, Ustaz Rusli menuturkan:
Masjid Ummu Sulaiman ini pada awalnya Mushalla yang berdiri sekitar tahun 1987-an. Setelah itu, pada tahun 2014 dimulai pembangunan Masjid. Tapi ada penolakan dari masyarakat sekitar dikarenakan jama’ah kami kurang dari 40 orang untuk menunaikan shalat Jum’atan. Selain itu, kami dipandang kelompok minoritas dan dianggap ajaran yang menyimpang dari Islam. Pengerusakan masjid kami pada waktu itu diakibatkan masyarakat terprovokasi oleh kepala desa yang sebelumnya. Alhamdulillah, pemerintah dari Bangkespol dan Kemenag Lombok Timur memediasi konflik dan meninjau secara langsung lokasi pembangunan Masjid. Salah satu keputusan yang disepakati adalah kami diizinkan untuk membangun Masjid Ummu Sulaiman ini, dan selesai
174 Ustaz Syafi’, Tokoh Salafi dan Pimpinan Ponpes Anas bin Malik Bebidas, wawancara 13
Oktober 2018 175 Haeruna, Jama’ah Salafi, Wawancara, 13 Oktober 2018
60
pembangunan pada tahun 2016. Kini kepala desa baru Desa Suela, bapak Eko sangat mendukung kami dan melindungi kami sebagai minoritas.176
Suela merupakan salah satu desa yang mejadi salah satu desa yang memiliki
pengikut jamaah assunah, tepatnya ada di dusun kopang satu. Adapun keberadaan
jamaah assunnah sempat menuai kontroversi, yakni ada warga yang menerima dan
ada juga yang menolak. Adapun keterangan Nasrimudiin menyatakan, tidak ada alas
an untuk melarang keberadaan jamaah assunnah, mereka masih seagama dan
ajarannya tidak ada yang menyimpang sama sekali, warga sekitar justru tidak ada
yang menolak, penolakan justru berasal dari pihak kecamatan dan pihak dusun lain.
Yang pantas kiita khawatirkan adalah anak-anak muda kita yang masih banyak
meminum minuman keras.
Adapun terkait keributan atau perusakan yag diisukan, mungkin kurang tepat
dikatakan perusakan, kaedaan sebenarnya adalah masjid mamang sengaja
diruntuhkan untuk dibangun kembali, keributan terjadi ketika kegiatan rapat
persiapan pembangunan, dan ada pihak yang tiba-tiba datang dan memicu keributan
dan membatalkan rapat lalu membawa bahan bangunan untuk pembuatan masjid
menjadi barang bukti, dan sampai saat ini bahan bangunan tersebut masih disimpan
di kantor camat suela sebagai barang bukti. Adapun keberadaan jamaah assunnah
sampai hari ini masih baik-baik saja dan bermasyarakat secara normal.
Sejarah masjid yang akan dijadikan masjid assunnah saat itu adalah merupakan
masjid jamaah, namun karena mayoritas masyarakat pindah domisili ke bawah maka
masjid yang lama tidak ada yang menempati, sedangkan warga juga sudah
membangun masjid baru sekitar tahun 1995, sejak saat itu masjid lama mulai disisi
dengan pengajian oleh jamaah assunnah. 1. Konflik/Ketegangan Sosial
Di Desa ini ada beberapa organisasi Islam seperti NW Pancor, NW Anjani,
selanjutnya ada namanya As-Sunnah. Khususnya As-Sunnah sempat terjadi
pengerusakan Masjid mereka. Isu utama pengerusakan masjid As-Sunnah itu
karena orang-orang/masyarakat sekitar masih tidak tau ajaran mereka. Mereka di
176 Ustaz Ramli, Takmir Masjid Ummu Sulaiman Suela, wawancara, 20 Oktober 2018.
61
provokasi oleh kepala desa sebelum saya yang mengerakkan masyarakat untuk
merusak masjid mereka.
Konflik ini terjadi dikarenakan ajaran As-Sunnah ini mengharamkan yang
namanya Tahlil dan Maulid, mereka As-Sunnah kan mempunyai madzhab
masing-masing dan mempunyai landasannya. Kita juga begitu sebagai warga
NW. tetapi jangan malah perbedaan ini di buat menjadi arena konflik. Menurut
saya, As-Sunnah itukan tidak melanggar aturan Undang-Undang dan aturan
agama. Selama mereka masih bersyahadat, bermadzhab, tugas kita itulah sebagai
kepala desa mem- back up yang minoritas bukan malah membuangnya. Kita kan
Pancasila. Jangan nanti kalau dia As-Sunnah mengaku Islam tetapi tidak
mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai Nabinya baru kita adili.
Kalau dilihat-lihat juga mereka itu lebih jujur orang As-Sunnah ini dari
pada kita-kita ini. ibadahnya menurut saya lebih bagus. Selama mereka
mengakui Allah sebagai Tuhan-Nya. Nabi Muhammad adalah Nabinya, Al-
Qur’an adalah kitab sucinya terus kita mau pertanyakan apalagi. Justru ini yang
harus menjadi pembelajaran untuk Ustadz-Ustadz kita ini untuk terus
memberikan pengajian kepada masyarakat sekitar. Kita ini malah disibukkan
oleh masalah-masalah politik.
Sejarah masuknya ajaran As-Sunnah di Desa Suela ini tidak terlalu lama.
Awalnya, dibawa oleh satu orang yang bernama Amaq Baiah (Al-Marhum) dia
adalah guru ngaji dulu, ya mungkin karena ia merasa nyaman dengan apa yang
dia yakini hingga pada akhirnya dia merasa inilah ajaran yang benar menurut
dia.
Terkait dengan pengerusan masjid beberapa tahun lalu diakibatkan karena
penyebab yang sederhana yaitu, orang-orang disekitar masjid yang kami bangun
terdapat beberapa tokoh-tokoh yang sudah terpandang diluar organisasi As-
Sunnah. Sehingga pada akhirnya ketika ada faham yang berbeda yang datang
disekitar mereka maka harus dirusakkan karena kami dianggap suatu kelompok
minoritas. Akan tetapi kami tidak menganjurkan melawan dengan cara
kekerasan, memaksa kehendak, dan apabila kami menempuh jalur hukum tidak
pernah dip roses dikarenakan kami adalah minoritas. Konflik-konflik ini
62
disebabkan karena ada orang yang berperan dibalik layar sebagai dalang
pengerusakan masjid-masjid kami.
Jika kami dianggap sesat, apa definisi dari sesat tersebut? Jika kami
dikatakan tidak zikir, kami zikir. jika kami dikatakan kami tidak mengaji, kami
mengaji siang dan malam. Sampai hari ini tidak ada titik temu definisi dari sesat
tersebut. Jadi apa definisi sesat yang ditujukan kepada kami? Kalau kami tidak
shalat, kami shalat, puasa, mengaji, kitab kami Al-Qur’an, Tuhan kami Allah
SWT. Jadi apa arti sesat menurut mereka? Jika kami kaum As-Sunnah
ditanyakan arti sesat, kami bisa menjawab,sesat tidak mengamalkan Al-Qur’an,
Sunnah Rasul, tetapi malahan tuduhan itu selalu dialamatkan kepada kami.
Malahan ada penghasut masyarakat yang memprovokasi untuk
menghancurkan masjid-masjid kami. Kami seperti terdeskriminasi sementara
orang-orang yang mabuk-mabukan, judi, berzina, dan orang-orang kafir tidak
prnah mereka urus. Jadi mana lebih baik? Kami orang-orang yang shalat lima
waktu atau mereka yang mabuk-mabukan, judi, berzina, dan orang-orang kafir
dan mengapa orang seperti itu tidak pernah diusik.
D. Perang Speaker, Justifikasi dan Penegasian: Kasus “Masjid dalam” dan
Jamaludin Masjid yang ada di Desa Bagek Nyaka Santri, Kcamatan Aik Mal ini
berjumlah 3, dari tiga masjid yang ada dimilki oleh organisasi As-Sunnah,Jamaludin,
dan warga NU, NW yang bertepatan di Masjid tua yaitu Masjid Samsul Falah. Dari
tiga Organisasi ini, As-Sunnah,Jamaludin, Al-Manan yang memegang Faham NU
adalah satu Keluarga.
Terkait masjid yang ada di Bagek Nyaka Santri ini, awalnya masjid yang kita
miliki itu berjumlah satu yaitu masjid tua Samsul Falah yang digunakan untuk Shalat
berjamaah dan Jum’atan dan semua aliran keagamaan yang ada di Desa ini
berkumpul menjadi satu. Setelah itu mereka berpisah dikarenakan pemahaman yang
berbeda-beda terkait denga ibadah. Hingga pada akhirnya mereka membaut masjid
sendiri-sendiri. Khususnya masjid yang dimiliki As-Sunnah ini anggaran dananya
langsung dari Kuait yang mana dana tersebut dibuat untuk membangun masjid
langsung dikirim melalui rekening yayasan dan sebagian uangnya digunakan untuk
63
membangun sarana dan prasarana untuk menunjang kegiatan ajaran As-Sunnah
seperti gedung Sekolah, Asrama, dan untuk kesejahteraan sosial mereka.177
E. Bentuk Fragmentasi Sosial
1. Pemutusan Hubungan Keluarga Dalam keluarga kami juga ada juga yang berbeda pemahaman yang
mengikuti aliran As-Sunnah tersebut. Dulu ketika ibu kami meninggal, saudara
kami yang mengikuti paham As-Sunnah ini tidak mengikuti tahlilan. Jika sholat
secara berjama’ah baru kami bersama-sama. Tapi terkadang dia berangkat ke
Masjid yang milik As-Sunnah tersebut. Karena kami beda pemahaman ya kami
harus saling menerima agar tidak menimbulkan perpecahan.
Ahya menuturkan,
Semenjak nenek saya mengikuti suaminya menjadi jama’ah Salafi, dia tidak lagi mau berinteraksi dengan bapak dan keluarga saya. Sangat saya sayangkan karena bapak saya dibesarkan oleh beliau. Berbagai kegiatan keluarga, tahlilan, maulidan, pengajian di Majlis ta’lim bapak saya dia tidak mau lagi. Dia termasuk yang paling aktif dalam kegiatan pengajian di Masjid Assunnah milik Salafi, bahkan dapat dikatakan kaki tangan para ustaz di Masjid tersebut. Tetapi kasus yang sejenis, seperti tidak tegur sapa antara orang tua dengan anak, antar saudara, antar tetangga, bahkan perceraian juga terjadi antara jama’ah Salafi dengan non-salafi dalam satu keluarga.178
Heruna, salah seorang Jama’ah Salafi menuturkan life history-nya menjadi
bagian dari Salafi dan tantangannya dalam keluarga. Ketika ditanya apa yang
menjadi hal menarik sehinggga ikut assunnah, ia mengaku mengenal assunnah
dari media sosial, awalnya sering mendapatan kiriman video ceramah dan kajian-
kajian assunnah. Di keluarganya hanya dia yang ikut dalam jamaah assunnah,
sedangkan kedua orang tuanya tidak. Namun, hubungan kekeluargaan tidak ada
yang terganggu sama sekali, walaupun ada beberapa keluaraga yang menantang
ikut assunnah. Setiap pengajian, ia selalu mengikuti pengajian di bagek nyaka.
Terkait kitab yang digunakan, ia tidak mengetahui persis kitab apa yang
digunakan. Menurut Heruna, perbedaan ajaran assunnah dengan ajaran lainnya
adalah ajaran ini berusaha mengembalikan kemurnian ajaran dengan tidak
177 Bahrudin, Kepala Desa Bagek Nyake, wawancara 5 September 2018
178 Ahya, Tokoh Agama Bagek Nyake, wawancara 2 Oktober 2018
64
mengada-adakan ajaran yang tidak sesuai dengan ajara rasulullah. Pemuda yang
pernah berkuliah di fakultas tehnik UNRAM inipun mengaku dirinya tertarik
untuk mendalami ajaran assunnah, hal ini dilakukan dengan tetap mengikuti
pengajian langsung di bagek nyaka di ustad yang sering mengisi pengajian.179
2. Konflik
Pada awalnya, konflik yang pertama kali terjadi terkait dengan ajaran As-
Sunnah ini dilingkup keluarga terjadi perceraian dikarenakan dalam satu keluarga
menganut ajaran yang berbeda-beda misalnya, anaknya Jamaludin, Ibunya As-
Sunnah dan Bapaknya NU/NW. ketegangan dalam hal keagamaan ini diakibatkan
karena tiba-tiba ada ajaran yang belum mereka kenal terutama oleh masyarakat
pada umunya.
Selain itu, Kasus ketegangan/konflik jama’ah As-Sunnah dengan Jama’ah
yang lain dulu pernah terjadi terkait dengan pengeras Suara Masjid yang saling
berhadapan. Pada awalnya kami susah mendamaikan beberapa ajaran dikarenakan
pengajian yang saling menyindir satu sama lainnya. Sehingga untuk meredam
konflik tersebut, sebagai kepala Desa saya harus memindahkan alat pengeras
suara tersebut berlainan arah pada setiap Masjid yang ada di Desa ini.180
Terkait dengan konflik-konflik dengan organisasi lain semisalnya NW, NW
dan lain-lain itu tidak pernah karena disekitar kami banyak orang-orang NW, NU
dan lain-lain. dan disetiap pengajian kami di masjid-masjid kami menyampaiakan
apa yang perlu kami sampaikan sesuai dengan tuntunan AL-Qur’an dan Al-
Hadits. Jadi jika mau membantah kami, bantahlah Qur’an dan Hadits dan jangan
ke kami. Karena kami hanya membaca dan menyampaikan. Terkait dengan
pengerusan masjid beberapa tahun lalu diakibatkan karena penyebab yang
sederhana yaitu, orang-orang disekitar masjid yang kami bangun terdapat
beberapa tokoh-tokoh yang sudah terpandang diluar organisasi As-Sunnah.
Sehingga pada akhirnya ketika ada faham yang berbeda yang datang disekitar
mereka maka harus dirusakkan karena kami dianggap suatu kelompok minoritas.
Akan tetapi kami tidak menganjurkan melawan dengan cara kekerasan, memaksa
kehendak, dan apabila kami menempuh jalur hukum tidak pernah dip roses
179 Haeruna, Jama’ah Salafi Bebidas, wawancara 13 Oktober 2013 180 Bahrudin, Kepala Desa Bagek Nyake, wawancara 5 September 2018
65
dikarenakan kami adalah minoritas. Konflik-konflik ini disebabkan karena ada
orang yang berperan dibalik layar sebagai dalang pengerusakan masjid-masjid
kami.181
Terkait masjid yang ada di Bagek Nyaka Santri ini, awalnya masjid yang kita miliki itu berjumlah satu yaitu masjid tua Samsul Falah yang digunakan untuk Shalat berjamaah dan Jum’atan dan semua aliran keagamaan yang ada di Desa ini berkumpul menjadi satu. Setelah itu mereka berpisah dikarenakan pemahaman yang berbeda-beda terkait denga ibadah. Hingga pada akhirnya mereka membaut masjid sendiri-sendiri.182
F. Masjid, Pembentukan Identitas Baru, dan Penguatan Eksistensi Bagi kelompok Salafi, Masjid bukanlah sekedar tempat ibadah yang suci, tetapi
juga merupakan wadah strategis untuk menyebarkan dan memelihara manhaj salaf
dari aneka praktik keagamaan yang menyimpang. Tuan Guru Manar menjelaskan,
Masjid-masjid yang bernaung di bawah Yayasan As-Sunnah punya Program untuk memberikan pengajian disetiap masjid-masjid yang kita bangun. Jadi, masjid-masjid ini disumbang oleh orang-orang dari Kwait dan mereka berpesan agar masjid-masjid yang dibangun dari uang sumbangan mereka digunakan untuk shalat lima waktu secara berjama’ah, shalat Jum’at, dan kami juga diminta masjid-masjid yang ada diisi dengan pengajian-pengajian, itulah fungsi dari masjid. Di mataram, juga kami sering mengisi pengajian-pengajian seperti di Lawata pada malam Kamisnya, Gedung Putih di depan Rumah Sakit Islam Mataram, dan juga ada kerja sama dengan Yayasan Hunafa’ di Mataram. Dan Yayasan Abu Hurairah. Terkait dengan konflik-konflik dengan organisasi lain semisalnya NW, NW dan lain-lain itu tidak pernah karena disekitar kami banyak orang-orang NW, NU dan lain-lain. dan disetiap pengajian kami di masjid-masjid kami menyampaiakan apa yang perlu kami sampaikan sesuai dengan tuntunan AL-Qur’an dan Al-Hadits. Jadi jika mau membantah kami, bantahlah Qur’an dan Hadits dan jangan ke kami. Karena kami hanya membaca dan menyampaikan.183
Terutama sektar tahun 80-an didaerah ini dulu sering terjadi konflik tawuran
dan sekarang Alhamdulillah udah tidak ada karena secara perlahan mereka mulai
menerima dan mau mengaji kepada kita.
181 Ustaz Sofyan, Tokoh Salafi, Pimpinan Ponpes Assunnah Bagek Nyake, wawancara 20
September 2018. 182 Bahrudin, Kepala Desa Bagek Nyake, wawancara 5 September 2018
183 Tuan Guru Manar
66
Dalam penyebaran awalnya ajaran As-Sunnah ini dilakukan oleh TGH. Husni
kakak dari TGH.Manar Bagek Nyaka. Jadi dulu-dulu itu, sering terjadi konflik antar
organisasi seperti tawuran dan pengerusakan. Alhamdulillah karena perjuangan kami
dengan niat karena Allah SWT. mereka yang melakukan kekerasan disadarkan.
Program kegiatan masjid ini adalah setiap malam kami mengajar anak-anak mengaji. Kalau pengajian diadakan setiap satu bulan sekali dengan pengajar Ustadz Solihin adik dari Ustadz Mizan, setiap kurang lebih 6 Bulan sekali kami mendapat jadwal pengajian yang bertepatan pada hari sabtu. Selain itu, ada juga sekarang pengajian yang kami adakan sebagai program kami peribadi yaitu pengajian pada malam minggunya setiap bulan.184
G. Respon Islam Mainstream Rambahan paradigma ideologis teologis Salafi, dengan segera menuai reaksi
keras dari masyarakat yang selama ini memegang teguh sejumlah tradisi keagamaan
yang dipandang bid’ah oleh Salafi. Penyebaran doktrin manhaj salaf dipandang telah
dan akan terus merusak struktur keberagamaan masyarakat sasak yang selama ini
dipelihara. Klaim kebenaran (truth claim) dan klaim keselamatan (salvation claim),
dan penegasian dengan sebutan bid’ah dan “dlalalah” terhadap berbagai ritual dan
tradisi keagamaan mainstream, dirasakan sebagai sikap yang sangat berani dan
“provokatif” dalam menyebarkan misi puritan gerakan Salafi. Perbeaan ideologis dua
kelompok keagamaan ini melahirkan sejumlah tensi dan fragmentasi sosial di tingkat
lokal. Bahkan konflik fisik yang melibatkan sentiment teologis ideologis kerap
terjadi dalam sepuluh tahun terakhir.
Respon terbuka, dalam pengantar buku Perisai Ke-Aswaja-an Nahdlatul
Wathan, diberikan Tuan Guru M. Sahrullah Ma’shum, salah seorang Mustasyar PB
NW Pancor, dan Tuan Guru Sholah Sukarnawadi,salah seorang tokoh muda NW:
Demikian pula dalam mempertahankan keutuhan ahl Sunnah wa al-jama’ah peran beliau (Tuan Guru Zainuddin) tidaklah remeh. Sekte wahabi yang menjadi musuh bebuyutan ahl Sunnah wa al-jama’ah tidak berhasil melarikan diri dari genggaman tangan beliau. Melalui hizib NW, 17 kitab anti wahabi peringkat tertinggi dideklarasikan beliau sebagai kitan-kitab yang harus dimiliki dan dijiwai segenap warga NW.185 Saya sempat menyusun sebuah buku saku berjudul NW: No Wahabi. Buku ini tiada lain sebagai tameng ala kadarnya untuk mengantisipasi dan menghindari
184 Ustaz Ramli, Takmir Masjid Ummu Sulaiman Suela, wawancara, 20 Oktober 2018. 185Tuan Guru M. Nashrullah Ma’shum, Sambutan dalam H. Abdul Aziz Sukarnadi, Perisai Ke-
Aswaja-an Nahdlatul Wathan Membedah 17 Literatur Anti Wahabi Rekomendasi Pendiri NW (Yogyakarta: Samudera Biru, 2016), xi.
67
virus-virus wahabi agar tidak merasuki tubuh NW. Sikap antipati terhadap wahabi sebetulnya tidak hanya diinspirasi oleh pendiri NW yang sangat menolak paham wahabi, melainkan juga dilandasi mufakat ulama ahl Sunnah wa al-jama’ah di seluruh dunia bahwa ideologi wahabi memang harus diwaspadai bahkan dijauhi sejauh-jauhnya dari segenap hamba Allah Swt. dan pengikut Rasulullah.186 Mengklaim diri sebagai pengemban tauhid otentik, gerakan Salafi segera
mempromosikan dirinya berasal dari haramain, dua tempat yang diberkahi, dimana
Nabi Muhammad hidup dan mengajarkan Islam. Bahkan lebih jauh Abd al-Salam al-
Sihimy mengklaim bahwa “Arab Saudi merupakan daulah salafiyah, di dalamnya
dakwah Salafi digaungkan, akidah pimpinannya salafiyah, dan karenanya
menunjunjung kitabullah dan sunnah Rasulullah”.187 Secara lokal posisi ini kerap
menjadi bagian terpenting dalam upaya legitimasi kebenaran isi dakwah oleh para
da’i kelompok Salafi.
Dalam perbedaan paham antara NU, NW, dengan ajaran Salaf/ As-Sunnah adalah dalam ajaran As-Sunnah yang paling kami tekankan adalah untuk mengamalkan Al-Qur’an dan Hadits Nabi sesuai dengan pemahaman-pemahaman ajaran Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Karena aliran Ahlussunah wal Jama’ah ini adalah dagangan paling laris. Setiap orang yang ingin terkenal pasti mengatakan bahwa diri mereka Ahlussunnah wal Jama’ah. Silahkan antum cari dimana dalil ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah yang merayakan maulid, lalu mengapa mereka mengatakan diri mereka Ahlussunnah Wal Jama’ah dan apa dalilnya.188 Terkait dengan ajaran As-Sunnah, sering datang kepada kami Perguruan Tinggi Pancor bertanya tentang ajaran As-Sunnah ini tentang penyebarannya. Kok bisa, TGH. Husni ini dalam jangka waktu yang singkat mampu merubah Aik Mal ini dari orang-orang yang memakai pakaian ”Kelemben”(Pakaian tradisional Sasak) hingga memakai pakaian Syar’i. sehingga Aik Mal ini bisa menjadi basis-basis organisasi besar. Sekitar tahun 80-an TGH.Husni datang ke Lombok dari Tanah Suci Makkah akan tetapi masih belum mengenalkan dan menyebarkan ajaran As-Sunnah dan lebih tepatnya TGH.Rusni memantau situasi masyarakat sekitar. Beliau kembali lagi ke Makkah. Baru kedatangannya yang kedua kali pada tahun 1990 TGH. Husni mulai menyebarkan ajaran As-Sunnah ke Masyarakat di Lombok dengan Pusat penyebarannya berada di Daerah Lombok Timur Kecamatan Aik Mal. Akan tetapi benturan-benturan itu terlalu berat dirasakan TGH. Husni dalam
186Tuan Guru Sholah, Sambutan dalam H. Abdul Aziz Sukarnadi, Perisai Ke-Aswaja-an Nahdlatul
Wathan Membedah 17 Literatur Anti Wahabi Rekomendasi Pendiri NW (Yogyakarta: Samudera Biru, 2016), xx.
187Abd al-Sala>m al-Sihimy, Kun Salafiyyan ‘ala al-J}a>ddah, 50-51. 188 Ustaz Sofyan, Pimpinan Ponpes Assunnah Bagek Nyake, wawancara, 9 September 2018
68
berdakwah menyebarkan ajaran As-Sunnah yang berasal dari Keluarga maupun dari Masyarakat Sehingga beliau ingin kembali ke Makkah.
Akan tetapi, beberapa hari sebelum beliau kembali ke Makkah. Ada sebgian pengikut beliau yaitu orang-orang Suralaga, Lombok Timur meminta TGH. Rusni untuk tetap tinggal dan ditawari ssebidang tanah untuk mendirikan Pondok Pesantren untuk memotivasi TGH. Rusni agar tetap melanjtukan dakwahnya. Sehingga beliau berfikir ulang dan pada akhirnya menetapkan hati untuk tetap tinggal di Lombok dan melanjutnya perjuangan dakwahnya dalam menyebarkan Ajaran As-Sunnah tersebut.189
Nahdlatul Wathan bersama kelompok mainstream lainnya memandang bahwa
dakwah Salafi mengancam pola keberagamaan masyarakat yang sudah lama
tertanam. Klaim kebenaran dan keselamatan, dan penyesatan pelaku bid’ah
merupakan cara pandang yang menyulut tensi dan bahkan kekerasan antar Muslim di
Lombok. Sejauh identifikasi terhadap konflik keagamaan, setidaknya terdapat 14
konflik yang melibatkan kelompok Salafi dengan non-Salafi sepanjang 2004 sampai
2016 di Lombok. Pada tahun 2016 di Swela Lombok Timur misalnya, Masjid Salafi
dirusak masyarakat sekitar. Muhammad Tahir, tokoh setempat menuturkan
pengerusakan tersebut disebabkan karena masyarakat tidak membutuhkan Masjid
baru yang secara berdekatan dengan berada di Masjid umum yang sudah lama ada
dan digunakan masyarakat bersama. Selain itu, ajaran Salafi yang cenderung
memandang bid’ah terhadap ibadah-iabadah yang selama ini diamalkan masyarakat.
Namun demikian, menurut Tahir sudah berdiri Masjid-Masjid Salafi yang terpisah
dengan dengan masyarakat pada umumnya. Akhirnya, Masjid tidak semata-mata
sebagai tempat ibadah, juga simbol fragmentasi sosial internal Muslim.
Ketegangan dan konflik juga dapat diamati di beberapa tempat yang lain. Pada
tahun 2015 di Batukliang Lombok Tengah, tujuh jama’ah Salafi d iusir dari
kampung halamannya; pada tahun 2009 di Gunungsari Lombok Barat beberapa
pengikut Salafi dievakuasi pihak keamanan dan rumahnya dibakar oleh masyarakat
setempat. Pada tahun 2006 terjadi pengerusakan Sekolah Salafi di Kota Mataram.
Demikian juga Ponpes Ubay bin Ka’ab di Cakra Negara Mataram, menghadapi
penolakan oleh masyarakat setempat karenanya harus ditutup sejak 2015 hingga
sekarang. Konflik-konflik ini merupakan contoh yang mengindikasikan bahwa
189 Ustaz Sofyan, Pimpinan Ponpes Assunnah Bagek Nyake, wawancara, 8 September 2018
69
ketegangan ideologis sudah mencapai high level contestation, dimana perbedaan
ideologis dipertentangkan secara fisik.
Di sisi lain, reaksi lokal terhadap ide-ide Salafi dalam bentuk berbagai konflik
tersebut, juga dapat dimengerti sebagai upaya kelompok dominan NW dalam
mempertahankan dominasinya. Sejak Salafi diperkenalkan tahun 1990-an, beberapa
pengikut NW mengalami konversi ke paham Salafi, dan bahkan sebagian menjadi
juru dakwah kelompok Salafi. H. Mahsun dan H. Said misalnya, dua tokoh Salafi
merupakan alumni pesantren NW. Setelah menjadi da’i Salafi, H. Mahsun pernah
diusir oleh warga di kampungnya, dan sudah lama tidak terlibat di dalam aktivitas
ibadah pada Masjid setempat. Hal yang sama juga terjadi pada H. Said tahun 2006,
Sekolah Bani Shaleh yang ia pimpin dirusak oleh masyarakat sekitar. Dua kasus
pengusiran dan pengerusakan dimana pengikut Salafi sebagai korbannya, merupakan
contoh dari beberapa kasus serupa lainnya di beberapa tempat lain di Lombok.
Semakin meningkatnya kepentingan untuk mengidentifikasi diri ke dalam
identitas ideologis, telah memperbesar distance dan potensi konflik internal yang
bersifat laten, dan kini diterjemahkan secara lokal. Merujuk pada berbagai konflik di
atas, dimana jama’ah Salafi menjadi objeknya, bukan semata-mata sebagai akibat
langsung dari isu teologis dan aktivitas dakwah, sebagaiman digambarkan Murdianto
dan Azwani di atas, -melainkan - juga melibatkan perebutan otoritas elit agama,
dimana tuan guru menjadi bagian di dalamnya. Menjadi jelas, kecenderungan
pengidentifikasian diri yang berbasis pada identitas ideologis, akan memperkuat
perebutan otoritas keagamaan, dan pada saat yang bersamaan memperkuat kontestasi
horizontal masyarakat Islam.
Fragmentasi identitas, - berikut implikasi sosiologisnya di atas bukanlah
fenomena yang khas masyarakat Lombok. Keterlibatan gerakan Salafi dalam
pembentukan identitas transnasional dan upaya mengkonstruksi otoritas keagamaan,
yang mengantarkannya vis a vis masyarakat lokal juga terjadi berbagai daerah
bahkan Negara.
70
H. Faktor-faktor Fragmentasi 1. Faktor Teologis
Dulu pernah ada ketegangan bahwa merayakan maulid Nabi itu masih lebih
baik kita berzina katanya ketika itu ceramah dari salah satu Ustadz As-Sunnah
namanya Ustadz Masdar. Sampai pada akhirnya kami masyarakat yang lain di
luar aliran mereka nggk terima. Sehingga kami meminta mempertanggung
jawabkan tentang apa yang disampaikan oleh ustadz tersebut terkait maulid masih
lebih baik dari pada berzina. Ketika itu kami menantang mereka untuk melakukan
debat terbuka sampai kami menyuruh ustadz dari As-Sunnah itu membuka
kitabnya. Kebetulan Ustadz dari As-Sunnah itu pernah bersekolah di Madrasah
kami. Sehingga pada akhirnya mereka tak menghadiri debat tersebut.190
Salah seorang tokoh Salafi yang menyatakan bahwa paham Salafi bukanlah
mazhab atau paham baru, melainkan Islam itu sendiri, apa yang diajarkan adalah
sesuai dengan yang termaktub dalam al-Qur’an dan Sunnah, dan sesuai dengan
yang diajarkan oleh Nabi Muhammad. Berdasarkan pemaknaan ini, menurutnya,
tidak ada alasan, dan merupakan kesalahan besar orang Islam menolak paham
Salafi.191 Penolakan terhadap pandangan sebagai mazhab baru juga disebut al-
Aqldalam pendahuluan bukunya Islamiyah la Wahabiyah. Ia menjelaskan bahwa
“gerakan yang di bawa mujaddid Muhammad bin Abdul Wahab dan Muhammad
bin Sa’u>d bukanlah mazhab baru, melainkan manhaj islamiyah yang haq, yang
berjuang memelihara Islam dari syirik, bid’ah dan kesesatan, menghidupkan
sunnah, dan merupakan gerakan yang diberkahi.”192
Selain itu yang menjadi konflik selama ini adalah kata-kata mereka yang
paling menyakitkan adalah kata-kata yang mengunakan dalil:
وكل ضاللة فى النار, كل بدعة ضال لة
Sebenarnya itulah yang memicu konflik, itu yang membuat kita pecah belah dengah sesama. Mereka menafsirkan dalil itu terlalu sempit. Padahal mereka tidak menggunakan madzhab Syafi’i, tapi mereka mengunakannya. Setelah itu mereka mengatakan mengikuti Sunnah Rasul. Andaikan mereka mendalami ilmu tafsir, tasawuf, Fiqh, mungkin mereka tidak akan
190 Ustaz Nawawi, Tokoh Agama, pimpinan Ponpes Islamiyah Bagek Nayake, wawancara 5
Oktober 2018 191Ustaz Sufyan, tokoh Salafi, dan Pimpinan Ponpes Assunnah Lombok Timur, wawancara 20
September 2018 192Nashir bin Abd al-Karim al-‘Aql, Isla>miyah La Wahabiyah, 35.
71
menggampangkan membid’ahkan orang. Khilafiyah ini juga ada pada masa Rasululah contoh dulu di Zaman Rasulullah SAW mengutus dua sahabat untuk pergi berdakwah. Pesan Rasul, nanti jika ada waktu shalat, cepatlah shalat. Singkat cerita, ada saat itu datanglah waktu shalat. Kedua sahabat bertayamum untuk shalat. Setelah itu selesai melakukan shalat mereka melanjutkan perjalanan, sahabat yang satu itu menemukan air, lalu ia berwudhu dan mengganti shalatnya yang tadi, lalu shabat yang satunya bergumam dalam hatinya “ nanti jika kembali di hadapan Rasulullah, saya akan melaporkan kejadian ini”. Tidak lama ketika itu mereka kembali ke Rasulullah dan sahabat yang tadi melaporkan kejadian itu. Ya Rasulullah, engkau pernah mengatakan pada kami jika ada waktu untuk shalat, bersegeralah, lalu kami bertayamum. Tapi saudaraku yang satu ini mengganti sholatnya ketika ia menemukan air. Lalu Rasul Menjawab, kalian berdua sama-sama benar. Kamu yang melakukan shalat dengan tayamum menjalankan Sunnah, saudaramu yang mengganti shalatnya ketika menemukan air mendapatkan dua pahala. Seperti itulah Rasulullah memimpin umatnya agar tidak terjadi perpecahan dan tidak ada yang saling menyalahkan. Tapi sekarang ini selalu menyalahkan.193
Jika kami dianggap sesat, apa definisi dari sesat tersebut? Jika kami
dikatakan tidak zikir, kami zikir. jika kami dikatakan kami tidak mengaji, kami
mengaji siang dan malam. Sampai hari ini tidak ada titik temu definisi dari sesat
tersebut. Jadi apa definisi sesat yang ditujukan kepada kami? Kalau kami tidak
shalat, kami shalat, puasa, mengaji, kitab kami Al-Qur’an, Tuhan kami Allah
SWT. Jadi apa arti sesat menurut mereka? Jika kami kaum As-Sunnah ditanyakan
arti sesat, kami bisa menjawab,sesat tidak mengamalkan Al-Qur’an, Sunnah
Rasul, tetapi malahan tuduhan itu selalu dialamatkan kepada kami. Malahan ada
penghasut masyarakat yang memprovokasi untuk menghancurkan masjid-masjid
kami. Kami seperti terdeskriminasi sementara orang-orang yang mabuk-mabukan,
judi, berzina, dan orang-orang kafir tidak prnah mereka urus. Jadi mana lebih
baik? Kami orang-orang yang shalat lima waktu atau mereka yang mabuk-
mabukan, judi, berzina, dan orang-orang kafir dan mengapa orang seperti itu tidak
pernah diusik.194
193 Ustaz Nurudin, Tokoh Agama, Mantan Guru Ponpes Assunnah Bagek Nyake, wawancara 14
Oktober 2018 194Ustaz Sofyan, Pimp inan Ponpes Assunnah Bagek Nyake, wawancara, 8 September 2018
72
2. Persaingan Komunal Rambahan paradigma ideologis teologis Salafi, dengan segera menuai reaksi
keras dari masyarakat yang selama ini memegang teguh sejumlah tradisi
keagamaan yang dipandang bid’ah oleh Salafi. Penyebaran doktrin manhaj salaf
dipandang telah dan akan terus merusak struktur keberagamaan masyarakat sasak
yang selama ini dipelihara. Klaim kebenaran (truth claim) dan klaim keselamatan
(salvation claim), dan penegasian dengan sebutan bid’ah dan “dlalalah” terhadap
berbagai ritual dan tradisi keagamaan mainstream, dirasakan sebagai sikap yang
sangat berani dan “provokatif” dalam menyebarkan misi puritan gerakan Salafi.
Perbeaan ideologis dua kelompok keagamaan ini melahirkan sejumlah tensi dan
fragmentasi sosial di tingkat lokal. Bahkan konflik fisik yang melibatkan
sentiment teologis ideologis kerap terjadi dalam sepuluh tahun terakhir.
Tidak hanya ideologinya yang dianggap berbeda, kelompok Salafi juga
dikenal dengan atribut fashion-nya yang khas. Dengan menggunakan celana
setengah betis, gamis, dan memanjangkan jenggot, dan cadar gelap bagi
perempuan menjadi distingsi tersendiri. Hal ini dilakukan sebagai bentuk
menjalankan sunnah Nabi. Sekecil apapun sunnah yang pernah dicontohkan Nabi
harus kita laksanakan, termasuk aspek tata cara berpakaian dan penampilan. Etika
berpakaian bukanlah sekedar pilihan, melainkan kewajiban shar’i yang harus
djilankan. Banyak fitnah yang diarahkan ke Salafi, terutama terkait dengan ibadah.
Misalnya, dikatakan bahwa cara memandikan mayat hanya tiga percikan air, dan
cara pemakaman mayatnya diberdirikan. Ternyata fitnah semua.195 Demikian juga
Ustaz Sufyan menuturkan bahwa “terkait dengan pengerusan masjid beberapa
tahun lalu diakibatkan karena penyebab yang sederhana yaitu, orang-orang
disekitar masjid yang kami bangun terdapat beberapa tokoh-tokoh yang sudah
terpandang diluar organisasi As-Sunnah. Sehingga pada akhirnya ketika ada
faham yang berbeda yang datang disekitar mereka maka harus dirusakkan karena
kami dianggap suatu kelompok minoritas. Akan tetapi kami tidak menganjurkan
melawan dengan cara kekerasan, memaksa kehendak, dan apabila kami
menempuh jalur hukum tidak pernah dip roses dikarenakan kami adalah
195 Ustaz Ramli, Takmir Masjid Ummu Sulaiman Suela, wawancara 20 Oktober 2018
73
minoritas. Konflik-konflik ini disebabkan karena ada orang yang berperan dibalik
layar sebagai dalang pengerusakan masjid-masjid kami.196
I. Akselerasi Gerakan Salafi: Media Pendukung 1. Bulettin al-Hujjah
Buletin Jum’at/mingguan al-Hujjah, sebagaimana dituturkan Ust. Johan
Saputra untuk pertama kalinya terbit pada tahun 2003, atas inisiasi Ust. Fakhrudin
(Mudir Ponpes Abu Hurairah) dan sekaligus sebagai Pimpred pertama. Penerbitan
bulletin ini dimotivasi oleh keinginan untuk berdakwah melalui media cetak yang
praktis, namun memiliki jangkauan yang luas. Sebelum dikelola oleh Ponpes Abu
Hurairah bulletin ini dikelola oleh bidang dakwah yayasan al-Hunafa Mataram.
Lebih jauh, Ust. Johan Saputra menjelaskan Buletin Al-Hujjah terbit dalam
satu kali dalam sepekan, yang didistribusikan setiap hari Jum’at. Dengan jumlah
oplah yang mencapai 6000 eksamplar per-edisi, buletin ini dapat menjangkau
NTB dan provinsi NTT. Umumnya bulletin ini didistribusikan di Masjid-Masjid,
kelompok pengajian, dan individu-invidu yang membutuhkan secara gratis.
Sebagaimana yang saya amati di beberapa Masjid yang berafiliasi dengan Salafi,
bulletin ini selalu disediakan di pintu masuk Masjid sebelum shalat Jumat dimulai.
Karena memang pembaca yang disasar adalah masyarakat umum.
Sedangkan tema-tema yang dimuat menurut Ust. Johan Saputra, tetap
seputar kajian Keislaman, terutama tentang tauhid, akhlak dan ibadah (mahdah
dan muamalah). Memperhatikan tema-tema yang diusung nampaknya aspek
tauhid dan akhlak cenderung memperoleh porsi yang lebih dominan. Semua
materi bulletin al-Hujjah dapat diakses di www.alhujjah.com
Buletin Jum’at/mingguan al-Hujjah, sebagaimana dituturkan Ust. Johan
Saputra untuk pertama kalinya terbit pada tahun 2003, atas inisiasi Ust. Fakhrudin
(Mudir Ponpes Abu Hurairah) dan sekaligus sebagai Pimpred pertama. Penerbitan
bulletin ini dimotivasi oleh keinginan untuk berdakwah melalui media cetak yang
praktis, namun memiliki jangkauan yang luas. Sebelum dikelola oleh Ponpes Abu
Hurairah bulletin ini dikelola oleh bidang dakwah yayasan al-Hunafa Mataram.
Lebih jauh, Ust. Johan Saputra menjelaskan Buletin Al-Hujjah terbit dalam
satu kali dalam sepekan, yang didistribusikan setiap hari Jum’at. Dengan jumlah 196 Ustaz Sufyan, tokoh Salafi, wawancara 8 September 2018
74
oplah yang mencapai 6000 eksamplar per-edisi, buletin ini dapat menjangkau
NTB dan provinsi NTT. Umumnya bulletin ini didistribusikan di Masjid-Masjid,
kelompok pengajian, dan individu-invidu yang membutuhkan secara gratis.
Sebagaimana yang saya amati di beberapa Masjid yang berafiliasi dengan Salafi,
bulletin ini selalu disediakan di pintu masuk Masjid sebelum shalat Jumat dimulai.
Karena memang pembaca yang disasar adalah masyarakat umum.
Sedangkan tema-tema yang dimuat menurut Ust. Johan Saputra, tetap
seputar kajian Keislaman, terutama tentang tauhid, akhlak dan ibadah (mahdah
dan muamalah). Memperhatikan tema-tema yang diusung nampaknya aspek
tauhid dan akhlak cenderung memperoleh porsi yang lebih dominan. Semua
materi bulletin al-Hujjah dapat diakses di www.alhujjah.com
Ust. Johan Saputra juga menjelaskan bahwa pembiayaan penerbitan Buletin
al-Hujjah sebagian ditanggung oleh Ponpes Abu Hurairah untuk percetakan (Rp.
300/edisi), dan pembiayaan kertas dari “muhsinin” (donator), yaitu Ust.
Abdurrahman Hizam, Ketua Yayasan Al-Hunafa). Sehingga bulletin ini bertahan
hingga sekarang.
2. Radio SATU Radio Lombok FM
Pada awalnya SATU Radio Lombok di bentuk atas arahan dan inisiatif dari
Ust. Mizan Qudsiyah, yang merupakan pimpinan yayasan As-Sunnah dengan
beberapa pengurus lainnya atas dasar bahwa kajian-kajian keagamaan yang di
lakukan oleh para Ustadz salafi terbatas hanya bisa di dengarkarkan oleh jamaah
yang ikut pengajian di masjid Sulaiman Fauzan al-Fauzan saja tetapi harus bisa di
dengarkan oleh jamaah yang domisilinya jauh dari masjid dan tidak bisa hadir
dalam kajian tersebut atas dasar itulah SATU Radio Lombok di bentuk dan
ditunjuk Ustadz H. Muhibbin sebagai ketua pengelolanya.
SATU Radio telah terbentuk selama 5 tahun dan pada awalnya berbentuk
radio komunitas yang oleh pemerintah di beri alokasi frekuensi di 107.9 Mhz
yang jarak tempuhnya hanya 5 km dan daya mesin hanya 50 Watt. Hadirnya
siaran radio tersebut mendapat sambutan yang luar biasa dari jama’ah, sehingga
pengurus mempertimbangkan untuk beralih ke Siaran Swasta yang
75
jangakauannya lebih luas sampai ke luar daerah dan radio komunitas inilah yang
menjadi cikal bakal terbentuknya SATU Radio Lombok.
Melalui Frekuensi baru di 106.7 Mhz radio komunitas tersebut hadir dengan
nama Radio Suara Qur’an, namun frekuensi ini hanya dipakai beberapa bulan
saja, karena adanya complain dari Radio Swasta lain yang berdempetan
dengan frekuensi 106.7 Mhz sehingga terjedi interference ( suara yang saling
tindih ). Akhirnya untuk melanjutkan Radio Suara Qur’an tersebut dan agar tidak
terjadi masalah interference lagi pihak pengelola mengajukan frekuensi lain
namun tidak ada dan telah terisi semua, sehingga jalan satu-satunya adalah dengan
membeli dan mengakuisisi radio lain yang sudah tidak aktif lagi. Pengelola radio
Suara Qur’an kemudian melobi ke pengurus SATU Radio Lombok yang
mengudara difrekuensi 105.4 Mhz dan tercapai kesepakatan dengan dewan
redaksi PT. Radio A-Best Lombok Perkasa (SATU Radio Lombok) untuk
merger manajemen dan format radio akan dirubah dari format radio siaran
hiburan/music menjadi radio siaran bertemakan Dakwah dengan visi menjadi
media dakwah Islam yang istiqomah menyampaikan tasfiyyah dan tarbiyyah
dengan senantiasa merujuk kepada pemahaman generasi pertama dan utama
ummat ini.
Saat ini SATU Radio sudah memiliki legalitas resmi dari komimfo pusat
dan jangkaunya lebih luas lagi bahkan sudah masuk dalam Jaringan Radio TV
Islam Indonesia dan bisa siaran live secara bersama-sama yang tergabung dalan
jariangan tersebut. Adapun sumber dana SATU Radio adalah dari para jamaah
dan juga dari percetakan dan iklan.
Adapaun program/materi siaran SATU Radio Lombok, diantaranya:
1. Siaran langsung pengajian di Masjid Sulaiman Fauzan Al-Fauzan Bagik
Nyaka yang diisi oleh asatidzah ahlussunnah
2. Siaran langsung kajian ilmiyah dari studio
3. Siaran langsung dialog interaktif permasalahan umum di masyarakat
4. Siaran dari radio luar yang tergabung dalam jaringan radio dan TV
Islam Indonesia
5. Materi kajian manhaj salaf dari CD/MP3 yang dibeli dari produsen
secara lepas
76
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Masjid kini mengalami perluasan peran untuk tidak hanya sebagai tempat
ibadah, tetapi juga sebagai wadah pembentukan identitas dan ersaingan ideologis,
pencarian dan penguatan otoritas keagamaan elit kelompok keagamaan. Sehingga
tidak dapat dihindari kondisi ini berimplikasi terhadap terjadinya penguatan simbol
fragmentasi sosial, dimana antar kelompok saling menegasikan. Kehadiran kelompok
Salafi memberikan fenomena baru, dimana lahirnya Masjid-Masjid baru yang
berafiliasi dengan gerakan ini memperoleh apresiasi di satu sisi dan tensi di sisi lain.
Apresiasi karena memang Jama’ah dan Masjid Salafi mengalami pertumbuhan
terutama di Desa Bagek Nyake, Bebidas dan Suela. Sedangkan tensi, karena memang
sebagian besar Masjid baru Salafi kalau tidak diawali atau diikuti oleh tensi social,
baik konflik fisik, konflik ideologis, maupun tensi sosial. Kasus pendirian Masjid
Jamaludin Bagek Nyake, pengambil alihan Masjid Assunnah An-Nur Bebidas, dan
perusakan Masjid Ummu Sulaiman Suela membuktikan kecenderungan ini.
Bagi Salafi, fragmentasi sosial baik dalam bentuk konflik, pemutusan
hubungan kelaurga, perceraian, pemisahan Masjid, dan persaingan pengeras suara,
dan sejumlah tensi social lainnya, tidak dijadikan halangan dalam mengembangan
ekspansinya. Kondisi ini dipandang sebagai proses untuk membuktikan bahwa
membawa “kebenaran” memiliki rintingan. Dalam faktanya, di tengah penolakan
Islam mainstream gerakan Salafi tetap mengalami pertumbuhan, dan karenanya
semakin mengukuhkan eksistensinya, kelompok keagamaan yang siap bersaing.
Kemana arah dinamika ini selanjutnya, tentu sangat ditentukan oleh dinamika social
di masing-masing tempat.
B. Saran
Pergulatan internal Islam yang kini melibatkan Masjid menyisakan sejumlah
persoalan. Maka berdasarkan temuan dan hasil penelitian ini, ada beberapa saran
yang dapat dijadikan informasi kualitatif dan empiris sebagai salah satu aspek yang
dapat dipertimbangkan dalam membina kerukunan internal umat beragama. Pertama,
77
dalam batas tertentu dibutuhkan intervensi Negara, tanpa menghilangkan keragaman
identitas komunal kelompok keagamaan. Setidaknya ada tiga hal yang perlu
dilakukan. (1) Dibutuhkan regulasi operasinal yang lebih spesifik untuk mengatur
ekspresi muatan ideologi di dalam Masjid, untuk tidak menyinggung satu aliran ke
aliran lain; (2) dibutuhkan kebijkan eksplisit dan pendekatan holistik yang
memastikan bahwa dakwah di Masjdi yang berlangsung sesuai dengan prinsip-
prinsip hikmah dan mauizah, bersifat terbuka; (3) Kerjasama yang lebih integratif
antara Kemenag dengan Ormas keagamaman harus semakin diintensifkan sesuai
dengan kebutuhan kontemporer. Kedua, Ormas keagamaan hendaknya menempatkan
Masjid sebagai wadah universal untuk setiap Muslim apapun kelompoknya. Sharing
ruang untuk saling berdialog sudah saatnya semakin dibuka dan intensif dilakukan.
78
DAFTAR PUSTAKA
al-Suhaimy, Abd al-Salam ibn Salim. Kun Salafiyyan ‘ala al-Ja>ddah. Madinah al-
Nabawiyah, tp. 1423 H. Althusser, Louis. Ideology and Ideological State Apparatuses, in In Literary Theory:
An Anthology, Second edition, edited by Julie Rivkin and Michael Ryan, Maiden USA, Blackwell Publishing. 2004.
_________. On The Reproduction of Capitalism Ideology and Ideological State
Apparatuses. London: Verso, 1971. _________. Lenin and Philosophy and Other Essays. London: New Left Books,
1971. Alvi, Hayati. “The Diffusion of Intra-Islamic Violence and Terrorism: The Impact of
the Proliferation of Salafi/Wahabi Ideologies.” Middle East Review of International Affairs 18, (2), 2014.
Arzaki, Djalaludin, dkk. Nilai-nilai Agama dan Kearifan Budya Lokal Suku Bangsa
Sasak dalam Pluralisme Bermasyarakat: Sebuah Kajian Antthropologis-Sosiologis-Agamis. Mataram: Redam, 2001.
Azra, Azyumardi. Distinguishing Indonesian Islam Some Lessons to Learn, dalam
Jajat Burhanuddin dan Kees van Dijk (eds.), Islam in Indonesia Contrasting Images and Interpretations. Amsterdam: ICAS/Amsterdam University Press, 2013.
Badan Statistik NTB, Nusa Tenggara Barat dalam Angka tahun 2013. Burhanuddin, Jajat. “Redefening the Roles of Islamic Organizations in the Reformasi
Era”. Studia Islamika, Vol. 17, No. 2, 2010. Chaplin, Chris. Imagining the Land of the Two Holy Mosques: The Social and
Doctrinal Importance of Saudi Arabia in Indonesian Salafi Discourse, ASEAS – Austrian Journal of South-East Asian Studies, 7 (2). 2014.
Faizah, Pergulatan Teologi Salafi dalam Maenstream Keberagamaan Masyarakat
Sasak, Ulumuna Jurnal Studi Keislaman, Volume 16, no. 2, 2012. H. Sudirman, Gumi Sasak dalam Sejarah (Bagian I). Lombok: KSU Primaguna-
Pusat Studi dan Kajian Budaya, 2012. Hefner, Robert W. “Public Islam and the problem of Democratization”.Sociology of
Religion : 62:4, 2001.
79
_________. Islamic Schools, Social Movements, and Democrasy in Indonesia, dalam Robert W. Hefner (ed.) Making Modern Muslims the Politics of Islamic Education in Southeast Asia. Honolulu: University of Hawai Press, 2009.
Liow. Joseph Chinyong. "Muslim Identity, Local Networks, and Transnational Islam
in Thailand's Southern Border Provinces." Modern Asian Studies 45, no. 6 (11, 2011).
Maguerite G. Lodico, Dean T. Spaulding, Katherine H. Voegtle, Methods in
Educational Research From Theory to Practice. Fransisco: Jossey-Bass, 2010. Martin van Bruinessen, Contemporary Developments in Indonesian Islam Explaining
the “Conservative Turn.” Singapore: ISEAS, 2013. Meuleman, J. Dakwah, competition for authority, and development. Bijdragen Tot
De Taal-, Land- En Volkenkunde, 167 (2), (2011). Milles, Matthew B. dan A. Michael Huberman. Qualitative Data Analysis: A
Sourecbook of New Methods. Bavery Hills: Sage Publication, 1986. Montag, Warren. "Between Interpellation and Immunization: Althusser, Balibar,
Esposito." Postmodern Culture 22, no. 3 (05), 2012.. Murdianto dan Azwani, Dakwah dan Konflik Sosial Jama’ah Salafi di Gunungsari
Lombok Barat, Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 9, nomor 2, 2013. Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, 149 Noorhaidi Hasan, “The Salafi Madrasas of Indonesia,”dalam Farish A. Noor,
Yonginder Sikand Martin van Bruinessen (eds.), The Madrasa in Asia Political Activism and Transnational Lingkages. Amsterdam: Amsterdam University Press, 2007.
Northcott, Michael S. Sociological Approaches, dalam Peter Connoly (ed.)
Approaches to the Study of Religion, 193-194. Nuh, Nuhrison M. Kelompok Salafi di Kabupaten Lombok Barat, dalam Ahmad
Syafi’I Mufid (ed.), Kasus-Kasus Aliran/Paham Kegamaan Aktual di Indonesia. Jakarta: Balitbangdiklat Depag., 2009.
Rabasa, Angel M. "Islamic Education in Southeast Asia." Current Trends in Islamist
Ideology 2 (2005). _________. "Radical Islamist Ideologies in Southeast Asia." Current Trends in
Islamist Ideology 1 (2005). Saparudin, Pemutusan Hubungan Keluarga Berdasarkan Afiliasi Lembaga
Keagamaan, Laporan Penelitian Dosen Muda. DP2M Dikti, 2007.
80
_________. Salafism, State Recognition, and Social Tension: New Trend Islamic
Education in Lombok. Ulumuna Journal of Islamic Studies, vol. 21, no. 1, 2017.
Singleton, Royce A. dan Bruce C Straits. Approaches to Social Research Thrid
Edition New York: Oxford University Press, 1999. Sofie, Anne Roald, Tarbiya: Education and Politic in Islamic Movement in Jordan
and Malaya , Lund Studies in History of Religius Vol. 3 (Lund, Routledge Taylor & Francis Group, 1994).
Tan, Charlene. Educative Tradition and Islamic school in Indonesia, Journal of
Arabic and Islamic Studies, 14 (2014). Wahid, Abdurrahman (ed.). Ilusi Negara Islam Ekspansi Gerakan Islam
Transnasional di Indonesia. Jakarta: Wahid Institut, Maarif Institut dan Gerakan Bhineka Tunggal Ika, 2009.
Wahid, Din. Nurturing The Salafi Manhaj: A Studi of Salafi Pesantren in
Contemporay Indonesia, Dissertation. Utrecht University Nederland, 2014. Wiener, Antje. “The Quality of Norms is What Actors Make of It Critical
Constructivist Research of Norms”, Journal of International Law and International Relation, Vol. 5, No. 1, (2009).
_________. A Theory of Contestation. New York: Springer, 2014. Wiktorowicz, Quintan. “The Salafi Movement in Jordan.” International Journal of
Middle East Studies 32, (2), 2000.
JADWAL PENELITIAN Penelitian ini akan dilakukan selama tujuh bulan dengan perincian sebagai
berikut:
Jenis Kegiatan Bulan
I II III IV V VI VII
Penulisan Proposal
Pengumpulan Data
Pemetaan dan Analisis Data
Penulisan Laporan Sementara
Seminar Progress Report
Penyempurnaan Laporan
Publikasi Hasil Penelitian
*Jadwal tersebut bersifat fleksibel sesuai dengan kebutuhan di lapangan
TIM PENELITI
Ketua :
Nama : Dr. Saparudin, M.Ag NIP : 197810152007011022 Pangkat/Golongan : Penata Tk. I (III/d) Jabatan Fungsional : Lektor Tempat Tanggal Lahir : Lombok Tengah, 15 Oktober 1978 Jenis Kelamin : Laki-laki Instansi Tempat Kerja : Fak. Tarbiyah dan Keguruan UIN Mataram Bidang Keahlian : Sosiologi Pendidikan Islam Alamat : Jl. Taebah No. 21 Kekait Gunungsari Lombok Barat Nomor Telepon/HP : 081805200441 Emil : [email protected]
Latar Belakang Pendidikan : Jenjang Program/Kosentrasi Tahun Selesai Perguruan Tinggi
S1 Pendidikan Agama Islam 2001 IAIN Mataram
S2 Pendidikan Islam 2004 Univ. Muhammadiyah Malang
S3 Pendidikan Islam 2017 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pengalaman Penelit ian : Tahun JudulPenelit ian Status Sumber Dana
2017 Perkembangan Dakwah Salafi di Indonesia
Asisten Peneliti PPIM UIN Jakarta
2016 Salafism, State Recognition, and Social Tension: New Trends Islamic Education in Lombok
Ketua PIES Project –Australian National University
2015 Infilterasi Ideologi Transnasional dalam Pendidikan Islam: Studi Sekolah Salafi di Lombok
Ketua Diktis Kemenag RI
2014 Bias Ideologi dalam Konstruksi Bahan Ajar Keislaman Studi pada Lembaga Pendidikan NU dan Muhammadiyah
Ketua DIPA IAIN Mataram
2006 Konversi Prilaku Kebegaramaan Masyarakat Islam di Lombok
Ketua DP2M Dikti Diknas (Penelitian Dosen Muda)
2007 Pemutusan Hubungan Keluarga Berdasarkan Afiliasi Lembaga Keagamaan di Lombok Timur
Ketua DP2M Dikti Diknas (Penelitian Dosen Muda)
2010 Penyelenggaraan Perguruan Tinggi Anggota DIPA IAIN Mataram
Pesantren dan Implikasinya terhadap Perubahan Orientasi Santri di Ponpes Qamarul Huda Loteng
2011 Relevansi Status Akreditasi terhadap Peningkatan Tata Kelola MA Swasta di Lombok Barat
Ketua DIPA IAIN Mataram
2012 Pemetaan Kajian Pendidikan Islam pada Berkala Ilmiah di IAIN Mataram
Ketua DIPA IAIN Mataram
Anggota:
Nama : Dr. Emawati, M. Ag NIP : 197705192006042002 Pangkat/Golongan : Penata Tk. I (III/d) Jabatan Fungsional : Lektor Tempat Tanggal Lahir : Klaten 19 Mei 1977 Jenis Kelamin : Perempuan Instansi Tempat Kerja : Fak. Tarbiyah dan Keguruan UIN Mataram Bidang Keahlian : Pemikiran Pendidikan Islam Alamat : Jl. Neptunus Raya C/78, BTN BHP Labuapi Lombok Barat Nomor Telepon/HP : 08175745131 Emil : [email protected]
Latar Belakang Pendidikan : Jenjang Program/Kosentrasi Tahun Selesai Perguruan Tinggi
S1 Bahasa dan Sastra Arab 1999 IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
S2 Pendidikan Islam 2003 IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
S3 Studi Islam 2018 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Karya Ilmiah dan Penelitian:
Tahun Judul Penelit ian Status Sumber Dana
2010 Pengembangan Model Bahan Ajar Bahasa Arab Inklusi Tafsir Maudhu’i untuk Meningkatkan Kemampuan Literasi Bahasa Arab mahasiswa PTAI.
Anggota Diktis Kementerian Agama
2010 Pengembangan Paket Pendidikan Nilai dalam Mata Pelajaran Pendidikan
Ketua DIPA IAIN Mataram
Agama Islam (PAI) pada Tingkat Sekolah Dasar di Kota Mataram.
2011 Hadith dan Sunnah: Landasan Tradisi Dalam Islam (Analisis Historis Terminologis), artikel dalam Jurnal Ulumuna, Vol. x, No. 2, Juli-Desember 2011.
Ketua -
2013 Pengembangan Model Pembelajaran Gramatika Bahasa Arab Berbasis Al-Qur’an di Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Iain Mataram.
Ketua DIPA IAIN Mataram
2014 Partisipasi Masyarakat Muslim Desa Sesaot Kecamatan Narmada dalam Upaya Pelestarian Hutan.
Ketua DIPA IAIN Mataram
2006 Menemukan Makna Aurat dalam Tafsir Al- Qur’an Klasik dan Kontemporer, artikel dalam Jurnal Ulumuna, Vol. x, No. 2, Juli-Desember 2006.
Ketua -
2007 Filsafat Pendidikan Islam, Diktat Bahan Ajar untuk Jurusan PAI, Fakultas Tarbiyah, Tahun 2007.
Ketua -
2009 Pembelajaran Bahasa Arab, Diktat Bahan Ajar untuk Program Kualifikasi PGMI, Fakultas Tarbiyah, Tahun 2009.
Ketua -
2010 Al-Mar’ah fi Riwa>yah Maut al-Rajul al-Wahi>d ‘ala al-Ardh li Nawa>l al- Sa’dawi, (Dira>sah Tahli>liyyah Ijtima>’iyyah fi al-Adab), artikel dalam Jurnal Qawwam, Vol. 6, No. 2, Juli-Desember 2010.
Ketua -
ANGGARAN BIAYA (terlampir)
Log Book Kegiatan Penelitian 2018
Nama Ketua : Dr. Saparudin, M. Ag
No Registrasi Proposal : 171020000008426
Jenis Penelitian : PDPPS
Judul Penelitian : Masjid dan Fragmentasi Sosial : Pencarian Eksistensi Salafi di Tengah Mainstream Islam di Lombok Tahun 2018
No Tanggal Kegiatan Data yang diperoleh
Dokumen Penting
1 5 Juli 2018 Observasi ke Desa Bagik Nyake dan Suela
Lokasi masjid salafi di desa-desa tersebut
Nama-nama masjid jamaah salafi
2 5 September 2018
Wawancara dengan Bapak Kades Bagik Nyake dan TG Manar dan dokumentasi.
Keterangan mengenai dinamika gerakan salafi dalam masyarakat Desa Bagik Nyake dan Perkembangan Ponpes Jamaludin
rekaman wawancara dan foto dokumen wawancara dan profil Desa Bagik Nyaka
3 7 September 2018
Wawancara dengan TG Manar
Penjelasan tentang kronologi pendirian Ponpes Jamaludin dan fungsi masjid Jamaludin
Rekaman wawancara dan foto dokumen wawancara
4 8 September 2018
Wawancara dengan Ust. Sofyan
Keterangan mengenai sejarah awal dakwah Salafi di Lombok Timur.
Rekaman wawancara dan foto dokumen wawancara
5 9 September 2018
Wawancara dengan Ust. Sofyan
Keterangan mengenai kronologi pertumbuhan gerakan Salafi di Lombok Timur .
Rekaman wawancara dan foto dokumen wawancara
6 11 September 2018
Wawancara dengan Ust. Nawawi dan Amaq Ati
Keterangan mengenai penyebaran Salafi di Desa Bebidas.
Rekaman wawancara dan foto dokumen wawancara
7 20 September 2018
Wawancara dengan Ust. Sofyan dan Observasi kegiatan keagamaan masyarakat di Desa Karang Baru.
Penjelasan tentang Masjid dan konflik dalam masyarakat Bagek Nyaka.
Rekaman wawancara dan foto dokumen wawancara dan catatan lapangan tentang kegiatan keagamaan masyarakat Desa Karang Baru
8 1 Oktober 2018 FGD Masukan pengayaan data
Daftar Hadir FGD
9 5 Oktober 2018 Wawancara dengan Ust. Nawawi dan observasi lokasi masjid An-Nur.
Penjelasan tentang latar belakang berdirinya masjid An-Nur di Desa Bebidas
Rekaman wawancara dan foto dokumen wawancara dan kegiatan masyarakat di masjid An-Nur
10 6 Oktober 2018 Wawancara dengan Ahya
Keterangan mengenai ihwal perbedaan pemahaman dalam satu keluarga dalam masyarakat Bagek Nyaka.
Rekaman wawancara dan foto dokumen wawancara
11 7 Oktober 2018 Wawancara dengan H. Sudirman dan Ust. Nawawi
Keterangan mngenai pengembalian fungsi masjid sebagai mushalla dan penjelasan tentang pengambil alihan masjid umum oleh jamaah Salafi di
Rekaman wawancara dan foto dokumen wawancara
Desa Bebidas.
12 13 Oktober 2018 Wawancara dengan Husna, Ust. Syafi’, dan Ust. Sabri Hadi dan observasi di Masjid Sulaiman Al-Fauzan Bagek Nyaka
Keterangan mengenai kendala penyebaran Salafi di Bebidas dan informasi mengenai pendirian Masjid Sulaiman Al-Fauzan Bagek Nyaka.
Rekaman wawancara dan foto dokumen wawancara dan Kegiatan keagamaan di Masjid Sulaiman Al-Fauzan.
13 14 Oktober 2018 Wawancara dengan Ust. Nurudin
Keterangan mengenai konsep bid’ah sebagai sumber konflik
Rekaman wawancara dan foto dokumen wawancara
14 20 Oktober 2018 Wawancara dengan Ust. Sofyan, Ust. Syafi’, dan Ust. Ramli
Tentang pengerusakan masjid Salafi di Desa Suela dan Pembangunan Masjid Ummu Sulaiman.
Rekaman wawancara dan foto dokumen wawancara
15 21 Oktober 2018 Wawancara dengan Amaq Ati dan observasi kegiatan di masjid……
Penggantian nama Masjid An-Nur menjadi Masjid As-Sunnah An-Nur di Desa Bebidas dan kegiatan keagamaan jamaah Salafi di Masjid tersebut.
Rekaman wawancara dan foto dokumen wawancara dan hasil pengamatan kegiatan keagamaan.
Saparudin Saparudin: Thank you for submitting the manuscript, "MASJID DAN FRAGMENTASI SOSIAL: Penguatan Eksistensi Salafi di Tengah Mainstream Islam di Lombok" to Analisa: Journal of Social Science and Religion. With the online journal management system that we are using, you will be able to track its progress through the editorial process by logging in to the journal web site: Manuscript URL: https://blasemarang.kemenag.go.id/journal/index.php/analisa/author/submission/694 Username: saparudin If you have any questions, please contact me. Thank you for considering this journal as a venue for your work. Noviani Analisa: Journal of Social Science and Religion ________________________________________________________________________ Analisa http://blasemarang.kemenag.go.id/journal/index.php/analisa
1
Artikel Hasil Penelitian
MASJID DAN FRAGMENTASI SOSIAL: Penguatan Eksistensi Salafi di Tengah Mainstream Islam di Lombok
Oleh:
Dr. Saparudin, M.Ag Dr. Emawati, M.Ag
PUSAT PENELITIAN DAN PUBLIKASI ILMIAH LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA
MASYARAKAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM
TAHUN 2018
No. Reg. 171020000008426/PDPPS
2
MASJID DAN FRAGMENTASI SOSIAL: Penguatan Eksistensi Salafi di Tengah Mainstream Islam di Lombok
Saparudin197 Emawati198
Abstract: Penguatan eksistensi Salafi yang diwujudkan dalam penyebaran dan pemisahan tempat ibadah dengan kelompok Muslim mainstream memiliki resistensi sosial. Pembangunan Masjid baru Salafi kerap disertai ketegangan sosial dan konflik. Studi ini bertujuan untuk menganalisis petumbuhan Masjid-Masjid Salafi dan pembentukan identitas ideologis - dalam dan melalui Masjid, dan implikasi sosiologisnya terhadap terjadinya fragmentasi sosial masyarakat Islam sekitar Masjid. Selaras dengan isu ini, maka dipandang relevan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi dan sosiologi dijadikan sebagai cognitive framework. Berdasar kecenderungan empiris studi ini menunjukkan bahwa Masjid kini mengalami pergeseran untuk tidak hanya sebagai tempat pembentukan identitas ideologis tertentu, juga sebagai wadah pencarian dan penguatan otoritas keagamaan elit komunal kelompok keagamaan. Di sisi lain, fragmentasi sosial tidak lagi terbatas karena perbedaan paham keagamaan, tetapi lebih jauh kontestasi dan proses peneguhan eksistensi komunal dalam mengontrol otoritas keagamaan dan masyarakat Islam. Bagi Salafi, memiliki Masjid sendiri bermakna secara teologis menjaga manhaj salaf, Islam murni bebas dari bid’ah, dan secara ideologis bermakna memiliki ruang untuk menanamkan dan menyebarkan prilaku keagamaan sesuai dengan paham yang dianutnya.
Kata-Kata Kunci: Salafi, Masjid, konflik, ideologi keagamaan, puritan, manhaj salaf
LATAR BELAKANG
Reformasi yang digulirkan sejak 1998 membuka ruang bagi gerakan keagamaan
untuk mengekspresikan dan mengembangkan identitas ideologisnya di ruang publik.
Hasil analisis Bruinessen199, dan Hefner200 menunjukkan bahwa kebangkitan gerakan
keagamaan sejak reformasi menandai semakin beragamnya corak dan oreintasi gerakan,
baik yang bersifat demokratis, progressif maupun konservatif, dan bahkan radikal.
197 Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Mataram, email. [email protected] 198 Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Mataram, email. [email protected] 199Martin van Bruinessen, Contemporary Developments in Indonesian Islam Explaining the
“Conservative Turn” (Singapore: ISEAS, 2013), 21-53. 200Robert W. Hefner, Islamic Schools, Social Movements, and Democrasy in Indonesia, dalam
Robert W. Hefner (ed.) Making Modern Muslims the Politics of Islamic Education in Southeast Asia (Honolulu: University of Hawai Press, 2009), 55-98. Lihat jugaRobert W. Hefner.“Public Islam and the problem of Democratization”.Sociology of Religion (2001): 62:4, 491-514.
3
Bahkan gerakan Islam transnasional semisal Salafi, Hizbut Tahrir Indonesia, Jama’ah
Islamiyah, Tarbiyah Ikhwan al-Muslimin dan Jama’ah Tabligh, dan sejumlah kelompok
semisal Forum Komunikasi Ahlu-Sunnah Wal-Jama’ah (FKASWJ), Lasykar Jihad,
Front Pembela Islam (FPI) juga mendapat momentum untuk tumbuh.201 Lebih jauh,
menurut Meuleman kondisi ini semakin mengintensifkan rivalitas antar kelompok
gerakan keagamaan, yang melibatkan sentiment ideologis lintas Negara.202
Di tengah keragaman di atas, kelompok Salafi, - sebagaimana yang akan
ditunjukkan merupakan salah satu kelompok keagamaan yang memiliki dinamika yang
unik. Meski memperoleh tantangan dan resistensi dari kelompok Islam mainstream
yang sudah mapan, namun tetap memiliki progress dan sebaran yang tinggi di tengah
keragaman tersebut.203 Gerakan Salafi menghadirkan corak baru pola keberagamaan di
Indonesia. Meski secara kuantitatif masih menjadi kelompok minoritas, namun Masjid
dan lembaga pendidikan yang berafiliasi dengan salafi terus tumbuh dan memberikan
implikasi terhadap perubahan social keagamaan di Indonesia.204
Dalam konteks Lombok, meski tidak diketahui secara pasti kapan gerakan Salafi
diperkenalkan di daerah ini, - dengan menandaskan diri pada manhaj salaf,205 kelompok
ini berkembang secara signifikan, dan terlibat secara aktif dalam pembentukan struktur
dan kultur keberagamaan masyarakat Sasak.206 Merasa memperoleh legalitas normatif
generasi salaf al-sha>leh, kelompok ini meneguhkan dirinya sebagai gerakan Islam
murni, untuk memurnikan keberislaman masyarakat. Tidak heran jika dalam praktiknya,
kelompok ini mengusung apa yang disebut Charlene Tan sebagai sectarian brand of
wahabisme207 untuk purifikasi dan menegasikan pola keberagamaan kelompok lain.
201Azyumardi Azra, Distinguishing Indonesian Islam Some Lessons to Learn, dalam Jaja t
Burhanuddin dan Kees van Dijk (eds.), Islam in Indonesia Contrasting Images and Interpretations. Amsterdam: ICAS/Amsterdam University Press, 2013), 72-73.
202Meuleman, J. (2011). Dakwah, competition for authority, and development. Bijdragen Tot De Taal-, Land- En Volkenkunde, 167(2), 236.
203 Saparudin, Salafism, State Recognition, and Social Tension: New Trend Islamic Education in Lombok. Ulumuna Journal of Islamic Studies, vol. 21, no. 1, 2017.
204Robert W. Hefner, Islamic Schools, Social Movements, 91. 205Abd al-Salam ibn Salim al-Sahimy, Kun Salafiyyan ‘ala al-Ja>ddah (Madinah al-Nabawiyah,
tp. 1423 H.), 50-51. 206Sasak merupakan suku asli masyarakat Lombok. Berdasarkan temuan bukti-bukti arkeologis
prasejarah Gumi Sasak, asal-usul suku Sasak adalah ras Mongoloid di Asia Tenggara, pencampuran dari suku Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Bali, dan Nusa Tenggara. Lihat H. Sudirman, Gumi Sasak dalam Sejarah (Bagian I), (Lombok: KSU Primaguna- Pusat Studi dan Kajian Budaya, 2012), 1, 16.
207Charlene Tan, Educative Tradition and Islamic school in Indonesia, Journal of Arabic and Islamic Studies, 14 (2014):47-62. 60
4
Di tengah stereotype negatif dan resistensi dari kelompok mainstream Nahdlatul
Wathan (NW) dan Nahdlatul Ulama (NU), gerakan Salafi menunjukkan dinamika dan
memperoleh apresiasi yang semakin tinggi dari masyarakat. Hal ini ditandai tidak hanya
perkembangan jumlah Masjid dan lembaga pendidikan yang diselenggarakan, juga
jumlah pengikut yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Beberapa lembaga
pendidikan, seperti Ponpes: Abu Hurairah, Ubay bin Ka’ab dan Imam Syafi’i Mataram;
Abu Zar al-Ghifari, dan Abu Abdillah Lombok Barat, al-Sunnah, al-Manar, al-Shifa’,
Anas bin Malik dan Jamaludin Lombok Timur; dan Abu Darda di Lombok Tengah,208
dapat disebut sebagai beberapa contoh yang memberikan akselerasi gerakan Salafi.
Tumbuh di tengah kultur keberagamaan mainstream NW dan NU, gerakan Salafi
menempatkan Masjid sebagai wadah dan networking gerakan utama, di samping
lembaga pendidikan. Penempatan Masjid sebagai basis gerakan sebagaimana diamati
Chaplin, secara sosiologis dan teologis memiliki implikasi psikologis, tidak hanya
dipandang tempat sakral juga aktivitas di dalamnya merupakan ibadah. Ustaz Abdullah,
Pimpinan Ponpes Assunnah, dan Ustaz Syafi’, Pimpinan Ponpes Anas bin Malik
Lombok Timur menuturkan tidak kurang dari 90 Masjid Salafi tersebar di Lombok
dalam 15 tahun terakhir. Meskipun jumlah ini tidak signifikan jika dibandingkan jumlah
Masjid yang mencapai 3.928209 di daerah ini, namun jumlah ini akan terus bertambah
bersamaan dengan semakin besarnya dukungan Arab Saudi dan semakin opensif dan
intensifnya dakwah Salafi di tempat ini.
Bertambahnya jumlah Masjid, bagi salafi tidak semata-mata sebagai indikator
pertumbuhan proponen, lebih dari itu juga pembentukan identitas ideologis baru
masyarakat sasak. Konskuensinya, jika tidak dapat mengontrol aktivitas keagamaan di
suatu Masjid, maka kelompok Salafi bersikukuh memiliki Masjid tersendiri, terpisah
dari Masjid masyarakat sekitar pada umumnya, meskipun secara geografis berdekatan.
Sehingga dalam satu dusun di beberapa desa dapat dengan mudah ditemui sejumlah
Masjid yang saling berdekatan dengan tipologi jama’ah dan paham keagamaan yang
berbeda. Label “Masjid Salafi” atau “Masjid Wahabi” kerap diperlawankan dengan
“Masjid Umum”. Memiliki Masjid sendiri bermakna secara teologis menjaga manhaj
salaf, Islam murni bebas dari bid’ah, dan secara ideologis bermakna memiliki ruang
208 Saparudin, Salafism, State Recognition, and Social Tension: New Trend Islamic Education in
Lombok. Ulumuna Journal of Islamic Studies, vol. 21, no. 1, 2017, 81- 90. 209Badan Statistik NTB, Nusa Tenggara Barat dalam Angka tahun 2013 , 223.
5
untuk menanamkan dan menyebarkan prilaku keagamaan sesuai dengan paham yang
dianutnya. Pada gilirannya, Masjid hanya akan memperkuat eksistensi ideologis dan
menjadi sarana yang ampuh dan instrumen legimitasi sektarian kelompok tertentu.
Sikap puritan Salafi yang diwujudkan dalam pemisahan tempat ibadah dengan
kelompok Muslim mainstream memiliki resistensi sosial. Sebagian besar dari
pembangunan Masjid baru Salafi selalu disertai ketegangan sosial dan konflik. Sejauh
identifikasi awal, setidaknya ada 14 konflik keagamaan yang melibatkan Salafi dengan
mainstream Islam Lombok, dimana Masjid Salafi kerap menjadi objek. Semakin
meningkatnya tensi sosial yang melibatkan sentiment teologis-ideologis, dimana
perusakan Masjid dan rumah, serta pengusiran jama’ah Salafi kerap terjadi. Dampak
lebih jauh, sejumlah kasus pemutusan hubungan sosial dan pemutusan hubungan
keluarga antara anak dengan orang tua, antar saudara, dan perceraian karena perbedaan
afiliasi paham keagamaan dan pilihan Masjid, kini menjadi fenomena baru. Pada
akhirnya, masyarakat dipisahkan berdasarkan afiliasi paham keagamaan dan Masjid.
Terjadinya fragmentasi sosial di atas, tidaklah semata-semata dipengaruhi isu
teologis perbedaan paham keagamaan, sebagaimana temuan Chaplin,210 Liow,211
Wiktorowicz,212 Alvi,213 Murdianto dan Azwani,214 Fauziah,215 dan Nuhr ison M.
Nuh.216 Lebih dari itu, juga kontestasi pembentukan dan peneguhan eksistensi komunal
Salafi di tengah mainstream. Perbedaan paham keagamaan kini berkembang ke rivalitas
kelompok untuk mengontrol otoritas keagamaan dan masyarakat. Hal ini dilakukan
bersamaan dengan semakin konfidennya kelompok Salafi atas dukungan ideologis dan
finansial sejumlah donatur Timur Tengah dalam melakukan dakwah. Pada saat yang
bersamaan, bagi NW dan NU, perkembangan Salafi merupakan rival ideologis bahkan
210Chaplin, Chris. 2014. Imagining the Land of the Two Holy Mosques: The Social and Doctrina l
Importance of Saudi Arabia in Indonesian Salafi Discourse, ASEAS – Austrian Journal of South-East Asian Studies, 7 (2).
211Joseph Chinyong Liow, "Muslim Identity, Local Networks, and Transnational Islam in Thailand's Southern Border Provinces." Modern Asian Studies 45, no. 6 (11, 2011): 1383-421.
212Wiktorowicz, Quintan. 2000. “The Salafi Movement in Jordan.” International Journal of Middle East Studies 32, (2).
213Hayat Alvi. 2014. “The Diffusion of Intra-Islamic Violence and Terrorism: The Impact of the Proliferation of Salafi/Wahabi Ideologies.” Middle East Review of International Affairs 18, (2), 380.
214Murd ianto dan Azwani, Dakwah dan Konflik Sosial Jama’ah Salafi di Gunungsari Lombok Barat, Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 9, nomor 2, 2013.
215Faizah, Pergulatan Teologi Salafi dalam Maenstream Keberagamaan Masyarakat Sasak, Ulumuna Jurnal Studi Keislaman, Volume 16, no. 2, 2012.
216Nuhrison M. Nuh, Kelompok Salafi di Kabupaten Lombok Barat, dalam Ahmad Syafi’I Mufid (ed.), Kasus-Kasus Aliran/Paham Kegamaan Aktual di Indonesia (Jakarta: Balitbangdiklat Depag., 2009).
6
ancaman baru. Sebagai kelompok dominan yang telah lama menjadikan tradisi sebagai
ekspresi keislaman, NU dan NW memandang bahwa penegasian Salafi ini adalah sikap
provokatif dan mengabaikan perbedaan paham keagamaan. Ketegangan semakin terasa
ketika terjadinya konversi sejumlah jamaahnya ke Salafi,217 dan adanya beberapa
Masjid yang awalnya berafiliasi dengan dua Ormas tersebut kini berada di bawah
kontrol elit Salafi.
Berdasarkan realitas di atas, riset statement yang diajukan adalah Masjid kini
mengalami pergeseran untuk tidak hanya sebagai tempat pembentukan identitas
ideologis tertentu, juga sebagai wadah pencarian dan penguatan otoritas keagamaan elit
komunal kelompok keagamaan. Bahkan Masjid menjadi simbol fragmentasi sosial,
dimana antar kelompok saling menegasikan dan membangun sterotype negatif di
dalamnya pada tingkat lokal. Di sisi lain, fragmentasi sosial tidak lagi terbatas karena
perbedaan paham keagamaan, tetapi lebih jauh kontestasi dan proses peneguhan
eksistensi komunal dalam mengontrol otoritas keagamaan dan masyarakat Islam. Studi
ini difokuskan untuk menganalisis petumbuhan Masjid-Masjid Salafi, pembentukan
identitas ideologis di dalamya, dan implikasi sosiologisnya terhadap terjadinya
fragmentasi sosial masyarakat Islam sekitar Masjid.
METODE PENELITIAN Sesuai isu yang dikaji, studi ini menggunakan metode kualitatif dengan
pendekatan fenomenologi dan sosiologi sebagai perspektif analisis. Relevansi metode
kualitatif karena menitikberatkan pada fenomena sosial yang melibatkan pemaknaan,
pengalaman keagamaan, keyakinan, dan interaksi social subyek yang diteliti. 218
Fenomenologi dipandang relevan karena yang dikaji adalah konstruksi yang
mengandung pemaknaan dan manifestasi ideologi keagamaan yang tercermin dalam
prilaku, aktivitas dan interaksi ideologis di dalam Masjid Sedangkan pendekatan
sosiologi yang memberikan perhatian pada hubungan interaksi dan konstruksi sosial,219
digunakan untuk melihat bagaimana relasi, interaksi dan kontestasi dalam pencarian
217Saparudin, Pemutusan Hubungan Keluarga Berdasarkan Afiliasi Lembaga Keagamaan, Laporan Penelitian Dosen Muda. DP2M Dikti, 2007.
218Maguerite G. Lodico, Dean T. Spaulding, Katherine H. Voegtle, Methods in Educationa l Research From Theory to Practice (Fransisco: Jossey-Bass, 2010), 142-143.
219Michael S. Northcott, Sociological Approaches, dalam Peter Connoly (ed.) Approaches to the Study of Religion, 193-194.
7
eksistensi Salafi dalam mengkonstruk dan mempertahankan identitas ideologisnya.
Adanya interaksi baik dalam bentuk justifikasi maupun penegasian dan konflik sebagai
respon mainstream Islam terhadap dinamika Salafi merupakan alasan utama mengapa
pendekatan sosiologi dipandang relevan. Selanjutnya, dua pendekatan ini diguanakan
untuk menganalisis pergulatan Salafi dengan Islam mainstream melalui Masjid, masing-
masing Masjid Jamaludin Bagek Nyaka, Masjid Assunnah Ummu Sulaiman Suela, dan
Masjid Assunnah An-Nur Bebidas Lombok Timur.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dinamika Salafi di Lombok
Dalam konteks Lombok, tidak dapat diketahui secara pasti sejak kapan gerakan
Salafi untuk pertama kalinya diperkenalkan di daerah ini. Selain karena minimnya
kajian-kajian tentang gerakan ini, juga fenomena Salafi dipandang sebagai realitas yang
relatif baru dibandingkan dengan NW, NU, dan Muhammadiyah. Hasil pelacakan jejak
kelompok ini, Tuan Guru Husni (alm.) Bagek Nyake Lombok Timur dipandang sebagai
tokoh utama yang pertama kalinya memperkenalkan Salafi di Lombok pada tahun
1989.220 Tuan Guru Husni adalah sosok yang dibesarkan di lingkungan keluarga NU.
Orang tuanya Abdul Manan adalah salah seorang tuan guru yang kharismatik dan
disegani. Tuan Guru Husni menghabiskan masa mudanya untuk belajar dan sebagai
tenaga pengajar di Mekkah. Perbedaan setting sosial ini, Tuan Guru Husni memperoleh
tantangan dari orang tuanya sendiri, ketika mencoba memperkenalkan ideologi Salafi
untuk pertama kalinya. Implikasinya, ia tidak diperkenankan mendakwahkan paham
keagamaannya, kecuali ia (orang tuanya) telah meninggal dunia.
Ponpes Al-Manar, yang didirikan tahun 1989 oleh Tuan Guru Husni diyakini
sebagai Lembaga pendidikan pertama yang berafiliasi dengan dengan gerakan Salafi,
dan menjadi tempat reproduksi kader salafi di masa-masa selanjutnya. Berpusat di Aik
Mel Lombok Timur, Tuan Guru Husni dipandang orang pertama dan berhasil
220Tuan Guru Manar, tokoh Salafi, Pimpinan Ponpes Jamaludin, wawancara , 7 September 2018.
Tuan Guru Manar adalah saudara Tuan Guru Husni yang memiliki memiliki peran dan kontribusi dalam pengembanagn Salafi di Lombok melalui Ponpes Jamaludin Bagek Nyake.
8
meletakkan dasar-dasar gerakan Salafi di daerah ini,221 dan mempengaruhi lahirnya
Masjid dan lembaga-lembaga pendidikan Salafi di berbagai tempat.
Sekitar tahun 80-an Tuan Guru datang ke Lombok dari Tanah Suci Makkah akan tetapi masih belum mengenalkan dan menyebarkan ajaran As-Sunnah. Beliau kembali lagi ke Makkah. Baru kedatangannya yang kedua kali pada tahun 1990, Tuan Guru Husni mulai menyebarkan ajaran As-Sunnah ke Masyarakat di Lombok dengan pusat penyebarannya berada di Daerah Lombok Timur Kecamatan Aik Mal. Akan tetapi penolakan dan benturan-benturan dari masyarakat dan keluarga itu terlalu berat dirasakan sehingga beliau ingin kembali ke Mekkah untuk kedua kalinya. Akan tetapi, beberapa hari sebelum beliau kembali ke Makkah. Ada sebagian pengikut beliau yaitu orang-orang Suralaga, meminta Tuan Guru Rusni untuk tetap tinggal dan ditawari ssebidang tanah untuk mendirikan Pondok Pesantren untuk memotivasi TGH. Rusni agar tetap melanjtukan dakwahnya. Sehingga beliau memutuskan untuk tetap tinggal di Lombok dan melanjutnya perjuangan dakwahnya dalam menyebarkan ajaran As-Sunnah tersebut.222
Meskipun Salafi untuk pertama kalinya diperkenalkan di Lombok Timur, namun
akselarasi perkembangannya juga dari Mataram, Lombok bagian Barat. Hadirnya
yayasan al-Hunafa Lawata Mataram dengan Masjid Aisahnya, mendorong pertumbuhan
gerakan Salafi di daerah ini. Sejak tahun 2002, yayasan al-Huanafa ini
menyelenggarakan pondok pesantren Abu Hurairah. Sepanjang tahun 2002 sampai
dengan 2006 Ponpes ini telah berhasil mendirikan lembaga pendidikan formal dalam
berbagai tingkatan dan jenisnya, baik dari TK hingga SMA. Pembangunan Ponpes ini
ditopang oleh adanya pembiayaan dari donatur Timur Tengah dan Arab Saudi, melalui
lembaga Ihya Al-Turath yang berpusat di Kwait. Hingga tahun 2017, setidaknya Ponpes
Abu Hurairah menerima bantuan Rp. 7,5 M dari lembaga ini. Namun lebih dominan
komponen pembiayaan hanya terbatas pada bangunan fisik 223 sampai dengan penelitian
ini dilakukan, tercatat 2.309 siswa mengenyam pendidikan di Ponpes ini.224
Doktrin Salafi: Penegasian dan Distingsi Sosial Keagamaan Menandaskan diri pada manhaj salaf, gerakan Salafi berkembang secara
signifikan, dan terlibat secara aktif dalam pembentukan struktur dan kultur
221Ustaz Sofyan, tokoh Salafi, wawancara , 9 September 2018. 222 Ustaz Sofyan, Tokoh Salafi, wawancara 9 September 2018 223Fakhruddin Abdurrahman, Ketua Ponpes Abu Hurairah Mataram, wawancara 19 November
2014. 224Dokumen Data Lembaga dan Santri Ponpes Abu Hurairah 2014.
9
keberagamaan masyarakat sasak. Pemaknaan manhaj salaf yang merujuk kepada
generasi salafal-s}a>leh (sahabat Nabi, tabi’i>n, dan tabi’in al-tabi’i>n), yang
dipandang memperoleh legalitas normatif,225 kelompok ini meneguhkan dirinya sebagai
gerakan Islam murni, untuk memurnikan keberislaman masyarakat.Bahkan mereka
menyebut dirinya sebagai kelompok gerakan yang diberkahi, melihara Islam dari segala
syirik, bid’ah dan kesesatan, yang wajib diikuti.226 Gerakan Salafi mengidentifikasi
dirinya sebagai Islam murni, Islam yang benar (haq), dan gerakan dakwah yang
memperoleh tuntunan langsung dari Nabi.227 Dengan menandaskan diri pada hadith
Nabi “sebaik-baik manusia adalah zamanku, kemudian sesudah mereka, dan kemudian
sesudah mereka”228 dan al-Qur’an Surat at-Taubah ayat 100,229 secara lokal gerakan
Salafi menegasikan dirinya dengan kelompok mainstream. Atas dasar justifikasi ini,
mereka secara terbuka dan massif di berbagai media cetak dan online menyatakan
“menolak salaf berarti menolak Islam, cinta salaf berarti cinta Islam, benci salaf berarti
membenci Islam” bahkan “membenci salaf berarti membenci Nabi Muhammad”.230
Sebagaimana gerakan Salafi di tempat lain, isu bid’ah231 tidak hanya menjadi
term teologis di kalangan Salafi yang secara sosiologis sebagai bentuk penegasian,
225Sejumlah ayat al-Qur’an yang dijadikan legitimas i: Qs . at-Taubah:100, al-Maidah:3; Qs. al-
Zukhruf:56; dan sejumlah hadith Nabi seperti man ‘amila ‘amalan laisa ‘alaihi amruna fahua raddun (muttafaqun ‘alaih), kullu muh}dathatin bid’ah wa kullu bid’atin d}ala>lah wakullu al-d}ala>lah fi al-na>r (HR. Bukhari), dan lain-lain yang berkaitan dengan kemuliaan masa Sahabat dan Tabi’in, tentang syirik dan bid’ah, dan sebagainya yang dipandang relevan. Lebih detil lihat Abd al-Sala>m al-Sahimy, Kun Salafiyyan ‘ala al-Ja>ddah (Madinah al-Nabawiyah, tp. 1423 H.), Waza>rah al-Tarbiyah wa al-Ta’li>m, Sharah Kitab Tauh}id Lishikh Muh}ammad ibn Abdul Wahab Lis}af al-Awwal al-Mutawa>sit} (Riyad: Markaz al-Tatwi>r al-Tarbawy: 2007), Waza>rah al-Tarbiyah wa al-Ta’li>m, al-Tauh}id Lis}af al-Awwal al-Thana>wiyah (Riyad:Waza>rah al-Ma’a>rif, 1999).
226Nashir bin Abd al-Karim Al-‘Aql, Isla>miyah La> Wahabiyah (Saudi: Da>r al-Fad}ilah, 2007), 35.
227Abd al-Sala>m al-Sihimy, Kun Salafiyyan ‘ala al-Ja>ddah, 38-39, lihat juga Waza>rah al-Tarbiyah wa al-Ta’li>m, al-Tauhi>d (Riyadh: Waza>rah al-Ma’arif, 1999), 9-10.
,Al-Bukhari, al-Jami’ al-S}ah}ih (Beirut: Da>r Ibn Kathirخیر الناس قرني ثم الذین یلونھم ثم الذین یلونھم 2281987), no.3450. Selanjutnya dimaknai al-quru>n mufad}d}alah, yaitu masa para sahabat Nabi, ta>bi’i>n , dan atba> al-ta>bi’i>n.Lihat Abd al-Razak al-Dawish, Fata>wa al-Lajnah al-Da>imah, Jilid 2, 242-243. Abd al-Sala>m al-Sihi>my, Kun Salafiyan ‘ala al-Ja>ddah, 72-73.
229 ضى هللا عنھ حسن ر وھم بإ واألنصار والذین اتبع مھجرین لون من ال ون األو وا ع والسبق ت م ورض نھ وأعدلھم جنھر ألن آ أبدا تجرى تحتھا ا یھ ن ف Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari)خلدیgolongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya).
230Abu Muslih, Lebih Dekat Mengenal Manhaj Salaf (Jogjakarta: tp, 1427 H). Berbagai pernyataan yang sejenis, dan penegasiannya terhadap kelompok Islam lain disebarluaskan diberbagai media cetak dan online semisal www.salafy.or.id, www.majalahsyariah.com, maktabah salafy press, dan lain-lain.
231Kata bida’ah memiliki dua kata dasar, yaitu al-bad’u dan al-ibda’yang keduanya mengandung makna terjadinya sesuatu tanpa contoh sebelumnya, sesuatu yang baru, yang dibuat-buat. Karena itu
10
namun juga menjadi distingsi dengan kelompok lain. Lebih jauh, isu bid’ah
dipertautkan dengan klaim kebenaran dan klaim keselamatan kerap berbenturan dengan
faham mainstrem lebih akomodatif terhadap budaya lokal. Dengan menandaskan diri
pada hadith Nabi “man ‘amila ‘amalan laisa ‘alai>hi amruna> fahua raddun”232
kelompok Salafi meneguhkan pandangan dan pendiriannya sebagai pembawa Islam
yang murni. Hal ini sebagai salah satu manifestasi dari tiga karakter utama gerakan
Salafi, yaitu pertama, menolak segala bentuk pemikiran yang bernuansa filsafat, kalam,
dan tasawuf. Kedua, menentang secara tegas dan keras segala hal yang dianggap bid’ah,
shirik dan khurafat. Ketiga, sebagai kelanjutan dari karakter pertama, Salafi menolak
penafsiran bi al-ra’yi yang menekankan pada rasionalitas.233
Salah seorang tokoh Salafi, Mizan Qudsiyah menyatakan, istilah bid’ah
sebagaimana dipahami kelompok Salafi adalah cara baru yang sengaja dibuat-buat
dalam menjalankan agama sehingga menandingi syari’at Islam (yang sudah ditetapkan),
dengan maksud berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah.234 Tema ini sejalan
dengan pokok-pokok pikiran manhaj salaf yang: pertama, menitikberatkan pada tauhid
uluhiyah (menggerakkan seluruh bentuk ibadah hanya kepada Allah); kedua,
menitikberatkan pada perbaikan akidah, karena perbaikan akidah inilah yang pertama
kali dilakukan oleh Nabi; ketiga, selalu mengedepankan wahyu al-Qur’an dan Sunnah
atas akal manusia.235 Lebih lanjut, Mizan membagi bid’ah dalam dua macam, yaitu
bid’ah h}aqiqiyah dan bid’ah id}a>fiyah. Bid’ah h}aqiqiyah adalah bid’ah yang tidak
dibangun di atas satu dalil syari’at pun, baik dari kitabullah, as-Sunnah, atau ijma, serta
bid’ah umum dimaknai sebagai praktik keagamaan yang dianggap baru dan tidak berdasarkan pada ajaran Islam. Dalam kajian Salafi, istilah ini sering d isandingkan dengan ahl al-hawa>’, yaitu kelompok yang menandaskan pemikiran dan praktik keagamaan pada hawa nafsu. Kedua istilah selanjutnya disebut ahl al-bid’ah wa al-ahwa>’ yang dalam praktiknya dipertentangkan dengan manhaj salaf, lihat Abd al-Sala>m al-Sihimy, Kun Salafiyyan ‘ala al-Ja>ddah, 91-92. Lihat juga Abd al-Razak al-Dawish, Fata>wa al-Lajnah al-Da>imah, Jilid 2, 461.
232Artinya: barang siapa yang beramal tidak atas perintah kami, maka tertolak (Muttafaqun ‘alaih). Lihat Abd al-Sala>m al-Sihimy, Kun Salafiyyan ‘ala al-Ja>ddah, 95. Diperkuat potongan hadith كل محدثة setiap yang baru adalah bid’dah, dan setiap yang bid’ah adalah sesat”. Meski“ بدعة وكل بدعة ضاللةinterpretasi terhadap hadith ini masih diperdebatkan, namun sudah populer menjadi landasan justifikas i kalangan puritanis, semisal Salafi. Lihat Nashir bin Abd al-Karim al-‘Akl, Isla>miyah La Wahabiyah (Saudi: Da>r al-Fad}ilah, 2007), 35, 143.
233Muhammad Imarah, Thayya>rat al-Fikr al-Isla>m (Kairo: Da>r al-Syuru>q, 1995), 254. Lihat juga Abd al-Sala>m al-Sihimy, Kun Salafiyyan ‘ala al-J}a>ddah.
234Mizan Qudsiyah, Kaidah-Kaidah Penting Mengamalkan Sunnah (Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i, 2013), 37. Buku ini merupakan bahan ajar yang digunakan pada mata pelajaran Manhaj di MA Plus Abu Hurairah, d imana penulisnya sendiri merupakan salah seorang di madrasah ini.
235Fakhruddin Abdurrahman, Pimpinan Pospes Abu Hurairah, wawancara 19 November 2014. Lihat juga Abd al-Sala>m al-Sihimy, Kun Salafiyyan ‘ala al-Ja>ddah.
11
tidak pula merujuk pada kaidah para ulama dalam menetapkan hukum, baik secara
global maupun terperinci. Jadi, murni dibuat-buat tanpa contoh sebelumnya dalam
syari’at. Beberapa praktik keagamaan yang termasuk dalam kategori ini menurut Mizan
adalah perayaan maulid Nabi, memperingati isra’ mi’raj, mengingkari ijma, dan
berkeyakinan bahwa imam bersifat maksum, dan bid’ah-bid’ah lain yang tidak pernah
diajarkan oleh Rasulullah dan para sahabat.236
Sedangkan bid’ah id}a>fiiyah merupakan bid’ah yang dibangun di atas dalil
namun menjadi salah kaprah dalam memahaminya, sehingga melahirkan hal-hal baru di
dalam syari’at. Dalam hal tertentu, sebagai akibat pemahaman yang keliru lahirlah
sesuatu yang bisa dikatakan sebagai bid’ah haqiqiyah karena hanya berlandaskan
syubhat, bukan dalil. Bid’ah jenis ini menurut Mizan masih banyak ditemui, seperti
pengkhususan puasa pada hari Jum’at, pengkhususan umrah pada bulan Rajab, berzikir
secara berjama’ah, dan berbagai praktik lainnya.237 Kendati doa dan zikir adalah amal
ibadah yang paling utama, ibadah itu harus didasari oleh sikap ittiba>’ Nabi dengan
konsisten, bukan dengan mengada-ada atau bid’ah. Dengan mengutip pendapat Ibnu
Taimiyah, Jawas menekankan bahwa menggunakan hizib atau wirid yang berasal dari
tuan gurunya, tanpa ada contoh dari Nabi merupakan perbuatan sangat aib dan
tercela.238 Lebih rinci Ibnu Taimiyah menyebutkan beberapa contoh bid’ah yang kerap
terjadi yaitu perayaan maulid Nabi, Isra’ dan Mi’raj, Nisfu Sha’ban, Tahlil dan baca al-
Qur’an untuk orang yang telah meninggal, membesarkan suara bershalawat kepada
Nabi, zikir berjam’ah, dan kegiatan semisalnya.239
Menurut Mizan, di antara dua macam bid’ah di atas – kendatipun keduanya
sama-sama memperoleh dosa, tetapi dosa bid’ah haqiqiyah jauh lebih besar. Karena
murni ciptaan pelakunya dan menyimpang dari syari’at, tanpa ada dalil syar’i yang
menjadi landasan syubhatnya. Pola keberagamaan ini menurut Abd al-Salam al-Sihimy,
merupakan praktik ahl al-bid’u>n dan al-ahwa>’ yang menyalahi manhaj ahl al-
sunnah wa al-jama>’ahdan memecah belah umat Islam. Ia menegaskan,praktik
keagamaan yang tidak dilandaskan kepada al-Qur’an dan Sunnah, dan hanya mengikuti
236Mizan Qudsiyah, Kaidah-Kaidah Penting Mengamalkan Sunnah, 38 237Mizan Qudsiyah, Kaidah-Kaidah Penting Mengamalkan Sunnah, 39. Pembagian bid’ah yang
lain lihat Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Kitab Tauhid (Jakarta: Yayasan Al-Sofya, 1424 H), 137-138. 238Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Doa dan Wirid Mengobati Guna-Guna dan Sihir Menurut al-
Qur’an dan al-Sunnah, cet. 24 (Jakarta: Pustaka Imam Syafi’ i, 2014), 6-7. 239Abd al-Razak al-Dawish, Fata>wa al-Lajnah al-Da>imah, Jilid 2, 462-464.
12
pandangan nenek moyang dan akal, dan menggunakan hadith-hadith d}ai>f, dan
menerapkan ta’wil merupakan ciri-ciri kelompok ini.240 Oleh karena itu, - dengan
berlandaskan pada hadith Nabi Kullu muh}dathatin bid’ah, wa kullu bid’atin d}ala>lah,
Abdullah Al-Fauzan secara tegas menyatakan bahwa bid’ah dalam agama adalah
haram.241Oleh karena itu menolak dan mengingkarinya, dan menjauhi (hajr) pelakunya
merupakan kewajiban.242
Terhadap orang pelaku bid’ah, dalam prinsip manhaj salaf menurut Mizan
adalah membenci, tidak simpatik, tidak berteman, tidak sudi mendengarkan ucapan,
dan tidak berdiskusi dengan mereka. Ini dilakukan sebagai sikap menjaga
pendengaran dari ucapan-ucapan bathil ahli bid’ah yang dapat menimbulkan was-
was dan merusak aqidah. Berdasarkan prinsip ini, maka menimba ilmu terhadap
mereka adalah sesuatu yang dilarang.243
Maka salah satu kriteria seseorang yang harus dijauhi adalah pelaku bid’ah, “karena dalam diri ahli bid’ah terdapat bahaya penularan bid’ah dan keburukannya”, bahkan “berteman dengannya adalah racun. Mereka para ahli bid’ah yang menghalang-halangi sunnah Nabi, menjadikan yang bid’ah sebagai sunnah, dan yang sunnah jadi bid’ah. Bergaul dengan mereka berarti mati atau minimal sakit.”244
Namun demikian, dalam doktrin manhaj salaf tidak menjustifikasi semua ahli
bid’ah memperoleh perlakuan yang sama, tergantung tingkatan kebid’ahannya. Dalam
konsepsi manhaj salaf ada tiga tingkatan pelaku bid’ah: pertama, bid’ah yang
menyebabkan kekufuran; kedua, bid’ah yang menyebabkan dosa besar; dan ketiga
bid’ah yang menyebabkan dosa kecil.Kategorisasi di atas berimplikasi terhadap tata
cara berinteraksi dengan ahli bid’ah. Menurut Mizan, ahli bid’ah yang mendakwahkan
bid’ahnya secara terang-terangan selain harus diingkari, dibenci, dan juga harus dihajr,
yaitu memutuskan hubungan dengan seseorang atau kelompok orang dengan tidak
berkomunikasi dan berinteraksi dengannya(boikot).245
240Abd al-Salam al-Sihimy, Kun Salafiyyan ‘ala al-Ja>ddah, 91-92. 241Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Kitab Tauh}i>d, 138. Lihat jugaAbd al-Razak al-Dawish,
Fata>wa al-Lajnah al-Da>imah, Jilid 2, 464. 242Nashir bin Abd al-Karim al-‘Akl, Isla>miyah La Wahabiyah, 143. 243Mizan Qudsiyah, Kaidah-Kaidah Penting Mengamalkan Sunnah, 50. 244Jamaludin, “Begini Seharusnya Memilih Teman”, dalam MA Plus Abu Hurairah, Media
Madrasah, edisi 3, Desember 2013. 245Mizan Qudsiyah, Kaidah-Kaidah Penting Mengamalkan Sunnah, 51
13
Lebih lanjut Ustaz Sofyan memaparkan bahwa para tuan guru yang pernah
mengenyam pendidikan di Makkah pasti memiliki pemahaman yang sama dengan apa
yang kami ajarkan saat ini. Namun ketika mereka pulang ke Lombok mungkin ada
kepenting-kepentingan yang lain sehingga apa yang dipelajari di Makkah tidak
disampaikan sehingga terjadilah perbedaan-perbedaan sebagaimana yang terjadi saat
ini.246
Hasil identifikasi Wiktorowicz menunjukkan ada tiga kecenderungan tipologi
gerakan kelompok Salafi, yaitu puritan, politico, dan jihadis.247 Kelompok puritan
menekankan pada gerakan purifikasi melalui pendidikan, dan tanpa kekerasan . Mereka
tidak mau terlibat dalam gerakan politik, bahkan memandang politik sebagai bentuk
penyimpangan. Sedangkan kelompok politico mencoba membawa doktrin salafi ke
arena politik, yang mereka pandang sebagai wilayah yang penting untuk menegakkan
doktrin Islam. Sedangkan kelompok jihadis menekankan perubahan secara mendasar
dan total dengan cara mengusung revolusi melalui kekerasan. Namun demikian menurut
Wiktorowicz, sesungguhnya mereka memiliki doktrin yang sama, namun berbeda dalam
menjelaskannya sesuai problem kontemporer yang dihadapi. Jika merujuk pada tipologi
ini, maka gerakan Salafi di Lombok dapat dikategorikan ke dalam kelompok puritan,
dimana isu-isu bid’ah dan syirik sebagai utama, dan menjadikan lembaga pendidikan
sebagai medianya. Dalam konteks relasinya dengan negara pada aspek pendidikan
menurut Din Wahid dapat dikategorikan ke dalam tiga kelompok, yaiturejectionist yang
cenderung ekslusif dan menolak kurikulum negara; cooperationistyangcenderung
terbuka dan menerima kurikulum negara; dan tanzimiyang mengorganisasikan dirinya
ke dalam kelompok tersendiri.248
MASJID: FRAGMENTASI SOSIAL DAN PENGUATAN EKSISTENSI SALAFI
Kemampuan kelompok Salafi menjadikan dan memanfaatkan Masjid sebagai
mobilitas dan modal sosial memberikan kontribusi signifikan terhadap dinamika Salafi
di Lombok. Kelompok ini, - praksis sebagaimana diungkapkan Jajang berhasil mengisi
ruang kosong, yang dulunya diisi dan di bawah kontrol para elit Islam tradisional.
246 Ustaz Sofyan, Tokoh Salafi, wawancara 9 September 2018
247Quintan Wiktorowicz“Anatomy of the Salafi Movement.” Studies in Conflict & Terrorism 29 (3): 2006, 208.
248Din Wahid, Nurturing The Salafi Manhaj: A Studi of Salafi Pesantren in Contemporay Indonesia, Dissertation (Utrecht University Nederland, 2014), 272.
14
Kajian keagamaan di Masjid-Masjid yang dulu secara intensif dan tulus dilakukan elit
Islam tradisional, perlahan mulai terasa jauh berkurang. Kini menjadi peluang bagi
kelompok Salafi untuk menjawab kebutuhan sprititual masyarakat yang hilang
tersebut.249 Bahkan di beberapa tempat, - sebagaimana juga dalam penelitian ini,
sejumlah Masjid Islam mainstream beralih di bawah Kontrol elit Salafi.
Di tengah kuatnya Islam mainstream, gerakan Salafi berhasil menempatkan
Masjid sebagai basis dakwah dan networking ideologis. Kemampuan memposisi Masjid
secara strategis dalam penyebaran - apa yang mereka sebut sebagai manhaj salaf,
menempatkan gerakan ini secara perlahan turut secara signifikan mempengaruhi pola
dan prilaku kehidupan keagamaan di Lombok. Karena memang Masjid bukanlah
semata-mata sebagai tempat ibadah, namun juga secara ideologis sebagai wadah
semaian ideologi tertentu untuk eksistensi kelompok. Menempatkan diri di tengah
kompetisi komunal kelompok keagamaan, - meski secara ideologis dan afiliasi
kelembagaan berbeda dari konsep dan gerakan mainstrem di Lombok, seperti NU dan
NW, gerakan Salafi memperoleh apresiasi oleh tidak hanya masyarakat pedesaan, tapi
merambah ke masyarakat menengah perkotaan. Gerakan ini dipandang mampu
menawarkan alternatif baru dengan mempromosikan terminologi “assunnah” sebagai
framing dakwahnya. Bagian ini menguraikan tentang setting sosial dan perkembangan
Salafi di Lombok secara umum, dimana Masjid secara spesifik dijadikan tools yang
berperan. Hingga kini tidak kurang dari 90 Masjid Salafi250 sudah beroperasi di Lombok.
Penyebaran Masjid Salafi dan kekhasan ekspresi keagamaan di dalamnya,
memberikan kesan kuat bahwa kini Masjid cenderung melekat dengan identitas
komunal kelompok keagamaan. Masjid pada masa awal Islam memiliki multi-fungsi,
dan mengalami simplikasi fungsi sejak abad pertengahan hingga masa modern. Pada
masa kontemporer saat ini, fungsi Masjid mulai diperluas, kembali difungsikan untuk
tidak hanya untuk ibadah, tetapi juga untuk pembentukan identitas ideologis dan
persaingan antar golongan. Dengan kata lain perluasan fungsi Masjid tersebut berkaitan
dengan semakin menguatnya persaingan ideologis dan komunal kelompok keagamaan.
Implikasinya, Masjid berada dalam pusaran penguatan fragmentasi sosial yang
249 Jajang….
250Jumlah ini diolah dari hasil wawancara dengan Ustaz Abdullah, Pimp inan Ponpes Assunah Bagek Nyake, 2 Maret 2015 dan Ustaz Syafi’ Pimpinan Ponpes, wawancara 13 Oktober 2018. Keduanya adalah tokoh Salafi berpengaruh di Lombok Timur.
15
melibatkkan sentimen teologis-ideologis masyarakat Islam. Bagian ini menjelaskan
bagaimana posisi strategis dan pengembangan Masjid sebagai basis gerakan kelompok
Salafi, dan bagaimana implikasinya dalam kehidupan social keagamaan.
Mengalah untuk Menang: Kasus Pendirian Masjid Jamaludin
Ungkapan “menjadikan tantangan sebagai peluang” dapat digunakan untuk
menggambarkan bagaiman latar belakang historis pendirian Masjid Jamaludin. Masjid
ini merupakan salah satu dari dua Masjid Salafi di Bagek Nyake, yang lahir dari
pertarungan teologis ideologis kelompok Salafi dengan Islam mainstream. Tuan Guru
Manar, pendiri Masjid ini menuturkan bahwa pendirian Masjid Jamaludin sebagai
jawaban atas besarnya tantangan dakwah sunnah di Bagek Nyake di masa awal.
Menurutnya “pada masa awal kami memperkenalkan dakwah sunnah, terutama ketika
masa Ayahanda kami Ustaz Husni menghadapi tantangan yang besar dari masyarakat.
Di Masjid Syamsul Palah (Masjid umum) kerap terjadi perdebatan dan ketegangan satu
dengan yang lain, terutama dalam praktik ibadah. Manhaj salaf yang kami yakini
sebagai paham yang murni dipandang sebagai paham baru oleh masyarakat, bahkan
dianggap mengada-ada dan ajaran palsu.251
Pendirian Masjid ini (Masjid Jamaludin) sebenarnya untuk menghindari konflik. Masjid yang kami tempati dulu (Masjid Syamsul Falah) adalah bergabung dengan ajaran yang lain. Akan tetapi dikarenakan kami ingin mengembangkan ajaran As-Sunnah ini, kami memohon untuk membuat Masjid dari pada ada konflik yang terjadi dengan orang di luar Jama’ah As-Sunnah. Sehingga, setiap Dusun itu terdapat dua Masjid yang salah satunya milik jama’ah Salafi. Tujuannya adalah untuk tidak ada konflik yang terjadi dan agar kami juga tenang dalam beribadah.252
Sebagaimana di beberapa tempat lain, pendirian Masjid baru Salafi dapat
dipandang sebagai strategi dakwah – kalau bukan strategi kontestasi, di tengah sejumlah
tantangan dari Islam mainstream. Pendirian Masjid Jamaludin Bagek Nyake
merefleksikan bagaimana strategi ini ditunjukkan, dan berhasil memperoleh apresiasi
masyarakat sekitar meski tetap sebagai kelompok minoritas di desa ini. Melalui Masjid
ini, di bawah bimbingan dakwah Tuan Guru Manar, kelompok Salafi secara bebas dan
251 Tuan Guru Manar, Pimpinan Salafi sekaligus pendiri Masjid Jamalud in Bagek Nyake,
wawancara, 7 September 2018 252Tuan Guru Manar, Tokoh Salafi, wawancara, 7 September 2018
16
independen melakukan penyebaran dan pelaksanaan manhaj salaf sesuai dengan
pemahamannya. Masjid Menjadi bagian terpenting dalam pembentukan identitas
religious-kultural masyarakat di daerah ini. Tuan Guru Manar memiliki jangkauan
dakwah di 30-an Masjid yang memiliki afiliasi paham dengan ajaran Salafi dari ratusan
Masjid Salafi di Lombok.
Dulu ketika masih di Masjid tua – Masjid Syamsul Falah, kita sempat memberikan dakwah yang dinamakan “Kuliah Shubuh” sebagai bagian dari strategi dakwah kami di masjid dan memberikan kesempatan-kesempatan untuk mereka untuk berdakwah. Dengan itu, kami tujuan kami hanya ingin meramaikan masjid shalat berjama’ah, bukan hanya meramaikan Masjid ketika Shalat Jum’atan saja. Pengajian-pengajian yang kami adakan rutin setiap minggunya. Mulai dari hari Jum’at pagi, Rabu, malam Ahad. Setiap malam ahad juga kami melakukan dakwah keliling di setiap Masjid terutama di wilayah Kecamatan Aik Mel ini. Dalam berdakwah ajaran As-Sunnah strategi dakwah kami sehingga bisa diterima di masyarakat adalah kita banyak mengambil pelajaran dari Sejarah Rasulullah melalui kesabaran beliau. Jika ada yang menentang, kita biarin. Selain itu, TGH. Rusni berdakwah dengan cara yang seperti itu. Memang ada juga terkadang kelompok yang lain dengan cara kekerasan. Tetapi kita tak menggunakannya.. cara TGH. Rusni berdakwah dengan cara pendidikan, beliau juga ketika disuruh talqin, mau melalukannya. Dengan cara itulah beliau masuk dengan cara merubah cara pandang suatu masyarakat.253
Dalam konteks pembiayaan, Ustaz Syafi, Pimpinan Ponpes Anas bin Malik
mengakui adanya pembiayaan dari donatur Timur Tengah dan Arab Saudi, melalui
lembaga Ihya Al-Turath yang berpusat di Kwait. Namun ia menegaskan bahwa
komponen pembiayaan hanya terbatas pada bangunan fisik. Untuk Ponpes Anas bin
Malik yang dikelola Ustaz Syafi, memperoleh pembebasan 3 hektar lahan dan
pembangunan Pondok dengan total rancangan anggaran 45 Miliar.254 Dapat dipastikan
semua bangunan fisik, baik lembaga pendidikan maupun Masjid yang tersebar di pulau
Lombok merupakan hasil dari pembiayaan lembaga ini. Bahkan lebih dari itu, sejumlah
guru memperoleh gaji dan tunjangan dari lembaga ini, bersama sejumlah donatur yang
bersifat individual dan kelembagaan. Mereka yang memperoleh gaji ini pada umumnya
adalah penanggung jawab lembaga atau Masjid.255
253 Tuan Guru Manar, Tokoh Salafi, wawancara, 7 September 2018 254Ustaz Syafi’, Ketua Ponpes Anas bin Malik, wawancara 20 Oktober 2018. 255Ustaz Abdullah, tokoh Salafi, P imp inan Yayasan Assunnah Lombok Timur, wawancara, 1
Maret 2018.
17
Lebih jauh Tuan Guru Manar menjelaskan, dalam pembangunan Masjid
Jamaludin didukung sepenuhnya dari donator Timur Tengah di bawah naungan Yayasan
Ihyat al-Turats. Bahkan seluruh Masjid yang berafiliasi dengan dakwah Sunnah
memperoleh dukungan dari Arab Saudi. Tidak mengherankan jika Masjid-Masjid Salafi
kerap dikunjungi para Syekh dari Arab Saudi, baik untuk mengamati kondisi fisik
bangunan, kegiatan keagamaan maupun untuk kepentingan berdakwah. Pihak yayasan
Ihya al-Turats selaku fasilitator hanya mensyaratkan adanya area tanah sebagai tempat
pembangunan, dan selanjutnya biaya pembangunan dan bahkan tunjangan pengurus
Masjidnya menjadi tanggung jawab yayasan tersebut.256
Kondisi di atas memperkuat temuan bahwa perkembangan Salafi tidak terlepas
dari dukungan sejumlah lembaga dan donatur Timur Tengah. Sejumlah yayasan Timur
Tengah, seperti Rabitah al-Alam Islami257 dan International Islamic Relief Organization
(IIRO) memiliki kontribusi.258 Belakangan, sejumlah lembaga seperti Islamic
Development Bank, Kementerian Pendidikan Saudi, Raja Qatar dan Kuwait, dan
sejumlah donatur pribadi di kawasan Uni Emiret Arab, ikut terlibat dalam projek ini.259
Kehadiran lembaga Ihya al-Turats bersama yayasan Jami’iyah Darul Birr, juga secara
aktif memberikan dukungan finansial lembaga pendidikan dan Masjid di berbagai
daerah di tanah air.260 Sehingga dari waktu ke waktu, perkembangan dakwah salaf i
menunjukkan peningkatan secara terus menerus.
Terkait dengan konflik-konflik dengan organisasi lain semisalnya NW, NW dan
lain-lain itu tidak pernah karena disekitar kami banyak orang-orang NW, NU dan lain-
lain. dan disetiap pengajian kami di masjid-masjid kami menyampaiakan apa yang perlu
kami sampaikan sesuai dengan tuntunan AL-Qur’an dan Al-Hadits. Jadi jika mau
membantah kami, bantahlah Qur’an dan Hadits dan jangan ke kami. Karena kami hanya
membaca dan menyampaikan.
256 Tuan Guru Manar, Tokoh Salafi, wawancara, 7 September 2018 257Noorhaidi Hasan, The Salafi Madrasas of Indonesia, 255. Lihat juga Martin van Bruinessen,
Introduction: Contemporery Developments in Indonesian Islam , 51-52. 258Abdurrahman Wahid (ed.) Ilusi Negara Islam Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di
Indonesia (Jakarta: Wahid Institut, Maarif Institut dan Gerakan Bhineka Tunggal Ika, 2009), 75. 259Joseph Chinyong Liow, "Muslim Identity, Local Networks, and Transnational Islam in
Thailand's Southern Border Provinces." Modern Asian Studies 45, no. 6 (11, 2011): 1383-421. 260Lebih lengkap lihat Chris Chaplin, Imagining the Land of the Two Holy Mosques,225-226.
18
Malahan ada penghasut masyarakat yang memprovokasi untuk menghancurkan masjid-masjid kami. Kami seperti terdeskriminasi sementara orang-orang yang mabuk-mabukan, judi, berzina, dan orang-orang kafir tidak prnah mereka urus. Jadi mana lebih baik? Kami orang-orang yang shalat lima waktu atau mereka yang mabuk-mabukan, judi, berzina, dan orang-orang kafir dan mengapa orang seperti itu tidak pernah diusik. Dalam perbedaan paham antara NU, NW, dengan ajaran Salaf/ As-Sunnah adalah dalam ajaran As-Sunnah yang paling kami tekankan adalah untuk mengamalkan Al-Qur’an dan Hadits Nabi sesuai dengan pemahaman-pemahaman ajaran Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Karena aliran Ahlussunah wal Jama’ah ini adalah dagangan paling laris. Setiap orang yang ingin terkenal pasti mengatakan bahwa diri mereka Ahlussunnah wal Jama’ah. Silahkan antum cari dimana dalil ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah yang merayakan maulid, lalu mengapa mereka mengatakan diri mereka Ahlussunnah Wal Jama’ah dan apa dalilnya.261
Melawan untuk Menang: Kasus Ambil Alih Masjid An-Nur Bebidas Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya, Desa Bebidas merupakan salah
satu desa yang menjadi basis perkembangan gerakan Salafi. Hampir di semua dusun
terdapat Masjid Salafi yang terpisah dengan Masjid masyarakat pada umumnya. Salah
satu Masjid utama yang menjadi pusat dakwah Salafi adalah Masjid Assunnah An-Nur
di Dusun Lampit, Bebidas. Masjid ini memiliki sejarah tersendiri, meskipun sudah
puluhan tahun di bawah Kontrol Islam mainstream, namun kini dibawah penguasaan elit
Salafi.
Bersamaan dengan semakin banyaknya pengikut Salafi di dusun ini, pada tahun
2012 Masjid An-Nur “diambil alih” oleh jama’ah Salafi, dan selanjutnya nama Masjid
An-Nur berubah menjadi Masjid Assunnah An-Nur.262 Perubahan nama ini
merefleksikan bagaimana identitas ideologis yang disemaikan di tempat ibadah menjadi
penting. Masjid ini selanjutnya menjadi pusat kajian dan pengembangan Salafi di desa
Bebidas.
Masjid An-Nur sebelum diambil alih oleh Jama’ah Salafi sebenarnya adalah salah
satu Masjid umum bagi masyarakat Bebidas, terutama bagi masyarakat Dusun Lampit.
Semua kegiatan keagamaan mencerminkan aktivitas keagamaan Islam tradisional
sebagaimana masyarakat pada umumnya. Perayaan berbagai ritual dan tradisi
keagamaan di pusatkan di Masjid ini. Tradisi maulid, serakalan, tahlilan berjama’ah,
dan berbagai kegiatan keagamaan sejenisnya menjadi aktivitas yang turut
261 Ustaz Sofyan,
262 Amaq Ati, Pengurus Masjid Assunnah An-Nur, Lampit Bebidas, wawancara 21 Oktober 2018
19
menghidupkan suasana religiusitas di Masjid ini. Namun bersamaan dengan muncul dan
berkembangnya kelompok Salafi yang mengusung isu syirik dan bid’ah, berbagai
aktivitas tersebut tidak hanya tidak lagi dilaksanakan, tetapi bahkan dianggap bid’ah
yang sesat dan dipandang harus di jauhi.263
Sebagaimana di Bagek Nyake, Tuan Guru Husni memiliki peran penting.
Semenjak diperkenalkan tahun 1990-an oleh Tuan Guru Husni, gerakan Salafi yang
belakangan disebut dakwah sunnah, terus memperoleh apresiasi meskipun memperoleh
sejumlah penolakan dari sejumlah masyarakat di Bebidas. Ustaz Nawawi, salah seorang
tokoh agama menuturkan:
Awal mula masuknya ajaran Salafi di Desa Bebidas adalah dasarnya dulu kita pernah mengadakan pengajian di beberapa Masjid, awalnya kita tidak pernah tau ajaran As-Sunnah itu. Sampai pada akhirnya, di acara pengajian tersebut kita mengundang Tuan Guru Rusni. Ketika itu, kami mengundangnya dikarenakan orang tua beliau adalah Tuan Guru Manan. Beliau adalah salah seorang tuan guru termashur dan tokoh NU yang satu pemahaman dengan kita. Sehingga kami yakin apa yang Tuan Guru akan sampaikan sama sebagaimana Bapak beliau. Lama-kelamaan dalam pengajian itu, dibukakanlah kitab Fathul Mu’in, kan kitab Fathul Mu’in ini adalah kitab Madzhab Syafi’i, tetapi dalam penyampaian yang diberikan banyak perbedaan para ulama’. Sehingga pada waktu itu, Tuan Guru Rusni tersebut mengajak kita untuk bingung ulama’ mana yang harus kita ikuti. Sampai pada akhirnya beliau menyarankan lebih baik kita kembali kepada Al-Qur-an dan Hadits.264
Dengan menggelorakan “kembali ke al-Qur’an dan Hadits” Tuan Guru Husni
perlahan berhasil meyakinkan masyarakat. Dengan menyampaikan argument normatif
bahwa segala yang tidak diperintahkan oleh Allah dan Rasulnya, maka itu adalah
bid’ah, dan bid’ah adalah sesat, dan sesat adalah neraka. Konskuensinya, jika tidak
menguasai suatu Masjid, maka mereka para Jama’ah Salafi harus mendirikan Masjid
sendiri. Alasan mereka orang-orang As-Sunnah adalah tidak ingin satu masjid dengan
jama’ah di luar golongan mereka karena selain mereka itu adalah ahlul bid’ah, berbuat
kemusyrikan karena kami ziarah kubur.265
263 Ustaz nawawi, Tokoh Agama, sekaligus Pimpinan Ponpes Islamiyah Bebidas, wawancara 7
Oktober 2018. 264 Ustaz Nawawi, Tokoh Agama, wawancara, 11 September 2018 265 Ustaz Nawawi, Tokoh Agama, wawancara, 11 September 2018
20
Pertambahan jumlah pengikut, menambah percaya diri jama’ah Salafi untuk
berdakwah dan menjadikan Masjid yang sudah ada sebagai basis dakwah. Setelah
berhasil mengambilalih Masjid An-Nur sebagaimana dijelaskan di atas, para ustaz
secara bebas dan terbuka menyampaikan doktrin sesuai dengan pemahamannya. Jika di
desa Bagek Nyake kelompok Salafi mengalah dan mendirikan Masjid Jamaludin, maka
di desa Bebidas justru sebaliknya. Kelompok Islam mainstream mengalah dan
mendirikan Masjid baru untuk menghindari ketegangan sosial di dalam Masjid.
Pada awalnya dulu kami satu masjid akan tetapi, karena kami selalu disindir di setiap pengajiannya, ceramah, dan khotbah Jum’at. Maka dari itu, kami akhirnya mengalah untuk membuat masjid kami sendiri. Karena mereka adalah mayoritas di Desa Bebidas ini. Masjid itu kan milik bersama, tetapi mayoritas itu yang lebih berhak berkuasa untuk mengambil alih Masjid. Ketika mereka yang menguasai, maka ketika itu mereka yang menentukan wajah Islam itu sendiri.266
Meski di tahun 1990-an, masa awal dimana Salafi mulai diperkenalkan oleh Tuan
Gurun Husni, penguasaan Masjid An-Nur oleh Salafi memperoleh penolakan dari
masyarakat sekitar. Ketegangan antara jama’ah Salafi yang dipandang mengusung
paham baru dengan Muslim mainstream yang sudah mapan dengan Islam
tradisionalnya, melahirkan sejumlah negosiasi dan tensi. Negosiasi keduanya
melahrikan kesepakatan bahwa petugas Masjid share jadwal dan bergantian, baik
sebagai khotib shalat Jum’at, maupun penceramah. Namun dalam perkembangannya,
kesepakatan ini justru dijadikan ruang untuk mengekspresikan identitas masing-masing
yang kerap menyinggung satu dengan yang lain. Salah seorang Pengurus Masjid
tersebut menuturkan bahwa:
Dulunya adalah masjib bersama, sejak masuknya assunnah ke desa ini, banyak jamaah yang menolak, namun sampai hari ini bisa bertahan dan menjadi tempat tetap jamaah melaksanakan ibadah. Awalnya penolakan sering terjadi, baik berupa saling sindir dan teguran lainnya. Penyelesaian masalah berjalan dengan sendirinya dan tidak ada penyelesaian baik secara hukum atau mediasi.267 Dulu pernah ada ketegangan bahwa merayakan maulid Nabi itu masih lebih baik kita berzina katanya ketika itu ceramah dari salah satu Ustadz As-Sunnah namanya Ustadz Masdar. Sampai pada akhirnya kami masyarakat yang lain di luar aliran mereka nggak terima. Sehingga kami meminta mempertanggung jawabkan tentang apa yang disampaikan oleh ustadz tersebut terkait maulid masih lebih baik dari pada berzina. Ketika itu kami menantang mereka untuk melakukan debat terbuka sampai kami menyuruh ustadz dari As-Sunnah itu
266 Ustaz Nawawi, Tokoh Agama, wawancara, 11 September 2018 267Amak Ati, Pengurus masjid Assunnah An-Nur Bebidas, wawancara 13 September 2018
21
membuka kitabnya. Kebetulan Ustadz dari As-Sunnah itu pernah bersekolah di Madrasah kami. Sehingga pada akhirnya mereka tak menghadiri debat tersebut.268
Tensi sosial yang melibatkan isu teologis dan persaingan ideologis di atas,
mencerminkan betapa Masjid memiliki posisi strategis untuk memperoleh otoritas elit
keagamaman. Para elit kelompok keagamaan nampaknya dipersatukan oleh pandangan
bahwa menguasai atau memiliki Masjid adalah salah satu indikator eksistensi. Semakin
besar peran dan kebebasan dalam mengelola Masjid, maka kelompok keagamaan akan
merasa semakin eksis. Karena memang, Masjid dapat disebut sebagai wadah mobilitas
sosial yang sangat efektif masyarakat Islam. Dalam kontek inilah, maka apa yang
disebut apparatus ideology oleh Althrusser direproduksi.269 Karena dalam rangka untuk
eksis, kelompok keagamaan membutuh kader yang militant untuk digerakkan dan
bergerak
Konflik dan Pengerusakan Masjid Salafi: Kasus Suela Suela merupakan salah satu desa yang mejadi salah satu desa yang memiliki
pengikut jama’ah Salafi, tepatnya ada di dusun Kopang Satu. Sejarah masuknya ajaran
Salafi di Desa Suela ini tidak terlalu lama. Ajaran Salafi untuk pertama kalinya
diperkenalkan oleh Amaq Baiah (Al-Marhum), salah seorang guru ngaji. Interaksi
Amaq Baiah dengan sejumlah ustaz Salafi, terutama Ustaz Syafi, salah seorang tokoh
Salafi di Bebidas. Karena ia merasa nyaman dengan apa yang dia yakini hingga pada
akhirnya dia memutuskan untuk memilih dan terlibat dalam penyebaran Salafi.
Sebagaimana dua desa di atas (Bagek Nyake dan Bebidas), pada masa awal
keberadaan jamaah Salafi sempat menuai kontroversi. Kehadirannya memperoleh
penolakan dari masyarakat setempat. Semenjak berkembangnya Salafi, masyarakat
dibedakan berdasarkan Masjid masing-masing. Hal menemukan titik puncaknya pada
perubahan Mushalla Sulaiman menjadi Masjid Ummu Sulaiman oleh kelompok Salafi.
Masjid Ummu Sulaiman ini pada awalnya Mushalla, waqaf dari salah seorang jama’ah
yang berdiri sekitar tahun 1987-an. Sebagaimana fungsi Mushalla pada umumnya, pada
268Ustaz Nawawi, Tokoh Agama, pimpinan Ponpes Islamiyah Bagek Nayake, wawancara, 5
Oktober 2018 269Althusser, Louis. Ideology and Ideological State Apparatuses, in In Literary Theory: An
Anthology, Second edition, edited by Julie Rivkin and Michael Ryan, Maiden USA, Blackwell Publishing. 2004
22
awalnya hanya digunakan untuk shalat lima waktu dan mengaji dalam skala dan
jama’ah yang sangat terbatas. Bersamaan dengan perkembangan Salafi di desa ini,
melalui Amaq Baiah (Al-Marhum) dan Ustaz Rusli aktivitas keagamaan di Mushalla ini
diisi oleh beberapa Ustaz dari luar Desa, yang memang berafiliasi dengan Salafi. Ustaz
Syafi’ salah seorang tokoh Salafi dan sekaligus sebagai inisiator pengalihan Mushalla
ke Masjid berinisiatif mengubah Mushalla tersebut menjadi Masjid, yang kemudian
diberi nama Masjid Ummu Sulaiman.
Bersamaan dengan keinginan untuk memperkuat gerakannya, pada tahun 2014
dimulai pembangunan Masjid, meski menuai penolakan dari masyarakat setempat.
Ustaz Rusli menuturkan:
Tapi ada penolakan dari masyarakat sekitar dikarenakan jama’ah kami kurang dari 40 orang untuk menunaikan shalat Jum’atan. Selain itu, kami dipandang kelompok minoritas dan dianggap ajaran yang menyimpang dari Islam. Kondisi ini mendoroang terjadinya pengerusakan masjid kami pada waktu itu diakibatkan masyarakat terprovokasi oleh kepala desa yang sebelumnya. Alhamdulillah, pemerintah dari Bangkespol dan Kemenag Lombok Timur memediasi konflik dan meninjau secara langsung lokasi pembangunan Masjid. Salah satu keputusan yang disepakati adalah kami diizinkan untuk membangun Masjid Ummu Sulaiman ini, dan selesai pembangunan pada tahun 2016.270
Keberadaan Masjid Ummu Sulaiman menjadi satu-satunya pusat pengembangan
Salafi di Suela, meskipun masih menjadi minoritas di desa ini. Kepada Desa Suela
mengungkapkan, tidak ada alasan untuk melarang keberadaan jamaah assunnah, mereka
masih seagama dan ajarannya tidak ada yang menyimpang sama sekali. Di Desa ini ada
beberapa organisasi Islam seperti NW Pancor, NW Anjani, selanjutnya ada namanya
As-Sunnah. Khususnya As-Sunnah sempat terjadi pengerusakan Masjid mereka. Isu
utama pengerusakan masjid As-Sunnah itu karena masyarakat sekitar masih tidak tau
ajaran mereka. Mereka di provokasi oleh kepala desa sebelum saya yang mengerakkan
masyarakat untuk merusak masjid mereka.271 Namun, konflik ini terjadi menurut
beberapa informan, dikarenakan ajaran Salafi ini mengharamkan praktik tahlil dan
maulid. Karenanya, kelompok Salafi dipandang sebagai mazhab baru.
Persaingan otoritas elit agama juga menjadi bagian terpenting dalam terjadinya
tensi social antar kelompok keagamaan. Ustaz Syafi menungkapkan bahwa:
270 Ustaz Rusli, Takmir Mas jid Ummu Sulaiman Suela, wawancara, 20 Oktober 2018. 271 Kades Suela
23
Terkait dengan pengerusan masjid beberapa tahun lalu diakibatkan karena penyebab yang sederhana yaitu, orang-orang disekitar masjid yang kami bangun terdapat beberapa tokoh-tokoh yang sudah terpandang diluar organisasi As-Sunnah. Sehingga pada akhirnya ketika ada faham yang berbeda yang datang disekitar mereka maka harus dirusakkan karena kami dianggap suatu kelompok minoritas. Akan tetapi kami tidak menganjurkan melawan dengan cara kekerasan, memaksa kehendak, dan apabila kami menempuh jalur hukum tidak pernah dip roses dikarenakan kami adalah minoritas. Konflik-konflik ini disebabkan karena ada orang yang berperan dibalik layar sebagai dalang pengerusakan masjid-masjid kami.272 Pernyataan bahwa isu teologis sebagai dasar dan satu-satunya pembenaran konflik
juga tidak sepenuhnya dapat diterima. Perdebatan teologis, terutama terkait isu-isu
bid’ah dan syirik sebenarnya bukanlah persoalan baru, melainkan persoalan laten yang
sudah jauh sebelum Salafi eksis di Lombok. Dari isu-isu teologis kini berkembang
menjadi persolan komunal. Pembedaan dua kelompok Salafi dan non-Salafi (atau Islam
mainstream) yang dipresentasikan dalam dikotomi Masjid, berimplikasi terhadap tidak
hanya perbedaan paham keagamaan, melainkan juga perbedaan kelompok.
Respon Islam Mainstream Rambahan paradigma ideologis teologis Salafi, dengan segera menuai reaksi
keras dari masyarakat yang selama ini memegang teguh sejumlah tradisi keagamaan
yang dipandang bid’ah oleh Salafi. Penyebaran doktrin manhaj salaf dipandang telah
dan akan terus merusak struktur keberagamaan masyarakat sasak yang selama ini
dipelihara. Klaim kebenaran (truth claim) dan klaim keselamatan (salvation claim), dan
penegasian dengan sebutan bid’ah dan “dlalalah” terhadap berbagai ritual dan tradisi
keagamaan mainstream, dirasakan sebagai sikap yang sangat berani dan “provokatif”
dalam menyebarkan misi puritan gerakan Salafi. Perbeaan ideologis dua kelompok
keagamaan ini melahirkan sejumlah tensi dan fragmentasi sosial di tingkat lokal.
Bahkan konflik fisik yang melibatkan sentiment teologis ideologis kerap terjadi dalam
sepuluh tahun terakhir.
Respon terbuka, dalam pengantar buku Perisai Ke-Aswaja-an Nahdlatul Wathan,
diberikan Tuan Guru M. Sahrullah Ma’shum, salah seorang Mustasyar PB NW Pancor,
dan Tuan Guru Sholah Sukarnawadi,salah seorang tokoh muda NW:
272 Ustaz Syafi,
24
Demikian pula dalam mempertahankan keutuhan ahl Sunnah wa al-jama’ah peran beliau (Tuan Guru Zainuddin) tidaklah remeh. Sekte wahabi yang menjadi musuh bebuyutan ahl Sunnah wa al-jama’ah tidak berhasil melarikan diri dari genggaman tangan beliau. Melalui hizib NW, 17 kitab anti wahabi peringkat tertinggi dideklarasikan beliau sebagai kitan-kitab yang harus dimiliki dan dijiwai segenap warga NW.273 Saya sempat menyusun sebuah buku saku berjudul NW: No Wahabi. Buku ini tiada lain sebagai tameng ala kadarnya untuk mengantisipasi dan menghindari virus-virus wahabi agar tidak merasuki tubuh NW. Sikap antipati terhadap wahabi sebetulnya tidak hanya diinspirasi oleh pendiri NW yang sangat menolak paham wahabi, melainkan juga dilandasi mufakat ulama ahl Sunnah wa al-jama’ah di seluruh dunia bahwa ideologi wahabi memang harus diwaspadai bahkan dijauhi sejauh-jauhnya dari segenap hamba Allah Swt. dan pengikut Rasulullah.274
Mengklaim diri sebagai pengemban tauhid otentik, gerakan Salafi segera
mempromosikan dirinya berasal dari haramain, dua tempat yang diberkahi, dimana
Nabi Muhammad hidup dan mengajarkan Islam. Bahkan lebih jauh Abd al-Salam al-
Sihimy mengklaim bahwa “Arab Saudi merupakan daulah salafiyah, di dalamnya
dakwah Salafi digaungkan, akidah pimpinannya salafiyah, dan karenanya menunjunjung
kitabullah dan sunnah Rasulullah”.275 Secara lokal posisi ini kerap menjadi bagian
terpenting dalam upaya legitimasi kebenaran isi dakwah oleh para da’i kelompok Salafi. Nahdlatul Wathan bersama kelompok mainstream lainnya memandang bahwa
dakwah Salafi mengancam pola keberagamaan masyarakat yang sudah lama tertanam.
Klaim kebenaran dan keselamatan, dan penyesatan pelaku bid’ah merupakan cara
pandang yang menyulut tensi dan bahkan kekerasan antar Muslim di Lombok. Sejauh
identifikasi terhadap konflik keagamaan, setidaknya terdapat 14 konflik yang
melibatkan kelompok Salafi dengan non-Salafi sepanjang 2004 sampai 2016 di
Lombok. Pada tahun 2016 di Suela Lombok Timur misalnya, Masjid Salafi dirusak
masyarakat sekitar. Muhammad Tahir, tokoh setempat menuturkan pengerusakan
tersebut disebabkan karena masyarakat tidak membutuhkan Masjid baru yang secara
berdekatan dengan berada di Masjid umum yang sudah lama ada dan digunakan
masyarakat bersama. Selain itu, ajaran Salafi yang cenderung memandang bid’ah
273Tuan Guru M. Nashrullah Ma’shum, Sambutan dalam H. Abdul Aziz Sukarnadi, Perisai Ke-
Aswaja-an Nahdlatul Wathan Membedah 17 Literatur Anti Wahabi Rekomendasi Pendiri NW (Yogyakarta: Samudera Biru, 2016), xi.
274Tuan Guru Sholah, Sambutan dalam H. Abdul Aziz Sukarnadi, Perisai Ke-Aswaja-an Nahdlatul Wathan Membedah 17 Literatur Anti Wahabi Rekomendasi Pendiri NW (Yogyakarta: Samudera Biru, 2016), xx.
275Abd al-Sala>m al-Sihimy, Kun Salafiyyan ‘ala al-J}a>ddah, 50-51.
25
terhadap ibadah-iabadah yang selama ini diamalkan masyarakat. Namun demikian,
menurut Tahir sudah berdiri Masjid-Masjid Salafi yang terpisah dengan dengan
masyarakat pada umumnya. Akhirnya, Masjid tidak semata-mata sebagai tempat ibadah,
juga simbol fragmentasi sosial internal Muslim.
Ketegangan dan konflik juga dapat diamati di beberapa tempat yang lain. Pada
tahun 2015 di Batukliang Lombok Tengah, tujuh jama’ah Salafi diusir dari
kampung halamannya; pada tahun 2009 di Gunungsari Lombok Barat beberapa
pengikut Salafi dievakuasi pihak keamanan dan rumahnya dibakar oleh masyarakat
setempat. Pada tahun 2006 terjadi pengerusakan Sekolah Salafi di Kota Mataram.
Demikian juga Ponpes Ubay bin Ka’ab di Cakra Negara Mataram, menghadapi
penolakan oleh masyarakat setempat karenanya harus ditutup sejak 2015 hingga
sekarang. Konflik-konflik ini merupakan contoh yang mengindikasikan bahwa
ketegangan ideologis sudah mencapai high level contestation, dimana perbedaan
ideologis dipertentangkan secara fisik.
Di sisi lain, reaksi lokal terhadap ide-ide Salafi dalam bentuk berbagai konflik
tersebut, juga dapat dimengerti sebagai upaya kelompok dominan NW dalam
mempertahankan dominasinya. Sejak Salafi diperkenalkan tahun 1990-an, beberapa
pengikut NW mengalami konversi ke paham Salafi, dan bahkan sebagian menjadi juru
dakwah kelompok Salafi. H. Mahsun dan H. Said misalnya, dua tokoh Salafi merupakan
alumni pesantren NW. Setelah menjadi da’i Salafi, H. Mahsun pernah diusir oleh warga
di kampungnya, dan sudah lama tidak terlibat di dalam aktivitas ibadah pada Masjid
setempat. Hal yang sama juga terjadi pada H. Said tahun 2006, Sekolah Bani Shaleh
yang ia pimpin dirusak oleh masyarakat sekitar. Dua kasus pengusiran dan
pengerusakan dimana pengikut Salafi sebagai korbannya, merupakan contoh dari
beberapa kasus serupa lainnya di beberapa tempat lain di Lombok.
Penetrasi ideologi keagamaan di satu sisi dan ikatan ideologis di sisi lain,
melebihi ikatan-ikatan kekerabatan hubungan famili. Pola interaksi patrilineal yang
dipegang dalam sistem kekerabatan masyarakat sasak,276 semakin pudar sejalan
semakin kuatnya penetrasi dan ikatan ideologis tersebut. Beberapa kasus di banyak
276Patrilineal merupakan sistem kekerabatan dimana keluara terdekat seperti suami-istri, anak,
kakek dan nenek disebut isi tolang mesak (keturunan sedarah sedaging). Penjelasan mengenai sistem kekerabatan ini lihat Departemen P dan K NTB, Pengaruh Budaya Asing terhadap Kehidupan Sosial, 35-39.
26
tempat, menunjukkan bahwa terjadi pemutusan hubungan keluarga yang melibatkan
sentimen ideologis teologis. Seorang tidak diperkenanka pulang oleh orang tuanya,
bertahun-tahun tidak tegur sapa dengan saudara kandungnya, sepasang suami istri
dipaksa cerai orang tuanya, perebutan hak pemakaman terhadap orang tua, dan berbagai
bentuk lainnya.277Keragaman kecenderungan gerakan dan orientasi ideologis ini, pada
akhirnya berimplikasi terhadap tumbuhnya sikap justifikasi terhadap paham yang
dianut, dan menegasikan paham yang berbeda.
Semakin meningkatnya kepentingan untuk mengidentifikasi diri ke dalam
identitas ideologis, telah memperbesar distance dan potensi konflik internal yang
bersifat laten, dan kini diterjemahkan secara lokal. Merujuk pada berbagai konflik di
atas, dimana jama’ah Salafi menjadi objeknya, bukan semata-mata sebagai akibat
langsung dari isu teologis dan aktivitas dakwah, sebagaiman digambarkan Murdianto
dan Azwani di atas, -melainkan - juga melibatkan perebutan otoritas elit agama, dimana
tuan guru menjadi bagian di dalamnya. Menjadi jelas, kecenderungan
pengidentifikasian diri yang berbasis pada identitas ideologis, akan memperkuat
perebutan otoritas keagamaan, dan pada saat yang bersamaan memperkuat kontestasi
horizontal masyarakat Islam.
Fragmentasi identitas, - berikut implikasi sosiologisnya di atas bukanlah
fenomena yang khas masyarakat Lombok. Keterlibatan gerakan Salafi dalam
pembentukan identitas transnasional dan upaya mengkonstruksi otoritas keagamaan,
yang mengantarkannya vis a vis masyarakat lokal juga terjadi berbagai daerah bahkan di
berbagai Negara. Kemampuan Salafi memanfaatkan Masjid sebagai wadah
pembentukan dan penyebaran identitas ideologis menjadi formasi baru dalam kultur
keagamaan masyarakat Lombok. Akhirnya, meski disertai dengan ketegangan dan
bahkan konflik dari kelompok mainstream, Masjid telah secara efektif sebagai wadah
mobilitas proponen untuk memperkuat eksistensi kelompok Salafi di Lombok.
Simpulan
Masjid kini mengalami perluasan peran untuk tidak hanya sebagai tempat ibadah,
tetapi juga sebagai wadah pembentukan identitas dan ersaingan ideologis, pencarian dan
277Saparudin, Pemutusan Hubungan Keluarga Berdasarkan Afiliasi Lembaga Keagaman d i
Lombok Timur, Laporan Penelitian (Mataram: Lemlit UMM, 2007). Penelitian ini dibiayai oleh DP2M Dikti melalui Program Dosen Muda.
27
penguatan otoritas keagamaan elit kelompok keagamaan. Sehingga tidak dapat dihindari
kondisi ini berimplikasi terhadap terjadinya penguatan simbol fragmentasi sosial,
dimana antar kelompok saling menegasikan. Kehadiran kelompok Salafi memberikan
fenomena baru, dimana lahirnya Masjid-Masjid baru yang berafiliasi dengan gerakan ini
memperoleh apresiasi di satu sisi dan tensi di sisi lain. Apresiasi karena memang
Jama’ah dan Masjid Salafi mengalami pertumbuhan terutama di Desa Bagek Nyake,
Bebidas dan Suela. Sedangkan tensi, karena memang sebagian besar Masjid baru Salafi
kalau tidak diawali atau diikuti oleh tensi social, baik konflik fisik, konflik ideologis,
maupun tensi sosial. Kasus pendirian Masjid Jamaludin Bagek Nyake, pengambil alihan
Masjid Assunnah An-Nur Bebidas, dan perusakan Masjid Ummu Sulaiman Suela
membuktikan kecenderungan ini.
Bagi Salafi, fragmentasi sosial baik dalam bentuk konflik, pemutusan hubungan
kelaurga, perceraian, pemisahan Masjid, dan persaingan pengeras suara, dan sejumlah
tensi social lainnya, tidak dijadikan halangan dalam mengembangan ekspansinya.
Kondisi ini dipandang sebagai proses untuk membuktikan bahwa membawa
“kebenaran” memiliki rintingan. Dalam faktanya, di tengah penolakan Islam
mainstream gerakan Salafi tetap mengalami pertumbuhan, dan karenanya semakin
mengukuhkan eksistensinya, kelompok keagamaan yang siap bersaing. Kemana arah
dinamika ini selanjutnya, tentu sangat ditentukan oleh dinamika social di masing-
masing tempat.
DAFTAR PUSTAKA al-Suhaimy, Abd al-Salam ibn Salim. Kun Salafiyyan ‘ala al-Ja>ddah. Madinah al-
Nabawiyah, tp. 1423 H. Althusser, Louis. Ideology and Ideological State Apparatuses, in In Literary Theory: An
Anthology, Second edition, edited by Julie Rivkin and Michael Ryan, Maiden USA, Blackwell Publishing. 2004.
_________. On The Reproduction of Capitalism Ideology and Ideological State Apparatuses. London: Verso, 1971.
_________. Lenin and Philosophy and Other Essays. London: New Left Books, 1971. Alvi, Hayati. “The Diffusion of Intra-Islamic Violence and Terrorism: The Impact of
the Proliferation of Salafi/Wahabi Ideologies.” Middle East Review of International Affairs 18, (2), 2014.
Arzaki, Djalaludin, dkk. Nilai-nilai Agama dan Kearifan Budya Lokal Suku Bangsa Sasak dalam Pluralisme Bermasyarakat: Sebuah Kajian Antthropologis-Sosiologis-Agamis. Mataram: Redam, 2001.
28
Azra, Azyumardi. Distinguishing Indonesian Islam Some Lessons to Learn, dalam Jajat Burhanuddin dan Kees van Dijk (eds.), Islam in Indonesia Contrasting Images and Interpretations. Amsterdam: ICAS/Amsterdam University Press, 2013.
Badan Statistik NTB, Nusa Tenggara Barat dalam Angka tahun 2013. Burhanuddin, Jajat. “Redefening the Roles of Islamic Organizations in the Reformasi
Era”. Studia Islamika, Vol. 17, No. 2, 2010. Chaplin, Chris. Imagining the Land of the Two Holy Mosques: The Social and
Doctrinal Importance of Saudi Arabia in Indonesian Salafi Discourse, ASEAS – Austrian Journal of South-East Asian Studies, 7 (2). 2014.
Faizah, Pergulatan Teologi Salafi dalam Maenstream Keberagamaan Masyarakat Sasak, Ulumuna Jurnal Studi Keislaman, Volume 16, no. 2, 2012.
H. Sudirman, Gumi Sasak dalam Sejarah (Bagian I). Lombok: KSU Primaguna- Pusat Studi dan Kajian Budaya, 2012.
Hefner, Robert W. “Public Islam and the problem of Democratization”.Sociology of Religion : 62:4, 2001.
_________. Islamic Schools, Social Movements, and Democrasy in Indonesia, dalam Robert W. Hefner (ed.) Making Modern Muslims the Politics of Islamic Education in Southeast Asia. Honolulu: University of Hawai Press, 2009.
Liow. Joseph Chinyong. "Muslim Identity, Local Networks, and Transnational Islam in Thailand's Southern Border Provinces." Modern Asian Studies 45, no. 6 (11, 2011).
Maguerite G. Lodico, Dean T. Spaulding, Katherine H. Voegtle, Methods in Educational Research From Theory to Practice. Fransisco: Jossey-Bass, 2010.
Martin van Bruinessen, Contemporary Developments in Indonesian Islam Explaining the “Conservative Turn.” Singapore: ISEAS, 2013.
Meuleman, J. Dakwah, competition for authority, and development. Bijdragen Tot De Taal-, Land- En Volkenkunde, 167 (2), (2011).
Milles, Matthew B. dan A. Michael Huberman. Qualitative Data Analysis: A Sourecbook of New Methods. Bavery Hills: Sage Publication, 1986.
Montag, Warren. "Between Interpellation and Immunization: Althusser, Balibar, Esposito." Postmodern Culture 22, no. 3 (05), 2012..
Murdianto dan Azwani, Dakwah dan Konflik Sosial Jama’ah Salafi di Gunungsari Lombok Barat, Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 9, nomor 2, 2013.
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, 149 Noorhaidi Hasan, “The Salafi Madrasas of Indonesia,”dalam Farish A. Noor, Yonginder
Sikand Martin van Bruinessen (eds.), The Madrasa in Asia Political Activism and Transnational Lingkages. Amsterdam: Amsterdam University Press, 2007.
Northcott, Michael S. Sociological Approaches, dalam Peter Connoly (ed.) Approaches to the Study of Religion, 193-194.
Nuh, Nuhrison M. Kelompok Salafi di Kabupaten Lombok Barat, dalam Ahmad Syafi’I Mufid (ed.), Kasus-Kasus Aliran/Paham Kegamaan Aktual di Indonesia. Jakarta: Balitbangdiklat Depag., 2009.
Rabasa, Angel M. "Islamic Education in Southeast Asia." Current Trends in Islamist Ideology 2 (2005).
_________. "Radical Islamist Ideologies in Southeast Asia." Current Trends in Islamist Ideology 1 (2005).
Saparudin, Pemutusan Hubungan Keluarga Berdasarkan Afiliasi Lembaga Keagamaan, Laporan Penelitian Dosen Muda. DP2M Dikti, 2007.
29
_________. Salafism, State Recognition, and Social Tension: New Trend Islamic Education in Lombok. Ulumuna Journal of Islamic Studies, vol. 21, no. 1, 2017.
Singleton, Royce A. dan Bruce C Straits. Approaches to Social Research Thrid Edition New York: Oxford University Press, 1999.
Sofie, Anne Roald, Tarbiya: Education and Politic in Islamic Movement in Jordan and Malaya, Lund Studies in History of Religius Vol. 3 (Lund, Routledge Taylor & Francis Group, 1994).
Tan, Charlene. Educative Tradition and Islamic school in Indonesia, Journal of Arabic and Islamic Studies, 14 (2014).
Wahid, Abdurrahman (ed.). Ilusi Negara Islam Ekspansi Gerakan Islam Transnasional
di Indonesia. Jakarta: Wahid Institut, Maarif Institut dan Gerakan Bhineka Tunggal Ika, 2009.
Wahid, Din. Nurturing The Salafi Manhaj: A Studi of Salafi Pesantren in Contemporay
Indonesia, Dissertation. Utrecht University Nederland, 2014. Wiener, Antje. “The Quality of Norms is What Actors Make of It Critical Constructivist
Research of Norms”, Journal of International Law and International Relation, Vol. 5, No. 1, (2009).
_________. A Theory of Contestation. New York: Springer, 2014. Wiktorowicz, Quintan. “The Salafi Movement in Jordan.” International Journal of
Middle East Studies 32, (2), 2000.