laporan penelitian tahun 2019 evaluasi program ...e-riset.litbang.kemkes.go.id/download.php?file=1....
TRANSCRIPT
i
LAPORAN PENELITIAN TAHUN 2019
EVALUASI PROGRAM PENANGGULANGAN KECACINGAN DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN
(091901002)
Oleh:
Nita Rahayu, SKM, M.Sc Dan Tim
BALAI LITBANG KESEHATAN TANAH BUMBU PUSAT LITBANG UPAYA KESEHATAN MASYARAKAT
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
2019
ii
LAPORAN PENELITIAN TAHUN 2019
EVALUASI PROGRAM PENANGGULANGAN KECACINGAN DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN
(091901002)
Nita Rahayu, SKM, M.Sc (20150610698)
BALAI LITBANG KESEHATAN TANAH BUMBU PUSAT LITBANG UPAYA KESEHATAN MASYARAKAT
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
2019
iii
Judul Penelitian
Evaluasi Program Penanggulangan Kecacingan di Provinsi Kalimantan Selatan
iv
SK Penelitian
v
vi
vii
Susunan Tim Peneliti
No Nama Kedudukan dalam tim
Keahlian/ Kerjaan
Uraian tugas Waktu
1 Dr. Dra. Woro Riyadina, M.Kes
Pembina Doktor/S3 Kesehatan Masyarakat
Konsultan Metodologi kuantitatif
Jan-Des
2 Dr. Eko Rahajeng, SKM, M.Kes
Pembina S2 Kesehatan Masyarakat
Konsultan Jan-Des
3 Anorital, SKM, M.Kes
Pembina S2 Kesehatan Masyarakat
Konsultan Kecacingan Jan-Des
4 Dra.Rr.Rachmalina S, MScPH
Pembina Konsultan Metodologi kualitatif
Jan-Des
5 Dr. Aria Kusuma, SKM, MKM
Pembina Konsultan Jan-Des
6 Dasuki, SF, Apt, M.Sc
Pembina Konsultan Jan-Des
7 dr Hijaz Nuhung, M.Sc
Pembina Dokter Konsultan Substansi Medis
Jan-Des
8 Nita Rahayu, SKM, M.Sc
Ketua Pelaksana
Parasitologi Bertanggung jawab pada keseluruhan penelitian
Jan-Des
9 Yuniarti Suryatinah, Apt
Peneliti Apoteker
Bertanggung jawab pada
aspek manajemen
pengendalian dan
manajemen data
Jan-Des
10 Juhairiyah, SKM Peneliti Kesehatan
Masyarakat
Bertanggung jawab pada
aspek parasitology
Feb-Okt
11 Annida, SKM, MSc Peneliti Parasitologi Bertanggung jawab pada
aspek parasitology
Feb-Okt
12 Deni Fahrizal, SKM
Peneliti Kesehatan
Masyarakat
Bertanggung jawab pada
aspek parasitology
April-Juni
13 Akhmad Wahyudin, SKM
Litkayasa Analis
Kesehatan
Membantu pada aspek
parasitology
April-Juni
14 Dwi Candra Ariyanti, Amd. AK
Litkayasa Analis
Kesehatan
Membantu pada aspek
parasitologi
April-Juni
15 Dahlia Sekretariat Administrasi Membantu pada aspek
administrasi Jan-Des
16 Gusti Meliyanie Sekretariat Administrasi Membantu pada aspek
administrasi Jan-Des
viii
ix
tasan Lembar Pengesahan Laporan Akhir Penelitian
Balai Litbang Kesehatan Tanah Bumbu Tahun 2019
EVALUASI PROGRAM PENANGGULANGAN KECACINGAN DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN TAHAP I
x
Kata Pengantar
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan
rahmat-Nya, sehingga penelitian berjudul “Evaluasi program
penanggulangan kecacingan di Provinsi Kalimantan Selatan” dapat
diselesaikan dengan baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan
menganalisis program eliminasi cacingan di Provinsi Kalimantan Selatan.
Penulisan laporan dilakukan setelah rangkaian proses penelitian selesai
dilaksanakan. Laporan penelitian ini merupakan pertanggungjawaban
ilmiah dan administrasi.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih
dan penghargaan kepada :
1. Dr. Siswanto, MPH, DTM selaku Kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
2. Ir. Doddy Izwardy, MA selaku Kepala Puslitbang Upaya Kesehatan
Masyarakat, Badan Litbangkes.
3. Dr. Ekowati Rahajeng, SKM, M.Kes selaku Ketua Panitia Pembina
Ilmiah Puslitbang Upaya Kesehatan Masyarakat.
4. Dr. Dra. Woro Riyadina, M.Kes; Anorital, SKM, M.Kes; Dra. Rr.
Rachmalina S, MScPH; Dr. Aria Kusuma, SKM, MKM; Dasuki, SF,
Apt, M.Sc selaku pembina penelitian, yang telah mendampingi dan
memberikan masukan dalam substansi ilmiah maupun teknis.
5. dr. Hijaz Nuhung, M.Sc selaku Kepala Balai Litbangkes Tanah
Bumbu.
6. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan, Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten Tanah Laut, Tapin, Balangan, Banjar,
dan Kota Banjarbaru.
7. Tim peneliti dan staf teknis Balai Litbangkes Tanah Bumbu.
xi
8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang
telah bekerja dan membantu proses penelitian di lapangan maupun
di laboratorium.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih memiliki kelemahan
dan kekurangan. Oleh karena itu masukan, saran, dan kritik sangat
penulis harapkan. Semoga laporan ini memberikan manfaat bagi semua
pihak.
Tanah Bumbu, Desember 2019
Penulis,
Nita Rahayu, SKM, M.Sc
xii
Ringkasan Eksekutif
Kecacingan yang disebabkan oleh Soil Transmitted Helminths (STH) merupakan masalah kesehatan masyarakat di sebagian besar wilayah di Indonesia. Prevalensi kecacingan bervariasi pada tahun 2015 tercatat berkisar antara 2,5 - 62%. Infeksi cacing perut ini dapat mempengaruhi status gizi, proses tumbuh kembang dan merusak kemampuan kognitif pada anak yang terinfeksi. Kasus-kasus malnutrisi, stunting, anemia bisa disebabkan karena kecacingan. Pengendalian kecacingan sangat penting dilakukan mengingat bahaya yang disebabkan dapat mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktifitas. Secara ekonomi, kecacingan banyak menyebabkan kerugian dikarenakan hilangnya karbohidrat dan protein, serta darah yang pada akhirnya dapat menurunkan kualitas sumber daya manusia.
Upaya pengendalian kecacingan dilakukan dengan strategi pemberian obat cacing massal yang terintegrasi dengan program gizi melalui pemberian vitamin A pada anak usia dini dan melalui Program UKS (Usaha Kesehatan Sekolah) untuk anak usia sekolah. Upaya reduksi kecacingan pada masyarakat khususnya pada kelompok target balita dan anak usia sekolah diatur dalam PMK No. 15 tahun 2017 yang menargetkan prevalensi kecacingan di bawah 10% (sepuluh persen) di setiap daerah kabupaten/kota pada tahun 2019.
Pemberian obat pencegahan secara massal (POPM) kecacingan telah dilakukan mulai tahun 2017 di 5 (lima) Kabupaten/Kota yaitu Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kabupaten Tanah Laut, Kabupaten Tapin, Kota Banjarbaru, dan Kabupaten Banjar. POPM kecacingan pada tahun 2017 tersebut dilakukan pemberian obat albendazole sebanyak 2 (dua) kali setiap tahunnya yaitu bulan Februari dan Agustus pada anak sekolah dan pra sekolah sebagai program terintegrasi dari program UKS dan gizi. POPM filariasis dilakukan pemberian kombinasi obat albendazole dan DEC sebanyak 1 (satu) kali setiap tahunnya. Akan tetapi pelaksanaan pengendalian kecacingan masih menemukan kendala dengan tidak tersedianya data base prevalensi kecacingan.
Dalam PMK No.15 tahun 2017 menargetkan reduksi kecacingan pada tahun 2019 sampai dengan di bawah 10% (sepuluh persen) di setiap daerah desa/kota. WHO menargetkan secara global untuk eliminasi kecacingan pada tahun 2020. Akan tetapi hingga saat ini belum tersedia data angka prevalensi terbaru untuk infeksi kecacingan di setiap kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Selatan. Hal ini dikarenakan POPM filariasis tidak melakukan pemeriksaan tinja pada anak dan masyarakat yang diberikan obat albendazole, selain itu cakupan pemberian obat pun tidak hanya anak-anak juga orang dewasa. Sedangkan POPM kecacingan pun juga sama, pemberian obat massal tidak dilakukan sebelumnya dengan pemeriksaan tinja, hal ini dikarenakan prevalensi ratenya sudah
xiii
diatas cut off point (30%), sehingga dianggap penderitanya sudah banyak. Jika seorang anak diberi obat cacing tanpa didahului pemeriksaan tinja dan tidak ditemukan telur cacing, maka pengobatan albendazole akan menimbulkan reaksi pengobatan berupa pusing, mata berkunang-kunang, dan muntah.
Berdasarkan permasalahan di atas dilakukan penelitian untuk mengetahui angka prevalensi kecacingan terkini, gambaran kasus, PSP dan hygiene sebagai bahan evaluasi implementasi PMK No.15 tahun 2017 pada masyarakat terutama pada kelompok target balita dan anak usia sekolah untuk melihat pencapaian target reduksi kecacingan dan kesiapan mencapai target WHO.
Penelitian bersifat deskriptif menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif (mixed method). Pendekatan kuantitatif dilakukan melalui survei pemeriksaan tinja kepada anak SD kelas 1 dan 2. Survei pengetahuan sikap dan perilaku (PSP) tentang cacingan dilakukan kepadanya juga. Pendekatan kualitatif dilakukan melalui wawancara mendalam tentang PSP dan hygiene terhadap responden anak SD kelas 1-5 dan informan sebagai stakeholder terkait. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi data angka prevalensi kecacingan di 5 Kabupaten/Kota terpilih untuk bahan evaluasi implementasi PMK No.15 tahun 2017.
Hasil pemeriksaan spesimen tinja terkumpul pada 5 Kabupaten Kota sebanyak 2005 pot tinja didapatkan 21 yang terinfeksi penyakit kecacingan. Infeksi terbanyak yaitu 8 orang (14,29%) cacing E. vermicularis, 5 orang (23,81%) T.trichiura, 3 orang (14,29%) A. Lumbrioides, 2 orang (9,52 %) H. Nana, Hookworm, 2 orang (9,52%), Mix (Enterobius vermicularis dan Trichuris Trichiura) 1 orang (4,76%). Gambaran kasus kecacingan tertinggi di Kabupaten Balangan dengan angka prevalensi (1,60%), disusul oleh Kota Banjarbaru (1,59%), Kabupaten Banjar (1,07%), Kabupaten Tapin (0,69%), dan Kabupaten Tanah Laut (0,45%) positif menderita kecacingan.
Hasil pengetahuan, sikap dan perilaku anak sekolah terhadap kecacingan menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna di Kabupaten Tanah Laut, Kota Banjarbaru, Kabupaten Banjar, dan Kabupaten Tapin. Di Kabupaten Balangan pada variabel pengetahuan dan sikap tidak adanya hubungan, sedangkan pada variabel perilaku menunjukkan adanya hubungan yang bermakna secara statistik. Hasil wawancara mendalam terhadap beberapa informan terkait evaluasi pelaksanaan program penanggulangan cacingan dalam hal kebijakan semua kab/kota mengacu pada PMK No. 15 tahun 2017, yang diturunkan melalui program kecacingan dinas kesehatan Provinsi, kabupaten/kota maupun puskesmas sebagai ujung tombak pelaksanaan pengobatan kecacingan. Saran hendaknya tetap meningkatkan penyuluhan terkait dengan kecacingan pada anak sekolah untuk menghindari Infeksi nematoda usus yang penularannya melalui tanah (STH dan non STH).
xiv
Abstrak
EVALUASI PROGRAM PENANGGULANGAN KECACINGAN DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN
Pelaksanaan evaluasi pengobatan kecacingan belum pernah
dilaksanakan di Provinsi Kalimantan Selatan, sehingga tidak ada data prevalensi
kecacingan terbaru. Penelitian telah dilakukan pada tahun 2019 di 5 (lima)
Kabupaten/Kota dari 13 Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Kalimantan
Selatan. Jenis dari cacing usus tersebut adalah nematoda usus yang termasuk
golongan Soil Transmitted Helminthes (STH) adalah (Ascaris lumbricoides,
Ancylostoma duodenale, Necator americanus, Trichuris trichiura) dan Non STH
golongan Nematoda (Enterobius vermicularis), Cestoda (Hymenolepis nana).
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi program pengobatan kecacingan
yang telah dilaksanakan dan mendapatkan data terbaru angka prevalensi
kecacingan pada anak sekolah di 5 Kab/Kota Provinsi Kalimantan Selatan.
Penelitian ini merupakan penelitian observasi dengan menggunakan
metode cross sectional. Responden adalah anak sekolah dengan jumlah total
sampel 2005 anak sekolah dari 5 Kab/Kota. Hasil pemeriksaan spesimen tinja
terkumpul sebanyak 2005 pot tinja didapatkan 21 yang terinfeksi penyakit
kecacingan. Infeksi terbanyak yaitu 8 orang (14,29%) cacing E. vermicularis, 5
orang (23,81%) T.trichiura, 3 orang (14,29%) A. Lumbrioides, 2 orang (9,52 %)
H. Nana, Hookworm, 2 orang (9,52%), Mix (Enterobius vermicularis dan Trichuris
Trichiura) 1 orang (4,76%). Gambaran kasus kecacingan tertinggi di Kabupaten
Balangan dengan angka prevalensi (1,60%), disusul oleh Kota Banjarbaru
(1,59%), Kabupaten Banjar (1,07%), Kabupaten Tapin (0,69%), dan Kabupaten
Tanah Laut (0,45%) positif menderita kecacingan. Hasil pengetahuan, sikap dan
perilaku anak sekolah terhadap kecacingan menunjukkan tidak adanya
hubungan yang bermakna di Kabupaten Tanah Laut, Kota Banjarbaru,
Kabupaten Banjar, dan Kabupaten Tapin.
Di Kabupaten Balangan pada variabel pengetahuan dan sikap tidak
adanya hubungan, sedangkan pada variabel perilaku menunjukkan adanya
hubungan yang bermakna secara statistik. Hasil wawancara mendalam terhadap
beberapa informan terkait evaluasi pelaksanaan program penanggulangan
cacingan dalam hal kebijakan semua kab/kota mengacu pada permenkes PMK
No. 15 tahun 2017 yang diturunkan melalui program kecacingan Dinas
Kesehatan Provinsi, kabupaten/kota maupun puskesmas sebagai ujung tombak
pelaksanaan pengobatan kecacingan. Saran hendaknya tetap meningkatkan
penyuluhan terkait dengan kecacingan pada anak sekolah untuk menghindari
Infeksi nematoda usus yang penularannya melalui tanah (STH dan non STH).
Kata kunci : Evaluasi, Kecacingan, Anak sekolah, Pengobatan
xv
Daftar Isi
Judul Penelitian .............................................................................................. iii
SK Penelitian .................................................................................................. iv
Susunan Tim Peneliti .................................................................................... vii
Persetujuan Etik ........................................................................................... viii
Persetujuan Atasan ........................................................................................ ix
Kata Pengantar ................................................................................................ x
Ringkasan Eksekutif ..................................................................................... xii
Abstrak ........................................................................................................... xiv
Daftar Isi ......................................................................................................... xv
Daftar Tabel ................................................................................................. xvii
Daftar Gambar ............................................................................................... xx
Daftar Lampiran ............................................................................................ xxi
I. PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar belakang ....................................................................................... 1
1.2 Perumusan masalah ............................................................................ 6
1.3 Tujuan penelitian .................................................................................. 7
1.4 Manfaat penelitian ................................................................................ 8
II. METODE PENELITIAN ............................................................................. 9
2.1 Kerangka konsep, hipotesis dan definisi operasional .................... 9
2.2 Desain penelitian ................................................................................ 11
2.3 Tempat dan waktu penelitian ........................................................... 11
2.4 Populasi dan sampling ...................................................................... 11
2.5 Instrumen dan pengumpulan data ................................................... 13
2.6 Pengolahan dan analisis data .......................................................... 18
III. HASIL ....................................................................................................... 20
3.1 Deskripsi Wilayah Penelitian ............................................................. 20
3.2 Pelaksanaan Survei Parasitologi di 5 Kabupaten/Kota di
Provinsi Kalimantan Selatan ............................................................ 22
3.3 Kabupaten Tanah Laut ....................................................................... 24
xvi
3.4 Kabupaten Tapin ................................................................................ 34
3.5 Kabupaten Balangan ......................................................................... 43
3.6 Kabupaten Banjar .............................................................................. 52
3.7 Kota Banjarbaru ................................................................................. 61
3.8 Dinas Kesehatan Provinsi ................................................................. 71
IV. PEMBAHASAN ....................................................................................... 76
4.1 Gambaran kasus kecacingan dan angka prevalensi
kecacingan 5 Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan Selatan ..... 76
4.2. Pengetahuan, sikap dan perilaku anak sekolah terhadap
kasus cacingan di 5 Kab/kota di Provinsi Kalimantan
Selatan ................................................................................................. 80
4.3. Hasil wawancara mendalam stakeholder tentang kebijakan
kecacingan dan pelaksanaannya di 5 Kab/kota di Provinsi
Kalimantan Selatan ............................................................................ 83
V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 91
5.1 Kesimpulan ......................................................................................... 91
5.2 Saran ..................................................................................................... 91
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 93
LAMPIRAN .................................................................................................... 96
xvii
Daftar Tabel
Tabel Halaman
1 Proporsi Angka Kecacingan di 13 Kab/Kota Prov Kal-Sel tahun 2008-2011 ……………………………………… 2
2 Definisi Operasional ……………………………………… 10
3.1 Luas Wilayah, Jumlah kecamatan, dan Kepadatan Penduduk tiap Kabupaten/ Kota ………………………… 20
3.2 Persentasi Kecacingan pada Anak Sekolah di 5 Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan Selatan ............... 23
3.3A Karakteristik Responden berdasarkan Jenis Kelamin, Umur, dan Kelas di Kabupaten Tanah Laut …………… 24
3.3B Karakteristik Responden berdasarkan Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku di Kabupaten Tanah Laut ……….. 26
3.3C Karakteristik Responden berdasarkan Kategori Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku di Kabupaten Tanah Laut …………………………………………………………. 28
3.3D Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dengan Kecacingan di Kabupaten Tanah Laut …………………. 28
3.3E Hubungan antara Kecacingan dengan Sikap Responden di Kab. Tanah Laut …………………………. 29
3.3F Hubungan antara Perilaku dan Kejadian Kecacingan di Kabupaten Tanah Laut …………………………………… 29
3.4A Karakteristik Responden berdasarkan Umur, Jenis Kelamin dan berdasarkan Kelas di Kab. Tapin ………… 34
3.4B Karakteristik Responden berdasarkan Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku di Kabupaten Tapin ……………….. 36
3.4C Karakteristik Responden berdasarkan Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku berdasarkan Kategori di Kabupaten Tapin ……………………………………………………….. 37
3.4D. Hasil Analisis Data antara Kecacingan dengan Pengetahuan Responden di Kab. Tapin ………………... 38
xviii
3.4E Hasil Analisis Data antara Kecacingan dengan Sikap Responden di Kab. Tapin ……………………………….. 38
3.4F Hasil Hasil Analisis Data antara Kecacingan dengan Perilaku Responden di Kab. Tapin ……………………… 39
3.5A Karakteristik Responden berdasarkan Umur, Jenis Kelamin dan berdasarkan Kelas di Kab. Balangan …… 43
3.5B Karakteristik Responden berdasarkan Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku di Kab. Balangan ………………….. 45
3.5C Karakteristik Responden berdasarkan Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku di Kab. Balangan ………………….. 46
3.5D Hasil Analisis Data antara Kecacingan dengan Pengetahuan Responden di Kab. Balangan …………… 47
3.5E Hasil Analisis Data antara Kecacingan dengan Sikap Responden di Kab. Balangan ……………………………. 47
3.5F Hasil Analisis Data antara Kecacingan dengan Perilaku Responden di Kab. Balangan ……………………………. 48
3.6A Karakteristik Responden berdasarkan Umur, Jenis Kelamin dan berdasarkan Kelas di Kab. Banjar ……….. 53
3.6B Karakteristik responden berdasarkan Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku di Kab. Banjar ……………………… 55
3.6C Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Responden berdasarkan Kategori di Kab. Banjar …………………… 56
3.6D Hasil analisis data antara kecacingan dengan pengetahuan responden di Kab. Banjar ………………… 56
3.6E Hasil analisis data antara kecacingan dengan sikap responden di Kab. Banjar ………………………………… 57
3.6F Hasil Analisis Data antara Kecacingan dengan Perilaku Responden di Kab. Banjar ……………………………….. 57
3.7A Karakteristik Responden berdasarkan Umur, Jenis Kelamin dan berdasarkan kelas di Kota Banjarbaru ...... 61
3.7B Karakteristik Responden berdasarkan Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku di Kota Banjarbaru .......................... 63
3.7C Karakteristik Responden berdasarkan Kategori Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku di Kota Banjarbaru .. 64
xix
3.7D Hasil Analisis Data antara Kecacingan dengan Pengetahuan Responden di Kota Banjarbaru …………. 65
3.7E Hasil Analisis Data antara Kecacingan dengan Sikap Responden di Kota Banjarbaru ………………………….. 66
3.7F Hasil Analisis Data antara Kecacingan dengan Perilaku Responden di Kota Banjarbaru ………………………….. 66
xx
Daftar Gambar
Gambar Halaman
2 Bagan Konsep Penelitian ……………………………… 8
3.1 Peta Administrasi Provinsi Kalimantan Selatan …….. 21
3.2 Sebaran Jenis Cacing berdasarkan Spesies pada Anak Sekolah di 5 Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan Selatan .................................................... 23
3.3 Grafik hasil pemeriksaan cacingan pada anak sekolah di Kabupaten Tanah Laut ……………………. 26
3.4 Grafik Hasil Pemeriksaan Kecacingan pada anak sekolah di Kabupaten Tapin …………………………... 36
3.5 Grafik Hasil Pemeriksaan Kecacingan pada anak sekolah di Kabupaten Balangan ……………………… 45
3.6 Grafik Hasil Pemeriksaan Kecacingan pada anak sekolah di Kabupaten Banjar …………………………. 54
3.7 Diagram Hasil Pemeriksaan Kecacingan dan jenisnya pada anak sekolah di Kota Banjarbaru …… 63
xxi
Daftar Lampiran Halaman
Lampiran 1.
Lampiran 2.
Lampiran 3.
Lampiran 4.
Lampiran 5.
Surat Permintaan Dinas Kesehatan Provinsi …….
Kuesioner Pengetahuan Sikap dan Perilaku …….
Panduan wawancara mendalam pada stakeholder …………………………………………..
Matriks hasil wawancara mendalam stakeholder ..
Foto-foto kegiatan pengambilan data …………….
97
98
100
106
125
xix
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Penyakit kecacingan yang ditularkan melalui tanah (Soil
Transmitted Helminthiasis/STH), masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat di negara-negara beriklim tropis dan sub tropis, termasuk
negara Indonesia. Infeksi cacing perut ini dapat mempengaruhi status
gizi, proses tumbuh kembang dan merusak kemampuan kognitif pada
anak yang terinfeksi. Kasus-kasus malnutrisi, stunting, anemia bisa
disebabkan oleh karena kecacingan.1
Menurut WHO di seluruh dunia diperkirakan 1,5 miliar orang
atau 24% populasi dunia terinfeksi cacing yang ditularkan melalui
perantaraan tanah (STH). Infeksi STH tersebar luas di 120 negara
tropis dan sub tropis. Lebih dari 267 juta anak usia prasekolah dan
568 juta anak usia sekolah tinggal di daerah di mana parasit ini
ditularkan secara intensif, dan memerlukan intervensi pengobatan dan
pencegahan.2
Di Indonesia prevalensi kecacingan bervariasi pada tahun 2015
tercatat berkisar antara 2,5% - 62%.1 Sedangkan di Provinsi
Kalimantan Selatan angka prevalensi kecacingan ditemukan
bervariasi di setiap kabupaten. Penelitian yang telah dilakukan oleh
Balai Litbangkes Tanah Bumbu di 13 kabupaten/kota wilayah Provinsi
Kalimantan Selatan sejak tahun 2008 hingga 2017 dengan sampel
penelitian anak sekolah dasar menyatakan bahwa selain cacing
golongan soil transmitted helminths (STH) yang menginfeksi manusia,
yaitu Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Hookworm
(Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) juga ditemukan
cacing golongan non STH yaitu di antaranya Fasciolopsis buski,
Enterobius vermicularis, Hymenolepis nana dan Hymenolepis
diminuta.3,4,5,6,7,8,9,10,11,12,13,14,15,16,17. Berdasarkan hasil penelitian terkait
kecacingan oleh Balai litbangkes Tanah Bumbu bekerjasama dengan
2
Dinas Kesehatan Provinsi dan 13 Kabupaten/Kota di Provinsi
Kalimantan Selatan dari tahun 2008 sd 2011.7 (Terlampir di dalam
tabel di bawah ini data kecacingan di 13 Kab/Kota Provinsi Kalimantan
Selatan)
Tabel 1. Proporsi Angka Kecacingan di 13 Kab/Kota Prov Kal-Sel tahun 2008-2011
No Kab/Kota Jumlah Sampel Kecacingan Himenolepiasis
1 Tanah Laut 214 (5,87%) 8 (3,74%) 0
2 Barito Kuala 200 (5,49%) 6 (3,00%) 0
3 Tabalong 171 (4,69%) 29 (16,96%) 1 (0,58%)
4 Tapin 267 (7,33%) 20 (7,49%) 5 (1,87%)
5 Balangan 190 (5,22%) 29 (15,26%) 1 (0,53%)
6 Tanah Bumbu 294 (8,07%) 32 (10,88%) 1 (0,34%)
7 Banjarmasin 362 (9,94%) 11 (3,04%) 3 (0,83%)
8 Banjarbaru 299 (8,21%) 3 (1,00%) 0
9 Banjar 290 (7,96%) 6 (2,07%) 5 (1,72%)
10 Hulu Sungai Utara 360 (9,88%) 4 (1,11%) 0
11 Hulu Sungai Tengah 338 (9,28%) 2 (0,59%) 0
12 Hulu Sungai Selatan 350 (9,61%) 10 (2,86%%) 3 (0,86%)
13 Kotabaru 308 (8,34%) 11 (3,57%) 1 (0,32%)
Total 3.643 (100%) 171 (4,69%) 20 (0,55%)
Pada riset tahun 2015 di Kabupaten Hulu Sungai Utara pada
anak-anak di SD terpilih didapatkan hasil pemeriksaan spesimen tinja
terhadap 440 anak dengan 10 anak yang positif menderita kecacingan
dengan infeksi T.trichiura sebanyak 5 orang, A.lumbricoides sebanyak
1 orang, E.vermicularis sebanyak 2 orang, Hymenolepis nana
sebanyak 2 orang .8
Pada riset tahun 2017 di Kabupaten Hulu Sungai Utara pada
anak-anak di SD terpilih di didapatkan hasil pemeriksaan spesimen
tinja terhadap 155 anak dengan 1 (satu) orang positif Enterobius
vermicularis dan 1 (satu) orang positif Hyminolepis sp.9 Pada tahun
yang sama di Kabupaten Tanah Bumbu dilaporkan proporsi infeksi
STH sebesar 87% dari 319 tinja anak sekolah sedangkan Kabupaten
Hulu Sungai Utara ditemukan proporsi infeksi 9% dari 310 tinja anak
sekolah.
Keberadaan Hymenolepis sp juga ditemukan pada hasil
kegiatan Laboratorium Parasitologi pada tahun 2016 di Kabupaten
Tanah Bumbu terhadap anak-anak di SD terpilih didapatkan hasil
3
pemeriksaan spesimen tinja terhadap 362 anak dengan 133 anak
yang positif menderita kecacingan. Jenis infeksi yang ditemukan
berupa infeksi tunggal dan infeksi campuran. Infeksi cacing yang
ditemukan adalah T trichiura, A lumbricoides, E vermicularis,
Hookworm, H diminuta dan H nana.18 Pada hasil kegiatan
Laboratorium Parasitologi pada tahun 2018 di Kabupaten Tanah
Bumbu terhadap anak-anak di SD terpilih didapatkan hasil
pemeriksaan spesimen tinja terhadap 215 anak dengan 9 orang yang
positif kecacingan, dengan infeksi kecacingan terdiri dari 44,4%
disebabkan cacing Hymenolepis nana, 22,2% cacing Hookworm,
22,2% cacing Enterobius vermicularis, dan 11,1% disebabkan oleh
cacing T trichiura. 19
Penyakit kecacingan yang hanya endemis di Kabupaten Hulu
Sungai Utara adalah fasciolopsiasis, yaitu kecacingan trematoda usus
yang disebabkan oleh Fasciolopsis buski. Fasciolopsiasis pertama kali
diketahui endemis di Kabupaten Hulu Sungai Utara pada tahun 1982,
dengan prevalensi tertinggi pada anak sekolah (79,1%). Berbeda
dengan STH, buski merupakan cacing yang memerlukan lingkungan
air dalam siklus hidupnya. Manusia, babi, kelinci dan kerbau dapat
terinfeksi ketika mengkonsumsi tumbuhan air yang mengandung
metaserkaria dari cacing ini.10,11,12,13,14,15,16, 17
Upaya pengendalian dan pencegahan penyakit kecacingan di
Indonesia secara nasional telah dilaksanakan sejak tahun 1975 pada
masa Repelita II. Kegiatan yang dilakukan adalah Hygiene dan
sanitasi mencakup penyediaan air minum dan jamban keluarga,
hygiene tempat-tempat umum, perumahan dan lingkungan, serta
hygiene makanan dan minuman. Pemberantasan penyakit cacing
dan parasit usus lainnya pada waktu itu masih dalam tahap persiapan
dan masih menitik-beratkan pada penyelidikan-penyelidikan daerah
pertambangan, perkebunan dan transmigrasi. Usaha penyuluhan
kesehatan masyarakat diintegrasikan kedalam kegiatan
4
puskesmas untuk menunjang peningkatan hygiene dan sanitasi
lingkungan.
Kegiatan pengendalian menyebabkan turunnya angka
prevalensi dari 78,6% pada tahun 1978 menjadi 8,9% pada tahun
2003, namun dalam beberapa tahun terakhir ini, infeksi cacingan
kembali mengalami peningkatan. Peningkatan infeksi ini terjadi karena
rendahnya perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) terutama
kebersihan perorangan (pesonal hygiene) seperti kebiasaan cuci
tangan sebelum makan, setelah buang air besar (BAB), kebersihan
kuku, perilaku BAB tidak di jamban yang menyebabkan pencemaran
tanah dan lingkungan oleh tinja yang mengandung telur cacing serta
ketersediaan sumber air bersih.
Peningkatan infeksi kecacingan ini akan sangat berpengaruh
terhadap program Badan Kesehatan Dunia (WHO) untuk penyakit
tropis terabaikan tercantum dalam Deklarasi London rencana strategi
eliminasi kecacingan STH dimana target WHO reduksi kecacingan
dibawah 10% ditahun 2020. Program penanggulangan cacing
merupakan target program penanggulangan kecacingan berupa
reduksi kecacingan pada tahun 2019 tercatum dalam PMK No. 15
tahun 2017. Indikator dalam pencapaian target program
penanggulangan kecacingan berupa penurunan prevalensi
kecacingan sampai dengan di bawah 10% (sepuluh persen) di setiap
desa/kota. Upaya pengendalian kecacingan dengan strategi
pemberian obat cacing massal dilakukan secara terintegrasi dengan
Program Gizi melalui pemberian vitamin A pada anak usia dini dan
melalui Program UKS (Usaha Kesehatan Sekolah) untuk anak usia
sekolah.1
Upaya pengendalian kecacingan berupa POPM di Kalimantan
Selatan telah dilakukan pada tahun 2017 di 5 (lima) kabupaten/kota
non endemis filariasis yaitu Kabupaten Hulu Sungai Selatan,
Kabupaten Tanah Laut, Kota Banjarbaru, Kota Banjarmasin dan
5
Kabupaten Banjar. Sedangkan 8 (delapan) kabupaten/kota yang lain
pemberian obat kecacingan terintegrasi dengan POPM filariasis yaitu
Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Tanah Bumbu, Kabupaten
Kotabaru, Kabupaten Tapin, Kabupaten Hulu Sungai Tengah,
Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kabupaten Tabalong dan Kabupaten
Balangan.
Hal ini sesuai POPM kecacingan pada tahun 2017 dilakukan
pemberian obat albendazole sebanyak 2 (dua) kali setiap tahunnya
yaitu bulan Februari dan Agustus. Sedangkan POPM filariasis
dilakukan pemberian kombinasi obat albendazole dan DEC sebanyak
1 (satu) kali setiap tahunnya. Akan tetapi pelaksanaan pengendalian
kecacingan masih menemukan kendala dengan ketidak tersediaan
database prevalensi kecacingan.
Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Pengelola Program
Filariasis dan Kecacingan Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan
Selatan.
“Kita hanya program pemberian obat aja. Kayak program yang lainnya belum lagi. Jadi hanya pemberian obat albendazole saja, setiap tahun itu dua kali, februari dan agustus. Cuman itu” “Itu gin kadang-kadang teman-teman juga protes kenapa kami disuruh memberikan obat cacing katanya, apakah ada dasarnya dari hasil pemeriksaan berapa prevalensi kecacingan” “Kan yang delapan itu daerah endemis filaria. Mereka kan sudah minum DEC sama albendazol. Jadikan albendazolenya sudah mereka minum itu setiap tahun meskipun satu kali. Jadi katanya untuk program kecacingan itu sudah termasuk di dalam pengobatan filaria kemarin itu”
Berdasarkan permasalahan diatas pihak Pengelola Program
Filariasis dan Cacingan Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan
meminta kerjasama penelitian untuk mendapatkan angka prevalensi
kecacingan dari tiap kab/kota sebagai bahan evaluasi program
pengendalian kecacingan di Provinsi Kalimantan Selatan PMK No. 15
tahun 2017.
6
1.2 Perumusan masalah
Pemberian obat pencegahan secara massal (POPM)
kecacingan telah dilakukan mulai tahun 2017 di 5 (lima)
Kabupaten/Kota sebagai salah satu upaya mencapai target reduksi
kecacingan. Sedangkan pemberian obat pencegahan secara massal
(POPM) filariasis telah dilakukan di 8 (delapan) Kabupaten/Kota. PMK
No 15 tahun 2017 menargetkan reduksi kecacingan pada tahun 2019
sampai dengan di bawah 10% (sepuluh persen) di setiap daerah
desa/kota sedangkan WHO menargetkan secara global untuk
eliminasi kecacingan pada tahun 2020. Akan tetapi hingga saat ini
belum tersedia data angka prevalensi terbaru untuk infeksi kecacingan
di setiap kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Selatan. Berdasarkan
permasalahan di atas perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui
angka prevalensi kecacingan sebagai bahan evaluasi implementasi
PMK No 15 tahun 2017 pada masyarakat terutama pada kelompok
target balita dan anak usia sekolah untuk melihat pencapaian target
reduksi kecacingan dan kesiapan mencapai target WHO.
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan di atas,
maka dapat disusun pertanyaan penelitian, sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran kasus kecacingan dan berapa angka
prevalensi kecacingan di 5 Kab/kota di Provinsi Kalimantan Selatan
yaitu Kabupaten Tanah Laut, Kota Banjarbaru, Kabupaten Banjar,
Kabupaten Balangan dan Kabupaten Tapin?
2. Bagaimana pengetahuan, sikap dan perilaku anak sekolah
terhadap kasus cacingan di 5 Kab/kota di Provinsi Kalimantan
Selatan?
3. Bagaimana pelaksanaan program penanggulangan kecacingan
berdasarkan PMK No. 15 tahun 2017 pada tingkat Dinas
7
Kesehatan, Puskesmas dan pemangku kepentingan di Kabupaten
Tanah Laut, Kota Banjarbaru, Kabupaten Banjar, Kabupaten
Balangan dan Kabupaten Tapin?
1.3 Tujuan penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengevaluasi program penanggulangan kecacingan
pasca POPM berdasarkan PMK No. 15 tahun 2017 di 5 Kab/kota di
Provinsi Kalimantan Selatan yaitu Kabupaten Tanah Laut, Kota
Banjarbaru, Kabupaten Banjar, Kabupaten Balangan dan
Kabupaten Tapin
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Memberikan gambaran kasus kecacingan dan menghitung
angka prevalensi kecacingan di 5 Kab/kota di Provinsi
Kalimantan Selatan yaitu Kabupaten Tanah Laut, Kota
Banjarbaru, Kabupaten Banjar, Kabupaten Balangan dan
Kabupaten Tapin.
2. Mengukur pengetahuan, sikap dan perilaku anak sekolah
terhadap kasus cacingan di 5 Kab/kota di Provinsi Kalimantan
Selatan yaitu Kabupaten Tanah Laut, Kota Banjarbaru,
Kabupaten Banjar, Kabupaten Balangan dan Kabupaten Tapin.
3. Melakukan evaluasi pelaksanaan program penanggulangan
cacingan berdasarkan PMK No. 15 tahun 2017 di 5 Kab/kota di
Provinsi Kalimantan Selatan yaitu Kabupaten Tanah Laut, Kota
Banjarbaru, Kabupaten Banjar, Kabupaten Balangan dan
Kabupaten Tapin.
8
1.4 Manfaat penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Memberikan informasi gambaran kasus, angka prevalensi
terkini dan PSP dan hygiene anak SD terhadap kecacingan di
5 Kab/kota di Provinsi Kalimantan Selatan, yaitu Kabupaten
Tanah Laut, Kota Banjarbaru, Kabupaten Banjar, Kabupaten
Balangan dan Kabupaten Tapin.
2. Sebagai bahan rekomendasi pelaksanaan evaluasi program
pengendalian kecacingan pada tingkat Dinas Kesehatan,
Puskesmas dan pemangku kepentingan di yaitu Kabupaten
Tanah Laut, Kota Banjarbaru, Kabupaten Banjar, Kabupaten
Balangan dan Kabupaten Tapin guna pencapaian target
reduksi cacingan.
9
II. METODE PENELITIAN
2.1 Kerangka konsep, hipotesis dan definisi operasional
2.1.1 Kerangka Konsep
Gambar 2. Bagan konsep penelitian
Pengendalian kecacingan
di 5 Kab/Kota di Provinsi
Kalimantan Selatan
Survei Tinja anak
sekolah
Indept interview
stakeholder
Survei pengetahuan,
sikap dan perilaku
Prevalensi
Kecacingan
Pengetahuan (rendah,sedang dan
tinggi) sikap dan perilaku (positif,
negative)
Implementasi
Kebijakan eliminasi
kecacingan
Ditemukan sebaran transmisi
penularan kecacingan
Eliminasi Kecacingan
10
2.1.2 Definisi operasional variabel
Variabel Definisi Alat ukur Cara pengukuran
Program penanggulangan
kegiatan atau tindakan yang ditujukan untuk menurunkan prevalensi dan risiko penularan cacingan < 10% disetiap kabupaten/kota
Cacingan Penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing dalam tubuh manusia yang ditularkan melalui tanah maupun tidak melalui tanah
Periksa feses/tinja
Metode kato katz
Penderita cacingan
Sesorang yang dalam pemeriksaan tinjanya mengandung telur cacing dan atau cacing
Periksa feses/tinja
Metode kato katz atau pemeriksaan langsung
Pengetahuan responden
Pada tingkatan tahu (know) mengingat kembali (recall) suatu materi yang sdh diketahui sebelumnya
Kuesioner Wawancara
Sikap responden Seseorang menerima (receiving) dan mau memperhatikan stimulus yang di berikan obyek dan merespon (responding) mengerjakan dan meneyelesaikan tugas yang diberikan
Kuesioner Wawancara
Tindakan responden
Suatu respon terhadap rangsangan atau stimulus dalam bentuk nyata yang dapat diobservasi langsung melalui kegiatan wawancara
Kuesioner Observasi
Persepsi stakeholder
pengetahuan, pengalaman, pendapat ataupun perhatian stakeholder terhadap suatu permasalahan dalam hal ini tentang cacingan
Kuesioner Wawancara
Persepsi anak sekolah
pengetahuan, pengalaman, pendapat ataupun perhatian anak sekolah terhadap suatu permasalahan dalam hal ini tentang cacingan didapatkan dari studi dokumen.
Kuesioner Wawancara
POPM cacingan Prevalensi cacingan
Kegiatan pemberian obat cacing secara masal terintegrasi dengan pengobatan filariasis dilakukan untuk menurunkan prevalensi cacingan di kabupaten/kota
Prevalensi tinggi apabila ≥ 50%
Prevalensi sedang apabila prevalensi cacingan 20%-50%
Prevalensi rendah apabila prevalensi ≤ 20%
Kuesioner Wawancara
SDM kesehatan Tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dalam pelaksanaan penanggulangan cacingan
Kuesioner Wawancara
Fasilitas Alat kesehatanan, sediaan farmasi dan bahan habis pakai untuk penanggulangan cacingan dan pemeriksaan sampel tinja.
Check list Wawancara
Anggaran Biaya yang disediakan untuk pengendalian cacingan
Kuesioner Wawancara
Pemantauan dan evaluasi
Suatu kegiatan pengamatan yang dilakukan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sebagai pelaksana teknis. Pemantauan dimaksud dilakukan meliputi pelaksanaan POPM cacingan, survei cakupan pengobatan, dan survei evaluasi prevalensi
Kuesioner, studi dokumen
Wawancara, obsevari
11
2.2 Desain penelitian
Jenis penelitian yang digunakan bersifat deskriptif dengan
pendekatan analisis kuantitatif dan kualitatif (mixed method).
2.3 Tempat dan waktu penelitian
Penelitian dilakukan di 5 Kabupaten/Kota di Provinsi
Kalimantan Selatan yaitu yaitu Kabupaten Tanah Laut, Kota
Banjarbaru, Kabupaten Banjar, Kabupaten Balangan dan Kabupaten
Tapin. Penelitian akan dilaksanakan selama 10 (sepuluh) bulan
terhitung Februari sampai dengan November 2019.
2.4 Populasi dan sampling
2.4.1 Populasi dan sampling dalam studi kuantitatif (pemeriksaan tinja) dan kuesioner pengetahuan, sikap dan perilaku anak sekolah terkait kecacingan
Besar Sampel, untuk data kuantitatif besar sampel dihitung
menggunakan probability proportionate to size (PPS) atau
menggunakan teknik probabilitas yang proporsional terhadap besar
klaster, masing-masing kabupaten sebanyak 330 responden.
Cara Pemilihan/penarikan sampel, untuk sampel kuantitatif
pengambilan sampel dilakukan dengan acak/random). Teknik ini
digunakan untuk mempeoleh gambaran suatu populasi berdasarkan
sampel indikator. Untuk sampel kuantitatif pengambilan sampel
dilakukan dengan dengan rancangan sampel klaster dua tahap (two-
stage cluster survey). Tahap pertama dilakukan pemilihan 30 klaster
(Sekolah Dasar) secara probability proportionate to size (PPS) atau
menggunakan teknik probabilitas yang proporsional terhadap besar
klaster. Tahap kedua masing-masing klaster diambil subyek survai
anak sekolah dasar sebanyak 7 s.d 10 responden. Secara praktis
12
dapat dikatakan bahwa jumlah sampel sebanyak 30 x 7 s.d 10
responden, (30 klaster / sekolah. 7 s.d 10 orang tiap klaster/ sekolah)
sudah mencukupi untuk estimasi proporsi kejadian berkisar 15%-
85%, sehingga total sampel yang terkumpul adalah 30 x 7 s.d 10 =
210 s.d 300. Alasan kami mengambil sampel tersebut sudah
diperhitungkan dengan sampel minimum sebanyak 210 dan
maksimal 300 responden, jadi kami menambahkannya lagi 10 %
sehingga total sampel menjadi 330 responden.
Populasi adalah semua murid Sekolah Dasar (SD) di yaitu
Kabupaten Tanah Laut, Kota Banjarbaru, Kabupaten Banjar,
Kabupaten Balangan dan Kabupaten Tapin yaitu anak SD/MI kelas
1-5 di kabupaten lokasi penelitian.
Sampel adalah murid SD yang terpilih secara acak/random.
Hasil perhitungan mendapatkan jumlah sampel minimal adalah 210-
330 responden per kabupaten. Pemeriksaan tinja pada anak-anak
SD/MI. Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah ada kejadian
infeksi kecacingan perut. Pemeriksaan tinja dilakukan dengan
metode langsung. Subyek yang diambil faeces/tinja adalah anak
SD/MI kelas 1-5 di kabupaten lokasi penelitian. Kriteria Sampel:
Inklusi: anak SD/MI kelas 1-5 terpilih sebagai sampel penelitin,
Eksklusi: anak SD/MI kelas 1-5 yang sakit (diare).
Untuk menggali Pengetahuan Sikap dan Perilaku tentang
kecacingan, PHBS dan higienis perorangan pada anak sekolah atau
wali murid yang termasuk dalam sampel penelitian dengan
menggunakan kuesioner. Kuesioner tentang pengetahuan, sikap dan
perilaku anak sekolah terkait kecacingan. Populasi dalam penelitian
ini adalah semua murid Sekolah Dasar (SD) atau orang tua/wali
murid Sekolah Dasar (SD) di yaitu Kabupaten Tanah Laut, Kota
Banjarbaru, Kabupaten Banjar, Kabupaten Balangan dan Kabupaten
Tapin yang menjadi responden pemeriksaan tinja.
13
Sampel adalah murid Sekolah Dasar (SD) atau orang tua/wali
murid Sekolah Dasar (SD) yang secara acak/random terpilih menjadi
responden pemeriksaan tinja. Kriteria sampel inklusi yaitu murid atau
orang tua/wali murid sekolah dasar kelas 1-5 bersedia berpartisipasi
dalam survei PSP. Kriteria sampel eksklusi adalah sampel terpilih
yang tidak bersedia mengisi instrumen PSP.
2.4.2 Wawancara mendalam terhadap informan tentang implementasi PMK No 15 Tahun 2017
Wawancara mendalam ditujukan kepada key informan (stake
holder) yang mengetahui permasalahan terkait dengan program
eliminasi kecacingan di desa/kelurahan, kecamatan dan kabupaten
lokasi penelitian. Key informan yang diwawancarai yaitu Kepala
Dinas Kesehatan, Pengelola Program kecacingan di Dinas
Kesehatan, Kepala Puskesmas dan Pengelola Program kecacingan
di Puskesmas, Kepala Sekolah dan Guru Kelas/Guru UKS.
2.5 Instrumen dan pengumpulan data
2.5.1 Pemeriksaan tinja dengan metode Kato Katz
Pemeriksaan tinja dilakukan dengan metode pemeriksaan
kato katz.1 Prosedur pengumpulan data yaitu:
a. Cara pengumpulan spesimen tinja
- Ketua tim memberikan penjelasan singkat kepada kepala
sekolah dan guru-guru tentang maksud dan tujuan survei
- Petugas pendaftar melakukan pendaftaran dan pencatatan
nama murid SD/MI yang terpilih sebagai sampel yang akan
menyerahkan spesimen tinja
- Sebelum pot tinja dibagi kepada responden perlu mendapatkan
persetujuan dari orang tua responden. Jika responden terpilih
maka dilakukan wawancara tentang pengetahuan kecacingan,
kebiasaan hidup sehat dengan menggunakan kuesioner
14
- Membagikan pot tempat spesimen tinja disertai keterangan
cara pengambilan, pengemasan, dan waktu penyerahan
- Jumlah tinja yang dimasukkan ke dalam pot / kantong plastik
sekitar 100 mg (sebesar kelereng atau ibu jari tangan).
- Spesimen harus segera diperiksa pada hari yang sama, sebab
jika tidak telur cacing tambang akan rusak atau menetas
menjadi larva. Jika tidak memungkinkan tinja harus diberi
formalin 5-10% sampai terendam.
b. Cara pemeriksaan tinja dengan metoda kato katz
Pemeriksaan tinja bertujuan untuk menegakkan diagnosis
pasti, ada dan tidaknya infeksi cacing, berat ringannya infeksi
serta jenis telur cacing yang ada. Bahan untuk pemeriksaan
fese/tinja sebagai berikut: Aquadest, Glycerin, Malachite green
(hijau malasit), Gelas obyek, Cellophane tape (selofan), ukuran
lebar 2,5 cm, Karton ukuran tebal 2 mm dan dilubangi dengan
perforator, Kawat saring atau kawat kasa (wire screen), Pot
plastik ukuran 10 – 15 cc atau kantong plastik obat, Lidi atau
tusuk gigi, Kertas minyak, Kertas saring atau tissue , Spidol
tahan air, Tutup botol dari karet, Gunting logam, Waskom plastik
kecil, Sabun dan deterjen, Handuk kecil, Sarung tangan karet,
Formalin 5 – 10 %, Mikroskop, Formulir, Ember, Counter (alat
penghitung).1
a) Cara Membuat Larutan Kato
Larutan Kato adalah cairan yang dipakai untuk
merendam/memulas selofan (cellophane tape) dalam
pemeriksaan tinja terhadap telur cacing menurut modifikasi
teknik Kato dan Kato-Katz.
1) Untuk membuat Larutan Kato diperlukan campuran
dengan perbandingan: Aquadest 100 bagian, Glycerin
100 bagian dan Larutan malachite green 3% sebanyak
1 bagian.
15
2) Timbang malachite green sebanyak 3 gram, masukkan
ke dalam botol/beker glass dan tambahkan aquadest
100 cc sedikit demi sedikit lalu aduk/kocok sehingga
homogen, maka akan diperoleh larutan malchite green
3%.
3) Masukkan 100 cc aquadest ke dalam Waskom plastik
kecil, lalu tambahkan 100 cc glycerin sedikit demi
sedikit dan tambahkan 1 cc larutan malachite green
3%, aduk sampai homogen. Maka akan didapatkan
Larutan Kato 201 cc.
b) Cara merendam / memulas selofan (cellophane tape)
1) Buatlah bingkai kayu segi empat sesuai dengan ukuran
Waskom plastik kecil. Contoh: Misal bingkai untuk foto.
2) Libatkan / lilitkan selofan pada bingkai tersebut.
3) Rendamlah selama l.k 18 jam dalam Larutan Kato.
4) Pada waktu akan dipakai, guntinglah selofan yang
sudah direndam sepanjang 3 cm.1
c) Cara Pemeriksaan Kualitatif (modifikasi teknik Kato)
Hasil pemeriksaan tinja kualitatif berupa positif atau
negatif cacingan. Prevalensi cacingan dapat berupa
prevalensi seluruh jenis cacing atau per jenis cacing.1
Tahapan pemeriksaan:
1) Pakailah sarung tangan untuk mengurangi
kemungkinan infeksi berbagai penyakit.
2) Tulislah Nomor Kode pada gelas objek dengan spidol
sesuai dengan yang tertulis di pot tinja.
3) Ambilah tinja dengan lidi sebesar kacang hijau, dan
letakkan di atas gelas obyek.
4) Saringlah tinja menggunakan kawat saring.
16
5) Letakkan karton yang berlubang di atas slide kemudian
masukkan tinja yang sudah di saring pada lubang
tersebut.
6) Ambilah karton berlubang tersebut dan tutuplah tinja
dengan selofan yang sudah direndam dalam larutan
Kato.
7) Tutup dengan selofan yang sudah direndam dalam
larutan Kato, dan ratakan tinja di bawah selofan dengan
tutup botol karet atau gelas obyek.
8) Biarkan sediaan selama 20-30 menit.
9) Periksa dengan pembesaran lemah 100 x (obyektif 10 x
dan okuler 10x), bila diperlukan dapat dibesarkan 400 x
(obyektif 40 x dan okuler 10 x).
10) Hasil pemeriksaan tinja berupa positif atau negatif tiap
jenis telur cacing.
c. Cara menghitung telur
Hasil pemeriksaan tinja secara kuantitatif merupakan
intensitas infeksi, yaitu jumlah telur per gram tinja (Egg Per
Gram/EPG) tiap jenis cacing.1
a) Intensitas Cacing Gelang Jumlah telur cacing gelang ----------------------------------- x 1000/R Jumlah specimen positif telur Cacing Gelang
b) Intensitas Cacing Cambuk
Jumlah telur cacing cambuk --------------------------------------x 1000/R Jumlah specimen positif telur Cacing Cambuk
c) Intensitas Cacing Tambang
Jumlah telur cacing tambang -------------------------------------x 1000/R Jumlah specimen positif telur Cacing Tambang
17
Ket : R = berat tinja sesuai ukuran lubang karton (mg). Untuk program cacingan adalah 40 mg.
d. Cara perhitungan prevalensi angka kecacingan
1. Prevalensi Seluruh Cacing Jumlah specimen positif telur minimal 1 jenis cacing --------------------------------------------------------------x 100% Jumlah specimen yang diperiksa
2. Prevalensi Cacing Gelang Jumlah specimen positif telur cacing gelang -------------------------------------------------------x 100% Jumlah specimen yang diperiksa
3. Prevalensi Cacing Cambuk
Jumlah specimen positif telur cacing cambuk ------------------------------------------------------------x 100% Jumlah specimen yang diperiksa
4. Prevalensi Cacing Tambang
Jumlah specimen positif telur cacing tambang -------------------------------------------------------------x 100% Jumlah specimen yang diperiksa
e. Survei Pengetahuan Sikap dan Perilaku tentang Cacingan, PHBS
dan personal higenis
Alat dan bahan yang diperlukan yaitu kuesioner tentang
kecacingan, form pengamatan, dan kamera digital.
Prosedur pengumpulan data yaitu:
- Ketua tim memberikan penjelasan singkat kepada kepala
sekolah dan guru-guru tentang maksud dan tujuan survei.
- Petugas pendaftar melakukan pendaftaran dan pencatatan
nama murid SD/MI yang terpilih sebagai sampel yang akan
menyerahkan spesimen tinja.
- Sebelum pot tinja dibagi kepada responden perlu
mendapatkan persetujuan dari orang tua responden. Jika
responden terpilih maka dilakukan wawancara tentang
18
pengetahuan kecacingan, kebiasaan hidup sehat dengan
menggunakan kuesioner.
2.5.2 Instrumen dan pengumpulan data kualitatif
Instrumen yang diperlukan yaitu form pengumpulan data
kualitatif, alat perekam, pedoman wawancara terstruktur, form
persetujuan setelah penjelasan dan form informed consent.
Data penelitian dikumpulkan dengan melakukan wawancara
mendalam tentang implementasi PMK No 15 Tahun 2017 terhadap
stake holder. Alat dan bahan yang diperlukan yaitu pedoman
wawancara mendalam, form catatan hasil wawancara mendalam,
matriks tematik wawancara mendalam, recorder dan kamera digital.
Prosedur pengumpulan data meliputi:
a. Tim Pengumpul data akan mendatangi informan yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
b. Sebelum pelaksanaan wawancara, tim memberikan penjelasan
tentang maksud dan tujuan wawancara mendalam.
c. Informan diminta untuk membaca dan menandatangani PSP.
d. Tim pengumpul data menanyakan sesuai dengan pedoman
wawancara terstruktur kepada informan berdiskusi tentang
cacingan terkait implementasi PMK No 15 Tahun 2017.
e. Pengumpulan data sekunder tentang program cacingan.
2.6 Pengolahan dan analisis data
2.6.1 Analisis data kuantitatif
Data dan informasi yang diperoleh diedit, coding dan dientri
langsung di lapangan dengan program yang telah disiapkan. Entri
data dilakukan oleh tim pengumpul data. Data kuantitatif dilakukan
analisis secara deskriptif/univariat dengan menghitung prevalensi
angka kecacingan, dilanjutkan uji bivariat untuk mengetahui
hubungan antara variabel pengetahuan, sikap dan perilaku anak
sekolah terhadap kejadian kecacingan.
19
2.6.2 Analisis data kualitatif
Data kualitatif dari hasil wawancara mendalam akan
dilakukan pengkajian untuk diperoleh kesimpulan di setiap variabel
yang di mana hasil wawancara dalam rekaman (tape recorder)
kemudian ditransfer dalam bentuk tulisan atau dibuat tabel matriks
dan dianalisis secara tematik. Sewaktu di lapangan, dilakukan
triangulasi untuk mengetahui dan mencocokkan informasi yang
berasal dari berbagai instrumen dan sumber, karena instrument
dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri. Teknik triangulasi
dilakukan dengan jalan memanfaatkan peneliti atau pengamat
lainnya untuk keperluan pengecekan kembali derajat kepercayaan
data. Pemanfatan pengamat lainnya bertujuan untuk mengurangi
penyimpangan dalam pengumpulan data. Triangulasi dengan
sumber yaitu membandingkan mencocokan dan memeriksa kembali
derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh diantaranya
dengan jalan membandingkan data hasil pengamatan dengan data
hasil wawancara. Selanjutnya data tersebut disusun dan dibuatkan
matrik, dilakukan analisis domain salah satu teknik analisis dalam
pendekatan kualitatif.
Domain :
- Kebijakan;
- Program;
- SDM (pelaksana);
- Sarana prasarana;
- Pembiayaan (anggaran);
- Koordinasi lintas sektor;
- Hambatan pelaksanaan.
20
III. HASIL
3.1 Deskripsi Wilayah Penelitian
Penelitian ini dilakukan di 4 kabupaten dan 1 kota. Empat
kabupaten tersebut adalah Banjar, Balangan, Tapin, Tanah Laut, dan
Kota Banjarbaru. Berdasarkan letak geografisnya kelima wilayah
tersebut berdekatan dan berada di jalur tengah, kecuali Kabupaten
Tanah Laut. Berdasarkan jarak dengan ibu kota provinsi, paling dekat
adalah Kota Banjarbaru (35 km), Kabupaten Banjar (40 Km),
Kabupaten Tanah Laut (65 Km), Kabupaten Tapin (113 Km), dan
Kabupaten Balangan (202 Km). 20
Dilihat dari topografi wilayahnya, sebagian besar terletak pada
daerah dataran dengan kemiringan lereng kurang dari 2%, kecuali
Kabupaten Balangan. Kabupaten ini, sebagian besar wilayahnya
memiliki kelerengan 2-8%. Rona wilayahnya bergelombang.
Tabel 3.1. Luas Wilayah, jumlah kecamatan, dan kepadatan penduduk tiap kabupaten/ kota
Kabupaten/
Kota
Luas
Wilayah
(Km2)
Jumlah
Kecamatan
Jumlah
Desa/
Kelurahan
Kepadatan
Penduduk/
Km2
Banjarbaru 371,00 5 20 688,94
Banjar 4.668,00 17 288 124,26
Balangan 1.878,30 8 159 68,95
Tapin 2.700,82 12 131 70,01
Tanah Laut 3.631,35 9 133 93,41
Sumber: BPS, 2019
Berdasarkan luas wilayah dalam provinsi, Kabupaten Banjar
memiliki luas sebesar 12,0%. Kabupaten Tanah Laut sebesar 9,3%.
Tapin sebesar 6,9%. Balangan adalah 4,8%. Banjarbaru menempati
0,9% dari total luas wilayah Kalimantan Selatan.
Jumlah kecamatan terbanyak ada di Kabupaten Banjar dengan
jumlah 17 kecamatan dan 288 desa. Jika dirata-rata luas wilayah per
21
desanya yang paling luas adalah wilayah desa yang ada di Kabupaten
Tanah Laut dengan rerata 27,3 km2, Tapin 20,6 Km2, Banjar 16,2 Km2,
Balangan 11,8 Km2 dan Kota Banjarbaru 18,5 Km2.
Gambar 3.1 Peta Administrasi Provinsi Kalimantan Selatan (Sumber: bpkp.go.id)
Kepadatan penduduk paling tinggi ada di Kota Banjarbaru.
Wilayah kota dengan akses yang mudah ke bandara, kantor provinsi,
dan beberapa universitas berada di wilayah ini. Dibandingkan daerah
22
yang lainnya kepadatan penduduk di Kota Banjarbaru mencapai
hampir 10 kali lipat.
Sungai merupakan indikator keberadaan air. Keberadaan
sungai pada suatu wilayah dapat mempengaruhi kebiasaan dan
kebudayaan masyarakat disekitarnya. Provinsi Kalimantan Selatan
dilewati oleh beberapa sungai besar. Kabupaten Tanah Laut dilewati
oleh 8 sungai. Kabupaten Banjar ada 7 sungai. Tapin memiliki 8
sungai.
Berdasarkan data curah hujan tahun 2018 dapat dilihat bahwa
daerah penelitian memiliki curah hujan yang cukup, dengan total
pertahun lebih dari 2000 mm/tahun. Kabupaten Tanah Laut sebesar
2.505 mm/tahun dengan jumlah hari hujan sebanyak 145 hari.
Kabupaten Banjar sebesar 2.364 mm/tahun (160 hari). Tapin 2.599
(173 hari). Balangan 1.662 (185 hari), Kota Banjarbaru 2.515 (210).
Jika di rata-rata, maka daerah dengan intensitas hujan paling kecil
adalah Kabupaten Balangan dengan 8 mm/hari hujan.
3.2 Pelaksanaan Survei Parasitologi di 5 Kabupaten/Kota di Provinsi
Kalimantan Selatan
Hasil pembagian sampel spesimen tinja pada anak sekolah
dasar di 150 SD berjumlah 3208 pot tinja yang dikumpulkan pada
bulan Februari s/d Oktober 2019 dari 5 kabupaten. Berhasil
mengembalikan sampel spesimen tinja berjumlah 2005 pot tinja, dan
tidak mengembalikan atau mengembalikan tetapi pot kosong
berjumlah 1203 pot. Hasil pemeriksaan spesimen tinja yang dilakukan
terhadap 2005 pot tinja diperiksa dengan metode kato kaz, dari hasil
pemeriksaan didapatkan 21 anak (1,05%) positif menderita
kecacingan. Berikut dalam tabel 3.2 data tentang persentase
kecacingan per kabupaten/kota.
23
Tabel 3.2 Persentase kecacingan pada anak sekolah di 5 Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan Selatan
Hasil Pemeriksaan
Banjarbaru Banjar Tapin Tanah Laut Balangan Total
Orang % Orang % Orang % Orang % Orang %
Negatif 247 98.41 370 98.93 434 99.31 439 99.55 494 98.41 1984
Positif 4 1.59 4 1.07 3 0.69 2 0.45 8 1.59 21
Jumlah 251 100 374 100 437 100 441 100 502 100 2005
Sumber: Hasil analisis data primer, 2019
Infeksi cacing terbanyak yaitu cacing kremi (E.vermicularis)
sebanyak 8 anak (38,1%), cacing cambuk (T.trichiura) sebanyak 5
anak (23,81%), cacing gelang (A.lumbricoides) sebanyak 3 anak
(14,29%), cacing kait/hookworm (N.americanus atau A.duodenale)
sebanyak 2 orang (9,52%), hymenolepis nana sebanyak 2 orang
(9,52%).
3; 14%
8; 38%
2; 9%
2; 10%
1; 5%
5; 24%
SEBARAN JENIS CACING
Ascaris lumbricoides
Enterobius vermicularis
H.Nana
Hookworm
Mix (Enterobius vermicularisdan Trichuris Trichiura)
Trichuris trichiura
Gambar 3.2 Sebaran jenis cacing berdasarkan spesies pada anak sekolah di 5 kabupaten/kota Provinsi Kalimantan Selatan
(Sumber: Hasil analisis data primer, 2019)
Untuk mendapatkan data kualitatif dari evaluasi program
penanggulangan kecacingan di Provinsi Kalimantan Selatan tahun
2019 telah dilakukan wawancara mendalam terhadap informan kunci
24
untuk mendukung data kuantitatif, sehingga dapat diketahui
bagaimana pelaksanaan program penanggulangan kecacingan
berdasarkan PMK No. 15 tahun 2017 pada tingkat Dinas Kesehatan
Provinsi dan kabupaten, puskesmas dan pemangku kepentingan di 5
Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Selatan.
Informan yang terpilih adalah Kepala Seksi P2P dan Pengelola
program kecacingan di Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan,
Kepala Bidang, Kepala Seksi P2P, Pengelola program kecacingan di
Dinas Kesehatan di 5 Kabupaten/Kota, Kepala puskesmas dan
Pengelola Program Kecacingan di 5 Kabupaten/Kota, dan beberapa
sekolah dasar terpilih diantaranya kepala sekolah, wali kelas dan guru
UKS.
3.3 Kabupaten Tanah Laut
3.3.1 Deskripsi Karakteristik Responden
Karakteristik anak sekolah pada penelitian ini dapat
dideskripsikan sebagaimana dalam Tabel 3.3A. Data dalam tabel
tersebut menunjukkan bahwa dari 441 orang responden yang diteliti,
mayoritas berumur 7 tahun (24,26 %), berjenis kelamin laki-laki
(52,83%) dan kelompok terbanyak berasal dari murid kelas dua
(24,94%).
Tabel 3.3A Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin, umur,
dan kelas di Kabupaten Tanah Laut
No Keterangan
Orang Persentase
1. Jenis Kelamin Laki-laki 233 52,83
Perempuan
208
4,17
2. Umur (tahun) 5 1 0,23
6 71 16,10
7 107 24,26
8 86 19,50
9 83 18,82
10 85 19,27
25
11 7 1,59
12
1
0,23
3. Kelas 1 86 19,50
2 110 24,94
3 81 18,37
4 82 18,59
5
82
18,59
Jumlah 441 100
(Sumber: Hasil analisis data primer, 2019)
3.3.2 Gambaran kasus kecacingan dan angka prevalensi kecacingan di
Kabupaten Tanah Laut
Hasil pengambilan sampel spesimen tinja pada anak sekolah
dasar berjumlah 441 responden yang dikumpulkan pada bulan
Oktober 2019. Spesimen tinja diperiksa dengan menggunakan
metode kato katz. Hasil pemeriksaan spesimen tinja, didapatkan 2
anak (0,45%) positif menderita kecacingan. Infeksi cacing yang
ditemukan adalah cacing cambuk (T.trichiura) sebanyak 1 anak dan
1 anak menderita infeksi mix, yakni cacing kremi (E. vermicularis)
dan cacing cambuk (T.trichiura).
Dari hasil survei tinja tersebut menunjukkan bahwa infeksi
kecacingan yang terjadi pada anak sekolah di Kabupaten Tanah Laut
cukup rendah. Dari spesies yang ditemukan yaitu telur cacing
nematoda usus antara lain cacing cambuk (T.trichiura) yang
disebabkan karena kontak dengan tanah (soil-transmitted
helminthes), sedangkan Enterobius vermicularis merupakan infeksi
umum yang memang banyak menyerang dikalangan anak karena
cara penularannya yang sangat cepat dan mudah (bisa melalui
pakaian, sprei, oral, dll).
26
Gambar 3.3. Grafik hasil pemeriksaan cacingan pada anak sekolah di Kabupaten Tanah Laut
(Sumber: Hasil analisis data primer, 2019)
3.3.3 Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Responden terhadap Kecacingan
di Kabupaten Tanah Laut
A. Analisis univariat
Berdasarkan hasil wawancara terhadap 441 responden (N),
didapatkan hasil bahwa hampir sebagian besar (64,9) tahu tentang
cara penularan cacingan, sikap responden sebagian besar tahu
tentang cara agar tidak cacingan yaitu minum obat cacing (80,3%),
dan hampir seluruhnya (98,6%) mengatakan perilaku responden
untuk buang air besar di jamban/wc.
Tabel 3.3B. Karakteristik responden berdasarkan pengetahuan,
sikap, dan perilaku di Kabupaten Tanah Laut
Pengetahuan
1
Apakah adik tahu tentang sakit kecacingan?
(n) 178
(%) 40.4
2 Apakah berikut tanda-tanda kecacingan? Sakit perut/mencret
273 61.9
3 Apakah berikut tanda-tanda kecacingan? Tidak nafsu makan
188 42.6
4 Apakah berikut tanda-tanda kecacingan? Pucat/lemas
174 39.5
27
5 Apakah berikut tanda-tanda kecacingan? Perut buncit
165 37.4
6 Apakah berikut tanda-tanda kecacingan? Tidak menjawab/tidak tahu
74 16.8
7 Apakah berikut ini merupakan cara penularan kecacingan? Bermain tanah
286 64.9
8 Apakah berikut ini merupakan cara penularan kecacingan? Tidak mencuci tangan
256 58.0
9 Apakah berikut ini merupakan cara penularan kecacingan? Makan dan minum sembarangan
67 15.2
10 Apakah berikut ini merupakan cara penularan kecacingan? Tidak tahu/tidak menjawab
67 15.2
Sikap
(n) (%) 1 Cara agar tidak sakit cacingan: Tidak bermain tanah 257 58.3 2 Cara agar tidak sakit cacingan: Mencuci tangan 296 67.1 3 Cara agar tidak sakit cacingan: Memotong dan
membersihkan kuku 266 60.3
4 Cara agar tidak sakit cacingan: Memakai alas kaki 248 56.2 5 Cara agar tidak sakit cacingan: Meminum obat
cacing 354 80.3
6 Cara agar tidak sakit cacingan: Tidak tahu/tidak menjawab
34 7.7
Perilaku
(n) (%) 1 Sebelum makan dan setelah buang air besar
mencuci tangan 433 98.2
2 Mencuci tangan dengan sabun 404 91.6 3 Setelah bermain di tanah adik mencuci tangan 414 93.9 4 Setelah bermain di tanah mencuci tangan dengan
sabun 371 84.1
5 Menggunakan alas kaki (sepatu/sandal) setiap keluar rumah
427 96.8
6 Pada waktu bermain di sekolah adik menggunakan sepatu
405 91.8
7 Buang air besar di WC/jamban 435 98.6 8 Kuku anak tidak panjang 178 40.4 9 Kuku anak bersih 254 57.6
Sumber: Hasil analisis data primer, 2019
Berdasarkan Tabel 3.3C dapat dilihat bahwa mayoritas
responden memiliki pengetahuan tentang kecacingan dalam
kategori pengetahuan sedang (56,7%), sikap responden berada
pada kategori bersikap positif (74,37%), dan mayoritas berperilaku
baik (99,78%).
28
Tabel 3.3C. Karakteristik responden berdasarkan kategori pengetahuan, skap, dan perilaku di Kabupaten Tanah Laut
No. Variabel Jumlah Persentase (%)
1. Pengetahuan Rendah 115 26,07
Sedang 249 56,46 Tinggi 77 17,47 Jumlah 441 100
2. Sikap Kurang baik 113 25,63
Baik 328 74,37
Jumlah 441 100
3 Perilaku Kurang baik 1 0,22
Baik 440 99,78
Jumlah 441 100
Sumber: Hasil analisis data primer, 2019
B. Analisis Bivariat
Analisis bivariat pada penelitian ini menggunakan tabel 2x2
dan 3X2 untuk mengetahui Nilai Sig dari Pearson Chi-Square,
Signifikansi (p Value) dengan α=5%.
Tabel 3.3D. Hubungan antara tingkat pengetahuan dengan
kecacingan di Kabupaten Tanah Laut
Pengetahuan Responden
Hasil Pemeriksaan P-value
Negatif Positif
Rendah 114 1
Sedang 248 1 0.668
Berat 77 0
Jumlah 439 2
Sumber: Hasil analisis data primer, 2019
Berdasarkan hasil analisis uji Chi Square seperti terlihat
pada tabel 3.3D, didapatkan nilai p value adalah 0,668 yang berarti
lebih besar dari 0,05 maka Ho diterima berarti bahwa tidak ada
hubungan antara pengetahuan dengan kejadian kecacingan pada
29
anak sekolah. Berdasarkan uji analisis diatas didapat bahwa tidak
ada hubungan antara pengetahuan responden dengan kejadian
kecacingan.
Tabel 3.3E. Hubungan antara kecacingan dengan sikap responden di Kab. Tanah Laut
Sikap Responden Hasil Pemeriksaan
P-value Negatif Positif
Negatif 113 0
Positif 326 2 0.405
Jumlah 439 2
Sumber: Hasil analisis data primer, 2019
Berdasarkan hasil analisis uji Chi Square seperti terlihat
pada Tabel 3.3E, didapatkan nilai p value adalah 0,405 yang berarti
lebih besar dari 0,05 maka Ho diterima berarti bahwa tidak ada
hubungan antara sikap dengan kejadian kecacingan pada anak
sekolah. Berdasarkan uji analisis diatas didapat bahwa tidak ada
hubungan antara sikap responden dengan kejadian kecacingan.
Tabel 3.3F. Hubungan antara Perilaku dan Kejadian Kecacingan di Kabupaten Tanah Laut
Perilaku Responden Hasil Pemeriksaan
P-value Negatif Positif
Kurang 1 0
Baik 438 2 0.946
Jumlah 439 2
Sumber: Hasil analisis data primer, 2019
Berdasarkan hasil analisis uji Chi Square seperti terlihat
pada Tabel 3.3F, didapatkan nilai p value adalah 0,946 yang berarti
lebih besar dari 0,05 maka Ho diterima berarti bahwa tidak ada
hubungan antara perilaku dengan kejadian kecacingan pada anak
sekolah. Berdasarkan uji analisis diatas didapat bahwa tidak ada
hubungan antara perilaku responden dengan kejadian kecacingan.
30
3.3.4 Hasil Wawancara Mendalam Stakeholder tentang kebijakan
kecacingan dan pelaksanaannya di Kabupaten Tanah Laut
Wawancara mendalam dilakukan kepada stakeholder yang
mengerti tentang program kecacingan dan pelaksanaannya.
Informan terpilih adalah orang yang terlibat langsung dengan topik
penelitian dan diharapkan bersedia memberikan informasi untuk
berpartisipasi dalam penelitian ini.
A. Kebijakan
Pelaksanaan program penanggulangan kecacingan
berdasarkan PMK No. 15 tahun 2017 pada tingkat Dinas
Kesehatan Provinsi dan kabupaten, puskesmas dan pemangku
kepentingan di Kabupaten Tanah Laut Provinsi Kalimantan Selatan
dari aspek kebijakan pusat terkait eliminasi kecacingan semua
informan mengatakan sudah di laksanakan sesuai kebijakan dari
pusat, walaupun untuk SK bupati atau gubernur tidak ada.
Pelaksanaan eliminasi kecacingan di semua puskesmas
sudah melaksanakan pada bulan Februari dan Agustus bersamaan
dengan pemberian vitamin A. Walaupun kebijakan dalam
melaksanakan Permenkes no. 15/2017 berupa surat keputusan
maupun edaran dari bupati tidak ada.
Hal ini di dukung oleh pernyataan dari kepala bidang dan
kepala seksi yang membidangi Kecacingan. Berikut pernyataan
tersebut:
“Surat edaran dari bupati belum ada” (i1, Ta). “Surat keputusan atau peraturan dari bupati belum ada” (i1,Ta). “Kegiatan kecacingan itu sendiri pemberian obat cacing diberikan setahun 2x” (i2,Ta).
Semua informan mengatakan tidak ada hambatan dalam
melaksanakan kebijakan pengobatan kecacingan. Hal ini di dukung
31
oleh pernyataan dari kepala bidang dan kepala seksi yang
membidangi kecacingan. Berikut pernyataan tersebut:
“Untuk hambatan untuk pengobatan tidak ada” (i1, Ta). “Sampai sekarang sudah ada 3 tahunan, mulai 2016 an 2017 itu aman. Kadada kendala, karena obat cacingnya manis aja jadi rasa kadada pengaruhnya aman aja” (i2,Ta). “Kalau kendalanya Alhamdulillah kadada” (i5,Ta).
B. Program
Program kecacingan berupa pemberian obat cacing pada
anak dan balita. Program ini dikenal dengan POMP. Sasarannya
adalah anak sekolah dasar dan balita. Kegiatan ini biasanya
dilaksanakan bersamaan dengan kegiatan lainnya. Hal ini
dikuatkan oleh pernyataan beberapa informan, sebagai berikut:
“Pelaksanaan eliminasi kecacingan semua di puskesmas harus sudah melaksanakan setiap bulan Agustus bersamaan dengan pemberian vitamin A” (i1, Ta). “Kebijakan yang pertama adalah kegiatan pemberian obat cacing setahun 2 kali” (i2, Ta). “Obat cacing itu diberikan setahun 2x” (i2, Ta). “Bulan Agustus adalah bulan untuk pembagian obat kecacingan bebarengan dengan pemberian vitamin A” (i4,Ta).
C. SDM (pelaksana)
Bagaimana kecukupan SDM, dan pemberdayaan
masyarakat, jumlah, kompetensi, komitmen yang berhubungan
dengan kegiatan eliminasi kecacingan? Jika tidak cukup,
bagaimana mengatasinya?
Semua informan mengatakan dari segi ketersediaan tenaga
di puskesmas sudah cukup, tidak ada masalah untuk tenaga, yang
melaksanakan adalah pengelola program kecacingan dibantu
tenaga dari gizi karena terintegrasi dengan pemberian vitamin A.
Sedangkan untuk pemberdayaan masyarakat yang terlibat,
sebagian besar baru kader posyandu, kader dari masyarakat, guru
kelas dan guru UKS untuk pemberian obat cacing. Hal ini di dukung
32
oleh pernyataan dari kepala bidang dan kepala seksi yang
membidangi kecacingan. Berikut pernyataan tersebut:
“Untuk pelibatan baru kader posyandu, kader dari masyarakat untuk pemberian obat cacing” (i1, Ta). “Kalau masyarakat ngga ada, cuman guru biasanya guru UKS yang kita libatkan” (i2,Ta). “Mungkin dari PKK, kan biasanya tiap kali pembegian itu kan sekalian vitamin A.” (i3, Ta). “Biasanya tiap kali pembegian itu kan sekalian vitamin A” (i1,Ta).
D. Sarana prasarana
Bagaimana sarana dan prasarana dalam menunjang
pelaksanaan eliminasi kecacingan (kondisi dan kecukupan)? Apa
kendala yang dihadapi? Apa Solusi yang sudah dilakukan?
Semua informan mengatakan untuk sarana prasarana dalam
menunjang pemeriksaan dan sebagainya cukup, cuma untuk
petugas laboratorium, belum semua pkm ada analis kesehatannya.
Menurut hasil wawancara sarana dan prasarana yang
dipergunakan biasanya bersama-sama dengan program yang lain,
didukung oleh pernyataan beberapa informan, antara lain:
“Sarana prasaran untuk penunjang, untuk pemeriksaan dan sebagainya cukup, cuma untuk petugas laboratoriumnya belum semua puskesmas ada analis kesehatan” (i1, Ta). “Cukup aja kita, karena aa yang ke lapangan itu kan pengelola juga, jadi kita hanya sekedar bimbingan teknisnya aja, sehingga di apa puskesmas itu sudah ada sarananya”(i2, Ta). “Menunjang aja, sebab kan nyaman aja kalau di desa, nyaman aja bu ai. Apalagi buhan pengelola progamnya aktif banar, nyaman orangnya, jadi keluan kadada, segala cukup.” (i4, Ta).
E. Pembiayaan (anggaran)
Semua informan mengatakan untuk anggaran cukup,
sumber dananya ada dari pusat dan APBD. Hal ini di dukung oleh
pernyataan dari kepala bidang dan kepala seksi yang membidangi
kecacingan. Berikut pernyataan tersebut:
33
“Untuk anggaran cukup sumber dananya ada dari pusat dari DAK, kemudian dari APBD 2 juga ada” (i1, Ta). “Sudah ada dari pusat dari provinsi, sudah ada juga dari APBD daerah” (i2, Ta). “Alhamdulillah cukup” (i3, Ta). “Cukup menganggarkan dari dana DAK, dana BOK” (i4, Ta). “Untuk di tahun 2018 untuk anggaran dari puskesmas itu tidak ada mengadakan untuk pembagian kemarin ada dari dinas provinsi. Dari dinas kabupaten itu sekitar 800 ribuan untuk pembagian.” (i5, Ta).
Anggaran atau biaya menjadi hal yang sangat penting dalam
mendukung keberhasilan suatu program. Program kecacingan tidak
mendapatkan pendanaan khusus karena cacingan adalah salah
satu penyakit yang terabaikan, sehingga tidak ada program dan
anggaran yang direncanakan. Dalam pelaksanaannya program ini
menempel pada program yang lain dan pembiayaan sebagian
besar berasal dari pemerintah pusat.
F. Koordinasi lintas sektor
Koordinasi lintas sektor merupakan salah satu kegiatan yang
harus dilaksanakan dalam melaksanakan program cacingan. Hasil
koordinasi lintas sektor cukup baik, namun belum optimal perannya.
Hal ini dikuatkan oleh pernyataan beberapa informan, sebagai
berikut:
“Kalo dengan dinas pendidikan kita sudah berjalan cukup bagus dengan kementerian agama yang membawahi tsanawiyah ibtidaiyah kita juga cukup bagus untuk koordinasinya, cuman untuk lintas sektor yang lain untuk berperannya ini yang masih kurang dalam untuk mengembanagkan eliminasi kecacingan ini” (i1, Ta). “Koordinasi lintas sektor dengan non kesehatan untuk eliminasi kecacingan ini belum ada” (i1, Ta). “Kader- kader di posyandu, PKK, kader kan non kesehatan, kan orang kampung, minta sama orang yang besedia” (i3, Ta). “Kami sudah melaksanakan musyawarah desa” (i4, Ta).
34
G. Hambatan pelaksanaan.
Dalam melaksanakan program cacingan ini ternyata tidak
ada kendala yang besar, semuanya berjalan baik. Hal ini dikuatkan
oleh pernyataan beberapa informan, sebagai berikut:
“Sampai sekarang selama sudah ada 3 tahunan, mulai 2016an 2017 itu aman. Kadada kendala, karena obat cacingnya manis aja jadi rasa kadada pengaruhnya aman aja” (i2, Ta). “Alhamdulillah kadada pang kalonya dari laporan disana aman-aman aja, pokonya sudah menerima sudah diberikan kadapapa kadada masalah yang keluhan ini itu kadada” (i3, Ta). “Kalau kendalanya Alhamdulillah kadada” (i5, Ta).
3.4 Kabupaten Tapin
3.4.1 Deskripsi Karakteristik Responden
Wawancara dilakukan kepada 437 anak sekolah di 30 SD di
Kabupaten Tapin dilakukannya pengambilan sampel tinja. Data yang
didapatkan meliputi data karakteristik responden, pengetahuan,
sikap, dan perilaku yang mendukung kejadian kecacingan.
Tabel 3.4A. Karakteristik Responden berdasarkan Umur, Jenis
Kelamin dan berdasarkan Kelas di Kab. Tapin
No. Karakteristik Jumlah Persentase (%)
1. Umur (tahun)
5 0 -
6 77 17,62 7 80 18,31
8 81 18,54 9 91 20,82
10 86 19,68 11 20 4,58 12 2 0,46 Jumlah 437 100
2. Jenis Kelamin
Laki-laki 220 50,34
Perempuan 217 49,66 Jumlah 437 100,0
35
3. Kelas
1 94 21,51
2 91 20,82
3 90 20,59
4 84 19,22
5 78 17,85
Jumlah 437 100 Sumber: Hasil analisis data primer, 2019
Berdasarkan Tabel di atas menunjukkan bahwa dari 437
orang responden yang diteliti, mayoritas berumur 9 tahun (20,82 %),
berjenis kelamin laki-laki (50,34%), dan berdasarkan kelas
responden terbanyak yang mengembalikan pot tinja adalah murid
kelas satu (21,51%).
3.4.2 Gambaran kasus kecacingan dan angka prevalensi kecacingan di Kabupaten Tapin Provinsi Kalimantan Selatan
Hasil pengambilan sampel spesimen tinja pada anak sekolah
dasar berjumlah 437 responden yang dikumpulkan pada bulan
September 2019. Spesimen tinja diperiksa dengan menggunakan
metode kato katz, dari hasil pemeriksaan spesimen tinja, didapatkan
3 anak (0,69%) positif menderita kecacingan. Infeksi cacing yang
ditemukan adalah Hookworm sebanyak 1 anak dan cacing kremi (E.
vermicularis) sebanyak 2 orang.
Dari hasil survei tinja tersebut menunjukkan bahwa infeksi
kecacingan yang terjadi pada anak sekolah di Kabupaten Tapin
cukup rendah. Dari spesies yang ditemukan yaitu telur cacing
nematoda usus antara lain cacing Hookworm yang disebabkan
karena kontak dengan tanah (soil-transmitted helminthes) sedangkan
Enterobius vermicularis merupakan infeksi umum yang memang
banyak menyerang dikalangan anak karena cara penularannya yang
sangat cepat dan mudah (bisa melalui pakaian, sprei, oral, dll).
36
Gambar 3.4. Hasil pemeriksaan kecacingan pada anak sekolah
di Kabupaten Tapin (Sumber: Hasil analisis data primer, 2019)
3.4.3 Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Responden terhadap
Kecacingan di Kabupaten Tapin
A. Analisis Univariat
Berdasarkan hasil wawancara terhadap 437 responden (N),
didapatkan hasil bahwa sebagian besar (71,4%) tidak tahu tentang
tanda-tanda cacingan, sikap responden sebagian besar juga tidak
tahu tentang cara agar tidak cacingan (44,9%), akan tetapi perilaku
responden hampir seluruhnya menjawab (98,4%) Sebelum makan
dan setelah buang air besar mencuci tangan.
Tabel 3.4B. Karakteristik responden berdasarkan pengetahuan,
sikap, dan perilaku di Kabupaten Tapin
Pengetahuan
(n) (%)
1 Apakah adik tahu tentang sakit kecacingan? 179 41.0
2 Apakah berikut tanda-tanda kecacingan? Sakit perut/mencret 93 21.3
3 Apakah berikut tanda-tanda kecacingan? Tidak nafsu makan 25 5.7
4 Apakah berikut tanda-tanda kecacingan? Pucat/lemas 22 5.0
5 Apakah berikut tanda-tanda kecacingan? Perut buncit 30 6.9
6 Apakah berikut tanda-tanda kecacingan? Tidak menjawab/tidak tahu 312 71.4
7 Apakah berikut ini merupakan cara penularan kecacingan? Bermain tanah 96 22.0
8 Apakah berikut ini merupakan cara penularan kecacingan? Tidak mencuci tangan
59 13.5
9 Apakah berikut ini merupakan cara penularan kecacingan? Makan dan minum sembarangan
292 66.8
37
10 Apakah berikut ini merupakan cara penularan kecacingan? Tidak tahu/tidak menjawab
292 66.8
Sikap
(n) (%)
1 Cara agar tidak sakit cacingan: Tidak bermain tanah 59 13.5
2 Cara agar tidak sakit cacingan: Mencuci tangan 99 22.7
3 Cara agar tidak sakit cacingan: Memotong dan membersihkan kuku 44 10.1
4 Cara agar tidak sakit cacingan: Memakai alas kaki 34 7.8
5 Cara agar tidak sakit cacingan: Meminum obat cacing 118 27.0
6 Cara agar tidak sakit cacingan: Tidak tahu/tidak menjawab 196 44.9
Perilaku
(n) (%)
1 Sebelum makan dan setelah buang air besar mencuci tangan 430 98.4
2 Mencuci tangan dengan sabun 368 84.2
3 Setelah bermain di tanah adik mencuci tangan 391 89.5
4 Setelah bermain di tanah mencuci tangan dengan sabun 311 71.2
5 Menggunakan alas kaki (sepatu/sandal) setiap keluar rumah 380 87.0
6 Pada waktu istirahat sekolah adik bermain menggunakan sepatu 415 95.0
7 Buang air besar di WC/jamban 416 95.2
8 Kuku anak tidak panjang 189 43.2
9 Kuku anak bersih 238 54.5
Sumber: Hasil analisis data primer, 2019
Berdasarkan tabel menunjukkan bahwa mayoritas responden
memiliki pengetahuan tentang kecacingan berada pada kategori
pengetahuan rendah (94,30%), sikap responden berada pada
kategori bersikap negatif (72,99%), dan mayoritas berperilaku baik
(99,77%).
Tabel 3.4C. Karakteristik responden berdasarkan pengetahuan,
sikap, dan perilaku berdasarkan kategori di Kabupaten Tapin
No. Variabel Jumlah Persentase (%)
1. Pengetahuan Rendah 412 94,30 Sedang 24 5,50 Tinggi 1 0,20 Jumlah 437 100
2. Sikap Kurang baik 319 72,99 Baik
118 27,01 Jumlah 437 100
3 Perilaku Kurang baik 1 0,23 Baik 436 99,77 Jumlah 437 100
Sumber: Hasil analisis data primer, 2019
38
B. Analisis Bivariat
Analisis bivariat pada penelitian ini menggunakan tabel 2x2
untuk mengetahui Nilai Sig dari Pearson Chi-Square. Signifikansi (p
Value) dengan α = 5%.
Tabel 3.4D. Hasil analisis data antara kecacingan dengan
pengetahuan responden di Kab. Tapin
Pengetahuan Responden
Hasil Pemeriksaan P-value
Negatif Positif
Rendah 410 2
Sedang 23 1 0.105
Berat 1 0
Total 434 3
Sumber: Hasil analisis data primer, 2019
Berdasarkan hasil analisis uji Chi Square seperti terlihat
pada tabel 3.4D didapatkan nilai p value adalah 0,105 yang berarti
lebih besar dari 0,05 maka Ho diterima berarti bahwa tidak ada
hubungan antara pengetahuan dengan kejadian kecacingan pada
anak sekolah. Berdasarkan uji analisis diatas didapat bahwa tidak
ada hubungan antara pengetahuan responden dengan kejadian
kecacingan.
Tabel 3.4E. Hasil analisis data antara kecacingan dengan sikap
responden di Kab. Tapin
Sikap Responden Hasil Pemeriksaan
P-value Negatif Positif
Negatif 317 2
Positif 117 1 0.804
Total 434 3
Sumber: Hasil analisis data primer, 2019
Berdasarkan hasil analisis uji Chi Square seperti terlihat
pada tabel 3.4E didapatkan nilai p value adalah 0,804 yang berarti
lebih besar dari 0,05, maka Ho diterima berarti bahwa tidak ada
39
hubungan antara sikap dengan kejadian kecacingan pada anak
sekolah. Berdasarkan uji analisis diatas didapat bahwa tidak ada
hubungan antara sikap responden dengan kejadian kecacingan.
Tabel 3.4F. Hasil analisis data antara kecacingan dengan perilaku
responden di Kab. Tapin
Perilaku Responden Hasil Pemeriksaan
P-value Negatif Positif
Kurang 1 0
Baik 433 3 0.934
Total 434 3
Sumber: Hasil analisis data primer, 2019
Berdasarkan hasil analisis uji Chi Square seperti terlihat
pada tabel 3.4F didapatkan nilai p value adalah 0,934 yang berarti
lebih besar dari 0,05 maka Ho diterima berarti bahwa tidak ada
hubungan antara perilaku dengan kejadian kecacingan pada anak
sekolah. Berdasarkan uji analisis diatas didapat bahwa tidak ada
hubungan antara perilaku responden dengan kejadian kecacingan.
3.4.4 Hasil Wawancara Mendalam Stakeholder di Kabupaten Tapin
Wawancara mendalam dilakukan kepada stakeholder yang
mengerti tentang program kecacingan dan pelaksanaannya.
Informan yang dipilih adalah orang terlibat langsung dengan topik
penelitian dan diharapkan bersedia memberikan informasi untuk
berpartisipasi dalam penelitian ini.
A. Kebijakan
Pelaksanaan program penanggulangan kecacingan
berdasarkan PMK No. 15 tahun 2017 pada tingkat Dinas
Kesehatan Provinsi dan kabupaten, puskesmas dan pemangku
kepentingan di Kabupaten Tapin Provinsi Kalimantan Selatan dari
aspek kebijakan pusat terkait eliminasi kecacingan semua informan
40
mengatakan sudah dilaksanakan sesuai kebijakan dari pusat,
walaupun dari SK bupati atau gubernur tidak ada.
Tidak adanya surat edaran maupun surat keputusan dari
bupati dalam melaksanakan Permenkes no. 15/2017. Hal ini
didukung oleh pernyataan dari kepala bidang dan juga kepala seksi
yang berkaitan dengan masalah tersebut. Dari hasil analisa
wawancara mendalam diperoleh informasi bahwa pemerintah
sudah mendukung program kecacingan. Hal ini seperti yang
diungkapkan oleh salah seorang informan berikut ini:
“Untuk pemerintah daerah sangat mendukung karena ini kan tadi sudah kita laksanakan selama 5 tahun” (i1, Tp).
B. Program
Program atau kegiatan yang dilaksanakan oleh dinas hingga
puskesmas adalah POPM dan pelaksanaannya dilakukan
puskesmas bersamaan dengan kegiatan yang lain, khususnya
kegiatan untuk usia yang sama. Dari hasil analisa wawancara
mendalam diperoleh informasi oleh salah seorang informan
berikut ini:
“Kemarin kami pemberian obat cacing kan sebelumnya itu mengadakan lintas sektor, ngih tanggal 29 Juli kemarin. Kemudian ada pemberian obat cacing untuk seluruh SD, 20 SD MI. Kemudian ada 22 TK dan KP. Kemudian ada 30 Posyandu. Karena pemberian obat cacing ini kan dari usia 1 tahun sampai 12 tahun. Kemudian itu dari tanggal 1 Agustus sampai 26 Agustus pelaksanaannya” (i4, Tp).
C. SDM (pelaksana)
Bagaimana kecukupan SDM, dan pemberdayaan
masyarakat, jumlah, kompetensi, komitmen yang berhubungan
dengan kegiatan eliminasi kecacingan? Jika tidak cukup,
bagaimana mengatasinya?
Semua informan mengatakan dari segi ketersediaan tenaga
di puskesmas sudah cukup, tidak ada masalah untuk tenaga, yang
41
melaksanakan adalah pengelola program kecacingan dibantu
tenaga dari gizi karena terintegrasi dengan pemberian vitamin A.
Sedangkan untuk pemberdayaan masyarakat yang terlibat,
sebagian besar baru kader posyandu, kader dari masyarakat, guru
kelas dan guru UKS untuk pemberian obat cacing.
Sumber daya yang melaksanakan program kecacingan
cukup. kecukupan tenaga dalam melaksanakan program cacingan
dirasa cukup. Tenaga yang melaksanakan biasanya tidak khusus
hanya mengurus masalah cacingan, namun juga mengampu
kegiatan yang lain yang sasarannya sama. Pelaksanaannya
biasanya bersamaan dengan kegiatan lainnya. Hal ini dikuatkan
oleh pernyaataan informan. Berikut pernyataan tersebut:
“Jadi untuk level dinas kesehatan saya rasa memang cukup. Kalo untuk puskesmas tidak ada masalah. Tidak ada masalah” (i1, Tp).
D. Sarana prasarana
Bagaimana sarana dan prasarana dalam menunjang
pelaksanaan eliminasi kecacingan (kondisi dan kecukupan)? Apa
kendala yang dihadapi? Apa Solusi yang sudah dilakukan?
Dari hasil analisa wawancara mendalam diperoleh informasi
bahwa untuk sarana prasarana dalam menunjang pemeriksaan
kecacingan cukup, cuma untuk petugas laboratorium, belum semua
pkm ada analis kesehatannya. Hal ini dikuatkan oleh pernyaataan
informan. Berikut pernyataan tersebut:
“Untuk sarana dan prasarana cukup dan tidak menjadi kendala.” (i1, Tp).
E. Pembiayaan (anggaran)
Semua informan mengatakan untuk anggaran cukup sumber
dananya yaitu ada dari pusat dan APBD. Dalam melaksanakan
program ini, pembiayaan berasal dari beberapa sumber dana.
42
Sumber dana tersebut berasal dari APBN maupun APBD. Hal ini di
dukung oleh pernyataan dari kepala bidang dan kepala seksi yang
membidangi.kecacingan. Berikut pernyataan tersebut:
“Jadi kalo untuk yang 5 tahunan tadi kan selesai dengan anggaran full dari pemerintah daerah, itu kami rasa cukup. Kemudian untuk yang apa namanya kecacingan ini kita memang tidak didukung tetapi kita ambil di DAK non fisik” (i1, Tp). “Jadi bu untuk DAK, perencanaan kita.. Karena APBD tadi memang nol yah karena defisit sehingga satu-satunya yang bisa diharapkan adalah dengan DAK non fisik” (i2, Tp). “Tadi apa dari perencanaan di Puskes tadi itu sudah menganggarkan. Terus itu dari sini kita tinggal melihat aja lagi lah apa-apa yang kurang. Baru kita masukkan ke Pak Tajudin lagi inya untuk mendesak” (i3, Tp). “Karena banyak daerah atau wilayah yang bisa belum dibiayai oleh dana DAK. Tidak bisa dibiayai melalui dana BOK” (i4, Tp).
F. Koordinasi lintas sektor
Koordinasi lintas sektor dilakukan dengan instansi-instansi
yang berkaitan langsung dengan anak sekolah, dan dengan
organisasi masyarakat yang dapat membantu. Hal ini diperkuat
oleh pernyataan dari informan, sebagai berikut:.
“Dari kader itu ada PKK, guru-guru SD, koramil” (i4, Tp).
“Kepala sekolah, kemenag, danramil, polsek, UPT dinas
pendidikan, BTKL, dan subdit” (i5, Tp).
G. Hambatan pelaksanaan.
Dalam melaksanakan program cacingan ini tidak ada
kendala yang besar, hambatan yang dirasakan oleh informan
adalah dalam pelaksanaan program cacingan, terutama pembagian
obat adalah kekhawatiran anak sekolah dan guru terhadap efek
samping obat.
Pada saat pembagian obat di tiap-tiap anak, mereka
langsung meminumnya di hadapan petugas kesehatan dan guru
kelas setelah diberikan penyuluhan oleh petugas puskesmas,
43
sehingga cakupan untuk minum obat bisa 100%. Hal ini dikuatkan
oleh pernyataan informan, sebagai berikut:
“Pembagian yang SD dan TK, banyak anak yang tidak bisa
minum tablet, jadi mereka muntah, jadi kami bikinkan puyer
untuk diminum, dan langsung diminum didepan kelas” (i5,
Tp).
3.5 Kabupaten Balangan
3.5.1 Deskripsi Karakteristik Responden
Wawancara dilakukan kepada 502 anak sekolah di 30 SD di
Kabupaten Balangan dan dilakukannya pengambilan sampel tinja.
Data yang didapatkan meliputi data karakteristik responden,
pengetahuan, sikap, dan perilaku yang mendukung kejadian
kecacingan.
Tabel 3.5A. Karakteristik responden berdasarkan umur, jenis
kelamin dan berdasarkan kelas di Kab. Balangan
No. Karakteristik Jumlah Persentase (%)
1. Umur (tahun)
5 0 -
6 88 17,53
7 113 22,51
8 105 20,92
9 97 19,32
10 82 16,33 11 13 2,59 12 3 0,60 13 1 0,20
Jumlah 502 100
2. Jenis Kelamin
Laki-laki 256 51,00
Perempuan 246 49,00 Jumlah 502 100
3. Kelas 1 108 21,51
2 127 25,30
3 95 18,92
4 92 18,33
5 80 15,94
Jumlah 502 100
Sumber: Hasil analisis data primer, 2019
44
Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa dari 502
orang responden yang diteliti, mayoritas berumur 7 tahun (22,51%),
berjenis kelamin laki-laki (51%), dan berdasarkan kelas responden
terbanyak yang mengembalikan pot tinja pada murid kelas dua
(25,30%).
3.5.2 Gambaran kasus kecacingan dan angka prevalensi kecacingan di
Kabupaten Balangan Provinsi Kalimantan Selatan
Hasil pengambilan sampel spesimen tinja pada anak sekolah
dasar berjumlah 502 responden yang dikumpulkan pada bulan
oktober 2019. Spesimen tinja diperiksa dengan menggunakan
metode kato katz, dari hasil pemeriksaan spesimen tinja,
didapatkan 8 anak (1,60%) positif menderita kecacingan. Infeksi
cacing yang ditemukan adalah cacing cambuk (T.trichiura)
sebanyak 4 anak dan cacing kremi (E. vermicularis) sebanyak 4
orang.
Dari hasil survei tinja tersebut menunjukkan bahwa infeksi
kecacingan yang terjadi pada anak sekolah di Kabupaten Balangan
cukup rendah. Dari spesies yang ditemukan yaitu telur cacing
nematoda usus antara lain cacing cambuk (T.trichiura) yang
disebabkan karena kontak dengan tanah (soil-transmitted
helminthes), sedangkan E. vermicularis merupakan infeksi umum
yang memang banyak menyerang dikalangan anak karena cara
penularannya yang sangat cepat dan mudah (bisa melalui pakaian,
sprei, oral, dll).
45
Gambar 3.5. Grafik hasil pemeriksaan kecacingan pada anak sekolah di Kabupaten Balangan
(Sumber: Hasil analisis data primer, 2019)
3.5.3 Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Responden tentang Kecacingan
A. Analisis Univariat
Berdasarkan hasil wawancara terhadap 502 responden (N),
didapatkan hasil bahwa hampir setengahnya (48.2%) mengetahui
tentang tanda-tanda cacingan, sikap responden sebagian besar
tahu cara agar tidak sakit cacingan yaitu dengan meminum obat
cacing (60,2%), akan tetapi perilaku responden hampir seluruhnya
menjawab (98,8%) sebelum makan dan setelah buang air besar
mencuci tangan.
Tabel 3.5B. Karakteristik responden berdasarkan pengetahuan, sikap, dan perilaku di Kab. Balangan
Pengetahuan
(n) (%)
1 Apakah adik tahu tentang sakit kecacingan? 160 31.9
2 Apakah berikut tanda-tanda kecacingan? Sakit perut/mencret
239 47.6
3 Apakah berikut tanda-tanda kecacingan? Tidak nafsu makan
161 32.1
4 Apakah berikut tanda-tanda kecacingan? Pucat/lemas 141 28.1
5 Apakah berikut tanda-tanda kecacingan? Perut buncit 127 25.3
6 Apakah berikut tanda-tanda kecacingan? Tidak menjawab/tidak tahu
139 27.7
7 Apakah berikut ini merupakan cara penularan kecacingan? Bermain tanah
251 50.0
8 Apakah berikut ini merupakan cara penularan kecacingan? Tidak mencuci tangan
242 48.2
9 Apakah berikut ini merupakan cara penularan 153 30.5
46
kecacingan? Makan dan minum sembarangan
10 Apakah berikut ini merupakan cara penularan kecacingan? Tidak tahu/tidak menjawab
153 30.5
Sikap
(n) (%)
1 Cara agar tidak sakit cacingan: Tidak bermain tanah 233 46.4
2 Cara agar tidak sakit cacingan: Mencuci tangan 257 51.2
3 Cara agar tidak sakit cacingan: Memotong dan membersihkan kuku
223 44.4
4 Cara agar tidak sakit cacingan: Memakai alas kaki 196 39.0
5 Cara agar tidak sakit cacingan: Meminum obat cacing 302 60.2
6 Cara agar tidak sakit cacingan: Tidak tahu/tidak menjawab
89 17.7
Perilaku
(n) (%)
1 Sebelum makan dan setelah buang air besar mencuci tangan
496 98.8
2 Mencuci tangan dengan sabun 435 86.7
3 Setelah bermain di tanah adik mencuci tangan 478 95.2
4 Setelah bermain di tanah mencuci tangan dengan sabun
356 70.9
5 Menggunakan alas kaki (sepatu/sandal) setiap keluar rumah
475 94.6
6 Pada waktu istirahat sekolah adik bermain menggunakan sepatu
452 90.0
7 Buang air besar di WC/jamban 495 98.6
8 Kuku anak tidak panjang 188 37.5
9 Kuku anak bersih 290 57.8
Sumber: Hasil analisis data primer, 2019
Berdasarkan tabel 3.5C menunjukkan bahwa mayoritas
responden memiliki pengetahuan tentang kecacingan berada pada
kategori pengetahuan sedang (40,44%), sikap responden berada
pada kategori bersikap baik (58,17), dan mayoritas berperilaku
baik (92,83%).
Tabel 3.5C. Karakteristik responden berdasarkan pengetahuan,
sikap, dan perilaku di Kab. Balangan
No. Variabel Jumlah Persentase (%)
1. Pengetahuan Rendah 203 40,44 Sedang 205 40,84 Tinggi 94 18,72 Jumlah 502 100
2. Sikap Kurang baik 210 41,83 Baik 292 58,17 Jumlah 502 100
47
3 Perilaku Kurang baik 36 7,17 Baik 466 92,83 Jumlah 502 100
Sumber: Hasil analisis data, 2019
B. Analisis Bivariat
Analisis bivariat pada penelitian ini menggunakan tabel 2x2
dan 3x2 untuk mengetahui Nilai Sig dari Pearson Chi-Square,
Signifikansi (p Value) dengan α=5%.
Tabel 3.5D. Hasil analisis data antara kecacingan dengan
pengetahuan responden di Kab. Balangan
Pengetahuan Responden
Hasil Pemeriksaan P-value
Negatif Positif
Rendah 198 5
Sedang 202 3 0.283
Berat 94 0
Jumlah 494 8 Sumber: Hasil analisis data primer, 2019
Berdasarkan hasil analisis uji Chi Square seperti terlihat
pada tabel 3.5D didapatkan nilai p value adalah 0,283 yang berarti
lebih besar dari 0,05 maka Ho diterima berarti bahwa tidak ada
hubungan antara pengetahuan dengan kejadian kecacingan pada
anak sekolah. Berdasarkan uji analisis diatas didapat bahwa tidak
ada hubungan antara pengetahuan responden dengan kejadian
kecacingan.
Tabel 3.5E. Hasil analisis data antara kecacingan dengan sikap
responden di Kab. Balangan
Sikap Responden Hasil Pemeriksaan P-value
Negatif Positif
Negatif 206 4
Positif 288 4 0.637
Total 494 8 Sumber: Hasil analisis data primer, 2019
48
Berdasarkan hasil analisis uji Chi Square seperti terlihat
pada tabel didapatkan nilai p value adalah 0,637 yang berarti lebih
besar dari 0,05 maka Ho diterima berarti bahwa tidak ada
hubungan antara sikap dengan kejadian kecacingan pada anak
sekolah. Berdasarkan uji analisis diatas didapat bahwa tidak ada
hubungan antara sikap responden dengan kejadian kecacingan.
Tabel 3.5F. Hasil analisis data antara kecacingan dengan perilaku
responden di Kab. Balangan
Perilaku Responden
Hasil Pemeriksaan P-value
Negatif Positif
Kurang 34 2
Baik 460 6 0.049
Total 494 8 Sumber: Hasil analisis data primer, 2019
Berdasarkan hasil analisis uji Chi Square seperti terlihat
pada tabel didapatkan nilai p value adalah 0,049 yang berarti lebih
kecil dari 0,05 maka Ho ditolak berarti bahwa ada hubungan antara
perilaku dengan kejadian kecacingan pada anak sekolah.
Berdasarkan uji analisis diatas didapat bahwa ada hubungan antara
perilaku responden dengan kejadian kecacingan.
3.5.4 Hasil Wawancara Mendalam terhadap Stakeholder tentang
Kebijakan Kecacingan dan Pelaksanaannya di Kabupaten
Balangan
Wawancara mendalam dilakukan kepada stakeholder yang
mengerti tentang program kecacingan dan pelaksanaannya.
Informan yang dipilih adalah orang terlibat langsung dengan topik
penelitian dan diharapkan bersedia memberikan informasi untuk
berpartisipasi dalam penelitian ini.
49
A. Kebijakan
Pelaksanaan program penanggulangan kecacingan
berdasarkan PMK No. 15 tahun 2017 pada tingkat Dinas
Kesehatan Provinsi dan kabupaten, puskesmas dan pemangku
kepentingan di Kabupaten Balangan Provinsi Kalimantan Selatan
dari aspek kebijakan pusat terkait eliminasi kecacingan, semua
informan mengatakan sudah dilaksanakan sesuai kebijakan dari
pusat, walaupun dari SK bupati atau gubernur tidak ada.
Pelaksanaan eliminasi kecacingan di semua puskesmas
sudah melaksanakan pada bulan Februari dan Agustus bersamaan
dengan pemberian vitamin A. Walaupun kebijakan dalam
melaksanakan Permenkes no. 15/2017 berupa surat keputusan
maupun edaran dari bupati tidak ada.
Di Kabupaten Balangan tidak ada kebijakan dari pemerintah
daerah dalam mendukung pelaksanaan program kecacingan. Hal
ini didukung oleh pernyataan dari beberapa informan, sebagai
berikut:.
“Di balangan untuk kecacingan itu tidak sama dengan kabupaten lain. Karena ada program filariasis itu bu, jadi kita ada bantuan dari provinsi pusat dan daerah. Jadi tidak ikut yang setahun dua kali, terus kami setahun sekali aja bu dalam jangka waktu 5 tahun karena ada pengobatan filariasis setahun” (i1, Ba). “Terkait kebijakan yang berdasarkan hasil survei di tahun yang 2013 akan dilaksanakan melalui kegiatan kegiatan yang terutama kita fasilitasi dengan pemangku kebijakan yang ada di wilayah Kabupaten Balangan terutama Bupati maupun pihak administratip “ (i2, Ba).
B. Program
Program kecacingan berupa pemberian obat cacing pada
anak dan balita. Program ini dikenal dengan POMP. Sasarannya
adalah anak sekolah dasar dan balita. Kegiatan ini biasanya
dilaksanakan bersamaan dengan kegiatan lainnya.
50
C. SDM (pelaksana)
Pelaksana kegiatan dalam program kecacingan di
Kabupaten Balangan dilakukan oleh petugas filariasis. Petugas
yang mengerjakan khusus kecacingan tidak ada. Hal ini didukung
oleh pernyataan beberapa informan, sebagai berikut:
“Untuk petugas khusus kecacingan di puskesmas belum
ada, jadi sementara ikut yang program filariasis sama UKS”
(i1, Ba).
“Kader kita siapkan masing-masing puskesmas” (i2, Ba).
“Kegiatan POPM filariasis ada sendiri penanggungjawabnya,
di puskesmas ada pengelola program filariasis dan itu
langsung dengan kecacingan, masing-masing puskesmas
ada 1 orang” (i3, Ba).
D. Sarana prasarana
Bagaimana kecukupan SDM, dan pemberdayaan
masyarakat, jumlah, kompetensi, komitmen yang berhubungan
dengan kegiatan eliminasi kecacingan? Jika tidak cukup,
bagaimana mengatasinya?
Semua informan mengatakan dari segi ketersediaan tenaga
di puskesmas sudah cukup, tidak ada masalah untuk tenaga.
Tenaga yang melaksanakan adalah pengelola program kecacingan
dibantu oleh tenaga gizi karena terintegrasi dengan pemberian
vitamin A. Sedangkan untuk pemberdayaan masyarakat yang
terlibat, sebagian besar baru kader posyandu, kader dari
masyarakat, guru kelas dan guru UKS untuk pemberian obat
cacing. Sarana dan prasarana dalam melaksanakan program
kecacingan di Kab. Balangan tidak ada kendala atau cukup. Hal ini
didukung oleh pernyataan dari kepala bidang dan kepala seksi
yang membidangi kecacingan, sebagai berikut:
“Cukup” (i1, Ba). “Untuk sarana dan prasarananya pembagian obat POPM cukup” (i3, Ba)
51
E. Pembiayaan (anggaran)
Semua informan mengatakan untuk anggaran cukup sumber
dananya yaitu ada dari pusat dan APBD. Pembiayaan untuk
melaksanakan program kecacingan di dukung oleh APBN, APBD,
maupun bantuan perusahaan yang ada dalam CSR. Hal ini
didukung oleh pernyataan beberapa informan yaitu pernyataan dari
kepala bidang dan kepala seksi yang membidangi kecacingan.
Berikut pernyataan tersebut:
“Ada, APBN dan CSR perusahaan” (i1, Ba). “Tahun pertama di support APBD, tahun ketiga POMP tahun 2018 di support oleh CSR” (i2, Ba). “Untuk anggaran ada beberapa sumber dana, yaitu APBN dekon dan APBD juga ada” (i3, Ba). “Ada, dana DAK non fisik. Daerah juga yakni RAK dinas kesehatan dan ditunjang oleh desa masing-masing” (i4, Ba).
F. Koordinasi lintas sektor
Koordinasi lintas sektor merupakan salah satu kegiatan yang
harus dilaksanakan dalam melaksanakan program cacingan. Hasil
koordinasi lintas sektor cukup baik, namun belum optimal perannya.
Kegiatan program cacingan ini dilaksanakan oleh institusi
kesehatan, organisasi masyarakat, dan juga perusahaan. Hal ini
dikuatkan oleh pernyataan beberapa informan, sebagai berikut:
“Pertama dari kader, kemudian ada lagi kerjasama dari perusahaan-perusahaan dalam hal pendanaan, Dari pemda pas saat kegiatan kegiatan sosialisasi itu mereka ada memberikan bantuan makan minum.” (i3, Ba) “Ada sebagian dari Bupati sebagian dari camat juga, kaya kita kerjasama dengan pembikinan jamban” (i4, Ba) “Dari perusahaan ada bu tahun kemarin beberapa tahun kemarin ada, tapi untuk tahun ini yang ngga ada” (i5, Ba)
G. Hambatan pelaksanaan
Dalam melaksanakan program cacingan ini tidak ada
kendala yang cukup besar, namun hanya ada ketakutan dari guru
52
kelas dan wali murid terkait dengan pemberian obat cacing. Mereka
takut efek samping obat, namun setelah diberikan penyuluhan
kepada guru dan wali murid, pemberian obat dapat berjalan lancer.
Obat diberikan kepada responden dan langsung diminum di depan
kelas, sehingga cakupan minum obat 100%.
Hambatan yang dialami oleh tim dalam melaksanakan
kegiatan adalah penolakan masyarakat akibat ketakutan terhadap
reaksi obat, seperti obat filariasis. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan
beberapa informan, sebagai berikut:
“Kendalanya sampai saat ini, karena ada sebagian masyarakat masih menolak minum obat filariasis. Karena ditahun pertama itu mungkin ada sebagian yang sakit menurut mereka reaksi obat filariasis, setelah kita telusuri lebih lanjut ternyata itu penyakit dari yang bersangkutan. Jadi ada beberapa desa yang masih banyak yang menolak untuk minum obat, tapi masih kita teruskan pengobatan ditambah dengan sosialisasi” (i1, Ba). “Hambatan di daerah kami ini masyarakatnya ada yang sebagian menolak karena anggapannya di tahun pertama itu ada beberapa orang yang sakit karena minum obat” (i3, Ba).
3.6 Kabupaten Banjar
3.6.1 Deskripsi Karakteristik Responden
Wawancara dilakukan kepada 374 anak sekolah di 30 SD di
Kabupaten Banjar dan dilakukannya pengambilan sampel tinja. Data
yang didapatkan meliputi data karakteristik responden, pengetahuan,
sikap, dan perilaku yang mendukung kejadian kecacingan.
Tabel 3.6A menunjukkan bahwa dari 374 responden yang
diteliti, mayoritas berumur 7 tahun (21,12 %), rata rata berjenis
kelamin laki-laki (50%) dan perempuan (50%) dan berdasarkan kelas
responden terbanyak yang mengembalikan pot tinja pada murid
kelas dua (23,53%).
53
Tabel 3.6A. Karakteristik responden berdasarkan umur, jenis kelamin
dan berdasarkan kelas di Kabupaten Banjar
No. Karakteristik Jumlah Persentase (%)
1. Umur (tahun)
5 0 -
6 62 16,58
7 79 21,12
8 73 19,52
9 75 20,05
10 59 15,78 11 18 4,81 12 8 2,14 13 -
Jumlah 374 100
2. Jenis Kelamin Laki-laki 187 50,00
Perempuan 187 50,00 Jumlah 374 100
3. Kelas Orang Persentase (%)
1 86 22,99
2 88 23,53
3 63 16,84
4 81 21,66
5 56 14,97
Jumlah 374 100 Sumber: Hasil analisis data primer, 2019
3.6.2 Gambaran kasus kecacingan dan angka prevalensi kecacingan di
Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan
Hasil pengambilan sampel spesimen tinja pada anak sekolah
dasar berjumlah 374 responden yang dikumpulkan pada bulan Juli
2019. Spesimen tinja diperiksa dengan menggunakan metode kato
katz, dari hasil pemeriksaan spesimen tinja, didapatkan 4 anak
(1,07%) positif menderita kecacingan. Infeksi cacing yang ditemukan
adalah lain Ascaris lumbricoides sebanyak 1 anak, Hymenolepis
nana sebanyak 2 anak dan cacing kremi (E. vermicularis)
sebanyak 1 orang.
Dari hasil survei tinja tersebut menunjukkan bahwa infeksi
kecacingan yang terjadi pada anak sekolah di Kabupaten Banjar
54
cukup rendah. Dari spesies yang ditemukan yaitu telur cacing
nematoda usus antara lain Ascaris lumbricoides yang disebabkan
karena kontak dengan tanah (soil-transmitted helminthes),
sedangkan Enterobius vermicularis merupakan infeksi umum yang
memang banyak menyerang dikalangan anak karena cara
penularannya yang sangat cepat dan mudah (bisa melalui pakaian,
sprei, oral, dll). Selain golongan nematoda usus, juga ditemukan
infeksi cacing golongan cestoda yaitu, Hymenolepis nana yang
umumnya disebarkan oleh tikus.
Gambar 3.6. Grafik hasil pemeriksaan kecacingan pada anak sekolah di Kabupaten Banjar
(Sumber: Hasil analisis data primer, 2019)
3.6.3 Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Responden terhadap Kecacingan
di Kabupaten Banjar
A. Analisis Univariat
Berdasarkan hasil wawancara terhadap 502 responden (N),
didapatkan hasil bahwa sebagian besar (58.6%) tidak tahu tentang
tanda-tanda cacingan, sikap responden hampir setengahnya tidak
tahu cara agar tidak sakit cacingan (35,2 %), akan tetapi perilaku
responden hampir seluruhnya (97,9%) menjawab bahwa sebelum
makan dan setelah buang air besar mencuci tangan.
55
Tabel.3.6B. Karakteristik responden berdasarkan pengetahuan,
sikap, dan perilaku di Kabupaten Banjar
Pengetahuan
(n) (%)
1 Apakah adik tahu tentang sakit kecacingan? 153 40.9
2 Apakah berikut tanda-tanda kecacingan? Sakit perut/mencret
91 24.3
3 Apakah berikut tanda-tanda kecacingan? Tidak nafsu makan
19 5.1
4 Apakah berikut tanda-tanda kecacingan? Pucat/lemas 19 5.1
5 Apakah berikut tanda-tanda kecacingan? Perut buncit 18 4.8
6 Apakah berikut tanda-tanda kecacingan? Tidak menjawab/tidak tahu
219 58.6
7 Apakah berikut ini merupakan cara penularan kecacingan? Bermain tanah
112 29.9
8 Apakah berikut ini merupakan cara penularan kecacingan? Tidak mencuci tangan
38 10.2
9 Apakah berikut ini merupakan cara penularan kecacingan? Makan dan minum sembarangan
189 50.5
10 Apakah berikut ini merupakan cara penularan kecacingan? Tidak tahu/tidak menjawab
189 50.5
Sikap
(n) (%)
1 Cara agar tidak sakit cacingan: Tidak bermain tanah 44 11.8
2 Cara agar tidak sakit cacingan: Mencuci tangan 101 27.0
3 Cara agar tidak sakit cacingan: Memotong dan membersihkan kuku
22 5.9
4 Cara agar tidak sakit cacingan: Memakai alas kaki 7 1.9
5 Cara agar tidak sakit cacingan: Meminum obat cacing 63 16.8
6 Cara agar tidak sakit cacingan: Tidak tahu/tidak menjawab
132 35.3
Perilaku
(n) (%)
1 Sebelum makan dan setelah buang air besar mencuci tangan
366 97.9
2 Mencuci tangan dengan sabun 330 88.2
3 Setelah bermain di tanah adik mencuci tangan 316 84.5
4 Setelah bermain di tanah mencuci tangan dengan sabun 262 70.1
5 Menggunakan alas kaki (sepatu/sandal) setiap keluar rumah
322 86.1
6 Pada waktu istirahat sekolah adik bermain menggunakan sepatu
332 88.8
7 Buang air besar di WC/jamban 340 90.9
8 Kuku anak tidak panjang 166 44.4
9 Kuku anak bersih 213 57.0
Sumber: Hasil analisis data primer, 2019
Berdasarkan tabel 3.6C menunjukkan bahwa mayoritas
responden memiliki pengetahuan tentang kecacingan berada
pada kategori pengetahuan rendah (86,64%), sikap responden
56
berada pada kategori bersikap negatif (68,98%), dan mayoritas
berperilaku baik (98,40%).
Tabel.3.6C. Pengetahuan, sikap, dan perilaku responden
berdasarkan kategori di Kabupaten Banjar
No. Variabel Jumlah Persentase (%)
1. Pengetahuan Rendah 324 86,64 Sedang 50 13,36 Tinggi Jumlah 374 100
2. Sikap Negatif 258 68,98 Positif 116 31,02 Jumlah 374 100
3 Perilaku Kurang baik 6 1,60 Baik 368 98,40 Jumlah 374 374
Sumber: Hasil analisis data primer, 2019
B. Analisis Bivariat
Analisis bivariat pada penelitian ini menggunakan tabel 2x2
dan 3x2 untuk mengetahui Nilai Sig dari Pearson Chi-Square.
Signifikansi (p Value) dengan α=5%.
Tabel 3.6D Hasil analisis data antara kecacingan dengan
pengetahuan responden di Kabupaten Banjar
Pengetahuan Responden
Hasil Pemeriksaan P-value
Negatif Positif
Rendah 320 4
Sedang 50 0 0.430
Total 370 4 Sumber: Hasil analisis data primer, 2019
Berdasarkan hasil analisis uji Chi Square seperti terlihat
pada tabel 3.6D didapatkan nilai p value adalah 0,430 yang
berarti lebih besar dari 0,05 maka Ho diterima berarti bahwa tidak
ada hubungan antara pengetahuan dengan kejadian kecacingan
pada anak sekolah. Berdasarkan uji analisis diatas didapat bahwa
57
tidak ada hubungan antara pengetahuan responden dengan
kejadian kecacingan.
Tabel 3.6E. Hasil analisis data antara kecacingan dengan sikap
responden di Kab. Banjar
Sikap Responden Hasil Pemeriksaan P-value
Negatif Positif
Negatif 255 3
Positif 115 1 0.794
Total 370 4 Sumber: Hasil analisis data primer, 2019
Berdasarkan hasil analisis uji Chi Square seperti terlihat
pada tabel 3.6E didapatkan nilai p value adalah 0,794 yang berarti
lebih besar dari 0,05 maka Ho diterima berarti bahwa tidak ada
hubungan antara sikap dengan kejadian kecacingan pada anak
sekolah. Berdasarkan uji analisis diatas didapat bahwa tidak ada
hubungan antara sikap responden dengan kejadian kecacingan.
Tabel 3.6F. Hasil Analisis Data antara Kecacingan dengan
Perilaku Responden di Kab. Banjar
Perilaku Responden Hasil Pemeriksaan P-value
Negatif Positif
Kurang 6 0
Baik 364 4 0.797
Total 370 4 Sumber: Hasil analisis data primer, 2019
Berdasarkan hasil analisis uji Chi Square seperti terlihat
pada tabel 3.6F didapatkan nilai p value adalah 0,797 yang berarti
lebih besar dari 0,05 maka Ho diterima berarti bahwa tidak ada
hubungan antara perilaku dengan kejadian kecacingan pada anak
sekolah. Berdasarkan uji analisis diatas didapat bahwa tidak ada
hubungan antara perilaku responden dengan kejadian
kecacingan.
58
3.6.4 Hasil Wawancara Mendalam Stakeholder
Wawancara mendalam dilakukan kepada stakeholder yang
mengerti tentang program kecacingan dan pelaksanaannya.
Informan yang dipilih adalah orang terlibat langsung dengan topik
penelitian dan diharapkan bersedia memberikan informasi untuk
berpartisipasi dalam penelitian ini.
A. Kebijakan
Pelaksanaan program penanggulangan kecacingan
berdasarkan PMK No. 15 tahun 2017 pada tingkat Dinas
Kesehatan Provinsi dan kabupaten, puskesmas dan pemangku
kepentingan di Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan
dari aspek kebijakan pusat terkait eliminasi kecacingan semua
informan mengatakan sudah dilaksanakan sesuai kebijakan dari
pusat, walaupun untuk dari SK bupati atau gubernur tidak ada.
Pelaksanaan eliminasi kecacingan di semua pkm sudah
melaksanakan pada bulan februari dan agustus bersamaan
dengan pemberian vitamin A. Walaupun kebijakan dalam
melaksanakan Permenkes no 15/2017 berupa surat keputusan
maupun edaran dari bupati tidak ada.
Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Kabupaten
Banjar untuk melaksanakan program kecacingan ini tidak ada.
Pernyataan ini dikuatkan oleh keterangan dari informan, sebagai
berikut:
“Alhamdulillah belum ada kita, permenkes itu sudah cukup
untuk menjadi dasar teman-teman kabupaten” (i2,Bj).
“Untuk kegiatan ini SK atau semacam peraturan bupati
belum ada, tapi dukungan itu bentuknya berupa anggaran”
(i3, Bj).
B. Program
Program kecacingan di Kabupaten Banjar dikerjakan
bersama-sama dan menempel pada pengobatan filariasis.
59
Pernyataan ini dikuatkan oleh keterangan dari informan, sebagai
berikut:
“Kami setahun sekali saja dalam jangka waktu 5 tahun
karena ada pengobatan filariasis setahun” (i1, Ba).
C. SDM (pelaksana)
Bagaimana kecukupan SDM, dan pemberdayaan
masyarakat, jumlah, kompetensi, komitmen yang berhubungan
dengan kegiatan eliminasi kecacingan? Jika tidak cukup,
bagaimana mengatasinya?
Semua informan mengatakan dari segi ketersediaan tenaga
di puskesmas sudah cukup, tidak ada masalah untuk tenaga, yang
melaksanakan adalah pengelola program kecacingan dibantu
tenaga dari gizi karena terintegrasi dengan pemberian vitamin A.
Sedangkan untuk pemberdayaan masyarakat yang terlibat,
sebagian besar baru kader posyandu, kader dari masyarakat, guru
kelas dan guru UKS untuk pemberian obat cacing. Sumberdaya
untuk melaksanakan program cacingan di Kabupaten Banjar dirasa
cukup. Dalam pelaksanaannya dikerjakan bersama-sama dengan
program lain yang memiliki sasaran yang sama. Hal ini didukung
oleh pernyataan dari beberapa informan, sebagai berikut:
“Pemberian obat kemarin kita kerjasama dengan UKS”
(i5,Bj).
"Untuk kegiatan program untuk yang di P2P, untuk P2P untuk yang kunjungan di puskesmas itu sudah mencukupi" (i2, Bj).
D. Sarana prasarana
Bagaimana sarana dan prasarana dalam menunjang
pelaksanaan eliminasi kecacingan (kondisi dan kecukupan)? Apa
kendala yang dihadapi? Apa Solusi yang sudah dilakukan?
Dari hasil analisa wawancara mendalam diperoleh informasi
bahwa untuk sarana prasarana dalam menunjang pemeriksaan dan
60
sebagainya cukup, cuma untuk petugas laboratorium, belum semua
pkm ada analis kesehatannya. Kebuttuhan sarana dan prasaranan
dalam melaksanakan kegiatan cacingan cukup, karena tidak
dikerjakan secara sendiri, tapi bersama dengan program lain. Hal
ini didukung oleh pernyataan dari beberapa informan, sebagai
berikut:
“Kita dengan kegiatan yang lain itu tidak terhambat dengan adanya kegiatan POPM kecacingan yang sebulanan harus kita kunjungi” (i3, Bj).
E. Pembiayaan (anggaran)
Semua informan mengatakan untuk anggaran cukup sumber
dananya yaitu ada dari pusat dan APBD. Pembiayaan dalam
program cacingan di Kabupaten Banjar ini diperoleh dari sumber
APBN, APBD, dan JKN. Hal ini diperkuat oleh pernyataan dari
beberapa informan, sebagai berikut:
“Secara umum kita ada 2 atau 3 sumber dana dan BOK”
(i1,Bj).
“Untuk APBD sebagian juga menunjang untuk kegiatan, ada
juga bantuan dari provinsi dan pusat” (i1, Bj).
“Khusus program kecacingan kami anggarannya cukup, dari
pemerintah ada anggaran BOK, JKN, APBD” (i5, Bj).
F. Koordinasi lintas sektor
Koordinasi lintas sektor merupakan salah satu kegiatan yang
harus dilaksanakan dalam melaksanakan program cacingan. Hasil
koordinasi lintas sektor cukup baik, namun belum optimal perannya.
Program cacingan ini dilakukan bersama-sama dengan
melibatkan organisasi masyarakat dan juga institusi pendidikan.
Sasaran dari program ini adalah anak sekolah, sehingga peran
sekolah dan masyarakat sangat diperlukan. Hal ini diperkuat oleh
pernyataan dari beberapa informan, sebagai berikut:
"Kita melibatkan lintas sektor PKK, kemudian Kemenag, Dinas Pendidikan, kemudian lintas bidang, jadi lintas bidang
61
ini bidang kesmas bisa kita libatkan kerjasama masalah vitamin" (i3, Ba). "Paling kita jadwal saja yang kita kasihkan ke dinas pendidikan dengan lintas seKtor kita ada pemberitahuan"(i5,Ba). “Penyuluhan dari puskesmas kesini, diberikan penyuluhan dulu diberikan arahan” (i5, Ba).
G. Hambatan pelaksanaan
Dalam melaksanakan program cacingan ini, beberapa
tenaga puskesmas yang ada di Kabupaten Banjar tidak
mendapatkan anggaran yang khusus untuk menjalankan program
tersebut. Hambatan ini diatasi dengan menempelkan program
cacingan dengan program yang lain yang sudah direncanakan dan
ada biayanya. Hal ini sesuai dengan penyataan dari responden,
sebagai berikut:
"Sampai saat ini, belum dan teman-teman dari puskesmas juga yang dari kabupaten juga namun ada beberapa puskesmas dengan wilayah kerja yang sangat luas itu tidak bisa semua mereka mendapatkan anggaran untuk perjalanan dinas ke puskesmas sehingga ada beberapa kegiatan yang disatukan "
3.7 Kota Banjarbaru
3.7.1 Deskripsi Karakteristik Responden
Wawancara dilakukan kepada 251 anak sekolah di 30 SD di
Kabupaten Banjarbaru dan dilakukannya pengambilan sampel tinja.
Data yang didapatkan meliputi data karakteristik responden,
pengetahuan, sikap, dan perilaku yang mendukung kejadian
kecacingan.
Tabel 3.7A. Karakteristik responden berdasarkan umur, jenis kelamin dan berdasarkan kelas di Kota Banjarbaru
No. Karakteristik Jumlah Persentase (%)
1. Umur (tahun)
5 0 -
6 71 28,29
7 66 26,29
62
8 34 13,55
9 41 16,33
10 30 11,95 11 6 2,39 12 1 0,40 13 2 0,80
Jumlah 251 100
2. Jenis Kelamin
Laki-laki 118 47,01
Perempuan 133 52,99
Jumlah 251 100
3. Kelas 1 88 35,06 2 73 29,08 3 22 8,76
4 38 15,14
5 30 11,95
Jumlah 251 100 Sumber: Hasil analisis data primer, 2019
Berdasarkan tabel 3.7A di atas menunjukkan bahwa dari
251 responden yang diteliti, mayoritas berumur 6 tahun (28,29%),
berjenis kelamin perempuan (52,99%) dan berdasarkan kelas
responden terbanyak yang mengembalikan pot tinja pada murid
kelas satu (35,06%).
3.7.2 Gambaran kasus kecacingan dan angka prevalensi kecacingan di Kota Banjarbaru
Hasil pengambilan sampel spesimen tinja pada anak sekolah
dasar berjumlah 251 responden yang dikumpulkan pada bulan Juli
2019. Spesimen tinja diperiksa dengan menggunakan metode kato
katz, dari hasil pemeriksaan spesimen tinja, didapatkan 4 anak
(1,59%) positif menderita kecacingan. Infeksi cacing yang
ditemukan adalah lain Ascaris lumbricoides sebanyak 2 anak,
Hookworm sebanyak 1 anak dan cacing cambuk (T.trichiura)
sebanyak 1 anak .
Dari hasil survei tinja tersebut menunjukkan bahwa infeksi
kecacingan yang terjadi pada anak sekolah di Kabupaten Banjar
63
cukup rendah. Dari spesies yang ditemukan yaitu telur cacing
nematoda usus antara lain Ascaris lumbricoides, Hookworm dan
T.trichiura yang disebabkan karena kontak dengan tanah (soil-
transmitted helminthes).
Gambar 3.7. Diagram hasil pemeriksaan kecacingan dan jenisnya pada anak sekolah di Kota Banjarbaru
(Sumber: Hasil analisis data primer, 2019)
3.7.3 Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku terhadap kecacingan di Kota Banjarbaru
A. Analisis Univariat
Berdasarkan hasil wawancara terhadap 251 responden (N),
didapatkan hasil bahwa sebagian besar (62,9%) tidak tahu tentang
tanda-tanda cacingan, sikap responden hampir setengahnya tidak
tahu cara agar tidak sakit cacingan (44,2 %), akan tetapi perilaku
responden hampir seluruhnya menjawab (96,4%) Buang air besar
di WC/jamban.
Tabel 3.7B. Karakteristik responden berdasarkan pengetahuan,
sikap, dan perilaku di Kota Banjarbaru
Pengetahuan
(n) (%)
1 Apakah adik tahu tentang sakit kecacingan? 79 31.5
2 Apakah berikut tanda-tanda kecacingan? Sakit perut/mencret
62 24.7
3 Apakah berikut tanda-tanda kecacingan? Tidak nafsu makan
9 3.6
4 Apakah berikut tanda-tanda kecacingan? Pucat/lemas 7 2.8
5 Apakah berikut tanda-tanda kecacingan? Perut buncit 5 2.0
64
6 Apakah berikut tanda-tanda kecacingan? Tidak menjawab/tidak tahu
158 62.9
7 Apakah berikut ini merupakan cara penularan kecacingan? Bermain tanah
53 21.1
8 Apakah berikut ini merupakan cara penularan kecacingan? Tidak mencuci tangan
33 13.1
9 Apakah berikut ini merupakan cara penularan kecacingan? Makan dan minum sembarangan
138 55.0
10 Apakah berikut ini merupakan cara penularan kecacingan? Tidak tahu/tidak menjawab
138 55.0
Sikap
(n) (%)
1 Cara agar tidak sakit cacingan: Tidak bermain tanah 29 11.6
2 Cara agar tidak sakit cacingan: Mencuci tangan 58 23.1
3 Cara agar tidak sakit cacingan: Memotong dan membersihkan kuku
14 5.6
4 Cara agar tidak sakit cacingan: Memakai alas kaki 3 1.2
5 Cara agar tidak sakit cacingan: Meminum obat cacing 45 17.9
6 Cara agar tidak sakit cacingan: Tidak tahu/tidak menjawab
111 44.2
Perilaku
(n) (%)
1 Sebelum makan dan setelah buang air besar mencuci tangan
238 94.8
2 Mencuci tangan dengan sabun 224 89.2
3 Setelah bermain di tanah adik mencuci tangan 231 92.0
4 Setelah bermain di tanah mencuci tangan dengan sabun
205 81.7
5 Menggunakan alas kaki (sepatu/sandal) setiap keluar rumah
230 91.6
6 Pada waktu istirahat sekolah adik bermain menggunakan sepatu
228 90.8
7 Buang air besar di WC/jamban 242 96.4
8 Kuku anak tidak panjang 111 44.2
9 Kuku anak bersih 169 67.3
Sumber: Hasil analisis data primer, 2019
Berdasarkan tabel 3.7C menunjukkan bahwa mayoritas
responden memiliki pengetahuan tentang kecacingan berada pada
kategori pengetahuan sedang (89,64%), sikap responden berada
pada kategori bersikap negatif (99,60), dan mayoritas berperilaku
baik (97,60%).
Tabel 3.7C. Karakteristik responden berdasarkan kategori
pengetahuan, sikap, dan perilaku di Kota Banjarbaru
No. Variabel Jumlah Persentase (%)
1. Pengetahuan Rendah 26 10,36 Sedang 225 89,64
65
Tinggi 0 0 Jumlah 251 100
2. Sikap Negatif 196 78,09 Positif 55 21,91 Jumlah 251 100
3 Perilaku
Kurang baik 6 2,40 Baik 245 97,60 Jumlah 251 100
Sumber: Hasil analisis data primer, 2019
B. Analisis Bivariat
Analisis bivariat pada penelitian ini menggunakan tabel 2x2
dan 3x2 untuk mengetahui Nilai Sig dari Pearson Chi-Square.
Signifikansi (p Value) dengan α=5%. Berdasarkan tabel 3.7C
menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki pengetahuan
tentang kecacingan berada pada kategori pengetahuan sedang
(89,64%), sikap responden berada pada kategori bersikap negatif
(78,09) dan mayoritas berperilaku baik (97,60%).
Tabel 3.7D. Hasil analisis data antara kecacingan dengan pengetahuan responden di Kota Banjarbaru
Pengetahuan Responden
Hasil Pemeriksaan P-value
Negatif Positif
Rendah 26 0
Sedang 221 4 0.493
Total 247 4 Sumber: Hasil analisis data primer, 2019
Berdasarkan hasil analisis uji Chi Square seperti terlihat
pada tabel 3.7D didapatkan nilai p value adalah 0,493 yang berarti
lebih besar dari 0,05, maka Ho diterima berarti bahwa tidak ada
hubungan antara pengetahuan dengan kejadian kecacingan pada
anak sekolah. Berdasarkan uji analisis diatas didapat bahwa tidak
ada hubungan antara pengetahuan responden dengan kejadian
kecacingan.
66
Tabel 3.7E. Hasil analisis data antara kecacingan dengan sikap responden di Kota Banjarbaru
Sikap Responden Hasil Pemeriksaan P-value
Negatif Positif
Negatif 193 3
Positif 54 1 0.880
Total 247 4 Sumber: Hasil analisis data primer, 2019
Berdasarkan hasil analisis uji Chi Square seperti terlihat
pada tabel 3.7E didapatkan nilai p value adalah 0,880 yang berarti
lebih besar dari 0,05 maka Ho diterima berarti bahwa tidak ada
hubungan antara sikap dengan kejadian kecacingan pada anak
sekolah. Berdasarkan uji analisis diatas didapat bahwa tidak ada
hubungan antara sikap responden dengan kejadian kecacingan.
Tabel 3.7F. Hasil analisis data antara kecacingan dengan perilaku responden di Kota Banjarbaru
Perilaku Responden Hasil Pemeriksaan P-value
Negatif Positif
Kurang 6 0
Baik 241 4 0.752
Total 247 4 Sumber: Hasil analisis data primer, 2019
Berdasarkan hasil analisis uji Chi Square seperti terlihat
pada tabel 3.7F didapatkan nilai p value adalah 0,752 yang berarti
lebih besar dari 0,05 maka Ho diterima berarti bahwa tidak ada
hubungan antara perilaku dengan kejadian kecacingan pada anak
sekolah. Berdasarkan uji analisis diatas didapat bahwa tidak ada
hubungan antara perilaku responden dengan kejadian kecacingan.
67
3.7.4 Hasil Wawancara Mendalam Stakeholder
Wawancara mendalam dilakukan kepada stakeholder yang
mengerti tentang program kecacingan dan pelaksanaannya.
Informan yang dipilih adalah orang terlibat langsung dengan topik
penelitian dan diharapkan bersedia memberikan informasi untuk
berpartisipasi dalam penelitian ini.
A. Kebijakan
Pelaksanaan program penanggulangan kecacingan
berdasarkan PMK No. 15 tahun 2017 pada tingkat Dinas
Kesehatan Provinsi dan kabupaten, puskesmas dan pemangku
kepentingan di Kota Banjarbaru Provinsi Kalimantan Selatan dari
aspek kebijakan pusat terkait eliminasi kecacingan semua informan
mengatakan sudah dilaksanakan sesuai kebijakan dari pusat,
walaupun untuk dari SK walikota atau gubernur tidak ada.
Pelaksanaan eliminasi kecacingan di semua pkm sudah
melaksanakan pada bulan Februari dan Agustus bersamaan
dengan pemberian vitamin A. Walaupun kebijakan dalam
melaksanakan Permenkes no. 15/2017 berupa surat keputusan
maupun edaran dari bupati tidak ada.
Kebijakan yang dikeluarkan untuk mendukung program
eliminasi kecacingan di Kota Banjarbaru tidak ada. Baik berupa
surat edaran maupun surat keputusan dari walikota dalam
melaksanakan Permenkes nomor 15/2017. Hal ini dikuatkan oleh
pernyataan dari beberapa informan, sebagai berikut:
“Untuk kebijakan kita menggunakan Permenkes no.15 tahun 2017” (i3, Bb). “Edaran walikota belum ada” (i2, Bb). “Kebijakan ada untuk sesuatu yang berbau darurat sesuai edaran” (i2, Bb).
68
B. Program
Program kecacingan di Kota Banjarbaru dikerjakan bersama-
sama dengan pemberian vitamin A. Program eliminasi kecacingan
di Kota Banjarbaru dilakukan dengan kegiatan pembagian obat
cacing dan diminum secara bersama-sama di sekolah maupun di
posyandu serta terintegrasi dengan pemberian vitamin A.
Pernyataan ini dikuatkan oleh keterangan dari beberapa informan,
sebagai berikut:
“Kalau di puskesmas biasanya ada lah petugas yg mengurus gizi juga, sehingga ketika kelapangan dilakukan bersama sama, mereka tidak berdiri sendiri bersamaan dengan program yang lain. Yaitu Bisa, vit A. di posyandu juga sama pemberian dilakukan secara bersama-sama” (i3, Bb). “Jika di puskesmas biasanya adalah petugas yang mengurus
gizi, dilakukan secara bersama-sama dengan vitamin A” (i5,
Bb).
C. SDM (pelaksana)
Pelaksanaan program cacingan dilakukan oleh institusi
kesehatan kabupaten dan puskesmas. Dalam kegiatan di
sekolahan dibantu oleh guru ataupun kader untuk di posyandu. Hal
ini didukung oleh pernyataan dari informan, sebagai berikut:
“Selama ini masih mandiri puskesmas, kecuali SD, dengan gurunya, guru sekolah yang membantu. Kecuali mereka melaksanakan di tk, posyandu, mereka pasti kerjasama dengan kader, misal di 1 rt atau rw mereka ada posyandunya. Mesti di bulan Februari sampai Agustus mereka titipkan juga popm” (i2, Bb).
D. Sarana prasarana
Bagaimana kecukupan SDM, dan pemberdayaan
masyarakat, jumlah, kompetensi, komitmen yang berhubungan
dengan kegiatan eliminasi kecacingan? Jika tidak cukup,
bagaimana mengatasinya?
69
Semua informan mengatakan dari segi ketersediaan tenaga
di puskesmas sudah cukup, tidak ada masalah untuk tenaga.
Tenaga yang melaksanakan adalah pengelola program kecacingan
dibantu tenaga dari gizi karena terintegrasi dengan pemberian
vitamin A. Sedangkan untuk pemberdayaan masyarakat yang
terlibat, sebagian besar baru kader posyandu, kader dari
masyarakat, guru kelas dan guru UKS untuk pemberian obat
cacing. Sumberdaya untuk melaksanakan program cacingan di
Kota Banjarbaru dirasa cukup. Dalam pelaksanaannya dikerjakan
bersama-sama dengan program lain yang memiliki sasaran yang
sama.
Di Kota Banjarbaru tidak ada sarana dan prasarana khusus
yang digunakan oleh petugas dalam melaksanakan program
cacingan. Pelaksanaannya diserahkan sepenuhnya kepada
petugas. Hal ini didukung oleh pernyataan informan, sebagai
berikut:
“Selama ini perjalanan kan sudah dikasih transport 40 ribu, jadi terserah mereka lagi, asal kegiatan dijalankan, tidak memandang kendaraan dinas kah, motor pribadi, bisa juga turun bersama-sama program yg lain jd bisa menggunakan mobil pkm” (i2, Bb).
E. Pembiayaan (anggaran)
Semua informan mengatakan untuk anggaran cukup sumber
dananya yaitu ada dari pusat dan APBD. Pembiayaan dalam
program cacingan di Kota banjarbaru diperoleh dari sumber APBN,
APBD, dan JKN. Biaya pelaksanaan program cacingan ini didukung
oleh dana dari APBN. Sedangkan untuk dana APBD baru sebagian
puskesmas yang telah memiliki anggarannya. Informasi ini
dikuatkan oleh pernyataan dari beberapa informan, sebagai berikut:
“Anggaran bisa dari dana bok untuk petugas yang ke lapangan bisa menganggarkan untuk ke lapangan, bok dari pusat, dari puskesmas, bok puskesmas kan tinggi, jadi mereka bisa melakukan kegiatan yang tidak ada di apbd bisa
70
dianggarkan dalam bok. Kita hanya tahu untuk anggaran yang tidak terakomodir dari apbd bisa dilakukan dengan dana bok. Kalau di dinas kami tidak ada, namun ada dana dari provinsi, namun hanya 4 sekolah saja” (i2, Bb). “Untuk anggaran, terus terang, meskipun ada dana bok, kapus akan memprioritaskan program yang utama, ada berapa puskesmas yang tidak menganggarkan program kecacingan. Saya sudah menyarankan untuk semua puskesmas menganggarkan dana ke lapangan untuk pomp. Kalau untuk 2020 sudah semua ada” (i3, Bb).
F. Koordinasi lintas sektor;
Koordinasi lintas sektor merupakan salah satu kegiatan yang
harus dilaksanakan dalam melaksanakan program cacingan. Hasil
koordinasi lintas sektor cukup baik, namun belum optimal perannya.
Program cacingan ini dilakukan bersama-sama dengan
melibatkan organisasi masyarakat dan juga institusi pendidikan.
Sasaran dari program ini adalah anak sekolah, sehingga peran
sekolah dan masyarakat sangat diperlukan.
Program cacingan dilaksanakan bersama-sama dengan
institusi lain. Guru dan kader dilibatkan dalam kegiatan kecacingan.
Hal ini didukung oleh pernyataan dari beberapa informan, sebagai
berikut:
“Iya ini adalah melibatkan kerjasama lintas sektor, melibatkan paud dan sd” (i2, Bb). “Di posyandu dengan kader, paud tk dengan guru-gurunya, sd dengan guru-guru juga, dinas pendidikan yang membawahi” (i3, Bb). “Diknas hanya untuk pemberitahuan saja” (i5, Bb). “Pemeritahuan hari sebelumnya dari pihak puskesmas, guru memeritahkan murid membawa minum, pihak puskesmas melakukan penyuluhan tentang kecacingan, dokter kecil dan kebersihan lingkungan” (i6, Bb).
G. Hambatan pelaksanaan.
Dalam melaksanakan program cacingan ini, beberapa
tenaga puskesmas yang ada di Kota Banjarbaru tidak
mendapatkan anggaran yang khusus untuk menjalankan program
71
tersebut. Hambatan ini diatasi dengan menempelkan program
cacingan dengan program yang lain yang sudah direncanakan dan
ada biayanya.
Hambatan dalam melaksanakan program cacingan dapat
dikatakan tidak memiliki kendala yang berarti, karena dapat
diselesaikan di lapangan. Dibutuhkan evaluasi dalam kerjasama
lintas sektor. Hal ini didukung oleh pernyataan dari beberapa
informan, sebagai berikut:
“Berkunjung 6 bulan sekali dari tk, sd, kami belum ada lagi secara edaran dan edaran kebijakan walikota belum ada” (i2,Bb). “Setelah dianalisa ternyata selama ini kita tidak pernah membuka surat dukungan untuk kegiatan popm. Saya baru pegang sekarang, yang terdahulu ya sudah lah, dari provinsi juga seperti itu, surat untuk melaksanakan ya ga ada. Tidak ada evaluasi” (i3, Bb). “Alhamdulillah support dari dinas provinsi selalu berkomunikasi lewat wa, sehingga tidak ada kendala yang berarti. Lagian program dijalankan bersama-sama”(i5, Bb).
3.8 Dinas Kesehatan Provinsi
Wawancara mendalam dilakukan kepada stakeholder yang
mengerti tentang program kecacingan dan pelaksanaannya.
Informan yang dipilih adalah orang yang terlibat langsung dengan
topik penelitian dan diharapkan bersedia memberikan informasi
untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.
A. Kebijakan
Pelaksanaan program penanggulangan kecacingan
berdasarkan PMK No. 15 tahun 2017 pada tingkat Dinas
Kesehatan dan pengelola program kecacingan Provinsi Kalimantan
Selatan dari aspek kebijakan pusat terkait eliminasi kecacingan
informan mengatakan sudah dilaksanakan sesuai kebijakan dari
pusat, walaupun untuk SK bupati atau gubernur tidak ada.
72
Pelaksanaan eliminasi kecacingan di semua pkm sudah
dilaksanakan pada bulan Februari dan Agustus bersamaan dengan
pemberian vitamin A. Walaupun kebijakan dalam melaksanakan
Permenkes no. 15/2017 berupa surat keputusan maupun edaran
dari bupati tidak ada. Hal ini didukung oleh pernyataan beberapa
informan, sebagai berikut:
“Alhamdulillah belum ada kita, permenkes itu sudah cukup
untuk menjadi dasar teman-teman kabupaten” (i1, bjm).
“Untuk kegiatan ini SK atau semacam peraturan bupati
belum ada, tapi dukungan itu bentuknya berupa anggaran”
(i2, bjm).
“Untuk SDM cukup. Kitakan pembagian obatnya melibatkan puskesmas jadi ada dibantu orang puskesmas diwilayahnya sama kader sama dari diknas, kan soalnya nak sekolah kan jadi ada tambahan dari diknas” (i1, bjm).
B. Program
Program kecacingan di Dinas Kesehatan dan pengelola
program kecacingan Provinsi Kalimantan Selatan mendrop obat ke
masing masing kabupaten/kota untuk dibagikan ke puskesmas dan
dikerjakan bersama-sama oleh tim di puskesmas. Pernyataan ini
dikuatkan oleh keterangan dari informan, sebagai berikut:
“Kitakan pembagian obatnya melibatkan puskesmas jadi ada dibantu orang puskesmas diwilayahnya sama kader sama dari diknas, kan soalnya anak sekolah kan jadi ada tambahan dari diknas” (i1, Bjm).
C. SDM (pelaksana)
Bagaimana kecukupan SDM, dan pemberdayaan
masyarakat, jumlah, kompetensi, komitmen yang berhubungan
dengan kegiatan eliminasi kecacingan? Jika tidak cukup,
bagaimana mengatasinya?
Semua informan mengatakan dari segi ketersediaan tenaga
tidak masalah, karena Provinsi hanya mendrop saja ke kabupaten,
kabupaten membagikan ke tiap puskesmas. Dan pihak puskesmas
73
sudah cukup, tidak ada masalah untuk tenaga, yang melaksanakan
adalah pengelola program kecacingan dibantu tenaga dari gizi
karena terintegrasi dengan pemberian vitamin A. Sedangkan untuk
pemberdayaan masyarakat yang terlibat, sebagian besar baru
kader posyandu, kader dari masyarakat, guru kelas dan guru UKS
untuk pemberian obat cacing. Sumberdaya untuk melaksanakan
program cacingan di kabupaten dirasa cukup dan di tingkat provinsi
juga tidak ada masalah. Dalam pelaksanaannya dikerjakan
bersama-sama dengan program lain yang memiliki sasaran yang
sama. Hal ini didukung oleh pernyataan dari sala satu informan,
sebagai berikut:
“Tidak ada masalah barang datang kita memberikan sosialisasi” (i1, Bjm).
D. Sarana prasarana
Bagaimana sarana dan prasarana dalam menunjang
pelaksanaan eliminasi kecacingan (kondisi dan kecukupan)? Apa
kendala yang dihadapi? Apa Solusi yang sudah dilakukan?
Sala satu informan mengatakan untuk sarana prasarana
dalam menunjang pemeriksaan dan sebagainya cukup, hanya
untuk petugas laboratorium, belum semua pkm ada analis
kesehatannya. Kebutuhan sarana dan prasarana dalam
melaksanakan kegiatan cacingan cukup, karena tidak dikerjakan
secara sendiri, tapi bersama dengan program lain. Hal ini didukung
oleh pernyataan dari beberapa informan, sebagai berikut:
“Cukup saja tentang obat, ada yang expired, ada juga yang tidak siap edar“ (i1, Bjm).
E. Pembiayaan (anggaran)
Semua informan mengatakan untuk anggaran cukup sumber
dananya yaitu ada dari pusat dan APBD. Pembiayaan dalam
program cacingan di Dinas Kesehatan Provinsi ini diperoleh dari
74
sumber APBN, APBD, dan JKN. Hal ini diperkuat oleh pernyataan
dari sala satu informan, sebagai berikut:
“Untuk anggaran cukup, dana Dekon dan BOK kabupaten trus yang ibu Provinsi disini adalah bu APBD Provinsi. Banyak, banyak dari dana Dekon sampai transport dari petugas aja diberi, dekon yang dari APBN pusat, kalo untuk puskesmas kami saran untuk BOK nya puskesmas itu, kami anggarkan semua. Aman, malah kaya Tapin sampai kada meambil duit dari kita karena sudah mencukupi takuatan dambling jer takuatan ada pemeriksaan “(i1, Bjm).
F. Koordinasi lintas sektor
Koordinasi lintas sektor merupakan salah satu kegiatan yang
harus dilaksanakan dalam melaksanakan program cacingan. Hasil
koordinasi lintas sektor cukup baik, namun belum optimal perannya.
Program cacingan ini dilakukan bersama-sama dengan
melibatkan organisasi masyarakat dan juga institusi pendidikan.
Sasaran dari program ini adalah anak sekolah, sehingga peran
sekolah dan masyarakat sangat diperlukan. Hal ini diperkuat oleh
pernyataan dari beberapa informan, sebagai berikut:
“Masalahnya lintas sektor, seharusnya mereka yang melakukan penyuluhan, sosialisasi, kami yang kasih obatnya. Nah ini yg jadi maslah jg, keterlibatan mereka, kontribusnya, harusnya mereka hrs melakukan penyuluhan, kan ini sudah tahun ke3, kan pengobatan ini ut anak didik mereka, kalau ut bahan nya kan sudah ada, tinggal mereka yg mensosialisasikan, jadi bahan kita punya bahannya.” (i1,Bjm). “Itukan kerjasama untuk diknas itu kerjasama untuk pembagian dalam sekolah, jadi kita libatkan 2 orang untuk guru sekolah. Orang diknas ikut memonitoring ikut membagi, mun kesekolah bawa ini ada program di sekolah kaya itu. Dinas kabupaten masing – masing, sebelum acara apa kita bulan Fabruari kah kita Maret itu kita sosialisasi kita undang jua orang diknas, dari PKK kan untuk posyandu itu nah kita undang kan mereka mau pembagian ini bulan Agustus, soalnya diknas kan yang memberikan informasi dengan orang kebupaten berpa siswanya. kada mungkin orang puskes jua turun kesekolah – sekolah minta data itu pasti dari diknasnya. Ada kami sosialisasi, evaluasi tadi kami
75
undang jua, bahwa kita ada ucapan terimakasih lah atas capaian kita sudah diatas rata – rata kayak gitu.” (i2, Bjm).
G. Hambatan pelaksanaan
Dalam melaksanakan program cacingan ini, beberapa
tenaga puskesmas ada yang tidak mendapatkan anggaran yang
khusus untuk menjalankan program tersebut. Hambatan ini diatasi
dengan menempelkan program cacingan dengan program yang lain
yang sudah direncanakan dan ada biayanya. Hal ini sesuai dengan
penyataan dari informan, sebagai berikut:
“Apa dasar pelaksanaan pengobatan harus 2x, ada kabupaten yang tidak mau melaksanakan karena takut jadi temuan. Sasaran pengobatan harusnya dibedakan dengan sasaran filariasis yang 2-70 tahun. Kita sudah merencanakan, saya sudah ajukan, nah disini kalau dicoret ya silahkan saja, yang penting saya sudah melaksanakan perintah kepala tapi punya hutang dengan kabupaten, ada 260 m, yang 60 sudah dikasihkan, ada defisit 200, menggunakan dana kabupaten. dinas. Yang kami kerjakan bukan hanya ini, kalau ini kan ribet banget, harus mendata dulu, diobati, pas pengobatan juga belum bisa langsung diminum,”
76
IV. PEMBAHASAN
4.1 Gambaran kasus kecacingan dan angka prevalensi kecacingan 5
Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan Selatan
Gambaran kasus kecacingan dari 5 Kabupaten/kota
didapatkan angka prevalensi sebesar (1,05%) sehingga implementasi
dari pelaksanaan program kecacingan berhasil, dalam pencapaian
target berupa penurunan prevalensi cacingan dibawah 10%.
Indikator dalam pencapaian target program penanggulangan
cacingan sebagaimana dimaksud berupa penurunan prevalensi
cacingan sampai dengan di bawah 10% (sepuluh persen) di setiap
daerah kabupaten/kota. Penentuan prevalensi cacingan pada daerah
kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan survei sebagai berikut:
prevalensi tinggi apabila prevalensi cacingan di atas 50% (lima puluh
persen); prevalensi sedang apabila prevalensi cacingan 20% (dua
puluh persen) sampai dengan 50% (lima puluh persen) dan prevalensi
rendah apabila prevalensi cacingan dibawah 20% (dua puluh
persen).1 Sehingga Pemerintah Pusat menetapkan target program
Penanggulangan cacingan berupa reduksi cacingan pada tahun 2019
berhasil untuk 5 Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Selatan.
Pada kasus di Kabupaten Tanah Laut infeksi yang terbanyak
adalah T.trichiura atau cacing cambuk/whipworm. Cacing ini
merupakan cacing yang bersifat kosmopolit, terutama ditemukan pada
daerah panas dan lembab, seperti di Indonesia..5 Daerah
penyebarannya sama dengan ascariasis, prevalensinya tinggi pada
keadaan sosial ekonomi yang rendah. Cacing ini menginfeksi segala
umur dan semua jenis kelamin. Sama dengan cacing ascaris, cacing
ini pun cara penularannya melalui makanan/minuman yang tercemar
telur infektif, dengan faktor resiko yang sama pula. Setelah dilakukan
screening kecacingan, ternyata hasilnya masih ada yang positif,
77
terutama golongan nematoda (T. Trichiura) walaupun seluruh anak
sudah meminum obat cacing di depan kelas masing masing di
damping oleh guru dan petugas puskesmas. Sedangkan infeksi cacing
kedua adalah Enterobius vermicularis merupakan infeksi umum yang
memang banyak menyerang dikalangan anak karena cara
penularannya yang sangat cepat dan mudah (bisa melalui pakaian,
sprei, oral, dll).3,4,5,6,7,8 Hasil pemeriksaan spesimen tinja yang
dilakukan di Kabupaten Tanah laut didapatkan 2 anak (0,45%) positif
kecacingan. Faktor yang mempengaruhi antara lain, kemungkinan
pada saat pembagian obat cacing di sekolah yang diberikan kepada
seluruh anak sekolah yang bersangkutan tidak hadir atau absen,
sehingga anak tersebut tidak minum obat cacing.
Pada kasus di Kabupaten Tanah Laut, infeksi yang ditemukan
adalah cacing Hookworm yang disebabkan karena kontak dengan
tanah (soil-transmitted helminthes). Selain itu ditemukan cacing
tambang atau Hookworm Disease adalah suatu infeksi kronis yang
sering terjadi dan muncul dengan berbagai gejala, biasanya proporsi
terbesar dengan berbagai tingkat anemia. Pada infeksi berat, akibat
darah dihisap oleh cacing mengakibatkan terjadinya kekurangan zat
besi dan menyebabkan terjadinya anemia hipokromik, anemia
mikrositik, sebagai penyebab utama disabilitas.1
Distribusi penyakit secara luas di negara tropis dan subtropis
dimana pembuangan tinja manusia yang tidak saniter, dimana
keadaan tanah, keadaan suhu dan kelembaban yang mendukung
hidupnya larva infektif. Dapat juga ditemukan di lingkungan areal
pertambangan. Cara penularannya, telur dalam tinja yang di deposit
dalam tanah dan menetas di tanah dalam kondisi yang sesuai, yaitu
udara yang lembab, suhu dan tipe tanah yang sesuai, larva
berkembang menjadi stadium 3 menjadi infektif dalam 7-10 hari.
Pada pemeriksaan Tinja anak sekolah yang positip Hookworm
ini di mungkinkan karena kebanyakan anak sekolah pergi ke sekolah
78
tanpa menggunakan sepatu melainkan sendal dan sesampai di
sekolah mereka melepasnya dan bermain di halaman sekolah tanpa
alas kaki, ini menyebabkan seseorang terinfeksi dengan bahaya
tanah yang tercemar oleh tinja manusia, kotoran kucing, anjing dan
upaya pencegahan hendaknya memakai alas kaki/ sepatu.
Sedangkan infeksi cacing kedua adalah Enterobius vermicularis
merupakan infeksi umum yang memang banyak menyerang
dikalangan anak karena cara penularannya yang sangat cepat dan
mudah (bisa melalui pakaian, sprei, oral, dll).
Hasil pemeriksaan spesimen tinja yang dilakukan di Kabupaten
Tapin didapatkan 3 anak (0,69%) positif kecacingan. Faktor yang
mempengaruhi antara lain, kemungkinan pada saat pembagian obat
cacing di sekolah yang diberikan kepada seluruh anak sekolah yang
bersangkutan tidak hadir atau absen, sehingga anak tersebut tidak
minum obat cacing.
Kasus kecacingan di Kabupaten Balangan pada anak sekolah
dasar, didapatkan (1,60%) positif menderita kecacingan. Infeksi cacing
yang ditemukan adalah cacing cambuk (T.trichiura) sebanyak 4 anak
dan cacing kremi (E. vermicularis) sebanyak 4 orang.
Dari hasil survei tinja tersebut menunjukkan bahwa infeksi
kecacingan yang terjadi pada anak sekolah di Kabupaten Tanah Laut
cukup rendah. Dari spesies yang ditemukan yaitu telur cacing
nematoda usus antara lain cacing cambuk (T.trichiura) yang
disebabkan karena kontak dengan tanah (soil-transmitted helminthes),
sedangkan Enterobius vermicularis merupakan infeksi umum yang
memang banyak menyerang dikalangan anak karena cara
penularannya yang sangat cepat dan mudah (bisa melalui pakaian,
sprei, oral, dll).
Kasus kecacingan di Kabupaten Banjar didapatkan (1,07%)
positif menderita kecacingan. Infeksi cacing yang ditemukan adalah
lain Ascaris lumbricoides sebanyak 1 anak, Hymenolepis nana
79
sebanyak 2 anak dan cacing kremi (E. vermicularis) sebanyak 1
orang.
Dari hasil survei tinja tersebut menunjukkan bahwa infeksi
kecacingan yang terjadi pada anak sekolah di Kabupaten Banjar
cukup rendah. Dari spesies yang ditemukan yaitu telur cacing
nematoda usus antara lain Ascaris lumbricoides yang disebabkan
karena kontak dengan tanah (soil-transmitted helminthes), sedangkan
E. vermicularis merupakan infeksi umum yang memang banyak
menyerang dikalangan anak karena cara penularannya yang sangat
cepat dan mudah (bisa melalui pakaian, sprei, oral, dll). Selain
golongan nematoda usus, juga ditemukan infeksi cacing golongan
cestoda yaitu, Hymenolepis nana yang umumnya disebarkan oleh
tikus.
Hymenolepiasis atau penyakit cacing pita kerdil disebabkan
oleh infeksi cacing H. nana (dawrf tapeworm) atau H.diminuta, dimana
penyebarannya secara kosmopolit lebih banyak terjadi di daerah
dengan iklim panas daripada iklim dingin, seperti di Indonesia. Pada
pemeriksaan tinja anak sekolah di Kabupaten Banjar terdapat 2 anak
terinfeksi H. nana. Hal ini perlu perhatian yang khusus karena jika
tidak diberikan pengobatan standar, tidak akan mematikan cacing pita
yang ada di perut anak tersebut. Pengobatan yang harus diberikan
adalah Niklosamid dosis 2gr/hr x 7 hr setelah itu tindakan lanjutan
pemeriksaan tinja untuk telur dan proglotid 2 minggu dan 3 bulan
setelah pengobatan, biasanya cacing yang menempel pada dinding
usus halus ini menimbulkan iritasi mukosa usus. Kelainan yang sering
timbul adalah toksemia umum karena penyerapan sisa metabolit dari
parasit masuk ke dalam sistem peredaran darah penderita. Pada anak
kecil dengan infeksi berat, cacing ini kadang-kadang menyebabkan
keluhan neurologi yang gawat, mengalami sakit perut dengan atau
tanpa diare, kejang-kejang, sukar tidur dan pusing. Eosinofilia sebesar
8-16%. Sakit perut, diare, obstipasi dan anoreksia merupakan gejala
80
ringan. Infeksi sering pada anak-anak usia 15 tahun ke bawah yang
terjadi secara langsung dari tangan ke mulut. Disebabkan oleh telur
yang tertelan dari benda-benda yang terkena tanah, dari tempat
buang air atau langsung dari anus ke mulut.21
Selain itu juga ditemukan infeksi cacing kremi yang merupakan
infeksi kecacingan umum di kalangan anak-anak. Penyebaran cacing
kremi sangat cepat dan mudah bahkan dapat melalui pakaian/sprei
yang tercemar telur cacing. Umumnya telur cacing kremi jarang dapat
ditemukan pada tinja kecuali tinja hasil defekasi sesaat setelah
bangun tidur. Umumnya telur cacing kremi diambil dengan metode
anal swab, yaitu meletakkan plastik perekat yang telah ditempel pada
stik es krim pada anus dengan tujuan agar telur cacing dapat
menempel pada pita perekat tersebut.
Dari hasil survei tinja tersebut menunjukkan bahwa infeksi
kecacingan yang terjadi pada anak sekolah di Kota Banjarbaru cukup
rendah. Hasil pengambilan sampel spesimen tinja pada anak sekolah,
didapatkan 4 anak (1,59%) positif menderita kecacingan. Infeksi
cacing yang ditemukan adalah lain Ascaris lumbricoides sebanyak 2
anak, Hookworm sebanyak 1 anak dan cacing cambuk (T.trichiura)
sebanyak 1 anak.
Dari hasil survei tinja tersebut menunjukkan bahwa infeksi
kecacingan yang terjadi pada anak sekolah di Kota Banjarbaru cukup
rendah. Dari spesies yang ditemukan yaitu telur cacing nematoda
usus antara lain Ascaris lumbricoides, Hookworm dan T.trichiura yang
disebabkan karena kontak dengan tanah (soil-transmitted helminthes).
4.2. Pengetahuan, sikap dan perilaku anak sekolah terhadap kasus cacingan di 5 Kab/kota di Provinsi Kalimantan Selatan
Hasil uji analisis statistik antara pengetahuan, sikap, dan
perilaku dengan kejadian kecacingan di Kab. Tanah Laut, Tapin,
Banjar dan Banjarbaru Provinsi Kalimantan Selatan menunjukkan
81
tidak adanya hubungan yang bermakna secara statistik pada ketiga
variabel tersebut.
Di Kabupaten Balangan variabel perilaku ada hubungan yang
bermakna secara statistik. Hal ini sejalan dengan Penelitian Peter J.
Hotes (2003) yang mengatakan bahwa perilaku mempengaruhi
terjadinya infeksi cacingan yaitu yang ditularkan lewat tanah. Perilaku
seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh
pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi dari orang atau masyarakat
itu sendiri. Di samping itu, keterbatasan fasilitas, dan sikap dan
perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan
mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku. Perubahan
pengetahuan dan sikap belum merupakan jaminan terjadinya
perubahan perilaku. Perubahan perilaku di dalam proses pendidikan
orang dewasa pada umumnya lebih sulit dari pada perubahan perilaku
pada pendidikan anak.22
Dari hasil data kuantitatif di atas dan didukung data kualitatif
yaitu dengan meningkatkan promosi kesehatan, yang dilaksanakan
dengan strategi advokasi, pemberdayaan masyarakat, dan kemitraan,
yang ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang
tanda dan gejala cacingan serta cara penularan dan pencegahannya,
meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat guna memelihara
kesehatan dengan cara antara lain cuci tangan pakai sabun;
menggunakan air bersih untuk keperluan rumah tangga; menjaga
kebersihan dan keamanan makanan; menggunakan jamban sehat;
mengupayakan kondisi lingkungan yang sehat; meningkatkan perilaku
mengkonsumsi obat cacing secara rutin terutama bagi anak balita dan
anak usia sekolah; dan meningkatkan koordinasi institusi dan lembaga
serta sumber daya untuk terselenggaranya reduksi cacingan.26
Berdasarkan teori Green (1980) cit Notoatmodjo (1997),
perilaku seseorang berkaitan dengan suatu penyakit dipengaruhi oleh
faktor predisposisi, pemungkin, dan pendorong. Pendidikan,
82
pekerjaan, dan jenis kelamin merupakan beberapa mata rantai untuk
dapat mendukung perilaku positif yang tidak mendukung kejadian
kecacingan. Akses informasi yang kurang dapat merupakan faktor
yang menyebabkan rendahnya pengetahuan penduduk tentang
kecacingan. Studi yang dilakukan oleh Norhayati pada anak orang asli
di Malaysia diperoleh bahwa tidak ada hubungan bermakna antara
jenis kelamin dan infeksi cacing. Hal ini mengindikasikan tidak ada
perbedaan perilaku pada anak laki-laki dan perempuan. Hal ini
menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara
pengetahuan dengan kejadian kecacingan.23 Dilihat dari frekuensinya
responden (anak sekolah) dengan pengetahuan orangtua kurang baik
yang mengalami kejadian kecacingan (1,2%), sedangkan pada
responden (anak sekolah) yang mengalami kecacingan dengan
pengetahuan orangtuanya baik (0,8%). Penelitian ini mendukung
penelitian Muniroh (2005), yang menyatakan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan orang tua
dengan kejadian kecacingan.
Yared Merid dkk melaporkan bahwa kejadian kecacingan lebih
sering pada anak-anak karena mempunyai kontak yang erat dengan
sumber infeksi dan anak-anak digambarkan lebih rentan daripada
orang dewasa. Hal ini juga didukung penelitian oleh Abdul Rahman
dalam Sri Alemina Ginting di Penang Malaysia melaporkan bahwa
tidak ada hubungan bermakna antara usia dan infeksi cacing usus.24
Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara
sikap dengan kejadian kecacingan. Sikap merupakan suatu keadaan
kecenderungan seseorang untuk beraksi terhadap keadaan
lingkungannya, sehingga masih banyak masyarakat yang tidak
mendukung terhadap penanggulangan kecacingan dan kurang
tanggap terhadap lingkungannya (Kasnodiharjo, 1990).
83
Hasil ini pula didukung oleh Penelitian Peter J. Hotes (2003)
yang mengatakan bahwa perilaku mempengaruhi terjadinya infeksi
cacingan yaitu yang ditularkan lewat tanah.25
Responden (anak sekolah) dengan orang tua yang berjenis
kelamin perempuan 16,4% terinfeksi kecacingan, sedangkan
responden (anak sekolah) dengan orangtua yang berjenis kelamin
laki-laki hanya 3,6%. Seperti halnya penelitian oleh Abdul Rahman
dalam Sri Alemina Ginting melaporkan bahwa tidak adanya hubungan
bermakna antara jenis kelamin dengan infeksi cacing usus. Studi yang
dilakukan oleh Norhayati pada anak orang asli di Malaysia diperoleh
bahwa tidak ada hubungan bermakna antara jenis kelamin dan infeksi
cacing26.
Hal ini mengindikasikan tidak ada perbedaan perilaku pada
anak laki-laki dan perempuan. Penelitian ini mendukung penelitian
Muniroh (2005), yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang
signifikan antara tingkat pengetahuan orangtua dengan kejadian
kecacingan.
Sikap merupakan suatu keadaan kecenderungan seseorang
untuk beraksi terhadap keadaan lingkungannya, sehingga masih
banyak masyarakat yang tidak mendukung terhadap penanggulangan
kecacingan dan kurang tanggap terhadap lingkungannya
(Kasnodiharjo, 1990).
4.3. Hasil wawancara mendalam stakeholder tentang kebijakan
kecacingan dan pelaksanaannya di 5 kab/kota di Provinsi Kalimantan
Selatan
Hasil wawancara mendalam terhadap informan terkait
kebijakan evaluasi program kecacingan di dinas kesehatan provinsi,
kabupaten dan puskesmas sebagai ujung tombak pada pelaksanaan
pengobatan kecacingan di 5 kabupaten/kota Provinsi Kalimantan
Selatan, sudah berjalan sesuai Permenkes no 15/2017 yaitu program
84
penanggulangan cacingan yaitu pemerintah pusat menetapkan target
program penanggulangan cacingan berupa reduksi cacingan pada
tahun 2019.27
Proses alur pelaksanaan kebijakan di provinsi Kalimantan
Selatan dimulai dari usulan dinas terkait dengan mengajukan rencana
anggaran pelaksanaan program yang penganggarannya diserahkan
ke Bappeda, kemudian Bappeda sebagai perencana daerah
menetapkan penganggaran di daerah setelah rapat bersama dalam
musyawarah perencanaan dan pembangunan (musrenbang) daerah
yang disahkan oleh bupati kemudian diajukan ke DPRD untuk dibahas
dan disahkan sebagai anggaran daerah. Sedangkan untuk formulasi
kebijakan lokal/spesifik daerah, draft kebijakan dari dinas kesehatan
dibahas bersama komite kesehatan daerah (District Health Council)
yang kemudian diajukan ke Bappeda untuk dilihat kesesuaiannya dan
kemungkinannya dengan Renstra daerah untuk disahkan ke DPRD.28
Kebijakan pengendalian penyakit kecacingan di Dinas
Kesehatan propinsi sudah dilakukan baik dari segi perencanaan dan
penganggaran. Program kecacingan secara khusus baik dari segi
perencanaan dan pelaksanaan, namun hanya untuk kegiatan
pengobatan, sehingga penganggaran untuk masalah penyakit
kecacingan tidak ada. Sistem surveilans dan pengembangan
penelitian di tingkat kabupaten juga belum berjalan. Dinas kesehatan
perlu melakukan upaya koordinasi dengan pihak terkait (DPRD,
Bappeda, Puskesmas) mengenai kebijakan pengendalian kecacingan,
khususnya dalam perencanaan dan penganggaran serta evaluasi
pengobatan kecacingan.
Kebijakan Kesehatan (health policy) adalah segala sesuatu
untuk mempengaruhi faktor–faktor penentu di sektor kesehatan agar
dapat meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat. Kebijakan
kesehatan perlu dilakukan agar dapat mencapai tingkat kesehatan
yang diinginkan, karena itu dalam menyusun model kebijakan
85
diperlukan analisis agar kebijakan yang diterapkan nantinya bisa
efektif dan efisien seperti analisis kebijakan yang dibuat oleh Walt dan
Galson.28
Keterlibatan pemerintah pusat sangat penting terutama dalam
mengembangkan dan mengadopsi kebijakan nasional tentang
pengendalian kecacingan. Oleh karena itu pemegang program
memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa pengaruh dari
program yang dibuat diketahui oleh sektor pemerintahan2,29 lainnya.
Dibandingkan dengan di Malaysia yang belum memiliki kebijakan
khusus dalam pencegahan dan pengendalian kecacingan26, Indonesia
sudah memiliki pedoman khusus berupa Permenkes no 15/2017 yaitu
program penanggulangan cacingan yaitu pemerintah pusat
menetapkan target program penanggulangan cacingan berupa reduksi
cacingan pada tahun 2019.1
Indikator dalam pencapaian target program penanggulangan
cacingan berupa penurunan prevalensi cacingan sampai dengan di
bawah 10% (sepuluh persen) di setiap daerah kabupaten/kota. Hal ini
terlihat dari hasil pemeriksaan kecacingan dari 5 Kabupaten/kota yang
diperiksa sebesar 2005 anak didapatkan sebesar 21 anak (1,05%)
positif menderita kecacingan, sehingga implementasi dari
pelaksanaan program kecacingan sudah bisa dikatakan berhasil
dalam pencapaian target berupa penurunan prevalensi cacingan
dibawah 10%.1
Strategi dalam mewujudkan target program penanggulangan
cacingan antara lain meningkatkan komitmen pemerintah pusat dan
pemerintah daerah untuk menjadikan program penanggulangan
cacingan sebagai program prioritas. 1
Program kecacingan di Dinas Kesehatan dan pengelola
program kecacingan Provinsi Kalimantan Selatan mendrop obat ke
86
masing masing kabupaten/kota untuk dibagikan ke puskesmas dan
dikerjakan bersama-sama oleh tim di puskesmas.
Strategi dalam meningkatkan program penanggulangan
cacingan antara lain koordinasi lintas program, lintas sektor, dan
peran serta masyarakat dengan mendorong kemitraan baik dengan
kelompok usaha maupun lembaga swadaya masyarakat dengan
mengintegrasikan kegiatan penanggulangan cacingan dengan
kegiatan POPM filariasis.
Jika dilihat dari kecukupan SDM dan pemberdayaan
masyarakat, komitmen yang berhubungan dengan kegiatan eliminasi
kecacingan, semua informan mengatakan dari segi ketersediaan
tenaga tidak masalah, karena Provinsi hanya mendrop aja ke
kabupaten, kabupaten membagikan ke tiap puskesmas. Dan pihak
puskesmas tidak ada masalah untuk tenaga, yang melaksanakan
adalah pengelola program kecacingan dibantu tenaga dari gizi karena
terintegrasi dengan pemberian vitamin A.
Untuk pemberdayaan masyarakat yang terlibat, sebagian besar
baru kader posyandu, kader dari masyarakat, guru kelas dan guru
UKS untuk pemberian obat cacing.
Sumberdaya untuk melaksanakan program cacingan di
Kabupaten Banjar dirasa cukup. Dalam pelaksanaannya dikerjakan
bersama-sama dengan program lain yang memiliki sasaran yang
sama.
Semua informan mengatakan untuk anggaran cukup sumber
dananya yaitu ada dari pusat dan APBD. Pembiayaan dalam program
cacingan di Dinas Kesehatan Provinsi ini diperoleh dari sumber APBN,
APBD, dan JKN.
Koordinasi lintas sektor merupakan salah satu kegiatan yang
harus dilaksanakan dalam melaksanakan program cacingan. Hasil
koordinasi lintas sektor cukup baik, namun belum optimal perannya.
87
Program cacingan ini dilakukan bersama-sama dengan
melibatkan organisasi masyarakat dan juga institusi pendidikan.
Sasaran dari program ini adalah anak sekolah, sehingga peran
sekolah dan masyarakat sangat diperlukan.
Meningkatkan koordinasi lintas program, lintas sektor, dan
peran serta masyarakat dengan mendorong kemitraan baik dengan
kelompok usaha maupun lembaga swadaya masyarakat dengan
mengintegrasikan kegiatan Penanggulangan cacingan dengan
kegiatan POPM filariasis.
Di Kabupaten Tanah Laut Kebijakan dalam melaksanakan
Permenkes no. 15/2017 berupa surat keputusan maupun edaran dari
bupati tidak ada. Akan tetapi pada pelaksanaannya sudah
dilaksanakan sesuai arahan dari pusat. Hal ini di dukung oleh
pernyataan dari kepala bidang dan juga kepala seksi yang
membidangi. Program kecacingan berupa pemberian obat cacing
pada anak dan balita.
Koordinasi antara pengelola program kecacingan di dinas
kesehatan provinsi, kabupaten dan puskesmas dalam melaksanakan
Permenkes no 15/2017 berupa surat keputusan maupun edaran dari
bupati tidak ada. Hal ini di dukung oleh pernyataan dari kepala bidang
dan juga kepala seksi yang membidangi. Program kecacingan berupa
pemberian obat cacing pada anak dan balita. Program ini dikenal
dengan POMP. Sasarannya adalah anak sekolah dasar dan balita.
Kegiatan ini biasanya dilaksanakan bersamaan dengan kegiatan
lainnya. Hasil wawancara didapatkan kesimpulan bahwa terkait
dengan petugas yang melaksanakan cukup dan tidak ada masalah
Sarana dan prasarana dalam melaksanakan program cacingan dirasa
cukup. Menurut hasil wawancara sarana dan prasarana yang
dipergunakan biasanya bersama-sama dengan program yang lain.
Anggaran atau biaya menjadi hal yang sangat penting dalam
mendukung keberhasilan suatu program. Program kecacingan tidak
88
mendapatkan pendanaan khusus karena cacingan adalah salah satu
penyakit yang terabaikan, sehingga tidak ada program dan anggaran
yang direncanakan.
Dalam pelaksanaannya program ini menempel pada program
yang lain dan pembiayaan sebagian besar berasal dari pemerintah
pusat. Koordinasi lintas sektor merupakan salah satu kegiatan yang
harus dilaksanakan dalam melaksanakan program cacingan.
Hasil koordinasi lintas sektor cukup baik, namun belum optimal
perannya Dalam melaksanakan program cacingan ini ternyata tidak
ada kendala yang besar, semuanya berjalan baik.
Di Kabupaten Balangan tidak ada kebijakan dari pemerintah
daerah dalam mendukung pelaksanaan program kecacingan, Program
cacingan dilaksanakan dengan kegiatan pembagian obat secara
massal (POMP). Pelaksana kegiatan dalam program kecacingan di
Kab. Balangan dilakukan oleh petugas filariasis. Petugas yang
mengerjakan khusus kecacingan tidak ada. Sarana dan prasarana
dalam melaksanakan program kecacingan di Kab. Balangan tidak ada
kendala, cukup. Pembiayaan untuk melaksanakan program
kecacingan didukung oleh APBN, APBD, maupun bantuan
perusahaan yang ada dalam CSR. Hal ini didukung oleh pernyataan
beberapa informan. Kegiatan program cacingan ini dilaksanakan oleh
institusi kesehatan, organisasi masyarakat, dan juga perusahaan.
Hambatan yang dialami oleh tim dalam melaksanakan kegiatan
adalah penolakan masyarakat akibat ketakutan terhadap reaksi obat,
seperti obat filariasis.
Di Kota Banjarbaru kebijakan yang dikeluarkan untuk
mendukung program eliminasi kecacingan di Kota Banjarbaru tidak
ada. Baik berupa surat edaran maupun surat keputusan dari bupati
dalam melaksanakan Permenkes no. 15/2017. Program eliminasi
kecacingan di Kota Banjarbaru dilakukan dengan kegiatan pembagian
obat cacing dan diminum secara bersama-sama di sekolah maupun di
89
posyandu. Pelaksanaan program cacingan dilakukan oleh institusi
kesehatan kabupaten dan puskesmas. Dalam kegiatan di sekolahan
dibantu oleh guru ataupun kader untuk di posyandu. Di Kota
Banjarbaru tidak ada sarana dan prasarana khusus yang digunakan
oleh petugas dalam melaksanakan program cacingan.
Pelaksanaannya diserahkan sepenuhnya kepada petugas.
Biaya pelaksanaan program cacingan ini didukung oleh dana
dari APBN. Sedangkan untuk dana APBD baru sebagian puskesmas
yang telah memiliki anggarannya. Program cacingan dilaksanakan
bersama-sama dengan institusi lain. Guru dan kader dilibatkan dalam
kegiatan kecacingan. Hambatan dalam melaksanakan program
cacingan dapat dikatakan tidak memiliki kendala yang berarti, karena
dapat diselesaikan di lapangan. Dibutuhkan evaluasi dalam kerjasama
lintas sektor.
Di Kabupaten Banjar kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah Kab. Banjar untuk melaksanakan program kecacingan ini
tidak ada. Program kecacingan di Kab. Banjar dikerjakan bersama-
sama dan menempel pada pengobatan filariasis. Sumberdaya untuk
melaksanakan program cacingan di Kab. Banjar dirasa cukup. Dalam
pelaksanaannya dikerjakan bersama-sama dengan program lain yang
memiliki sasaran yang sama. Hal ini didukung oleh pernyataan dari
beberapa informan, Kebutuhan sarana dan prasaranan dalam
melaksanakan kegiatan cacingan cukup, karena tidak dikerjakan
secara sendiri, tapi bersama dengan program lain. Pembiayaan dalam
program cacingan di Kab. Banjar ini diperoleh dari sumber APBN,
APBD, dan JKN. Hal ini diperkuat oleh pernyataan dari beberapa
informan. Program cacingan ini dilakukan bersama-sama dengan
melibatkan organisasi masyarakat dan juga institusi pendidikan.
Sasaran dari program ini adalah anak sekolah, sehingga peran
sekolah dan masyarakat sangat diperlukan.
90
Dalam melaksanakan program cacingan ini, beberapa tenaga
puskesmas yang ada di Kab. Banjar tidak mendapatkan anggaran
yang khusus untuk menjalankan program tersebut. Hambatan ini
diatasi dengan menempelkan program cacingan dengan program lain
yang sudah direncanakan dan ada biayanya.
91
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Gambaran kasus kecacingan di 5 Kabupaten/kota Provinsi
Kalimantan Selatan didapatkan angka prevalensi sebesar (1,05%)
tertinggi di Kabupaten Balangan dengan angka prevalensi (1,60%),
disusul oleh Kota Banjarbaru (1,59%), Kabupaten Banjar (1,07%),
Kabupaten (0,69%), dan Kabupaten Tanah Laut (0,45%) positif
menderita kecacingan.
2. Pengetahuan, sikap dan perilaku anak sekolah terhadap kasus di
Provinsi Kalimantan Selatan menunjukkan tidak adanya hubungan
yang bermakna secara statistik di 4 Kabupaten/Kota yaitu
Kabupaten Tanah Laut, Kota Banjarbaru, Kabupaten Banjar, dan
Kabupaten Tapin. Di Kabupaten Balangan pada variabel
pengetahuan dan sikap menunjukkan tidak adanya hubungan yang
bermakna secara statistik, sedangkan pada variabel perilaku
menunjukkan adanya hubungan yang bermakna secara statistik.
3. Evaluasi pelaksanaan program penanggulangan cacingan
berdasarkan PMK No. 15 tahun 2017 di 5 Kab/kota di Provinsi
Kalimantan Selatan dalam hal kebijakan semua kab/kota mengacu
pada permenkes PMK No. 15 tahun 2017, yang diturunkan melalui
program kecacingan dinas kesehatan Provinsi, kabupaten/kota
maupun puskesmas sebagai ujung tombak pelaksanaan
pengobatan kecacingan.
5.2 Saran
Rekomendasi untuk pengelola program kecacingan dan
pemangku kepentingan lainnya, antara lain :
a. Melaksanakan kebijakan program penanggulangan cacingan di
wilayah kabupaten/kota dan puskesmas.
92
b. Meningkatkan kemampuan tenaga puskesmas dalam
penanggulangan cacingan termasuk melaksanakan penemuan dan
tata laksana kasus cacingan.
c. Melakukan bimbingan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan
program penanggulangan cacingan kepada puskesmas.
d. Pengobatan, bila pemeriksaan prevalensi cacingan < 20% maka
dilakukan pengobatan selektif, bila prevalensi 20-50 % pengobatan
massal dilakukan satu kali setahun, bila prevalensi >50 % maka
pengobatan massal dilakukan dua kali setahun.
e. Keterbatasan kesediaan obat kecacingan khususnya untuk
golongan cestoda dan trematoda (Niklosamid dan Praziquantel)
untuk pengobatan cacing pita kerdil (H. nana dan H. diminuta).
Rekomendasi untuk sekolah dan anak sekolah untuk
mencegah infeksi cacingan antara lain:
a. Biasakan mencuci tangan setelah bermain serta sebelum dan
sesudah makan dengan air bersih dan sabun. Cuci tangan hingga
benar-benar bersih sampai di sela-sela jari serta kuku. Biasakan
pula mencuci kaki setelah bermain, bepergian, dan sebelum tidur.
b. Gunakan sandal saat bermain di luar rumah, terutama ketika
berjalan di tanah.
c. Jaga kebersihan kuku tangan dan kaki.
d. Hindari jajan atau membeli makanan di tempat sembarangan,
karena kita tak pernah tahu bagaimana kebersihan makanan atau
minuman yang dijajakan.
93
DAFTAR PUSTAKA
1. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15 Tahun 2017 tentang
Penanggulangan Cacingan. 2. World Health Organization (WHO). Helminth control in school-
age children Helminth control in. In 2011. 3. Lukman Waris dkk. 2009. Distribusi Parasit Pencernaan Pada
Masyarakat Beberapa Daerah Dengan Ekosistem Yang Berbeda Di Kab Tabalong Provinsi Kalimiantan Selatan Tahun 2008. Loka Litbang P2B2 Tanah Bumbu. Laporan Akhir Penelitian.
4. Lukman Waris Distribusi Parasit Pencernaan Pada Masyarakat Beberapa Daerah Dengan Ekosistem Yang Bereda di Provinsi Kalimantan Selatan Tahap 2 Tahun 2009. Loka Litbang P2B2 Tanah Bumbu. Laporan Akhir Penelitian.
5. Nita Rahayu dkk. 2010. Faktor Risiko Terjadinya Infeksi Kecacingan (Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan Hookworm) Pada Anak Sekolah Di Daerah Endemis Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2010. Loka Litbang P2B2 Tanah Bumbu. Laporan Akhir Penelitian.
6. Annida dkk. 2010. Faktor Risiko Kecacingan pada Anak Sekolah dan Kebijakan Pengendalian Kecacingan di Provinsi Kalimantan Selatan Tahap II. Loka Litbang P2B2 Tanah Bumbu. Laporan Akhir Penelitian.
7. Liestiana Indriyati dkk. 2010. Studi Deskriptif Evaluasi Keberhasilan Program Pemberiaan Obat Cacing (Soil Transmitted Helmints) Per 6 Bulan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Di Kecamatan Kusan Hilir Kabupaten Tanah Bumbu. Loka Litbang P2B2 Tanah Bumbu. Laporan Akhir Penelitian RISBINKES.
8. Deni Fakhrizal dkk. 2015. Faktor Determinan Yang Berhubungan Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Sekolah Dasar Di Kabupaten Hulu Sungai Tahun 2015. Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu. Laporan Akhir Penelitian RISBINKES.
9. Hijaz Nuhung dkk. 2017. Studi Evaluasi Eliminasi Filariasis Di Indonesia Tahun 2017: Kabupaten Kotawaringin Barat dan Kabupaten Hulu Sungai Utara (Daerah Endemis Brugia malayi Zoonotik) Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu. Laporan Akhir Penelitian.
10. Annida et al. 2006. Penanggulangan Fasciolopsiasis melalui Pemberian Obat 2 Kali Setahun di Kab. Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan. Loka Litbang P2B2 Tanah Bumbu. Laporan Akhir Penelitian.
11. Annida et al. 2012. Studi Komprehensif Epidemiologi Fasciolopsiasis di Kab. Hulu Sungai Utara Prov. Kalimantan
94
Selatan. Loka Litbang P2B2 Tanah Bumbu. Laporan Akhir Penelitian.
12. Annida et al. 2013. Kulturisasi Fasciolopsis buski pada Hewan Coba. Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu. Laporan Akhir Penelitian.
13. Budi Hairani et al. 2014. Deteksi Keong sebagai Hospes Perantara Fasciolopsiasis melalui Metode PCR. Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu. Laporan Akhir Penelitian.
14. Anorital. Penyakit Kecacingan Buski (Fasciolopsiasis) di Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan, Analisis dari Aspek Epidemiologi dan Sosial Budaya. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depatemen Kesehatan RI. 2008.
15. Anorital, Annida. Hospes Perantara dan Hospes Reservoir Fasciolopsisbuski di Indonesia. J Vektora. 2011;III(2).
16. Annida, Paisal. Siput Air Tawar sebagai Hospes Perantara Trematoda di Desa Kalumpang Dalam dan Sungai Papuyu, Kecamatan Babirik, Kabupaten Hulu Sungai Utara”, J Buski. 2014; 5(2):55-60.
17. Hairani B, Annida, Hidayat S, Fakhrizal D. Identifikasi Serkaria Fasciolopsiasis buski dengan PCR untuk Konfirmasi Hospes Perantara di Kabupaten Hulu sungai Utara, Kalimantan Selatan, Indonesia. J Balaba. 2016;12(1):7-14.
18. Tim Laboratorium Parasitologi Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu. 2016. Laporan Laboratorium Parasitologi Bulan Februari 2016. Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu.
19. Tim Laboratorium Parasitologi Balai Litbangkes Tanah Bumbu. 2018. Laporan Kegiatan Kerjasama Balai Litbangkes dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Tanah Bumbu. Balai Litbangkes Tanah Bumbu.
20. BPS. 2018. Kalimantan Selatan dalam Angka. 21. Sofiana L, Sumira M, Kelen J. Factors Related To Soil
Transmitted Helminth Infection On Primary School Children.
Unnes J Public Heal. 2018;7(1):55–61.
22. Weatherhead JE, Hotez PJ, Mejia R. The Global State of
Helminth Control and Elimination in Children. Pediatr Clin North
Am. 2017;64(4):867–77.
23. Kartini S, Kurniati I, Jayati NS, Sumitra W. Faktor-Faktor Yang
Berhubungan Dengan Kejadian Kecacingan Soil Transmitted
Helminths Pada Anak Usia 1 – 5 Tahun Di Rw 07 Geringging
Kecamatan Rumbai Pesisir. J Pharm Sci. 2017;1(1):33–9.
24. Isra Firmansyah, MD; Sri Alemina Ginting, MD; Munar Lubis,
MD; Iskandar Z Lubis, MD; Syahril Pasaribu, MD; Chairuddin P
95
Lubis, MD. Factors associated with the transmission of soil-
transmitted helminthiasis among schoolchildren. Paediatrica
Indonesiana . 2004: 44(7-8):127-132.
25. Wang L, Zou Y, Zhu X, Bottazzi ME, Hotez PJ, Id BZ. China’ s shifting neglected parasitic infections in an era of economic reform, urbanization, disease control, and the Belt and Road Initiative. PLoS Negl Trop Dis [Internet]. 2019;1–10. Available from: http://dx.doi.org/10.1371/journal.pntd.0006946.
26. Hutagalung S. Pemeriksaan mikroskopis tinja terhadap parasit metode kwantitatif : 1. Metode Stoll 2. Metode Kato-Katz [Internet]. 2017. Available from: https://docplayer.info/29691045-Pemeriksaan-mikroskopis-tinja-terhadap-parasit-metode-kwantitatif-1-metode-stoll-2-metode-kato-katz.html
27. Ridha, M. Rasyid. The policy control of helminthiasis in Tapin Regency Kalimantan Selatan Kebijakan pengendalian terhadap penyakit kecacingan di Kabupaten Tapin Kalimantan Selatan. Jurnal Buski. 2014;5(2):67–74.
28. Juhairiyah. Annida. The Policy of Helminthiasis Control and Public Knowledge Againts Helminthiasis in Banjar Regency South Kalimantan Province. Buletin of Health System Research. 2014;185–92.
29. Norhayati M, Fatmah MS, Tech DM, Yusof S, Tech DM, Edariah AB. Intestinal Parasitic Infections in Man : A Review. 2003;58(2):296–306.
96
LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat Permintaan Dinas Kesehatan Provinsi Lampiran 2. Kuesioner Pengetahuan Sikap dan Perilaku Lampiran 3. Panduan wawancara mendalam pada stakeholder Lampiran 4. Matriks hasil wawancara mendalam stakeholder Lampiran 5. Foto-foto kegiatan pengambilan data
97
Lampiran 1
98
Lampiran 2. Kuesioner Pengetahuan Sikap dan Perilaku KUESIONER PENGETAHUAN MURID SEKOLAH DASAR TENTANG CACINGAN Data Umum Responden Nama/Umur/Jenis Kelamin: Tempat, Tanggal Lahir : Nama Sekolah : Kelas : Alamat Sekolah : Titik Koordinat Sekolah : Kode Pot Tinja : Puskesmas : Nama Orang Tua : Alamat Rumah : TANYAKAN DAN LINGKARI SESUAI DENGAN JAWABAN RESPONDEN I. PENGETAHUAN
1. Apakah Adik tahu tentang sakit cacingan?
a. Ya
b. Tidak
2. Menurut adik, apakah berikut ini tanda-tanda cacingan ?
No Tanda-tanda kecacingan Ya Tidak Tidak Tahu
1 Sakit perut/mencret
2 Tidak nafsu makan
3 Pucat/lemas
4 Perut buncit
5 Tidak Tahu/Tidak Menjawab
3. Apakah berikut ini merupakan cara penularan kecacingan?
No Penularan Kecacingan Ya Tidak Tidak Tahu
1 Bermain tanah
2 Tidak mencuci tangan
3 Makan dan minum sembarangan
4 Tidak tahu/Tidak menjawab
II. SIKAP Berikut ini adalah cara agar tidak sakit cacingan:
No Cara Agar Tidak Sakit Cacingan Ya Tidak Tidak Tahu
1 Tidak bermain tanah
2 Mencuci tangan
3 Memotong dan membersihkan kuku
4 Memakai alas kaki jika keluar rumah
5 Minum obat cacing
6 Tidak tahu/Tidak menjawab
99
III. PERILAKU
1 Apakah setiap mau makan dan setelah buang air besar (berak) adik mencuci tangan?
A. Ya
B. Tidak
2 Jika ya, dengan apakah adik mencucui tangan?
A. Air dan sabun
B. Air saja
3 Apakah setelah bermain di tanah adik mencuci tangan?
A. Ya
B. Tidak (Jika tidak langsung lompat ke pertanyaan nomor 5)
4 Dengan apakah adik mencuci tangan setelah bermain di tanah?
A. Air dan sabun
B. Air saja
5 Apakah adik menggunakan alas kaki (sepatu/sandal) setiap keluar rumah?
A. Ya
B. Tidak
6 Pada waktu istirahat sekolah apakah adik bermain menggunakan sepatu?
A. Ya
B. Tidak
7 Dimana adik buang air besar (berak)?
A. WC/Jamban
B. Tanah
C. Sungai
D. Tidak Tahu
8 Apakah kuku anak panjang?
Observasi
A. Ya
B. Tidak
9 Apakah kuku anak bersih?
Observasi
A. Ya
B. Tidak
100
Lampiran 3. Panduan wawancara mendalam pada stakeholder
102
Lampiran 3. Panduan wawancara mendalam stakeholder
EVALUASI PROGRAM PENANGGULANGAN KECACINGAN DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2019-2020
SEKTOR KESEHATAN (Kabupaten)
(Kepala Dinas Kesehatan; Kepala Puskesmas; Kepala Bidang P2; Kepala Seksi P2M; Pemegang Program Kecacingan)
1. Provinsi
2. Kabupaten
3. Waktu Pelaksanaan Tgl.
Pkl. Sd
4. Pewawancara
5. Informan
6. Jabatan
ASPEK KOMITMEN/KEBIJAKAN
PERTANYAAN BAHAN DISKUSI HASIL YANG DIHARAPKAN
1. Bagaimana translasi kebijakan pemerintah pusat/provinsi dalam eliminasi KECACINGAN (Faktor pendukung dan penghambat) (jika ada apa
Peratutan Pemerintah Pusat/ provinsi Pedoman eliminasi
Informasi tentang translasi kebijakan eliminasi Kecacingan di kabupaten, Solusi yang sudah dilakukan dan
103
penyebabnya, solusi yang sudah dilakukan dan apa rekomendasi untuk kemkes)
Kecacingan Rekomendasi penyelesaiannya untuk pihak kemenkes
2. Bagaimana dukungan pemerintah daerah terhadap kebijakan eliminasi pemerintah pusat/provinsi? (Faktor pendukung dan penghambat) apa penyebabnya? Apa yang sudah dilakukan? Solusi apa yang diinginkan?
Perbup, perda, Surat Edaran pemda tentang eliminasi Kecacingan, keterlibatan sektor non kesehatan dalam eliminasi Kecacingan
Informasi tentang dukungan pemerintah daerah/bupati/walikota, keterlibatan sektor non kesehatan, bentuk dukungan atau hambatan yang dimaksud
3. Jelaskan apakah ada disharmoni peraturan antar kementerian, atau peraturan kemkes dengan peraturan di daerah yang dirasakan menghambat kegiatan pelaksanaan eliminasi Kecacingan? Jika ada peraturan apa? Apa yang sudah dilakukan? Solusi apa yang diinginkan?
Informasi adanya policy gap antar kementerian atau antara permenkes dengan perda, perbup atau SE.
ASPEK SDM
PERTANYAAN BAHAN DISKUSI HASIL YANG DIHARAPKAN
4. Bagaimana kecukupan SDM jumlah, jenis, kompetensi, komitmen yang berhubungan dengan kegiatan eliminasi Kecacingan? Jika tidak cukup, bagaimana mengatasinya.
Peratutan kementerian dalam SDM yang terlibat kegiatan eliminasi Kecacingan
Informasi kecukupan jumlah, jenis, kompetensi, komitmen SDM dan ketersediaan bantuan SDM sektor non kesehatan
5. Bagaimana pemberdayaan masyarakat dalam eliminasi Kecacingan. Bagaimana peran posyandu, kader kesehatan, PKK, perangkat desa, dll
Informasi tentang keterlibatan masyarakat dalam eliminasi Kecacingan Cara mobilisasi masyarakat, peran masing stakeholder
ASPEK ANGGARAN
PERTANYAAN BAHAN DISKUSI HASIL YANG DIHARAPKAN
6. Bagaimana anggaran pelaksanaan eliminasi Kecacingan, kecukupan dan sumber anggaran (pusat
Informasi tentang kecukupan anggaran dan sumber anggaran pelaksanaan
104
melalui DAK), APBD, atau bantuan NGO (luar dan dalam negeri)
eliminasi Kecacingan
7. Jelaskan disharmoni tata kelola perencanaan anggaran pusat dan daerah, apa kendala? Apa Solusi yang sudah dilakukan? Solusi apa yang diinginkan?
Tata kelola perencanaan anggaran pusat dan daerah,
Gambaran disharmoni tata kelola perencanaan anggaran pusat dan daerah, kendala, Solusi yang sudah dilakukan dan rekomendasi penyelesaiannya.
8. Apakah menu DAK anggaran pusat dan daerah sudah sesuai? apa kendala yang dihadapi? Solusi yang sudah dilakukan? Solusi apa yang diinginkan?
Kesesuaian menu DAK dengan kebutuhan daerah
Gambaran kesesuaian menu DAK dengan kebutuhan daerah, kendala, Solusi yang sudah dilakukan dan rekomendasi penyelesaiannya
SARANA DAN PRASARANA KESEHATAN
PERTANYAAN BAHAN DISKUSI HASIL YANG DIHARAPKAN
9. Bagaimana sarana dan prasarana dalam menunjang pelaksanaan eliminasi Kecacingan (kondisi, kecukupan)
Standar fasilitas kesehatan penunjang pelaksanan eliminasi Kecacingan
Informasi standar fasilitas kesehtan kendala, Solusi yang sudah dilakukan dan rekomendasi untuk rekomendasi penyelesaiannya
10. Apa kendala yang dihadapi? Apa Solusi yang sudah dilakukan? Solusi apa yang diinginkan dari kemenkes?
Informasi kendala yang dihadapi dalam hal fasilitas kesehtan, Solusi yang sudah dilakukan dan rekomendasi penyelesaiannya
KERJASAMA LINTAS SEKTOR
PERTANYAAN BAHAN DISKUSI HASIL YANG DIHARAPKAN
11. Bagaimana proses koordinasi lintas sektor dan lintas program? apa kendala yang dihadapi? Solusi yang sudah dilakukan? Solusi apa yang diinginkan?
Informasi tentang optimalisasi koordinasi antara lintas sektor dan lintas program, kendala, solusi yang sudah dilakukan dan rekomendasi penyelesaiannya.
105
12. Apakah dinas kesehatan melakukan kerjasama dengan sektor non kesehatan dalam eliminasi Kecacingan? Jelaskan alasannya jika ada dan tidak
Informasi tentang sektor yang melakukan kerja sama dalam pelaksanaan eliminasi malaria dan proses kerjasama itu dibentuk
13. Jelaskan bentuk kerjasama sektor non kesehatan dalam eliminasi Kecacingan
Informasi tentang bentuk kerjasama dalam pelaksanaan eliminasi Kecacingan
106
Lampiran 4. Matrik hasil wawancara mendalam stakeholder
Kabupaten Tanah Laut
Aspek KABID P2P KASI P2P PENGELOLA PROGRAM KEPALA PKM ANGSAU PENGELOLA PROGRAM PKM BATAKAN
kebijakan pusat provinsi terkait eliminasi kecacingan
1. Untuk kebijakan yang terkait dengan eliminasi kecacingan pelaksanaan eliminasi kecacingan semua di pkm harus sudah melaksanakan kemudian setiap bulan agustus bersamaan dengan pemberian vitamin A 2. Untuk obat udah berjalan 5 tahun terakhir, kemudian surat edaran semua surat bupati masih belum ada tapi surat ke puskesmas sudah ada untuk pelaksanaan eliminasi kecacingan ini. Kemudian untuk kegiatan yang berupa SK atau perbup dari bupati belum ada 3. untuk selama ini dari dinkes dan dari lintas sektor itu dari dinas pendidikan
Yang jelas kebijakannya yang pertama kegiatan kecacingan itu sendiri pemberian obat cacing itu diberikan setahun 2x
kalau dari provinsi sebenernya ada kan ambil obat obat sekalian
Kalau untuk kebijakan sesuai dengan peraturan sudah dilaksanakan apalagi bulan ini, bulan agustus adalah bulan untuk pembagian obat kecacingan berbarengan dengan pemberian vitamin A, jadi sudah dilaksanakan di puskesmas dilaksanakan dan di posyandu
107
hambatannya untuk menerapkan yang kebijakan pengobatan kecacingan
untuk hambatan untuk pengobatan tidak ada
Sampai sekarang selama sudah ada 3 tahunan, mulai 2016an 2017 itu aman. Kadada kendala, karena obat cacingnya manis aja jadi rasa kadada pengaruhnya aman aja.
Alhamdulillah kadada pang kalonya dari laporan disana aman aman aja, pokonya sudah menerima sudah diberikan kadapapa kadada masalah yang keluhan ini itu kadada
Kalau kendalanya Alhamdulillah kadada
SDM dan pemberdayaan masyarakat
untuk pelibatan baru kader posyandu, kader dari masyarakat untuk pemberian obat cacing
kalau masyarakat ngga ada, cuman guru biasanya guru UKS yang kita libatkan
mungkin dari PKK, kan biasanya tiap kali pembegian itu kan sekalian vitamin A.
a
anggaran pelaksanaan pengobatan kecacingan
untuk anggaran cukup sumber dananya ada dari pusat dari DAK, kemudian dari APBD 2 juga ada
sudah ada dari pusat dari provinsi, sudah ada juga dari APBD daerah
alhamdulillah cukup cukup menganggarkan dari dana DAK, dana BOK
Untuk di tahun 2018 untuk anggaran dari puskesmas itu tidak ada mengadakan untuk pembagian kemarin ada dari dinas provinsi. Dari dinas kabupaten itu sekitar 800 ribuan untuk pembagian.
108
sarana prasarana penunjang
sarana prasarana kalau untuk penunjang untuk pemeriksaan dan sebagainya cukup, cuma untuk petugas laboratoriumnya ya belum semua pkm ada analis kesehatannya, ada masih ada beberapa pkm yang belum ada analis kesehatannya
cukup aja kita, karena aa yang ke lapangan itu kan pengelola juga, jadi kita hanya sekedar bimbingan teknisnya aja, sehingga di apa puskesmas itu sudah ada sarananya
menunjang aja, sebab kan nyaman aja kalau di desa, nyaman aja bu ai. Apalagi buhan pengelola progamnya aktif banar, nyaman orangnya, jadi keluan kadada, segala cukup.
Prefentif ya, penyuluhan, jadi kami ada.
109
proses koordinasi lintas sektor lintas program
1. Kalo dengan dinas pendidikan kita sudah berjalan cukup bagus dengan kementerian agama yang membawahi sanawiyah ibdaiyah kita juga cukup bagus untuk koordinasinya, cuman untuk lintas sektor yang lain untuk berperannya ini yang masih kurang dalam untuk mengembanagkan eliminasi kecacingan ini. Jadi untuk kegiatan kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan, ke SD ke ibtidaiyah sudah cukup bagus 2. Belum ada untuk dengan non kesehatan untuk eliminasi kecacingan ini
yang jelas ada keterkaitan kita itu kan pkk kemudian dikbud
kader, kader di posyandu PKK, kader kan non kesehatan, kan orang kampung, minta sama orang yang besedia.
Kami sudah melaksanakan musyawarah desa
110
Kabupaten Tapin
Aspek KABID P2P KASI P2P PENGELOLA
PROGRAM
PLT KEPALA PKM
TAPIN UTARA
PENGELOLA
PROGRAM PKM
KEPALA SD GURU/
PENGELOLAS UKS
kebijakan pusat
provinsi terkait
eliminasi
kecacingan
Untuk pemerintah
daerah sangat
sangat
mendukung
karena ini kan tadi
sudah kita
laksanakan
selama 5 tahun
dan kalo ini tidak
di dukung lagi kan
memang.. Jadi
tetap didukung..
Tetap didukung
oleh pemerintah
daerah tentunya
Kemarin kami
pemberian obat
cacing kan
sebelumnya itu
mengadakan lintas
sektor, ngih tanggal
29 Juli kemarin.
Kemudian ada
pemberian obat
cacing untuk seluruh
SD, 20 SD MI.
Kemudian ada 22 TK
dan KP. Kemudian
ada 30 Posyandu.
Karena pemberian
obat cacing ini kan
dari usia 1 tahun
sampai 12 tahun.
Kemudian itu dari
tanggal 1 agustus
sampai 26 agustus
pelaksanaannya.
111
hambatannya untuk
menerapkan yang
kebijakan
pengobatan
kecacingan
Kalo penolakan
Alhamdulillah kita
tidak ada bu..
Ngih.. Cuman
kalaupun dia sakit,
kita ada punya
riwayat penyakit
apa, memang
mereka sudah
kasih tau kita, ga
boleh katanya gitu
kan. Kemudian
mungkin untuk
pembagian yang di
SD itu kemarin
sama kayak yang
di TK atau PAUD
kami kan memang
kasihnya itu yang
biji yang tablet..
Memang ada
beberapa, banyak
anak sech bu ya
yang susah minum
tablet walaupun
sudah kita potong 2
akhirnya muntah
jadi ya kita bikinkan
yang dipuyer..
Kalo kendala itu ada
pang bu ai.. Apalagi
ini muridnya banyak..
Lain-lain anunya
kan.. Lain yang
muridnya sedikit
mudah ditangani..
Yang muridnya
banyak ini kan, paksa
kita tu kaya apa yu,
lebih lebih
memperhatikan..
Kalo muridnya sedikit
kan, tekurang sedikit
perhatian kita itu
Masalah obat-obatan
di UKS itu ya itu
kendalanya jua bu..
Kalo murid banyak itu
otomatis kan
biayanya banyak
jua.. Kita itu dana
dari sekolahan itu
terbatas jua.. Kecuali
misalnya dari
Provinsi atau Dinas
yang di Kabupaten ini
yang ada bantuan ke
kami masalah obat-
obatan
112
SDM dan
pemberdayaan
masyarakat
Jadi untuk level
dinas kesehatan
saya rasa
memang cukup..
Kalo untuk
puskesmas tidak
ada masalah..
Tidak ada
masalah
anggaran
pelaksanaan
pengobatan
kecacingan
Jadi kalo untuk
yang 5 tahunan
tadi kan selesai
dengan anggaran
full dari
pemerintah
daerah, itu kami
rasa cukup..
Kemudian untuk
yang apa
namanya
kecacingan ini kita
memang tidak
didukung tetapi
kita ambil di DAK
non fisik
Jadi bu untuk
DAK, perencanaan
kita.. Karena
APBD tadi
memang nol yah
karena defisit
sehingga satu-
satunya yang bisa
diharapkan adalah
dengan DAK non
fisik
Tadi apa dari
perencanaan di
Puskes tadi tu sudah
menganggarkan..
Terus itu dari sini kita
tinggal melihat aja
lagi lah apa-apa yang
kurang.. Baru kita
masukkan ke Pak
Tajjudin lagi inya
untuk mendesk
DAK non fisik Karena banyak
daerah atau
wilayah yang bisa
belum dibiayai oleh
dana DAK.. Tidak
bisa dibiayai
melalui dana BOK
sarana prasarana
penunjang
proses koordinasi
lintas sektor lintas
program
Kadada bantuan apa
pun
Dari kader itu ada
PKK
Guru-Guru SD
Koramil
Kepala Sekolah,
Kemenag,
Danramil, Polsek,
UPT Dinas
Pendidikan..
BTKL dan subdit
113
Kapolsek
Kabupaten Balangan
Aspek KABID P2P KASI P2P PENGELOLA
PROGRAM
KEPALA PKM JUAI PENGELOLA PROGRAM
PKM
WALI KELAS
kebijakan pusat
provinsi terkait
eliminasi
kecacingan
Di balangan untuk
kecacingan itu
tidak sama dengan
kabupaten lain.
Karena ada
program filariasis
itu bu, jadi kita ada
bantuan dari
provinsi pusat dan
daerah. Jadi tidak
ikut yang setahun
dua kali, terus
kami setahun
sekali aja bu
dalam jangka
waktu 5 tahun
karena ada
pengobatan
filariasis setahun
terkait kebijakan
yang
berdasarkan hasil
survei di tahun
yang 2013 akan
dilaksanakan
melalui kegiatan
kegiatan yang
terutama kita
fasilitasi dengan
pemangku
kebijakan yang
ada di wilayah
Kabupaten
Balangan
terutama Bupati
maupun pihak
administratip
114
hambatannya untuk
menerapkan yang
kebijakan
pengobatan
kecacingan
kendalanya
sampai saat ini,
karena ada
sebagian
masyarakat masih
menolak minum
obat filariasis.
Karena ditahun
pertama itu
mungkin ada
sebagian yang
sakit menurut
mereka reaksi
obat filariasis,
setelah kita
telusuri lebih lanjut
ternyata itu
penyakit dari yang
bersangkutan. Jadi
ada beberapa
desa yang masih
banyak yang
menolak untuk
minum obat, tapi
masih kita
teruskan
pengobatan
ditambah dengan
sosialisasi
hambatan di daerah
kami ini masyarakatnya
ada yang sebagian
menolak karena
anggapannya di tahun
pertama itu ada
beberapa orang yang
sakit karena minum
obat
Kendalanya kadang-kadang
kalau biasanya bu lah kadang-
kadang harusnya pasiennya
itu minum di tempat, jadi kan
kita memang benar-benar
melihat jadi tuh obat itu
memang diminum di tempat
tapi memang kadang-kadang
untuk menghindari efek
samping dari obat tersebut
kami anjurkan memang
malam minumnya, jadi kadang
kdang jadi kendalanya tuh
takutnya kada melihat,
takutnya kada diminum obat
itu
115
SDM dan
pemberdayaan
masyarakat
Untuk petugas
khusus di pkm
belum ada, jadi
sementara ikut
yang program
filariasis sama
UKS. Untuk
petugas khusus di
pkm untuk
kecacingan masih
belum masih
kurang.
Itu kader bu, kader
filariasis
kader kita
siapkan masing-
masing
puskesmas
Sampai saat ini,
inshaallah sudah cukup
karena untuk sdm kita
kegiatan POPM fila
sendiri ada
penanggungjawab
sendiri dari dokter
spesialis dalam buk,
kemudian di pkm ada
pengelola program
filariasis dan itu
langsung dari
kecacingan ibu, itu ada
masing masing pkm 1
orang
Kalau tenaga kita memang sudah
cukup
Cukup
anggaran
pelaksanaan
pengobatan
kecacingan
Ada, APBN.
JSR perusahaan.
Untuk sumber
anggaran kita
tahun pertama
disupport dari
APBD
pada tahun
ketiga
pelaksanaan
POPM pada
tahun 2018
kemarin kita
support anggaran
dari CSR
Untuk anggaran kita
ada beberapa sumber
dana, yang pertama
dari APBN Dekon.
Kemudian dari APBD
daerah pun kita ada
Ada, Dari dana DAK non fisik.
Dari daerah ada juga.
Dari RAK Dinas Kesehatan dan
ditunjang oleh desa masing
masing .
Dananya ada aja
sarana prasarana
penunjang
Cukup untuk sarana dan
prasaranya pembagian
obat POPM cukup
116
proses koordinasi
lintas sektor lintas
program
Pertama dari kader
Kemudian ada lagi
kerjasama dari
perusahaan-
perusahaan dalam hal
pendanaan
Dari pemda pas saat
kegiatan kegiatan
sosialisasi itu mereka
ada memberikan
bantuan makan minum.
Ada sebagian dari Bupati
sebagian dari camat juga, kaya
kita kerjasama dengan
pembikinan jamban.
Dari perusahaan ada bu tahun
kemarin beberapa tahun
kemarin ada, tapi untuk tahun
ini yang ngga ada.
117
Kabupaten Banjar
Aspek KABID P2P KASI P2P PENGELOLA
PROGRAM
KEPALA
PUSKESMAS
PENGELOLA
PROGRAM
PUSKESMAS
GURU
kebijakan pusat provinsi
terkait eliminasi
kecacingan
"Alhamdulillah belum
ada kita"
"…untuk pemerintah
sangat konsen terhadap
anggaran pemerintah
juga melihat bahwa
dengan adanya dasar
permenkes PP 4 nomor
brp itu nomor 14 sudah
cukup untuk menjadi
dasar teman-teman dari
kabupaten.."
"kalo kegiatan ini SK
atau semacam
peraturan Buapti itu
belum ada tapi
dukungan itu
bentuknya berupa
anggaran"
hambatannya untuk
menerapkan yang
kebijakan pengobatan
kecacingan
"Sampai saat ini, belum
dan teman-teman dari
puskesmas juga yang
dari kabupaten juga
namun ada beberapa
puskesmas dengan
wilayah kerja yang
sangat luas itu tidak bisa
semua mereka
mendapatkan anggaran
untuk perjalanan dinas
ke puskesmas sehingga
ada beberapa kegiatan
yang disatukan "
Selama ini kita tidak ada
menerima keluhan gitu
118
SDM dan
pemberdayaan
masyarakat
"Untuk kegiatan
program untuk yang di
P2P, untuk P2P untuk
yang kunjungan di
puskesmas itu sudah
mencukupi"
pemberian obat
kemaren kita kan
kerjasama dengan UKS
anggaran pelaksanaan
pengobatan kecacingan
"jadi secara umum kita
ada 2 atau 3 sumber
dana yaitu sumber dan
BOK"
"untuk APBD sebagian
juga menunjang untuk
kegiatan program,
kemudian ada juga
bantuan-bantuan dari
Provinsi dan dari
pusat"
"untuk tahun 2019 ini
kita lumayan besar di
support baik dari
pengganggaran obat
cacing baik dari Provinsi
atau dana APBD"
"di tuangkan oleh
kepala puskesmas
melalui angaran BOK
ataupun melalui
anggaran JKN
dst…ataupun sumber
naggaran yang sesuai
yang ada di
puskesmas"
"kusus program
kecacingan kami
anggaran cukup,
karena memang cukup
sudah dari pemerintah
karena ada 3 anggaran
BOK, JKN sama
APBD"
"untuk menunjang
program ini kami
fokuskan sumber dana
nya dari dana BOK"
sarana prasarana
penunjang
kita dengan kegiatan
yang lain itu tidak
terhambat dengan
adanya kegiatan POPM
kecacingan yang
sebulanan harus kita
kunjungi
119
proses koordinasi lintas
sektor lintas program
"… kita melibatkan
lintas sektor PKK,
kemudian Kemenag,
Dinas Pendidikan,
kemudian lintas bidang,
jadi lintas bidang ini
bidang kesmas bisa
kita libatkan kerjasama
masalah vitamin"
"paling kita jadwal ja
yang kita kasihkan ke
dinas pendidikan
dengan lintas seKtor kita
ada pemberitahuan"
penyuluhan dari
puskesmas
kesini…diberikan
penyuluhan dulu
diberikan arahan
120
Kota Banjarbaru
Aspek KABID P2P KASI P2P PENGELOLA
PROGRAM
KEPALA
PUSKESMAS
PENGELOLA
PROGRAM
PUSKESMAS
GURU
kebijakan pusat provinsi
terkait eliminasi
kecacingan
"Alhamdulillah belum
ada kita"
"…untuk pemerintah
sangat konsen terhadap
anggaran pemerintah
juga melihat bahwa
dengan adanya dasar
permenkes PP 4 nomor
brp itu nomor 14 sudah
cukup untuk menjadi
dasar teman-teman dari
kabupaten.."
"kalo kegiatan ini SK
atau semacam
peraturan Buapti itu
belum ada tapi
dukungan itu
bentuknya berupa
anggaran"
hambatannya untuk
menerapkan yang
kebijakan pengobatan
kecacingan
"Sampai saat ini, belum
dan teman-teman dari
puskesmas juga yang
dari kabupaten juga
namun ada beberapa
puskesmas dengan
wilayah kerja yang
sangat luas itu tidak bisa
semua mereka
mendapatkan anggaran
untuk perjalanan dinas
ke puskesmas sehingga
ada beberapa kegiatan
yang disatukan "
Selama ini kita tidak ada
menerima keluhan gitu
121
SDM dan
pemberdayaan
masyarakat
"Untuk kegiatan
program untuk yang di
P2P, untuk P2P untuk
yang kunjungan di
puskesmas itu sudah
mencukupi"
pemberian obat
kemaren kita kan
kerjasama dengan UKS
anggaran pelaksanaan
pengobatan kecacingan
"jadi secara umum kita
ada 2 atau 3 sumber
dana yaitu sumber dan
BOK"
"untuk APBD sebagian
juga menunjang untuk
kegiatan program,
kemudian ada juga
bantuan-bantuan dari
Provinsi dan dari
pusat"
"untuk tahun 2019 ini
kita lumayan besar di
support baik dari
pengganggaran obat
cacing baik dari Provinsi
atau dana APBD"
"di tuangkan oleh
kepala puskesmas
melalui angaran BOK
ataupun melalui
anggaran JKN
dst…ataupun sumber
naggaran yang sesuai
yang ada di
puskesmas"
"kusus program
kecacingan kami
anggaran cukup,
karena memang cukup
sudah dari pemerintah
karena ada 3 anggaran
BOK, JKN sama
APBD"
"untuk menunjang
program ini kami
fokuskan sumber dana
nya dari dana BOK"
sarana prasarana
penunjang
kita dengan kegiatan
yang lain itu tidak
terhambat dengan
adanya kegiatan POPM
kecacingan yang
sebulanan harus kita
kunjungi
122
proses koordinasi lintas
sektor lintas program
"… kita melibatkan
lintas sektor PKK,
kemudian Kemenag,
Dinas Pendidikan,
kemudian lintas bidang,
jadi lintas bidang ini
bidang kesmas bisa
kita libatkan kerjasama
masalah vitamin"
"paling kita jadwal ja
yang kita kasihkan ke
dinas pendidikan
dengan lintas seKtor kita
ada pemberitahuan"
penyuluhan dari
puskesmas
kesini…diberikan
penyuluhan dulu
diberikan arahan
123
Dinas Kesehatan Provinsi
Aspek KASI P2P PENGELOLA PROGRAM
kebijakan pusat provinsi terkait eliminasi kecacingan
surat edaran belum ada, permenkes saja. Kdd kami dari PMK itu aja sama surat dari ditjen . Tidak ada dari provinsi.
hambatannya untuk menerapkan yang kebijakan pengobatan kecacingan
dasar pelaksanaan pengobatan harus 2x, ada kabupaten yang tidak mau melaksanakan karena takut jadi temuan
SDM dan pemberdayaan masyarakat
tidak ada masalah Untuk SDM cukup.
Kitakan pembagian obatnya melibatkan puskesmas jadi ada dibantu orang puskesmas diwilayahnya sama kader sama dari diknas, kan soalnya nak sekolah kan jadi ada tambahan dari diknas .
anggaran pelaksanaan pengobatan kecacingan
tidak ada khusus kecacingan, anggaran prioritas saja kecil untuk anggaran cukup, dana Dekon dan BOK kabupaten trus yang ibu Provinsi disini adalah bu APBD Provinsi.
Banyak,,banyak dari dana Dekon sampai transport dari petugas aja diberi, dekon yang dari APBN pusat, kalo untuk puskesmas kami saran untuk BOK nya puskes itu, kami anggarkan semua.
Aman…malah kaya Tapin sampai kada meambil duit dari kita karena sudah mencukupi takuatan dambling jer takuatan ada pemeriksaan
sarana prasarana penunjang
cukup saja
124
proses koordinasi lintas sektor lintas program
masalahnya lintas sektor, seharusnya mereka yang melakukan penyuluhan, sosialisasi, kami yang kasih obatnya
Itukan kerjasama untuk diknas itu kerjasama untuk pembagian dalam sekolah, jadi kita libatkan 2 orang untuk guru sekolah.
orang diknas ikut memonitoring ikut membagi,,mun kesekolah bawa ini ada program di sekolah kaya itu.
Dinas kabupaten masing – masing,,sebslum acara apa kita bulan Fabruari kah kita Maret itu kita sosialisasi kita undang jua orang diknas,,dari PKK kan untuk posyandu itu nah kita undang kan mereka mau pembagian ini bulan Agustus,,soalnya diknas kan yang memberikan informasi dengan orang kebupaten berpa siswanya…kada mungkin orang puskes jua turun kesekolah – sekolah minta data itu pasti dari diknasnya..
Ada kami sosialisasi, evalausi tadi kami undang jua,,bahwa kita ada ucapan terimakasih lah atas atas capaian kita sudah diatas rata – rata kaya gitu..
hambatannya untuk menerapkan yang kebijakan pengobatan kecacingan
dasar pelaksanaan pengobatan harus 2x, ada kabupaten yang tidak mau melaksanakan karena takut jadi temuan
125
Lampiran 5. Foto-foto kegiatan pengambilan data
Dokumen Kegiatan Penelitian Kecacingan Kota Banjarbaru tahun 2019
126
127
128
Dokumen Kegiatan Penelitian Kecacingan Kabupaten Banjar tahun 2019
129
Dokumen Kegiatan Penelitian Kecacingan Kabupaten Tanah Laut tahun 2019
130
Dokumen Kegiatan Penelitian Kecacingan Kabupaten Tapin tahun 2019