laporan -...
TRANSCRIPT
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN DAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN APARATUR II
LAPORAN
KAJIAN
MODEL REFORMASI BIROKRASI PADA PEMERINTAH DAERAH
MAKASSAR 2014
i
Kata Pengantar
Segala puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan limpahan rahmat
dan karunia-NYA Laporan Kajian “Model Reformasi Birokrasi pada Pemerintah Daerah” ini
dapat diselesaikan. Dokumen ini merupakan laporan kajian yang diselenggarakan secara
bersama antara Pusat Kajian Reformasi Administrasi Lembaga Administrasi Negara,
PKP2A II Makassar, PKP2A III Samarinda, dan PKP2A IV Aceh.
Kajian Reformasi Birokrasi berusaha mendokumentasikan program Reformasi Birokrasi
yang sedang berjalan pada Pemerintah Daerah. PKP2A II Makassar mengambil lokus
penelitian pada Pemerintah Kabupaten Bantaeng dan Kabupaten Barru, dua daerah di
Sulawesi Selatan yang dipublikasikan telah melakukan upaya Reformasi Birokrasi.
Penelitian Reformasi Birokrasi di Kabupaten Bantaeng dan Kabupaten Barru di fokuskan
pada penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu.
Akhir kata, kami atas nama Pimpinan Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur
II Lembaga Administrasi Negara Makassar menyampaikan terima kasih dan penghargaan
kepada pihak-pihak yang selama ini telah membantu terlaksananya penelitian ini. Kami
harap laporan ini dapat dimanfaatkan dalam rangka mewujudkan birokrasi pemerintah yang
lebih baik. Serta dapat menjadi rujukan oleh semua pihak yang ingin memperdalam atau
mengkaji Reformasi Birokrasi di daerah.
Makassar, November 2014 Kepala Pusat, Muhammad Firdaus.
ii
TIM PENYUSUN
Penanggung Jawab : Muhammad Firdaus, MBA, P.hD Koordinator Penelitian : Zulchaidir, S.Sos, MPA Sekertariat Penelitian : Syakib Arsalam, SH.i, LL.M Pembantu Peneliti/Perekayasa :
1. Dr. Sulaeman Fattah, M.Si
2. Dr. Lukman, M.Si
3. Drs. Kaharuddin, M.Pd
4. Ayun Sri Damayanti, SH, MH
5. Maylitha Achmad, S.Psi, MBA
6. Irmayanti Amir, SAP
7. Asriani Rasyid
Peneliti/Perekayasa : 1. Anita, S.Sos, M.Si
2. Ahmad Sukarno Syahrir, S.IP
3. Milawaty, S.S, M.M
4. Zaenal, S.Sos
iii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ..................................................................................................................... i TimPenyusun ……………………………………………………………………………......……...ii Daftar Isi …………….………………………………………………………………………....…...iii Daftar Tabel …….………………………………………………………………………………….iv BAB I : PENDAHULUAN ............................................................................................. ....... 1
A. Latar Belakang ......................................................................................... ....... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................. . ....... 7
C. Tujuan ...................................................................................................... ....... 7
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................. 8 A. Pergeseran Paradigma dalam Birokrasi Pemerintahan ............................ ....... 8
B. Tuntutan Reformasi Birokrasi ................................................................... ..... 22
C. Gagasan Reformasi Birokrasi Tingkat Nasional ....................................... ..... 31
D. Reformasi Birokrasi di Daerah .................................................................. ..... 39
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN ......................................................................... ..... 45 A. Metode Penelitian ..................................................................................... ..... 45
B. Fokus Penelitian ....................................................................................... ..... 45
C. Sumber Data ............................................................................................ ..... 46
D. Instrument Pengumpulan Data ……………………………………………………46
E. Analisis Data ............................................................................................ ..... 46
BAB IV : PEMBAHASAN DAN ANALISIS DATA ......................................................... ..... 48 A. Potret Reformasi Birokrasi di Daerah Bantaeng ....................................... ..... 48
B. Potret Reformasi Birokrasi di Daerah Barru ............................................. ..... 58
BAB V : PENUTUP ...................................................................................................... ..... 73 A. Kesimpulan .............................................................................................. ..... 73
B. Saran .................................................................................................. ………73
Daftar Pustaka
iv
DAFTAR TABEL Tabel. 2.1 Pemetaan Paradigma Menurut Nicholas Henry ………………….......................8 Tabel. 2.2 Pemetaan Paradigma Menurut George Frederickson …………………………...9 Tabel. 2.3 Pemetaan Aliran Menurut Gerald. E. Caiden …………………………………….10 Tabel. 2.4 Tahapan Administrasi Publik sebagai Tahapan Paradigma…………………….10 Tabel. 2.5 Jumlah kebijakan yang dihasilkan dari setiap program di Tingkat Makro 2010 – 2014 …..........................................................................………..35 Tabel. 2.6 Jumlah kebijakan yang dihasilkan dari setiap program pertahun ………...…...35 Tabel. 2.7 Area Perubahan Reformasi Birokrasi ……………………………………...……..43 Tabel. 2.8 Sasaran Reformasi Birokrasi……………………………………………………….43 Tabel. 4.1 Daftar jumlah perizinan dan non perizinan Januari s.d Desember 2013 ……..52 Tabel. 4.2 Kondisi Pegawai Kantor PTSP Bantaeng berdasarkan Tingkat Pendidikan….56 Tabel. 4.3 Output KP3M Barru ………………………………………………………………...65 Tabel. 4.4 Output KP3M Barru …………………………………………………………...……67
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penetapan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 tahun 2010 tentang
Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025, merupakan langkah konstruktif dalam
mewujudkan Birokrasi Pemerintah yang lebih baik. Peraturan ini menjadi acuan bagi semua
institusi pemerintah mulai dari tingkat pusat (kementerian dan lembaga) sampai tingkat
pemerintah daerah dalam melakukan reformasi birokrasi guna mewujudkan tata kelola
pemerintahan yang baik.
Upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang lebih baik melalui penerapan prinsip-
prinsip clean government dan good governance, secara formal telah diupayakan melalui
penetapan sejumlah regulasi. Reformasi Birokrasi Gelombang Pertama (2004-2009)
dilaksanakan dengan sasaran “mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik”. Area
perubahan pada gelombang ini meliputi “kelembagaan (organisasi), budaya organisasi,
ketatalaksanaan, regulasi-deregulasi dan Sumber Daya Manusia. Reformasi gelombang
pertama ini dinilai belum banyak mendapat perhatian.
Merujuk pada penjelasan grand design reformasi birokrasi, diharapkan pada tahun 2011
seluruh kementerian dan lembaga (K/L) serta Pemerintah Daerah (Pemda) ditargetkan telah
memiiki komitmen dalam melaksanakan proses reformasi birokrasi. Komitmen tersebut
dibuktikan dengan sejumlah agenda yang tersusun dalam suatu dokumen rencana. Karena itu
idealnya semua institusi pemerintah termasuk Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sudah
berada dalam jalur yang benar menuju terwujudnya reformasi birokrasi. Pada tahun 2014 secara
bertahap dan berkelanjutan, Kementerian dan Lembaga serta Pemda diharapkan telah memiliki
kekuatan untuk memulai proses tersebut, sehingga pada tahun 2025, birokrasi pemerintah yang
profesional dan berintegritas tinggi dapat diwujudkan.
2
Pertanyaan penting yang perlu diajukan adalah sejauhmana institusi pemerintah, mulai
dari tingkat pusat (kementerian dan lembaga) sampai pada pemerintah daerah (provinsi dan
kabupaten) telah berada pada situasi yang diharapkan? Jawaban akan pertanyaan ini
nampaknya memerlukan pendalaman lebih jauh.
Saat ini pemerintah sedang dalam Reformasi Birokrasi Gelombang Kedua (2010-2014)
dengan sasaran (1) terwujudnya pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, (2) terwujudnya
peningkatan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat, dan (3) meningkatnya kapasitas dan
akuntabilitas kinerja birokrasi. Adapun area perubahan pada gelombang ini meliputi “organisasi,
tata laksana, peraturan perundang-undangan, sumber daya manusia aparatur, pengawasan,
akuntabilitas, pelayanan publik, pola pikir (mind set) dan budaya kerja (culture set) aparatur”.
Untuk mencapai reformasi birokrasi yang diharapkan, maka pemerintah melalui Meneg-
PAN dan RB menetapkan Peraturan No. 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi
2010-2014. Road Map Reformasi Birokrasi sebagaimana telah ditetapkan oleh pemerintah
tersebut menjadi pedoman bagi semua institusi pemerintah lainnya dalam melaksanakan
reformasi birokrasi. Khusus pada pemerintah daerah pelaksanaan reformasi birokrasi dimulai
pada tahun 2012 sebagaimana diatur dalam PerMenPAN dan RB Nomor 30 tahun 2012.
Pelaksanaan Reformasi birokrasi di daerah terbagi atas dua bentuk yaitu pilot project dan
nonpilot project. Khusus pada pemerintah daerah yang nonpilot project, perlu mendapat
perhatian tentang kemajuan pelaksanaan reformasi birokrasi.
Reformasi Birokrasi (RB) semakin banyak didiskusikan pada Lingkungan Pemerintah
Daerah dan Kementerian/Lembaga. Semua instansi diharapkan dapat terlibat dalam program
reformasi birokrasi melalui program-program yang ada diinstansi masing-masing dengan
memberikan penguatan pada program reformasi birokrasi.
Ada berbagai kegiatan pembenahan yang sudah, sedang dan akan dilakukan oleh
pemerintah daerah yang dapat dijadikan sebagai program dan kegiatan reformasi birokrasi.
3
Oleh karena itu, pemerintah daerah perlu mengenali pelaksaaan reformasi birokrasi di
instansinya masing-masing, kemudian membandingkan antara hasil yang telah dicapai dengan
hasil yang diharapkan dalam roadmap Reformasi Birokrasi di masing-masing Pemerintah
Daerah. Reformasi birokrasi memiliki cakupan program yang luas sehingga hampir seluruh
program yang ada di daerah termasuk di dalam program reformasi birokrasi. Program reformasi
birokrasi memiliki 3 (tiga) tingkatan program pelaksanaan yaitu
1. Tingkat pelaksanaan makro menyangkut penyempurnaan regulasi nasional dalam upaya
pelaksanaan reformasi birokrasi
2. Tingkat pelaksanaan meso menjalankan fungsi manajerial yaitu mendorong kebijakan-
kebijakan inovatif, menerjemahkan kebijakan makro dan mengkoordinasikan pelaksanaan
RB pada tingkat pemerintah daerah.
3. Tingkat pelaksanaan mikro menyangkut implementasi kebijakan/program RB sebagaimana
digariskan secara nasional dan menjadi bagian dari upaya percepatan reformasi birokrasi
pada masing-masing Instansi.
Kajian ini bertujuan untuk memberikan rekomendasi mengenai implementasi reformasi
birokrasi pada periode 2014-2019. Melalui pemerintahan baru yang akan terbentuk pada tahun
2014, rekomendasi kebijakan tentang reformasi birokrasi ini diharapkan dapat diadopsi menjadi
“Agenda 100 hari Pemerintahan Baru” serta menjadi agenda utama yang dituangkan dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2014-2019) (RPJMN) dan Peta Jalan
Reformasi Birokrasi ke depan.
Di Indonesia, peran birokrasi pemerintah dalam pembangunan masih sangat signifikan.
Peran pemerintah masih sangat dominan dalam berbagai pelayanan publik membutuhkan sosok
birokrasi yang kompeten, profesional, bersih dan akuntabel. Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya
wajib disediakan oleh pemerintah melalui instrumen kelembagaan birokrasi. Sayangnya, hingga
saat ini sosok birokrasi yang diidealkan tersebut masih jauh dari kenyataan. Meskipun sejak Era
4
Reformasi telah digulirkan upaya untuk memperbaiki citra birokrasi yang masih jauh dari harapan
tersebut melalui kebijakan reformasi birokrasi, namun hasilnya sampai pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono selama dua periode hampir berakhir masih belum sebanding
dengan tujuan yang hendak diraih.
Pada tahun 2014, pelaksanaan Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2015 (GDRB)
akan memasuki tahun akhir dari Fase Pertama implementasinya. Sasaran program reformasi
birokrasi tahap pertama untuk tahun 2010-2014 yang telah dicanangkan untuk dicapai ialah:
terwujudnya pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, terwujudnya peningkatan kualitas
pelayanan publik kepada masyarakat, dan meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja
birokrasi.
Terhadap sasaran ketiga untuk meningkatkan kapasitas dan akuntabilitas kinerja
birokrasi, acuan yang dipakai adalah indeks efektivitas pemerintahan dan tingkat akuntabilitas
lembaga pemerintahan. Dari indeks efektifitas pemerintahan, targetnya adalah meningkatkan
indeksnya dari nilai minus yaitu -0,29 di tahun 2009 menjadi nilai positif 0,5 di tahun 2014.
Laporan World Bank tahun 2013 menunjukkan penurunan menjadi -0,31. Untuk mengukur tingkat
akuntabilitas lembaga pemerintahan, digunakan indikatornya pada laporan akuntabilitas kinerja
pemerintah (LAKIP) yang mana menunjukkan adanya peningkatan.
Dari kondisi yang digambarkan di atas, paling tidak saat ini desain reformasi birokrasi
memiliki masalah terkait persoalan pemberantasan korupsi. Dengan demikian, kelanjutan dan
refocusing kebijakan reformasi birokrasi menjadi kebutuhan mendesak sebagai konsekuensi
kegagalan implementasi kebijakan reformasi birokrasi yang dilakukan selama ini. Lebih dari itu,
meningkatnya tuntutan masyarakat akan kualitas pelayanan publik seiring dengan kesadaran
tentang hak mereka sebagai warga negara membuat percepatan reformasi birokrasi menjadi
sangat imperatif bagi presiden yang akan terpilih untuk periode 2014-2019.
5
Langkah awal yang harus segera diambil untuk melakukan refocusing dan percepatan
reformasi birokrasi di Indonesia, yakni dengan menemukan pivotal isu yang menjadi handicap
utama gagalnya implementasi kebijakan reformasi birokrasi yang sudah dilakukan selama lebih
dari satu dekade belakangan ini. Isu utama yang diusulkan dalam reformasi birokrasi pada 5
(lima) tahun ke depan adalah pemberantasan korupsi. Perlu disadari bahwa reformasi birokrasi
akan berjalan secara efektif melalui perencanaan strategis yang terfokuskan. Selama ini,
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengimplementasikan reformasi birokrasi.
Namun demikian, reformasi yang dilakukan berjalan tanpa fokus yang jelas. Banyak sekali
program reformasi dicanangkan sejak zaman Kabinet Juanda hingga era Reformasi sekarang
ini. Akan tetapi, isu korupsi yang merupakan akar dari segala persoalan yang membelit birokrasi
di negeri ini belum dicarikan solusinya dengan program yang serius. Fakta yang ada menunjukan
bahwa selama persoalan korupsi tidak dapat diselesaikan, upaya-upaya pelayanan publik dan
kebijakan pemerintah lainnya tidak akan mampu berjalan secara efektif.
Pemberantasan korupsi dijadikan rekomendasi untuk percepatan dan refocusing
reformasi birokrasi mengingat bahwa korupsi telah menjadi penyakit endemik yang
mengakibatkan kualitas pelayanan publik dan kinerja kebijakan publik tidak akuntabel. Lebih
serius lagi, korupsi telah membuat jutaan orang miskin di Indonesia gagal dientaskan karena
berbagai program pengentasan kemiskinan telah diselewengkan dan disalahgunakan oleh para
birokrat yang diberi mandat untuk menjalankan berbagai program tersebut. Meskipun semua
stakeholder di negeri ini paham bahwa masalah korupsi telah menjadi penyakit kronis yang
menggerogoti Indonesia, akan tetapi sepanjang sejarah pembangunan upaya untuk
mengatasinya belum menjadi prioritas yang dilakukan secara serius oleh jajaran pimpinan
Pemerintah. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tidak mengalami perbaikan signifikan, yang
mengindikasikan bahwa persepsi para pelaku bisnis terhadap birokrasi pemerintahan di
Indonesia masih sangat negatif. Praktik korupsi telah terjadi di semua sektor, baik di Pusat
6
maupun di Daerah, dan menciptakan ketidakpercayaan publik kepada pemerintah secara meluas
(Governance Assessment Survey 2006). Saat ini ada 311 Kepala Daerah yang terkena masalah
hukum, termasuk di dalamnya 290 yang berkaitan dengan isu korupsi.1 Pada 20 tahun silam,
penyakit korupsi ini sudah ditengarai sangat serius oleh Prof. Soemitro Djojohadikusumo yang
menyatakan bahwa APBN mengalami kebocoran 30 persen tiap tahun.2 Berbagai hasil penelitian
juga menunjukkan bahwa kuatnya pengaruh pemburu rente yang hadir di dalam sistem birokrasi
bisa menguatkan korupsi di dalam birokrasi jika tidak diatasi segera, karena bila pasar
mempertemukan antara penjual dan pembeli, maka birokrasi yang rusak berpeluang
mempertemukan permintaan dan penawaran melakukan korupsi3.
Kondisi birokrasi yang menuntut segera dilakukan upaya pembenahan dan reformasi
yang menyeluruh terhadap penyelenggara Negara dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Aspek mendasar dalam pelayanan birokrasi adalah kecepatan dan ketepatan
pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Reformasi birokrasi dewasa ini umumnya masih
sebatas persayaratan procedural yang termaktub dalam aturan tentang penyelenggaraan
reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi belum sampai pada area prilaku atau sistem yang
berjalan secara dinamis, dimana seluruh stakeholders melakukan fungsi dan perannnya masing-
masing tanpa terikat pada aturan yang sifatnya kaku tetapi terlahir dari keinginan bersama untuk
melakukan reformasi birokrasi.
Pemerintah daerah sebagai garda terdepan dalam pelayanan masyarakat memiliki
potensi dan masalah tersendiri dalam melaksanakan pelayanan. Konsep reformasi birokrasi
yang termaktub dalam Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang grand design reformasi
birokrasi 2010-2025 menjadi arah setiap kebijakan pemerintah dalam pelaksanaan reformasi
1 http://www.merdeka.com/peristiwa/total-311-kepala-daerah-tersangkut-kasus-hukum.html 2 Lihat “Penggelembungan Anggaran Modus Laten Korupsi”, http://www.anggaran.depkeu.go.id/web-content-list.asp?ContentId=88 3 Lihat: Dwiyanto, hal 184,
7
birokrasi. Pada kenyataannya tujuan reformasi birokrasi belum maksimal tercapai sesuai rencana
karena masih kemampuan pemerintah daerah yang berbeda dalam melaksanakan program
reformasi birokrasi. Namun demikian ada beberapa daerah yang pada dasarnya sudah
menjalankan program reformasi birokrasi secara spontanitas bukan berdasarkan konsep
reformasi birokrasi secara prosedural. Bahkan terdapat indikasi reformasi birokrasi prosedural
menjadi suatu hal sulit dilakukan di daerah jika dibandingkan reformasi birokrasi yang berasal
dari inovasi-inovasi yang dilakukan pemerintah daerah yang merupakan bagian dari aspek
reformasi birokrasi prosedural.
Kondisi di atas menjadi landasan dilaksanakannya kajian ini dalam rangka memotret
kesuksesan beberapa pemerintah daerah dalam pelaksanaan reformasi birokrasi meskipun tidak
mengikuti kaidah-kaidah reformasi birokrasi prosedural yang terdapat dalam peraturan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Gagasan Reformasi Birokrasi di daerah Muncul?
2. Bagaimana Implementasi Reformasi Birokrasi di Daerah?
3. Bagaimana Manfaat Reformasi Birokrasi di Daerah
C. Tujuan
1. Mendokumentasikan pelaksanaan reformasi birokrasi yang ada di Kabupaten Bantaeng
dan Kabupaten Barru khususnya dari sudut pandang aspek pelayanan perijinan.
2. Mengidentifikasi hal-hal positif yang dapat dijadikan perbaikan terhadap pelaksanaan
Reformasi Birokrasi.
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pergeseran Paradigma dalam Birokrasi Pemerintahan
Pemetaan keilmuan administrasi terus mengalami perkembangan seiring negara-negara
dimana ilmu administrasi diterapkan. Pemaknaan terhadap ilmu administrasi menjadi luas sesuai
dengan lokus ilmu administrasi dipraktekkan. Selain lokus administrasi yang unik fokus terhadap
pertanyaan metodologi administrasi juga terus mengalami perkembangan. Untuk melakukan
pemetaan terhadap fokus administrasi maka dibawah ini akan dijelaskan beberapa ahli yang
membahas tentang paradigma administrasi :
1. Nicholas Henry Tabel 2.1 Pemetaan Paradigma menururt Nicholas Henry
PARADIGMA INTI PARADIGMA TOKOH
1 (1900-1926) Paradigma Dikotomi Antara Politik Dan Administrasi Negara
► Frank J. Goodnow ► Leonard D. White
2 (1927-1937) Paradigma Prinsip-prinsip Administrasi ► Willoughby
► Gullick & Urwick
1938 - 1947 (the challenge) 1947 - 1950 (reaction to the challenge)
3 (1950-1970) Administrasi Negara Sebagai Ilmu Politik ► Morstein-Marx ► Herbert Simon ► John Gaus
4 (1956-1970) Administrasi Publik sebagai Ilmu Administrasi
5 (1970- ...) Administrasi Publik sebagai Administrasi
a. Paradigma 1 : Goodnow dalam ‘Politics and Administration (1900)” mengungkapkan bahwa
politik harus memusatkan perhatiannya terhadap kebijakan atau ekspresi dari kehendak
rakyat. Sedang administrasi berkenaan dengan pelaksanaan atau implementasi dari
kebijakan atau kehendak tersebut.
9
b. Paradigma 2 : tokoh dalam paradigma ini sangat dipengaruhi oleh Fayol dan Taylor. Tokoh
dalam paradigma ini memperkenalkan prinsip-prinsi administrasi sebagai focus
administrasi publik. Prinsip tersebut dituangkan dalam apa yang disebut POSDCORB
(planning, organizing, staffing, directing, coordinating, reporting and budgeting)
c. Paradigma 3 : Morstein-Marx dalam “Element of Public Administration (1964)”
mempertanyakan pemisahan politik dan administrasi sebagai suatu yanag tidak mungkin
atau tidak realistis. Herbert Simon, administrsi negara bukannya “value-free” dan selalu
dipengaruhi oleh nilai-nilai yang spesifik. Terjadi pertentangan antara value-free
administration dengan value-laden politics, dan prakteknya value-laden politics yang
berlaku. John Gaus secara tegas menyatakan teori administrasi publik sebenarnya teori
politik.
d. Paradigma 4 : dalam paradigma ini prinsip-prinsip management dikembangkan secara
ilmiah dan mendalam. Fokus paradigma ini adalah Perilaku Organisasi, Analisis
Manajemen, Penerapan Teknologi Modern, Metode Kuantitatif, Analisis Sistem,
Econometrics dls. Dua arah perkembangan dalam paradigma ini adalah 1) perkembangan
ilmu administrasi murni yang didukung oleh psikologi sosial dan 2) perkembangan
kebijakan publik.
e. Paradigma 5 : Fokus administrasi publik adalah Teori Organisasi, Teori Manajemen,
Kebijakan Publik. Lokus administrasi Publik adalah masalah-masalah dan kepentingan
publik.
2. Konstruksi H. George Frederickson
Tabel 2.2 Pemetaan Paradigma menurut George Frederickson
Teori (Paradigma) Tokoh Fokus Empiris (Teori)
Model Birokrasi Klasik
Organisasi
Tylor Kelompok Produksi
Wilson Instansi Pemerintah
Weber Birokrasi
Gullick, Urwick Kelompok Kerja
Model Neo-Birokrasi
Keputusan
Simon Analisis Sistem
March Analisis Sistem
Model Institusi
Keputusan (Rasional)
Lindbloom Keputusan (tambahan)
J. Thompson Perilaku Organisasi
Crozier Perilaku Organisasi
Down Perilaku Individu dan Organisasi
Mosher Birokrasi dan Profesi
10
Etzioni Perbandingan Perilaku Organisasi
Blau Perilaku Organisasi
Riggs Organisasi dan Kebudayaan
Thompson Perilaku Organisasi
Selznick Perilaku Organisasi
Model Hubungan Kemanusiaan
Individu dan Kelompok Kerja
McGregor Hubungan Pengawas/ Pekerja
Likert Dayaguna Pengawas/ Pekerja
Bennis Perubahan Perilaku
Argyris Perubahan Perilaku
Model Pilihan Publik
Hubungan organisasi / klien dan distribusi barang-barang masyarakat umum
Ostrom Desentralisasi struktur yang tumpang tindih
Buchanan, Tullock dan Olson Sektor Publik sebagai pasar.
Mitchel Distribusi
Frohlich, Oppen Heimer, Young
Kepemimpinan dan distribui barang
Niskanan Perjanjian Pelaksanaan.
Sumber : H. George Frederickson, 28-30 : 2003
3. Gerald E. Caiden Tabel. 2.3 Pemetaan Aliran menurut Gerald E. Caiden
1 Aliran Proses Administrasi Mengandalkan POSDCORB dalam mengsukseskan Administrasi Publik
2 Aliran Empiris Mengandalkan berbagai kasus/studi praktek administrasi publik yg dpt digunakan sbg pegangan dlm adm publik tdk hanya teori dan generalisasi
3 Aliran Perilaku Manusia
Lebih memusatkan perhatian pd komunikasi, konflik, motivasi, kepemimpinan, status dan interaksi sosial karena unsur tersebut mensukseskan pencapaian tujuan.
4 Aliran Analisis Birokrasi Memusatkan perhatian pd aplikasi prinsip birokrasi Weber, rasional, struktur dan proses menurut pengetahuan teknis dan efesiensi.
5 Aliran Sistem Sosial
Melihat organisasi sebagai sistem sosial yang terbuka dan tertutup, dan dlm pengembangannya diperluas menjadi pemahaman terhadap hubungan antara adm publik dan masyarakat.
6 Aliran Pengambilan Keutusan Memusatkan perhatian pd prinsip dan teknik pengambilan keputusan dlm organisasi.
7 Aliran Matematik Memanfaatkan model matematika dan statistika.
8 Aliran Integratif Mencoba melakukan konsolidasi berbagai aliran yang ada dalam praktek administrasi.
11
4. Donald F. Kettl Tabel. 2.4 Tahapan Administrasi Publik sebagai Tahapan Paradigma
Tahap Sentralisasi Administrasi (1887-1915)
Disebut juga tahap progressif memusatkan perhatian pd penciptaan adm. Profesional, melepaskan administrasi dr skandal politik.
Tahap Scientific Management (1915-1940)
Berupaya menerapkan scientific approach dlm manajemen atau adm. publik dan menyampingkan dunia politik.
Tahap Critical Self-Examination (1940-1969)
Memperlemah pemanfaatan manajemen ilmiah dg mengusulkan political power sbg penggantinya tuk mencapai praktek adm yg efektif, dimana prinsip demokrasi dlm pengamb. keputusan hrs lebih mendpt perhatian dr pd struktur organ dan efesiensi.
Tahap Faktor-faktor sentrifugal (1969 - ... )
Tahap dimana terjadi kerumitan dlm memisahkan administrasi dr politik karena teori adm publik juga adl teori politik.
Catatan Penting : Pandangan ahli di atas hanya sampai batas akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an. Pandangan tersebut dikenal dengan istilah “PARADIGMA BIROKRATIK”
5. G.D. Garson dan E.S. Overman
Keduanya mengusulkan paradigma baru yang merivisi POSDCORB dengan PAFHRIER
singkatan dari Policy Analysis, Financial, Human Resources, Information, dan External
Relations dan kemudian menjadi pusat perhatian manajemen publik.
6. Barzelay (1992) dan Armajani (1997), keduanya melahirkan paradigma baru dengan nama
“post-bureaucratic paradigm”.
a. Paradigma Birokratik menekankan kepentingan publik, efesiensi, administrasi dan kontrol.
Paradigma ini mengutamakan fungsi, otoritas dan struktur; juga menilai biaya dan
menekankan responsibility. Menekankan ketaatan pada aturan dan prosedur,
mengutamakan beroperasinya sistem-sistem administrasi;
b. Paradigma Post-Bureakratik menekankan hasil yang berguna bagi masyarakat, kualitas
dan nilai, produk dan keterikatan terhadap norma. Paradima ini mengutamakan misi,
pelayanan dan hasil akhir/out come, juga menekankan pemberian nilai, membangun
akuntabilitas dan memperkuat hubungan kerja; menekankan pemahaman dan penerapan
norma-norma, identifikasi dan pemecahan masalah serta proses perbaikan yang
12
berkesinambungan. Juga menekankan pemisahan antara pelayanan dan kontrol,
membangun dukungan terhadap norma-norma, memperluas pilihan pelanggan,
mendorong kegiatan kolektif, memberikan insentif, mengukur dan menganalisis hasil dan
memperkaya umpan balik.
Dalam menelusuri praktek birokrasi dalam pandangan para pakar selain dari gambaran
paradigma birokrasi yang digambarkan sebelumnya. Secara historis adanya pandangan yang
berbeda antara para pakar terdahulu dengan pakar selanjutnya dalam membicarakan ilmu
administrasi, ini yang dimaksud dengan pergeseran paradigma dalam birokrasi pemerintah.
Pergesaran paradigma dimaksud dipetakan sebagai berikut:
1. Birokrasi Weberian
Weber memusatkan perhatiannya pada pertanyaan mengapa orang merasa wajib untuk
mematuhi perintah tanpa melakukan penilaian kaitan dirinya dengan nilai dari perintah tersebut.
Fokus ini merupakan salah satu bagian dari penekanan weber terhadap organisasi kemasyarakatan
sebagai keseluruhan dan peranan negara pada khususnya. Ia sebenarnya ingin menekankan pada
kekuasaan yang sah (legitimate power). Legitimasi akan menghasilkan kestabilan pola kepatuhan
dan perbedaan sumber pemerintah dalam sistem organisasi. Kewenangan tidak dapat bergantung
pada ajakan kepada kepentingan bawahan dan perhitungan untung rugi pribadi, atau pada motif
suka atau benci.
Dalam hal ini weber menemukan tiga tipe ideal dari kewenangan atau otoritas, yaitu a. otorita
tradisional, b. otorita kharismatik, c. otorita legal-rasional (Said,2007.14). Otoritas yang diperoleh
oleh seorang pimpinan berasal dari penyerahan/pengakuan secara individu atau karena pimpinan
memiliki nilai karismatik. Otoritas tradisional dan otoritas kharismatik belum dilindungi secara hukum,
berbentuk hirarki atau dalam bentuk formulasi. Sedangkan otoritas legal-rasional mendapatkan
otoritas melalui aturan-aturan yang sudah dikembangkan oleh masyarakat, dari aturan inilah yang
dianggap sebagai jantungnya birokrasi.
13
Dalam perkembangannya gagasan kewenangan rasional/legal menetapkan enam prinsip
bagi birokrasi modern yaitu
a. Prinsip mengenai bidang-bidang yuridiksi yang resmi dan tetap, pada umumnya ditata
dengan aturan-aturan, yaitu dengan hukum atau peraturan-peraturan administratif.
b. Prinsip-prinsip mengenai hirarki jabatan dan mengenai tingkat-tingkat kewenangan yang
bertingkat berarti suatu sistem superodinasi dan subordinasi yang ditata secara sunguh-
sungguh, yaitu ada suatu pengawasn jabatan-jabatan yang lebih rendah oleh jabatan-
jabatan yang lebih tinggi.
c. Menajemen kantor modern didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis yang disimpan.
Badan pejabat-pejabat yang secara aktif terikat di dalam jabatan “pemerintahan”, bersama
dengan peralatan-peralatan dan file-file material masing-masing, menyusun suatu kantor.
d. Manajemen kantor, setidaknya semua manajemen kantor yang dispesialisasikan, dan
manajemen yang demikian secara jelas modern, biasanya mensyaratkan pelatihan ahli dan
menyeluruh.
e. Ketika jabatan sepenuhnya maju, aktivitas jabatan meminta kapasitas bekerja yang penuh
dari pejabat. Pada awalnya dalam semua hal, keadaan normal di balik; bisnis pejabat
diturunkan sebagai aktifitas sekunder.
f. Menajemen kantor mengikuti aturan-aturan umum, yang lebih atau kurang stabil, lebih atau
kurang melelahkan, dan yang bisa diipelajari. Pengetahuan mengenai aturan-aturan ini
menyiratkan suatu pembelajaran teknis special yang para pejabat punyai. Pembelajaran
tersebut, melibatkan yurisprudensi, atau manajemen bisnis atau administratif (Santosa,
2008:8).
Weber mengembangkan konsep birokrasi sebagai bentuk respons terhadap lingkungannya
pada waktu itu, yang menurut pandangannya akan dapat diatasi dengan baik kalau pemerintah
mengembangkan organisasi yang disebut sebagai legal-rational. Weber melihat adanya kebutuhan
14
untuk melakukan pembagian kerja sebagai akibat semakin meluas dan kompleksnya tugas-tugas
administratif. Lembaga pemerintah umumnya memiliki hierarki yang panjang, prosedur dan standar
operasi yang tertulis, spesialisasi yang rinci, dan pejabat karier, sebagai karakteristik dari birokrasi
weberian. Lingkungan pemerintah yang berbeda-beda belum menjadi pertimbangan yang penting
dalam membedah birokrasi weberian menginginkan efisiensi, ouput yang standar, dan kepastian.
Mekanisme industry di Barat pada waktu itu berhasil mengubah proses produksi yang
kompleks menjadi sebuah proses yang sederhana, rutin dan dapat dikendalikan dan dapat
diperkirakan. Mekanisme itu mampu menghasilkan produk yang standar secara efisien.
Keberhasilan mekanisme itu kemudian mendorong weber untuk menerapkannya dalam proses
administrasi. Harapan bahwa organisasi public dikembangkan seperti itu menurut weber sangat
memungkinkan suatu model organisasi yang mampu bekerja menyerupai sebuah mesin.
Model profesional dalam birokrasi weber digambarkan didalam pembagian kerja berdasarkan fungsi
masing-masing bagian, agar bagian-bagian yang ada dalam organisasi itu tidak saling bertabrakan
antara satu bagian dengan bagian lainnya dan kegiatan mereka mengarah pada pencapaian suatu
tujuan bersama maka supervise dan control. Dalam mekanisme supervise dan control dibutuhkan
adanya hirarki sebagai alat dan fasilitasi yang yang diciptakan birokrasi untuk menjalankan fungsi
sinkronisasi dan koordinasi agar bagian atau kegiatan yang banyak dalam birokrasi dapat mengarah
pada satu tujuan bersama.
Model prosedur tertulis dan impersonal diperlukan agar pelayanan dan kegiatan birokrasi
itu bersifat nonpartisan, yaitu tidak membedakan pelayanan berdasarkan karakteristik dari pengguna
layanan. Pengalaman di dunia Barat pada waktu itu sangat mendorong weber untuk berpikir
mengenai bagaimana membangun suatu pelayanan public yang nonpartisan dan adil pada semua
orang tanpa membedakan status dan karakteristik orang itu. Untuk membuat birokrasinya mampu
bekerja secara nonpartisan maka briorkasi harus memiliki prosedur tertulis yang mengatur mengenai
bagaimana organisasi dikelola dan bagaimana pelayanan itu diberikan.
15
Kedua model profesional dan model prosedur tertulis dan impersonal dijadikan alat untuk
membedah kembali model birokrasi Weber (Agus, 2011: 20-27) yang dikembangkan dinegara-
negara non industry seperti yang diimpinkan oleh weber di Negara Barat. Lembaga pemerintah
seperti Indonesia birokrasinya justru memiliki hirarki yang panjang, prosedur dan standar operasi
yang terltulis pada umumnya cenderung buruk dan mengecewakan warganya. Hirarki membuat
proses pengambilan keputusan dalam birokrasi menjadi sangat terkotak-kotak karena arus informasi
dan perintah hanya berjalan secara vertikal.
2. New Public Management
Birokrasi dianggap erat berkait dengan keengganan maju, kompleksitas hirarki jabatan dan
tugas, serta mekanisme pembuata keputun yang top-down, birokrasi juga dianggap telah menjauh
dari harapa publik. Dalam New Publik Management (NPM) pemerintah dianjurkan untuk
mengadopsi, baik teknik-teknik administrasi bisnis juga nilai-nilai bisnis. Seperti kompetisi, pilihan
penaggan, dan respek terhadah semangat kewirauusahaan. Sejak tahun 1990-an reformasi disektor
public menghendaki keunggulan-keunggulan yang ada di sektor swasta diadopsi dalam prinsip-
prinsip manajemen sektor public.
D. Osborne dan T. Gaebler (1992) dan Osborne dan Plastrik (1997) dikenal dengan istilah
Paradigma “New Publik Management”. Paradigma ini lahir karena melihat fenomena dimana
paradigma manajemen pemerintahan terdahulu kurang efektif dalam memecahkan masalah dan
memberikan pelayanan publik, termasuk membangun masyarakat. Ada tujuh komponen doktrin dari
paradigma ini; 1) pemanfaatan manajemen profesional, 2) penggunaan indikator kinerja, 3)
penekanan yg lebih besar pada indikator out-put, 4) pergeseran perhatian ke unit-unit yg lebih kecil,
5) pergeseran ke-kompetisi yg lebih tinggi, 6) penekanan gaya sektor swasta pd praktek manajemen,
dan 7) penekanan pada disiplin dan penghematan yg lebih tinggi dlm penggunaan sumber daya.
Hood (Vigoda, 2003). Orientasi dari Paradigma ini.
1. the efficiency drive;mengutamakan nilai efisiensi dalam pengukuran kinerja,
16
2. downsizing and decentralization; mengutamakan penyederhanaan struktur,
memperkaya fungsi dan mendelegasikan otoritas kepada unit yg lebih kecil,
3. in search of excellence; mengutamakan kinerja optimal dg memanfaatkan ilmu
pengetahuan dan teknologi,
4. public service orientation; menegaskan pada kualitas, misi dan nilai yg hendak dicapai
organisasi, memberi perhatian besar pd aspirasi, kebutuhan dan partisipasi
masyarakat/user, menekankan societal learning dlm pemberian pelayanan publik dan
evaluasi kinerja secara berkesinambungan serta akuntabilitas.
Fokus dari NPM sebagai sebuah gerakan mengadopsi keunggulan teknik manajemen
perusahaan swasta untuk diimplementasikan dalam sektor public dan pengadministrasiannya.
Sementara diserotipkan kaku, birokratis, dan inefisien, sektor swasta ternyata jauh lebih berkembang
karena terbiasa berkompetensi dan menemukan peluang-peluang baru. Sebab itu sektor swasta
banyak melakukan inovasi-inovasi baru dan prinsip-prinsip kemanajemennyanya.
Penerapan kelembagaan ekonomi atas manajemen public serta pola-pola pilihan
kebijakan. Telah muncul sejumlah debat seputar makna asli dari NPM. Namun, diantara sejumlah
perdebatan itu muncul beberapa kesamaan yang dapat disebut sebagai prinsip dari NPM meliputi ;
a. Keahlian manajemen profesional, mensugestikan top-manajer (presiden, menteri, dirjen)
harus mengendalikan organisasi-organisasi public secara aktif dengan cara yang lebih
bebas dan fleksibel. Top-top manajer ini tidak lagi berlindung atas nama jabatan, tetapi lebih
melihat organisasi yang dipimpinnya sebagai harus bergerak secara leluasa bergantung
pada perkembangan sektor public itu sendiri. Sebab itu, para top manajer harus punya skill
manajerial profesional dan diberi keleluasaan dalam memanage organisasinya sendiri,
termasuk merekrut dan memberi kompensasi pada para bawahannya.
b. Lalu penekanan pada aspek orientasi output menghendaki para staf bekerja sesuai target
yang ditetapkan. Ini berbalik dengan OPM yang berorientasi pada proses yang bercorak
rule-governed. Alokasi sumber daya dan reward atas karyawan diukur lewat performa kerja
mereka. Juga, terjadi evaluasi atas program serta kebijakan dalam NPM ini.
17
c. Output kebijakan memang telah menjadi titik perhatian dari pemerintah. Namun, perhatian
atas output ini tidaklah sebesar perhatian atas unsure input dan proses. Ini akibat sulitnya
pengukuran keberhasilan suatu output yang juga ditandai lemahnya control demokratis atas
output ini. NPM justru menitiberatkan aspek output dan sebab itu menghendaki pernyataan
yang jernih akan tujuan, target, dan indicator-indikator keberhasilan.
Konsep NPM semua pimpinan (manajer) didorong untuk menemukan cara-cara baru dan inovatif
untuk memperoleh hasil yang maksimal atau melakukan privatisasi terhadap fungsi-fungsi
pemerintahan. Mereka tidak lagi memimpin dengan cara-cara melakukan semuanya sampai jenis
pekerjaan yang kecil-kecil. Mereka tidak lagi melakukan “rowing” menyapu bersih semua pekerjaan.
melainkan mereka melakukan “steering” membatasi terhadap pekerjaan atau fungsi mengendalikan,
memimpin, mengarahkan yang strategis saja. Dengan demikian, kunci dari NPM adalah
menitiberatkan pada mekanisme pasar dalam mengarahkan program-program public.
Konsep New Public Management (NPM) ini dapat dipandang sebagai suatu konsep baru yang ingin
menghilangkan monopoli pelayanan yang tidak efisien yang dilakukan oleh intansi dan pejabat-
pejabat pemerintah. Dengan konsep seperti inilah maka christoper hood dari London School Of
Economic (1995) (Thoha, 2008:75) mengatakan bahwa NPM mengubah cara-cara dan model bisnis
privat dan perkembangan pasar. Cara-cara legitimasi birokrasi public untuk menyelamatkan
prosedur dari diskresi administrasi tidak lagi dipraktikan oleh NPM dalam birokrasi pemerintahan.
3. New Public Services
New Public Services (NPS) merupakan konsep yang dimunculkan melalui tulisan Janet V.
Dernhart dan Robert B. Dernahart berjudul “The New Public Service : Serving, not Steering” terbit
tahun 2003. Paradigma NPS dimaksudkan untuk meng ”counter” paradigma administrasi yang
menjadi arus utama (mainstream) saat ini yakni paradigma NPS yang berprinsip “run government
like a business” “market as solution to the ills in public sector” . Penekanan dari paradigma ini adalah
bahwa administrasi publik harus;
18
a. melayani warga masyarakat, bukan pelanggan (service citizen not customers)
b. mengutamakan kepentingan publik (seek the public intterest)
c. lebih menghargai warga negara dari pada kewirausahaan (value citizenship over
entrepreneurship)
d. berpikir strategis dan bertindak demokratis (think strategically, act democratically)
e. menyadari akuntabilitas bukan merupakan suatu yang mudah (recognize that
accountability is not simple)
f. melayani dari pada mengendalikan (serve rather than steer)
g. menghargai orang, bukannya produktifitas semata (value people, not just productivity).
Gagasan tentang Reinventing Government (Osborne dan Gaebler, 1995) dan Banashing
Bureaucracy (Osborne and Plastrik, 1997) merupakan langkah maju dalam meningkatkan
kemampuan kelembagaan pemerintah. Perlu ada perubahan terhadap visi pemerintah sehingga
pada masa datang, keberadaan pemerintahan tidak sekedar dirasakan tapi juga bekerja semakin
efesien dan efektif. Dalam upaya meningkatkan kualitas data serta peningkatan pelayanan
pemerintahan, pemerintah daerah perlu mempertimbangkan penerapan elektronik secara lebih dini.
Manajemen pemerintahan terutama harus ditujukan pada peningkatan pelayanan, karena itu prinsip-
prinsip pemberian pelayanan yang lebih baik harus dipadukan dengan mekanisme organisasi yang
lebih baik.
Salah satu prinsip pembaharuan paradigma manajemen pemerintahan menurut Wasistiono
adalah “pergeseran aktifitas yang didominasi oleh pimpinan menjadi aktiftas yang diatur dan
digerakkan oleh sistem yang disepakati bersama”. Pandangan ini menunjukkan perlunya
peningkatan mekanisme manajemen pemerintahan yang memberi ruang yang tinggi pada human
relations dalam organisasi. Manajemen pemerintahan akan melahirkan iklim yang sehat jika semua
orang (pegawai) yang ada di dalamnya diperlakukan sebagai manusia seutuhnya yang memilki
pandangan dan sikap positif terhadap organisasi. Karena itu manajemen pemerintahan saat ini
semakin didorong untuk menerapkan sistem terbuka, yang memungkinkan akses informasi dan
hubungan yang semakin sehat pada semua orang dan level dalam organisasi.
19
Teori NPS memandang bahwa birokrasi adalah alat rakyat dan harus tunduk kepada
apapun suara rakyat, sepanjang suara itu rasional dan legimate secara normative dan konstitusional
seorang pimpinan dalam birokrasi bukanlah semata-mata makhluk ekonomi seperti yang
diungkapkan dalam teori New Public Management, melainkan juga makhluk yang berdimensi sosial,
politik dan menjalankan tugas sebagai pelayan public.
Untuk meningkatkan pelayanan public yang demokratis, konsep NPS menjanjikan
perubahan nyata kepada kondisi birokrasi pemerintahan sebelumnya. Pelaksanaan konsep ini
membutuhkan keberanian dan kerelaan aparatur pemerintahan, karena mereka akan
mengorbankan waktu, dan tenaga untuk mempengaruhi semua sistem yang berlaku. Alternative
yang ditawarkan konsep ini adalah pemerintah harus mendengar suara public dalam pengelolaan
tata pemerintahan. Meskipun tidak mudah bagi pemerintah untuk menjalankan ini, setelah sekian
lama bersikap sewenang-wenangan terhadap public.
Didalam paradigm NPS semua ikut terlibat dan tidak ada lagi yang hanya menjadi
penonton. Gagasan Denhardt tentang pelayanan public baru (PPB) menegaskan bahwa pemerintah
seharusnya tidak dijalankan seperti layannya sebuah perusahaan tetapi melayani masyarakat
secara demokratis, adil, merata, tidak diskriminatif, jujur dan akuntabel. Disini pemerintah harus
menjamin hak-hak warga masyarakat, dan memenuhi tanggungjawabnya kepada masyarakat
dengan mengutamakan kepentingan warga masyarakat.
Pemerintah juga perlu mengubah pendekatan kepada masyarakat dari suka memberi
perintah dan mengajari masyarakat menjadi mau mendengarkan apa yang menjadi keinginan dan
kebutuhan masyarakat, bahkan dari suka mengarahkan dan memaksa masyarakat menjadi mau
merespon dan melayani apa yang menjadi kepentingan dan harapan masyarakat karena dalam
paradigm NPS dengan menggunakan teori demokrasi ini beranggapan bahwa tugas-tugas
pemerintah untuk memberdayakan rakyat dan mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada rakyat.
20
Upaya mewujudkan reformasi birokrasi pemerintah di Indoenesia telah melibatkan banyak
elemen dan melahirkan sejumlah gagasan, bahkan telah ditetapkan indikator formal melalui
penetapan aturan-aturan baik itu dalam undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri,
dan lain sebagainya. Beberapa hal terkait adalah sebagai berikut:
1. Akuntabilitas Pemerintah
Akuntabilitas pemerintahan dengan upaya peningkatan prinsip transparansi dan
responsibilitas instansi pemerintah pada semua fungsi-fungsi manajemen semakin
mengarah pada penciptaan lembaga pemerintahan yang sehat. Akuntabilitas pemerintahan
harus diwujudkan dengan motto sebagaimana diungkapkan oleh Al Gore, isn’t them but us.
Akuntabilitas pemerintahan sedapat mungkin menjauhkan dari aplikasi teori elite. Suatu
teori yang menekankan bahwa kekuasaan tidak hanya berada di tangan elite birokrasi
pemerintah, tetapi pelaksanaan kekuasaan itu juga berada di tangan elite.
Akuntabilitas pemerintahan secara ideal diwujudkan dengan mewujudkan konsepsi
pemerintahan yang baik. Pemerintahan yang baik menurut pemerintah telah ditetapkan
dalam PP No. 101 tahun 2000 dengan ciri-ciri sebagai berikut :
1. profesionalitas
2. akuntabilitas
3. transparansi
4. pelayanan prima
5. demokrasi
6. efesiensi
7. efektifitas
8. supremasi hukum, dan
9. dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat.
Akuntabilitas pemerintahan dari pendekatan di atas menunjukkan bahwa esensi dari bentuk
tanggung jawab pemerintahan bukan pada sekedar pelaporan, tapi menyentuh seluruh
aspek manajemen pemerintahan. Akuntabilitas pemerintahan juga berarti penghargaan
dan penegakan pemerintahan terhadap aspek-aspek hukum yang memperlakukan warga
negara sebagai bagian integral dalam pemerintahan.
21
2. Pengembangan Budaya Organisasi Budaya organisasi tidak berdiri sendiri sebagai budaya yang melekat secara formalistik
dalam organisasi yang dipahami bersifat statis. Budaya organisasi sangat terkait dengan
budaya manusia (masyarakat) yang secara mayoritas ada dan mempengaruhi organisasi.
Karena itu seringkali ditemukan kuatnya hubungan antara budaya masyarakat dengan
perilaku manusia di dalam organisasi formal.
Jika masyarakat yang mengelilingi organisasi itu adalah masyarakat yang sangat primordial
paternalistik maka kemungkinan besar organisasi akan berkembang dengan budayah
seperti. Dalam masyarakat yang masih sederhana keterkaitan status diluar organisasi
formal berpengaruh secara signifikan dalamorganisasi formal.
Seringkali pada masyarakat yang lebih sederhana orang-orang (masyarakat) terlalu
membesar-besarkan sikap toleransi dan kecenderungan untuk tidak bersikap kritis, karena
itu bukan tidak mungkin manajemen pada institusi pemerintah daerah menjadi udik
ditengah peradaban modern.
Pengembangan budaya organisasi yang baik adalah pengembangan budaya organisasi
yang lebih memungkinkan terwujudnya organisasi yang sehat. Setiap anggota organisasi
harus dapat mewujudkan suatu budaya organisasi tersendiri yang diarahkan serta
disesuaikan untuk dapat mewujudkan tujuan organisasi.
Karena itu budaya organisasi adalah suatu hal yang bersifat dinamis. Pandangan akan
pemahaman seperti ini dapat merujuk pada Schein (1992). Menurutnya “the major
categories of such overt phenomena that are associated with culture in this sense are the
following; 1) observed behavioral regularities when people interact: the language they use,
the customs and traditions thet evolve, and the rituals they employ in a wide variety of
situations, 2) group norms 3) espoused values, 4) formal philosophy, 5) rules of the game,
6) climate, 7) embedded skill, 8) habits of thinking, mental models, and/or linguistic
paradigms, 9) sharedd meanings and 10) root metaphors or integrating symbols.
Pandangan di atas dapat disebut paripurna dalam rangka membentuk suatu budaya
organisasi yang kondusif. Kemampuan daya saing organisasi sangat tergantung pada
bagaimana organisasi membentuk suatu budaya yang menciptakan suasana yang sehat,
baik untuk kepentingan internal organisasi maupun untuk kepentingan eksternal atau
pelanggan organisasi.
22
Dalam hubungan dengan manajemen pemerintahan, khususnya jika dihubungkan dengan
manajemen pelayanan pemerintah, maka terdapat 15 kriteria yang dapat dijadikan pengangan
sebagaimana dirumuskan oleh LAN (2003), meliputi :
1. Kesederhanaan
2. Reliabilitas
3. Tanggung jawab dari para petugas pelayanan
4. Kecakapan para petugas pelayanan
5. Pendekatan kepada pelanggan dan kemudahan kontak pelanggan dengan petugas
6. Keramahan
7. Keterbukaan
8. Komunikasi antara petugas dan pelanggan
9. Kredibilitas
10. Kejelasan dan kepastian
11. Keamanan
12. Mengerti apa yang diharapkan pelanggan
13. Kenyataan
14. efesien
15. ekonomis.
Jika pemerintah dapat menjadikan pedoman di atas dalam mengevaluasi setiap
manajemen internal serta proses pelayanan yang diberikan kepada semua stakeholdernya, maka
dapat dipastikan bahwa kredibilitas pemerintah akan baik dimata masyarakat.
B. Tuntutan Reformasi Birokrasi
Terdapat berbagai varian mengenai model roformasi di beberapa negara. Dalam sejarah
Perancis dengan kendali Napoleon, reformasi di maknai sebagai radical turn around politic yang
bersifat menyeluruh. Di Perancis kerangka reformasi diformulasi dari atas dengan instrumen utama
adalah hukum administrasi. Hasilnya reformasi lebih dikenal dengan revolusi yang menyebabkan
Negara mengalami kesulitan pasca-revolusi. Di Inggris reformasi ditandai oleh berbagai eksperimen
transformasi administrasi public dengan penekanan pada revolusi moral, pemahaman radikal pada
23
internal affairs, social reformers, Victorian morality, middle class influence, bahkan religius revival.
Reformasi Inggris lebih bersifat incremental, penyelesaian masalah spesifik.
Reformasi didesain sedemikian baik sehingga tidak merupakan gerakan massal, mudah
diakomodasi dalam sistem, tidak mengandung unsur perlawanan para reaksioner. Di Amerika
Serikat reformasi ditandai dengan cultural bound, dikomandoi oleh birokrasi, konsep reformasi politik
memiliki kesinambungan dengan reformasi administrative. Reformasi di Amerika Serikat juga
bersifat incremental. Gerakan reformasi memberi stimulasi public dan mendorong perbaikan
bersama. Di Prusia reformasi tidak lain dari perubahan system, dimulai dari para pimpinan dan
pejabat tertinggi, baik dalam jabatan politik maupun jabatan public, reformasi adalah kebutuhan
untuk dapat bertahan dalam perang revolusi. Reformasi di Prusia bersifat pragmatic emfiric, tidak
memiliki motif ideologi. Dalam aplikasinya, reformasi secara penuh didukung dari atas, juga tidak
merupakan gerakan massal, reformasi sasaran utamanya adalah membangun citra pemerintahan.
Bagaimana dengan reformasi di Indonesia?. Reformasi lebih dipahami sebagai proses
penyesuaian dengan tuntutan dan tekanan perkembangan zaman. Pada prinsipnya Indonesia masih
belum memiliki model, focus, maupun sifat seperti yang telah dipunyai oleh Negara lain. Apapun
keadaanya reformasi di Indonesia juga sudah berjalan. Dalam institusi birokrasi juga telah dilakukan
sejumlah strategi untuk mengefektifkan reformasi itu walaupun hasilnya belum dapat berharap
banyak karena tiadanya format reformasi birokrasi yang jelas. Harapan kedepan dalam waktu yang
tidak terlalu lama dengan dimotori oleh technostruktur pemerintahan seperi LAN dan BKN dapat
segera merumuskan blue print refomasi birokrasi di Indonesia.
Mendahului itu semua maka pemahaman yang sama tentang makna reformasi birokrasi di
Indonesia harus dijadikan dasar dalam menentukan arah reformasi birokrasi. Dari berbagai literature
memaknai reformasi sebagai tindakan perubahan dan pembaharuan yang berdimensi
restrukturisasi (Sarundajang,2003), revitalisasi (J.Winardi,2003), dan refungsionalisasi
(Handoko,2004). Restrukturisasi dipahami sebagai upaya mengubah struktur yang dipandang
24
sudah tidak sesuai dengan tuntutan keadaan dan perkembangan zaman dan dianggap tidak efektif
lagi dalam memajukan organisasi. Revitalisasi adalah upaya memberikan dan menambah
kapasitas organisasi atau lembaga agar dapat mengoptimalkan kinerja organisasi. Karena itu
revitalisasi bertalian dengan upaya merumuskan kembali uraian tugas, merubah dan menambah
kewenangan dengan unit-unit strategis, peningkatan alokasi anggaran, mengganti instrumen
pendukung dalam operasi manajemen pemerintahan. Refungsionalisasi dimaknai sebagai strategi
untuk memfungsikan kembali secara sistematis sesuatu yang belum berfungsi dengan baik. Dalam
hal ini refungsionalisasi lebih mengarah pada penajaman fungsi profesionalisme oraganisasi dalam
mengemban fungsinya. Selain itu juga dibutuhkan segmentasi organisasi secara fungsional dan
lebih independent seperti fungsi pengawasan dan pengendalian dan fungsi marketing yang juga
harus dimiliki birokrasi.
Oleh karena itu, reformasi birokrasi pemerintahan di daerah paling tidak mengarah pada
tiga dimenasi reformasi tersebut. Semakin cepat sebuah daerah menginternalisasi format reformasi
seperti disebutkan di atas, akan semakin cepat pula pemerintah daerah dapat membentuk organisasi
pemerintahan daerah yang benar-benar dapat memenuhi kebutuhan yang semakin tinggi dari
masyarakat.
Tuntutan refomasi bagi pemerintah daerah semakin penting oleh karena paling tidak empat
alasan. Pertama, struktur organisasi dan pemerintahan daerah saat ini dipandang tidak lagi efektif
dalam menjalankan misi pemerintahan dengan paradigma yang baru. Kedua, status quo
manajemen pemerintahan daerah saat ini tidak lagi efektif untuk menciptakan sensitivitas publik
yang amat dibutuhkan bagi sebuah organisasi yang ingin lebih efektif. Sensitifitas publik adalah
kemampuan menangkap lebih awal kecenderungan perubahan dan tantangan lingkungan organisasi
(P.Kotter,1998). Ketiga, Image negative (citra) pemerintah daerah yang semakin menurun sebagai
akibat dari rendahnya kinerja pemda. Rendahnya kinerja Pemda disebabkan oleh tingginya stress
dalam pemerintahan daerah yang terus-menerus mendapatkan tekanan baik dari masyarakat
25
maupun organisasi pemerintahan level atas yang juga lemah dalam melakukan direction. Keempat,
pemerintah daerah tidak mungkin menghindari hiperkompetitip. Konsekwensi dari global society
akan semakin memberatkan daerah bila tidak segera melakukan berbagai upaya perubahan
organisasi pemerintahan ke arah yang lebih baik. Dalam konstalasi global society itulah muncul
berbagai persyaratan yang oleh UNDP yang dikemas dalam sebuah pendekatan baru dalam
pemerintahan yakni Good Governance.
1. Penataan Sistem Pelayanan
Tuntutan masyarakat pada era desentralisasi terhadap pelayanan publik yang berkualitas akan
semakin menguat. Oleh karena itu, kredibilitas pemerintah sangat ditentukan oleh kemampuannya
mengatasi berbagai permasalahan di atas sehingga mampu menyediakan pelayanan publik yang
memuaskan masyarakat sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Dari sisi mikro, hal-hal yang
dapat diajukan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut antara lain adalah sebagai berikut :
Penerapan standar pelayanan memiliki arti yang sangat penting dalam pelayanan publik. Standar
pelayanan merupakan suatu komitmen penyelenggaraan pelayanan untuk menyediakan pelayanan
dengan suatu kualitas tertentu yang ditentukan atas dasar perpaduan harapan-harapan masyarakat
dan kemampuan penyelenggaraan pelayanan. Penetapan standar pelayanan yang dilakukan
melalui proses identifikasi jenis pelayanan, identifikasi pelanggan, identifikasi harapan pelanggan,
perumusan visi dan misi pelayanan, analisis proses dan prosedur, sarana dan prasarana, waktu dan
biaya pelayanan. Proses ini tidak hanya akan memberikan informasi mengenai standar pelayanan
yang harus ditetapkan, tetapi juga informasi mengenai kelembagaan yang mampu mendukung
terselenggaranya proses manajemen yang menghasilkan pelayanan sesuai dengan standar yang
telah ditetapkan. Informasi lain yang juga dihasilkan adalah informasi adalah informasi mengenai
kuantitas dan kompetensi-kompetensi sumber daya manusia yang dibutuhkan serta distribusi beban
tugas pelayanan yang akan ditanganinya.
26
Perbaikan sistem pelayanan publik di Indonesia mulai disadari sangat penting dengan
mengeluarkan peraturan-peraturan terkait SOP, SPM, serta bagaimana melakukan survey dan
pengelolaan pengaduan terkait pelayanan. Perbaikan layanan melalui membangun sistem
pelayanan publik yang lebih mandiri dan terukur disetiap penyelenggara pelayanan, diharapkan akan
mampu mengidentifikasi dan mengembangkan pelayanan publik yang selama ini diselenggarakan
secara terpusat.
Pengembangan Standard Operating Procedures (SOP). Untuk memastikan bahwa proses
pelayanan dapat berjalan secara konsisten diiperlukan adanya Standard Operating Procedures.
Dengan adanya SOP, maka proses pengolahan yang dilakukan secara internal dalam unit
pelayanan dapat berjalan sesuai dengan acuan yang jelas, sehingga dapat berjalan secara
konsisten. Untuk memastikan bahwa proses dapat berjalan uninterupted. Jika terjadi hal-hal tertentu,
misalkan petugas yang diberi tugas menangani suatu proses tertentu berhalang hadir, maka petugas
lain dapat menggantikannya. Pelayanan perizinan dapat berjalan sesuai dengan peraturan yang
berlaku. Serta memberikan informasi yang akurat ketika dilakukan penelusuran terhadap kesalahan
prosedur jika terjadi penyimpangan dalam pelayanan.
Pengembangan survey kepuasan pelanggan, untuk menjaga kepuasan masyarakat, maka perlu
dikembangkan suatu mekanisme penilaian kepuasan masyarakat atas pelayanan yang telah
diberikan oleh penyelenggara pelayanan publik. Dalam konsep manajemen pelayanan, kepuasan
pelanggan dapat dicapai apabila produk pelayanan yang diberikan oleh penyedia pelayanan
memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat. Oleh karena itu, survey kepuasan pelanggan
memiliki arti penting dalam upaya peningkatan pelayanan publik.
Pengembangan sistem pengelolaan pengaduan masyarakat merupakan satu sumber informasi bagi
upaya-upaya pihak penyelenggara pelayanan untuk secara konsisten menjaga pelayanan yang
dihasilkannya sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Oleh karena itu perlu didesain suatu
sistem pengelolaan pengaduan yang secara dapat efektif dan efisien mengolah berbagai pengaduan
27
masyarakat menjadi bahan masukan bagi perbaikan kualitas pelayanan. Peningkatan kualitas
pelayanan publik dapat dilakukan melalui pengembangan model-model pelayanan publik.
2. Penataan Kelembagaan
Reformasi kelembagaan sesungguhnya sudah dilakukan sejak terbitnya Peraturan
Pemerintah Nomor 84 Tahun 2000 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah yang bertujuan
untuk menata kelembagaan di daerah dan dalam perjalanan implementasinya kemudian menuai
banyak permasalahan sebagai akibat belum komprehensifnya peraturan ini menjawab tantangan,
karakteristik dan kebutuhan daerah yang berbeda-beda sehingga kemudian diterbitkan peraturan
kelembagaan terbaru sebagai revisi atau penyempurnaan dari peraturan PP No. 84 Tahun 2000. PP
No. 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah merupakan peraturan pengganti
PP No. 84 Tahun 2000. Peraturan ini diterbitkan untuk menjawab tuntutan reformasi dalam lingkup
kelembagaan, namun dalam implementasinya lebih kurang empat tahun juga menuai banyak
permasalahan dan dianggap belum mampu menjawab kebutuhan dan dinamika perkembangan
pembangunan daerah yang berbeda-beda sehingga diterbitkan PP No. 41 Tahun 2007 tentang
Organisasi Perangkat Daerah.
3. Penataan Sumberdaya Manusia
Reformasi Birokrasi merupakan momentum yang tepat untuk mengubah kebiasaan kurang
baik pada sebagian besar aparatur (Pegawai Negeri Sipil). Kebiasaan aparatur yang tidak tanggap
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dan penggunaan jam kerja yang kurang efektif,
ditambah lagi peraturan untuk mendukung sistem karier dan prestasi kerja aparatur masih kurang.
Perbaikan sistem manajemen pegawai negeri sipil salah satu proritas utama dalam Reformasi
Birokrasi dimana kinerja pemerintah sangat bergantung pada individu organisasi. Tuntutan
perubahan culture set and mind set pegawai negeri sipil tidak dapat berjalan tanpa mendapat
dukungan dari perbaikan sistem pengelolaan kepegawaian.
28
Sistem pengelolaan kepegawaian mencakup semua proses dalam manajemen
kepegawaian, yang meliputi proses rekrutmen, pengembangan dan pembinaan, remunerasi,
reward and punishment sampai pada pemberhentian pegawai. Semua proses tersebut harus dapat
disusun sistemnya secara baik sehingga dapat menghasilkan output yang baik pula. Dari semua
proses tersebut, ada tiga unsur yang secara signifikan sangat berpengaruh dalam proses
pengembangan aparatur, yaitu rekruitmen, pola karier dan pengukuran beban kerja pegawai.
Perbaikan terhadap rekrutmen PNS dan pengangkatan pejabat struktural dilaksanakan
melalui sistem Computer Asissted Test Faktor yang mempengaruhi karier seseorang selama
menjadi PNS dapat berasal dari dalam organisasi dan kebijakan pengembangan pola karier.
Pemanfaatan informasi mengenai latar belakang pendidikan dan kemampuan PNS dalam
mengembangkan diri penting bagi organisasi guna peningkatan kinerja. Dalam menggali informasi
potensi yang dimiliki PNS tidak didukung dengan sistem manajemen SDM aparatur. Penilaian
kinerja PNS berdasarkan DP3 yang dinilai oleh atasan langsung sebagai bahan pertimbangan
kenaikan gaji berkala dan kenaikan pangkat belum mengarah pada sistem karier dan sistem
prestasi kerja.
Kejelasan karier PNS yang ada pada jabatan struktural sangat dipengaruhi oleh kekuatan
politik, faktor kedekatan dengan kelompok kepentingan pada jabatan politik. Sedangkan pada karier
fungsional tidak terlalu diminati oleh PNS sebab memiliki banyak persyaratan yang rumit dan tidak
ditunjang dengan kesejahteraan yang memadai. Orientasi pada jabatan struktural tidak seimbang
dengan jabatan fungsional, lebih banyak PNS yang mengejar jalur struktural yang lebih menjanjikan
dari segi materil dibandingkan dengan jalur fungsional. Bukan berarti pada jalur struktural tidak
memiliki problem dengan terfokusnya PNS dalam mengejar kedudukan struktural menyebabkan
tingkat persaingan menjadi tinggi. Sedangkan seleksi untuk menempati jabatan struktural tidak
cukup kuat menghadapi persaingan yang tinggi, kelemahan-kelemahan dalam pengaturan sering
dijadikan jalur untuk mendapatkan jabatan struktural.
29
Semenjak bergulirnya otonomi daerah orientasi kekuasaan pada jalur jabatan struktural
makin menguat ini didukung oleh mekanisme kekuasaan yang sangat besar terpusat pada jabatan
politik bupati dan gubernur sebagai Pembina kepegawaian di daerah sebagaimana tertuang dalam
UU No. 32 Tahun 2004 tentang otonomi daerah pasal 130 berbunyi “
Ayat 1 “Pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dari dan dalam jabatan eselon
II pada pemerintah daerah provinsi ditetapkan oleh gubernur”
Ayat 2 “Pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dari dan dalam jabatan
eselon II pada pemerintah daerah kebupaten/kota ditetapkan oleh
Bupati/Walikota setelah berkonsultasi kepada gubernur”
Praktek penunjukan langsung dengan tidak melibatkan mekanisme Baperjakat Dalam
Peraturan Pemerintah No. 100 Tahun 2000 tentang pengangkatan pegawai negeri sipil dalam
jabatan struktural mengakomodir keberadaan Baperjakat (Badan Pertimbangan Jabatan dan
Kepangkatan) untuk menjamin kualitas dan obyektifitas dalam pengangkatan, dan pemberhentian
pegawai negeri sipil pada eselon II kebawah pada setiap instansi di daerah, secara eksplisit dalam
PP No. 100 Tahun 2000 tersebut menyebutkan bahwa yang menjadi ketua dari Baperjakat adalah
Sekertaris Daerah Provinsi/Kabupaten.
Kedua pengaturan tersebut tidak bertentangan sebab fungsi dari gubernur/bupati adalah
menetapkan setiap keputusan pengangkatan yang telah dibuat oleh mekanisme Baperjakat.
Problem-problem yang dihadapi pengaturan di atas menjadi debatable di tingkat daerah
menyebabkan melemahnya sistem seleksi jabatan struktural yang dimiliki Baperjakat. Kelemahan
sistem memudahkan untuk menginterfensi kebijakan dalam pemilihan jabatan struktural.
Pada jalur fungsional terbangun suatu asumsi jabatan yang paling jelas kariernya didaerah
adalah jabatan fungsional guru dan perawat dimana seorang sudah dapat membayangkan akhir
dari kariernya disatu sekolah dimana dia diangkat sampai pensiun kenyataan ini memberikan
gambaran bahwa karier pegawai negeri sipil tidak jelas selain guru dan perawat. Sedangkan
30
fungsional tertentu seorang PNS bisa saja kariernya tidak sesuai dengan formasi yang telah
didaftarnya.
Untuk menentukan jumlah kebutuhan pegawai dibutuhkan analisis beban kerja yang
memuat beberapa informasi tentang uraian jabatan, peta jabatan, formasi jabatan. Mekanisme
kebutuhan pegawai daerah merupakan langkah awal setiap organisasi dalam penentuan formasi
kebutuhan PNS dan sekaligus menjadi dasar mengapa seseorang dibutuhkan tenaganya sebagai
PNS dalam organisasi tetapi yang harus dilalui untuk sampai pada penentuan formasi cpns di
daerah.
Faktor tidak berjalannya sistem kepegawaian di daerah membuat peran-peran lembaga
BKDD dan Baperjakat menjadi lemah dan berimplikasi pada kekuatan politik menjadi kuat sehingga
dengan mudah mengambil peran-peran yang ditinggalkan oleh BKDD dan Baperjakat lembaga
tersebut. Orang dengan mudah di mutasi sesuai dengan pertimbangan kekuasaan politik. Peran
politik dapat sangat luas tidak hanya bertumpu pada bupati dan wakil bupati, disana juga ada peran-
peran tim sukses atau peran partai pemenang pemilu.
Penilain kinerja PNS perlu di dorong lebih kuat untuk membuat mekanisme penempatan
seseorang dalam suatu jabatan layak, tidak berdasarkan pertimbangan subyektif dari Baperjakat.
Pertimbangan subyektif adalah penempatan seseorang dengan atau tanpa alasan yang jelas, ini
akan merusak pola karier dimana seseorang dapat memotong jenjang karier yang telah ada. Syarat
pengangkatan dalam jabatan struktural menyebutkan penilaian kinerja selama dua tahun dan
kompetensi bidang. Dalam penilaian kinerja dalam sistem kepegawaian mengenal DP3 dimana
atasan langsung menjadi orang yang paling bertanggung jawab.
Unsur yang paling penting dalam kejelasan pola karier adalah adanya syarat-syarat yang
dipenuhi pegawai negeri sipil untuk menduduki suatu jabatan. Dengan penilaian kinerja yang jelas
seorang pegawai negeri sipil dapat menempati suatu jabatan layak sesuai dengan mekanisme
organisasi yang sehat. Permasalahan utama yang dihadapi adalah belum cukupnya peraturan-
31
peraturan jabatan struktural dan fungsional dalam mendukung pola karier PNS yang baik. Problem-
problem yang dibicarakan pada paragrap sebelumnya sangat berkaitan dengan pola yang menjadi
dasar bagi karier PNS, baik bagi jabatan struktural saat mutasi antar jabatan maupun jabatan
fungsional untuk mendukung peran mereka dalam organisasi.
Perlu dibangun suatu pola karier PNS yang jelas, sesuai dengan amanat PP No. 100 Tahun
2000 Pasal 12 ayat 1 maka ditetapkan dasar karier dengan keputusan presiden. Keputusan presiden
tentang dasar karier belum juga terbentuk, pada Ayat 2 pasal 12 menyatakan bahwa setiap pimpinan
instansi menetapkan pola karier pegawai negeri sipil di lingkungannya berdasarkan pola dasar karier
pegawai negeri sipil sebagai dimaksud dalam ayat (1). Penting bagi instansi pemerintah termasuk
pemerintah daerah untuk mengatur pola karier.
C. Gagasan Reformasi Birokrasi Tingkat Nasional
Upaya mewujudkan Reformasi birokrasi dapat dilihat dari Produk Hukum Terkait; Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 81 tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-
2025, Meneg-PAN dan RB menetapkan Peraturan No. 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi
Birokrasi 2010-2014. Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2012 tentang Kerangka Nasional
Peningkatan Kapasitas Pemerintah Daerah, PerMenPAN dan RB Nomor 30 tahun 2012 tentang
Road Map RB.
Dari kebijakan yang ada, dapat dipahami bahwa pemerintah telah melakukan upaya nyata
dalam mewujudkan reformasi birokrasi. Bahwa Reformasi birokrasi dilihat aspek sejarah
sesungguhnya bukan merupakan suatu hal yang baru. Kebijakan reformasi birokrasi yang berjalan
di Indonesia, secara kronologis sudah ada sejak jaman Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi.
Ulasan akan hal ini dapat dilihat dalam Hidayat (2007).
Reformasi Birokrasi Jaman Orde Baru. Pelaksanaan reformasi birokrasi mulai serius
dilaksanakan sejak jaman Orde Baru. Pemerintah membentuk Kementrian Pendayagunaan Aparatur
Negara dengan berbagai program penataan birokrasi dan pendisiplinan aparat birokrasi
32
Kasus 1: Pada tahun 1983 ketika harga minyak turun, negara mengalami
penurunan pendapatan. Di sisi yang lain, pendapatan dari sektor non-migas
belum bisa diandalkan. Salah satu faktornya adalah tingkat kompetisi ekonomi
yang rendah dan adanya ekonomi biaya tinggi. Karena itu pemerintah
menginginkan adanya pemerintahan yang bersih.
Pada tahun 1985 pemerintah mengeluarkan Inpres No. 4 yang mengalihkan
kewenangan bea cukai ke badan swasta asing. Pemerintah ingin meniadakan
pemeriksanaan pabean terhadap barang-barang ekspor dan menghapuskan
ketentuan Pemberitahuan Muat Barang antar pulau. Tugas bea dan cukai
diberikan kepada Societe Generale de Surveillance SA (SGS), sebuah
perusahaan asing yang bermarkas di Swiss. Dengan demikian, korupsi akibat
adanya red-tape birokrasi bisa dikurangi.
Reformasi Jaman Orde Reformasi. Pelaksanaan Reformasi Birokrasi di Era Orde Reformasi
dilaksanakan secara variatif dari jaman Habibie, Gus Dur, Megawati, sampai SBY. Di jaman Habibie
yang hanya memegang kekuasaan dalam waktu pendek dan kekuasaannya yang kurang legitimate,
perbaikan birokrasi belum sempat dilakukan. Kepemimpinan Gus Dur juga tidak menunjukkan ada
tanda-tanda melakukan reformasi birokrasi. Sementara itu di jaman Megawati, perbaikan birokrasi
belum menunjukkan perubahan yang berarti (Thoha 2002). Di masa pemerintahan SBY, Pemerintah
menunjukan upaya yang serius untuk melakukan RB. Hal ini antara lain terlihat dari dokumen
perencanaan pembangunan (RPJMN) yang kemudian diterjemahkan menjadi Grand Design RB dan
Road Map RB. Sayangnya, di tengah jalan implementasi RB banyak mengalami deviasi. Salah
satunya adalah interpretasi RB hanya sebagai remunerasi yang diawali di Kementrian Keuangan di
era Sri Mulyani Inderawati. Akibat deviasi tersebut berbagai program RB menjadi tersisih karena
hampir seluruh kementrian hanya sibuk dengan target melakukan ‘renumerasi’. Oleh karena itu tidak
33
heran jika selama hampir satu dekade pemerintahan SBY capaian IPK Indonesia hampir tidak
beranjak naik, yaitu dari 2,0 di era Megawati menjadi 3,0 pada tahun 2013.
Harus diakui bahwa isi Grand Design RB merupakan satu definisi permasalahan birokrasi
pemerintahan kita yang dirumuskan secara jujur oleh pemerintah. Analisis masalahnya cukup tajam
dan menghasilkan target-target dan indikator pencapaian yang cukup jelas. Namun masih
menggantung pada bagian akhir dari GDRB karena tidak dilengkapi dengan Road Map yang disusun
terpisah. Turunannya kedalam Road Map RB juga tidak jelas kaitannya dengan rumusan GRRB itu
sendiri. Selain itu, Grand Design RB dirumuskan di dalam satu bentuk produk aturan yang memiliki
kelemahannya tersendiri sebagaimana kami kemukakan di bawah ini.
Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi. Dari kebijakan reformasi birokrasi yang ada saat ini
dapat dikemukakan beberapa tinjauan evaluatif sebagai berikut:
(a) Salah persepsi RB menjadi Remunerasi. Adanya variasi pemahaman makna Program
RB yang cenderung direduksi menjadi Program Remunerasi. Ini menunjukan bahwa ada
kekeliruan sosialisasi dan komunikasi kepada para pemangku kepentingan mengenai apa
makna RB. Selain itu, kekeliruan tersebut muncul akibat praktik yang dilakukan oleh
Kementrian Keuangan yang secara sepihak melakukan program remunerasi untuk
institusinya sendiri.
(b) Defisit kewenangan Kementerian PAN & RB. Pelaksanaan reformasi tidak memiliki
kelembagaan yang kuat karena berada di bawah sebuah kementrian yang tidak cukup kuat
untuk mengatur kementrian dan lembaga lainnya, bahkan cenderung diposisikan sebagai
salah satu sektor dari sektor-sektor pembangunan sedangkan semestinya mempengaruhi
semua lembaga sektoral. Tim Reformasi Birokrasi Nasional dipimpin oleh Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dibantu oleh Unit Pengelola
Reformasi Birokrasi Nasional, Tim Independen dan Tim Quality Assurance. Posisi portofolio
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yang posisinya adalah sebagai
34
Menteri Negara sehingga memiliki keterbatasan daya jangkau untuk menembus tembok
K/L maupun tembok otonomi daerah. Dengan kondisi yang ada saat ini, portofolio
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi diberikan kepada lembaga
Menteri Negara yang memiliki “defisit kewenangan” untuk dapat mendorong proses
perubahan terhadap K/L dan pemerintah daerah. Hal ini akan berbeda jikalau portofolio
tersebut adalah berada pada posisi sebagai Menteri Koordinator (Menko).
(c) Perlu ditempatkan di bawah kendali langsung Presiden. Di banyak negara, reformasi
birokrasi berada di bawah komando langsung seorang presiden atau wakil presiden, namun
dalam konteks Indonesia terdapat komplikasi konstitusional yang dapat dijelaskan berikut
ini. Di dalam GDRB telah diatur bahwa penggerak reformasi birokrasi secara nasional
adalah Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional dipimpin oleh Wakil Presiden
Republik Indonesia, Tim Reformasi Birokrasi Nasional dipimpin oleh Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dibantu oleh Unit Pengelola
Reformasi Birokrasi Nasional, Tim Independen dan Tim Quality Assurance. Jika dilihat dari
sudut pandang hukum tata negara, karena terbatasnya kewenangan lembaga Wakil
Presiden dalam “memaksa” pelaksanaan suatu kebijakan pemerintah kepada K/L dan
pemerintah daerah karena pengaruh dari berbagai otonomi di tingkat K/L maupun otonomi
daerah.
Overload Kementerian PAN & RB. Sebagai institusi pelaksana, Kemenpan harus bertanggungjawab
melaksanakan enam Program RB dengan kegiatan sebanyak 53. Di tahun 2010 dan 2011, Kemenpan
melaksanakan masing-masing sebanyak 37 dan 39 kegiatan, dan selanjutnya menurun menjadi 21, 17 dan
16 di tahun 2012, 2013 dan 2013.
35
Tabel 2.5. Jumlah kebijakan yang dihasilkan dari setiap Program di tingkat Makro (2010-2014)
Program RB 2010-2014
Jumlah Kegiatan
per Program
Jumlah Kebijakan yang dikeluarkan untuk setiap program
UU
Per
atur
an
Pem
erin
tah
Per
atur
an
Pre
side
n
Per
atur
an
Pel
aksa
na
Per
men
pan
Keb
ijaka
n
Sis
tim
Mod
ul
Ped
oman
Tot
al
Penataan Organisasi 16 3 6 9
Penataan Tatalaksana 3 2 1 3
Penataan Sistim Manajemen
21 9 2 10 21
Penguatan Pengawasan 3 1 5 6
Penguatan Akuntabilitas 6 1 1 1 1 4
Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik
4 1 1
Total Kegiatan 53 4 10 3 1 7 5 3 1 10 44
Sumber: PermenPAN dan RB No. 80/2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014
Tabel di atas menegaskan tugas besar bagi Kemenpan di tahun 2010 dan 2011. Kemenpan harus
menerbitkan sebanyak 31 kebijakan pada tahun 2011, dimana kegiatan persiapannya harus sudah
dilaksanakan di tahun 2010. Tugas Kemenpan menyiapkan dan menerbitkan kebijakan tersebut
ditambah dengan tugasnya sebagai Pembina dan pengawas. Kondisi ini memberikan gambaran
latar belakang kenyataan di lapang, dimana coaching and mentoring berkualitas belum dapat diraih.
Misalnya, Kemenpan belum mampu secara optimal melaksanakan evaluasi penyelenggaraan RB
dan memberikan umpan balik terhadap laporan Penilaian Mandiri yang disampaikan oleh K/L dan
Pemda. Kemenpan juga masih dalam tingkat pengumpulan dokumen Road Map Pemda, belum
beranjak pada tingkat penilaian kualitas.
Tabel 2.6 Jumlah kebijakan yang dihasilkan dari setiap Program pertahun
Program RB 2010-2014
2010 2011 2012 2013 2014 Total
Penataan Organisasi
5 permenpan 1 permenpan
9 2 peraturan presiden
1 peraturan presiden
Penataan Tatalaksana 1 uu 1 uu
3 1 permenpan
1 pedoman 9 pedoman
1 sistim 21
36
Penataan Sistim Manajemen
1 peraturan pemerintah
7 peraturan pemerintah
1 peraturan pemerintah
1 sistim
Penguatan Pengawasan
3 kebijakan
1 uu 2 kebijakan
6
Penguatan Akuntabilitas
1 sistim 1 uu
1 peraturan pelaksana 4
1 modul
Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik
1 peraturan presiden
1
Total 4 31 4 1 4 44
Sumber: PermenPAN dan RB No. 80/2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014
(d) Inkonsistensi kebijakan pusat dan daerah. Ketidakkonsistenan antara kebijakan di
tingkat pusat yang cenderung mempersulit pemerintah daerah. Misal: penataan
kelembagaan di daerah dihadapkan pada mandat pusat ke daerah yang terlalu besar. Pusat
memberi mandat kepada daerah untuk membuat kelembagaan seperti BPBD, Badan
Ketahanan Pangan, Komisi Informasi Publik Daerah, dll.
(e) RB perlu dituangkan menjadi Undang-undang. Tahapan RB tertuang di dalam Grand
Design RB yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden No 81 tahun 2010. Disinilah letak
persoalannya, karena komitmen RB hanya dituangkan dalam bentuk Peraturan Presiden
dan selama empat tahun selanjutnya belum pernah ditingkatkan menjadi bentuk peraturan
yang lebih tinggi. Sementara itu isi dari Grand Design RB ternyata memiliki cakupan bidang
pembangunan yang cukup luas dan mensyaratkan adanya mobilisasi sumber daya yang
cukup besar untuk pelaksanaannya, yang mana untuk keberhasilannya akan lebih efektif
jika diletakkan dalam bentuk peraturan yang lengkap baik dari tingkatan Undang-undang
ke aturan-aturan pelaksanaan di bawahnya ataupun dari tingkatan Peraturan Pemerintah
ke aturan-aturan pelaksanaan di bawahnya.
(f) Persepsi terhadap RB sebagai agenda teknis. Akibat dari tingkatan aturan yang cukup
teknis semacam Perpres 81/2010, maka komitmen RB cenderung dilihat sebagai suatu
agenda teknis yang pelaksanaannya tidak memiliki daya paksa tertentu. Tidak adanya
ketentuan sanksi yang tegas di dalamnya juga merupakan salah satu kelemahan yang
37
menghambat efektifitas pelaksanaan ketentuan ini. GDRB sebenarnya memiliki peluang
untuk merumuskan agenda perubahan kebijakan yang lebih terfokus pada masalah RB jika
untuk setiap indikator capaiannya dirumuskan pula kebijakan yang perlu ditindaklanjuti. Hal
ini merupakan kelemahannya.
(g) Perlu sinkronisasi agenda RB dan instrumennya. Persoalan menjadi lebih besar karena
selanjutnya adalah pelaksanaan Road Map RB yang di dalamnya kurang menjelaskan
hubungan kausalitas dari setiap agenda di dalam Grand Design RB kedalam program
kegiatan di Road Map RB tersebut. Menurut kami, kegiatan-kegiatan yang disebutkan di
dalam Road Map RB itu lebih merupakan identifikasi dan sinkronisasi dari kegiatan-
kegiatan yang secara sporadis telah dilaksanakan selama ini ditambah dengan kegiatan-
kegiatan baru, namun tidak secara sistematis dan streamline merupakan turunan dari
setiap target berdasarkan indikator capaian yang ada di dalam Grand Design RB. Itulah
sebabnya dikatakan bahwa Road Map memiliki kelemahan dalam hal strategi pencapaian
yang jelas.
(h) Perbedaan interpretasi atas kebijakan. Demikian pula jika dilihat dari identifikasi “quick-
wins” yang muncul dari K/L serta pemerintah daerah, ternyata menggambarkan belum
jelasnya interpretasi K/L maupun pemerintah daerah terhadap makna RB. Wawancara
yang dilakukan tim RAPID-BR terhadap pemerintah daerah sejauh ini juga menunjukkan
adanya perbedaan signifikan berkaitan dengan pemahaman pemerintah daerah mengenai
urgensi serta bentuk program RB yang dibutuhkan.
(i) Identifikasi quick wins berbeda dari ideal GDRB. Rumusan RB yang definisinya secara
jelas dielaborasi di dalam GDRB ternyata menjadi kabur jika dilihat dari identifikasi quick
wins tersebut. Beberapa institusi bahkan nampak tidak serius untuk melahirkan quick wins
yang terkait dengan GDRB dan RMRB melainkan hanya sekedar menempelkan kegiatan
yang sedang mereka kerjakan tanpa ada elaborasi yang jelas terkait kaitannya dengan 8
38
area perubahan. Selain itu, quick wins semestinya dapat dipetakan didalam tiga tingkatan
kebijakan yaitu pada level makro, messo, dan mikro.
(j) Tidak eksplisitnya fokus pada pemberantasan korupsi. Ada kesan bahwa komitmen
GDRB terkait dengan pemberantasan korupsi seakan-akan “dilepaskan” untuk menjadi
urusan lembaga penegak hukum khususnya KPK yang pada akhirnya mengaburkan esensi
dari tujuan munculnya GDRB yaitu: (1) mengurangi dan akhirnya menghilangkan setiap
penyalahgunaan kewenangan publik oleh pejabat di instansi yang bersangkutan; (2)
menjadikan negara yang memiliki most-improved bureaucracy; (3) meningkatkan mutu
pelayanan kepada masyarakat; (4) meningkatkan mutu perumusan dan pelaksanaan
kebijakan/program instansi; (5) meningkatkan efisiensi (biaya dan waktu) dalam
pelaksanaan semua segi tugas organisasi; dan (6) menjadikan birokrasi Indonesia
antisipatif, proaktif, dan efektif dalam menghadapi globalisasi dan dinamika perubahan
lingkungan strategis.
(k) Kebutuhan refocusing GDRB pada pemberantasan korupsi. Jika perspektif
pemberantasan korupsi dibagi kedalam tiga pendekatan utama yaitu preemptif, preventif,
dan represif, maka program RB memainkan peranan penting sebagai pendekatan preemptif
dan preventif. Selain itu, di dalam arsitektur Sistem Integritas Nasional yang telah
dirumuskan KPK, maka perbaikan sistem birokrasi nasional adalah suatu keniscayaan yang
akan melahirkan birokrasi yang bebas korupsi sebagaimana dirumuskan di dalam salah
satu target akhir GDRB. Dalam kaitan penguatan pencegahan korupsi dan implementasi
reformasi birokrasi sebagai instrumen pencegahan korupsi maka dibutuhkan
pengorganisasian ulang Grand Design Reformasi Birokrasi dengan mengintegrasikan
secara lebih utuh substansi yang ada di dalam beberapa instrumen yaitu:
a. Undang-undang no 7 tahun 2006 tentang Ratifikasi UNCAC.
b. Undang-undang no 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
c. Perpres no 81 tahun 2010 tentang Grand design reformasi birokrasi.
39
d. Inpres no 9 tahun 2011 tentang Rencana aksi pencegahan dan pemberantasan
korupsi.
e. Inpres no 17 tahun 2011 tentang Pencegahan dan pemberantasan korupsi.
f. Perpres no 55 tahun 2012 tentang Strategi nasional pencegahan dan
pemberantasan korupsi.
g. Dan lain sebagainya
D. Reformasi Birokrasi di Daerah
Sebelum melihat fungsi birokrasi sebagai instrumen pemerintahan, maka harus ditetapkan
dulu fungsi pemerintahan itu sendiri. Menurut World Bank, 1997 dalam Setiyono (30:2004),
pemerintahan memiliki lima basic fungstions, yaitu (1) establishing a foundation of law (mendirikan
fundamen hukum), (2) maintaining a non-distortionary policy environment including macro economic
(menyediakan infra struktur ekonomi dan menjaga stabilitas makro ekonomi). (3) investing in basic
social services (menyediakan pelayanan sosial), (4) protecting the vulnerable (melindungi yang
lemah), dan (5) protecting the environment (melindungi dan melestikan lingkungan dan sumber daya
alam). Fungsi lain yang dapat ditambahkan yang secara umum merupakan tugas pemerintah
(negara) adalah; menjamin keamanan, dan memelihara ketertiban. Sementara itu tugas birokrasi
dapat dikategorikan kedalam empat fungsi yaitu :
1. melaksanakn tugas administratif (carrying out administration),
2. memberikan masukan dan nasihat dalam pembuatan kebijakan (offering policy
advise),
3. melakukan artikulasi dan aggregasi kepentingan (articulating and aggregating), dan
4. menjaga stabilitas politik (maintaining political stability), (Heywood :2002 dalam
Seityono, 36:2004).
Semua fungsi pemerintahan dan tugas birokrasi sebagaimana diutarakan di atas, mesti
dijalankan secara baik guna memenuhi tuntutan publik yang semakin kritis. Karena itu birokrasi
pemerintah harus memiliki pemahaman yang baik tentang kepemerintahan itu sendiri. Dalam upaya
40
mewujudkan itu semua UNDP (1997), mengsosialisasikan prinsip-prinsip penyelenggaraan
pemerintahan yang baik yaitu :
1. Partisipasi Masyarakat,
2. Supremasi Hukum,
3. Daya Tanggap,
4. Berorientasi Konsensus,
5. Kesetaraan,
6. Efektifitas Dan Efisiensi,
7. Akuntabilitas,
8. Bervisi Strategis,
9. Keseluruhannya harus dapat diwujudkan secara terpadu dan saling berkaitan satu
dengan lainnya,
Semua prinsip-prinsip sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, sepintas dapat
dikatakan tidak ada suatu hal yang baru terutama jika dihubungkan dengan popularitas istilah
tersebut, dapat dikatakan tak ada hari yang terlewatkan tanpa mendengar atau menemukan
konsepsi-konsepsi tersebut, mulai dari televisi, koran, buku cetak, seminar, diskusi ringan, warung-
warung kopi bahkan sampai pada pasar-pasar kecil. Namun tantangannya mengapa masih tetap
saja banyak keluhan yang ditujukan terhadap pemerintah, terkhusus lagi birokrasi pemerintah.
Asumsi akan hal ini sangat banyak mulai dari sosialisasi yang kurang sampai kepada komitmen
birokrat yang sangat rendah.
Dalam era otonomi, sebagaimana juga telah digambarkan keberhasilan dan kepercayaan
yang tinggi terhadap otonomi pada pengalaman sejumlah negara, maka dapat diyakini bahwa
segala praktek pemerintahan yang tidak baik, terutama pada tingkat pemerintah daerah akan segera
berakhir, tinggal menjadi kenangan. Kepercayaan akan hal ini sungguh amat besar, karena
pemerintah daerah telah memiliki sejumlah kewenangan dimana mereka dapat secara langsung
mengambil langkah-langkah yang diperlukan. Selain itu sebagai konsekuensi dari pemilihan
langsung maka pada masa yang akan datang, masyarakat juga akan dapat melakukan pertanggung
jawaban langsung terhadap pejabat-pejabat politik yang telah dipilihnya, menagih janji menuntut
41
bukti. Karena itu bukan tidak mungkin rakyat pada pemerintah daerah sekalipun akan melakukan
tuntutan diperlakukannya suatu model referendum bagi pejabat politik (bupati/walikota dan gubernur)
di daerah jika dipandang tidak lagi mampu mengemban amanat rakyat. Kita telah melihat contoh
kasus pada beberapa daerah, dimana masyarakat dan segenap elemen-elemen yang ada di
dalamnya menuntut pemberhentian pejabat politik di daerah.
Mengantisipasi semakin diperlukannya pemerintahan daerah yang baik dalam rangka
pelaksanaan otonomi daerah, maka seluruh anggota APKASI, APEKSI, ADKASI dan ADEKSI dalam
Konfrensi Nasional Kepemerintahan Daerah Yang Baik (Oktober, 2001) menetapkan dan
menyepakati Prinsip Kepemerintahan Daerah Yang baik yang meliputi:
1. Prinsip Partisipasi,
2. Prinsip Penegakan Hukum,
3. Prinsip Transparansi,
4. Prinsip Kesetaraan,
5. Prinsip Daya Tanggap
6. Prinsip Wawasan Kedepan,
7. Prinsip Akuntabilitas,
8. Prinsip Pengawasan,
9. Prinsip Efisiensi dan Efektifitas, dan
10. Prinsip Profesionalisme.
Dari sepuluh prinsip tersebut di atas, kita bisa merasakan apa yang menjadi harapan publik
(masyarakat dan swasta) akan dapat dipenuhi. Namun yang paling penting lagi adalah bagaimana
mengoperasionalkan semua prinsip tersebut kedalam sistem atau mekanisme kerja pada
pemerintah daerah. Karena itu diperlukan langkah-langkah seperti perumusan kebijakan, sosialisasi
pada semua unit kerja, konsultasi dengan semua stakeholders, serta evaluasi yang sistemik dan
komprehensif.
Jika dikaitkan dengan pedoman penyelenggaraan negara, sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas
42
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dengan asas-asas; kepastian hukum, tertib penyelenggaraan
negara, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas dan akuntabilitas, maka
tampaknya kita tidak perlu meragukan bahwa pemerintahan daerah yang baik akan dapat terwujud
tanpa ada benturan nilai-nilai yang bersifat nasional. Idealnya keberhasilan pemerintah daerah juga
merupakan indikator kinerja dari keberhasilan pemerintah pusat. Karena itu pemerintah pusat sudah
selayaknya memfasilitasi dan memberi dukungan terhadap semua langkah-langkah strategis
pemerintah daerah, yang terkait dengan pembangunan daerah dalam arti yang luas.
Mewujudkan pemerintah daerah yang baik memerlukan keterlibatan dan komitmen semua
stakeholder. Karena itu gagasan dan keperluan untuk mewujudkan kepemerintahan yang baik
tersebut bahkan dapat dibalik, dimulai dengan pertanyaan kepada warga sebagai anggota (warga)
terbawah apa yang mereka pahami dan mereka harapkan tentang pemerintah dan kepemerintahan
yang baik. Format reformasi di daerah dapat disimpulkan mulai terarah sejak ditetapkannya
Peraturan Menteri PAN dan RB Nomor; 37 tahun 2013 tentang Pedoman Penyusunan Road Map
Reformasi Birokrasi Pemerintah Daerah. Road Map harus dibangun dengan 7 prinsip dasar yaitu :
1. Jelas;
2. Ringkas;
3. Terukur;
4. Dinamis;
5. Terinci;
6. Komitmen; dan
7. Dokmen Resmi.
Tujuan reformasi birokrasi itu sendiri sebagaimana disebutkan dalam peraturan menteri adalah
“untuk menciptakan birokrasi pemerintahan yang profesional dengan karaktristik adaptif,
berintegritas, berkinerja tinggi, bersih dan bebas KKN, mampu melayani publik, netral, sejahtera,
berdedikasi, dan memegang teguh nilai-niai dasar dan kode etik aparatur negara. Adapun area
perubahan yang menjadi tujuan reformasi birokrasi adalah sebagai berikut:
43
Tabel 2.7. Area Perubahan Reformasi Birokrasi
No. Area Hasil Yang Diharapkan
1 Organisasi Organisasi yang Tepat Fungsi dan tepat ukuran
2. Tata Laksana Sistem, Proses dan prosedur kerja yang jelas, efektif, efesien, terukur dan sesuai dengan prinsip-prinsip good governance
3. Peraturan Perundang-undangan
Regulasi yang lebih tertib, tidak tumpang tindih dan kondusif
4. Sumber daya manusia aparatur
SDM aparatur yang berintegritas, netral kompeten, capable, profesional, berkinerja tinggi dan sejahtera
5. Pengawasan Meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN
6. Akuntabilitas Meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi
7. Pelayanan Publik Pelayanan prima sesuai kebutuhan dan harapan masyarakat
8. Pola Pikir (mind set) dan Budaya Kerja (culture set) Aparatur
Birokrasi dengan integritas dan kinerja yang tinggi
Sumber : PermenPAN dan RB no. 37 tahun 2013
Kedelapan area perubahan diatas berbasis pada dokumen untuk memudahkan pada
pengukuran setiap area. Dalam penerapannya Pemerintah Daerah harus memenuhi semua
dokumen yang sudah ditentukan, penyusunan dokumen-dokumen Reformasi Birokrasi dibatasi oleh
waktu untuk mempercepat implementasi Reformasi Biorkrasi. Dokumen yang dimaksud akhirnya
melekat pada gerakan Reformasi Birokrasi sehingga kesan perubahan tidak tertangkap secara utuh
dan menyeluruh. Delapan area perubahan menjadi cakupan Reformasi Birokrasi diharapkan
perubahan yang terjadi ke delapan area tersebut dapat mengubah birokrasi pemerintah. Selanjutnya
dalam aturan tersebut juga disebutkan ada 3 (tiga) sasaran reformasi birokrasi dalam road map
refomasi birokrasi di daerah, adapun sasaran tersebut adalah sebagai berikut:
Tabel 2.8. Sasaran Reformasi Birokrasi
No. Sasaran Reformasi Birokrasi Ukuran Kualitatif/Kuantitatif
1 Terwujudnya pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme
- Nilai Zona Integritas - Nilai Efisiensi - Indeks Persepsi Korupsi - Opini BPK dan - Indikator lain yang relevan
2. Meningkatnya kualitas pelayanan publik kepada masyarakat
- Indeks Kepuasan Masyarakat - Integritas Pelayanan - Tingkat Kepatuhan terhadap Standar
Pelayanan
44
- Nilai Pemeringkatan - Ukuran-ukuran yang terkait dengan MDGs dan - Indikator lain yang relevan
3. Meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi
- Nilai akuntabilitas kinerja - Nilai kinerja organisasi - Indikator lain yang relevan
Sumber : PermenPAN dan RB no. 37 tahun 2013
Sasaran Reformasi Birokrasi sangat jelas untuk mengubah birokrasi pemerintah yang
selama ini menjadi keluhan masyarakat. Kesuksesan dari Reformasi Birokrasi Pemerintah pada
tingkat daerah sangat ditentukan dari keterlibatan semua pihak di lingkup SKPD tidak hanya pada
SKPD yang terlibat langsung dalam penyusunan Reformasi Birokrasi secara langsung seperti pada
area SDM yang dipelopori oleh Bagian Organisasi dan Tata Laksana dan Badan Kepegawaian
Daerah. Program Reformasi Birokrasi di tingkat Pemerintah Daerah dapat dilaksanakan dalam
bentuk program kerja di tingkat SKPD, semangat Reformasi Birokrasi diharapkan dapat mengilhami
progam SKPD.
Konsep yang diharapkan terbangun dalam penelitian terkait identifikasi program pemerintah
daerah dalam Reformasi Birokrasi sebagai berikut:
1. Reformasi birokrasi yang dimaksud dalam penelitian adalah adanya suatu fakta perubahan
dalam birokrasi pemerintah di daerah, atau reformasi yang berbasis pada bukti;
2. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan yang meliputi semua segi pemerintahan, baik
kebijakan, kelembagaan/organisasi maupun pada sistem dan tatalaksana;
45
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian
1. Sifat/Jenis Penelitian; Penelitian ini adalah penelitan terapan yang dimaksudkan untuk
digunakan dalam rangka implementasi dan peningkatan kualitas Reformasi Birokrasi
di Indonesia, khususnya pada tingkat pemerintah daerah.
2. Pendekatan Penelitian; Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini termasuk
kedalam pendekatan kasus, dimana dalam penelitian ini dipilih 2 (dua) lokasi penelitian
yang menurut data awal telah menjalankan Reformasi Birokrasi dengan baik di
daerahnya masing-masing.
3. Tingkat Analisis; tingkat analisis yang digunakan adalah bersifat desktiptif kualitatif
(deskriptif eksplanatory). merujuk pada pandangan Hill dan Hupe (2002) menegaskan
bahwa pada tingkat analisis implementasi sebagai proses menggunakan analisis
diskriptif dan pada tingkat output menggunakan analisis eksplanatori. Parsons (2001)
menggambarkan bahwa satu permasalahan dalam implementasi (dalam hal penelitan
ini implementasi Reformasi Birokrasi di daerah) adalah sering digunakan sebagai
‘karaktristik dua hal’. Karakteristik tersebut yaitu proses dengan output dan kadang
juga dengan outcome dari proses implementasi. Atas pandangan tersebut maka
tingkat analisis dalam penelitian ini adalah deskriptif eksplanatori.
4. Paradigma Penelitian; paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah
paradigma induktif (kualitatif).
B. Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini yaitu pada upaya menemukan adanya reformasi birokrasi di daerah,
dengan menggambarkan bagaimana reformasi itu lahir (ide atau gagasannya dari mana),
bagaimana reformasi birokrasi itu diimplementasikan, serta bagaimana manfaatnya pada
masyarakat termasuk pada internal birokrasi pemerintah daerah itu sendiri.
C. Sumber Data
Merujuk pada pandangan Yin (2008), dalam studi kasus terdapat enam sumber bukti yang
dapat dijadikan sebagai fokus bagi pengumpulan data yaitu, dokumen, rekaman arsip,
wawancara, observasi langsung, observasi peran serta, dan perangkat fisik. Enam sumber
data tersebut dapat dikelompokkan kedalam tiga kategori sumber yaitu; orang, dokumen
dan perisitwa.
46
D. Instrument Pengumpulan Data
1. Wawancara Mendalam (indepth interview)
Wawancara mendalam adalah Proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian
dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara si penanya atau pewawancara
dengan si penjawab atau responden dengan menggunakan alat yang dinamakan
interview guide (panduan wawancara).
2. Observasi;
Istilah observasi berasal dan bahasa Latin yang berarti ”melihat” dan “memperhatikan”.
Istilah observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat
fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam
fenomena tersebut
3. Telaah Dokumen;
Telaah dokumen adalah melakukan analisis terhadap data-data kajian berupa
peraturan-peraturan terkait, buku, literature informasi terkait lainnya.
E. Analisis Data
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini, sehubungan dengan metodologi
yang dikemukakan di atas adalah klasifikasi data, interpretasi data dan atau fenomena yang
relevan dengan penelitian, kemudian dilanjutkan dengan interpretasi dan penarikan
simpulan penelitian. Rangkaian analisis data kasus dilakukan melalui tiga tahap (Miles dan
Huberman, 1992), (Huberman dan Miles, 2009), yaitu reduksi data, penyajian data dan
pengambilan kesimpulan/verifikasi. Masing-masing tahap diuraikan sebagai berikut :
1. Tahap reduksi data: reduksi data dilakukan dalam dua tahap yaitu; Pertama, pada tahap
penyusunan rancangan penelitian dengan menetapkan kerangka kerja konseptual,
pertanyaan penelitian, kasus dan instrumen penelitian yang digunakan. Kedua, setelah
data lapangan terkumpul dengan melakukan perangkuman data, merumuskan tema,
pengelompokan dan penyajian data secara tertulis.
2. Tahap Penyajian Data; pada tahap ini dilakukan pemaparan data dan analisis dengan
penyajian data dalam box/kotak, bentuk matriks/tabel dan bagan jaringan kausal.
47
3. Tahap Pengambilan Kesimpulan dan Verifikasi; pada tahap ini dilakukan interpretasi,
penetapan makna dari data tersaji.
48
BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS DATA
A. POTRET REFORMASI BIROKRASI DI DAERAH (LOKUS KABUPATEN BANTAENG)
1. Gagasan Reformasi Birokrasi
Bantaeng sebagai salah satu kabupaten di bagian Selatan Provinsi Sulawesi Selatan
dipimpin oleh Bupati yang telah berhasil menorehkan berbagai prestasi pembangunan dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Di periode pertama, H.M Nurdin Abdullah berhasil duduk
sebagai bupati dengan raihan persentase suara sebanyak 46 persen, meskipun tanpa kampanye
yang meriah. Nurdin berhasil mengungguli para kandidat yang sudah lama berkiprah di Bantaeng.
Di periode kedua, tanpa kampanye dan atribut, Nurdin kembali terpilih untuk periode kedua dengan
meraih suara 84 persen dalam Pilkada 2013 silam.
Reformasi birokrasi di Kabupaten Bantaeng pada dasarnya dipengaruhi oleh
kepemimpinan Bupati Bantaeng Prof. Dr. Nurdin Abdullah Kepemimpinan Nurdin Abdullah menjadi
faktor utama pelaksanaan pembangunan yang signifikan di Kabupaten Bantaeng baik pembangunan
fisik maupun non fisik. Bahkan tahun 2012 lalu Seputar Indonesia (SINDO) memberikan anugerah
People of The Year (POTY) 2012 untuk kategori kepala daerah terbaik kepada Bupati Bantaeng HM
Nurdin Abdullah. Anugerah itu diberikan kepada Nurdin atas kiprahnya membangun Bantaeng dari
daerah tertinggal menjadi kabupaten dengan kemajuan pesat, yang dimulai sejak terpilih sebagai
Bupati pada 2008. Pada 2012 lalu, Nurdin Abdullah berhasil mengubah wajah Bantaeng menjadi
model pembangunan kabupaten berkelanjutan di Indonesia.
Nurdin Abdullah berlatar belakang akademisi bisa menerapkan inovasi dan rekayasa
teknologi, khususnya di sektor pertanian. Dia juga melakukan transfer teknologi dengan
mendatangkan ahli-ahli di bidang pertanian dari Jepang. Lewat pemanfaatan teknologi ini, sejumlah
wilayah di Bantaeng yang dulunya lahan kritis kini berubah menjadi subur dengan menerapkan pola
pertanian organik. Nurdin mampu mengubah pola pikir petani agar tidak bergantung pada pestisida
dan pupuk kimia yang pada umumnya digunakan untuk pengolahan lahan pertanian. Di samping itu,
49
penyandang Master of Agriculture Kyusu University Jepang (1994) ini juga mampu membangun
infrastruktur baik di antaranya jalan, check dam (pengendalian banjir) yang keseluruhannya untuk
kepentingan masyarakat. Untuk infrastruktur jalan, sudah mencapai wilayah-wilayah produksi
komoditas pertanian di dataran tinggi sehingga mempercepat proses distribusi hasil pertanian yang
berdampak pada peningkatan pendapatan petani.
Kepemimpinan beliau, perekonomian Bantaeng tumbuh dari 5,3 persen menjadi 8,9 persen
pertahun serta berhasil meningkatkan indeks pendapatan perkapita warga Bantaeng dari Rp 5 juta
menjadi Rp 14,7 juta. Selain itu pula, beliau juga berhasil menghapus angka kematian ibu melahirkan
di Bantaeng sebelum kepemimpinannya, sebanyak 12 ibu per tahun. Nurdin berhasil memajukan
kembali varietas sayur-sayuran dan buah Bantaeng dan hasil-hasil perikanan, dengan konsep Agri-
Marine Economy.
Selama 6 tahun kepemimpinannya, Bantaeng menyabet lebih dari 50 penghargaan tingkat
nasional, termasuk 4 kali berturut-turut piala adipura yang sebelumnya tidak pernah didapatkan, 3
tahun berturut-turut meraih Otonomi Award dan berhasil memenangkan Innovative Government
Award (IGA) tahun 2013 yang diadakan Kementerian Dalam Negeri. (fajar.co.id)
Dalam rangka pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat Bupati melaksanakan inovasi
kebijakan strategis yang terangkum dalam “The New Bantaeng” antara lain:
a. Pelayanan perizinan “one day service”, proses perizinan selesai dalam sehari tanpa
pungutan sehingga banyak perusahaan internasional yang menanamkan investasinya di
Bantaeng yang mencapai puluhan triliun rupiah.
b. Model pengelolaan keuangan daerah secara terbuka dan transparan.
c. Pelayanan kesehatan melalui program Brigade Siaga Bencana (BSB)
d. Kebijakan investasi yang sangat mudah
e. Kebijakan pengelolaan hutan dan kelompok Petani
f. Pelayanan pendidikan gratis
50
g. Penataan tata ruang kota dan objek wisata
Khusus untuk pembenahan birokrasi di Kabupaten Bantaeng pada tahun pertama
kepemimpinannya, melakukan pembenahan dan peningkatan kapasitas aparat-aparatnya dengan
menerapkan pola assesment dengan melibatkan Universitas Indonesia dan Pusat Kajian dan
Pendidikan dan Pelatihan Aparatur I Lembaga Administrasi Negara (LAN) di Jatinangor. Sistem
lelang jabatan di kepemimpinan Nurdin sudah dilakukan sejak tahun 2009, lebih awal dibandingkan
yang dilakukan Jokowi sebagai Gubernur DKI. (fajar.co.id)
2. Implementasi Reformasi Birokrasi
Pelaksanaan program reformasi birokrasi merupakan keharusan oleh pemerintah daerah
yang termaktub dalam Perpres 81 Tahun 2010 Tentang Grand Design Reformasi Birokrasi dan
Permenpan 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi. Pemerintah pusat, kementerian
lembaga dan pemerintah daerah berkewajiban menjalankan program reformasi birokrasi untuk
meningkatkan profesionalisme aparatur dalam melaksanakan tugas dan fungsinya masing-masing.
Kabupaten Bantaeng merupakan salah satu kabupaten yang pada prinsipnya telah
melaksanakan program-program reformasi birokrasi meskipun secara kelembagaan belum
terbentuk tim khusus yang melaksanakan tahapan dan program reformasi birokrasi sebagaimana
yang terdapat dalam peraturan di atas. Pemerintah Kabupaten Bantaeng melalui kepemimpinan
Nurdin Abdullah sebagai telah melakukan kebijakan-kebijakan umum dalam rangka reformasi
birokrasi. Sistem rekrutmen PNS berdasarkan dokumen Analisis Jabatan dan Analisis Beban Kerja
Organisasi sampai upaya pemberian tambahan penghasilan pegawai melalui penyusunan dokumen
Evaluasi Jabatan.
Namun hal yang paling menonjol dari kebijakan pemerintah Kabupaten Bantaeng adalah
reformasi sistem perizinan yang sangat memudahkan masyarakat maupun para investor dalam
layanan perizinan dan non perizinan.
51
a. Dasar Hukum, Maksud dan Jenis Layanan
Layanan perizinan dan non perizinan di Kabupaten Bantaeng secara kelembagaan
dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu (KPTSP) yang berdiri sejak Tahun
2007 melalui Peraturan Daerah Kabupaten Bantaeng Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Lembaga Teknis Daerah, namun mulai beroperasi pada Tanggal 2 Februari Tahun 2009.
Maksud didirikannya Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Bantaeng merupakan
wujud nyata dari komitmen Pemerintah Kabupaten Bantaeng untuk meningkatkan kualitas
pelayanan prima melalui satu pintu khususnya di bidang pelayanan perizinan dan non
perizinan. Hal tersebut diharapkan dapat mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif
bagi penanaman modal dan investasi dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat
Kabupaten Bantaeng.
Kantor PTSP Kabupaten Bantaeng mengelola 10 jenis izin yaitu sebagai berikut:
1. Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP)
2. Tanda Daftar Perusahaan (TDP)
3. Tanda Daftar Industri (TDI) dan Izin Usaha Industri (IUI)
4. Izin Usaha Bahan Bakar Minyak (BBM)
5. Tanda Daftar Gudang (TDG)
6. Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
7. Surat Izin Tempat Usaha (SITU)
8. Izin Usaha Jasa Konstruksi (IUJK)
9. Izin Gangguan (HO)
10. Izin Trayek
b. Kinerja Kantor PTSP
Kantor PTSP Kabupaten Bantaeng telah menunjukkan kinerja yang patut
dibangggakan selama didirikan tahun 2009 silam. Berbagai terobosan dan inovasi
pelayanan dilakukan untuk memberikan pelayanan prima kepada masyarakat.
52
Realisasi jumlah Perizinan dan Non Perizinan tahun 2013 di PTSP Kabupaten
Bantaeng dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel. 4.1 Daftar Jumlah Perizinan dan non Perizinan Januari s.d Desember 2013
No. Jenis Izin Jumlah Izin Jumlah
Baru Perpanjangan
1. Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP)
366 211 577
2. Tanda Daftar Perusahaan (TDP)
256 56 312
3. Tanda Daftar Industri (TDI) dan Izin Usaha Industri (IUI)
32 11 43
4. Izin Usaha Bahan Bakar Minyak (BBM)
1 1 2
5. Tanda Daftar Gudang (TDG)
8 11 19
6. Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
102 - 102
7. Surat Izin Tempat Usaha (SITU)
344 227 571
8. Izin Usaha Jasa Konstruksi (IUJK)
2 38 40
9. Izin Gangguan (HO) 62 11 73
10. Izin Trayek - 1 1
Jumlah 1.173 567 1.740
Sumber : Kantor PTSP Kabupaten Bantaeng 2013
Tabel di atas menggambarkan besarnya harapan masyarakat terhadap layanan
perizinan sekaligus menjadi gambaran bahwa pertumbuhan ekonomi dan dunia usaha di
Kabupaten Bantaeng berkembang sangat pesat. Investor asing maupun nasional banyak
berdatangan menanamkan modalnya di Kabupaten Bantaeng yang didukung dengan
layanan perizinan yang mudah dan tidak berbelit-belit. Tercatat nilai investasi di Bantaeng
mencapai 15 triliun rupiah oleh beberapa perusahaan asing. Kawasan industri Bantaeng
menjadi ikon baru Kabupaten ini pada khususnya dan Provinsi Sulawesi Selatan pada
umumnya.
53
Kemudahan dalam pemberian izin dan bebas pungutan untuk beberapa jenis
perizinan menjadi salah satu magnet meningkatkan investasi di Bantaeng. Jalur birokrasi
yang lamban dan berbelit-belit dipangkas dengan upaya Bupati memberikan kewenangan
kepada Kantor PTSP untuk memberikan rekomendasi atau izin melalui model partisipatif oleh
semua stakeholders terkait dengan jenis perizinan yang dimaksud.
Pada umumnya lama waktu pengurusan izin di atas maksimal 6 hari kerja sesuai
dengan Standar Operational Prosedur yang sudah ditetapkan. Komitmen pelayanan yang
bebas pungli menjadi jaminan bahwa pelaksanaan layanan bebas dari unsur korupsi.
Koordinasi intensif dan kesepakatan oleh semua pihak terkait menjadi hal mutlak
untuk penerbitan izin yang dikeluarkan oleh PTSP. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh
Muhammad Tafsir selaku Kepala Kantor PTSP Bantaeng bahwa:
“ izin yang dikeluarkan oleh Kantor PTSP melibatkan semua pihak terkait dengan
subtansi izin ada dari pihak SKPD terkait, sampai masyakarat, jadi izin banyak
berdasarkan musyawarah sehingga lebih terbuka dan paling penting tidak ada
pungutan”(wawancara 22 Mei 2014).
hal menarik dalam pelayanan perizinan di Kantor PTSP Bantaeng adalah sistem
“jemput bola perizinan” yaitu petugas melakukan pelayanan perizinan pada lokasi yang agak
sulit aksesnya masyarakat untuk melakukan pelayanan di Kantor PTSP. Hal ini menjadi
terobosan karena memudahkan masyarakat memperoleh layanan perizinan khususnya yang
memiliki keterbatasan akses.
Beberapa inovasi pelayanan di Kantor PTSP di atas menyebabkan memperoleh
beberapa pengahargaan antara lain tahun 2009 oleh lembaga survei independen Business
Digest (Majalah SWA Group) sebagai South Sulawesi Investment Award dan oleh
Pemerintah Provinsi Sulawesi selatan pada tahun 2013 memberikan penghargaan kepada
54
Kantor PTSP Bantaeng atas prestasinya dalam unit Pelayanan Publik Terbaik Tahun 2013
pada kategori Bidang Pelayanan Satu Pintu.
Nilai investasi yang signifikan meningkat di Kabupaten Bantaeng bukan hanya
melibatkan Kantor PTSP saja tetapi menjadi kebijakan Bupati yang terintegrasi dengan sektor
lain untuk menarik minat investor menanamkan modalnya di Bantaeng. Sinkronisasi semua
sektor menunjang investasi di Bantaeng terbangun dengan sistem yang saling melengkapi
satu sama lain. Hal ini diungkapkan oleh Asisten Bidang ekonomi Bantaeng bahwa:
“disini semuanya terlibat, untuk menarik investor, listrik diperbaiki (kapasitasnya),
jalanan, pelabuhan, penyediaan lahan dan kemudahan perizinan, jadi semuanya terkait
sehingga investor yakin untuk berinvestasi di sini”(wawancara 22 Mei 2014)
Hal ini mengindikasikan bahwa partisipasi aktif semua sektor menjadi keharusan
dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif di Kabupaten Bantaeng. Masing-masing
melakukan tugasnya dan saling menunjang satu sama lain sehingga tercipta sinkronisasi
dalam upaya meningkatkan jumlah investasi di Kabupaten Banteng.
Disamping hal di atas transparansi dalam pengelolaan dan pengurusan perizinan di
Kantor PTSP Bantaeng menjadi hal mutlak dalam memberikan layanan kepada masyarakat.
Sistem pembayaran satu pintu untuk biaya perizinan diabayarkan sesuai besaran nilai yang
telah ditetapkan tanpa ada biaya tambahan(pungli).
c. Kewenangan Kantor PTSP
Salah satu faktor penyebab terlaksananya pelayanan prima dan mempercepat layanan
perizinan pada Kantor PTSP Bantaeng adalah reformasi pada sistem pendelegasian
kewenangan penandatangan dokumen perizinan dari SKPD teknis kepada Kantor
PTSP. Jalur birokrasi dalam layanan perizinan terpusat dan terintegrasi di Kantor PTSP
sehingga memudahkan pelaksanaan layanan kepada masyarakat. Pendelegasian
tersebut meliputi:
55
1. Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP)
2. Tanda Daftar Perusahaan (TDP)
3. Tanda Daftar Industri (TDI) dan Izin Usaha Industri (IUI)
4. Izin Usaha Bahan Bakar Minyak (BBM)
5. Tanda Daftar Gudang (TDG)
6. Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
7. Surat Izin Tempat Usaha (SITU)
8. Izin Usaha Jasa Konstruksi (IUJK)
9. Izin Gangguan (HO)
10. Izin Trayek
Sehingga dengan kewenangan tersebut Kepala Kantor PTSP memiliki otoritas untuk
memproses dan menandatangani jenis perizinan tersebut sehingga penyelenggaraan
pelayanan birokrasi lebih efektif dan efisien.
Hubungan antara Kantor PTSP dengan SKPD teknis sangat dinamis dalam melakukan
setiap fungsinya masing-masing untuk memberikan layanan terbaik kepada
masyarakat. Kantor PTSP memberikan izin setelah SKPD teknis terkait memberikan
rekomendasi terhadap kelayakan administrasi dengan penyesuaian kondisi di
lapangan untuk dapat diterima atau ditolak terhadap permohonan perizinan. Dengan
demikian, Kantor PTSP dan SKPD teknis terkait terus terjalin komunikasi dan
koordinasi untuk pelayanan perizinan kepada masyarakat.
d. Permasalahan yang Dihadapi
Sejumlah keberhasilan dan kinerja yang prima di atas bukan berarti tidak menghadapi
permasalahan yang dapat menghambat pelaksanaan layanan di Kantor PTSP
Bantaeng. Berbagai permasalahan yang dihadapi antara lain:
1. Masih terbatasnya kuantitas dan kualitas serta kapasitas aparat pelayanan
56
Secara kuantitas aparat di Kantor PTSP Bantaeng masih terbatas khususnya
aparat dengan status Pegawai Negeri Sipil. Pegawai dengan status PNS hanya
berjumlah 12 orang dan status Non PNS sebanyak 10 orang. Hal ini tentu saja
menjadi permasalahan tersendiri mengingat potensi dan tantangan perizinan yang
semakin besar seiring dengan dijadikan Bantaeng sebagai kawasan industri baru
di Sulawesi Selatan yang merupakan program nasional.
Dari segi pendidikan yang menjadi salah satu syarat terlaksananya pelayanan
prima masih perlu pengembangan yang lebih baik kedepan. Data di bawah ini
menggambarkan tingkat pendidikan aparatur di Kantor PTSP Bantaeng.
Tabel. 4.2 Kondisi Pegawai Kantor PTSP Bantaeng berdasarkan Tingkat
Pendidikan
No. Tingkat Pendidikan PNS NON PNS Keterangan
1. Strata 2 1 orang - 7 orang Honorer 3 orang magang 2. Strata 1 6 orang 4 orang
3. Diploma 1 orang -
4. SMU 4 orang 6 orang
Jumlah 12 orang 10 orang
Sumber : Kantor PTSP Bantaeng 2013 Aparat pelayanan yang ada di Kantor PTSP direkrut dari beberapa SKPD
mempunyai latar belakang pendidikan formal SLTA, Diploma, S1 dan S2, pada
umumnya mereka belum memiliki keterampilan yang sesuai dengan tingkat
kompetensi sebagai aparat pelayanan perizinan. Sehingga hal ini akan menjadi
tantangan yang diindikasikan lambatnya kinerja sebagaimana yang diharapkan.
Dengan demikian, perlu dilakukan peningkatan kualitas aparat pelayanan melalui
pelatihan teknis dan kepribadian.
2. Masih terbatasnya sarana dan prasarana
Kantor layanan secara defenitif sudah memadai untuk melakukan layanan kepada
masyarakat namun masih perlu ditingkatkan khususnya sistem layanan perizinan
yang menggunakan teknologi informasi yang lebih baik. Sehingga layanan
57
perizinan bisa lebih efektif dilaksanakan, disamping itu perlu ditingkatkan sarana
operasional untuk memaksimalkan pelayanan kepada masyarakat.
3. Pemanfaatan Teknologi Informasi yang belum Optimal
Teknologi informasi menjadi salah satu faktor pelaksanaan layanan menjadi lebih
efisien. Jaringan antara SKPD dan mobilisasi data melalui teknologi informasi
akan memperpendek jarak dan efisiensi anggaran dalam melaksanakan layanan
yang berkualitas. Pemanfaatan teknologi informasi menjadi salah satu kebutuhan
mendesak oleh organisasi, sehingga harus dipersiapkan sumber daya manusia
dan peralatan yang memadai untuk menunjang pelaksanaan layanan. Saat ini
kantor PTSP masih menggunakan sistem manual dalam mengelola data perizinan
meskipun menggunakan teknologi informasi. Perlu dimaksimalkan media
teknologi informasi yang lebih baik lagi untuk menunjang pelaksanaan layanan.
3. Manfaat Reformasi Birokrasi di Daerah
Reformasi Birokrasi yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Bantaeng telah memberikan
dampak positif kepada pembangunan di Kabupaten Bantaeng. Secara umum hal yang paling
nampak dalam pelaksanaan reformasi birokrasi adalah perbaikan layanan dasar kepada masyarakat
yaitu pendidikan dan kesehatan. Di samping itu pada layanan lainnya yaitu Perizinan dan non
Perizinan yang dilaksanakan kantor PTSP telah memberikan layanan prima kepada masyarakat
melalui reformasi pelayanan yang melibatkan seluruh stakeholder pemerintah Kabupaten Bantaeng.
Pelayanan “one day service” menjadi primadona yang sangat membantu masyarakat dalam
layanan perizinan dan non perizinan. Sinkronisasi dan integrasi seluruh stakeholders (pemerintah
dan non pemerintah) terkait layanan perizinan. Komitmen pemerintah dalam melakukan pelayanan
cepat dan tanpa pungli kepada masyarakat meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mengurus
perizinan sesuai kebutuhannya tanpa ada ketakutan akan pelayanan yang mahal dan berbelit belit.
58
Reformasi birokrasi yang tercermin pada layanan di Kantor PTSP Bantaeng berdampak
positif terhadap pembangunan di Kabupaten Bantaeng secara umum dan kesejahteraan masyarakat
pada khususnya. Adapun beberapa manfaat tesebut sebagai berikut:
a. Layanan cepat dan efisien dengan memangkas birokrasi perizinan mendongkrak iklim
investasi sangat pesat di Kabupaten Bantaeng. Dunia usaha dan iklim investasi
berkembang pesat dengan banyaknya investor yang menanmkan modalnya yang
secara langsung berdampak kepada kesejahteraan masyarakat.
b. Masyarakat pengguna layanan perizinan menjadi lebih terjamin tidak akan membayar
diluar tarif yang ditetapkan atau bebas pungli akan meningkatkan kepercayaan
masyarakat kepada pemerintah sebagai pelayan masyarakat yang adil dan
bermatabat.
c. Sistem pelayanan yang terintegrasi pada seluruh sektor di Pemerintah Kabupaten
Bantaeng menyebabkan efisiensi dan efektifitas layanan sehingga berdampak pada
efisiensi penggunaan anggaran dalam layanan perizinan.
B. POTRET REFORMASI BIROKRASI DI DAERAH (LOKUS KABUPATEN BARRU KASUS REFORMASI TATA NILAI PELAYANAN)
1. Gagasan Reformasi Birokrasi
Dalam pelaksanaan reformasi birokrasi ada 3 program utama secara garis besar yang perlu
di sukseskan yaitu program untuk tingkat makro, program untuk tingkat meso dan program untuk
tingkat mikro. Ketiga program reformasi birokrasi tersebut kemudian diterjemahkan kedalam setiap
progam pemerintah di masing-masing Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah.
Program pada tingkat mikro yang memiliki indikator jelas dan terukur dan mudah dikenali
sedangkan pada tingkat makro dan meso program kegiatannya mencakup seluruh dari program
mikro. Perlu ada potret yang jelas di setiap kementerian/lembaga dan pemerintah daerah terhadap
program-program reformasi birokrasi. Pada penelitian yang berlokus di Kabupaten Barru Kantor
59
Pelayanan Perizinan dan Penanaman Modal (KP3M) mengangkat nilai organisasi yang telah
berhasil dibangun melalui kinerja organisasi dengan baik.
Pada awal tahun 2011 KP3M Barru mulai merasakan adanya kesenjangan antara
pelayanan publik yang diberikan kepada masyarakat belum maksimal demikian yang disampaikan
oleh Kepala KP3M Barru Pak Syamsir yang dinyatakan dalam wawancara bahwa “Paling pertama
perubahan di PTSP adalah perubahan main set - pola perilaku dan penyusun SOP yang kami susun
sendiri sebagai standar kerja yang saya tanda tangani” (wawancara, 5 Juni 2014). Standar kerja dan
SOP yang disusun belum dikuatkan dengan peraturan bupati hanya melalui peraturan Kepala
Kantor. Dengan semangat perbaikan pelayanan maka KP3M Barru berjalan sesuai dengan SOP
dan Standar Kerja yang telah disusun.
Untuk mendorong kinerja pegawai dengan lebih baik maka insiatif organisasi yang
didukung dengan Kinerja-USAID melalui program Bussines Enabling Environment melalui perbaikan
pelayanan perizinan kemudian membangun nilai-nilai budaya kerja untuk mendorong komitmen PNS
dalam memberikan layanan kepada masyarakat. Nilai-nilai organisasi dibangun melalui rapat kerja
antara seluruh staff (inhouse training). Dalam perjalannya kata yang paling tepat (tagline) untuk
mewakili pemberian layanan perizinan dan non perizinan adalah “masiga” (ramah pasti, dan
gampang) dalam memberikan pelayanan. Pendekatan inhouse training berhasil membangun makna
dari ramah, pasti dan gampang dengan melibatkan PNS dalam pemberian pelayanan.
Target dalam memberikan pelayanan yang lebih luas kepada masyarakat secara luas
diseluruh lapisan masyarakat mendorong lebih jauh makna dari “masiga” untuk teraplikasi dengan
cepat. Pemberian layanan sampai ke pelosok desa dengan memberikan pelayanan sampai jam 5
atau memberikan proritas bagi penduduk yang tempat tinggalnya jauh dari kota ( wawancara, 5 juni
2014) membutuhkan dorongan moril yang tidak hanya cukup dengan memberikan tunjangan.
Dengan membangun nilai-nilai masiga dalam pelayanan maka semangat PNS tetap dapat terjaga
menurut pak samsir “PNS kita sering berpakaian safari lengkap dan menggap bahwa memiliki kasta
60
yang berbeda dari masyarakat padahal kita sama saja”. PNS sebagai pelayan masyarakat bukan
untuk dilayani oleh masyarakat, dari sinilah sehingga tata nilai tetap dapat terjaga.
Keberhasilan program kegiatan yang dikembangkan KP3M Barru tidak dapat dilepaskan
dari kemampuan nilai “masiga” melembaga dalam budaya kerja organisasi. Dalam
perkembangannya “masiga” menjadi budaya dan diterapkan melalui prinsip-prinsip
penyelenggaraan pelayanan perizinan non retribusi melalui prinsip: kesederhanaan, kejelasan,
kepastian waktu, akurasi, keamanan, kemudahan akses, kenyamanan, tanggung jawab,
kedisiplinan, kelengkapan prasarana dan sarana; dan kesopanan dan keramahan.
Kepuasan pelanggan terhadap layanan KP3M akan terwujud, apabila pelayanan tersebut
memenuhi sendi-sendi.
a. Kesederhanaan, dalam arti bahwa prosedur/tata cara pelayanan diselenggarakan secara
mudah, lancar, cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan.
b. Kejelasan dan kepastian; adanya kejelasan dan kepastian mengenai:
1. Prosedur/tata cara pelayanan perizinan;
2. Persyaratan pelayanan Perizinan, baik teknis maupun administratif;
3. Personil atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan
pelayanan Perizinan;
4. Rincian biaya/tarif pelayanan umum dan tata cara pembayarannya;
5. Jadwal waktu penyelesaian pelayanan Perizinan;
6. Hak dan kewajiban baik dari pemberi maupun penerima pelayanan umum berdasarkan
bukti-bukti penerimaan permohonan/kelengkapannya, sebagai alat untuk memastikan
mulai dari proses pelayanan perizinan hingga penyelesaiannya;
7. Adanya mekanisme pengaduan jika ada masyarakat penguna layanan jasa yang merasa
tidak puas terhadap pelayanan yang diberikan oleh KP3M;
c. Keterbukaan/transparansi, dalam arti prosedur/tatacara, persyaratan, satuan kerja pejabat
61
penanggung jawab pemberi pelayanan perizinan, waktu penyelesaian dan rincian biaya/tarif
dan hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan umum wajib diinformasikan secara
terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak
diminta.
d. Efisien, dalam arti : (1) persyaratan pelayanan umum dibatasi hanya pada hal-hal yang
berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan
keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan perizinan yang diberikan, (2)
dicegah adanya pengulangan kelengkapan persyaratan pada konteks yang sama, dalam hal
proses pelayanannya kelengkapan persyaratan dari satuan kerja/instansi pemerintah lain yang
terkait.
e. Ekonomis, dalam arti pengenaan biaya pelayanan umum harus ditetapkan secara wajar
dengan memperhatikan : (1) nilai barang dan atau jasa pelayanan umum/tidak menuntut biaya
yang tinggi di luar kewajaran, (2) kondisi dan kemampuan masyarakat untuk membayar secara
umum, (3) ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
f. Keadilan yang merata, dalam arti cakupan/jangkauan pelayanan umum harus diusahakan
seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan diperlakukan secara adil.
g. Ketepatan waktu, dalam arti pelaksanaan pelayanan umum dapat diselesaikan dalam waktu
yang telah ditentukan.
Dalam pemberian layanan publik yang berkualitas perlu melibatkan banyak pihak termasuk pegawai
negeri yang relevan, instansi pemerintah, organisasi, warga masyarakat, LSM, sektor swasta dan
lain-lain. KP3M Kab. Barru tidak dapat melakukan perbaikan hanya dengan mengandalkan
sumberdaya organisasi yang dimiliki. Keterlibatan stakeholder akan memberikan masukan terhadap
pemberian layanan perizinan dan non perizinan. Proses pelibatan stakeholder dalam perizinan dan
non perizinan KP3M Barru
- Penyamaan persepsi regulasi perizinan :KP3M sebagai penyelenggara layanan, Yayasan
62
Adil Sejahtera yang memfasilitasi setiap program dan kegiatan perbaikan layanan,
BAPPEDA sebagai perumus kebijakan teknis perencanaan, dan Instansi teknis
penyelenggara perizinan.
- Pemetaan dan Kajian Regulasi Perizinan : KP3M sebagai penyelenggara layanan,
Yayasan Adil Sejahtera yang memfasilitasi setiap program dan kegiatan perbaikan layanan,
BAPPEDA sebagai perumus kebijakan teknis perencanaan, Bagian Hukum Setda sebagai
pihak yang mengetahui jumlah kewenangan perizinan pemerintah daerah, dan Instansi
teknis penyelenggara perizinan.
- Analisis, revisi dan Penyusunan regulasi perizinan : KP3M sebagai penyelenggara
layanan, Yayasan Adil Sejahtera yang memfasilitasi setiap program dan kegiatan perbaikan
layanan, BAPPEDA sebagai perumus kebijakan teknis perencanaan, Bagian Hukum Setda
yang melakukan asistensi setiap regulasi yang akan dihasilkan, dan Instansi teknis
penyelenggara perizinan, pelaku usaha (HIPMI, HPPM, PHRI, FORDA UKM, GAPENSI,
GAPEKNAS ) sebagai penerima layanan yang memberikan masukan terkait regulasi
pelayanan perizinan, Perguruan Tinggi, LSM dan Lembaga Pemantau Kebijakan Publik
(LPKP) sebagai pemantau pelaksanaan regulasi pelayanan perizinan.
- Workshop Final Draft Regulasi :KP3M sebagai penyelenggara layanan, Yayasan Adil
Sejahtera yang memfasilitasi setiap program dan kegiatan perbaikan layanan, Bagian
Hukum Setda yang melakukan asistensi setiap adanya masukan dalam draft regulasi,
Instansi teknis penyelenggara perizinan, pelaku usaha (HIPMI, HPPM, PHRI, FORDA
UKM, GAPENSI, GAPEKNAS ) sebagai penerima layanan yang memberikan masukan
terkait regulasi pelayanan perizinan, Perguruan Tinggi, LSM dan Lembaga Pemantau
Kebijakan Publik (LPKP) sebagai pemantau pelaksanaan regulasi pelayanan perizinan dan
masyarakat.
- Sosialisasi regulasi perizinan : KP3M sebagai penyelenggara layanan, Pemerintah
63
Kecamatan, Desa dan dusun untuk menyebarluaskan kepada masyarakat tentang
penyelenggaraan reformasi perizinan, Pelaku usaha (HIPMI, HPPM, PHRI, FORDA UKM,
GAPENSI, GAPEKNAS ), masyarakat sebagai penerima layanan dan media yang memberi
dukungan penyebarluasan informasi pelayanan.
Program Reformasi Birokrasii pada Kantor Pelayanan Perizinan dan Penanaman Modal Kabupaten
Barru dalam nilai-nilai organisasi “masiga” bukan merupakan faktor satu-satunya dalam kesuksesan
dalam pemberian layanan tetapi nilai-nilai masiga dalam KP3M Barru sudah dapat mendorong
organisasi bekerja dengan efektif dan efisien.
2. Implementasi Reformasi Birokrasi
Dalam pelaksanaan layanan publik melalui tata nilai “masiga” pada KP3M Kabupaten Barru
dalam program Reformasi Birokrasi termasuk didalam program pada tingkat meso. Program pada
tingkatan meso berfungsi sebagai pendorong kebijakan-kebijakan inovatif serta menerjemahkan
kebijakan makro pada program reformasi birokrasi. “masiga” merupakan tata nilai organisasi KP3M
Kabupaten Barru yang mempengaruhi pola pikir dan budaya kerja organisasi KP3M Kabupaten
Barru. Tata nilai “masiga” mempengaruhi kinerja organisasi dalam memberikan pelayanan perizinan
dan non perizinan. Konsep tata nilai organisasi dari “masiga” yang diimplementasikan dalam Ramah,
Pasti, Gampang. Tagline Masiga (ramah, pasti dan gampang) yang bersumber dari kearifan lokal
dan mudah dipahami oleh elemen masyarakat (berasal dari bahasa lokal yang berarti cepat)
sekaligus sebagai Motto penyemangat penyedia layanan untuk merealisasikan reformasi
pelayanan perizinan.
Pelaksanaan reformasi birokrasi pada tingkat meso bertujuan untuk mengubah secara
sistematis dan konsisten dari sistem dan mekanisme kerja organisasi serta pola pikir dan budaya
kerja individu atau unit kerja didalamnya. Masiga sebagai tata nilai organisasi yang berasal dari
bahasa bugis yang berarti cepat, menjadi tagline yang tepat untuk mengubah pelayanan pemerintah
menjadi cepat dan mampu memahami kebutuhan masyarakat terkait perizinan. Motto Pelayanan
64
Kantor Pelayanan Perizinan dan Penanaman Modal, yaitu : “IKHLAS Bekerja, SIMPATIK Melayani”
Ikhlas berarti : murni, bersih, jernih, tanpa campuran dan ikhlas bekerja berarti bekerja dengan
bersungguh-sungguh dan menghasilkan sesuatu yang baik serta dilandasi dengan hati yang tulus.
Perbaikan kinerja KP3M Barru tidak dapat dilepaskan dari dukungan USAID dalam program
peningkatan kinerja bersamaan dibeberapa kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan seperti
Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten Soppeng, dan Kabupaten Sinjai. Dalam perjalannya KP3M
Barru dapat menjalankan 129 ijin melalui peraturan pelimpahan kewenangan dari Bupati Barru,
selanjutnya dari 129 KP3M Barru dapat menyederhanakan izin sampai 22 izin. Menurut pak samsir
bahwa “jangan diambil semua perizinan itu karena akan susah tetapi bagaimana
menyederhanakan(merampingkan) perizinan”(wawancara, 5 juni 2014), setelah kewenangan
perizinan yang ada di SKPD teknis menjadi kewenangan dari KP3M Barru kemudian dilakukan
perampingan perizinan dengan melibatkan stakeholder.
Jumlah pemberian layanan dari tahun 2011 jumlah jenis izin yang menjadi kewenangan
Pemerintah Daerah 129 yang tersebar pada 19 SKPD teknis. Jumlah izin yang diterbitkan setiap
tahun rata-rata 590 izin dengan nilai investasi Rp. 42.823.670.000. Database kegiatan usaha di
Kabupaten Barru menunjukkan pada tahun 2011 dari 2.761 usaha hanya 26,40% atau 729 usaha
yang memiliki izin usaha. Sebelum menjadi kewenangan yang dikelolah oleh KP3M Barru pelayanan
masih tersebar di beberapa SKPD dan birokratis yang menimbulkan ketidakpastian biaya yang
ditandai dengan biaya diatas 15% sampai dengan 20% dari ketentuan, waktu penyelesaian izin yang
ditandai dengan rata-rata 20 hari kerja, prosedur dan persyaratan yang ditandai dengan tidak adanya
Standar Operasional Prosedur dan Standar Pelayanan.
Pelayanan yang belum dapat memberikan kemudahan dan keberpihakan pada kelompok
masyarakat miskin dalam pelayanan perizinan, hal ini ditandai dengan tidak adanya orang miskin
yang memperoleh kemudahan pelayanan perizinan baik izin usaha dan izin mendirikan bangunan.
Semakin banyak bangunan dan usaha yang tidak dapat diberikan izin akan berdampak negatif
65
kepada pembangunan. Banyaknya keluhan dari pelaku usaha (HIPMI, HPPM, PHRI, FORDA UKM,
GAPENSI, GAPEKNAS), LSM, Lembaga Pemantau Kebijakan Publik (LPKP) dan masyarakat
lainnya melahirkan kesadaran kolektif dari pelaku usaha, LSM, masyarakat dan Pemerintah Daerah
untuk melakukan perbaikan kinerja pelayanan perizinan.
Pemerintah Kabupaten Barru melakukan Lokakarya, Seminar, Focus Group Discussion
,Talk Show Radio dan pembentukan Kelompok Kerja Perizinan. Pelibatan stakeholder dalam
perbaikan layanan pada KP3M Kabupaten Barru dengan menerapkan beberapa metode sebagai
berikut; Lokakarya, Seminar, Focus Group Discussion ,Talk Show Radio yang dilakukan melahirkan
kesepakatan dan komitmen bersama untuk melakukan penyederhanaan perizinan (jumlah izin,
waktu pengurusan, biaya dan prosedur) yang ditandai dengan terbitnya beberapa regulasi yaitu :
a. Perda Nomor 2 Tahun 2012 tentang penyelenggaraan perizinan non retribusi,
b. Peraturan Bupati Nomor 13 Tahun 2012 tentang Standar Operasional Prosedur (SOP)
Pelayanan Perizinan pada Kantor Pelayanan Perizinan dan Penanaman Modal
Kabupaten Barru.
c. Surat Keputusan Bupati Barru Nomor 121/KP3M/I/2012 tentang Pelimpahan Kewenangan
Penandatanganan Perizinan Kepada Kepala Kantor Pelayanan Perizinan Dan
Penanaman Modal Di Kabupaten Barru.
d. Surat Keputusan Bupati Barru Nomor 262/KP3M/VI/2013 tentang Pelimpahan
Kewenangan Penandatanganan Perizinan Kepada Kepala Kantor Pelayanan Perizinan
Dan Penanaman Modal Di Kabupaten Barru.
e. Surat Keputusan Kepala Kantor Pelayanan Perizinan dan Penanaman Modal Nomor 20
tahun 2012 tentang Standar Pelayanan pada jenis pelayanan perizinan dan Penanaman
Modal pada Kantor Pelayanan Perizinan dan Penanaman Modal Kabupaten Barru.
Program pelayanan perizinan dan non perizinan terus dikembangkan untuk dapat mencapai
seluruh lapisan masyarakat menurut data pelaku usaha mikro yang dapat mengakses
66
pelayanan izin dan masyarakat miskin untuk mengakses pelayanan perizinan, semakin banyak
masyarakat yang kurang mampu mengakses pelayanan perizinan akan mengurangi dampak
negatif terhadap non legalitas bangunan dan usaha.
Tabel. 4.3 Output KP3M Barru
Tahun Pelayanan Perizianan Untuk Usaha Mikro
Pelayanan Perizinan masyarakat miskin
2010 52 orang 0 orang
2011 82 orang 6 orang
2012 394 orang IMB 150 orang + 231 orang
2013 454 orang 95 orang
Sumber : KP3M Kabupaten Barru
Data yang disajikan dalam tabel diatas menunjukkan peningkatan pemberian layanan
KP3M Barru, peningkatan layanan perizinan dan non perizinan menunjukkan kinerja organisasi
KP3M yang terus membaik. Bukan hanya indicator pemberian layanan yang menjadi kesuksesan
dari KP3M Barru tetapi Minimalisasi jenis perizinan dan focus dari 129 Jenis menjadi 22 jenis,
Kolaboratif dengan melibatkan berbagai pihak dalam mengubah jumlah perizinan juga sangat
menentukan. Rencana aksi dari program KPM3 Kab. Barru dikembangkan melalui strategi dalam
memberikan pelayanan (penyederhanaan izin) sebagai berikut :
a. Melakukan identifikasi regulasi perizinan (Jenis izin, biaya, waktu, prosedur dan
persyaratan) di setiap Instansi melalui Focus Group Discussion yang melibatkan Instansi
teknis, Pelaku usaha (HIPMI, HPPM, PHRI, FORDA UKM, GAPENSI, GAPEKNAS ) dan
LSM serta Lembaga Pemantau Kebijakan Publik (LPKP).
b. Melakukan Kerjasama antara Pemerintah Daerah dengan Asosiasi Pelaku Usaha dalam
peningkatan pelayanan informasi dan pengaduan masyarakat terhadap layanan perizinan.
c. Menciptakan Transparansi Standar pelayanan melalui papan informasi di unit layanan,
tempat strategis di tiap kecamatan, Radio Lokal, website (www.kabbarru.kp3m.go.id) serta
transparansi biaya dengan mencantumkan nilai retribusi pada semua jenis izin.
d. Meningkatkan kualitas SDM melalui Capacity Building yaitu : Penyamaan Persepsi tentang
67
reformasi pelayanan, Service Excellent, Motivasi dan Soft Skill, Mental Spiritual dan Team
Building serta penerapan the best employee of the month.
e. Meningkatkan sarana dan prasarana pelayanan dengan penggunaan teknologi informasi.
Pemangku kepentingan yang terlibat dalam perbaikan layanan perizinan dan non perizinan KP3M
Barru dengan peran yang masing-masing jalankan untuk mempengaruhi kualitas pelayanan dan
kinerja organisasi adalah a) Sumberdaya keuangan untuk pembiayaan program ini berasal dari
APBD Kabupaten Barru dan Kinerja-USAID melalui program Bussines Enabling Environment melalui
perbaikan pelayanan perizinan. b) Sumberdaya teknis : Konsultan ISO, Konsultan Infomasi
Teknologi. c) Sumberdaya Manusia : Aparatur Instansi Teknis, Pelaku Usaha dan masyarakat
lainnya penerima layanan, LSM, Lembaga Pemantau Kebijakan Publik (LPKP), Perguruan Tinggi.
Tantangan yang dihadapi KP3M Barru dalam mengelola perizinan dan non perizinan
terdapat pada layanan perizinan yang dikelolah di SKPD teknis. Dalam mengkoordinasikan perizinan
dan non perizinan tersebut perlu mendapat dukungan dari Pemerintah Daerah dalam perizinan dan
pelimpahan kewenangan. Pendekatan dan penyamaan persepsi melalui berbagai forum diskusi
formal dan informal untuk memudahkan Instansi Teknis menerima dan memahami tujuan
minimalisasi perizinan. Setelah melakukan pendekatan penyamaan persepsi, hal terakhir yang
dilakukan adalah pelimpahan kewenangan penyelenggaraan perizinan ke Instansi Pelayanan
Terpadu Satu Pintu yang di Kabupaten Barru bernama Kantor Pelayanan Perizinan dan Penanaman
Modal (KP3M).
Dalam melakukan koordinasi untuk mendapatkan perizinan di SKPD teknis Kepala KP3M
Barru melakukan pendekatan informal melalui pertemuan di warung kopi diluar jam kerja. Hasilnya
setiap tahun pelimpahan ijin dari SKPD teknis ke KP3M Barru terus dipercaya untuk mengelola
perizinan dan non perizinan, pada tahun 2011 sebanyak 7 Jenis Izin, tahun 2012 meningkat menjadi
9 Jenis Izin, sampai pada tahun 2013 sebanyak 22 Jenis Izin ditambah dengan 8 jenis izin
penanaman modal telah dilimpahkan kewenangannya kepada KP3M.
68
Dalam menyelesaikan permasalahan pelayanan yang masi dirasakan jauh dari kepuasan
masyarakat, seperti pada awal tahun 2014 dengan semangat tersebut maka berbagai macam
metode yang dikembangkan untuk memperoleh perbaikan pelayanan perizinan. Beberapa metode
mobilisasi sumberdaya organisasi yang diterapkan pada KP3M Barru yaitu pendekatan partisipatif,
Rapat, Workshop, Seminar dan FGD, Sosialisasi dan Advokasi via media cetak dan elektronik dan
reporting. pendekatan partisipatif adalah upaya untuk senantiasa melibatkan stakeholder terkait,
baik dari sisi pemberi layanan (pemerintah) maupun dari pihak penerima layanan (Masyarakat)
dalam setiap tahapan kegiatan yang dianggap strategis untuk mengatur arah kebijakan pemerintah
dalam meningkatkan pelayanan publik.
Rapat, Workshop, Seminar dan FGD pertemuan dilaksanakan sebagai bentuk pelaksanaan
kegiatan dan mendapatkan informasi terkini tentang system, prosedur dan mekanisme pelayanan
perizinan. Sosialisasi dan Advokasi via media cetak dan elektronik : Memberitakan semua kegiatan
dan outputnya adalah bentuk sosialisasi kepada multi stake holder sekaligus mengadvokasi
beberapa statement pemda yang mendukung program dan yang tidak memberikan apresiasi yang
sepantasnya. Reporting Setiap kegiatan akan dilaporkan dalam bentuk naratif untuk
pertanggungjawaban program dan bahan evaluasi dalam melaksanakan aktifitas program
selanjutnya.
Hasil yang diperoleh dari metode yang dikembangkan KP3M Barru dapat dilihat pada tabel sebagai
berikut
Tabel. 4.4 Output KP3M Barru
tahun Jumlah Izin nilai investasi penduduk miskin terlayani
2010 ( 590 izin) Rp. 42.823.670.000,- 10,- orang
2011 ( 997 izin) Rp. 92.766.211.775 31,- orang
2012 (4.900 izin) IMB gratis 150 Izin
Rp. 147.039.616.100,- 597 orang
2013 3.225 izin Rp. 1.439.082.141.115, 644 orang
Sumber : KP3M Kabupaten Barru Tahun 2013 Ide penambahan beberapa pertanyaan pada survey Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM)
69
yang lebih fokus terhadap perkembangan isu pelayanan di masyarakat terhadap kinerja pelayanan
perizinan dan masalah lainnya dalam questionnaire IKM telah menjadi acuan dibeberapa Kabupaten
Lainnya.
3. Manfaat Reformasi Birokrasi di daerah
Proses reformasi birokrasi yang berjalan dalam bentuk tata nilai masiga pada KP3M Barru,
berjalan secara alami (belum dibentuk tim Reformasi Birokrasi di Tingkat Kabupaten Barru). Dengan
menggunakan metode-metode yang dipakai USAID ditambah dengan berhasilnya melembagakan
tata nilai Ramah, Pasti dan Gampang (Masiga) berdampak pada kinerja organisasi terus meningkat.
Program yang dicoba dikembangkan didalam reformasi birokrasi melalui perbaikan kinerja
organisasi patut dipotret didalam KP3M Barru.
Antara program kinerja KP3M Barru dengan nilai-nilai organisasi masiga merupakan
kesatuan yang saling mempengaruhi. Semangat kerja yang ditunjukkan staff KP3M Barru
bersumber dari masiga (Ramah, Pasti, dan Gampang) memang berbeda tetapi kinerja organisasi
dipengaruhi Manfaat yang diperoleh banyaknya Jumlah Izin tidak menjamin peningkatan jumlah
pengurusan izin dan nilai investasi, meskipun jumlah izin dikurangi namun tetap berdampak positif
terhadap peningkatan investasi.
1. Penyederhanaan perizinan memiliki pengaruh yang kuat terhadap peningkatan kualitas
pelayanan, Penyederhanaan izin berdampak pada kemudahan birokrasi perizinan baik
penyedia layanan maupun pengguna layanan.
2. Dengan keberpihakan pelayanan perizinan kepada kelompok masyarakat miskin dan
pelaku usaha mikro, akses permodalan ke lembaga perbankan semakin mudah.
3. Dibutuhkan komitmen dan kebersamaan untuk mendukung reformasi pelayanan perizinan
dari semua pemangku kepentingan pelayanan perizinan.
4. Dengan Penerapan Total Quality Management meningkatkan kualitas pelayanan
perizinan.
70
a. Pandangan Publik terhadap Reformasi Birokrasi di Daerah
Layanan satu pintu sudah menjadi program pemerintah, awalnya diterapkan untuk
mengkoordinasikan penanaman modal pada tingkat nasional sampai tingkat derah melalui Kepres
29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal
Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri melalui Sistem Pelayanan Satu Atap dan KepMendagri
No. 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Terpadu Satu Pintu. Program tingkat makro,
meso dan mikro tidak menyebutkan bahwa layanan satu pintu bagian dari Reformasi Birokrasi.
Pemberian layanan satu pintu merupakan program yang melibatkan beberapa kementerian dan
program yang sudah lahir diera reformasi birokrasi sehingga koordinasi dalam pemberian layanan
mendekati program yang diinginkan oleh Reformasi Birokrasi. Pemberian layanan satu pintu sudah
dilaksanakan secara nasional tetapi kesuksesan KP3M Barru dalam melaksanakan program
pelayanan satu pintu tersebut belum diikuti oleh organisasi serupa yang ada didaerah.
KP3M Barru berhasil melaksanakan program pelayanan satu pintu menujukkan bahwa
secara organisasi KP3M Barru berhasil melaksanakan prinsip-prinsip manajemen perubahan yang
ada pada tata nilai “masiga”. “masiga” dapat menjaga konsistensi dan kinerja organisasi, mendorong
perubahan pemberian layanan. Penyederhanaan perizinanan yang melibatkan stakeholder
merupakan kendala yang paling sering dialami oleh pelayanan satu pintu.
Dalam pengambilan pada penelitian KP3M Barru tim peneliti melakukan wawancara
terhadap stakeholeder yang menggunakan layanan perizinan. Pertanyaan yang diberikan kepada
stakeholder menurut bapak apakah pelayanan KP3M Barru sudah baik jawaban yang diberikan
“sudah bagus sekali pelayanannya dan masyarakat luas juga sudah tahu dimana kantornya KP3M
Barru, sudah sering juga sosialisasi. Pertanyaan diberikan kepada para pedagang yang ada di Pasar
Central Barru. Meskipun dalam memberikan jawaban tidak semua pedagang memberikan
pernyataan tahu dengan KP3M Barru.
71
Pertanyaan yang diberikan kepada responden pendapat bagaimana pelayanan KP3M?
jawaban
“pelayanannya KP3M barru cukup bagus, mereka jemput bola – petugasnya mendatangi
ke pemilik usaha (pasar)”.
Pemberian layanan melalui jemput bola mampu diterapkan pada KP3M Barru, pada akhir tahun 2013
sedang dikembangkan layanan sms untuk mengetahui apakah izin yang diberikan sudah diproses
atau belum. Responden memberikan jawaban tambahan terhadap kualitas layanan yang sudah
diberikan oleh KP3M Barru
“Sudah bagus sekali pelayanannya dan masyarakat luas juga sudah tau dimana
kantornya KP3M Barru. dan sudah sering juga sosialisasi”.
Responden juga sempat mengekspresikan bagaimana layanan perizinan yang berubah
“Sangat mudah, itu karena pelayanannya ekstra. Klu masyarakatnya belum paham maka
petugasnya langsung turun kemudian tidak ada keluhan masyarakat mengenai biaya
tambahan dalam mengurus izin-izin”
Jawaban yang diberikan responden terhadap pelayanan satu pintu di KP3M Barru merupakan
ekspresi bagaimana keberhasilan reformasi birokrasi melalui tata nilai yang berhasil dikembangkan
oleh KP3M Barru. Metode-metode yang mampu dikembangkan dalam mengatasi setiap tantangan
yang dihadapi KP3M Barru, menjadi bukti yang berbeda tentang adanya inovasi yang muncul secara
alami.
b. Manfaat Reformasi Birokrasi terhadap Pelayanan Publik
Program KP3M Barru Tahun 2014 sedang membangun Masiga Center sebagai sentra
pelayanan publik yang lebih dikhususkan pada pelayanan perizinan dan non perizinan. Pelayanan
yang sementara dijalankan KP3M Barru akan direplikasikan idenya dan sistem pada unit layanan
publik yang skop pelayanannya lebih besar. Semangatnya ingin menjadikan Masiga Center sebagai
pusat pelayanan terhadap semua perizinan yang ada di Kabupaten Barru. Pada Tahun 2014
72
sementara berjalan koordinasi pelayanan administrasi kependudukan dan Catatan Sipil, Pelayanan
Administrasi Ketenagakerjaan untuk memperkuat pelayanan Masiga Center. yang ditandai dengan
pembentukan sentra pelayanan publik (Masiga Center) yang akan mengintegrasikan tempat
pelayanan publik.
Motivasi masyarakat /pelaku usaha untuk melakukan pengurusan izin semakin meningkat
yang ditandai dengan meningkatnya jumlah penerbitan izin, hal ini juga di sebabkan oleh adanya
pergeseran paradigma mengurus izin yang sangat sulit menjadi semakin mudah yang dengan
kepastian biaya, waktu dan kemudahan prosedur pengurusan izin.
Pelibatan stakeholeder dalam mengukur kinerja organisasi melalui survey Indeks
Kepuasan Masyarakat(IKM) yang terus dilakukan di lingkungan KP3M Barru. Hasil IKM pada tahun
2012 dengan nilai 77,34 dengan kategori B atau kategori baik, pada tahun 2013 dengan nilai 82,02
dengan kategori A atau kategori sangat baik. Menurut pak faisal salah satu staff KP3M Barru “hasil
survey belum memberikan kepuasan kepada pegawai” kami terus melakukan pembenahan dengan
terus menjaga komitmen terhadap kinerja KP3M Barru.
Mereplikasi ide dan system pada unit layanan publik lainnya yang ada di Kabupaten Barru
(Pelayanan administrasi kependudukan dan Catatan Sipil, Pelayanan Administrasi
Ketenagakerjaan) yang ditandai dengan pembentukan sentra pelayanan publik (Masiga Center)
yang akan mengintegrasikan tempat pelayanan publik. Masiga tidak lagi hanya menjadi makna
Ramah, Pasti dan Gampang tetapi menjadi suatu kesatuan dari bentuk pelayanan yang
mementingkan kepentingan masyarakat dalam memberikan layanan. Dalam grand design masiga
senter akan dikembangkan menjadi satu unit organisasi yang non structural dibawah koordinasi
KP3M Barru dengan dikuatkan Peraturan Daerah.
Perbaikan layanan publik melalui masiga senter menjadi ide yang baik bagi gerakan
reformasi birokrasi pada Pemerintah Daerah. Kesadaran yang tumbuh dari dalam diri organisasi
terhadap kualitas pelayanan dan komitmen terhadap pemberian layanan sangat penting. Potret
73
Manajemen perubahan yang diilhami Ramah Pasti dan Gampang dicantumkan didalam Reformasi
Birokrasi tidak dapat diukur seperti dengan program mikro tetapi akan sangat menentukan terjadinya
kualitas kinerja organisasi.
Sekalipun fasilitasi yang USAID dilaksanakan juga secara bersamaan pada Kab. Luwu
Utara, Kab. Soppeng dan Kab. Sinjai, tetapi belum menonjol seperti pada KP3M Kabupaten Barru.
Ini menunjukkan betapa pentingnya membangun budaya kerja disetiap instansi sebelum
merencanakan program-program teknis. Budaya organisasi sangat unik dan memerlukan banyak
waktu untuk melembagakan tata nilai organisasi tersebut.
74
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Gagasan Reformasi Birokrasi Kabupaten Bantaeng melalui kepemimpinan yang dimiliki
oleh Bupati dapat mengubah pelayanan yang telah lama berjalan di Kabupaten Bantaeng
sedangkan Kabupaten Barru digagas melalui program perbaikan layanan publik USAID,
pada saat bersamaan organisasi KP3M Barru dapat mengidentifikasi kebutuhan dalam
pemberian layanan.
2. Implementasi; program Reformasi Birokrasi yang dijalankan dari kepemimpinan Bupati
lebih cepat terlaksana karena langsung dijalankan melalui pelayanan satu pintu Kabupaten
Bantaeng sedangkan KP3M Barru insiatif perubahannya dimulai sejak tahun 2011 dengan
melibatkan stakeholder dengan metode yang berbeda setiap peran stakeholder.
3. Manfaat Reformasi Birokrasi di Kabupaten Bantaeng telah mendatangkan investor dari luar
melalui jaringan yang dimiliki oleh Bupati Nurdin Abdullah sedangkan di Kabupaten Barru
mampu mendorong pertumbuhan dunia usaha yang ada dengan fasilitas perizinan yang
ringan dan mudah diproses.
B. Saran
1. Reformasi Birokrasi yang ada pada Kabupaten Bantaeng dan Kabupaten Barru merupakan
program yang belum terkoordinasi dengan baik dalam Reformasi Birokrasi sehingga
metode yang digunakan berbasis pada penyelesaian problem birokrasi yang dialami oleh
Kabupaten Bantaeng dan Kabupaten Barru.
2. Model Reformasi Birokrasi Kabupaten Bantaeng dan Kabupaten Barru hanya sebagian
kecil dari seluruh cakupan program Reformasi Birokrasi, belum terstruktur dengan baik
karena Reformasi Birokrasi yang dijalankan tidak berdasarkan peraturan yang ditentukan
oleh Kementrian PAN-RB tetapi berdasarkan inisiatif pemerintah daerah masing-masing
sehingga pelaksanaan Reformasi Birokrasi belum merata di seluruh SKPD yang ada di
75
Kabupaten tersebut. Diperlukan identifikasi internal organisasi yang melibatkan setiap staff
yang ada di organisasi untuk dapat memberikan pengaruh program reformasi birokrasi
secara baik dan tuntas.
3. Pemerintah pusat sebagai penyusun kebijakan reformasi birokrasi seyogyanya dalam
menyusun kebijakan juga memperhatikan praktek-praktek inovatif yang telah dilaksanakan
pemerintah daerah dalam pelaksanaan reformasi birokrasi dengan tetap mengacu pada
potensi dan kondisi daerah yang bersangkutan guna kelancaran program reformasi
birokrasi. Pemerintah harus mendorong reformasi birokrasi yang sifatnya substantif bukan
pada aspek prosedural sehingga lebih mudah diterapkan oleh pemerintah daerah.
v
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Syarifuddin. 2001. Manajemen Sumebr Daya Manusia: Strategi Keunggulan Kompetetitif. BPFE, Yogyakarta.
Arifin, Noor. 1999. Performing Organization: Sebuah Format Pengembangan Organisasi dalam Era Peruabahan. JSB, Vol.7, No.4, P.65-76.
Berger, Lance A. 1994. The Change Management Handbook “A Road Map to Corporate transformation”. USA. Richard D. Irwin Inc.
Caiden, Gerald E., 1969. Administrative Reform. Chicago, USA. Allen Lane The Penguin Press. Cocharan, John K; Max L.Bromley & Matthew J.Swando. 2002. Sheriff’s Deputies’ Receptivity to
organizational Change. Policing: An International Jurnal of polici strategies & Management , Vol. 25, No. 23, P.507-529.
Cohen John M., Peterson Stephen B., 1999. Administrative Decentralization (strategies Developing Countries). USA. Kumarian Press.
Cushway, Barry dan Lodge, Derek. 1995. Perilaku dan Desain Organisasi. Jakarta. PT. Gramedia. Dahl, Robert, !967. The Science of Public Administration, dalam Jay M. Shafritz and Albert Hyde,
Classic of Public Administration, Brooks Cole Publishing, California. Diamond, Larry, 2003. Developing Democratie Toward Consolidation (Edisi Terjemahan) IRE
Press, Yogyakarta. Dobers, Peter & Lars Stannegard. 2001. Loveable Network-A Strory of Affection. Attaraction and
Treachery. Journal of Oraganizational Change, Vol.14, No.1,p.28-49. Drenth, P.J.D., H. Thierry, P.J. Willems & C.J. de Wolff. 1984. Handbook of Work and Organizational
Psychology. John Wiley & Sons, Ltd., Amsterdam. Dwiyanto, Agus. 2011. Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi. Jakarta.
Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama.
Espejo, Raul. 1996. Organizational Transpormation and Learning. John Wiley & Son Ltd. Frederickson H. George. 1997. The Spirit of Public Administration. San Francisco, Jossey-Bass
Publisher. Gilley, Jerry W. and Eggland, Steven A. 1989. Principles of Human Resource Development. Addison-
Wesley Publishing Company. Gilley, Jerry W. and Maycunich, Ann. 1999. Beyond The Learning Organization. Massachusetts.
Perseus Books. Handoko, Hani. 2004. Strategi Organisasi.Amara Books, Yograyakarta. Hatch, Mary Jo. 1997. Organization Theory. New York. Oxford University Press. Hill, Larry B. (ed) 1992. The State of Public Bureaucracy. New York. M.E. Sharpe, Inc. Ivancevich, John M. & Michael T.Matteson. 1987. Organizational Behaviour and management.
Business Publikation Inc., Plano, Texas. Jones, Gareth R. 1995. Organizational Theory : Tex and Cases. Addision Wesley, Texas. Jones, Gareth R. 1995. Organizational Theory, Text and Cases (second edition). USA. Addison-
Wesley Publishing Company. Kerley, Richard. 1994. Managing in Local Government. London, Macmillan. Kotter, P.John. 1996. Leading Change. Harvard Bussiness School press Leach, at. Al. 1994. The Changing orgasitaion and Management of Local Government. The Mac
Millan Press LTD. England Leemans Arne F. 1976. The Management Of Change In Government. Martinus Nijhoff/The
Hague/1976. Lembaga Administrasi Negara. 2003. Penyusunan Standar Pelayanan Publik.
vi
Lubis, S.B. Hari dan Huseini Martani. Teori Organisasi (Suatu Pendekatan Makro). PAU Ilmu-Ilmu Sosial UI, Jakarta, 1987.
McBeath, Ian and Jeffrey Bacha. 2001.Mergers and Acuisitions: A Consideration of the Drivers and Hurdles. Jurnal of Commercial Biotechnology, VOl. 8, No.2,p.147-153
Melcher Arlyn J. 1995. Struktur dan Proses Organisasi. Jakarta, Rineka Cipta. Osborne, David and Gaebler, Ted. 1992. Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit is
Transforming The Public Sector. Addison Wesley Publishing Company, Inc. (Edisi Terjemahan, PPM, Jakarta,2000)
Osborne, David and Plastrik, Peter. 1997. Banishing Bureaucracy: The Five Strategis For Reinventing Government. Addison Wesley Publishing Company, Inc. (Edisi Terjemahan, PPM/PPB, Jakarta,1997)
Pasolong, Harbani. 2011. Teori Administrasi Publik. Bandung: Alfabeta.
Pierre Jon (ed). 1995. Bureaucracy in The Modern State (An Introduction to Comparative Public Administration. USA. Edwar Elgar Publishing Limited.
Robbins, Stephen P. 1990. Organization Theory: Structure, Design and Applications. Prentice-Hall, Inc.
Roberston, Peter J.1994. The Relationship between Work Setting and Employe Behaviour : A Study of a Criticak Lingkage in the Organizational Chane Process. Journal of Organizatinal Change Management., Vol 7 No.3 p.22-43.
Said, Mas’ud. 2007. Birokrasi di Negara Birokratis. Malang: UMM Press.
Santosa, Dr. Panji. 2008. Administrasi Publik, Teori, dan Aplikasi Good Governance. Bandung. PT. Refika Aditama.
Sarundajang. 2003. Birokrasi Dalam Otonomi Daerah: Upaya Mengartasi Kegagalannya. Surya Multi Grafika, Jakarta.
Savage, Charles M. 5th Generation Management “Co-Creating Through Virtual Enterprising, Dynamic Teaming, and Knowledge Networking” Boston, Butterworth-Heinemann. 1996.
Schein, Edgar H. 1992. Organizational Culture and Leadership (Second Edition). Jossey-Bass Inc. USA.
Sedarmayanti. 2000. Restrukturisasi dan Pemberdayaan Organisasi. Mandar Maju. Bandung Setiyono, Budi, 2004. Birokrasi Dalam Perspektif Politik dan Adminstrasi. Puskodak, UNDIP. Siagian, S.P. 1995. Teori Pengembangan Organisasi. Bumi Aksara, Jakarta. Siagian, Sondang P. 1986. Organisasi, Kepemimpinan dan Perilaku Administrasi. Jakarta. Gunung
Agung. Stewart., Stoker., 1995. Local Government in The 1990s. England. The MacMillan. Press Ltd. Stillman II Richard J., 1992. Public Administration, Concepts and Cases (Fifth Edition). Boston.
Houghton Mifflin Company Suryabrata Sumadi. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada. Szamosi, Lestlie T. and Linda Duxbury. 2002. Development of a Measure to Assess Organizational
Chane. Junal of Organizational Change Managemant, VOl.15 No.2p. 184-201. Thoha, Miftah. 1990. Perilaku Organisasi. Jakarta, Rajawali Pers. Thoha, Miftah. 1993. Pembinaan Organisasi; Proses Diagnosa dan Intervensi. Jakarta, Rajawali
Pers. Thoha, Miftah. 2002. Pembinaan Organisasi: Proses Diagnosa dan Intervensi. Rajawali Press,
Jakarta. Thoha, Miftah. 2004. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Rajawali Press, Jakarta. Thoha, Miftah. 2007. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada. Thoha, Miftah. ed. 1999. Administrasi Negara, Demokrasi dan Masyarakat Madani. Jakarta,
Lembaga Administrasi Negara
vii
Warsito dan Yuwono, Teguh (Editor). 2003. Otonomi Daerah (Capacity Building dan Penguatan Demokrasi Lokal). Semarang. UNDIP
Wasistiono Sadu. 2001. Kapita Selekta Manajemen Pemerintahan Daerah. Bandung, Alqaprint Jatinangor.
Wasistiono, Sadu. 2003. Kapita Selekta Manajemen Pemerintahan Daerah (edisi revisi). Fokusmedia, Bandung.
Widodo, Joko, 2001. Good Governance. Insan Cendekia, Surabaya. Winardi. 3003. Teori Organisasi dan Pengorganisasian. Rajawali Pers, Jakarta. Peraturan dan Perundang-Undangan Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 37 Tahun
2013 tentang Pedoman Penyusunan Road Map Reformasi Birokrasi Pemerintah Daerah
Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 80 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014
Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2012 tentang Kerangka Nasional Peningkatan Kapasitas Pemerintah Daerah