laporan praktikum farmakoterapi iii hd
TRANSCRIPT
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI III
HEMODIALISA
Disusun Oleh :
Kelas A/Kelompok 3
1. Rara Amalia F G1F0100032. Ifa Mutiatur R G1F0100113. Tika Pratiwi G1F0100194. Adibah G1F0100275. Anisa Dewi R G1F0100376. Yurissa Karimah G1F0100497. Desy Nawangsari G1F0100678. Taufiq Hidayat G1F0100739. Diah Nurhidayati G1F01007710. Aldi Permadi G1F010079
Dosen Pembimbing : Tunggul Adi Purwonugroho M.Sc., Apt.
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDRIMAN
JURUSAN FARMASI
PURWOKERTO
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1. Pengertian Hemodialisa
Menurut Price dan Wilson (1995) dialisa adalah suatu proses dimana solute dan
air mengalami difusi secara pasif melalui suatu membran berpori dari kompartemen cair
menuju kompartemen lainnya. Hemodialisa dan dialisa peritoneal merupakan dua teknik
utama yang digunakan dalam dialisa. Prinsip dasar kedua teknik tersebut sama yaitu
difusi solute dan air dari plasma ke larutan dialisa sebagai respon terhadap perbedaan
konsentrasi atau tekanan tertentu.
Hemodialisa didefinisikan sebagai pergerakan larutan dan air dari darah pasien
melewati membran semipermeabel (alat dialisis) ke dalam dialisat (Tisher dan Wilcox,
1997). Alat dialisis juga dapat digunakan untuk memindahkan sebagian besar volume
cairan. Pemindahan ini dilakukan melalui ultrafiltrasi dimana tekanan hidrostatik
menyebabkan aliran yang besar dari air plasma (dengan perbandingan sedikit larutan)
melalui membran semipermeabel. Hemodialisa telah menjadi metode yang dominan
dalam pengobatan gagal ginjal akut dan kronik di Amerika Serikat (Tisher dan Wilcox,
1997).
Hemodialisa memerlukan sebuah mesin dialisa dan sebuah filter khusus yang
dinamakan dializer (suatu membran semipermeabel) yang digunakan untuk
membersihkan darah, darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan beredar dalam sebuah
mesin diluar tubuh. Hemodialisa memerlukan jalan masuk ke aliran darah, maka dibuat
suatu hubungan buatan antara arteri dan vena (fistula arteriovenosa) melalui pembedahan
Pasien hemodialisa sangatlah tergantung dengan mesin semasa sisa umurnya (NKF,
2006).
2. Indikasi Hemodialisa
Price dan Wilson (1995) menerangkan bahwa tidak ada petunjuk yang jelas
berdasarkan kadar kreatinin darah untuk menentukan kapan pengobatan harus dimulai.
Kebanyakan ahli ginjal mengambil keputusan berdasarkan kesehatan penderita yang terus
diikuti dengan cermat sebagai penderita rawat jalan. Pengobatan biasanya dimulai apabila
penderita sudah tidak sanggup lagi bekerja, menderita neuropati perifer atau
memperlihatkan gejala klinis lainnya. Pengobatan biasanya juga dapat dimulai jika kadar
kreatinin serum diatas 6 mg/100 ml pada pria , 4 mg/100 ml pada wanita dan glomeluros
filtration rate (GFR) kurang dari 4 ml/menit. Penderita tidak boleh dibiarkan terus
menerus berbaring ditempat tidur atau sakit berat sampai kegiatan sehari-hari tidak
dilakukan lagi.
Menurut konsensus Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) (2003) secara
ideal semua pasien dengan Laju Filtrasi Goal (LFG) kurang dari 15 mL/menit, LFG
kurang dari 10 mL/menit dengan gejala uremia/malnutrisi dan LFG kurang dari 5
mL/menit walaupun tanpa gejala dapat menjalani dialisis. Selain indikasi tersebut juga
disebutkan adanya indikasi khusus yaitu apabila terdapat komplikasi akut seperti oedem
paru, hiperkalemia, asidosis metabolik berulang, dan nefropatik diabetik.
Kemudian Tisher dan Wilcox (1997) menyebutkan bahwa hemodialisa biasanya
dimulai ketika kreatinin klirens menurun dibawah 10 mL/menit, ini sebanding dengan
kadar kreatinin serum 8–10 mg/dL. Pasien yang terdapat gejala-gejala uremia dan secara
mental dapat membahayakan dirinya juga dianjurkan dilakukan hemodialisa. Selanjutnya
Tisher dan Wilcox (1997) juga menyebutkan bahwa indikasi relatif dari hemodialisa
adalah azotemia simtomatis berupa ensefalopati, dan toksin yang dapat didialisis.
Sedangkan indikasi khusus adalah perikarditis uremia, hiperkalemia, kelebihan cairan
yang tidak responsif dengan diuretik (oedem pulmonum), dan asidosis yang tidak dapat
diatasi.
3. Tujuan Hemodialisa
Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan hemodialisa:
1. Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-sisa
metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang lain.
2. Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya
dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.
3. Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal.
4. Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lain.
BAB II
ISI
1. Proses Hemodialisa
Pada prinsipnya hemodialisa menempatkan darah berdampingan dengan cairan
dialisat atau pencuci yang dipisahkan oleh suatu membran atau selaput semipermeabel.
Membran ini dapat dilalui oleh air dan zat tertentu atau zat sampah. Proses ini disebut
dialisis yaitu proses berpindahnya air atau zat, bahan melalui membran semipermeabel
(Sukandar, 2006).
Hemodialisis adalah terapi pengganti ginjal pada pasien gagal ginjal akut, gagal
ginjal kronis, dan gagal ginjal terminal melalaui mesin. Hemodialisis temasuk jenis
membran dialisis selain cangkok ginjal. Kelebihan dengan hemodialisis adalah pasien
hanya datang ke rumah sakit minimal 2 kali perminggu sedangkan cangkok ginjal hanya
dapat digantikan dengan ginjal asli yang diberikan oleh donor ginjal. Terapi hemodialisa
adalah suatu teknologi tinggi sebagai terapi pengganti untuk mengeluarkan sisa-sisa
metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah manusia seperti air, natrium,
kalium, hidrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui membran semi
permeabel sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi
proses difusi, osmosis dan ultra filtrasi (Sukandar, 2006).
Mekanisme proses pada mesin hemodialisis, darah pompa dari tubuh masuk ke
dalam mesin dialisis lalu dibersihkan pada dializer (ginjal buatan), lalu darah pasien yang
sudah bersih dipompakan kembali ketubuh pasien. Mesin dialisis yang paling baru di
pasaran telah dilengkapi oleh sistem koputerisasi dan secara terus menerus memonitor
array safty-critical parameter, mencangkup laju alir darah dan dialysate, tekanan darah,
tingkat detak jantung, daya konduksi, pH dan laim-lain. Bila ada yang tidak normal,
alarm akan berbuny, dua diantara mesin dialisis yang paling besar adalah fresenius dan
gambro. Dalam hemodialisis memerlukan akses vaskular (pembuluh darah) hemodalisis
(AVH) yang cukup baik agar dapat diperoleh aliran darah yang cukup besar, yaitu
diperlukan kecepatan darah sebesar 200 – 300 ml/menit secara kontinyu selama
hemodialis 4-5 jam. AVH dapat berupa kateter yang dipasang di pembuluh darah vena di
leher atau paha yang bersifat temporer. Untuk yang permanen dibuat hubungan antara
arteri dan vena, biasanya di lengan bawah disebut arteriovenous fistula. Kemudian darah
dari tubuh pasien masuk kedalam sirkulasi darah mesin hemodialisis yang terdiri dari
selang inlet/arterial (ke mesin) dan selang outlet/venous (dari mesin ke tubuh). Kedua
ujungnya disambung ke jarum dan kanula yang ditusuk ke pembuluh darah pasien. Darah
setelah melalui selang inlet masuk ke dializerr. Jumlah darah yang menempati sirkulasi
darah di mesin berkisar 200ml. Dalam dializer darah dibersihkan, sampah-sampah secara
kontinyu menembus membran dan menyebrang ke kompartemen dialisat. Di pihak lain
cairan dialisat mengalir dalam mesin hemodialisis dengan kecepatan 500ml/menit masuk
ke dalam dializer pada kompartemen dialisat. Cairan dialisat merupakan cairan yang
pekat dengan bahan utama elektr;it dan glukosa, cairan ini dipompa masuk ke mesin
sambil dicampur dengan air bersih yang telah mengalami proses pembersihan yang rumit
(water treatment). Selama proses hamodialisis, darah pasien diberi heparin agar tidak
membeku bila berada diluar tubuh (Brunner dan Suddarth, 2001).
Prinsip hemodialisis sama seperti metoda dialisis. Melibatkan difusi zat terlarut ke
sembarang suatu selaput semipermiabel. Prinsip pemisahan menggunakan membran ini
terjadi pada dializer. Darah yang mengandung sisa-sisa meabolisme dengan konsentrasi
yang tinggi dilewatkan pada membran semipermiabel yang terdapat dalam dializer,
dimana dalam dilizer tersebut dialirkan dialisat dengan arah yang berlawanan (counter
current) (Brunner dan Suddarth, 2001).
Mesin hemodialisis (HD) terdiri dari pompa darah, sistem pengaturan larutan
dialisat, dan sistem monitor. Pompa darah berfungsi untuk mengalirkan darah dari tempat
tusukan vaskuler ke alat dializer. Dializer adalah tempat dimana proses HD berlangsung
sehingga terjadi pertukaran zat-zat dan cairan dalam darah dan dialisat. Sedangkan
tusukan vaskuler merupakan tempat keluarnya darah dari tubuh penderita menuju dializer
dan selanjutnya kembali lagi ke tubuh penderita. Kecepatan dapat di atur biasanya
diantara 300-400 ml/menit. Lokasi pompa darah biasanya terletak antara monitor tekanan
arteri dan monitor larutan dialisat. Larutan dialisat harus dipanaskan antara 34-39 C
sebelum dialirkan kepada dializer. Suhu larutan dialisat yang terlalu rendah ataupun
melebihi suhu tubuh dapat menimbulkan komplikasi. Sistem monitoring setiap mesin HD
sangat penting untuk menjamin efektifitas proses dialisis dan keselamatan (Brunner dan
Suddarth, 2001).
Pada saat proses hemodialisa, darah kita akan dialirkan melalui sebuah saringan
khusus (dializer) yang berfungsi menyaring sampah metabolisme dan air yang berlebih.
Kemudian darah yang bersih akan dikembalikan ke dalam tubuh. Pengeluaran sampah
dan air serta garam berlebih akan membantu tubuh mengontrol tekanan darah dan
kandungan kimia tubuh jadi lebih seimbang (Sukandar, 2006).
Obat-obatan dan cairan yang sering digunakan pada pasien hemodialisa, diantaranya :
Obat-obatan hemodialisa : heparin, frotamin, lidocain untuk anestesi.
Cairan infuse : NaCl 0,9%, Dex 5% dan Dex 10%.
Dialisat
Desinfektan : alcohol 70%, Betadin, Sodium hypochlorite 5%
Obat-obatan emergenci (Bongard, 1994).
2. Pemberian Eritropoietin (EPO) dan Transfusi pada Pasien Hemodialisa
Anemia sering dijumpai pada sebagian besar pasien gagal ginjal kronik (CKD),
biasanya mulai terjadi bila LFG (laju filtrasi glomerulus) turun sampai 35ml/menit.
Walaupun penyebab anemia pada CKD terjadi karena defisiensi eritropoietin (EPO) tetapi
masih ada faktor lain yang dapat mempermudah terjadinya anemia antara lain
menurunnya daya survival sel darah merah, inhibisi sumsum tulang terutama oleh PTH,
kehilangan darah intestinal, dan paling sering defisiensi besi dan folat. Anemia pada CKD
mempengaruhi kualitas hidup pasien dan menyebabkan terjadi peningkatan morbiditas
dan mortalitas. Penatalaksanaan anemia meliputi beberapa hal, yaitu terapi EPO,
pemberian transfusi darah, serta mengidentifikasi dan mencari etiologinya (Esbach,
2000).
A. Pemberian EPO
Eritropoietin (EPO) merupakan suatu glikoprotein hormon dengan berat
molekul 30-39 kD yang akan terikat pada reseptor spesifik progenitor sel darah
merah yang selanjutnya memberi sinyal merangsang proliferasi dan diferensiasi.
Sebaliknya bila terjadi peningkatan volume sel darah merah di atas normal misalnya
oleh karena transfusi, aktivitas eritropoietin di sumsum tulang akan berkurang
(Christensen et al, 1966; Miller, 1995). Eritropoietin terutama dihasilkan oleh
peritubular interstitial (endothelial) ginjal (± 90%) dan sisanya (10- 15%) dihasilkan
di hati. Produksi EPO akan meningkat pada keadaan anemia ataupun hipoksia
jaringan (Brumariu, 2000).
Salah satu pengobatan anemia pada pasien hemodialisis kronik yaitu terapi
besi dan pemantauan status besi. Bila status besi kurang, maka harus diberikan terapi
besi terlebih dahulu sebelum diberikan terapi EPO. Terapi besi intravena merupakan
cara pemberian besi yang paling baik dibandingkan suntikan IM maupun oral,
terutama pada pasien yang mendapat EPO. Stimulasi eritropoiesis yang kuat pada
terapi EPO menyebabkan kebutuhan besi meningkat dengan cepat yang tidak
tercukupi oleh asupan besi oral.
Indikasi terapi EPO bila Hb <>> 100 ug/L dan ST > 20%) dan tidak ada
infeksi berat. Kontraindikasi terapi bila terdapat reaksi hipersensitivitas terhadap
EPO dan pada keadaan hipertensi berat. Hati- hati pada keadaan hipertensi yang
tidak terkendali, hiperkoagulasi dan keadaan overload cairan.
1. Terapi induksi EPO.
Mulai dengan 2000-4000 IU/xhemodialisis subkutan, selama 4 minggu, Target
respons yang diharapkan adalah Ht naik 2-4% dalam 2-4 minggu atau Hb naik
1-2g/dL dalam 4 minggu. Kadar Hb dan Ht dipantau setiap 4 minggu. Bila target
respons tercapai, pertahankan dosis EPO sampai target Hb tercapai (> 10 g/dL).
Bila target belum tercapai naikkan dosis EPO 50 %. Namun bila Hb naik terlalu
cepat, 8 g/dL dalam 4 minggu turunkan dosis EPO 25 %. Selama terapi induksi
EPO ini status besi di pantau setiap bulan.
2. Terapi pemeliharaan EPO.
Diberikan bila target Hb sudah tercapai > 10 g/dL atau Ht > 30%. Angka ini
lebih rendah dibanding panduan DOQI (Dialysis Outcomes Quality Initiative)
yang menargetkan Hb 11-12 g/dL dan Ht 3336%. Dosis pemeliharaan EPO yang
dianjurkan 1-2 kali 2000 IU/minggu. Selama terapi pemeliharaan Hb/Ht
diperiksa setiap bulan dan status besi setiap 3 bulan.
3. Bila dengan terapi pemeliharaan EPO Hb mencapai >12 g/dL , dosis EPO
diturunkan sebanyak 25%.
4. Terapi pemeliharaan besi
Bertujuan untuk menjaga kecukupan persediaan besi untuk eriptropoiesis selama
pemberian terapi EPO, Target terapi menjaga nilai Feritin serum dalam batas
>100 ug/L - <500>20% - <40%.>
Dosis terapi pemeliharaan besi:
- IV : Iron Dextran 50 mg/minggu
Sodium Ferric Gluconate Complex 62,5 mg 2x /minggu
- IM : Iron Dextran 80 mg setiap 2 minggu
Selama terapi pemeliharaan besi, status besi diperiksa setiap 3 bulan. Bila
ditemukan:
- Status besi sesuai target: lanjutkan dosis terapi pemeliharaan besi
- FS > 500ug/L atau ST >40%, suplementasi besi di stop selama 3 bulan. Bila
setelah 3 bulan pemeriksaan ulang FS <500>.
Respons Terapi EPO Tidak Adekuat
Pada sebagian kecil pasien yang mendapat terapi EPO gagal mencapai
kenaikan Hb atau Ht yang dikehendaki. Ada banyak faktor yang mempengaruhi
respons EPO. Sebab yang paling sering dijumpai adalah defisiensi besi fungsional.
Di samping itu keadaan hiperparatiroid sekunder dapat menurunkan respons EPO
karena hormon ini mengganggu eritropoeisis pada sumsum tulang. Sebab lain
misalnya intoksikasi Aluminium yang mengganggu absorbsi besi dan menurunkan
respons seluler besi. Adanya inflamasi, infeksi atau penyakit keganasan akan
menurunkan respons terapi EPO. Berbagai sebab lainnya adalah perdarahan kronik,
dialisis tidak adekuat, malnutrisi, defisiensi folat, hemoglobinopati, hemolisis dan
penyakit mielodisplasia.
Efek samping terapi EPO berhubungan dengan hipertensi, kejang dan
hipersensitivitas. Hipertensi dan kejang lebih sering terjadi pada saat terapi induksi
EPO, biasanya bila kenaikan Hb terlalu cepat.
Terapi Adjuvan yang dapat Meningkatkan Optimalisasi Terapi EPO
Beberapa obat di bawah ini dapat meningkatkan optimalisasi terapi EPO, yaitu:
Asam folat
Vitamin B6 dan Vitamin B12
Vitamin C, terutama bermanfaat pada anemia defisiensi besi fungsional yang
mendapat terapi EPO
Vitamin D, mempunyai efek langsung terhadap prekursor eritroid
Vitamin E, mencegah induksi stres oksidatif yang diakibatkan terapi besi intra
vena.
Preparat androgen: bersifat hepatotoksik, karena itu harus digunakan dengan
hati hati
B. Transfusi Darah
Tranfusi darah dapat diberikan pada keadaan khusus
1. Indikasi
a. Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodianamik
b. Tidak memeungkinkan menggunakan EPO dan Hb < 7 g/dL
c. Hb < 8 g/dL dengan gangguan hemodianamik
d. Pasien dengan defisiensi besi yang akan deprogram terapi EPO ataupun
yang telah mendapat EPO tetapi respon belum adekuat, sementara preparat
besi IV / IM belum tersedia, dapat diberikan tranfusi darah dengan hati –
hati.
2. Target
Target pencapaian Hb dengan tranfusi 7 – 9 d/dL ( tidak sama dengan target Hb
pada terapi EPO.
3. Tranfusi pada calon resipien transplantasi
Pada kelompok pasien yang deprogram untuk transplantasi ginjal, pemberian
tranfusi darah sedapat mungkin dihindari (Pernefri, 2001).
Transfusi darah memiliki risiko terjadinya reaksi transfusi dan penularan
penyakit seperti Hepatitis virus B dan C, Malaria, HIV dan potensi terjadinya
kelebihan cairan (overload). Disamping itu transfusi yang dilakukan berulangkali
menyebabkan penimbunan besi pada organ tubuh. Karena itu transfusi hanya
diberikan pada keadaan khusus, yaitu:
Perdarahan akut dengan gejala hemodinamik
Pasien dengan defisiensi besi yang akan diprogram terapi EPO atau yang telah
dapat terapi EPO tapi respons belum adekuat, sementara preparat besi IV/IM
belum tersedia. Untuk tujuan mencapai status besi yang cukup sebagai syarat
terapi EPO, transfusi darah dapat diberikan dengan hati-hati.
Target pencapaian Hb dengan transfusi 7-9 g/dL, jadi tidak sama dengan
target pencapaian Hb pada terapi EPO. Transfusi diberikan dalam bentuk Packed
Red Cell, untuk menghindari kelebihan cairan diberikan secara bertahap bersamaan
dengan waktu hemodialisis. Bukti klinis menunjukkan bahwa pemberian transfusi
sampai Hb 10-12 g/dL tidak terbukti bermanfaat dan menimbulkan peningkatan
mortalitas (Pernefri, 2001).
3. Tatalaksana Kondisi Khusus Pasien Hemodialisa
a. Hipoglikemik dan Hiperglikemik
Pasien diabetes yang menjalankan hemodialisis merupakan kelompok besar
pasien gagal ginjal terminal di negara berkembang, yang meningkatkan angka
kesakitan dan angka kematian dibandingkan pasien hemodialisis yang nondiabetes.
Lebih dari 40% pasien yang menjalankan dialisis adalah pasien diabetes. Terapi
pengganti ginjal pada pasien diabetes dapat berupa hemodialisis, peritonial dialisis
dan transplantasi ginjal. Kebutuhan insulin pada pasien diabetes setelah hemodialisis
pemeliharaan bervariasi, dan penting untuk monitor gula darah. Banyak pasien
diabetes dengan gagal ginjal terminal terjadi penurunan kebutuhan insulin (Dikow,
2005).
Banyak pasien diabetes pada awal hemodialisis membutuhkan insulin, dan
sebagian kontrol gula darah dengan sulfonilurea. Sejumlah glukosa akan bergeser
dari darah ke kompartemen dialisat, diperkirakan 25-30 mg setiap kali prosedur
hemodialisis (Sukandar, 2006). Hipoglikemia dapat terjadi pada pasien diabetes saat
hemodialisis, hal ini disebabkan karena :
1. Menurunnya katabolisme insulin.
2. Menurunnya asupan makanan
3. Resiko hipoglikemia meningkat pada pasien diabetes yang
4. malnutrisi
5. Menggunakan β Bloker (mempengaruhi glikogenolisis)
(Antonios, 2007).
Pada pasien diabetes yang menjalani hemodialisis, untuk mencegah
hipoglikemia saat hemodialisis, cairan dialisat harus dipertahankan mengandung 200
mg/dL glukosa (11 mmol/L). Selain itu jika glukosa pasien drop maka diberikan
cairan infis D40.
Suatu penelitian di Yugoslavia tahun 2001 pada 20 orang pasien diabetes
yang menjalani hemodialisis, pasien dibagi atas 2 kelompok yaitu kelompok yang
menggunakan cairan dialisat dengan konsentrasi glukosa 5,5 mmol/L, dibandingkan
dengan kelompok kedua yang menggunakan cairan dialisat dengan konsentrasi
glukosa 11 mmol/L, setelah diikuti selama 14 minggu ternyata angka kejadian
hipoglikemia lebih tinggi pada pasien yang menggunakan cairan dialisat yang rendah
konsentrasi glukosanya (Ogrizovic, 2001).
Keadaan hiperglikemik pada pasien saat proses hemodialisa jarang terjadi.
Hiperglikemia biasanya terjadi pada pasien diabetes yang terjadi karena kelainan
sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes
berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa
organ tubuh, terutama mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh darah (Gustaviani,
2006).
b. Suhu naik
Suhu yang tinggi selama hemodialisis berhubungan dengan kehilangan panas
yang disebabkan oleh vasokontriksi kutaneus sebagai respons atas hipovolemia pada
awal hemodialisa, yang menyebabkan refleks vasodilatasi dari pembuluh darah
kutaneus pada akhir hemodialisis dan dapat menyebabkan hipotensi). Jika suhu
badan pasien tinggi maka jangan dilakukan proses transfusi darah, untuk pengobatan
jika suhu pasien tinggi diberikan paracetamol, dexamethason atau metil prednisolon
(Sukandar, 2006).
Selama hemodialisis dengan suhu dialisis standar (≥ 37oC), suhu inti
meningkat walaupun terjadi kehilangan energi melalui sistem ekstrakorporeal.
Fenomena ini tidak sepenuhnya dimengerti. Ada yang mengemukakan oleh karena
heat load dari sistem ekstrakorporeal, ataupun proses sekunder dari perpindahan
cairan. Perpindahan cairan berasosiasi dengan peningkatan metabolic rate dan
berkurangnya kehilangan panas dari kulit yang disebabkan oleh vasokonstriksi
perifer sebagai respon dari penurunan volume darah. Peningkatan suhu inti tubuh
menyebabkan dilatasi dari pembuluh darah di kulit, hal ini berlawanan dengan
respon fisiologis dari hipovolemia.
Agar mencegah peningkatan suhu inti ini, sejumlah energi panas signifikan,
sebesar 30% dari daily resting energy expenditure, harus dikeluarkan oleh sirkuit
ekstrakorporeal dengan mendinginkan dialisat. Berbagai percobaan randomized
cross-over menunjukkan bahwa dialisis dengan temperatur dialisat lebih dingin
(pada kebanyakan studi 35oC) dikaitkan dengan Peningkatan reaktivitas
dariresistensi perifer dan kapasitansi pemubuluh darah, meningkatkan Kontraktilitas
miokardium, mengurangi penurunan tekanan darah, dan mengurangi frekuensi IDH
dibandingkan dengan temperatur dialisat 37-37.5oC.
c. Hipotensi
Hipotensi intradialisis (IDH) merupakan salah satu komplikasi yang paling
sering dari hemodialisis, mencapai 20-30% dari komplikasi hemodialisis. IDH
masih merupakan masalah klinis yang penting, dikarenakan gejala-gejala seperti
mual dan kram memiliki pengaruh yang tidak baik pada kualitas pasien hemodialisis.
Sebagai tambahan, IDH sering membutuhkan cairan, atau penghentian dialisis lebih
awal, yang kedua hal tersebut dapat menyebabkan pembuangan cairan tidak
adekuat. Pasien dengan IDH, sering mengalami keadaan kelebihan cairan (volume
overload) dan dialisis sering tidak adekuat.
Mekanisme utama hipotensi saat hemodialisis berhubungan dengan ketidak-
seimbangan antara cardiac output dan gangguan untuk meningkatkan peripheral
vaskular resistance.
Definisi hipotensi saat hemodialisis adalah bila tekanan darah sistolik < 90
mm Hg, bila tidak diterapi dapat menyebabkan hipotensi kronik dimana tekanan
darah sistolik < 100 mmHg diantara hemodialisis. Kepustakaan lain menyatakan
bahwa anemi dapat menyebabkan hipotensi saat hemodialisis karena menurunnya
viskositas darah dan resistensi pembuluh darah perifer.
Patogenesis dari hipotensi intradialisis multifaktor, namun secara umum
disebabkan sebagai hasil dari gangguan tiga faktor utama yang memainkan peran
dalam stabilitas hemodinamik selama hemodialisis
1. refilling volume darah dari interstisial ke dalam kompartemen vaskular,
sehingga disebut preservasi volume darah
2. konstriksi dari resistance vessels seperti arteri yang kecil dan arteriol
3. mempertahankan output jantung, melalui peningkatan kontraktilitas
miokardium, heart rate, dan konstriksi dari capacitance vessels seperti venula
dan vena.
Banyak intervensi untuk mencegah IDH seperti: penggunaan dialisis
temperatur dingin, pengaturan profil natrium, peningkatan kadar kalsium
dialisat, dan beberapa penggunaan pressor agents seperti midodrine.
Penatalaksanaan IDH
Pendekatan Lini Pertama
Konseling asupan makanan (restriksi garam) . Menghindari asupan makanan selama
dialisis. Pengukuran berat badan kering. Penggunaan bikarbonat sebagai buffer
dialisis. Penggunaan temperatur dialisat 36,5oC . Periksa dosis dan waktu pemberian
obat antihipertensi.
Pendekatan Lini Kedua
Evaluasi performa jantung .Penurunan temperatur dialisat secara berkala mulai dari
36.5oC sampai 35oC. Memperpanjang waktu dialisis dan/atau frekuensi dialisis.
Pemberian konsentrasi dialisat kalsium 1.50 mmol/l
Stop Ultrafiltrasi
Ultrafiltrasi harus dihentikan selama episode IDH. Menghentikan ultrafiltrasi,
akan mencegah penurunan volume darah lebih jauh, dan akan memfasilitasi refill
volume darah dari kompartemen intrestisial. Memperlambat laju aliran darah
terkadang dapat digunakan dalam pengobatan IDH.
Pemberian Cairan
Salin isotonik harus diinfuskan, pada pasien yang tidak respon dengan
penghentian ultrafiltrasi selama episode IDH. Pemberian cairan ini paling sering
diberikan untuk meningkatkan volume darah selama kejadian IDH. Baik kristaloid
dan koloid telah dipelajari dalam pengobatan IDH.
Intervensi farmakologis
Midrodin merupakan suatu obat alpha-1 agonist oral. Metabolit dari
midodrine, desglymidodrine, menyebabkan konstriksi dari resistance
dan capacitance vessels. Midrodrine mencegah IDH dengan
mempertahankan volume darah sentral dan cardiac output, dan peningkatan
resistensi vaskular perifer. Midodrin efektif diekskresikan melalui hemodialisis,
dan waktu paruh berkurang sampai 1.4 jam dengan hemodialisis. (Kooman, 2007)
L-carnitine, suplementasi zat golongan ini harus dipertimbangkan dalam
pencegahan IDH jika pengobatan standar lainnya gagal. Pada pasien
hemodialisis, kadar L-carnitine menjadi rendah oleh karena berkurangnya
biosintesis oleh ginjal, dan kehilangan dari cairan dialisat. Defisiensi l-carnitine
dapat menyebabkan berkurangnya fungsi sistolik dari jantung. Pemberian l-
carnitine juga meningkatkan fraksi ejeksi dari ventrikel kiri.
Dopamin, merupakan katekolamin yang memproduksi efek ionotropik
dan kronotropik pada miokardium, sehingga meningkatkan heart rate dan
kontraktilitas jantung. Onset kerja dopamin adalah 5 menit setelah pemberian
intravena, dan waktu paruh sekitar 2.5 menit. Efek predominan dopamin sangat
tergantung dosis. Pada dosis infus rendah (0.5-2 µg/kg/menit) dopamin
menyebabkan vasodilatasi. Pada dosis infus sedang (2-10 µg/kg/menit)
dopamin bekerja merangsang β1-adrenoreseptor, menyebabkan peningkatan
kontraktilitas miokardium. Pada dosis infus tinggi (10-20 µg/kg/menit)
menyebabkan efek pada α-adrenoreseptor, dengan efek vasokonstriktor dan
peningkatan tekanan darah.
d. HipertensiDefinisi hipertensi saat hemodialisis adalah peningkatan tekanan sistolik > 15
mmHg selama dan segera setelah hemodialisis. Peningkatan hipertensi selama
hemodialisis pada beberapa pasien berhubungan dengan aktivasi sistim renin
angiotensin karena penurunan volume intra vaskular yang disebabkan olen
ultrafiltrasi. Prevalensi hipertensi pada saat hemodialisis adalah 5-10 %, dan
penyebab terjadinya hipertensi pada pasien yang menjalankan hemodialisis adalah :
1. Aktivasi sistim syaraf simpatis.
2. Overload cairan.
3. Peningkatan viskositas darah
4. Aktivasi sistim renin angiotensin
5. Pergeseran elektrolitSuatu penelitian Crit Line Intradialytic
Monitoring Benefit (CLIMB) study di Chicago tahun 2006, dari 32.295 kali
hemodialisis dari 442 pasien selama 6 bulan didapatkan hipertensi saat hemodialisis
disebabkan karena:
1. Tingginya tekanan darah sebelum hemodialisis.
2. Peningkatan berat badan intradialisis
3. Tingginya serum kreatinin.
4. Tingginya albumin serum
Obat anti hipertensi yang dapat digunakan bila terjadi hipertensi saat hemodialisis
adalah seperti terlihat pada tabel 10 berikut:
4. Nutrisi pada Hemodialisa
Pada penderita Penyakit Ginjal Kronis (CGK) yang belum memerlukan dialisis
merupakan bagian dari pengelolaan konservatif penderita CGK untuk penatalaksanaan
nutrisinya. Tujuan penatalaksanaan nutrisi pada penderita pradialisis adalah mencegah
timbunan nitrogen, mempertahankan status nutrisi yang optimal untuk mencegah
terjadinya malnutrisi, menghambat progresifitas kemunduran faal ginjal serta mengurangi
gejala uremi dan gangguan metabolisme. Malnutrisi adalah kondisi berkurangnya nutrisi
tubuh, atau suatu kondisi terbatasnya kapasitas fungsional yang disebabkan oleh
ketidakseimbangan antara asupan dan kebutuhan nutrisi, yang pada akhirnya
menyebabkan berbagai gangguan metabolik, penurunan fungsi jaringan, dan hilangnya
massa tubuh. Status nutrisi merupakan faktor yang perlu dipertimbangkan pada saat
penderita membutuhkan inisiasi dialisis karena merupakan prediktor untuk hasil akhir
yang bisa dicapai dan adanya malnutrisi protein-energi merupakan faktor risiko
mortalitas. Pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis pada
khususnya sering mengalami malnutrisi protein-energi atau protein-energy malnutrition
(PEM). PEM yang terjadi pada pasien PGK yang menjalani dialisis seharusnya dapat
diperbaiki dengan memenuhi kebutuhan nutrisinya. Pada dasarnya malnutrisi disebabkan
oleh asupan nutrisi yang kurang, kehilangan nutrisi meningkat, dan atau katabolisme
protein yang meningkat.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya PEM
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan asupan nutrisi kurang antara lain: restriksi
diet berlebihan, pengosongan lambung lambat, diare dan komorbid medis lainnya,
kejadian sakit dan rawat inap yang berulang, asupan makanan lebih menurun pada hari-
hari dialisis, obat-obat yang menyebabkan dispepsia (pengikat fosfat, preparat besi),
dialisis tidak adekuat, depresi, dan perubahan sensasi rasa. Kehilangan darah melalui
saluran cerna dan nitrogen intradialitik juga turut memberikan pengaruh berupa
peningkatan kehilangan nutrisi (Kusuma, 2009). Malnutrisi pada pasien dialisis juga
menyebabkan konsekuensi klinis penting lainnya. Anemia lebih sering terjadi pada pasien
dialisis yang juga menderita malnutrisi dan atau inflamasi, dan respon terhadap
erithropoietin yang minimal biasanya dikaitkan dengan tingginya kadar sitokin pro-
inflamasi.
Pada pasien dialisis yang juga menderita Penyakit Jantung Koroner (PJK)
seringkali didapatkan hipoalbumin dan peningkatan kadar petanda inflamasi. Baik pada
populasi umum maupun pasien dialisis, peningkatan indikator inflamasi seperti CRP
merupakan prediktor kuat terhadap kejadian kardiovaskuler. Hubungan antara status
nutrisi yang buruk, inflamasi yang terus berlangsung dan arterosklerosis pada pasien
dialisis ini dikenal sebagai malnutrition-inflamation-artherosclerosis (MIA) syndrome.
Pada pasien dialisis, hubungan antara kondisi nutrisi yang buruk dan dampaknya pada
penyakit kardiovaskuler ini memberi data epidemiologi yang berbeda atau terbalik bila
dibandingkan dengan populasi umum, dan ini dikenal sebagai reverse epidemiology
(Stenvinkel, 2000).
Menetapkan dan memonitor status nutrisi protein-energi pasien dialisis merupakan
kegiatan penting dengan tujuan untuk mencegah, mendiagnosis serta mengobati PEM.
Status nutrisi protein-energi pada dasarnya menggambarkan status kuantitatif dan
kualitatif protein, baik komponen viseral (non otot) maupun somatik (otot), serta status
keseimbangan energi. Tujuan dari penatalaksanaan nutrisi pada pasien dialisis pada
dasarnya adalah untuk meningkatkan dan memelihara status nutrisi yang baik dengan
tetap memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit serta tanpa memperburuk gejala
uremik. Penderita dialisis dengan asupan protein yang kurang akan meningkatkan risiko
terjadinya malnutrisi dan mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi,
dengan demikian membutuhkan perhatian, edukasi, dan bimbingan secara periodik-
berkesinambungan dari dokter, perawat serta ahli gizi yang merawat (Nerscomite, 2010).
Tujuan pengaturan nutrisi pada pasien hemodialisis berkesinambungan:
1. Mencapai dan memelihara status nutrisi yang baik.
2. Mencegah atau menunda berkembangnya penyakit kardiovaskuler, serebrovaskuler
dan periferal vaskuler.
3. Mencegah atau mengobati hiperparatiroidisme serta osteodistrofi.
4. Mencegah atau memperbaiki toksisitas uremi dan berbagai kelainan metabolik
yang berpengaruh terhadap nutrisi, yang terjadi pada gagal ginjal dan tidak dapat
diperbaiki dengan HD yang adekuat.
Rekomendasi kebutuhan nutrien penderita hemodialisis berkesinambungan menurut
NKF-K/DOQI.
Rekomendasi kebutuhan nutrien. Makronutrien dan serat.
Protein 1,2 g/kgBB/hrKalori 30-35 kcal/kgBB/hrLemak 30% total kebutuhan kaloriKarbohidrat Sisa kebutuhan kalori non proteinSerat total 20-25 g/hr
Kebutuhan air dan mineral
Kebutuhan vitamin ( termasuk suplemen)
Natrium 750-2000 mg/hr Kalium < 70-80 mEq/hr Phospor 10-17 mg/kgBB/hr Kalsium < 1000 mg/hr Magnesium 200-300 mg/hr Zat besi Tergantung pemberian eritropoetin Zinc 15 mg/hr Air Biasanya 750-1500 ml/hr
(Nerscomite, 2010)
5. Monotoring Setelah Hemodialisa
Penderita gagal ginjal
yang pertama kali akan
menjalani terapi
hemodialisis harus
dimonitoring hasil
pemeriksaan laboratorium terakhir yang terdiri dari hemoglobin, ureum, creatinin, SGOT,
SGPT, glukosa darah sewaktu, HBs Ag, dan Kalium. Pemeriksaan sesudah dan untuk
monitoring pasien hemodialisa dilakukan pemeriksaan rutin sebagai tindakan
pemeliharaan penderita hemodialisa yaitu dilakukan setiap bulan, setiap tiga bulan, setiap
enam bulan dan setiap tahun. Berat badan sebelum dan sesudah proses hemodialisa juga
dimonitoring.
Selain itu yang perlu dimonitoring adalah kadar glukosa darah, karena
hiperglikemia diduga merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya hiperfiltrasi, maka
pengontrolan kadar glukosa darah dapat memperlambat kerusakan ginjal, baik secara
fungsional maupun struktural. Glukosa dalam batas normal yang terjadi setelah
hemodialisa dapat memperbaiki lesi nefrotik diabetik pada ginjal. ( Rully, 2003).
Menurut Tisher dan Wilcox (1997) serta Havens dan Terra (2005) selama
tindakan hemodialisa sering sekali ditemukan komplikasi yang terjadi, maka harus
dilakukan monitoring selama proses hemodialisa antara lain :
1. Kram otot
Kram otot pada umumnya terjadi pada separuh waktu berjalannya hemodialisa
sampai mendekati waktu berakhirnya hemodialisa. Kram otot seringkali terjadi
pada ultrafiltrasi (penarikan cairan) yang cepat dengan volume yang tinggi.
Vit B1 (thiamin) 1,1 - 1,2 mg/hr Vit B2 (riboflavin) 1,1- 1,3 mg/hr Asam pantothenat 5 mg/hr Biotin 30 ug/hr Niasin 14-16 mg/hr Vit B6 (piridoksin) 10 mg/hr Vit B12 2,4 ug/hr Vit C 75-90 mg/hr Asam Folat 1-10 mg/hr Vitamin A Tidak terlalu dianjurkan Vit D Tidak terlalu dianjurkan Vit E 400-800 IU
2. Hipotensi
Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat asetat, rendahnya
dialisat natrium, penyakit jantung aterosklerotik, neuropati otonomik, dan
kelebihan tambahan berat cairan.
3. Aritmia
Hipoksia, hipotensi, penghentian obat antiaritmia selama dialisa, penurunan
kalsium, magnesium, kalium, dan bikarbonat serum yang cepat berpengaruh
terhadap aritmia pada pasien hemodialisa.
4. Sindrom ketidakseimbangan dialisa
Sindrom ketidakseimbangan dialisa dipercaya secara primer dapat diakibatkan dari
osmol-osmol lain dari otak dan bersihan urea yang kurang cepat dibandingkan dari
darah, yang mengakibatkan suatu gradien osmotik diantara kompartemen-
kompartemen ini. Gradien osmotik ini menyebabkan perpindahan air ke dalam otak
yang menyebabkan oedem serebri. Sindrom ini tidak lazim dan biasanya terjadi
pada pasien yang menjalani hemodialisa pertama dengan azotemia berat.
5. Hipoksemia
Hipoksemia selama hemodialisa merupakan hal penting yang perlu dimonitor pada
pasien yang mengalami gangguan fungsi kardiopulmonar.
6. Perdarahan
Uremia menyebabkan ganguan fungsi trombosit. Fungsi trombosit dapat dinilai
dengan mengukur waktu perdarahan. Penggunaan heparin selama hemodialisa
juga merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan.
7. Ganguan pencernaan
Gangguan pencernaan yang sering terjadi adalah mual dan muntah yang
disebabkan karena hipoglikemia. Gangguan pencernaan sering disertai dengan
sakit kepala.
8. Infeksi atau peradangan bisa terjadi pada akses vaskuler.
9. Pembekuan darah bisa disebabkan karena dosis pemberian heparin yang tidak
adekuat ataupun kecepatan putaran darah yang lambat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hemodialisis adalah terapi pengganti ginjal pada pasien gagal ginjal akut, gagal
ginjal kronis, dan gagal ginjal terminal melalaui mesin. Terapi hemodialisa adalah suatu
teknologi tinggi sebagai terapi pengganti untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau
racun tertentu dari peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium, hidrogen, urea,
kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui membran semi permeabel sebagai pemisah
darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis dan
ultra filtrasi. Penanganan pasien dengan komplikasi khusus dilakukan dengan penaganan
yang berbeda-beda. Tujuan penatalaksanaan nutrisi pada penderita pradialisis adalah
mencegah timbunan nitrogen, mempertahankan status nutrisi yang optimal untuk
mencegah terjadinya malnutrisi, menghambat progresifitas kemunduran faal ginjal serta
mengurangi gejala uremi dan gangguan metabolisme. Setelah dilakukan hemodialisa
perlu dilakukan monitoring tindakan pemeliharaan penderita hemodialisa yaitu dilakukan
setiap bulan, setiap tiga bulan, setiap enam bulan dan setiap tahun, meliputi monitoring
hemoglobin, ureum, creatinin, SGOT, SGPT, glukosa darah sewaktu, HBs Ag, dan
Kalium.
DAFTAR PUSTAKA
Antonios H, Tzamaloukas H, Friedman EA, 2007, Diabetes Handbook of Dialysis;3:453-
465.
Bongard, Frederic, S. Sue, darryl. Y, 1994, Current Critical, Care Diagnosis and Treatment,
first Edition, Paramount Publishing Bussiness and Group, Los Angeles
Brumariu O, Miron I, Munteanu M, Gavrilovici C, 2000, The Use of Growth Factors in Pediatric Diseases, http://www.nefroped.net 2000.ro/article 002.htm, diakses 18 April 2013.
Brunner & Suddarth, 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, volume 2,
EGC:Jakarta.
Christensen RD, Ohls RK,. 1996, Development of the hematopoieric system, Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Arvin Am, penyunting, Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-15, Philadelphia: Saunders,. h. 1375-82.
Dikow R, Ritz E, 2005, Hemodialysis and CAPD in Type 1 and Type 2 Diabetic Patients
with Endstage Renal Failure, The Kidney and Hypertension in Diabetes
Mellitus;6:703-723.
Esbach J. W., 2000, Anemia in chronic renal failure. In: Johnson RJ, Feehally J (ed). Comprehensive clinical nephrology. London: Morby: 71.1-71.6.
Gustaviani R, 2006, Diagnosis dan klasifikasi Diabetis Melitus Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III, Penerbit IPD FKU:1879-1881.
Havens, L. dan Terra, R. P ., 2005, Hemodialysis, http://www.Kidneyatlas.org. diakses
tanggal 20 April 2013.
Miller DR, 1995, Eritropoietin, hypoplastic anemias, and disorders of heme synthesis,
Dalam: Miller DR, Bachner RL, Miller LP. Blood diseases of infancy and
childhood. Edisi ke–7. St Louis: Mosby,. h. 140-82.
NKF, 2006, Hemodialysis, http://www.kidneyatlas.org., diakses 18 April 2013.
PERNEFRI, 2003, Konsensus Dialisis, Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi–Bagian Ilmu
Penyakit Dalam, FKUI-RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Ogrizovic S, Backus G, Mayer AF, 2001, The influence of different glucose concentrations in
haemodialysis solution on metabolism and blood pressure stability in diabetic
patients. Int, J. Artif Organ;12:863-869.
Price, S. A. & Wilson, L. M., 1995, Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit,
Edisi 4, EGC, Jakarta.
Rully M.A. R., 2008, Acute Kidney Injury, FK UNPAD, Bandung.
Sukandar, 2006, Tinjauan Umum Nefropati Diabetik. Nefrologi Klinik. 2006; 3: 325-399.
Tisher, C. C. & Wilcox, C. S., 1997, Buku Saku Nefrologi, Edisi 3, EGC, Jakarta.