laporan praktikum ilmu material ii

Upload: rizka-febriyanti

Post on 18-Oct-2015

241 views

Category:

Documents


19 download

TRANSCRIPT

  • LAPORAN PRAKTIKUM ILMU MATERIAL II

    Topik : Semen Glass Ionomer

    Grup : C2

    Tgl. Praktikum : 5 Desember 2013

    Pembimbing : Helal Soekartono, drg., M.Kes

    Penyusun :

    1. Ahmad Sukma Faisal 021211133018

    2. Ayu Rafania Atikah 021211133019

    3. Rizka Febriyanti 021211133020

    4. Emanuel Damar W 021211133021

    5. Afifah Ulfa Anindya 021211133022

    6. Rizky Devina 021211133023

    DEPARTEMEN MATERIAL KEDOKTERAN GIGI

    FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

    UNIVERSITAS AIRLANGGA

    2013

  • 1. TUJUAN

    a. Mahasiswa mampu melakukan manipulasi semen glass ionomer dengan

    cara yang tepat.

    b. Mahasiswa mengetahui setting time semen glass ionomer dengan w/p ratio

    yang berbeda.

    2. MANIPULASI SEMEN GLASS IONOMER

    2.1 Bahan

    a. Bubuk dan cairan glass ionomer tipe II

    2.2 Alat

    a. Pengaduk plastik

    b. Paper Pad

    c. Celluloid Strip

    d. Plat kaca

  • e. Cetakan plastik ukuran diameter 10 mm, tebal 1 mm

    f. Plastic filling instrument

    g. Sonde

    h. Spatula semen

    2.3 Cara Kerja

    a. Mengulas permukaan cetakan dengan vaselin, kemudian cetakan

    diletakkan di atas celluloid strip.

    b. Mengambil bubuk 1 sendok takar (untuk adonan normal) dan

    diletakkan di atas paper pad.

    c. Meneteskan cairan sebanyak satu tetes di atas paper pad di dekat

    bubuk.

    d. Membagi bubuk menjadi dua bagian, kemudian mencampurkan bubuk

    bagian pertama dengan cairan selama kurang lebih 5 detik.

    e. Menjalankan pencatat waktu sejak pencampuran pertama dimulai.

    f. Mencampurkan bubuk bagian kedua segera setelah 5 detik bubuk

    bagian pertama.

  • g. Mengaduk bubuk bagian kedua selama kurang lebih 15 detik. Total

    waktu pencampuran kurang lebih 20 detik.

    h. Memasukkan adonan ke dalam cetakkan dengan menggunakan plastic

    filling instrument.

    i. Meratakan permukaan adonan kemudian menutupnya dengan celluloid

    strip.

    j. Melepas celluloid strip setelah waktu pengerjaan mulai dari

    pengadukan mencapai 1.5 menit.

    k. Melakukan penusukan permukaan semen dengan sonde untuk

    memeriksan kekerasan permukaan dengan interval waktu 5 detik.

    l. Melepas semen dari cetakan setelah keras.

    m. Praktikum dilakukan sebanyak 3 kali, dengan variabel perlakuan:

    ukuran adonan kental (1 1/2 sendok), adonan encer (1/2 sendok),

    adonan kental dengan plastic filling instrument dan metal filling

    instrument, dan adonan encer dengan plastic filling instrument dan

    metal filling instrument.

    3. HASIL PRAKTIKUM

    Tabel 3.1 Hasil Praktikum GIC

    Rasio bubuk : cairan Jenis Adonan Waktu Rata-rata

    1 : 1 Normal 6 menit 14 detik

    7 menit 35 detik

    6 menit 54 detik

    1,25 : 1 Kental 6 menit 10 detik

    7 menit 10 detik

    6 menit 40 detik

    0,75 : 1 Encer 8 menit 15 detik

    10 menit 15 detik

    9 menit 15 detik

  • 4. PEMBAHASAN

    Material glass ionomer terdiri dari bubuk dan cairan. Bubuk dalam bahan glass

    ionomer ialah calcium aluminum fluorosilicate glass dengan ukuran partikel sekitar

    40 um untuk bahan filling, dan kurang dari 25 um untuk bahan luting. Terdapat pula

    beberapa merk semen glass ionomer di pasaran yang dalam bubuknya terkandung

    zinc oxide dan silver powder. (OBrien, 2002, p 255).

    Sementara cairan pada glass ionomer terdiri dari 50% larutan asam

    polyacrylic-itaconic atau polycarboxylic acid copolymer yang berisi sekitar

    5% asam tartaric. Beberapa bahan lain juga berisi 10% sampai 20% tambahan

    perak, silver alloy, atau stainless steel. Asam tartaric berfungsi untuk

    meningkatkan working time dan memberikan sharp setting dengan membentuk

    kompleks ion logam. Perbedaan dalam komposisi tiap merk glass ionomer di

    pasaran mempengaruhi tingkat pengerasan dan sifatnya (OBrien, 2002, p. 255).

    Glass mengandung kadar fluoride yang signifikan, meskipun tidak secara langsung

    terlibat dalam reaksi pengaturan, mungkin memiliki efek pada kerentanan karies

    dari substansi gigi di sekitarnya (Mc cabe, 2008, p.245).

    Pada praktikum semen glass ionomer (GIC) kali ini, percobaan dilakukan

    sebanyak 6 kali dengan perbandingan powder dan liquid yang berbeda, kemudian

    dicampurkan dengan menggunakan paper pad dan spatula plastik.

    Percobaan pertama dilakukan dengan perbandingan powder dan liquid yang

    normal, yaitu 1 scoop powder dan 1 tetes liquid, semen setting setelah 6 menit 54

    detik.

    Pada percobaan kedua dilakukan lagi dengan perbandingan powder dan liquid

    yang tinggi (kental), yaitu dengan banyak powder 1 scoop powder dan 1 tetes

    liquid, dan setting time yang didapat adalah 6 menit 40 detik.

    Pada percobaan terakhir dilakukan dengan perbandingan powder dan liquid

    yang rendah (encer), yaitu dengan jumlah powder sebanyak scoop powder dan 1

    tetes liquid. Konsistensi lebih encer dari kedua percobaan awal, sehingga

    pencampuran yang dilakukan lebih mudah dan ringan. Adonan semen setting

    setelah 9 menit 15 detik.

  • Dengan ketiga hasil percobaan di atas, dapat dilihat bahwa setting time dengan

    w/p rasio tinggi (kental) memiliki setting time yang lebih cepat daripada normal,

    sedangkan dengan w/p ratio rendah (encer) memiliki setting time yang lebih lama

    dari pada normal.

    Berdasarkan Craig, 2002 & Combe, 1992 Glass Ionomer Cement

    diklasifikasikan menjadi :

    Gambar 4.1 Klasifikasi GIC

    Luting biasanya digunakan dalam kedokteran gigi untuk merekatkan protesa

    cekat pada gigi pasien yang telah dipreparasi, restorasi porselen, penyemenan cast

    alloy dan orthodontics bands. Semen glass ionomer sebagai luting mengalami

    pengerasan lebih lama dibandingkan dengan semen glass ionomer sebagai basis.

    Konsistensi yang dibutuhkan pada luting lebih encer dibandingkan konsistensi pada

    basis, karena pada luting dibutuhkan sifat flow untuk mengisi ruang atau celah

    mikroskopik di daerah pertemuan abutment-protesa. Basis digunakan untuk

    memproteksi pulpa dari rangsangan mekanis, termal, ataupun elektrik. Konsistensi

    basis tidak boleh encer, karena semakin encer konsistensinya akan menimbulkan

    reaksi asam, dikhawatirkan akan mengiritasi pulpa ( Annusavice, 2003).

    Glass ionomer kaca pada tipe II yaitu sebagai restorasi secara umum

    memiliki sifat lebih keras dan kuat dibandingkan dengan luting, karena mempunyai

    rasio antara powder dan liquid lebih tinggi. Sehingga didapatkan hasil lebih keras.

    Sifat glass ionomer kaca cukup keras, rapuh, kekuatan tekan relatif tinggi, tetapi

    daya tahan terhadap fraktur dan keausan rendah, sehingga tidak dapat digunakan

    Klasifikasi GIC

    Tipe I : Luting

    Tipe II : Semen Restorasi

    Kekuatan

    Estetika

    Tipe III : Lining

  • untuk merestorasi gigi dengan beban yang besar. Daya tahan yang rendah terhadap

    keausan, dipengaruhi oleh sifat kekerasan permukaan (Meizarini, Irmawati, 2005).

    Setting reaksi semen glass ionomer melibatkan pembentukan garam melalui

    reaksi gugus asam dengan kation yang dilepaskan dari permukaan kaca. Reaksi

    dasar cross-linked garam polyalkenoate diilustrasikan pada gambar berikut.

    Gambar 4.2 Struktur asam poliakrilat (a) dan ikatan silang melalui kalsium dan

    ion aluminium (Mc cabe 2008, p.247)

    Pada saat pencampuran antara bubuk dengan cairan, asam dari cairan

    perlahan-lahan mendegradasi lapisan luar partikel glass dari bubuk dengan

    melepaskan ion Ca2+ dan Al3+. Selama tahap awal setting, ion Ca2+ dilepaskan lebih

    cepat sehingga dapat bereaksi dengan polyacid untuk membentuk produk reaksi.

    Sementara itu, ion Al3+ dirilis lebih lambat dan baru terlibat dalam pada tahap

    setting berikutnya, yang dimana sering disebut sebagai tahap reaksi sekunder atau

    tahap kedua (Mc cabe 2008, pp.247-248).

    Material glass ionomer yang telah setting terdiri dari inti-inti silicate glass

    yang terikat pada matriks setelah beraksi saling silang dengan polyacid. Reaksi

    kedua dari reaksi setting dimulai dengan melibatkan inkorporasi dari aluminium

    dalam struktur matriks yang pada akhirnya menghasilkan dan menjadikan glass

    ionomer memiliki sifat fisik yang lebih baik dan matang (Mc cabe 2008, pp.247-

    248).

  • Gambar 4.3 Diagram ilustrasi setting GIC (Mc cabe 2008, p. 248)

    Asam tartaric memainkan peran penting dalam mengontrol karaterisktik

    setting material glass ionomer. Zat ini membantu mendobrak lapisan permukaan

    partikel-partikel silica glass, sehingga dengan cepat ion-ion aluminium dapat

    dilepas. Ketika konsentrasi aluminium telah mencapai level tertentu, reaksi setting

    tahap kedua berjalan dengan cepat (Mc cabe 2008, pp.247-248).

    Asam tartarat ini membantu pembentukan kompleks antara ion polyacid dan

    ion aluminium dengan mengatasi masalah halangan sterik yang mungkin terjadi

    ketika ion aluminium berupaya untuk melakukan pembentukan garam dengan tiga

    kelompok asam karboksilat. Oleh karena itu, banyak garam aluminium mengikat

    dua gugus karboksilat dan satu kelompok tartarat. Mekanisme ini didukung oleh

    fakta bahwa ada sangat sedikit terikat asam tartarat tersisapada semen yang telah

    set (Mc cabe 2008, pp.247-248).

    Pelepasan ion fluoride dari partikel glass membuat matriks glass ionomer

    yang telah setting menjadi seperti penampung fluoride. Setelah setting sempurna,

    matriks kemudian dapat melepaskan fluoride yang ada ke lingkungan sekitarnya

    ataupun menyerapnya apabila terdapat konsentrasi fluoride yang tinggi (Mc cabe

    2008, pp.247-248).

  • Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi setting time pada GIC adalah :

    a. Temperatur

    Sebuah lempengan kaca dingin dan kering dapat digunakan untuk

    menghambat reaksi setting dan menambah working time (annusavice, 2003, p. 477).

    b. Asam tartarat

    Asam tartarat dapat memperpanjang working time, tetapi memperpendek

    setting time (annusavice, 2003, p. 472).

    c. Rasio powder : liquid

    d. Powder

    Powder yang digunakan pada dasarnya bubuk gelas kalsium aluminosilikat

    yang mengandung fluor. Ukuran partikel gelas bervariasi antara 19 mm untuk luting

    cement maupun semen dasar sampai 45 jam untuk restorasi. Semakin halus partikel

    maka reaksi pengerasan akan semakin cepat, kekuatan semakin besar dan

    permukaan semen akan lebih halus.

    Bila kandungan lebih banyak silikat, semen terlihat lebih translusen, tetapi

    bila lebih banyak kalsium fluorida atau alumina, semen terlihat radioopak.

    Kandungan fluor dalam semen glass ionomer merupakan keuntungan dalam

    menurunkan temperatur fusi dan dapat mencegah terjadinya karies sekunder,

    Namun penambahan bahan ini dapat menurunkan kekuatan semen (Armilia, Milly.

    2006).

    e. Liquid

    Liquid dalam semen glass ionomer adalah larutan poliakrilik yang

    merupakan polimer asam karboksilat tidak jenuh yang dikenal sebagai asam

    polialkenoat. Semen glass ionomer yang menggunakan asam poliakrilik memiliki

    setting time yang panjang, ditambahkan asam tartar yang juga dapat mengakibatkan

    translusensi semen menjadi lebih baik. Gel yang terjadi dapat dicegah dengan

    menggunakan larutan yang mengandung kopolimer asam akrilat dan asam itakonat.

    Air merupakan unsur yang berfungsi sebagai media terjadinya reaksi

    pengerasan dan melembabkan hasil reaksi. Kandungan air yang terlalu banyak

    melemahkan semen, namun bila terlalu sedikit akan mengurangi reaksi pengerasan.

    Air merupakan bagian terpenting dalam liquid GIC, yang pada awalnya berfungsi

    sebagai media reaksi dan lama kelamaan menghidrasi matriks ikatan silang, dengan

  • demikian akan menambah kekuatan dari bahan selanjutnya akan membentuk massa

    yang padat (Armilia, Milly. 2006)

    Pada praktikum kali ini pencampuran liquid dan powderdiatas paper pad.

    Glass slab tidak digunakan sebagai tempat mixing dikarenakan glass ionomer dapat

    melekat erat pada permukaan kaca sehingga akan sulit untuk diambil dan

    dibersihkan apabila telah setting. Papper pad cukup untuk melakukan pencampuran.

    Glass slab yang dingin dan kering dapat digunakan untuk memperlambat reaksi dan

    memperpanjang working time. Slab tidak boleh digunakan jika suhunya dibawah

    dew point. Bubuk dan cairan tidak boleh dikeluarkan ke slab sebelum prosedur

    pencampuran dimulai. Kontak yang terlalu lama dengan atmosfer dapat mengubah

    rasio asam/air pada cairan (Anusavice, 2003. Pp.477).

    Selain menggunakan paper pad pencampuran juga dilakukan dengan

    menggunakan agate spatula yang dimana terbuat dari plastik, tidak menggunakan

    pengaduk yang terbuat dari logam karena partikel dalam glass ionomer dapat

    bereaksi dengan pengaduk yang terbuat dari logam, pada akhirnya dapat

    mengakibatkan terjadinya metal abbrassion.

    Dari seluruh hasil percobaan diatas, hasil yang diperoleh sesuai dengan teori

    yang ada. Rasio bubuk dan cairan mempengaruhi setting time dari semen glass

    ionomer. Semakin kental rasio bubuk dan cairan, maka setting time semakin cepat

    dari control rasio normal. Begitu juga sebaliknya, semakin encer rasio bubuk dan

    cairan maka setting time semen glass ionomer pun semakin lama dari patokan rasio

    normal.

    5. KESIMPULAN

    Semakin besar perbandingan powder:liquid maka setting time semakin

    cepat dibandingkan dengan setting time pada perbandingan powder:liquid yang

    normal. Sedangkan apabila perbandingan liquid semakin banyak, maka setting time

    menjadi lebih lama dibandingkan dengan setting time powder:liquid yang normal.

    6. DAFTAR PUSTAKA

    Anusavice K.J. Science of Dental Material. 11th ed. 2003. St Louis. WB

    Saunders Co. pp 471, 476-477.

  • Craig RG, Powers JM. Restorative Dental Materials. 11th Ed. 2002.

    Missouri : Mosby Inc. pp 615.

    Mc.Cabe dan Walls. Applied Dental Material. 9th ed. 2008. Blackwell

    Science publ. pp 245-246, 248-249, 255.

    OBrien W.J. Dental Material and Their Selection. 3rd ed. 2002.

    Michigan. Quintessence Publishing Co Inc. pp. 255, 257.