laporan research group pengkajian karya seni...

62
LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI RUPA DAN DESAIN TAHUN ANGGARAN 2018 JUDUL PENELITIAN DEKONSTRUKSI DIMENSI KEKRIYAAN DALAM REPRESENTASI ESTETIS SENI RUPA KONTEMPORER YOGYAKARTA Oleh: Dr. Kasiyan, S.Pd., M.Hum. Aran Handoko, S.Sn., M.Sn. Drs. Maraja Sitompul, M.Sn. Kusuma Bagus Pribadi Maulana Wildan Hanif Dibiayai oleh DIPA BLU Universitas Negeri Yogyakarta Nomor: SP DIPA- 042.01.2.400904/2018, Tanggal 5 Desember 2017, Berdasarkan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penelitian Nomor: 132/UN34.12/PP/2018, Tanggal 2 Februari 2018 FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA TAHUN 2018

Upload: trancong

Post on 20-Jun-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

LAPORAN RESEARCH GROUPPENGKAJIAN KARYA SENI RUPA DAN DESAIN

TAHUN ANGGARAN 2018

JUDUL PENELITIAN

DEKONSTRUKSI DIMENSI KEKRIYAAN DALAM REPRESENTASI ESTETIS SENI RUPA KONTEMPORER

YOGYAKARTA

Oleh:Dr. Kasiyan, S.Pd., M.Hum.Aran Handoko, S.Sn., M.Sn.Drs. Maraja Sitompul, M.Sn.

Kusuma Bagus PribadiMaulana Wildan Hanif

Dibiayai oleh DIPA BLU Universitas Negeri Yogyakarta Nomor: SP DIPA-042.01.2.400904/2018, Tanggal 5 Desember 2017, Berdasarkan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penelitian Nomor: 132/UN34.12/PP/2018, Tanggal 2 Februari 2018

FAKULTAS BAHASA DAN SENIUNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

TAHUN 2018

Page 2: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai
Page 3: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

ii

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... i

DAFTAR ISI.................................................................................................... ii

ABSTRAK ....................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

A. Latar Belakang .......................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 8

C. Tujuan Penelitian......................................................................................... 8

D. Urgensi/Keutamaan Penelitian.................................................................... 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA ......................................................................... 10

A. Tinjauan tentang Konsep Dekonstruksi ...................................................... 15

B. Tinjauan tentang Dimensi Kekriyaan.......................................................... 10

C. Tinjauan tentang Konsep Kontemporer dalam Seni Rupa .......................... 17

III. METODE PENELITIAN ....................................................................... 21

A. Jenis Pendekatan ......................................................................................... 21

B. Jenis Penelitian ............................................................................................ 23

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... 18

A. Bentuk-bentuk Dekonstruksi Dimensi Kekriyaan dalam Representasi

Estetis Seni Rupa Kontemporer Yogyakarta.............................................. 26

B. Faktor Penyebab Hadirnya Dekonstruksi Dimensi Kekriyaan dalam

Representasi Estetis Seni Rupa Kontemporer Yogyakarta ………… 21

BAB V PENUTUP.......................................................................................... 42

A. Kesimpulan ................................................................................................. 42

B. Saran............................................................................................................ 44

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 46

Lampiran 1. Berita acara penelitian.

Lampiran 2. Daftar hadir seminar penelitian.

Lampiran 3. Kontrak penelitian.

Lampiran 4. Biodata Peneliti.

Page 4: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

iv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Serial Konde Karya Nindityo Aripurnomo, 1998 ........................ 28

Gambar 2. Serial Konde Karya Nindityo Aripurnomo, 1998 ........................ 28

Gambar 3. Serial Konde Karya Nindityo Aripurnomo, 1998 ........................ 29

Gambar 4. Serial Konde Karya Nindityo Aripurnomo, 1998 ........................ 29

Gambar 5. Serial Konde Karya Nindityo Aripurnomo, 1998 ........................ 30

Gambar 6. Serial Konde Karya Nindityo Aripurnomo, 1998 ........................ 30

Gambar 7. Serial Gamelan of Rumours Karya Heri Dono, 1992................... 32

Gambar 8. Serial Gamelan of Rumours Karya Heri Dono, 1992................... 32

Gambar 9. Serial The Wayang Legend Karya Heri Dono, 1998 .................... 33

Gambar10. Serial The Wayang Legend Karya Heri Dono, 1998 ................... 34

Gambar 11. Serial The Wayang Legend Karya Heri Dono, 1998. ................. 34

Gambar 12. Serial The Wayang Legend Karya Heri Dono, 1998 .................. 35

Gambar 13. Karya Berjudul Figure, dengan Menggunakan Ikon Wayang,

Karya Nasirun (1995).................................................................. 37

Gambar 14. Karya Berjudul Mintorogo, dengan Menggunakan Ikon

Wayang, Karya Nasirun (1999) .................................................. 37

Gambar 15. Karya Berjudul Mintorogo, dengan Menggunakan Ikon

Wayang, Karya Nasirun (1999) .................................................. 38

Gambar 16. Karya Berjudul Wayang Melayu, dengan Menggunakan

Ikon Wayang, Karya Nasirun (1993) ......................................... 38

Gambar 17. Karya Berjudul Wayang Melayu, dengan Menggunakan

Ikon Wayang, Karya Nasirun (1993) ......................................... 38

Page 5: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

iv

DEKONSTRUKSI DIMENSI KEKRIYAAN DALAM REPRESENTASI ESTETIS SENI RUPA KONTEMPORER YOGYAKARTA

Kasiyan, Aran Handoko, Maraja Sitompul

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tiga hal pokok, yakni: 1) bentuk-bentuk dekonstruksi dimensi kekriyaan dalam representasi estetis seni rupa kontemporer Yogyakarta; dan 2) faktor-faktor apa saja yang menyebabkan cukup kuatnya dekonstruksi dimensi kekriyaan dalam representasi estetis seni rupa kontemporer Yogyakarta sebagaimana dimaksud.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis kualitatif dengan pendekatan utama yakni hermeneutik. Instrumen utama penelitian ini adalah peneliti sendiri, yang dibantu dengan pedoman dokumentasi. Data penelitian berupa dokumentasi karya seni rupa yang dibuat seniman Yogyakarta, terutama di akhir periode 90-an dan awal 2000-an, sebagai periode waktu awal mula dan pesatnya wacana perkembangan seni rupa Kontemporer Yogyakarta. Data-data penelitian didasarkan pada sumber dari berbagai katalog pameran. Adapun teknik analisis datanya menggunakan model deskriptif kualitatif, dengan tahapan reduksi data, penyajian dan pembahasan, dan penarikan kesimpulan.

Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) bentuk dekonstruksi dimensi kekriyaan dalam representasi estetis seni rupa kontemporer Yogyakarta, tampak paling tidak terkait dengan dua hal, yakni terkait dengan domain teknis penciptaan dan isi karyanya. Dari sisi teknis penciptaan, yakni tampak dari penggunaan bahan (misalnya rotan, kayu, batu, kulit, dan lain sebagainya) juga teknis penciptaannya (misalnya anyam, pahat), namun diterapkan secara dekontrsuktif. Kemudian, dari sisimakna atau isinya, hasil ciptaan tersebut tak lagi sebagai representasi kekriyaan baik dari sisi fungsi praksis fungsional maupun keadiluhungannya; 2) Adapun faktor penyebab cukup kuatnya dekonstruksi dimensi kekriyaan dalam representasi estetis seni rupa kontemporer Yogyakarta sebagaimana dimaksud, di antaranya adalah cukup kuatnya pengaruh faham Postmodernisme yang mengiringi perkembangan kebudayaan di era Kontemporer ini, sebagai antitesis faham Modernisme, yang diwujudkan dengan prinsip menolak logosentrisme-monosemik, dan menawarkan prinsip baru, yakni pluralitas serta partikularitas-polisemik dalam berkebudayaan, termasuk tentunya juga berkesenian, beserta segala nasasi besar yang menyertainya.

Kata-kata Kunci: dekonstruksi, kekriyaan, estetis, seni rupa kontemporer.

Page 6: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

iv

DECONSTRUCTION OF DIMENSION OF CRAFTMANSHIPIN THE ESTETIC REPRESENTATION OF YOGYAKARTA

CONTEMPORARY ARTS

Kasiyan, Aran Handoko, Maraja Sitompul

ABSTRACT

This study aimed to describe two main things, namely: 1) forms of deconstruction of the dimensions of craftmanship in the aesthetic representation of Yogyakarta's contemporary art; and 2) factors leading to the strong deconstruction of the dimensions of craftmanship in the aesthetic representation of Yogyakarta's contemporary art as intended.

The method used in this study was a qualitative type with the main approach of hermeneutics. The main instrument of this research was the researcher himself, who is assisted by documentation guidelines. The research data were in the form of documentation of works of art created by Yogyakarta artists, especially in the late 90s and early 2000s, as the initial period of time and the rapid discourse of the development of Yogyakarta Contemporary art. Research data are based on sources from various exhibition catalogs. The data were then analyzed using a qualitative descriptive model, with the stages of data reduction, presentation and discussion, and conclusion drawing.

The results of this study are as follows. 1) the form of deconstruction of the dimensions of craftmanship in the aesthetic representation of Yogyakarta's contemporary art, seems at least related to two things, namely the technical domain of creation and the contents of the works. From the technical side of its creation, it can be seen from the use of materials (such as rattan, wood, stone, leather, etc.) as well as the technical creation (eg weaving, chisels), that were applied decontructively. Then, in terms of its meaning or content, the results of the creation are no longer a representation of religion either in terms of its functional praxis or civil functions; 2) The factors that cause the strong enough deconstruction of the dimensions of craftmanship in the aesthetic representation of Yogyakarta's contemporary art as intended, include the strong influence of Postmodernism accompanying the development of culture in the Contemporary era, as the antithesis of Modernism, which is realized by the principles of rejecting monosemic-logocentrism and offersnew principles, namely pluralism and polycemic-particularity in culture, including of course also arts, with all the grand narration.

Keywords: deconstruction, craftmanship, aesthetic, contemporary art.

Page 7: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

1

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dinamika wacana perjalanan dan perkembangan seni termasuk juga seni

rupa baik, senantiasa tak pernah dilepaskan atau dipisahkan dengan dinamika di

ranah wacana sosial budaya pada umumnya. Hal ini disebabkan, karena yang

dinamakan dengan kebudayaan itu adalah sebagai modal secara sosial (culture as

capital) (Turner, 2014; Kacunko, 2015:182). Konsep perihal modal budaya ini

pada awalnya dipopulerkan oleh seorang sosiolog Perancis abad ke-16, Pierre

Bourdieu pada tahun 1973, lewat karya tulisnya bersama Jean-Claude Passeron,

Cultural Reproduction and Social Reproduction, yang kemudian dikembangkan

lebih lanjut sebagai konsep teoritis dan alat analisis dalam studi monumentalnya,

yang bertajuk Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste, yang

dipublikasikannya pada tahun 1979, yang kemudian diterbitkan kembali pada

tahun 2013.

Meskipun yang dinamakan wacana hubungan seni dan kebudayaan

tersebut, tidaklah pernah secara absolut bermakna satu arah, dimana misalnya

kebudayaan selalu menjadi variabel yang di depan dan sebagai pihak yang

menentukan. Melainkan yang ada adalah secara dua arah, atau bolak-balik

(reciprocal). Artinya, kebudayaan bisa mempengaruhi kesenian, demkinian juga

sebaliknya kesenian juga bisa mempengaruhi perkembangan dan dinamikan

kebudayaan. Dalam ungkapan yang lain, posisi dan sekaligus peran antara

kebudayaan (yang bersifat makro) dan kesenian (yang bersifat mikro), keduanya

Page 8: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

2

senantiasa berada dalam tegangan dialektis yang sama-sama dalam hitungan

strategis.

Fenomena tersebut, kiranya demikian juga halnya jika dikontekstualkan

dalam diskursus wacana dalam konteks keindonesian, yang di antaranya telah

memasuki era di kebudayaan dan juga kesenian “Kontemporer” misalnya.

Keberadaan antara kebudayaan di satu sisi dengan kesenian di sisi yang lainnya,

juga merupakan sesuatu yang tak dapat dipisahkan. Dalam konteks dunia seni

rupa Indonesia misalnya, istilah “Kontmporer” sebenarnya sudah dikenal cukup

lama. Paling tidak semenjajak era tahun 1970-an, tetapi istilah itu tidak cukup

populer dalam perkembangan pemaknaannya di masyarakat, jika dibandingkan

dengan yang terjadi misalnya pada era menjalang akhir 1990-an. terminologi

Kontemporer terutama di negara-negara non Barat, misalnya di Asia termasuk

juga Indonesia, lebih mendapatkan sambutan wacananya yang sangat besar di era

’90-an ini, terutama seiring dengan semakin pudarnya wacana Modernisme Barat

yang menjadi yang menjadi tumpuan daya hidup budaya dan juga seni muodern

(Yustiono, 1995:57).

Penggunaan istilah Kontemporer dalam konteks termutakhirnya tersebut,

memang menandakan adanya perubahan tata acuan dan orientasi baru yang

kiranya cukup mendasar dalam praksis berkebudayaan dan juga berkesenian. Tata

acuan dan orientasi baru sebagaimana dmaksud, di antaranya yang tampak kuat

mengedepan adalah adanya sikap “perlawanan kultural” terutama terhadap

pelbagai konstruksi pengetahuan yang disandarkan pada perspektif Modernisme

Page 9: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

3

yang cenderung menginduk pada logosentris-monosemik, yang kemudian

digantikan dengan basis kesadaran yang plural dan partikular-polisemik.

Pada dataran praksisnya, perihal konsep logosentris-monosemik dalam

budaya dan seni Modern misalnya tampak pada kekhasan karakteristik penanda

pelbagai representasi seni dan budaya yang cenderung diupayakan sama bahkan

terstandarisasi secara hegemonik, terutama oleh konstruksi pola-pola atau

kategori-kategori yang dimiliki Barat yang dianggap atau diklaim sebagai sesuatu

yang universal maknanya. Dalam jagad seni rupa misalnya, fenomena ini

menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai faham atau aliran seni, yang

kemudian dijadikan sebagai semacam wadah tunggal yang mesti diikuti dengan

segala keketatan yang untuk mendeskripsikan perihal wacana seni itu seperti apa.

Demikian juga misalnya pengkategorisasian yang ada dalam disiplin seni

rupa, dalam wujudnya yang dua dimensi dan tiga dimensi, atau juga pengkotak-

kotakan antara seni rupa murni (fine arts) dan seni rupa terapan (applied arts),

dengan segala keketatan definisinya, adalah juga sebentuk contoh representasi

dari bekerjanya kontruksi alam pikir Modernisme. Semuanya itu akhirnya,

membentuk dan bahkan mengukuhkan adanya bangunan logos yang demikian

sentral peranannya (logocentrism) bagi kesadaran semesta pengetahuan dan

wacana dunia.

Oleh karena itu, konsep atau terminologi kontemporer yang merujuk dari

kata contemporary (Inggris) yang berarti “sezaman” (pada zaman/periode waktu

yang sama), atau juga berarti “masa kini”, tidak cukup memadai untuk

memberikan pemaknaan yang utuh terkait dengan konteks ini. Konsep dari istilah

Page 10: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

4

Kontemporer, kemudian lebih mendapatkan pemaknaan yakni sebagai semacam

genre di dalam seni dengan ciri-ciri tertentu, yang terutama dipertentangkan

dengan seni modern di era atau zaman sebelumnya.

Perihal konstruksi orientasi wacana dan tata kelola seni rupa dalam

konteks Kontemporer sebagaimana dimaksud, dan secara spesifik mengambil

setting Indonesia dan terutama lagi Yogyakarta memasuki dekade ’90-an tersebut,

penolakan terhadap pengkotak-kotakan wacana dan praktik seni rupa yang khas

Modern Barat itu misalnya tampak dari tidak dipakai misalnya lukisan, patung,

atau yang lainnya sebagaimana. Yang ada kemudian adalah berupa penggunaan

istilah cukup seni rupa saja. Sehingga pada dekade ’90-an ini, praktik seni rupa di

Yogyakarta menemukan momentum pluralitasnya, terutama terkait dengan gaya,

teknik, pilihan material, maupun konsep estetik yang diusungnya, yang banyak

disebabkan oleh persinggungannya dengan kompleksitas kondisi sosial, budaya,

baik yang berskala lokal, nasional, maupun internasional (Irianto, 2000). Dalam

ungkapan lain, di sana ada sebentuk wacana kesadaran baru yang bekerja dan

melandasi dari pelbagai bentuk praksis laku seni yang tak lagi mau dihegemoni

oleh prinsip-prinsip logos pengetahuan yang universal versi Modern-Barat.

Dalam praktik seni rupa kontemporer, fenomena bias Barat inilah yang

kemudian banyak digugat dan ditolak keras, dengan cara menghadirkan muatan

spirit dan nilai-nilai pluralitas dan partikularitas, yang kemudian hadir dalam

wujud kesadaran pada pentinga kembali ke akar tradisi. Karena, kalau berbincang

terkait dengan domain “tradisi”, maka sejatinya yang dinamakan dengan kodrat

tradisi itu adalah menyimpan keunikan kekayaan perbedaan yang tiada terperi.

Page 11: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

5

Adapun pemaknaan dari konsep penghargaan pada partikularitas tradisi dalam

jagad Kontemporer ini, sama sekali tidak bermakna merusak atau bahkan

menghilangkan harmoni, melainkan justru sebaliknya, bahwa harmoni soaial itu

dijangkarkan pada dasar asas terdasarnya, yakni kodrat perbedaan yang tak perlu

dipersoalkan, apalagi harus disamakan.

Di antara sekian banyak auratik nilai-nilai partikularitas-lokalitas dalam

praktik wacana seni rupa Kontemporer Yogyakarta itu, adalah tampak dari

banyaknya karya seni rupa yang bersinggungan dengan dimensi kekriyaan

(craftmanship). Adapun yang dimaksud dengan kekriyaan itu, adalah segala

sesuatu yang berkaitan dengan seni kriya. Seni kriya itu sendiri secara

terminologis, merupakan bagian dari sub rumpun atau sub cabang dari seni rupa,

dengan salah satu ciri khas yang menonjol adalah terkait dengan dimensi

fungsionalitasnya (applied arts). Hal ini sebagaimana disampaikan oleh

Cukierkorn (2008:9), “Aesthetic concerns are significant to the applied arts;

however, the work of applied artists is concerned with presented problems, such

as making objects with functional purposes”. Hal ini misalnya dapat dilihat pada

produk-produk kriya seperti keris, gamelan, wayang, dan lain sebagainya, yang

disamping bernilai estetis, juga fungsional sifatnya.

Di samping terkait karakteristik produknya yang fungsional, domain yang

melekat dalam seni kriya yang tak kalah penting adalah dari sisi prosesnya yang

cenderung rumit (istilah Jawa: ngawit, njlimet), dan bahkan tidak jarang yang

melibatkan proses kontemplatif yang tinggi. Proses pembuatan produk-produk

kriya yang seperti itu, bahkan sebagai cermin perilaku metafisis perambahan alam

Page 12: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

6

kasidan jati, sehingga telah menghantarkan konsepsi filosofis seni kriya itu pada

kearifan budaya dalam masyarakat kita, yang tidak hanya menyangkut kehidupan

di dunia sini (nyata), melainkan juga kehidupan di “dunia sana” (Gustami,

1991:3).

Hal itulah, akhirnya pada titik tertentu, seni kriya tidak cukup bisa

maknanya disamakan dengan istilah dalam bahasa Inggris yakni craft, karena

memang mempunyai perbedaan filosofi sosiokultural yang sangat mendasar.

Bahkan, karena kekhasan yang ada dan melekat dalam konteks kebudayaan

Indoesia itulah, akhirnya seni kriya identik dekat dengan treminologi “lokal-

tradisi” atau local genius milik bangsa ini.

Adapun terkait dengan pengedepanan dimensi keriyaan atau seni kriya

dalam representasi estetis seni rupa kontemporer Yogyakarta ini, di antaranya

tampak dari karya-karya Heri Dono dan juga Nasirun misalnya, baik yang berupa

lukisan atau instalasi, yang representasi karyanya banyak menggunakan idiom-

idiom simbolik wayang dan juga gamelan. Demikian juga halnya dengan karya-

karya Nindityo Aripurnomo dengan karya instalasi berupa anyaman dengan

berbagai media yang bertajukkan serial Konde (bahasan Jawanya sanggul

perempuan, juga merupakan contoh kasus yang sama. Demikian juga halnya

dengan seniman-seniman dengan karya seni yang lain yang banyak, yang basis

karyanya banyak bersinggungan atau menggunakan pelbagai ikon kekriyaan

sebagai pertaruhan kekuatan representasi estetisnya, yang ternyata justru karya-

karya tersebut, mendapatkan sambutan dan menjadi wacana luas di berbagai

forum baik di tingkat nasional maupun internasional.

Page 13: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

7

Namun yang menjadi catatan kritis adalah bahwa dimensi kekriyaan yang

menjadi salah satu ikon utama dalam representasi seni rupa kontemporer

Yogyakarta sebagaimana dimaksud, kerap atau bahkan cenderung

direpresentasikan dalam konstruksi yang cenderung dekonstruktif, jika

dibandingkan dengan dimensi kekriyaan tersebut direpresentasikan dalam praktik

berkesenian di masa silam. Konstruksi dekonstruktif kekriayaan dalam seni rupa

kontemporer Yogyakarta tersebut, di antaranya dapat ditemukenali dengan

representasi pelbagai ikonik kekriyaan, misalnya wayang, gamela, keris, dan lain

sebagainya, banyak yang dihadirkan sebagai medium parodi dan kritik secara

politis atas tema tertentu yang kebetulan diusung dalam karya seni tersebut.

Dalam konteks inilah, akhirnya kerap pelbagai ikonik kekriyaan, yang

ketika di masa lampau sebagai simbol kebudayaan adi luhung, kemudian menjadi

sebagai sesuatu yang maknanya bisa saja sebaliknya. Fenomena dekonstruktif atas

dimensi kekriyaan dalam representasi seni rupa kontemporer Yogyakarta tersebut,

kiranya sebagai sesuatu hal yang menarik, terutama dalam konteks kaitannya

dengan diskursif perihal dinamika kesenian dan juga kebudayaan, yang kerap juga

menimbulkan perbedaan tafsir di masyarakat dalam memaknainya. Gambaran

tentang fenomena tersebut, untuk dapat dibangun justifikasi akademiknya perlu

dilakukan sebuah penelitian.

Berdasarkan deskripsi latar belakang tersebut di atas, maka penelitian

tentang dekonstruksi dimensi kekriyaan dalam seni rupa kontemporer Yogyakarta

ini penting untuk dilaksanakan. Dengan adanya data dan temuan objektif hasil

dari penelitian ini, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran yang

Page 14: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

8

signifikan bagi upaya untuk membangun kesadaran kultural-diri, di antaranya

melalui teks seni kriya, yang semua itu amat bermakna bagi kepentingan politik

identitas dan pembentukan jati diri akan budaya sebuah bangsa.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan pokok yang

hendak dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Seperti apa bentuk-bentuk dekonstruksi dimensi kekriyaan dalam

representasi estetis seni rupa kontemporer Yogyakarta?

2. Faktor apa saja yang menyebabkan cukup kuatnya dekonstruksi dimensi

kekriyaan dalam representasi estetis seni rupa kontemporer Yogyakarta

sebagaimana dimaksud?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan pokok permasalahan, tujuan penelitian ini dapat

dirumuskan sebagai berikut.

1. Untuk mengidentifikasi, mendeskripsi, dan mengeksplanasi bentuk-bentuk

bentuk-bentuk dekonstruksi dimensi kekriyaan dalam representasi estetis

seni rupa kontemporer Yogyakarta.

2. Untuk mengidentifikasi, mendeskripsi, dan mengeksplanasi faktor-faktor

apa saja yang menyebabkan cukup kuatnya dekonstruksi dimensi

kekriyaan dalam representasi estetis seni rupa kontemporer Yogyakarta

sebagaimana dimaksud.

Page 15: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

9

D. Urgensi/Keutamaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat atau kontribusi

positif, baik yang bersifat teoretis maupun praktis. Secara teoretis hasil penelitian

ini diharapakan dapat memperkaya khazanah kajian dan referensi bagi

disiplin/keilmuan seni rupa, khususnya sejarah seni rupa, estetika, dan juga kritik

seni rupa yang berbasis analisis tradisi kritis.

Kemudian secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi

berbagai pihak yang terlibat, baik langsung maupun tak langsung yang terlibat

dalam pengembangan dunia maupun keilmuan seni rupa Indonesia. Berbagai

pihak sebagaimana dimaksud diantaranya adalah para seniman, kurator, kritikus,

pendidik dan pemerhati seni, pengelola galery seni, kolektor, dan juga masyarakat

dalam arti yang luas, untuk dijadikan sumbangan referensi dan pemikiran bagi

kemungkinan peningkatan kesadaran akan pentingnya pemahaman terkait dengan

hadirnya wacana dan juga nilai-nilai baru berupa spirit kontemporer-postmodern,

sebagai salah satu pilar penyangga utama keberadaan atau representasi budaya

dan juga seni termasuk juga seni rupa di kemudian hari.

Page 16: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

10

BAB IIKAJIAN PUSTAKA

A. Tinjauan tentang Konsep Dekonstruksi

Diskurus perihal konsep dekonstruksi secara terminologis adalah terkait

dengan kajian pada ranah filsafat bahasa, terutama dalam konteks hubungannya

dengan persoalan dinamika perubahan dan perkembangan zaman di era

Postmodernisme dalam memaknai sebuah teks. Dalam konteks arti yang luas, seni

dan bahkan segala bentuk representasi kebudayaan itu, sejatinya adalah juga

selalu berurusan dengan risalah bahasa. Sebagaimana diketahui, sejalan dengan

perkembangan peradaban, persoalan di ranah filsafat bahasa pun juga mengikuti

perubahan yang ada. Di era Modern sebagai era “logosentrisme” (Epstein, 2002;

Auslander, 2002) misalnya, betapa filsafat bahasa ditandai dengan kecenderungan

yang mengafirmasi makna yang cenderung “monosemik”, yakni bermakna

objektif, tunggal, dan bahkan absolut (Morrow & Brown, 1994:234; Savoye,

2017). Pandangan tersebut juga mendapatkan peneguhan yang sama oleh Peter

Pericles Trifonas, 2000:109), dalam ungkapan, “The metaphysical (logocentric)

assumptions behind the objective setting of the value of truth are reductive, ...

have to be the most satisfaction of "rationality," there is hidden the opening of the

non-ethical violence of the universal”.

Fenomena itu, dalam perkembangannya kemudian ditolak pada era

Postmodern, yang cenderung mengafirmasi faham sebaliknya, yakni memahami

bahasa itu lebih sebagai fenomena yang sifatnya “polisemik”, cair, dan karenanya

tak pernah tunggal (Vanborre, 2012). Oleh karena itulah, dalam ungkapan yang

Page 17: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

11

lain, bahwa Postmodernisme menolak logosentrisme yang objektif, absolut, dan

universal (Radhakrishnan, 1983).

Ketika berbincang perihal perspektif dekontruksi yang terutama

berbasiskan faham filsafat Postmodernisme tersebut, salah seorang tokoh yang

berjasa besar meletakkan dasar fondasi pengetahuan dan kesadarannya adalah

filsuf Prancis Jacques Derrida. Derrida melalui terutama karyanya Of

Grammatology yang terbit pertama kali berbahas Prancis De la Grammatologie

pada tahun 1976, dan kemudian diterjemahkan oleh Gayatri Chakravorty Spivak

dan dicetak ulang pada tahun 2016, tertarik untuk mengkritik filsafat bahasa

modern karena identik dengan pandangan metafisika kehadiran (being) dan

logosentrisme, yang terutama disandarkan pada diktum kekuatan rasionalitas dan

tentunya juga objektivitas (Manithottil, 2008:3). Dalam konstruksi logosentrisme,

metafisika kehadiran kemudian memaknai suatu konsep atau teori perihal

kebenaran itu, jika sesuatu “yang ada (being) itu, bisa terwakili eksistensinya oleh

yang namanya tanda atau bahasa.

Dalam perspektif dekonstruksi, Derrida menolak terhadap pandangan

tersebut, yakni bahwa yang dinamanakan setiap penanda, bahasa, atau teks itu,

bukanlah kenyataan yang menghadirkan “ada” secara absolut dalam dorinya,

melainkan hanyalah sekadar berupa “jejak”(trace) yang pernah ada. Dalam sudut

pandang dekonstriksi, Derrida justru meyakini pandangan bahwa, sesuatu yang

“ada” itu, sejatinya secara eksistensial bersifat plural, bukannya singular, hingga

tak bisa begitu saja dapat dimaknai secara tunggal adanya. Maka konstruksi

perihal metafisika kehadiran yang melekat kuat dalam faham modern tersebut

Page 18: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

12

harus dibongkar (didekonstruksi).

Tradisi logosentrisme dengan demikian amat menonjolkan kecenderungan

berpikir dalam format oposisi biner dan hirarkis (Ritzer, 2004:591).

Logosentrisme menganggap bahwa yang sesuatu yang hadir awal sebagai sistem

tanda merupakan sumber dan sekaligus pusat kebenaran, sedangkan yang

berikutnya adalah menjadi pinggiran dan selalu menjadi hal marjinal, dan

karenanya kerap dianggap sebagai yang tak terlalu signifikan. Terkait dengan hal

itulah, karenanya dalam logosentrisme cenderung mengafirmasi buta konsep

totalitas baik dalam konteks pemaknaan di tingkat esensialisme maupun

eksistensialisme. Konsep totalitas menyatakan bahwa kebenaran adalah satu,

tunggal, singular, sedangkan konsep esensi menyatakan tentang dasar sesuatu

pada pengetahuan (logos) yang juga tunggal. Kedua konsep baik totalitas maupun

esensi tersebut, bisa menjadi konsep-konsep yang memaksa atas adanya sesuatu

pengetahuan dan melegitimasi kekuasaan berdasarkan rasio dan pengetahuan.

Logosentrisme inilah yang kemudian menjadi dasar perspektif bagi tata konstruksi

alam pikir Modern, yang secara kulturasi kemudian menimbulkan pola dialketis

dikotomi antara subyek-obyek, yang maknanya juga senantiasa meyiratkan

hubungan yang tak setara, di mana kebenaran ini seringkali dicirikan dengan

kebenaran tunggal, absolut, dan universal, dan itu adalah milik sang subjek.

Pendekatan dekontruksi Derrida tersebut, dengan demikian menawarkan

sebentuk teknik mengidentifikasi kemungkinan kontradiksi dalam setiap

kehadiran teks sehingga memperoleh kesadaran lebih tinggi, daripada sekadar

menyepakati makna yang telah ada sebelumnya. Dalam konteks ini, karenanya

Page 19: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

13

perspektif dekonstruksinya Derrida selalu berkepentingan untuk mempertanyakan

makna tunggal dari sebuah teks atau bahasa (Birch, 2005:1841). Dengan

demikian, dekonstruksi juga menolak faham dan sekaligus mode berpengetahuan

yang berbasisikan logosentrisme dan metafisika kehadiran. Hal ini misalnya

sebagaimana disampaikan oleh Gaskin (2013:333).

Logocentrism is the illusion that the meaning of the word has its “origin” in the structure of reality itself and hence make the “truth” about that structure seem directly “present” the mind. The point is that if one allows the terms of a given language to become so predominant in one’s thinking that one can neither conceive of any alternative to them nor of any analysis that might question their coherence and sufficiency, one will inevitably come to believe that the words of that language reflect that necessary structur of the world: its categories will seem to be world’s catagories, its concepts the structure of reality.

Dalam pandangan dekonstruksi, dengan demikian meyakini bahwa secara

eksistensial, yang namanya teks atau bahasa itu dalam struktur dan sistem sosial,

sejatinya terus-menerus selalu berada dalam posisi potensi tegangan ambiguitas

dan konfliktualitas yang tanpa batas. Dekonstruksi dengan demikian, memandang

dan memaknai setiap teks, tanda, atau bahasa itu, lebih sebagai medan dan arena

pelbagai kemungkinan, sehingga menolak pemaknaan yang cenderung

disandarkan pada basis hegemonik dan format kesamaan. Oleh karena itu,

perspktif dekonstruktif ini, dengan tegas menolak pemahaman perihal bahasa

sebagaimana versi perspektif warisan Aristotelian.

Sebagaimana diketahui bahwa perspektif Aristotelian itu, senantiasa

menyandarkan pemahaman kebenaran pengetahuan itu, lebih diletakkan pada

domain logika deduktif yang menghasilkan pelbagai klaim yang bersifat tunggal

dan bahkan universal. Bauer (2015) mengemukakan bahwa, “Aristotelian thinking

Page 20: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

14

relies, heavy, on deductive reasoning—for ancient logicians and philosophers, the

highest and best road to the truth. Deductive reasoning moves from general

statements to specific conclusions”. Terkait dengan pandangan tersebut, Wallace

& Fleet (2012) menyampaikan pendapat sebagai berikut.

Deductive logic is an important formal structure that has played a long history in the development of scientific and scholarly thought. Deduction is the basis for most of Aristotelian logic, which was the fundamental principle of scholarly reasoning up until the Scientific Revolution.

Adapun dampak dari filsafat dekonstruksi yang menolak logosentrisme

yang tunggal dan universal ini, adalah bahwa yang dinamakan setiap kehadiran

atau teks itu, senantiasa potensial untuk kemungkinan bermakna ganda. Fenonema

ini, akhirnya menghantarkan adanya peluang terkait dengan kemungkinan

pudarnya yang dinamakan dengan batas-batas demarkasi oposisi biner, misalnya

antara konsep dengan metafor, antara kebenaran dengan fiksi, antara prosa dengan

puisi, dan antara keseriusan dengan permainan. Dengan membaca secara

dekonstruktif, teks bisa dikatakan selama ini menjadi pusat yang dipinggirkan,

dikeluarkan, dan dianggap sebagai “yang lain”. Namun, menurut Derrida (Naugle,

2002:176), bahwa sebenarnya tidak ada sesuatu yang ada di luar teks, sehingga

sang pusat juga tidak bisa mengkalim sebagai lebih dominan, karena ia hanyalah

salah satu di antara jaringan teks.

Dalam perspektif inilah, terminologi tentang apa yang dinamakan tentang

eksistensi esensi akan setiap realitas itu tidak boleh menghapuskan kebenaran

partikular atau yang bersifat lokal. Dengan demikian, dekonstruksi adalah sebuah

strategi filsafat, untuk membongkar modus pembacaan dan pengintepretasian

yang mendominasi dan bahkan menghegemoni fundamen hierarki. Dekonstruksi

Page 21: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

15

dalam hal ini, akhirnya menjadi semacam strategi untuk mengupas lapisan-lapisan

makna atas setiap representasi bahasa atau teks, yang kerap dinegasikan di alam

Modern (McQuillan, 2001:2). Pemaknaan atas teks dengan perspektif

dekonstruksi ini kiranya menjadi amat penting, terutama ketika dalam alam

Modern, betapa yang dinamakan dengan kodrat kompleksitas, pluralitas, dan

partikularitas teks itu hendak disatukan dalam satu persepektif yang

keseluruhannya dimaknai sebagai sesuatu yang sama, dan karenanya amat rentan

keberadaannya.

B. Tinjauan tentang Dimensi Kekriyaan

Mendiskursuskan perihal “kekriyaan” sejatinya adalah menyoal perihal

yang terkait dengan seni kriya. Seni kriya, dalam perspektif akademik termasuk

bagian dari sub atau cabang dari keilmuan seni rupa (visual arts), yang basis

eksistensinya lebih berada pada ranah seni terapan (apllied arts). Seni terapan

adalah sebentuk fenomena seni, yang substansi kinerja kreatif-estetiknya, tidak

semata-mata diabdikan bagi kepentingan eskpresi, melainkan lebih diarahkan

pada orientasi kebermakaan dari segi fungsional praksisnya. Sementara itu, seni

rupa yang keberadaannya dihajatkan cenderung untuk memenuhi kebutuhan

ekspresi-estetis, kerap dikenal sebagai seni murni (fine/pure arts), misalnya

berupa lukisan, patung, atau karya grafis. Untuk sekadar memberikan contoh

perihal keberadaan seni kriya sebagaimana dimaksud, dalam masyarakat kita

secara sosiologis, misalnya mewujud dalam bentuk karya-karya seperti wayang,

gamelan, keris, dan lain sebagainya.

Page 22: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

16

Sementara itu, dari perspektif sosiologis, keberadaan seni kriya dalam

kesadaran budaya Indonesia telah memiliki sejarah yang amat panjang, yang awal

kehadirannya diturunkan dari “tradisi besar” atau “budaya agung” (Gustami,

1991:2) di lingkungan dalam tembok kraton (terutama di Jawa) dan kemudian

memancar ke segala lapisan masyarakat, diestafetkan antargenerasi, dan

berakulumulasi dalam bentangan ruang dan waktu yang teramat panjang, akhirnya

telah menempatkan dirinya sebagai salah satu aset kearifan budaya lokal (local

genius) bangsa yang mahal.

Di luar persoalan itu, satu hal lagi yang semakin membuat seni kriya

menjadi amat bermakna bagi kebudayaan kita adalah, karena eksistensi dan nilai-

nilai yang terkandung di dalamnya mempunyai ciri atau karakter yang khas, yang

bahkan akhirnya dijadikan semacam panduan spirit masyarakatnya dalam

menjalin rajutan hidup bersama. Hal ini paling tidak dapat ditelisik dari sisi

dimensi ontologis dan epistemis seni kriya, yang di dalamnya amat sarat dengan

pertimbangan-pertimbangan yang cermat dan ngrawit, bukannya semata-mata

dalam arti halus atau lembut, melainkan werit lan winadi, yang merupakan cermin

perilaku metafisis perambahan alam kasidan jati, sehingga telah menghantarkan

konsepsi filosofis seni kriya itu pada kearifan budaya dalam masyarakat kita, yang

tidak hanya menyangkut kehidupan di dunia sini (nyata), melainkan juga

kehidupan di ‘dunia sana’ (Gustami, 1991:3).

Karenanya menjadi cukup beralasan, manakala kedudukan seni kriya

sebagai salah satu local genius ini demikian memegang peranan sentral, yang

eksistensinya merupakan roh atau spirit yang telah ikut menentukan warna

Page 23: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

17

kepribadian masyarakatnya. Hilangnya atau musnahnya local genius ini berarti

pula memudarnya kepribadian dan identitas suatu masyarakat pendukungnya,

sedangkan kuatnya local genius untuk bertahan dan berkembang, menunjukkan

pula kuatnya kepribadian dan identitas masyarakat itu. Oleh karena itu, adalah

penting sekali setiap upaya pemupukan serta pengembangan local genius, yang

akan berfungsi bagi kepentingan politik identitas kebudayaan sebuah masyarakat

dan bangsa. Tentunya dalam konteks ini adalah juga kearifan budaya lokal yang

berbasiskan seni kriya.

Dalam pemaknaan di tingkat ang agak teknis, istilah kriya yang dalam

Inggrisnya dalah craft, yaitu kemahiran membuat produk yang bernilai artistik

dengan keterampilan tangan (Paul Greenhalgh, 2003:70). Bahkan pada

diametrikal tertentu, pelbagai produk yang dihasilkan dalam seni kria, umumnya

eksklusif dan dibuat tunggal, sehingga salah satu ciri karya kriya adalah produk

yang memiliki nilai keadiluhungan baik dalam segi estetik maupun guna.

C. Tinjauan tentang Konsep Kontemporer dalam Seni Rupa

Istilah Kontemporer berasal dari Bahasa Inggris contemporary, ‘co’ yang

berarti bersama dan ‘tempo’ yang maknanya adalah lebih terkait dengan persoalan

waktu, yakni masa kini, sekarang atau modern, sehingga kontemporer berarti pada

waktu yang sama, pada masa kini, dewasa ini. Hal ini sejalan dengan pemaknaan

yang disampaikan dalam Merriam Webster Dictionary (https://www.merriam-

webster.com/dictionary/contemporary), yakni, “Marked by characteristics of the

present period”; atau “happening, existing, living, or coming into being during the

same period of time”. Pemaknaan terkait dengan istilah Kontemporer, jika semata-

Page 24: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

18

mata terkait dengn risalah waktu yang termutakhir tersebut kerap menimbulkan

pelbagai persoalan (Danto, 1995), karena tidak mampu menerangkannya di

tingkat substansinya. oleh kerena itu, pengertian yang kiranya cukup memadai,

adalah konsep Kontemporer yang lebih disandarkan pada dimensi substansi spirit

yang ada di dalamnya, dan bukannya semata-mata dengan persoalanya waktu

yang menyertainya.

Dalam pemaknaan istilah kontemporer yang terkait dengan persoalan

substansi representasi karya seni ini pun, cakupannya juga sangat luas. Dalam

pandangan Sumartono (2000:21) misalnya, pengertian yang beredar luas di

masyarakat, ‘seni rupa kontemporer’ bisa berarti seni rupa modern dan seni rupa

alternatif, seperti: instalasi, happening art (happenings) dan performance art,

yang berkembang di masa sekarang. Instalasi adalah karya seni rupa yang

diciptakan dengan menggabungkan berbagai media, membentuk kesatuan baru,

dan menawarkan makna baru. Karya instalasi menampilkan secara bebas, tidak

menghiraukan pengkotakan cabang-cabang seni rupa menjadi ‘seni lukis’, ‘seni

patung’, ‘seni grafis’, dan lain-lain. Happenings, di Barat (terutama di Amerika

Serikat) juga disebut ‘teater aksi’ atau total teater (total teathre), yang

menyatukan beberapa jenis media, dan merupakan persilangan antara suatu

pameran seni rupa dan seni pertunjukan teatrikal. Biasanya happenings

menghindari penggunaan unsur-unsur teater tradisional, seperti: alur cerita,

karakter pemain, dan pengulangan adegan, tetapi juga menggunakan naskah,

tema, dan juga latihan; jadi bukan improvisasi. Durasi happenings tidak tentu, dan

pertunjukkannya bisa dilakukan di segala tempat. Performance art pemaknaannya

Page 25: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

19

mirip dengan happenings, yakni gabungan antara seni rupa dan seni pertunjukan,

tetapi penekanan dari representasi itu tetap pada aspek visual.

Secara historis dalam konteks Indonesia, ketika berbincang perihal

pengertian kontemporer yang disandarkan pada aras makna karya seni rupa yang

secara mendasar berbeda dengan seni rupa modern tersebut, perkembangan

wacananya sudah dimulai sejak tahun 1970-an, bersamaan dengan terjadinya

krisis seni rupa modern. (Sumartono, 2000:22).

Buliran insight yang dapat dipetik dari makna wacana seni rupa

kontemporer ini adalah adanya terobosan penghargaan yang sangat luar biasa atas

semangat baru dalam kehidupan berkesenian. Hal ini amat berbeda dengan

semangat di era modern, yang banyak sekali terdapat standardisasi yang terkait

dengan representasi estetis karya seni. Hal ini disebabkan era modern juga

ditopang oleh faham positivistik ilmu pengetahuan manusia, yang serba bercirikan

universalitas, yang telah mengakibatkan era modern kehilangan potensi dinamika

dialektikanya. Dengan lahirnya era kontemporer dalam dunia seni rupa, yang

notabene juga tidak lagi mengenal ideologi-ideologi universalitas yang sering

membelenggu itu, maka banyak sekali semangat inovasi serta ide baru dalam

lahir dan berkembang, untuk menggali sebanyak mungkin ikon pencerahan. Era

ini sering disebut sebagai era semangat perayaan kesadaran perbedaan dalam

berkesenian dan berkebudayaan, yang pada titik tertentu juga merupakan

peletakan dasar-dasar embrio penghargaan prinsip-prinsip pluralisme dan

multikulturalisme dalam arti yang terbuka dan luas di masyarakat. Karenanya

berbagai isu pencerahan strategis kebudayaan dan peradaban yang dapat

Page 26: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

20

didedahkan melalui dunia seni, dalam bingkai semangat di era kontemporer ini,

mestinya menemukan ruang yang sangat kondusif. Termasuk juga dalam konteks

ini tentunya sensitif atas persoalan nilai-nilai yang berbasis pada akar tradisi.

Page 27: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

21

BAB IIIMETODE PENELITIAN

A. Jenis Pendekatan

Penelitian ini mrnggunakan pendekatan hermeneutik. Adapun yang

dimaksud pendekatan hermeneutik adalah sebuah mediasi yang pada dasarnya

adalah terkait dengan kerja penafsiran. Dalam konteks ini knierja penafsiran

sebagaimana dimaksud adalah penafsiran terhadap teks berupa karya seni,

khususnya lagi adalah karya seni rupa kontemporer Yogyakarta. Kata

hermeneutik itu sendiri, berasal dari istilah Yunani, yakni dari kata kerja

hermeneuein yang berarti menafsirkan, dan kata benda hermeneia, yang bermakna

interpretasi (Palmer, 2005:14). Dalam mitologi Yunani, istilah hermeneutik,

konon diturunkan dari nama dewa Yunani kuno, Hermes. Hal ini sebagaimana

disampaikan oleh (Bergant, 2016), yakni,

The word and the meaning of hermeneutics are related to the Greek god Hermes who was the interpreter of the message of the gosd. There is a tradition in Greek mythology that this god often played tricks on those to whom he was supposed to deliver messages.

Dewa Hermes adalah dewa yang bertugas menyampaikan dan menafsirkan

pesan yang berasal dari dewa-dewa lain di Gunung Olympus, kepada manusia.

Kata kerja hermeneuin, yang dalam bahasa bahasa Latinnya hermeneutikos atau

dalam istilah Inggrisnya to interpret, bermakna sebagai suatu pesan dari dunia

lain, kepada orang atau masyarakat yang berhadapan dengan pesan itu. Dengan

demikian dalam konteks sosial historisnya makna hermeneutik mengacu pada

nama Hermes itu. Dengan begitu, hermeneutik dapat diartikan sebagai kegiatan

Page 28: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

22

yang berkaitan dengan penafsiran dan penggelaran arti yang tersembunyi atau

menjadi rahasia dalam teks atau karya (Kohl, 1992:30). Bahkan dalam kaitannya

secara historis, bahwa hermeneutik itu pada awalnya banyak terkait dengan kerja

panafsiran khususnya lagi adalah terkait dengan Alkitab. “Hermeneutics is the

theory and methodology of interpretation, especially the interpretation of biblical

texts, wisdom literature, and philosophical texts”, demikian dalam penegasan

Robert (1999:377) dan juga Reese (1980:221)

Namun, perlu ditegaskan bahwa, proses penafsiran terhadap teks atau

karya seni rupa dalam kerangka hermeneutik ini, bukanlah untuk merekonstruksi

autentisitas makna yang asli dan asali sebagaimana yang digagas atau dimiliki

oleh pencipta karya atau teks, melainkan lebih ditujukan kepada model penafsiran

yang sifatnya memproduksi makna atau merayakan pemaknaan. Karenanya,

proses kinerja hermeneutik ini, menolak fokus sentral model ‘Hermeneutik

Romantik’-nya Schleiermacher’, yakni model ritus pembacaan yang difiksasikan

pada maksud untuk memahami secara tepat kehendak makna si pengarang,

pencipta, atau pembuat teks, karena hal itu mengandung tiga kelemahan. Pertama,

hilangnya apa yang diistilahkan pleasure of reading, karena terlebih dahulu

pembaca dibebani telos tertentu yang mesti sesuai dengan maksud pencipta teks.

Kedua sulitnya menemukan maksud pencipta teks yang sebenarnya, karena setiap

ekspresi karya, sebenarnya selalu berada dalam tegangan antara manifest content

dan latent content. Ketiga, sulitnya untuk menyatu dengan dunia ‘ada’-nya si

pencipta teks secara objektif, karena teks itu telah menyejarah di masa lalu

(Adian, 2005:210-211). Adapun model hermenutik yang dipakai dalam penelitian

Page 29: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

23

ini adalah model hermeneutik-dekonstruktif Derrida.

Pemaknaan kerja hermeneutik model hermeneutik-dekonstruktif Derrida

terhadap teks sebagaimana dimaksud dalam konteks penelitian ini, karenanya

tidak dihajatkan untuk menggali makna atau pesan otentik yang dimiliki oleh sang

pembuat teks karya seni rupa kontemporer Yogyakarta sebagaimana dimaksud,

melainkan lebih diorientasikan pada pengembangan tafsir atau pemaknaan peneliti

yang didasarkan pada sudut pandang atau pespektif kritis tertentu. Karenanya bisa

jadi, hasil dari model pemaknaan dalam kinerja hermeneutis seperti ini, sangat

mungkin tidak sama atau berbeda. Perihal kemungkinan ketaksamaan makna hasil

kinerja penafsiran seperti ini tak masalah dalam konteks hermeneutis, karena

memang yang dinamakan dengan makna atas teks tertentu itu tak pernah ada yang

bersifat tunggal melainkan plural. Justru dengan potensi hadirnya pluralitas

pemaknaan tersebut, eksistensi dan entitas pelbagai representasi kebudayaan dan

juga kesenian di masyarakat akan dapat terus dipertahankan.

B. Jenis Penelitian

Adapun jenis metode atau cara penelitian yang digunakan dalam konteks

penelitian ini adalah jenis deksriptif kualitatif, yang berusaha mengkaji data yang

berasal dari latar alamiah atau natural secara komprehensif atau holistik (Marilyn

Lichtman, 2010:15). Data penelitian ini adalah berupa karya seni rupa

kontemporer Yogyakarta, yang dibuat pada periode 1990-an sampai dengan 2000-

an. Alasan pemilihan data ini adalah, bahwa pada periode ruang dan waktu

tersebut, wacana seni rupa kontemporer Yogyakarta mulai sangat santer

wacananya, dan terutama lagi dengan memakai pelbagai ikonik yang terkait

Page 30: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

24

dengan dimensi tradisi dan juga kerkiyaan. Adapun secara teknis, terkait data

penelitian ini adalah berupa karya seni rupa kontemporer Yogyakarta, baik berupa

lukisan maupu karya seni rupa instalasi, yang dibuat oleh beberpa seniman

Yogyakata, di antaranya adalah karya-karya Nindyto Aripurnomo, Heri Dono, dan

juga Nasirun, yang pada momen atau saat itu banyak menjadi wacana dan

apresiasi yang tinggi baik dalam konteks skala nasional maupun iternasional.

Secara metodologi, teknik pemilihan sampel pada penelitian ini adalah dengan

metode purposive sampling atau dikenal dengan istilah lain judgmental sampling

(Elizabeth DePoy, Laura N. Gitlin, 2013:169). Adapun pengertian dari purposive

sampling adalah pengambilan sampel secara sengaja sesuai dengan persyaratan

sampel yang diperlukan (Kumar, 2008:42).

Sebagaimana yang ada dalam tradisi penelitian kualitatif, bahwa yang

menjadi instrumen atau alat untuk mengumpulkan data yang utama adalah peneliti

sendiri, yang secara teknis diistilahkan sebagai human instrument. Dalam

perasional atau pelaksanaanya di lapangan, proses pencarian data teersebut

dibantu dengan berbagai ayang relevan, misalnya pedoman dokumentasi, camera,

scaner, dan lain sebagainya yang relevan.

Kemudian untuk teknik analisis datanya, dilakukan secara berlanjut,

berulang, dan terus-menerus selama kegiatan penelitian berlangsung, yang di

dalamnya tercakup tiga hal pokok, yakni, reduksi data, display (penyajian) data,

dan penarikan kesimpulan atau verifikasi (Miles & Huberman, 1994:12; Jonker &

Pennink, 2010:142).

Page 31: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

25

BAB IVHASIL DAN PEMBAHASAN

Sejalan dengan fokus permasalahan yang telah disebutkan pada bagian

Bab I, maka pada bagian Bab IV ini akan dipaparkan data hasil penelitian dan

berikut pembahasannya. Adapun fokus sajian hasil dan pembahasan penelitian ini,

terkait dengan dua hal pokok, yakni: 1) bentuk-bentuk dekonstruksi dimensi

kekriyaan dalam representasi estetis seni rupa kontemporer Yogyakarta; dan 2)

mengeksplanasi faktor-faktor apa saja yang menyebabkan cukup kuatnya

dekonstruksi dimensi kekriyaan dalam representasi estetis seni rupa kontemporer

Yogyakarta sebagaimana dimaksud.

Karena faktor keterbatasan penelitian, maka dalam penelitian ini, tidak

mungkin seluruh karya seni rupa kontemporer di Yogyakarta dijadikan sasaran

analisis penelitian, melainkan hanya difokuskan pada lukisan yang di dalamnya

dianggap cukup representatif terkandung muatan makna yang terkait dengan

dimensi dekonstruksi kekriyaan sebagaimana dimaksud. Sebagaimana telah

ditegaskan dalam pembatasan permasalahan penelitian yang terdapat di Bab I,

maka kaya seni rupa yang diteliti ini adalah karya lukis yang dibuat oleh para

perupa Yogyakarta pada periode pertengahan tahun 1990-an sampai tahun 2000-

an, yang dipilih secara pruporsive, yakni yang benar-benar dianggap cukup

representatif dan sesuai dengan permasalahan serta tujuan penelitian ini. Pilihan

atas periode waktu itu, terutama disandarkan pada alasan cukup banyaknya karya

seni rupa yang mengedepankan ikon-ikon kekriyaan sebagaimana yang menjadi

topik penelitian ini. Sajian data dan pembahasan selengkapnya terkait dengan dua

Page 32: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

26

fokus permasalahan yang hendak ditemukan jawabannya tersebut, dideskripsikan

sebagai berikut.

A. Bentuk-Bentuk Dekonstruksi Dimensi Kekriyaan dalam Representasi Estetis Seni Rupa Kontemporer Yogyakarta

Berdasarkan data yang ada di lapangan, banyak sekali ditemukan representasi

pelbagai bentuk dekonstruksi dimensi kekriyaan dalam representasi estetis seni

rupa kontemporer Yogyakarta. Adapun pelbagai bentuk dekonstruksi dimensi

kekriyaan dalam representasi estetis seni rupa kontemporer Yogyakarta tersebut,

paling tidak terkait dengan dua hal, yakni terkait dengan ranah atau domain teknis

pembuatan atau penciptaan karyanya, dan kedua terkait dengan ranah atau domain

makna isi atau subject matter-nya.

Pertama, dekonstruksi dimensi kekriyaan terkait dengan ranah atau domain

teknis pembuatan/penciptaan karya seninya, dapat dimaknai sebagai penghadiran

atau penciptaan pelbagai karya seni rupa kontemporer Yogyakarta, yang banyak

sekali menggunakan atau mengadaptasi dari keteknikan yang awalnya dimiliki

secara khas dalam seni kriya. Sebagaimana diketahui, bahwa sebagai salah satu

cabang atau sub dalam kajian seni rupa secara umum (visual arts), seni kriya atau

sering juga disebut sebagai kriya, mempunyai tradisi terkait dengan teknis

pembuatan karyanya yang dikatakan berbeda jika dibandingkan dengan yang

dimiliki oleh sub atau cabang eni rupa lainnya, misalnya lukis, patung, maupun

grafis misalnya. Perbedaan itu, terutama terkait dengan misalnya keteknikannya

yang memang tampak khas, baik dari sisi kategori bahan atau materialnya maupun

proses pembuatannya, yang memang menginduk pada tujuan penciptaan seni

Page 33: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

27

kriya yang memang lebih bermakna fungsional (applied art), dibanding dengan

karya seni lukis, patung, atau grafis yang termasuk dalam rumpun seni murni (fine

art), di mana dalam penciptaannya cenderung lebih ekspresif, karena relatif tak

terbebani dimensi fungsionalitasnya. Oleh karena itu, bahan-bahan atau material

rupa yang relatif akrab atau femilier sekali terkait dengan domain kekriyaan, di

antaranya adalah rotan, bambu, atau yang lainnya, yang dalam teknis pengelolaan

atau pembuatannya dengan menggunakan teknik anyam, untuk membuat pelbagai

benda fungsional, misalnya kursi atau yang lainnya. Namun dalam konteks seni

rupa kontemporer Yogyakarta, pelbagai ikonik material dan juga keteknikan yang

secara tradisi melekat kuat dalam praksis domain kekriyaan tersebut, dapat

dikatakan diambil atau diadaptasi oleh tradisi baru dalam seni rupa yang

beridentitaskan kontemporer, khususnya dalam konteks ini adalah seni rupa

kontemporer Yogyakarta. Beberapa contoh karya seni rupa kontemporer

Yogyakarta dengan material rotan dan menggunakan teknis pembuatannya dengan

cara dianyam (anyaman), sebagaimana contohnya yang khas terkait dengan

kekriyaan, di antaranya adalah tampak pada karya Nindityo Aripurnomo, yang

bertajukkan “Serial Konde”, yang dibuat pada periode akhir tahun 1990-an,

sebagaik berikut.

Page 34: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

28

Gambar 1. Serial KondeKarya Nindityo Aripurnomo, 1998

Gambar 2. Serial KondeKarya Nindityo Aripurnomo, 1998

Page 35: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

29

Gambar 3. Serial KondeKarya Nindityo Aripurnomo, 1998

Gambar 4. Serial KondeKarya Nindityo Aripurnomo, 1998

Page 36: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

30

Gambar 5. Serial KondeKarya Nindityo Aripurnomo, 1998

Gambar 6. Serial KondeKarya Nindityo Aripurnomo, 1998

Data-data sebagaimana yang terdapat dalam gambar 1 sampai dengan 6 di

atas adalah salah satu bentuk atau wujud representasi karya seni rupa kontemporer

Page 37: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

31

Yogyakarta yang dibuat oleh salah seorang Nindityo Aripurnomo, yang cukup

mendapatkan sambutan dan diskursus yang amat luas di mayarakat. Karya-karya

yang diber label “Serial Konde” atau dalam budaya Jawa kerap juga diistilahkan

sebagai sanggul perempuan tersebut mengundang tafsir yang beragam, mulai dari

bahan dan media yang digunakan yang tidak lazim (rotan, bambu, kawat, bahkan

ada yang dibuat dari batu, dan lain sebagainya) sampai pada persoalan dimensi

makna yang melekat di dalamnya.

Sebagaimana diketahui bahwa yang namanya konde itu, secara natural

atau alaminya adalah sebagai sebentuk karya yang secara fungsionalnya adalah

untuk mendukung tata rias pada sisi rambut di kepala yang dipakai oleh para

perempuan, terutama Jawa, sehingga dari sisi bahan utamanya adalah juga berasal

dari rambut manusia asli sebagaimana adanya. Hal ini sejalan dengan pengertian

dari konde yang bisa dirujuk dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, yakni sebagai

gelung rambut perempuan di atas atau di belakang kepala. Konde itu pada

umumnya dipakai oleh para perempuan pada saat acara-acara adat maupun khusus

pesta, sehingga secara fungsional juga terkait dengan lambang status sosial.

Satu yang mengedepan dalam konteks karya ini adalah, Nindityo

melakukan apa yang diistilahkan dengan kerja dekonstruksi atas tradisi Jawa,

yang dalam hal ini lewat benda konde-nya. Konde yang merupakan salah satu

tradisi dengan nilai tinggi, dikonstruksi oleh Nindityo dengan metafor yang

cenderung parodis, hingga menghadirkan kemungkinan makna profan,

sebagaimana yang amat mengedepan dalam budaya kekinian. Terlepas dari

persoalan apakan representasi seperti itu merupakan sebuah kerja estetis yang ‘,

Page 38: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

32

keliru, stau sekian stigmatisasi lain yang senada, yang jelas bahwa Nindityo telah

melakukan sebuah tafsir ulang atas apa yang dinamakan tradisi dan juga dimensi

kekriyaan, sebagai realitas yang tidak atau belum selesai atau selalu dalam prose

menjadi.

Contoh yang lain terkait dengan penggunaan ikon dimensi kekriyaan,

adalah tampak pada karya-karya seniman Heri Dono, yang menggunakan sistem

ikon penanda utamanya yakni berupa gamelan. Hal ini tampak dari karya-

karyanya yang pernah dibuat dan dipamerkan pada awal tahun 1990-an, yang

bertajukkan Gamelan of Rumours, sebagaimana tampak pada beberapa sampel

gambar berikut ini.

Gambar 7. Serial Gamelan of RumoursKarya Heri Dono, 1992

Page 39: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

33

Gambar 8. Serial Gamelan of RumoursKarya Heri Dono, 1992

Gambar 9. Serial The Wayang LegendKarya Heri Dono, 1998.

Page 40: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

34

Gambar 10. Serial The Wayang LegendKarya Heri Dono, 1998.

Gambar 11. Serial The Wayang LegendKarya Heri Dono, 1998.

Page 41: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

35

Gambar 12. Serial The Wayang LegendKarya Heri Dono, 1998.

Untuk karya-karya Heri Dono yang terdapat pada gambar 7-12 di atas juga

merupakan sebentuk dekonstruksi estetis atas salah satu teks tradisi yang ada

dalam budaya Jawa, yang juga sarat dengan dimensi kekriyaan, yakni gamelan

atau gong dan wayang. Terkait dengan benda gamelan atau gong ini, Heri Dono

mencoba memberi tafsir ulang, yang secara ideomatik mengkritisi tentang

fenomena monoton (monotone) yang dihasilkan dari bunyi gamelan atau gong.

Karya ini adalah pengejawantahan dari persepsinya akan kehidupan sosial-

kultural-politis di Indonesia, termasuk di Jawa tempat orang tidak bisa berbicara

tentang permasalahan hidup mereka sehari-hari secara terang-terangan. Akhirnya

yang berkembang adalah budaya kasak-kusuk (rumor) sebagaimana judul

karyanya tersebut. Dalam karya tersebut, Heri Dono memajang sejumlah alat

gamelan yang secara otomatis bisa mengeluarkan irama tertentu. Karya ini

merupakan kritik atau metafora terhadap demokrasi di Indonesia yang ditandai

dengan penyeragaman pendapat dan nyanyian lagu setuju.

Page 42: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

36

Demikian juga dalam konteks karyanya tentang wayang legenda, Heri

Dono melakukan dekonstruksi atas nilai-nilai ‘kesopanan’ yang melekat dalam

representasi tradisi wayang, dengan penggambaran organ genital (aurat) secara

terang-terangan, yang mana hal tersebut diguanakan sebagai sistem tanda kritik

terhadap pelbagai fenomena sosial.

Di samping itu, terkait dengan pemaknaan dalam konteks disiplin yang

ada, betapa karya-kara Heri Dono sebagaimana dimaksud, dapat dilihat bahwa ada

semacam peleburan batas-batas atau demarkasi antara seni murni dan juga seni

terapan diantaranya adala Kriya dalam hal ini, yang diketengahkan. Hal itulah

yang kemudian menjadi salah satu penanda yang cukup kuat hadirnya konstruksi

Kontemporer-Postmodern yang sekaligus menjadi antitesis dari tradisi

Modernisme. Terkait dengan hal tersebut, dalam pandangan Julie Romain

(2016:183) , disampaikan sebagai berikut.

Heri Dono is a contemporary Indonesian artist who continually blurs the boundaries between tradition, fine at, and craft. In Indonesia, the term craft is generally associ- ated with traditional visual and performing arts such as batik or gamelan, in contrast to fine at, which is a term reserved for works produced by artists trained in the Western academic tradition of painting and sculpture.

Selain itu, ada juga seniman lain, yang juga cukup kuat mengangkat tradisi

dan juga dimensi kekriyaan dalam konteks seni rupa Kontemporer Yogyakarta,

yakni seorang Nasirun. Sebagaimana halnya dengan Nindityo maupun juga Heri

Dono, Nasirun juga mengedepankan wacana tradisi dan juga dimensi kekriyaan

tersebut dengan perspektif dekonstruksi. Adapun beberpa karya Nasirun

sebagaimana dimaksud adalah sebagaimana tampak pada sajian gambar 13-17

sebagai berikut.

Page 43: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

37

Gambar 13. Karya Berjudul Figure, dengan Menggunakan Ikon Wayang, Karya Nasirun (1995).

Gambar 14. Karya Berjudul Mintorogo, dengan Menggunakan Ikon Wayang, Karya Nasirun (1999)

Page 44: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

38

Gambar 15. Karya Berjudul Mintorogo, dengan Menggunakan Ikon Wayang, Karya Nasirun (1999).

Gambar 16. Karya Berjudul Wayang Melayu, dengan Menggunakan Ikon Wayang, Karya Nasirun (1993).

Page 45: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

39

Gambar 17. Karya Berjudul Wayang Melayu, dengan Menggunakan Ikon Wayang, Karya Nasirun (1993)

Beberapa karya lukisan dan instalasi karya Nasirun sebagaimana tampak pada

gambar 13-17 di atas yang juga banyak menggambarkan tokoh dalam dunia

pewayangan, sebagaimana yang disampaikan juga oleh Nindityo maupun juga

Heri Dono tersebut, juga amat jelas mengedepankan keberadaan ikon-ikon tradisi

dan kekriyaan dalam format dekonstruktif. Sebagaimana halnya dengan arus

utama spirit yang mengedepan pada seni rupa Kontem[orer Yogyakarta di masa

itu, pengambilan ikon-ikon tersebut, terutama juga difungsikan sebagai bagian

representasi kritik atas pelbagai fenomena sosial budaya yang melingkupi di

sekitarnya.

Page 46: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

40

2. Faktor Penyebab Hadirnya Dekonstruksi Dimensi Kekriyaan dalam Representasi Estetis Seni Rupa Kontemporer Yogyakarta

Menyoal perihal faktor penyebab hadirnya dekonstruksi dimensi kekriyaan

dalam representasi estetis seni rupa kontemporer Yogyakarta sebagaimana

dimaksud, memang tak pernah akan pernah didapatkan jawaban yang sederhana

apalagi tunggal. Atau dalam ungkapan lain, bahwa faktor yang menyebabkan

hadirnya dekonstruksi tersebut adalah kompleks. Namun, kiranya ada salah satu

faktor yang cukup dominan, yakni terkait dengan berkembangnya faham

Postmodernisme dalam wacana ilmu sosial dan budaya, yang juga merembes dan

bahkan menjadikannya pengaruh besar dalam karya seni rupa, khususnya

Yogyakarta pada era awal ’90-an sebagaimana dimaksud.

Prinsip-prinsip yang melekat dalam semangat Postmodern, di antaranya

yang paling mengedepan adalah penghargaan yang setinggi-tingginya terhadap

pelbagai realitas atau fakta konteks partikularitas dan pluralitas, sebagai antitesis

atas faham Modernisme Barat yang cenderung amat menggairahkan substansi

kesadaran yang sebaliknya yakni nilai-nilai universalitas, patut dan layak diduga

kuat sebagai salah satu faktor yang paling utama.

Ciri utama budaya postmodern adalah pluralisme. Untuk merayakan

pluralisme ini, para seniman postmodern mencampurkan berbagai komponen yang

saling bertentangan menjadi sebuah karya seni. Teknik seni yang demikian bukan

hanya merayakan pluralisme, tetapi merupakan reaksi penolakan terhadap

dominasi rasio melalui cara yang ironis. Buah karya Postmodernisme selalu

ambigu (mengandung dua makna). Kalaupun para seniman ini menggunakan

sedikit gaya modern, tujuannya adalah menolak atau mencemooh sisi-sisi tertentu

Page 47: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

41

dari modernisme.

Sebagaimana telah disampaikan dan diteguhkan pada wacana sebelumnya,

bahwa hakikat Postmodernisme adalah campuran antara macam-macam tradisi

dan masa lalu, sehingga Postmodernisme disamping sebagai kritik dari sekaligus

melampaui Modernisme. Adapun pelbagai ciri kesadaran karya yang berbasiskan

Postmodernisme diantaranya adalah bermakna ganda,ironi, banyaknya pilihan,

konflik, dan terpecahnya berbagai tradisi, yang disandarkan pada keyakinan akan

keniscayaa terhadap heterogenitas, pluralitas, dan juga partikularitas. Dalam

kaitannya dengan hal tersebut, Jencks (1989:7) misalnya, melihat fenomena

tersebut menggunakan istila collage. Collage dalam konteks ini pelbagai cara

dalam memandang banyak hal yang bisa jadi disatukan meskipun selama ini

dianggap sebagai yang berlawananatau bertentangan. Konsep collage dengan

demikian, bisa menjadi wahana kritik dalam perspektif Postmodern terhadap

pelbagai mitos tentang ketunggalan pemaknaan. Konsep collage-nya ini, kemudia

kerap dikembangkan menjadi bricolage, yaitu: sebagai kinerja penyusunan

kembali berbagai objek untuk menyampaikan pesan ironis bagi situasi masa kini

(Stuart Sim, 2012:237; Maus, 2014; Schallegger, Kapell, 2018).

Seni dalam konteks Kontemporer-Postmodern menggunakan berbagai

gaya secara eklektisisme dan bahkan personal. Dalam Postmodern berusaha

menyingkirkan konsep mengenai sisi orisinalitas, juga universalitas, dan berusaha

menghancurkan ideologi tunggal yang menjadi mode dalam Modernisme.

Page 48: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

42

BAB VPENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sesuai dengan fokus atau

rumusan masalah penelitian ini, maka dapat disampaikan kesimpulan sebagai

berikut.

Pertama, bentuk-bentuk dekonstruksi dimensi kekriyaan dalam

representasi estetis seni rupa kontemporer Yogyakarta, ditampilkan dalam wujud

misalnya penggunaan sistem tanda berupa ikon-ikon tradisional yang juga di

dalamnya amat dekat dengan dimensi kekriyaan. Hal tersebut misalna tampak dari

beberapa sampel karya seni rupa Kontemporer baik berupa instalasi maupun

lukisan, yang dibuat oleh beberapa seniman Yogyakarta, misalnya Nindityo

Aripurnomo, Heri Dono, dan Nasirun. Mereka dalam karya-karyanya mengangkat

misalnya ikon konde, gamelan, dan juga wayang. Ketiga ikon itu, betapa amat

dekat maknanya dengan dimensi tradisi dan juga kekriyaan.

Yang kiranya perlu dijadikan catatan penting dan kritis adalah, bahwa

karya-karya seni rupa Kontemporer yang dihadirkan dengan mengambil inspirasi

pelbagai ikon kekriyaan dan tradisi tersebut, dengan jalan didekonstruksi.

Dekonstruksinya terumama dengan jalan mencoba melepaskan baik bentuk

maupun makan kanonik klasiknya, dari teks yang awalnya berada dalam bingkai

arus utama tradisi dan kekriyaan dengan segala bobot muatan makna yang tak

jauh dari teks keadiluhungan misalnya, kemudian digeser sebagai teks yang

sebaliknya. Dalam konteks ini, karenanya dimensi kekiriyaan dan juga tradisi tak

Page 49: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

43

lagi dibekukan maknanya dalam logosenrisme sebagai tradisi agung dan narasi

besar, melainkan sebaliknya lebih sebagai tradisi alit atau kecil. Inilah salah satu

penggal representasi atas fenomena dekontsruktif yang dihadirkan dalam arus

utama yang cukup kuat dalam tradisi seni rupa Kontemporr Yogakarta di periode

tahun 1990-an atau awal 2000-an, yang kemudian terus bergulis dengan semakin

kompleks lagi varian representasinya. Wacana yang menarik terkait dengan

fenomena tersebut di antaranya adalah hendak mengembalikan pada diktum

kesejatian keniscayaan, yakni bahwa betapa yang dinamakan dengan jagad

pemaknaan atas setiap realitas teks kultural apa pun itu, selalu tak pernah

memendam ketunggalan, keuniversalan, apalagi keabsolutan maknanya,

sebagaimana yang menjadi kegandrungan atau bahkan kegilaan di era Modern

sebelumnya. Yang ada sejatinya adalahs ebaliknya, ia, setiap teks kultural itu,

termasuk seni tentunya, senantiasa dalam formasi diskursif yang plural dan

partikulatif.

Kedua, adapun faktor penyebab hadirnya dekonstruksi dimensi kekriyaan

dalam representasi estetis seni rupa kontemporer Yogyakarta sebagaimana

dimaksud, di antaranya yang dapat dikatakan paling kuat adalah hadir dan

berkembangnya faham Postmodernisme sebagai antitesis dari Modenisme yang

telah usang karena memang memuat ideologi yang utopis. Betapa faham dan

ideologi Modernisme dalam faktanya termutakhir telah menjadi sejenis realitas

yang mankala disampaikan dalam ungkapan Jawa laksana wastra lungset ing

sampiran (seperti baju lusuh dan rusak yang disampirkan). Ia, Modernisme itu,

kemudian tiba-tiba tak berguna adanya, karena memang secara eksistensial

Page 50: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

44

mencoba membangun imperium pengingkaran-pengingkaran terhadap kodrat teks

budaya itu, yang sekali lagi adalah bukan singular melainkan plural. Dalam

pandangan Kontemporer-Postmodern, karenanya roh kesejatian budaya termasuk

seni apapun di dalamnya, hendak dikembalikan sekuat tenaga pada substansi

kehakikiannya baik di tingkat esesnsi maupun eksistensinya, yakni sebagai

realitas-realitas yang konotasi maknanya juga luas, bukan sebaliknya sebagaimana

yang diafirmasi amat buta dalam faham Modernitas yakni cenderung satu atau

tunggal adanya. Itulah kiranya narasi perihal fenomena dekonstruksi.

B. Saran

Berdasarkan pokok-pokok kesimpulan atas penelitian yang telah

disampaikan di atas dapat disampaikan poin penting saran yakni sebagai berikut.

Bahwa sudah selaaknya manakala keilmuan seni yang notabene sebagai bagian

dari keilmuan sosial budaya dan humaniora pada umumnya, semakin

mendekatkan diri pada pelbagai dinamika khazanah perkembangan termutakhir

terkait yang terjadi pada keilmuan sosial buadaa pada umumnya, termasuk dalam

konteks spesifik ini adalah terkait dengan wacana dekonstruksi yang menginduk

pada faham Kontemporer-Postmodern.

Hal ini untuk mengantisipasi bagi kemungkinan hadirnya kemiskinan

wacana beserta segala narasi besar implikasi yang menyertainya. Di samping

memang, fakta sosiologis dan juga historis yang menghampar selama ini

menunjukkan bahwa dinamika untuk mengakselerasi dengan pelbagai perubahan

dan perkembangan dimaksud, cenderung tak cukup imbang antara di ranah

wacana praktik (ranah produktif) dengan yang ada di ranah praktik wacana

Page 51: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

45

(reproduktif dan juga reseptif). Selalu di ranah produktif berjalan atau bahkan

berlari lebih dahulu dan bahkan jauh di depan, jika dibandingkan dengan di ranah

pengkajian teoretis maupun penerimaan atau reseptif di masyarakatnya.

Dengan adanya proses pengakselerasian yang baik dan imbang antara di

kedua dimensi sebagaimana dimaksud terhadap pelbagai dinamika konstruksi

pengetahuan dan wacana yang baru, sebagaimana halnya dalam contoh konteks

ini adalah terkait dengan persoalan dekonstruktif, diharapkan pelbagai dinamika

representasi estetis dari setiap perubahan dan atau perkembangan wacana seni

yang ada tidak disikapi secara negatif apriori, melainkan lebih dimaknai sebagai

sebagai bagia dari teks semesta raya yang sejatinya selalu berada dalam formasi

terus-menerus menjadi yang tak kan pernah henti apalagi selesai.

Page 52: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

46

DAFTAR PUSTAKA

Adian, D.G. 2005. “Hermeneutika: Antara Metode dan Cara Berada”, dalam Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.

Anderson, B. 2002. Imagined Communities (Komunitas-komunitas Terbayang). Cetakan Kedua. Yogyakarta: INSIST Bekerjasama dengan Pustaka Pelajar.

Auslander, Philip 2002. From Acting to Performance: Essays in Modernism and Postmodernism. London: Routledge.

Bauer, S.W. 2015. The Story of Western Science: From the Writings of Aristotle to the Big Bang Theory. New York: W. W. Norton & Company.

Bergant, D. 2016. Scripture: History and Interpretation. Collegeville, Minnesota: Liturgical Press.

Birch, D. 2005. Language, Literature and Critical Practice: Ways of Analysing Text. London: Routledge.

Bourdieu, P. 2013. Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste. London: Routledge.

Cukierkorn, J.R. 2008. Arts Education for Gifted Learners. Waco, Texas: Prufrock Press, inc.

Danto, A. 1995. “Introduction: Modern, Postmodern, and Contemporary” dalam The End of Art. Princenton: Princenton University Press.

Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cetakan Ketiga, Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

DePoy, E & Gitlin, L.N. 2013. Introduction to Research - E-Book: Understanding and Applying Multiple Strategies. Amsterdam, Netherlands: Elsevier.

Derrida, J. 2016. Of Grammatology. Translated by Gayatri Chakravorty Spivak. Baltimore, Maryland: JHU Press.

Epstein, R. 2002. “Literal Opposition: Deconstruction, History, and Lancaster”. Texas Studies in Literature and Language. Vol. 44, No. 1, (Spring 2002), pp. 16-33.

Page 53: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

47

Gaskin, Richard. 2013. Language, Truth, and Literature: A Defence of Literary Humanism. Oxford: Oxford University Press.

Greenhalgh, P. 2003. The Persistence of Craft: The Applied Arts Today. New Brunswick, New Jersey: Rutgers University Press.

Irianto, A.J. 2000. “Konteks Tradisi dan Sosial Politik dalam Seni Rupa Kontemporer Yogyakarta Era ’90-an”, dalam Yogya dalam Outlet Seni Rupa Kontemporer Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti.

Jencks, C. 1989. What is Post-Modernisme? New York: St Martin's Press.

Jonker, J. & Pennink, B. 2010. The Essence of Research Methodology: A Concise Guide for Master and PhD Students in Management Science. Berlin/Heidelberg, Germany: Springer Science & Business Media.

Kacunko, S. 2015. Culture as Capital. Berlin: Logos Verlag Berlin GmbH.

Kohl, H. 1992. From Archetype To Zeitgeist. Boston: Back Bay.

Kumar, R. 2008. Research Methodology. New Delhi: APH Publishing.

Lichtman, M. 2010. Qualitative Research in Education: A User's Guide. London: Sage Publication.

Manithottil, P. 2008. Difference at the Origin: Derrida's Critique of Heidegger's Philosophy of the Work of Art. New Delhi: Atlantic Publishers & Dist.

Maus, D.C. 2014. Understanding Colson Whitehead. Columbia, South Carolina: University of South Carolina Press.

McQuillan, M. 2001. Deconstruction: A Reader. Milton Park, Abingdon-on-Thames, Oxfordshire United KingdomTaylor & Francis.

Miles, M.B.A. & Huberman, A.M. 1994. Qualitative Data Analysis: An Expanded Sourcebook. London: Sage Publication.

Morrow R.A. & Brown, D.D. 1994. Critical Theory and Methodology. London: Sage Publication.

Naugle, D.K. 2002. Worldview: The History of a Concept. Grand Rapids, Michigan: Wm. B. Eerdmans Publishing.

Palmer, R.E. 2005. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi. Cetakan Kedua. Terjemahan Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Page 54: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai

48

Radhakrishnan, R. 1983. “The Post-Modern Event and the End of Logocentrism”. Boundary 2. Vol. 12, No. 1 (Autumn, 1983), pp. 33-60. DOI: 10.2307/302936. https://www.jstor.org/stable/302936. Page Count: 28.

Reese, W. L. 1980. Dictionary of Philosophy and Religion. Sussex: Harvester Press.

Ritzer, G. 2004. Encyclopedia of Social Theory. London: SAGE Publications.

Robert, A. 1999. The Cambridge Dictionary of Philosophy. (2nd ed.). Cambridge: Cambridge University Press.

Savoye, D.F. 2017. Beyond Literary Studies: A Counter-Theoretical Approach. Jefferson, North Carolina: McFarland.

Schallegger, R.R. & Kapell, M.W. 2018. The Postmodern Joy of Role-Playing Games: Agency, Ritual and Meaning in the Medium. Jefferson, North Carolina: McFarland & Company, Inc.

Sim, S. 2012. The Routledge Companion to Postmodernism. London: Routledge.

Sumartono. 2000. “Peran Kekuasaan dalam Seni Rupa Kontemporer Yogyakarta”, dalam Yogya dalam Outlet Seni Rupa Kontemporer Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti.

Trifonas, P.P. 2000. The Ethics of Writing: Derrida, Deconstruction, and Pedagogy. Lanham, Maryland: Rowman & Littlefield.

Turner, H. 2014. The Culture of Capital: Property, Cities, and Knowledge in Early Modern England. London: Routledge.

Vanborre, E. 2012. The Originality and Complexity of Albert Camus’s Writings. Berlin/Heidelberg, Germany: Springer.

Wallace, D.P anda Fleet, C.J.V. 2012. Knowledge into Action: Research and Evaluation in Library and Information Science: Research and Evaluation in Library and Information Science. Santa Barbara, California: ABC-CLIO.

Yustiono. 1995. “Seni Rupa Kontemporer Indonesia dan Asia Pasifik”. Jurnal Seni Rupa, Universitas Negeri Semarang, Volume II, 1995.

Page 55: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai
Page 56: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai
Page 57: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai
Page 58: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai
Page 59: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai
Page 60: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai
Page 61: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai
Page 62: LAPORAN RESEARCH GROUP PENGKAJIAN KARYA SENI …staffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/32-Laporan Penelitian dekonstruksi... · menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai