laporan research group pengkajian karya seni...
TRANSCRIPT
LAPORAN RESEARCH GROUPPENGKAJIAN KARYA SENI RUPA DAN DESAIN
TAHUN ANGGARAN 2018
JUDUL PENELITIAN
DEKONSTRUKSI DIMENSI KEKRIYAAN DALAM REPRESENTASI ESTETIS SENI RUPA KONTEMPORER
YOGYAKARTA
Oleh:Dr. Kasiyan, S.Pd., M.Hum.Aran Handoko, S.Sn., M.Sn.Drs. Maraja Sitompul, M.Sn.
Kusuma Bagus PribadiMaulana Wildan Hanif
Dibiayai oleh DIPA BLU Universitas Negeri Yogyakarta Nomor: SP DIPA-042.01.2.400904/2018, Tanggal 5 Desember 2017, Berdasarkan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penelitian Nomor: 132/UN34.12/PP/2018, Tanggal 2 Februari 2018
FAKULTAS BAHASA DAN SENIUNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
TAHUN 2018
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................... ii
ABSTRAK ....................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 8
C. Tujuan Penelitian......................................................................................... 8
D. Urgensi/Keutamaan Penelitian.................................................................... 9
BAB II KAJIAN PUSTAKA ......................................................................... 10
A. Tinjauan tentang Konsep Dekonstruksi ...................................................... 15
B. Tinjauan tentang Dimensi Kekriyaan.......................................................... 10
C. Tinjauan tentang Konsep Kontemporer dalam Seni Rupa .......................... 17
III. METODE PENELITIAN ....................................................................... 21
A. Jenis Pendekatan ......................................................................................... 21
B. Jenis Penelitian ............................................................................................ 23
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... 18
A. Bentuk-bentuk Dekonstruksi Dimensi Kekriyaan dalam Representasi
Estetis Seni Rupa Kontemporer Yogyakarta.............................................. 26
B. Faktor Penyebab Hadirnya Dekonstruksi Dimensi Kekriyaan dalam
Representasi Estetis Seni Rupa Kontemporer Yogyakarta ………… 21
BAB V PENUTUP.......................................................................................... 42
A. Kesimpulan ................................................................................................. 42
B. Saran............................................................................................................ 44
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 46
Lampiran 1. Berita acara penelitian.
Lampiran 2. Daftar hadir seminar penelitian.
Lampiran 3. Kontrak penelitian.
Lampiran 4. Biodata Peneliti.
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Serial Konde Karya Nindityo Aripurnomo, 1998 ........................ 28
Gambar 2. Serial Konde Karya Nindityo Aripurnomo, 1998 ........................ 28
Gambar 3. Serial Konde Karya Nindityo Aripurnomo, 1998 ........................ 29
Gambar 4. Serial Konde Karya Nindityo Aripurnomo, 1998 ........................ 29
Gambar 5. Serial Konde Karya Nindityo Aripurnomo, 1998 ........................ 30
Gambar 6. Serial Konde Karya Nindityo Aripurnomo, 1998 ........................ 30
Gambar 7. Serial Gamelan of Rumours Karya Heri Dono, 1992................... 32
Gambar 8. Serial Gamelan of Rumours Karya Heri Dono, 1992................... 32
Gambar 9. Serial The Wayang Legend Karya Heri Dono, 1998 .................... 33
Gambar10. Serial The Wayang Legend Karya Heri Dono, 1998 ................... 34
Gambar 11. Serial The Wayang Legend Karya Heri Dono, 1998. ................. 34
Gambar 12. Serial The Wayang Legend Karya Heri Dono, 1998 .................. 35
Gambar 13. Karya Berjudul Figure, dengan Menggunakan Ikon Wayang,
Karya Nasirun (1995).................................................................. 37
Gambar 14. Karya Berjudul Mintorogo, dengan Menggunakan Ikon
Wayang, Karya Nasirun (1999) .................................................. 37
Gambar 15. Karya Berjudul Mintorogo, dengan Menggunakan Ikon
Wayang, Karya Nasirun (1999) .................................................. 38
Gambar 16. Karya Berjudul Wayang Melayu, dengan Menggunakan
Ikon Wayang, Karya Nasirun (1993) ......................................... 38
Gambar 17. Karya Berjudul Wayang Melayu, dengan Menggunakan
Ikon Wayang, Karya Nasirun (1993) ......................................... 38
iv
DEKONSTRUKSI DIMENSI KEKRIYAAN DALAM REPRESENTASI ESTETIS SENI RUPA KONTEMPORER YOGYAKARTA
Kasiyan, Aran Handoko, Maraja Sitompul
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tiga hal pokok, yakni: 1) bentuk-bentuk dekonstruksi dimensi kekriyaan dalam representasi estetis seni rupa kontemporer Yogyakarta; dan 2) faktor-faktor apa saja yang menyebabkan cukup kuatnya dekonstruksi dimensi kekriyaan dalam representasi estetis seni rupa kontemporer Yogyakarta sebagaimana dimaksud.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis kualitatif dengan pendekatan utama yakni hermeneutik. Instrumen utama penelitian ini adalah peneliti sendiri, yang dibantu dengan pedoman dokumentasi. Data penelitian berupa dokumentasi karya seni rupa yang dibuat seniman Yogyakarta, terutama di akhir periode 90-an dan awal 2000-an, sebagai periode waktu awal mula dan pesatnya wacana perkembangan seni rupa Kontemporer Yogyakarta. Data-data penelitian didasarkan pada sumber dari berbagai katalog pameran. Adapun teknik analisis datanya menggunakan model deskriptif kualitatif, dengan tahapan reduksi data, penyajian dan pembahasan, dan penarikan kesimpulan.
Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) bentuk dekonstruksi dimensi kekriyaan dalam representasi estetis seni rupa kontemporer Yogyakarta, tampak paling tidak terkait dengan dua hal, yakni terkait dengan domain teknis penciptaan dan isi karyanya. Dari sisi teknis penciptaan, yakni tampak dari penggunaan bahan (misalnya rotan, kayu, batu, kulit, dan lain sebagainya) juga teknis penciptaannya (misalnya anyam, pahat), namun diterapkan secara dekontrsuktif. Kemudian, dari sisimakna atau isinya, hasil ciptaan tersebut tak lagi sebagai representasi kekriyaan baik dari sisi fungsi praksis fungsional maupun keadiluhungannya; 2) Adapun faktor penyebab cukup kuatnya dekonstruksi dimensi kekriyaan dalam representasi estetis seni rupa kontemporer Yogyakarta sebagaimana dimaksud, di antaranya adalah cukup kuatnya pengaruh faham Postmodernisme yang mengiringi perkembangan kebudayaan di era Kontemporer ini, sebagai antitesis faham Modernisme, yang diwujudkan dengan prinsip menolak logosentrisme-monosemik, dan menawarkan prinsip baru, yakni pluralitas serta partikularitas-polisemik dalam berkebudayaan, termasuk tentunya juga berkesenian, beserta segala nasasi besar yang menyertainya.
Kata-kata Kunci: dekonstruksi, kekriyaan, estetis, seni rupa kontemporer.
iv
DECONSTRUCTION OF DIMENSION OF CRAFTMANSHIPIN THE ESTETIC REPRESENTATION OF YOGYAKARTA
CONTEMPORARY ARTS
Kasiyan, Aran Handoko, Maraja Sitompul
ABSTRACT
This study aimed to describe two main things, namely: 1) forms of deconstruction of the dimensions of craftmanship in the aesthetic representation of Yogyakarta's contemporary art; and 2) factors leading to the strong deconstruction of the dimensions of craftmanship in the aesthetic representation of Yogyakarta's contemporary art as intended.
The method used in this study was a qualitative type with the main approach of hermeneutics. The main instrument of this research was the researcher himself, who is assisted by documentation guidelines. The research data were in the form of documentation of works of art created by Yogyakarta artists, especially in the late 90s and early 2000s, as the initial period of time and the rapid discourse of the development of Yogyakarta Contemporary art. Research data are based on sources from various exhibition catalogs. The data were then analyzed using a qualitative descriptive model, with the stages of data reduction, presentation and discussion, and conclusion drawing.
The results of this study are as follows. 1) the form of deconstruction of the dimensions of craftmanship in the aesthetic representation of Yogyakarta's contemporary art, seems at least related to two things, namely the technical domain of creation and the contents of the works. From the technical side of its creation, it can be seen from the use of materials (such as rattan, wood, stone, leather, etc.) as well as the technical creation (eg weaving, chisels), that were applied decontructively. Then, in terms of its meaning or content, the results of the creation are no longer a representation of religion either in terms of its functional praxis or civil functions; 2) The factors that cause the strong enough deconstruction of the dimensions of craftmanship in the aesthetic representation of Yogyakarta's contemporary art as intended, include the strong influence of Postmodernism accompanying the development of culture in the Contemporary era, as the antithesis of Modernism, which is realized by the principles of rejecting monosemic-logocentrism and offersnew principles, namely pluralism and polycemic-particularity in culture, including of course also arts, with all the grand narration.
Keywords: deconstruction, craftmanship, aesthetic, contemporary art.
1
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dinamika wacana perjalanan dan perkembangan seni termasuk juga seni
rupa baik, senantiasa tak pernah dilepaskan atau dipisahkan dengan dinamika di
ranah wacana sosial budaya pada umumnya. Hal ini disebabkan, karena yang
dinamakan dengan kebudayaan itu adalah sebagai modal secara sosial (culture as
capital) (Turner, 2014; Kacunko, 2015:182). Konsep perihal modal budaya ini
pada awalnya dipopulerkan oleh seorang sosiolog Perancis abad ke-16, Pierre
Bourdieu pada tahun 1973, lewat karya tulisnya bersama Jean-Claude Passeron,
Cultural Reproduction and Social Reproduction, yang kemudian dikembangkan
lebih lanjut sebagai konsep teoritis dan alat analisis dalam studi monumentalnya,
yang bertajuk Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste, yang
dipublikasikannya pada tahun 1979, yang kemudian diterbitkan kembali pada
tahun 2013.
Meskipun yang dinamakan wacana hubungan seni dan kebudayaan
tersebut, tidaklah pernah secara absolut bermakna satu arah, dimana misalnya
kebudayaan selalu menjadi variabel yang di depan dan sebagai pihak yang
menentukan. Melainkan yang ada adalah secara dua arah, atau bolak-balik
(reciprocal). Artinya, kebudayaan bisa mempengaruhi kesenian, demkinian juga
sebaliknya kesenian juga bisa mempengaruhi perkembangan dan dinamikan
kebudayaan. Dalam ungkapan yang lain, posisi dan sekaligus peran antara
kebudayaan (yang bersifat makro) dan kesenian (yang bersifat mikro), keduanya
2
senantiasa berada dalam tegangan dialektis yang sama-sama dalam hitungan
strategis.
Fenomena tersebut, kiranya demikian juga halnya jika dikontekstualkan
dalam diskursus wacana dalam konteks keindonesian, yang di antaranya telah
memasuki era di kebudayaan dan juga kesenian “Kontemporer” misalnya.
Keberadaan antara kebudayaan di satu sisi dengan kesenian di sisi yang lainnya,
juga merupakan sesuatu yang tak dapat dipisahkan. Dalam konteks dunia seni
rupa Indonesia misalnya, istilah “Kontmporer” sebenarnya sudah dikenal cukup
lama. Paling tidak semenjajak era tahun 1970-an, tetapi istilah itu tidak cukup
populer dalam perkembangan pemaknaannya di masyarakat, jika dibandingkan
dengan yang terjadi misalnya pada era menjalang akhir 1990-an. terminologi
Kontemporer terutama di negara-negara non Barat, misalnya di Asia termasuk
juga Indonesia, lebih mendapatkan sambutan wacananya yang sangat besar di era
’90-an ini, terutama seiring dengan semakin pudarnya wacana Modernisme Barat
yang menjadi yang menjadi tumpuan daya hidup budaya dan juga seni muodern
(Yustiono, 1995:57).
Penggunaan istilah Kontemporer dalam konteks termutakhirnya tersebut,
memang menandakan adanya perubahan tata acuan dan orientasi baru yang
kiranya cukup mendasar dalam praksis berkebudayaan dan juga berkesenian. Tata
acuan dan orientasi baru sebagaimana dmaksud, di antaranya yang tampak kuat
mengedepan adalah adanya sikap “perlawanan kultural” terutama terhadap
pelbagai konstruksi pengetahuan yang disandarkan pada perspektif Modernisme
3
yang cenderung menginduk pada logosentris-monosemik, yang kemudian
digantikan dengan basis kesadaran yang plural dan partikular-polisemik.
Pada dataran praksisnya, perihal konsep logosentris-monosemik dalam
budaya dan seni Modern misalnya tampak pada kekhasan karakteristik penanda
pelbagai representasi seni dan budaya yang cenderung diupayakan sama bahkan
terstandarisasi secara hegemonik, terutama oleh konstruksi pola-pola atau
kategori-kategori yang dimiliki Barat yang dianggap atau diklaim sebagai sesuatu
yang universal maknanya. Dalam jagad seni rupa misalnya, fenomena ini
menjelma dengan adanya konstruksi pelbagai faham atau aliran seni, yang
kemudian dijadikan sebagai semacam wadah tunggal yang mesti diikuti dengan
segala keketatan yang untuk mendeskripsikan perihal wacana seni itu seperti apa.
Demikian juga misalnya pengkategorisasian yang ada dalam disiplin seni
rupa, dalam wujudnya yang dua dimensi dan tiga dimensi, atau juga pengkotak-
kotakan antara seni rupa murni (fine arts) dan seni rupa terapan (applied arts),
dengan segala keketatan definisinya, adalah juga sebentuk contoh representasi
dari bekerjanya kontruksi alam pikir Modernisme. Semuanya itu akhirnya,
membentuk dan bahkan mengukuhkan adanya bangunan logos yang demikian
sentral peranannya (logocentrism) bagi kesadaran semesta pengetahuan dan
wacana dunia.
Oleh karena itu, konsep atau terminologi kontemporer yang merujuk dari
kata contemporary (Inggris) yang berarti “sezaman” (pada zaman/periode waktu
yang sama), atau juga berarti “masa kini”, tidak cukup memadai untuk
memberikan pemaknaan yang utuh terkait dengan konteks ini. Konsep dari istilah
4
Kontemporer, kemudian lebih mendapatkan pemaknaan yakni sebagai semacam
genre di dalam seni dengan ciri-ciri tertentu, yang terutama dipertentangkan
dengan seni modern di era atau zaman sebelumnya.
Perihal konstruksi orientasi wacana dan tata kelola seni rupa dalam
konteks Kontemporer sebagaimana dimaksud, dan secara spesifik mengambil
setting Indonesia dan terutama lagi Yogyakarta memasuki dekade ’90-an tersebut,
penolakan terhadap pengkotak-kotakan wacana dan praktik seni rupa yang khas
Modern Barat itu misalnya tampak dari tidak dipakai misalnya lukisan, patung,
atau yang lainnya sebagaimana. Yang ada kemudian adalah berupa penggunaan
istilah cukup seni rupa saja. Sehingga pada dekade ’90-an ini, praktik seni rupa di
Yogyakarta menemukan momentum pluralitasnya, terutama terkait dengan gaya,
teknik, pilihan material, maupun konsep estetik yang diusungnya, yang banyak
disebabkan oleh persinggungannya dengan kompleksitas kondisi sosial, budaya,
baik yang berskala lokal, nasional, maupun internasional (Irianto, 2000). Dalam
ungkapan lain, di sana ada sebentuk wacana kesadaran baru yang bekerja dan
melandasi dari pelbagai bentuk praksis laku seni yang tak lagi mau dihegemoni
oleh prinsip-prinsip logos pengetahuan yang universal versi Modern-Barat.
Dalam praktik seni rupa kontemporer, fenomena bias Barat inilah yang
kemudian banyak digugat dan ditolak keras, dengan cara menghadirkan muatan
spirit dan nilai-nilai pluralitas dan partikularitas, yang kemudian hadir dalam
wujud kesadaran pada pentinga kembali ke akar tradisi. Karena, kalau berbincang
terkait dengan domain “tradisi”, maka sejatinya yang dinamakan dengan kodrat
tradisi itu adalah menyimpan keunikan kekayaan perbedaan yang tiada terperi.
5
Adapun pemaknaan dari konsep penghargaan pada partikularitas tradisi dalam
jagad Kontemporer ini, sama sekali tidak bermakna merusak atau bahkan
menghilangkan harmoni, melainkan justru sebaliknya, bahwa harmoni soaial itu
dijangkarkan pada dasar asas terdasarnya, yakni kodrat perbedaan yang tak perlu
dipersoalkan, apalagi harus disamakan.
Di antara sekian banyak auratik nilai-nilai partikularitas-lokalitas dalam
praktik wacana seni rupa Kontemporer Yogyakarta itu, adalah tampak dari
banyaknya karya seni rupa yang bersinggungan dengan dimensi kekriyaan
(craftmanship). Adapun yang dimaksud dengan kekriyaan itu, adalah segala
sesuatu yang berkaitan dengan seni kriya. Seni kriya itu sendiri secara
terminologis, merupakan bagian dari sub rumpun atau sub cabang dari seni rupa,
dengan salah satu ciri khas yang menonjol adalah terkait dengan dimensi
fungsionalitasnya (applied arts). Hal ini sebagaimana disampaikan oleh
Cukierkorn (2008:9), “Aesthetic concerns are significant to the applied arts;
however, the work of applied artists is concerned with presented problems, such
as making objects with functional purposes”. Hal ini misalnya dapat dilihat pada
produk-produk kriya seperti keris, gamelan, wayang, dan lain sebagainya, yang
disamping bernilai estetis, juga fungsional sifatnya.
Di samping terkait karakteristik produknya yang fungsional, domain yang
melekat dalam seni kriya yang tak kalah penting adalah dari sisi prosesnya yang
cenderung rumit (istilah Jawa: ngawit, njlimet), dan bahkan tidak jarang yang
melibatkan proses kontemplatif yang tinggi. Proses pembuatan produk-produk
kriya yang seperti itu, bahkan sebagai cermin perilaku metafisis perambahan alam
6
kasidan jati, sehingga telah menghantarkan konsepsi filosofis seni kriya itu pada
kearifan budaya dalam masyarakat kita, yang tidak hanya menyangkut kehidupan
di dunia sini (nyata), melainkan juga kehidupan di “dunia sana” (Gustami,
1991:3).
Hal itulah, akhirnya pada titik tertentu, seni kriya tidak cukup bisa
maknanya disamakan dengan istilah dalam bahasa Inggris yakni craft, karena
memang mempunyai perbedaan filosofi sosiokultural yang sangat mendasar.
Bahkan, karena kekhasan yang ada dan melekat dalam konteks kebudayaan
Indoesia itulah, akhirnya seni kriya identik dekat dengan treminologi “lokal-
tradisi” atau local genius milik bangsa ini.
Adapun terkait dengan pengedepanan dimensi keriyaan atau seni kriya
dalam representasi estetis seni rupa kontemporer Yogyakarta ini, di antaranya
tampak dari karya-karya Heri Dono dan juga Nasirun misalnya, baik yang berupa
lukisan atau instalasi, yang representasi karyanya banyak menggunakan idiom-
idiom simbolik wayang dan juga gamelan. Demikian juga halnya dengan karya-
karya Nindityo Aripurnomo dengan karya instalasi berupa anyaman dengan
berbagai media yang bertajukkan serial Konde (bahasan Jawanya sanggul
perempuan, juga merupakan contoh kasus yang sama. Demikian juga halnya
dengan seniman-seniman dengan karya seni yang lain yang banyak, yang basis
karyanya banyak bersinggungan atau menggunakan pelbagai ikon kekriyaan
sebagai pertaruhan kekuatan representasi estetisnya, yang ternyata justru karya-
karya tersebut, mendapatkan sambutan dan menjadi wacana luas di berbagai
forum baik di tingkat nasional maupun internasional.
7
Namun yang menjadi catatan kritis adalah bahwa dimensi kekriyaan yang
menjadi salah satu ikon utama dalam representasi seni rupa kontemporer
Yogyakarta sebagaimana dimaksud, kerap atau bahkan cenderung
direpresentasikan dalam konstruksi yang cenderung dekonstruktif, jika
dibandingkan dengan dimensi kekriyaan tersebut direpresentasikan dalam praktik
berkesenian di masa silam. Konstruksi dekonstruktif kekriayaan dalam seni rupa
kontemporer Yogyakarta tersebut, di antaranya dapat ditemukenali dengan
representasi pelbagai ikonik kekriyaan, misalnya wayang, gamela, keris, dan lain
sebagainya, banyak yang dihadirkan sebagai medium parodi dan kritik secara
politis atas tema tertentu yang kebetulan diusung dalam karya seni tersebut.
Dalam konteks inilah, akhirnya kerap pelbagai ikonik kekriyaan, yang
ketika di masa lampau sebagai simbol kebudayaan adi luhung, kemudian menjadi
sebagai sesuatu yang maknanya bisa saja sebaliknya. Fenomena dekonstruktif atas
dimensi kekriyaan dalam representasi seni rupa kontemporer Yogyakarta tersebut,
kiranya sebagai sesuatu hal yang menarik, terutama dalam konteks kaitannya
dengan diskursif perihal dinamika kesenian dan juga kebudayaan, yang kerap juga
menimbulkan perbedaan tafsir di masyarakat dalam memaknainya. Gambaran
tentang fenomena tersebut, untuk dapat dibangun justifikasi akademiknya perlu
dilakukan sebuah penelitian.
Berdasarkan deskripsi latar belakang tersebut di atas, maka penelitian
tentang dekonstruksi dimensi kekriyaan dalam seni rupa kontemporer Yogyakarta
ini penting untuk dilaksanakan. Dengan adanya data dan temuan objektif hasil
dari penelitian ini, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran yang
8
signifikan bagi upaya untuk membangun kesadaran kultural-diri, di antaranya
melalui teks seni kriya, yang semua itu amat bermakna bagi kepentingan politik
identitas dan pembentukan jati diri akan budaya sebuah bangsa.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan pokok yang
hendak dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Seperti apa bentuk-bentuk dekonstruksi dimensi kekriyaan dalam
representasi estetis seni rupa kontemporer Yogyakarta?
2. Faktor apa saja yang menyebabkan cukup kuatnya dekonstruksi dimensi
kekriyaan dalam representasi estetis seni rupa kontemporer Yogyakarta
sebagaimana dimaksud?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan pokok permasalahan, tujuan penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut.
1. Untuk mengidentifikasi, mendeskripsi, dan mengeksplanasi bentuk-bentuk
bentuk-bentuk dekonstruksi dimensi kekriyaan dalam representasi estetis
seni rupa kontemporer Yogyakarta.
2. Untuk mengidentifikasi, mendeskripsi, dan mengeksplanasi faktor-faktor
apa saja yang menyebabkan cukup kuatnya dekonstruksi dimensi
kekriyaan dalam representasi estetis seni rupa kontemporer Yogyakarta
sebagaimana dimaksud.
9
D. Urgensi/Keutamaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat atau kontribusi
positif, baik yang bersifat teoretis maupun praktis. Secara teoretis hasil penelitian
ini diharapakan dapat memperkaya khazanah kajian dan referensi bagi
disiplin/keilmuan seni rupa, khususnya sejarah seni rupa, estetika, dan juga kritik
seni rupa yang berbasis analisis tradisi kritis.
Kemudian secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi
berbagai pihak yang terlibat, baik langsung maupun tak langsung yang terlibat
dalam pengembangan dunia maupun keilmuan seni rupa Indonesia. Berbagai
pihak sebagaimana dimaksud diantaranya adalah para seniman, kurator, kritikus,
pendidik dan pemerhati seni, pengelola galery seni, kolektor, dan juga masyarakat
dalam arti yang luas, untuk dijadikan sumbangan referensi dan pemikiran bagi
kemungkinan peningkatan kesadaran akan pentingnya pemahaman terkait dengan
hadirnya wacana dan juga nilai-nilai baru berupa spirit kontemporer-postmodern,
sebagai salah satu pilar penyangga utama keberadaan atau representasi budaya
dan juga seni termasuk juga seni rupa di kemudian hari.
10
BAB IIKAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan tentang Konsep Dekonstruksi
Diskurus perihal konsep dekonstruksi secara terminologis adalah terkait
dengan kajian pada ranah filsafat bahasa, terutama dalam konteks hubungannya
dengan persoalan dinamika perubahan dan perkembangan zaman di era
Postmodernisme dalam memaknai sebuah teks. Dalam konteks arti yang luas, seni
dan bahkan segala bentuk representasi kebudayaan itu, sejatinya adalah juga
selalu berurusan dengan risalah bahasa. Sebagaimana diketahui, sejalan dengan
perkembangan peradaban, persoalan di ranah filsafat bahasa pun juga mengikuti
perubahan yang ada. Di era Modern sebagai era “logosentrisme” (Epstein, 2002;
Auslander, 2002) misalnya, betapa filsafat bahasa ditandai dengan kecenderungan
yang mengafirmasi makna yang cenderung “monosemik”, yakni bermakna
objektif, tunggal, dan bahkan absolut (Morrow & Brown, 1994:234; Savoye,
2017). Pandangan tersebut juga mendapatkan peneguhan yang sama oleh Peter
Pericles Trifonas, 2000:109), dalam ungkapan, “The metaphysical (logocentric)
assumptions behind the objective setting of the value of truth are reductive, ...
have to be the most satisfaction of "rationality," there is hidden the opening of the
non-ethical violence of the universal”.
Fenomena itu, dalam perkembangannya kemudian ditolak pada era
Postmodern, yang cenderung mengafirmasi faham sebaliknya, yakni memahami
bahasa itu lebih sebagai fenomena yang sifatnya “polisemik”, cair, dan karenanya
tak pernah tunggal (Vanborre, 2012). Oleh karena itulah, dalam ungkapan yang
11
lain, bahwa Postmodernisme menolak logosentrisme yang objektif, absolut, dan
universal (Radhakrishnan, 1983).
Ketika berbincang perihal perspektif dekontruksi yang terutama
berbasiskan faham filsafat Postmodernisme tersebut, salah seorang tokoh yang
berjasa besar meletakkan dasar fondasi pengetahuan dan kesadarannya adalah
filsuf Prancis Jacques Derrida. Derrida melalui terutama karyanya Of
Grammatology yang terbit pertama kali berbahas Prancis De la Grammatologie
pada tahun 1976, dan kemudian diterjemahkan oleh Gayatri Chakravorty Spivak
dan dicetak ulang pada tahun 2016, tertarik untuk mengkritik filsafat bahasa
modern karena identik dengan pandangan metafisika kehadiran (being) dan
logosentrisme, yang terutama disandarkan pada diktum kekuatan rasionalitas dan
tentunya juga objektivitas (Manithottil, 2008:3). Dalam konstruksi logosentrisme,
metafisika kehadiran kemudian memaknai suatu konsep atau teori perihal
kebenaran itu, jika sesuatu “yang ada (being) itu, bisa terwakili eksistensinya oleh
yang namanya tanda atau bahasa.
Dalam perspektif dekonstruksi, Derrida menolak terhadap pandangan
tersebut, yakni bahwa yang dinamanakan setiap penanda, bahasa, atau teks itu,
bukanlah kenyataan yang menghadirkan “ada” secara absolut dalam dorinya,
melainkan hanyalah sekadar berupa “jejak”(trace) yang pernah ada. Dalam sudut
pandang dekonstriksi, Derrida justru meyakini pandangan bahwa, sesuatu yang
“ada” itu, sejatinya secara eksistensial bersifat plural, bukannya singular, hingga
tak bisa begitu saja dapat dimaknai secara tunggal adanya. Maka konstruksi
perihal metafisika kehadiran yang melekat kuat dalam faham modern tersebut
12
harus dibongkar (didekonstruksi).
Tradisi logosentrisme dengan demikian amat menonjolkan kecenderungan
berpikir dalam format oposisi biner dan hirarkis (Ritzer, 2004:591).
Logosentrisme menganggap bahwa yang sesuatu yang hadir awal sebagai sistem
tanda merupakan sumber dan sekaligus pusat kebenaran, sedangkan yang
berikutnya adalah menjadi pinggiran dan selalu menjadi hal marjinal, dan
karenanya kerap dianggap sebagai yang tak terlalu signifikan. Terkait dengan hal
itulah, karenanya dalam logosentrisme cenderung mengafirmasi buta konsep
totalitas baik dalam konteks pemaknaan di tingkat esensialisme maupun
eksistensialisme. Konsep totalitas menyatakan bahwa kebenaran adalah satu,
tunggal, singular, sedangkan konsep esensi menyatakan tentang dasar sesuatu
pada pengetahuan (logos) yang juga tunggal. Kedua konsep baik totalitas maupun
esensi tersebut, bisa menjadi konsep-konsep yang memaksa atas adanya sesuatu
pengetahuan dan melegitimasi kekuasaan berdasarkan rasio dan pengetahuan.
Logosentrisme inilah yang kemudian menjadi dasar perspektif bagi tata konstruksi
alam pikir Modern, yang secara kulturasi kemudian menimbulkan pola dialketis
dikotomi antara subyek-obyek, yang maknanya juga senantiasa meyiratkan
hubungan yang tak setara, di mana kebenaran ini seringkali dicirikan dengan
kebenaran tunggal, absolut, dan universal, dan itu adalah milik sang subjek.
Pendekatan dekontruksi Derrida tersebut, dengan demikian menawarkan
sebentuk teknik mengidentifikasi kemungkinan kontradiksi dalam setiap
kehadiran teks sehingga memperoleh kesadaran lebih tinggi, daripada sekadar
menyepakati makna yang telah ada sebelumnya. Dalam konteks ini, karenanya
13
perspektif dekonstruksinya Derrida selalu berkepentingan untuk mempertanyakan
makna tunggal dari sebuah teks atau bahasa (Birch, 2005:1841). Dengan
demikian, dekonstruksi juga menolak faham dan sekaligus mode berpengetahuan
yang berbasisikan logosentrisme dan metafisika kehadiran. Hal ini misalnya
sebagaimana disampaikan oleh Gaskin (2013:333).
Logocentrism is the illusion that the meaning of the word has its “origin” in the structure of reality itself and hence make the “truth” about that structure seem directly “present” the mind. The point is that if one allows the terms of a given language to become so predominant in one’s thinking that one can neither conceive of any alternative to them nor of any analysis that might question their coherence and sufficiency, one will inevitably come to believe that the words of that language reflect that necessary structur of the world: its categories will seem to be world’s catagories, its concepts the structure of reality.
Dalam pandangan dekonstruksi, dengan demikian meyakini bahwa secara
eksistensial, yang namanya teks atau bahasa itu dalam struktur dan sistem sosial,
sejatinya terus-menerus selalu berada dalam posisi potensi tegangan ambiguitas
dan konfliktualitas yang tanpa batas. Dekonstruksi dengan demikian, memandang
dan memaknai setiap teks, tanda, atau bahasa itu, lebih sebagai medan dan arena
pelbagai kemungkinan, sehingga menolak pemaknaan yang cenderung
disandarkan pada basis hegemonik dan format kesamaan. Oleh karena itu,
perspktif dekonstruktif ini, dengan tegas menolak pemahaman perihal bahasa
sebagaimana versi perspektif warisan Aristotelian.
Sebagaimana diketahui bahwa perspektif Aristotelian itu, senantiasa
menyandarkan pemahaman kebenaran pengetahuan itu, lebih diletakkan pada
domain logika deduktif yang menghasilkan pelbagai klaim yang bersifat tunggal
dan bahkan universal. Bauer (2015) mengemukakan bahwa, “Aristotelian thinking
14
relies, heavy, on deductive reasoning—for ancient logicians and philosophers, the
highest and best road to the truth. Deductive reasoning moves from general
statements to specific conclusions”. Terkait dengan pandangan tersebut, Wallace
& Fleet (2012) menyampaikan pendapat sebagai berikut.
Deductive logic is an important formal structure that has played a long history in the development of scientific and scholarly thought. Deduction is the basis for most of Aristotelian logic, which was the fundamental principle of scholarly reasoning up until the Scientific Revolution.
Adapun dampak dari filsafat dekonstruksi yang menolak logosentrisme
yang tunggal dan universal ini, adalah bahwa yang dinamakan setiap kehadiran
atau teks itu, senantiasa potensial untuk kemungkinan bermakna ganda. Fenonema
ini, akhirnya menghantarkan adanya peluang terkait dengan kemungkinan
pudarnya yang dinamakan dengan batas-batas demarkasi oposisi biner, misalnya
antara konsep dengan metafor, antara kebenaran dengan fiksi, antara prosa dengan
puisi, dan antara keseriusan dengan permainan. Dengan membaca secara
dekonstruktif, teks bisa dikatakan selama ini menjadi pusat yang dipinggirkan,
dikeluarkan, dan dianggap sebagai “yang lain”. Namun, menurut Derrida (Naugle,
2002:176), bahwa sebenarnya tidak ada sesuatu yang ada di luar teks, sehingga
sang pusat juga tidak bisa mengkalim sebagai lebih dominan, karena ia hanyalah
salah satu di antara jaringan teks.
Dalam perspektif inilah, terminologi tentang apa yang dinamakan tentang
eksistensi esensi akan setiap realitas itu tidak boleh menghapuskan kebenaran
partikular atau yang bersifat lokal. Dengan demikian, dekonstruksi adalah sebuah
strategi filsafat, untuk membongkar modus pembacaan dan pengintepretasian
yang mendominasi dan bahkan menghegemoni fundamen hierarki. Dekonstruksi
15
dalam hal ini, akhirnya menjadi semacam strategi untuk mengupas lapisan-lapisan
makna atas setiap representasi bahasa atau teks, yang kerap dinegasikan di alam
Modern (McQuillan, 2001:2). Pemaknaan atas teks dengan perspektif
dekonstruksi ini kiranya menjadi amat penting, terutama ketika dalam alam
Modern, betapa yang dinamakan dengan kodrat kompleksitas, pluralitas, dan
partikularitas teks itu hendak disatukan dalam satu persepektif yang
keseluruhannya dimaknai sebagai sesuatu yang sama, dan karenanya amat rentan
keberadaannya.
B. Tinjauan tentang Dimensi Kekriyaan
Mendiskursuskan perihal “kekriyaan” sejatinya adalah menyoal perihal
yang terkait dengan seni kriya. Seni kriya, dalam perspektif akademik termasuk
bagian dari sub atau cabang dari keilmuan seni rupa (visual arts), yang basis
eksistensinya lebih berada pada ranah seni terapan (apllied arts). Seni terapan
adalah sebentuk fenomena seni, yang substansi kinerja kreatif-estetiknya, tidak
semata-mata diabdikan bagi kepentingan eskpresi, melainkan lebih diarahkan
pada orientasi kebermakaan dari segi fungsional praksisnya. Sementara itu, seni
rupa yang keberadaannya dihajatkan cenderung untuk memenuhi kebutuhan
ekspresi-estetis, kerap dikenal sebagai seni murni (fine/pure arts), misalnya
berupa lukisan, patung, atau karya grafis. Untuk sekadar memberikan contoh
perihal keberadaan seni kriya sebagaimana dimaksud, dalam masyarakat kita
secara sosiologis, misalnya mewujud dalam bentuk karya-karya seperti wayang,
gamelan, keris, dan lain sebagainya.
16
Sementara itu, dari perspektif sosiologis, keberadaan seni kriya dalam
kesadaran budaya Indonesia telah memiliki sejarah yang amat panjang, yang awal
kehadirannya diturunkan dari “tradisi besar” atau “budaya agung” (Gustami,
1991:2) di lingkungan dalam tembok kraton (terutama di Jawa) dan kemudian
memancar ke segala lapisan masyarakat, diestafetkan antargenerasi, dan
berakulumulasi dalam bentangan ruang dan waktu yang teramat panjang, akhirnya
telah menempatkan dirinya sebagai salah satu aset kearifan budaya lokal (local
genius) bangsa yang mahal.
Di luar persoalan itu, satu hal lagi yang semakin membuat seni kriya
menjadi amat bermakna bagi kebudayaan kita adalah, karena eksistensi dan nilai-
nilai yang terkandung di dalamnya mempunyai ciri atau karakter yang khas, yang
bahkan akhirnya dijadikan semacam panduan spirit masyarakatnya dalam
menjalin rajutan hidup bersama. Hal ini paling tidak dapat ditelisik dari sisi
dimensi ontologis dan epistemis seni kriya, yang di dalamnya amat sarat dengan
pertimbangan-pertimbangan yang cermat dan ngrawit, bukannya semata-mata
dalam arti halus atau lembut, melainkan werit lan winadi, yang merupakan cermin
perilaku metafisis perambahan alam kasidan jati, sehingga telah menghantarkan
konsepsi filosofis seni kriya itu pada kearifan budaya dalam masyarakat kita, yang
tidak hanya menyangkut kehidupan di dunia sini (nyata), melainkan juga
kehidupan di ‘dunia sana’ (Gustami, 1991:3).
Karenanya menjadi cukup beralasan, manakala kedudukan seni kriya
sebagai salah satu local genius ini demikian memegang peranan sentral, yang
eksistensinya merupakan roh atau spirit yang telah ikut menentukan warna
17
kepribadian masyarakatnya. Hilangnya atau musnahnya local genius ini berarti
pula memudarnya kepribadian dan identitas suatu masyarakat pendukungnya,
sedangkan kuatnya local genius untuk bertahan dan berkembang, menunjukkan
pula kuatnya kepribadian dan identitas masyarakat itu. Oleh karena itu, adalah
penting sekali setiap upaya pemupukan serta pengembangan local genius, yang
akan berfungsi bagi kepentingan politik identitas kebudayaan sebuah masyarakat
dan bangsa. Tentunya dalam konteks ini adalah juga kearifan budaya lokal yang
berbasiskan seni kriya.
Dalam pemaknaan di tingkat ang agak teknis, istilah kriya yang dalam
Inggrisnya dalah craft, yaitu kemahiran membuat produk yang bernilai artistik
dengan keterampilan tangan (Paul Greenhalgh, 2003:70). Bahkan pada
diametrikal tertentu, pelbagai produk yang dihasilkan dalam seni kria, umumnya
eksklusif dan dibuat tunggal, sehingga salah satu ciri karya kriya adalah produk
yang memiliki nilai keadiluhungan baik dalam segi estetik maupun guna.
C. Tinjauan tentang Konsep Kontemporer dalam Seni Rupa
Istilah Kontemporer berasal dari Bahasa Inggris contemporary, ‘co’ yang
berarti bersama dan ‘tempo’ yang maknanya adalah lebih terkait dengan persoalan
waktu, yakni masa kini, sekarang atau modern, sehingga kontemporer berarti pada
waktu yang sama, pada masa kini, dewasa ini. Hal ini sejalan dengan pemaknaan
yang disampaikan dalam Merriam Webster Dictionary (https://www.merriam-
webster.com/dictionary/contemporary), yakni, “Marked by characteristics of the
present period”; atau “happening, existing, living, or coming into being during the
same period of time”. Pemaknaan terkait dengan istilah Kontemporer, jika semata-
18
mata terkait dengn risalah waktu yang termutakhir tersebut kerap menimbulkan
pelbagai persoalan (Danto, 1995), karena tidak mampu menerangkannya di
tingkat substansinya. oleh kerena itu, pengertian yang kiranya cukup memadai,
adalah konsep Kontemporer yang lebih disandarkan pada dimensi substansi spirit
yang ada di dalamnya, dan bukannya semata-mata dengan persoalanya waktu
yang menyertainya.
Dalam pemaknaan istilah kontemporer yang terkait dengan persoalan
substansi representasi karya seni ini pun, cakupannya juga sangat luas. Dalam
pandangan Sumartono (2000:21) misalnya, pengertian yang beredar luas di
masyarakat, ‘seni rupa kontemporer’ bisa berarti seni rupa modern dan seni rupa
alternatif, seperti: instalasi, happening art (happenings) dan performance art,
yang berkembang di masa sekarang. Instalasi adalah karya seni rupa yang
diciptakan dengan menggabungkan berbagai media, membentuk kesatuan baru,
dan menawarkan makna baru. Karya instalasi menampilkan secara bebas, tidak
menghiraukan pengkotakan cabang-cabang seni rupa menjadi ‘seni lukis’, ‘seni
patung’, ‘seni grafis’, dan lain-lain. Happenings, di Barat (terutama di Amerika
Serikat) juga disebut ‘teater aksi’ atau total teater (total teathre), yang
menyatukan beberapa jenis media, dan merupakan persilangan antara suatu
pameran seni rupa dan seni pertunjukan teatrikal. Biasanya happenings
menghindari penggunaan unsur-unsur teater tradisional, seperti: alur cerita,
karakter pemain, dan pengulangan adegan, tetapi juga menggunakan naskah,
tema, dan juga latihan; jadi bukan improvisasi. Durasi happenings tidak tentu, dan
pertunjukkannya bisa dilakukan di segala tempat. Performance art pemaknaannya
19
mirip dengan happenings, yakni gabungan antara seni rupa dan seni pertunjukan,
tetapi penekanan dari representasi itu tetap pada aspek visual.
Secara historis dalam konteks Indonesia, ketika berbincang perihal
pengertian kontemporer yang disandarkan pada aras makna karya seni rupa yang
secara mendasar berbeda dengan seni rupa modern tersebut, perkembangan
wacananya sudah dimulai sejak tahun 1970-an, bersamaan dengan terjadinya
krisis seni rupa modern. (Sumartono, 2000:22).
Buliran insight yang dapat dipetik dari makna wacana seni rupa
kontemporer ini adalah adanya terobosan penghargaan yang sangat luar biasa atas
semangat baru dalam kehidupan berkesenian. Hal ini amat berbeda dengan
semangat di era modern, yang banyak sekali terdapat standardisasi yang terkait
dengan representasi estetis karya seni. Hal ini disebabkan era modern juga
ditopang oleh faham positivistik ilmu pengetahuan manusia, yang serba bercirikan
universalitas, yang telah mengakibatkan era modern kehilangan potensi dinamika
dialektikanya. Dengan lahirnya era kontemporer dalam dunia seni rupa, yang
notabene juga tidak lagi mengenal ideologi-ideologi universalitas yang sering
membelenggu itu, maka banyak sekali semangat inovasi serta ide baru dalam
lahir dan berkembang, untuk menggali sebanyak mungkin ikon pencerahan. Era
ini sering disebut sebagai era semangat perayaan kesadaran perbedaan dalam
berkesenian dan berkebudayaan, yang pada titik tertentu juga merupakan
peletakan dasar-dasar embrio penghargaan prinsip-prinsip pluralisme dan
multikulturalisme dalam arti yang terbuka dan luas di masyarakat. Karenanya
berbagai isu pencerahan strategis kebudayaan dan peradaban yang dapat
20
didedahkan melalui dunia seni, dalam bingkai semangat di era kontemporer ini,
mestinya menemukan ruang yang sangat kondusif. Termasuk juga dalam konteks
ini tentunya sensitif atas persoalan nilai-nilai yang berbasis pada akar tradisi.
21
BAB IIIMETODE PENELITIAN
A. Jenis Pendekatan
Penelitian ini mrnggunakan pendekatan hermeneutik. Adapun yang
dimaksud pendekatan hermeneutik adalah sebuah mediasi yang pada dasarnya
adalah terkait dengan kerja penafsiran. Dalam konteks ini knierja penafsiran
sebagaimana dimaksud adalah penafsiran terhadap teks berupa karya seni,
khususnya lagi adalah karya seni rupa kontemporer Yogyakarta. Kata
hermeneutik itu sendiri, berasal dari istilah Yunani, yakni dari kata kerja
hermeneuein yang berarti menafsirkan, dan kata benda hermeneia, yang bermakna
interpretasi (Palmer, 2005:14). Dalam mitologi Yunani, istilah hermeneutik,
konon diturunkan dari nama dewa Yunani kuno, Hermes. Hal ini sebagaimana
disampaikan oleh (Bergant, 2016), yakni,
The word and the meaning of hermeneutics are related to the Greek god Hermes who was the interpreter of the message of the gosd. There is a tradition in Greek mythology that this god often played tricks on those to whom he was supposed to deliver messages.
Dewa Hermes adalah dewa yang bertugas menyampaikan dan menafsirkan
pesan yang berasal dari dewa-dewa lain di Gunung Olympus, kepada manusia.
Kata kerja hermeneuin, yang dalam bahasa bahasa Latinnya hermeneutikos atau
dalam istilah Inggrisnya to interpret, bermakna sebagai suatu pesan dari dunia
lain, kepada orang atau masyarakat yang berhadapan dengan pesan itu. Dengan
demikian dalam konteks sosial historisnya makna hermeneutik mengacu pada
nama Hermes itu. Dengan begitu, hermeneutik dapat diartikan sebagai kegiatan
22
yang berkaitan dengan penafsiran dan penggelaran arti yang tersembunyi atau
menjadi rahasia dalam teks atau karya (Kohl, 1992:30). Bahkan dalam kaitannya
secara historis, bahwa hermeneutik itu pada awalnya banyak terkait dengan kerja
panafsiran khususnya lagi adalah terkait dengan Alkitab. “Hermeneutics is the
theory and methodology of interpretation, especially the interpretation of biblical
texts, wisdom literature, and philosophical texts”, demikian dalam penegasan
Robert (1999:377) dan juga Reese (1980:221)
Namun, perlu ditegaskan bahwa, proses penafsiran terhadap teks atau
karya seni rupa dalam kerangka hermeneutik ini, bukanlah untuk merekonstruksi
autentisitas makna yang asli dan asali sebagaimana yang digagas atau dimiliki
oleh pencipta karya atau teks, melainkan lebih ditujukan kepada model penafsiran
yang sifatnya memproduksi makna atau merayakan pemaknaan. Karenanya,
proses kinerja hermeneutik ini, menolak fokus sentral model ‘Hermeneutik
Romantik’-nya Schleiermacher’, yakni model ritus pembacaan yang difiksasikan
pada maksud untuk memahami secara tepat kehendak makna si pengarang,
pencipta, atau pembuat teks, karena hal itu mengandung tiga kelemahan. Pertama,
hilangnya apa yang diistilahkan pleasure of reading, karena terlebih dahulu
pembaca dibebani telos tertentu yang mesti sesuai dengan maksud pencipta teks.
Kedua sulitnya menemukan maksud pencipta teks yang sebenarnya, karena setiap
ekspresi karya, sebenarnya selalu berada dalam tegangan antara manifest content
dan latent content. Ketiga, sulitnya untuk menyatu dengan dunia ‘ada’-nya si
pencipta teks secara objektif, karena teks itu telah menyejarah di masa lalu
(Adian, 2005:210-211). Adapun model hermenutik yang dipakai dalam penelitian
23
ini adalah model hermeneutik-dekonstruktif Derrida.
Pemaknaan kerja hermeneutik model hermeneutik-dekonstruktif Derrida
terhadap teks sebagaimana dimaksud dalam konteks penelitian ini, karenanya
tidak dihajatkan untuk menggali makna atau pesan otentik yang dimiliki oleh sang
pembuat teks karya seni rupa kontemporer Yogyakarta sebagaimana dimaksud,
melainkan lebih diorientasikan pada pengembangan tafsir atau pemaknaan peneliti
yang didasarkan pada sudut pandang atau pespektif kritis tertentu. Karenanya bisa
jadi, hasil dari model pemaknaan dalam kinerja hermeneutis seperti ini, sangat
mungkin tidak sama atau berbeda. Perihal kemungkinan ketaksamaan makna hasil
kinerja penafsiran seperti ini tak masalah dalam konteks hermeneutis, karena
memang yang dinamakan dengan makna atas teks tertentu itu tak pernah ada yang
bersifat tunggal melainkan plural. Justru dengan potensi hadirnya pluralitas
pemaknaan tersebut, eksistensi dan entitas pelbagai representasi kebudayaan dan
juga kesenian di masyarakat akan dapat terus dipertahankan.
B. Jenis Penelitian
Adapun jenis metode atau cara penelitian yang digunakan dalam konteks
penelitian ini adalah jenis deksriptif kualitatif, yang berusaha mengkaji data yang
berasal dari latar alamiah atau natural secara komprehensif atau holistik (Marilyn
Lichtman, 2010:15). Data penelitian ini adalah berupa karya seni rupa
kontemporer Yogyakarta, yang dibuat pada periode 1990-an sampai dengan 2000-
an. Alasan pemilihan data ini adalah, bahwa pada periode ruang dan waktu
tersebut, wacana seni rupa kontemporer Yogyakarta mulai sangat santer
wacananya, dan terutama lagi dengan memakai pelbagai ikonik yang terkait
24
dengan dimensi tradisi dan juga kerkiyaan. Adapun secara teknis, terkait data
penelitian ini adalah berupa karya seni rupa kontemporer Yogyakarta, baik berupa
lukisan maupu karya seni rupa instalasi, yang dibuat oleh beberpa seniman
Yogyakata, di antaranya adalah karya-karya Nindyto Aripurnomo, Heri Dono, dan
juga Nasirun, yang pada momen atau saat itu banyak menjadi wacana dan
apresiasi yang tinggi baik dalam konteks skala nasional maupun iternasional.
Secara metodologi, teknik pemilihan sampel pada penelitian ini adalah dengan
metode purposive sampling atau dikenal dengan istilah lain judgmental sampling
(Elizabeth DePoy, Laura N. Gitlin, 2013:169). Adapun pengertian dari purposive
sampling adalah pengambilan sampel secara sengaja sesuai dengan persyaratan
sampel yang diperlukan (Kumar, 2008:42).
Sebagaimana yang ada dalam tradisi penelitian kualitatif, bahwa yang
menjadi instrumen atau alat untuk mengumpulkan data yang utama adalah peneliti
sendiri, yang secara teknis diistilahkan sebagai human instrument. Dalam
perasional atau pelaksanaanya di lapangan, proses pencarian data teersebut
dibantu dengan berbagai ayang relevan, misalnya pedoman dokumentasi, camera,
scaner, dan lain sebagainya yang relevan.
Kemudian untuk teknik analisis datanya, dilakukan secara berlanjut,
berulang, dan terus-menerus selama kegiatan penelitian berlangsung, yang di
dalamnya tercakup tiga hal pokok, yakni, reduksi data, display (penyajian) data,
dan penarikan kesimpulan atau verifikasi (Miles & Huberman, 1994:12; Jonker &
Pennink, 2010:142).
25
BAB IVHASIL DAN PEMBAHASAN
Sejalan dengan fokus permasalahan yang telah disebutkan pada bagian
Bab I, maka pada bagian Bab IV ini akan dipaparkan data hasil penelitian dan
berikut pembahasannya. Adapun fokus sajian hasil dan pembahasan penelitian ini,
terkait dengan dua hal pokok, yakni: 1) bentuk-bentuk dekonstruksi dimensi
kekriyaan dalam representasi estetis seni rupa kontemporer Yogyakarta; dan 2)
mengeksplanasi faktor-faktor apa saja yang menyebabkan cukup kuatnya
dekonstruksi dimensi kekriyaan dalam representasi estetis seni rupa kontemporer
Yogyakarta sebagaimana dimaksud.
Karena faktor keterbatasan penelitian, maka dalam penelitian ini, tidak
mungkin seluruh karya seni rupa kontemporer di Yogyakarta dijadikan sasaran
analisis penelitian, melainkan hanya difokuskan pada lukisan yang di dalamnya
dianggap cukup representatif terkandung muatan makna yang terkait dengan
dimensi dekonstruksi kekriyaan sebagaimana dimaksud. Sebagaimana telah
ditegaskan dalam pembatasan permasalahan penelitian yang terdapat di Bab I,
maka kaya seni rupa yang diteliti ini adalah karya lukis yang dibuat oleh para
perupa Yogyakarta pada periode pertengahan tahun 1990-an sampai tahun 2000-
an, yang dipilih secara pruporsive, yakni yang benar-benar dianggap cukup
representatif dan sesuai dengan permasalahan serta tujuan penelitian ini. Pilihan
atas periode waktu itu, terutama disandarkan pada alasan cukup banyaknya karya
seni rupa yang mengedepankan ikon-ikon kekriyaan sebagaimana yang menjadi
topik penelitian ini. Sajian data dan pembahasan selengkapnya terkait dengan dua
26
fokus permasalahan yang hendak ditemukan jawabannya tersebut, dideskripsikan
sebagai berikut.
A. Bentuk-Bentuk Dekonstruksi Dimensi Kekriyaan dalam Representasi Estetis Seni Rupa Kontemporer Yogyakarta
Berdasarkan data yang ada di lapangan, banyak sekali ditemukan representasi
pelbagai bentuk dekonstruksi dimensi kekriyaan dalam representasi estetis seni
rupa kontemporer Yogyakarta. Adapun pelbagai bentuk dekonstruksi dimensi
kekriyaan dalam representasi estetis seni rupa kontemporer Yogyakarta tersebut,
paling tidak terkait dengan dua hal, yakni terkait dengan ranah atau domain teknis
pembuatan atau penciptaan karyanya, dan kedua terkait dengan ranah atau domain
makna isi atau subject matter-nya.
Pertama, dekonstruksi dimensi kekriyaan terkait dengan ranah atau domain
teknis pembuatan/penciptaan karya seninya, dapat dimaknai sebagai penghadiran
atau penciptaan pelbagai karya seni rupa kontemporer Yogyakarta, yang banyak
sekali menggunakan atau mengadaptasi dari keteknikan yang awalnya dimiliki
secara khas dalam seni kriya. Sebagaimana diketahui, bahwa sebagai salah satu
cabang atau sub dalam kajian seni rupa secara umum (visual arts), seni kriya atau
sering juga disebut sebagai kriya, mempunyai tradisi terkait dengan teknis
pembuatan karyanya yang dikatakan berbeda jika dibandingkan dengan yang
dimiliki oleh sub atau cabang eni rupa lainnya, misalnya lukis, patung, maupun
grafis misalnya. Perbedaan itu, terutama terkait dengan misalnya keteknikannya
yang memang tampak khas, baik dari sisi kategori bahan atau materialnya maupun
proses pembuatannya, yang memang menginduk pada tujuan penciptaan seni
27
kriya yang memang lebih bermakna fungsional (applied art), dibanding dengan
karya seni lukis, patung, atau grafis yang termasuk dalam rumpun seni murni (fine
art), di mana dalam penciptaannya cenderung lebih ekspresif, karena relatif tak
terbebani dimensi fungsionalitasnya. Oleh karena itu, bahan-bahan atau material
rupa yang relatif akrab atau femilier sekali terkait dengan domain kekriyaan, di
antaranya adalah rotan, bambu, atau yang lainnya, yang dalam teknis pengelolaan
atau pembuatannya dengan menggunakan teknik anyam, untuk membuat pelbagai
benda fungsional, misalnya kursi atau yang lainnya. Namun dalam konteks seni
rupa kontemporer Yogyakarta, pelbagai ikonik material dan juga keteknikan yang
secara tradisi melekat kuat dalam praksis domain kekriyaan tersebut, dapat
dikatakan diambil atau diadaptasi oleh tradisi baru dalam seni rupa yang
beridentitaskan kontemporer, khususnya dalam konteks ini adalah seni rupa
kontemporer Yogyakarta. Beberapa contoh karya seni rupa kontemporer
Yogyakarta dengan material rotan dan menggunakan teknis pembuatannya dengan
cara dianyam (anyaman), sebagaimana contohnya yang khas terkait dengan
kekriyaan, di antaranya adalah tampak pada karya Nindityo Aripurnomo, yang
bertajukkan “Serial Konde”, yang dibuat pada periode akhir tahun 1990-an,
sebagaik berikut.
28
Gambar 1. Serial KondeKarya Nindityo Aripurnomo, 1998
Gambar 2. Serial KondeKarya Nindityo Aripurnomo, 1998
29
Gambar 3. Serial KondeKarya Nindityo Aripurnomo, 1998
Gambar 4. Serial KondeKarya Nindityo Aripurnomo, 1998
30
Gambar 5. Serial KondeKarya Nindityo Aripurnomo, 1998
Gambar 6. Serial KondeKarya Nindityo Aripurnomo, 1998
Data-data sebagaimana yang terdapat dalam gambar 1 sampai dengan 6 di
atas adalah salah satu bentuk atau wujud representasi karya seni rupa kontemporer
31
Yogyakarta yang dibuat oleh salah seorang Nindityo Aripurnomo, yang cukup
mendapatkan sambutan dan diskursus yang amat luas di mayarakat. Karya-karya
yang diber label “Serial Konde” atau dalam budaya Jawa kerap juga diistilahkan
sebagai sanggul perempuan tersebut mengundang tafsir yang beragam, mulai dari
bahan dan media yang digunakan yang tidak lazim (rotan, bambu, kawat, bahkan
ada yang dibuat dari batu, dan lain sebagainya) sampai pada persoalan dimensi
makna yang melekat di dalamnya.
Sebagaimana diketahui bahwa yang namanya konde itu, secara natural
atau alaminya adalah sebagai sebentuk karya yang secara fungsionalnya adalah
untuk mendukung tata rias pada sisi rambut di kepala yang dipakai oleh para
perempuan, terutama Jawa, sehingga dari sisi bahan utamanya adalah juga berasal
dari rambut manusia asli sebagaimana adanya. Hal ini sejalan dengan pengertian
dari konde yang bisa dirujuk dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, yakni sebagai
gelung rambut perempuan di atas atau di belakang kepala. Konde itu pada
umumnya dipakai oleh para perempuan pada saat acara-acara adat maupun khusus
pesta, sehingga secara fungsional juga terkait dengan lambang status sosial.
Satu yang mengedepan dalam konteks karya ini adalah, Nindityo
melakukan apa yang diistilahkan dengan kerja dekonstruksi atas tradisi Jawa,
yang dalam hal ini lewat benda konde-nya. Konde yang merupakan salah satu
tradisi dengan nilai tinggi, dikonstruksi oleh Nindityo dengan metafor yang
cenderung parodis, hingga menghadirkan kemungkinan makna profan,
sebagaimana yang amat mengedepan dalam budaya kekinian. Terlepas dari
persoalan apakan representasi seperti itu merupakan sebuah kerja estetis yang ‘,
32
keliru, stau sekian stigmatisasi lain yang senada, yang jelas bahwa Nindityo telah
melakukan sebuah tafsir ulang atas apa yang dinamakan tradisi dan juga dimensi
kekriyaan, sebagai realitas yang tidak atau belum selesai atau selalu dalam prose
menjadi.
Contoh yang lain terkait dengan penggunaan ikon dimensi kekriyaan,
adalah tampak pada karya-karya seniman Heri Dono, yang menggunakan sistem
ikon penanda utamanya yakni berupa gamelan. Hal ini tampak dari karya-
karyanya yang pernah dibuat dan dipamerkan pada awal tahun 1990-an, yang
bertajukkan Gamelan of Rumours, sebagaimana tampak pada beberapa sampel
gambar berikut ini.
Gambar 7. Serial Gamelan of RumoursKarya Heri Dono, 1992
33
Gambar 8. Serial Gamelan of RumoursKarya Heri Dono, 1992
Gambar 9. Serial The Wayang LegendKarya Heri Dono, 1998.
34
Gambar 10. Serial The Wayang LegendKarya Heri Dono, 1998.
Gambar 11. Serial The Wayang LegendKarya Heri Dono, 1998.
35
Gambar 12. Serial The Wayang LegendKarya Heri Dono, 1998.
Untuk karya-karya Heri Dono yang terdapat pada gambar 7-12 di atas juga
merupakan sebentuk dekonstruksi estetis atas salah satu teks tradisi yang ada
dalam budaya Jawa, yang juga sarat dengan dimensi kekriyaan, yakni gamelan
atau gong dan wayang. Terkait dengan benda gamelan atau gong ini, Heri Dono
mencoba memberi tafsir ulang, yang secara ideomatik mengkritisi tentang
fenomena monoton (monotone) yang dihasilkan dari bunyi gamelan atau gong.
Karya ini adalah pengejawantahan dari persepsinya akan kehidupan sosial-
kultural-politis di Indonesia, termasuk di Jawa tempat orang tidak bisa berbicara
tentang permasalahan hidup mereka sehari-hari secara terang-terangan. Akhirnya
yang berkembang adalah budaya kasak-kusuk (rumor) sebagaimana judul
karyanya tersebut. Dalam karya tersebut, Heri Dono memajang sejumlah alat
gamelan yang secara otomatis bisa mengeluarkan irama tertentu. Karya ini
merupakan kritik atau metafora terhadap demokrasi di Indonesia yang ditandai
dengan penyeragaman pendapat dan nyanyian lagu setuju.
36
Demikian juga dalam konteks karyanya tentang wayang legenda, Heri
Dono melakukan dekonstruksi atas nilai-nilai ‘kesopanan’ yang melekat dalam
representasi tradisi wayang, dengan penggambaran organ genital (aurat) secara
terang-terangan, yang mana hal tersebut diguanakan sebagai sistem tanda kritik
terhadap pelbagai fenomena sosial.
Di samping itu, terkait dengan pemaknaan dalam konteks disiplin yang
ada, betapa karya-kara Heri Dono sebagaimana dimaksud, dapat dilihat bahwa ada
semacam peleburan batas-batas atau demarkasi antara seni murni dan juga seni
terapan diantaranya adala Kriya dalam hal ini, yang diketengahkan. Hal itulah
yang kemudian menjadi salah satu penanda yang cukup kuat hadirnya konstruksi
Kontemporer-Postmodern yang sekaligus menjadi antitesis dari tradisi
Modernisme. Terkait dengan hal tersebut, dalam pandangan Julie Romain
(2016:183) , disampaikan sebagai berikut.
Heri Dono is a contemporary Indonesian artist who continually blurs the boundaries between tradition, fine at, and craft. In Indonesia, the term craft is generally associ- ated with traditional visual and performing arts such as batik or gamelan, in contrast to fine at, which is a term reserved for works produced by artists trained in the Western academic tradition of painting and sculpture.
Selain itu, ada juga seniman lain, yang juga cukup kuat mengangkat tradisi
dan juga dimensi kekriyaan dalam konteks seni rupa Kontemporer Yogyakarta,
yakni seorang Nasirun. Sebagaimana halnya dengan Nindityo maupun juga Heri
Dono, Nasirun juga mengedepankan wacana tradisi dan juga dimensi kekriyaan
tersebut dengan perspektif dekonstruksi. Adapun beberpa karya Nasirun
sebagaimana dimaksud adalah sebagaimana tampak pada sajian gambar 13-17
sebagai berikut.
37
Gambar 13. Karya Berjudul Figure, dengan Menggunakan Ikon Wayang, Karya Nasirun (1995).
Gambar 14. Karya Berjudul Mintorogo, dengan Menggunakan Ikon Wayang, Karya Nasirun (1999)
38
Gambar 15. Karya Berjudul Mintorogo, dengan Menggunakan Ikon Wayang, Karya Nasirun (1999).
Gambar 16. Karya Berjudul Wayang Melayu, dengan Menggunakan Ikon Wayang, Karya Nasirun (1993).
39
Gambar 17. Karya Berjudul Wayang Melayu, dengan Menggunakan Ikon Wayang, Karya Nasirun (1993)
Beberapa karya lukisan dan instalasi karya Nasirun sebagaimana tampak pada
gambar 13-17 di atas yang juga banyak menggambarkan tokoh dalam dunia
pewayangan, sebagaimana yang disampaikan juga oleh Nindityo maupun juga
Heri Dono tersebut, juga amat jelas mengedepankan keberadaan ikon-ikon tradisi
dan kekriyaan dalam format dekonstruktif. Sebagaimana halnya dengan arus
utama spirit yang mengedepan pada seni rupa Kontem[orer Yogyakarta di masa
itu, pengambilan ikon-ikon tersebut, terutama juga difungsikan sebagai bagian
representasi kritik atas pelbagai fenomena sosial budaya yang melingkupi di
sekitarnya.
40
2. Faktor Penyebab Hadirnya Dekonstruksi Dimensi Kekriyaan dalam Representasi Estetis Seni Rupa Kontemporer Yogyakarta
Menyoal perihal faktor penyebab hadirnya dekonstruksi dimensi kekriyaan
dalam representasi estetis seni rupa kontemporer Yogyakarta sebagaimana
dimaksud, memang tak pernah akan pernah didapatkan jawaban yang sederhana
apalagi tunggal. Atau dalam ungkapan lain, bahwa faktor yang menyebabkan
hadirnya dekonstruksi tersebut adalah kompleks. Namun, kiranya ada salah satu
faktor yang cukup dominan, yakni terkait dengan berkembangnya faham
Postmodernisme dalam wacana ilmu sosial dan budaya, yang juga merembes dan
bahkan menjadikannya pengaruh besar dalam karya seni rupa, khususnya
Yogyakarta pada era awal ’90-an sebagaimana dimaksud.
Prinsip-prinsip yang melekat dalam semangat Postmodern, di antaranya
yang paling mengedepan adalah penghargaan yang setinggi-tingginya terhadap
pelbagai realitas atau fakta konteks partikularitas dan pluralitas, sebagai antitesis
atas faham Modernisme Barat yang cenderung amat menggairahkan substansi
kesadaran yang sebaliknya yakni nilai-nilai universalitas, patut dan layak diduga
kuat sebagai salah satu faktor yang paling utama.
Ciri utama budaya postmodern adalah pluralisme. Untuk merayakan
pluralisme ini, para seniman postmodern mencampurkan berbagai komponen yang
saling bertentangan menjadi sebuah karya seni. Teknik seni yang demikian bukan
hanya merayakan pluralisme, tetapi merupakan reaksi penolakan terhadap
dominasi rasio melalui cara yang ironis. Buah karya Postmodernisme selalu
ambigu (mengandung dua makna). Kalaupun para seniman ini menggunakan
sedikit gaya modern, tujuannya adalah menolak atau mencemooh sisi-sisi tertentu
41
dari modernisme.
Sebagaimana telah disampaikan dan diteguhkan pada wacana sebelumnya,
bahwa hakikat Postmodernisme adalah campuran antara macam-macam tradisi
dan masa lalu, sehingga Postmodernisme disamping sebagai kritik dari sekaligus
melampaui Modernisme. Adapun pelbagai ciri kesadaran karya yang berbasiskan
Postmodernisme diantaranya adalah bermakna ganda,ironi, banyaknya pilihan,
konflik, dan terpecahnya berbagai tradisi, yang disandarkan pada keyakinan akan
keniscayaa terhadap heterogenitas, pluralitas, dan juga partikularitas. Dalam
kaitannya dengan hal tersebut, Jencks (1989:7) misalnya, melihat fenomena
tersebut menggunakan istila collage. Collage dalam konteks ini pelbagai cara
dalam memandang banyak hal yang bisa jadi disatukan meskipun selama ini
dianggap sebagai yang berlawananatau bertentangan. Konsep collage dengan
demikian, bisa menjadi wahana kritik dalam perspektif Postmodern terhadap
pelbagai mitos tentang ketunggalan pemaknaan. Konsep collage-nya ini, kemudia
kerap dikembangkan menjadi bricolage, yaitu: sebagai kinerja penyusunan
kembali berbagai objek untuk menyampaikan pesan ironis bagi situasi masa kini
(Stuart Sim, 2012:237; Maus, 2014; Schallegger, Kapell, 2018).
Seni dalam konteks Kontemporer-Postmodern menggunakan berbagai
gaya secara eklektisisme dan bahkan personal. Dalam Postmodern berusaha
menyingkirkan konsep mengenai sisi orisinalitas, juga universalitas, dan berusaha
menghancurkan ideologi tunggal yang menjadi mode dalam Modernisme.
42
BAB VPENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sesuai dengan fokus atau
rumusan masalah penelitian ini, maka dapat disampaikan kesimpulan sebagai
berikut.
Pertama, bentuk-bentuk dekonstruksi dimensi kekriyaan dalam
representasi estetis seni rupa kontemporer Yogyakarta, ditampilkan dalam wujud
misalnya penggunaan sistem tanda berupa ikon-ikon tradisional yang juga di
dalamnya amat dekat dengan dimensi kekriyaan. Hal tersebut misalna tampak dari
beberapa sampel karya seni rupa Kontemporer baik berupa instalasi maupun
lukisan, yang dibuat oleh beberapa seniman Yogyakarta, misalnya Nindityo
Aripurnomo, Heri Dono, dan Nasirun. Mereka dalam karya-karyanya mengangkat
misalnya ikon konde, gamelan, dan juga wayang. Ketiga ikon itu, betapa amat
dekat maknanya dengan dimensi tradisi dan juga kekriyaan.
Yang kiranya perlu dijadikan catatan penting dan kritis adalah, bahwa
karya-karya seni rupa Kontemporer yang dihadirkan dengan mengambil inspirasi
pelbagai ikon kekriyaan dan tradisi tersebut, dengan jalan didekonstruksi.
Dekonstruksinya terumama dengan jalan mencoba melepaskan baik bentuk
maupun makan kanonik klasiknya, dari teks yang awalnya berada dalam bingkai
arus utama tradisi dan kekriyaan dengan segala bobot muatan makna yang tak
jauh dari teks keadiluhungan misalnya, kemudian digeser sebagai teks yang
sebaliknya. Dalam konteks ini, karenanya dimensi kekiriyaan dan juga tradisi tak
43
lagi dibekukan maknanya dalam logosenrisme sebagai tradisi agung dan narasi
besar, melainkan sebaliknya lebih sebagai tradisi alit atau kecil. Inilah salah satu
penggal representasi atas fenomena dekontsruktif yang dihadirkan dalam arus
utama yang cukup kuat dalam tradisi seni rupa Kontemporr Yogakarta di periode
tahun 1990-an atau awal 2000-an, yang kemudian terus bergulis dengan semakin
kompleks lagi varian representasinya. Wacana yang menarik terkait dengan
fenomena tersebut di antaranya adalah hendak mengembalikan pada diktum
kesejatian keniscayaan, yakni bahwa betapa yang dinamakan dengan jagad
pemaknaan atas setiap realitas teks kultural apa pun itu, selalu tak pernah
memendam ketunggalan, keuniversalan, apalagi keabsolutan maknanya,
sebagaimana yang menjadi kegandrungan atau bahkan kegilaan di era Modern
sebelumnya. Yang ada sejatinya adalahs ebaliknya, ia, setiap teks kultural itu,
termasuk seni tentunya, senantiasa dalam formasi diskursif yang plural dan
partikulatif.
Kedua, adapun faktor penyebab hadirnya dekonstruksi dimensi kekriyaan
dalam representasi estetis seni rupa kontemporer Yogyakarta sebagaimana
dimaksud, di antaranya yang dapat dikatakan paling kuat adalah hadir dan
berkembangnya faham Postmodernisme sebagai antitesis dari Modenisme yang
telah usang karena memang memuat ideologi yang utopis. Betapa faham dan
ideologi Modernisme dalam faktanya termutakhir telah menjadi sejenis realitas
yang mankala disampaikan dalam ungkapan Jawa laksana wastra lungset ing
sampiran (seperti baju lusuh dan rusak yang disampirkan). Ia, Modernisme itu,
kemudian tiba-tiba tak berguna adanya, karena memang secara eksistensial
44
mencoba membangun imperium pengingkaran-pengingkaran terhadap kodrat teks
budaya itu, yang sekali lagi adalah bukan singular melainkan plural. Dalam
pandangan Kontemporer-Postmodern, karenanya roh kesejatian budaya termasuk
seni apapun di dalamnya, hendak dikembalikan sekuat tenaga pada substansi
kehakikiannya baik di tingkat esesnsi maupun eksistensinya, yakni sebagai
realitas-realitas yang konotasi maknanya juga luas, bukan sebaliknya sebagaimana
yang diafirmasi amat buta dalam faham Modernitas yakni cenderung satu atau
tunggal adanya. Itulah kiranya narasi perihal fenomena dekonstruksi.
B. Saran
Berdasarkan pokok-pokok kesimpulan atas penelitian yang telah
disampaikan di atas dapat disampaikan poin penting saran yakni sebagai berikut.
Bahwa sudah selaaknya manakala keilmuan seni yang notabene sebagai bagian
dari keilmuan sosial budaya dan humaniora pada umumnya, semakin
mendekatkan diri pada pelbagai dinamika khazanah perkembangan termutakhir
terkait yang terjadi pada keilmuan sosial buadaa pada umumnya, termasuk dalam
konteks spesifik ini adalah terkait dengan wacana dekonstruksi yang menginduk
pada faham Kontemporer-Postmodern.
Hal ini untuk mengantisipasi bagi kemungkinan hadirnya kemiskinan
wacana beserta segala narasi besar implikasi yang menyertainya. Di samping
memang, fakta sosiologis dan juga historis yang menghampar selama ini
menunjukkan bahwa dinamika untuk mengakselerasi dengan pelbagai perubahan
dan perkembangan dimaksud, cenderung tak cukup imbang antara di ranah
wacana praktik (ranah produktif) dengan yang ada di ranah praktik wacana
45
(reproduktif dan juga reseptif). Selalu di ranah produktif berjalan atau bahkan
berlari lebih dahulu dan bahkan jauh di depan, jika dibandingkan dengan di ranah
pengkajian teoretis maupun penerimaan atau reseptif di masyarakatnya.
Dengan adanya proses pengakselerasian yang baik dan imbang antara di
kedua dimensi sebagaimana dimaksud terhadap pelbagai dinamika konstruksi
pengetahuan dan wacana yang baru, sebagaimana halnya dalam contoh konteks
ini adalah terkait dengan persoalan dekonstruktif, diharapkan pelbagai dinamika
representasi estetis dari setiap perubahan dan atau perkembangan wacana seni
yang ada tidak disikapi secara negatif apriori, melainkan lebih dimaknai sebagai
sebagai bagia dari teks semesta raya yang sejatinya selalu berada dalam formasi
terus-menerus menjadi yang tak kan pernah henti apalagi selesai.
46
DAFTAR PUSTAKA
Adian, D.G. 2005. “Hermeneutika: Antara Metode dan Cara Berada”, dalam Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.
Anderson, B. 2002. Imagined Communities (Komunitas-komunitas Terbayang). Cetakan Kedua. Yogyakarta: INSIST Bekerjasama dengan Pustaka Pelajar.
Auslander, Philip 2002. From Acting to Performance: Essays in Modernism and Postmodernism. London: Routledge.
Bauer, S.W. 2015. The Story of Western Science: From the Writings of Aristotle to the Big Bang Theory. New York: W. W. Norton & Company.
Bergant, D. 2016. Scripture: History and Interpretation. Collegeville, Minnesota: Liturgical Press.
Birch, D. 2005. Language, Literature and Critical Practice: Ways of Analysing Text. London: Routledge.
Bourdieu, P. 2013. Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste. London: Routledge.
Cukierkorn, J.R. 2008. Arts Education for Gifted Learners. Waco, Texas: Prufrock Press, inc.
Danto, A. 1995. “Introduction: Modern, Postmodern, and Contemporary” dalam The End of Art. Princenton: Princenton University Press.
Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cetakan Ketiga, Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
DePoy, E & Gitlin, L.N. 2013. Introduction to Research - E-Book: Understanding and Applying Multiple Strategies. Amsterdam, Netherlands: Elsevier.
Derrida, J. 2016. Of Grammatology. Translated by Gayatri Chakravorty Spivak. Baltimore, Maryland: JHU Press.
Epstein, R. 2002. “Literal Opposition: Deconstruction, History, and Lancaster”. Texas Studies in Literature and Language. Vol. 44, No. 1, (Spring 2002), pp. 16-33.
47
Gaskin, Richard. 2013. Language, Truth, and Literature: A Defence of Literary Humanism. Oxford: Oxford University Press.
Greenhalgh, P. 2003. The Persistence of Craft: The Applied Arts Today. New Brunswick, New Jersey: Rutgers University Press.
Irianto, A.J. 2000. “Konteks Tradisi dan Sosial Politik dalam Seni Rupa Kontemporer Yogyakarta Era ’90-an”, dalam Yogya dalam Outlet Seni Rupa Kontemporer Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti.
Jencks, C. 1989. What is Post-Modernisme? New York: St Martin's Press.
Jonker, J. & Pennink, B. 2010. The Essence of Research Methodology: A Concise Guide for Master and PhD Students in Management Science. Berlin/Heidelberg, Germany: Springer Science & Business Media.
Kacunko, S. 2015. Culture as Capital. Berlin: Logos Verlag Berlin GmbH.
Kohl, H. 1992. From Archetype To Zeitgeist. Boston: Back Bay.
Kumar, R. 2008. Research Methodology. New Delhi: APH Publishing.
Lichtman, M. 2010. Qualitative Research in Education: A User's Guide. London: Sage Publication.
Manithottil, P. 2008. Difference at the Origin: Derrida's Critique of Heidegger's Philosophy of the Work of Art. New Delhi: Atlantic Publishers & Dist.
Maus, D.C. 2014. Understanding Colson Whitehead. Columbia, South Carolina: University of South Carolina Press.
McQuillan, M. 2001. Deconstruction: A Reader. Milton Park, Abingdon-on-Thames, Oxfordshire United KingdomTaylor & Francis.
Miles, M.B.A. & Huberman, A.M. 1994. Qualitative Data Analysis: An Expanded Sourcebook. London: Sage Publication.
Morrow R.A. & Brown, D.D. 1994. Critical Theory and Methodology. London: Sage Publication.
Naugle, D.K. 2002. Worldview: The History of a Concept. Grand Rapids, Michigan: Wm. B. Eerdmans Publishing.
Palmer, R.E. 2005. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi. Cetakan Kedua. Terjemahan Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
48
Radhakrishnan, R. 1983. “The Post-Modern Event and the End of Logocentrism”. Boundary 2. Vol. 12, No. 1 (Autumn, 1983), pp. 33-60. DOI: 10.2307/302936. https://www.jstor.org/stable/302936. Page Count: 28.
Reese, W. L. 1980. Dictionary of Philosophy and Religion. Sussex: Harvester Press.
Ritzer, G. 2004. Encyclopedia of Social Theory. London: SAGE Publications.
Robert, A. 1999. The Cambridge Dictionary of Philosophy. (2nd ed.). Cambridge: Cambridge University Press.
Savoye, D.F. 2017. Beyond Literary Studies: A Counter-Theoretical Approach. Jefferson, North Carolina: McFarland.
Schallegger, R.R. & Kapell, M.W. 2018. The Postmodern Joy of Role-Playing Games: Agency, Ritual and Meaning in the Medium. Jefferson, North Carolina: McFarland & Company, Inc.
Sim, S. 2012. The Routledge Companion to Postmodernism. London: Routledge.
Sumartono. 2000. “Peran Kekuasaan dalam Seni Rupa Kontemporer Yogyakarta”, dalam Yogya dalam Outlet Seni Rupa Kontemporer Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti.
Trifonas, P.P. 2000. The Ethics of Writing: Derrida, Deconstruction, and Pedagogy. Lanham, Maryland: Rowman & Littlefield.
Turner, H. 2014. The Culture of Capital: Property, Cities, and Knowledge in Early Modern England. London: Routledge.
Vanborre, E. 2012. The Originality and Complexity of Albert Camus’s Writings. Berlin/Heidelberg, Germany: Springer.
Wallace, D.P anda Fleet, C.J.V. 2012. Knowledge into Action: Research and Evaluation in Library and Information Science: Research and Evaluation in Library and Information Science. Santa Barbara, California: ABC-CLIO.
Yustiono. 1995. “Seni Rupa Kontemporer Indonesia dan Asia Pasifik”. Jurnal Seni Rupa, Universitas Negeri Semarang, Volume II, 1995.