laporan sangriran
TRANSCRIPT
COVER
PENGESAHAN
PRAKATA
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
BAB I. PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Sangiran adalah sebuah situs arkeologi di Jawa, Indonesia. Area ini memiliki luas 48 km² dan terletak di Jawa Tengah, 15 kilometer sebelah utara Surakarta di lembah Sungai Bengawan Solo dan terletak di kaki gunung Lawu. Secara administratif Sangiran terletak di kabupaten Sragen dan kabupaten Karanganyar di Jawa Tengah. Pada tahun 1977 Sangiran ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia sebagai cagar budaya. Pada tahun 1996 situs ini terdaftar dalam Situs Warisan Dunia UNESCO.
Gb 1 : Peta lokasi Situs Manusia Purba SANGIRAN
Sangiran adalah sebuah situs arkeologi (Situs Manusia Purba) di Jawa, Indonesia. Sangiran terletak di sebelah utara Kota Solo dan berjarak sekitar 15 km (tepatnya di desa krikilan, kec. Kalijambe, Kab.Sragen). Gapura Situs Sangiran berada di jalur jalan raya Solo–Purwodadi dekat perbatasan antara Gemolong dan Kalioso (Kabupaten Karanganyar). Gapura ini dapat dijadikan penanda untuk menuju Situs Sangiran, Desa Krikilan. Jarak dari gapura situs Sangiran menuju Desa Krikilan ± 5 km.
Situs Sangiran memunyai luas sekitar 59, 2 km² (SK Mendikbud 070/1997) secara administratif termasuk kedalam dua wilayah pemerintahan, yaitu: Kabupaten Sragen (Kecamatan Kalijambe, Kecamatan Gemolong, dan Kecamatan Plupuh) dan Kabupaten Karanganyar (Kecamatan Gondangrejo), Provinsi Jawa Tengah (Widianto & Simanjuntak, 1995). Pada tahun 1977 Sangiran ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia sebagai cagar budaya. Oleh Karenanya Dalam sidangnya yang ke 20 Komisi Warisan Budaya Dunia di Kota Marida, Mexico tanggal 5 Desember 1996, menetapkan Sangiran sebagai salah satu Warisan Budaya Dunia “World Heritage List” Nomor : 593. Dengan demikian pada tahun tersebut situs ini terdaftar dalam Situs Warisan Dunia UNESCO.
Keberadaan Situs Sangiran sangat bermanfaat untuk mempelajari kehidupan manusia pra sejarah karena situs ini dilengkapi dengan fosil manusia purba, hasil-hasil budaya manusia purba, fosil flora dan fauna purba beserta gambaran stratigrafinya. Kehadiran Sangiran merupakan contoh gambaran kehidupan manusia masa lampau karena situs ini merupakan situs fosil manusia purba paling lengkap di Jawa.
Tahun 1934 antropolog Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald memulai penelitian di area tersebut. Pada tahun-tahun berikutnya, hasil penggalian menemukan fosil dari nenek moyang manusia pertama, Pithecanthropus erectus ("Manusia Jawa"). Ada sekitar 60 lebih fosil lainnya di antaranya fosil Meganthropus palaeojavanicus telah ditemukan di situs tersebut.
Di museum Sangiran yang terletak di wilayah ini juga dipaparkan sejarah manusia purba sejak sekitar 2 juta tahun yang lalu hingga 200.000 tahun yang lalu, yaitu dari kala Pliosen akhir hingga akhir Pleistosen tengah. Di museum ini terdapat 13.086 koleksi fosil manusia purba dan merupakan situs manusia purba berdiri tegak yang terlengkap di Asia. Selain itu juga dapat ditemukan fosil hewan bertulang belakang, fosil binatang air, batuan, fosil tumbuhan laut serta alat-alat batu.
Pada awalnya penelitian Sangiran adalah sebuah kubah yang dinamakan Kubah Sangiran. Puncak kubah ini kemudian melalui proses erosi sehingga membentuk depresi. Pada depresi itulah dapat ditemukan lapisan tanah yang mengandung informasi tentang kehidupan di masa lampau.
Museum Sangiran adalah museum arkeologi yang terletak di Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen, provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Museum ini berdekatan dengan area situs fosil purbakala Sangiran. Situs Sangiran memiliki luas mencapai 56 km² meliputi tiga kecamatan di Sragen (Gemolong, Kalijambe, dan Plupuh) serta Kecamatan Gondangrejo yang masuk wilayah Kabupaten Karanganyar. Situs Sangiran berada di dalam kawasan Kubah Sangiran yang merupakan bagian dari depresi Solo, di kaki Gunung Lawu (17 km dari kota Solo). Museum Sangiran beserta situs arkeologinya, selain menjadi obyek wisata yang menarik juga merupakan arena penelitian tentang kehidupan pra sejarah terpenting dan terlengkap di Asia, bahkan dunia.
Di museum dan situs Sangiran dapat diperoleh informasi lengkap tentang pola kehidupan manusia purba di Jawa yang menyumbang perkembangan ilmu pengetahuan seperti Antropologi, Arkeologi, Geologi, Paleoanthropologi. Di lokasi situs Sangiran ini pula, untuk pertama kalinya ditemukan fosil rahang bawah Pithecantropus erectus (salah satu spesies dalam taxon Homo erectus) oleh arkeolog Jerman, Profesor Von Koenigswald.
Lebih menarik lagi, di area situs Sangiran ini pula jejak tinggalan berumur 2 juta tahun hingga 200.000 tahun masih dapat ditemukan hingga kini. Relatif utuh pula. Sehingga para ahli dapat merangkai sebuah benang merah sebuah sejarah yang pernah terjadi di Sangiran secara berurutan.
Bentang lahan situs tersebut meliputi areal seluas ± 48 km2 yang berbentuk seolah seperti kubah (dome), sehingga situs tersebut dinamakan dengan Sangiran Dome. Terletak di wilayah administrasi Kabupaten Sragen Provinsi Jawa Tengah, Sangiran berada ± 15 km ke arah Utara kota Surakarta. Situs Sangiran merupakan salah satu situs manusia purba yang sangat berperan penting dalam perkembangan penelitian di bidang palaeoanthropology di Indonesia. Pada tahun 1934 penelitian yang dilakukan oleh G.H.R. von Koenigswald yang menemukan beberapa alat sepih yang terbuat dari batu kalsedon di atas bukit Ngebung, arah Baratlaut Sangiran Dome.
Berdasarkan penelitian geologis, situs Sangiran merupakan kawasan yang tersingkap lapisan tanahnya akibat proses orogenesa (pengangkatan dan penurunan permukaan tanah) dan kekuatan getaran di bawah permukaan bumi (endogen) maupun di atas permukaan bumi (eksogen). Aliran Sungai Cemoro yang melintasi wilayah tersebut juga mengakibatkan terkikisnya kubah Sangiran menjadi lembah yang besar yang dikelilingi oleh tebing-tebing terjal dan pinggiran-pinggiran yang landai. Beberapa aktifitas alam di atas mengakibatkan tersingkapnya lapisan tanah/formasi periode pleistocen yang susunannya terbentuk pada tingkat-tingkat pleistocen bawah (lapisan Pucangan), pleistocen tengah (lapisan Kabuh), dan pleistocen atas (lapisan Notopuro). Fosil-fosil manusia purba yang ditemukan di laipsan-lapisan tersebut berasosiasi dengan fosil-fosil fauna yang setara dengan lapisan Jetis, lapisan Trinil, dan lapisan Ngandong.
Diperkirakan situs Sangiran pada masa lampu merupakan kawasan subur tempat sumber makanan bagi ekosistem kehidupan. Keberadaanya di wilayah katulistiwa, pada jaman fluktuasi jaman glassial-interglassial menjadi tempat tujuan migrasi manusia purba untuk mendapatkan sumber penghidupan. Dengan demikian kawasan sangiran pada kala pleistocen menjadi tempat hunian dan ruang subsistensi bagi manusia pada masa itu.
Tempat-tempat terbuka seperti padang rumput, semak belukar, hutan kecil dekat sungai atau danau menjadi pilihan sebagai tempat hunian manusia pada kala pleistocen. Mereka membuat pangkalan (station) dalam aktifitas perburuan untuk m,endapatkan sumber kebutuhan hidupnya. Pilihan situs Sangiran dome sebagai pangkalan aktifitas perburuan mengingatkan kita dengan living floor (lantai hidup) atau old camp site di lembah Olduvai, Tanzania (Afrika). Indikasi suatu situs sebagai tempat hunian dan ruang subsistensi adalah temuan fosil manusia purba, fauna, dan artefak perkakas yang ditemukan saling berasosiasi.
I.2 Letak Kesampaian Daerah
Trip Makro Paleontologi dilaksanakan pada tanggal 7 September 2013 pukul 07.30 WIB.
Perjalanan dimulai dari Kampus 1 IST Akprind Yogyakarta hingga Situs Sangiran di Sragen.
Kami menggunakan Bus untuk mencapai Situs Sangiran. Kurang lebih waktu yang ditempuh
selama 3 jam.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Tektonik Regional dan Fisiografi
II.2 Geologi Sangiran
Kawasan Situs Sangiran menyimpan banyak sekali misteri yang harus diungkap, dibalik
kondisi yang gersang dan panas menyimpan suatu cerita kehidupan yang sangat menakjubkan.
Dan singkapan dari berbagai masa yang telah berlangsung hingga saat ini masih dapat kita
jumpai di beberapa tempat di Kawasan Sangiran. Singkapan dari 2 juta tahun yang lalu dapat kita
nikmati keindahannya melalui penjelasan kronologi geologinya. Salah satu keistimewaan dari
Situs Sangiran yaitu adanya singkapan stratigrafi yang bisa memberikan gambaran secara jelas
pada kita untuk mengetahui kehidupan budaya masa lampau yang tersusun rapi di tebing-tebing
Sangiran. Dalam kebisuannya wajah Sangiran mampu memberikan suatu kisah kehidupan yang
sangat menakjubkan yang pernah tejadi mulai 2 juta tahun lalu.
Berdasarkan hasil penelitian terbentuknya Kubah Sangiran merupakan peristiwa geologis
yaitu diawali pada 2,4 juta tahun yang lalu terjadi pengangkatan,gerakan lempeng bumi,letusan
gunung berapi dan adanya masa glacial sehingga terjadi penyusutan air laut yang akhirnya
membuat wilayah Sangiran terangkat keatas, hal ini dibuktikan dengan endapan yang bisa kita
jumpai di sepanjang Sungai Puren yang tersingkap lapisan lempeng biru dari Formasi Kalibeng
yang merupakan endapan daerah lingkungan lautan dan hingga sekarang ini banyak sekali
dijumpai fosil-fosil moluska laut.
Formasi Kalibeng merupakan lapisan stratigrafi di Situs sangiran yang paling tua, lapisan
tanah ini merupakan endapan dari lautan yang hadir pada Akhir Kala Pliosen (kurang lebih 2 juta
tahun yang lalu). Lapisan ini di dominasi oleh lempung abu-abu kebiruan (napal) dan lempung
lanau, serta satuan pasir lanau dan gamping balanus. Satuan lempung abu-abu kebiruan itulah
yang merupakan ciri khas endapan laut (marine) dan banyak terdapat fosil foraminifera (jenis
Operculina) dan moluska laut (Turritela, Nassarius, Arca, Choine, Anomia, Turricula, Ostrea,
Pleurotama, Murex dan Natica).
Keberadaan pasir lanau dan gamping balanus menandakan endapan dari laut dangkal dan
formasi ini tersingkap di wilayah Puren dan Pablengan,dan pada masa ini belum ada kehidupan
manusia maupun vertebrata karena lingkungan masih berupa lautan.
Saat laut mulai surut yang diakibatkan oleh proses pengangkatan regional dari kegiatan
gunung api, dan juga dari proses glasial terjadi pendangkalan. Daratan yang terbentuk (gunung
api dan perbukitan) menjadi luas oleh adanya pelapukan buatan gunung berapi, erosi perbukitan
serta sisa-sisa organisme pantai. Vegetasi yang menonjol pada masa ini adanya perkembangan
hutan bakau, akibat banyaknya aktivitas vulkanik maka hutan bakau mulai menghilang dan
daratan semakin luas (A.M. Semah, 1984).
Kemudian pada kala 1,8 juta tahun yang lalu terjadi peningkatan aktivitas vulkanik yang
mingkin didominasi oleh kegiatan Gunung Lawu dan Gunung Merapi Purba dan material lahar
dari kedua gunung tersebut terendapkan mengisi laguna-laguna yang ada di wilayah Sangiran
sehingga mengendap membentuk lapisan-lapisan yang ada di bagian bawah Formasi Pucangan.
Formasi Pucangan yaitu formasi yang tersingkap antara lain di wilayah Cengklik,
Bapang, dan Jagan. Lapisan ini didominasi oleh satuan breksi laharik yang mengandung lensa
batu pasir silang-siur dan konglomerat vulkanik tipe endapan alur sungai. Satuan ini diendapkan
oleh system arus pekat yang dikenal dengan istilah lahar hujan atau lahar dingin. Lapisan ini
terdiri dari lapisan napal dan lempung hitam yang merupakan endapan danau air tawar dan zona
Solo. Pada lapisan ini terdapat sisipan lempung berwarna kuning yang mengandung horizon
moluska marine (Anadara, Conus, dan Murex). Horizon ini menunjukkan adanya transgresi laut
secara singkat. Pada formasi Pucangan Bawah sudah banyak ditemukan fosil-fosil binatang
vertebrata (bertulang belakang) yaitu antara lain : Gajah (Stegodon Trigonocephalus), Axis
Lydekkeri, Panthera Tigris, dan Kuda Nil (Hexaprotodon Simplex) dan Tetralophodon
Bumiajuensis (Widianto, 1995).
Pada masa ini daerah Sangiran dulunya merupakan rawa pantai dimana terdapat endapan
khusus yang disebut diatomit, yang mengandung cangklang diatomea lautan (alga silika
mikroskopis). Vegetasi yang ada awalnya berupa hutan rawa yang kemudian karena adanya
perubahan iklim maka berubah sifatnya menjadi hutan terbuka dimana pohon-pohon beradaptasi
dengan musim kemarau yang keras (A.M. Semah, 1984). Binatang reptil seperti buaya dan kura-
kura banyak juga yang muncul pada kala ini dan juga babi (Suidae) dan monyet serta pertama
kali ditemukan adanya fosil manusia Homo Erectus dan Meganthropus palaeo-javanicus pada
lapisan Pucangan bagian atas.
Masa glasial yaitu masa pembekuan es di kutub utara yang mengakibatkan terjadinya
penyusutan air laut dan daratan pun terangkat ke atas dan berubah menjadi laut dangkal. Pada
kala itu juga, aktivitas gunung berapi pun terjadi sehingga laharnya terendapkan di wilayah
Sangiran dan lingkungan laut dangkal berubah menjadi lingkungan air payau. Menurut A.M.
Semah, hal ini terjadi kira-kira 1,5 juta tahun yang lalu sehingga diendapkan lapisan lempung
hitam Pucangan dan terbentuklah hutan payau dan hutan-hutan bakau (Semah, A.M., 1984).
Pada masa berikutnya terjadi erosi di daerah Pegunungan Kendeng dari arah utara dan
pegunungan selatan dari arah selatan yang membawa material gravel dan pasir, endapan ini
bersifat klastik sehingga terbentuklah konkresi konglomeratan yang terdiri dari konglomeratan
gamping dan pasir yang kemudian dikenal dengan sebutan grenzbank. Ini terjadi kurang lebih
900 ribu tahun yang lalu, erosi tersebut terjadi dari arah selatan ke utara dan menutupi perairan
payau dan membentuk suatu daratan. Pada masa ini perairan sama sekali hilang dari wilayah
Sangiran.
Pada lapisan ini ditemukan Meganthropus palaeojavanicus dan Crocodilus sp.
Grenzbank yang berasal dari periode 900.000-800.000 tahun yang lalu, karena adanya proses
pelipatan pada Pegunungan Kendeng maka relief yang sudah etrbentuk mengalami erosi
sehingga banyak meterial yang terangkut oleh sungai dan diendapkan membentuk suatu
konglomerat yang kasar. Endapan tersebut berupa endapan batu gamping calcareous dan batu
pasir konglomerat. Lapisan ini yang menandakan bahwa perairan sudah benar-benar lenyap dari
wilayah Sangiran.
Lapisan ini banyak kita jumpai singkapannya di Brangkal, Ngebung, Dayu, Tanjung,
Wonolelo, Bubak, glagahombo, dan Blimbingkulon. Penelitian yang dilakukan oleh Missi
Gabungan antara Pusat Penelitian Arkeologi Jakarta dan Museum national d'Histoire Naturelle
Perancis pada lapisan ini berhasil menemukan fosil sisa manusia purba berupa fragmen tulang
paha (femur) yang diberi kode Kresna 11 dan fragmen rahang bawah (mandibula) dengan kode
Ardjuna 9. Pada formasi ini banyak juga ditemukan fosil-fosil mamalia dan tidak jarang temuan
sisa-sisa koral.
II.3 Stratigrafi
Stratigrafi daerah Sangiran menurut GHR Von Koenigswald terbagi atas
Formasi Kalibeng, Formasi Pucangan, Formasi Kabuh, dan Formasi
Notopuro. Umur formasi - formasi tersebut dari tua ke muda adalah : Kala
Pliosen untuk Formasi Kalibeng, Kala Plestosen Bawah untuk Formasi
Pucangan, Kala Plestosen Tengah untuk Formasi Kabuh sampai Notopuro.
Berdasarkan data penelitian yang paling akhir stratigrafi daerah Sangiran
diketahui berumur Miosen Atas sampai Holosen.
Formasi Kalibeng :
Formasi Kalibeng merupakan lapisan stratigrafi di Situs sangiran
yang paling tua, lapisan tanah ini merupakan endapan dari lautan yang
hadir pada Akhir Kala Pliosen (kurang lebih 2 juta tahun yang lalu).
Lapisan ini di dominasi oleh lempung abu-abu kebiruan (napal) dan
lempung lanau, serta satuan pasir lanau dan gamping balanus. Satuan
lempung abu-abu kebiruan itulah yang merupakan ciri khas endapan laut
(marine) dan banyak terdapat fosil foraminifera (jenis Operculina) dan
moluska laut (Turritela, Nassarius, Arca, Choine, Anomia, Turricula,
Ostrea, Pleurotama, Murex dan Natica).
Formasi Pucangan :
Formasi Pucangan terdiri dari dua satuan litologi yaitu satuan
breksi laharik dan satuan napal bercampur balu lempung. Umur formasi
ini adalah Plestosen bawah. Kandungan fosil pada lapisan ini sangat
jarang diantaranya ditemukan fosil moluska laut jenis andara, korbicula,
dan murex. Pada lapisan ini ditemukan Meganthropus palaeojavanicus
dan Crocodilus sp.Satuan napal dan batuan lempung termasuk formasi
Pucangan atas yang berumur Plestosen bawah. Satuan ini berwarna abu -
abu muda sampai tua yang bila lapuk berwarna hitam. (Ibid hal : 10)
Formasi Kabuh
Lapisan ini mempunyai ketebalan 5,8 – 58,6 m. Lapisan ini
mempunyai kandungan litologi berupa lempung lanau, pasir, besi dan
kerikil. Satuan litologi tersebut ditemukan berselang-seling dengan
lapisan konglomerat dan batu lempung vulkanik. Di bawah lapisan ini
ditemukan lapisan batu pasir konglomerat “calcareous” dengan ketebalan
lebih dari 2m yang merupakan cirri lingkungan transisi antara lautan dan
daratan. (M. Itihara. op.cit. hal: 20-22)
Kandungan fosil formasi meliputi hewan vertebrata seperti
bovidae, babi, buaya bulus, banteng, gajah, dan rusa. Sedang fosil
moluska air payau seperti astartea, melania, dan korbikula. (Mulyadi dan
Widiasmoro. Op.cit. hal:12)
Formasi Notopuro
Formasi Notopuro terletak secara tidak selaras di atas formasi
Kabuh dengan ketebalan sekitar 47 m. Satuan litologinya berupa kerikil,
pasir, lanau, lempung air tawar, lahar pumisan, tuf dan bola-bola
pumisan. Lapisan lahar yang terkandung dalam lapisan ini adalah
berdasarkan letaknya dibagi tiga yaitu ; Lapisan lahar atas, lapisan lahar
teratas, dan lapisan pumice atas. Berdasarkan adanya lapisan lahar
tersebut, Formasi Notopuro debedakan menjadi tiga yaitu : Formasi
Notopuro Bawah, Formasi Notopuro Tengah, dan Formasi Notopuro
Atas.
BAB III. DATA DESKRIPSI LAPANGAN
III.1 LP 1
III.2 LP 2
III.3 LP 3
III.4 LP 4
BAB IV. DESKRIPSI FOSIL
BAB V. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA