laporan studi tolak pembatasan bbm berbsubidi - final

55
Laporan Hasil Studi “Pembatasan BBM Bersubsidi Harus Ditolak” BALITBANG Partai Demokrasi Indonesia - Perjuangan Februari 2011

Upload: rachmat-basuki

Post on 30-Jun-2015

1.872 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

Laporan Hasil Studi

“Pembatasan BBM Bersubsidi Harus Ditolak”

BALITBANG

Partai Demokrasi Indonesia - Perjuangan Februari 2011

Page 2: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

Daftar Isi I. Pendahuluan...........................................................................................................1

II. Laporan Hasil Studi...............................................................................................4 2.1. Pembatasan BBM Bersubsidi Melawan Konstitusi UUD 1945 dan

Mengabaikan Kepentingan Nasional ...................................................................4 2.1.1. Pembatasan BBM Bersubsidi Akan Mendukung Peraturan

Menteri Yang Bertentangan Dengan Konstitusi UUD 1945 .......................4 2.1.2. Pembatasan BBM Subsidi Mengabaikan Kepentingan Nasional dan

Lebih Tunduk pada Kepentingan Asing ......................................................8 2.1.3. Pembatasan BBM Lebih Menguntungkan Bisnis Asing

dan Berpotensi Mematikan SPBU Nasional Berskala Kecil .....................14

2.2. Pembatasan BBM Bersubsidi akan Memberikan Dampak Negatif Terhadap Ekonomi ..............................................................................................20 2.2.1. Sebagian Besar Subsidi BBM Dinikmati Kelompok

Masyarakat Bawah.....................................................................................21 2.2.2. Menekan Daya Beli Masyarakat................................................................22

2.2.2.1. Daya Beli BBM Masyarakat Relatif Rendah................................22 2.2.2.2. Tabungan Rumah Tangga Tidak Mampu Menutupi

Tambahan Biaya Hidup................................................................29 2.2.3. Meningkatkan Biaya Produksi dan Memicu Inflasi...................................33 2.2.4. Berpotensi Menyebabkan Kelangkaan BBM.............................................41

2.3. Banyak Alternatif Kebijakan Yang Lebih Adil Yang Belum Dilakukan.......42 2.3.1. Perbaikan Formula Pembebanan Subsidi BBM dan

Bagi Hasil Minyak .....................................................................................42 2.3.2. Reformasi Tata Niaga Minyak dan Gas.....................................................45 2.3.3. Model gross PSC Untuk Meningkatkan Bagian Minyak

Untuk Pemerintah ......................................................................................46 2.3.4. Menaikkan Pajak Kendaraan Bermotor .....................................................47

III. Kesimpulan...........................................................................................................49

Page 3: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

Daftar Tabel dan Gambar

Tabel 1. Kapasitas Tangki Timbun Pertamina.........................................................16 Tabel 2. Lima Tipe SPBU........................................................................................17 Tabel 3. Jumlah Kendaraan di Indonesia per November 2010 ................................22 Tabel 4. Penjualan Mobil Didominasi oleh Mobil < 1500 cc..................................22 Tabel 5. Merek Mobil Penumpang Terlaris 2010 ....................................................23 Tabel 6. Penjualan Mobil Mewah, Sangat Kecil Dibanding Mobil < 1500 cc ........23 Tabel 7. Perbandingan Daya beli Premium per Kapita di Beberapa Negara...........28 Tabel 8. Persentase Kendaraan di DKI berdasarkan Kepemilikan ..........................34 Tabel 9. Pembagian Hasil Pajak Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota...........48 Gambar 1. Skema Hasil Kajian Tentang Alasan Penolakan Pembatasan

BBM Bersubsidi...........................................................................................3 Gambar 2. Konsumsi Bensin Berdasarkan Tingkat Pengeluaran Rumah Tangga ......24 Gambar 3. Porsi Konsumsi BBM Premium Menurut Tingkat Pendapatan

Rumah Tangga Responden ........................................................................25 Gambar 4. Pola Kepemilikan/Pembelian Kendaraan di Jabotabek .............................27 Gambar 5. Tingkat Tabungan Responden ...................................................................29 Gambar 6. Persentase Tabungan Responden Dibanding Penambahan

Pengeluaran Akibat Pembatasan BBM Bersubsidi....................................30 Gambar 7. Selisih Tabungan dan Kenaikan Biaya Jika Beralih dari

Premium ke Pertamax ................................................................................31 Gambar 8. Frekwensi Penggunaan Mobil untuk Transportasi Kerja...........................32 Gambar 9. Alasan Responden Tidak Menggunakan Transportasi Publik ...................33 Gambar 10. Porsi UKM yang Akan Menaikkan Harga pada Tingkat

Harga Pertamax..........................................................................................35 Gambar 11. Alasan Menggunakan Plat Hitam Untuk Usaha ........................................37 Gambar 12. Kesediaan Migrasi dari Plat Hitam ke Plat Kuning Bila Ada

Pembatasan BBM Bersubsidi ....................................................................38 Gambar 13. Keengganan Melakukan Migrasi Menurut Sektor Usaha..........................39 Gambar 14. Harga Minyak Mentah dan Harga Pertamax .............................................40 

 

Page 4: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

Laporan Hasil Studi

“Pembatasan BBM Bersubsidi Harus Ditolak”

I. Pendahuluan

Mengawali tahun 2011, pemerintahan SBY-Boediono berencana untuk memberlakukan

pembatasan BBM bersubsidi per 1 Januari 2011. Namun, rencana tersebut terpaksa tertunda

karena Fraksi PDI-P menolak kebijakan ini. Pada saat semua Fraksi mendukung rencana

pemerintah, PDIP-P merupakan satu-satunya Fraksi yang tetap konsisten untuk menolak rencana

pembatasan BBM bersubsidi. Alasannya sangat jelas yakni kebijakan tersebut akan

memberatkan masyarakat dan mengganggu pemulihan ekonomi.

Penolakan yang dilakukan saat itu semakin beralasan karena pemerintah belum memiliki kajian

atas rencana kebijakan ini untuk membuktikan bahwa rencana ini lebih adil dan tidak

mengganggu ekonomi. Padahal sesuai Undang-undang Tentang Migas No. 25 Tahun 2001,

kenaikan harga BBM mensyaratkan pemerintah untuk menyiapkan kajian akademik yang

mendukung rencana kebijakan tersebut.

Dengan kuatnya alasan penolakan yang diajukan PDI-P, maka pemerintah wajib menyerahkan

hasil kajian sebelum mengimplementasikan pembatasan BBM bersubsidi. Oleh karenanya untuk

sementara kebijakan pembatasan BBM bersubsidi harus ditunda pelaksanaannya sampai dengan

pemerintah menyelesaikan hasil kajian dan kajian tersebut dapat diterima oleh DPR.

Menurut rencana pemerintah, pembatasan BBM bersubsidi akan diawali dengan melakukan

pembatasan atas pasok premium bersubsidi di wilayah Jabodetabek. Pembatasan selanjutnya

akan dilakukan untuk solar bersubsidi dan daerah implementasinya diperluas ke seluruh wilayah

Jawa dan Bali hingga akhir 2011. Kemudian pada tahun-tahun berikutnya akan diikuti oleh

wilayah-wilayah lainnya di Indonesia (lihat lampiran 1. Rencana Pembatasan BBM bersubsidi di

Indonesia).

Litbang PDI-P/Pembatasan BBM  

1

Page 5: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

Litbang PDI-P/Pembatasan BBM  

2

Dalam kesepakatan DPR dengan pemerintah, pembatasan BBM bersubsidi akan dimulai dengan

membatasi pasok premium bersubsidi pada 1 April 2011. Dengan syarat seluruh Fraksi di DPR

telah menyetujui. Oleh karenanya, dalam studi ini kajian hanya dilakukan terhadap rencana

pembatasan premium bersubsidi bukan pada jenis BBM bersubsidi lainnya. Selanjutnya yang

dimaksud dengan pembatasan BBM bersubsidi dalam kajian ini adalah pembatasan premium

bersubsidi.

Sejalan dengan sikapnya untuk menolak rencana pemerintah untuk melakukan pembatasan BBM

bersubsidi meskipun tanpa persiapan yang matang, maka PDI-P melakukan studi untuk

mendukung argumen Fraksi PDI-P di DPR. Kajian ini dilakukan oleh Departemen Penelitian dan

Pengembangan (Litbang) PDI-P selama bulan Januari 2011.

Secara ringkas hasil studi yang dilakukan oleh Litbang PDI-P berkesimpulan bahwa rencana

pembatasan BBM bersubsidi yang akan diimplentasikan pada bulan April 2011 harus

ditolak karena:

Pertama, kebijakan pembatasan BBM bersubsidi melawan amanah konstitusi UUD 1945

dan mengabaikan kepentingan nasional

a) pembatasan BBM bersubsidi akan mendukung Peraturan Presiden yang bertentangan

dengan konstitusi UUD 1945;

b) pembatasan BBM bersubsidi mengabaikan kepentingan nasional dan lebih

memprioritaskan kepentingan asing dan internasional;

c) pembatasan BBM bersubsidi akan lebih menguntungkan bisnis asing dan berpotensi

mematikan SPBU nasional berskala kecil.

Kedua, kebijakan pembatasan BBM bersubsidi yang akan dipaksakan untuk segera

diimplementasikan akan memberikan dampak negatif bagi ekonomi Indonesia.

Ketiga, masih banyak pilihan kebijakan lainnya yang lebih adil dan tidak kontra produktif

terhadap ekonomi nasional sebelum melakukan pembatasan BBM bersubsidi.

Page 6: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

Litbang PDI-P/Pembatasan BBM  

3

Gambar 1. Bagan Alasan Penolakan Pembatasan BBM Bersubsidi

 

Alasan Penolakan Pembatasan BBM Bersubsidi

Melawan amanah konstitusi UUD 1945 dan mengabaikan kepentingan nasional

Memberikan dampak negatif bagi ekonomi Indonesia

Masih banyak alternatif kebijakan yang lebih fundamental yang dapat ditempuh

Pembatasan BBM bersubsidi akan mendukung Peraturan Presiden yang bertentangan dengan konstitusi UUD 1945 

Pembatasan BBM bersubsidi mengabaikan kepentingan nasional dan lebih memprioritaskan kepentingan asing dan internasional

Subsidi BBM selama ini tepat sasaran karena sebagian besar dinikmati kelompok masyarakat bawah

Pembatasan BBM bersubsidi tidak layak dilakukan karena daya beli masyarakat masih rendah

Perbaikan formula pembebanan subsidi BBM dan bagi hasil minyak

Reformasi tata niaga minyak dan gas

Pembatasan BBM bersubsidi akan lebih menguntungkan bisnis asing dan berpotensi mematikan SPBU nasional berskala kecil 

Pembatasan BBM Bersubsidi akan meningkatkan biaya produksi, memicu infl asi serta menyulitkan usaha UKM

Pembatasan BBM bersubsidi berpotensi menyebabkan kelangkaan BBM

Model gross PSC untuk meningkatkan bagian minyak pemerintah

Menaikkan Pajak Kendaraan Bermotor

Page 7: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

Litbang PDI-P/Pembatasan BBM  

4

II. Laporan Hasil Studi

Laporan hasil studi yang menyimpulkan bahwa “Pembatasan BBM Bersubsidi Harus Ditolak”

akan disajikan dalam tiga bagian. Pertama, laporan yang dibangun untuk mendukung argumen

bahwa pembatasan BBM bersubsidi melawan konstitusi UUD 1945 dan mengabaikan

kepentingan nasional. Kedua, laporan yang disusun untuk membuktikan bahwa kebijakan

pembatasan BBM bersubsidi yang masih sangat premature akan memberikan dampak negatif

bagi ekonomi Indonesia. Ketiga, laporan yang berisi pilihan-pilihan kebijakan lain, yang lebih

adil dan tidak kontra produktif terhadap ekonomi nasional, yang seharusnya dilakukan sebelum

melakukan pembatasan BBM bersubsidi.

2.1 Pembatasan BBM Bersubsidi Melawan Konstitusi UUD 1945 dan Mengabaikan

Kepentingan Nasional

2.1.1 Pembatasan BBM Bersubsidi Akan Mendukung Peraturan Menteri Yang Bertentangan Dengan Konstitusi UUD 1945

Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 21 Desember 2004 pada perkara Nomor

002/PUU-I/2003, tentang pengajuan uji formil atas Undang-undang No.22 Tahun 2001 Tentang

Migas, MK memutuskan menolak. 1 Dengan demikian UU No.22/2001 tetap diberlakukan. MK

hanya mengabulkan uji materil dan mengamandemen tiga pasal dari UU 22/2001. Pasal yang

dinyatakan diamandemen adalah Pasal 12 Ayat (3), Pasal 22 Ayat (1), dan Pasal 28 Ayat (2).

Mahkamah Konstitusi berpendapat, ketiga pasal tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang

mengikat karena bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.

                                                            1 Hasil keputusan MK. Pasal 12 Ayat (3) menyebutkan, Menteri menetapkan badan usaha atau bentuk usaha tetap yang diberi

wewenang melakukan kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi pada wilayah kerja sebagaimana yang dimaksud Ayat (2). Mahkamah Konstitusi (MK) menilai, adanya kata "diberi wewenang" telah menyebabkan Pasal 12 Ayat (3) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Hal ini karena pasal tersebut memberikan penafsiran bahwa kewenangan yang dimiliki pemerintah telah diserahkan sepenuhnya kepada badan usaha atau bentuk usaha tetap. Kemudian Pasal 22 Ayat (1) menjelaskan, Badan usaha atau bentuk usaha tetap wajib menyerahkan paling banyak 25 persen bagiannya dari hasil produksi minyak bumi dan/atau gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. MK berpendapat, adanya kata "paling banyak" menyebabkan Pasal 22 Ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini karena kata "paling banyak" bisa disepadankan dengan kata "minimal". Sementara Pasal 28 Ayat (2) menyebutkan, harga bahan bakar minyak dan harga gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. Pada Ayat (3)-nya dijelaskan, pelaksanaan kebijaksanaan harga sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) tidak mengurangi tanggung jawab sosial pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu. MK menilai, pasal ini bertentangan dengan UUD 1945 karena dalam penetapan harga bahan bakar minyak dan gas tidak diserahkan mekanisme pasar, tetapi melalui kewenangan pemerintah.

Page 8: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

Setelah MK menyimpulkan bahwa pasal 28 ayat (2) melanggar konstitusi, pemerintah tidak

dibenarkan untuk melepas harga BBM para harga pasar. Namun ternyata pemerintah tetap

mencari cara agar agenda liberalisasi migas dapat terus berjalan. Salah satunya adalah

mendorong kebijakan harga BBM bisa segera dibawa kepada harga pasar.

Untuk melaksanakannya pemerintah pada bulan September 2005 mengeluarkan Peraturan

Presiden (Perpres) No. 55 Tahun 2005 Tentang Harga Jual Eceran BBM Dalam Negeri. Dalam

Perpres tersebut, pada pasal 2, menetapkan harga eceran BBM yang baru baik untuk premium,

solar maupun minyak tanah. Namun, pada pasal 9 disebutkan bahwa untuk selanjutnya harga

bahan bakar minyak sesuai harga pasar seperti kutipan pasal berikut ini:

Pasal 9 Perpres No. 55 Tahun 2005

(1) Harga jual eceran Bahan Bakar Minyak sebagaimana dimaksud dalam Pasal

2,selanjutnya disesuaikan dengan harga keekonomian yang dapat berupa kenaikan atau

penurunan harga.

(2) Penyesuaian harga jual eceran Bahan Bakar Minyak sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) ditetapkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral berdasarkan hasil

kesepakatan instansi terkait yang dikoordinasikan oleh Menteri Koordinator Bidang

Sebelumnya, pada bulan November 2004, segera setelah MK membatalkan pasal 28 UU

22/2001, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun

2004 Tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak Dan Gas Bumi pemerintah telah membuka

penetapan harga BBM berdasarkan mekanisme pasar. BAB XII yang mengatur tentang Harga

Bahan Bakar Minyak dan Harga Gas Bumi, semangat menyerahkan harga BBM pada

mekanisme pasar dinyatakan pada Pasal 72 ayat 3, 4 dan 5:

1) Harga Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi, kecuali Gas Bumi untuk rumah

tangga dan pelanggan kecil, diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang

wajar, sehat dan transparan.

Litbang PDI-P/Pembatasan BBM  

5

Page 9: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

2) Harga Gas Bumi untuk rumah tangga dan pelanggan kecil sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) diatur dan ditetapkan oleh Badan Pengatur dengan

mempertimbangkan aspek teknis dan ekonomis atas penyediaan Gas Bumi serta

sesuai dengan kebijakan harga yang ditetapkan Pemerintah.

3) Badan Pengatur melaksanakan pengawasan atas harga Bahan Bakar Minyak dan

Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat(2).

Langkah pemerintah menerbitkan Perpres No. 55 Tahun 2005 Tentang Harga Jual Eceran

BBM Dalam Negeri, adalah sebuah langkah melawan konstitusi UUD 1945. Alasannya,

Presiden SBY menerbitkan Peraturan Presiden yang substansinya telah ditetapkan oleh

Mahkamah Konstitusi sebagai “bertentangan dengan konstitusi” yakni bagian yang

memuat harga bahan bakar minyak dan harga gas bumi diserahkan pada mekanisme

persaingan usaha yang sehat dan wajar. Mahkamah Konstitusi telah membatalkan pasal

28 ayat 2 dan 3 UU 22/2001 tentang Migas. Artinya, Prespres No. 55 Tahun 2005 dan

kenaikan harga BBM yang ditetapkan berdasarkan Perpres tersebut semestinya juga batal

demi hukum dan harus digugat karena bertentangan dengan konstitusi.

Apabila saat ini pemerintah akan membuat kebijakan pembatasan BBM bersubsidi

dengan mendasarkan pada Perpres No. 55 Tahun 2005 dengan alasan harga BBM dapat

disesuaikan pada harga keekonomian, maka berarti pemerintah SBY kembali lagi akan

membuat kebijakan yang bertentangan dengan konstitusi. Dengan kebijakan ini

pemerintah akan memaksa “sekelompok masyarakat” (baik dia mampu atau tidak) untuk

mengkonsumsi BBM yang harganya disesuaikan dengan harga keekonomian.

Sikap menentang putusan MK atau melawan konstitusi terlihat dari keputusan untuk menaikkan

harga BBM dengan rata-rata kenaikan yang sangat tinggi yakni sebesar 126 persen. Penentangan

tersebut dilanjutkan lagi dengan kenaikan harga BBM kembali pada tahun 2005. Langkah

pemerintah untuk tetap menabrak keputusan MK sangat jelas pada pernyataan:

Menko Perekonomian Boediono yang mengatakan bahwa “Pemerintah tidak ragu

memberlakukan harga pasar dunia di dalam negeri karena langkah ini sudah dilakukan

di banyak negara dan berhasil menekan subsidi bahan bakar minyak”. Sedangkan

Litbang PDI-P/Pembatasan BBM  

6

Page 10: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

Litbang PDI-P/Pembatasan BBM  

7

Menteri ESDM menegaskan bahwa “dengan tingkat harga baru itu, pemerintah masih

mensubsidi harga premium sebesar Rp. 3.000 per liter karena ada perbedaan harga

antara harga baru Rp. 6.000 per liter dan harga di pasar dunia sebesar Rp. 9.000 per

liter” (Kompas tanggal 24 Mei 2008).

Pernyataaan tersebut sebenarnya menegaskan bahwa kebijakan untuk menaikkan harga BBM

akan terus berlanjut sampai pada tingkat harga BBM yang sepenuhnya mengikuti mekanisme

pasar dengan mengacu pada harga Mean of Plats Singapore Singapore (MOPS) yang juga

dibentuk oleh spekulasi harga yang berlangsung di New York Merchantile Exchange (NYMEX).

Padahal dari segi volume, minyak yang diperdagangkan di NYMEX hanya 30 persen dari total

volume minyak yang diperdagangkan di seluruh dunia.2 Perdagangan minyak dikuasai oleh

kartel yang sangat mungkin mempermainkan harga yang terbentuk melalui transaksi di NYMEX.

Permainan harga tersebut melahirkan spekulasi yang berlangsung di NYMEX. Semestinya,

pembentukan harga atas dasar spekulasi tidak bisa dikatakan sebagai mekanisme yang sehat dan

wajar.

Selain itu, harga yang terbentuk di NYMEX juga sangat dipengaruhi oleh perdagangan derivatif

dan perdagangan oil future trading yang juga berlangsung di NYMEX. Permintaan minyak yang

melonjak demikian drastis dan terus menerus adalah hasil spekulasi oleh hedge funds melalui

future trading yang menyebabkan harga jadi melambung.

Sangat disayangkan pemerintah akan tetap menjadikan harga minyak dunia yang dibentuk oleh

transaksi spekulatif di NYMEX sebagai landasan mutlak untuk menentukan harga minyak

mentah yang akan dipergunakan untuk menghitung subsidi dan harga BBM di Indonesia.

Tindakan ini bukan saja bertentangan dengan konstitusi tetapi juga bertentangan dengan

peraturan turunan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Peraturan Pemerintah No. 36/2004

menyatakan bahwa penentuan harga BBM diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang

                                                            

2 Kwik Kian Gie, Pemerintah Melanggar Konstitusi Dalam Kebijakannya Menaikkan Harga BBM, Koran Internet 8 Juli 2008.

Page 11: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

wajar, sehat dan transparan, sementara harga yang dibentuk di NYMEX bukanlah harga yang

dibentuk dalam mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat dan transparan.

2.1.2 Pembatasan BBM Subsidi Mengabaikan Kepentingan Nasional dan Lebih Tunduk pada Kepentingan Asing

Rencana pemerintah untuk segera melakukan pembatasan BBM bersubsidi atau mengurangi

alokasi anggaran untuk subsidi BBM, didasarkan pada dua agenda.

Pertama, pelaksanaan agenda neoliberalisme yang berpandangan bahwa subsidi BBM

harus segera dihapuskan karena menurut paham ekonomi neoliberal akan menjadi beban

bagi keuangan negara. Untuk melaksanakan agenda ini maka berbagai langkah, antara lain

menyiapkan undang-undang dan aturan perundangan untuk membuka jalan, seperti Undang-

undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Migas, Undang-undang No. 25 Tahun 2007 Tentang

Penanaman Modal, dll. Juga peraturan-peraturan lain di bawah undang-undang seperti Peraturan

Presiden No. 55 Tentang Harga Jual BBM Dalam Negeri.

Selain itu juga disusun berbagai argumen mulai dari fakta bahwa produksi minyak mentah

Indonesia sejak tahun 2004 terus menurun sehingga pemerintah harus terus meningkatkan impor

minyak mentah maupaun BBM secara terus menerus. Juga pemikiran bahwa Indonesia juga

harus segera mengganti subsidi barang menjadi subsidi orang. Dalam kata lain meliberalisasi

berbagai komoditas baik yang disubsidi maupun tidak. Juga klaim bahwa subsidi BBM saat ini

sudah tidak tepat sasaran. Masih banyak justifikasi lain yang akan terus diajukan oleh pemerintah

untuk melancarkan agenda ekonomi neloliberal di Indonesia.

Pada dasarnya pelaksanaan agenda neoliberal dalam pengelolaan SDA tambang migas dan non-

migas sudah dilakukan Indonesia sejak puluhan tahun lalu. Pada tahun 1967 saat pemerintah

menyerahkan pengelolaan Freeport kepada asing dan dilanjutkan tahun 1992, saat dilakukan

percepatan perpanjangan kontrak karya dan pemberian wilayah konsesi yang lebih luas kepada

Freeport tapi tanpa koreksi agar lebih berpihak kepada kepentingan nasional.

Litbang PDI-P/Pembatasan BBM  

8

Page 12: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

Litbang PDI-P/Pembatasan BBM  

9

Agenda neoliberalisme mengalami percepatan saat krisis tahun 1998 dengan penandatanganan

Letter of Intent (LoI). Saat itu pemerintah harus tunduk pada konsep IMF karena terkait dengan

paket utang pemulihan ekonomi. Salah satu yang termasuk dalam paket IMF adalah mematuhi

agar segera meliberalisasi sector migas yang pada sector hilir diimplementasikan dengan

melepas harga BBM ke harga internasional.

Sejak tahun 1998, pengurangan subsidi BBM bukan lagi semata soal menaikkan harga, tapi

sudah menjadi tahapan dalam proses liberalisasi dengan melepas harga BBM sesuai harga pasar

sesuai agenda neoliberal IMF. Sejak LoI tahun 1998, semua aspek perumusan kebijakan

pemerintah dalam melakukan agenda liberalisasi industri migas dan menaikkan harga BBM,

sarat dengan campur tangan asing, khususnya Amerika.

Pada tahun 2000, misalnya, Amerika masuk lewat USAID menyediakan utang untuk memulai

proses liberalisasi sektor migas itu. Salah satu yang dikerjakan USAID dalam rangka liberalisasi

itu adalah menyiapkan draft UU yang bekerjasama dengan IDB dan World Bank untuk

menyiapkan reformasi sektor energi secara keseluruhan. Keterlibatan asing ditegaskan oleh

pernyataan USAID (United States Agency for International Development), mengenai

kegiatannya dalam reformasi sektor energi di Indonesia melalui situs resminya

(http://www.usaid.gov/pubs/cbj2002/ane/id/497-013.html). Dalam dokumen tersebut dinyatakan

bahwa “USAID has been the primary bilateral donor working on energy sector reform.…”.

Bahkan khusus mengenai penyusunan UU Migas, USAID secara terbuka menyatakan, “The

ADB and USAID worked together on drafting a new oil and gas law in 2000”.

Pada Desember 2001, Departemen ESDM melakukan kajian yang dibiayai oleh AUSAID

(Australia Agency for International Development), melalui International Trade Strategies (ITS)

Pte. Ltd. Australia, dalam laporan yang berjudul “Kajian Dampak Ekonomi Kenaikan Harga

BBM,” yang diterbitkan oleh Pusat Studi Energi, Departemen ESDM menyebutkan bahwa

pemerintah telah mengembangkan tiga skenario mengenai pelepasan harga BBM ke pasar.3

                                                            3 Ada tiga skenario dalam kajian AUSAID dan Departemen ESDM untuk membawa harga BBM pada harga pasar. Skenario

pertama, semua harga BBM dilepaskan ke pasar pada 2004. Skenario kedua, harga diesel dan minyak bakar dilepas ke pasar pada 2004, sedangkan harga minyak tanah dan solar pada 2007. Skenario ketiga, harga diesel dan minyak bakar dilepaskan ke pasar pada 2004, solar pada 2007, dan minyak tanah pada 2010.

Page 13: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

Litbang PDI-P/Pembatasan BBM  

10

Tahun 2004, setelah terbit Peraturan Pemerintah No. 36/2004, sebanyak 105 perusahaan sudah

mendapat izin untuk masuk di sektor hilir migas, termasuk membuka stasiun pengisian BBM

untuk umum (SPBU)4. Artinya, skenario untuk segera membawa harga BBM pada harga pasar

sangat terkait dengan kepentingan beberapa perusahaan migas asing, termasuk dari Amerika.

Perusahaan tersebut antara lain adalah perusahaan migas raksasa seperti British Petrolium

(Amerika-Inggris), Shell (Belanda), Petro China (RRC), Petronas (Malaysia), dan Chevron-

Texaco (Amerika).

Meskipun telah diterbitkan PP No.36/2004 dan telah banyak izin SPBU yang diberikan kepada

asing, pemerintah belum pernah menaikkan harga BBM hingga akhir pemerintahan Megawati.

Kondisi ini tentu sangat tidak menguntungkan bagi SPBU asing sehingga pembangunan belum

dilakukan meskipun izin telah diperoleh.

Pada tahun 2005, pemerintah baru di bawah pimpinan SBY mempercepat laju liberalisasi migas.

Kenaikan harga BBM dalam rangka pelaksanaan agenda neoliberal dilakukan. Untuk menyiasati

keputusan MK tahun 2004 yang membatalkan pasal 28 ayat 2 UU 22/2001, pemerintah SBY

mengenalkan istilah baru dalam perhitungan harga BBM, yakni dengan mengganti istilah “harga

pasar” menjadi “harga keekonomian”. Tujuannya tentu saja agar kebijakan untuk menaikkan

harga BBM tidak dianggap melawan keputusan MK.

Istilah harga keekonomian ini dimunculkan pertama kali dalam Perpres No. 55 Tahun 2005.

Setelah muncul istilah harga keekonomian, maka pemerintah secara bertahap akan menaikkan

harga BBM sehingga harga BBM akan menyesuaikan harga pasar minyak dunia.5

Kenaikan harga BBM lewat pengurangan subsidi BBM pada prinsipnya menggambarkan bahwa

pendekatan dan orientasi pengelolaan ekonomi Indonesia yang mengikuti pakem neoliberalisme.

                                                            4 Sebagaimana dikemukakan oleh pejabat Direktur Jenderal Migas Departemen ESDM (yang saat itu dijabat oleh Iin Arifin

Takhyan) di majalah Trust, edisi 11 Tahun 2004. 

5 Harga pasar yang dimaksud adalah harga minyak mentah yang terbentuk melalui transaksi spekulatif yang berlangsung di NYMEX dan MOPS.

Page 14: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

Didalam proses tersebut ditonjolkan besarnya alokasi anggaran untuk subsidi BBM sehingga

sangat memberatkan APBN. Namun, penghitungan subsidi BBM didasarkan atas selisih harga

jual BBM di Singapura dengan harga jual BBM di dalam negeri dikalikan dengan tingkat

konsumsi atau besarnya volume BBM yang akan disubsidi.

Dengan penjelasan di atas, ada perbedaan latar belakang dari kenaikan harga BBM sebelum dan

sesudah diundangkannya UU Migas No. 22/2001. Kenaikan harga BBM setelah pemberlakuan

UU Migas No. 22/2001 secara tegas digerakkan oleh motif untuk menghapuskan subsidi BBM

dan melepaskan harga BBM sesuai dengan harga pasar internasional. Sebagaimana dikemukakan

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sewaktu dijabat Purnomo Yusgiantoro,

tujuan menaikkan harga BBM tersebut antara lain adalah untuk merangsang masuknya investasi

asing ke sektor hilir industri migas di sini. Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral

(ESDM) Purnomo Yusgiantoro,

“Liberalisasi sektor hilir migas membuka kesempatan bagi pemain asing untuk

berpartisipasi dalam bisnis eceran migas..... Namun, liberalisasi ini berdampak

mendongkrak harga BBM yang disubsidi pemerintah. Sebab kalau harga BBM masih

rendah karena disubsidi, pemain asing enggan masuk,” (Kompas, 14 Mei 2003).

Kedua, percepatan agenda neoliberal semakin diperparah dengan kepatuhan pemerintah

Indonesia pada kesepakatan-kesepakatan internasonal dan mengabaikan kepentingan

nasional. Berikut beberapa kliping berita tentang kepatuhan pemerintah Indonesia atas

kesepakatan internasional yang berkaitan dengan percepatan penghapusan subsidi bagi energi

fosil. Dalam kesepakatan G-20 disebutkan bahwa penghapusan subsidi energi diperlukan karena

subsidi energi terutama energi tak terbarukan, akan mengganggu pemulihan ekonomi dunia

akibat krisis keuangan global 2008:

Komunike pertemuan G20 di Gyeongju, Korea Selatan, menyatakan mencatat kemajuan

yang dibuat dalam rasionalisasi dan pembatasan subsidi yang tidak efisien untuk bahan

bakar fosil. Termasuk kemajuan dalam mendorong transparansi dan stabilitas pasar

energi. Untuk itu, negara-negara G20 akan terus mendorong negara-negara anggotanya

Litbang PDI-P/Pembatasan BBM  

11

Page 15: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

untuk mengurangi subsidi BBM. Pemberian subsidi terhadap BBM dinilai tidak efisien.

Serta setuju untuk memantau dan menilai kemajuan terhadap komitmen ini pada

pertemuan puncak di Seoul (www.detik.com, Senin, 25/10/2010).

Bank Dunia sebagai kreditor yang paling berpengaruh bagi Indonesia juga mendorong

agar pemerintah menerapkan kebijakan harga keekonomian BBM didalam negeri

dengan harga minyak mentah di pasar internasional. Menurut Kepala Perwakilan Bank

Dunia untuk Indonesia, Joachim von Amsberg, kebijakan tersebut akan memberikan

peluang pada pemerintah untuk mengalokasikan anggaran subsidi untuk pembangunan

infrastruktur yang dibutuhkan dalam menunjang kegiatan ekonomi secara jangka

panjang (www.okezone.com, 16 Desember 2008).

Aktifnya Indonesia dalam berbagai forum internasional memang merupakan sebuah langkah

positif yang akan bermanfaat untuk mendukung pembangunan ekonomi. Namun, kesepakatan

yang dibuat dalam berbagai kerjasama atau forum internasional tentu harus memprioritaskan

kepentingan nasional. Bukan sebaliknya memprioritaskan kesepakatan internasional untuk

diimplemantasikan pada kebijakan di dalam negeri, seperti dipaparkan di bagian selanjutnya dari

laporan ini.

Pada saat terjadi krisis, seperti krisis keuangan global 2008 semua negara pasti akan menempuh

berbagai cara agar ekonominya terselamatkan. Berbagai strategi dan kebijakan baik di dalam

negeri akan disiapkan sebagai respon kebijakan. Di era global, semakin terintegrasi ekonomi

suatu negara akan semakin besar dampak yang diakibatkan oleh gejolak faktor-faktor eksternal.

Oleh karenanya, semua negara akan mengoptimalkan perannya di berbagai forum internasional

untuk mempengaruhi kebijakan global agar mendukung upaya penyelamatan ekonomi yang

sedang dilakukan oleh negara tersebut.

Negara yang memiliki bargaining power yang besar tentu akan dapat melakukan soft sekaligus

hard lobby dengan lebih efektif bagi kepentingan nasionalnya. Sebaliknya negara yang kekuatan

tawar dan kemampuan lobynya lemah, tentu akan semakin sulit untuk menawarkan solusi yang

akan lebih menyelamatkan ekonominya. Meskipun demikian, setiap negara masih dapat

Litbang PDI-P/Pembatasan BBM  

12

Page 16: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

menyiasati kesepakatan internasional tersebut dengan berbagai strategi dan kebijakan agar dapat

menunda atau menolak kesepakatan internasional yang memberatkan kepentingan nasionalnya

dengan memasukkan berbagai pertimbangan kepentingan nasional.

Sayangnya, Indonesia teramat sering menempatkan kesepakatan internasional pada posisi yang

jauh lebih diprioritaskan dibanding kepentingan nasionalnya. Tidak hanya di sektor migas, di

berbagai sektor seperti kesepakatan internasional di bidang lingkungan hidup, pemerintah

Indonesia juga membuat kesepakatan yang justru mengalahkan kepentingan nasional. Sebagai

contoh, pada bulan September saat pertemuan G-20 di Pittsburgh, Amerika Serikat Presiden

SBY memberikan komitmen penurunan emisi sebesar 26 persen pada tahun 2020. Munculnya

angka pasti dan target yang sangat tinggi dari Indonesia ini tentu sangat mengagetkan banyak

negara karena ada konsekwensi besar dari komitmen tersebut. Pasalnya, kegiatan ekonomi pasti

akan terpangkas upaya-upaya untuk menurunkan emisi. Di sektor kehutanan misalnya dengan

target 14 persen maka berbagai program harus dilakukan untuk memenuhi target tersebut baik

melalui pencegahan deforestasi, degradasi, kegiatan penanaman kembali serta penurunan jumlah

hot spot kebakaran hutan.

Di sektor energi dan pengelolaan limbah, dengan target penurunan emisi masing-masing sebesar

6 persen harus ada kerja keras baik pada pemerintah di tingkat pusat maupun daerah serta harus

aktif melakukan kerja sama internasional. Dengan kesepakatan internasional untuk menurunkan

20 persen emisi rumah kaca misalnya dipastikan akan mengganggu ekspansi ekonomi. Itulah

sebabnya China, meskipun menjadi salah satu penyumbang utama emisi dunia, tetap menolak

untuk mempercepat penurunan emisi rumah kaca karena akan mengganggu ekonominya yang

masih mengandalkan sektor industri manufaktur untuk menyediakan lapangan kerja bagi 1,3

milyar penduduk.

Meskipun sudah mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi, China justru berlindung di balik

label “negara berkembang” untuk menolak penurunan emisi yang terlalu cepat. Sebaliknya

Indonesia meskipun tingkat pendapatan masyarakat, tingkat industrialisasi, dan tingkat

sumbangan emisi relatif rendah justru memberikan komitmen yang jauh di atas negara-negara

maju. Selain menghambat ekspansi ekonomi, komitmen yang tinggi ini juga akan berdampak

Litbang PDI-P/Pembatasan BBM  

13

Page 17: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

pada kebutuhan anggaran yang besar untuk menyiapkan infrastruktur guna mewujudkan

komitmen internasional. Hal ini menunjukkan bahwa banyak kebijakan ekonomi Indonesia yang

lebih mementingkan asing (internasional) dibanding nasional.

2.1.3 Pembatasan BBM Lebih Menguntungkan Bisnis Asing dan Berpotensi Mematikan SPBU Nasional Berskala Kecil

Rencana pembatasan BBM bersubsidi akan memberikan dampak bagi Pertamina yakni

kebutuhan investasi yang besar untuk menyiapkan SPBU dan depot agar daya saingnya

dapat dipertahankan. Sampai saat ini dari 4.667 SPBU Pertamina di Indonesia, baru 36 persen

atau sebanyak 1.686 SPBU yang telah memiliki dukungan infrastruktur yang memadai untuk

dapat menjual BBM jenis Pertamax. Sementara sisanya masih perlu modifikasi dan investasi

tambahan untuk menyediakan minimal 3 tangki penyimpanan BBM (solar, premium, dan BBM

non subsidi/Pertamax) dan siap menjualnya (memiliki minimal 3 dispenser).

Dengan kata lain dengan penerapan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi, Pertamina harus

melakukan investasi yang cukup besar agar dapat tetap dapat bersaing dengan SPBU asing yang

lebih siap baik dari sisi dana investasi. Berikut investasi yang diperlukan oleh Pertamina:

Pertama, investasi untuk menambah SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum) COCO

(Company Owned Company Operated). Di targetkan 400 SPBU COCO akan dibangun sampai

tahun 2013. SPBU COCO yang akan dibangun ini memiliki kapasitas mencapai 150 KL BBM

per tangki dengan fasilitas yang disiapkan untuk menjual BBM jenis Pertamax, Petamax Plus,

Premium, Solar, LPG dan lain-lain.

Persiapan Pertamina untuk dapat Rencana tersebut membutuhkan dana investasi yang tidak

sedikit. Pembangunan satu SPBU COCO Pertamina membutuhkan investasi kurang lebih Rp 10

miliar. Jika Pertamina menargetkan pembangunan 24 SPBU COCO pada tahun 2011, maka

investasi yang dibutuhkan berjumlah Rp 240 miliar. Kebutuhan investasi tersebut nilainya akan

terus meningkat pada tahun-tahun mendatang sampai terpenuhinya target 400 SPBU COCO dan

berpotensi menghambat pencapaian target yang sudah direncanakan. Tambahan investasi yang

Litbang PDI-P/Pembatasan BBM  

14

Page 18: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

Litbang PDI-P/Pembatasan BBM  

15

diperlukan ini tentu tidak mudah untuk dapat dipenuhi oleh Pertamina. Tahun 2010, misalnya,

meskipun Pertamina menargetkan pembangunan 80 SPBU COCO, tetapi yang bisa

direalisasikan hanya berjumlah 63 SPBU COCO.

Kedua, investasi untuk menyiapkan depot yang memiliki tangki timbun non subsidi (Pertamax)

sehingga siap untuk didistribusikan. Rencana pemerintah untuk melakukan pengaturan atau

pembatasan BBM subsidi di 2011 memerlukan biaya investasi Rp 84,5 miliar guna

pembangunan fasilitas depot BBM non subsidi untuk menyalurkan ke SPBU. Kebutuhan

investasi tersebut untuk tambahan sarana dan fasilitas di depot Pertamina yang mencakup 10

lokasi. Perkiraan kebutuhan dana investasi bertahap menurut wilayah adalah:

1) Jabodetabek (Desember 2010): Rp 1,5 miliar

2) Jawa-Bali (Januari 2011): Rp 23,5 miliar

3) Sumatera Kota Besar (Juli 2011): Rp 10 miliar

4) Seluruh Sumatera (Oktober 2011): Rp 21 miliar

5) Kalimantan Kota Besar (Januari 2012): Rp 9 miliar

6) Seluruh Kalimantan (Januari 2012): Rp 4,5 miliar

7) Sulawesi Kota Besar (Jananuari 2012): Rp 4,5 miliar

8) Seluruh Sulawesi, Maluku, dan Papua (Juli 2012): Rp 15 miliar

Meskipun pembatasan BBM bersubsidi baru akan dilakukan untuk wilayah Jabodetabek,

dimana Pertamina relatif siap di banding di wilayah lain, namun Pertamina tetap akan

menghadapi persaingan yang luar biasa. Pada tahap pertama uji coba pembatasan BBM

subsidi di wilayah Jabodetabek, Pertamina tetap membutuhkan penambahan investasi karena

tidak semua SPBU diwilayah Jabodetabek telah siap untuk menjual BBM non-subsidi jenis

Pertamax. Sampai dengan akhir November 2010, dari 720 SPBU Pertamina di Jabodetabek, baru

530 SPBU yang sudah menjual BBM non-subsidi jenis Pertamax. Kemudian dari 149 SPBU

yang akan segera melakukan konversi tangki untuk Pertamax, hanya 21 SPBU yang siap

melakukan investasi tangki timbun dan dispenser untuk menjual pertamax6.

                                                            6 Data Pertamina per 21 Desember 2010 sebagaimana diberitakan Republika OnLine, Rabu, 22 Desember 2010.

Page 19: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

Litbang PDI-P/Pembatasan BBM  

16

Rendahnya kesiapan SPBU yang akan melakukan konversi tangki untuk Pertamax karena

penyesuaian tersebut memerlukan investasi minimal Rp 2 miliar. Untuk pemasangan konstruksi

sampai penyiapan dispenser para pengusaha SPBU harus menyediakan dana sekitar Rp 2 miliar.

Meskipun menurut penjelasan Pertamina, switching untuk tangki pendam, migrasi dispenser dan

nozel dijadwalkan bisa selesai pada Februari 2011, namun masih ada potensi meleset (Republika

OnLine, Rabu, 22 Desember 2010).

Masalah lain yang akan dihadapi Pertamina adalah kesiapan depot. Saat ini untuk wilayah

Jabodetabek baru ada tiga depot yang melayani kebutuhan BBM, yaitu:

1) Depot Plumpang,

2) Depot Cikampek

3) Depot Tanjung Gerem

Tabel 1. Kapasitas Tangki Timbun Pertamina7

Kapasitas Depot

Plumpang Depot

Cikampek Depot

Tanjung Gerem BBM premium 106.260 KL 39.916 KL 9.959 KL

Pertamax 34.154 KL 34.154 KL 33.473 KL

Untuk memenuhi kebutuhan stok Pertamax di wilayah Jabodetabek, direncanakan beberapa

tangki timbun yang tadinya untuk kebutuhan Premium akan disulap menjadi tangki timbun

Pertamax. Meskipun hal ini dapat dilakukan tetapi masih harus dipertimbangkan kembali karena

pada dasarnya kebutuhan premium masih tinggi.

Untuk wilayah Jabodetabek, tiga depot yang melayani kebutuhan BBM adalah depot Plumpang,

depot Cikampek dan depot Tanjung Gerem. Namun hanya depot Plumpang yang akan diubah

menjadi tangki timbun pertamax. Pertamina akan menyulap tangki timbun 5 dan tangki timbun

13 menjadi tangki timbun pertamax. Dengan perubahan itu, stok Pertamax di depot Plumpang

akan naik menjadi 56.154 KL, sedangkan stok Premium akan turun menjadi 84.260 KL.

Pilihan strategi Pertamina untuk melakukan konversi tangki Premium menjadi tangki Pertamax,

bukan strategi menambah tangki untuk Pertamax, mengindikasikan bahwa Pertamina belum                                                             7 Kesiapan depo dan tangki BBM saat ini baru mencapai 70%, Kontan Online Kamis, 20 Januari 2011 

Page 20: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

sangat siap dan juga mengindikasikan pemerintah dengan sengaja mengarahkan kebijakan untuk

mengurangi dan kemudian menghilangkan produk premium (BBM) bersubsidi di pasaran.

Dengan demikian berarti akan ada skenario untuk menjadikan jenis BBM yang nanti di jual ke

masyarakat tidak lagi menyediakan premium. Berarti siap tidak siap Pertamina harus segera

berhadapan dengan SPBU asing untuk bersaing menjual BBM non subsidi.

Bila ternyata Pertamina belum siap karena ternyata masih harus menyediakan investasi

untuk menyiapkan berbagai infrastruktur pendukung yang diperlukan, maka

ketidaksiapan Pertamina ini akan merupakan peluang emas bagi SPBU asing untuk

mengambil alih pasar yang tidak dapat dipenuhi oleh Pertamina. Sudah sangat lama SPBU

asing menunggu saat ini tiba. Bila tahun ini pembatasan BBM bersubsidi akan dijalankan maka

pembangunan SBPU asing di berbagai wilayah dipastikan akan segera marak dilakukan untuk

menamkap pasar yang tidak dapat dilayani oleh SBPU Pertamina.

Rencana pembatasan BBM bersubsidi akan berpotensi mematikan usaha SPBU yang

dimiliki oleh Pertamina. SPBU Pertamina dapat dibedakan menjadi:

1) SPBU Pertamina, yang dikelola oleh unit usaha didalam entitas Pertamina.

2) SPBU Pertamina, yang dikelola oleh unit usaha diluar entitas Pertamina.

Dari kedua jenis SPBU tersebut bisa dikelompokkan lagi kedalam 5 klasifikasi dengan

komponen ukuran lahan, lebar muka jalan, selang dan kapasitas tangki seperti diuraikan dalam

tabel dibawah ini.

Tabel 2. Lima Tipe SPBU

Komponen Tipe A Tipe B Tipe C Tipe D Tipe E Minimal Ukuran Lahan (m²) 2500 1600 1225 900 700 Min Lebar Muka Jalan 50 40 35 30 20 Selang Min. 26 20 – 25 16 - 20 10 - 16 Max 10 Kapasitas Tangki Min. 160 kl Min. 140 kl Min. 100 kl Min. 80 kl Min. 60 kl Perkiraan Volume Penjualan > 35 Kilo Liter > 25 Kilo Liter

dan <= 35 Kilo Liter

> 20 Kilo Liter dan <= 25 Kilo Liter

> 15 Kilo Liter dan <= 20 Kilo Liter

<= 15 Kilo Liter

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa diperlukan investasi minimal Rp 2 miliar bagi SPBU untuk

memenuhi infrastruktur yang diperlukan. Kebutuhan dana investasi yang relatif besar tersebut

merupakan kendala yang dihadapi oleh SPBU Pertamina, yang dikelola oleh unit usaha diluar

Litbang PDI-P/Pembatasan BBM  

17

Page 21: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

entitas Pertamina khususnya yang berskala kecil dan menengah. Padahal mereka harus

memenuhi persyaratan dalam melaksanakan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi jika ingin

tetap menjalankan usahanya.

Kendala lain yang harus dihadapi pengusaha SPBU Pertamina, yang dikelola oleh unit usaha

diluar entitas Pertamina untuk skala kecil menengah adalah keterbatasan lahan. Penambahan

minimal 3 tangki penyimpanan BBM untuk jenis solar, premium, dan pertamax tidak bisa

dilakukan karena lahan yang digunakan untuk usaha SPBU saat ini luasnya tidak mencukupi.

Untuk itu mereka membutuhkan dana tambahan investasi untuk perluasan lahan agar bisa

mencukupi untuk penambahan minimal 3 tangki penyimpanan BBM untuk jenis solar, premium,

dan pertamax.

Pengusaha yang diharuskan menambah investasi untuk SPBU Pertamina, yang dikelola oleh unit

usaha diluar entitas Pertamina juga berpotensi menghadapi masalah akibat terjadinya penurunan

penjualan. Terutama bagi SPBU yang lokasinya tidak terlalu jauh dengan SPBU asing. Harga

BBM non subsidi yang dijual oleh SPBU asing selama ini, harganya lebih rendah dibanding

harga BBM non subsidi yang dijual melalui SPBU Pertamina.

Kondisi tersebut akan berpotensi menurunkan omzet penjualan SPBU Pertamina. Pada akhirnya

bisa juga menurunkan tingkat keuntungan yang bisa didapat oleh para pengusaha SPBU

Pertamina, yang dikelola oleh unit usaha diluar entitas Pertamina. Pada akhirnya kondisi ini akan

mempengaruhi tingkat pengembalian investasi yang sudah dikeluarkan untuk penambahan

infrastruktur usaha.

Kebijakan pembatasan BBM subsidi yang akan diberlakukan pemerintah telah membawa pelaku

usaha SPBU Pertamina, yang dikelola oleh unit usaha diluar entitas Pertamina dalam situasi yang

dilematis. Jika ingin tetap menjalankan usaha SPBU mereka harus berupaya untuk mendapatkan

tambahan investasi guna memenuhi kualifikasi yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Ditengah

situasi dilema seperti ini, beberapa pengusaha SPBU Pertamina, yang dikelola oleh unit usaha

diluar entitas Pertamina melihat kemungkinan untuk mengambil tindakan menjual SPBU

mereka. Bila ini terjadi maka hampir bisa dipastikan usaha SPBU tersebut akan jatuh ke pemodal

Litbang PDI-P/Pembatasan BBM  

18

Page 22: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

besar yang dapat mengembangkan unit SPBU tersebut sesuai dengan ketentuan yang mengatur

usaha SPBU Pertamina yang dikelola oleh unit usaha diluar entitas Pertamina. Jika unit SPBU

tersebut diambil alih oleh entitas usaha SPBU asing maka kemungkinan yang lebih buruk bisa

saja terjadi. Akibat penjualan tersebut, SPBU Pertamina yang dikelola oleh unit usaha diluar

Pertamina bisa saja berubah menjadi SPBU yang menjual produk asing.

Harga BBM non subsidi yang dijual oleh SPBU Pertamina harganya selalu lebih tinggai

dibanding harga penjualan BBM non subsidi oleh SPBU asing. Persoalan harga ini akhirnya tdak

saja mengganggu pada usaha SPBU yang dikelola oleh unit usaha didalam entitas Pertamina

SPBU Pertamina maupun yang dikelola oleh unit usaha diluar entitas Pertamina yang dikelola

oleh unit usaha didalam entitas Pertamina untuk skala kecil menengah saja. Bagi yang skala

besar juga akan menghadapi masalah serupa.

Dengan demikian, usaha SPBU Pertamina kedepan akan berpotensi menghadapi masalah dalam

volume penjualan. Masalah ini akan mempengaruhi pula tingkat keuntungan yang bisa diperoleh

dan pada akhirnya mengganggu tingkat pengembalian investasi. Walhasil bukan tidak mungkin,

SPBU Pertamina akan menghadapi kebangkrutan akibat pemberlakuan kebijakan pembatasan

BBM subsidi.

Kebijakan pembatasan BBM subsidi yang akan diberlakukan pemerintah telah membawa pelaku

usaha SPBU Pertamina, yang dikelola oleh unit usaha diluar entitas Pertamina dalam situasi yang

dilematis bagi keberlangsungan usaha mereka. Jika ingin tetap menjalankan usaha SPBU mereka

harus menambah investasi guna memenuhi kualifikasi yang sudah ditentukan oleh pemerintah,

sekaligus menghadapi potensi ancaman atas keberlangsungan usaha mereka kedepan.

Berikut ini beberapa faktor yang akan menyebabkan melemahnya pemain lokal pada industri

hilir Migas akibat pembatasan BBM bersubsidi:

1. Beralihnya konsumen ke SPBU asing. Bagi SPBU yang dikelola oleh unit usaha didalam

entitas Pertamina maupun SPBU Pertamina yang dikelola oleh unit usaha diluar entitas

Pertamina (termasuk yang tidak memiliki kendala dalam memenuhi kebutuhan investasi)

Litbang PDI-P/Pembatasan BBM  

19

Page 23: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

juga menghadapi potensi masalah serius yakni beralihnya konsumen ke SPBU asing karena

SPBU asing dapat bersaing lewat harga maupun non harga.

2. Penurunan omzet produk pertamina. Jika unit SPBU tersebut diambil alih oleh entitas

usaha SPBU asing maka kemungkinan yang lebih buruk bisa saja terjadi. SPBU Pertamina

yang dikelola oleh unit usaha diluar entitas bisa saja berubah menjadi SPBU mereka untuk

tidak lagi menjual produk BBM Pertamina. Dengan demikian, permintaan terhadap produk

Pertamina akan berkurang.

3. Ancaman kebangkrutan SPBU Pertamina. Beralihnya konsumen akan berlanjut pada

ancaman kebangkrutan. Dengan strategi harga BBM non subsidi asing selama ini, SPBU

lokal mengkhawatirkan akan terjadi penurunan akibat kalah bersaing dengan SBPU asing.

Apalagi untuk SPBU Pertamina yang lokasinya berdekatan jaraknya dengan SPBU asing.

Karena harga BBM non subsidi yang dijual oleh SPBU asing harganya selalu sedikit

dibawah harga BBM non subsidi Pertamina. Tentu yang akan dirugikan tidak hanya SPBU

Pertamina dan tetapi kilang Pertamina.

4. Penjualan SPBU ke asing. Ditengah situasi dilema seperti ini, beberapa pengusaha SPBU

Pertamina, yang dikelola oleh unit usaha diluar entitas Pertamina melihat kemungkinan untuk

mengambil tindakan mudah yakni menjual SPBU. Hampir bisa dipastikan bila bisnis SPBU

tersebut dijual, maka akan jatuh ke pemodal asing.

Persoalan harga ini akhirnya tidak saja mengganggu pada usaha SPBU yang dikelola oleh

unit usaha didalam entitas Pertamina. Namun, untuk SPBU Pertamina yang dikelola oleh unit

usaha di luar entitas Pertamina, terutama yang berskala kecil menengah akan menghadapi

masalah yang lebih besar.

2.2. Pembatasan BBM Bersubsidi akan Memberikan Dampak Negatif Terhadap Ekonomi

Pemerintah berargumen bahwa pembatasan BBM bersubsidi yang direncanakan akan

diberlakukan mulai 1 April 2011 tidak akan memberikan dampak negatif terhadap ekonomi

nasional dan kesejahteraan masyarakat. Argumen pemerintah sangat lemah sehingga harus

ditolak. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan Litbang PDIP, baik dengan mengolah data

Litbang PDI-P/Pembatasan BBM  

20

Page 24: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

Litbang PDI-P/Pembatasan BBM  

21

sekunder maupun data primer, banyak bukti yang menunjukkan bahwa pembatasan BBM

bersubsidi akan memberikan dampak negatif bagi ekonomi nasional.8

Ada empat alasan mengapa pembatasan BBM bersubsidi harus ditolak. Pertama, Sebagian besar

subsidi BBM dinikmati kelompok masyarakat bawah. Kedua, Subsidi layak diberikan karena

daya beli masyarakat masih rendah. Ketiga, pembatasan BBM bersubsidi akan meningkatkan

biaya produksi, memicu inflasi dan menurunkan daya saing UKM. Keempat, pembatasan BBM

bersubsidi berpotensi menyebabkan kelangkaan BBM.

2.2.1. Sebagian Besar Subsidi BBM Dinikmati Kelompok Masyarakat Bawah

Selama ini pemerintah mengklaim bahwa subsidi BBM telah salah sasaran karena lebih

dinikmati oleh orang-orang kaya. Klaim ini tidak tepat karena kajian yang dilakukan oleh

Litbang PDIP menunjukkan bahwa baik dengan menggunakan data Bank Dunia, data SUSENAS

dari BPS maupun data primer dari survei, sebagian besar BBM bersubsidi ternyata justru lebih

banyak dinikmati oleh kelompok menengah bawah.

Pertama, dokumen Bank Dunia tentang skenario pengurangan subsidi BBM menunjukkan

bahwa dari total premium yang dikonsumsi oleh rumah tangga, 64 persennya dikonsumsi

oleh sepeda motor. Sedangkan untuk mobil hanya 36 persen. Mengingat sebagian besar

pemilik sepeda motor adalah masyarakat kelas menengah ke bawah, maka berarti selama

ini bagian terbesar subsidi premium (64 persen) dikonsumsi oleh kelompok kelas

menengah dan bawah, bukan oleh kelompok kaya.

Data Bank Dunia dapat dengan mudah dimengerti karena populasi kendaraan bermotor di

Indonesia memang semakin didominasi oleh sepeda motor. Sekitar 48 juta unit atau sebesar 82

persen dari total kendaraan bermotor tahun 2010 adalah sepeda motor. Buruknya transportasi

publik telah menggeser pilihan masyarakat kelas menengah ke bawah dari menggunakan

tranportasi umum ke sepeda motort (pada bagian lain akan dijelaskan alasan masyarakat

menegah ke bawah memilih menggunakan sepeda motor).                                                             8 Lihat lampiran  

Page 25: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

Tabel 3. Jumlah Kendaraan di Indonesia per November 2010

Jumlah (unit) Persentase

(%) Jenis Kendaraan Kendaraan Khusus 278.750 0,5 Mobil Bus 767.173 1,3

Mobil Beban 2.857.466 4,9

Mobil Penumpang 6.385.329 10,9

Motor 48.065.877 82,4

Total 58.354.595 100 Sumber: Dirlantas Polri, 2010

Selanjutnya, sebesar 34 persen premium yang menurut Bank Dunia dikonsumsi untuk

mobil, menurut Tim Kajian sebagian besarnya pun dikonsumsi oleh rumah tangga kelas

menengah bawah. Kesimpulan ini didasarkan pada fakta bahwa sebagian besar mobil di

Indonesia adalah mobil dengan volume silinder kecil yakni <1500 cc. Dominasi mobil

berkapasitas mesin kecil ini antara lain ditunjukkan oleh data penjualan mobil selama 6 tahun

terakhir yang menunjukkan sebagian besar adalah kendaraan keluarga (multi purpose

vehicles/MPV) bermesin kecil (1500 cc ke bawah) lihat tabel 4. Bahkan sejak tahun 2005, tingkat

laju penjualan MPV bersilinder kecil tersebut jauh di atas penjualan mobil sejenis dengan

kapasitas mesin yang lebih besar.

Tabel 4. Penjualan Mobil Didominasi oleh Mobil < 1500 cc

2005 2005 2007 2008 2009 2010 Kendaraan < 1500 cc Sedan < 1500 cc 25.006 10.241 16.207 18.753 11.779 18.355 MPV < 1500 cc 189.845 136.793 194.422 279.052 257.507 389.712 Sub total 214.851 147.034 210.629 297.805 269.286 408.067 Kendaraan < 1500 cc Sedan > 1500 cc 10.363 7.324 11.194 15.547 10.321 14.773 MPV > 1500 cc 139.105 68.029 92.966 111.916 79.670 118.635 Sub total 149.468 75.353 104.140 127.463 89.991 133.408 Total mobil 533.917 318.904 433.341 603.774 483.548 764.710

Sumber: Gaikindo Dari sisi merek pun menguatkan bahwa sebagian besar mobil yang dimiliki oleh rumah tangga di

Indonesia adalah mobil murah dengan cc kecil. Toyota Avanza dan Daihatsu Xenia merupakan

mobil yang paling laris, yakni 53 persen dari total penjualan mobil 2010.

Litbang PDI-P/Pembatasan BBM  

22

Page 26: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

Tabel 5. Merek Mobil Penumpang Terlaris 2010

No Merek/tipe Jumlah unit % 1 Toyota Avanza 141.799 36% 2 Daihatsu Xenia 65.901 17% 3 Toyota Kijang Innova 53.824 14% 4 Honda Jazz 22.758 6% 5 Nissan Grand Livina 22.560 6% 6 Toyota Rush 18.420 5% 7 Suzuki APV 18.024 5% 8 Toyota Yaris 16.979 4% 9 Honda CR-V 16.961 4%

10 Daihatsu Terios 16.483 4% Total 393.709

Sumber: Gaikindo (detik.com)

Sementara pangsa penjualan mobil mewah seperti Mercedes Benz, Volvo dan BMW relatif

sangat terbatas, rata-rata kurang dari 1 persen dari total penjualan (tabel 6). Untuk kendaraan-

kendaraan mewah yang jumlahnya sangat minimal tersebut dipastikan telah mengkonsumsi

Pertamax, Pertamax Plus atau produk yang sekelas menyesuaikan spesifikasi mesinnya.

Tabel 6. Penjualan Mobil Mewah, Sangat Kecil Dibanding Mobil < 1500 cc

2005 2005 2007 2008 2009 2010 Mercy 2443 914 2022 2872 3450 4558 BMW 1257 600 1000 720 901 1240 Volvo 143 69 60 62 25 6

Sumber: Gaikindo

Kedua, data Susenas BPS menunjukkan bahwa 65 persen bensin ternyata dikonsumsi oleh

masyarakat kelompok miskin dan menegah bawah (pengeluaran per kapita < 4 dollar AS).

Termasuk di dalamnya (29 persen) dikonsumsi oleh kelompok miskin (pengeluaran per

kapita < 2 dolar AS).

Sebagaimana data yang dikeluarkan oleh Bank Dunia, dari pengolahan data Susenas BPS,

diperoleh bahwa ternyata sebanyak 64 persen bensin dikonsumsi oleh rumah tangga dengan

pengeluaran kurang dari US$ 8 per hari atau kurang dari US$ 2 per kapita hari (dengan asumsi

jumlah anggota keluarga per Rumah Tangga sesuai data BPS adalah 4). Sementara kelompok

rumah tangga menengah atas dan kaya, atau rumah tangga dengan pengeluaran US$ 40 ke atas

hanya mengkonsumsi 8 persen dari seluruh bensin. Dengan demikian dapat simpulkan bahwa

Litbang PDI-P/Pembatasan BBM  

23

Page 27: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

Litbang PDI-P/Pembatasan BBM  

24

sebagian besar rumah tangga yang mengunakan bensin adalah rumah tangga miskin dan

menengah bawah.

Gambar 2. Konsumsi Bensin Berdasarkan Tingkat Pengeluaran Rumah Tangga

 

Sumber: Susenas Panel 2010, diolah

Keterangan: • Rumah Tangga Miskin : Pengeluaran < US$ 8 atau < US$ 2 perkapita/hari • Rumah Tangga Menengah Bawah : Pengeluaran US$ 4-16 atau US$ 2-4 perkapita/hari • Rumah Tangga Menengah : Pengeluaran US$ 16-40 atau US$ 4-10 perkapita/hari • Rumah Tangga Menengah Atas : Pengeluaran US$ 40-80 atau US$ 10-20 perkapita/hari • Rumah Tangga Kaya : Pengeluaran > US$ 80 atau US$ 20 perkapita/hari • 4-16 merupakan penyederhanaan penulisan dari perhitungan (4-<16), 16-40 (16-<40) dst…

Ketiga, data primer dari kegiatan survei yang dilakukan oleh tim memperkuat kajian

bahwa subsidi BBM ternyata lebih banyak dinikmati oleh kelompok menengah bawah.

Sangat berbeda dengan klaim yang disampaikan pemerintah bahwa 77 persen subsidi

BBM dinikmati oleh 25 persen kelompok rumah tangga tertinggi.

Miskin 29% Menengah bawah 36%

Menengah 27%

Menengah atas 6%

Kaya 2%

Page 28: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

Sebagaimana diketahui Menteri ESDM Darwin Zahedy Saleh di dalam rapat kerja Komisi VII

DPR bersama Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Menteri Keuangan Agus Martowardojo dan

Menteri ESDM di Jakarta, Senin (13/12/2010) menyampaikan bahwa berdasarkan data

Kementerian ESDM terjadi ketimpangan pengalokasian sasaran penerimaan subsidi bahan bakar

minyak (BBM). Sekitar 25% dari kelompok rumah tangga dengan penghasilan per bulan

tertinggi menerima alokasi subsidi sebesar 77%. Sementara 25% kelompok rumah tangga dengan

penghasilan per bulan terendah hanya menerima subsidi sekitar 15% (www.mediaindonesia.com,

Senin, 13 Desember 2010).

Gambar 3. Porsi Konsumsi BBM Premium Menurut Tingkat Pendapatan Rumah Tangga Responden

41.8%

33.2%

23.6%

1.4%

0.0%

5.0%

10.0%

15.0%

20.0%

25.0%

30.0%

35.0%

40.0%

45.0%

Kur

ang

dari

Rp

1.93

1.66

5,5

Lebi

h da

ri R

p1.

931.

665,

5 s/

d R

p3.

636.

666

Lebi

h da

ri R

p3.

636.

666

s/d

Rp

5.56

8.33

3

Lebi

h da

ri R

p5.

568.

333

Untuk membuktikan pernyataan Menteri ESDM tersebut, maka pendapatan perbulan responden

disajikan ke dalam 4 rentang (kuartil) untuk menemukan tingkat konsumsi BBM premium pada

25 persen responden dengan tingkat pendapatan teratas, serta pada responden dengan tingkat

penghasilan di bawah itu, sehingga menjadi seperti yang bisa dilihat pada Gambar 3.

Litbang PDI-P/Pembatasan BBM  

25

Page 29: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

Litbang PDI-P/Pembatasan BBM  

26

Setelah dilakukan penghitungan konsumsi BBM bulanan pada setiap rentang kuartil pendapatan

perkapita responden, maka ditemukan bahwa ternyata konsumsi BBM terbesar ada pada rentang

pendapatan 25% terbawah (sebesar 41,8 % dari total konsumsi BBM) yang berarti mereka adalah

penerima subsidi BBM terbesar selama ini.9 Sementara konsumsi BBM terkecil ada pada rentang

pendapatan 25 % teratas (hanya sebesar 1,4 % dari total konsumsi BBM) yang berarti mereka

adalah penerima subsidi BBM terkecil selama ini.

Kesimpulan dari survei tidak berbeda dengan kesimpulan hasil analisa dengan menggunakan

data SUSENAS BPS yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya. Artinya, analisa terhadap

data sekunder maupun primer ternyata menghasilkan kesimpulan bahwa subsidi BBM sebagian

besar dinikmati orang kelas menengah bawah. Kesimpulan ini berbeda berbeda dengan apa yang

diklaim oleh pemerintah yang mengatakan bahwa BBM bersubsidi dinikmati orang kaya.

Selain kepemilikan kendaraan yang cenderung didominasi kendaraan dengan volume silinder

kecil dan harga relatif murah, dari survei di Jabodetabek, diketahui juga bahwa sebagian besar

pembelian kendaraan bermotor dilakukan dengan cara kredit. Berdasarkan survei yang dilakukan

usaha dan rumah tangga, 51 persen pembelian dilakukan dengan kredit. Bahkan untuk kelompok

responden usaha, pembelian kendaraan pada umumnya dilakukan dengan cara kredit yakni

mencapai 62,5 persen.

                                                            9 Total konsumsi BBM dihitung dari penjumlahan konsumsi BBM dari seluruh responden.

Page 30: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

Gambar 4. Pola Kepemilikan/Pembelian Kendaraan di Jabotabek

.

Tunai48%

Kredit51%

Hibah1%

2.2.2. Menekan Daya Beli Masyarakat

2.2.2.1. Daya Beli BBM Masyarakat Relatif Rendah

Berdasarkan hasil kajian Tim, pernyataan pemerintah bahwa harga BBM di Indonesia

terlalu murah dibandingkan negara-negara lain sangat tidak tepat. Meskipun secara

nominal harga BBM di Indonesia relatif lebih murah dibanding negara-negara lain, tetapi

relatif sangat mahal bila di kaitkan dengan pendapatannya.

Bila dilakukan analisa perbandingan tingkat daya beli masyarakat terhadap BBM, daya beli

masyarakat Indonesia terhadap BBM relatif masih sangat rendah dibandingkan dengan negara-

negara lain. Meskipun harga BBM lebih murah dibandingkan negara-negara lain, akan tetapi

harga tersebut relatif mahal bila dibandingkan dengan pendapatan kotor per kapita yang masih

jauh dibanding negara-negara lain. Berdasarkan Data Bank Dunia 2009, posisi Gross National

Income (GNI) Indonesia sebesar US$3.720 per kapita. Dengan pendapatan sebesar itu maka

penduduk Indonesia hanya akan mampu membeli 7.440 liter BBM dalam setahun dengan harga

BBM bersubsidi saat ini.

Litbang PDI-P/Pembatasan BBM  

27

Page 31: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

Padahal Singapura misalnya, meski harga BBM-nya mencapai Rp. 11.700 per liter, namun daya

beli penduduknya jauh lebih tinggi sehingga GNI per kapitanya dapat digunakan untuk membeli

38.292 liter bensin per tahun. Dengan demikian, harga BBM di Indonesia jika diukur dari daya

beli masyarakatnya, sebenarnya masih sangat mahal jika dibandingkan dengan negara lain. Oleh

karena itu, penyesuaian harga BBM ke arah harga internasional akan sangat tidak adil.

Tabel 7. Perbandingan Daya beli Premium per Kapita di Beberapa Negara

Negara US$/Liter Rp/Liter GNI/Kapita (US$)

Daya Beli (Liter)

Venezuela 0,023 207 12.220 531.304

Saudi Arabia 0,16 1.440 24.150 150.938

Libya 0,17 1.530 16.400 96.71

Turkmenistan 0,22 1.980 6.980 31.727

Egypt 0,31 2.790 5.680 18.323

Iran 0,40 3.600 11.470 28.675

Algeria 0,41 3.690 8.110 19.780

Indonesia 0,50* 4.500 3.720 7.440

United States 0,73 6.606 45.640 62.180

Singapore 1,30 11.700 49.780 38.292

Japan 1,37 12.330 33.470 24.431 Sumber Data: Bank Dunia (2009)

Pada saat premium masih disubsidi oleh pemerintah untuk semua kalangan, berdasarkan

perhitungan GNI/kapita dan harga premium subsidi yang berlaku saat ini (Februari 2010), setiap

penduduk Indonesia hanya mampu membeli sekitar 7.450 liter premium per tahun. Jauh di

bawah penduduk Singapura yang mampu membeli 38.292 liter, meskipun harga premium per

liternya Rp 11.700. Meskipun GNI/kapita Indonesia mencapai USD 3.720, namun terjadi

kesenjangan tingkat pendapatan yang sangat besar. Sehingga sebagian besar penduduknya (58

persen) sebenarnya memiliki pengeluaran per kapita masih < Rp 500 ribu per bulan. Oleh

karenanya sudah selayaknya pemerintah memberikan subsidi BBM bagi masyarakatnya yang

sebagian besar angka pengeluarannya tersebut jauh di bawah angka GNI per kapita nasional.

2.2.2.2. Tabungan Rumah Tangga Tidak Mampu Menutupi Tambahan Biaya Hidup Pembatasan penggunaan BBM bersubsidi untuk mobil berplat hitam menyebabkan pengguna

mobil plat hitam harus merubah kebiasaan penggunaan BBM yang semula menggunakan BBM

Litbang PDI-P/Pembatasan BBM  

28

Page 32: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

bersubsidi ke BBM yang tidak bersubsidi. Perubahan ini mengakibatkan meningkatnya

pengeluaran untuk penggunaan BBM. Diasumsikan peningkatan pengeluaran ini akan ditutupi

oleh tabungan rumah tangga.

Dari survei, ternyata ada 39 persen reponden tidak mampu menyisihkan pendapatannya untuk

menabung setiap bulan (Gambar 5). Responden yang mampu menyisihkan pendapatan untuk

tabungan bulanan sebesar kurang dari Rp 200.000 pun hanya 10,5 persen. Dengan kondisi

sebagian besar responden tidak mampu menyisihkan pendapatnnya untuk ditabung maka artinya

bila terjadi lonjakan pengeluaran/belanja, maka pada dasarnya porsi masyarakat akan kesulitan

untuk menutupi tambahan pengeluaran akibat kebijakan pembatasan penggunaan BBM

bersubsidi cukup besar. Langkah yang paling mungkin untuk dilakukan adalah dengan

mengurangi pengeluaran untuk kebutuhan lain.

Gambar 5. Tingkat Tabungan Responden

39%

10.5%8%

13%

4.50%

12.5%

4%5.50%

3%

0%

5%

10%

15%

20%

25%

30%

35%

40%

45%

0

Rp.

1 s

/d R

p.20

0.00

0

Rp.

200

.001

s/d

Rp.

400

.000

Rp.

400

.001

s/d

Rp.

600

.000

Rp.

600

.001

s/d

Rp.

800

.000

Rp.

800

.001

s/d

Rp.

1.0

00.0

00

Rp.

1.0

00.0

01 s

/dR

p. 2

.000

.000

Rp.

2.0

00.0

01 s

/dR

p. 4

.000

.000

Rp.

4.0

00.0

00 s

/dse

teru

snya

Bagi responden yang setiap bulan mampu menyisihkan pendapatannya untuk ditabung

pun ternyata tambahan pengeluaran yang diakibatkan oleh pembatasan penggunaan BBM

bersubsidi pada umumnya tidak mencukupi untuk menutupi tambahan pengeluaran setiap

Litbang PDI-P/Pembatasan BBM  

29

Page 33: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

bulan. Pada Gambar 6 di bawah, perbandingan antara besarnya tabungan dengan besarnya

penambahan pengeluaran akibat pembatasan BBM bersubsidi menunjukkan bahwa ada 57,5 %

responden yang mempunyai jumlah tabungan bulanannya lebih kecil dibanding penambahan

pengeluaran akibat pembatasan penggunaan BBM bersubsidi. Dengan kata lain, dapat

diasumsikan bahwa 57,5 % responden tidak akan mampu menutupi biaya BBM setelah

kebijakan ini dilaksanakan.

Gambar 6. Persentase Tabungan Responden Dibanding Penambahan Pengeluaran Akibat Pembatasan BBM Bersubsidi

Tabungan < kenaikan biaya BBM

57%

Tabungan > kenaikan biaya BBM

43%

Meskipun 43 persen responden mempunyai kemampuan menabung dengan jumlah lebih

besar dibanding tingkat pengeluaran akibat kenaikan biaya BBM, namun bukan berarti

kelompok ini tidak akan menghadapi persolan tekanan terhadap biaya hidup akibat

kebijakan pembatasan BBM bersubsidi ini. Kenaikan biaya hidup akibat kenaikan biaya BBM

dipastikan akan diikuti oleh kenaikan harga-harga barang dan jasa secara umum. Padahal seperti

ditunjukkan pada Gambar 7, selisih tabungan dan kenaikan biaya jika beralih dari Premium ke

Pertamax tidak terlalu besar. Sebagian besar hanya memiliki selisih kurang dari Rp 500.000 per

bulan.

Litbang PDI-P/Pembatasan BBM  

30

Page 34: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

Dengan demikian, pengalihan dana untuk tabungan akan terdistribusi kepada berbagai

pengeluaran lain, tidak hanya untuk menutupi biaya BBM. Sehingga, pada dasarnya persentase

responden yang sanggup menutupi kenaikan biaya BBM akibat pembatasan BBM bersubsidi

akan lebih kecil lagi.

Gambar 7. Selisih Tabungan dan Kenaikan Biaya Jika Beralih dari Premium ke Pertamax

57.5%

8.5%

3.0%5.0% 4.5%

2.5%4.0%

0.5% 1.5% 1.5%5.0%

6.5%

0.0%

10.0%

20.0%

30.0%

40.0%

50.0%

60.0%

70.0%

0

Rp.

1 s

/d R

p.10

0.00

0

Rp.

200

.001

s/d

Rp.

200.

000

Rp.

200

.001

s/d

Rp.

300.

000

Rp.

300

.001

s/d

Rp.

400.

000

Rp.

400

.001

s/d

Rp.

500.

000

Rp.

500

.001

s/d

Rp.

600.

000

Rp.

600

.001

s/d

Rp.

700.

000

Rp.

700

.001

s/d

Rp.

800.

000

Rp.

800

.001

s/d

Rp.

900.

000

Rp.

1.0

00.0

01 s

/dR

p. 2

.000

.000

Rp.

2.0

00.0

01 s

/dse

teru

snya

Dari hasil kajian ini, ditemukan bahwa untuk rumah tangga yang tidak mempunyai tabungan

untuk membiayai peningkatan pengeluaran akibat kenaikan biaya untuk BBM, atau yang

mempunyai tabungan namun tidak cukup untuk menutupi menutupi kenaikan pengeluaran akibat

kenaikan biaya BBM, akan ada dua kemungkinan perilaku: 1) Mengurangi penggunaan BBM

dengan cara mengurangi berbagai aktifitas yang berkaitan dengan konsumsi BBM, 2) Tetap

mengkonsumsi BBM seperti saat ini, namun mengurangi anggaran untuk kebutuhan lainnya.

Kedua pilihan tersebut tetap akan mengganggu ekonomi rumah tangga. Bila kemungkinan

pertama yang terjadi, maka akan mempengaruhi aktifitas perekonomian secara umum.

Menurunnya berbagai aktifitas masyarakat dapat mengakibatkan rendahnya produktifitas.

Litbang PDI-P/Pembatasan BBM  

31

Page 35: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

Sementara jika yang terjadi adalah kemungkinan kedua, maka akan terjadi penurunan permintaan

secara umum terhadap barang dan jasa yang lain serta mengakibatkan kelesuan ekonomi. Jika

pengurangan anggaran ternyata berkaitan dengan anggaran kebutuhan pokok, dampak yang

dihasilkan akan lebih luas.

Sebagian besar responden menggunakan kendaraan yang dimilikinya untuk berangkat dan

pulang kerja. Jika terjadi pengurangan subsidi BBM, pilihan yang ada adalah menggunakan

pertamax atau mengganti moda transportasi untuk bekerja karena tidak mungkin kendaraan

pribadi yang digunakan berangkat-pulang kerja diganti plat nomor kendaraannya dengan warna

kuning. Sementara menggunkan pertamax dipastikan akan menambah beban pengeluaran

keluarga karena perbedaan harga yang sangat signifikan antara premium bersubsidi dan harga

pertamax.

Gambar 8. Frekwensi Penggunaan Mobil untuk Transportasi Kerja

Sering49%

Tidak pernah22%

Jarang29%

 

Alasan menggunakan kendaraan pribadi untuk berangkat dan pulangkerja sebagain besar karena alasan

transportasi umum yang tidak memadai. Ketidak layakan tersebut karena kondisi kendaraan umum yang

tidak layak (jumlah dan kualitasnya) serta waktu tempuh yang tidak dapat diprediksi. Ada 64% responden

Litbang PDI-P/Pembatasan BBM  

32

Page 36: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

yang tidak bersedia menggunakan trnasportasi imim. Sebagian besar dari responden tersebut menjawab

tidak bersedia menggunakan transportasi umum karena waktu tempuh yang lebih lama (55%). Ketidak

nyamanan karena faktor keamanan dan kepadatan serta kondisi alat transportasi yang buruk menjadi

alasan 28% responden. Dengan demikian, jika pemerintah ingin mengurangi subsidi BBM adalah dengan

menyediakan alat transportasi umum yang cukup jumlahnya, nyaman, dan tepat waktu.

Gambar 9. Alasan Responden Tidak Menggunakan Transportasi Publik

Tidak ada trayek langsung

9%

Penuh Sesak12%

Tidak aman16%

Lainnya8%

Waktu tempuh lebih lama55%

2.2.3 Meningkatkan Biaya Produksi dan Memicu Inflasi

Pembatasan BBM bersubsidi akan meningkatkan biaya transportasi industri karena

kendaraan yang digunakan sebagai sarana transportasi pengangkutan barang di DKI

Jakarta sebagian besar nya (84 persen) merupakan kendaraan dengan plat hitam. Selain

itu, berdasarkan data dari Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya tahun 2010, saat ini sebanyak

83 persen dari kendaraan di Jabodetabek menggunakan premium sebagai bahan bakar.

Kendaraan angkutan barang berbahan bakar premium tersebut hampir seluruhnya berdaya angkut

2 ton. Jadi jika mobil angkutan tersebut tidak berpindah/beralih menjadi kendaraan plat kuning,

dipastikan biaya produksi dan distribusi akan meningkat dan peningkatannya akan dibebankan

kepada konsumen sehingga akan memicu inflasi.

Litbang PDI-P/Pembatasan BBM  

33

Page 37: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

Peningkatan biaya ini sangat besar kemungkinannya akan mendorong kenaikan harga karena jika

tidak dilakukan kenaikan harga produk, maka margin keuntungan produsen akan semakin tipis.

Hal ini merupakan pilihan yang sangat dilematis khususnya bagi produsen yang tengah

menghadapi persaingan dengan produk-produk impor.

Tabel 8. Persentase Kendaraan di DKI berdasarkan Kepemilikan Kepemilikan Bukan Umum Umum/Perush. Pemerintah CC/CD Badan Int. Total

Mobil Penumpang 93.9% 4.6% 1.4% 0.1% 0.0% 100.0%

Mobil Bus 90.4% 9.0% 0.6% 0.0% 0.0% 100.0%

Mobil Barang 84.1% 8.5% 7.4% 0.0% 0.0% 100.0%

Sumber: Dirlantas Poda Metrojaya, Desember 2010

Bila pembatasan BBM bersubsidi dilakukan maka sebagian besar pengusaha UKM akan

menaikkan harga jual barang/jasanya. Berdasarkan survei yang dilakukan di Jabodetabek

terhadap para pengusaha yang sebagian besarnya UKM, sebanyak 42 persen responden

menyatakan akan menaikkan harga barang/jasa yang dijualnya jika harus menggunakan BBM

dengan harga Rp 7000/liter atau lebih. Sedangkan 16 persen responden akan menaikkan harga

bila harga BBM mencapai Rp 7500/liter. Artinya dengan harga Pertamax saat ini sekitar Rp

7.950/liter, dan sangat mungkin untuk terus naik di atas Rp 7500/liter, maka sebagian besar (58

pesen) pengusaha UKM akan menaikkan harga barang/jasa yang diprduksinya. Angka persentase

pengusaha yang akan menaikkan harga jual barang/jasanya tersebut meningkat menjadi 89%

ketika harga pertamax menjadi Rp. 8000/liter. Jika kebijakan pengurangan subsidi ini telah

dilakukan, kenaikan harga ini tentu akan membebani konsumen.

Bagi pengusaha besar akan lebih mudah untuk menaikkan harga jual kaena beban kenaikan

harga akan lebih mudah untuk dibebankan kepada pembeli. Namun, bagi pengusaha UKM,

pilihan lain untuk menyiasati kenaikan biaya tidak banyak. Namun menaikkan harga barang dan

jasa merupakan strategi yang jauh lebih sulit dibanding pengusaha besar, sehingga yang paling

sering dilakukan adalah dengan mengurangi keuntungan. Artinya, semakin sulit bagi UMKM

untuk mempertahankan daya beli dan kesejahteraannya.

Litbang PDI-P/Pembatasan BBM  

34

Page 38: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

Gambar 10. Porsi UKM yang Akan Menaikkan Harga pada Tingkat Harga Pertamax

sampai dengan 750016%

sampai dengan 85006%

lebih dari 85005% sampai dengan 7000

42%

sampai dengan 800031%

Probabilitas terjadinya inflasi akibat pembatasan BBM bersubsidi juga semakin besar

karena sebagian besar pengusaha enggan mengubah kendaraannya menjadi plat kuning.

Tanpa mengubah plat kendaraan dari plat hitam menjadi kuning, maka biaya BBM akan

meningkat. Sebanyak 68 persen responden menyatakan akan tetap menggunakan kendaraan plat

hitam dan hanya 9 persen yang sudah menyatakan akan beralih ke plat kuning. Dengan demikian

para pengusaha ini tidak akan dapat menekan biaya transportasi karena tidak dapat lagi

menggunakan BBM bersubsidi yang hanya diberikan untuk mobil berplat kuning dan sepeda

motor. Karena kendaraan tersebut digunakan untuk kepentingan usaha, otomatis akan terjadi

peningkatan pengeluaran operasional untuk BBM. Bagi usaha-usaha yang porsi biaya

transportasinya besar, maka salah satu konsekuensinya adalah menaikkan harga barang/jasa.

Jika para pengguna premium ini dipaksa menggunakan BBM nonsubsidi baik jenis Pertamax

maupun produk sejenis di SPBU asing, maka akan terjadi kenaikan biaya BBM dalam struktur

biaya transportasi. Dengan perhitungan terjadi “kenaikan harga” BBM sebesar 70 persen (dengan

Litbang PDI-P/Pembatasan BBM  

35

Page 39: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

asumsi harga rata-rata Pertamax sebesar Rp 7800/liter) maka biaya transportasi akan meningkat.

Padahal harga minyak mentah dunia akan cenderung terus meningkat. Bila ini yang terjadi maka

harga Pertamax pun akan cenderung terus meingkat. Hal ini tentu saja akan sangat membebani

UKM dan menekan daya saing produk yang dihasilkan UKM. Apalagi pengusaha kecil ini

termasuk pengkonsumsi BBM yang sangat besar sebagian besar (71 persen) mengkonsumsi

premium yang relatif banyak yakni rata-rata lebih dari 50/liter perminggu.

Pemerintah mengklaim bahwa kebijakan pembatasan BBM bersubsidi tidak akan terlalu

berpengaruh pada kegiatan ekonomi karena kendaraan yang digunakan untuk kegiatan

ekonomi dapat terus menggunakan BBM bersubsidi dengan syarat bersedia beralih

mengunakan kendaraan plat kuning. Menurut Tim, rencana kebijakan ini tidak akan

berhasil dan bukan solusi yang baik.

Pertama, jumlah kemdaraan plat hitam yang digunakan untuk kegiatan usaha sangat banyak.

Alasan untuk menggunakan plat hitam tentu beragam seperti ditunjukkan pada Gambar 7. Alasan

terbanyak karena bagi mereka utamanya usaha UKM tidak ada pemisahan antara aset keluarga

dan aset usaha. Sehingga mereka menggunakan memilih menggunakan plat hitam untuk usaha

karena sekalian untuk keperluan pribadi.

Litbang PDI-P/Pembatasan BBM  

36

Page 40: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

Gambar 11. Alasan Menggunakan Plat Hitam Untuk Usaha (%)

14 13 1114

60

33

0

17

28

11

31

12

0

17

0

2015 16

8 60

8

0

31 33

53

36

71

100

33

75

17

10 11 116

0

8

25

0

20

40

60

80

100

120

Ang

kuta

Pas

ar

Jasa

Pen

girim

an

Ang

kuta

n S

ekol

ah

Om

pren

gan

Gar

men

Man

ufak

tur/B

engk

el

Dag

ang

Lain

nya

Mengindari pungutan Tidak ada ijin trayek Sulitnya prosedur perubahan Untuk pemakaian pribadi Lainnya

Bila pemerintah mendorong para pengusaha untuk menukar plat kendaraan dari plat

hitam ke plat kuning untuk kendaraan plat hitam yang selama ini digunakan untuk

kegiatan usaha, maka kebijakan pembatasan BBM bersubsidi tidak akan memberikan

dampak signifikan bagi tujuan pemerintah untuk mengurangi subsidi premium. Artinya,

pengalihan plat hitam ke plat kuning tidak akan mengurangi permintaan atau konsumsi

premium.

Kedua, sebagian besar responden tetap keberatan untuk menggunakan kendaraan plat kuning

meskipun pemerintah akan melakukan pembatasan BBM bersubsidi. Sebanyak 89,5% responden

menyatakan akan tetap menggunakan plat hitam dan hanya 10,5% yang bersedia beralih

menggunakan atau merubah plat kendaraannya menjadi plat kuning.

Litbang PDI-P/Pembatasan BBM  

37

Page 41: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

Gambar 12. Kesediaan Migrasi dari Plat Hitam ke Plat Kuning Bila Ada Pembatasan BBM Bersubsidi

Beralih ke plat kuning, 10.50%

Tetap plat hitam, 89.50%

 

Jika dilihat berdasarkan jenis usaha, selain angkutan pasar, jasa pengiriman barang dan angkutan

anak sekolah, hampir di semua jenis usaha memilih untuk tetap menggunakan plat hitam

(Gambar 12). Bahkan kendaraan untuk jenis usaha manufaktur dan dagang tidak satupun

berencana untuk berpindah menggunakan plat kuning. Untuk wilayah Jabodetabek yang ketat

dalam membatasi wilayah untuk plat kuning akan menyulitkan pedagang bila mengganti dengan

plat kuning.

Litbang PDI-P/Pembatasan BBM  

38

Page 42: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

Gambar 13. Keengganan Melakukan Migrasi Menurut Sektor Usaha

11%15% 16%

8% 6%0% 0% 0%

89%85% 84%

92% 94%100% 100% 100%

0%

20%

40%

60%

80%

100%

120%

Ang

kuta

Pas

ar

Jasa

Pen

girim

an

Ang

kuta

n S

akol

ah

Om

pren

gan

Gar

men

Man

ufak

tur/B

engk

el

Dag

ang

Lain

nya

Beralih ke plat kuning Tetap plat hitam

 

Rendahnya keinginan responden untuk beralih dari kendaraan plat hitam ke plat kuning karena

terkendala oleh beberapa hal antara lain karena sebagian besar UKM tidak berijin (usaha

informal). Dari responden UKM yang disurvei, sebanyak 71% mengaku usaha mereka

tidak memiliki ijin usaha, sementara yang memiliki ijin hanya 29 persen. Padahal

dokumen perijinan usaha menjadi salah syarat wajib untuk merubah warna plat

kendaraan dari hitam ke kuning.

Menurut responden, tidak adanya ijin trayek di daerah tersebut memaksa mereka untuk

menggunakan kendaraan plat hitam. Selain itu penggunaan plat hitam dan mobil pribadi akan

memudahkan bisnis dan juga menekan biaya. Sebagai contoh di Pasar Tanah Abang atau di

Mangga Dua di Jakarta, hampir semua pedagangan menggunakan mobil pribadi untuk kebutuhan

transportasi usahanya.

Alasan lain yang mengakibatkan efek inflasi adalah pelepasan harga BBM untuk

mengikuti harga pasar. Kebijakan ini akan mengakibatkan ketidakpastian bagi para

Litbang PDI-P/Pembatasan BBM  

39

Page 43: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

konsumen dan menyulitkan bagi UMKM untuk melakukan perencanaan bisnis. Dengan

rencana pemerintah untuk melakukan peninjauan harga Pertamax dua kali sebulan, maka harga

Pertamax akan sangat fluktuatif dan membuat ketidakpastian biaya produksi. Fluktuasi harga ini

membuat ketidakpastian dalam perhitungan bisnis di kalangan dunia usaha khususnya UMKM.

Fluktuasi harga BBM akan selalu terjadi karena fluktuasi harga minyak mentah di pasar

internasional juga akan selalu berfluktuasi. Apalagi biaya produksi BBM sebagian besar (90-95

persen) disumbangkan oleh biaya pengadaan minyak mentah. Dengan demikian, kebijakan

pembatasan BBM bersubsidi sangat tidak berpihak kepada UMKM karena membiarkan harga

energi bagi kegiatan usaha UMKM terus bergejolak karena pemerintah memaksa harga BBM

untuk selalu disesuaikan dengan harga minyak internasional.

Gambar 14. Harga Minyak Mentah dan Harga Pertamax

-

2,000

4,000

6,000

8,000

10,000

12,000

1-Jan-08 15-Jun-08 15-Nov-08 15-Jun-09 1-Dec-09 1-May-10 1-Oct-100

20

40

60

80

100

120

140

160

Minyak Mentah (skala kanan)

Pertamax (skala kiri)

Rp US$

Litbang PDI-P/Pembatasan BBM  

40

Page 44: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

2.2.4. Berpotensi Menyebabkan Kelangkaan BBM

Disparitas harga antara Premium untuk sepeda motor dan kendaraan umum (atau kendaraan

bermotor lainnya yang nantinya ditetapkan berdasarkan peraturan) dengan Pertamax untuk

kendaraan pribadi, akan mengakibatkan peluang terjadinya black market, khususnya di saat

harga Pertamax mengalami lonjakan harga secara signifikan akibat kenaikan harga minyak

mentah dunia. Peluang terjadinya pasar gelap akan dipicu oleh permintaan Premium oleh

penggunaan kendaraan pribadi berplat hitam dari golongan menengah bawah. Selain itu juga

akan mendorong terjadinya kompetisi dalam mendapatkan Premium yang jumlahnya terbatas

untuk kendaraan pribadi berplat hitam dengan kendaraan umum berplat kuning, sepeda motor

atau sektor yang penurut peraturan diijinkan untuk menggunakan Premium.

Potensi maraknya permintaan Premium bersubsidi oleh pengguna kendaraan pribadi sangat besar

dan akan sangat membahayakan bila kontrol pemerintah tidak memadai. Hasil survei

menunjukkan bahwa sebagian masyarakat pengguna kendaraan berplat hitam yang saat ini

menkonsumsi Premium bersubsidi berniat untuk mencari Premium bersubsidi dengan berbagai

cara bila harga Pertamax sangat tinggi. Artinya, kemungkinan maraknya pasar gelap sangat besar

karena dalam survei sebanyak 30 persen responden berharap untuk bisa memperoleh premium

bersubsidi meningkat dengan cara apapun bila harga Pertamax tinggi.

Pembatasan premium bersubsidi juga akan menyebabkan kelangkaan premium bersubsidi di

daerah-daerah yang jauh dari pompa bensin (SPBU). Pada saat kebijakan pembatasan BBM

bersubsidi tersebut di laksanakan, Pertamina tentu harus melakukan kontrol penualan BBM

bersubsidi misal dengan menggunakan smartcard, membatasi penjualan dengan jerigen, dll. Jika

tidak, maka pembelian BBM bersubsidi akan terjadi oleh masyarakat yang dinilai ’tidak berhak

mendapatkan BBM bersubsidi”.

Padahal untuk daerah-daerah yang jauh dari SPBU, pedagang eceran yang membeli dengan

jerigen memegang peran penting dalam distribusi BBM. Apalagi jika kita melihat jumlah SPBU

yang jumlahnya masih terbatas dan dengan sebaran yang tidak merata. Sebagian besar SPBU (29

Litbang PDI-P/Pembatasan BBM  

41

Page 45: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

Litbang PDI-P/Pembatasan BBM  

42

persen) tersebar di Jawa Barat, Banten dan Jakarta; dan dari jumlah tersebut lebih dari 50

persennya terletak di Jabodetabek.10 Saat ini saja di daerah, harga premium di tingkat eceran

biasanya berkisar dari Rp 5.000/liter untuk daerah yang tidak terlalu jauh dari SPBU. Sementara

di daerah yang berjarak lebih dari 5 km dari SPBU, harga Premiun bersubsidi biasanya lebih dari

Rp 6.000/liter. Untuk daerah yang terpencil bahkan bisa mencapai di atas Rp. 10.000/liter.

Jika penjualan premium bersubsidi dibatasi, harga premium bersubsidi di daerah-daerah yang

jauh dari SPBU niscaya akan melonjak di atas harga saat ini. Lonjakan harga tersebut akan

menyebabkan kenaikan biaya transportasi dan biaya-biaya lain sehingga akan mendorong

kenaikan harga jual. Apalagi jika kemudian terjadi kelangkaan premium, dapat dipastikan beban

ekonomi masyarakat akan semakin berat.

2.3. Banyak Alternatif Kebijakan Yang Lebih Adil Belum Dilakukan

2.3.1. Perbaikan Formula Pembebanan Subsidi BBM dan Bagi Hasil Minyak

Salah satu alasan utama pemerintah melakukan pembatasan BBM bersubsidi adalah

bertambahnya beban anggaran pemerintah akibat tingginya harga minyak dunia dan

meningkatnya konsumsi BBM bersubsidi. Tetapi, alasan tersebut tidak sepenuhnya benar karena                                                             10 Jumlah SPBU di Indonesia berjumlah, 4.667 unit, hanya 1.686 unit SPBU (37%) yang menjual Pertamax, sementara 2.981

SPBU belum memiliki tanki Pertamax. SPBU tersebar di delapan wilayah, Wilayah I: Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau dan Nangroe Aceh Darussallam dengan 625 SPBU; 80 SPBU telah menyediakan Pertamax, 489 SPBU memerlukan modifikasi, dan 56 SPBU memerlukan investasi tambahan. Wilayah II: Bengkulu, Sumatera Selatan, Jambi, Bangka Belitung dan Lampung memiliki 375 SPBU; 109 SPBU telah menyediakan Pertamax, 204 memerlukan modifikasi tangki Pertamax, dan 62 SPBU memerlukan investasi tambahan. Wilayah III: Jawa Barat, Banten dan Jakarta; memiliki 1.336 SPBU: 788 SPBU telah menjual Pertamax, 388 unit harus dimodifikasi dan 170 SPBU memerlukan investasi tambahan. Khusus wilayah Jabodetabek ada 558 SPBUdari total 720 unit, dan hanya 21 SPBU harus menambah investasi baru untuk tanki khusus Pertamax. Wilayah IV: 676 SPBU di Jawa Tengah dan Yogyakarta; 2020 SPBU sudah menjual Pertamax, 394 unit memerlukan modofikasi tangki Pertamax, dan 80 SPBU memerlukan investasi tambahan. Wilayah V: NTT, Bali, Jawa Timur dan NTB, memiliki 1.065 SPBU; 379 SPBU sudah memiliki pompa ada Pertamax, 638 SPBU harus dimodifikasi dan 48 SPBU perlu investasi tambahan. Wilayah VI: Kalimantan dengan 232 SPBU; 67 SPBU sudah menjual Pertamax, 136 SPBU butuh modifikasi, dan 29 unit memerlukan investasi tambahan. Wilayah VII: Sulawesi dengan 305 SPBU; 61 SPBU telah menjual Pertamax, 212 SPBU memerlukan modifikasi tangki Pertamax dan 32 SPBU perlu investasi tambahan. Wilayah VIII: Maluku dan Papua memiliki 53 SPBU yang seluruhnya memerlukan investasi tambahan untuk tangki Pertamax. (data 14 Desember 2010, http://metronews.fajar.co.id/read/111937/10/pembatasan-subsidi-bbm-libatkan-polisi, dan sumber-sumber lain)

Khusus wilayah Jabodetabek ada 558 SPBUyang sudah siap menyalurkan pertamax dari total 720 unit, dan hanya 21 SPBU harus menambah investasi baru untuk tanki khusus Pertamax. (Vice President Pemasaran BBM Retail PT Pertamina (Persero) Basuki Trikora Putra, saat Sosialisasi Pengaturan BBM Bersubsidi 2011 di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Jakarta, Kamis (30/12).

Page 46: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

Litbang PDI-P/Pembatasan BBM  

43

faktanya neraca minyak bumi dan gas kita secara nasional masih surplus. Indonesia tetap

diuntungkan dengan kenaikan harga minyak dunia yaitu dengan adanya tambahan penerimaan

dari sektor minyak bumi dan gas. Untuk neraca pemerintah pusat, memang benar bahwa subsidi

BBM mengalami peningkatan akibat kenaikan harga minyak dunia. Tetapi, peningkatan subsidi

tersebut dapat tertutupi oleh tambahan peningkatan penerimaan pada sektor minyak bumi dan

gas yaitu dari penerimaan PPh migas dan penerimaan SDA migas.

Sebagai contoh, pada neraca migas tahun 2005 yang dirilis, pemerintah menyebutkan bila terjadi

kenaikan harga minyak dunia dari US$ 40 per barel menjadi US$ 60 per barel, dan dengan

asumsi nilai tukar Rp 9.300 per USD, akan meningkatkan subsidi BBM sebesar Rp 70 triliun.

Akan tetapi di sisi lain, penerimaan pemerintah dari sektor minyak bumi dan gas juga meningkat

sekitar Rp 84 triliun. Ini berarti masih ada surplus antara tambahan penerimaan sektor minyak

bumi dan gas dengan tambahan pengeluaran subsidi BBM.

Kondisi yang sama juga akan terjadi saat ini pada saat harga minyak dunia telah meningkat dan

mendekati US$ 100 per barel. Bahkan kemungkinan besar surplus neraca migas akan lebih besar

karena saat ini peningkatan beban subsidi tentu lebih rendah dibanding tahun 2005. Sebagaimana

diketahui porsi terbesar dari subsidi BBM adalah subsidi minyak tanah. Paska program konversi

minyak tanah ke LPG telah dilakukan sejak tahun 2007 maka besaran subsidi BBM sudah

menurun tajam.

Selama ini selain untuk pembayaran subsidi, pemerintah pusat memang mempunyai kewajiban

lain yaitu membagi penerimaan dari peningkatan penerimaan minyak bumi dan gas kepada

Pemerintah Daerah melalui kebijakan Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas. Jika menggunakan

formula saat ini, pembagian Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas akan mengakibatkan

terjadinya peningkatan defisit dalam perhitungan anggaran.11 Peningkatan subsidi BBM akibat

melonjaknya harga minyak dunia, sebenarnya dapat ditutupi oleh kenaikan penerimaan

pemerintahan yang juga akan terjadi di sektor minyak bumi dan gas. Namun, dengan formula

perhitungan Dana Bagi hasil yang ada saat ini, pemerintah harus membagi tambahan penerimaan

minyak bumi dan gas tersebut kepada Pemerintah Daerah sehingga pemerintah pusat akan

                                                            11 Perlu dipahami bahwa ”defisit” yang terjadi akibat Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas bukan merupakan kerugian riil

pemerintah dan masyarakat karena pada dasarnya secara nasional pemerintah tidak mengalami kerugian.

Page 47: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

Litbang PDI-P/Pembatasan BBM  

44

mengalami tambahan defisit. Formula alokasi Dana Bagi Hasil bisa dirubah karena tambahan

subsidi BBM seharusnya juga menjadi beban Pemerintah Daerah, tidak hanya menjadi tanggung

jawab pemerintah pusat.

Menurut Tim Indonesia Bangkit (TIB) ada dua cara yang dapat dilakukan dalam merubah

perhitungan alokasi Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas.12

Pertama, alokasi Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas diperhitungkan berdasarkan dana

penerimaan pemerintah di sektor minyak bumi dan gas setelah dikurangi subsidi BBM. Dengan

kebijakan ini, perhitungan alokasi Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas masih tetap

memperhitungkan fluktuasi harga minyak dunia, akan tetapi dana yang dibagikan adalah dana

penerimaan pemerintah setelah dikurangi pengeluaran subsidi.

Kedua, dengan mematok (freeze) besarnya alokasi Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas.

Langkah kebijakan ini dilakukan dengan mengubah cara perhitungan alokasi Dana Bagi Hasil

minyak bumi dan gas yang semula mengikuti perubahan harga minyak dunia diganti dengan cara

perhitungan alokasi Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas secara tetap (tidak didasarkan pada

harga minyak dunia), berapa pun realisasi harga minyak mentah dunia.

Cara ini akan memberikan alternatif penyelesaian jangka pendek karena beban anggaran tidak

dapat diselesaikan dengan pengurangan subsidi BBM baik dengan kenaikan harga BBM atau

pembatasan BBM bersubsidi. Dengan terobosan ini defisit pemerintah pusat akan menurun dan

ada kelonggaran pemerintah pusat untuk membiayai berbagai program peningkatan

kesejahteraan tanpa harus menghilangkan kewajiban pemerintah untuk membagi dana hasil

penerimaan minyak bumi dan gas kepada Pemerintah Daerah. Langkah kebijakan ini pun tidak

akan merugikan pemerintah dan masyarakat luas karena meskipun Pemerintah Daerah tidak

menerima tambahan alokasi Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas, akan tetapi beban

Pemerintah Daerah akibat naiknya harga BBM, misalnya, gejolak sosial dan bertambahnya

jumlah masyarakat miskin, dll, dapat dihindari.

                                                            12 Paper Tim Indonesia Bangkit (TIB) tahun 2005, ”Kenaikan Harga BBM: Pilihan Akhir yang Harus Didahului Reformasi Tata

Niaga Minyak Bumi dan Gas, Program Anti Kemiskinan yang Efektif, Renegosiasi Utang dan Strategi Diversifikasi Energi masih relevan untuk diterapkan pemerintah KIB II saat ini, Juli 2005. 

Page 48: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

2.3.2. Reformasi Tata Niaga Minyak dan Gas

Tim Indonesia Bangkit dalam papernya juga mengusulkan untuk melakukan terobosan kebijakan

dengan melakukan reformasi tata niaga minyak bumi dan gas dengan cara menghapus brokers

pemburu rente. Telah menjadi rahasia umum, bahwa proses pengadaan dan distribusi BBM oleh

Pertamina sarat dengan KKN dan ketidakefisienan. Selama ini, volume pasokan BBM, baik yang

diproduksi oleh kilang dalam negeri maupun yang diimpor, jauh lebih tinggi dibanding jumlah

BBM yang benar-benar dikonsumsi oleh masyarakat dan industri.

Kebocoran, inefisiensi dan penyalahgunaan BBM bersubsidi bahkan diperkirakan mencapai 25

sampai 30 persen. Selain dalam distribusi dan transmisi BBM, sumber ketidakefisienan lain yang

nyata-nyata merugikan negara adalah pada proses impor yang masih melalui trading companies

(brokers), baik dalam pembelian minyak mentah maupun BBM. Saat ini, mekanisme impor

melalui brokers tersebut menjadi lebih sulit dihapus karena perusahaan brokers terkait dengan

keluarga dan kroni pejabat di pemerintahan. Kerugian negara akibat conflict of interest tersebut

dapat dihapuskan jika Presiden mengambil langkah tegas untuk menghapus berbagai praktek

pemburu rente dalam industri minyak bumi dan gas.

Selain pemborosan uang negara triliunan rupiah per tahun, mekanisme impor melalui brokers

juga memiliki kelemahan lain yaitu hilangnya kesempatan untuk memperoleh kelonggaran dalam

jadwal pembayaran. Brokers pemburu rente tersebut nyaris tidak memiliki kredibilitas dan posisi

tawar untuk menegosiasikan jangka waktu pembayaran dalam pembelian minyak dan BBM

terhadap pemasok besar. Pengadaan BBM selama ini dilakukan secara cash and carry sehingga

sangat memberatkan cashflow Pertamina dan Pemerintah serta menekan nilai tukar rupiah seperti

yang terjadi saat ini.

Menurut TIB, seandainya Pertamina melakukan deal langsung dengan pemasok minyak mentah

dan BBM, besar kemungkinan Pertamina akan memperoleh kelonggaran waktu pembayaran

minimum 3 bulan atau bahkan lebih. Jika hal ini dilakukan, tekanan terhadap cashflow Pertamina

maupun nilai tukar rupiah akan dapat dikurangi. Di samping itu, terdapat berbagai sumber

Litbang PDI-P/Pembatasan BBM  

45

Page 49: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

Litbang PDI-P/Pembatasan BBM  

46

inefisiensi dan KKN yang harus dihapuskan untuk meningkatkan efisiensi, tata niaga minyak

bumi dan gas dan mengurangi pemborosan keuangan negara.13

2.3.3. Model gross PSC Untuk Meningkatkan Bagian Minyak Untuk Pemerintah

Cost recovery adalah pengembalian biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh kontraktor migas,

baik untuk kegiatan eksplorasi, pengembangan maupun produksi. Pengembalian biaya ini

dilakukan setelah lapangan migas berproduksi. Idealnya, bila terjadi peningkatan cost recovery

maka seharusnya diikuti juga dengan kenaikan produksi migas. Ternyata yang terjadi tidak

demikian.

Sejak delapan tahun terakhir cost recovery meningkat mendekati “eksponensial”. Tahun 2002,

nilai cost recovery hanya 2,5 miyar dolar AS, tetapi tahun 2005 nilainya meroket menjadi 7,5

milyar dolar. Bahkan tahun 2009 telah mencapai 11 milyar dolar dan tahun 2010 ini diperkirakan

mencapai 12 milyar dolar. Sayangnya, peningkatan biaya cost recovery ini justru berbanding

terbalik dengan data volume produksi. Tahun 2002, produksi minyak mencapai 1,2 juta barel,

tahun 2005 menurun hingga 1,06 dan tahun 2009 anjlok hingga ke level 876 barel (Tempo, 23

Maret 2010). Pemerintah berdalih bahwa peningkatan cost recovery tahun 2010 ini disebabkan

oleh Blok Tangguh dan Blok Cepu yang sudah mulai dilakukan penggantian biaya karena sudah

mulai berproduksi. Sementara kajian lebih mendalam tidak dapat dilakukan karena tidak tersedia

data detil tentang nama-nama kontraktor yang mengalami kenaikan cost recovery.

Karena itu, patut dilakukan evaluasi kembali terhadap model Production Sharing Contract (PSC)

saat ini yang menggunakan skema penggantian biaya dari Pemerintah kepada kontraktor. Salah

satu model terbaik yang dapat dijadikan adalah model gross PSC. Dalam model gross PSC yang

baru-baru ini ditawarkan oleh Pemerintah, split antara Pemerintah dan Kontraktor ditentukan di

                                                            13 Menurut Tim Indonesia Bangkit, sumber inefisiensi & KKN dalam tata niaga minyak bumi dan gas (perkiraan 2005): 1)

Brokers pemburu rente dalam pembelian impor minyak mentah dan BBM; 2) Impor minyak mentah dari luar negeri untuk diproses didalam negeri sangat besar. Harus dilakukan pengurangan impor minyak mentah dengan melakukan pembelian/swap dengan kontraktor production sharing; 3) Sering terjadi peningkatan komponen biaya dalam pelaksanaan production sharing. Perlu dilakukan audit independen terhadap pelaksanaan kontrak production sharing, terutama komponen biaya; 4) Pertamina dan B.P Migas belum perlu melakukan ekspor minyak mentah, sebaiknya dialihkan untuk memenuhi kebutuhan refinery dalam negeri; 5) Ineffiensi dan rendahnya penggunaan kapasitas dari refinery nacional; 6) Pengisian solar dan migas bersubsidi didalam negeri oleh kapal-kapal berbendera internasional.

Page 50: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

awal, dengan mempertimbangkan biaya ditanggung sendiri oleh kontraktor, yang diambil dari

bagian kontraktor tersebut.

Keunggulan sistem ini setidaknya ada dua. Pertama, Pemerintah tidak perlu lagi bersusah payah

mengontrol realisasi biaya dari para kontraktor migas. Kedua, kontraktor akan berupaya lebih

efisien dalam menjalankan operasinya. Tidak ada lagi istilah “bisnis cost recovery”, yakni

meraup keuntungan dari selisih antara “biaya sebenarnya” dengan “biaya yang dilaporkan”

kepada Pemerintah.

2.3.4. Menaikkan Pajak Kendaraan Bermotor

Untuk menyelesaikan dilema tingginya beban APBN atas subsidi BBM di satu sisi dan

ketidaksiapan ekonomi bila beban biaya BBM meningkat, baik dengan menaikkan harga BBM

maupun dengan melakukan pembatasan BBM bersubsidi, perlu kebijakan alternatif. Salah satu

langkah yang dapat dilakukan adalah mengganti kebijakan pembatasan BBM bersubsidi dengan

menaikkan pajak kendaraan bermotor.

Langkah ini lebih adil di banding melakukan pembatasan BBM bersubsidi karena selama ini

yang lebih banyak menikmati subsidi BBM ternyata kelompok menengah bawah, termasuk yang

tidak memiliki kendaraan bermotor. Sementara, kenaikan pajak bermotor tidak akan membebani

masyarakat bawah yang tidak memiliki kendaraan bermotor. Apalagi bila penerapan kenaikan

pajak kendaraan bermotor didasarkan pada ukuran silinder dan tahun pembuatan sehingga

kenaikan pajak akan lebih tinggi bila mobil semakin mewah dan semakin baru.

Potensi penerimaan negara dari peningkatan pajak bermotor sangat besar. Berdasarkan data dari

kepolisian, sampai tahun 2008 setidaknya ada sekitar 65 juta kendaraan bermotor, yang terdiri

atas 9,8 juta kendaraan pribadi, 2,5 juta bus, 5 juta truk dan sisanya sepeda motor. Seandainya

dilakukan tambahan tarif pajak maka aka nada peningkatan penerimaan pajak kendaraan

bermotor pertahun. Tentu perlu dilakukan kajian mendalam untuk menghitung potensi

penerimaan negara dalam APBN dari peningkatan tarif pajak ini.

Litbang PDI-P/Pembatasan BBM  

47

Page 51: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

Peningkatan tarif pajak tentu akan diberlakukan berbeda untuk setiap kelas dan jenis kendaraan

bermotor. Kenaikan pajak harus adil, sehingga kendaraan roda empat tentu harus dibebani pajak

lebih tinggi dibanding sepeda motor. Penerapannya juga tentu harus bersifat progresif, sehingga

kendaraan ke dua dan seterusnya dikenai pajak yang lebih tinggi. Semakin mewah mobilnya,

tambahan pajaknya juga semakin tinggi. Begitu juga dengan usia kendaraan, semakin tua

semestinya semakin mahal pajaknya. Namun demikian perlu dikaji lebih lanjut sehingga kelas

bawah tidak terbebani oleh kebijakan ini.

Evaluasi juga harus dilakukan atas pembagian pajak kendaraan bermotor. Dalam rangka

pemerataan pembangunan dan peningkatan kemampuan keuangan kabupaten/kota dalam

membiayai fungsi pelayanan kepada masyarakat, pajak provinsi dibagihasilkan kepada

kabupaten/kota, dengan proporsi sebagai berikut:

Tabel 9. Struktur Pembagian Hasil Pajak Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota

Pembagian Jenis Pajak No.

Provinsi (%) Kabupaten/Kota (%)

1 Kendaraan Bermotor 70 30

2 Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor 70 30

3 Pajak Bahan Bakar Kend. Bermotor 30 70

4 Pajak Air Permukaan 50 50

5 Pajak Rokok 30 70

Kombinasikan strategi dan kebijakan subsidi BBM juga ditanggung pemerintah daerah dan

dengan penerapan pajak kendaraan bermotor yang lebih adil, maka tidak akan memaksakan

pemerintah untuk menaikkan harga BBM dengan alasan untuk meringankan APBN karena

APBN akan diselamatkan oleh tambahan penerimaan pajak dan sharing burden subsidi BBM

dengan pemerintah daerah. Menaikkan harga BBM atau melakukan pembatasan BBM bersubsidi

hanya akan melukai rasa keadilan bagi kalangan masyarakat miskin. Memang masyarakat miskin

tidak akan mengkonsumsi BBM secara langsung, tetapi inflasi yang ditimbulkan oleh kenaikan

harga BBM akan berdampak signifikan bagi kelompok masyarakat ini.

Litbang PDI-P/Pembatasan BBM  

48

Page 52: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

III. Kesimpulan

Berdasarkan studi yang dilakukan terhadap data primer dan sekunder yang dikumpulkan oleh

Tim Penelitian, dapat disimpulkan bahwa rencana pembatasan BBM bersubsidi yang akan

dilakukan oleh pemerintah harus ditolak karena beberapa alasan, yaitu:

1. Kebijakan pembatasan BBM bersubsidi melawan amanah konstitusi UUD 1945 dan

mengabaikan kepentingan nasional, karena:

i. pembatasan BBM bersubsidi akan mendukung Peraturan Presiden yang bertentangan

dengan konstitusi UUD 1945. Pemerintah menerbitkan Perpres No. 55 Tahun 2005

Tentang Harga Jual Eceran BBM Dalam Negeri, padahal Mahkamah Konstitusi telah

membatalkan pasal 28 ayat 2 dan 3 UU 22/2001 tentang Migas, yang substansinya

telah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai “bertentangan dengan konstitusi”

– yakni bagian yang memuat harga bahan bakar minyak dan harga gas bumi

diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar.

ii. pembatasan BBM bersubsidi mengabaikan kepentingan nasional dan lebih

memprioritaskan kepentingan asing dan internasional; sesuai dengan agenda

liberalism/neoliberal.

iii. pembatasan BBM bersubsidi akan lebih menguntungkan bisnis asing dan berpotensi

mematikan SPBU nasional berskala kecil.

a. Beralihnya konsumen ke SPBU asing. Konsumen berpeluang untuk berpindah ke

SPBU asing karena jika pembatasan dilakukan, konsumen harus mengkonsumsi

pertamax yang harganya di SPBU Pertamina relatif lebih mahal dibanding SPBU

asing. Belum lagi jika SPBU asing melakukan promosi persaingan melalui

mekanisme non harga, seperti bonus belanja, tempat yang lebih nyaman, dll

b. Penurunan omzet produk pertamina. Ini bisa terjadi jika SPBU Pertamina yang

dimiliki swasta mengalami penurunan omset atau tidak bisa melakukan investasi

tambahan yang diperlukan, sehingga terpaksa dijual oleh pemiliknya kepada

pemodal asing. Jika demikian, SPBU tersebut tentu tidak lagi menjual produk

BBM Pertamina sehingga omzet produk Pertamina berpotensi untuk mengalami

penurunan. Penurunan omzet juga didorong oleh keberadaan SPBU asing yang

Litbang PDI-P/Pembatasan BBM  

49

Page 53: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

berdekatan dengan SPBU Pertamina, selayaknya SPBU asing didorong untuk

membuka SPBU di daerah yang masih belum ada (jarang) SPBU Pertamina.

2. Kebijakan pembatasan BBM bersubsidi yang akan dipaksakan untuk segera

diimplementasikan akan memberikan dampak negatif bagi ekonomi Indonesia. Dampak

pembatasan subsidi terebut akan segera dirasakan oleh kelompok masyarakat menengah

bawah. Data Susenas BPS menunjukkan bahwa 65 persen premium ternyata dikonsumsi

oleh masyarakat kelompok miskin dan menengah bawah (pengeluaran per kapita < 4

dollar AS). Termasuk di dalamnya (29 persen) dikonsumsi oleh kelompok miskin

(pengeluaran per kapita < 2 dollar AS).

Dari survei yang dilakukan, pembatasan subsidi BBM berpotensi untuk:

i. Meningkatkan biaya produksi dan memicu inflasi karena akan meningkatkan biaya

transportasi industri karena sebagian besar kendaraan yang digunakan sebagai sarana

transportasi pengangkutan barang di DKI Jakarta, sekitar 84 persen, merupakan

kendaraan dengan plat hitam. Selain itu, berdasarkan data dari Direktur Lalu Lintas

Polda Metro Jaya tahun 2010, saat ini sebanyak 83 persen dari kendaraan di

Jabodetabek menggunakan premium sebagai bahan bakar. Padahal sebagian besar

pengusaha enggan mengubah kendaraannya menjadi plat kuning, sebanyak 68 persen

responden menyatakan akan tetap menggunakan kendaraan plat hitam dan hanya 9

persen yang sudah menyatakan akan beralih ke plat kuning; meskipun pemerintah

akan meberikan kemudahan bagi kendaraan berplat kuning.

ii. Menaikkan harga jual barang/jasa pada sebagian besar pengusaha UKM. Berdasarkan

survei yang dilakukan di Jabodetabek terhadap para pengusaha yang sebagian

besarnya UKM, sebanyak 42 persen responden menyatakan akan menaikkan harga

barang/jasa yang dijualnya jika harus menggunakan BBM dengan harga Rp 7000/liter

atau lebih. Padahal harga pertamax saat ini sudah mencapai sekitar Rp. 8000/liter.

Jika kebijakan pengurangan subsidi ini telah dilakukan, kenaikan harga ini tentu akan

membebani konsumen.

Litbang PDI-P/Pembatasan BBM  

50

Page 54: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

Pembatasan subsidi BBM juga akan berpotensi menuimbulkan kelangkaan premium di

daerah yang jauh dari SPBU karena sulit dan dibatasinya penjualan premium serta

menaikkan harga lebih tinggi dari yang berlaku selama ini.

3. Masih ada pilihan kebijakan lainnya yang lebih adil, tidak bertentangan dengan konstitusi

dan tidak kontra produktif terhadap ekonomi nasional yang bisa dilakukan sebelum

melakukan pembatasan BBM bersubsidi, seperti misalnya:

i. Perbaikan formula pembebanan subsidi BBM dan bagi hasil minyak, karena salah

satu alasan utama pemerintah melakukan pembatasan BBM bersubsidi adalah

bertambahnya beban anggaran pemerintah akibat tingginya harga minyak dunia

dan meningkatnya konsumsi BBM bersubsidi, dengan cara:

a. Alokasi Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas diperhitungkan

berdasarkan dana penerimaan pemerintah di sektor minyak bumi dan gas

setelah dikurangi subsidi BBM. Dengan kebijakan ini, perhitungan alokasi

Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas masih tetap memperhitungkan

fluktuasi harga minyak dunia, akan tetapi dana yang dibagikan adalah

dana penerimaan pemerintah setelah dikurangi pengeluaran subsidi.

b. Dengan mematok (freeze) besarnya alokasi Dana Bagi Hasil minyak bumi

dan gas. Langkah kebijakan ini dilakukan dengan mengubah cara

perhitungan alokasi Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas yang semula

mengikuti perubahan harga minyak dunia diganti dengan cara perhitungan

alokasi Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas secara tetap (tidak

didasarkan pada harga minyak dunia), berapa pun realisasi harga minyak

mentah dunia.

ii. Reformasi tata niaga minyak dan gas seperti yang diusulkan oleh Tim Indonesia

Bangkit untuk melakukan terobosan kebijakan dengan cara menghapus brokers

atau para pemburu rente. Telah menjadi rahasia umum, bahwa proses pengadaan

dan distribusi BBM oleh Pertamina sarat dengan KKN dan ketidakefisienan.

Selama ini, volume pasokan BBM, baik yang diproduksi oleh kilang dalam negeri

Litbang PDI-P/Pembatasan BBM  

51

Page 55: Laporan Studi Tolak Pembatasan BBM Berbsubidi - Final

Litbang PDI-P/Pembatasan BBM  

52

maupun yang diimpor, jauh lebih tinggi dibanding jumlah BBM yang benar-benar

dikonsumsi oleh masyarakat dan industri.

iii. Model gross PSC untuk meningkatkan bagian minyak untuk pemerintah karena

saat ini cost recovery sudah meningkat tajam, tetapi berbanding terbalik dengan

produksi minyak mentah yang dihasilkan. Karena itu, patut dilakukan evaluasi

kembali terhadap model Production Sharing Contract (PSC) yang saat ini

menggunakan skema penggantian biaya dari Pemerintah kepada kontraktor. Salah

satu model terbaik yang dapat dijadikan adalah model gross PSC yang baru-baru

ini ditawarkan oleh Pemerintah. Dengan model ini, pembagian antara Pemerintah

dan Kontraktor ditentukan di awal, dengan mempertimbangkan biaya ditanggung

sendiri oleh kontraktor, yang diambil dari bagian kontraktor tersebut.

iv. Menaikkan pajak kendaraan bermotor karena peningkatan jumlah subsidi BBM

terjadi karena konsumsi yang meningkat. Kenaikan konsumsi dipicu oleh

bertambahnya jumlah kendaraan bermotor. Untuk mengurangi laju pertambahan

kendaraan bermotor pemerintah dapat memberlakukan kenaikan pajak kendaraan

bermotor atau pajak progresif bagi pemilik kendaraan bermotor lebih dari satu.

Semakin mewah mobilnya, tambahan pajaknya juga semakin tinggi. Begitu juga

dengan usia kendaraan, semakin tua semestinya semakin mahal pajaknya.

Kebijakan seperti ini akan lebih adil karena tidak membebani masyarakat yang

tidak memiliki kendaraan bermotor.