laporan surveilans (edit dwina)
DESCRIPTION
surveilansTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Surveilens menurut A.D.Langmuir adalah pengamatan yang berkesinambungan terhadap
distribusi dan kecenderungan dari insiden (penyakit) melalui pengumpulan data yang sistematik,
konsolidasi dan evaluasi dari laporan-laporan morbiditas dan mortalitas serta data lainnya yang
relevan sekaligus disertai penyebarluasan kepada pihak yang mengetahuinya (Lapau, 2002).
Sedangkan menurut Noor (1997) surveilans epidemiologi merupakan kegiatan pengamatan
secara teratur dan terus menerus terhadap semua aspek kejadian penyakit dan kematian akibat
penyakit tertentu, baik keadaan maupun penyebarannya dalam suatu masyarakat tertentu untuk
kepentingan pencegahan dan penanggulangan.
Jakarta merupakan salah satu kota yang kerap terjadi pencemaran baik di udara, tanah
maupun air, hal itu menyebabkan masyarakat yang tinggal mudah terserang penyakit, terutama
penyakit diare. Diare adalah suatu penyakit dengan tanda-tanda adanya perubahan bentuk dan
konsistensi dari tinja yang melembek sampai mencair dan bertambahnya frekuensi buang air
besar lebih dari biasanya (lebih dari 3 kali dalam 1 hari). Hingga saat ini penyakit diare masih
merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, hal ini dapat dilihat dengan
meningkatnya angka kesakitan diare dari tahun ke tahun (Parashar, 2003).
Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2004, menunjukkan
angka kematian akibat diare adalah 23 per 100 ribu penduduk dan pada balita adalah 75 per 100
ribu balita (Depkes RI, 2005). Diare merupakan penyebab kematian nomor 4 (13,2%) pada
semua umur dalam kelompok penyakit menular. Proporsi diare sebagai penyebab kematian
nomor satu pada bayi postneonatal (31,4%) dan pada anak balita (25,2%) (Riskesdas, 2007).
Serta menurut Depkes RI (2009), insiden diare berkisar antara 400 kasus per 100 penduduk, di
mana 60-70% di antaranya anak-anak di bawah umur 5 tahun. Setiap anak mengalami diare rata-
rata 1 sampai 2 kali setahun dan secara keseluruhan, rata-rata mengalami 3 kali episode diare per
tahun.
Strategi yang digunakan pemerintah dalam pengendalian program diare adalah melalui
surveilans epidemiologi diare, di samping tata laksana penderita sesuai standar, promosi
kesehatan, kegiatan pencegahan, pengelolaan logistik, serta pemantauan dan evaluasi program.
Masih tingginya kasus diare di Indonesia bukan berarti pemerintah tidak melakukan berbagai
upaya yang komprehensif dalam pengendaliannya namun karena kompleksitas dari masalah
diare, termasuk sistem surveilansnya yang membuat diare terus-menerus menjadi masalah di
Indonesia.
Untuk mengetahui masalah pelaksanaan surveilans penyakit diare dan gambaran
epidemiologi dari penyakit tersebut, maka dilakukan pengamatan untuk mengevaluasi sistem
surveilans diare di Puskesmas Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan pada tahun 2013.
B.Tujuan Umum
1. Untuk mengetahui pelaksanaan surveilens epidemiologi penyakit diare di Puskesmas
Pancoran Jakarta Selatan tahun 2013.
2. Untuk mengetahui gambaran epidemiologi penyakit diare di Puskesmas Pancoran Jakarta
Selatan tahun 2013.
3. Untuk mengetahui kecenderungan penyakit diare di Puskesmas Pancoran Jakarta Selatan
tahun 2013.
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
A. Definisi Penyakit Diare
Menurut WHO (1999) secara klinis diare didefinisikan sebagai bertambahnya defekasi
(buang air besar) lebih dari biasanya/ lebih dari tiga kali sehari, disertai dengan perubahan
konsistensi tinja (menjadi cair) dengan atau tanpa darah. Secara klinik dibedakan tiga macam
sindroma diare yaitu diare cair akut, disentri, dan diare persisten.
Sedangkan menurut Depkes RI (2005), diare adalah suatu penyakit dengan tanda-tanda
adanya perubahan bentuk dan konsistensi dari tinja, yang melembek sampai mencair dan
bertambahnya frekuensi buang air besar biasanya tiga kali atau lebih dalam sehari. Diare akut
diberi batasan sebagai meningkatnya kekerapan, bertambah cairan, atau bertambah banyaknya
tinja yang dikeluarkan, akan tetapi hal itu sangat relatif terhadap kebiasaan yang ada pada
penderita dan berlangsung tidak lebih dari satu minggu. Apabila diare berlangsung antara satu
sampai dua minggu maka dikatakan diare yang berkepanjangan (Soegijanto, 2002).
B. Klasifikasi Diare
Ada dua jenis diare menurut Suraatmaja (2002) yaitu diare akut dan diare kronik. Diare
akut adalah diare yang terjadi secara mendadak pada bayi dan anak yang sebelumnya sehat,
sedangkan diare kronik adalah diare yang berkelanjutan sampai 2 minggu atau lebih dengan
kehilangan berat badan atau berat badan tidak bertambah (failure to thrive) selama masa diare
tersebut.
Diare kronik dibagi menjadi beberapa jenis: Persisten diare yaitu diare yang disebabkan
oleh infeksi. Protracted diare yaitu diare yang berlangsung lebih dan 2 minggu dengan tinja cair
dan frekuensi 4 x atau lebih perhari. Diare Intraktabel adalah diare yang timbul berulang kali
dalam waktu singkat ( misalnya 1-3 bulan). Prolonged diare adalah diare yang berlangsung lebih
dan 7 hari. Cronic non specific diarrhea adalah diare yang berlangsung lebih dan 3 minggu tetapi
tidak disertai gangguan pertumbuhan dan tidak ada tanda-tanda infeksi maupun malabsorsi.
C. Etiologi
Etiologi diare akut dapat dibagi dalam beberapa faktor, yaitu faktor infeksi yang dibagi
menjadi infeksi enteral dan parenteral. Infeksi enteral yaitu infeksi yang terjadi pada saluran
pencernaan yang merupakan penyebab utama diare pada anak, meliputi: infeksi bakteri, virus,
parasit, protozoa dan jamur. Bakteri yang sering menjadi penyebab diare adalah Vibrio, E. Coli,
Salmonella, Shigella, Campylobacter, Yersinia, Aeromonas, infeksi virus disebabkan oleh
Enteroovirus, Adenovirus, Rotarovirus, Astrovirus dan infeksi parasit disebabkan oleh cacmg
Ascaris, Trichiuris, Oxyuris, Strongyloides, Protozoa disebabkan oleh Entamoeba histolytica,
Giardia lambia, Ttrichomonas hominis, dan jamur yaitu Candida albicans.
Sementara itu infeksi parenteral yaitu infeksi di bagian tubuh lain di luar alat pencernaan,
seperti Otitis Media Akut (OMA), tonsilitis, bronkopneumonia dan ensefalitis. Keadaan ini
terutama terdapat pada bayi dan anak berumur dibawah 2 tahun.
Etiologi berikutnya adalah faktor malabsopsi. Malabsopsi yang bisa terjadi yaitu terhadap
karbohidrat: disakarida ( intoleransi laktosa, maltosa dan sukrosa), monosakarida (intoleransi
glukosa, fruktosa dan galaktosa). Pada bayi dan anak yang terpenting dan tersering adalah
Iaktosa. Malabsopsi lemak dan protein juga merupakan penyebab timbulnya diare.
Selain infeksi virus, bakteri, jamur dan malabsopsi faktor makanan seperti makanan basi,
beracun, alergi terhadap makanan dan juga fàktor psikologis seperti ketakutan dan kecemasan
juga berkonstribusi terhadap timbulnya diare, walaupun jarang dapat menimbulkan diare
terutama pada anak yang Iebih besar.
Mekanisme dasar penyebab timbulnya diare yaitu pertama terjadinya gangguan osmotik
dimana terjadinya peningkatan tekanan osmotik dalam rongga usus akibat makanan yang tidak
dapat dapat diserap sehingga mengakibatkan teijadinya pergeseran air dan elektrolit kedalam
rongga usus yang merangsang terjadinya diare. Kedua yaitu gangguan sekresi yang terjadi akibat
toksin yang berada di dinding usus, sebingga terjadi peningkatan sekresi air dan elektrolit
melalui saluran pencernaan. Ketiga yaitu gangguan mortalitas usus yang mengakibatkan
terjadinya hiperperistaltik dan hipoperistaltik.
Sedangkan etiologi pada diare kronik sangat komplek dan merupakan gabungan faktor
yang saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Menurut WHO ada beberapa faktor penyebab
diare kronik yaitu adanya infeksi bakteri dan parasit yang sudah resisten terhadap antibiotika/anti
parasit, disertai overgrowth bakteri non-patogen seperti pseudomonas, klebssiella, streptokok,
stafilokok. Kerusakan pada epitel usus pada awalnya akan terjadmya kekurangan enzim laktase
dan protase yang mengakibatkan terjadinyaya maldigesti dan malabsorpsi karbohidrat dan
protein, dan pada tahap lanjut setelah terjadi KEP yang menyebabkan terjadi atropi mukosa
lambung, usus halus disertai kerusakan hepar dan pankreas.
Gangguan imunologis yang terjadi pada anak akan berdampak penurunan path sistem
pertahanan tubuh anak terhadap bakteri, virus, parasit dan jamur yang masuk kedalam usus yang
berkembang deagan cepat, dengan akibat lanjut menjadi diare persisten dan malabsorpsi
makanan yang lebih berat. Faktor lain yang juga menjadi penyebab diare kronik yaitu
penanganan diare yang tidak efektif, penghentian pemberian ASI dan makanan serta pemberian
obat-obatan antimotalitas (Suraatmaja, 2009).
D. Gejala Diare
Gejala diare atau mencret adalah tinja yang encer dengan frekuensi empat kali atau lebih
dalam sehari, yang kadang disertai: muntah, badan lesu atau lemah, panas, tidak nafsu makan,
darah dan lendir dalam kotoran, rasa mual dan muntah-muntah dapat mendahului diare yang
disebabkan oleh infeksi virus. Infeksi bisa secara tiba-tiba menyebabkan diare, muntah, tinja
berdarah, demam, penurunan nafsu makan atau kelesuan. Selain itu, dapat pula mengalami sakit
perut dan kejang perut, serta gejala- gejala lain seperti flu misalnya agak demam, nyeri otot atau
kejang, dan sakit kepala. Gangguan bakteri dan parasit kadang-kadang menyebabkan tinja
mengandung darah atau demam tinggi (Amiruddin, 2007).
Menurut Ngastisyah (2005) gejala diare yang sering ditemukan mula-mula pasien
cengeng, gelisah, suhu tubuh meningkat, nafsu makan berkurang, tinja mungkin disertai lendir
atau darah, gejala muntah dapat timbul sebelum dan sesudah diare. Bila penderita benyak
kehilangan cairan dan elektrolit, gejala dehidrasi mulai nampak, yaitu berat badan menurun,
turgor berkurang, mata dan ubun-ubun besar menjadi cekung, selaput lendir bibir dan mulut serta
kulit tampak kering.
Dehidrasi dapat diklasifikasikan berdasarkan defisit air dan atau keseimbangan serum
elektrolit. Setiap kehilangan berat badan yang melampaui 1% dalam sehari merupakan hilangnya
air dari tubuh. Kehidupan bayi jarang dapat dipertahankan apabila defisit melampaui 15%
(Soegijanto, 2002).
E. Faktor Risiko Diare
1. Faktor Anak
Bayi dan anak balita merupakan kelompok usia yang paling banyak menderita
diare, kerentanan kelompok usia ini juga banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
umur anak, jenis kelamin anak, status gizi anak dan status imunisasi campak.
a. Faktor Umur Anak
Sebagian besar diare terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan. Insidensi tertinggi
terjadi pada kelompok umur 6 sampai 11 bulan, pada saat diberikan makanan pendamping
ASI (Juffrie, 2011). Hal ini dikarenakan belum terbentuknya kekebalan alami dan anak usia
dibawah satu tahun. Pola ini menggambarkan kombinasi efek penurunan kadar antibodi ibu,
kurangnya kekebalan aktif bayi, pengenalan makanan yang mungkin terkontaminasi bakteri
tinja dan kontak langsung dengan tinja manusia atau binatang pada saat bayi mulai
merangkak (Depkes, 1999).
b. Jenis Kelamin Anak
Dari beberapa penelitian yang dilakukan bahwa terdapat perbedaan jumlah kasus
anak laki-laki dan perempuan yang menderita diare. Palupi (2009) dalam penelitiannya
tentang status gizi hubungannya dengan kejadian diare pada anak, menjelaskan bahwa
pasien laki-laki yang menderita diare lebih banyak dan pada perempuan dengan
perbandingan 1,5:1 (dengan proporsi pada anak laki-laki sebesar 60 % dan anak perempuan
sebesar 40%. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Santoso (2005) yang
menyatakan bahwa risiko kesakitan diare pada balita perempuan sedikit lebih rendah
dibandingkan dengan balita laki-laki dengan perbandingan 1: 1,2 walaupun hingga saat ini
belum diketahui penyebab pastinya. Kemungkinan terjadinya hal tersebut dikarenakan pada
anak laki-laki lebih aktif dibandingkan dengan perempuan, sehingga mudah terpapar
dengan agen penyebab diare.
c. Status Gizi
Status gizi pada anak sangat berpengaruh terhadap kejadian penyakit diare. Pada
anak yang menderita kurang gizi dan gizi buruk yang mendapatkan asupan makan yang
kurang mengakibatkan episode diare akutnya menjadi lebih berat dan mengakibatkan diare
yang lebih lama dan sering. Risiko meninggal akibat diare persisten dan atau disentri sangat
meningkat bila anak sudah mengalami kurang gizi. Beratnya penyakit, lamanya dan risiko
kematian karena diare meningkat pada anak-anak yang kurang gizi, apalagi yang menderita
gizi buruk (Palupi, 2009).
d. Status Imunisasi Campak
Menurut Suraatmaja (2007), pada balita, 1-7% kejadian diare berhubungan
dengan campak, dan diare yang terjadi pada campak umumnya lebih berat dan lebih lama
(susah diobati, cendrung menjadi kronis) karena adanya kelainan pada epitel usus. Diare dan
disentri lebih sering terjadi atau berakibat berat pada anak-anak dengan campak. Hal ini
disebabkan karena penurunan kekebalan pada penderita (Depkes, 1999).
2. Faktor Orang tua
Peranan orang tua dalam pencegahan dan perawatan anak dengan diare sangatlah
penting. Faktor yang mempengaruhinya yaitu umur ibu, tingkat pendidikan, pengetahuan ibu
mengenai hidup sehat dan pencegahan terhadap penyakit. Rendahnya tingkat pendidikan ibu
dan kurangnya pengetahuan ibu tentang pencegahan diare dan perawatan anak dengan diare
merupakan penyebab anak terlambat ditangani dan terlambat mendapatkan pertolongan
sehingga beresiko mengalami dehidrasi.
Tingkat pengetahuan ibu, sikap dan perilaku keluarga dalam tatalaksana penderita
diare mencegah terjadinya kondisi anak dengan dehidrasi (Sukawana, 2000). Sementara itu
dari hasil survei yang dilakukan oleh SDKI (2007) terhadap pengetahuan ibu tentang diare
didapatkan data bahwa pengetahuan ibu tentang pemberian paket oralit lebih rendah pada
wanita dengan kelompok umur 15-19 tahun dibandingkan dengan wanita yang lebih tua.
Sementara itu pendidikan ibu mempunyai hubungan yang positif dengan pengetahuan ibu
tentang pemberian paket oralit.
3. Faktor lingkungan
Di daerah kumuh yang padat penduduk, kurang air bersih dengan sanitasi yang
jelek akan mengakibatkan penyakit mudah menular. Pada beberapa tempat, shigellosis yaitu
penyebab diare merupakan penyakit endemik, infeksi dapat berlangsung sepanjang tahun,
terutama pada bayi dan anak-anak yang berumur 6 bulan sampai 3 tahun (Depkes, 1999).
Penularan penyakit diare sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dimana
sebagian besar penularan melalui faecal oral yang sangat dipengaruhi oleh ketersediaan
sarana air bersih dan jamban keluarga yang memenuhi syarat kesehatan serta perilaku sehat
dan keluarga.
a. Hygiene dan Kebersihan
Perilaku hygiene dan kebersihan ibu dan anak mempunyai pengaruh terhadap
pencegahan terjadinya diare pada bayi dan balita, salah satu perilaku hidup bersih yang
sering dilakukan adalah mencuci tangan sebelum dan sesudah makan pada anak dan juga
setelah anak buang air besar (Hira, 2002)
Banyak penyakit mudah ditularkan melalui makanan yang terkontaminasi dari
tangan ke mulut. Perilaku mencuci tangan mengurangi risiko penularan penyakit pada
saluran cerna (tinja) maupun saluran pernafasan. (SDKI, 2007)
Tangan yang kotor dan kuku panjang merupakan sarana berkembang biaknya
agen kuman dan bakteri terutama penyebab penyakit diare. Oleh sebab itu pentingnya orang
tua memperhatikan kebersihan tangan dan kuku pada anak usia bayi dan balita, dimana pada
usia ini anak berada pada tahapan lebih cenderung untuk memasukkan benda atau tangan ke
dalam mulut.
b. Sosial ekonomi
Status ekonomi yang rendah akan mempengaruhi status gizi anggota keluarga.
Hal ini nampak pada ketidakmampuan ekonomi keluarga untuk memenuhi kebutuhan gizi
keluarga khususnya anak balita sehingga mereka cenderung memiliki status gizi kurang
bahkan gizi buruk yang memudahkan balita mengalami diare. Keluarga dengan status
ekonomi rendah biasanya tinggal di daerah yang tidak memenuhi syarat kesehatan sehingga
mudah terserang diare.
Menurut Adisasmito (2007) ada beberapa hal yang mempengaruhi faktor sosial
ekonomi yaitu jumlah balita dalam keluarga, jenis pekerjaan , pendidikan ayah, pendapatan,
jumlah anak dalam keluarga dan faktor ekonomi. Dan berbagai faktor yang diteliti, faktor
ekonomi dan pendapatan keluargalah yang menunjukkan hubungan yang signfikan. Hal ini
menunjukkan bahwa rendahnya status ekonomi keluarga merupakan salah satu faktor risiko
penyebab terjadinya diare terutama pada anak bayi dan balita.
F. Prevalensi Penyakit Diare di Indonesia
Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang
seperti di Indonesia, karena morbiditas dan mortalitasnya yang masih tinggi. Survei morbiditas
yang dilakukan oleh Subdit Diare, Departemen Kesehatan dari tahun 2000 s/d 2010 terlihat
kecenderungan insidens naik. Pada tahun 2000 IR penyakit Diare 301/ 1000 penduduk, tahun
2003 naik menjadi 374 /1000 penduduk, tahun 2006 naik menjadi 423 /1000 penduduk dan tahun
2010 menjadi 411/1000 penduduk. Kejadian Luar Biasa (KLB) diare juga masih sering terjadi,
dengan CFR yang masih tinggi. Pada tahun 2008 terjadi KLB di 69 Kecamatan dengan jumlah
kasus 8133 orang, kematian 239 orang (CFR 2,94%). Tahun 2009 terjadi KLB di 24 Kecamatan
dengan jumlah kasus 5.756 orang, dengan kematian 100 orang (CFR 1,74%), sedangkan tahun
2010 terjadi KLB diare di 33 kecamatan dengan jumlah penderita 4204 dengan kematian 73
orang (CFR 1,74 %.)
Salah satu langkah dalam pencapaian target MDG’s (Goal ke-4) adalah menurunkan
kematian anak menjadi 2/3 bagian dari tahun 1990 sampai pada 2015. Berdasarkan Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), Studi Mortalitas dan Riset Kesehatan Dasar dari tahun ke
tahun diketahui bahwa diare masih menjadi penyebab utama kematian balita di Indonesia.
Penyebab utama kematian akibat diare adalah tata laksana yang tidak tepat baik di rumah
maupun di sarana kesehatan. Untuk menurunkan kematian karena diare perlu tata laksana yang
cepat dan tepat.
1. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
Prevalensi diare dalam Riskesdas 2007 diukur dengan menanyakan apakah
responden pernah didiagnosis diare oleh tenaga kesehatan dalam satu bulan terakhir.
Responden yang menyatakan tidak pernah, ditanya apakah dalam satu bulan tersebut pernah
menderita buang air besar >3 kali sehari dengan kotoran lembek/cair. Responden yang
menderita diare ditanya apakah minum oralit atau cairan gula garam.
Prevalensi diare klinis adalah 9,0% (rentang: 4,2% - 18,9%), tertinggi di Provinsi
NAD (18,9%) dan terendah di DI Yogyakarta (4,2%). Beberapa provinsi mempunyai
prevalensi diare klinis >9% (NAD, Sumatera Barat, Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten,
Nusa Tenggara Barat, Nusa Tengara Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi
Tenggara, Gorontalo, Papua Barat dan Papua) yang dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 1. Prevalensi Diare Menurut Provinsi(Sumber : Riset Kesehatan Dasar tahun 2007)
Bila dilihat per kelompok umur ,diare tersebar di semua kelompok umur dengan prevalensi
tertinggi terdeteksi pada anak balita (1-4 tahun) yaitu 16,7% seperti pada gambar di bawah ini:
Gambar 2. Prevalensi Diare Menurut Kelompok Umur(Sumber : Riset Kesehatan Dasar tahun 2007)
Diare cenderung lebih tinggi pada kelompok pendidikan rendah yang dapat dilihat pada
gambar di bawah ini.
Gambar 3. Prevalensi Diare Menurut Pendidikan (Sumber : Riset Kesehatan Dasar tahun 2007)
2. SDKI
Pada SDKI tahun 2007 dibahas mengenai prevalensi dan pengobatan penyakit
pada anak. SDKI mengumpulkan data beberapa penyakit infeksi utama pada anak umur di
bawah lima tahun (balita), seperti infeksi saluran pernafasan atas (ISPA), pneumonia, diare,
dan gejala demam.
Dari hasil SDKI 2007 didapatkan 13,7% balita mengalami diare dalam waktu dua
minggu sebelum survei, 3% lebih tinggi dari temuan SDKI 2002-2003 (11 persen).
Prevalensi diare tertinggi adalah pada anak umur 12-23 bulan, diikuti umur 6-11 bulan dan
umur 23-45 bulan seperti pada Gambar 4. Dengan demikian seperti yang diprediksi, diare
banyak diderita oleh kelompok umur 6-35 bulan karena anak mulai aktif bermain dan
berisiko terkena infeksi.
Gambar 4. Persentase balita yang diare dua minggu sebelum survei, berdasarkan kelompok umur. (Sumber : SDKI tahun 2007)
BAB III
RANCANGAN SURVEILENS
A. Tujuan Khusus1. Untuk mengetahui masalah pelaksanaan surveilens epidemiologi:
a. Masalah pengumpulan datab. Masalah pengolahan dan analisa datac. Masalah penyebaran informasi dan interpretasid. Diperolehnya kecenderungan penyakit yang bersangkutan
2. Untuk mengetahui gambaran epidemiologi:a. Untuk mengetahui distribusi proporsi penyakit diare menurut orang (usia, sosek,
pekerjaan, dll)b. Untuk mengetahui distribusi proporsi penyakit diare menurut tempat (desa,
kecamatan, dll)c. Untuk mengetahui distribusi proporsi penyakit diare menurut waktu (minggu,
bulan, tahun, dll)d. Diperolehnya trend atau kecenderungan penyakit diare menurut orang
(ditunjukkan garis trend dan persamaannya)e. Diperolehnya trend atau kecenderungan penyakit diare menurut tempat
(ditunjukkan garis trend dan persamaannya)f. Diperolehnya trend atau kecenderungan penyakit diare menurut waktu
(ditunjukkan garis trend dan persamaannya)
B. Metode Pengumpulan data
o Jenis data: sekunder
o Cara pengambilan data: kuantitatif
Waktu pengambilan data : Januari-Desember 2013 Tempat pengambilan data: Puskesmas Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Pengolahan dan analisis data: Petugas hanya mengumpulkan data lalu membuat
grafik
BAB IV
HASIL SURVEILENS
Hasil yang didapat dari Puskesmas Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan selama pelaksanaan surveilans epidemiologi penyakit diare pada tahun 2013 yaitu terdapat beberapa permasalahan di antaranya: tidak ada ukuran morbiditas atau mortalitas yang dibuat oleh petugas puskesmas dan juga data yang dikumpulkan hanya dibuat rekapitulasinya saja ke dalam bentuk tabel dan grafik. Sehingga untuk analisa dan interpretasi data yang dilakukan pun tergolong tidak lengkap.
Berikut merupakan beberapa tabel dan grafik berdasarkan data yang kami peroleh dari Puskesmas Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan selama pelaksanaan surveilans epidemiologi penyakit diare pada tahun 2013:
Tabel 1. Jumlah Penderita Diare Menurut Jenis Kelamindi Puskesmas Kec. Pancoran Tahun 2013
Nama Puskesmas
Laki-Laki
Perempuan
Meninggal
Kec. Pancoran 647 617 0
Laki-LakiPerempuan
600605610615620625630635640645650
647
617
Jumlah Penderita Diare Menurut Jenis Kelamin di Puskesmas Kecamatan Pancoran Tahun 2013
Kec. Pancoran
Jenis Kelamin
Jum
lah
Gambar 5. Jumlah Penderita Diare Menurut Jenis Kelamin di Puskesmas Kec. Pancoran Tahun 2013(Sumber : Puskesmas Kec. Pancoran Tahun 2013)
Dari tabel dan grafik tersebut dapat diketahui bahwa jumlah penderita diare lebih banyak yaitu laki-laki sebesar 647 orang dan penderita perempuan sebesar 617 orang.
Tabel 2. Jumlah Penderita Diare Menurut Usiadi Puskesmas Kec. Pancoran Tahun 2013
Nama Puskesmas0- < 1 tahun
1-4 tahun
≥ 5 tahun
Kec. Pancoran 184 353 727
0- < 1 tahun 1-4 tahun ≥ 5 tahun0
100
200
300
400
500
600
700
800
184
353
727
f(x) = 271.5 x − 121.666666666667R² = 0.954644647151004
Jumlah Penderita Diare Menurut Usia di Puskesmas Kecamatan Pancoran Tahun 2013
Usia
Jum
lah
Gambar 6. Jumlah Penderita Diare Menurut Usia di Puskesmas Kec. Pancoran Tahun 2013(Sumber : Puskesmas Kec. Pancoran Tahun 2013)
Dari tabel dan grafik di atas diketahui bahwa jumlah penderita diare menurut usia paling banyak yaitu berusia ≥ 5 tahun sebesar 727 orang, sedangkan usia 0- < 1 tahun sebesar 184 orang dan usia 1-4 tahun sebesar 353 orang. Trend penyakitnya pun naik karena diare cenderung lebih tinggi pada kelompok usia ≥ 5 tahun.
Tabel 3. Jumlah Penderita Diare Menurut Kelurahandi Puskesmas Kec. Pancoran Tahun 2013
Puskesmas Total PenderitaKec. Pancoran 1264Kel. Pancoran 349Kel. Durentiga 238Kel. Cikoko 277Kel. Pangadegan 444Kel. Rawajati I 424Kel. Rawajati II 374Kel. Kalibata I 181Kel. Kalibata II 367
Kec. Pan
coran
Kel. Pan
coran
Kel. Duren
tiga
Kel. Ciko
ko
Kel. Pan
gadeg
an
Kel. Raw
ajati I
Kel. Raw
ajati II
Kel. Kali
bata I
Kel. Kali
bata II
0
200
400
600
800
1000
1200
14001264
349238 277
444 424 374
181
367
f(x) = − 61.2166666666667 x + 741.416666666667R² = 0.270422595910225
Jumlah Penderita Diare Menurut Kelurahandi Puskesmas Kec. Pancoran Tahun 2013
Kelurahan/ Desa
Jum
lah
Gambar 7. Jumlah Penderita Diare Menurut Kelurahan di Puskesmas Kec. Pancoran Tahun 2013(Sumber : Puskesmas Kec. Pancoran Tahun 2013)
Berdasarkan tabel dan grafik tersebut diketahui bahwa jumlah penderita diare menurut kelurahan paling banyak yaitu Kelurahan Pangadegan sebesar 444 orang, Kelurahan Rawajati I sebesar 424 orang, Kelurahan Rawajati II sebesar 374 orang, Kelurahan Kalibata I sebesar 181 orang, Kelurahan Kalibata II sebesar 367 orang, Kelurahan Pancoran sebesar 349 orang, Kelurahan Durentiga sebesar 238 orang, dan Kelurahan Cikoko sebesar 277 orang.
Trendnya ….
Tabel 4. Jumlah Penderita Diare Menurut Waktudi Puskesmas Kec. Pancoran Tahun 2013
Bulan JumlahJanuari 384Februari 283Maret 247April 325Mei 385Juni 329Juli 295Agustus 317September 305Oktober 274November 379Desember 405
Januari
Febru
ari
Maret
April MeiJuni
Juli
Agustu
s
Septem
ber
Oktober
November
Desember
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
384
283
247
325
385
329295
317 305274
379405
f(x) = 3.30769230769231 x + 305.833333333333R² = 0.0555575789471766
Jumlah Penderita Diare Menurut Waktudi Puskesmas Kecamatan Pancoran tahun 2013
Bulan
Jum
lah
Gambar 8. Jumlah Penderita Diare Menurut Waktu di Puskesmas Kec. Pancoran Tahun 2013(Sumber : Puskesmas Kec. Pancoran Tahun 2013)
Berdasarkan tabel dan grafik tersebut diketahui bahwa jumlah penderita diare menurut waktu paling banyak pada bulan Desember sebesar 405 orang, bulan Januari sebesar 384 orang, bulan Februari 283 orang, bulan Maret 247 orang, bulan April sebesar 325 orang, bulan Mei sebesar 385 orang, bulan Juni sebesar 329 orang, bulan Juli sebesar 295 orang, bulan Agustus sebesar 317 orang, bulan September sebesar 305 orang, bulan Oktober sebesar 274 orang, dan bulan November sebesar 379 orang. Trend penyakitnya pun meningkat karena penyakit diare cenderung lebih tinggi pada bulan Desember.
BAB VPEMBAHASAN
A. Gambaran Epidemiologi
Dari data yg didapat, secara garis besar trend penyakit diare meningkat. Penyebabnya
dapat dilihat dari faktor usia dimana insidensi tertinggi terjadi pada kelompok usia ≥ 5
tahun, karena pada saat usia tersebut diberikan makanan pendamping ASI dan belum
terbentuknya kekebalan alami. Selain itu dapat dilihat dari faktor jenis kelamin paling
banyak yaitu diderita oleh anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Kemungkinan
terjadinya hal tersebut dikarenakan pada anak laki-laki lebih aktif dibandingkan dengan
perempuan, sehingga mudah terpapar dengan agen penyebab diare.
B. Hasil Pelaksanaan Surveilans Epidemiologi
Apakah ada kelemahan2 dari pelaksanaan surveilans ini?Menurutku krn tdk ada lulusan SKM, jd tdk ada yg bisa membuat ukuran2 morbiditas dan mortalitas, apakah perlu pelatihan bagi para petugas puskesmas??
BAB VIKESIMPULAN DAN SARAN
A. KesimpulanInti2nya aja, tolong dibuat per poinAmbil dr latbel, hasil pelaksanaan dan gambaran epid, intinya aja ya
B. SaranDari kelemahan2nya butuh perbaikan atau saran apa?
DAFTAR PUSTAKA
Yang buku2 dulu, baru web
Ada yg ambil dr skripsi/ jurnal, namanya atau pny siapa dan judulnya??