laporan tutorial skenario 2 blok kulit
DESCRIPTION
docTRANSCRIPT
LAPORAN TUTORIAL
BLOK KULIT
“Kepalaku Pitak”
KELOMPOK 19
Wahyu Tri Kusprasetyo G0012228
Muhammad Maftuhul Afif G0012120
Amanda Diah Maharani G0012012
Dwi Bhakti Pertiwi G0012064
Raisa Cleizera Rembulan G0012174
Rr. Miranda Mutia G0012196
Grace Kalpika Taruli Siagian G0012086
Salma Nadia Fauziyah G0012202
Yunika Varestri Anugrah Rizki G0012236
Nisrina Mutia Ariani G0012150
Hanani Kusumasari G0012088
TUTOR :
dr. Murkati, M. Kes.
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
Kepalaku Pitak
Seorang pasien anak laki-laki berusia 6 tahun datang ke klinik diantar ibunya
dengan keluhan rambut pitak dan banyak bisul sejak 1 bulan yang lalu. Awalnya gatal
dan muncul satu bisul, tetapi lama kelamaan bisunya bertambah banyak terasa nyeri
dan rambutnya jadi pitak. Pasien memelihara kucing di rumahnya.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan ujud kelainan kulit : nodul-nodul eritem,
konfluen, plakat dengan lubang-lubang kecil diatas nodul, sebagian lubangnya
tertutup pus. Rambut putus dan mudah dicabut. Terdapat pembesaran kelenjar getah
bening.
Dokter menyarankan dilakukan pemeriksaan penunjang dan dokter akan
melakukan terapi setelah didapatkan hasil dari pemeriksaan penunjang.
BAB II
DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA
Seven Jump
Jump I. Klarifikasi istilah
Dalam skenario ini beberapa istilah yang perlu diklasifikasi adalah sebagai berikut:
1. Konfluen adalah kelainan distribusi dari dua lesi atau lebih yang menjadi satu.
2. Plakat adalah papula datar dengan diameter lebih dari 1 cm
3. Pitak (alopesia areata) adalah bekas luka kepala yang belum atau tidak
ditumbuhi rambut
Jump II. Menentukan/mendefinisikan permasalahan.
Permasalahan pada skenario ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana anatomi dan histologi kulit kepala dan adneksanya?
2. Bagaimana hubungan usia dan jenis kelamin dengan keluhan?
3. Adakah hubungan memelihara kucing dengan keluhan?
4. Bagaimana patogenesis keluhan (gatal, rambut pitak, bisul, nyeri)?
5. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik?
6. Mengapa terjadi pembesaran kelenjar getah bening retroaurikuler?
7. Apa saja pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan?
8. Mengapa rambut putus dan mudah dicabut?
9. Apakah terapi setelah hasil pemeriksaan penunjang?
10. Apa saja diferensial diagnosis dari kasus dalam skenario?
Jump III. Menganalisis permasalahan dan membuat pernyataan sementara dari
permasalahan.
Untuk pertanyaan yang belum terjawab, dimasukkan ke dalam LO (Learning-
Objective) pada Jump V
Histologi Kulit
Kulit adalah organ terbesar dan menempati 16%dari total berat tubuh. Kulit berfungsi pada
termoregulasi, proteksi, fungsi metabolis dan sensasi. Berikut adalah sel-sel yang penting
dalam kulit :
a. Keratinosit adalah materi yang membentuk lapisan terluar kulit dan memproduksi keratin,protein
keras yang menjadi bahan utama rambut, kulit, dan kuku. Mereka dihasilkan pada lapisandasar
epidermis, yang secara bertahap naik melalui berbagai lapisan epidermis yang berbeda
danakhirnya tanggal.
b. Sel melanosit adalah sel penghasil pigmen (melanin) yang paling banyak terdapat di
daerahanogenital, ketiak, dan puting susu. Terbanyak kedua adalah daerah wajah. Sedangkan
yangpaling sedikit ada di lengan atas bagian dalam. Kulit yang gelap menandakan kandungan
melanindalam jumlah banyak, begitu juga sebaliknya.
c. Sel Langerhans berbentuk bintang terutama ditemukan dalam stratum spinosum dari
epidermis.Sel langerhans merupakan makrofag turunan sumsum tulang yang mampu mengikat,
mengolah,dam menyajikan antigen kepada limfosit T, yang berperan dalam perangsangan sel
limfosit T.
d. Sel Merkel bentuknya mirip dengan keratinosit yang juga memiliki desmosom biasanya
terdapatdalam kulit tebal telapak tangan dan kaki.juga terdapat di daerah dekat anyaman
pembuluh darahdan serabut syaraf. Berfungsi sebagai penerima rangsang sensoris.
A. Epidermis terdiri dari 5 lapisan :
1. Stratum Basal (stratum germinativum)
Merupakan lapisan terdalam, terdiri dari lapisantunggal dari sel berbentuk silindris
atau kuboid.Stratum basal berisi sel induk, ditandai denganadanya aktivitas mitosis yang
intens. Sel-sel baruyang dibentuk melalui mitosis ini akan mengisilapisan di atasnya. Semua
sel pada stratum basalbersisi filamen keratin intermediat yangberdiameter 10nm. Seiring
peningkatan sel ke atas, jumlah filamen meningkat sampai mewakiliseparuh dari
jumlah protein total pada stratumkorneum.
2. Stratum Spinosum
Di atas stratum basal terdapat beberapa lapisan selpoligonal yang membentuk
stratum spinosum. Sel-sel lapisan ini terikat satu sama lain oleh desmosom. Sel-sel sering
mengkerut, akibatnya tampak seolah-olah berduri. Inilah sebabnya sel-selnya
disebut prickle (berduri). Pada stratum spinosumdimulai proses keratinisasi. Sitoplasma
sel lapisan ini banyak fibrilnya yang melekat padadinding sel pada desmosom. Lapisan sel
basal dan stratum spinosum bersama-sama disebutsebagai zona germinatif epidermis.
3. Stratum Granulosum
Terdapat 3-5 lapisan sel gepeng yang ditandai granula gelap di dalam sitoplasmanya.
Granulanyaterdiri atas protein yang disebut keratohialin. Inti pada sel ini tampak gelap dan
padat (piknotik).
4. Stratum Lusidum
Lucid berarti terang atau jernih. Stratum lusidum tampak homogen, batas sel tidak
jelas samasekali. Sisa-sisa inti sel gepeng terlihat pada beberapa sel. Sitoplasma
mengandung turunankeratohialin yang disebut eleidin.
5. Stratum Korneum
Lapisan ini merupakan lapisan yang paling superfisial. Sel-sel lapisan ini sudah mati,
tanpa intidan organel. Mereka sangat gepeng dan mirip sisik. Terdapat protein k eratin yang
berasal darieleidin. Sel-sel stratum korneum disatukan oleh lapisan lipid, yang membuat
lapisan ini kedapair.
B. Lapisan Dermis
Dermis terdiri dari jaringan ikat yang menyokong epidermis dan mengikatnya pada
jaringan subkutan (hipodermis) Permukaan dermis sangat tidak teratur dan memiliki banyak
tonjolan(papila dermal) yang menyambung pada tonjolan epidermis. Dermis mengandung 4
macam sel : fibroblast, makrofag, melanosit, dan sel lemak . Dermis terdiri dari 2 lapisan :
1. Stratum Papilare
Terdiri dari jaringan ikat longgar, fibroblas, dan sel jaringan ikat lain , seperti sel mast
danmakrofag. Disebut stratum papilare karena menyumbang bagian besar dari papila
dermal.
2. Stratum Retikular
Lebih tebal, dan terdiri dari jaringan ikat padat tidak teratur, misalnya serabut kolagen,
elastin,dan retikulin. Kolagen muda bersifat lentur dengan bertambah umur menjadi kurang
larutsehingga makin stabil. Memiliki lebih banyak serat dan lebih sedikit sel daripada
stratumpapilare. Bagian bawahnya menonjol ke arah subkutan.
C. Lapisan Hipodermis atau Subkutan
Merupakan kelanjutan dermis, terdiri atas jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak.
Lapisan sel-sel lemak disebut panikulus adiposa, berfungsi sebagai cadangan makanan. Di
lapisan initerdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah, dan getah bening. Tebal tipisnya
jaringan lemak tidak sama. Di abdomen dapat mencapai ketebalan 3 cm, di daerah kelopak
mata danpenis sangat sedikit. Lapisan lemak ini juga merupakan bantalan.
Kulit memiliki 2 jenis kelenjar keringat:
a. kelenjar keringat apokrin
b. kelenjar keringat merokrin
Di samping itu, kelenjar serumen, yang memproduksi kotoran telinga, dan kelenjar susu,
seringdianggap sebagai modifikasi kelenjar keringat.
Anatomi Kulit Kepala
Kulit kepala (scalp) adalah area anatomis yang berbatasan dengan wajah pada
bagian anterior, lateral dan posterior berupa leher. Kulit kepala tersusun atas 5 lapisan
yang dapat disingkat SCALP.
a. Skin/ Kulit kepala merupakan letak rambut tumbuh. Lapisan ini berisi berbagai
kelenjar sebaeceous dan folikel rambut. Pada kulit kepala sangat banyak
ditemukan kelenjar sebaccea.
b. Connective Tissue/ Jaringan ikat. Sebuah lapisan subkutan padat lemak dan
jaringan berserat yang terletak di bawah kulit, yang mengandung saraf dan
pembuluh kulit kepala.
c. Aponeurosis atau disebut aponeurosis epicranial (atau galea aponeurotica).
Lapisan ini merupakan jaringan keras, ikat fibrosa padat yang membentang dari
otot frontalis anterior ke posterior occipitalis.
d. Loose areolar connective tissue/ Lapisan jaringan ikat areolar longgar berfungsi
memberikan kemudahan bidang pemisahan antara bagian atas tiga lapisan dan
tengkorak tersebut. Lapisan ini kadang-kadang disebut sebagai "zona bahaya"
karena kemudahan dimana agen infeksi dapat menyebar melalui pembuluh darah
ke vena emissaria yang bermuara di cranium.
e. Pericranium merupakan lapisan periousteum dari cranium yang memberikan
nutrisi ke tulang dan fungsi perbaikan. Lapisan dapat diangkat dari tulang untuk
memungkinkan penghapusan jendela tulang (kraniotomi).
Vaskularisasi
a. A. Carotis interna
Arteria supratrochlear menuju ke dahi garis tengah. Arteria supratrochlear
merupakan cabang dari cabang ophthalmic dari arteri karotis interna.
Arteria supraorbital menuju ke dahi lateral dan kulit kepala sejauh sebagai vertex.
Arteri supraorbital merupakan cabang dari cabang ophthalmic dari Arteri karotis
interna.
b. A.Carotis exsterna
c. Arteri temporalis superfisial berlanjut cabang frontal dan parietal untuk memasok
banyak daerah kulit kepala.
d. Arteri oksipital yang berjalan posterior untuk memasok banyak aspek posterior
kulit kepala
e. Arteri aurikularis posterior, cabang dari arteri karotis eksternal, naik di belakang
daun telinga untuk memasok kulit kepala di atas dan di belakang daun telinga.
Persarafan
a. Saraf supratrochlear dan saraf supraorbital dari divisi oftalmik dari saraf
trigeminal
b. Nervus Occiptalis Mayor (C2) posterior sampai vertex
c. Nervus Occpitalis Minor (C2) di belakang telinga
d. Nervus Zygomaticotemporal dari divisi maksilaris dari saraf trigeminal
e. Nervus Auriculotemporal dari divisi mandibula dari saraf trigeminal
Saluran limfatik
Saluran limfatik dari setengah posterior saluran kulit kepala menuju nodus
oksipital dan nodus auricularis posterior. Saluran limfatik dari setengah bagian
anterior menuju ke nodus limfaticus parotis akhirnya mencapai nodus submandibula
dan nodus cervicalis profunda.
Interpretasi Pemeriksaan Fisik
Patogenesis Rambut Rontok
Pertumbuhan rambut dipengaruhi oleh dua fakor yaitu keadaan fisiologik dan
keadaan patologik. Nutrisi termasuk dalam keadaan fisiologik yang mempengaruhi
pertumbuhan rambut, keadaan kekurangan protein dan kalori pada manusia atau
disebut juga malnutrisi menyebabkan rambut menjadi kering dan kusam. Sedangkan
nutrisi lainnya yang banyak berpengaruh adalah vitamin B12, asam folat, dan zat
besi. Jika kekurangan zat-zat tersebut dapat menyebabkan kerontokan rambut.
Sedangkan keadaan patologik yang mempengaruhi pertumbuhan rambut
dapat disebabkan oleh peradangan dan obat. Pada pasien lepra, terjadi kerontokan
rambut pada alis dan bulu mata dikarenakan kuman lepra merusak folikel rambut dan
menyebabkan kulit menjadi atrofi. Penyakit eritematosis sifilis stadium II dapat
menyebabkan rambut menipis secara rata maupun setempat secara tidak rata sehingga
disebut moth eaten appearance. Infeksi jamur juga dapat menyebabkan peradangan
yang mengakibatkan kerontokan maupun kerusakan pada batang rambut.
Obat dapat menyebabkan kerontokan jika obat tersebut menghalangi
pembentukan batang rambut seperti obat-obat antineoplasma, seperti bleomisin,
endoksan, vinkristin, dan obat antimitotik, misalnya kolkisin.
Proses Peradangan
Dalam waktu beberapa menit setelah peradangan dimulai, makrofag telah ada di
dalam jaringan dan segera memulai kerja fagositiknya. Bila diaktifkan oleh produk infeksi
dan peradangan, efek yang mula-mula terjadi adalah pembengkakan setiap sel-sel ini dengan
cepat. Selanjutnya, banyak makrofag yang sebelumnya terikat kemudian lepas dari
perlekatannya dan menjauh mobile, membentuk lini pertama pertahanan tubuh terhadap
infeksi selama beberapa jam pertama.
Dalam beberapa jam setelah peradangan dimulai, sejumlah besar netrofil dari darah
mulai menginvasi daerah yang meradang. Hal ini disebabkan oleh produk yang berasal dari
jaringan yang meradang akan memicu reaksi berikut:
1. Produk tersebut mengubah permukaan bagian dalam endotel kapiler, menyebabkan
netrofil melekat pada dinding kapiler di area yang meradang. Efek ini disebut
marginasi.
2. Produk ini menyebabkan longgarnya perlekatan interseluler antara sel endotel kapiler
dan sel endotel vanula kecil sehingga terbuka cukup lebar, dan memungkinkan
netrofil untuk melewatinya dengan cara diapedesis langsung dari darah ke dalam
ruang jaringan.
3. Produk peradangan lainnya akan menyebabkan kemotaksis netrofil menuju jaringan
yang cedera.
Jadi, dalam waktu beberapa jam setelah dimulainya kerusakan jaringan, tempat
tersebut akan diisi oleh netrofil. Karena netrofil darah telah berbentuk sel matur, maka sel-sel
tersebut sudah siap untuk segera memulai fungsinya untuk membunuh bakteri dan
menyingkirkan bahan-bahan asing.
Dalam waktu beberapa jam sesudah dimulainya radang akut yang berat, jumlah
netrofil di dalam darah kadang-kadang menigkat sebanyak 4-5 kali lipat menjadi 15.000-
25.000 netrofil per mikroliter. Keadaan ini disebut netrofilia. Netrofilia disebabkan oleh
produk peradangan yang memasuki aliran darah, kemudian diangkut ke sumsum tulang, dan
disitu bekerja pada netrofil yang tersimpan dalam semsum untuk menggerakkan netrofil-
netrofil ini ke sirkulasi darah. Hal ini membuat lebih banyak lagi netrofil yang tersedia di
area jaringan yanng meradang.
Bersama dengan invasi netrofil, monosit dari darah akan memasuki jaringan yang
meradang dan membesar menjadi makrofag. Setelah menginvasi jaringan yang meradang,
monosit masih merupakan sel imatur, dan memerlukan waktu 8 jam atau lebih untuk
membengkak ke ukuran yang jauh lebih besar dan membentuk lisosom dalam jumlah yang
sangat banyak, barulah kemudian mencapai kapasitas penuh sebagai makrofag jaringan untuk
proses fagositosis. Ternyata setelah beberapa hari hingga minggu, makrofag akhirnya datang
dan mendominasi sel-sel fagositik di area yang meradang, karena produksi monosit baru yang
sangat meningkat dalam sumsum tulang.
Pertahanan tubuh yang keempat adalah peningkatan hebat produksi granulosit dan
monosit oleh sumsum tulang. Hal ini disebabkan oleh perangsangan sel-sel progenitor
granulositik dan monositik di sumsum. Namun hal tersebut memerlukan waktu 3-4 hari
sebelum granulosit dan monosit yang baru terbentuk ini mencapai tahap meninggalkan
sumsum tulang.
Pembentukan Pus
Bila netrofil dan makrofag menelan sejumlah besar bakteri dan jaringan nekrotik,
pada dasarnya semua netrofil dan sebagian besar makrofag akhirnya akan mati. Sesudah
beberapa hari, di dalam jaringan yang meradang akan terbentuk rongga yang mengandung
berbagai bagian jaringan nekrotik, netrofil mati, makrofag mati, dan cairan jaringan.
Campuran seperti ini biasanya disebut pus. Setelah proses infeksi dapat ditekan, sel-sel mati
dan jaringan nekrotik yang terdapat dalam pus secara bertahap akan mengalami autokatalisis
dalam waktu beberapa hari, dan kemudian produk akhirnya akan diabsorpsi ke dalam
jaringan sekitar dan cairan limfe hingga sebagian besar tanda kerusakan jaringan telah hilang.
Gatal
Selama bertahun-tahun rasa gatal (pruritus) dianggap sebagai varian lemah
dari nyeri. Pengalaman sehari-hari mengajarkan bahwa rasa gatal dapat dikurangi
dengan rangsang menyakitkan (noksius), sehingga penderita gatal kronis mempunyai
cara yang kreatif untuk mengurangi rasa gatalnya dengan menggaruk atau mandi
memakai pancuran air panas atau air yang sangat dingin.
Sampai saat ini neurofisiologi rasa gatal masih belum jelas. Terdapar 3 teori
yang diajukan untuk menerangkan mekanisme rasa gatal, yaitu:
1. Teori Spesifitas
Teori ini menyatakan bahwa teradapat suatu kelompok sel saraf sensoris yang
hanya memberikan respon terhadap stimuli pruritogenik. Teori ini didukung oleh
bukti-bukti adanya serabut saraf C spesifik untuk rasa gatal yang menghantarkan
rangsang rasa gatal dari perifer ke sentral dan terdapatya sel saraf yang sensitif
terhadap histamin pada traktus spinotalamikus. Eksperimen pada awal 1980
mendapatkan bahwa peningkatan intensitas rasa gatal menginduksi rasa gatal
yang lebih hebat tetapi tidak menyebabkan nyeri. Hal ini memperkuat teori bahwa
rasa gatal dan nyeri adalah sensasi yang terpisah yang disalurkan melalui jaras
yang berbeda.
2. Teori Intensitas
Teori ini mengatakan bahwa perbedaan intensitas stimulus berperan penting
pada aktivasi serabut saraf. Intensitas stimulus yang rendah akan mengaktivasi
serabut saraf rasa gatal, sedangkan peningkatan intensitas stimulus akan
mengaktivasi serabut saraf nyeri.
Kelemahan teori ini adalah perangsangan dengan stimulus noksius (termal
dan mekanik) pada dosis ambang rangsang tidak menimbulkan rasa gatal.
Pemeriksaan mikroneurografi juga tidak dapat membuktikan kebenaran teori ini.
Pengobatan yang menghambat nyeri tidak dapat menghambat rasa gatal
melainkan malah sebaliknya, menyebabkan rasa gatal.
3. Teori Selektivitas
Teori ini menyatakan bahwa terdapat suatu kelompok nosireseptor aferen
yang secara selektif memberikan respon terhadap stimulus pruritogenik.
Kelompok nosireseptor ini memiliki hubungan sentral yang berbeda dan
mengaktifkan sel saraf pusat yang berbeda pula. Teori ini didukung oleh
penemuan yang mendapatkan bahwa stimulus mekanik, termal dan kimia noksius
dengan memakai bradikinin lebih nyata menginduksi rasa gatal daripada nyeri
pada penderita gatal kronis.
Nyeri
Rasa gatal kronis memiliki banyak persamaan dengan nyeri kronis, keduanya
diduga melalui mekanisme perifer dan sentral. Mediator inflamasi klasik antara lain
prostaglandin, bradikinin, leukotrien, serotonin, pH yang rendah dan substansi P,
dapat mensensitasi nosireseptor secara kimiawi. Mediator inflamasi tersebut
menurunkan ambang rangsang reseptor terhadap mediator lain, sebagai akibatnya
terjadi induksi baik pada nyeri maupun rasa gatal.
1. Sensitasi perifer
Pada penderita gatal kronis, dermatitis atopik dan dermatitis kontak terdapat
peningkatan mediator neurotropin 4 (NT-4) serta ekspresi serum nerve growth
factor (NGF). NGF dan NT-4 juga dapat mensensitasi nosiresptor. Peningkatan
mediator tersebut menunjukkan bahwa pada tingkat perifer terjadi mekanisme
sensitasi yang sama antara nyeri dan rasa gatal sehingga sampai sekarang belum
dapat dibedakan antara nosiresptor dan prurireseptor.
2. Sensitasi sentral
Ada banyak persamaan mekanisme sensitasi sentral pada nyeri dan rasa gatal.
Aktivitas nosireseptor kimia pada penderita gatal kronis menimbulkan sensitasi
sentral sehingga meningkatakan sensitivitas terhadap rasa gatal.
Terdapat dua tipe peningkatan sensitivitas terhadap rasa gatal, yang pertama
adalah aloknesis yang analog dengan alodinia terhadap rangsang nyeri. Alodinia
artinya rabaan atau tekanan ringan yang dalam keadaan normal tidak menimbulkan
rasa nyeri oleh penderita dirasakan nyeri, sedangkan aloknesis adalah rabaan atau
tekanan ringan yang dalam keadaan normal tidak menimbulkan rasa gatal. Aloknesis
sering dijumpai, bahkan pada penderita dermatitis atopik aloknesis merupakan gejala
utama.
Tipe kedua adalah hiperknesis puntat yang analog dengan hiperalgesia. Pada
hiperalgesia, suatu rangsang nyeri berupa tusukan ringan (pinprick) dipersepsi
sebagai nyeri yang lebih hebat disekitar daerah inflamasi, sedangkan hiperknesis
punctat merupakan peningkatan sensitivitas pada rasa gatal dimana suatu rangsang
berupa tusukan ringan yang menginduksi rasa gatal dipersepsi sebagai rasa gatal yang
lebih hebat di daerah sekitar lesi kulit.
Pembesaran Kelenjar Getah Bening
Limfadenitis adalah peradangan kelenjar getah bening (kelenjar limfe)
regional dari lesi primer akibat adanya infeksi dari bagian tubuh yang lain.
Steptococcus dan Staphylococcus adalah penyebab paling umum dari
limfadenitis. Gejala awal limfadenitis adalah pembengkakan kelenjar yang
disebabkan oleh penumpukan cairan jaringan dan peningkatan jumlah sel darah putih
akibat respon tubuh terhadap infeksi.
Pembuluh limfe akan mengallir ke kelenjar getah bening, sehingga dari lokasi
kelenjar getah bening akan diketahui aliran pembuluh limpe yang melewatinya. Jika
dilewati oleh aliran pembuluh limfe yang membawa antigen, maka kelenjar getah
bening akan terinfeksi dan menghasilkan sel-sel pertahanan tubuh yang lebih banyak
sehingga kelenjar membesar. Pembesaran dapat disebabkan oleh penambahan sel-sel
pertahanan tubuh yang berasal dari kelenjar getah bening sendiri seperti limfosit, sel
plasma, monosit, dan histiosit, atau karena datangnya sel neutrofil untuk mengatasi
infeksi di kelenjar getah bening (limfadentis), infiltrasi sel-sel ganas, atau timbunan
dari penyakit metabolit.
Jump IV. Menginventarisasi permasalahan secara sistematis dan pernyataan pada
permasalahn langkah sebelumnya.
Jump V. Merumuskan tujuan pembelajaran.
LO (Learning Objection) yang perlu diketahui pada pertemuan kedua adalah :
1. Bagaimana hubungan usia dan jenis kelamin dengan keluhan?
2. Adakah hubungan memelihara kucing dengan keluhan?
3. Apa saja pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan?
4. Mengapa rambut putus dan mudah dicabut?
5. Apakah terapi setelah hasil pemeriksaan penunjang?
6. Apa saja diferensial diagnosis dari kasus dalam skenario?
Jump VI. Mengumpulkan informasi baru (Belajar Mandiri).
Dermatomikosis
Dermatomikosis
Superfisial
Dermatomikosis
Profunda
Nondermatofitosis
Dermatofitosis
1.Pitiriasis versikolor
2.Piedra hitam
3.Piedra putih
4.Tinea nigra
5.Otomikosis
6.Keratomikosis
1.Tinea pedis
2.Tinea unguium
3.Tinea korporis
4.Tinea kapitis
a.Gray patch ringworm
b.Kerion
c. Black dot ringworm
Jump VII. Melaporkan, membahas, dan menata informasi baru yang diperoleh.
Pemeriksaan Penunjang
a. Pengambilan spesimem
Daerah yang terinfeksi di kerok mengunakan skalpel tumpul sampai pada
daerah rambut yang terinfeksi, akar rambut yang patah dan kulit kepala yang
terinfeksi. Hal ini perlu dilakukan dengan hati-hati karena rambut yang normal
dapat terambil sehingga dapat mengaburkan hasil pemeriksaan. Hasil kerokan di
pindahkan dengan cepat pada kertas cukur, tapi kertas lain dapat digunakan.
Lebih memudahkan bila menggunakan kertas yang berwarna putih dibandingkan
dengan kertas yang berwarna hitam. Alternatif lain daerah tersebut dapat disikat
dengan menggunakan sikat sebanyak 10 kali menggunakan sikat plastik yang
steril selanjutnya sikat tersebut dimasuk kedalam kotak steril dan dibawah ke
laboratorium untuk di kultur.
b. Pemeriksaan mikroskop dan Kultur
Pemerikssan mikroskop dapat mempercepat diognosis namun tidak selamanya
hasilnya positif, patahan rambut yang rontok beserta akarnya dan kerokan kulit
kepala dimasukkan ke dalam larutan potasium hidrosxida 10-30% dan di lihat
dibawah cahaya mikroskop hasil positif apabila pada specimen tersebut terlihat
hifa atau spora. Spesimen yang diambil menggunakan sikat steril tidak dapat
dilihat dibawah mikroskop akan tetapi di kultur pada medium agar misalnya
saboraund kultur bertujuan untuk melihat jenis organisme yang berpengaruh
dalam penentuan terapi. Kultur lebih sensitif dibanding dengan pemeriksaan
mikroskop, hasilnya bisa positif meskipun hasil pemeriksaan mikroskop negatif
akan tetapi hasil kultur baru dapat dilihat setelah empat minggu.
c. Pemeriksaan Lampu Wood
Biasanya digunakan untuk infeksi ectothrix misalnya yang disebabkan oleh
M.canis, M.rivaliery dan M.audouinii, yang menyebabkan rambut terlihat
berwarna hijau terang dibawah lampu wood. Namun untuk infeksi endothrix
biasanya hasilnya negatif di bawah lampu wood, hal ini disebabkan keterbatasan
pemantauan dan skrining dari jenis infeksi tersebut. 13
Apabila terinfeksi
T.schoenleinii menunjukkan warna hijau muda atau biru keputihanan. Sedangkan
yang terinfeksi T. verrucosum menunjukkan hasil negatif pada manusia tapi
pada rambut sapi menunjukkan warna hijau.
d. Pemeriksaan Histologi
Pemeriksaan ini menggunakan cara biopsi kulit pada rambut yang terinfeksi
menggunakan bahan histokimia untuk memudahkan identifikasi jamur penyebab.
Adapun gambaran histologisnya adalah tanda-tanda inflamasi dan destruksi
folikel. Folikulitis supuratif juga bisa terlihat pada bentuk yang lebih sedang
tampak hiperkeratosis, parakeratosis, spongiosis, vasodilatasi dan infiltrasi
perifaskuler yang terinflamasi. Hifa jamur dapat terlihat menggunakan
hematoxilin dan eosin Untuk melihat elemen jamur lainnya menggunakan
periodic acid –Schifft.
Diagnosis Banding
1. Tinea kapitis
Penyakit ini disebut juga ringworm, disebabkan oleh dermatofita antara lain
Trichophyton tonsurans, Trichophyton equinum, Trichophyton verrucosum,
Trichophyton violaceum, Trichophyton schoenleinii, Microsporum gypseum,
Microsporum canis, Microsporum audouinii. Penyakit ini sering ditemui pada
anak-anak dengan prevalensi gender laki-laki lebih dominan. Ekspresi klinis yang
bisa ditemukan di tinea kapitis antara lain:
a. Bercak-bercak meradang skuama, sering dengan alopesia, yang mirip
dermatitis seboroik dan terutama dijumpai pada bayi sampai usia 6-8 bulan.
b. Daerah-daerah bundar dengan skuama difusi dan alopesia akibat patahnya
batang rambut yang meninggalkan puntung-puntung hitam (black dot
ringworm). Kelainan ini jarang dijumpai dan sering disangka alopesia areata.
c. Tipe gray patch berupa plak-plak alopesia berbentuk bundar dengan skuama
yang di dalamnya terdapat rambut patah dekat dengan permukaan kulit
kepala.
d. Dapat terbentuk plak-plak atau nodul-nodul pustular yang nyeri disebut
kerion. Kerion adalah massa mirip tumor dengan indurasi dan pustul akibat
reaksi hipersensitivitas inflamatorik akibat jamur. Kerion dapat menyebabkan
jaringan parut. Infeksi bakteri sekunder bisa terjadi oleh Staphylococcus
aureus dan beberapa mikroorganisme gram negatif di kerion. Sering
ditemukan adenopati regional yang tidak nyeri.
e. Kadang varian pustular, dengan atau tanpa alopesia, dapat mirip dengan
infeksi bakteri.
Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh spesies dermatofita dari genus Trichophyton dan
Microsporum, misalnya T. violaceum, T. gourvilii, T. mentagrophytes, T. tonsurans,
M. audoinii, M. canis, M. ferrugineum.
Epidemiologi
Tinea kapitis adalah infeksi jamur yang mengenai anak – anak berumur antara
4 dan 14 tahun. Walaupun jamur patogen yang terlibat banyak, Trichophyton
tonsurans menjadi penyebab lebih dari 90% kasus di Amerika Utara dan United
Kingdom. Kasus – kasus di perkotaan biasanya didapatkan dari teman – teman atau
anggota keluarga. Kepadatan penduduk, hygien yang buruk dan malnutrisi protein
memudahkan seseorang mendapatkan penyakit ini. Kasus – kasus yang disebabkan
oleh Microsporum canis jarang terjadi dan di dapat dari anak anjing dan anak kucing.
Gejala Klinik
Di dalam klinik tinea kapitis dapat di lihat sebagai 3 bentuk yang jelas ( RIPPON,
1970 dan CONANT dkk, 1971 ).
1. Grey patch ringworm.
Grey patch ringworm merupakan tinea kapitis yang biasanya disebabkan oleh
genus Microsporum dan sering ditemukan pada anak – anak. Penyakit mulai
dengan papul merah yang kecil di sekitar rambut. Papul ini melebar dan
membentuk bercak yang menjadi pucat dan bersisik. Keluhan penderita adalah
rasa gatal. Warna rambut menjadi abu – abu dan tidak berkilat lagi. Rambut
mudah patah dan terlepas dari akarnya, sehingga mudah dicabut dengan pinset
tanpa rasa nyeri. Semua rambut di daerah tersebut terserang oleh jamur, sehingga
dapat terbentuk alopesia setempat.
Tempat – tempat ini terlihat sebagai grey patch. Grey patch yang di lihat
dalam klinik tidak menunjukkan batas – batas daerah sakit dengan pasti. Pada
pemeriksaan dengan lampu wood dapat di lihat flouresensi hijau kekuningan pada
rambut yang sakit melampaui batas – batas grey tersebut. Pada kasus – kasus
tanpa keluahan pemeriksaan dengan lampu wood ini banyak membantu diagnosis
( RIPPON, 1974 ). Tinea kapitis yang disebabkan oleh Microsporum audouinii
biasanya disertai tanda peradangan ringan, hanya sekali – sekali dapat terbentuk
kerion.
2. Kerion
Kerion adalah reaksi peradangan yang berat pada tinea kapitis, berupa
pembengkakan yang menyerupai sarang lebah dengan serbukan sel radang yang
padat disekitarnya. Bila penyebabnya Microsporum caniis dan Microsporum
gypseum, pembentukan kerion ini lebih sering dilihat, agak kurang bila
penyebabnya adalah Trichophyto violaceum. Kelainan ini dapat menimbulkan
jaringan parut dan berakibat alopesia yang menetap, parut yang menonjol kadang
– kadang dapat terbentuk.
3. Black dot ringworm
Black dot ringworm terutama disebabkan oleh Trichophyton tonsurans dan
Trichophyton violaceum. Pada permulaan penyakit, gambaran klinisnya
menyerupai kelainan yang di sebabkan oleh genus Microsporum. Rambut yang
terkena infeksi patah, tepat pada rambut yang penuh spora. Ujung rambut yang
hitam di dalam folikel rambut ini memberi gambaran khas, yaitu black dot, Ujung
rambut yang patah kalau tumbuh kadang – kadang masuk ke bawah permukaan
kulit.
2. Alopesia areata
Merupakan penyakit non-inflamatorik idiopatik yang sering dijumpai,
ditandai oleh daerah-daerah kebotakan non-sikatrisial berbentuk bundar dan
berbatas tegas. Alopesia areata sering mengenai dewasa muda dan anak-anak.
Kadang dijumpai riwayat alopesia areata dalam keluarga. Awitan biasanya
berkaitan dengan stres besar atau krisis kehidupan. Alopesia areata kemungkinan
disebabkan suatu proses autoimun. Kadang bisa berhubungan dengan penyakit
sistemik lainnya seperti vitiligo, Hashimoto disease, dan anemia pernisiosa.
Manifestasi klinis alopesia areata antara lain:
a. Bercak-bercak alopesia yang lonjong, bundar, atau geometrik
b. Kadang kaca pembesar dapat memperlihatkan rambut “tanda seru” halus di
perifer lesi.
c. Peningkatan friksi (bukan licin seperti yang tampak) teraba pada palpasi lesi
karena hilangnya rambut velus.
Etiologi
Penyebab sebenarnya dari alopesia areata tidak diketahui. Faktor yang
mungkin berperan adalah faktor genetik, autoimun dan faktor lingkungan.
1. Genetik
Pentingnya faktor genetik pada alopesia areata ditandai oleh tingginya
frekuensi pada individu dengan keluarga yang mempunyai riwayat alopesia
areata. Dilaporkan, kasus ini berkisar dari 10 sampai 20% kasus, tetapi kasus-
kasus ringan sering diabaikan atau tersembunyi dari jumlah yang sebenarnya
lebih besar. Sekitar 6% dari anak dengan riwayat keluarga alopesia areata akan
beresiko terkena alopesia areata selama masa hidupnya.
Beberapa penelitian telah menunjukkan hubungan antara alopesia areata dan
MHC kelas II antigen HLA-DR4, DR11 (DR5) dan DQ3. Sebelumnya studi
menggunakan serologi typing menyarankan bahwa DR4 dan DR5 dikaitkan
dengan bentuk yang parah dari alopesia areata. Pada studi tersebut ditemukan
peningkatan luas antigen DQ3 pada semua pasien, hal ini menunjukkan sebagai
faktor kerentanan. Pada studi lain yakni studi tentang asosiasi HLA dan hubungan
alopesia areata, dilaporkan ada hubungan antara alel dari HLA-DQB1, * 0302 *
0601, * 0603 dan HLA-DR4, DR6 menggunakan Transmissions Disequilibrium
Test.
2. Autoimun
Banyak bukti yang mendukung hipotesis bahwa alopesia areata adalah kondisi
autoimun. Proses ini diperantarai sel T, antibodi yang ditemukan pada struktur
folikel rambut dimana frekuensinya meningkat pada pasien alopesia areata
dibandingkan dengan subyek kontrol. Dengan menggunakan
immunofluorescence, antibodi pada akar rambut pada fase anagen ditemukan
sebanyak 90% dari pasien dengan alopesia areata dibandingkan dengan subyek
kontrol sebanyak 37%. Respon autoantibodi adalah target beberapa struktur
folikel rambut pada fase anagen. Selubung akar luar adalah struktur yang paling
sering, diikuti oleh selubung akar dalam, matriks, dan batang rambut. Apakah
antibodi ini memainkan peran langsung dalam patogenesis tidak diketahui dengan
pasti. Temuan biopsi dari lesi alopesia areata menunjukkan limfositik
perifollicular di sekitar folikel rambut pada fase anagen. Infiltrat ini terdiri dari sel
T-helper dan pada tingkat lebih rendah, sel T-supresor. CD4 + dan CD8 + limfosit
mungkin memainkan peran penting karena menipisnya hasil subtipe T-sel dalam
pertumbuhan kembali yang lengkap atau sebagian rambut.
Pada alopesia areata kelainan pada respon imunitas humoral tidak terlalu
menonjol. Nilai immunoglobulin (Ig) pada umumnya normal walaupun ada yang
menjumpai sedikit di bawah normal. Pemeriksaan imunoflueoresensi langsung
pada lesi-lesi skalp yang dilakukan oleh Bystrin dkk (1979) menunjukkan
endapan C3 dan kadang-kadang IgG dan IgM sepanjang zona membran basalis
folikel rambut pada 92% kasus alopesia areata. Peneliti lain menjumpai endapan-
endapan IgC, IgM dan C3 baik di zona membran basalis maupun di ruang
interselular sarung akar dalam. Data-data di atas menunjang peranan faktor imun
di dalam patogenesis alopesia areata. Autoantibodi terhadap organ spesifik di
dalam sirkulasi, dijumpai meningkat frekuensinya pada 5 – 25% penderita
alopesia areata. Antibodi-antibodi tersebut adalah terhadap tiroid, sel parietal
gaster dan otot polos serta antinuklear. Tetapi beberapa penulis tidak dapat
membuktikan hubungan antara alopesia areata dengan autoantibodi organ
spesifik. Alopesia areata kadang-kadang dikaitkan dengan kondisi autoimun lain
seperti gangguan alergi, penyakit tiroid, vitiligo, lupus, rheumatoid arthritis, dan
kolitis ulseratif.
3. Faktor Lingkungan
Pemikiran bahwa alopesia areata disebabkan oleh infeksi, baik langsung atau
sebagai akibat dari fokus infeksi, memiliki sejarah yang panjang dan masih tidak
dapat disingkirkan. Laporan sporadis menghubungkan alopesia areata dengan
agen infektif masih terus muncul. Skinner et al. melaporkan menemukan mRNA
untuk sitomegalovirus pada lesi alopesia, tapi ini tidak dikonfirmasi dalam
penelitian selanjutnya. Faktor yang paling sering terlibat dalam memicu alopesia
areata adalah stres psikologis, tetapi pada penelitian masih sulit untuk
menentukan hubungan antara stres dan alopesia areata.
Epidemiologi
Di Amerika Serikat prevalensi pada populasi umum adalah 0.1-0.2%. Insiden
dan prevalensi alopesia areata tidak diketahui.
Diperkirakan bahwa 1,7% dari
penduduk akan mengalami episode alopesia areata selama hidupnya.
Alopesia
areata adalah suatu kondisi jinak dan kebanyakan pasien tanpa gejala, namun dapat
menyebabkan gangguan emosi dan psikososial pada individu yang terkena.
Kesadaran diri tentang penampilan pribadi merupakan hal yang penting. Tidak ada
peningkatan prevalensi alopesia areata pada kelompok etnis tertentu. Data mengenai
rasio jenis kelamin untuk alopesia areata sedikit berbeda dalam literatur. Dalam satu
studi, pada 736 pasien, rasio laki-laki : perempuan dilaporkan 1 : 1.Umur Alopesia
areata dapat terjadi pada semua usia mulai dari lahir sampai akhir dekade kehidupan.
Kasus kongenital telah dilaporkan. Puncak insiden tampaknya terjadi dari usia 15-29
tahun. Sebanyak 44% orang dengan alopesia areata telah mulai terlihat pada usia
kurang dari 20 tahun dan kurang dari 30% orang dengan alopesia areata terlihat pada
usia lebih dari 40 tahun.
Patogenesis
Kelainan yang terjadi pada alopesia areata dimulai oleh adanya rangsangan
yang menyebabkan folikel rambut setempat memasuki fase telogen lebih awal
sehingga terjadi pemendekan siklus rambut. Proses ini meluas, sedangkan sebagian
rambut menetap di dalam fase telogen. Rambut yang melanjutkan siklus akan
membentuk rambut anagen baru yang lebih pendek, lebih kurus, terletak lebih
superfisial pada middermis dan berkembang hanya sampai fase anagen IV . Beberapa
ciri khas alopesia areata dapat dijumpai, misalnya berupa batang rambut tidak
berpigmen dengan diameter bervariasi, dan kadang-kadang tumbuh lebih menonjol ke
atas (rambut-rambut pendek yang bagian proksimalnya lebih tipis di banding bagian
distal sehingga mudah dicabut), disebut exclamation mark hairs atau exclamation
point. Hal ini merupakan patognomosis pada alopesia areata. Bentuk lain berupa
rambut kurus, pendek dan berpigmen yang disebut black dots.
Lesi yang telah lama tidak mengakibatkan pengurangan jumlah folikel.
Folikel anagen terdapat di semua tempat walaupun terjadi perubahan rasio anagen :
telogen. Folikel anagen akan mengecil dengan sarung akar yang meruncing tetapi
tetap terjadi diferensiasi korteks, walaupun tanpa tanda keratinisasi. Rambut yang
tumbuh lagi pada lesi biasanya di dahului oleh rambut velus yang kurang berpigmen.
Gejala Klinik
Lesi alopesia areata stadium awal, paling sering ditandai oleh bercak
kebotakan yang bulat atau lonjong, berbatas tegas. Permukaan lesi tampak halus,
licin, tanpa tanda-tanda sikatriks, atrofi maupun skuamasi. Pada tepi lesi kadang-
kadang tampak exclamation-mark hairs yang mudah dicabut.
Pada awalnya gambaran klinis alopesia areata berupa bercak atipikal,
kemudian menjadi bercak berbentuk bulat atau lonjong yang terbentuk karena
rontoknya rambut. Kulit kepala tampak berwarna merah muda mengkilat, licin dan
halus, tanpa tanda-tanda sikatriks, atrofi maupun skuamasi. Kadang-kadang dapat
disertai dengan eritem ringan dan edema. Bila lesi telah mengenai seluruh atau
hampir seluruh scalp disebut alopesia totalis. Apabila alopesia totalis ditambah pula
dengan alopesia di bagian badan lain yang dalam keadaan normal berambut terminal
disebut alopesia universalis. Gambaran klinis spesifik lainnya adalah bentuk ophiasis
yang biasanya terjadi pada anak, berupa kerontokan rambut pada daerah occipital
yang dapat meluas ke anterior dan bilateral 1-2 inci diatas telinga, dan prognosisnya
buruk. Gejala subjektif biasanya pasien mengeluh gatal, nyeri, rasa terbakar atau
parastesi seiring timbulnya lesi.
Ikeda (1965), setelah meneliti 1989 kasus, mengemukakan klasifikasi alopesia areata
sebagai berikut :
a. Tipe umum
Meliputi 83% kasus terjadi diantara umur 20 – 40 tahun, dengan gambaran
lesi berupa bercak bercak bulat selama masa perjalanan penyakit. Penderita yang
tidak mempunyai riwayat stigmata atopi ataupun penyakit endokrin autonomic,
lama sakitnya biasanya kurang dari 3 tahun. Sebanyak 6% dari penderita alopesia
areata tipe umum akan berkembang menjadi alopesia totalis.
b. Tipe atopik
Meliputi 10% kasus, yang umumnya mempunyai stigmata atopi atau
penyakitnya telah berlangsung lebih dari 10 tahun. Tipe ini dapat menetap atau
mengalami rekurensi pada musim-musim tertentu (perubahan musim). Biasanya
dimulai pada masa kanak-kanak dan 75 % akan berkembang menjadi alopesia
totalis.
c. Tipe prehipertensif
Meliputi 4% kasus dengan riwayat hipertensi pada penderita maupun
keluarganya. Bentuk lesi biasanya reticular. Biasanya dimulai pada usia dewasa
muda dan 39% akan menjadi alopesia totalis.
d. Tipe kombinasi
Meliputi 5% kasus, pada umur > 40 tahun dengan gambaran lesi-lesi bulat
atau retikular. Penyakit endokrin autonomik yang terdapat pada penderita antara
lain berupa diabetes mellitus dan kelainan tiroid. Sekitar 10 % akan menjadi
alopesia totalis.
3. Trikotilomania
Dikenal sebagai pencabutan rambut impulsif, sering terjadi pada gadis muda.
Kerontokan rambut kulit kepala bersifat asimetrik, rambut cenderung patah
dengan panjang berbeda-beda.
Etiologi
Meskipun dianggap ditentukan oleh banyak hal, onsetnya dihubungkan pada
situasi yang penuh stress. Gangguan hubungan ibu dan anak, rasa takut ditinggal
sendirian dan kehilangan objek yang belum lama seringkali dinyatakan sebagai faktor
penting yang berperan dalam gangguan ini. Penyalahgunaan zat mungkin mendorong
perkembangan gangguan.
Dinamik depresif sering dinyatakan sebagai faktor predisposisi tetapi tidak
ada ciri atau gangguan kepribadian tertentu atau yang khas pada pasien
trikotillomania. Beberapa ahli melihat stimulasi terhadap diri sendiri merupakan
tujuan utama perilaku mencabut rambut.
Trikotilomania semakin sering dipandang memiliki substrat yang ditentukan
secara biologis yang dapat mencerminkan aktivitas motorik yang dikeluarkan dengan
tidak tepat. Teori biologi juga mengacu pada perbedaan metabolik dalam sistem
serotonin dan opioid. Anggota keluarga pasien dengan trikotilomania sering memiliki
riwayat “tic, gangguan pengendalian impuls, dan gangguan obsesif kompulsif, yang
lebih menyokong lagi kemungkinan predisposisi genetik.
Epidemiologi
Berdasarkan data epidemiologi didapatkan bahwa puncak onset trikotilomania
ini berkisar antara usia 12-13 tahun. Pada anak-anak tidak ada perbandingan yang
berarti antara populasi laki-laki atau pun perempuan yang terkena trikotilomania.
Pada orang dewasa ditemukan adanya prevalensi sebesar 0.6-3.4% dengan
kecenderungan lebih banyak pada perempuan dibandingkan laki-laki. Namun data ini
masih dikacaukan dengan tipikal pencarian pertolongan yang cenderung dimiliki
perempuan dibandingkan laki-laki.
Jumlah pasien yang mengalami trikotilomania di masyarakat secara relatif
masih sedikit yang diketahui. Secara klinis, mencabut-cabut rambut yang cocok
dengan kriteria trikotilomania ditemukan pada 0.6%-3.9% mahasiswa yang disurvei.
Penelitian lain menunjukkan perbedaan tingkat trikotilomania dalam pengobatan
ditemukan 4.4% pada pasien psikiatri yang rawat inap dan 4.6% pada pasien
gangguan obsesif-kompulsif.
Prevalensi trichotillomania berkisar antara 0,5-3,5 % dengan onset usia rata-
rata 10 sampai 13 tahun. Penyakit ini tujuh kali lebih sering terjadi pada anak-anak
dibandingkan orang dewasa dan anak perempuan 2,5 kali lebih sering daripada anak
laki-laki.
Tidak ada informasi mengenai familial, tetapi satu studi melaporkan bahwa 5
dari 19 orang anak memiliki riwayat keluarga yang mengalami beberapa bentuk
alopesia. Gangguan yang berhubungan adalah obsesif kompulsif, kepribadian ambang
dan gangguan depresif.
Patogenesis
Hingga saat ini penyebab trikotilomania itu sendiri masih belum jelas.
Menurut teori neuro-kognitif gangguan ini disebabkan oleh adanya kelainan pada
basal ganglia pasien sebagaimana diketahui bahwa basal ganglia memiliki peran
dalam membentuk kebiasaan. Kegagalan lobus frontal dalam menghambat kebiasaan
tertentu juga diperkirakan bagian dari pathofisiologi gangguan ini.7
Sebuah studi pencitraan menggunaan Magnetic Resonance Image (MRI) juga
menyatakan bahwa substansi grasia (gray matter) pasien dengan trikotilomania lebih
meningkat kapasitasnya dibandingkan yang tidak memiliki penyakit ini. Peranan
genetik terhadap penyakit ini pun tidak luput dari perhatian peneliti.
Pada suatu penelitian ditemukan adanya mutasi pada gen SLITRK1
sedangkan pada penelitian lainnya mendapatkan adanya perbedaan pada receptor gen
serotonin 2A. Mutasi gen HOXB8 juga menunjukkan perubahan kebiasaan pada tikus
dalam menarik-narik rambut. Pendekatan ilmiah terhadap gen ini merupakan
fenomena baru namun masih belum dapat ditentukan apakah memang ada hubungan
genetic dalam menyebabkan penyakit ini.
Trikotilomania juga biasa disebut trikotilosis atau TTM. Orang dengan
trikotilomania memiliki dorongan yang sangat kuat untuk menarik rambut. Tidak
hanya rambut di kepala, penderita trikotilomania juga kerap merasakan kepuasan dan
kenikmatan setelah mencabut rambut di bagian tubuh yang lain, seperti rambut
kemaluan, rambut ketiak dan sebagainya. Selain kecenderungan yang kuat untuk
menarik rambut berulang-ulang, penderita sering kali merasakan peningkatan
ketegangan sebelum mencabut rambut atau saat mencoba melawan keinginan
mencabut rambut. Kesenangan, kepuasan atau lega tercipta ketika menarik keluar
rambut.
Bila diperhatikan, penderita trikotilomania kerap meninggalkan jejak buruk
terutama pada bagian yang ditumbuhi rambut. Yang sangat jelas adalah kebotakan.
Beberapa orang juga terlihat memiliki alis atau bulu mata yang tipis, bahkan tidak
ada, karena terlalu sering dicabut. Rambut pada penderita trikotilomania tidak
berkembang dengan baik. Sering kali ditemukan helai-helai rambut lama yang rusak
ujungnya. Helai-helai rambut patah dengan ujung yang tak rata. Trikotilomania akan
menyebabkan pertumbuhan rambut baru dengan ujung meruncing.
Gejala Klinis
Menurut The American Psychiatric Association’s Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders, Fifth Edition (DSM-5), trikotilomania termasuk dalam
kategori gangguan obsesif kompulsif dan gangguan terkait. Gangguan ini ditandai
dengan suatu tindakan khusus berupa kebiasaan menarik rambut. Kebiasaan ini
terjadi baik dalam keadaan santai maupun keadaan yang penuh tekanan.
Kriteria diagnosis menurut DSM V, antara lain:
Mencabut rambut sendiri secara rekuren yang menyebabkan kebotakan
yang jelas.
Peningkatan perasaan tegang segera sebelum mencabut rambut atau jika berusaha
untuk menahan perilaku tersebut.
Rasa senang, puas atau reda jika mencabut rambut.
Gangguan tidur tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental lain dan
bukan karena kondisi medis umum (misalnya, kondisi dermatologis).
Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan
dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lainnya.
Gambaran yang esensial dari gangguan ini adalah:
1. Kerontokan rambut kepala yang tampak jelas (noticeable) disebabkan oleh
berulangkali gagal menahan diri terhadap impuls untuk mencabut rambut.
2. Pencabutan rambut biasanya didahului oleh ketegangan yang meningkat dan
setelahnya diikuti dengan rasa lega atau puas.
Diagnosis jangan dibuat apabila sebelumnya ada inflamasi kulit atau
apabila pencabutan rambut dilakukan akibat suatu waham atau halusinasi. Periode
transien menarik rambut pada anak usia dini dapat dianggap suatu "kebiasaan" ringan
dengan jangka waktu terbatas.
Individu yang hadir dengan trikotilomania kronis di masa dewasa sering
melaporkan onset masa remaja awal. Beberapa individu memiliki gejala terus
menerus selama beberapa dekade. Bagi yang lain, gangguan tersebut dapat datang
dan pergi untuk minggu, bulan atau tahunan. Tempat-tempat menarik rambut dapat
bervariasi dari waktu ke waktu.
Banyak individu dengan trikotilomania mencabut rambut dari kepala mereka,
bulu mata, alis, kaki, lengan, wajah, dan region kemaluan. Mereka menarik helai
rambut dengan jumlah yang yang cukup banyak, menjadikan kerontokan rambut
menjadi terlihat. Hal ini menyebabkan banyak ketidaknyamanan, terutama dalam
situasi sosial, dimana mereka akan dapat diamati. Akibatnya, individu dengan
masalah ini berusaha keras untuk menyembunyikan kehilangan rambut ini dengan
memakai topi, wig, kemeja lengan panjang, atau dengan menutup area kebotakan
dengan make up.
Individu trikotilomania bahkan mungkin tidak menyadari bahwa mereka
menarik rambut mereka dan kebanyakannya mengatakan bahwa mereka merasa
bosan atau gugup sebelum mencabut rambut mereka, tapi setelah menariknya keluar,
mereka merasa bersalah, sedih atau marah. Ada juga melaporkan bahwa mereka
mencabut rambut mereka ketika sedang menonton televisi, membaca, berbicara di
telepon atau membawa kendaraan.
Tinea kapitis Alopesia areata Trikotilomania
Definisi Penyakit kulit kepala
dan rambut yang
disebabkan oleh
dermatofita
Penyakit non-
inflamatorik idiopatik
berupa kebotakan
Penyakit psikosomatis
yang pelakunya
mencabut rambutnya
sendiri secara impulsif
Etiologi Dermatofita dari
genus Trichophyton
dan Microsporum
Idiopatik, diduga
autoimun dan
berkaitan dengan
penyakit sistemik lain
Gangguan psikologis
Anamnesis
didapatkan
Memelihara anjing
atau kucing
(Microsporum),
kebiasaan meminjam
sisir orang lain,
sering gatal.
Ada riwayat keluarga
yang mengalami
alopesia areata, stres,
krisis kehidupan,
namun bisa juga tanpa
gejala atau riwayat di
atas. Tidak ada gatal.
Mengeluh rambut
rontok, namun
menyangkal mencabut
sendiri, sering stres
atau gelisah.
UKK Bisa kombinasi
antara alopesia,
nodul, skuama, yang
diikuti infeksi
sekunder bakteri dan
mungkin pembesaran
kelenjar limfe
regional. Bisa
ditemukan gray patch
atau black dot.
Bercak alopesia
simetris, bulat atau
lonjong, berbatas
tegas, tidak ada
skuama, ada rambut
“tanda seru”.
Alopesia asimetrik,
rambut yang patah
panjangnya berbeda-
beda, daerah alopesia
masih ada rambut.
Pemeriksaan
penunjang
Pemeriksaan lampu
Wood (positif pada
Microsporum saja),
Pemeriksaan KOH
positif, biakan jamur
positif dan
teridentifikasi.
Pemeriksaan KOH dan
biakan jamur negatif,
biopsi kulit kepala
ditemukan infiltrat sel
T yang mengelilingi
folikel rambut.
Pada pemeriksaan
trikografi akan
ditemukan rambut
dalam fase anagen
semua dengan jumlah
rambut fase telogen
nol.
Terapi Topikal kurang
bermanfaat, biasanya
digunakan sampo
ketokonazol atau
selenium sulfida,
dikombinasikan
dengan antijamur
sistemik griseofulvin,
itrakonazol,
terbinafin, atau
flukonazol. Bila
nyeri, dapat diberikan
prednison oral
Steroid topikal
superpoten seperti
klobetasol atau
fluosinonid. Jika perlu
dapat diberikan
suntikan steroid
intralesi ke bercak
alopesia bersama
dengan triamsinolon
asetonid. Bila
bertahun-tahun gagal,
dapat dicoba antralin
topikal atau minoksidil
topikal. Selain itu,
juga dibutuhkan
dukungan emosional
terhadap pasien.
Rujuk ke bagian
psikiatri agar gangguan
psikologisnya teratasi.
Tabel 1. Perbandingan diagnosis tinea kapita, alopesia areata, dan trikotilomania
Terapi
Oral
Tinea capitis selalu membutuhkan terapi sistemik karena antifungal topical
tidak dapat masuk sampai ke folikel rambut. Terapi topical hanya digunakan sebagai
terapi adjuvan untuk terapi antifungal sistemik.
Griseofulvin telah menjadi gold standard untuk terapi sistemik tinea capitis.
Griseofulvin bekerja aktif untuk melawan infeksi dermatofita.Hanya saja, kekurangan
dari terapi griseofulvin ini adalah lamanya durasi terapi. Yang dibutuhkan yaitu 6–12
minggu. Antifungal oral yang terbaru dan mulai digunakan adalah terbinafine,
itraconazole, dan fluconazole. Terapi menggunakan obat oral ini membutuhkan waktu
yang lebih singkat. Namun, memang harganya lebih mahal dibandingkan
griseofulvin. Namun, griseofulvin masih menjadi pilihan obat untuk terapi tinea
capitis yang diakibatkan oleh Mikrosporum.
Topikal
Terapi topical yang dapat digunakan sebagai terapi adjuvan adalah
ketokenazole dan selenium sulfide. Obat topical ini tersedia dalam bentuk sampo
selain itu juga dalam bentuk krim fungisida atau lotion. Terapi topical ini telah
diketahui dapat menurunkan penularan dari spora yang mengakibatkan infeksi dan
reinfeksi dari tinea capitis. Selain itu, dapat juga memperceppat durasi terapi dari obat
sistemik. Obat topical yang berbentuk krim topical dan lotion harus diaplikasikan
pada lesi sekali sehari selama seminggu. Sampo harus diaplikasikan ke kulit kepala
dan rambut selama lima menit, dua kali seminggu. Selama 2–4 minggu atau tiga kali
seminggu sampai pasien secara klinis dan pemeriksaan mikologi telah terbebas dari
infeksi mikosis.
Tabel 2. Dosing Regimens for the Treatment of Tinea Capitis
Agen Antifungal Dosis Durasi terapi
Griseofulvin 20-25 mg/kg/hari 6-12 minggu atau sampai
kultur jamur negatif Microsize
Ultramicrosize
10-15mg/kg/hari
Terbinafine 10-20kg : 62.5mg/hari
20-40kg : 125 mg/hari
>40kg : 250 mg/hari
Atau
4-5mg/kg/hari
Tricophyton sp : 2-4 mgg
Microsporum sp : 8-12 mgg
Itraconazole Kapsul : 5mg/kg/hari
Oral : 3mg/kg/hari
Dosis per hari : 2-6 minggu
Fluconazole Dosis per hari : 5-6 mg/kg/hari
Dosis per minggu : 8mg/kg sekali
per minggu
3-6 minggu
8-12 minggu
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Berdasarkan tanda dan gejala dan hasil pemeriksaan di skenario, diagnosis
banding untuk pasien tersebut adalah alopesia areata, tinea kapitis, dan
trikotilomania.
2. Untuk menentukan diagnosis pasti, diperlukan pemeriksaan penunjang seperti
pengambilan spesimen, pemeriksaan mikroskopis dan kultur, pemeriksaan
lampu wood, atau pemeriksaan histologi.
3. Penatalaksanaan dilakukan dengan pemberian obat oral dan/ topikal.
B. Saran
Untuk mahasiswa sebaiknya lebih memperdalam bahan referensi agar
diskusi dapat berjalan dengan lebih lancar. Referensi yang digunakan sebaiknya
lebih dari satu supaya dapat diperoleh pemikiran yang integratif.
DAFTAR PUSTAKA
Goodheart, HP. 2009. Diagnosis Fotografik & Penatalaksanaan Penyakit Kulit.
Jakarta: EGC.
Guyton and Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC
Price and Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis dan Proses-Proses Penyakit.
Jakarta : EGC
Tim Pengarang. 2011. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Ed 5. Jakarta : Badan
Penerbit FKUI
Higgins ME, Fuller CL, Smith CH : Guidelines for the Management of Tinea Capitis.
Br J Dermatol. 2000 april 15; p. 143 ; 53-58 diakses 14 November 2014
Guidelines for the Management of Tinea Capitis in Children oleh Talia Kakourou,
M.D., diakses 7 November 2014
http://emedicine.medscape.com/article/1071854-workup diakses 7 November 2014
http://www.kalbemed.com/Portals/6/09185Hubunganrasagatal.pdf diakses
9 November 2014