laporan tutorial skenario 2 blok tht
DESCRIPTION
Laporan TutorialTRANSCRIPT
LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 2 SEMESTER V
BLOK XVII THT
SINUSITIS MAKSILLARIS ODONTOGEN
DENGAN POLIP NASI
Kelompok B10
1. Afifah Novita Y. G00110062. Astridia M. P.D. G00110423. Desy Mila P. G00110684. Fitri Ika Suryani G00110965. Ivonny Rembulan Z.G00111206. Reza Yunita Sari G0011168
7. Silvia P. Kumalasari G00111988. Andrio Palayukan G00110029. Farchan Azzumar G001109010.Pieter Reinaldo G001115811.Rina Dwi P. G0011174
Tutor : Annang Giri Moelya, dr., Sp. A
PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rongga mulut, rongga hidung, tenggorokan, dan sinus paranasales
merupakan ruangan dalam tengkorak yang saling terhubung satu sama lain,
sehingga keadaan patologis pada salah satu ruangan pun bisa berhubungan
dengan ruangan yang lainnya serta menimbulkan gejala yang saling berhubungan
satu sama lain, seperti pada skenario berikut :
Ada apa dengan hidungku?
Seorang laki-laki 35 tahun, datang dengan keluhan sering pilek dengan
ingus berbau busuk. Pasien juga mengeluh gangguan menghidu dengan nyeri
kepala separuh. Sejak lama, istrinya juga sering mendengar suaminya mengeluh
sakit gigi, tetapi tidak pernah dibawa ke dokter gigi, hanya berkumur air garam
dan rendaman daun sirih, dan jika bengkak menggunakan koyo yang ditempel
pada pipinya. Karena keluhan dirasakan makin berat bahkan terkadang sampai
mengeluarkan darah jika membuang ingus maka ia mengantarkan suaminya ke
Poli THT.
Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior didapat mukosa kavum nasi
hiperemi, konkha hipertrofi, massa putih, discharge kental, kuning kecoklatan.
Pada pemeriksaan orofaring didapatkan post nasal drip, dan gigi gangren pada
M1, M2 kanan atas.
Kemudian dokter merencanakan untuk dilakukan pemeriksaan
penunjang.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah anatomi, fisiologi, dan histologi dari hidung dan sinus
paranasales?
2. Mengapa pasien sering pilek dan ingus berbau busuk serta bagaimana
mekanismenya?
3. Bagaimana mekanisme dari gangguan menghidu?
4. Mengapa pasien mengalami nyeri kepala separuh?
5. Apa hubungan sakit gigi dengan keluhan?
6. Bagaimana progresifitas penyakit gigi yang tidak ditangani dengan
baik?
7. Bagian apakah sebenarnya yang mengalami pembengkakan pada
pasien dan bagaimana mekanismenya?
8. Mengapa bisa terjadi perdarahan waktu pasien mengeluarkan ingus?
9. Bagaimanakah interpretasi hasil pemeriksaan rhinoskopi anterior dan
pemeriksaan orofaring?
10. Pemeriksaan penunjang apa sajakah yang bisa digunakan?
11. Apakah differential diagnosis, diagnosis kerja, penatalaksanaan, dan
komplikasi pada pasien dalam skenario?
12. Bagaimanakah hubungan antara usia dan jenis kelamin dengan
penyakit yang dialami pasien?
C. Tujuan
1. Mahasiswa mampu memahami anatomi, fisiologi, dan histologi dari
hidung dan sinus paranasalis
2. Mahasiswa mampu memahami patogenesis dan patofisiologi dari
kasus
3. Mahasiswa mampu memahami perbandingan differential diagnosis,
pemeriksaan penunjang, tata laksana dan komplikasinya
4. Mahasiswa mampu memahami etiologi dan epidemiologi dari kasus
D. Hipotesis
Pasien pada skenario menderita sinusitis maxillaris odontogen dengan
polip nasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Hidung dan Sinus Paranasales
1. Anatomi Hidung
a. Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramid menonjol pada garis tengah
di antara pipi dengan bibir atas. Struktur hidung luar dapat
dibedakan atas tiga bagian : yang paling atas berupa kubah tulang
yang tak dapat digerakkan, di bawahnya terdapat kubah kartilago
yang sedikit dapat digerakkan, dan yang paling bawah adalah
lobulus hidung yang mudah digerakkan. Berikut bagian-bagiannya
dari atas ke bawah:
i. pangkal hidung (bridge)
ii. dorsum nasi
iii. puncak hidung
iv. ala nasi
v. kolumela
vi. lubang hidung (nares anterior).
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang
rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil
yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang
hidung. Sedangan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa
pasang tulang rawan yang terletak dibagian bawah hidung, yaitu :
i. sepasang kartilago nasalis lateralis superior
ii. sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga
sebagai kartilago alar mayor
iii. beberapa pasang kartilago alar minor
iv. tepi anterior kartilago septum.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala
nasi, tepat dibelakang nares anterior, disebut vestibulum.
Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar
sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise. Tiap
kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial,
lateral, inferior dan superior.
Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum
dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah:
i. lamina perpendikularis os etmoid
ii. vomer
iii. krista nasalis os maksila
iv. krista nasalis os palatina.
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang
rawan dan periostium pada bagian tulang, sedangkan diluarnya
dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding lateral
hidung licin, yang disebut ager nasi dan di belakangnya terdapat
konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Diantara
konka-konka dan dinding lateral hidung terdapt rongga sempit
yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga
meatus yaitu meatus inferior, medianus dan superior. Meatus
inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan
dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara
(ostium) duktus nasolakrimalis.
Meatus medius terletak diantara konka media dan dinding
lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid,
prosesus unsinatus, hiatus semilunaris, dan infundibulum etmoid.
Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung
dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila, dan sinus
etmoid anterior.
b. Hidung Dalam
Struktur ini membentang dari os internum di sebelah
anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga
hidung. Septum nasi merupakan struktur tulang di garis tengah,
secara anatomi membagi organ menjadi dua hidung. Selanjutnya,
pada dinding lateral hidung terdapat pula konka dengan rongga
udara yang tak teratur diantaranya meatus superior, media dan
inferior. Sementara kerangka tulang tampaknya menentukan
diameter yang pasti dari rongga gubah resistensi, dan akibatnya
tekanan dan volume aliran udara inspirasi dan eksprasi. Diameter
yang berbeda-beda disebabkan oleh kongesti dan dekongesti
mukosa, perubahan badan vaskular yang dapat mengembang pada
konka dan septum atas, dan dari krusta dan deposit atau sekret
mukosa. Hiatus semilunaris dari meatus media merupakan muara
sinus frontalis, etmoidalis dan sinus maksilaris. Sel-sel sinus
etmoidalis posterior bermuara pada resesus sfenoetmoidalis.
2. Sinus Paranasales
Manusia mempunyai sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan
bagian lateral rongga udara hidung dengan jumlah, bentuk, ukuran, dan
simetri bervariasi. Sinus-sesuai yaitu sinus maksilaris, sfenoidalis,
frontalis, dan atmoidalis. Yang terakhir biasanya berupa kelompok-
kelompok sel etmoidalis anterior dan posterior yang saling
berhubungan, masing-masing kelompok bermuara ke dalam hidung.
Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernapasan yang mengalami
modifikasi dan mampu menghasilkan mukus dan bersilia, sekret
disalurkan ke dalam rongga hidung. Pada orang sehat, sinus terutama
berisi udara.
Sinus maksilaris rudimenter atau antrum umumnya telah
ditemukan pada saat lahir. Sinus paranasalis lainnya timbul pada anak-
anak dalam tulang wajah. Tulang-tulang ini bertumbuh melebihi
kranium yang menyangganya. Dengan teresorpsinya bagian tengah
yang keras, maka membran mukosa hidung menjadi tersedot ke dalam
rongga yang baru terbentuk.
B. Histologi Sel-Sel Penyusun Mukosa Hidung dan Nasofaring
Luas permukaan kavum nasi kurang lebih 150 cm2 dan total
volumenya sekitar 15 ml. Sebagian besar dilapisi oleh mukosa
respiratorius. xxvii
Secara histologis, mukosa hidung terdiri dari palut lendir (mucous
blanket), epitel kolumnar berlapis semu bersilia, membrana basalis, lamina
propria yang terdiri dari lapisan subepitelial, lapisan media dan lapisan
kelenjar profunda (Mygind 1981).
1. Epitel
Epitel mukosa hidung terdiri dari beberapa jenis, yaitu epitel
skuamous kompleks pada vestibulum, epitel transisional terletak tepat
di belakang vestibulum dan epitel kolumnar berlapis semu bersilia
pada sebagian mukosa respiratorius. Epitel kolumnar sebagian besar
memiliki silia. Sel-sel bersilia ini memiliki banyak mitokondria yang
sebagian besar berkelompok pada bagian apeks sel. Mitokondria ini
merupakan sumber energi utama sel yang diperlukan untuk kerja silia.
Sel goblet merupakan kelenjar uniseluler yang menghasilkan mukus,
sedangkan sel basal merupakan sel primitif yang merupakan sel bakal
dari epitel dan sel goblet. Sel goblet atau kelenjar mukus merupakan
sel tunggal, menghasilkan protein polisakarida yang membentuk
lendir dalam air. Distribusi dan kepadatan sel goblet tertinggi di
daerah konka inferior sebanyak 11.000 sel/mm2 dan terendah di
septum nasi sebanyak 5700 sel/mm2. Sel basal tidak pernah mencapai
permukaan. Sel kolumnar pada lapisan epitel ini tidak semuanya
memiliki silia (Higler 1989; Ballenger 1996; Weir 1997).
Kavum nasi bagian anterior pada tepi bawah konka inferior 1
cm dari tepi depan memperlihatkan sedikit silia (10%) dari total
permukaan. Lebih ke belakang epitel bersilia menutupi 2/3 posterior
kavum nasi (Ballenger 1996; Higler 1997; Weir 1997).
Silia merupakan struktur yang menonjol dari permukaan sel.
Bentuknya panjang, dibungkus oleh membran sel dan bersifat mobile.
Jumlah silia dapat mencapai 200 buah pada tiap sel. Panjangnya
antara 2-6 μm dengan diameter 0,3 μm. Struktur silia terbentuk dari
dua mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi sembilan pasang
mikrotubulus luar. Masing-masing mikrotubulus dihubungkan satu
sama lain oleh bahan elastis yang disebut neksin dan jari-jari radial.
Tiap silia tertanam pada badan basal yang letaknya tepat dibawah
permukaan sel (Higler 1989; Ballenger 1996; Weir 1997).
Pola gerakan silia yaitu gerakan cepat dan tiba-tiba ke salah
satu arah (active stroke) dengan ujungnya menyentuh lapisan mukoid
sehingga menggerakan lapisan ini.. Kemudian silia bergerak kembali
lebih lambat dengan ujung tidak mencapai lapisan tadi (recovery
stroke). Perbandingan durasi geraknya kira-kira 1 : 3. Dengan
demikian gerakan silia seolah-olah menyerupai ayunan tangan seorang
perenang. Silia ini tidak bergerak secara serentak, tetapi berurutan
seperti efek domino (metachronical waves) pada satu area arahnya
sama (Ballenger 1996)
Gerak silia terjadi karena mikrotubulus saling meluncur satu
sama lainnya. Sumber energinya ATP yang berasal dari mitokondria.
ATP berasal dari pemecahan ADP oleh ATPase. ATP berada di
lengan dinein yang menghubungkan mikrotubulus dalam
pasangannya. Sedangkan antara pasangan yang satu dengan yang lain
dihubungkan dengan bahan elastis yang diduga neksin (Mygind 1981;
Waguespack 1995; Ballenger 1996).
Mikrovilia merupakan penonjolan dengan panjang maksimal
2 μm dan diameternya 0,1 μm atau 1/3 diameter silia. Mikrovilia tidak
bergerak seperti silia. Semua epitel kolumnar bersilia atau tidak
bersilia memiliki mikrovilia pada permukaannya. Jumlahnya
mencapai 300-400 buah tiap sel. Tiap sel panjangnya sama.
Mikrovilia bukan merupakan bakal silia. Mikrovilia merupakan
perluasan membran sel, yang menambah luas permukaan sel.
Mikrovilia ini membantu pertukaran cairan dan elektrolit dari dan ke
dalam sel epitel. Dengan demikian mencegah kekeringan permukaaan
sel, sehingga menjaga kelembaban yang lebih baik dibanding dengan
sel epitel gepeng ( Waguespack 1995; Ballenger 1996 ).
2. Palut Lendir
Palut lendir merupakan lembaran yang tipis, lengket dan liat,
merupakan bahan yang disekresikan oleh sel goblet, kelenjar
seromukus dan kelenjar lakrimal. Terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan
yang menyelimuti batang silia dan mikrovili (sol layer) yang disebut
lapisan perisiliar. Lapisan ini lebih tipis dan kurang lengket. Kedua
adalah lapisan superfisial yang lebih kental (gel layer) yang ditembus
oleh batang silia bila sedang tegak sepenuhnya. Lapisan superfisial ini
merupakan gumpalan lendir yang tidak berkesinambungan yang
menumpang pada cairan perisiliar dibawahnya (Waguespack 1995;
Ballenger 1996; Weir 1997; Lindberg 1997).
Cairan perisiliar mengandung glikoprotein mukus, protein
serum, protein sekresi dengan berat molekul rendah. Lapisan ini
sangat berperanan penting pada gerakan silia, karena sebagian besar
batang silia berada dalam lapisan ini, sedangkan denyutan silia terjadi
di dalam cairan ini. Lapisan superfisial yang lebih tebal utamanya
mengandung mukus. Diduga mukoglikoprotein ini yang menangkap
partikel terinhalasi dan dikeluarkan oleh gerakan mukosiliar, menelan
dan bersin. Lapisan ini juga berfungsi sebagai pelindung pada
temperatur dingin, kelembaban rendah, gas atau aerosol yang
terinhalasi serta menginaktifkan virus yang terperangkap (Ballenger
1996; Weir 1997).
Kedalaman cairan perisiliar sangat penting untuk mengatur
interaksi antara silia dan palut lendir, serta sangat menentukan
pengaturan transportasi mukosiliar. Pada lapisan perisiliar yang
dangkal, maka lapisan superfisial yang pekat akan masuk ke dalam
ruang perisiliar. Sebaliknya pada keadaan peningkatan perisiliar, maka
ujung silia tidak akan mencapai lapisan superfiasial yang dapat
mengakibatkan kekuatan aktivitas silia terbatas atau terhenti sama
sekali (Sakakura 1994).
3. Membrana Basalis
Membrana basalis terdiri atas lapisan tipis membran rangkap
dibawah epitel. Di bawah lapisan rangkap ini terdapat lapisan yang
lebih tebal yang terdiri dari atas kolagen dan fibril retikulin (Mygind
1981).
4. Lamina Propia
Lamina propria merupakan lapisan dibawah membrana
basalis. Lapisan ini dibagi atas empat bagian yaitu lapisan subepitelial
yang kaya akan sel, lapisan kelenjar superfisial, lapisan media yang
banyak sinusoid kavernosus dan lapisan kelenjar profundus. Lamina
propria ini terdiri dari sel jaringan ikat, serabut jaringan ikat, substansi
dasar, kelenjar, pembuluh darah dan saraf (Mygind 1981; Ballenger
1996).
C. Fisiologi Hidung dan Sinus Paranasales
1. Fungsi Hidung
b. Fungsi Respirasi
Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi
melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan
kemudian turun ke bawah arah nasofaring. Aliran udara di hidung
ini berbentuk lengkungan atau arkus. Udara yang dihirup akan
mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Pada musim panas,
udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit
penguapan udara inspirasi oleh palut lendir, sedangkan pada
musim dingin akan terjadi sebaliknya.
c. Fungsi Penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap
dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka
superior dan sepertiga bagian atas septum, Partikel bau dapat
mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau
bila menarik napas dengan kuat.
d. Fungsi Fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika
berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan
resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau
(rinolalia). Hidung membantu pembentukan konsonan nasal
(m,n,ng), rongga mulut tertutup dan hidung terbuka dan palatum
molle turun untuk aliran udara.
e. Fungsi Statik
Hidung memiliki fungsi statik dan mekanik untuk
meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma, dan
perlindungan terhadap panas.
f. Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang
berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan.
Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin dan napas
berhenti. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi
kelenjar liur, lambung dan pankreas.
2. Fungsi Sinus Paranasales
a. Pengatur Kondisi Suara (Air Conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruangan tambahan untuk
memanaskan dan mengatur kelembaban udara respirasi. Keberatan
karena teori ini ialah karena ternyata tidak didapati pertukaran
udara yang definitif antara sinus dan rongga hidung.
b. Sebagai Penahan Suhu
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas,
melindungi orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang
berubah- ubah. Akan tetapi kenyataanya sinus- sinus yang besar
tidak terletak diantara hidung dan organ- organ yang dilindungi.
c. Pembantu Keseimbangan Kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi
berat tulang muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti
dengan tulang, hanya akan memberikan pertambahan berat sebesar
1% dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak bermakna.
d. Pembantu Resonansi Suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi
suara dan mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang
berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan
sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif, lagipula tidak ada
korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-
hewan tingkat rendah.
e. Peredam Perubahan Tekanan Udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar
dan mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.
f. Produksi Mukus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang
jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung,
namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk
dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus
medius, tempat yang paling strategis.
3. Sistem Pertahanan Transport Mukosilier
System transport mukosilier merupakan system pertahanan
aktif rongga hidung terhadap virus, bakteri, jamur, atau partikel
berbahaya lain yang terhirup bersama udara. Bisa juga diartikan
sebagai suatu mekanisme mukosa hidung untuk membersihkan dirinya
dengan mengangkut partikel-partikel asing yang terperangkap pada
palut lendir ke arah nasofaring (Weir, 1997). Efektivitas system
transport mukosilier dipengaruhi oleh kualitas silia dan palut lendir.
Palut lendir dihasilkan oleh sel-sel goblet pada epitel dan kelenjar
seruminosa submukosa. Bagian permukaan palut lendir terdiri dari
cairan mucus elastic yang mengandung protein plasma seperti
albumin, IgG, IgM, dan factor komplemen. Sedangkan bagian
bawahnya terdiri dari cairan serosa yang mengandung laktoferin,
lisozim, inhibitor lekoprotease sekretorik, dan IgA sekretorik
(Damayanti, 2007).
Glikoprotein yang dihasilkan oleh sel mucus penting untuk
pertahanan local yang bersifat antimicrobial. IgA berfungsi untuk
mengeluarkan mikroorganisme dari jaringan dengan mengikat antigen
tersebut pada lumen saluran napas, sedangkan IgG beraksi di dalam
mukosa dengan memicu reaksi inflamasi jika terpajan dengan antigen
bakteri (Retno, 2007).
Terdapat dua rute besar transport mukosilier. Rute pertama
merupakan gabungan sekresi sinus frontal, maksila, dan ethmoid
anterior. Sekret ini biasanya bergabung di dekat infundibulum etmoid
selanjutnya berjalan menuju tepi bebas prosesus unsinatus, dan
sepanjang dinding medial konka inferior menuju nasofaring melewati
bagian anteroinferior orifisium tuba Eustachius. Transport aktif
berlanjut ke batas epitel bersilia dan epitel skuamosa pada nasofaring,
selanjutnya jatuh ke bawah dibantu dengan gaya gravitasi dan proses
menelan (Damayanti, 2007).
Rute kedua merupakan gabungan sekresi sinus ethmoid
posterior dan sphenoid yang bertemu di resessus sphenoethmoid dan
menuju nasofaring pada bagian posterosuperior orifisium tuba
Eustachius (Retno, 2007). Secret yang berasal dari meatus superior dan
septum akan bergabung dengan secret rute pertama, yaitu di inferior
dari tuba Eustachius. Secret pada septum akan berjalan vertical ke arah
bawah terlebih dahulu kemudian ke belakang dan menyatu di bagian
inferior tuba Eustachius.
D. Sinusitis Dentogen dan Sinusitis Rhinogen
1. Tanda dan Gejala
Gejala sinusitis maksilaris akut berupa demam, malaise, nyeri
kepala, wajah terasa bengkak dan penuh, gigi terasa nyeri pada
gerakan kepala mendadak (sewaktu naik atau turun tangga), nyeri pipi
khas yang tumpul dan menusuk, sekret mukopurulen dapat keluar dari
hidung dan berbau busuk.
Gambaran klinis yang sering dijumpai pada sinusitis
maksilaris kronik berupa hidung tersumbat, sekret kental, cairan
mengalir di belakang hidung, hidung berbau, indra pembau berkurang,
dan batuk.
Menurut kriteria Saphiro dan Rachelefsky:
a. Gejala Mayor:
i. Rhinorea purulen
ii. Drainase Post Nasal (Post Nasal Drip)
iii. Batuk
b. Gejala Minor:
i. Demam
ii. Nyeri Kepala
iii. Foeter ex oral
Dikatakan sinusitis maksilaris jika ditemukan 2 gejala mayor
atau 1 gejala mayor dan 2 atau lebih gejala minor.
2. Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium sinus dan
lancarnya klirens mukosiliar (mucociliary clearance) didalam
kompleks osteo-meatal. Sinus dilapisi oleh sel epitel respiratorius.
Lapisan mukosa yang melapisi sinus dapat dibagi menjadi dua yaitu
lapisan viscous superficial dan lapisan serous profunda. Cairan mukus
dilepaskan oleh sel epitel untuk membunuh bakteri maka bersifat
sebagai antimikroba serta mengandungi zat- zat yang berfungsi
sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk
bersama udara pernafasan. Cairan mukus secara alami menuju ke
ostium untuk dikeluarkan jika jumlahnya berlebihan.
Faktor yang paling penting yang mempengaruhi patogenesis
terjadinya sinusitis yaitu terjadinya obstruksi dari ostium. Jika terjadi
obstruksi ostium sinus akan menyebabkan terjadinya hipooksigenasi
yang menyebabkan fungsi silia berkurang dan epitel sel
mensekresikan cairan mukus dengan kualitas yang kurang baik.
Disfungsi silia ini akan menyebabkan retensi mukus di dalam sinus.
Kejadian sinusitis maksila akibat infeksi gigi rahang atas
terjadi karena infeksi bakteri (anaerob) menyebabkan terjadinya karies
profunda sehingga jaringan lunak gigi (pulpa) dan sekitarnya rusak.
Pada pulpa yang terbuka, kuman akan masuk dan mengadakan
pembusukan pada pulpa sehingga membentuk gangren pulpa. Infeksi
ini meluas dan mengenai selaput periodontium menyebabkan
periodontitis dan iritasi akan berlangsung lama sehingga terbentuk
pus. Abses periodontal ini kemudian dapat meluas dan mencapai
tulang alveolar menyebabkan abses alveolar. Tulang alveolar
membentuk dasar sinus maksila sehingga memicu inflamasi mukosa
sinus. Disfungsi silia, obstruksi ostium sinus serta abnormalitas
sekresi mukus menyebabkan akumulasi cairan dalam sinus sehingga
terjadinya sinusitis maksila.
3. Penatalaksanaan
a. Medik
i. Antibiotik
Sinusitis akut:
Cephalosporin,sulfamethoxazole-trimethoprim,
azithromycin,clarithromycin, golongan penicillin ditambah
asamklavulanat, yang diberikan selama 7 – 14 hari.
Sinusitis kronik:
Kumanjenis gram negatifdananaerob »clindamycin,
cephalosporin, kuinolone (ciprofloxacin, ofloxasin,
levofloxasin)
ii. Dekongestan
Pentingpadaterapiawalbersama antibiotic
Mekanisme kerjanya adalah sebagai berikut:
vasokonstriksimukosa&konka »sumbatanhidungkurang »
ostiomeatalterbuka »drainasedanventilasimembaik » terjadi
hambatanpertumbuhanbakteri
Diberikan secara oral dan topikal
iii. Antihistamin
c. Hanya berfungsi pada manifestasi alergi
d. Tidak termasuk dalam protokol pengobatan
iv. Kortikosteroid
Topikal: terhadap bersin, sekresi lendir, sumbatan hidung,
dan penyembuhan anosmia
Oral: dapat mencapai rongga sinus, terapi singkat (hanya
selama 2 minggu) tetapi cukup efektif untuk menghilangkan
beberapa keluhan, dan dapat digunakan bersama topikal.
b. Operatif
i. Antrostomi meatus inferior
ii. Caldwel-Luc
iii. Etmiodektomi intra &ekstranasal
iv. Trepanasi sinus frontal
v. Bedah sinus endoskopifungsional (FESS)
4. Komplikasi
Komplikasi sinusitis maksilaris adalah selulitis orbita,
osteomielitis dan fistula oroantral.Komplikasi sinusitis telah menurun
secara nyata sejak ditemukannya antibiotik. Komplikasi berat
biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronis dengan
eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intrakranial.
a. Kelainan orbita: selulitis orbita dan periorbita, abses orbita dan
subperiosteal.
b. Kelainan intrakranial: meningitis, abses epidural-subdural-otak,
trombosis sinus kavernosus, dan sinus sagitalis superior.
c. Osteomielitis dan abses subperiosteal: paling sering pada sinus
frontalis.
d. Mukosil (kista): sering pada sinus frontal, sering perlu tindakan
operasi.
e. Kelainan paru : bronkitis kronik – bronkiektasis.
E. Rhinosinusitis
1. Patofisiologi
Pada umumnya penyebab rinosinusitis adalah rinogenik, yang
merupakan perluasan infeksi dari hidung. Patogenesis dari
rinosinusitis kronis berawal dari adanya suatu inflamasi dan infeksi
yang menyebabkan dilepasnya mediator diantaranya vasoactive
amine, proteases, arachidonic acid metabolit, imune complek,
lipolisaccharide dan lain-lain (Sakakura, 1997; Katsuhisa, 2001). Hal
tersebut menyebabkan terjadinya kerusakan mukosa hidung dan
akhirnya menyebabkan disfungsi mukosiliar yang mengakibatkan
stagnasi mukus dan menyebabkan bakteri semakin mudah untuk
berkolonisasi dan infeksi inflamasi akan kembali terjadi. Bakteri dapat
berkembang menjadi kuman patogen bila lingkungannya sesuai. Bila
sumbatan berlangsung terus akan terjadi hipoksia dan retensi lendir,
sehingga bakteri anaerob akan berkembang baik. Bakteri juga akan
memproduksi toksin yang akan merusak silia. Selanjutnya dapat
terjadi perubahan jaringan menjadi hipertropi, polipoid atau terbentuk
polip dan kista (Mangunkusumo, 1999; Nizar, 2007).
Kuman di dalam sinus dapat berasal dari rongga hidung
sebelum ostium tertutup ataupun merupakan kuman komensal di
dalam rongga sinus. Virus dan bakteri yang masuk ke dalam mukosa
akan menembus submukosa, yang diikuti adanya infiltrasi sel
polimorfonuklear, sel mast, dan limfosit, kemudian akan diikuti
lepasnya zat-zat kimia seperti histamin dan prostaglandin. Zat-zat
kimia ini akan menyebabkan vasodilatasi kapiler, sehingga
permeabilitas pembuluh darah meningkat dan terjadilah udema di
submukosa. Selain virus dan bakteri sebagai penyebab infeksi,
peradangan rongga sinus juga dipengaruhi oleh faktor predisposisi
lokal dan sistemik. Faktor predisposisi lokal antara lain: septum
deviasi, udema/hipertrofi konka, rinitis alergi/rinitis vasomotor,
barotrauma, korpus alienum, rinolit dan sebagainya. Sedang faktor
predisposisi sistemik yang mempengaruhi adalah: infeksi saluran
nafas atas oleh karena virus, keadaan umum yang lemah, malnutrisi,
DM yang tidak terkontrol dan iritasi udara sekitar.
Infeksi saluran nafas atas menyebabkan terjadinya reaksi
peradangan pada mukosa hidung, mukosa sinus termasuk juga mukosa
ostium sinus. Keadaan ini akan mempersempit ostium sinus yang
secara keseluruhan sudah sempit dan letaknya tersembunyi atau
bahkan menyebabkan obstruksi ostium. Oksigen yang ada dalam
rongga sinus akan diresorbsi oleh kapiler submukosa sehingga terjadi
hipoksia dan tekanan oksigen yang rendah di dalam rongga sinus.
Keadaan hipooksigen juga akan menyebabkan vasodilatasi kapiler di
submukosa, permeabilitas pembuluh darah meningkat dan terjadilah
proses transudasi. Transudat yang terbentuk sebagian diresorbsi oleh
submukosa sehingga akan menambah udema submukosa dan sebagian
lagi akan terperangkap didalam rongga sinus. Tekanan oksigen yang
rendah juga akan mengganggu fungsi sinus dimana kelumpuhan gerak
silia ini akan menambah timbunan transudat di dalam rongga sinus.
Transudat yang tertimbun, kadar oksigen yang terendah, gerak silia
yang berkurang dan sempitnya ostium merupakan kondisi yang baik
untuk pertumbuhan kuman.
2. Tanda dan Gejala Klinis
a. Gejala Subjektif
i. Nyeri
Sesuai dengan daerah sinus yang terkena dapat ada atau
mungkin tidak.
ii. Sakit kepala
Nyeri kepala yang timbul merupakan akibat adanya kongesti
dan udema di ostium sinus dan sekitarnya. Sakit kepala yang
bersumber di sinus akan meningkat jika membungkukkan
badan ke depan dan jika badan tiba-tiba digerakkan. Sakit
kepala ini akan menetap saat menutup mata, saat istirahat
ataupun saat berada dikamar gelap (Ballenger, 1997).
Nyeri kepala pada sinusitis kronis biasanya terasa pada pagi
hari, dan akan berkurang atau hilang setelah siang hari.
Penyebabnya belum diketahui dengan pasti, tetapi mungkin
karena pada malam hari terjadi penimbunan ingus dalam
rongga hidung dan sinus serta adanya statis vena
(Mangunkusumo dan Rifki, 2007).
iii. Nyeri pada penekanan
Nyeri bila disentuh dan nyeri pada penekanan jari mungkin
terjadi pada penyakit di sinus-sinus yang berhubungan dengan
permukaan wajah (Ballenger, 1997).
iv. Gangguan penghindu
Indra penghindu dapat disesatkan (parosmia), pasien mencium
bau yang tidak tercium oleh hidung normal. Keluhan yang
lebih sering adalah hilangnya penghindu (anosmia). Hal ini
disebabkan adanya sumbatan pada fisura olfaktorius di daerah
konka media. Oleh karena itu ventilasi pada meatus superior
hidung terhalang, sehingga menyebabkan hilangnya indra
penghindu. Pada kasus kronis, hal ini dapat terjadi akibat
degenerasi filament terminal nervus olfaktorius, meskipun
pada kebanyakan kasus, indra penghindu dapat kembali normal
setelah infeksi hilang (Ballenger, 1997).
b. Gejala Objektif
i. Pembengkakan dan udem
Jika sinus yang berbatasan dengan kulit terkena secara akut,
dapat terjadi pembengkakan dan udem kulit yang ringan akibat
periostitis (Ballenger, 1997).
ii. Sekret nasal
Mukosa hidung jarang merupakan pusat fokus peradangan
supuratif, sinus-sinuslah yang merupakan pusat fokus
peradangan semacam ini. Adanya pus dalam rongga hidung
seharusnya sudah menimbulkan kecurigaan adanya suatu
peradangan dalam sinus. Pus di meatus medius biasanya
merupakan tanda terkenanya sinus maksila, sinus frontal atau
sinus etmoid anterior, karena sinus-sinus ini bermuara ke
dalam meatus medius (Ballenger, 1997).
3. Penatalaksanaan
Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi
seperti deviasi septum, kelainan atau variasi anatomi KOM, hipertrofi
adenoid pada anak, polip, kista, jamur, gigi penyebab sinusitis,
dianjurkan untuk melakukan penatalaksanaan yang sesuai dengan
kelainan yang ditemukan. Jika tidak ditemukan faktor predisposisi,
diduga kelainan adalah bakterial yang memerlukan pemberian
antibiotik dan pengobatan medik lainnya (Soetjipto, 2007). Terapi
medikamentosa :
a. Antibiotika
Meskipun tidak memegang peran penting, antibiotika dapat
diberikan sebagai terapi awal. Pilihan antibiotika harus mencakup
β-laktamase seperti pada terapi sinusitis akut lini ke II, yaitu
amoksisillin klavulanat atau ampisillin sulbaktam, sefalosporin
generasi kedua, makrolid, klindamisin. Karena antihistamin
generasi pertama mempunyai efek antikolinergik yang tinggi,
generasi kedua lebih disukai seperti azelastine,
acrivastine,cetirizine, fexofenadinedan loratadine.
b. Kortikosteroid
Kortikosteroid, ada 2 jenis kortikosteroid, yaitu
kortikosteroid topikal dan kortikosteroid oral, kortikosteroid
topikal mempunyai efek lokal terhadap bersin, sekresi lendir,
sumbatan hidung dan hipo/anosmia. Penggunaannya
kortikosteroid topikal meluas pada kelainan alergi dan non-alergi.
Meskipun obat semprot ini tidak mencapai komplek osteomeatal,
keluhan pasien berkurang karena udema di rongga hidung dan
meatus medius hilang.
Sedangkan kortikosteroid oral dapat mencapai seluruh
rongga sinus. Terapi singkat selama dua minggu sudah efektif
menghilangkan beberapa keluhan. Preparat oral dapat diberikan
mendahului yang topikal, obat oral dapat membuka sumbatan
hidung terlebih dahulu sehingga distribusi obat semprot merata.
Siprofloksasin, golongan kuinolon atau yang sesuai dengan
kultur. Jika diduga ada bakteri anaerob, dapat diberi metronidazol
(Soetjipto, 2007).
c. Terapi Medik Tambahan
i. Dekongestan
Dekongestan berperan penting sebagai terapi awal
mendampingi antibiotik. Dekongestan oral menstimulasi
reseptor α-adrenergik di mukosa hidung dengan efek
vasokontriksi yang dapat mengurang keluhan sumbatan
hidung, meningkatkan diameter ostium dan meningkatkan
ventilasi. Preparat yang umum adalah pseudoefedrinedan
phenyl-propanolamine. Karena efek peningkatan tekanan darah
tinggi dan penyakit jantung harus dilakukan dengan hati-hati.
Dekongestan topikal mempunyai efek yang lebih cepat
terhadap sumbatan hidung, namun efeknya ini sebetulnya tidak
fisiologik dan pemakaian jangka lama (lebih dari 7 hari) akan
menyebabkan rinitis medika mentosa (Soetjipto, 2007)..
ii. Antihistamin
Alergi berperan sebagai penyebab sinusitis kronis pada lebih
dari 50% kasus, karenanya penggunaan antihistamin justru
Penatalaksanaan Operatif Sinusitis kronis yang tidak sembuh
dengan pengobatan medik adekuat dan optimal serta adanya
kelainan mukosa menetap merupakan indikasi tindakan bedah
(Nizar, 2007; Soetjipto, 2007).
Beberapa macam tindakan bedah mulai dari antrostomi meatus
inferior, Caldwel-Luc, trepanasi sinus frontal, dan Bedah Sinus
Endoskopi Fungsional (BSEF) dapat dilaksanakan. Bedah sinus
konvensional tidak memperlihatkan usaha pemulihan drainase dan
ventilasi sinus melalui ostium alami. Namun dengan berkembangnya
pengetahuan patogenesis sinusitis, maka berkembang pula modifikasi
bedah sinus konvensional misalnya operasi Caldwel-Luc yang hanya
mengangkat jaringan patologik dan meninggalkan jaringan normal
agar tetap berfungsi dan melakukan antrostomi meatus medius
sehingga drainase dapat sembuh kembali (Nizar, 2007; Soetjipto,
2007).
4. Komplikasi
a. Osteomielitis dan abses subperiostal
Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya
ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila
dapat timbul fistula oroantral.
b. Kelainan Orbita
Disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan
mata (orbita). Yang paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian
sinusitis frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui
tromboflebitis dan perkontinuitatum. Variasi yang dapat timbul
ialah udema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses
orbitadan selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus kavernosus.
c. Kelainan Intrakranial
Dapat berupa meningitis, abses ektradural, abses otak dan
trombosis sinus kavernosus.
d. Kelainan Paru
Seperti bronkitis kronis dan brokiektasis. Adanya kelainan
sinus paranasal disertai denga kelainan paru ini disebut
sinobronkitis. Selain itu dapat juga timbul asma bronkial
(Mangunkusumo,2007).
F. Polip Nasi
Polip hidung ialah massa lunak yang mengandung banyak cairan di
dalam rongga hidung, berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat
inflamasi mukosa. (Mangunkusumo, 2007)
1. Tanda dan Gejala
Sumbatan hidung yang menetap dan semakin lama semakin
berat dan rinorea. Dapat terjadi hiposmia atau anosmia. Bila
menyumbat ostium, dapat terjadi sinusitis dengan ingus purulen.
Karena disebabkan alergi, gejala utama adalah bersin dan iritasi di
hidung.
Pada pemeriksaan klinis tampak massa putih keabu-abuan atau
kuning kemerahan dalam cavum nasi. Polip bertangkai sehingga
mudah digerakkan, konsistensi lunak, tidak nyeri bila ditekan, tidak
mudah berdarah, dan tidak mengecil pada pemakaian vasokonstriktor.
(Mansjoer. et. al., 2009)
2. Patofisiologi
Pembentukan polip sering diasosiakandengan inflamasi kronik,
disfungsi saraf otonom serta predisposisi genetik. Menurut teori
Bernstein, terjadi perubahan mukosa hidung akibat peradangan atau
aliran udara yang bertubulensi, terutam di daerah kompleks
ostiomeatal. Terjadi prolaps submukosa yang diikuti oleh reepitelisasi
dan pembentukan kelenjar baru. Juga terjadi peningkatan penyerapan
natrium oleh permukaan sel epitel yang berakibat retensi air sehingga
terbentuk polip.
Teori lain mengatakan karena ketidakseimbangan saraf
vasomotor terjadi peningkatan permeabilitas kapiler dan gangguan
regulasi vaskular yang mengakibatkan dilepasnya sitokin-sitokin dari
sel mast, yang akan menyebabkan edema dan lama-kelamaan menjadi
polip.
Bila proses terus berlanjut, mukosa yang sembab makin
membesar menjadi polip dan kemudian akan turun ke rongga hidung
dengan membentuk tangkai.(Mangunkusumo, 2007)
3. Penatalaksanaan
Tujuan utama pengobatan pada kasus polip nasi ialah
menghilangkan keluhan, mencegah komplikasi dan mencegah
rekuransi polip.
Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi
disebut polipektomimedikamentosa. Dapat diberikan topikal atau
sistemik. Polip tipe eosinofilik memberikan respon yang lebih baik
terhadap pengobatan kostikosteroid intranasal dibandingkan polip tipe
neutrofilik.
Kasus polip tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau
polip yang sangat masif dipertimbangkan untuk terapi bedah. Dapat
dilakukan ekstraksi polip (polipektomi) menggunakan senar polip atau
cunam dengan analgesi lokal, etmoidektomi intranasal atau
etmoidektomi ekstranasal untuk polip ethmoid, operasi Caldwell-Luc
untuk sinus maxilla. Yang terbaik ialah bila tersedia fasilitas endoskop
maka dapat dilakukan tindakan BSEF (Bedah Sinus Ethmoid
Fungsional).(Mangunkusumo, 2007)
4. Komplikasi
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Polip
a. Naso-endoskopi
Adanya fasilitas endoskopi (teleskop) akan membantu
diagnosis kasus polip yang baru. Stadium 1 dan 2 kadang-kadang
tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak
dengan pemeriksaan nasoendoskopi.
b. Pemeriksaan Radiologi
Foto polos sinus paranasal (posisi Waters, AP, Caldwell
dan lateral) dapat memperlihatkan penebala mukosa dan adanya
batas udara cairan di dalam sinus, tetapi kurang bermanfaat pada
kasus polip. Pemeriksaan tomografi komputer (TK, CT- scan)
sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung
dan sinus paranasal apakah ada proses radang, kelainan anatomi,
polip, atau sumbatan pada kompleks ostiomeatal. TK terutama
diindikasikan pada kasus polip yang gagal diobati dengan terapi
medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada
perencanaan tindakan bedah terutama bedah endoskopi.
2. Sinusitis
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos atau
CT scan. Foto polos posisi Waters, PA dan lateral, umumnya
hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus
maksila dan fronta. Kelainan akan terlihat perselubungan, batas
udara-cairan (air-fluid level) atau penebalan mukosa.
CT scan sinus merupakan gold standarddiagnosis sinusitis
karena mampu menilai anatomi hidung dan sinus, adanya
penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan
perluasannya. Namun karena mahal hanya dikerjakan sebagai
penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik dengan
pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan operator saat
melakukan opersai sinus.
Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit akan
menjadi suram atau gelap. Pemeriksaan ini sudah jarang
digunakan karena sangat terbatas kegunaannya.
Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan
dengan mengambil sekret dari meatus mesius/superior, untuk
mendapat antibiotik yang tepat guna.Lebih baik lagi bila diambil
sekret yang keluar dari pungsi sinus maksila.
Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding
medial sinus maksila melalui meatus inferior, dengan alat
endoskop bisa dilihat kondisi sinus maksila yang sebenarnya,
selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pembahasan Gejala dan Interpretasi Hasil Pemeriksaan.
Pada skenario, pasien mengalami sering pilek dan ingus berbau
busuk. Pilek sendiri (rinorhe) bisa sebagai akibat adanya infeksi, alergi,
atau inflamasi dimana mediator inflamasi akan mengakibatkan
hipersekresi mukus dari sel goblet. Ingus berbau busuk merupakan tanda
adanya infeksi pada pasien, dalam skenario ini sebagai ciri khas adanya
sinusitis.
Pasien juga mengeluh adanya gangguan menghidu yang dapat
disebabkan karena adanya obstruksi pada hidung, dalam hal ini adanya
masa putih. Nyeri kepala separuh bisa diakibatkan sebagai ciri khas
adanya sinusitis, dimana sekret yang mengisi sinus menekan persarafan
disekitarnya, yang mungkin hanya terjadi di salah satu sisi.
Epistaksis dapat terjadi saat membuang ingus dengan kuat, bersin,
mengorek hidung maupun trauma. Aktivitas-aktivitas tersebut memberikan
tekanan pada mukosa rongga hidung yang didalamnya terdapat plexus
pembuluh darah dimana ditutupi oleh lapisan mukosa yang tipis dan
lemah. Selain itu, jika perdarahan berasal dari bagian anterior dimana
terdapat plexus Kiesselbach berada, merupakan area yang sering terjadi
pengeringan mukosa sehingga hanya terdapat sedikit mukus yang
melindungi mukosa. Semua hal tersebut dapat menjadi penyebab
pembuluh darah pecah dan terjadi perdarahan atau epistaksis. Namun di
dalam skenario tidak dijelaskan cara ingus dikeluarkan, hanya dikatakan
bahwa perdarahan terjadi saat ingus dikeluarkan.
Mukosa rongga hidung yang hiperemi dan konka hipertrofi
merupakan bagian dari proses inflamasi mukosa hidung atau yang biasa
disebut Rhinitis. Rhinitis bisa disebabkan karena alergi, non-alergi,
infeksi, hormonal, maupun sebab lain.
Inflamasi yang berhubungan dengan rhinitis alergi dan
rhinosinusitis dapat mengurangi ruang aliran udara di dalam rongga
hidung dengan cara dilatasi pembuluh darah serta meningkatnya aliran
darah dan permeabilitas vascular. Hasil dari aktivitas ini adalah
melebarnya sinusoid vena nasalis, membengkaknya konka anterior dan
inferior, dan akhirnya menghasilkan sumbatan.
Di dalam skenario, tidak dijelaskan tentang deskripsi massa putih
tersebut lebih lanjut. Penulis memperkirakan dari semua kejadian
inflamasi dengan massa putih, massa tersebut merupakan polip nasal yang
sudah dijelaskan yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya. Meskipun
kejadian polip pada inflamasi masih sedikit, namun sebagian besar hasil
pemeriksaan massa putih terdiagnosa secara patologi sebagai polip nasi.
Secara fisiologis, mukosa hidung dan sinus mengeluarkan
discharge yang bersifat mukus ( kental ) dari berwarna kekuningan, namun
dengan jumlah terbatas hanya sebagai pelindung mukus serta dalam fungsi
respirasi. Jika sekret keluar secara berlebihan dan sampai keluar dari
cavum nasi atau yang biasa disebut Rhinorrhea, maka terdapat zat/benda
yang mempengaruhi mukosa nasal maupun sinus dalam memproduksi
sekret yang berlebihan. Hal tersebut bisa diakibatkan oleh kotoran debu
sampai mikroorganisme dan virus. Perubahan warna pada dirscharge bisa
menjadi penanda penyebab rhinorrhea. Warna kecoklatan pada discharge
pasien di skenario bisa disebabkan oleh sekret dari sinus yang terlalu lama
terkumpul di dalam sinus dan semakin lama akan ditumbuhi oleh
bakteri/mikroorganisme.
Discharge post-nasal, juga disebut post-nasal drip (PND),
menggambarkan sensasi akumulasi lendir di tenggorokan atau perasaan
bahwa lendir menetes ke bawah dari belakang hidung. PND dapat
disebabkan oleh sekresi mucous yang berlebihan.
Biasanya, kelenjar yang melapisi hidung dan sinus menghasilkan
satu hingga dua liter lendir sehari. Pada permukaan ini lapisan selaput
lendir, dengan irama silia dorong mundur lendir . Kemudian ditelan sadar.
lendir ini melumasi dan membersihkan membran hidung, melembabkan
udara, perangkap dan membersihkan terhirup benda asing ,dan melawan
infeksi. Produksi lendir dan clearance diatur oleh interaksi yang kompleks
saraf, pembuluh darah, kelenjar, otot, hormon, dan silia seperti yang telah
dijelaskan pada mekanisme transport mukosilier.
Pada skenario, pasien mengalami alergi sehingga terjadi
hipersekresi mucous sebagai respon tubuh terhadap allergen yang masuk.
Mukous yang terdapat dalam sinus tadinya bersifat serosa, tapi seiring
dengan berjalannya penyakit dan timbulnya infeksi, mucous berubah
menjadi kental. Sama dengan fisiologis system transport mukosilier,
mucous purulen tersebut dibawa masuk ke dalam nasofaring sebagai reaksi
pertahanan tubuh, tapi karena sifatnya yang kental, pasien bisa merasakan
sensasi lendir yang jatuh di tenggorokannya.
Pada pasien juga terjadi karies gigi. Karies gigi adalah kerusakan
jaringan keras gigi yang disebabkan oleh asam yang ada dalamkarbohidrat
melalui perantara mikroorganisme yang ada dalam saliva. Terdapat 4
faktor utama dalam pembentukan karies gigi, yaitu gigi, mikroorganisme
di dalam plak, substrat, dan waktu sejak dimulainya pembentukan karies
gigi.
Faktor-faktor tersebut dapat menyebabkan larutnya mineral dalam
email, dentin, dan sementum, sebagai akibat dari terganggunya
keseimbangan mineral antara gigi dan sekelilingnya yang disebabkan oleh
pembentukan asam mikrobial dari substrat sehingga timbul destruksi
komponen-komponen organik yang akhirnya terbentuk kavitas (lubang).
Karies gigi yang sudah mendekati ruang pulpa akan berlanjut
menjadi pulpitis dan akhirnya akan terjadi kematian pulpa gigi (nekrosis
pulpa). Infeksi odontogen dapat terjadi secara lokal atau meluas secara
cepat. Adanya gigi yang nekrosis menyebabkan bakteri bisa menembus
masuk ruang pulpa sampai apeks gigi. Foramen apikalis dentis pada pulpa
tidak bisa mendrainase pulpa yang terinfeksi. Selanjutnya proses infeksi
tersebut menyebar progresif ke ruangan atau jaringan lain yang dekat
dengan struktur gigi yang nekrosis tersebut.
Rute yang paling umum penyebaran peradangan adalah melalui
kontinuitas jaringan dan spasia jaringan. Pus akan terbentuk di tulang
cancellous dan tersebar ke berbagai arah yang memiliki resistensi jaringan
paling buruk. Penyebaran pus dapat ke arah bukal, submukosa,
mandibular, dan sinus maxillaris, tergantung pada posisi gigi dalam
lengkung gigi, ketebalan tulang, dan jarak perjalanan pus. Demikian
infeksi pda gigi mudah menjalar ke sinus maksillaris.
B. Diagnosis Kerja
Dari rangkaian gejalan dan tanda yang dialami pasien pada
skenario, dan mengacu pada pengetahuan dasar tentang hidung dan sinus
paranasales serta perbandingan beberapa diagnosis diferensial, maka
didapati diagnosis kerja pasien adalah sinusitis maksillaris odontogen
dengan polip nasi.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pasien pada skenario mengalami sinusitis maksillaris yang
infeksinya dijalarkan melalui infeksi pada gigi yang tidak pernah
diperiksakan dengan baik (sinusitis maksillaris odontogen) disertai polip
nasi, yang bisa muncul sebagai faktor predisposisi adanya sinusitis,
maupun sebagai komplikasinya.
B. Saran-saran
Sakit gigi hendaknya tidak dianggap remeh dan dibiarkan saja
karena infeksi pada gigi akan berbahaya dan menjalar ke beberapa bagian
dengan mudah jika dibiarkan.
DAFTAR PUSTAKA
Putu Wijaya Kandhi. 2013. Sinusitis. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas
Maret
Pushkar M, Haitham M. Maxillary sinus disease of odontogenic origin.
Otolaryngol Clin N Am. 2004;37:347-364
Itzhak Brook, Burke AC. Chronic Sinusitis. Medscape reference. Feb 2012.
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/232791-overview
(diakses tanggal 8 September 2013)
Itzhak Brook, Burke AC. Acute Sinusitis. Medscape reference. Jul 2013.
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/232670-overview
(diakses tanggal 8 September 2013)
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21283/4/Chapter%20II.pdf
https://www.nmff.org/documents/OtolaryngologyHeadandNeckSurgery/
Otolaryngology.Voice.PostNasalDrip.pdf. diakses pada tanggal 9
September 2013 pukul 14.08
Pearlman DS. Pathophysiology of the inflammatory response. J Allergy Clin
Immunol. 1999;104(4 Pt 1):S132–S137.
White M. Mediators of inflammation and the inflammatory process. J Allergy
Clin Immunol. 1999;10(3 Pt 2):S378–S381.
Quraishi SA, Davies MJ, Craig TJ. Inflammatory responses in allergic rhinitis:
traditional approaches and novel treatment strategies. J Am Osteopath
Assoc. 2004;104(Suppl 5):S7–S15.
Bascom R, Pipkorn U, Lichtenstein LM, Naclerio RM. The influx of
inflammatory cells into nasal washings during the late response to
antigen challenge. Effect of systemic steroid pretreatment. Am Rev Respir
Dis. 1988;138(2):406–412.
Bascom R, Wachs M, Naclerio RM, Pipkorn U, Galli SJ, Lichtenstein LM.
Basophil influx occurs after nasal antigen challenge: effects of topical
corticosteroid pretreatment. J Allergy Clin Immunol. 1988;81(3): 580–
589.
Minshall E, Ghaffar O, Cameron L, et al. Assessment by nasal biopsy of long-
term use of mometasone furoate aqueous nasal spray (Nasonex) in the
treatment of perennial rhinitis. Otolaryngol Head Neck Surg.
1998;118(5):648–654.
Bachert C, Wagenmann M, Holtappels G. Cytokines and adhesion molecules in
allergic rhinitis. Am J Rhinol. 1998;12(1):3–8.
Gelfand EW. Inflammatory mediators in allergic rhinitis. J Allergy Clin Immunol.
2004;114(5 Suppl):S135–S138.
Repka-Ramirez S, Naranch K, Park YJ, Clauw D, Baraniuk JN. Cytokines in
nasal lavage fluids from acute sinusitis, allergic rhinitis, and chronic
fatigue syndrome subjects. Allergy Asthma Proc. 2002;23(3):185–190.
Röseler S, Holtappels G, Wagenmann M, Bachert C. Elevated levels of
interleukins IL-1 beta, IL-6 and IL-8 in naturally acquired viral rhinitis.
Eur Arch Otorhinolaryngol. 1995;252(Suppl 1):S61–S63.
Renné T, Schuh K, Muller-Esterl W. Local bradykinin formation is controlled by
glycosaminoglycans. J Immunol. 2005;175(5):3377–3385.
Sarin S, Undem B, Sanico A, Togias A. The role of the nervous system in rhinitis.
J Allergy Clin Immunol. 2006;118(5):999–1016.
Bachert C, van Kempen MJ, Hopken K, Holtappels G, Wagenmann M. Elevated
levels of myeloperoxidase, pro-inflammatory cytokines and chemokines
in naturally acquired upper respiratory tract infections. Eur Arch
Otorhinolaryngol. 2001;258(8):406–412.
Berger G, Kattan A, Bernheim J, Ophir D, Finkelstein Y. Acute sinusitis: a
histopathological and immunohistochemical study. Laryngoscope.
2000;110(12):2089–2094.
European Academy of Allergology and Clinical Immunology. European position
paper on rhinosinusitis and nasal polyps. Rhinol Suppl. 2005; (Suppl
18):1–87.
Pérez-Novo CA, Claeys C, Van Cauwenberge P, Bachert C. Expression of
eicosanoid receptors subtypes and eosinophilic inflammation: implication
on chronic rhinosinusitis. Respir Res. 2006;7:75.
Proud D, Naclerio RM, Gwaltney JM, Hendley JO. Kinins are generated in nasal
secretions during natural rhinovirus colds. J Infect Dis. 1990;161(1):120–
123.
Naclerio, Robert M, Claus Bachert, James N Baraniuk. Pathophysiology of nasal
congestion. International Journal of General Medicine 2010:3 47–57
Mark S. Dykewicz, MD. Rhinitis and sinusitis. J Allergy Clin Immunol
2003;111:S520-9.
Corboz MR, Mutter JC, Rivelli MA, et al. Alpha2-adrenoceptor agonists as nasal
decongestants. Pulm Pharmacol Ther. 2007;20(2):149–156.
Mohamad I, Arul Arumugam P. Masked rhinolith: The significance of unilateral
symptom. Malaysian Family Physician 2013;8(1):40-4
Paller AS, Pensler JM, Tomita T. Nasal midline masses in infants and children.
Dermoids, encephaloceles, and gliomas. Arch Dermatol 1991; 127:362-6
Gore ,Charusheela R., Pradhan M. Pagaro, N.K.Panicker, Saurav Singh, Shirish S.
Chandanwale, Sunita Bamanikar. Sinonasal melanoma: Clinical features
and diagnostic dilemma. Int J Pharm Biomed Sci 2013, 4(1), 21-23
Ballenger JJ. 1994. Aplikasi Klinis Anatomi dan Fisiologi Hidung dan Sinus
Paranasal. Dalam : Penyakit Telinga Hidung Telinga Tenggorok Kepala
dan leher. Edisi ke-13.Jakarta : Binarupa Aksara, hal :1-25.
Katsuhisa I. 1996. Subjective and Objective Evaluation in Endoscopic, Am J
Rhinol; vol.2, Japan. 217-20.
Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007. Sinusitis. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Keenam.
Jakarta : FK UI, hal : 118-122.
Nizar NW.2007. Anatomik Endoskopik Hidung Sinus Paranasal dan Patofiologi
Sinusitis. Dalam : Kumpulan Naskah Lengkap Kursus, Pelatihan dan
Demo BSEF, Makassar, 1-11.
Sakakura.1997. Mucociliary Transport inRhinologic Disease,In : Bunnag C
Munthabornk, Asean Rhinologic Practice, Bangkok : Siriyot Co.Ltd.,
137-43.
Mansjoer, Arif. et. al. 2009. KapitaSelektaKedokteran Ed 3 Jilid 1.Jakarta : Media
Aesculapius
Mangunkusumo, Endang. Wardani, Retno S. 2007. Polip Hidung dalam Soepardi,
Efiaty A. Iskandar, Nurbaity. Buku Ajar Ilmu Kesehatan: Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher Edisi 6. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.