lapsus angiofibroma

33
BAB I PENDAHULUAN Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak pembuluh darah di daerah nasofaring yang secara histologik jinak, namun secara klinis bersifat seperti tumor ganas karena mempunyai kemampuan mendekstruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya. Tumor ini dapat meluas ke daerah sinus paranasal, pipi, mata, dan tengkorak, serta sangat mudah menimbulkan perdarahan dan susah untuk dihentikan. Tumor yang kaya pembuluh darah ini memperoleh aliran darah dari arteri faringealis asenden atau arteri maksilaris interna. Angiofibroma kaya dengan jaringan fibrosa yang timbul dari atap nasofaring atau bagian dalam dari fossa pterigoid. Setelah mengisi nasofaring, tumor ini meluas ke dalam sinus paranasal, rahang atas, pipi dan orbita serta dapat meluas ke intra kranial setelah mengerosi dasar tengkorak. 1,2 Angiofibroma nasofaring paling sering ditemukan pada anak lak-laki prepubertas dan remaja, yang umumnya terdapat pada rentang usia 7 sampai 21 tahun dengan insidens terbanyak antara usia 14-18 tahun. Angiofibroma nasofaring jarang terjadi pada usia diatas 25 tahun sehingga tumor ini disebut juga Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Istilah juvenile tidak sepenuhnya tepat, karena neoplasma ini kadang ditemukan juga pada pasien yang lebih tua. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma jarang ditemukan dan diperkirakan hanya 0,05% dari seluruh tumor kepala dan leher. 1

Upload: sasaknese-tulen

Post on 13-Jul-2016

28 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

tht

TRANSCRIPT

Page 1: Lapsus Angiofibroma

BAB I

PENDAHULUAN

Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak pembuluh darah di daerah nasofaring

yang secara histologik jinak, namun secara klinis bersifat seperti tumor ganas karena mempunyai

kemampuan mendekstruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya. Tumor ini dapat meluas

ke daerah sinus paranasal, pipi, mata, dan tengkorak, serta sangat mudah menimbulkan

perdarahan dan susah untuk dihentikan. Tumor yang kaya pembuluh darah ini memperoleh aliran

darah dari arteri faringealis asenden atau arteri maksilaris interna. Angiofibroma kaya dengan

jaringan fibrosa yang timbul dari atap nasofaring atau bagian dalam dari fossa pterigoid. Setelah

mengisi nasofaring, tumor ini meluas ke dalam sinus paranasal, rahang atas, pipi dan orbita serta

dapat meluas ke intra kranial setelah mengerosi dasar tengkorak.1,2

Angiofibroma nasofaring paling sering ditemukan pada anak lak-laki prepubertas dan

remaja, yang umumnya terdapat pada rentang usia 7 sampai 21 tahun dengan insidens terbanyak

antara usia 14-18 tahun. Angiofibroma nasofaring jarang terjadi pada usia diatas 25 tahun

sehingga tumor ini disebut juga Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Istilah juvenile tidak

sepenuhnya tepat, karena neoplasma ini kadang ditemukan juga pada pasien yang lebih tua.

Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma jarang ditemukan dan diperkirakan hanya 0,05% dari

seluruh tumor kepala dan leher. Insiden angiofirboma nasofaring diperkirakan antara 1 : 5.000-

60.000 pada pasien THT.1,2

Gejala klinik yang dapat ditemukan pada juvenile angiofibroma nasofaring dapat berupa

hidung tersumbat (80-90%), merupakan gejala yang paling sering, diikuti epistaksis (45-60%)

yang kebanyakan unilateral dan rekuren, nyeri kepala (25%) khususnya bila sudah meluas ke

sinus paranasal, pembengkakan wajah (10-18%). Gejala lain seperti anosmia, rhinolalia,

deafness, pembengkakan palatum serta deformitas pipi juga dapat ditemukan pada penderita

angiofibroma nasofaring. Angiofibroma nasofaring sangat sulit untuk di palpasi, palpasi harus

sangat hati-hati karena sentuhan jari pada permukaan tumor dapat menimbulkan perdarahan yang

ekstensif. Diagnosis angiofibroma nasofaring ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan

fisik, dan pemeriksaan radiologis. Trias gejala dan tanda klinis dari tumor ini adalah epistaksis

1

Page 2: Lapsus Angiofibroma

masif berulang, sumbatan hidung dan massa di nasofaring sangat mendukung kecurigaan adanya

angiofibroma nasofaring. 2,3

2

Page 3: Lapsus Angiofibroma

BAB II

TNJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

Ruang nasofaring yang relatif kecil mempunyai hubungan yang erat dengan beberapa

struktur yang secara klinis mempunyai arti penting. Nasofaring berhubungan dengan rongga

hidung di anterior melalui koana, dan orofaring di bagian inferior melalui bagian terbawah dari

palatum molle. Sedangkan di bagian superior dan posterior, nasofaring berhubungan dengan

korpus vertebra. Tuba eustachius memasuki nasofaring di sebelah lateralnya, dan bagian superior

dan posterior muara tuba ini ditutupi oleh kartilago, yang disebut sebagai torus tubarius. Fossa

Rosenmuller (lateral dari resesus nasofaring) terletak di bagian superior dan posterior torus

tubarius dan merupakan predileksi dari karsinoma nasofaring. Banyak terdapat foramen kranial

yang membawa struktur syaraf dan pembuluh darah penting yang terletak di dekat nasofaring.

Nasofaring diliputi oleh mukosa yang terdiri atas epitel squamous kompleks atau epitel kolumner

pseudokompleks.4

Gambar 1. Anatomi Nasofaring

3

Page 4: Lapsus Angiofibroma

2.2 Definisi

Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara histologik

jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan mendestruksi tulang dan

meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasal, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat

mudah berdarah yang sulit dihentikan.1

Sebutan lain untuk angiofibroma di dalam literatur antara lain: juvenile angiofibroma,

juvenile nasopharyngeal angiofibroma (JNA), nasal cavity tumor, nasal tumor, benign nasal

tumor, tumor hidung (nose tumor), nasopharyngeal tumor, atau angiofibroma nasofaring belia.2,3

Berbagai jenis tumor jinak lain dapat juga ditemukan di daerah nasofaring seperti

papiloma, neurofibroma. Polip di nasofaring bukanlah neoplasma, berasal dari rongga hidung

atau sinus maksila dan menggantung di nasofaring, yaitu di koana, sehingga di sebut juga polip

koana. 1

2.3 Epidemiologi

Tumor ini jarang ditemukan, frekuensinya 1/5000 – 1/60.000 dari pasien THT,

diperkirakan hanya merupakan 0,05 persen dari tumor leher dan kepala. Tumor ini umumnya

terjadi pada laki-laki decade ke-2 antara 7-19 tahun. Jarang terjadi pada usia lebih dari 25 tahun.1

2.4 Etiologi

Etiologi tumor ini masih belum jelas. Berbagai teori banyak diajukan, salah satunya

adalah teori jaringan asal, yaitu pendapat bahwa tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah

di dinding posterolateral atap rongga hidung. Faktor ketidakseimbangan hormonal juga banyak

dikemukakan sebagai penyebab dari tumor ini, bahwa juvenile nasopharyngeal angiofibroma

berasal dari sex steroid-stimulated hamartomatous tissue yang terletak di turbinate cartilage.

Pengaruh hormonal yang dikemukakan ini dapat menjelaskan mengapa beberapa Juvenile

Angiofibroma Nasofaring jarang terjadi (ber-involute) setelah masa remaja (puberty). 1,4,6,8

Pada teori jaringan asal, dinyatakan bahwa angiofibroma nasofaring terjadi karena

pertumbuhan abnormal jaringan fibrokartilago embrional atau periosteum di daerah oksipitalis os

sfenoidalis. Diperkirakan bahwa kartilago atau periosteum tersebut merupakan matriks dari

angiofibroma. Pada akhirnya didapatkan gambaran lapisan sel epitelial yang mendasari ruang

vaskular pada fasia basalis dan dikemukakan bahwa angiofibroma berasal dari jaringan tersebut.

4

Page 5: Lapsus Angiofibroma

Sehingga dikatakan bahwa tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah di dinding

posterolateral atap rongga hidung.9

Sedangkan teori ketidakseimbangan hormonal menyatakan bahwa terjadinya

angiofibroma diduga karena adanya perubahan aktivitas pituitari. Hal ini menyebabkan

ketidakseimbangan hormonal yaitu adanya kekurangan hormon androgen dan atau kelebihan

hormon estrogen. Teori ini didasarkan adanya hubungan erat antara tumor dengan jenis kelamin

dan usia penderita serta adanya hambatan pertumbuhan pada semua penderita angiofibroma

nasofaring. Diduga tumor berasal dari periosteum nasofaring dikarenakan tidak adanya kesamaan

pertumbuhan pembentukkan tulang dasar tengkorak menyebabkan terjadinya hipertropi di bawah

periosteum sebagai reaksi terhadap hormonal.9

2.5 Patogenesis

Permukaan tumor dilapisi oleh mukosa yang dibawahnya terdapat anyaman pembuluh

darah. Massa tumor terdiri dari jaringan ikat padat dan gumpalan sel serta terisi pembuluh vena

lebar yang menumpuk di bagian pinggir. Tumor ini tidak bermetastasis tetapi dapat tumbuh

mendesak, dapat menginvasi orbita, sinus paranasal, fossa pterigoid dan temporal atau ke ruang

intrakranial. Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi sebelah posterior dan lateral

koana di atap nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluas dibawah mukosa sepanjang atap

nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas ke arah bawah membentuk tonjolan

massa diatap rongga hidung posterior. Perluasan ke arah anterior akan mengisi rongga hidung,

mendorong septum ke sisi kontralateral dan memipihkan konka. Pada perluasan kearah lateral,

tumor melebar kearah foramen sfenopalatina, masuk ke fisura pterigomaksila dan akan

mendesak dinding posterior sinus maksila. Bila meluas terus, akan masuk ke fossa intratemporal

yang akan menimbulkan benjolan di pipi, dan “rasa penuh” di wajah. Apabila tumor mendorong

salah satu atau kedua bola mata maka akan tampak gejala yang khas pada wajah, yang akan

disebut “muka kodok”.1,5

Perluasan ke intrakranial dapat terjadi melalui fossa infratemporal dan pterigomaksila

masuk ke fossa serebri media. Dari sinus ethmoid masuk ke fossa serebri anterior atau dari sinus

sfenoid ke sinus kavernosus dan fossa hipofise.1

5

Page 6: Lapsus Angiofibroma

Gambar 2. Angifibroma nasofaring yang sudah dioperasi

2.6 Gejala klinik

Gejala yang sering ditemukan adalah sumbatan hidung yang progresif dan epistaksis

berulang yang masif. Timbul rinorea kronik diikuti gangguan penciuman, rinolalia, dan anosmia.

Tuli atau otalgia akibat okulasi pada tuba eustachius, dan dapat terjadi otitis media. Sefalgia

hebat terjadi bila tumor sudah meluas ke intrakranial. Dapat pula menyebabkan deformitas pada

muka, disfagi, proptosis dan gangguan visus. Gejala-gejala dini adalah kongesti dari sumbatan

hidung dengan disertai perdarahan. Perdarahan ini kadang-kadang merupakan komplikasi berat.

Suara menjadi datar atau “mati”, pernafasan dan proses menelan terhalang jika proses berlanjut.

Pada stadium lanjut timbul rasa nyeri dan sekret muko purulen. Jika pertumbuhan tumor

mencapai besar tertentu, maka wajah seperti “muka kodok” jelas terlihat, tulang maksila

merenggang dan tampak eksopthalmus yang menonjol. Sering disertai “aprosexsia” dan rasa

ngantuk.1,5,6

Gejala lanjut meningkat lebih berat sesuai dengan makin besarnya tumor, sampai

penyerapan jaringan tulang meningkat, kecuali jika tumor meluas ke luar rongga hidung atau

faring, seperti misalnya ke rongga intrakranial. Pada keadaan ini nekrosis akibat penekanan

tulang tidak terlalu besar.6

2.7 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang seperti x-foto

polos, CT scan, angiografi atau MRI. Gejala yang paling sering ditemukan (>80%) ialah hidung

tersumbat yang progresif dan epistaksis yang berulang dan masif, infeksi sekunder dapat terjadi

pada ruangan di belakang hidung akibat berkurangnya drainase di tempat tersebut. Gejala-gejala

lain muncul tergantung dari luasnya tumor dan arah pembesarannya.1,2,5

6

Page 7: Lapsus Angiofibroma

Gambar 3. Penampang koronal CT scan yang memperlihatkan adanya lesi angiofibroma yang mengisi cavum nasal kiri dan sinus ethmoid, memenuhi sinus maksilaris dan

menyebabkan deviasi septum nasi ke kanan5

Pada pemeriksaan fisik secara rinoskopi posterior akan terlihat massa tumor yang

konsistensinya kenyal, warnanya bervariasi dari abu-abu sampai merah muda. Bagian tumor

yang terlihat di nasofaring biasanya diliputi oleh selaput lendir berwarna keunguan, sedangkan

bagian yang meluas ke luar nasofaring berwarna putih atau abu-abu. Pada usia muda warnanya

merah muda, pada usia yang lebih tua warnanya kebiruan, karena lebih banyak komponen

fibromanya. Mukosanya mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan adanya

ulserasi.1

Karena tumor sangat mudah berdarah, sebagai pemeriksaan penunjang diagnosis

dilakukan pemeriksaan radiologik konvensional CT scan serta pemeriksaan arteriografi. Pada

pemeriksaan radiologik konvensional (foto kepala potongan antero-posterior, lateral dan posisi

waters) akan terlihat gambaran klasik yang disebut sebagai tanda “Holman Miller” yaitu

pendorongan prosesus pterigoideus ke belakang, sehingga fisura pterigopalatina melebar. Akan

terlihat juga adanya massa jaringan lunak di daerah nasofaring yang dapat mengerosi dinding

orbita, arkus zigoma dan tulang disekitar nasofaring. Pada pemeriksaan CT scan dengan zat

kontras akan tampak secara tepat perluasan massa tumor serta destruksi tulang ke jaringan

sekitarnya.1

Pada pemeriksaan arteriografi arteri karotis interna, akan memperlihatkan vaskularisasi

tumor yang biasanya berasal dari cabang arteri maksila interna homolateral. Kadang-kadang juga

7

Page 8: Lapsus Angiofibroma

sekaligus dilakukan embolisasi agar terjadi trombosis intravaskular, sehingga vaskularisasi

berkurang dan akan mempermudah pengangkatan tumor.1

Pemeriksaan patologi anatomik tidak dapat dilakukan, karena biopsi merupakan

kontraindikasi, sebab akan mengakibatkan perdarahan yang masif.2

Gambar 4. Gambaran angiogram yang memperlihatkan adanya angifibroma sebelum

embolisasi

Gambar 5. Gambaran angiogram yang memperlihatkan adanya angifibroma setelah embolisasi

Untuk menentukan derajat atau stadium tumor umumnya saat ini menggunakan

klasifikasi Session dan Fisch.1

Klasifikasi menurut Session sebagai berikut :

8

Page 9: Lapsus Angiofibroma

Stadium IA : Tumor terbatas di nares posterior dan atau nasofaringeal voult

Stadium IB : Tumor meliputi nares posterior dan atau nasofaringeal voult

dengan meluas sedikitnya satu sinus paranasal

Stadium IIA : Tumor meluas sedikit ke fossa pterigomaksila

Stadium IIB : Tumor memenuhi fossa pterigomaksila tanpa mengerosi tulang

orbita

Stadium IIIA : Tumor telah mengerosi dasar tengkorak dan meluas sedikit ke

intrakranial

Stadium IIIB : Tumor telah meluas ke intra kranial dengan atau tanpa meluas ke

sinus kavernosus

Klasifikasi menurut Fisch sebagai berikut :

Stadium I : Tumor terbatas di rongga hidung, nasofaring tanpa mendestruksi

tulang

Stadium II : Tumor menginvasi fossa pterigomaksila, sinus paranasal

dengan destruksi tulang

Stadium III : Tumor menginvasi fossa infra temporal, orbita dengan atau

region paraselar

Stadium IV : Tumor menginvasi sinus kavernosus, region kiasma optik dan

fossa pituitari

9

Page 10: Lapsus Angiofibroma

2.8 Histopatologi

Pada pemeriksaan histopatologi angiofibroma nasofaring, ditemukan jaringan fibrous

yang matur yang terdiri dari berbagai ukuran pembuluh darah dengan dinding yang tipis.

Pembuluh darah tersebut dibatasi endotelium tetapi pada dinding pembuluh darahnya sedikit

mengandung elemen kontraktil otot yang normal. Hal inilah yang menyebabkan angiofibroma

nasofaring mudah berdarah.5

Gambar 6. Gambaran histopatologi angiofibroma nasofaring

2.9 Penatalaksanaan

Tindakan operasi merupakan pilihan utama selain terapi hormonal atau radioterapi,

namun ada buku yang menyebutkan bahwa tumor ini cenderung mengalami regresi ketika

penderita tumor ini masuk ke masa pubertas, jadi operasi diindikasikan jika ada komplikasi

akibat tumor ini seperti jika angiofibroma tumbuh membesar, menghalangi saluran udara atau

menyebabkan epistaksis menahun.1,3

Operasi tumor ini sendiri harus dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas cukup, karena

resiko perdarahan yang hebat. Berbagai pendekatan operasi dapat dilakukan sesuai dengan lokasi

tumor dan perluasannya, seperti melalui transpalatal, rinotomi lateral, rinotomi sublabial atau

kombinasi dengan kraniotomi bila sudah meluas ke intrakranial. Untuk tumor yang sudah meluas

ke jaringan sekitarnya dan mendestruksi dasar tengkorak sebaiknya diberikan radioterapi

prabedah yakni dengan penanaman radium dan sinar rontgen yang dilanjutkan dengan

elektrokoagulasi atau dapat pula diberikan terapi hormonal meskipun hasilnya tidak sebaik

radioterapi. Pada pemberian hormonal terapi menggunakan testosterone receptor blocker

flutamide didapatkan penurunan staging pada staging I dan II sebesar 44%.3

Perlu dicatat bahwa pengangkatan tumor seringkali sulit dilakukan karena tumor

terbungkus dan menyusup ke dalam, sehingga setelah pengangkatan tumor seringkali terjadi

10

Page 11: Lapsus Angiofibroma

kekambuhan. Cara lain yang dapat digunakan yaitu embolisasi (penyumbatan arteri dengan suatu

bahan) yang bisa menyebabkan terbentuknya jaringan parut pada tumor dan menghentikan

perdarahan. Embolisasi dilakukan dengan cara menyuntikkan suatu zat ke dalam pembuluh darah

untuk menyumbat aliran darah yang melaluinya. Embolisasi efektif untuk mengatasi perdarahan

hidung dan tindakan ini bisa diikuti dengan pembedahan untuk mengangkat tumor.9

Terapi hormonal pada angiofibroma nasofaring bertujuan untuk mengecilkan masa tumor

dan mengurangi perdarahan. Pemberian estrogen dapat meningkatkan maturasi kolagen dan

mengurangi pembuluh darah dari tumor, sehingga perdarahan berkurang dan tumor mengecil.

Estrogen dapat menimbulkan efek samping berupa penurunan kadar testosteron plasma, atrofi

testis dan ginekomastia pada anak laki-laki. Terapi estrogen diberikan dengan dosis 3 x 5 mg

intramuskuler perhari selama sebulan, terbukti dapat mengurangi tendensi perdarahan,

memperkecil ukuran tumor 30-50% dan membuat konsistensi tumor menjadi lebih padat. Dapat

pula diberikan preparat progesteron yaitu dietilstilbestrol sebanyak 5 mg perhari selama sebulan

untuk meningkatkan maturasi dan mengurangi vaskularisasi. Efek samping pemberian

dietilstilbestrol adalah menurunnya kadar testosteron plasma dan dapat terjadi atropi testis.

Patterson menyarankan ethinyl estradiol sebagai regimen alternatif dengan dosisnya 1 mg / hari

selama sebulan. Menurut hasil penelitian Patterson, estradiol lebih efektif dibandingkan

stilbestrol.9

2.10 Prognosis

Prognosis lebih baik jika cepat diketahui dan segera di ekstirpasi juga lebih

menguntungkan jika umur diatas 25 tahun. Dengan kata lain, fibroma kecil yang tidak memenuhi

rongga nasofaring lebih muda diangkat daripada yang telah memenuhi rongga tersebut sesudah

umur 25 tahun pertumbuhan cenderung berkurang.6

Pada kasus-kasus di mana pertumbuhan tumor dapat diatasi dengan pambedahan dapat

dikatakan memiliki prognosis yang baik. Biasanya ini terjadi pada pasien dengan usia yang lebih

tua. Pada kasus yang lain, terutama pada pasien berusia lebih muda, tumor jenis ini dapat

berkembang menjadi degenerasi yang ganas dan memiliki prognosis yang buruk.2

11

Page 12: Lapsus Angiofibroma

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien

Nama : An. MS

Umur : 13 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Alamat : Bengkel

Poli : 29 Februari 2016

3.2. Anamnesis

Keluhan Utama:

Hidung kanan dan kiri tersumbat

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien datang ke poliklinik THT RSU Provinsi NTB dengan keluhan hidung

tersumbat pada bagian hidung kanan dan kiri sejak 2 bulan yang lalu. Awalnya hidung

kanan tersumbat lebih dulu kemudian hidung kiri. Keluhan menetap dan semakin

berat. Pasien juga mengeluhkan keluarnya darah segar yang banyak dan terus menerus

dari hidung kanan dan juga nafas berbau busuk sejak 2 bulan yang lalu. Saat ini pasien

juga masih mengeluhkan keluar darah bercampur lendir sedikit-sedikit dari hidung

sebelah kanan dan kiri. Karena hidung kanan tersumbat total dan hidung kiri tersumbat

sebagian mengakibatkan pasien kadang bernapas menggunakan bantuan mulut dan

suara menjadi sedikit sengau. Pasien masih dapat mencium bau-bauan walaupun

sedikit berkurang. Penglihatan mata kanan pasien sedikit kabur sejak 2 minggu yang

lalu. Ibu pasien juga mengeluhkan pada saat anaknya tidur sering mendengkur. Pasien

menyangkal nyeri kepala, nyeri bagian wajah, nyeri telinga, pendengaran turun,

pusing, sesak, riwayat demam, batuk pilek, dan trauma.

12

Page 13: Lapsus Angiofibroma

Riwayat Penyakit Dahulu:

Pasien sebelumnya tidak pernah mengalami keluhan keluar darah dari hidung.

Riwayat Penyakit Keluarga/Sosial:

Pasien tidak memiliki keluarga dengan keluhan yang serupa. Pasien sering

mengonsumsi minuman dingin dan makanan panas.

Riwayat Alergi:

Pasien mengaku tidak memiliki riwayat alergi makanan, obat-obatan, udara ataupun

hal lain.

3.3. Pemeriksaan Fisik

Status Generalis :

Keadaan umum : sedang

Kesadaran : compos mentis

Tanda vital :

- TD : 110/80 mmHg

- Nadi : 88 x/menit

- Respirasi : 18 x/menit

- Suhu : 36,8oC

Status Lokalis :

Kepala/Leher :

Inspeksi : Deformitas pada wajah (-) muka kodok (-) Terlihat pasien selalu

membuka mulutnya untuk bernapas.

Palpasi : Nyeri tekan pada hidung bagian luar tidak ada, tidak teraba

adanya massa pada daerah sekitar hidung, wajah, dan leher.

13

Page 14: Lapsus Angiofibroma

Pemeriksaan Telinga

No

.

Pemeriksaan Telinga Auricula Dextra Auricula Sinistra

1. Tragus Nyeri tekan (-), edema (-) Nyeri tekan (-), edema (-)

2. Daun telinga : aurikula,

preaurikuer, retroaurikuler.

Bentuk dan ukuran telinga

dalam batas normal, lesi

pada kulit (-), hematoma (-),

massa (-), fistula (-), nyeri

tarik aurikula (-).

Bentuk dan ukuran telinga

dalam batas normal, lesi

pada kulit (-), hematoma (-),

massa (-), fistula (-), nyeri

tarik aurikula (-).

3. Liang telinga (MAE) Serumen (-), hiperemis (-),

edema (-),furunkel

(-),otorhea (-).

Serumen (-), hiperemis (-),

edema (-),furunkel

(-),otorhea (-).

4. Membran timpani Intak, retraksi (-), hiperemi

(-), bulging (-), edema (-),

perforasi (-), cone of light

(+).

Intak, retraksi (-),hiperemi

(-), bulging (-), edema (-),

perforasi (-), cone of light

(+).

Pemeriksaan Hidung

Inspeksi Nasal Dextra Nasal Sinistra

Hidung luar Bentuk (normal), inflamasi

(-), deformitas (-), massa (-).

Bentuk : Bentuk (normal),

inflamasi (-), massa (-).

Rinoskopi Anterior :

14

Page 15: Lapsus Angiofibroma

Vestibulum nasi Normal, ulkus (-) Normal, ulkus (-)

Cavum nasi Bentuk (normal), mukosa

hiperemi (+), sekret serous

(+), massa di kavum nasi

dextra, permukaan tidak rata,

mudah berdarah, berwarna

putih abu keunguan, stosel (-)

Bentuk (normal), mukosa

hiperemi (+), sekret serous (+),

massa (-), stosel (-)

Septum nasi Deviasi (-), benda asing(-),

perdarahan (-), ulkus (-).

Deviasi (-), benda asing (-),

perdarahan (-), ulkus (-).

Konka media & inferior Hipertrofi (-), livid (-),

kongesti (-).

Hipertrofi (-), hiperemi (+),

kongesti (+).

Rinoskopi posterior -

Gambar :

15

Konka inferior edema (+)

Hiperemi (+)

Sekret (+) berwarna putih cair, darah (-)

Terlihat massa di kavum nasi dextra, permukaan tidak rata, mudah berdarah, berwarna putih abu keunguan, meatus inferior tidak paten (tertutup massa)

Page 16: Lapsus Angiofibroma

Pemeriksaan Sinus Paranasal

SinusNyeri Tekan Transiluminasi

Dextra Sinistra Dextra Sinistra

Maksilaris (-) (-) Tidak

dilakukan

Tidak

dilakukan

Frontalis (-) (-) Tidak

dilakukan

Tidak

dilakukan

Pemeriksaan Tenggorokan

No. Pemeriksaan Keterangan

1. Bibir Mukosa bibir normal

2. Mulut Mukosa mulut basah, berwarna merah muda,

plak (-)

3. Bucal Warna merah muda, hiperemi (-)

4. Gigi Tampak gigi geligi lengkap, tidak rata, tidak

terdapat karies gigi-gigi rahang atas.

5. Lidah Ulkus (-), pseudomembran (-).

6. Uvula Bentuk normal, hiperemi (-), edema (-),

pseudomembran (-).

7. Palatum mole Ulkus (-), hiperemi (-), palatum mole bombans

(+)

8. Faring Mukosa hiperemi (-), edema (-), ulkus (-),

granul (-), sekret (-), reflex muntah (+).

9. Tonsila Palatina Hiperemi (-), ukuran T1-T1, kripte melebar (-),

detritus (-).

16

Page 17: Lapsus Angiofibroma

Gambar :

Pemeriksaan mata:

Pemeriksaan OD OS

Palpebra DBN DBN

Gerak bola mata Baik ke segala arah Baik ke segala arah

Oftalmoplegia - -

Pemeriksaan leher

Pembesaran KGB leher (-), massa coli (-)

17

Page 18: Lapsus Angiofibroma

3.4 Pemeriksaan Penunjang

Hasil CT Scan Kepala (01/03/2016)

• Gambaran: Strong enhacing mass pada cavum nasi posterior-nasofaring kanan ukuran

berkisar 3,8 x 5,8 x 3,2 yang meluas sisi lateral: pterigopalatine kanan, ke superior: sinus

sphenoid kanan, mengoresi bagian posterior foramen sphenopalatine sampai medial fossa

pterigoid. Tak tampak kelainan intrakranial.

18

Page 19: Lapsus Angiofibroma

• Kesan : Massa sinonasal menyokong gambaran angiofibroma.

Hasil pemeriksaan laboratorium (01/03/2016)

Parameter Nilai Nilai normal

HB 11,6 13,0 – 18,0

RBC 4,63 4,5 – 5,5

HCT 34,4 40 – 50

MCV 74,3 82 – 92

MCH 25,1 27,0 – 31,0

MCHC 33,7 32,0 – 37,0

WBC 6,79 4,0 – 11,0

PLT 337 150 - 400

GDS 96 < 160

SGOT 17 < 40

SGPT 16 < 41

3.5 Diagnosis

Suspect angiofibroma nasofaring juvenile

DD :

- Polip nasofaring

3.6 Planning

Planning Diagnosis :

- Angiografi

- Pemeriksaan patologi anatomi terhadap massa yang telah dioperasi

Planning Terapi :

- Pro Ekstirpasi Angiofibroma Nasofaring

- Antifibrinolitik untuk mengurangi perdarahan : asam traneksamat 3 x 500 mg

(jika perlu)

- Antibiotik : Amoksisilin 3 x 500 mg

- Cuci hidung dengan larutan fisiologis NaCl 0,9%

19

Page 20: Lapsus Angiofibroma

KIE

Menjelaskan kepada pasien dan keluarganya bahwa sudah dilakukan

pengangkatan tumor, dan tumor tersebut akan diperiksa apakah sel tumor jinak

atau ganas, agar dapat ditentukan tindakan lanjutan yang sesuai.

Menjelaskan kepada pasien dan keluarganya untuk kontrol ke poliklinik THT

untuk mengevaluasi keadaan pasien setelah di operasi pengangkatan tumor.

Menjelaskan kepada pasien dan keluarganya bahwa kemungkinan tumor dapat

timbul kembali dikarenakan pengaruh hormonal yang tidak stabil pada usia 7-19

tahun, sehingga pasien tetap perlu di observasi oleh keluarganya hingga usia

pasien lebih dari 25 tahun. Apabila timbul kembali keluhan yang sama seperti

gejala hidung tersumbat dan keluar darah melalui hidung, keluarga pasien harus

segera membawa pasien ke rumah sakit untuk dilakukan pemeriksaan.

3.7 Prognosis

Dubia et Bonam

20

Page 21: Lapsus Angiofibroma

BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien pada laporan kasus ini adalah seorang laki-laki berumur 13 tahun, dengan gejala

hidung kanan dan kiri tersumbat disertai keluarnya darah pada hidung kanan. Pasien juga

mengeluh bau mulut dan mata kabur. Pasien tidak mempunyai keluhan lainnya, seperti nyeri

kepala, gangguan di telinga, dan demam. Ditemukan adanya sumbatan pada kavum nasi kanan

kiri dimana terlihat massa di kavum nasi dekstra sinistra dengan permukaan tidak rata, mudah

berdarah, berwarna putih abu keunguan, hal ini menunjukkan bahwa sudah terdapat obstruksi

pada nasal akibat suatu massa.

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien ini ditemukan gejala-gejala

yang lebih mengarahkan adanya Juvenile Angiofibroma Nasofaring, yaitu berdasarkan bahwa

pasien berjenis kelamin laki-laki dan berumur 13 tahun. Dimana, tumor ini umumnya terjadi

pada laki-laki dekade ke-2 antara 7-19 tahun dan jarang terjadi pada usia lebih dari 25 tahun.

Kemudian berdasarkan gejala dan tanda yang nampak pada pasien berupa adanya keluhan

hidung tersumbat yang progresif, dan epistaksis berulang yang sudah lama. Pada pemeriksaan

fisik terlihat adanya massa di kavum nasi yang mudah berdarah.

Setelah dilakukan pemeriksaan penunjang berupa CT-Scan didapatkan hasil bahwa

gambaran yang terlihat merupakan strong enhacing mass pada cavum nasi posterior-nasofaring

kanan ukuran berkisar 3,8 x 5,8 x 3,2 yang meluas sisi lateral: pterigopalatine kanan, ke superior:

sinus sphenoid kanan, mengoresi bagian posterior foramen sphenopalatine sampai medial fossa

pterigoid yang mengarah ke angiofibroma nasofaring. Gejala yang ditimbulkan tergantung pada

seberapa besar pembesaran massa yang terjadi. Pada tumor yang berada terbatas pada mukosa di

tepi sebelah posterior dan lateral koana di atap nasofaring sumbatan hidung masih minimal,

namun pada pasien ini tumor tumbuh besar dan meluas dibawah mukosa sepanjang atap

nasofaring dan mencapai bagian posterior septum yang meluas ke arah bawah membentuk

tonjolan massa diatap rongga hidung posterior sehingga gejala pada hidung nampak jelas. Untuk

menentukan diagnosis pasti, pada pasien ini dilakukan pemeriksaan patologi anatomi terhadap

jaringan tumor.

Pembedahan merupakan penatalaksanaan yang dianjurkan, tetapi terdapat risiko

perdarahan yang besar akibat tingginya vaskularisasi tumor, seringkali lebih besar dari 2.000 ml.

21

Page 22: Lapsus Angiofibroma

Embolisasi preoperatif direkomendasikan sebagai prosedur standar untuk mengurangi kehilangan

darah selama operasi, sehingga memungkinkan eksisi total, mengurangi komplikasi dan

meminimalkan residu tumor.

22

Page 23: Lapsus Angiofibroma

DAFTAR PUSTAKA

1. Roezin A. Dharmabaktio S. Angiofibroma Nasofaring Belia. Dalam: Soepardi EA, Iskandar

N, Bashiruddin J, Restuti RD. Editor Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

Kepala dan Leher. Edisi Keenam. Cetakan Keempat. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2007.

Halaman 188-190.

2. Asroel HA. Angiofibroma Nasofaring Belia. Dalam: Hajar S, Hafni. Editor Majalah

Kedokteran Nusantara Fakultas Kedokteran Bagian Tenggorokan Hidung danTelinga

Universitas Sumatera Utara. Volume ke 6. Nomor 3. Sumatera Utara: Departemen Ilmu

Penyakit THT-KL Fakultas Kedokteran USU/RSUP H.Adam Malik Medan. 2005. Halaman

251-253

3. L. Adam, George. Penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam : Effendi H, Santoso K,

Editors Boeis Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke 6. Jakarta: EGC,1997. Halaman 322-346

4. Rusmarjono, Kartosoediro S. Anatomi Nasofaring. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,

Bashiruddin J, Restuti RD. Editor Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

Kepala dan Leher. Edisi Keenam. Cetakan Keempat. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2007.

Halaman 214.

5. Tewfik TL. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. In: American Academy of

Otolaryngology-Head and Neck Surgery. USA: Emedicine. 2014.

6. Naz N, Ahmed Z, Shaikh SM, Marfani MS. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. In:

Role of Imaging in Diagnosis, Staging and Recurrence. Pakistan Journal of Surgery. 2009.

Pp 185-9.

7. Mashari, Wiyanto BH, Subroto DS. Angiofibroma Nasofaring dengan Perluasan Intra

Kranial. Dalam: Soepardjo H, Soenarso BS, Suprihati, dkk, ed. Kumpulan naskah ilmiah

Kongres Nasional XII Perhati. Semarang 2001. Halaman 1033 – 37

8. Atalar M, Solak O, Muderris S. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. In: Radiologic

evaluation and Pre-operative embolization. KBB-Forum. 2006. Pp 58-61.

9. Firdaus MA, Rahman S, Asyari A. Penatalaksanaan Angiofibroma Nasofaring Juvenil

Dengan Pendekatan Transpalatal. Dalam: Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala

Leher (THT-KL) Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang. 2009. Halaman 1-8

23