lapsus dermato
DESCRIPTION
sTRANSCRIPT
Daftar Isi
BAB I...............................................................................................................................................2
BAB II..............................................................................................................................................4
2.1 Akne dan Komplikasi Ulkus Wajah....................................................................................4
2.2 Ulkus dan Proses Penyembuhan Ulkus...............................................................................5
2.3 Faktor-Faktor Penghambat Penyembuhan Luka..............................................................6
2.4 Komplikasi Penyembuhan Luka..........................................................................................7
2.5 Perawatan Luka dan Bahan Perawatan Luka........................................................................8
2.5.1 Pembalut luka..................................................................................................................8
2.5.2 Larutan pembersih........................................................................................................11
2.5.3 Agen topikal.................................................................................................................12
2.5.4 Balutan sekunder (Secondary dressing).......................................................................13
2.5.5 Semprotan perekat..........................................................................................................13
2.6 Penggunaan Bahan pada Berbagai Luka..........................................................................13
2.6.1 Perawatan luka yang memiliki jaringan nekrotik...........................................................14
2.6.2 Penatalaksanaan luka yang terinfeksi.............................................................................15
2.6.3 Penatalaksanaan luka dengan banyak eksudat................................................................15
2.6.4 Perawatan luka dalam yang bersih dengan sedikit eksudat............................................16
2.6.7 Perawatan luka berdasarkan etiologi..............................................................................16
BAB III..........................................................................................................................................18
3.1 Identitas Pasien...................................................................................................................18
3.2 Anamnesis............................................................................................................................18
3.3 Pemeriksaan Fisik...............................................................................................................19
3.4 Pemeriksaan Penunjang.....................................................................................................20
3.5 Diagnosis Kerja...................................................................................................................20
3.6 Penatalaksanaan.................................................................................................................20
3.7 Prognosis..............................................................................................................................20
BAB IV..........................................................................................................................................21
BAB V............................................................................................................................................22
5.1 Simpulan...............................................................................................................................22
5.2 Saran.....................................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................23
1
BAB I
PENDAHULUAN
Akne vulgaris adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh inflamasi kronik dari unit
pilosebasea yang ditandai oleh pembentukan komedo, papul, pustul, nodul, dan pada
beberapa kasus disertai jaringan parut, dengan predileksi diwajah, leher, lengan atas, dada
dan punggung. Pada orang awam, akne dikenal dengan jerawat. Hampir setiap orang
pernah menderita penyakit ini, karenanya penyakit ini sering dianggap sebagai kelainan
kulit yang timbul secara fisiologis. Akne paling sering terjadi pada masa remaja dan
dimulai pada masa pubertas. Meskipun umumnya akne dapat sembuh sendiri, namun
komplikasi berupa ulkus wajah (facial ulcer) dapat terjadi. Perawatan luka yang tidak tepat
dapat menjadi penyebab terjadinya ulkus wajah.
Perawatan luka adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk merawat luka
untuk mencegah perusakan jaringan atau permukaan kulit. Serangkaian kegiatan tersebut
meliputi pembersihan luka, memasang balutan, mengganti balutan, pengisian
(packing) luka, memfiksasi balutan, tindakan pemberian rasa nyaman yang meliputi
membersihkan kulit dan daerah drainase, irigasi, pembuangan drainase, dan
pemasangan perban (Bryant, 2007). Terdapat beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan
dalam perawatan luka, seperti mengetahui: (1) balutan luka; (2) larutan pembersih; (3)
agen topikal; dan (4) karakteristik luka. Kesalahan dalam memilih dan menggunakan
teknik perawatan luka akan menimbulkan beberapa dampak negatif seperti: (1) waktu
penyembuhan luka yang lama; (2) penurunan daya tahan tubuh; (3) risiko infeksi dan
komplikasi penyakit yang meningkat; dan (4) biaya perawatan yang meningkat (Morrison,
2004 & Allman, 2009).
Sebuah penelitian di Departemen Kulit, Rumah Sakit Militer Wroclaw, Polandia
tahun 2009 yang dilakukan pada 30 orang klien penderita ulkus vena (16 perempuan, 14
laki-laki, rata-rata umur 68 ± 10 hari). Pada awalnya ketigapuluh klien ini dirawat
dengan menggunakan kasa dan sodium klorida, tetapi selama 4 minggu perawatan
tidak ada dampak penyembuhan yang positif, kemudian peneliti mengganti metode
perawatan dengan menggunakan bahan balutan oklusif. Hasil penelitian itu
menunjukkan prevalensi penyembuhan luka ulkus vena mencapai 40.00% dengan
pengurangan luas luka mencapai 53.00%, pengurangan cairan eksudat mencapai
2
66.00% dan pengurangan nyeri mencapai 96.00% dengan lama waktu penyembuhan 12
minggu (Katarzyna, 2009). Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan,
ketepatan pemilihan teknik perawatan luka dapat mempercepat penyembuhan luka, dan
memperbaiki kualitas hidup pasien.
Penggunaan bahan-bahan perawatan luka dan teknik perawatan luka yang tidak
sesuai dengan karakteristik luka, dapat menyebabkan sejumlah dampak negatif pada pasien
seperti risiko infeksi dan penurunan kualitas hidup pasien. Berdasarkan alasan diatas perlu
dibahas lebih lanjut mengenai teknik pencegahan dan perawatan luka pada wajah.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Akne dan Komplikasi Ulkus Wajah
Acne vulgaris adalah penyakit peradangan menahun folikel pilosebasea yang umumnya
terjadi pada masa remaja dan dapat sembuh sendiri (Wasitaatmadja, 2007). Akne
vulgaris disebut juga common acne meiliki predileksi pada wajah, dada dan punggung.
Kelenjar yang meradang dapat membentuk papul kecil berwarna merah muda, yang
kadang kala mengelilingi komedo sehingga tampak hitam pada bagian tengahnya, atau
membentuk pustul atau kista; penyebab tak diketahui, tetapi telah dikemukakan banyak
faktor, termasuk stress, faktor herediter, hormon, obat dan bakteri, khususnya
Propionibacterium acnes, Staphylococcus albus, dan Malassezia furfur, berperan
dalam etiologi (Dorland, 2002).
Pengobatan akne dapat dilakukan dengan cara memberikan obat-obatan
topikal, obat sistemik, bedah kulit atau kombinasi cara-cara tersebut. Pengobatan
topikal dilakukan untuk mencegah pembentukan komedo, menekan peradangan, dan
mempercepat penyembuhan lesi. Obat topikal terdiri atas: bahan iritan yang dapat
mengelupas kulit; antibiotika topikal yang dapat mengurangi jumlah mikroba
dalam folikel akne vulgaris; anti peradangan topikal; dan lainnya seperti atil laktat
10% yang untuk menghambat pertumbuhan mikro-organisme. Pengobatan sistemik
ditujukan terutama untuk menekan pertumbuhan mikro-organisme di samping juga
mengurangi reaksi radang, menekan produksi sebum, dan mempengaruhi
perkembangan hormonal. Golongan obat sistemik terdiri atas: anti bakteri sistemik;
obat hormonal untuk menekan produksi androgen dan secara kompetitif menduduki
reseptor organ target di kelenjar sebasea; vitamin A dan retinoid oral sebagai
antikeratinisasi; dan obat lainnya seperti anti inflamasi non steroid. Tindakan bedah
kulit kadang-kadang diperlukan terutama untuk memperbaiki jaringan parut akibat
akne vulgaris meradang yang berat yang sering menimbulkan jaringan parut
(Wasitaatmadja, 2007).
Akne umumnya memiliki prognosis penyakit yang baik, namun akne excorie dan
ulkus wajah dapat terjadi bila akne tidak ditangani dengan benar. Akne ekskori dapat
terjadi bila pasien memiliki kebiasaan tak terkontrol untuk menarik akne dari wajah.
4
Trauma, hygiene, faktor gizi, dan infeksi dapat memicu terjadinya ulkus pada pasien
akne vulgaris (Wasitaatmadja, 2007).
2.2 Ulkus dan Proses Penyembuhan Ulkus
Ulkus adalah ekskavasi yang berbentuk lingkaran maupun ireguler akibat dari
hilangnya epidermis dan sebagian atau seluruh dermis (James et al, 2000). Ulkus
terjadi akibat respon lokal terhadap tekanan eksternal pada jaringan tersebut, berupa
pelepasan fibrin, neutrofil, platelet, dan plasma beserta peningkatan aliran darah yang
menyebabkan edema. Edema memberikan penekanan pembuluh kapiler, sehingga
jaringan dapat mengalami kematian akibat proses pemberian nutrisi terhambat.
Kematian jaringan ini justru akan semakin meningkatkan pelepasan mediator
inflamasi. Kulit memberikan tekanan internal untuk mengeluarkan akumulasi sel-sel
debris dan radang tersebut, sehingga terbentuklah ulkus (South H, 2001).
Proses pembentukan ulkus terdiri dari tiga tahap, yaitu fase aktif, proliferasi, dan
maturasi (remodelling). Fase-fase tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1) Fase aktif
Fase ini terjadi kuranglebih dalam satu minggu. Leukosit secara aktif akan
memutus kematian jaringan, khususnya monosit akan memutus pembentukan
kolagen dan protein lainnya. Proses ini berlangsung hingga mencapai jaringan
yang masih bagus. Penyebaran proses ini ke dalam jaringan menyebabkan ulkus
menjadi semakin dalam. Undermined edge dianggap sebagai tanda khas ulkus
yang masih aktif. Di samping itu juga, terdapat transudat yang creamy, kotor,
dengan aroma tersendiri. Kemudian saat terikut pula debris dalam cairan
tersebut, maka disebut eksudat. Pada fase aktif, eksudat bersifat steril.
Selanjutnya, sel dan partikel plasma berikatan membentuk necrotix coagulum
yang jika mengeras dinamakan eschar (South H, 2001).
2) Fase proliferasi
Fase ini ditandai dengan adanya granulasi dan reepitelisasi. Jaringan granulasi
merupakan kumpulan vaskular (nutrisi untuk makrofag dan fibroblast) dan
saluran getah bening (mencegah edema dan sebagai drainase) yang membentuk
matriks granulasi yang turut menjadi lini pertahanan terhadap infeksi. Jaringan
granulasi terus diproduksi sampai kavitas ulkus terisi kembali. Pada fase ini
5
tampak epitelisasi di mana terbentuk tepi luka yang semakin landai. Fase ini
berlangsung selama 3-24 hari(South H, 2001).
3) Fase maturasi atau remodelling
Saat inilah jaringan ikat (skar) mulai terbentuk. Pada tahap maturasi terjadi
proses epitelisasi, kontraksi dan reorganisasi jaringan ikat. Setiap cedera yang
mengakibatkan hilangnya kulit, sel epitel pada pinggir luka dan sisa-sisa folikel
rambut, serta glandula sebasea dan glandula sudorivera membelah dan mulai
bermigrasi diatas jaringan glandula baru. Karena jaringan tersebut hanya dapat
bergerak diatas jaringan yang hidup, maka mereka hidup dibawah eskar atau
dermis yang mengering. Apabila jaringan tersebut bertemu dengan sel-sel
epitel lain, yang juga mengalami migrasi, maka mitosis berhenti, akibat
inhibisi kontak. Kontraksi luka disebabkan karena miofibroblas kontraktil
membantu menyatukan tepi-tepi luka. Terdapat suatu penurunan
progresif alam vaskularitas jaringan parut, yang berubah dalam
penampilannya dari merah kehitaman menjadi putih. Serabut- serabut kolagen
mengadakan reorganisasi dan kekuatan regangan meningkat (O’Leary, 2007).
Gambar 1 pengukuran ulkus
Luas suatu ulkus dapat dinilai dengan mengukur diameter horizontal dan
vertikal dari ulkus. Untuk menentukan intervensi yang akan diberikan pada
ulkus, terdapat tiga parameter yang dinilai, yakni tepi ulkus, dasar ulkus dan
jenis discharge.
6
2.3 Faktor-Faktor Penghambat Penyembuhan Luka
Luka adalah rusaknya struktur dan fungsi anatomis kulit normal akibat proses
patalogis yang berasal dari internal dan eksternal dan mengenai organ tertentu
(Lazarus,et al., 1994 dalam Potter & Perry, 2006). Meskipun proses penyembuhan luka
sama bagi setiap penderita, namum terdapat faktor intrinsik dan ekstrinsik yang
memengaruhi penyembuhan luka (Morrison, 2004). Faktor intrinstik meliputi faktor-
faktor patofisiologi umum (misalnya, gangguan kardiovaskuler, malnutrisi, gangguan
metabolik dan endokrin, penurunan daya tahan terhadap infeksi) dan faktor fisiologi
normal yang berkaitan dengan usia dan kondisi lokal yang merugikan pada tempat
luka (misalnya, eksudat yang berlebihan, dehidrasi, infeksi luka, trauma kambuhan,
penurunan suhu luka, pasokan darah yang buruk, edema, hipoksia lokal, jaringan
nekrotik, pengelupasan jaringan yang luas, produk metabolik yang berlebihan, dan
benda asing). Faktor ekstrinsik meliputi penatalaksanaan luka yang tidak tepat
(misalnya, pengkajian luka yang tidak tepat, penggunaan bahan perawatan luka primer
yang tidak sesuai, dan teknik penggantian balutan yang ceroboh).
Tabel 1 Parameter penilaian ulkus
2.4 Komplikasi Penyembuhan Luka
Menurut Potter & Perry (2006) komplikasi penyembuhan luka adalah infeksi, dehisen,
eviserasi, dan fistul.
7
1) Infeksi: Invasi bakteri pada luka dapat terjadi pada saat trauma, selama
pembedahan atau setelah pembedahan. Gejala dari infeksi sering muncul dalam 2-7
hari setelah pembedahan. Gejalanya berupa infeksi termasuk adanya purulen,
peningkatan drainase, nyeri, kemerahan, bengkak disekeliling luka, peningkatan
suhu, dan peningkatan jumlah sel darah putih.
2) Dehisen adalah terpisahnya lapisan luka secara parsial atau total. Dehisen sering
terjadi pada luka pembedahan abdomen dan terjadi setelah regangan mendadak,
misalnya batuk, muntah atau duduk tegak di tempat tidur.
3) Eviserasi: Terpisahnya lapisan luka secara total dapat menimbulkan
eviserasi (keluarnya organ viseral melalui luka yang terbuka). Bila terjadi
evisersasi, perawat meletakkan handuk steril yang dibasahi dengan sodium klorida
steril di atas jaringan yang keluar untuk mencegah masuknya bakteri dan
kekeringan pada jaringan tersebut.
4) Fistul adalah saluran abnormal yang berada diantara dua buah organ atau diantara
organ dan bagian luar tubuh.
2.5 Perawatan Luka dan Bahan Perawatan Luka
Perawatan luka adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk merawat luka agar
dapat mencegah terjadinya trauma (injuri) pada kulit membran mukosa atau jaringan lain,
fraktur, luka operasi yang dapat merusak permukaan kulit. Serangkaian kegiatan itu
meliputi pembersihan luka, memasang balutan, mengganti balutan, pengisian
(packing) luka, memfiksasi balutan, tindakan pemberian rasa nyaman yang meliputi
membersihkan kulit dan daerah drainase, irigasi, pembuangan drainase, pemasangan
perban (Briant, 2007). Perawatan luka menggunakan berbagai bahan perawatan antara lain
balutan, larutan pembersih, larutan antiseptik, balutan sekunder dan semprotan perekat.
2.5.1 Pembalut luka
Pembalutan luka bertujuan untuk mengabsorsi eksudat dan melindungi luka dari
kontaminasi eksogen. Penggunaan balutan juga harus disesuaikan dengan karakteristik
luka. Jenis-jenis balutan adalah: (1) balutan kering; (2) basah kering; dan (3) modern.
1. Balutan kering
Luka-luka dengan kulit yang masih utuh atau tepi kulit yang dipertautkan
mempunyai permukaan yang kering sehingga balutan tidak akan melekat, maka
8
pada keadaan seperti ini paling sering digunakan kasa dengan jala-jala yang lebar,
kasa ini akan melindungi luka dan memungkinkan sirkulasi udara yang baik
melalui balutan. Dengan demikian uap lembab dari kulit dapat menguap dan
balutan tetap kering (Schrock, 1995).
2. Balutan basah kering
Balutan kasa terbuat dari tenunan dan serat non tenunan, rayon, poliester, atau
kombinasi dari serat lainnya. Kasa dari kapas digunakan sebagai pembalut
pertama dan kedua, kasa tersedia sebagai pembalut luka, spons, dan
pembalut melingkar. Berbagai produk tenunan ada yang kasar dan berlubang,
tergantung pada benangnya. Kasa berlubang sering digunakan untuk
membungkus, seperti balutan basah lembab sodium klorida. Kasa katun kasar,
seperti balutan basah lembab sodium klorida, digunakan untuk debridemen
non selektif (mengangkat debris atau jaringan yang mati).
3. Balutan modern
Kemajuan ilmu pengetahuan dalam perawatan luka telah mengalami
perkembangan yang sangat pesat. Hal ini tidak terlepas dari dukungan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan ilmu tersebut
dapat dilihat dari banyaknya inovasi terbaru dalam perkembangan produk bahan
pembalut luka modern. Bahan pembalut luka modern adalah produk pembalut
hasil teknologi tinggi yang mampu mengontrol kelembapan disekitar luka. Bahan
balutan luka modern ini di disesuaikan dengan jenis luka dan eksudat yang
menyertainya.
Kelembaban luka perlu dijaga, oleh karena: (1) dapat mempermudah epitelisasi,
pembentukan jaringan dan sistem imun; (2) menghambat pertumbuhan
mikroorganisme dan mempercepat proses penyembuhan; (3) mengoptimalkan
migrasi sel dan mengurangi risiko terjadinya scar. Terdapat lima jenis balutan luka
yang mampu mempertahankan kelembaban luka, yakni: (1)Alginat; (2)
Hidrogel; (3) Foam Silikon Lunak; (4) Hidrokoloid; dan (5) Hidrofiber (Briant,
2007) dengan penjelasan sebagai berikut:
a) Alginat
Alginat banyak terkandung dalam rumput laut cokelat dan kualitasnya
bervariasi. Polisakarida ini digunakan untuk bahan regenerasi pembuluh
darah, kulit, tulang rawan, ikatan sendi dan sebagainya. Apabila pembalut
luka dari alginat kontak dengan luka, maka akan terjadi infeksi
9
dengan eksudat, menghasilkan suatu jel natrium alginat. Jel ini bersifat
hidrofilik, dapat ditembus oleh oksigen tapi tidak oleh bakteri dan dapat
mempercepat pertumbuhan jaringan baru. Selain itu bahan yang berasal dari
alginat memiliki daya absorpsi tinggi, dapat menutup luka, menjaga
keseimbangan lembab disekitar luka, mudah digunakan, bersifat elastis.
antibakteri, dan nontoksik.
Alginat adalah balutan primer dan membutuhkan balutan sekunder seperti
film semi-permiabel, foam sebagai penutup. Hal ini disebabkan karena balutan
ini menyerap eksudat, memberi kelembaban, dan melindungi kulit di sekitarnya
agar tidak mudah rusak. Untuk memperoleh hasil yang optimal balutan ini
harus diganti sekali sehari. Balutan ini dindikasi untuk luka superfisial dengan
eksudat sedang sampai banyak dan untuk luka dalam dengan eksudat
sedang sampai banyak sedangkan kontraindikasinya adalah tidak dinjurkan
untuk membalut luka pada luka bakar derajat III.
b) Hidrogel
Hidrogel tersedia dalam bentuk lembaran (seperti serat kasa, atau jel) yang
tidak berperekat yang mengandung polimer hidrofil berikatan silang yang
dapat menyerap air dalam volume yang cukup besar tanpa merusak
kekompakkan atau struktur bahan. Jel akan memberi rasa sejuk dan dingin
pada luka, yang akan meningkatkan rasa nyaman pasien. Jel diletakkan
langsung diatas permukaan luka, dan biasanya dibalut dengan balutan
sekunder (foam atau kasa) untuk mempertahankan kelembaban sesuai level
yang dibutuhkan untuk mendukung penyembuhan luka. Indikasi balutan ini
adalah digunakan pada jenis luka dengan cairan yang sedikit sedangkan
kontraindikasinya adalah luka yang banyak mengeluarkan cairan.
c) Foam Silikon Lunak
Balutan jenis ini menggunakan bahan silikon yang direkatkan, pada
permukaan yang kontak dengan luka. Silikon membantu mencegah balutan
foam melekat pada permukaan luka atau sekitar kulit pada pinggir luka.
Hasilnya menghindarkan luka dari trauma akibat balutan saat mengganti
balutan, dan membantu proses penyembuhan. Balutan luka silikon lunak
ini dirancang untuk luka dengan drainase dan luas.
d) Hidrokoloid
10
Balutan hidrokoloid bersifat ”water-loving” dirancang elastis dan merekat
yang mengandung jell seperti pektin atau gelatin dan bahan-bahan absorben
atau penyerap lainnya. Balutan hidrokoloid bersifat semipermiabel,
semipoliuretan padat mengandung partikel hidroaktif yang akan mengembang
atau membentuk jel karena menyerap cairan luka. Bila dikenakan pada
luka, drainase dari luka berinteraksi dengan komponen-komponen dari
balutan untuk membentuk seperti jel yang menciptakan lingkungan yang
lembab yang dapat merangsang pertumbuhan jaringan sel untuk
penyembuhan luka. Balutan hidrokoloid ada dalam bermacam bentuk,
ukuran, dan ketebalan. Balutan hidrokoloid digunakan pada luka dengan
jumlah drainase sedikit atau sedang. Balutan jenis ini biasanya diganti satu kali
selama 5-7 hari, tergantung pada metode aplikasinya, lokasi luka, derajat
paparan kerutan-kerutan dan potongan-potongan, dan inkontinensia.
Balutan ini diindikasi kan pada luka pada kaki, luka bernanah, sedangkan
kontraindikasi balutan ini adalah tidak digunakan pada luka yang terinfeksi.
e) Hidrofiber
Hidrofiber merupakan balutan yang sangat lunak dan bukan tenunan atau
balutan pita yang terbuat dari serat sodium carboxymethylcellusole,
beberapa bahan penyerap sama dengan yang digunakan pada balutan
hidrokoloid. Komponen-komponen balutan akan berinteraksi dengan drainase
dari luka untuk membentuk jel yang lunak yang sangat mudah dieliminasi dari
permukaan luka. Hidrofiber digunakan pada luka dengan drainase yang
sedang atau banyak, dan luka yang dalam dan membutuhkan balutan sekunder.
Hidrofiber dapat juga digunakan pada luka yang kering sepanjang
kelembaban balutan tetap dipertahankan (dengan menambahkan larutan
sodium klorida). Balutan hidrofiber dapat dipakai selama 7 hari, tergantung
pada jumlah drainase pada luka (Briant, 2007).
2.5.2 Larutan pembersih
Proses pembersihan luka terdiri dari memilih cairan yang tepat untuk membersihkan luka
dan menggunakan cara-cara mekanik yang tepat untuk memasukkan cairan tersebut
tanpa menimbulkan cedera pada jaringan luka (AHPCR, 1994). Tujuan pembersih
luka adalah untuk menegeluarkan debris organik maupun anorganik sebelum
menggunakan balutan untuk mempertahankan lingkungan yang optimum pada tempat luka
11
untuk proses penyembuhan. Adanya debris yang terus menerus, termasuk benda asing,
jaringan lunak yang mengalami devitalisasi, krusta, dan jaringan nekrotik dapat
memperlambat penyembuhan dan menjadi fokus infeksi. Membersihkan luka dengan
lembut tetapi mantap akan membuang kontaminan yang mungkin akan menjadi sumber
infeksi.
Menurut pedoman AHCPR 1994, cairan pembersih yang dianjurkan adalah Sodium
klorida. Sodium klorida aman digunakan pada kondisi apapun (Lilley&Aucker, 1999).
Sodium klorida atau natrium klorida tersusun atas Na dan Cl yang sama seperti plasma.
Larutan ini tidak mempengaruhi sel darah merah (Henderson, 1992).
Sodium klorida tersedia dalam beberapa konsentrasi, yang paling sering adalah
sodium klorida 0,90 %. Ini adalah konsentrasi normal dari sodium klorida dan untuk
alasan ini Sodium Klorida disebut juga salin normal (Lilley& Aucker, 1999). Sodium
klorida merupakan larutan isotonis yang aman untuk tubuh, tidak iritan, melindungi
granulasi jaringan dari kondisi kering, menjaga kelembapan disekitar luka, membantu
luka menjalani proses penyembuhan serta mudah didapat dan harga relatif lebih murah
(Bryant, 2007).
2.5.3 Agen topikal
Agen topikal terdiri dari antiseptik dan antibakteri. Antiseptik adalah bahan- kimia yang
dioleskan pada kulit atau jaringan yang hidup untuk menghambat dan membunuh
mikroorganisme (baik yang bersifat sementara maupun yang tinggal menetap pada luka)
dengan demikian akan mengurangi jumlah total bakteri yang ada pada luka.
Pada perawatan luka modern, pemakaian antiseptik yang diperkenalkan oleh Lister,
seperti povidone-iodine, hypoclorite, asam asetat tidak digunakan lagi pada luka-
luka terbuka dan luka bersih seperti luka bedah (akut) dan luka-luka kronik. Pemakaian
povidone iodine hanya digunakan pada luka-luka akut maupun kronik yang dapat
menunjukkan kesembuhan (healable wound), luka yang mengalami infeksi.
Povidone iodine juga digunakan untuk mensterilkan alat dan permukaan kulit yang utuh
yang akan dioperasi. Sehingga, untuk mencegah kerusakan jaringan baru pada luka,
WHO menyarankan agar tidak lagi menggunakan antiseptik pada luka bersih,
tetapi menggunakan sodium klorida sebagai agen pembersih (WHO, 2010).
12
Agen topikal golongan antibiotik yang sering digunakan adalah bacitracin, silver
sulfadiazine, neomysin, polymyxin. Pemberian antibakteri diindikasikan pada luka
yang memiliki tanda-tanda infeksi (Moon, 2003).
2.5.4 Balutan sekunder (Secondary dressing)
Balutan sekunder adalah bahan perawatan luka yang memberikan efek terapi atau
berfungsi melindungi, megamankan dan menutupi balutan primer. Jenis-jenis balutan
sekunder antara lain pita perekat, balutan perekat, dan perban.
1. Pita perekat (adhesive tape). Beberapa pita perekat yang sering digunakan dalam
perawatan luka antara lain (Knottenbelt, 2003) :
a. Plester cokelat terdiri dari bahan tenunan katun sewarna kulit dengan perekat Zinc
oksida berpori dengan daya lekat kuat namun tidak sakit saat dilepas. Plester
ini diindikasikan untuk plester serbaguna, retensi bantalan penutup luka, fiksasi
infus.
b. Plester luka Non Woven, terbuat dari bahan akrilik yang hipoalergenik. Kertas
pelindung terbuat dari silikon bergaris dan memiliki crack back, yang memudahkan
pemakaian (teknik asepsis), mengikuti lekuk tubuh, perlindungan menyeluruh
untuk mencegah kontaminasi. Plester ini memiliki daya lekat optimal (tidak
terlalu lengkat dikulit namun tidak mudah lepas). Plester ini diindikasikan untuk
retensi bantalan penutup luka, fiksasi infus. Contoh: Biopore, Hipavix.
2. Balutan Perekat (Adhesive Dressing) yakni: Perekat Alginat, perekat hidrokoloid,
transparent film.
3. Perban atau kain pembalut, contohnya: Balutan tubular, balutan kompresi tinggi.
2.5.5 Semprotan perekat
Semprotan perekat merupakaan cara lain untuk mempertahankan balutan agar tetap
pada tempatnya. Beberapa lapis kasa diletakkan langsung pada luka, kemudian balutan
dipenuhi dengan semprotan perekat, dan setelah mengering, kelebihan kasa digunting.
Jenis ini disemprotkan langsung pada luka yang akan segera mengering dan memberikan
perlindungan yang baik (Morrison, 2004).
13
2.6 Penggunaan Bahan pada Berbagai Luka
Penggunaaan bahan dalam perawatan luka digolongkan berdasarkan karakteristik luka dan
etiologi luka. Berdasarkan karakteristik luka, yaitu: (1) Luka dengan jaringan nekrotik; (2)
Luka infeksi; (3) Luka dengan eksudat; dan (4) Luka dalam bersih dengan sedikit eksudat.
Sedangkan berdasarkan etiologi luka, perawatan luka digolongkan dalam lima kelompok,
yakni: (1) Luka insisi bedah; (2) Ulkus; (3) (4) dan (5) Ulkus dekubitus.
2.6.1 Perawatan luka yang memiliki jaringan nekrotik
Jaringan nekrotik sering dijumpai pada luka kronis seperti ulkus iskemi, ulkus
neuropatik, ulkus vena, dan ulkus dekubitus. Debridemen adalah pengangkatan
jaringan yang sudah mengalami nekrosis yang bertujuan untuk menyokong
pemulihan luka. Indikasi debridemen adalah luka akut atau kronik dengan jaringan
nekrosis, luka terinfeksi dengan jaringan nekrotik. Pemilihan metode debridemen
harus berdasarkan karakteristik jaringan nekrotik yang ada pada luka klien.
Menurut Suriadi (2004) ada beberapa cara debridemen diantaranya :
a. Debridemen mekanik, yaitu dengan kompres basah kering (wet to dry),
hidroterapi, dan irigasi luka. Metode debridemen mekanik ini diindikasikan
untuk luka dengan jumlah jaringan nekrotik yang banyak , ulkus kotor yang
mengandung pus dan krusta, dan luka infeksi. Dengan demikian pemantauaan
untuk daerah yang terkena mudah untuk dilakukan. Teknik kompres terbuka
atau basah kering dilakukan dengan tujuan untuk menguapkan cairan, disusul
oleh absorbsi eksudat atau pus. Teknik ini memberikan efek pada kulit berupa:
kulit yang semula eksudatif akan kering, permukaan kulit menjadi dingin,
vasokonstriksi dan eritema berkurang. Kompres terbuka dilakukan dengan cara:
(1) menggunakan kain kasa yang bersifat absorben dan non-iritasi serta tidak
terlalu tebal (3 lapis). Balutan jangan terlalu ketat, tidak perlu steril, jangan
menggunakan kapas karena lekat dan menghambat penguapan; kemudian (2)
kasa dicelup ke dalam cairan kompres, diperas, dibalutkan, lalu didiamkan
biasanya sehari dua kali selama 3 jam. Jangan sampai terjadi maserasi, bila
kering dibasahkan lagi. Daerah yang dikompres maksimal luasnya ⅓ bagian
tubuh agar tidak terjadi pendinginan.
b. Debridemen pembedahan (surgical), yaitu dengan bedah insisi. Metode ini
merupakan cara yang paling cepat untuk membuang jaringan nekrotik dalam
jumlah banyak. Dampak negatif dari debridemen ini adalah peningkatan
14
resiko pasien terhadap perdarahan, anestesi, dan sepsis. Fakta yang sering
terjadi adalah banyak infeksi yang terjadi setelah operasi terutama pada
orang-orang yang memiliki status kesehatan yang tidak optimal.
c. Debridemen autolisis, yaitu lisisnya jaringan nekrotik dengan sendirinya oleh
enzim sel darah putih, yang memasuki daerah luka selama proses
inflamasi. Debridemen autolisis hanya digunakan pada klien yang tidak
terinfeksi dengan jumlah jaringan nekrotik yang terbatas. Debridemen
autolisis ini dapat dilakukan dengan menggunakan balutan yang dapat
mempertahankan kelembaban seperti hidrokoloid, hidrogel, alginat.
2.6.2 Penatalaksanaan luka yang terinfeksi
Kebanyakan luka kronis dikontaminasi oleh mikroorganisme yang sangat banyak
yang tampaknya tidak memperlambat proses penyembuhan.Pada luka infeksi
yang menghasilkan bau dapat menggunakan balutan arang aktif (Activated charcoal
dressing) sebagai penghilang rasa bau (deodoriser) yang efektif. Jika terdapat
eksudat dalam jumlah yang tidak terlalu banyak, maka balutan busa yang menyerap
dan dilapisi arang (Morrison, 2004).
2.6.3 Penatalaksanaan luka dengan banyak eksudat
Sekalipun jaringan nekrotik dan jaringan tampak jelas terinfeksi telah diangkat
dari bidang luka, luka dapat terus menghasilkan eksudat dalam jumlah banyak yang
dapat menembus balutan non-oklusif dan meningkatkan risiko infeksi luka.
Eksudat dapat juga mengikis tepi luka jika jaringan sekitarnya menjadi terendam
air. Volume eksudat berkurang pada waktunya, tetapi sampai stadium tersebut
diperlukan balutan yang bisa menyerap dan tidak melekat. (Morrison, 2004). Luka-
luka yang bereksudat dibagi ke dalam tiga kategori, tergantung kedalaman dan
tingkat eksudat yang dihasilkan (Morrison, 2004), antara lain :
a. Untuk luka-luka superfisial dengan eksudat sedikit sampai sedang,
pemilihan balutan meliputi: Lembaran hidrokoloid. Lembar balutan ini tidak
memerlukan balutan sekunder dan cukup mudah untuk melihat kapan balutan
tersebut perlu diganti.
b. Untuk luka superfisial dengan eksudat sedang sampai banyak, pilihan
balutan seperti balutan alginat.
c. Untuk luka dalam dengan eksudat sedang sampai banyak, pilihan balutan
meliputi: granula atau pasta hidrokoloid, hidrogel yang bergranulasi
15
balutan alginat, balutan alginat dalam bentuk pita atau tali sangat berguna untuk
membungkus luka yang sempit, balutan busa.
2.6.4 Perawatan luka dalam yang bersih dengan sedikit eksudat
Bila jumlah eksudat sudah berkurang, maka silastic foam merupakan suatu cara
pembalutan yang sangat bermanfaat khususnya pada luka dalam yang bersih
berbentuk cawan, seperti sinus pilonidal yang sudah dieksisi, atau dekubitus luas
didaerah sakrum. Untuk luka yang lebih kecil, pasien atau yang memberi
perawatan, dapat melakukan desinfeksi dua kali sehari dengan foam stent atau
menutup luka tersebut.
2.6.7 Perawatan luka berdasarkan etiologi
1. Luka insisi bedah
Lakukan pengkajian kondisi area operasi yang meliputi kondisi balutan, adanya
perdarahan, drain, insisi atau jahitan. Lakukan pembersihan luka dimulai pada
pusat luka ke arah keluar dan secara perlahan-lahan karena luka setelah
operasi terdapat sedikit edema. Gunakan normal salin (sodium klorida) untuk
membersihkan luka. Hindari penggunaan larutan yang bersifat sitotoksik seperti
hydrogen perokside dan povidone iodine karena dapat merusak jaringan
dan memperlambat penyembuhan luka. Pertahankan kondisi luka tetap
bersih dan termasuk lingkungan tempat tidur pasien. Penggantian balutan
tergantung pada kondisi balutan bersih atau kotor. Bila kondisi balutan kering dan
bersih balutan diganti 2 atau 3 hari sekali setelah operasi dan juga tergantung
jenis balutan yang digunakan. Jenis balutan yang disarankan adalah balutan
yang dapat mempertahankan kelembaban. Penggunaan kasa dan sodium
klorida, saat penggantian balutan kering akan menekan permukaan yang
mengakibatkan pertumbuhan jaringan sehat yang terganggu dan menimbulkan rasa
nyeri (Suriadi, 2004).
2. Ulkus Arteri
Lakukan pengkajian tanda-tanda infeksi, bila keadaan luka kering dan eskar keras,
jangan lakukan debridemen. Hindari terapi (kompresi) karena dapat menghambat
aliran darah. Lakukan balutan dengan teknik steril dan pertahankan lingkungan
16
dalam keadaan lembab. Gunakan balutan hidrokoloid jika ada untuk menjaga
kelembaban lingkungan luka. (Suriadi, 2004).
3. Ulkus Vena
Lakukan pengkajian kondisi area luka. Ganti balutan dengan teknik steril.
Bersihkan luka dengan sodium klorida. Bila terdapat jaringan nekrotik lakukan
debridemen. Lakukan terapi kompresi, yang bertujuan untuk memperlancar aliran
limfatik, reduksi tekanan vena superfisial dan mengurangi aliran balik ke
pembuluh vena yang dalam. Pemberian obat topikal tergantung jumlah eksudat
dan ukuran luka, ada tidaknya infeksi dan karakteristik sekeliling luka. Apabila
menggunakan balutan untuk kelembaban lingkungan dapat menggunakan
hidrokoloid, transparan film, dan foam. Lakukan peninggian posisi pada daerah
kaki, hal yang dapat meningkatkan sensitivitas pada sekeliling luka.; hindari
larutan atimikrobial, hindari bahan yang sifatnya lengket. Prinsip perawatan luka
pada ulkus vena adalah meningkatkan pengisian kembali ke vena, yang akan
menyebabkan statis vena menurun (Suriadi, 2004).
4. Neuropati perifer ulkus diabetik
Penggunaan balutan pada neoropatik perifer ulkus diabetik dapat disesuaikan
dengan jumlah eksudat yang dihasilkan oleh luka. Balutan yang sering
digunakan adalah hidrogel. Balutan ini digunakan ketika luka sedang kering
dengan tujuan menghasilkan sedikit cairan untuk melembabkan permukaan luka.
Balutan foam digunakan ketika luka menghasilkan cairan eksudat yang banyak
sampai sedang dan balutan alginat digunakan ketika luka menghasilkan banyak
cairan eksudat.
5. Ulkus Dekubitus
Perawatan luka dekubitus mencakup 3 prinsip : debridemen, pembersihan dan
dressing. Debridemen dilakukan untuk mencegah infeksi yang lebih luas.
Debridemen bertujuan untuk mengangkat jaringan yang sudah mengalami
nekrosis. Pada setiap luka yang akan diganti selalu dibersihkan. Bahan-bahan
yang perlu dihindari untuk membersihkan luka seperti povidone iodine, larutan
sodium hypoclorite. Gunakan sodium klorida sebagai larutan pembersih luka.
Gunakan balutan hidrokoloid, tetapi jika luka menghasilkan banyak cairan
eksudat (lebih dari 50% balutan primer dalam rentang waktu kurang dari 24 jam dan
balutan sekunder telah basah) gunakan alginat.
17
18
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama : IKP
Umur : 20 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Sampiang, Gianyar
Agama : Hindu
Suku/Bangsa : Bali/Indonesia
Nomor RM : 53.12.97
Tanggal Pemeriksaan : 7 Agustus 2015
3.2 Anamnesis
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan Utama: Luka yang tidak sembuh
Pasien datang sendiri ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Sanjiwani Gianyar pukul
09.30 WITA (7 Agustus 2015). Pasien mengeluh Luka yang memberat pada dahi
dirasakan sejak 2 minggu yang lalu. Pasien mengatakan bahwa, awalnya luka hanyalah
sebuah jerawat, kemudian melebar, bernanah, dan tak sembuh. Luka dirasakan nyeri yang
memberat ketika ditekan. Pasien juga menyatakan bahwa dirinya sempat terjatuh sebelum
luka membesar.
b. Riwayat Penyakit Terdahulu
Pasien sebelumnya tidak pernah mengalami keluhan seperti yang dialami saat ini. Pasien
mengaku tidak pernah mengalami penyakit kulit dalam beberapa bulan terakhir. Riwayat
penyakit sistemik seperti diabetes mellitus dan hipertensi disangkal pasien. Riwayat asma
19
dan rhinitis alergi disangkat oleh pasien, termasuk juga riwayat alergi terhadap obat-obatan
dan makanan.
c. Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengatakan bahwa teradpat anggota keluarga yang pernah mengalami keluhan
serupa dengan pasien. Riwayat asma, diabetes mellitus, hipertensi, alergi maupun penyakit
menhaun lainnya di dalam keluarga disangkal pasien.
d. Riwayat Sosial
Pasien merupakan seorang mahasiswi. Pasien mengatakan memiliki pola makan tiga kali
sehari dengan daging dan sayuran.
e. Riwayat Pengobatan
Pasien belum pernah menjalani pengobatan untuk keluhan yang dirasakannya saat ini.
3.3 Pemeriksaan Fisik
Status Present : dalam batas normal
Status Generalis : dalam batas normal
Status Dermatologis
Regio: Frontalis
Effloresensi: Ulkus dengan tepi eritema ireguler, numular (1,5x2cm2), soliter dan
regional pada dahi, dengan dasar jaringan granulasi & fibrosa, dan terdapat eksudat
berupa nanah.
20
3.4 Pemeriksaan Penunjang
-
3.5 Diagnosis Kerja
Ulkus Post Akne et causa infeksi sekunder
3.6 Penatalaksanaan
Perawatan luka kompres terbuka dengan larutan NaCl 0,9%
Terapi medikamentosa: Eritromycin 3 x 500mg
KIE: Kontrol ke poli klinik 3 hari lagi, dan jaga kelembaban luka
3.7 Prognosis
Dubia
21
BAB IV
PEMBAHASAN
Dari anamnesis pada pasien, didapatkan keluhan luka tak sembuh 1 minggu yang
lalu pada dahi pasien. Pasien mengatakan lesi diawali dengan jerawat yang menonjol
besar, kemudian pecah dan menjadi merah dan bernanah. Pasien juga menyatakan sempat
terjatuh sebelum lesi memburuk. Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan efloresensi
berupa ulkus dengan tepi eritema, numular, soliter dan regional pada dahi, terdapat pus dan
darah didalamnya. Dari hasil temuan klinis tersebut penyakit pasien memberikan gejala
dan tanda sesuai dengan ulkus post akne.
Morrison (2004) menyatakan bahwa terdapat faktor intrinsik dan ekstrinsik yang
memengaruhi penyembuhan. Faktor intrinstik meliputi faktor-faktor patofisiologi umum
dan faktor fisiologi normal yang berkaitan dengan usia dan kondisi lokal yang
merugikan pada tempat luka. Faktor ekstrinsik meliputi penatalaksanaan luka yang tidak
tepat. Dari hasil anamnesis pasien menyatakan belum mendapatkan penanganan sejak awal
luka, sehingga dalam kasus ini hanya terdapat faktor ekstrinsik yakni penatalaksanaan
yang tidak tepat. Pemeriksaan penunjang dapat menjadi pendukung untuk menelusuri
faktor pengaruh lambatnya proses penyembuhan luka. Pada kasus ini diajurkan untuk
melakukan pemeriksaan laboratorium untuk kuman penyebabnya. Pemeriksaan penunjang
lain yang disarankan adalah pemeriksaan gula darah acak dan gula darah sewaktu untuk
mengetahui faktor intrinsik kesembuhan luka pasien.
Pengobatan yang dilakukan adalah kompres terbuka dengan sodium klorida serta
pemberian obat antibiotik sistemik. Berdasarkan tinjauan pustaka, kompres terbuka
merukapan teknik perawatan luka yang tepat untuk ulkus karena, teknik tersebut memiliki
beberpaa keuntungan diantaranya: (1) menghilangkan debris atau jaringan nekrotik yang
menjadi sumber infeksi; (2) menghambat pertumbuhan organisme; dan (3) mempercepat
proses epitelisasi; sehingga mempercepat penyembuhan luka. Pemberian antibiotik oral
secara empiris juga mendukung penyembuhan luka, oleh karena menekan pertumbuhan
bakteri yang menjadi faktor infeksi pada luka.
22
BAB V
KESIMPULAN
5.1 Simpulan
Ulkus post akne dapat terjadi pada pasien akne vulgaris yang tidak mendapatkan
penanganan tepat atau mengalami gangguan penyembuhan luka. Oleh karenanya, penting
bagi tenaga kesehatan memahami teknik perawatan luka yang tepat berdasarkan
karakteristik luka. Ulkus dapat diobati dengan perawatan luka kompres terbuka dengan
larutan sodium klorida untuk mengangkat debris dan menjaga kelembaban luka.
Kelembaban luka akan mempercepat epitelisasi dan menghambat perkembangan
mikroorganisme.
5.2 Saran
1. KIE pasien untuk mencegah timbulnya ulkus wajah dengan menjaga kebersihan
wajah, mencegah manipulasi berlebihan pada akne atau luka lain pada wajah,
menjaga pola makan dan istirahat yang cukup.
2. Kepada pasien dianjurkan segera mencari pengobatan ketika timbul luka yang tak
sembuh dalam waktu lama untuk mencegah komplikasi.
23
DAFTAR PUSTAKA
Allman, Richard M. et al. (2009). Pressure Ulcers, Hospital Complications, and Disease
Severity : Impact on Hospital Costs and Length of Stay. Advances In Wound Care.
12(1), 84-93.
Katarzyna. (2009). New Dressing material Derived from Flax Product to Treat long
Standing Venous Ulcer-A pilot study. Diunduh tanggal 18 Oktober 2011 dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20419874
Knottenbelt Dereck. (2003). Hand Book Of Equine Wound Management. UK :
Elsevier Science Limited.
O’Leary. (2007). The Physiologic Basis of Surgery. Philadelphia : Lippincort
Company.
Potter dan Perry. (2006). Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta : EGC. Schrock,
Theodore. (1995), Ilmu Bedah. Jakarta : EGC.
Wasitaatmadja, S. M. (1997). Penuntun Ilmu Kosmetik Medik. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Hal. 3,58-59, 62-63, 111-112.
Wasitaatmadja, S. M. (2007). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta. Penerbit Universitas Indonesia. Hal. 3.
WHO. (2010). Wound and Limphoedema Management. Diunduh tanggal 27 Juni 2012
dari http://whqlibdoc.who.int/publications/2010/9789241599139_eng.pdf
24