lembaga kajian keuangan daerah (lkkd)

8
Mitra Strategis Dalam Terciptanya Transparansi Dan Akuntabilitas Keuangan Daerah PROFILE LEMBAGA KAJIAN KEUANGAN DAERAH (INSTITUTE FOR STUDIES IN LOCAL GOVERNMENT FINANCE)

Upload: warsidi

Post on 15-Jun-2015

428 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Lembaga kajian keuangan daerah (LKKD)

Mitra Strategis Dalam Terciptanya

Transparansi Dan Akuntabilitas

Keuangan Daerah

PROFILE LEMBAGA KAJIAN KEUANGAN DAERAH (INSTITUTE FOR STUDIES IN LOCAL GOVERNMENT FINANCE)

Page 2: Lembaga kajian keuangan daerah (LKKD)

H A L A M A N 2

K A T A P E N G A N T A R Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam. Puji syukur yang sedalam-dalamnya kami panjatkan ke hadirat Allah, SWT yang atas bimbingan-Nya telah mengijinkan terselesaikannya Profile Lembaga Kajian Keuangan Daerah. Dokumen profile ini dimaksudkan sebagai prospektus pembentukan Lembaga Kajian Keuangan Daerah. Lembaga Kajian Keuangan Daerah diharapkan menjadi salah satu representasi dari partisipasi masyarakat dalam rangka terwujudnya pengelolaan keuangan daerah yang efektif, efisien, ekonomis, transparan dan akuntabel. Lembaga ini diharapkan menjadi mitra strategis pemerintah dalam rangka terciptanya transparansi dan akuntabilitas keuangan daerah. Kami memandang isu-isu terkait pengelolaan keuangan daerah sangat substansial. Sejalan dengan implementasi otonomi daerah, sebagai organisasi sektor publik, pemerintah daerah saat ini mengelola dana sangat besar yang berasal dari dana publik. Mengingat latar belakang kami sebagai akademisi, otokritik kami terhadap dunia pendidikan tinggi adalah bahwa concern kalangan akademisi, terutama pendidikan tinggi, terhadap isu-isu keuangan daerah masih sangat minim. Atas dasar hal tersebut, kami berinisiatif untuk mengembangkan sebuah lembaga berbasis riset yang secara spesifik melakukan pengkajian terhadap masalah, peluang, dan tantangan dalam pengelolaan keuangan daerah. Besar harapan kami, keberadaan Lembaga Kajian Keuangan Daerah ini akan memberikan kontribusi positif bagi percepatan tercapainya tujuan reformasi pengelolaan keuangan sektor publik di Indonesia. TIM PERUMUS

Kiri-Kanan; Tobirin, S.Sos, M.Si, Warsidi, SE, M.Si, Ak, Arfianto, S.IP

“ Pengetahuan tidaklah cukup; kita harus mengamalkannya. Niat tidaklah cukup; kita harus melakukannya ” Johann Wolfgang von Goethe

Inisiatif untuk mengembangkan pusat studi ini sebenarnya bermula dari diskusi-diskusi lepas yang kerap kali kami lakukan. Dalam obrolan-obrolan kami sesekali terlontar “kritik” terhadap diri kami sendiri sebagai akademisi, “Apa sesungguhnya sumbangan dari keberadaan kampus sebagai institusi yang selama ini dipersepsikan sebagai habitatnya kaum intelektual?” Kami khawatir, jangan-jangan ada atau tiadanya kami tidak berpengaruh apapun terhadap masyarakat? Dengan kata lain, persepsi bahwa institusi pendidikan tinggi adalah tempatnya para intelektual untuk belajar dan mengabdi sekadar ilusi belaka. Berangkat dari otokritik tersebut, kami mencoba mencari sumbangan apa yang paling mungkin diberikan yang sejalan dengan bidang keilmuan yang kami miliki. Sambil mencermati isu-isu yang berkembang, baik di tingkat nasional maupun di tingkat lokal, akhirnya kami memandang bahwa isu reformasi birokrasi, khususnya terkait reformasi pengelolaan keuangan daerah, adalah alternatif paling strategis untuk kami kaji lebih lanjut. Meskipun kami berasal dari latar belakang keilmuan yang berbeda, hal ini memberikan potensi bagi kami dalam mengkaji permasalahan keuangan daerah secara utuh. Kami sadar, bahwa usaha ini merupakan langkah kecil kami dalam pengabdian kepada masyarakat.

S E K I L A S P E R J A L A N A N

Page 3: Lembaga kajian keuangan daerah (LKKD)

D A S A R P E M I K I R A N

Sejalan dengan diimplementasikannya otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki otonomi yang luas dalam pengelolaan keuangannya. Dalam rangka mendanai pembangunan daerah, pemerintah daerah memiliki lebih banyak keleluasaan untuk menentukan sumber-sumber penerimaan daerahnya. Pemerintah daerah tidak hanya berwenang untuk memungut pajak dan retribusi serta memanfaatkan sumber daya alam.Akan tetapi, juga diperbolehkan untuk memperoleh sumber-sumber

H A L A M A N 3

pembiayaan lainnya, termasuk sumber pendanaan utang, dan sumber-sumber lainnya yang sah menurut hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Di samping itu, daerah juga mendapatkan sumber penerimaan dari pemerintah pusat dan pihak lainnya, baik berupa dana perimbangan, hibah, maupun pinjaman. Secara keseluruhan, kewenangan pemerintah daerah saat ini dalam mengelola keuangannya jauh lebih besar jika dibandingkan dengan sebelum diterapkannya otonomi daerah. Otonomi daerah juga mengimplikasikan keleluasaan daerah untuk menentukan prioritas pembangunannya. Keleluasaan ini didasarkan kepada kenyataan bahwa potensi, peluang, dan tantangan yang ada berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Dengan sumber daya terbatas yang dimiliki dan dikuasai oleh masing-masing daerah, pemerintah daerah dituntut untuk melaksanakan pengeluarannya secara ekonomis, efisien, dan efektif

selaras dengan visi, misi, dan tujuan penyelenggaraan pembangunan daerah dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh.

Otonomi daerah itu sendiri sebenarnya merupakan implikasi langsung dari diterapkannya sistem demokrasi di Indonesia. Dalam sistem negara yang demokratis, rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi, di mana penyelenggara negara adalah representasi lembaga yang diberi amanat oleh rakyat untuk menyelanggarakan pemerintahan. Sebagai konsekuensinya, penyelenggaraan pemerintahan, termasuk pengelolaan keuangan negara, harus dilaksanakan secara transparan, partisipatif, dan akuntabel.

Urgensi dalam penyelenggaraan otonomi daerah pada hakikatnya adalah tuntutan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, yang diantaranya meliputi pengembangan infrastruktur, jaminan sosial, jaminan

kesehatan, jaminan pendidikan, serta aksesibilitas. Dalam tataran global, tanggung jawab, peluang dan tantangan yang dihadapi pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah, menjadi semakin kompleks. Perumusan kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak tidaklah semata-mata didasarkan kepada potensi, peluang, dan tantangan dalam lingkup nasional. Munculnya gagasan untuk “meningkatkan daya saing bangsa” sebenarnya mencerminkan kesadaran bahwa pemerintah juga bertanggung jawab untuk mengantarkan bangsa Indonesia untuk sejajar dan bahkan menjadi bangsa yang unggul dalam kancah global.

Berdasarkan uraian di atas, isu-isu dalam penyelenggaraan otonomi daerah terutama menyangkut aspek keuangannya dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Dari sisi penerimaan, pemerintah daerah dituntut untuk memiliki strategi kreatifitas dan inovasi dalam menggali potensi dan peluang sumber daya keuangan yang dapat digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pembangunan daerah. 2. Dari sisi pengeluaran, pemerintah daerah juga dituntut untuk memiliki sistem perencanaan yang andal sehingga sumber daya keuangan yang dikelola oleh pemerintah daerah bisa digunakan secara efektif, efisien, dan ekonomis selaras dengan visi, misi, dan tujuan pembangunan daerah dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat Indonesia secara menyeluruh. 3. Pemerintahan daerah adalah representasi lembaga yang diberi amanat oleh rakyat, pengelolaan keuangannya yang harus dilaksanakan secara partisipatif, transparan, dan

akuntabel. 4. Dalam konteks global, pemerintah daerah juga harus mempertimbangkan faktor-faktor global dalam pengelolaan keuangan daerahnya. Oleh karena itu pemerintah daerah dituntut untuk memiliki perencanaan strategis yang berdimensi global. Sejalan dengan diimplementasikan otonomi daerah tersebut, upaya reformasi pengelolaan keuangan daerah telah dilakukan, ditandai dengan diundangkannya Paket tiga Undang-Undang tentang Keuangan Negara yang kemudian diikuti oleh peraturan perundang-undangan terkait. (Lanjut ke hal 4)

Page 4: Lembaga kajian keuangan daerah (LKKD)

H A L A M A N 4

(Bersambung dari hal 3) Meskipun demikian, dalam pelaksanaanya ternyata masih terdapat masalah-masalah yang menghambat tercapainya pengelolaan keuangan daerah secara efektif, efisien, ekonomis, transparan, dan akuntabel. Masalah-masalah itu di antaranya adalah: a. Kualitas laporan keuangan pemerintah daerah ternyata masih sangat rendah. Hal ini tercermin dari masih banyaknya hasil audit BPK atas laporan keuangan pemerintah daerah dengan opini selain wajar tanpa pengecualian (Lihat Tabel ). b.Perubahan dan perkembangan regulasi yang cepat dalam hal keuangan negara, tidak diimbangi oleh peningkatan kapasitas aparatur pemerintah daerah dalam pengelolaan

Tabel Perkembangan Opini LKPD Tahun 2006-2008

keuangan. c.Kemampuan pemerintah daerah dalam menyusun dan melaporkan keuangan secara wajar sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan juga masih terbatas. Hal ini sebagian disebabkan oleh tidak memadainya SDM yang menangani pengelolaan dan pelaporan keuangan di pemerintah daerah. d.Sementara itu, pendidikan akuntansi di perguruan tinggi selama ini hanya menekankan akuntansi sektor bisnis (private). Akuntansi sektor publik, termasuk di dalamnya akuntansi pemerintahan, masih belum diperhatikan secara memadai. Berdasarkan identifikasi masalah tersebut di atas, partisipasi aktif dan kontribusi seluruh elemen masyarakat, termasuk kalangan perguruan tinggi sangat dibutuhkan. Lembaga Kajian

Keuangan Daerah merupakan salah satu respon dan kepedulian terhadap proses pengelolaan keuangan daerah yang transparan, efisien, dan akuntabel. Lembaga ini diharapkan akan menjadi mitra strategis pemerintah daerah dalam pelaksanaan reformasi pengelolaan keuangan daerah.

“Nilai manusia bukan bagaimana ia mati, melainkan bagaimana ia hidup. Bukan apa yang ia peroleh, tapi apa yang telah ia berikan. Bukan apa pangkatnya, tapi apa yang telah ia perbuatdengan tugas yang diberikan Tuhan kepadanya...”

Page 5: Lembaga kajian keuangan daerah (LKKD)

V I S I & M I S I

VISI : Sebagai mitra strategis dalam terciptanya transparansi dan akuntabilitas keuangan daerah MISI : 1. Mengembangkan database mengenai potensi fiscal di tingkat lokal 2. Meningkatkan kapasitas dan kapabilitas aparatur pemerintah dalam pengelolan

keuangan daerah 3. Berpartisipasi sebagai mitra solutif dalam pengelolaan keuangan daerah TUJUAN : 1. Tersedianya database sebagai landasan best practice dalam pengelolaan keuangan

daerah 2. Terciptanya sumber daya yang berkualitas dalam pengelolaan keuangan daerah 3. Terbukanya ruang publik dalam pengelolaan keuangan daerah SASARAN : 1. Pemerintah daerah 2. DPRD 3. Masyarakat

H A L A M A N 5

S T R U K T U R L E M B A G A PEMBINA :

Prof. DR. Ir. Edy Yuwono Prof. Ir. Toto Agung, Ph.D DR. Bambang Agus Pramuka, M.si

EKSEKUTIF :

Direktur : Ali Rokhman, Ph.D

Departemen Penelitian & Pusat Data : Warsidi, SE, M.Si Arfianto Departemen Kajian & Pelatihan : Tobirin, S.Sos, M.Si Departemen Kemitraan & Konsultasi : Rahab, SE, M.Sc Departemen Publikasi & Networking media : Trisno Suhito, S.Sos

M. Akhirrudin, ST Administrasi & Keuangan : Khusni Tamrin, S.Sos

Page 6: Lembaga kajian keuangan daerah (LKKD)

H A L A M A N 6

S E P U T A R K E U A N G A N D A E R A H

.BPK Ungkap 10 Kelemahan Laporan Keuangan Pemerintah 17 June 2008 Ada informasi penting dalam dialog nasional antara APKASI dengan BPK yang kiranya patut digarisbawahi, terutama mengenai penemuan BPK se-

putar kelemahan sistem pengendalian intern keuangan negara. “Setelah kami pelajari, setidaknya ditemukan sepuluh kelemahan yang menyebabkan buruknya pengenadalian keuangan di negara ini,” ungkap Ketua BPK, Anwar Nasution. Pertama, jelas Anwar, belum adanya keseragaman sistem akuntansi keuangan di negeri ini. Kedua, belum terciptanya sinkronisasi sistem komputer.“Nah, kedua sistem ini harus disera-gamkan dulu, bila mau memperbaiki pengendalian pengelolaan keuangan bangsa ini,” cetus Anwar.

Kelemahan ketiga, kata Anwar lagi, yaitu masih adanya praktik sistem perbendaharaan ganda. Untuk itu, ia mengusulkan agar diterapkan sistem perbendaharaan tunggal, agar uang negara tidak tersebar ke rekening-rekening pribadi pejabat. “Tidak terinventarisasinya utang dan aset pemerintah secara transparan, merupakan kelemahan keempat. Ini terjadi di Daerah maupun Pusat. untuk memperbaikinya, Pusat lewat Dep-keu kini tengah melakukan inventarisasi,” terangnya. Kelemahan lainnya, papar Anwar, yang kelima ialah kurangnya tenaga

aturan dasar pemungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Praktik ini, harus segera ditertibkan. “Sebagai kelemahan terakhir yang sering ditemukan BPK ialah, Laporan dari Pemerintah, Departemen ataupun Pemda belum melalu proses review oleh pengawas internal. Harusnya, sesuai aturan perundangannya, laopran itu direview dulu baru diserahkan ke BPK,” pinta Anwar seraya berharap ke depan 10 kelemahan ini harus diperhatikan. (mz) www.apkasi.or.id

akuntan berkualitas sesuai standar dalam menyusun laporan keuangan. Lalu, keenam, ak adanya tranparansi dan akuntabilitas dalam hal pemungutan dan peyimpanan perpajakan. sebelum ditranfer ke kas negara. “Kelemahan ketujuh, belum adanya transparansi dan sinkronisasi penerimaan dan pengeluaran di sektor perminyakan. Kedelapan, terbatasnya kewenangan BPK dalam mengawasi penerimaan sektor pajak,” keluh Ekonom senior ini. Sementara itu, singkap Anwar lagi, kelemahan juga disebabkan lantaran terjadinya kesemerawutan tentang

Page 7: Lembaga kajian keuangan daerah (LKKD)

S E K I L A S B E R I T A

H A L A M A N 7

“.......lebih dari Rp200 triliun APBN dan APBD se-Indonesia tiap tahunnya bocor alias menyimpang dan tidak bisa dipertanggungjawabkan”. ( Laporan BPK-www.riaumandiri.net) “..BPK menemukan kejanggalan dalam pelaporan APBD 2008 disemua kabupaten/kota termasuk Pemprov Jabar yang mencapai Rp 26 triliun “. (www.tribunjabar.co.id)

“Ke depan, Indonesia butuh tenaga akuntabilitas publik untuk membenahi keuangan-keuangan bermasalah atau kelemahan mendasar pada administrasi keuangan negara. Untuk itu, BPK telah mengajukan kepada DPR untuk membentuk Panitia Akuntabilitas Publik (PAP) seperti yang terbentuk pada parlemen luar negeri, Public Accounts and Audit Committee (PAAC)”, Anwar Nasution. (www.sib.co.id)

“ Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI menemukan sedikitnya Rp 110 triliun lebih keuangan ‘bermasalah’ ,antara lain berupa nota keuangan yang menimbulkan kerugian negara, penggunaan anggaran yang menunjukkan aksi pemborosan, alokasi dana yang tak tepat sasaran, dana yang ‘tertahan’ di pos-pos atau rekening tertentu, dsb.”. (www.sib.co.id)

“...ada dua karakter daerah. Pertama, daerah yang sangat bergantung pada sumber daya ne-gara (state driven economy) dan kedua, daerah yang lebih mengandalkan pada sumber daya pasar untuk pembangunan ekonomi daerahnya (market driven economy)”. (www.kompas.com)

“Menurut data Kompas, dana yang dikelola 33 provinsi dan 477 kabupaten atau kota di seluruh Indonesia tahun ini mencapai Rp 674,12 triliun. Dari jumlah ini, sekitar Rp 342,243 triliun langsung masuk ke APBD di setiap daerah dan berada langsung dalam kontrol pemda. Itu belum termasuk pendapatan asli daerah (PAD), yang setiap tahunnya mencapai Rp 60 triliun-Rp 70 triliun”. (www.kompas.com)

“Akibat pengelolaan keuangan daerah yang buruk, terdapat sejumlah daerah pemekaran baru yang tidak memiliki pendapatan asli daerah (PAD) sehingga daerah tersebut masih harus bergantung pada pemerintah. Ada daerah yang tidak punya PAD. Kalau belum punya PAD, maka 100 persen dibiayai nasional," Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi (www.depdagri.co.id)

Page 8: Lembaga kajian keuangan daerah (LKKD)