lembaga pendidikan islam sesudah indonesia merdeka
TRANSCRIPT
Lembaga Pendidikan Islam Sesudah Indonesia MerdekaSetelah Indonesia merdeka dan mempunyai Departemen Agama, maka secara instansional Departemen Agama diserahi kewajiban dan bertanggung jawab terhadap pembinaan dan pengembangan pendidikan agama dalam lembaga-lembaga tersebut. Lembaga pendidikan agama Islam ada yang berstatus swasta.Yang berstatus Negeri misalnya:1. Madrasah Ibtidaiyah Negeri (Tingkat Dasar).2. Madrasah Tsanawiyah Negeri (Tingkat Menengah Pertama).3. Madrasah Aliyah Negeri (Tingkat Menengah Atas). Dahulunya berupa Sekolah Guru dan Hakim Agama (SGHA) dan Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN).4. Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang kemudian berubah menjadi IAIN (Institut Agama Islam Negeri).
Pendidikan Agama Islam mulai diajarkan secara resmi di sekolah-sekolah umum negeri pada tahun 1946, dengan keluarnya SKB Menteri Agama dan Menteri P & K. Sebagai tindak lanjutnya ialah penyediaan dan pengadaan tenaga guru agama yang ditugaskan di sekolah-sekolah umum negeri. Untuk memenuhi guru agama Islam itu, maka pada tahun 1950 Departemen Agama mendirikan Sekolah Guru Agama Islam (SGAI). Lulisan sekolah ini dipersiapkan untuk menjadi guru agama Islam di Sekolah Dasar. Sedangkan untuk guru agama Islam di Sekolah Menengah, maka didirikanlah Sekolah Guru dan Hakim Agama Islam. Tamatan sekolah ini juga untuk memenuhi tenaga guru di SGAI dan untuk tenaga panitera pengadilan agama.
Untuk memenuhi tenaga guru di SGHA dan tenaga dosen agama Islam di perguruan tinggi umum, maka Departemen Agama mendirikan PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri) yang didirikan di yogyakarta pada bulan September 1951 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 1950, yang ditanda tangani oleh Presiden RI. Kemudian bernama IAIN (Institut Agama Islam Negeri).
A. entuk-bentuk dan Karakteristik (Ciri Khas) Lembaga Pendidikan Islam pada masa
kemerdekaan
Secara`global lembaga Pendidikan Islam di Indonesia adalah pondok pesantren dan
madrasah, walaupun sebenarnya selain kedua lembaga tersebut masih ada lagi yaitu IAIN /
UIN / STAIN dan pelajaran agama Islam di sekolah umum atau perguruan tinggi umum.
Namun dalam pembahasan ini kami hanya akan membahas mengenai pondok pesantren
dan madrasah.
1. Pondok Pesantren
a. Pengertian Pondok Pesantren
Pondok Pesantren adalah lembaga keagamaan yang memberikan pendidikan dan
pengajaran serta mengembangkan dan menyebarkan ilmu agama Islam1.
b. Ciri Khas Pondok Pesantren
Ciri-ciri umum, ditandai adanya2 :
1. Kyai (abuya, encik, ajengan, tuan guru) sebagai sentral figur, yang biasanya
juga disebut pemilik.
2. Asrama (kampus atau pondok) sebagai tempat tinggal para santri dimana
masjid sebagai pusatnya.
3. Adanya pendidikan dan pengajaran agama melalui sistem pengajian (weton,
sorogan dan bandongan) yang sekarang sebagian sudah berkembang dengan
sistem klasikal atau madrasah. Pada umumnya kegiatan tersebut sepenuhnya
di bawah kedaulatan dan leadership seorang atau beberapa orang kyai.
Ciri khususnya ditandai dengan sifat kharismatik dan suasana kehidupan
keagamaan yang mendalam.
2. Madrasah
a. Pengertian Madrasah
Madrasah adalah tempat pendidikan yang memberikan pendidikan dan pengajaran
yang berada di bawah naungan Departemen Agama. Yang termasuk ke dalam
kategori madrasah ini adalah lembaga Pendidikan Ibtidaiyyah, Tsanawiyyah,
Aliyah, Mu'allimin-Mu'allimat serta Diniyyah3
b. Ciri Khas Madrasah
Ada beberapa ciri khas dari madrasah diantaranya yaitu :4
1. Memiliki muatan kurikulum agama lebih banyak
2. Berbasis masyarakat
3. Mengembangkan kurikulum berdasarkan kekhasan lembaga
4. Siswa tinggal di asrama atau pesantren
5. Penguasaan Bahasa Arab (asing) sangat ditekankan
1 Prof. Dr. H. M. Ridlwan Nasir, MA., Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005) hal 80.
2 Ibid, hal. 823 Ibid, hal. 904 http://imamsolo.blogspot.com
B. Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam pada masa kemerdekaan
1. Lembaga Pendidikan Dasar
Lembaga pendidikan yang dijadikan sebagai tempat berlangsungnya proses
pendidikan dasar antara lain: rumah, kuttab, istana, toko dan (terkadang) pasar.
Rumah, sebagaimana dikatakan Ahmad Syalabi, dijadikan sebagai tempat
berlangsungnya pendidikan lebih karena kondisi yang mendesak atau karena alasan
tertentu dan bukan tempat yang layak.5 Hal ini terjadi pertama kali pada masa awal
turunnya Islam. Dan rumah yang pertama kali digunakan adalah rumah seorang
shahabat Nabi Muh ammad saw. yang bernama al-Arqam ibn Abî al-Arqam, yang
dikenal dengan nama Dâr al-Arqam. Selain itu, pendidikan juga berlangsung di rumah
Nabi Muh ammad saw. sendiri. Guru agung yang mengajar di institusi tersebut adalah
Nabi Muh ammad saw., dan siswanya adalah para pengikut beliau yang jumlahnya
masih sangat terbatas. Pendidikan ini dilakukan secara diam-diam dan proses
pelaksanaannya lebih bersifat fleksibel. Artinya tidak dilaksanakan dalam waktu yang
pasti. Sedangkan yang dipelajari adalah ayat-ayat al-Qur'an yang berisi tentang aqidah
atau ideologi Islam, karena tujuan pendidikan di masa itu adalah untuk meluruskan
aqidah umat.
Kuttâb sebagai tempat belajar, sudah ada sejak masa pra-Islam. Karena Islam
menekankan pendidikan (di antaranya baca-tulis) bagi umatnya, maka kehadiran Islam
mendesak perkembangan Kuttâb. Pada mulanya Kuttâb digunakan sebagai tempat
belajar baca-tulis, terutama bagi anak-anak, dan seringkali dilakukan oleh orang-orang
Kristen (kafir dzimmi dan tawanan-tawanan perang Badar), dan berlokasi di luar
masjid. Pengajaran ini dilakukan dengan menggunakan syair-syair yang terkenal pada
masanya. Hal itu, untuk menghindarkan diri dari menggunakan al-Qur'an. Sebab
penggunaan al-Qur'an untuk belajar menulis dipandang kurang etis.
Toko, pada dasarnya merupakan tempat jual-beli kitab yang mulai menjamur pada
awal masa Daulah Bani Abbasiyyah, tepatnya di saat ilmu pengetahuan dan kebudayaan
Islam mulai tumbuh dan berkembang. Al-Ya'qûbî meriwayatkan bahwa pada masanya
(sekitar 891 M.) ibukota negara diramaikan oleh lebih dari seratus toko buku yang
berderet di satu ruas jalan yang sama. Sebagian toko-toko tersebut, sebagaimana toko-
5 Baca selengkapnya Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan…, hlm. 58-61; lihat juga Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan…, hlm. 124
toko yang kemudian muncul di Damaskus dan Kairo, lebih kecil dari ruangan samping
masjid, tetapi ada juga yang berukuran sangat besar, cukup besar untuk pusat penjualan
sekaligus sebagai pusat aktivitas para ahli dan penyalin naskah.6
2. Lembaga Pendidikan Menengah
Yang termasuk dalam lembaga pendidikan menengah adalah masjid dan sanggar
seni. Masjid sebagai lembaga pendidikan menengah, muncul sekitar abad VIII M. Pada
mulanya masjid merupakan lembaga pendidikan dasar. Pada zaman Nabi Muh ammad
saw. dan Khulafâ' al-Râsyidîn, masjid merupakan lembaga pendidikan pokok. Ketika
ilmu-ilmu asing memasuki masyarakat Islam, ia juga memasuki masjid dan harus
dipelajari bersama-sama dengan ilmu-ilmu agama. Di Madinah, begitu Syalabi
mencontohkan, Nabi Muh ammad saw. menggunakan masjidnya (Nabawi) sebagai
tempat memberi pelajaran kepada para shahabatnya tentang urusan-urusan agama dan
dunia.7 Dalam perkembangan selanjutnya, dengan alasan tertentu, ia dijadikan sebagai
lembaga pendidikan menengah dan --dalam waktu yang sama-- pendidikan tinggi. 8
Lembaga pendidikan kedua setelah rumah semenjak kehadiran Islam ini, jelas
Stanton,9 dibedakan menjadi dua; yaitu masjid jâmi' dan masjid non-jâmi'. Masjid tipe
pertama, yang memiliki jumlah sangat terbatas (di Baghdad hanya terdapat lima atau
enam masjid, sementara di Mesir hanya terdapat enam buah), dibangun oleh khalifah
dengan ukuran relatif besar dan dihiasai secara indah. Selain dijadikan sebagai tempat
melaksanakan shalat jum'at, masjid ini juga dijadikan sebagai penghubung antara
khalifah dengan rakyat banyak. Sedang tipe yang kedua bersifat lokal dan eksklusif
serta memiliki jumlah banyak. Masjid tipe ini biasanya lebih kecil dan dibangun untuk
kepentingan sekelompok masyarakat muslim tertentu atau sekelompok penganut
madzhab tertentu, dengan dukungan dana dari jama'ahnya sendiri, dari satu patronase
atau dari satu wakaf. Masjid (tipe) ini sering disebut sebagai masjid-akademi.
Sanggar seni (sastra) muncul pertama kali pada masa khalifah Bani Umaiyah
dalam formatnya yang bersahaja, sebagai perkembangan dari majlis-majlis yang telah
6 Philip K. Hitti, History of the Arabs, hlm. 521 Lebih jelas Stanton mengatakan, sebelum perusakan oleh pasukan Mongol, Baghdad memiliki lebih dari 100 penjulan buku. Kota-kota seperti Sharaz, Mosul, Bashrah , Kairo, Kordova, Fez, Tunis, dan lain-lain mendukung berlipatgandaan toko buku. Lihat Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi …, hlm. 162
7 Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan …, hlm.648 Lihat Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan …, hlm.123 9 Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi …, hlm. 35
ada pada masa Khulafâ' al-Râsyidîn yang diselenggarakan di masjid. Institusi ini
mendapat kemegahannya dibawah imperium khalifah Bani Abbasiyyah dengan
dinamikanya sendiri.10 Dalam periode kedua masa ini, institusi ini mulai dikenal di
kalangan para penguasa dan kaum bangsawan yang lebih rendah baik di Damaskus
maupun di Baghdad, seperti yang diselenggarakan oleh Sultan Mah mûd al-Ghaznawi
dan Nidlâm al-Mulk.11
3. Lembaga Pendidikan Tinggi
Di antara lembaga-lembaga pendidikan tinggi adalah masjid, perpusta-kaan dan
madrasah. Masjid, sebagai lembaga pendidikan tinggi merupakan kelanjutan dari
pendidikan menengah. Dengan demikian, dari sudut disiplin ilmu yang dipelajari sama
dengan yang ada pada jenjang sebelumnya (penulis tidak mendapatkan data konkrit,
yang membedakan antara kedua jenjang dari sudut ini). Perbedaan antara keduanya,
sebagaimana disinggung di atas, lebih terlihat pada status guru (syaikh), apakah dia
ulama' besar dan memiliki prestise tinggi atau belum mencapai derajat itu. Kualifikasi
tersebut tentunya berimplikasi pada kualitas seorang syaikh, dan pada batas-batas
tertentu, ilmu yang diperoleh siswa.
Perpustakaan sebagaimana dikatakan Syalabi, didirikan karena mahalnya harga
manuskrip ketika itu. Sehingga alternatif yang dianggap efektif bagi pengajaran dan
pengembangan ilmu pengetahuan di masa itu adalah perpustakaan.12 Perpustakaan,
begitu Hitti, menyimpan beberapa buku dalam berbagai disiplin ilmu, seperti logika,
filsafat, astronomi dan lain-lain di samping ilmu agama. Selain digunakan untuk
membaca, perpustakaan juga dijadikan sebagai tempat diskusi dan debat ilmiah,
sebagaimana lembaga-lembaga pendidikan tinggi sekarang.13 Di sinilah orang (bisa)
menemukan titik permulaan dari pusat keilmuan yang sangat kompleks.
Dalam pandangan orang-orang Arab, buku mempunyai nilai yang sangat tinggi.
Pengaruh tulisan al-Jahiz dalam hal ini tidak dapat diabaikan. Buku itu diam bila
10 Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan …, hlm.6211 Ibid., hlm. 6212 Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan …, hlm. 13213 Philip K. Hitti, History of the Arabs, hlm. 520 Lihat juga Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam,
hlm. 90-91
engkau menghendaki dia diam, berbicara bila engkau menghendakinya. Dia tidak akan
mengganggu kalau engkau sedang bekerja, tetapi bila engkau merasa kesepian dia akan
menjadi temanmu yang baik. Engkau tidak perlu berminyak air terhadapnya dan juga
tidak akan berkecil hati. Dia adalah teman yang tidak menipu atau bermuka dua, begitu
al-Jahiz menulis.14 Dengan demikian, bagi mereka perpustakaan lebih berharga dari
segalanya. Bukan hanya ulama' dan para khalifah yang mendirikannya. Tetapi orang-
orang awam pun ikut menyemarakkan dalam pembangunannya.
Madrasah sebagai institusi pendidikan tidak bisa lepas dari institusi sebelumnya,
terutama masjid. Pendidikan yang terus berkembang memaksa bertambahnya jumlah
halaqah yang diselenggarakan di masjid-masjid. Sudah pasti hal itu menimbulkan
suasana ricuh. Terutama ketika proses pendidikan menggunakan sistem tanya jawab,
debat dan diskusi, sebagai implikasi perkembangan pendidikan. Semua itu
menyebabkan terganggunya fungsi utama masjid, yakni untuk melaksanakan shalat dan
ibadah lainnya. Sebagai solusi, ditambahlah masjid itu dengan ruangan-ruangan khusus
untuk pendidikan ('iwân), pemondokan dan lain-lain, yang terus mengalami
perkembangan sesuai kebutuhan. Inilah yang menjadi ciri madrasah ketika itu dan yang
sekaligus membedakannya dengan masjid.15 Makdisi menyebut madrasah ini sebagai
masjid-khan.
14 Baca Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan …, hlm. 13615 Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan …, hlm. 107