leukoplakia
DESCRIPTION
ddytdyTRANSCRIPT
![Page 1: Leukoplakia](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022061616/55cf921e550346f57b93ca75/html5/thumbnails/1.jpg)
1
BAB I
PENDAHULUAN
Batasan leukoplakia telah dipakai di masa lalu oleh ahli kulit dan ahli kebidanan untuk
menunjukkan suatu penebalan putih pada mukosa mulut atau vulva yang menunjukkan
perubahan dini, in situ dan anaplastik. Berdasarkan konsep yang diterima oleh World Health
Organization maka batasan leukoplakia adalah lesi yang tidak ada konotasi histologinya dan
dipakai hanya sebagai deskripsi klinis. Jadi definisinya adalah suatu penebalan putih yang
tidak dapat digosok sampai hilang dan tidak dapat digolongkan secara klinis atau histologi
sebagai penyakit-penyakit spesifik lainnya (contoh: seperti likhen planus, lupus eritematosus,
kandidiasis, white sponge naevus).
Faktor-faktor yang berperan adalah iritasi kimia melalui tembakau atau faktor mekanis
melalui pemasangan gigi palsu yang tidak baik,ly2 alkohol dan infeksi CandidaY3 terkena
iritan terus-menerus (penggemarpizza panas) dan Human Papiloma Virus sero tipe 16.4
Karena gambaran klinisnya berupa suatu plak putih pada permukaan membrana mukosa dan
leukoplakia oral lebih sering terjadi pada pria, maka penggolongannya sering diabaikan.
Leukoplakia dalam perkembangannya sering menjadi ganas dan untuk menyingkirkan
diagnosis banding, maka sangat diperlukan biopsi dari leukoplakia tersebut. Gambaran
histologinya dapat bermacam-macam dan tergantung dari umur lesi pada saat biopsi
dilakukan. Kendala dalam menegakkan diagnosis leukoplakia masih sering terjadi. Hal ini
disebabkan oleh beberapa kemungkinan seperti etiologi leukoplakia yang belum jelas serta
perkembangan yang agresif dari leukoplakia yang mula-mula hanya sebagai hiperkeratosis
ringan tetapi pada akhirnya menjadi karsinoma sel skuamosa dengan angka kematian yang
tinggi.
Sialolitiasis atau sering juga disebut batu saliva (kalkulus) merupakan salah satu keadaan
patologis yang terjadi pada kelenjar ludah akibat tersumbatnya duktus maupun kelenjar saliva.
Pada beberapa kasus yang dilaporkan sialolitiasis lebih sering terjadi pada orang
dewasa, tetapi telah dilaporkan juga ditemukan pada anak-anak meskipun sangat jarang. Hal
ini diakibatkan pembentukan batu saliva membutuhkan waktu yang sangat lama dan pada
anak-anak aliran saliva masih sangat lancer.
Sialolitiasis adalah merupakan pembatuan yang terjadi akibat pengendapan dari
bahan-bahan aorganik dan nonorganic antara lain deposisi garam-garam kalsium disekitar
nodus organic yang terdiri dari alterasi musin-musin saliva bersamaan dengan adanya
![Page 2: Leukoplakia](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022061616/55cf921e550346f57b93ca75/html5/thumbnails/2.jpg)
2
deskuamasi sel-sel epitel, dekomposisi protein yang dihasilkan oleh aktivitas bakteri dan
mikroorganisme.
Disamping hal di atas pada saliva juga ditemukan konsentrasi kalsium dan pospat
yang meningkat sesuai bertambahnya usia. Ada beberapa macam jumlah, bentuk, serta ukuran
sialolit tergantung kemampuan duktus untuk beradaptasi dan kemampuan saliva untuk
melewatinya.
Diagnose sialolit ditegakkan melalui pemeriksaan klinis. Pada awalnya terbentuk
sialolit jarang menimbulkan gejala sehingga tidak dapat didiagnosa secara dini, namun setelah
beberapa waktu tertentu akan timbul keluhan utama berupa rasa sakit yang meningkat saat
akan makan dan reda setelah makan disertai pembengkakan submandibularis.
Daerah kelenjar ludah yang terjadi pembengkakan jika dipalapsi akan teraba adanya
batu saliva. Selain itu yang paling utama dalam menentukan lokasi batu saliva adalah dengan
bantuan radiografi ataupun sialografi.
Pada tulisan ini akan dipaparkan mengenai leukoplakia dan sialolitiasis yang
merupakan penyakit rongga mulut yang sering ditemui.
![Page 3: Leukoplakia](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022061616/55cf921e550346f57b93ca75/html5/thumbnails/3.jpg)
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
LEUKOPLAKIA
1. Definisi
Leukoplakia merupakan salah satu kelainan yang terjadi di mukosa rongga mulut.
Meskipun leukoplakia tidak termasuk dalam jenis tumor, lesi ini sering meluas sehingga
menjadi suatu lesi pre-cancer. Leukoplakia merupakan suatu istilah lama yang digunakan
untuk menunjukkan adanya suatu bercak putih atau plak yang tidak normal yang terdapat
pada membran mukosa. Pendapat lain mengatakan bahwa leukoplakia hanya merupakan suatu
bercak putih yang terdapat pada membran mukosa dan sukar untuk dihilangkan atau
terkelupas.
Untuk menentukan diagnosis yang tepat, perlu dilakukan pemeriksaan yang teliti baik
secara klinis maupun histopatologis, karena lesi ini secara klinis mempunyai gambaran yang
serupa dengan “lichen plannus” dan “white sponge naevus”.
2. Etiologi
Etiologi yang pasti dari leukoplakia sampai sekarang belum diketahui dengan pasti,
tetapi predisposisi menurut beberapa ahli klinikus terdiri dari faktor yang multiple,, yaitu
faktor lokal faktor sistemik dan malnutrisi vitamin.
2.1 Faktor lokal
Biasanya merupakan segala macam bentuk iritasi kronis, antara lain:
a. Trauma :
Trauma dapat berupa gigitan tepi atau akar gigi yang tajam
Iritasi dari gigi yang malposisi
Pemakaian protesa yang kurang baik sehingga menyebabkan iritasi
Adanya kebiasaan jelek, antara lain kebiasaan jelek menggigit-gigit jaringan mulut,
pipi, maupun lidah.
b. Kemikal atau termal :
Pada penggunaan bahan-bahan yang kaustik mungkin diikuti oleh terjadinya
leukoplakia dan perubahan keganasan.
Faktor-faktor kaustik tersebut antara lain:
![Page 4: Leukoplakia](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022061616/55cf921e550346f57b93ca75/html5/thumbnails/4.jpg)
4
Tembakau
Terjadinya iritasi pada jaringan mukosa mulut tidak hanya disebabkan oleh asap rokok
dan panas yang terjadi pada waktu merokok, tetapi dapat juga disebabkan oleh zat-zat
yang terdapat di dalam tembakau yang ikut terkunyah. Banyak peneliti yang
berpendapat bahwa pipa rokok juga merupakan benda yang berbahaya, sebab dapat
menyebabkan lesi yang spesifik pada palatum yang disebut “stomatitis Nicotine”.
Pada lesi ini, dijumpai adanya warna kemerahan dan timbul pembengkakan pada
palatum. Selanjutnya, palatum akan berwarna putih kepucatan, serta terjadi penebalan
yang sifatnya merata. Ditemukan pula adanya “multinodulair” dengan bintik-bintik
kemerahan pada pusat noduli. Kelenjar ludah akan membengkak dan terjadi perubahan
di daerah sekitarnya. Banyak peneliti yang kemudian berpendapat bahwa lesi ini
merupakan salah satu bentuk dari leukoplakia.
Alkohol
Telah banyak diketahui bahwa alkohol merupakan salah satu faktor yang
memudahkan terjadinya leukoplakia, karena pemakaian alkohol dapat menimbulkan
iritasi pada mukosa.
Bakterial
Leukoplakia dapat terjadi karena adanya infeksi bakteri, penyakit periodontal yang
disertai higiene mulut yang jelek.
2.2 Faktor sistemik
Adanya kemungkinan konstitutional karakteristik, karena ada yang berpendapat bahwa
penyakit ini lebih mudah berkembang pada individu yang berkulit putih dan bermata biru.
Pendapat ini dikemukakan oleh Shaffer dan Burket. Kemungkinan lain adalah adanya
penyakit sistemik, misalnya sipilis. Pada penderita dengan penyakit sipilis pada umumnya
ditemukan adanya “syphilis glositis”. Candidiasis yang kronik dapat menyebabkan terjadinya
leukoplakia. Hal ini telah dibuktikan oleh peneliti yang melakukan biopsi di klinik. Ternyata,
dari 171 penderita candidiasis kronik, 50 di antaranya ditemukan gambaran yang menyerupai
leukoplakia.
Untuk mengetahui diagnosis yang pasti dari leukokplakia, sebaiknya dilakukan
pemeriksaan klinik, histopatologi, serta latar belakang etiologi terjadinya lesi ini.
Defisiensi vitamin A diperkirakan dapat mengakibatkan metaplasia dan keratinisasi
dari susunan epitel, terutama epitel kelenjar dan epitel mukosa respiratorius. Beberapa ahli
menyatakan bahwa leukoplakia di uvula merupakan manifestasi dari intake vitamin A yang
tidak cukup. Apabila kelainan tersebut parah, gambarannya mirip dengan leukoplakia. Selain
![Page 5: Leukoplakia](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022061616/55cf921e550346f57b93ca75/html5/thumbnails/5.jpg)
5
itu, pada percobaan dengan menggunakan binatang tikus, dapat diketahui bahwa kekurangan
vitamin B kompleks akan menimbulkan perubahan hiperkeratotik.
3. Gambaran Klinik
Dari pemeriksaan klinik, ternyata oral leukoplakia mempunyai bermacam-macam
bentuk. Secara klinis lesi ini sukar dibedakan dan dikenal pasti karena banyak lesi lain yang
memberikan gambaran yang serupa serta tanda-tanda yang hampir sama. Pada umumnya, lesi
ini lebih banyak ditemukan pada penderita dengan usia di atas 40 tahun dan lebih banyak pria
daripada wanita. Hal ini terjadi karena sebagian besar pria merupakan perokok berat. Lesi ini
sering ditemukan pada daerah alveolar, mukosa lidah, bibir, palatum lunak dan keras, daerah
dasar mulut, gingival, mukosa lipatan bukal, serta mandibular alveolar ridge. Bermacam-
macam bentuk lesi dan daerah terjadinya lesi tergantung dari awal terjadinya lesi tersebut, dan
setiap individu akan berbeda.
Secara klinis, lesi tampak kecil, berwarna putih, terlokalisir, barbatas jelas, dan
permukaannya tampak melipat. Bila dilakukan palpasi akan terasa keras, tebal, berfisure,
halus, datar atau agak menonjol. Kadang-kadang lesi ini dapat berwarna seperti mutiara putih
atau kekuningan. Pada perokok berat, warna jaringan yang terkena berwarna putih kecoklatan.
Ketiga gambaran tersebut di atas lebih dikenal dengan sebutan “speckled leukoplakia”.
4.1 Stadium Leukoplakia
Leukoplakia dapat dibagi menjadi 3 stadium, yaitu:
a. Homogenous leukoplakia
Merupakan bercak putih yang kadang-kadang berwarna kebiruan,
permukaannya licin, rata, dan berbatas jelas. Pada tahap ini, tidak dijumpai adanya
indurasi.
b. Erosif leukoplakia
Erosif leukoplakia berwarna putih dan mengkilat seperti perak dan pada
umumnya sudah disertai dengan indurasi. Pada palpasi, permukaan lesi mulai terasa
kasar dan dijumpai juga permukaan lesi yang erosive.
c. Speckled atau Verocuos leukoplakia
Permukaan lesi tampak sudah menonjol, berwarna putih, tetapi tidak
mengkilat. Timbulnya indurasi menyebabkan permukaan menjadi kasar dan berlekuk-
lekuk. Saat ini, lesi telah dianggap berubah menjadi ganas. Karena biasanya dalam
waktu yang relatif singkat akan berubah menjadi tumor ganas seperti squamus sel
karsinoma, terutama bila lesi ini terdapat di lidah dan dasar mulut.
![Page 6: Leukoplakia](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022061616/55cf921e550346f57b93ca75/html5/thumbnails/6.jpg)
6
4.2 Gambaran Histopatologik
Pemeriksaan mikroskopis akan membantu menentukan penegakan diagnosis
leukoplakia. Bila diikuti dengan pemeriksaan histopatologi dan sitologi, akan tampak adanya
perubahan keratinisasi sel epitelium, terutama pada bagian superfisial.
Secara mikroskopis, perubahan ini dapat dibedakan menjadi 5 bagian, yaitu:
a. Hiperkeratosis
Proses ini ditandai dengan adanya suatu peningkatan yang abnormal dari lapisan
ortokeratin atau stratum corneum, dan pada tempat-tempat tertentu terlihat dengan
jelas. Dengan adanya sejumlah ortokeratin pada daerah permukaan yang normal maka
akan menyebabkan permukaan epitel rongga mulut menjadi tidak rata, serta
memudahkan terjadinya iritasi.
b. Hiperparakeratosis
Parakeratosis dapat dibedakan dengan ortokeratin dengan melihat timbulnya
pengerasan pada lapisan keratinnya. Parakeratin dalam keadaan normal dapat dijumpai
di tempat-tempat tertentu di dalam rongga mulut. Apabila timbul parakeratosis di
daerah yang biasanya tidak terdapat penebalan lapisan parakeratin maka penebalan
parakeratin disebut sebagai parakeratosis. Dalam pemeriksaan histopatologis, adanya
ortokeratin dan parakeratin, hiperparakeratosis kurang dapat dibedakan antara satu
dengan yang lainnya. Meskipun demikian, pada pemeriksaan yang lebih teliti lagi
akan ditemukan hiperortokeratosis, yaitu keadaan di mana lapisan granularnya terlihat
menebal dan sangat dominan. Sedangkan hiperparakeratosis sendiri jarang ditemukan,
meskipun pada kasus-kasus yang parah.
c. Akantosis
Akantosis adalah suatu penebalan dan perubahan yang abnormal dari lapisan
spinosum pada suatu tempat tertentu yang kemudian dapat menjadi parah disertai
pemanjangan, penebalan, penumpukan dan penggabungan dari retepeg atau hanya
kelihatannya saja. Terjadinya penebalan pada lapisan stratum spinosum tidak sama
atau bervariasi pada tiap-tiap tempat yang berbeda dalam rongga mulut. Bisa saja
suatu penebalan tertentu pada tempat tertentu dapat dianggap normal, sedang
penebalan tertentu pada daerah tertentu bisa dianggap abnormal. Akantosis
kemungkinan berhubungan atau tidak berhubungan dengan suatu keadaan
![Page 7: Leukoplakia](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022061616/55cf921e550346f57b93ca75/html5/thumbnails/7.jpg)
7
hiperortikeratosis maupun parakeratosis. Akantosis kadang-kadang tidak tergantung
pada perubahan jaringan yang ada di atasnya.
d. Diskeratosis atau dysplasia
Pada diskeratosis, terdapat sejumlah kriteria untuk mendiagnosis suatu
displasia epitel. Meskipun demikian, tidak ada perbedaan yang jelas antara displasia
ringan, displasia parah, dan atipia yang mungkin dapat menunjukkan adanya suatu
keganasan atau berkembang ke arah karsinoma in situ. Kriteria yang digunakan untuk
mendiagnosis adanya displasia epitel adalah: adanya peningkatan yang abnormal dari
mitosis; keratinisasi sel-sel secara individu; adanya bentukan “epithel pearls” pada
lapisan spinosum; perubahan perbandingan antara inti sel dengan sitiplasma;
hilangnya polaritas dan disorientasi dari sel; adanya hiperkromatik; adanya
pembesaran inti sel atau nucleus; adanya dikariosis atau nuclear atypia dan “giant
nuclei”; pembelahan inti tanpa disertai pembelahan sitoplasma; serta adanya basiler
hiperplasia dan karsinoma intra epitel atau carcinoma in situ.
e. Carcinoma in Situ
Pada umumnya, antara displasia dan carsinoma in situ tidak memiliki
perbedaan yang jelas. Displasia mengenai permukaan yang luas dan menjadi parah,
menyebabkan perubahan dari permukaan sampai dasar. Bila ditemukan adanya basiler
hiperlpasia maka didiagnosis sebagai carcinoma in situ.
Carsinoma in situ secara klinis tampak datar, merah, halus, dan granuler.
Mungkin secara klinis carcinoma in situ kurang dapat dilihat. Hal ini berbeda dengan
hiperkeratosis atau leukoplakia yang dalam pemeriksaan intra oral kelainan tersebut
tampak jelas.
4. Diagnosis dan Diferensial Diagnosis
Untuk menetapkan diagnosis oral leukoplakia, perlu pemeriksaan dan gambaran
histopatologis. Hal ini untuk mengetahui adanya proses diskeratosis. Meskipun pada
pemeriksaan histopatologis tampak adanya proses diskeratosis, masih sulit dibedakan dengan
carsinoma in situ, karena di antara keduanya tidak memiliki batasan yang jelas.
Pemeriksaan histopatologis juga diperlukan untuk mengetahui ada tidaknya sel-sel
“atypia” dan infiltrasi sel ganas yang masuk ke jaringan yang lebih dalam. Keadaan ini
biasanya ditemukan pada squamus sel carsinoma ‘karsinoma sel skuamosa’. Karsinoma sel
![Page 8: Leukoplakia](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022061616/55cf921e550346f57b93ca75/html5/thumbnails/8.jpg)
8
skuamosa merupakan kasus tumor ganas rongga mulut yang terbanyak dan lokasinya pada
umumnya di lidah. Penyebab yang pasti dari karsinoma sel skuamosa belum diketahui, tetapi
banyak lesi yang merupakan permulaan keganasan dan faktor-faktor yang mempermudah
terjadinya karsinoma tersebut. Lesi pra-ganas dan factor-faktor predisposisi itu adalah
leukoplakia, perokok, pecandu alkohol, adanya iritasi setempat, defisiensi vitamin A,B, B12,
kekurangan gizi, dll. Seperti halnya lesi pra-ganas rongga mulut lainnya, dalam stadium dini
karsinoma ini tidak memberikan rasa sakit. Rasa sakit baru terasa apabila terjadi infeksi
sekunder. Oleh karena itu, apabila ditemukan adanya lesi pra-ganas dalam rongga mulut,
terutama leukoplakia, sebaiknya dilakukan pemeriksaan histopatologi.
Leukoplakia memiliki gambaran klinis yang mirip dengan beberapa kelainan. Oleh
karena itu, diperlukan adanya “diferensial diagnosi” atau diagnosis banding untuk
membedakan apakah kelainan tersebut adalah lesi leukoplakia atau bukan. Pada beberapa
kasus, leukoplakia tidak dapat dibedakan dengan lesi yang berwarna putih di dalam rongga
mulut tanpa dilakukan biopsy. Jadi, cara membedakannya dengan leukoplakia adalah dengan
pengambilan biopsi. Ada beberapa lesi berwarna putih yang juga terdapat dalam rongga
mulut, yang memerlukan diagnosis banding dengan leukoplakia. Lesi tersebut antara lain:
syphililitic mucous patches; “lupus erythematous” dan ” white sponge nevus”; infeksi
mikotik, terutama kandidiasis; white folded gingivo stomatitis; serta terbakarnya mukosa
mulut karena bahan-bahan kimia tertentu, misalnya minuman atau makanan yang pedas.
5. Perawatan dan Prognosis
Perawatan leukoplakia dilakukan dengan mengeliminir faktor iritasi yang meliputi
penggunaan tembakau (rokok), alkohol, memperbaiki higiene mulut, memperbaiki mal oklusi,
dan memperbaiki gigi tiruan yang letaknya kurang baik, karena hal tersebut lebih banyak
membantu mengurangi atau menghilangkan kelainan tersebut dibanding perawatan secara
sistemik.
Perawatan lainnya adalah dengan melakukan eksisi secara “chirurgis” atau
pembedahan terhadap lesi yang mempunyai ukuran kecil atau agak besar. Bila lesi telah
mengenai dasar mulut dan meluas, maka pada daerah yang terkena perlu dilakukan
“stripping”.
Perawatan dengan pemberian vitamin B kompleks dan vitamin C dapat dilakukan
sebagai tindakan penunjang umum, terutama bila pada pasien tersebut ditemukan adanya
faktor malnutrisi vitamin. Peranan vitamin C dalam nutrisi erat kaitannya dengan
pembentukan substansi semen intersellular yang penting untuk membangun jaringan
![Page 9: Leukoplakia](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022061616/55cf921e550346f57b93ca75/html5/thumbnails/9.jpg)
9
penyangga. Karena, fungsi vitamin C menyangkut berbagai aspek metabolisme, antara lain
sebagai elektron transport. Pemberian vitamin C dalam hubungannya dengan lesi yang sering
ditemukan dalam rongga mulut adalah untuk perawatan suportif melalui regenerasi jaringan,
sehingga mempercepat waktu penyembuhan. Perawatan yang lebih spesifik sangat tergantung
pada hasil pemeriksaan histopatologi.
Prognosis
Apabila permukaan jaringan yang terkena lesi leukoplakia secara klinis menunjukkan
hiperkeratosis ringan maka prognosisnya baik. Tetapi, bila telah menunjukkan proses
diskeratosis atau ditemukan adanya sel-sel atipia maka prognosisnya kurang
menggembirakan, karena diperkirakan akan berubah menjadi suatu keganasan.
SIALOLITIASIS
2.1 DEFINISI
Sialolitiasis adalah suatu kalsifikasi yang berkembang pada sistem saluran saliva.
Sialolitiasis ini diyakini berasal dari deposisi garam kalsium. Diagnosis batu kelenjar saliva
mudah dilakukan bila terletak di distal, bagian rongga mulut dari duktus. Sialolitiasis dapat
ditemukan pada duktus mandibularis di dasar mulut, dapat dilihat atau diraba, ataupun di foto
secara radiografis. Sialolitiasis ini bias juga terbentuk pada kelenjar saliva minor.
Bentuk batu sangat bervariasi baik dari segi ukuran, bentuk, dan kemampuannya
hanyut ke dalam lumen atau menenmpel pada dinding duktus. Rasa sakit timbul akibat adanya
trauma pada duktus dan makanan yang merangsang sekresi saliva. Kemungkinan lain yang
bias terjadi akibat obstruksi saluran ini bias mengarah ke infeksi, rasa sakit, dan luka pada
kelenjar.
![Page 10: Leukoplakia](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022061616/55cf921e550346f57b93ca75/html5/thumbnails/10.jpg)
10
2.2 EPIDEMIOLOGI
Sialolitisis adalah satu dari banyak penyebab inflemasi dengan perubahan pembesaran
dari glandula saliva. Insiden batu saliva yang menimbulkan gejala yang butuh terapi sekitar
27,5-59 casus per satu juta penduduk.
Dari 1200 pasien yang diteliti prevalensi antara laki-laki dan perempuan 1:1, pada usia
sekitar hingga 3-4 dekade, tapi bisa juga terdapat pada anak-anak. Lokasi batu saliva sekitar
80% di kelenjar submandibula, 20% dikelenjar parotis dan jarang pada kelenjar sublingual,
atau jarang pada kelenjar saliva yang kecil pada mulut.
Lokalisasi dari batu aliva bervariasi dalam duktus saliva sistem: pada kasus glandula
submandibular 9% dari batu yang ada pada sistem duktus intraparenkimatous, 57% diarea
hilus dan 36% di duktus distal. Sialolitiasis parotis terjadi pada 23% kasus pada sistem duktus
intaparenkimatous, 13% pada hilus, dan 64% pada distal bagian duktus Stensen’s.
2.3 ETIOLOGI DAN LOKASI
Etiologi dan patogenesis dari sialolitiasis belum diketahui dengan pasti. JV. Soames
dan JC. Southam menyatakan sialolitiasis ini terbentuk oleh adanya deposisi garam-garam
kalsium di sekitar nidus organic yang mungkin terdiri dari alterasi musin-musin saliva
bersmaa dengan adanya deskuamasi sel-sel epitel, dekomposisi protein yang dihasilkan oleh
aktivitas bakteri dan mikroorganisme, pengendapan bahan-bahan organic dan anorganik
tersebut akan menghasilkan batu. Sialolitiasis ini dapat juga terjadi akibat adanya foreign
body.
Etiologi dan pembentukan sialolitiasis ini masih dapat diperdebatkan, tetapi beberapa
factor telah disepakati memiliki peran penting antara lain bahwa sialolit (batu saliva)
terbentuk akibat kegagalan metabolism garam-garam kalsium dan fosfat. saliva yang
bercampur dengan garam-garam kalsium dan fosfat mengendap selapis demi selapis dalam
bentuk kelompok sel-sel deskuamasi atau koloni bakteri yang akhirnya terbentuk batu yang
menghambat duktus.
Sialolitiasis jarang terjadi pada anak-anak karena biasanya pembentukannya
membutuhkan waktu yang sangat lama. Maizumi, dkk menyatakan bahwa aliran saliva lebih
lancer pada anak-anak dari pada orang dewasa dan konsentrasi kalsium dan fosfat pada saliva
![Page 11: Leukoplakia](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022061616/55cf921e550346f57b93ca75/html5/thumbnails/11.jpg)
11
meningkat dengan bertambahnya usia. Hal inilah yang menjadi alas an mengapa sialolitiasis
jarang terjadi pada anak-anak.
Ada beberapa macam dan jumlah, bentuk serta ukuran dari sialolit, tergantung
kemampuan duktus untuk beradaptasi dan kemampuan saliva untuk melewatinya. Sialolitiasis
lebih sering terjadi pada kelenjar submandibula dikarenakan kelenjar ini menghasilkan sekresi
dengan musin yang lebih banyak, sehingga lebih kental dan oleh karena itu akan lebih mudah
melekat disekitar foreign body, duktus Wharton’s lebih panjang, lebih bengkok dan
melengkung pada dasar mulut sehingga lebih rawan terhadap trauma sialolit daripada kelenjar
parotis.
2.4 GAMBARAN KLINIS
Pada umumnya sialolithiasis terjadi pada orang dewasa. Namun demikian terdapat
beberapa laporan kasus yang menyatakan dapat terjadi pada anak-anak. Sialolithiasis dapat
berlangsung beberapa tahun tanpa gejala atau dengan adanya sedikit gejala antara periode rasa
sakit dan pembengkakan. Hal ini menjadi alasan mengapa sialolithiasis tidak dapat didiagnosa
dini. Gejala ini dapat bertambah dari sedikit kepekaan pada dasr mulut sampai akut
sialodenitis disertai penngkatan temperatur. Keluhan utama rasa sakit yang meningkat saat
makan.dan reda setelah makan. Hal ini timbul akibat adanya rangsangan terhadap saliva yang
terhenti akibat pembengkakan keelnjar terutama karena tersumbatnya duktus.
Duktus kelenjar submandibula yang tersumbat disertai dengan rasa sakit dan
pembengkakan dapat menyebar, menyerupai selulitis. Inflamasi dapat timbul pada orifice dari
duktus juga peninggian dasar mulut pada sisi yang terkena.
Pada umumnya batu dapat dideteksi dengan palpasi dan bantuan radiografi bisa
terlihat lonjong atau bulat, kasar atau halus dengan ukuran yang bervariasi. Batu ini umumnya
berwarna kuning muda yang jika dipotong akan kelihatan struktur yang homogen tetapi yang
lebih sering berlapis-lapis. Sialolithiasis pada beberapa kasus dilaporkan dibagian bukal
sukus, keras, dapat digerakan (dapat dipindah-pindahkan) bisa dengan atau tanpa simptom.
2.5 PENEGAKAN DIAGNOSA
Terjadinya batu saliva selalu dipertimbangkan pada kasus unclear swelling pada
glandula saliva dan pada semua kasus sialodenitis dengan pus. Palpasi bimanual pada dasar
rongga mulut dan pipi direkomendasikan sebagai metode untuk mendiagnose batu pada
duktus Wharton’s atau duktus Stensen’s.
![Page 12: Leukoplakia](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022061616/55cf921e550346f57b93ca75/html5/thumbnails/12.jpg)
12
Setelah pemeriksaan klinis, USG harus mejadi salah satu pilihan diagnosis karena
tidak rumit, efektif, dan tidak mahal. Hal ini bisa mendeteksi batu dengan ukuran 1,5 mm
pada 99,5% kasus yang menggunakan B-mode Ultrasound (7,5 MHz), yang mana ini
merupakan metode noninvasive yang menyingkirkan penggunaan mediun kontras atau
prosedur diagnosis yang radiasi.
Endoskopi dari duktus salivari sebagai prosedur pelengkap yang dapat meningkatkan
deteksi batu. Tekhnik imaging yang lain, seperti sialography, X-Ray atau MRI dan CT
digunakan pada kasus tertentu.
2.5.1 Tekhnik Foto Rontgen dan Gambaran Radiografi
Sialolithiasis dapat ditegakan dengan bantuan foto rontgen. Lokasi batu biasanya
bervariasi tetapi sebagian besar terlihat pada daerah anterior dari kelenjar atau duktus
submandibula. Hanya sebgaian kecil terdapat pada bagian posterior kelenjar atau duktus
submandibula dan juga pada kelenjar itu sendiri.
Oklusal film lebih baik digunakan jika batu pada kelenjar sublingualis dan
submandibularis. Lateral jaw film dan intra oral film untuk melihatbatu-batu pada kelenjar
parotis, pada pengambilan foto rontgen oklusal, film yang digunakan adalah oklusal film,
dimana film ditempatkan pada bidang oklusal dari rahang yang difoto. Sednagkan pada foto
rontgen lateral jaw, film berada di luar mulut yang megggunakan film yang dimasukan ke
dalam kaset dan diletakkan pada sisi lateral rahang dan kaset dipegang oleh tangan pasien
dengan arah sinar berlawanan dengan posisi film. Biasanya rontgen foto lateral jaw ini
dilakukan sebagai radiografi tambahan dalam menunjang diagnosa radiografi sebelumnya.
Gambaran intra oral true oklusal foto dengan cross section view dimana sinar
diarahkan tegak lurus (90o) terhadap film dan distal oblique oklusal foto dengan topograpic
view dimana sinar diarahkan 45o-60o terhadap film paling sering digunakan. dengan true
oklusal foto dapat dilihat batu pada dua pertiga anterior duktus dekat dengan hilus atau pada
kelenjar itu sendiri dilihat dengan bantuan distal oblique oklusal foto.
Batu kelenjar ludah ini pada foto rontgen terlihat radoopaque bervariasi dalam jumlah,
ukuran, dan bentuk antara 2-10 mm dengan bentuk bulat atau pear-shaped. Foto rontgen dapat
menunjukan gambaran radioopaque, tetapi jika kalsifikasi batu tidak sempurna maka
dibutuhkan gambaran sialografi.
![Page 13: Leukoplakia](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022061616/55cf921e550346f57b93ca75/html5/thumbnails/13.jpg)
13
2.6 PENATALAKSANAAN
Pilihan treatment untuk sialolitiasis terutama tergantung pada lokasinya dan ukuran
batu. Treatment saat ini termasuk dari luasnya invasive, sedikitnya invasisve dan prosedur
minimal invasive.
2.6.1 Treatment Konservative
Masase glandula, sialagogues ( kunyahan gusi, tetesan asam) dilatasi duktus, dan
bougienage-basket extracti dibawah USG, endoskopi atau kontrol radiologi. Diagnosis
pertama dari sialolitiasis dengan rasa nyeri, pembengkakan glandula harus diinisiasi dengan
terapi perlakuan stimulasi sekret dan masase pada glandula yang terkena. Dilatasi dari duktus
orifice, penyempitan dari sebagian duktus, bisa berkembang, pada kasus batu yang kecil,
luasnya relief dari gejala termasuk expulsi batu. Batu di dalam distal Stensen’s atau
Wharton’s duktus bisa di singkirkan dengan anyaman extraction dibawah palpatory atau
kontrol sonografi. Pengukuran konservatif dan pencabutan anyaman menimbulkan
ketidakmunculan gelaja atau batu pada 13% kasus dan 20% dari submandibular dan glandula
parotis.
2.6.2 Insisi duktus untuk menghilangkan batu submandibula
Insisi transoral batu saliva digunakan untuk incisi duktus simpel pada bagian duktus
Wharton’s yang tidak rumit. Bagaimanapun menghilangkan batu proksimal dari molar
pertama atau pada hilus kelenjar submandibula akan membahayakan saraf lidah. Tekhnik
![Page 14: Leukoplakia](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022061616/55cf921e550346f57b93ca75/html5/thumbnails/14.jpg)
14
yang kami gunakan meliputi pembedahan komplit longitudinal pada duktus dengan
pembukaan rutin saraf lidah dan incisi kelenjar hilus untuk menghilangkan batu. Dengan
metode ini pasien dapat terbebas dari batu 96% dengan single batu dan hanya 64% pada kasus
dengan batu multiple. Incisi duktus ini biasanya menggunakan anestesi lokal. Karena
besarnya resiko stenosis duktus, incisisi yang luas dari duktus Sensen’s sahingga tidak
direkomendasikan.
2.6.3 Extracorporeal Lithotripsy
Dua sistem yang berkembang pada terapi sialolitiasis sesuai dengan penggunaan
klinis. Satu sistem yang disebut piezoelectrical system “piezolith” (Richard Wolf Comoany
Knittlingen, Germany) yang lainnya disebut Electromagnetik sistem “Minilith” (Storz
Medical Company, Switzerland).
Posisi dan gelombang aplikasi dipengaruhi kontrol sonografi. Lithotripsi dimulai
dengan intensitas gelombang yang minimal. Aplikasi goncangan gelombang dilanjutkan
sampai ukuran fragmen terjamin mengeluarkan rifive natural dari glandula (<1,5 mm). Semua
pasien menerima antibiotik profilaksis dan antiphlogolistic pada hari dimana dilakukan terapi
dan 2 hari selanjutnya.
Pasien dengan gejala atau sonografi demonstrasi yang menyisakan konkresi diberikan
dua tau tiga kali treatment hingga bebas gejala atau bebas batu. Kontra indikasi absolut
selama lithotripsy adalah inflamasi akut galandula dan pasien dengan kelainan pembekuan
darah.
2.6.4 Intracorporeal laser-lithotripsy
Laser lithotripsy dideskripsikan dalam literatur sebagai pilihan tepat, menjaga organ
dan untuk pasien dengan treatmen yag tidak membuat stress. Pengalaman menggunakan
variasi tipe laser terasa tajam, bagaimanapun, hanya keuntungan dari studi group pasien relatif
kecil. Kerugian mayor dari metode adalah pengeluaran, tidak hanya finansial tapi juga waktu
dan biaya personal.
2.6.5 Terapi batu pada duktus parotis
Sialolitiasis dari kelenjar parotis harusnya pertama kali diterapi konservatif
menggunakan sialogenous dan pemijatan kelenjar untuk merangsang spontan menghilangkan
batu, untuk beberapa periode 3 bulan (rata-rata keberhasilan 10%). Basket extraction dengan
endoskopi atau sonografi kontrol biasanya digunakan untuk melengkapi terapi konservatif
![Page 15: Leukoplakia](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022061616/55cf921e550346f57b93ca75/html5/thumbnails/15.jpg)
15
(bebas dari batu pada 10% kasus). Alternatifnya dapat diterapi dengan papilotomi namun
harus berhati-hati bahkan pada batu prepapiler karena bernahaya pada duktus stenosis. Tarpi
pilihan terhadap batu parotis yang tidak respon terhadap terapi konservatif adalah
extrakorporeal lithotripsi dibawah kontrol sonografi. Terapi ini dapat digunakan tidak
tergantung lokasinya, ukuran dan angka konkresi dan dapat diuklangi jika dieprlukan (bebas
batu 50%-60% dan bebas gejala 80%-90%).
Intacorporal lithitripsis dimana membutuhkan kontrol endoskopi, memerlukan
papiloktomi jika tidak ada gejala klinis yag signifikan pada saat ini. Parotidektomi untuk
terapi batu hrus hanya dipertimbangkan pada kasus batu multiple (>3) pada kelenjar yang
sama atau diikuti dengan ketidakberhasilan ekstracorporal litptripsi menggunakan metode
memepertahankan organ dapat mnegurangi angka parotidektomi untuk sialolithiasis
berkurang hingga 5%.
2.6.6 Terapi batu duktus submandibular
Kemungkinan studi dari variasi terapi mempertimbangkan tidak hanya mengeluarkan
tetapi juga faktor resiko dan kesuksesan ketika berurusan dengan batu pada kelenjar atau
duktus Wharton’s. Tergantung dari ukuran dan lokasinya diikuti indikasi yang terbukti layak.
Sialolitiasis pada bagian distal duktus sekretori, tidak tergantung ukuran harus
dihilangkan menggunakan metode pembedahan. Duktus ini termasuk semua batu dimana
lebih lanjut diproximal dengan hilus atau intra parenkimatous duktus sistem dan dengan
perabaan transoral (bebas batu 96%). Batu hingga 8 mm dimana tidak dapat diraba transoral
dan dengan hilus atau intraparenkim duktus sistem cocok untuk extracorpporal shockwave
lithotripsi.
Submandibulektomi direkomendasikan pada kasus batu intraglandular lebih dari 8
mm, bukti batu multipel (>2) atau ketidakberhasilan lithotripsy atau penghilangan batu secara
transoral.
![Page 16: Leukoplakia](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022061616/55cf921e550346f57b93ca75/html5/thumbnails/16.jpg)
16
BAB III
KESIMPULAN
Leukoplakia merupakan salah satu lesi praganas rongga mulut yang sering dijumpai.
Meskipun lesi ini bukan termasuk dalam maligna (keganasan), dalam perkembangannya lesi
tersebut dapat menjadi squamus sel karsinoma.
Pada pemeriksaan histopatologis, jika diketahui adanya sel-sel “atypia” dan infiltrasi
sel ganas yang masuk ke jaringan yang lebih dalam, maka dapat dipastikan bahwa lesi ini
telah berubah menjadi squamus sel karsinoma. Apabila leukoplakia telah berubah menjadi
keganasan maka perawatan bagi penderita karsinoma tersebut dengan sistem pananganan
keganasan secara keseluruhan dengan upaya promotif, preventif, dan kuratif secara terpadu.
![Page 17: Leukoplakia](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022061616/55cf921e550346f57b93ca75/html5/thumbnails/17.jpg)
17
Lesi leukoplakia pada umumnya sukar dibedakan dengan lesi berwarna putih lainnya
yang juga terdapat di dalam rongga mulut. Karenanya, diperlukan adanya diferensial
diagnosis atau diagnosis banding leukoplakia. Untuk memastikan diagnosis leukoplakia
dengan lesi berwarna putih lainnya, diperlukan pemeriksaan histopatologis atau bila perlu
dilakukan biopsi. Perawatan leukoplakia yang paling utama adalah mengeliminir faktor-faktor
iritasi yang dapat menyebabkan terjadinya leukoplakia. Bila lesi masih kesil, perawatan yang
dilakukan adalah dengan pembedahan pada lesi, atau stripping bila lesi telah meluas.
Meskipun prognosis leukoplakia pada umumnya baik, apabila pada pemeriksaan ditemukan
adanya proses diskeratosis, maka prognosisnya kurang baik. Karena lesi praganas ini bisa
berubah menjadi suatu keganasan, sebaiknya pemeriksaan histopatologis yang teliti
diperlukan untuk menegakkan diagnosis.
Sialolitiasis merupakan penyakit yang tergolong sebagai penyakit kelenjar ludah.
Beberapa ahli memiliki pendapat mengenai lokasi yang paling sering ditemukannya sialolit,
pada umumnya kelenjar submandibula diabnding kelenjar parotis dan sublingualis.
Daftar Pustaka
1. Burket G..H., Oral medicine Diagnosis & Treatment, 6th edition, J.B. Lippincott Co.,
Philadelphia-Toronto, 1974.
2. Istiati Soehardjo, Protein p53 (tumor suppressor gene) dan peranannya pada mutasi
gen sebagai penyebab terjadinya kanker rongga mulut, Majalah Kedokteran Gigi
Universitas Airlangga, Vol.34,no3a, Agustus 2001
3. Kus Harijanti, Peranan Vitamin C dalam kesehatan jaringan lunak rongga mulut,
Majalah kedokteran Gigi Universitas Airlangga, , vol 29, no 3, Juli-September, 1996.
4. Ruslijanto Hartono, karsinoma Sel Skuamosa Pada Lidah, Forum Ilmiah II, Fakultas
Kedokteran gigi Universitas Trisakti, 1987
![Page 18: Leukoplakia](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022061616/55cf921e550346f57b93ca75/html5/thumbnails/18.jpg)
18
5. Shaffer W.G., Hine M.K, Levy B.M., A Text Book Oral Pathology, 3rd. edition, W.B.
Sounders Co., Philadelphia-London-Toroto, 1974
6. Sri Widiati, Kasus Tumor ganas di Bibir dan Rongga Mulut yang dirawat di RSUP Dr.
Sardjito, Yogyakarta, tahun 1995-2000, Majalah Kedokteran Gigi Universitas
Airlangga, Vol.34, no3a, Agustus 2001
7. Theresia Indah Budhy Sulisetyawati, Insidens Tumor ganas Rongga Mulut di
Surabaya-Jawa Timur selama periode tahun 1987-199, Majalah kedokteran Gigi
Universitas Airlangga, vol 34, no 4, Oktober-Desember 1997.
8. Bodner L, Azaz B. Submandibular sialolithiasis in children. J Oral Maxillofac. Surg,
1982; 40: 551-4
9. Bahri A. Foto Rontgen Rahang dan Gigi serta Jaringan sekitarnya: Fakultas
Kedokteran Gigi USU, 1997: 15-2
10. Shinohara Y, Horomasu T, Nagata Y, Uchida A, Nakashima T, Kikita T. Shialolithiasis
in children: report of four cases. J, Dento Max rad, 1996; 25: 48-50
11. Stafe’s Oral Radiographic Diagnosis 5th ed. WB Sounders Company Philadelphia and
London, 1960;3
12. Longhurs P. Submandibular sialolithiasis in a child. Br Dent J, 1973; 18: 291-2
13. Shafer, Hine, Levy. A text Book of Oral Pathology. W.B.Sounders Company.
Philadelphia London, 1985: 561-2
14. Soames JV, Southan JC. Oral Pathology Oxford. Oxford University Press, 1984: 193
15. Hatta Hasan Bagian bedah mulut fakultas Kedokteran gigi Universitas Hasanudin.
MAKALAH KASUS
LEUKOPLAKIA
![Page 19: Leukoplakia](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022061616/55cf921e550346f57b93ca75/html5/thumbnails/19.jpg)
19
DISUSUN OLEH :
RANGGA PRAGASTA SS
LAB.GIGI DAN MULUT
RSUD KANJURUHAN KEPANJEN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2010