lia titip.doc
TRANSCRIPT
http://stiebanten.blogspot.com/2011/04/asuransi-syariah.html
ASURANSI SYARIAH Blog My CampusApril28 undefined
BAB I
1. Pengertian, Dasar Hukum, Sejarah dan Tujuan BerdiriIstilah asuransi di Indonesia berasal dari kata Belanda assurantie yang kemudian
menjadi “asuransi” dalam bahasa Indonesia. Sebenarnya bukanlah istilah asli bahasa
Belanda akan tetapi berasal dari bahasa latin, yaitu assecurare yang berarti “meyakinkan
orang”. Menurut etimologi bahasa Arab istilah Asuransi Syariah atau Takaful berasal dari
akar kata kafala. Dalam ilmu tashrif atau sharaf, tafakul termasuk dalam barisan bina
muta’aadi. Yaitu tafaa’ala, artinya saling menanggung. Dan ada juga yang
meterjemahkannya dengan makna saling menjamin. Asuransi Syariah atau takaful
menurut Juhaya S. Praja adalah “Saling memikul risiko di antara sesama orang sehingga
antara satu dengan lainnya menjadi penanggung atas risiko yang lainnya. Saling pikul
risiko itu dilakukan atas dasar saling tolong-menolong dalam kebaikan dengan cara
masingmasing mengeluarkan dana ibadah (tabarru) yang ditunjukkan untuk menanggung
risiko tersebut.”
Secara kelembagaan, perkembangan asuransi syariah global ditandai dengan
kehadiran perusahaan asuransi syariah di berbagai belahan dunia, antara lain Sudanese Islamic Insurance (1979), Islamic Arab Insurance Co. (1979), Dar Al-Maal Al-Islami, Geneva (1981), Islamic Takafol Company (I.T.C), S.A. Luxembourg (1983), Islamic Takafol and Re-Takafol Company, Bahamas (1983), Syarikat Al-takafol Al-Islamiah Bahrain, E.C. (1983),Takaful Malaysia (1985).
Sedangkan di Indonesia, asuransi syariah merupakan sebuah cita-cita yang telah
dibangun sejak lama, dan telah menjadi sebuah lembaga asuransi modern yang siap
melayani umat Islam Indonesia dan bersaing denngan lembaga asuransi konvensional.
Adapun perkembangan asuransi syariah di Indonesia baru ada pada akhir tahun 1994,
yaitu berdirinya Asuransi Takaful Indonesia pada tanggal 25 Agustus 1994, dengan
diresmikannya PT Asuransi Takaful Keluarga melalui SK
Menkeu No. Kep-385/KMK.017/1994. Melalui berbagai seminar nasional dan
setelah mengadakan studi banding dengan Takaful Malaysia, akhirnya berdirilah PT
Syarikat Takaful Indonesia (PT STI) sebagai Holding Company pada tanggal 24 Februari
1994. Kemudian PT STI mendirikan 2 anak perusahaan, yakni PT Asuransi Takaful
Keluarga (Life Insurance) dan PT Asuransi Takaful Umum (General Insurance). PT
Asuransi Takaful Keluarga diresmikan lebih awal pada tanggal 25 Agustus 1994 oleh
Bapak Mar’ie Muhammad selaku Menteri Keuangan saat itu. Setelah keluarnya izin
operasional perusahaan pada tanggal 4 Agustus 1994.
Setelah itu, beberapa perusahaan asuransi syariah yang lain lahir, seperti PT
asuransi syariah “Mubarakah”(1997) dan beberapa unit asuransi syariah dari asuransi
konvensioanal seperti MAA Assurance (2000), Asuransi Great Eastern (2001), Asuransi
Bumi Putra (2003), Asuransi Sinar Mas Syariah (2004), Asuransi Tokio Marine Syariah
(2004). Sampai dengan Mei 29008, sudah terlahir 41 Perusahaan asuransi syariah di
Indonesia.
Dasar hukum yang terkait dengan asuransi syariah, yaitu QS. al-Maidah (5):2 Allah
berfirman “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
Dalam sebuah hadis shahih rasulullah juga menyabdakan: “Perumpamaan orang-
orang yang mukmin dalam saling berempati, mengasihi, dan bersimpati diantara mereka
sama seperti satu tubuh yang jika salah satu anggota tubuh lainnya akan meresponnya
dengan begadang (tidak bisa tidur) dan demam.”( HR. Muslim).
1. Perbedaan Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensiol
No. Dari Segi Konvensional Syariah
1. Konsep Perjanjian antara dua pihak atau
lebih, pihak penanggung
mengikatkan diri kepada tertanggung
dengan menerima premi asuransi,
untuk memberikan pergantian
kepada tertanggung.
Sekumpulan orang yang
saling membantu, saling
menjamin, dan bekerja
sama, dengan cara
masing-masing
mengeluarkan dana
tabarru’.
2. DPS (Dewan
Pengawas
Syariah)
Tidak ada, sehingga dalam
prakteknya bertentangan dengan
kaidah-kaidah syara’
Ada, yang berfungsi
mengawasi pelaksanaan
operasional perusahaan
agar terbebas dari
praktek-praktek
muamalah yang
bertentangan dengan
prinsip-prinsip syariah.
3. Akad Akad jual beli (akad gharar) Akad tabarru’ dan akad
tijarah (mudharabah,
wakalah, wadiah,
syirkah)
4. Jaminan/Risk
(Resiko)
Transfer of risk, dimana terjadi
transfer dari tertanggung kepada
penanggung
Sharing of risk, dimana
terjadi proses saling
menanggu antara satu
peserta dan peserta
lainnya (ta’awun)
5. Pengelolaan Dana Tidak ada pemisahan dana, yang
berakibat pada terjadinya dana
hangus (untuk produk saving life)
Pada produk-produk
saving (life) terjadi
pemisahan dana, yaitu
dana tabarru’ , sehingga
tidak mengenal dana
hangus. Sedangkan
untuk term insurance
(life) dan general
insurance semuanya
bersifat tabarru’.
6. Kemilikan Dana Dana yang terkumpul dari premi
peserta seluruhnya menjadi milik
perusahaan. Perusahaan bebas
menggunakan dan
menginvestasikan kemna saja.
Dana yang terkumpul
dari peserta dalam
bentuk iuran atau
kontribusi. Merupakan
milik peserta atau
(shahibul maal), asuransi
syariah hanya sebagai
pemegang amanah
(mudarib) dalam
mengelola dana
tersebut.
7. Sumber
pembayaran
Klaim
Sumber biaya klaim adalah dari
rekening perusahaan, sebagai
konsekuensi penangung terhadap
tertanggung. Murni bisnis dan tidak
ada nuansa syariah.
Sumber pembayaran
klaim diperoleh dari
rekening tabarru’ dimana
peserta saling
menanggung. Jika salah
satu peserta mendapat
musibah maka peserta
lainnya ikut menanggung
bersama resiko tersebut.
8. Keuntungan (profit
Share)
Keuntungan diperoleh surplus
underwrinting, komisi reasuransi,
dan hasil investasi seluruhnya
adalah keuntungan perusahaan.
Profit yang diperoleh dari
surplus
underwrinting,komisi re
asuransi, dan hasil
investasi bukan
seluruhnya menjadi milik
perusahaan tetapi
dilakukan bagi hasil
(mudharabah)
2. Produk dan Mekanisme Operasional Asuransi Syariah
Produk – produk Asuransi Syariah:
A. Asuransi Kerugian (General Insurance)
Adalah usaha yang memberikan jasa-jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian,
kehilangan manfaat dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga timbul dari peristiwa
yang tidak pasti. Usaha Asuransi kerugian di Indonesia antara lain:
1. Asuransi Kebakaran
2. Asuransi Kendaraan Bermotor
3. Asuransi Kecelakaan
4. Asuransi Laut dan Udara
5. Asuransi Rekayasa
6. Asuransi Jiwa (Life Insurance)
Adalah suatu jasa yang diberikan oleh perusahaan dalam penanggulangan risiko yang
dikaitkan dengan jiwa atau meninggalnya seseorang yang diasuransikan. Asuransi Jiwa
terbagi menjadi:
1. Asuransi Jiwa Biasa
2. Asuransi Rakyat
3. Asuransi Kumpulan
4. Asuransi Dunia Usaha
5. Asuransi Orang Muda
6. Asuransi Keluarga
7. Asuransi Kecelakaan
8. Asuransi Pendidikan
Di dalam operasioanal Asuransi Syariah yang sebenarny terjadi saling bertanggung jawab,
membantu dan melindungi di antara para peserta sendiri. Perusahaan asuransi diberi
kepercayaan (amanah) oleh para peserta untuk mengelola premi, mengembangkan
dengan jalan yang halal, memberikan santunan kepada yang mengalami musibah sesuai
isi akta perjanjian.
B. Peraturan Hukum yang Terkait dengan Asuransi Syariah
Peraturan perundang-undangan tentang perasuransian syariah di Indonesia masih
terbatas dan belum diatur secara khusus dalam undang-undang. Secara lebih teknis
operasional perusahaan asuransi berdasarkan prinsip syariah mengacu kepada SK Dirjen
Lembaga Keuangan. Di samping itu, perasuransian syariah di Indonesia juga diatur di
dalam beberapa fatwa DSN-MUI antara lain Fatwa DSN-MUI No. 21/DSN-MUI/X/2001
tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah. Fatwa DSN-MUI No. 51/DSM-MUI/III/2006
tentang Akad Mudharabah Musyarakah pada asuransi syariah, Fatwa DSN-MUI No.
52/DSN-MUI/III/2006 tentang akad wakalah bil ujrah pada asuransi dan reasuransi
syariah, Fatwa DSN MUI No.53/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Tabarru’ pada asuransi
dan reasuransi.
C. Perkembangan dan Pertumbuhan Asuransi Syariah di Indonesia
Pada saat ini perkembangan ekonomi yang berbasis syariah sedang diminati oleh
masyarakat karena banyak keuntungan yang didapat, maka dari itu didirikanlah asuransi-
asuransi syariah sebagai bentuk partisipasi dalam membangun perkembangan ekonomi
syariah.
Sampai saat ini asuransi syariah berkembang sangat pesat. Banyak asuransi
konvensioanal yang melahirkan unit atau cabang yang berbasis syariah dan beberapa
perusahaan yan sedang dalam persiapan untuk mendirikan asuransi islam baru.
Beriringan dengan perkembangan tersebut, perusahaan syariah yang telah ada saat ini
pada tanggal 14 Agustus 2003 yang lalu kemudian membentuk suatu wadah perkumpulan
atau asosiasi yaitu Asosiasi Asuransi Islam Indonesia ( AASI). AASi dibentuk selain
sebagai media komunikasi sesama anggota, juga secara eksternal sebagai wadah resmi
untuk mewakili asuransi islam baik kepada pemerintah, legislatif, maupun keluar negeri.
D. Dampak Perkembangan Asuransi Syariah
Menurut sebagian pengamat ekonomi, khususnya ekonomi muslim saat ini masyarakat
dunia telah mengalami kejenuhan dengan sistem ekonomi kapitalis dan sistem ekonomi
sosialis . Selain itu, dengan mengembangkan kedua sistem itu dunia semakin hari
semakin tidak teratur yang pada gilirannya melahirkan negara – negara yang semakin hari
semakin kaya disisi lain melahirkan negara – negara yang semakin miskin. Dengan kata
lain dengan menjalankan kedua sistem ekonomi tersebut akan melahirkan ketidak
seimbangan dalam perkembangan ekonomi.
Asuransi syariah dan lembaga-lembaga ekonomi syariah lainnya muncul sebagai bukan
hanya untuk meningkatkan ekonomi umatnya saja. Tetapi sekaligus menjadi solusi bagi
bangsa yang sedang terpuruk ini untuk bisa bangkit kembali menjadi bangsa yang
bermartabat, tidak diperhamba bangsa-bangsa lain.
Berdirinya Asuransi Syariah jelas akan meningkatkan kesadaran berasuransi, sehingga
disamping ikut membangun untuk memperkuat sumber daya keuangan dalam negeri, juga
akan memberikan dampak kontraksi moneter untuk menahan laju inflasi. Dengan
optimalnya investasi yang dilakukan sesuai dengan prinsip syariah islam, maka akan
dapat membantu pertumbuhan ekonomi secara maksimal.
3.Kendala dan Strategi Perkembangan Asuransi Syariah
Dalam perkembangannya, asuransi syariah menghadpi beberpa kendala, diantaranya :
1) Rendahnya tingkat perhatian masyarakat terhadap keberadaan asuransi syariah
yang relative baru dibandingkan dengan asuransi konvebsional yang telah lama
mereka kenal, baik nama dan operasinya.
2) Asuransi bukanlah bank yang banyak berpeluang untuk bisa berhubungan
dengan masyarakat dalam hal pendanaan atau pembiayaan. Artinya, dengan
produknya bank lebih lebih banyak berpeluang untuk bisa selalu berhubungan dengan
masyarakat.
3) Asuransi syariah, sebagaimana bank dan lembaga keuangan syariah lain, masih
dalam proses mencari bentuk. Oleh karenanya, diperlukan langkah – langkah
sosialisasi, baik untuk mendapatkan perhatian masyarakat maupun sebagai upaya
mencari masukan demi perbaikan system yang ada
4) Rendahnya profesialisme sumber daya manusia ( SDM) menghambat laju
pertumbnuhan asuransi syariah. Penyediaan sumber daya manusia dapat dilakukan
dengan kerjasama dengan berbagai pihak terutama lembaga – lembaga pendidikan
untuk membuka atau memperkenalkan pendidikan asuransi syariah
Adapun strategi yang diperlukan untuk pengembangan asuransi syariah diantaranya
sebagai berikut :
1) Perlu strategi pemasaran yang lebih terfokus kepada upaya untuk memenuhi
pemahaman masyarakat tentang asuransi syariah. Maka asuransi syariah perlu
meningkatkan kualitas pelayanan kepada pemenuhan pemahaman masyarakat ini,
misalnya mengenai apa asuransi syariah, bagaimana operasi asuransi syariah,
keuntungan apa yang di dapat dari asuransi syariah, dan sebagainya
2) Sebagai lembaga keuangan yang menggunakan system syariah tentunya
aspek syiar islam merupakan bagian dari operasi asuransi tersebut. Syiar islam tidak
hanya dalam bentuk normative kajian kitab misalnya, tetapi juga hubungan antara
perusahaan asuransi dengan masyarakat. Dalam hal ini asuransi syariah sebagai
perusahaan yang berhubungan denganm masalah kemanusiaan (kematian,
kecelakaan, kerusakan dll), setidaknya dalam masalah yang berhubungan dengan
klaim nasabah asuransi syariah bias memberikan pelayanan yang lebih baik
dibandingkan dengan asuransi konvensional
3) Dukungan dari berbagai pihak teruitama pemerinyah, ulama, akademis, dan masyarakat
diperlukan untuk memberikan masukan dalam penyelenggaraan operasi asuransi syariah. Hal
ini diperlukan selain memberikan control bagi asuransi syariah untuk berjalan pada system
yang berlaku, juga meningkatkan kemampuan asuransi syariah dalam menangkapa kebutuhan
dan keinginan masyarakat
Tabarru Asuransi Syariah Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia no: 53/DSN-MUI/III/2006, tentang
Tabarru’ pada Asuransi Syari’ah
Menimbang :
a. bahwa fatwa No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah dinilai sifatnya masih sangat umum sehingga perlu dilengkapi dengan fatwa yang lebih rinci;
b. bahwa salah satu fatwa yang diperlukan adalah fatwa tentang Akad Tabarru’ untuk asuransi;
c. bahwa oleh karena itu, Dewan Syariah Nasional memandang perlu menetapkan fatwa tentang Akad Tabarru’ untuk dijadikan pedoman.
Mengingat :
1. Firman Allah SWT, antara lain:
o Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar. (QS. al-Nisa’ [4]: 2).
o “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahtera-an) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang
benar.” (QS. al-Nisa’ [4]: 9).
o “Hai orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah dibuat untuk hari esok (masa depan). Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. al-Hasyr [59]: 18).
2. Firman Allah SWT tentang prinsip-prinsip bermu’amalah, baik yang harus dilaksanakan maupun dihindarkan, antara lain:
o “Hai orang yang beriman! Tunaikanlah akad-akad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hokum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya. (QS. al-Maidah [5]: 1).
o “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan apabila kamiu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. al-Nisa’ [4]: 58).
o “Hai orang yang beriman! Janganlah kalian memakan (mengambil)harta orang lain secara batil, kecuali jika berupa perdagangan yang dilandasi atas sukarela di antara kalian. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. al-Nisa’ [4]: 29).
3. Firman Allah SWT tentang perintah untuk saling tolong menolong dalam perbuatan positif, antara lain :
o “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesung-guhnya Allah amat berat siksa-Nya” (QS. al-Maidah [5]: 2).
4. Hadis-hadis Nabi shallallahu alaihi wa sallam tentang beberapa prinsip bermu’amalah, antara lain:
o “Barang siapa melepaskan dari seorang muslim suatu kesulitan di dunia, Allah akan melepaskan kesulitan darinya pada hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
o “Perumpamaan orang beriman dalam kasih sayang, saling mengasihi dan mencintai bagaikan tubuh (yang satu); jikalau satu bagian menderita sakit maka bagian lain akan turut menderita” (HR. Muslim dari Nu’man bin Basyir).
o “Seorang mu’min dengan mu’min yang lain ibarat sebuah bangunan, satu bagian menguatkan bagian yang lain” (HR Muslim dari Abu Musa al-Asy’ari).
o “Barang siapa mengurus anak yatim yang memiliki harta, hendaklah ia perniagakan, dan janganlah membiarkannya (tanpa diperniagakan) hingga habis oleh sederkah (zakat dan nafakah)” (HR. Tirmizi, Daraquthni, dan Baihaqi dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya Abdullah bin ‘Amr bin Ash).
o “Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat yang mereka buat kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR. Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf).
o “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain.” (Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari ‘Ubadah bin Shamit, riwayat Ahmad dari Ibnu ‘Abbas, dan Malik dari Yahya).
5. Kaidah fiqh:
o “Pada dasarnya, semua bentuk mu’amalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
o “Segala mudharat harus dihindarkan sedapat mungkin.”
o “Segala mudharat (bahaya) harus dihilangkan.”
Memperhatikan:
1. Pendapat para ulama, antara lain:
• Sejumlah dana (premi) yang diberikan oleh peserta asuransi adalah tabarru’ (amal kebajikan) dari peserta kepada (melalui) perusahaan yang digunakan untuk membantu peserta yang memerlukan berdasarkan ketentuan yang telah disepakati; dan perusahaan memberikannya (kepada peserta) sebagai tabarru’ atau hibah murni tanpa imbalan. (Wahbah al-Zuhaili, al-Mu’amalat al-Maliyyah al-Mu’ashirah, [Dimasyq: Dar al-Fikr, 2002], h. 287).
• Analisis fiqh terhadap kewajiban (peserta) untuk memberikan tabarru’ secara bergantian dalam akad asuransi ta’awuni adalah “kaidah tentang kewajiban untuk memberikan tabarru’” dalam mazhab Malik. (Mushthafa Zarqa’, Nizham al-Ta’min, h. 58-59; Ahmad Sa’id Syaraf al-Din, ‘Uqud al-Ta’min wa ‘Uqud Dhaman al-Istitsmar, h. 244-147; dan Sa’di Abu Jaib, al-Ta’min bain al-Hazhr wa al-Ibahah, h. 53).
• Hubungan hukum yang timbul antara para peserta asuransi sebagai akibat akad ta’min jama’i (asuransi kolektif) adalah akad tabarru’; setiap peserta adalah pemberi dana tabarru’ kepada peserta lain yang terkena musibah berupa ganti rugi (bantuan, klaim) yang menjadi haknya; dan pada saat yang sama ia pun berhak menerima dana tabarru’ ketika terkena musibah (Ahmad Salim Milhim, al-Ta’min al-Islami, h, 83).
2. Hasil Lokakarya Asuransi Syari’ah DSN-MUI dengan AASI (Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia) tanggal 7-8 Jumadi al-Ula 1426 H / 14-15 Juni 2005 M.
3. Pendapat dan saran peserta Rapat Pleno Dewan Syari’ah Nasional pada 23 Shafar 1427/23 Maret 2006.
MEMUTUSKAN
Menetapkan : FATWA TENTANG AKAD TABARRU’ PADA ASURANSI SYARI’AH
Pertama : Ketentuan Umum
Dalam Fatwa ini, yang dimaksud dengan:
• a. asuransi adalah asuransi jiwa, asuransi kerugian dan reasuransi syariah;
• b. peserta adalah peserta asuransi (pemegang polis) atau perusahaan asuransi dalam reasuransi syari’ah.
Kedua : Ketentuan Hukum
• 1. Akad Tabarru’ merupakan akad yang harus melekat pada semua produk asuransi.
• 2. Akad Tabarru’ pada asuransi adalah semua bentuk akad yang dilakukan antar peserta pemegang polis.
Ketiga : Ketentuan Akad
1. Akad Tabarru’ pada asuransi adalah akad yang dilakukan dalam bentuk hibah dengan tujuan kebajikan dan tolong¬ menolong antar peserta, bukan untuk tujuan komersial.
2. Dalam akad Tabarru’, harus disebutkan sekurang-kurangnya:
• a. hak & kewajiban masing-masing peserta secara individu;
• b. hak & kewajiban antara peserta secara individu dalam akun tabarru’ selaku peserta dalam arti badan/kelompok;
• c. cara dan waktu pembayaran premi dan klaim;
• d. syarat-syarat lain yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.
Keempat : Kedudukan Para Pihak dalam Akad Tabarru’
• 1. Dalam akad Tabarru’, peserta memberikan dana hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta atau peserta lain yang tertimpa musibah.
• 2. Peserta secara individu merupakan pihak yang berhak menerima dana tabarru’ (mu’amman/mutabarra’ lahu, /ع متبَّر� له مؤم�ن ) dan secara kolektif selaku penanggung (mu’ammin/mutabarri’- /ع متبَّر� .(مؤم�ن
• 3. Perusahaan asuransi bertindak sebagai pengelola dana hibah, atas dasar akad Wakalah dari para peserta selain pengelolaan investasi.
Kelima : Pengelolaan
• 1. Pembukuan dana Tabarru’ harus terpisah dari dana lainnya.
• 2. Hasil investasi dari dana tabarru’ menjadi hak kolektif peserta dan dibukukan dalam akun tabarru’.
• 3. Dari hasil investasi, perusahaan asuransi dapat memperoleh bagi hasil berdasarkan akad Mudharabah atau akad Mudharabah Musytarakah, atau memperoleh ujrah (fee) berdasarkan akad Wakalah bil Ujrah.
Keenam : Surplus Underwriting
• 1. Jika terdapat surplus underwriting atas dana tabarru’, maka boleh dilakukan beberapa alternatif sebagai berikut:
o a. Diperlakukan seluruhnya sebagai dana cadangan dalam akun tabarru’.
o b. Disimpan sebagian sebagai dana cadangan dan dibagikan sebagian lainnya kepada para peserta yang memenuhi syarat aktuaria/manajemen risiko.
o c. Disimpan sebagian sebagai dana cadangan dan dapat dibagikan sebagian lainnya kepada perusahaan asuransi dan para peserta sepanjang disepakati oleh para peserta.
2. Pilihan terhadap salah satu alternatif tersebut di atas harus disetujui terlebih dahulu oleh peserta dan dituangkan dalam akad.
Ketujuh : Defisit Underwriting
• 1. Jika terjadi defisit underwriting atas dana tabarru’ (defisit tabarru’), maka perusahaan asuransi wajib menanggulangi kekurangan tersebut dalam bentuk Qardh (pinjaman).
• 2. Pengembalian dana qardh kepada perusahaan asuransi disisihkan dari dana tabarru’.
Kedelapan : Ketentuan Penutup
1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 23 Maret 2006 / 23 Shafar 1427 H
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Ketua,DR. KH. M.A Sahal Mahfudh
SekretarisDrs. H.M. Ichwan Sam
http://asuransitakaful.net/landasan-syariah/tabarru-asuransi-syariah/
PEMASARAN DALAM PERSPEKTIF SYARIAH
2.1. Sekilas UKM
Usaha Kecil Menengah atau UKM adalah suatu usaha yang merupakan salah satu bagian penting
dalam laju perekonomian suatu negara atau daerah. UKM ini juga sangat membantu negara /
pemerintah dalam hal penciptaan lapangan kerja baru dan lewat ukm juga banyak tercipta unit-unit
kerja baru yang menggunakan tenaga-tenaga baru yang dapat mendukung pendapatan rumah
tangga. Selain dari itu, UKM juga memiliki fleksibilitas yang tinggi jika dibandingkan dengan
usaha yang berkapasitas lebih besar. UKM ini perlu perhatian yang khusus dan di dukung oleh
informasi yang akurat, agar terjadi link bisnis yang terarah antara pelaku usaha kecil dan menengah
dengan elemen daya saing usaha, yaitu jaringan pasar. Terdapat dua aspek yang harus
dikembangkan untuk membangun jaringan pasar, aspek tersebut adalah :
a) Membangun sistem promosi untuk penetrasi pasar, dan
b) merawat jaringan pasar untuk mempertahankan pangsa pasar.
Aspek tersebutlah yang yang menjadi permasalahan mendasar yang sering dihadapi pemilik usaha
kecil. Untuk memajukan usaha kecil yang memiliki daya saing yang kuat adalah dengan
membangun strategi pemasaran yang baik dan tepat sasaran. Pemasaran merupakan upaya mengatur
strategi dan cara agar konsumen mau mengeluarkan uang yang mereka miliki untuk menggunakan
produk atau jasa yang dimiliki sebuah perusahaan, dalam hal ini usaha kecil dan menengah. Dengan
strategi pemasaran yang baik dan tepat sasaran ditambah dengan mengedepankan konsep spiritual,
posisi usaha kecil dan menengah menjadi kuat dan patut diperhitungkan dalam kegiatan ekonomi
nasional yang akhirnya membawa keuntungan bagi usaha tersebut.
Strategi pemasaran berkaitan erat dengan bagaimana cara meyakinkan pembeli / pelanggan
terhadap produk yang akan dijual. Untuk dapat meyakinkan pembeli, sipenjual harus memiliki
keyakinan bahwa produk yang dijual memang patut dibeli dan bermanfaat bagi sipembeli. Karena
itu perlu dipertimbangkan beberapa aspek dalam menentukan strategi pemasaran yang akan
dijalankan.
Berikut ini beberap tips dalam menentukan strategi pemasaran yang kami dapatkan dari beberapa
sumber, diantaranya adalah :
a) Mendefinisikan Visi, Misi dan Tujuan Usaha Kecil
Membangun strategi pemasaran sebuah produk usaha kecil harus dimulai dari visi, misi dan tujuan
perusahaan yang jelas dan akan diarahkan kemana. Visi, misi dan tujuan dimulai dari level top
manajemen kemudian menurun ke level karyawan terendah. Di sinilah letak pentingnya seorang
pemimpin dalam sebuah usaha yang mampu menggerakan dan mampu memberikan motivasi
kepada pelaksana. Dalam konteks usaha kecil pemimpin usaha biasanya sekaligus pemilik usaha.
Visi, misi dan tujuan ini akan membantu kita menentukan strategi pemasaran seperti apa yang akan
diterapkan. Dengan tujuan yang jelas, strategi pemasaran yang diterapkan menjadi terukur, apakah
sesuai target pemasaran, gagal, perlu penyempurnaan dan lain-lain
b) Menganalisa Faktor Eksternal Usaha Kecil
Selanjutnya setelah memiliki visi, misi dan tujuan yang jelas, perlu dipertimbangkan beberapa
faktor eksternal atau faktor lingkungan bisnis yang ditekuni. Pemetaan kondisi ini akan
menghasilkan kekuatan dan kelemahan pesaing kita, sekaligus melihat aspek mana yang bisa
dijadikan sebagai keunggulan bersaing. Kebijakan dan aturan pemerintah juga perlu menjadi
pertimbangan dalam membangun strategi pemasaran. Faktor eksternal menjadi hal yang penting
untuk dipertimbangkan dalam menentukan strategi pemasaran karena banyak hal diluar diri kita
akan berpengaruh terhadap pemasaran yang dilakukan.
c) Memahami Pelanggan
Konsumen atau pelanggan adalah basis atau target dari produk kita, maka memahami konsumen
atau pelanggan menjadi hal yang penting untuk dilakukan. Pemahaman tentang konsumen, nilai-
nilai yang mereka anut, dan nilai tambah seperti apa yang diinginkan mereka akan sangat
membantu perusahaan dalam mendesain produk dan jasa yang dibutuhkan. Untuk memahami
pelanggan perlu dilakukan riset pemasaran. Riset pemasaran merupakan bagian dari strategi
pemasaran yang dilakukan dengan cara survey atau wawancara dengan calon-calon konsumen
mengenai apa harapan dan keinginan mereka tentang perusahaan, merupakan salah satu cara
memahami pelanggan.
d) Menentukan Target Pasar
Menentukan target pasar yang sudah tertentu merupakan strategi pemasaran agar tidak salah
menjual produk pada orang yang tidak tepat. Salah satu permasalahan usaha kecil adalah kesulitan
untuk menentukan segmen pasar dari hasil produknya, apakah diperuntukkan bagi masyarakat kelas
menengah atas atau untuk menengah bawah. Bisnis Usaha kecil sejak awal harus menentukan
bisnisnya diarahkan untuk kelas mana. Dengan menentukan target pasar yang dituju, perusahaan
bisa memberikan satu nilai tambah yang menjadi pembeda dibandingkan dengan para pesaingnya.
Nilai tambah inilah yang disebut sebagai differensiasi. Dengan differensiasi yang kuat, bisa menjadi
senjata dalam menghadapi berbagai persaingan.
e) Menganalisa Faktor Internal Usaha Kecil
Setelah peta kondisi eksternal sudah diperoleh , langkah selanjutnya adalah memikirkan kondisi
internal sebuah usaha, strategi apa yang akan dilakukan untuk mengelola perusahaan. Pola
pengelolaan strategi internal ini, dalam ilmu pemasaran sering disebut sebagai strategi 4 P yaitu
mengelola produk, harga, saluran distribusi dan promosi (product, price, place of distrbution,
promotion).
f) Menawarkan Produk Yang Sesuai dengan Kebutuhan Pelanggan
Salah satu kunci membangun strategi pemasaran adalah menawarkan produk yang sesuai dengan
kebutuhan pelanggan. Sebagus apapun produk yang ditawarkan jika tidak sesuai dengan kebutuhan
pelanggan akan ditolak. Produk-produk perusahaan bisa dibagi menjadi dua bagian, yaitu produk
utama dan produk pendukung. Produk utama adalah kegiatan belajar mengajar dengan segala
prosesnya. Karena bukan barang jadi, proses kegiatan belajar mengajar adalah produk utama yang
melibatkan emosi dan perasaan dari peserta didik sebagai konsumen. Karena itu, agar produk utama
ini baik harus diciptakan pengalaman belajar mengajar yang menyenangkan.
Perusahaan harus menentukan produk apa yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan. Survey
kebutuhan pelanggan perlu dilakukan agar produk yang diberikan sesuai dengan pilihan mereka.
g) Menentukan Harga Produk
Setelah menentukan produk apa yang ingin ditawarkan, selanjutnya adalah menentukan berapa
harga yang harus dibayar oleh konsumen. Harga menjadi sesuatu yang cukup sensitif bagi
pelanggan, salah satu yang menjadi pertimbangan dalam membangun strategi pemasaran adalah
menentukan harga yang pas. Prinsip utama dalam menentukan harga adalah menghitung
keseluruhan biaya yang diperlukan. Dari situ, tinggal ditambahkan berapa persen laba yang ingin
diperoleh untuk kepentingan pengembangan dan penghitungan berapa tahun akan balik modal.
Dalam hal distribusi, perlu juga dipikirkan bagaimana produk yang kita buat akan sampai kepada
konsumen. Perlu dipikirkan apakah produk kita jual secara langsung atau dipercayakan kepada
distributor dan agen untuk penyebarannya. Yang penting adalah bagaimana produk tersebut bisa
sampai ke tangan konsumen.
h) Promosi Produk
Salah satu faktor yang penting dalam pemasaran sebagai P yang terakhir dari 4P yaitu promosi.
Promosi adalah usaha-usaha sadar untuk melakukan sosialisasi, penerangan, dan pemberitahuan
kepada masyarakat tentang berbagai informasi, yang biasanya mengenai berbagai produk yang
ditawarkan. Aktivitas promosi melibatkan berbagai bentuk dan variasi yang sangat beragam.
Tinggal bagaimana para pengelola melakukan berbagai promosi kreatif sesuai dengan kebutuhan
dan anggaran promosi yang disediakan. Membuat kemasan produk yang baik dan menarik
merupakan salah satu bentuk promosi yang cukup baik dan efektif.
2.2. Bank Syariah
Pada saat ini, perkembangan perbankan syariah sebagai bagian dari aplikasi sistem ekonomi syariah
di Indonesia telah memasuki babak baru. Pertumbuhan industri perbankan syariah telah
bertransformasi dari hanya sekedar memperkenalkan suatu alternatif praktik perbankan syariah
menjadi bagaimana bank syariah menempatkan posisinya sebagai pemain utama dalam percaturan
ekonomi di tanah air. Bank syariah memiliki potensi besar untuk menjadi pilihan utama dan
pertama bagi nasabah dalam pilihan transaksi mereka. Hal itu ditunjukkan dengan akselerasi
pertumbuhan dan perkembangan perbankan syariah di Indonesia.
Perbankan sebagai salah satu pelaku bisnis tidak henti-hentinya berkompetisi untuk membuat
nasabahnya tetap setia pada produknya dan tidak berpaling ke produk lain. Salah satu kiat yang
diyakini dalam pemasaran sekarang untuk membuat nasabah setia adalah menciptakan sistem
layanan yang selalu mengarah kepada customer satisfaction.
Customer satisfaction atau kepuasaan pelanggan dapat didefinisikan sebagai perspektif pengalaman
nasabah setelah menggunakan suatu produk atau layanan jasa perbankan di sebuah bank. Kepuasan
dapat diartikan sebagai hasil dari penilaian atau persepsi nasabah bahwa produk atau jasa layanan
telah memberikan tingkat kenikmatan tertentu. Tingkat kenikmatan yang dimaksud adalah
kesesuaian antara apa yang dirasakan oleh nasabah dari pengalaman yang diperoleh dengan apa
yang diharapkan. Dengan demikian, dapat terjadi bahwa secara aktual, suatu produk dan jasa
layanan, menurut pihak bank mempunyai potensi untuk memenuhi harapan nasabah.
Strategi pemasaran yang bisa dilakukan oleh perbankan syariah dalam mengenalkan produknya dan
memperkuat eksistensinya diantaranya adalah :
a) Menang Tanpa Bertempur
Bank syari’ah bisa melakukan “menang tanpa bertempur” dengan beberapa cara, seperti menyerang
bagian pasar yang selama ini terlayani oleh produk bank syari’ah maupun lembaga keuangan lain.
Dalam hal ini bank syari’ah bisa melakukannya dengan penyediaan pembiayaan bagi para
pengusaha kecil yang selama ini belum banyak tersentuh oleh bank syari’ah. Bank syari’ah juga
bisa menggarap pasar mengambang (floating market) yang mempunyai potensi sangat besar. Pasar
mengambang ini terdiri dari para nasabah rasional, bukan nasabah loyalis syariah. Bank syari’ah
dapat memperkenalkan keunggulan return yang kompetitif dari sistem bagi hasil yang berprinsip
keadilan. Return yang kompetitif ini tentu dapat menarik nasabah yang berpikir rasional dan
mengharap keuntungan yang tinggi. Dengan begitu bank syari’ah akan memperoleh pangsa pasar
yang lebih besar tidak hanya nasabah loyalis syariah saja.
b) Menghindari Kekuatan Lawan dan Menyerang Kelemahannya
Kelemahan bank syari’ah adalah pada sisi modal atau aset, sehingga bank syari’ah harus
menghindari persaingan harga secara terbuka. Bank syari’ah tidak perlu terpancing dengan
pergerakan suku bunga konvensional dalam menentukan nisbah bagi hasilnya. Selain tidak sehat
dari aspek syariah, persaingan ini juga kan membahayakan kelangsungan aset bank syari’ah
Sebaliknya, bank syari’ah harus menyerang kelemahan pesaing dari aspek syariah yaitu, bunga
yang ribawi. Dengan kelemahan itu, bank syari’ah dapat terus menerus mempersoalkan hukum
bunga yang eksploitatif tersebut. Caranya dapat melalui sosialisasi fatwa MUI tentang keharaman
bunga atau dengan mengadakan kampanye anti bunga. Disamping itu, bank syari’ah juga harus
menonjolkan kekuatannya pada sistem bagi hasil yang lebih syar’i.
Penyerangan sisi oleh bank syari’ah, yaitu dengan cara terus membedakan diri dengan pesaing,
yaitu mengenai:
1. Konsep pengelolaan berdasarkan syariah yang bebas riba.
2. Pengelola berperilaku dan berkomunikasi agamis serta banyak para marketer bank syari’ah yang
mempunyai hubungan yang sangat dekat secara psikologis dengan para nasabahnya.
3. Mengadakan pengajian rutin antar nasabah, pengelola, dan pengurus sebagai media promosi yang
tepat.
4. Mengembangkan pola pembinaan dan pendampingan dengan membentuk kelompok-kelompok
binaan. Beberapa bank syari’ah menggunkan sistem tanggung renteng, yakni pembiayaan secara
kelompok sehingga pembiayaan yang macet bisa ditanggulangi.
Kondisi perekonomian seperti sekarang tentu membuat jalannya dunia usaha agak lambat, bank
syari’ah harus mampu memotivasi nasabahnya agar bangkit, sehingga nasabah tersebut
membutuhkan pembiayaan. Motivasi ini merupakan cara untuk menciptakan kebutuhan baru
sebagai salah satu upaya penyeragan sisi. Hal ini tidak akan disadari dan diduga sebelumnya oleh
pesaing.
c) Menggunakan Pengetahuan dan Strategi
Bank syari’ah tidak boleh hanya mengandalkan informasi yang tersedia di publik atau pasar. Produk
bank syari’ah yang bagus saja tidak cukup menjamin untuk memenangkan persaingan, tetapi
diperlukan sebuah informasi tentang manuver pesaing melalui penggunaan intelejen pasar (spy)
yang sesuai dengan etika persaingan bisnis dan ajaran Islam. Dengan informasi dari mata-mata
(marketer), Bank syari’ah bisa menentukan strategi pemasaran yang cerdik, tanpa menimbulkan
konflik dan dengan biaya yang sehemat mungkin. Dengan informasi ini, bank syari’ah tidak akan
melakukan kesalahan dan kecolongan oleh manuver pesaing yang sebenarnya tidak perlu ditanggapi
disamping itu pula dengan penguasaan informasi bank syari’ah diharapkan bisa menerapkan strategi
yang lebih jitu dan menjalankan strategi tersebut secara efektif dan efisien.
Disamping itu bank syari’ah yang mempunyai informasi yang lengkap dapat mendahului pesaing
dalam melakukan manuver-manuver mengecoh perhatian pesaing, sehingga pesaing akan
kecolongan dan tidak menyadari strategi bank syari’ah. Bank syari’ah harus menyembuyikan
strategi yang akan digunakan dalam persaingan sehingga pesaing akan kesulitan dalam meramalkan
gerak kita. Dengan begitu bank syari’ah dapat mengalihkan perhatian pesaing dan membuat mereka
kewalahan dan kebingungan dalam menghadapi strategi bank syari’ah.
d) Kecepatan dan Persiapan
Pemasaran bank syariah harus bergerak cepat untuk dapat menguasai persaingan. Bergerak dengan
cepat bukan berarti mengerjakan secara tergesa-gesa. Kenyataannya, kecepatan butuh persiapan
matang. Mengurangi waktu yang diperlukan untuk mengambil keputusan, mengembangkan produk,
dan layanan nasabah adalah hal utama. Memahami reaksi kompetitor potensial terhadap serangan
kita merupakan hal yang juga penting. Timing dan kecepatan sangat krusial dalam persaingan
lembaga keuangan Kemampuan membaca pasar dan meluncurkan produk secara cepat, biasanya
merupakan langkah utama dalam meraih mind share dan market share. Kecepatan ini mesti
dilakukan lewat persiapan yang matang dan membangun struktur tertentu yang cerdas, prospektif,
dan adaptif. Dalam meluncurkan produk baru, bank syari’ah harus mempunyai kecepatan
dibandingkan pesaing. Kecepatan itu juga harus diimbangi dengan persiapan yang matang atas
segala kemungkinan, sehingga bank syari’ah akan siap dalam menhadapi segala resiko yang
ditimbulkan dan produk yang diluncurkan itu tidak menjadi bumerang di kemudian hari.
Nasabah bank syari’ah yang sebagian besar pedagang kecil membutuhkan dana pembiayaan yang
dengan mudah dan cepat cair. Bank syari’ah harus mampu melakukan pelayanan itu secara cepat,
dalam hal ini bank syari’ah bisa membentuk kelompok-kelompok dalam pasar sehingga waktu
untuk menarik dan menyalurkan pada nasabah bisa dilakukan dengan waktu yang singkat dengan
biaya yang lebih sedikit Namun demikian, bank syari’ah harus tetap memperhatikan prinsip kehati-
kehatian dalam memberikan pembiayaan. Kepercayan dan kemitraan dengan nasabah merupakan
senjata ampuh.
e) Membentuk Lawan
Sekarang co-marketing dan co-branding populer digunakan untuk menaikkan marketing
relationship, pelengkap produk dan pengalaman yang lain. Dalam melakukan aliansi, bank syari’ah
dapat membentuk jaringan sebagai wadah untuk bertukar pikiran dan informasi, saling membantu
dalam hal likuiditas, serta berkonsolidasi dalam menghadapi persaingan maupun menyelesaikan
konflik yang muncul antar bank syari’ah sendiri. Dengan adanya jaringan ini diharapkan posisi
tawar bank syari’ah di hadapan pemerintah maupun pesaing akan meningkat. Dengan posisi tawar
yang tinggi, bank syari’ah akan lebih mudah membatasi gerak pesaing. Gerak pesaing yang terbatas
akan memudahkan bank syari’ah untuk membuat pesaing melakukan persaingan sesuai aturan bank
syari’ah.
f) Pemimpin Yang Berkarakter
Manajer bank syari’ah yang berkarakter akan mampu menciptakan suasana manajemen bank
syari’ah yang dapat menumbuhkan disiplin dan percaya diri pegawai dalam menjalankan strategi
pemasran yang telah ditetapkan. Seperti yang kita ketahui, kemampuan suatu bank syari’ah
mendorong inisiatif karyawannya merupakan hal yang amat penting. Hanya dengan demikianlah,
bank syari’ah tersebut bisa menyesuaikan strateginya, serta merespon lingkungan kompetensi yang
dinamis dan tuntutan nasabah yang semakin tinggi. Sistem manajemen bank syari’ah juga harus
mendorong kreativitas pegawai dengan cara memberikan kesempatan untuk menyampaikan ide atau
pendapat yang dapat membantu kinerja pemasaran bank syari’ah. Komunikasi ini penting dalam
bank syari’ah agar keharmonisan hubungan atasan dan bawahan bank syari’ah tetap terjaga.
2.3. Asuransi Syari’ah
Pada saat ini perkembangan ekonomi yang berbasis syariah sedang diminati oleh masyarakat karena
banyak keuntungan yang didapat, maka dari itu didirikanlah asuransi-asuransi syariah sebagai
bentuk partisipasi dalam membangun perkembangan ekonomi syariah. Sampai saat ini asuransi
syariah berkembang sangat pesat. Banyak asuransi konvensioanal yang melahirkan unit atau cabang
yang berbasis syariah dan beberapa perusahaan yan sedang dalam persiapan untuk mendirikan
asuransi islam baru.
Asuransi syariah dan lembaga-lembaga ekonomi syariah lainnya muncul sebagai bukan hanya
untuk meningkatkan ekonomi umatnya saja. Tetapi sekaligus menjadi solusi bagi bangsa yang
sedang terpuruk ini untuk bisa bangkit kembali menjadi bangsa yang bermartabat, tidak diperhamba
bangsa-bangsa lain.
Berdirinya Asuransi Syariah jelas akan meningkatkan kesadaran berasuransi, sehingga disamping
ikut membangun untuk memperkuat sumber daya keuangan dalam negeri, juga akan memberikan
dampak kontraksi moneter untuk menahan laju inflasi. Dengan optimalnya investasi yang dilakukan
sesuai dengan prinsip syariah islam, maka akan dapat membantu pertumbuhan ekonomi secara
maksimal.
Dalam perkembangannya, asuransu syariah menghadapi beberapa kendala yang masih ditemui
hingga saat ini, diantaranya adalah :
· Rendahnya tingkat perhatian masyarakat terhadap keberadaan asuransi syariah yang
relative baru dibandingkan dengan asuransi konvebsional yang telah lama mereka kenal, baik nama
dan operasinya.
· Asuransi bukanlah bank yang banyak berpeluang untuk bisa berhubungan dengan
masyarakat dalam hal pendanaan atau pembiayaan. Artinya, dengan produknya bank lebih lebih
banyak berpeluang untuk bisa selalu berhubungan dengan masyarakat.
· Asuransi syariah, sebagaimana bank dan lembaga keuangan syariah lain, masih dalam
proses mencari bentuk. Oleh karenanya, diperlukan langkah – langkah sosialisasi, baik untuk
mendapatkan perhatian masyarakat maupun sebagai upaya mencari masukan demi perbaikan
system yang ada.
· Rendahnya profesialisme sumber daya manusia ( SDM) menghambat laju
pertumbnuhan asuransi syariah. Penyediaan sumber daya manusia dapat dilakukan dengan
kerjasama dengan berbagai pihak terutama lembaga – lembaga pendidikan untuk membuka atau
memperkenalkan pendidikan asuransi syariah
Adapun strategi yang diperlukan untuk pengembangan asuransi syariah diantaranya sebagai
berikut :
· Perlu strategi pemasaran yang lebih terfokus kepada upaya untuk memenuhi
pemahaman masyarakat tentang asuransi syariah. Maka asuransi syariah perlu meningkatkan
kualitas pelayanan kepada pemenuhan pemahaman masyarakat ini, misalnya mengenai apa asuransi
syariah, bagaimana operasi asuransi syariah, keuntungan apa yang di dapat dari asuransi syariah,
dan sebagainya.
· Sebagai lembaga keuangan yang menggunakan system syariah tentunya aspek syiar
islam merupakan bagian dari operasi asuransi tersebut. Syiar islam tidak hanya dalam bentuk
normative kajian kitab misalnya, tetapi juga hubungan antara perusahaan asuransi dengan
masyarakat. Dalam hal ini asuransi syariah sebagai perusahaan yang berhubungan denganm
masalah kemanusiaan (kematian, kecelakaan, kerusakan dll), setidaknya dalam masalah yang
berhubungan dengan klaim nasabah asuransi syariah bias memberikan pelayanan yang lebih baik
dibandingkan dengan asuransi konvensional.
· Dukungan dari berbagai pihak terutama pemerintah, ulama, akademis, dan masyarakat
diperlukan untuk memberikan masukan dalam penyelenggaraan operasi asuransi syariah. Hal ini
diperlukan selain memberikan control bagi asuransi syariah untuk berjalan pada system yang
berlaku, juga meningkatkan kemampuan asuransi syariah dalam menangkapa kebutuhan dan
keinginan masyarakat.
2.4. Pegadaian Syariah
Usaha Gadai Syariah diperlakukan sebagaimana pengelolaan sebuah perusahaan dengan sistem
modern yang dicerminkan dari penggunaan azas rasionalita, efisiensi dan efektivitas. Ketiga azas ini
diselaraskan dengan nilai–nilai Islam, sehingga dapat berjalan dengan manajemen perusahaan
secara keseluruhan.
Pembiayaan kegiatan dan pendanaan nasabah, harus diperoleh dari sumber yang benar-benar
terbebas dari unsur riba, karena kegiatan pegadaian syariah termasuk dana yang disalurkan kepada
nasabah murni berasal dari modal sendiri ditambah dana pihak ketiga yang dapat
dipertanggungjawabkan serta bekerjasama dengan Bank Muamalat sebagai fundernya dan
oprasioanalnya dibawah pengawasan Dewan Pengawas Syariah.
Beberapa prospek dari pegadaian syariah yang dapat disimpulkan diantaranya adalah :
· Pasar bisnis micro finance di Indonesia sangat besar, sehingga peluang bisnis Perum
Pegadaian juga terbuka lebar.
· Diversi vikasi usaha Perum Pegadaian yang banyak dapat diandalkan, sehingga
masyarakat mempunyai banyak pilihan untuk menggunakan jasa Perum Pegadaian.
· Citra Perum Pegadaian di mata nasabah sudah semakin baik dan mengakarnya prinsip-
prinsip Islami sehingga nasabah diharapkan tetap loyal kepada Perum Pegadaian.
· Harga emas Internasional sepanjang tahun menunjukkan peningkatan yang signifikan,
sehingga mempengaruhi secara langsung terhadap pertumbuhan perkembangan omset usaha Perum
Pegadaian.
Adapun beberapa kendala yang dihadapi pegadaian syariah dalam operasionalnya yaitu :
· Kurangnya tenaga professional di bidang ini.
· Sulitnya memberikan pemahaman masyarakat tentang bahaya bunga dan riba.
· Masih adanya anggapan masyarakat bahwa pegadaian syari’ah hanya diperuntukan bagi
umat Islam.
· Belum banyaknya ketersediaan unit-unit pegadaian syari’ah.
Dari beberapa kendala tersebut maka dibutuhkan beberapa strategi pemasaran yang baik
diantaranya :
· Melaksanakan program pemasaran secara terintegrasi yang melibatkan setiap pihak dan
event dalam Perum Pegadaian.
· Melaksanakan program pemasaran secara terencana dan terukur dengan konsep yang
dirumuskan secara tepat serta pelaksanaannya yang dirancang secara teliti.
· Melaksanakan program pemasaran yang dapat membangun image Perum Pegadaian
sebagai entitas yang kompeten.
· Melaksanakan dan memperkuat program undian-undian nasabah berhadiah menarik.
· Membuka Cabang/Unit Pelayanan Cabang (UPC) pada daerah-daerah yang potensial.
2.5. Koperasi Syariah
Konsep pemasaran dalam koperasi syariah merupakan falsafah usaha yang menyatakan bahwa
banyaknya transaksi yang terjadi adalah syarat utama bagi kelangsungan sebuah Koperasi Syariah.
Untuk itu pemasaran ini diarahkan untuk mengetahui kebutuhan anggota, calon anggota dan
masyarakat sebagai pengguna Koperasi Syariah dan memenuhi kebutuhan tersebut sehingga akan
menghasilkan laba usaha. Langkah-langkah yang harus ditempuh antara lain dengan cara :
a. Menciptakan Manfaat
Pengertian dasar dalam menciptakan nilai ekonomi adalah yang memilih Skim yang tepat dalam
mendanai usaha anggota maupun masyarakat dengan tingkat margin, bagi hasil dan fee agen yang
kompetitif dan tren usaha, manfaat waktu, manfaat tempat, manfaat kepemilikan (kejelasan status),
dan manfaat informasi.
b. Pendekatan Komplementer
Pendekatan komplementer adalah pendekatan serba sistem yang mencakup kumpulan simpul-
simpul masyarakat yang melakukan tugas pemasaran, barang, jasa, ide dan faktor-faktor lingkungan
yang saling memberikan pengaruh, dan membentuk serta mempengaruhi hubungan Koperasi
Syariah dengan anggota, calon anggota ataupun masyarakatnya.
· Pendekatan Produk Koperasi Syariah
Merupakan suatu pendekatan pada pemasaran yang melibatkan bagaimana sebuah produk Koperasi
Syariah yang dihasilkan dapat diterima dan dibutuhkan anggota, calon anggota dan masyarakat
pengguna. Proses dan organisasi yang digunakan disini dibuat untuk masing-masing produk yang
ditawarkan dan dihasilkan baik produk Unit sektor Riil maupun Unit Jasa Keuangan Syariah.
Mengingat pemasaran membutuhkan desain produksi, maka Produk Koperasi Syariah yang
dihasilkan sebaiknya didesain sedemikian rupa agar menarik peminat contohnya pada UJKS seperti
produk tabungan berjangka dinamakan : TASAKA (Tabungan Saleh Artha Berjangka) persis seperti
nama Kereta Eksekutif “Yogyakarta” atau untuk tabungan wadi’ah dinamakan TAWADHU
(Tabungan Wadhi’ah Umat) persis seperti sifat orang mu’min yang rendah hati. Kata-kata yang
dikenal masyarakat merupakan daya tarik tersendiri bagi masyarakat untuk lebih mengetahuinya
jasa Koperasi Syariah yang ditawarkan.
· Pendekatan Lembaga
Pendekatan melalui lembaga-lembaga yang terlibat dalam kegiatan pemasaran akan menciptakan
mekanisme pasar yang sehat dan sesuai dengan kebutuhan masing-masing lembaga. Lembaga-
lembaga yang terlibat antara lain :
1. Penyedia kebutuhan anggota, calon anggota dan masyarakat, dalam hal ini seperti Dealer
mobil/motor/ toko-toko elektronik
2. Suplier terhadap produk yang ditawarkan. Pengurus Koperasi Syariah hendaknya melihat tren
yang ada pada masyarakat maupun kebijakan moneter pemerintah serta situasi politik yang ada.
Pada tingkat ini produk-produk Koperasi Syariah dipesan dan harus didesain menurut kebutuhan
dan permintaan masyarakat luas.
3. Perantara dagang, dalam hal ini Koperasi Syariah memberikan reverensi produk-produk
unggulan yang dihasilkan baik jenis home industri, jasa-jasa, kerjasama atau sebagai agen. Untuk
selanjutnya dapat langsung menjualnya kepada anggota maupun masyarakat. Bila Koperasi Syariah
sebagai perantara Agen, dapat bertindak selaku perantara kepada konsumen akhir. Ataupun sebagai
pusat informasi pasar.
c. Pendekatan Serba Fungsi
Pendekatan ini tergantung pada produk yang ada dan kebiasaan dalam Jual Beli (Al Bai), Jasa
(Ijaroh) dan kerjasama usaha (Mudharabah atau Musyarakah). Dengan memperhatikan fungsi
pokok pemasaran antara lain:
1. Kemampuan menjual
Penjualan merupakan fungsi terpenting dalam pemasaran, karena menjadi tulang punggung sebuah
Koperasi Syariah. Untuk itu perlu berbagai macam cara untuk memajukan penjualan produk dan
jasa Koperasi Syariah. Akan tetapi perlu juga memperhatikan rambu syariah sebagaimana hadits
yang diiriwayatkan dari Hakim
bin Hizam bahwa Rasulullah Saw bersabda : “Dua orang yang melakukan transaksi jual beli
berdasarkan pilihan selama keduanya belum berpisah. Bila keduanya benar melakukan transaksi
dan membuat jelas segala sesuatu, maka keduanya mendapat berkah dari transaksi keduanya. Bila
keduanya bohong dan menyembunyikan
sesuatu, maka keberkatan keduanya dihapuskan ”
2. Desain Produk
Dengan berbagai featur seperti hadiah payung, pulpen, bola dan sebagainya. Produk harus
didesain menarik dengan memberikan prototipeprototipe yang dapat diperlihatkan kepada anggota,
calon anggota dan masyarakat pengguna jasa Koperasi Syariah, sehingga dapat menarik perhatian.
3. Penentuan Harga Jual
Strategi harga sangat dibutuhkan sesuai dengan lingkungan persaingan dan segmen pasar. Strategi
yang paling umum adalah menggunakan “Cost-Plus Pricing Method” yaitu penentuan harga jual
dihitung berdasarkan total biaya dengan rumus : Total Harga Pokok + Marjin = Harga Jual.
Sementara untuk menentukan Total Biaya adalah : Biaya Tetap + Biaya Variabel = Total Biaya.
Namum demikian manajemen dapat melakukan langkah dengan melihat kompetiter yang ada
mengingat pasar Koperasi Syariah termasuk golongan ceruk pasar.
4. Promosi
Promosi dibutuhkan untuk memperluas jaringan keanggotaan yang berasal dari masyarakat luas,
disertai dengan informasi produk dan jasa Koperasi Syariah meliputi jenis produk pembiayaan
ataupun sektor riil dan sebagainya. Sebelum memutuskan promosi harus diputuskan segmen pasar
dan calon anggota pengguna jasa Koperasi Syariah.
5. Pembelian
Pembelian barang yang menjadi obyek pembiayaan Koperasi Syariah harus dipisahkan berdasarkan
jenis, kualitas, harga jual, merk maupun mekanisme pengirimannya. Pengelola Koperasi Syariah
harus aktif sehingga konsumen tidak lagi menunggu sampai barang itu ditawarkan kepadanya. Ia
akan melihat sumbernya dari siapa ia akan membeli.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Barang siapa yang membeli
makanan, maka ia tidak menjualnya sampai ia menimbangnya.”.
6. Penyimpanan
Barang-barang yang dimiliki Koperasi Syariah setelah dipilah berdasarkan jenis dan kualitasnya
disimpan dalam penyimpanan yang aman. Penyimpanan ini juga memiliki alasan antara lain :
Menstabilkan harga, yaitu dengan jalan menimbun hasil komoditi pada saat hasil produk berlimpah
ruah, sehingga harganya rendah. Kemudian menjualnya pada waktu komoditi dibutuhkan.
Spekulasi, yaitu dengan menampung hasil produksi untuk dijual pada saat harga naik.
Menjaga kemungkinan terjadi pembelian dalam jumlah besar. Perlunya penyimpanan barang dan
jasa selama waktu antara dihasilkan dan dijual, kadang dalam fase penyimpanan perlu diadakan
pengolahan lebih lanjut contohnya pengadaan barangbarang produk retail atau eceran.
7. Perkuatan Pendanaan
Perkuatan Pendanaan ini merupakan sebuah fungsi untuk mendapatkan modal dari sumber ekstern.
Sumber-sumber tersebut antara lain : Lingkage dengan Bank Umum Syariah (BUS), Laba BUMN,
Proyek-proyek Pemerintah, dll. Yakni dengan market financing yang dimaksudkan fungsi mencari,
mengurus modal uang secara profit sharring ataupun revenue sharring dengan pihak-pihak tertentu
guna melancarkan transaksitransaksi pengalihan barang dari sumber tertentu kepada Koperasi
Syariah dilanjutkan ke anggotanya. Konsep Islam membenarkan pemberian imbalan atas modal
dengan tanggung jawab untuk memikul resiko kerugian. Seseorang dapat menginvestasikan modal
kedalam sebuah syirkah (perkongsian, kemitraan) berdasarkan modal kerja, atau keahliannya.
8. Penanggungan Resiko
Penanggungan resiko adalah fungsi untuk menghindari dan mengurangi kemungkinan timbulnya
resiko dalam pemasaran seperti:
o Resiko yang ditimbulkan oleh alam : banjir, penyakit, ombak.
o Resiko yang ditimbulkan oleh manusia : Pencurian, perampokan dan Kebakaran.
o Resiko yang ditimbulkan oleh pasar : Merosotnya harga.
o Risiko Management adalah suatu cara bagaimana mengurangi atau menghindari kerugian
yang timbul karena rusaknya barang, penyusutan,hilangnya barang, atau turunnya harga sehingga
tidak mempengaruhi aktifitas usaha Koperasi Syariah.
9. Pengumpulan Informasi Pasar.
Keberadaan Koperasi Syariah diharapkan dapat terciptanya Business Centre dengan dilengkapi Unit
Jasa Keuangan Syariah (UJKS). Sehingga dapat diketahui Produk yang dihasilkan dan
keberadaannya dipasar. Kebutuhan Anggota, calon anggota dan masyarakat terhadap produk
tersebut, dengan indikasi serba mudah, serba murah, serba ada (One Stop Shopping shariah)
sehingga tercipta segmentasi pasar yang jelas.
Kelangkaan Suplai atas Dimand akan menyebabkan harga barang tidak stabil dan cenderung naik,
untuk menstabilkan harga dilakukan dengan mencari sumber dan informasi pasar sebanyak-
banyaknya.
d. Pendekatan Manajemen
Pendekatan ini menitik beratkan pada sisi manajerial yang mengambil keputusan-keputusan dalam
menentukan kebijakan pemasaran produk Koperasi Syariah sebagai suatu kerangka yang terdiri atas
variabel-variabel yang dapat dikontrol seperti : pemahaman produk yang dihasilkan, pengaturan
likuiditas, penentuan margin dan promosi, ditambah dengan variabel-variabel yang tidak dapat
dikontrol seperti : kompetiter yang ada, permintaan anggota, calon anggota dan masyarakat.
2.6. Baitul Mal Wa Tamwil
Koperasi syariah atau akrab dikenal dengan sebutan Baitul Mal wa Tamwil (BMT) mengalami
perkembangan cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
Searah dengan perubahan zaman, perubahan tata ekonomi dan perdagangan, konsep baitul mal yang
dulunya sederhana pun berubah, tidak sebatas menerima dan menyalurkan harta tetapi juga
mengelolanya secara lebih produktif untuk memberdayakan perekonomian masyarakat.
Selain itu, dengan kehadiran BMT di harapkan mampu menjadi sarana dalam menyalurkan dana
untuk usaha bisnis kecil dengan mudah dan bersih, karena didasarkan pada kemudahan dan bebas
riba/bunga, memperbaiki/meningkatkan taraf hidup masyarakat bawah, lembaga keuangan alternatif
yang mudah diakses oleh masyarakat bawah dan bebas riba/bunga, lembaga untuk memberdayakan
ekonomi ummat, mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan produktivitas.
Dan untuk itu semua diperlukan strategi yang pas dalam pemasarannya, diantaranya adalah sebagai
berikut :
a. Meluruskan Niat
Langkah pertama yang harus dilalui pengelola BMT sebelum memasarkan produknya adalah
dengan meluruskan niat, karena niat merupakan cermin perbuatan seseorang. Rasulullah SAW
bersabda :
“Sesungguhnya sahnya perbuatan ( amal ) itu tergantung pada niatnya”
Beberapa petunjuk praktis yang dapat dijadikan bahan rujukan para pengelola BMT dalam upaya
meluruskan niat, sebagai berikut :
· Luruskan niat dengan selalu menyebut nama Allah SWT bahwa apa yang hendak
dilakukan dalam kerangka pemasaran produk BMT tidak lain semata-mata untuk mengharapkan
ridho-Nya.
· Luruskan aniat dengan selalu mendekatkan tindakan dengan misi BMT yang telah
ditetapkan.
· Luruskan niat dengan dilandasi keyakinan bahwa memasarkan produk bmt juga
merupakan salah satu bagian penting dari serangkaian perjuangan menegakkan hokum-hukum Allah
SWT di muka bumi (jihad fi Sabilillah) dan dakwah menuju jalan yamg benar.
· Luruskan niat dengan menyatakan ikrar dalam hati hendak maksimal dalam
memasarkan produk BMT dan peantang menyerah menghadapi segala tantangan karena
pertolongan Allah SWT akan datang menyertai langkah-langkahnya.
b. Perhatikan Ulama
Hal penting yang perlu diperhatikan pengelola BMT dalam memasarkan produknya adalah
melakukan kunjungan ke ulama dengan menjelaskan bahwa BMT di kelola dengan baik mengikuti
prinsip-prinsip syariah. Sekali-kali ajak mereka menengok BMT serta praktik pengelolaaan dana
dan program-program BMT. Perlu dipikirkan langkah-langkah strategis yang memungkinkan BMT
menjalin kerjasama dengan lembaga atau organisasisosial keagamaam yang berbeda di bawah
pengaruh (naungan) ulama antara lain ; produk-produk simpanan berbagi hasil BMT, Simpanan
Pendidikan untuk para santri, Simpanan Haji, Simpanan Qurban, Simpanan Iedul Fitri dan
simpanan lain yang dapat mengakses kebutuhan umat. Sebagai imbangan BMT perlu
mempertimbangkan pemberian bagi santri berprestasi / kurang mampu atau sumbangan sarana
ibadah.
c. Memperluas Jaringan Kerjasama
Langkah berikutnya yang harus dilalui pengelola dalam memasarkan produknya adalah dengan
memperluas jaringan kerjasama saling menguntungkan (simbiosis mutualisme) dengan berbagai
pihak, sepanjang tidak mengingkari prinsip-prinsip syariah yang sejak awal ditetapkan sebagai
landasan utama usaha BMT. Kerjasama ini dimungkinkan sebagai upaya BMT semakin kukuh di
masyarakat karena mengalirnya dukungan dan kerjasama dari berbagai pihak, antara lain ;
• Para Aghniya yaitu orang-orang muslim yang memiliki kelebihan harta (surplus unit).
• Pengusaha muslim yang jujur dan memiliki komitmen kuat terhadap pemberdayaan ekonomi
umat.
• Perbankan Syariah, lokal maupun nasional, lembaga-lembaga mikro keuangan syariah lainnya,
lembaga permodalan, serta instansi pemerintah maupun swasta yang bergerak dalam bidang
ekonomi dan bisnis.
• Semua pihak yang memiliki komitmen sama dalam pemberdayaan ekonomi komponen mayoritas
bangsa yang banyak memiliki komitmen sama dalam pemberdayaan ekonomi komponen mayoritas
bangsa yang hidup di wilayah akar rumput (grass root).
d. Jemput Bola
Sebagai lembaga keuangan yang belum lama lahir, BMT membutuhkan promosi dan sosialisasi
secara lebih optimal di masyarakat. Keaktifan pengelola dalam memasarkan produk BMT
merupakan komponen terpenting diantara komponen-komponen lainnya yang akan menentukan
tingkat keberhasilan lembaga. Salah satu cara efektif yang dapat di lakukan untuk mencapai target-
target pemasaran produk BMT di awal operasionalnya adalah dengan melakukan pendekatan “
jemput bola “ pendekatan ini dilakukan dengan cara petugas langsung mendatangi calon nasabah
petugas leluasa menjelaskan mengenai konsep keuangan syariah serta system dan prosedur
operasional BMT.
Dari perspektif syariah, jemput bola dapat pula dipahami sebagai upaya
BMT mengembangkan tradisi silatutahmi yang menurut Rosulullah SAW dapat menambah rezeki,
memanjangkan umur serta menjauhkan manusia dari dendam dan kebencian. Setelah keempat
pendekatan umur serta menjauhkan manusia dari di atas dilalui, selanjutnya perlu dikembangkan
strategis pemasaran di bawah ini;
· Pengelola BMT harus mampu bertindak jujur, amanah, professional dibidangnya
dengan mewujudkan signifikasitransparansi dibidang manajemen. Keikhlasan menerima kritik dan
saran, bijaksana dalam mengambil segala keputusan penting, serta mampu memberikan pelayanan
terbaik kepada semua orang.
· Memilih produk penghimpunan dana yang tepat dengan ukuran sederhana (mudah
dalam pemasaran, pengelolaan, maupun penerapannya sesuai prinsip-prinsip syariah), tidak terlalu
beresiko artinya dana tersebut dipercayakan penyimpanannya untuk jangka waktu relatif lama 1
sampai 2 th atau lebih dan besaran beban bagi hasil usaha ditentukan berdasarkan perhitungan yang
wajar namun tetap kompetitif. Mempunyai nilai jual yang tinggi maksudnya adalah bahwa produk
penghimpunan dana yang ditawarkan benar-benar menjawab kebutuhan konkret masyarakat kelas
menengah di bawah (defisit-units).
http://abahanom-kng.blogspot.com/2012/10/pemasaran-dalam-perspektif-syariah.html
SUMMARY, ANALISA DAN KOMENTAR SISTEM KEUANGAN
M
A
K
A
L
A
H
JUDUL : FAKTOR PENDUKUNG INSTITUSI
LEMBAGA KEUANGAN SYARI’AH
DIPRESENTASIKAN SEBAGAI TUGAS PADA
MATA KULIAH SISTEM FINANCIAL ISLAM
DOSEN PEMBIMBING: Prof. Dr. SOFYAN SYAFRI HARAHAP
Oleh : Ismul Azhari
Nim: 08 EKNI 1348
PASCA SARJANA IAIN SUMUT
2009-2010
FAKTOR PENDUKUNG INSTITUSI LEMBAGA KEUANGAN SARI’AHOleh : H. Jazuli Suryadhi [1]
PENDAHULUAN
Perkembangan ekonomi syari’ah di Indonesia demikian cepat, khususnya perbankan, asuransi dan pasar modal. Jika pada tahun 1990-an jumlah kantor layanan perbankan syariah masih belasan, maka tahun 2000an, jumlah kantor pelayanan lembaga keuangan syariah itu melebihi enam ratusan yang tersebar di seluruh Indonesia. Asset perbankan syari’ah ketika itu belum mencapai Rp 1 triliun, maka saat ini assetnya lebih dari Rp 22 triliun. Lembaga asuransi syariah pada tahun 1994 hanya dua buah yakni Asuransi Takaful Keluarga dan Takaful Umum, kini telah berjumlah 34 lembaga asuransi syariah (Data AASI 2006)[2]. Demikian pula obligasi syariah tumbuh pesat
mengimbangi asuransi dan perbankan syariah.
1. Lembaga Pemberi Fatwa
Salah satu lembaga yang berwenang memberikan aturan/arahan selain lembaga yang dibentuk pemerintah adalah Majlis Ulama Indonesia dalam hal ini Dewan Syariah Nasional (DSN)
Para praktisi ekonomi syari’ah, masyarakat dan pemerintah (regulator) membutuhkan fatwa-fatwa syariah dari lembaga ulama (MUI) berkaitan dengan praktek dan produk di lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut. Perkembangan lembaga keuangan syariah yang demikian cepat harus diimbangi dengan fatwa-fatwa hukum syari’ah yang valid dan akurat, agar seluruh produknya memiliki landasan yang kuat secara syari’ah. Untuk itulah Dewan Syari’ah Nasional (DSN) dilahirkan pada tahun 1999 sebagai bagian dari Majlis Ulama Indonesia.[3]
2. Kedudukan Fatwa
Fatwa merupakan salah satu institusi dalam hukum Islam untuk memberikan jawaban dan solusi terhadap problem yang dihadapi umat. Bahkan umat Islam pada umumnya menjadikan fatwa sebagai rujukan di dalam bersikap dan bertingkah laku. Sebab posisi fatwa di kalangan masyarakat umum, laksana dalil di kalangan para mujtahid (Al-Fatwa fi Haqqil ’Ami kal Adillah fi Haqqil Mujtahid). Artinya, Kedudukan fatwa bagi orang kebanyakan, seperti dalil bagi mujtahid.[4]
Kehadiran fatwa-fatwa ini menjadi aspek organik dari bangunan ekonomi Islami yang tengah ditata/dikembangkan, sekaligus merupakan alat ukur bagi kemajuan ekonomi syari’ah di Indonesia. Fatwa ekonomi syari’ah yang telah hadir itu secara teknis menyuguhkan model pengembangan bahkan pembaharuan fiqh muamalah maliyah. (fiqh ekonomi) Secara fungsional, fatwa memiliki fungsi Tabyin dan Tawjih. Tabyin artinya menjelaskan hukum yang merupakan regulasi praksis bagi lembaga keuangan, khususnya yang diminta praktisi ekonomi syariah ke DSN dan Taujih, yakni memberikan guidance (petunjuk) serta pencerahan kepada masyarakat luas tentang norma ekonomi syari’ah. [5]
Memang dalam kajian ushul fiqh, kedudukan fatwa hanya mengikat bagi orang yang meminta fatwa dan yang memberi fatwa. Namun dalam konteks ini, teori itu tidak sepenuhnya bisa diterima, karena konteks, sifat, dan karakter fatwa saat ini telah berkembang dan berbeda dengan fatwa klasik. Teori lama tentang fatwa harus direformasi dan diperpaharui sesuai dengan perkembangan dan proses terbentuknya fatwa. Maka teori fatwa hanya mengikat mustaft (orang yang minta fatwa) tidak relevan untuk fatwa DSN. Fatwa ekonomi syariah DSN saat ini tidak hanya mengikat bagi praktisi lembaga ekonomi syariah, tetapi juga bagi masyarakat Islam Indonesia, apalagi fatwa-fatwa itu kini telah dipositivisasi melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI). Bahkan DPR baru-baru ini, telah mengamandemen UU No 7/1989 tentang Perdilan Agama yang secara tegas memasukkan masalah ekonomi syariah sebagai wewenang Peradilan Agama.
Fatwa-fatwa ekonomi syari’ah saat di Indonesia dikeluarkan melalui proses dan formula fatwa kolektif, koneksitas dan melembaga yang disebut ijtihad jama’iy (ijtihad ulama secara kolektif), bukan ijtihad fardi (individu), Validitas jama’iy dan fardi jelas sangat berbeda. Ijtihad jama’iy telah mendekati ijma’. Seandainya hanya negara Indonesia yang ada di dunia ini, pastilah kesepakatan para ahli dan ulama Indonesia itu disebut Ijma’.
Fatwa dalam definisi klasik bersifat opsional ”ikhtiyariah” (pilihan yang tidak mengikat secara legal, meskipun mengikat secara moral bagi mustafti (pihak yang meminta fatwa), sedang bagi selain mustafti bersifat ”i’lamiyah” atau informatif yang lebih dari sekedar wacana. Mereka terbuka untuk mengambil fatwa yang sama atau meminta fatwa kepada mufti/seorang ahli yang lain.
Jika ada lebih dari satu fatwa mengenai satu masalah yang sama maka ummat boleh memilih mana yang lebih memberikan qana’ah (penerimaan/kepuasan) secara argumentatif atau secara batin. Sifat fatwa yang demikian membedakannya dari suatu putusan peradilan (qadha) yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi para pihak yang berperkara.
Namun, keberadaan fatwa ekonomi syari’ah yang dikeluarkan DSN di zaman kontemporer ini, berbeda dengan proses fatwa di zaman klasik yang cendrung individual atau lembaga parsial. Otoritas fatwa tentang ekonomi syari’ah di Indonesia, berada dibawah Dewan Syari’ah Nasional Majlis Ulama Indonesia. Komposisi anggota plenonya terdiri dari para ahli syari’ah dan ahli ekonomi/keuangan yang mempunyai wawasan syari’ah. Dalam membahas masalah-masalah yang hendak dikeluarkan fatwanya, Dewan Syari’ah Nasional (DSN) melibatkan pula lembaga mitra seperti Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia dan Biro Syari’ah dari Bank Indonesia.
Fatwa dengan definisi klasik mengalami pengembangan dan penguatan posisi dalam fatwa kontemporer yang melembaga dan kolektif di Indonesia. Baik yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI untuk masalah keagamaan dan kemasyarakatan secara umum, maupun yang dikeluarkan oleh DSN MUI untuk fatwa tentang masalah ekonomi syari’ah khususnya Lembaga Ekonomi Syari’ah. Fatwa yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI menjadi rujukan yang berlaku umum serta mengikat bagi ummat Islam di Indonesia, khususnya secara moral. Sedang fatwa DSN menjadi rujukan yang mengikat bagi lembaga-lembaga keuangan syari’ah (LKS) yang ada di tanah air, demikian pula mengikat masyarakat yang berinteraksi dengan LKS.
3. Kaedah dan Prinsip
Fiqh muamalah klasik yang ada tidak sepenuhnya relevan lagi diterapkan, karena bentuk dan pola transaksi yang berkembang di era modern ini demikian cepat. Sosio-ekonomi dan bisnis masyarakat sudah jauh berubah dibanding kondisi di masa lampau. Oleh karena itu, dalam konteks ini diterapkan dua kaedah.
Pertama,
Al-muhafazah bil qadim ash-sholih wal akhz bil jadid aslah, yaitu, memelihara warisan intelektual klasik yang masih relevan dan membiarkan terus praktek yang telah ada di zaman modern, selama tidak ada petunjuk yang mengharamkannya.
Kedua,
Al-Ashlu fil muamalah al-ibahah hatta yadullad dalilu ’ala at-tahrim (Pada dasarnya semua praktek muamalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya).
Selain itu para ulama berpegang kepada prinsip-prinsip utama muamalah, seperti; prinsip bebas riba, bebas gharar (ketidak-jelasan atau ketidakpastian) dan tadlis, tidak maysir (spekulatif), bebas produk haram dan praktek akad fasid/batil. Prinsip ini tidak boleh dilanggar, karena telah menjadi aksioma dalam fiqh muamalah.Formulasi fatwa juga berpegang pada prinsip maslahah atau ”ashlahiyah” mana yang maslahat atau lebih maslahat untuk dijadikan opsi yang difatwakan. Konsep maslahah dalam muamalah menjadi prinsip yang paling penting. Dalam ushul fiqh telah populer kaedah, ”Di mana ada mashlalah, maka di situ ada syariah Allah”. Watak maslahat syar’iyah antara lain berpihak kepada semua pihak atau berlaku umum, baik maslahat bagi lembaga syariah, nasabah, pemerintah (regulator) maupun masyarakat luas.
Kemaslahatannya tidak hanya diakui secara tanzhiriyah (perhitungan teoritis) tetapi juga secara tajribiyah (pengalaman empirik di lapangan). Karena itu untuk menguji shalahiyah (validitas) fatwa, harus diadakan muraja’ah maidaniyah (pencocokan di lapangan) setelah berjalan waktu yang cukup dalam implementasi fatwa ekonomi. Apakah kemaslahatan dalam tataran teoritis mendapatkan pembenaran dalam penerapannya di lapangan.
4. Peran Strategis Ulama
Sejarah mengenal ulama bukan semata sebagai sosok berilmu, melainkan juga sebagai penggerak dan motivator masyarakat. Kualitas keilmuan para ulama telah mendorongmendorong mereka untuk aktif membimbing masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Terumuskannya system ekonomi Islam secara konseptual, termasuk system perbankan syariah, adalah buah dari kerja keras para ulama.
Sebelum perbankan konvensional dikenal, masyarakat sebenarnya telah melaksanakan transaksi berdasarkan muamalah Islam. Dalam pertanian dan perkebunan dikenal adanya istilah maro,nelu, dan sebagainya yang merupakan istilah lain dari bagi hasil. Hal demikian dimungkinkan dengan arahan dari para ulama masa lampau yang mengerti tentang pembagian hasil menurut ajaran Islam. Dalam kehidupan modern, sekali lagi, para ulama berperan untuk mewujudkan bank Islam seperti yang sekarang dikenal.
Para ulama yang berkompeten terhadap hukum-hukum syariah memiliki fungsi dan peran yang amat besar dalam perbankan syariah, yaitu sebagai Dewan Pengawas Syariah (DPS) dan Dewan Syariah Nasional (DSN).
1. 1. Dewan Pengawas Syariah (DPS)
Peran utama para ulama dalam Dewan Pengawas Syariah adalah mengawasi jalannya operasional bank sehari-hari agar selalu sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariah. Hal ini karena transaksi-transaksi yang berlaku dalam bank syariah sangat khusus jika dibandingkan bank konvensional. Karena itu, diperlukan garis panduan (guidelines) yang mengaturnya. Garis panduan ini disusun dan ditentukan oleh Dwan Syariah Nasional.[6]
1. 2. Dewan Syariah Nasional (DSN)
Sejalan dengan berkembangnya lembaga keuangan syariah di tanah air, berkembang pulalah jumlah DPS yang ada dan mengawasi masing-masing lembaga tersebut. Banyak dan beragamnya DPS di masing-masing lembaga keuangan syariah adalah suatu hal yang harus disyukuri, tetapi juga diwaspadai. Kewaspadaan itu berkaitan dengan adanya kemungkinan timbulnya fatwa yang berbeda dari masing-masing DPS dan hal itu tidak mustahil akan membingungkan umat dan nasabah. Oleh karena itu, MUI sebagai paying dari lembaga dan organisasi keislaman di tanah air, menganggap perlu dibentuknya satu dewan syariah yang bersipat nasional dan membawahi seluruh lembaga keuangan, termasuk di dalamnya bank-bank syariah. Lembaga ini kelak kemudian dikenal dengan Dewan Syariah Nasional (DSN).
Dewan Syariah Nasional dibentuk pada tahun 1997 dan merupakan hasil rekomendasi Lokakarya Reksadana Syariah pada bulan Juli tahun yang sama. Lembaga ini merupakan lembaga otonom di bawah Majelis Ulama Indonesia dipimpin oleh Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia dan Sekretaris (ex officio). Kegiatan sehari-hari Dewan Syariah Nasioanal dijalankan oleh Badan Pelaksana Harian dengan seorang ketua dan sekretaris serta beberapa anggota.
Fungsi utama Dewan Syariah Nasional adalah mengawasi produk-produk lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan syariah Islam. Dewan ini bukan hanya mengawasi bank syariah, tetapi juga lembaga-lembaga lain seperti asuransi, reksadana, modal ventura, dan sebagainya. Untuk keperluan pengawasan tersebut, Dewan Syariah Nasioanl membuat garis panduan produk syariah yang diambil dari sumber-sumber hukum Islam. Garis panduan ini menjadi dasar pengawasan bagi Dewan Pengawas Syariah pada lembaga-lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar pengembangan produk-produknya.
Fungsi lain dari Dewan Syariah Nasional adalah meneliti dan memberi fatwa bagi produk-produk yang dikembangkan oleh lembaga keuangan syariah. Produk-produk baru tersebut harus diajukan oleh manajemen setelah direkomendasikan oleh Dewan Pengawas syariah pada lembaga yang bersangkutan.
Selain itu, Dewan Syariah Nasional bertugas memberikan rekomendasi para ulama yang akan ditugaskan sebagai Dewan Syariah Nasional pada suatu lembaga keuangan syariah
Dewan Syariah Nasional dapat memberi teguran kepada lembaga keuangan syariah jika lembaga yang bersangkutan menyimpang dari garis panduan yang telah ditetapkan. Hal ini dilakukan jika Dewan Syariah Nasioanl telah menerima laporan dari Dewan Pengawas Syariah pada lembaga yang bersangkutan mengenai hal tersebut.[7]
Jika lembaga keuangan syariah tersebut tidak mengindahkan teguran yang diberikan, Dewan Syariah Nasioanl dapat mengusulkan kepada otoritas yang berwenang, seperti Bank Indonesia dan departemen Keuangan, untuk memberikan sanksi agar perusahaan tersebut tidak mengembangkan lebih jauh tindakan-tindakannya yang tidak sesuai dengan syariah. Secara garis besar, tugas dan mekanisme kerja DSN.
5. Produk Fatwa DSN
Sejak berdirnya tahun 1999, Dewan Syariah Nasional, telah mengeluarkan sedikitnya 47 fatwa tentang ekonomi syariah, antara lain, fatwa tentang; giro, tabungan, murabahah, jual beli salam, istishna’, mudharabah, musyarakah, ijarah, wakalah, kafalah, hawalah, uang muka dalam murabahah, sistem distribusi hasil usaha dalam lembaga keuangan syari’ah, diskon dalam murabahah, sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran, pencadangan penghapusan aktiva produktiv dalam LKS, al-qaradh, investasi reksadana syariah, pedoman umum asuransi syariah, jual beli istisna’ paralel, potongan pelunasan dalam murabahah, safe deposit box, raha (gadai), rahn emas, ijarah muntahiyah bit tamlik, jual beli mata uang, pembiayaan pengurusan haji di LKS, pembiayaan rekening koran syariah, pengalihan hutang, obligasi syariah, obligasi syariah mudharabah, Letter of Credit (LC) impor syariah, LC untuk export, sertifikat wadiah Bank Indoensia, Pasar Uang antar Bank Syariah, sertifikat investasi mudharabah (IMA), asuransi haji, pedoman umum penerapan prinsip syariah di pasar modal, obligasi syariah ijarah, kartu kredit, dsb.[8]
Kesimpulan :
Keberadaan sebuah dewan syariah tentu saja sangat penting bagi sebuah lembaga, baik profit atau pun non profit.
Sebab pada saat ini, ada sekian banyak permasalahan yang bersifat syubhat dan kompleks, sehingga kita semua ini membutuhkan advisor / concelor yang terkait dalam masalah halal dan haram. Sedangkan tsaqafah dan wawasan umat Islam di negeri ini umumnya sangat kurang.
Kalau menemukan sekedar orang-orang yang punya semangat ke-Islaman atau pandai berceramah sehingga menarik pendengar, barangkali tidak terlalu sulit. Tetapi kalau menemukan ulama yang mendalami detail-detail masalah dari sudut pandang hukum Islam / syariah, tentu bukan hal yang sederhana. Sebab jumlah ulama yang ahli di bidang itu sangat sedikit, sedangkan kebutuhan atas jasanya sedemikian banyak.
Di sisi lain, dinamika aktifitas sehari-hari yang semakin cepat, maka keberadaan sebuah badan khusus yang menangani masalah syariah menjadi penting. Badan atau dewan ini kerjanya adalah melakukan pengawasan dan pengkajian tentang segala hal yang terkait dengan hukum Islam.
Sebuah perusahaan yang ingin dikelola dengan cara-cara yang Islami, tentu saja mutlak membutuhkan sebuah dewan syariah. Sebuah hotel yang ingin menerapkan identitas hotel Islami, mutlak membutuhkannya. Sebuah partai yang mengangkat diri sebagai partai Islam, juga mutlak wajib memiliki dewan syariah.
Adapun hukum apakah yang dipakai ? Jawabnya tentu hukum Islam. Sebab keberadaan dewan syariah itu bukan sebagai penasehat hukum positif, melainkan sebagai penasehan hukum Islam.
Prospek Ekonomi Syariah dan Kesejahteraan Umat
Ada sejumlah alasan mengapa institusi keuangan konvensional yang ada sekarang ini mulai melirik sistem syariah, antara lain pasar yang potensial karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan kesadaran mereka untuk berperilaku bisnis secara Islami. Potensi ini menjadi modal bagi perkembangan ekonomi umat di masa datang. Selain itu, terbukti bahwa institusi ekonomi yang menerapkan prinsip syariah, mampu bertahan di tengah krisis ekonomi yang melanda Indonesia.
Di sektor perbankan saja misalnya, sampai tahun 2010 nanti jumlah kantor cabang bank-bank syariah diperkirakan akan mencapai 586 cabang. Prospek perbankan syariah di masa depan
diperkirakan juga akan semakin cerah. Hal itu diungkapkan oleh Gubernur Bank Indonesia, Burhadin Abdullah di sela-sela acara dialog ekonomi syariah di Jakarta pekan lalu. Burhanudin mengatakan bank-bank yang ada sekarang bisa memanfaatkan kebijakan dihilangkannya Batas Minimum Penyaluran Kredit (BMPK) untuk melakukan penyertaan pada bank lain.
Ini satu kesempatan bagi bank untuk membuka unit-unit syariah. Misalnya bank A yang merupakan bank konvensional, dia bisa melakukan penyertaan di bank syariah tanpa dibatasi oleh BMPK. Di masa lalu batasnya 10 persen, sekarang tidak ada lagi,” jelas Burhanudin.
Selain perbankan, sektor ekonomi syariah lainnya yang juga mulai berkembang adalah asuransi syariah. Prinsip asuransi syariah pada intinya adalah kejelasan dana, tidak mengadung judi dan riba atau bunga. Sama halnya dengan perbankan syariah, melihat potensi umat Islam yang ada di Indonesia, prospek asuransi syariah sangat menjanjikan. Dalam sepuluh tahun ke depan diperkirakan Indonesia bisa menjadi negara yang pasar asuransinya paling besar di dunia. Seorang CEO perusahaan asuransi syariah asal Malaysia, Syed Moheeb memperkirakan, tahun 2008 mendatang asuransi syariah bisa mencapai 10 persen market share asuransi konvensional.
Data dari Asosiasi Asuransi Syariah di Indonesia menyebutkan, tingkat pertumbuhan ekonomi syariah selama 5 tahun terakhir mencapai 40 persen, sementara asuransi konvensional hanya 22,7 persen. Perbankan dan asuransi, hanya salah satu dari industri keuangan syariah yang kini sedang berkembang pesat. Pada akhirnya, sistem ekonomi syariah akan membawa dampak lahirnya pelaku-pelaku bisnis yang bukan hanya berjiwa wirausaha tapi juga berperilaku Islami, bersikap jujur, menetapkan upah yang adil dan menjaga keharmonisan hubungan antara atasan dan bawahan.
Bisa dibayangkan kesejahteraan yang bisa dinikmati umat jika penerapan ekonomi syariah ini sudah mencakup segala aktivitas ekonomi di Indonesia. Peluang penerapan ekonomi syariah masih terbuka luas. Persoalannya sekarang, mampukah kita memanfaatkan peluang yang terbuka lebar itu.
Dukungan Pemerintah Belum Memadai
Meski sudah menunjukkan eksistensinya, masih banyak kendala yang dihadapi bagi pengembangan ekonomi syariah di Indonesia. Soal pemahaman masyarakat hanya salah satunya. Kendala lainnya yang cukup berpengaruh adalah dukungan penuh dari para pengambil kebijakan di negeri ini, terutama menteri-menteri dan lembaga pemerintahan yang memiliki wewenang dalam menentukan kebijakan ekonomi. Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang pada masa kampanye pemilu kemarin menyatakan mendukung ekonomi syariah, belum sepenuhnya mewujudkan dukungannya itu dalam bentuk program kerja tim ekonomi kabinetnya.
Berkaitan dengan hal itu, dalam di sela-sela sebuah acara dialog ekonomi syariah, praktisi perbankan syariah A. Riawan Amin mengatakan bahwa keberpihakan pemerintah terhadap ekonomi syariah sangat penting, karena hal ini bukan semata-mata menyangkut mayoritas umat Islam di Indonesia tapi berkaitan dengan masalah stabilitas ekonomi nasional.
Menurutnya, para ekonom yang ada di kabinet saat ini sebaiknya meninggalkan sistem ekonomi kapitalis dan mengikuti aturan main kapitalis, sehingga bisa keluar dari krisis. Riawan mengaku untuk saat ini para pelaku ekonomi syariah belum terlalu menuntut pemerintah untuk lebih berpihak pada sistem ekonomi syariah. ”Mereka mau mengerti saja, itu sudah bagus,” ujarnya. Meski demikian ada harapan dari sejumlah kementerian yang sudah menyatakan dukungannya terhadap sistem ekonomi syariah, antara lain dari Kementerian Pertanian dan Kementerian BUMN.
Kendala lainnya adalah masalah regulasi. Penerapan syariah yang makin meluas dari industri keuangan dan permodalan membutuhkan regulasi yang tidak saling bertentangan atau tumpang tindih dengan aturan sistem ekonomi konvensional. Para pelaku ekonomi syariah sangat mengharapkan regulasi untuk sistem ekonomi syariah ini bisa memudahkan mereka untuk berekspansi bukan malah membatasi. Saat ini, peraturan tentang permodalan masih menjadi kendala perbankan syariah untuk melakukan penetrasi dan ekpansi pasar.
Kenyataan di lapangan menunjukkan, bahwa para pelaku ekonomi syariah masih menghadapi tantangan berat untuk menanamkan prinsip syariah sehingga mengakar kuat dalam perekonomian nasional dan umat Islamnya itu sendiri. Berkaitan dengan hal tersebut, Sudarman Lc., anggota DPRD I Banten dalam sebuah dialog ekonomi syariah beberapa waktu lalu mengingatkan, penerapan ekonomi syariah harus dipahami sebagai bagian integral dari penerapan syariat Islam secara kaffah. Penerapan hukum syariah dalam perekonomian tidak akan berhasil tanpa didukung penerapan hukum syariah di bidang yang lain. Teori dan sistem ekonomi syariah yang baik, bukan jaminan bagi penegakan perekonomian Islam kalau kaum muslimin sebagai pelaku ekonominya belum terlembagakan dengan baik.
Salah satu institusi keuangan syariah yang saat ini tengah berkembang adalah pasar modal syariah. Hal ini tidak lepas dari semakin berkembangnya industri keuangan syariah yang pertumbuhannya sangat cepat, terutama dalam satu dekade terakhir.
Menurut riset Bank Negara Malaysia (bank sentral Malaysia) tahun 2005, dana yang dimiliki umat Islam atau pelaku pasar Muslim di bursa-bursa di seluruh dunia, mencapai angka sekitar 1,3 triliun dolar AS. Sedangkan dana yang terhimpun di pasar keuangan Islam di seluruh dunia diperkirakan 230 miliar dolar AS, dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 12-15 persen per tahun. Kemudian, jumlah institusi keuangan syariah saat ini mencapai lebih dari 250 buah, tersebar di 75 negara. Sementara jumlah fund manager syariah tercatat lebih dari 100 buah institusi dengan total aset yang dikelola mencapai 5 miliar dolar AS.
Fakta tersebut menunjukkan bahwa potensi dana yang dimiliki umat Islam sangat besar. Tingginya pertumbuhan pasar keuangan syariah juga didorong pembentukan berbagai macam lembaga keuangan tingkat internasional. Misalnya the Islamic Financial Services Boards (IFSB) yang terdiri atas berbagai bank sentral negara-negara Islam terkait, the International Islamic Financial Market (IIFM), dan the Accounting and Auditing Organizations for Islamic Financial Institutions (AAOIFI). Organisasi terakhir berbasis di Bahrain, dan merupakan lembaga yang memiliki fokus pada pengembangan sistem akuntansi dan audit yang sesuai syariah dan dapat diterima secara internasional.
Kontribusi lembaga-lembaga tersebut sangat signifikan, sehingga diharapkan dapat menstimulasi institusi-institusi keuangan syariah lainnya, termasuk di Indonesia, untuk terus dapat mengembangkan dirinya.
Belajar dari Malaysia
Pepatah mengatakan ”pengalaman adalah guru terbaik”. Demikian pula dalam membangun dan mengembangkan sistem pasar keuangan syariah. Kita membutuhkan pengalaman negara lain sebagai cermin langkah dan strategi yang akan dikembangkan. Salah satu negara yang dikenal sebagai pioner pengembangan pasar keuangan syariah adalah Malaysia.
Sejak Kementerian Keuangan Malaysia mengeluarkan Capital Market Masterplan pada tahun 2001 yang memuat 13 rekomendasi untuk menjadikan Malaysia sebagai international centre bagi industri keuangan syariah, pertumbuhan pasar keuangan Islam Malaysia menunjukkan kinerja luar biasa. Sebagai contoh, jumlah saham yang tercatat di bursa syariah mencapai 816 buah pada tahun 2005, naik sebesar 4,9 persen dari tahun sebelumnya yang mencapai angka 778 saham. Persentase saham syariah mencapai 82,5 persen dari total keseluruhan saham yang listed di bursa pada tahun 2005, atau meningkat 80,8 persen dari tahun sebelumnya, dengan kapitalisasi pasar yang mencapai 64 persen.
Prestasi lainnya, 36 persen dari total equity fund di seluruh dunia tercatat di bursa syariah Malaysia, dengan nilai 1,8 miliar dolar AS (dari total 5 miliar dolar AS). Hal tersebut mengindikasikan pasar modal syariah Malaysia telah mendapatkan kepercayaan yang kuat dari investor. Bahkan, Komisi Sekuritas Malaysia telah menggandeng Dow Jones dengan memperkenalkan Dow Jones-RHB Islamic Malaysia Index untuk mengintegrasikan pasar domestik dengan pasar internasional. Dengan performance seperti itu, wajarlah jika kemudian banyak negara Muslim mencoba mengikuti jejak
Malaysia.
DAFTAR PUSTAKA
Sjafi’I, Antonio, Bank Sjariah dari teori ke praktek, cet. I , Jakarta: Tazkia Cendekia-Gema Insani Pers, 2001.
Sakti, Ali, Analisis Teoritis Ekonomi Islam, cet. I , Aqsa Publishing / Paradigma, 2007.
Remy Syahdeni, Sutan, DR. Prof. Perbankan Islam (dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia) , cet. 2, Grafiti, 2005.
Silaturrahim Nasional Kedua, 30-31 Agustus 2004 Graha Wisata Mahasiswa, Jakarta: Rasuna Said, 2004.
http://www.media-indonesia.com
ANALISA DAN KOMENTAR :
Dalam analisa dan komentar pada makalah ini, penulis ingin menegaskan tentang pengembangan lembaga keuangan Syariah menuju pemberdayaan ekonomi rakyat. Analisa dan komentar ini di uraikan secara sistematik dan konseptual sehingga memberikan gambaran yang jelas tentang sisi-sisi pengembangan lembaga keuangan Syariah tersebut..
Sebelum memberikan komentar selanjutnya penulis ingin memberikan summary atau ringkasan dari artikel atau makalah di atas menurut hasil analisa penulis:
Dalam artikel ini dibicarakan tentang sejumlah alasan mengapa institusi keuangan konvensional yang ada sekarang ini mulai melirik sistem syariah, antara lain pasar yang potensial karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan kesadaran mereka untuk berperilaku bisnis secara Islami. Oleh karenanya perlu adanya lembaga yang mendampingi lembaga keuangan syari’ah tersebut seperti; Ulama yang menguasai ilmu syariat sehingga mampu menghasilkan fatwa-fatwa yang valid dan akurat.
Kehadiran fatwa-fatwa ini menjadi aspek organik dari bangunan ekonomi Islami yang tengah ditata/dikembangkan, sekaligus merupakan alat ukur bagi kemajuan ekonomi syari’ah di Indonesia. Fatwa merupakan salah satu institusi dalam hukum Islam untuk memberikan jawaban dan solusi terhadap problem yang dihadapi umat. Bahkan umat Islam pada umumnya menjadikan fatwa sebagai rujukan di dalam bersikap dan bertingkah laku.
Para ulama yang berkompeten terhadap hukum-hukum syariah memiliki fungsi dan peran yang amat besar dalam perbankan syariah, yaitu sebagai Dewan Pengawas Syariah (DPS) dan Dewan Syariah Nasional (DSN). Fungsi utama para ulama yang yang tergabung dalam Dewan Pengawas Syariah (DPS) Dewan Syariah Nasional (DSN) adalah mengawasi produk-produk lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan syariah Islam.
Lembaga Pemberi Fatwa adalah salah satu lembaga yang berwenang memberikan aturan/arahan selain lembaga yang dibentuk pemerintah adalah Majlis Ulama Indonesia dalam hal ini Dewan Syariah Nasional (DSN)
Fatwa merupakan salah satu institusi dalam hukum Islam untuk memberikan jawaban dan solusi terhadap problem yang dihadapi umat. Bahkan umat Islam pada umumnya menjadikan fatwa sebagai rujukan di dalam bersikap dan bertingkah laku. Sebab posisi fatwa di kalangan masyarakat umum, laksana dalil di kalangan para mujtahid (Al-Fatwa fi Haqqil ’Ami kal Adillah fi Haqqil Mujtahid). Artinya, Kedudukan fatwa bagi orang kebanyakan, seperti dalil bagi mujtahid.
3. Kaedah dan Prinsip
Fiqh muamalah klasik yang ada tidak sepenuhnya relevan lagi diterapkan, karena bentuk dan pola transaksi yang berkembang di era modern ini demikian cepat. Sosio-ekonomi dan bisnis masyarakat sudah jauh berubah dibanding kondisi di masa lampau.
Ada kaedah-kaedah dan prinsip-prinsip syariah yang diterapkan dalam menyikapi sosio-ekonomi dan bisnis masyarakat yang berubah-berubah agar relevan dengan bentuk dan pola transaksi yang berkembang di era modern ini yaitu:
Pertama,
Al-muhafazah bil qadim ash-sholih wal akhz bil jadid aslah, yaitu, memelihara warisan intelektual klasik yang masih relevan dan membiarkan terus praktek yang telah ada di zaman modern, selama tidak ada petunjuk yang mengharamkannya.
Kedua,
Al-Ashlu fil muamalah al-ibahah hatta yadullad dalilu ’ala at-tahrim (Pada dasarnya semua praktek muamalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya).
4. Peran Strategis Ulama
Para Ulama mempunyai peran yang sangat strategis karena sepanjang sejarah ulama dikenal bukan semata sebagai sosok berilmu, melainkan juga sebagai penggerak dan motivator masyarakat. Kualitas keilmuan para ulama telah mendorongmendorong mereka untuk aktif membimbing masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Terumuskannya system ekonomi Islam secara konseptual, termasuk system perbankan syariah, adalah buah dari kerja keras para ulama.
Peran utama para ulama dalam Dewan Pengawas Syariah adalah mengawasi jalannya operasional bank sehari-hari agar selalu sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariah. Hal ini karena transaksi-transaksi yang berlaku dalam bank syariah sangat khusus jika dibandingkan bank konvensional. Karena itu, diperlukan garis panduan (guidelines) yang mengaturnya. Garis panduan ini disusun dan ditentukan oleh Dwan Syariah Nasional.
Fungsi utama Dewan Syariah Nasional adalah mengawasi produk-produk lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan syariah Islam. Dewan ini bukan hanya mengawasi bank syariah, tetapi juga lembaga-lembaga lain seperti asuransi, reksadana, modal ventura, dan sebagainya. Untuk keperluan pengawasan tersebut, Dewan Syariah Nasioanl membuat garis panduan produk syariah yang diambil dari sumber-sumber hukum Islam. Garis panduan ini menjadi dasar pengawasan bagi Dewan Pengawas Syariah pada lembaga-lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar pengembangan produk-produknya.
Fungsi lain dari Dewan Syariah Nasional adalah meneliti dan memberi fatwa bagi produk-produk yang dikembangkan oleh lembaga keuangan syariah. Produk-produk baru tersebut harus diajukan oleh manajemen setelah direkomendasikan oleh Dewan Pengawas syariah pada lembaga yang bersangkutan.
Selain itu, Dewan Syariah Nasional bertugas memberikan rekomendasi para ulama yang akan ditugaskan sebagai Dewan Syariah Nasional pada suatu lembaga keuangan syariah
Sejak berdirnya tahun 1999, Dewan Syariah Nasional, telah mengeluarkan sedikitnya 47 fatwa tentang ekonomi syariah, antara lain, fatwa tentang; giro, tabungan, murabahah, jual beli salam, istishna’, mudharabah, musyarakah, ijarah, wakalah, kafalah, hawalah, uang muka dalam murabahah, sistem distribusi hasil usaha dalam lembaga keuangan syari’ah, diskon dalam murabahah, sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran, pencadangan penghapusan aktiva produktiv dalam LKS, al-qaradh, investasi reksadana syariah, pedoman umum asuransi syariah, jual beli istisna’ paralel, potongan pelunasan dalam murabahah, safe deposit box, raha (gadai), rahn emas, ijarah muntahiyah bit tamlik, jual beli mata uang, pembiayaan pengurusan haji di LKS, pembiayaan rekening koran syariah, pengalihan hutang, obligasi syariah, obligasi syariah mudharabah, Letter of Credit (LC) impor syariah, LC untuk export, sertifikat wadiah Bank Indoensia, Pasar Uang antar Bank Syariah, sertifikat investasi mudharabah (IMA), asuransi haji, pedoman umum penerapan prinsip syariah di pasar modal, obligasi syariah ijarah, kartu kredit, dsb.
Selanjutnya mengenai pengembangan lembaga keuangan syariah menuju pemberdayaan ekonomi rakyat bahwa pada dasarnya perbuatan muamalat yang ditujukan untuk kebaikan hubungan berekonomi sesama manusia harus mengandung ciri untuk kemaslahatan umum. Oleh karena itu seharusnya kita melihat kehadiran sistem syariah dalam transaksi antar individu dan lembaga harus kita tempatkan dalam kontek pasar, yaitu karena adanya kebutuhan dan ketersediaan serta dipilih atas dasar pertimbangan rasional dan moral untuk mencapai kehidupan yang lebih sejahtera lahir dan batin. Karena perekonomian syariah dilandasi atas prinsip kesempurnaan kehidupan diantara kebutuhan lahiriah dan rohaniah dalam bertransaksi sesama hamba Allah maupun lembaga yang mereka buat, maka kerelaan atau “ridho” menjadi fundamen dasar setiap transaksi dua pihak atau lebih.
Perdebatan ekonomi syariah sering dipersempit dalam konteks pada “bunga bank” sebagai riba atau bukan, sementara dimensi lain selain “riba” kurang diberikan pembahasan secara seimbang. Selain “riba” terdapat dua aspek penting yakni unsure ada tidaknya judi atau “maisir” yang sangat berkaitan dengan aspek resiko dan ketidakpastian serta ada tidaknya unsur kecohan (tipuan) yang dikenal sebagai hal yang mengandung unsur “gharar”. Ketiga unsur yang menjadi dasar perbuatan transaksi atau “baia” mempunyai arti yang penting untuk menilai subtansi suatu transaksi dapat digolongkan memenuhi syarat syariah atau tidak.
Pengkajian ekonomi syariah secara umum masih didominasi oleh kupasan dari dimensi “fiqih” dan ”administrasi pembangunan” bukan kupasan ilmu ekonomi dan nilai subtansi ajaran islam dalam menjelaskan perilaku individu muslim sebagai pelaku ekonomi. Padahal beberapa kajian empiris oleh para ahli ekonomi juga telah banyak menemukan adanya perbedaan perilaku masyarakat muslim yang tercermin dalam tingkah laku ekonominya (Metwali). Tantangan besar bagi para ekonom adalah terus mengkaji kedudukan moral ekonomi islam atau sistem ekonomi syariah dan bagaimana interaksi dengan sistem yang lain dalam dunia global.
Apabila kita simak secara mendalam ajaran berekonomi dalam Al-qur’an dilandasi oleh suatu sikap bahwa tiada pemisahan antara ekonomi dan keberagamaan seseorang. Mencari nafkah adalah bagian dari ibadah dan tiada pemisahan antara agama dan kehidupan dunia. Dari titik tolak ini akan melahirkan dua konsekuensi yaitu : pertama, perlunya pembentukan sikap oleh seorang individu akan penguatan hidup dan pencarian kebaikan di dunia atau dalam hubungannya dengan bumi dan alam; kedua, soal pemilihan pribadi, sampai dimana batas dan tujuannya.
Konsekuensi dasar pertama memerlukan pada sikap keharusan hidup bersahaja yang menjadi dasar hidup seorang muslim untuk menghindari sikap hidup yang boros dan bermewah-mewahan. Dengan demikian prinsip kemanfaatan didasarkan atas pemenuhan kesejahteraan lahiriyah dan rohhaniah.
Jika prinsip ekonomi syariah sebagai dasar muamalat, maka seharusnya kita jangan buru-buru terpaku pada institusi. Institusi dengan berbagai karakter dan prinsip yang mengawal prakteknya pada akhirnya akan memberikan pilihan kepada masyarakat selaku pengguna untuk memilihnya. Dalam jual beli seorang calon pembeli mempunyai kesempatan untuk melakukan “khiyar” atau memilih. Pilihan dalam hal jasa institusi sudah barang tentu selain pertimbangan rasional juga atas dasar kaidah-kaidah syariah yang bersumber dari Wahyu Illahi yang ditujukan bagi kebaikan umat manusia.
II. Peran Strategis Kelembagaan Keuangan Syariah dalam
Pemberdayaan UKM
Mengenai peran penting UKM dalam menyangga kehidupan ekonomi kita sudah tidak ada keraguan lagi, baik dilihat dari dukungan politik maupun reliatas kehidupan perekonomian kita karena unit-unit UKM lah tempat mereka bekerja dan meningkatkan taraf kehidupan mereka. Namun patut disadari bahwa lebih dari 97% usaha kecil kita adalah usaha mikro yang omsetnya berada dibawah Rp. 50 juta pertahun dan sering terabaikan oleh pelayanan perbankan komersial biasa. UKM dalam dirinya adalah produsen bagi barang dan jasa tetapi juga pasar bagi produkproduk jasa untuk mendukung kegiatan usahanya. Oleh karena itu thema pengembangan lembaga keuangan syariah ini
menjadi penting ketika kita menyadari keterkaitan pembiayaan dan pembangunan UKM.
Di sisi lain dalam persefektif pengertian UKM yang dianut oleh UU 9/1995 juga termasuk sektor jasa keuangan yang dilaksanakan dengan mengambil kegiatan di sektor perbankan, perkreditan dan jasa keuangan lainnya. Dalam kaitan ini maka bertambah lagi dimensi yang harus kita lihat. Dalam persfektif hubungan ini, Perbankan dengan pengembangan usaha berskala kecil dan menengah. Demikian pula dalam kontek Badan Hukum Koperasi juga dapat menjalankan usaha pembiayaan dalam sistem syariah.
Dalam kontek institusi, kita posisi penting perbankan dan LKM syariah dalam pengembangan UKM di Indonesia. Sebagaimana dimaklumi sektor usaha UKM pada umumnya berada di sektor tradisional dengan perkiraan resiko yag tidak lazim tersedia pada pengalaman perbankan konvensional. Sementara sistem bagi hasil justru menghindari prinsip mendapatkan untung atas kerjasama orang lain. Maka amatlah tepat jika format pengembangan lembaga keuangan dan Perbankan Syariah dapat diarahkan untuk mendukung pengembangan UKM. Dilihat dari pelakunya sistem perbankan syariah memberikan keyakinan lain akan terjaminya keamanan batin mereka. Hal yang terakhir ini sudah barang tentu memperkuat tingkat pengharapan dan keyakinan mereka akan keberhasilan usahanya.
Ekonomi syariah sangat pas untuk bisnis yang mempunyai ketidakpastian tinggi dan keterbatasan informasi pasar, apalagi apabila berhasil dibangun keterpaduan antara fungsi jaminan dan usaha yang memiliki resiko. Oleh karena itu berbagai dukungan untuk mendekatkan UKM dengan perbankan syariah adalah sangat penting dan salah satu strateginya adalah bagimana kita mampu menjalin keterpaduan sistem keuangan syariah. Hal inilah yang harus kita cari jawabnya. Keterpaduan sistem keuangan syariah menjadi unsur penting dalam menjadikan LKsyariah menjadi efektif, memiliki kemaslahatan tinggi terutama dalam kontek globalisasi dan otonomi daerah.
Sebagaimana sistem konvensional dalam sistem keuangan syariah juga terdapat pelaku kecil dan menengah, termasuk perbankan. Dengan demikian kerjasama dan keterkaitan antara perbankan syariah skala besar dan bank syariah skala kecil dan menengah harus mendapatkan perhatian. Lebih jauh akan menjadi semakin produktif apabila peran lembaga keuangan Syariah Non-Bank juga mendapat perhatian yang sama. Dari berbagai data yang disajikan oleh BPS, sektor jasa keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, adalah sektor yang paling produktif disbanding sektor lainnya, bahkan tidak ada perbedaan nilai tambah/tenaga kerja antara LK kecil dan besar.
III. Format Pengembangan LKM Syariah
Dalam sejarah perkembangannya di Indonesia sudah dapat mengembangkan berbagai macam LK-syariah yaitu bank syariah; “LKM”-syariah, Gadai syariah, Asuransi syariah, dan Koperasi syariah. Dalam rumpun LKM-syariah yang non bank telah berkembang tiga model : BMT (Baitulmal Wa Tamwil) yang menyatukan Baitul Mal dan Baitul Tamwil; BTM (Baitul Tamwil) yang menyempurnakan “Sponsored Financial Institution” dan “sirhkah”. Ketiga model ini ada telah berkembang dan kebanyakan sudah mengambil bentuk “Badan Hukum” koperasi dan hanya sebagai kecil yang tidak terdaftar dalam format perijinan dan pendaftaran institusi keuangan di Indonesia.
LK-syariah sekarang sudah menjadi nama dari institusi keuangan, sehingga secara legal sudah terbuka untuk dijalankan oleh setiap warga negara Indonesia, bahkan perusahaan asing. Jika syariah menjadi “Brand” dan orang yang percaya kepada Brand menjadikan konsumen fanatik, maka LK-syariah adalah lading investasi sektor keuangan yang menjanjikan. Maka sebentar lagi perdebatan format LKS berubah menjadi kancah perdebatan pasar biasa. Sangat boleh jadi akan muncul pertanyaan mengapa lembaga yang bukan berbasis islam juga menjual produk syariah ? Sehingga sebenarnya LK-syariah saja belum menyelesaikan persoalan membangun sistem ekonomi yang islami.
Meskipun Fatwa MUI sudah dikeluarkan tugas pencerahan tentang kedudukan moral islam dalam berekonomi masih akan semakin diperlukan. Pertanyaan dasar apakah konsep bunga sebagai harga uang juga berlaku bagi “nisbah bagi hasil” dalam sistem syariah. Bagaimana jika nisbah bagi hasil
secara mengejutkan berlipat dibanding bunga komensional ?. Apa masih memenuhi kaidah “Baia” yang dapat dicerna oleh akal sehat (tiada agama tanpa akal). Harus dipikirkan pula jika dalam perebutan pasar LK-konvensional dapat merubah persyaratan akad semakin dekat dengan moral islam. Sehingga unsur “ridho” menonjol dan prinsip tidak boleh mengambil keuntungan atas kerugian orang lain dikembangkan. Apakah dalam kedudukan seperti itu fatwa masih mempunyai kedudukan yang sama ? Inilah pekerjaan berat para ekonom untuk ikut menyumbangkan pikirannya agar tidak terjadi jalan buntu. Pada dasarnya ilmu ekonomi juga berkembang diluar batas neo classic yang relevan dengan prinsip-prinsip berekonomi secara islami. Mengenai kritik terhadap ekonomi neo classic di Indonesia sudah sering kita dengar1, namun penjelasan cara pandang dan pengembangan kerangka analisa baru yang dianggap sesuai juga masih terbatas.
Format pengembangan LKM syariah ke depan harus bertumpu pada basis kewilayahan atau daerah otonom, karena tanpa itu tidak akan ada sumbangan yang besar dalam membangun keadilan melalui pencegahan pengurasan sumberdaya dari suatu tempat secara terpusat pada “the capitalist sector”. Bentuk LKM menurut hemat penulis harus berjenjang, pada basis paling bawah kita butuh LKM-informal yang hak hidupnya dapat diatur oleh PERDA. Pada skala ekonomi kaum yang layak berusaha, baru membangun format koperasi dan pemusatan pada tingkat daerah otonom dalam bentuk bank khusus, sehingga secara hirarki dapat dilihat seperti bangunan pyramid. Pada skala yang lebih tinggi BPRS dan kaum pemilik modal dapat bersatu dalam bank umum syariah yang berfungsi sebagai APPEX Bank.
Dukungan pengaturan kearah itu sudah sangat terbuka dan sebagian sedang dipersiapkan. Secara umum pada saat ini tidak ada halangan untuk mengembangkan LKM-syariah. Dan pilihan kelembagaan yang sesuai tergantung pada keputusan para pemodal dan prinsip akan pengembangannya.
IV. Kebijakan dan Program Pemberdayaan Koperasi dan UKM
Visi kita ke depan dalam pemberdayaan UKM adalah terwujudnya UKM yang menjadi pemain utama arus perkonomian nasional yang mandiri dan berdaya saing dalam menghadapi persaingan global.
Secara khusus peran pemerintah untuk mendorong tumbuh dan berkembangnya UKM yang paling mendasar adalah menyediakan kerangka regulasi yang menjamin lapangan permainan yang sama atau level playing field. Sehingga pengaturan harus menjamin persaingan yang sehat dan apa yang dapat dilakukan usaha lain juga terbuka bagi UKM. Dan dalam persfektif otonomi daerah terdapat masalah keterpaduan yang harus terus menerus dikembangkan. Pada akhirnya UKM sebagai pelaku bisnis akan berada dalam lingkup pembinaan di daerah, kecuali pengaturan di enam bidang. Koordinasi lintas sektor dan dengan daerah akan menjadi agenda penting untuk mewujudkan harmonisasi pengaturan dan prosedur perijinan pada berbagai tingkatan agar mampu mendorong pertumbuhan UKM. Bagaimana program pemberdayaan UKM dan koperasi dijabarkan dapat digambarkan dalam 7 butir berikut ini.
1. Pengembangan Kebijakan Pemberdayaan KUKM
Program ini dimaksudkan sebagai upaya untuk penciptaan iklim usaha yang kondusif bagi KUKM. Dalam kenyataannya persoalan iklim bagi KUKM seringkali sangat terkait atau tergantung dengan sektor lainnya. Oleh sebab itu perlu dukungan penciptaan iklim yang kondusif melalui dukungan kebijakan-kebijakan yang responsive terhadap persoalan dan kepentingan KUKM, sehingga KUKM dapat tumbuh dan berkembang baik dari sisi lembaga maupun usahanya. Sedangkan koordinasi diperlukan untuk mensinergikan dan memadukan berbagai kebijakan dan program agar berjalan padu dan berkelanjutan, bersama-sama dengan stake holders, dalam upaya untuk lebih memantapkan pencapaian hasil yang optimal dalam pemberdayaan KUKM.
2. Revitalisasi Kelembagaan Koperasi
Program ini dimaksudkan untuk menumbuhkan koperasi yang sesuai dengan jatidiri koperasi, dengan menerapkan nilai-nilai dan prinsip perkoperasian. Di dalam pengembangan koperasi juga didorong berkembangnya koperasi yang dijalankan dengan sistem bagi hasil akan pola pembagian sistem syariah. Penyempurnaan UU yang ada dalam perkiraannya juga sudah menampung hal itu.
3. Peningkatan Produktivitas KUKM
Program ini dimaksudkan untuk mendorong kegiatan produktif KUKM sehingga tumbuh dan berkembangnya wirausaha-wirausaha yang berkeunggulan kompetitif dan memiliki produk yang berdaya saing melalui pemanfaatan teknologi tepat guna, peningkatan mutu, dan lain-lain.
4. Pengembangan Sentra/Klaster UKM dan Lembaga Keuangan Non Bank Bagi KUKM
Program ini dimaksudkan untuk menjaga dinamika perkembangan sentra menjadi klaster bisnis UKM melalui perkuatan dukungan finansial dan non finansial. Diharapkan sentra-sentra yang ada selanjutnya dapat berkembang menjadi pusatpusat pertumbuhan, dan menjadi penggerak atau lokomotif dalam pengembangan ekonomi lokal. Keberadaan BDS diharapkan dapat memberikan layanan kepada UKM secara lebih fokus, kolektif dan efisien, karena dengan sumberdaya yang terbatas mampu menjangkau kelompok UKM yang lebih luas. Pelayanan jasa BDS sesuai bidang yang dikuasai dengan pendekatan best practises, dan berorientasi pada pasar, cekatan (responsiveness) dan inovatif. Disamping dukungan BDS, maka penumbuhan sentra juga didukung dengan perkuatan finansial yaitu melalui penyediaan modal awal dan padanan bagi KSP/USP-Koperasi di sentra.
5. Pemberdayaan dan Penataan Usaha Mikro/Sektor Informal
Program ini dimaksudkan untuk memfasilitasi dan memperkuat keberadaan serta peran usaha mikro dan sektor informal terutama pedagang kaki lima (PKL) di perkotaan, perkuatan usaha mikro pada daerah pasca kerusuhan, bencana alam, dan kantong-kantong kemiskinan.
Kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan melalui program ini, antara lain dukungan iklim kepastian usaha dan perlindungan melalui penerbitan Perda, dukungan perkuatan permodalan melalui dana bergulir, sarana usaha, pelatihan, bimbingan manajemen, sosialisasi, dan monitoring dan evaluasi.
6. Pengembangan Lembaga Diklat SDM KUKM
Program ini bertujuan untuk mengintensifkan peranan lembaga-lembaga diklat bagi peningkatan kualitas SDM KUKM yang berada di masyarakat, di bidang peningkatan keterampilan, manajerial, perkoperasian dan kewirausahaan yang responsif terhadap tuntutan dunia usaha dan perubahan lingkungan strategis
7. Penguatan Jaringan Pasar Produk KUKM
Program ini dimaksudkan untuk memfasilitasi KUKM dalam memperluas akses dan pangsa pasar melalui pengembangan dan penguatan lembaga pemasaran KUKM, serta pengembangan jaringan usaha termasuk kemitraan, dengan memanfaatkan teknologi (teknologi informasi). Bagian dari kemitraan adalah bentuk-bentuk kerjasama yang inovatif, dengan prinsip yang saling menguntungkan antara KUKM dengan usaha besar. Termasuk dalam kegiatan ini adalah memperkuat jaringan warung masyarakat kedalam pola grosir, sehingga dapat memperkuat daya tawar dalam pengadaan produknya serta dapat diefektifkan sebagai outlet dan sekaligus inlet dari produk-produk KUKM.
Diakhir komentar penulis ini dapat dinyatakan bahwa pengembangan model ekonomi islami harus menjadi agenda pengkajian yang terus menerus oleh ekonom dan ulama untuk menemukan prinsip-prinsip berekonomi yang baik demi kebaikan hidup umat manusia. Pengembangan LKsyariah penting, tetapi belum menjadi jaminan untuk mewujudkan system perekonomian yang islami. Sistem LKM-syariah terpadu yang berbasis daerah otonom akan menjamin kinerja yang efektif dan adil bagi pemberdayaan ekonomi rakyat.
[1] Mahasiswa (S2) Magister Study Islam (Konsentrasi Ekonomi Islam) Universitas Islam Indonesia Jogjakarta, Stap Direktorat Kemahasiswaan Universitas Mercu Buana Jakarta, Ketua Yayasan Pendidikan Islam Syifa Fikriya Cikande Serang Banten
[2] http://www.media-indonesia.com
[3] Antonio Sjafi’I, Bank Sjariah dari teori ke praktek, Tazkia Cendekia-Gema Insani Pers, Jakarta, 2001, cetakan 1.
[4] Sakti, Ali, Analisis Teoritis Ekonomi Islam, Aqsa Publishing / Paradigma, tahun 2007 cetakan 1, hal 7
[5] Antonio Sjafi’I, Bank Sjariah dari teori ke praktek, Tazkia Cendekia-Gema Insani Pers, Jakarta, 2001, cetakan 1.
[6] Antonio Sjafi’I, Bank Sjariah dari teori ke praktek, Tazkia Cendekia-Gema Insani Pers, Jakarta, 2001, cetakan 1. hal, 233
[7] Antonio Sjafi’I, Bank Sjariah dari teori ke praktek, Tazkia Cendekia-Gema Insani Pers, Jakarta, 2001, cetakan 1. hal 234
[8] Remy Syahdeni, Sutan, DR. Prof. Perbankan Islam (dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia) Grafiti, cetakan 2, tahun 2005, halaman 27.