lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-t33042-sari jacob2.pdflib.ui.ac.id
TRANSCRIPT
UNIVERSITAS INDONESIA
URGENSI PENERAPAN TINDAK PIDANA NOTARIS (TPN)
BERKAITAN DENGAN KETIADAAN SANKSI PIDANA DALAM
UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004
TENTANG JABATAN NOTARIS
TESIS
SARI JACOB
1006829220
FAKULTAS HUKUM
MAGISTER KENOTARIATAN
DEPOK
JANUARI 2013
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
i
UNIVERSITAS INDONESIA
URGENSI PENERAPAN TINDAK PIDANA NOTARIS (TPN)
BERKAITAN DENGAN KETIADAAN SANKSI PIDANA DALAM
UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004
TENTANG JABATAN NOTARIS
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Kenotariatan
SARI JACOB
1006829220
FAKULTAS HUKUM
MAGISTER KENOTARIATAN
DEPOK
JANUARI 2013
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
“Wahai orang-orang yang beriman,
apabila kamu melakukan utang piutang
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah
kamu menuliskannya.
Dan hendaklah seorang penulis diantara
kamu menuliskannya dengan benar.
Janganlah penulis menolak untuk
menuliskannya sebagaimana Allah telah
mengajarkan kepadanya, maka hendaklah
dia menuliskan.
Dan hendaklah orang yang berhutang itu
mendiktekan, dan hendaklah dia bertakwa
kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah
dia mengurangi sedikitpun dari padanya.
Jika yang berutang itu orang yang
kurang akalnya atau lemah (keadaanya),
atau tdak mampu mendiktekan sendiri,
maka hendaklah walinya mendiktekannya
dengan benar.
Dan persaksikanlah dengan dua orang
saksi laki-laki diantara kamu. Jika
tidak ada (saksi) dua orang laki-laki,
maka (boleh) seorang laki-laki dan dua
orang perempuan diantara orang-orang
yang kamu sukai dari para saksi (yang
ada, agar jika yang seorang lupa maka
yang seorang lagi mengingatkannya. Dan
janganlah saksi-saksi itu menolak
apabila dipanggil.
Dan janganlah kamu bosan menuliskannya,
untuk batas waktunya baik (utang itu)
kecil maupun besar. Yang demikian itu
lebih adil disisi Allah, lebih dapat
menguatkan kesaksian, dan lebih
mendekatkan kamu kepada ketidakraguan.
Kecuali jika hal itu merupakan
perdagangan tunai yang kamu jalankan
diantara kamu, maka tidak ada dosa bagi
kamu jika kamu tidak menuliskannya.
Dan ambillah saksi apabila kamu berjual
beli.
Dan janganlah penulis dipersulit dan
begitu juga saksi. Jika kamu lakukan
(yang demikian), maka sungguh, hal itu
suatu kefasikan pada kamu.
Dan bertakwalah kepada Allah, Allah
memberikan pengajaran kepadamu, dan
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
“KEBAHAGIAN SEJATI ADALAH
KETIKA KITA DAPAT MELIHAT
ORANG YANG KITA SAYANGI BAHAGIA”
Depok, 17 Januari 2013
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
iii Universitas Indonesia
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum WR.WB.
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Puji syukur
Penulis panjatkan kepada Allah S.W.T, karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya
dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi
salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum
Universitas Indonesia.
Penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,
dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi penulis
untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Bapak Gandjar Laksmana Bonaprapta, S.H., MH. selaku pembimbing dalam
pembuatan tesis ini yang telah bersedia dengan sabar untuk meluangkan
waktunya disela-sela kesibukannya dengan banyak memberi bantuan dalam
materi tesis serta memberikan banyak pengetahuan bagi penulis selama masa
penulisan tesis ini;
2. Bapak Pieter E. Latumenten, S.H., M.H. dan Ibu Wenny Setiawati, S.H., MLI
selaku Penguji dalam sidang tesis ini yang telah bersedia hadir dalam sidang
tesis dan memberikan nilai pada tesis ini, serta meberikan revisi dan masukan
bagi kesempurnaan tesis ini.
3. Bapak Dr. Drs. Widodo Suryandono, S.H., M.H., selaku Ketua Sub Program
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan
Pembimbing Akademis;
4. Seluruh Staf Pengajar Sub Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Indonesia serta staf Sekretariat Sub Program Magister
Kenotariatan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah
banyak membantu penulis sesuai dengan perannya masing-masing selama
dalam perkuliahan dan penyusunan tesis;
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
iv Universitas Indonesia
5. Almarhum Ayahanda H.M. Yusuf Jacob dan Ibunda Dra. Hj. Nur’aini Tengku
Hadjadj, kedua orang tua tercinta yang telah memberikan seluruh
dukungannya baik doa, moril maupun materiil yang tidak akan pernah dapat
ternilai harganya;
6. Abang, kakak dan keponakan penulis yang juga senantiasa memberikan doa
dan menghibur penulis dengan interaksi dan canda nya selama penulisan tesis
ini;
7. Enwar Albar, S.Kom., yang selalu membantu dalam bertukar pikiran,
memberikan perhatian, masukan, semangat baik moril maupun materil,
senantiasa mendoakan dan sabar menemani, serta sangat membantu dalam
proses penulisan tesis ini sehingga dapat terselesaikan tepat waktu.
8. Astried, Chikita, Dewi Cantik, Mba Delny, Elza, Mba Meidi, Teh Novi,
teman setia dalam suka dan duka, saling berbagi dalam segala hal, baik ilmu,
canda, tawa, tangis didalamnya, yang menjadikan kami lebih solid dalam
setiap langkah ke depannya. Terimakasih banyak kawan. Terimakasih banyak;
9. Seluruh teman-teman Magister Kenotariatan Universitas Indonesia,
khususnya Angkatan 2010 yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang
dengan kemampuan, keadaan dan peran masing-masing membantu penulis
dalam menyelesaikan tesis ini.
10. Rengki Irawan Putra Wahyudi, S.H, M.Kn., yang memberikan inspirasi dalam
memulai penulisan tesis ini dan memberikan masukan pada akhir
penyelesaian tesis ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik.
Akhir kata, penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas
segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Penulis menyadari bahwa
penulisan dalam tesis ini tidaklah sempurna dan masih terdapat banyak kekurangan.,
Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan untuk
lebih menyempurnakan tesis ini. Semoga tesis ini membawa manfaat bagi kita semua
dan bagi pengembangan ilmu hukum kedepannya.
Depok, 17 Januari 2013
Penulis
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
vii Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama : SARI JACOB
NPM : 1006829220
Program Studi : Magister Kenotariatan
Judul : Urgensi Penerapan Tindak Pidana Notaris (TPN)
Berkaitan Dengan Ketiadaan Sanksi Pidana Dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris
Tesis ini membahas mengenai pentingnya penerapan Tindak Pidana Notaris
(TPN) dalam UUJN, dimana saat ini banyak terjadi akta otentik yang dibuat oleh
Notaris dipersoalkan di Pengadilan, atau Notaris tersebut dipanggil melalui MPD
untuk dijadikan saksi, bahkan tidak sedikit Notaris yang digugat atau dituntut di
muka Pengadilan. Penyebab permasalahan tersebut bisa timbul akibat kesalahan
baik karena kesengajaan (dolus) dan kelalaian (culpa), ataupun karena peraturan
perundang-undangan yang tidak tegas, juga bisa timbul secara tidak langsung
dalam hal dilakukan oleh pihak lain. Apabila dalam menjalankan jabatannya
seorang Notaris terbukti melakukan kesalahan atau melanggar ketentuan dalam
UUJN, maka Notaris tersebut hanya mendapatkan sanksi berupa sanksi perdata
dan sanksi administratif. Dari sanksi-sanksi dalam UUJN tersebut dipercaya tidak
dapat membuat efek jera bagi Notaris yang melakukan kesalahan atau
pelanggaran, bahkan yang cukup ironi pada sanksi tersebut ada sanksi
pemberhentian dengan hormat, sehingga terkesan seorang Notaris yang apabila
secara sah dan terbukti melakukan kesalahan atau pelanggaran masih
mendapatkan penghormatan untuk diberhentikan dari suatu jabatannya. Dengan
ketiadaan sanksi pidana dalam UUJN maka pengaturan mengenai sanksi terhadap
Notaris menjadi kurang sempurna, karena tidak adanya sanksi yang tegas dan
jelas akan tindakan-tindakan yang dikategorikan tindak pidana khusus yang hanya
dapat dilakukan oleh Notaris, yang kenyataannya belum ada satupun peraturan
yang mengatur mengenai hal tersebut. Hasil penelitian ini menyarankan untuk
dilakukan penyempurnaan peraturan mengenai sanksi dalam UUJN sebagai salah
satu cara untuk mengklasifikasikan dan membatasi tindakan-tindakan Notaris
menyangkut tindak pidana yaitu dengan merumuskan Tindak Pidana Notaris
(TPN) dan sanksi pidananya.
Kata kunci:
Tindak Pidana Notaris (TPN), Ketiadaan Sanksi Pidana, UUJN.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
viii Universitas Indonesia
ABSTRACT
Name : SARI JACOB
Postgraduate Study Program : Master of Notary
Title : The Urgency of Implementation of Notary
Criminal Act (TPN) relation with in the
absence of Criminal Sanctions in Act No.
30 of 2004 about Notary Function.
This thesis discusses the importance of the implementation of the Crime of
Notaries (TPN) in UUJN, which is currently a lot happening authentic deed of
Notary questioned in court, or notary is called upon by the MPD to be witnesses,
not even a little notary sued or prosecuted in advance court. Causes of these
problems may arise due to errors either due to deliberate (dolus) and negligence
(culpa), or because the laws are not strict, it can also arise indirectly in the case
made by the other party. If in doing his job a Notary proven guilty or violates the
UUJN, the notary is only sanctioned by civil penalties and administrative
sanctions. Of sanctions in UUJN is believed can not create a deterrent effect for
Notaries who make mistakes or violations, even considerable irony in the
dismissal sanction sanction exists with respect, giving the impression of a notary
legally and if proven guilty or breach still get honor to be dismissed from the
office. In the absence of criminal sanctions in UUJN the setting of sanctions
against the Notary be less than perfect, in the absence of a firm and clear sanctions
for measures specifically categorized as a crime that can only be done by a notary,
the fact that no single rule governing the matter them. The results of this study do
suggest to improve the regulation of the UUJN sanctions as a way to classify and
restrict the actions involve criminal Notary is to formulate Crime Notary (TPN)
and criminal sanctions.
Key words:
Notary Criminal Act, Absence of Criminal Sanction, Act No.30 of 2004 about
Notary Function (UUJN)
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
1
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Istilah profesi, profesional dan profesionalisme sudah tidak asing lagi di
telinga kita. Ketika kita berbicara tentang profesi maka orang akan
mengkaitkannya dengan profesional dan juga profesionalisme. Profesi sendiri
memiliki arti pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk
menghasilkan naskah hidup yang mengandalkan suatu keahlian.1
Dalam hal profesi, Mc Cully mengatakan sebagai : “Vocation an which
profesional knowledge of some department a learning science is used in its
application to the other or in the practice of an art found it “.2
Dari pengertian tersebut dapat diartikan bahwa dalam suatu pekerjaan
yang bersifat profesional dipergunakan teknik serta prosedur yang bertumpu pada
landasan intelektual, yang secara sengaja harus dipelajari dan kemudian secara
langsung dapat diterapkan kepada masyarakat. Faktor penting dalam hal ini
adalah intelektualitas yang didalamnya tercakup satu atau beberapa keahlian kerja
yang dianggap mampu menjamin proses pekerjaan dan hasil kerja profesional,
atau tercapainya nilai-nilai tertentu yang dianggap ideal menurut pihak yang
menikmatinya.
Profesional adalah orang yang mempunyai profesi. Seseorang dikatakan
profesional apabila orang tersebut tahu akan keahlian dan keterampilannya, dia
meluangkan seluruh waktunya untuk pekerjaan atau kegiatannya itu, dan bangga
akan pekerjaannya.
Profesionalisme sangat ditentukan oleh kemampuan seseorang dalam
melakukan suatu pekerjaan menurut bidang tugas dan tingkatannya masing-
masing. Hasil dari pekerjaan itu lebih ditinjau dari segala segi objek, penyesuaian
1Serian Wijatno, Pengelolaan Perguruan Tinggi Secara Efisien, dan Ekonomis (Jakarta:
Salemba Empat, 2006), hal. 311. 2Tabrani Rusyan, Profesionalisme Tenaga Kependidikan (Bandung: Yayasan Karya
Sarjana Mandiri, 1990), hal. 4.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
2
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
porsi, bersifat terus-menerus dalam suatu kondisi yang bagaimanapun serta jangka
waktu penyelesaian pekerjaan yang relatif singkat.3
Menurut Korten & Alfonso dalam Tjokrowinoto yang dimaksud dengan
profesionalisme adalah kecocokan (fitness) antara kemampuan yang dimiliki oleh
birokrasi (bureaucratic-competence) dengan kebutuhan tugas (task-requirement),
merencanakan, mengkordinasikan, dan melaksanakan fungsinya secara efisien,
inovatif, lentur, dan mempunyai etos kerja tinggi.4
Tuntutan atas profesionalisme, sebagai suatu paham dan konsep idealisme
profesional, sering dijadikan tuntutan terhadap semua profesi dan jabatan di
berbagai bidang pekerjaan tidak terkecuali Jabatan Notaris.
Notaris sebagai pejabat umum, posisinya sangat penting dalam membantu
menciptakan kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum bagi masyarakat.
Sebagai seorang pejabat umum Notaris wajib memahami dan mematuhi semua
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Notaris seyogianya
berada dalam ranah pencegahan (preventif) terjadinya masalah hukum melalui
akta otentik yang dibuatnya sebagai alat bukti yang paling sempurna di
pengadilan.
Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin menyebutkan :
“Notaris sebagai profesi mulia, melaksanakan tugas jabatan tidaklah semata-
mata untuk kepentingan pribadi, melainkan juga untuk kepentingan masyarakat,
serta mempunyai kewajiban untuk menjamin kebenaran akta-akta yang
dibuatnya, karena itu seorang Notaris dituntut bertindak jujur dan adil bagi
semua pihak. Notaris berperan membantu menciptakan kepastian dan
perlindungan hukum bagi masyarakat karena berada dalam ranah pencegahan
terjadinya masalah hukum melalui akta otentik yang dibuatnya sebagai alat bukti
paling sempurna di pengadilan”5
Seorang Notaris biasanya dianggap sebagai seorang pejabat tempat
seorang dapat memperoleh nasehat hukum yang boleh diandalkan. Segala sesuatu
3Suit, Y dan Almasdi, Aspek Sikap Mental dalam Manajemen Sumber Daya Manusia,
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000), hal. 99. 4Tjokrowinoto dan Muljarto, Pembangunan, Dilema dan Tantangan, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996), hal. 178. 5“Notaris Berperan Membantu Terciptanya Kepastian Hukum”,
http://www.antaranews.com/berita/294406/menkumhamnotarisberperanmembantu-terciptanya-
kepastian-hukum, diunduh 28 Februari 2012.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
3
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
yang ditulis dan ditetapkannya (konstatir) adalah benar, Notaris adalah pembuat
dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum.6
Notaris sebagai Pejabat Umum atau istilah bahasa Belanda yaitu Openbare
Amtbtenaren yang terdapat dalam Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris (selanjutnya
disebut PJN) Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesia, Stb 1860:3
menyebutkan bahwa :
“Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat
akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang
diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan
dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian
tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya,
semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga
ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.”
Sedangkan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN) menyebutkan bahwa :
“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.”
Kemudian disebutkan pula dalam penjelasan umum UUJN, bahwa Notaris
adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh
pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya.
Melihat pengertian Notaris diatas, dapat dipahami bahwa Notaris sebagai pejabat
umum adalah organ Negara yang diberikan kekuasaan berwenang menjalankan
sebagian dari kekuasaan Negara untuk membuat alat bukti tertulis secara otentik
dalam bidang hukum perdata, yang dapat diartikan pula bahwa kedudukannya
sama dengan Pejabat Negara namun walaupun demikian, jabatan seorang Notaris
tidak sama dengan pejabat-pejabat Negara lainnya karena Notaris tidak menerima
gajinya dari Pemerintah, akan tetapi mendapatkan upah atau yang biasa disebut
honorarium dari mereka yang meminta jasanya.
Notaris merupakan salah satu cabang dari profesi hukum yang tertua di
dunia. Jabatan Notaris ini tidak ditempatkan di lembaga eksekutif, legislatif
ataupun yudikatif. Notaris diharapkan memiliki posisi netral, sehingga apabila
ditempatkan di salah satu dari ketiga badan negara tersebut maka Notaris tidak
6Tan Thong Kie, Studi Notariat dan Serba Serbi Praktek Notaris, cet. 1, (Jakarta: PT
Ichtiar Baru Van Hoeve, 2007), hal. 444.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
4
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
lagi dapat dianggap netral. Dengan posisi netral tersebut, Notaris diharapkan
untuk memberikan penyuluhan hukum untuk dan atas tindakan hukum yang
dilakukan Notaris atas permintaan kliennya. Dalam hal melakukan tindakan
hukum untuk kliennya, Notaris juga tidak boleh memihak kliennya, karena tugas
Notaris ialah untuk mencegah terjadinya masalah (anti trial role).
Masalah-masalah yang dapat terjadi tersebut disebabkan adanya hubungan
manusia sebagai mahluk sosial yang selalu berinteraksi dengan manusia lainnya.
Dalam interaksi tersebut, seringkali terjadi benturan kepentingan yang
mengakibatkan terganggunya keseimbangan masyarakat. Untuk itu, diperlukan
kaidah yang menjadi aturan dalam kehidupan masyarakat.
Kaidah hukum dianggap sebagai kaidah yang memiliki kekuatan sanksi
yang paling kuat dan langsung dapat dirasakan di kehidupan dunia.Tidak mudah
untuk memberikan pengertian tentang hukum sebagai suatu kaidah. Hal ini
disebabkan karena begitu luasnya ruang lingkup hukum itu sendiri. Hampir semua
kehidupan manusia akan bersentuhan dengan hukum.
Dewasa ini, hukum menjadi aspek yang sangat penting pada saat manusia
saling berinteraksi. Hampir semua perbuatan manusia diatur dengan hukum, mulai
dari manusia lahir sampai meninggal, hukum menyentuh seluruh aspek kehidupan
manusia baik yang bersifat publik maupun privat.
Dalam interaksi antar sesama manusia, seringkali terjadi hubungan hukum
antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Untuk menjamin kepastian dalam
hubungan hukum yang sengaja dibentuk, seringkali hubungan tersebut dituangkan
secara tertulis. Hal itu dilakukan untuk memudahkan pembuktian atas terjadinya
hubungan hukum tersebut. Pembuktian dengan tulisan dapat dilakukan dengan
“akta otentik” maupun dengan “akta dibawah tangan”.
Notaris sebagai seorang Pejabat Umum dihadirkan dengan maksud untuk
membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan pembuktian dengan alat
bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan
hukum. Dengan demikian Notaris diberikan kewenangan dalam menjalankan
jabatannya untuk melayani kebutuhan masyarakat tersebut.
Kewenangan Notaris harus jelas dan tegas dalam peraturan perundang-
undangan yang mengatur jabatan notaris, sehingga jika seorang Notaris
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
5
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
melakukan suatu tindakan diluar wewenang disebut sebagai perbuatan melanggar
hukum. Kewenangan tersebut dikuatkan kembali dalam Pasal 15 ayat 1 UUJN
yang menyebutkan mengenai kewenangan Notaris sebagai Pejabat Umum yaitu
membuat akta otentik.
Hal tersebut dapat dilihat dari Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, selanjutnya disebut KUHPerdata, mengenai akta otentik yang berbunyi :
“Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk ditentukan oleh
undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang
untuk itu di tempat akta itu dibuatnya.”
Ditegaskan bahwa suatu akta otentik yang dalam bentuknya yang telah
ditentukan oleh undang-undang tersebut harus dibuat oleh pejabat umum yang
berwenang. Dalam bentuk perkataan diatas adanya penunjukan terhadap seorang
pejabat umum tetapi tidak menyebutkan secara spesifik mengenai pejabat umum
itu sendiri, maka dibuatlah PJN yang dapat disebut sebagai peraturan pelaksana
dari Pasal 1868 KUHPerdata, di mana menjelaskan bahwa Notaris-lah yang
dimaksud sebagai pejabat umum.7
Dalam pembuatan akta otentik, Notaris perlu memperhatikan apa yang
disebut sebagai perilaku profesi yang memiliki unsur-unsur sebagai berikut :8
1. Memiliki integeritas moral yang mantap.
2. Harus jujur terhadap klien maupun diri sendiri (kejujuran intelektual).
3. Sadar akan batas-batas kewenangannya.
4. Tidak semata-mata berdasarkan pertimbangan uang.
Ismail Saleh menyatakan bahwa ada empat pokok yang harus diperhatikan
oleh para Notaris, yaitu sebagai berikut:9
1. Dalam menjalankan, tugas profesinya, seorang Notaris harus mempunyai
integritas moral yang mantap. Dalam hal ini, segala pertimbangan moral
harus melandasi pelaksanaan tugas profesinya. Walaupun akan
7G. H. S. Lumban Tobing, SH, Peraturan Jabatan Notaris, Cet.3, (Jakarta: Erlangga,
1983), hal. 6. 8Liliana Tedjasaputro, Etika Profesi Notaris (Dalam Penegakan Hukum Pidana),
(Yogyakarta: Bigraf Publishing, 1995), hal. 86. 9Ismail Saleh, “Membangun Citra Profesional Notaris Indonesia”, (Pengarahan/ceramah
Umum Menteri Kehakiman Republik Indonesia disampaikan pada Upgrading/Refresing Course
Notaris se-Indonesia, Bandung, 1993), hal. 18-21.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
6
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
memperoleh imbalan jasa yang tinggi, namun sesuatu yang bertentangan
dengan moral yang baik harus dihindarkan.
2. Seorang Notaris harus jujur, tidak saja pada kliennya juga pada dirinya
sendiri. Ia harus mengetahui akan batas-batas kemampuannya, tidak
memberi janji-janji sekedar untuk menyenangkan kliennya, atau agar klien
tetap mau memakai jasanya. Kesemuanya itu merupakan suatu ukuran
tersendiri tentang kadar kejujuran intelektual seorang Notaris.
3. Seorang Notaris harus menyadari akan batas-batas kewenangannya.
Notaris harus mentaati ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku tentang
seberapa jauh ia dapat bertindak dan apa yang boleh serta apa yang tidak
boleh dilakukan.
Adalah bertentangan dengan perilaku professional apabila seorang Notaris
ternyata berdomisili dan bertempat tinggal tidak ditempat kedudukannya
sebagai Notaris. Atau memasang papan dan mempunyai kantor diluar
tempat kedudukannya. Seorang Notaris juga dilarang untuk menjalankan
jabatannya diluar daerah jabatannya. Apabila ketentuan tersebut dilanggar,
maka akta yang bersangkutan akan kehilangan daya otentiknya.
4. Sekalipun keahlian seseorang dapat dimanfaatkan sebagai upaya yang
lugas untuk mendapatkan uang, namun dalam melaksanakan tugas
profesinya ia tidak boleh semata-mata didorong oleh pertimbangan uang
semata. Seorang Notaris yang pancasilais harus tetap berpegang teguh
kepada rasa keadilan yang hakiki, tidak terpengaruh oleh jumlah uang dan
tidak semata-mata hanya menciptakan suatu alat bukti formal mengejar
kepastian hukum, tetapi mengabaikan rasa keadilan.
Mengenai tanggung jawab Notaris selaku Pejabat Umum yang
berhubungan dengan kebenaran materiil, dibedakan menjadi 4 (empat) poin,
yakni:10
1. Tanggung jawab Notaris secara perdata terhadap kebenaran materiil
terhadap akta yang dibuatnya.
10
Abdul Ghofur, Lembaga Kenotariatan Indonesia, (Yogyakarta: UII PressYogyakarta,
2009), hal. 34.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
7
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
2. Tanggung jawab Notaris secara pidana terhadap kebenaran materiil dalam
akta yang dibuatnya.
3. Tanggung jawab Notaris berdasarkan peraturan jabatan notaris, UUJN,
terhadap kebenaran materiil dalam akta yang dibuatnya.
4. Tanggung jawab Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarkan
kode etik Notaris.
Di dalam Pasal 16 huruf a UUJN, Notaris diwajibkan bertindak jujur,
seksama, mandiri, tidak berpihak dan menjaga kepentingan para pihak yang
terkait dalam perbuatan hukum. Di samping itu Notaris sebagai pejabat umum
harus peka, tanggap, mempunyai ketajaman berfikir dan mampu memberikan
analisis yang tepat terhadap setiap fenomena hukum dan fenomena sosial yang
muncul sehingga dengan begitu akan menumbuhkan sikap keberanian dalam
mengambil tindakan yang tepat. Keberanian yang dimaksud disini adalah
keberanian untuk melakukan perbuatan hukum yang benar sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku melalui akta yang dibuatnya dan menolak
dengan tegas pembuatan akta yang bertentangan dengan hukum, moral dan
etika.11
Apabila suatu akta merupakan akta otentik, maka akta tersebut akan
mempunyai 3 (tiga) fungsi terhadap para pihak yang membuatnya yaitu :12
1. Sebagai bukti bahwa para pihak yang bersangkutan telah mengadakan
perjanjian tertentu.
2. Sebagai bukti bagi para pihak bahwa apa yang tertulis dalam perjanjian
adalah menjadi tujuan dan keinginan para pihak.
3. Sebagai bukti kepada pihak ketiga bahwa pada tanggal tertentu kecuali
jika ditentukan sebaliknya para pihak telah mengadakan perjanjian dan
bahwa isi perjanjian adalah sesuai dengan kehendak para pihak.
Selain memenuhi syarat yang telah ditentukan undang-undang agar suatu
akta menjadi otentik, seorang Notaris dalam melaksanakan tugasnya tersebut
wajib melaksanakan tugasnya dengan penuh disiplin, professional dan integritas
11
Wawan Setiawan, “Sikap Profesionalisme Notaris Dalam Pembuatan Akta Otentik”,
Media Notariat, (Edisi Mei-Juni 2004), hal. 25.
12Salim HS, Hukum Kontrak-Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2006), hal. 43.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
8
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
moralnya tidak boleh diragukan. Apa yang tertuang dalam awal sampai akhir akta
yang menjadi tanggung jawab Notaris adalah ungkapan yang mencerminkan
keadaan yang sebenar-benarnya pada saat pembuatan akta.
Dalam pembuatan akta tersebut, setiap orang yang menggunakan jasa
Notaris pasti ingin diperlakukan jujur, adil, tidak berpihak dan seusai dengan
hukum dan aturan yang berlaku. Namun dalam kenyataannya tidak sedikit Notaris
yang melakukan kesalahan dan melanggar dari aturan yang telah ditetapkan.
Tidak sedikit Notaris yang tidak jujur dan hanya mementingkan
pendapatan semata dengan mengenyampingkan norma dan etika yang telah di
atur. Bahkan akhir-akhir ini banyak Notaris yang mulai terseret dalam Berita
Acara Pemeriksaan (BAP) suatu kasus pidana, entah itu sebagai tersangka, saksi,
ataupun aktanya dipermasalahkan karena mengandung unsur pidana. Tidak sedikit
Notaris yang dipanggil oleh penyidik kepolisian karena banyaknya laporan dari
masyarakat atas kelalaian atau kesalahan baik disengaja maupun tidak disengaja.
Sepanjang Notaris yang dipanggil tersebut mematuhi dan mentaati aturan-
aturan yang terdapat dalam UUJN maupun kode etik Notaris maka Notaris yang
bersangkutan akan aman dari segala tindakan atau perbuatan yang melawan
hukum terutama bidang hukum pidana.
Apabila ketentuan pada UUJN dilanggar terutama dengan memasukkan
keterangan palsu ke dalam akta otentik, maka pada fase tersebut Notaris dapat
dijadikan sebagai tersangka. Fase berikutnya apabila akta yang dibuat Notaris
tersebut terbukti karena kesalahannya atau kesengajaannya oleh karena kehendak
jahat, maka pada fase tersebut Notaris yang bersangkutan dapat dijadikan sebagai
terdakwa. Apabila pengadilan melalui Majelis Hakim dapat membuktikan secara
fakta hukum, Notaris tersebut terbukti bersalah secara sah dan menyakinkan maka
pada fase itu Notaris tersebut telah menjadi seorang terpidana melalui suatu
keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pemanggilan Notaris oleh penyidik kepolisian berkaitan dengan dugaan
pelanggaran hukum atas akta yang dibuatnya membutuhkan penyelidikan dan
penyidikan yang lebih mendalam dan seksama dari pihak penyidik kepolisian.
Apakah benar pelanggaran hukum tersebut dilakukan oleh Notaris, atau para
pihak yang menandatangani akta tersebut lah yang melakukan pelanggaran hukum
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
9
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
dengan memberikan keterangan yang tidak jujur dan menyembunyikan dokumen
yang seharusnya diperlihatkan kepada Notaris. Dalam hal ini dibutuhkan
pengetahuan hukum yang mendalam dan paradigma berfikir yang luas untuk
mengambil keputusan yang benar dan sesuai dengan hukum yang berlaku dalam
menetapkan bersalah tidaknya seorang Notaris dalam suatu pemeriksaan hukum
pidana.
Dari pemberitaan pada hukumonline.com, diketahui bahwa dalam
menjalankan jabatannya Notaris berpotensi melakukan beberapa tindak pidana di
antaranya, pemalsuan dokumen atau surat, penggelapan, pencucian uang,
memberikan keterangan palsu dibawah sumpah.13
Potensi lain yang ditemukan dalam praktik Notaris, jika ada akta Notaris
dipermasalahkan oleh para pihak atau pihak lain, maka sering pula Notaris ditarik
sebagai pihak yang turut serta melakukan atau membantu melakukan suatu tindak
pidana. Tindak pidana dimaksud diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (selanjutnya disebut KUHP).
Sedangkan yang dimaksud dengan Hukum Pidana itu sendiri menurut
Prof. Mr. W.F.C. van Hattum yaitu merupakan suatu keseluruhan dari asas-asas
dan peraturan-peraturan yang diikuti oleh Negara atau suatu masyarakat hukum
umum lainnya, dimana mereka itu sebagai pemelihara dari ketertiban hukum
umum telah melarang dilakukannya tindakan-tindakan yang bersifat melanggar
hukum dan telah mengaitkan pelanggaran terhadap peraturan-peraturannya
dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa hukuman.14
Sedangkan
Prof. Simons membagi hukum pidana dalam arti objektif (hukum positif atau ius
poenale) dan dalam arti subjektif (ius puniendi).15
Prof. W.P.J. Pompe telah membuat suatu rumusan singkat mengenai
hukum pidana yaitu bahwa hukum pidana adalah semua aturan hukum yang
menentukan terhadap perbuatan-perbuatan apa yang seharusnya dijatuhi pidana,
dan apakah macamnya pidana itu. Definisi hukum pidana menurut Prof. Van
13“Unsur-unsur Pidana yang Dihadapi Notaris dalam Menjalankan Jabatannya”,
http://pmg.hukumonline.com/klinik/detail/cl5135/unsur-unsur-pidana-yang dihadapi-notaris-
dalam-menjalankan-jabatannya, diunduh tanggal 28 Februari 2012. 14P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, cet. Ketiga (Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 2-3. 15Ibid., hal. 3-4.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
10
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
Hamel dalam bukunya Inlending Studie Ned.Strafrecht 1927, yang berbunyi
hukum pidana adalah semua dasar-dasar dan aturan-aturan yang dianut oleh suatu
Negara dalam menyelenggarakan ketertiban hukum (rechtsorde) yaitu dengan
melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa
kepada yang melanggar larangan-larangan tersebut.16
Sedangkan menurut Van Kan Hukum Pidana tidak mengadakan norma-
norma baru dan tidak menimbulkan kewajiban-kewajiban yang dulunya belum
ada. Hanya norma-norma yang sudah ada saja yang dipertegas, yaitu dengan
mengadakan ancaman pidana dan pemidanaan. Hukum pidana memberikan sanksi
yang bengis dan sangat memperkuat berlakunya norma-norma hukum yang telah
ada. Tetapi tidak mengadakan norma baru. Hukum pidana sesungguhnya adalah
hukum sanksi (het straf-recht iswezenlijk sanctie-recht).17
Menurut Moeljatno, Hukum Pidana adalah bagian daripada keseluruhan
hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-
aturan untuk : 18
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan,
yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa
pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi
pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar
larangan tersebut.
Menurut Mohammad Ekaputra, menyebutkan gambaran tentang hukum
pidana, bahwa hukum pidana setidaknya merupakan hukum yang mengatur
tentang: 19
a. Larangan untuk melakukan suatu perbuatan;
b. Syarat-syarat agar seseorang dapat dikenakan sanksi pidana
16Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, cet.7, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hal. 7-8. 17Ibid, hal. 3. 18Ibid., hal.1. 19Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Medan: USU Press, 2010), hal.5.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
11
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
c. Sanksi pidana apa yang dapat dijatuhkan kepada seseorang yang
melakukan suatu perbuatan yang dilarang (delik)
d. Cara mempertahankan/memberlakukan hukum pidana.
Dasar pokok sistem hukum pidana di Indonesia yaitu menganut asas
legalitas (principle of legality) sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP,
merupakan asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-
undangan (nullum delictum nulla poena sine praevia lege). Maka tidak ada
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika hal itu terlebih dahulu
belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.20
Sanksi pidana yang dijatuhi kepada seorang Notaris menjadi pertanyaan
besar, ternyata seorang Notaris yang sudah paham dengan hukum dan sudah di
sumpah oleh pemerintah dapat melakukan kesalahan kesengajaan (culpa) dan
kelalaian (khilaf/alpa) baik sendiri maupun bersama-sama para penghadap atau
pihak lain untuk melakukan tindak pidana.
Notaris sebagai manusia biasa secara kodrati dapat melakukan kesalahan-
kesalahan baik yang bersifat pribadi maupun yang menyangkut profesionalitas.
Beberapa kasus yang dapat dikemukakan di lapangan tentang tindakan-tindakan
terhadap Notaris dalam menjalankan tugasnya selaku pejabat umum, antara lain,
pemanggilan Notaris sebagai saksi, kemudian ditingkatkan sebagai tergugat di
pengadilan menyangkut akta yang dibuat dan dijadikan alat bukti.
Dalam praktik saat ini sudah banyak terjadi akta yang dibuat oleh Notaris
sebagai alat bukti otentik dipersoalkan di Pengadilan atau Notaris tersebut
langsung dipanggil untuk dijadikan saksi, bahkan tidak sedikit Notaris digugat
atau dituntut di muka Pengadilan.
Penyebab permasalahan bisa timbul secara langsung akibat kelalaian
Notaris, juga bisa timbul secara tidak langsung dalam hal dilakukan oleh orang
lain. Apabila penyebab permasalahan timbul akibat kelalaian Notaris memenuhi
ketentuan undang-undang, maka akta tersebut hanya mempunyai kekuatan
pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau menjadi batal demi hukum, yang
dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian menuntut penggantian
20Moeljatno, op.cit, hal. 23-25.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
12
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
kepada Notaris, dalam hal penyebab permasalahan bukan timbul dari kesalahan
Notaris, melainkan timbul karena ketidakjujuran klien terkait kebenaran syarat
administrasi sebagai dasar pembuatan akta, berakibat akta tersebut batal demi
hukum.
Notaris sudah mempunyai standar prosedur dalam melaksanakan tugasnya,
apabila Notaris tersebut sudah menjalankan tugasnya seusai dengan prosedur yang
telah ditetapkan bisa dipastikan Notaris tersebut tidak akan bersentuhan dengan
sanksi perdata maupun sanksi pidana.
Standar prosedur, kewenangan, kewajiban dan larangan Notaris sudah
diatur dalam UUJN. Undang-Undang tersebut disahkan di Jakarta pada tanggal 6
Oktober 2004, sebagaimana ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 117 yang terdiri dari 13 Bab dan 92 Pasal semakin
mempertegas posisi penting Notaris sebagai pejabat umum yang memberikan
kepastian hukum melalui akta otentik yang dibuatnya.
Landasan filosofis lahirnya UUJN adalah terwujudnya jaminan kepastian
hukum, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran, dan
keadilan. Melalui akta yang dibuatnya, Notaris harus dapat memberikan kepastian
hukum kepada masyarakat pengguna jasa Notaris.21
Akta otentik pada hakikatnya
memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak
kepada Notaris. Oleh karena itu, bukan saja Notaris yang harus dilindungi tetapi
juga para konsumennya, yaitu masyarakat pengguna jasa Notaris.
Namun Notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa
yang termuat dalam akta Notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai
dengan kehendak para pihak yaitu dengan cara membacakannya sehingga menjadi
jelas isi akta Notaris serta memberikan akses terhadap informasi termasuk akses
terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak
penandatangan akta Notaris dalam menjalankan jabatannya berperan secara tidak
memihak dan bebas (unpartiality and Independency).22
21Salim HS. dan Abdullah, Perancangan Kontrak dan MOU, (Jakarta: Sinar Grafika,
2007), hal. 101-102. 22Herlin Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 22.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
13
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
UUJN mengatur bahwa ketika Notaris dalam menjalankan tugas
jabatannya terbukti melakukan pelanggaran, maka Notaris dapat dikenai atau
dijatuhi sanksi, berupa sanksi perdata, administrasi, dan kode etik jabatan Notaris,
dan sanksi-sanksi tersebut telah diatur sedemikian rupa dalam UUJN dan Kode
Etik Jabatan Notaris. Mengenai pengaturan sanksi pidana diatur dalam peraturan
sebelumnya yaitu PJN, tetapi saat ini dalam UUJN tidak mengatur adanya sanksi
pidana terhadap Notaris.
Apabila dalam melaksanakan tugasnya seorang Notaris terbukti
melakukan kesalahan atau melanggar ketentuan dalam UUJN, maka Notaris
tersebut hanya mendapatkan sanksi berupa sanksi administratif atau sanksi
perdata. Dalih lain yang bisa dilakukan oleh seorang Notaris adalah bahwa setiap
aktifitas yang dilaksanakan diawasi oleh Majelis Pengawas Notaris (selanjutnya
disebut MPN).
Dengan dalih tersebut apabila seorang Notaris yang melakukan
pelanggaran secara sah baik sengaja ataupun tidak disengaja hanya dikenakan
sanksi administratif atau sanksi perdata tanpa dikenakan sanksi pidana, sanksi
yang paling berat hanya sekedar pemberhentian secara tidak hormat.
Sanksi–sanksi yang terdapat pada norma masyarakat pada dasarnya dibuat
untuk membuat efek jera bagi seseorang yang melakukan pelanggaran agar tidak
mengulangi perbuatan melawan hukum. Sanksi-sanksi yang bisa dijerat yaitu dari
sanksi administratif, sanksi perdata sampai sanksi pidana. Sanksi pidana terbilang
sanksi yang cukup mumpuni untuk membuat efek jera bagi orang yang melakukan
kesalahan. Sanksi yang berupa sanksi administratif atau sanksi perdata dipercaya
tidak membuat orang yang melakukan kesalahan tersebut menjadi jera karena
sanksi tersebut terbilang ringan.
Dalam pasal 85 Undang-Undang Jabatan Notaris sanksi yang dapat
dikenakan oleh Notaris yang melakukan pelanggaran dapat berupa teguran lisan,
teguran tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat, dan
pemberhentian dengan tidak hormat.
Dari sanksi-sanksi dalam UUJN tersebut dipercaya tidak dapat membuat
efek jera bagi Notaris yang melakukan kesalahan atau pelanggaran, bahkan yang
cukup ironi pada sanksi tersebut ada sanksi pemberhentian dengan hormat
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
14
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
sehingga terkesan seorang Notaris yang apabila secara sah dan terbukti melakukan
pelanggaran atau kesalahan masih mendapatkan penghormatan untuk
diberhentikan dari suatu jabatannya.
UUJN yang diharapkan menjadi sandaran bagi seorang Notaris karena
semua aturan yang mengenai jabatan Notaris terdapat di Undang-Undang tersebut
ternyata malah menjadikan Undang-Undang tersebut sebagai celah untuk
pembelaan bagi Notaris apabila terkena masalah hukum agar terbebas dari sanksi
pidana.
Dari beberapa permasalahan diatas, suatu hal yang wajar apabila sebagian
orang berpendapat Notaris kebal terhadap hukum. Sehingga timbul pertanyaan
mengenai urgensi penerapan Tindak Pidana Notaris (TPN) mengingat tidak
terdapatnya sanksi pidana dalam UUJN tersebut yang membuat seorang Notaris
tidak jera dengan masalah hukum yang didahapinya.
Oleh karena banyaknya permasalahan diatas, dalam hal ini penulis tertarik
untuk membahas dan menganalisis mengenai latar belakang masalah yang telah
diuraikan diatas dengan judul tesis :
“URGENSI PENERAPAN TINDAK PIDANA NOTARIS (TPN)
BERKAITAN DENGAN KETIADAAN SANKSI PIDANA DALAM
UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN
NOTARIS”
1.2. Identifikasi Masalah
Sebagaimana telah diuraikan dalam latar belakang masalah sebelumnya,
maka dapat dirumuskan identifikasi masalah yang akan dibahas dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut :
1. Mengapa tidak terdapatnya pengaturan mengenai sanksi pidana dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris?
2. Bagaimanakah urgensi penerapan Tindak Pidana Notaris (TPN) berkaitan
dengan ketiadaan sanksi pidana dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 tentang Jabatan Notaris ?
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
15
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian
Adapun maksud dan tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk lebih memahami mengenai tidak terdapatnya sanksi Pidana
terhadap Notaris dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris.
2. Untuk mengetahui mengenai sejauh mana urgensi penerapan Tindak
Pidana Notaris (TPN) berkaitan dengan ketiadaan sanksi pidana dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
1.4. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan mempunyai kegunaan baik secara teoritis
maupun praktis, yaitu sebagai berikut :
1. Secara teoritis :
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam
pengembangan ilmu hukum, khususnya dalam bidang ilmu Kenotariatan.
2. Secara praktis :
a. Sebagai masukan yang bermanfaat dalam menjamin kepastian,
ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan
keadilan dalam penyelesaian permasalahan pidana dibidang
Kenotariatan.
b. Sebagai masukan pemerintah dalam menentukan posisi dan melakukan
pengawasan untuk mengatasi tindak pidana Notaris.
c. Sebagai masukan dalam rangka peninjauan kembali Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris mengenai pengaturan
Tindak Pidana Notaris (TPN) dan sanksi pidananya.
d. Sebagai sumbangan bermanfaat bagi aparat penegak hukum dalam
menangani perkara tindak pidana Notaris.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
16
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
e. Sebagi informasi dan saran pencegahan terhadap maraknya tindak
pidana Notaris yang menyebabkan kerugian materiil maupun
immateriil terhadap pemerintah dan masyarakat pengguna jasa Notaris.
1.5. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, oleh karena itu penelitian bertujuan untuk
mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodelogis dan konsisten dengan
mengandalkan analisa dan konstruksi
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Metode
Penelitian Yuridis Normatif, yaitu metode penelitian yang menggunakan cara
berfikir deduktif dan berdasarkan kepada kebenaran yang koheren dalam
menemukan kebenaran. Kebenaran tersebut dalam suatu penelitian sudah dapat
dinyatakan reliable tanpa harus melalui proses pengujian atau verifikasi. Pada
penelitian yuridis normatif sepenuhnya mempergunakan data sekunder.
Tipologi penelitian yang digunakan adalah analistis evaluatif, yaitu
menganalisis secara tepat dan terperinci mengenai urgensi Tindak Pidana Notaris
(TPN) berkaitan dengan ketiadaan sanksi pidana dalam Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
diperoleh melalui penelusuran kepustakaan. Data sekunder yang akan digunakan
dalam penelitian adalah :
a. Bahan hukum primer, yaitu Peraturan perundang-undangan yaitu Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
Peraturan Jabatan Notaris dan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris sebagai bahan yang berkaitan dengan pembahasan
identifikasi masalah dalam penelitian tesis ini.
b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer seperti buku-buku, artikel-artikel atau majalah hukum yang
berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian tesis ini.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
17
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus,
ensiklopedia, indeks kumulatif, dan lain-lain.
Untuk memperoleh hasil yang objektif, maka data dalam penelitian ini
diperoleh melalui alat pengumpulan data yang terhadap data primer, dilakukan
pengumpulan data dengan melakukan wawancara kepada pihak-pihak yang ada
kaitannya terhadap permasalahan yang diteliti, dengan menggunakan pedoman
wawancara sebagai alat pengumpulan data. Dan terhadap data sekunder,
pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen, yaitu dengan
menghimpun data yang berasal dari kepustakaan yang berupa peraturan
perundang-undangan, buku-buku/literatur, dan karya ilmiah seperti makalah,
majalah-majalah, dan segala tulisan yang berkaitan dengan penelitian ini.
Lokasi penelitian dilakukan pada perpuspakaan Universitas Indonesia,
Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia-
Majelis Pengawas Notaris (MPP, MPW dan MPD), Departemen Keuangan-
Direktorat Pajak, Badan Peratanahan Nasional (BPN), beberapa Kantor Notaris di
Jakarta, organisasi Ikatan Notaris Indonesia (INI) dan masyarakat pengguna jasa
Notaris.
Metode analisis data merupakan suatu hal yang sangat penting dalam suatu
penelitian untuk memerikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Seluruh
data-data yang diperoleh diklasifikasikan dan disusun secara sistematis, sehingga
dapat dijadikan acuan dalam melakukan analisis.
Metode yang digunakan dalam pengolahan data maupun analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, suatu metode analisis
data deskriptif analistis yang mengacu pada suatu masalah tertentu dan dikaitkan
dengan pendapat para pakar maupun berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
18
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
1.6. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam tesis ini yang keseluruhannya terdiri dari 3
(tiga) bab, yang disusun dalam suatu sistematika penulisan sebagai berikut :
Bab I : PENDAHULUAN.
Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang pemilihan
permasalahan yang akan dikaji, maksud dan tujuan penelitian,
kegunaan penelitian, dan metode penelitian serta diuraikan
mengenai sistematika penulisan. Hal ini menjadikan bab ini
sebagai dasar bagi pembahasan dalam bab-bab selanjutnya.
Bab II : PENERAPAN TINDAK PIDANA NOTARIS DALAM
MENJALANKAN JABATANNYA BERKAITAN DENGAN
KETIADAAN SANKSI PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG
NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS.
Bab ini terdiri dari tiga sub bab. Pada Sub bab pertama diuraikan
pembahasan tentang tinjauan umum Notaris dan UUJN secara
mendetail kewajiban, kewenangan dan larangan Notaris sebagai
pejabat umum dan Notaris sebagai suatu profesi.
Pada sub bab kedua, diuraikan mengenai tinjauan umum Tindak
Pidana Notaris (TPN) dan sanksi pidana yang menguraikan lebih
lanjut tentang Pengertian Sanksi, Faham/Aliran Pemberian sanksi,
Teori Sanksi, serta jenis sanksi yang terdiri atas sanksi pidana,
sanksi perdata dan sanksi administratif.
Pada sub bab ketiga akan menganalisa lebih lanjut urgensi
penerapan Tindak Pidana Notaris berkaitan dengan ketiadaan
sanksi pidana dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris
Bab III : PENUTUP.
Bab ini merupakan bab terakhir dalam penulisan tesis ini yang
berisi mengenai simpulan dari analisis pada bab-bab sebelumnya
serta saran terhadap masalah-masalah yang dikaji tersebut.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
19
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
BAB II
PENERAPAN TINDAK PIDANA NOTARIS (TPN) BERKAITAN
DENGAN KETIADAAN SANKSI PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG
NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS.
2.1. TINJAUAN UMUM NOTARIS
2.1.1. SEJARAH SINGKAT NOTARIAT
Sejarah Notariat di Indonesia23
tidak dapat terlepas dari sejarah lembaga di
Negara-negara Eropa pada umumnya dan negeri Belanda pada khususnya.
Dikatakan demikian oleh karena perundang-undangan Indonesia dibidang notariat
berakar pada “Notariswet” dari negeri Belanda 9 Juli 1842 (Ned.Stbl.no.20),
sedangkan “Notariswet” itu sendiri pada gilirannya, sekalipun itu tidak merupakan
terjemahan sepenuhnya, namun susunan dan isi nya sebagian besar mengambil
contoh dari undang-undang notaris Perancis dari 25 ventosean XI (16 Maret 1803)
yang dahulu pernah berlaku di negeri Belanda.
Sejarah lembaga notariat yang dikenal saat ini dimulai pada abad ke-11
atau ke-12 di daerah pusat perdagangan yang sangat berkuasa pada zaman itu di
Italia Utara. Daerah inilah yang merupakan tempat asal dari notariat yang
dinamakan “Latinjse Notariaat" tercermin bahwa notaris diangkat oleh penguasa
umum untuk kepentingan masyarakat umum dan menerima uang jasanya
(honorarium) dari masyarakat umum pula.
Pada tahun 1888 merupakan peringatan delapan abad berdirinya Sekolah
Hukum Bologna yang merupakan universitas tertua di dunia. Pendiri dari
universitas ini adalah IRNERIUS. Karya pertama yang dihasilkan oleh
Universitas Bologna ini adalah “Formularium Tabellionum” dari Irnerius sendiri.
Seratus tahun kemudian Rantero di Perugia mempersembahkan karyanya yang
berjudul “Summa Artis Notariae”. Pada abad ke-13 muncul karya “Summa Artis
Notariae” yang sangat terkenal dari seorang penduduk Bologna bernama
Rolandinus Passegeri, masih banyak buku-buku yang ditulis oleh Rolandinus
23
G. H. S. Lumban Tobing, op. cit., hal. 10
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
20
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
antara lain “Flos Tentamentorium”. Rolandinus merupakan “coryfee” dari para
Notaris sepanjang abad. Summa-summanya dipakai sampai abad ke-17, karya-
karya tersebut masih tetap dipertahankan sampai abad ke-19. Dimulai secara
singkat dengan suatu Bab mengenai Notariat sendiri, yakni mengenai sejarahnya,
tugas dari Notaris, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh Notaris, bentuk dari
akta-akta dan apa yang harus dimuat dalam akta, seperti misalnya pemberitahuan
dari hari, tanggal dan tahun serta nama-nama dari para saksi, tentang salinan-
salinan akta dan kewajiban merahasiakan isi akta-akta, protokol dan esensialia-
esensialia lainnya yang berhubungan dengan pekerjaan Notaris. Bagian
keperdataan dari Summa dan Artis biasanya dibagi dalam 3 pokok, yakni Hukum
Perjanjian, Hukum Waris, Hukum Acara Perdata (mengingat tugas kepaniteraan
dari para Notaris pada badan-badan peradilan).
1. Notarii
Dalam abad ke-2 dan ke-3 sesudah Masehi dan bahkan jauh sebelumnya yang
dinamakan para Notarii tidak lain adalah orang-orang yang memiliki keahlian
untuk mempergunakan suatu bentuk tulisan cepat didalam menjalankan
pekerjaan mereka, yang pada hakekatnya mereka itu dapat disamakan dengan
“stenografen”. Para notarii memperoleh nama itu dari perkataan “nota
literaria” artinya tanda tulisan atau character, yang mereka pergunakan
untuk menuliskan atau menggambarkan perkataan-perkataan.
Untuk pertama kalinya nama “notarii” diberikan kepada orang-orang yang
mencatat atau menuliskan pidato yang diucapkan dahulu oleh Cato dalam
senaat Romawi dengan menggunakan tanda-tanda kependekan (abbreviations
atau characters). Kemudian pada abad ke-5 dan abad ke-6 nama “notarii”
diberikan secara khusus kepada para penulis pribadi Kaisar, sehingga dengan
demikian nama “notarii” kehilangan arti umumnya dan pada akhir abad ke-5
perkataan “notarii” merupakan pejabat-pejabat istana yang melakukan
berbagai ragam pekerjaan kanselarij Kaisar dan yang semata-mata
merupakan pekerjaan administratif.
Pada waktu itu terdapat lima tingkatan tertinggi dan merupakan orang kedua
dalam administrasi itu, pekerjaan mereka terutama adalah untuk menuliskan
segala sesuatu yang dibicarakan dalam konsistorium Kaisar pada rapat-rapat
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
21
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
kenegaraan. Notarii yang mempunyai kedudukan tinggi ini tidak mempunyai
persamaan dengan notaris yang dikenal sekarang, yang sama hanya nama.
Institut dari “tribunii notarii kekaisaran” ini mempunyai pengaruh besar di
dalam terjadinya Notariat sekarang.
2. Tabeliones
Pada permulaaan abad ke-3 sesudah Masehi telah dikenal yang dinamakan
“tabeliones”. Para tabeliones ini mempunyai persamaan dengan para
pengabdi dari Notariat oleh karena mereka adalah orang-orang yang
ditugaskan bagi kepentingan masyarakat umum untuk membuat akta-akta dan
surat-surat namun kedudukan atau jabatan mereka tidak memiliki sifat
kepegawaian dan juga tidak ditunjuk atau diangkat oleh kekuasaan umum
untuk melakukan sesuatu formalitas yang ditentukan oleh undang-undang.
Para tabeliones ini lebih tepat dipersamakan saat ini dengan
“zaakwaarnemer”, sudah dikenal semasa pemerintahan Ulppianus, kemudian
pekerjaan mereka baru diatur dalam peraturan perundang-undangan pada
tahun 537 oleh Kaisar Justinianus. Pekerjaan para tabeliones mempunyai
hubungan erat dengan peradilan, mereka ditempatkan di bawah pengawasan
pengadilan. Akta-akta yang dibuat oleh para tabeliones tidak mempunyai
kekuatan otentik, sehingga akta-akta dan surat-surat tersebut hanya
mempunyai kekuatan seperti akta yang dibuat dibawah tangan yang
dinamakan “publica fides”.
3. Tabularii
Disamping para tabeliones masih terdapat suatu golongan orang yang
menguasai teknik menulis yakni dinamakan tabularii, yang memberikan
bantuan kepada masyarakat dalam pembuatan akta-akta dan surat-surat. Para
tabularii ini adalah pegawai negeri yang mempunyai tugas mengadakan dan
memelihara pembukuan keuangan kota-kota dan juga ditugaskan untuk
melakukan pengawasan atas arsip magisrat kota-kota, dibawah ressort mana
mereka berada. Oleh karena mereka berwenang untuk membuat akta-akta
sehingga pada zaman pemerintahan justianus (527 – 565) merupakan saingan
berat bagi para “ tabeliones “. Semasa kekuasaan dari Longobarden (568 –
774) , keadaan yang berkembang pada masa kerajaan West Romein, dapat
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
22
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
dikatakan telah berlangsung tanpa perubahan para “tabeliones“ tetap
memberikan jasa-jasa mereka pada masyarakat umum tidak hanya kepada
orang romawi tetapi juga orang Longobarden sendiri. Dari kebiasaan raja-raja
Longobarden untuk mengangkat para notarii yang dipekerjakan di kerajaan
merupakan perkumpulan para tabeliones dan para tabeliones di pilih menjadi
notarii lebih terhormat di mata rakyat daripada para penulis biasa yang
menyebabkan masyarakat lebih suka mempergunakan tenaga mereka
daripada para tabeliones biasa, dinamakan notarii. Pada saat kekuasaan
Longobarden nama tabellio diganti menjadi notarius.
Setelah mengalami berbagai perkembangan maka “tabellionaat” dan
“notariat” (golongan para notaris yang diangkat) bergabung dan menyatukan
diri dalam suatu badan yang dinamakan “collegium”. Para notarius yang
tergabung dalam collegien dapat dipandang sebagai para pejabat yang satu-
satunya berhak untuk membuat akta baik di dalam maupun di luar
pengadilan.
Notariat mulai masuk di Indonesia pada abad ke – 17 dengan “Oost Ind.
Compagnie” di Indonesia. Pada tanggal 27 Agustus 1620, yaitu beberapa bulan
setelah dijadikannya Jakarta sebagai ibukota (tanggal 4 Maret 1621 dinamakan
Batavia), Melchior Kerchem, Sekretaris dari “College van Schepenen“ di Jakarta,
diangkat sebagai notaris pertama di Indonesia. Cara pengangkatan notaris pada
saat itu secara singkat dimuat suatu instruksi yang menguraikan bidang pekerjaan
dan wewenangnya, yakni untuk menjalankan tugas jabatannya demi kepentingan
publik dengan sumpah setia yang diucapkan pada waktu pengangkatannya
dihadapan Baljuw di Kasteel Batavia (yang sekarang dikenal sebagai Gedung
Departemen Keuangan, Lapangan Banteng) serta berkewajiban mendaftarkan
semua dokumen dan akta yang dibuatnya.
Lima tahun kemudian, pada tanggal 16 Juni 1625 setelah jabatan notaris
publik dipisahkan dengan jabatan sekretaris dengan surat keputusan Gubernur
Jenderal tanggal 12 November 1620 dikeluarkanlah instruksi pertama untuk para
notaris di Indonesia yang berisikan 10 pasal, diantaranya ketentuan bahwa para
notaris terlebih dahulu diuji dan diambil sumpahnya.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
23
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
Sejak masuknya notariat di Indonesia sampai tahun 1822 hanya diatur dua
buah reglemen notariat yakni tahun 1625 dan tahun 1765. Reglemen tersebut
sering mengalami perubahan, maka peraturan yang ada juga sering diperbaharaui,
dipertajam atau dinyatakan berlaku kembali ataupun diadakan peraturan
tambahannya. Menurut kenyataannya semua itu dilakukan hanya untuk
kepentingan yang berkuasa pada waktu itu bukan untuk kepentingan umum.
Ventosewet yang berlaku di Belanda tidak pernah berlaku di Indonesia
sehingga yang berlaku di Indonesia adalah peraturan lama yang berasal dari “
Republiek der Vereenigde Nederlanden”. Dengan demikian maka kedudukan
notaris pada waktu itu sama dengan kedudukan pada notaris pada masa
pemerintahan Republiek der Vereenigde Nederlanden sebelum negara itu jatuh
kepada Perancis.
Tahun 1822 (Stb. No.11) dikeluarkan “Instrctie voor de notarissen in
Indonesia” yang terdiri dari 34 pasal. Jika diperhatikan ketentuan dalam instruksi
tersebut ternyata tidak lain dari suatu resume dari peraturan-peraturan yang ada
sebelumnya, suatu bunga rampai dari plakat-plakat yang lama. Selama 30 tahun
lamanya instruksi tersebut tidak banyak mengalami perubahan. Pada tahun 1860
pemerintahan Belanda menyesuaikan peraturan mengenai jabatan notaris di
Indonesia dengan yang berlaku di Belanda, sebagai pengganti peraturan yang
lama di undangkanlah Peraturan Jabatan Notaris (Notaris Reglement) pada
tanggal 26 Januari 1860 (Stb. No.3) mulai berlaku 1 Juli 1860. Dengan
diundangkannya notaris reglement ini maka diletakkanlah dasar yang kuat bagi
pelembagaan notariat di Indonesia.
Tujuan utama pelembagaan notariat ialah untuk memberikan jaminan yang
lebih baik bagi kepentingan masyarakat. Notariat mempunyai fungsi yang harus
diabdikan bagi kepentingan masyarakat umum, notariat timbul dari kebutuhan
dalam pergaulan sesama manusia yang menghendaki adanya alat bukti tertulis
otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
24
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
2.1.2. PENGERTIAN NOTARIS
Pasal 1 PJN (Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesia, Stb 1860:3)
memberikan ketentuan tentang definisi Notaris serta apa yang menjadi tugas
Notaris, yaitu:
“Notaris adalah pejabat umum (openbare ambtenaren) yang satu-satunya
berwenang untuk membuat akta-akta tentang segala tindakan, perjanjian dan
keputusan-keputusan yang oleh perundang-undangan umum diwajibkan, atau para
yang bersangkutan supaya dinyatakan dalam suatu surat otentik, menetapkan
tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse (salinan sah), salinan
dan kutipannya, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga
diwajibkan kepada pejabat atau khusus menjadi kewajibannya.”
Serta dalam Pasal 1 UUJN disebutkan definisi Notaris, yaitu:
“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.”
Istilah Pejabat Umum24
merupakan terjemahan dari istilah Openbare
Amtbtenaren yang terdapat dalam Pasal 1 PJN25
dan Pasal 1868 Burgerlijk
Wetboek (BW).26
Pengertian pejabat umum pada kalimat “Notaris adalah pejabat umum…”
dalam Pasal 1 PJN maupun Pasal 1 UUJN bukanlah Pegawai Negeri sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974, walaupun Notaris
diangkat dan disumpah oleh pemerintah. Notaris sebagai pejabat umum yang
berwenang untuk membuat akta otentik. Notaris adalah pejabat umum karena ia
diangkat oleh pemerintah serta diberi wewenang untuk melayani publik tertentu.
Menurut Kamus Hukum salah satu arti dari Ambtenaren adalah Pejabat.
Dengan demikian Openbare27
Ambtenaren adalah pejabat yang mempunyai tugas
yang bertalian dengan kepentingan publik, sehingga tepat jika Openbare
24Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) dengan Putusan Nomor 009-
014/PUU-111/2005, tanggal 13 September 2005 mengistilahkan Pejabat Umum sebagai Public Official.
25Istilah Openbare Amtbtenaren yang terdapat dalam Art. 1 dalam Regelement op het
Notaris Ambt in Indonesia (Ord. Van Jan. 1860) S.1860-3, diterjemahkan menjadi Pejabat Umum
oleh G.H.S. Lumban Tobing, op.cit., hal. V. 26Istilah Openbare Amtbtenaren yang terdapat dalam Pasal 1868 BW diterjemahkan
menjadi Pejabat Umum oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum
Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983). 27Saleh Adiwinata, A. Teloeki, H. Boerhanoeddin St. Batoeah, Kamus Istilah Hukum
Fockema Andreae Belanda Indonesia, Binacipta, 1983, hlm. 363, istilah Openbare diterjemahkan
sebagai Umum.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
25
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
Ambtenaren diartikan sebagai Pejabat Publik. Khusus berkaitan dengan Openbare
Ambtenaren yang diterjemahkan sebagai Pejabat Umum diartikan sebagai pejabat
yang diserahi tugas untuk membuat akta otentik yang melayani kepentingan
publik, dan kualifikasi seperti itu diberikan kepada Notaris.
Aturan hukum sebagaimana tersebut di atas yang mengatur keberadaan
Notaris tidak memberikan batasan atau definisi mengenai Pejabat Umum, karena
sekarang ini yang diberi kualifikasi sebagai Pejabat Umum bukan hanya Notaris
saja, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) juga diberi kualifikasi sebagai Pejabat
Umum, begitu juga dengan Pejabat Lelang.
Pemberian kualifikasi sebagai Pejabat Umum kepada pejabat lain selain
Pejabat Umum, bertolak belakang dengan makna dari Pejabat Umum itu sendiri,
karena seperti PPAT hanya membuat akta-akta tertentu saja yang berkaitan
dengan pertanahan dengan jenis akta yang sudah ditentukan, dan Pejabat Lelang
hanya untuk lelang saja.
Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 1868 KUHPerdata yang menyatakan
bahwa akta otentik dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang
berkuasa untuk itu. Pegawai-pegawai umum yang berkuasa tersebut diantaranya
adalah PPAT, Pejabat Lelang, Pejabat KUA, Pejabat Dinas Kependudukan dan
termasuk Notaris yang berkuasa mengeluarkan akta otentik sesuai
kewenangannya masing-masing yang telah ditetapkan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Dari ketentuan PJN maupun UUJN di atas dapat diambil kesimpulan
bahwa tugas pokok dari Notaris adalah membuat akta-akta otentik, dimana akta
otentik menurut Pasal 1870 KUHPerdata memberikan kepada pihak-pihak yang
membuatnya suatu perjanjian yang mutlak.
Di sinilah letak arti penting dari profesi Notaris, yaitu Notaris diberi
wewenang menciptakan alat bukti mutlak oleh undang-undang, dalam pengertian
bahwa apa yang tersebut dalam akta otentik itu pada pokoknya dianggap benar.
Hal ini sangat penting bagi pihak-pihak yang membutuhkan alat pembuktian
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
26
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
untuk suatu keperluan, baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk kepentingan
suatu usaha yaitu kegiatan di bidang usaha.28
Melis berpendapat, yang dikutip oleh G.H.S. Lumban Tobing bahwa
wewenang Notaris bersifat umum, sedang wewenang para pejabat lain adalah
pengecualian. Itulah sebabnya bahwa apabila di dalam perundang-undangan untuk
sesuatu perbuatan hukum diharuskan adanya akta otentik (misalnya Pasal 1171
KUHPerdata mengenai pemberian kuasa untuk memasang hipotek), maka hal itu
hanya dapat dilakukan dengan suatu akta Notaris, terkecuali oleh undang-undang
dinyatakan secara tegas, bahwa selain dari Notaris juga pejabat umum lainnya
turut berwenang atau sebagai yang satu-satunya berwenang untuk itu.29
Pemberian kualifikasi Notaris sebagai Pejabat Umum berkaitan dengan
wewenang Notaris. Menurut Pasal 15 ayat (1) UUJN bahwa Notaris berwenang
membuat akta otentik, sepanjang pembuatan akta-akta tersebut tidak ditugaskan
atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.
Pemberian wewenang kepada pejabat atau instansi lain, seperti Kantor
Catatan Sipil, tidak berarti memberikan kualifikasi sebagai Pejabat Umum tapi
hanya menjalankan fungsi sebagai Pejabat Umum saja ketika membuat akta-akta
yang ditentukan oleh aturan hukum, dan kedudukan mereka tetap dalam
jabatannya seperti semula sebagai Pegawai Negeri. Misalnya akta-akta, yang
dibuat oleh Kantor Catatan Sipil juga termasuk akta otentik. Kepala Kantor
Catatan Sipil yang membuat dan menandatanganinya tetap berkedudukan sebagai
Pegawai Negeri.
Dengan demikian Pejabat Umum merupakan suatu jabatan yang disandang
atau diberikan kepada mereka yang diberi wewenang oleh aturan hukum dalam
pembuatan akta otentik. Notaris sebagai Pejabat Umum kepadanya diberikan
kewenangan untuk membuat akta otentik. Oleh karena itu Notaris sudah pasti
Pejabat Umum, tapi Pejabat Umum belum tentu Notaris, karena Pejabat Umum
dapat disandang pula oleh PPAT serta Pejabat Lelang.
Dalam Pasal 1 huruf a disebutkan bahwa Notaris : de ambtenaar., Notaris
tidak lagi disebut sebagai Openbaar Ambtenaar sebagaimana tercantum dalam
28
R.Soegando Notodisoejo, Hukum Notariat Di Indonesia Suatu Penjelasan, (Jakarta:
CV. Rajawali, 1982), hal. 8. 29G.H.S. Lumban Tobing, op. cit. hal. 34.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
27
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
Pasal 1 Wet op het Notarisambt yang lama (diundangkan tanggal Juli 1842, Stb.
20). Tidak dirumuskan lagi Notaris sebagai Openbaar Ambtenaar, sekarang ini
tidak dipersoalkan apakah Notaris sebagai pejabat umum atau bukan, dan perlu
diperhatikan bahwa istilah Openbaar Ambtenaar dalam konteks ini tidak
bermakna umum, tetapi bermakna publik.30
Ambt pada dasarnya adalah jabatan
publik. Dengan demikian jabatan Notaris adalah jabatan publik tanpa perlu atribut
Openbaar.31
Penjelasan Pasal 1 huruf a tersebut di atas bahwa penggunaan istilah
Notaris sebagai Openbaar Ambtenaar sebagai tautologie.32
Jika ketentuan dalam Wet op het Notarisambt tersebut di atas dijadikan
rujukan untuk memberikan pengertian yang sama terhadap ketentuan Pasal 1
angka 1 UUJN yang menyebutkan Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang
untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (2) dan (3) UUJN. Maka Pejabat Umum yang dimaksud
dalam Pasal 1 angka 1 UUJN harus dibaca sebagai Pejabat Publik atau Notaris
sebagai Pejabat Publik yang berwenang untuk membuat akta otentik sesuai Pasal
15 ayat (1) UUJN dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
15 ayat (2) dan (3) UUJN dan untuk melayani kepentingan masyarakat.
Menurut Habib Adjie, Notaris sebagai Pejabat Publik, dalam pengertian
mempunyai wewenang dengan pengecualian. Dengan mengkategorikan Notaris
sebagai Pejabat Publik. Dalam hal ini Publik yang bermakna hukum, bukan
Publik sebagai khalayak hukum. Notaris sebagai Pejabat Publik tidak berarti sama
dengan Pejabat Publik dalam bidang pemerintah yang dikategorikan sebagai
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, hal ini dapat dibedakan dari produk
masing-masing Pejabat Publik tersebut. Notaris sebagai Pejabat Publik produk
akhirnya yaitu akta otentik, yang terikat dalam ketentuan hukum perdata terutama
dalam hukum pembuktian. Akta tidak memenuhi syarat sebagai Keputusan Tata
Usaha Negara yang bersifat konkret, individual dan final. Serta tidak
menimbulkan akibat hukum perdata bagi seseorang atau badan hukum perdata,
30Philipuss M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2005), hal. 80. 31Ibid, hal. 80. 32S. Wojowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1990, hal. 80, menyatakan tourologie adalah deretan atau urutan kata yang memiliki pengertian
yang hampir sama.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
28
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
karena akta merupakan formulasi keinginan atau kehendak (wlisvorming) para
pihak yang dituangkan dalam akta Notaris yang dibuat dihadapan atau oleh
Notaris. Sengketa dalam bidang perdata dan pidana diperiksa di pengadilan umum
(negeri). Pejabat Publik dalam bidang pemerintahan produknya yaitu Surat
Keputusan atau Ketetapan yang terikat dalam ketentuan Hukum Administrasi
Negara yang memenuhi syarat sebagai penetapan tertulis yang bersifat, individual,
dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata, dan sengketa dalam Hukum Administrasi diperiksa di Pengadilan Tata
Usaha Negara. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Notaris sebagai
Pejabat Publik yang bukan Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara.33
Berdasarkan uraian di atas, maka Notaris dalam kategori sebagai pejabat
publik yang bukan pejabat tata usaha negara, dengan wewenang yang disebutkan
dalam aturan hukum yang mengatur jabatan Notaris, sebagaimana tercantum
dalam Pasal 15 UUJN.
Selanjutnya Habib Adjie mengemukakan bahwa Jabatan Notaris diadakan
atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud untuk
membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang
bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum. Dengan dasar
seperti ini mereka yang diangkat sebagai Notaris harus mempunyai semangat
untuk melayani masyarakat, dan atas pelayanan tersebut, masyarakat yang telah
merasa dilayani oleh Notaris sesuai dengan tugas jabatannya, dapat memberikan
honorarium kepada Notaris. Oleh karena itu Notaris tidak berarti apa-apa jika
masyarakat tidak membutuhkannya.34
Dengan demikian Notaris merupakan suatu jabatan yang mempunyai
karakteristik, yaitu :
a. Notaris sebagai Jabatan.
UUJN merupakan unifikasi di bidang pengaturan Jabatan Notaris, artinya
satu-satunya aturan hukum dalam bentuk undang-undang yang mengatur
33
Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administrasi Terhadap Notaris Sebagai Pejabat
Publik, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2008), hal. 31-32. (selanjutnya disebut Buku I) 34Ibid, hal. 42.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
29
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
Jabatan Notaris di Indonesia, sehingga segala hal yang berkaitan Notaris di
Indonesia harus mengacu kepada UUJN.35
Jabatan Notaris merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh Negara.36
Menempatkan Notaris sebagai jabatan merupakan suatu bidang pekerjaan atau
tugas yang sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk keperluan dan fungsi
tertentu (kewenangan tersebut) serta bersifat berkesinambungan sebagai suatu
lingkungan pekerjaan tetap.
b. Notaris mempunyai kewenangan tertentu.
Setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus dilandasi aturan
hukumnya sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik dan tidak
bertabrakan dengan wewenang jabatan lainnya. Dengan demikian jika seorang
pejabat (Notaris) melakukan suatu tindakan di luar wewenang yang telah
ditentukan, dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar wewenang.
Wewenang Notaris hanya dicantumkan dalam Pasal 15 ayat (1), (2), dan (3)
UUJN. Menurut Pasal 15 ayat (1) bahwa wewenang Notaris adalah membuat
akta, namun ada beberapa akta otentik yang merupakan wewenang Notaris
dan juga menjadi wewenang pejabat atau instansi lain, yaitu :
i. Akta pengakuan anak di luar kawin (Pasal 281 BW); (Apabila tidak
dilakukan dalam akta kelahiran si anak atau pada waktu perkawinan
berlangsung, dapat pula dilakukan dengan akta otentik. Dengan
pengakuan anak luar kawin tersebut timbullah hubungan perdata antara
si anak dengan bapak atau ibunya).
ii. Akta berita acara tentang kelalaian pejabat penyimpan hipotik (Pasal
1227 KUHPerdata);37
(Para pegawai penyimpan hipotik tidak boleh
menolak/memperlambat pembukuan akta-akta pemindahan hak milik
guna pengumuman, pembukuan hak-hak hipotik dan hak-hak lainnya
35Habib Adjie,“Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) Sebagai Unifikasi Hukum
Pengaturan Notaris”, Renvoi, Nomor 28 Th. 111, (3 September 2005), hal.38. 36Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2004), hal. 15,
dinyatakan suatu lembaga yang dibuat atau diciptakan oleh Negara, baik kewenangan atau materi
muatannya tidak berdasarkan pada peraturan perundang-undangan, delegasi atau mandat
melainkan berdasarkan wewenang yang timbul dari freis ermessen yang dilekatkan pada
administrasi Negara untuk mewujudkan suatu tujuan tertentu yang dibenarkan oleh hukum
(Beleidsreygeel atau Policyrules). 37Ketentuan Pasal 1227 KUHPerdata tersebut terdapat dalam Buku II KUHPerdata.
Menurut Pasal 29 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, ketentuan
mengenai Hipotik dinyatakan tidak berlaku lagi.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
30
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
yang berhubungan dengan pemberian dokumen-dokumen, pemberian
kesempatan melihat surat-surat yang telah diserahkan kepada mereka,
serta register-register, kecuali dalam pasal 619 KUHPerdata yaitu
mengenai salinan-salinan akta penjualan dan akta pemisahan tidak
boleh diberikan kepada pihak yang memperoleh barang tanpa ijin dari
pihak yang menjual atau pihak-pihak yang ikut berhak).
iii. Akta berita acara tentang penawaran pembayaran tunai dan konsinyasi
(Pasal 1405 dan Pasal 1406 KUHPerdata); (Dilakukan kepada
seseorang yang berkuasa menerimanya untuk dia, dilakukan oleh
seseorang yang berkuasa membayar, ia menguasai semua utang pokok
dan bunga yang dapat ditagih beserta biaya yang telah ditetapkan dan
menerima sejumlah uang untuk biaya yang belum ditetapkan dengan
tidak mengurangi penetapan terkemudian).
iv. Akta protes wesel dan cek (Pasal 143 dan 218 WvK); (Notaris
berwenang membuat akta protes wesel dan cek, apabila wesel dan cek
tersebut pada saat tanggal jatuh tempo belum juga dapat dicairkan
dananya dalam hal pembayaran utang kepada pihak lain atau pihak
ketiga).
v. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) (Pasal 15 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan);
(akta SKMHT dapat dibuat oleh Notaris namun dapat pula dibuat oleh
pejabat lain yaitu PPAT).
vi. Membuat akta risalah lelang.38
(Notaris dapat membuat akta risalah
lelang apabila telah diangkat menjadi pejabat lelang kelas dua).
Pasal 15 ayat (3) UUJN merupakan wewenang yang akan ditentukan
kemudian berdasarkan aturan hukum lain yang akan datang kemudian (ius
38Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 338/KMK.01/2000, tanggal
18 Agustus 2000, dalam Pasal 7 ayat (3) : Pejabat Lelang dibedakan dalam dua tingkat, yaitu :
a) Pejabat Lelang Kelas I; dan
b) Pejabat Lelang Kelas II.
Selanjutnya dalam Pasal 8 :
(1) Pejabat Lelang Kelas I adalah pegawai BUPLN pada Kantor Lelang Negara yang
diangkatuntuk jabatan itu.
(2) Pejabat Lelang Kelas II adalah orang-orang tertentu yang diangkat untuk jabatan, yang
berasaldari : a) Notaris; b) Penilai; dan c) Pensiunan Pegawai Negeri Sipil (PNS) BUPLN
diutamakan yang pernah menjadi Pejabat Lelang Kelas I yang berkedudukan di wilayah
kerja tertentu yang ditetapkan oleh Kepala Badan.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
31
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
constituendum). Berkaitan dengan wewenang tersebut, jika Notaris melakukan
tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan, maka akta Notaris tersebut
tidak mengikat secara hukum atau tidak dapat dilaksanakan (non executable).
Pihak atau mereka yang merasa dirugikan oleh tindakan Notaris di luar wewenang
tersebut, maka Notaris dapat digugat secara perdata ke Pengadilan Negeri.
Berdasarkan wewenang yang ada pada Notaris sebagaimana tersebut
dalam Pasal 15 UUJN dan kekuatan pembuktian dari akta Notaris, maka ada 2
(dua) pemahaman, yaitu :
a. Tugas jabatan Notaris adalah memformulasikan keinginan/tindakan para
pihak ke dalam akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang
berlaku.
b. Akta Notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang
sempurna,39
sehingga tidak perlu dibuktikan atau ditambah dengan alat
bukti lainnya, jika ada orang/pihak yang menilai atau menyatakan bahwa
akta tersebut tidak benar, maka orang/pihak yang menilai atau menyatakan
tidak benar tersebut wajib membuktikan penilaian atau pernyataannya
sesuai aturan hukum yang berlaku. Kekuatan pembuktian akta Notaris ini
berhubungan dengan sifat publik dari jabatan Notaris.40
Sepanjang suatu
akta notaris tidak dapat dibuktikan ketidakbenarannya maka akta tersebut
merupakan akta otentik yang memuat keterangan yang sebenarnya dari
para pihak dengan didukung oleh dokumen-dokumen yang sah dan saksi-
saksi yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Dengan konstruksi pemahaman seperti di atas, maka ketentuan Pasal 50
KUHP41
dapat diterapkan kepada Notaris dalam menjalankan tugas
jabatannya. Sepanjang pelaksanaan tugas jabatan tersebut sesuai dengan
tata cara yang sudah ditentukan dalam UUJN, hal ini sebagai perlindungan
39M. Ali Boediarto, Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung, Hukum Acara
Perdata Setengah Abad., Swa Justitia, 2005 : 150. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
nomor 3199 K/Pdt/1994, tanggal 27 Oktober 1994, menegaskan bahwa akta otentik menurut
ketentuan ex Pasal 165 HIR jo. 285 Rbg jo. 1868 BW merupakan bukti yang sempurna bagi kedua
belah pihak dan para ahli warisnya dan orang yang mendapat hak darinya. 40MJ-A. Van Mourik dalam Habib Adjie,Buku I, op.cit, hal. 35. 41Pasal 50 KUHP berbunyi : Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan
ketentuan undang-undang, tidak dipidana..
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
32
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
hukum terhadap Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya atau
merupakan suatu bentuk imunitas terhadap Notaris dalam menjalankan
tugas jabatannya sesuai aturan hukum yang berlaku.
c. Diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah. Pasal 2 UUJN menentukan
bahwa Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, dalam hal ini
menteri yang membidangi kenotariatan (Pasal 1 angka 14 UUJN). Notaris
meskipun secara administratif diangkat dan diberhentikan oleh
pemerintah, tidak berarti Notaris menjadi subordinasi (bawahan) dari yang
mengangkatnya, pemerintah. Dengan demikian Notaris dalam
menjalankan tugas jabatannya :42
i. Bersifat mandiri (autonomous);
ii. Tidak memihak siapapun (impartial);
iii. Tidak tergantung kepada siapapun (independent), yang berarti
dalam menjalankan tugas jabatannya tidak dapat dicampuri oleh
pihak yang mengangkatnya atau oleh pihak lain.
d. Tidak menerima gaji atau pensiun dari yang mengangkatnya. Notaris
meskipun diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah tetapi tidak
menerima gaji dan pensiun dari pemerintah. Notaris hanya menerima
honorarium dari masyarakat yang telah dilayaninya atau dapat
memberikan pelayanan cuma-cuma untuk mereka yang tidak mampu.
e. Akuntabilitas atas pekerjaannya kepada masyarakat adalah dengan
Kehadiran Notaris untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang
memerlukan dokumen hukum (akta) otentik dalam bidang hukum perdata,
sehingga Notaris mempunyai tanggung jawab untuk melayani masyarakat
yang dapat dituntut secara pidana, administrasi dan perdata, menuntut
biaya, ganti rugi, dan bunga jika ternyata akta tersebut dapat dibuktikan
dibuat tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Hal ini merupakan
bentuk akuntabilitas Notaris kepada masyarakat.
Notaris sebagai pejabat publik tidak berarti sama dengan pejabat publik
dalam bidang pemerintah yang dikategorikan sebagai badan atau Pejabat Tata
42
Habid Adjie, Buku I op.cit., hal. 36.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
33
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
Usaha Negara, hal ini dapat dibedakan dari produk masing-masing pejabat publik
tersebut. Notaris sebagai pejabat publik produknya berupa akta otentik, yang
terikat dalam ketentuan hukum perdata terutama dalam hukum pembuktian.
Akta tersebut tidak memenuhi syarat sebagai Keputusan Tata Usaha
Negara yang bersifat konkret, individual dan final. Serta tidak menimbulkan
akibat hukum perdata bagi seseorang atau badan hukum perdata, karena akta
merupakan formulasi keinginan atau kehendak (wilsvorming) para pihak yang
dituangkan dalam akta Notaris yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris. Sengketa
dalam bidang perdata dan pidana diperiksa di Pengadilan Negeri.
Sedangkan Pejabat publik dalam bidang pemerintahan produknya berupa
Surat Keputusan atau Ketetapan yang terikat dalam ketentuan Hukum
Administrasi Negara yang memenuhi syarat sebagai penetapan tertulis yang
bersifat, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang
atau badan hukum, dan Sengketa dalam Hukum Administrasi diperiksa di
Pengadilan Tata Usaha Negara.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Notaris sebagai Pejabat Publik
yang bukan Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara.43
Berdasarkan uraian di atas,
maka Notaris dalam kategori sebagai Pejabat Publik yang bukan Pejabat Tata
Usaha Negara, dengan wewenang yang disebutkan dalam aturan hukum yang
mengatur jabatan Notaris, sebagaimana tercantum dalam Pasal 15 UUJN.
Selanjutnya Habib Adjie mengemukakan bahwa Jabatan Notaris diadakan
atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud untuk
membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang
bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum.
Dengan dasar seperti ini mereka yang diangkat sebagai Notaris harus
mempunyai semangat untuk melayani masyarakat, dan atas pelayanan tersebut,
masyarakat yang telah merasa dilayani oleh Notaris sesuai dengan tugas
jabatannya, dapat memberikan honorarium kepada Notaris. Oleh karena itu
Notaris tidak berarti apa-apa jika masyarakat tidak membutuhkannya.44
43Ibid, hal. 31-32. 44Ibid, hal. 42.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
34
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
2.1.3. AKTA OTENTIK
Notaris merupakan pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik
mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh
peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang
berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal
pembuatan akta, menyimpan akta grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu
sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada
pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan undang-undang.45
Pengertian akta otentik dapat ditemukan dalam Pasal 1868 KUH Perdata
yang menyebutkan Akta otentik adalah akta yang di dalam bentuk yang
ditentukan oleh undang-undang yang dibuat oleh atau dihadapan pegawai yang
berkuasa/pegawai umum untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya.
Ditegaskan bahwa suatu akta otentik yang dalam bentuknya yang telah
ditentukan oleh undang-undang tersebut harus dibuat oleh pejabat umum yang
berwenang. Dalam bentuk perkataan diatas adanya penunjukan terhadap seorang
pejabat umum tetapi tidak menyebutkan secara spesifik mengenai pejabat umum
itu sendiri, maka dibuatlah PJN yang dapat disebut sebagai peraturan pelaksana
dari Pasal 1868 KUHPerdata, di mana menjelaskan bahwa Notaris-lah yang
dimaksud sebagai pejabat umum.46
Suatu akta dikatakan otentik apabila memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Akta yang dibuat oleh atau akta yang dibuat dihadapan pejabat umum
yang ditunjuk oleh undang-undang.
b. Bentuk akta ditentukan oleh undang-undang dan cara membuat akta
menurut ketentuan yang ditetapkan undang-undang.
c. Ditempat dimana pejabat yang berwenang membuat akta tersebut.
45Indonesia, Undang-undang Jabatan Notaris, UU No. 30 tahun 2004, TLN. No. 4432,
pasal 15. 46
G. H. S. Lumban Tobing, op.cit, hal. 51. Ada dua golongan akta Notaris, yaitu :
1. Akta yang dibuat “oleh” (door) Notaris atau yang dinamakan “akta Relaas”
atau akta pejabat (ambtelijke akten).
2. Akta yang dibuat “di hadapan” (ten overstaan) Notaris atau yang dinamakan
“akta Partij” (partij akten).
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
35
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
Akta otentik mempunyai arti yang lebih penting sebagai alat bukti, bila
terjadi sengketa maka akta otentik dapat digunakan sebagai pedoman bagi para
pihak yang bersengketa.
Notaris sebagai pejabat lelang berwenang untuk melaksanakan lelang dan
membuat risalah lelang, sebagaimana ternyata dalam pasal 15 ayat (2) huruf g
UUJN. Ini merupakan bagian tidak terpisahkan dari kewenangan Notaris sebagai
pejabat umum untuk membuat akta otentik.
Peran Notaris diperlukan di Indonesia karena dilatarbelakangi oleh Pasal
1866 KUHPerdata yang menyatakan alat-alat bukti terdiri atas :
1. bukti tulisan;
2. bukti dengan saksi-saksi;
3. persangkaan-persangkaan;
4. pengakuan;
5. sumpah.
Demikian pula terhadap kasus pidana, untuk dibuktikan terpenuhinya
syarat-syarat pemidanaan diperlukan barang bukti dan alat-alat bukti. Alat-alat
bukti yang sah diatur dalam pasal 184 KUHAP, yang terdiri atas :
1. Keterangan saksi;
2. Keterangan ahli;
3. Surat;
4. Petunjuk;
5. Keterangan terdakwa.
Pembuktian tertinggi dalam KUHPerdata adalah bukti tulisan. Adapun
dalam pembuktian yang dianut oleh KUHAP disebutkan adanya bukti surat. Bukti
tertulis dan bukti surat tersebut dapat berupa akta otentik maupun akta di bawah
tangan dari yang berwenang dan yang dapat membuat akta otentik adalah Notaris.
Untuk itulah Negara menyediakan lembaga yang bisa membuat akta otentik.
Negara mendelegasikan tugas itu kepada Notaris seperti tercantum pada Pasal
1868 KUHPerdata jo Pasal 1 angka 1 UUJN yaitu Notaris adalah pejabat umum
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
36
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
yang diangkat oleh Negara untuk membantu masyarakat dalam pembuatan akta
otentik. 47
Dalam hal ini pejabat yang dimaksud adalah Notaris dan lambang yang
digunakan sebagai cap para Notaris adalah lambang Negara. Notaris merupakan
satu-satunya kalangan swasta yang diperbolehkan menggunakan lambang
tersebut.
Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta
otentik, mempunyai peran penting dalam kehidupan masyarakat. Banyak sektor
kehidupan transaksi bisnis dari masyarakat yang memerlukan peran serta dari
Notaris, bahkan terdapat beberapa ketentuan dan/atau perundang-undangan yang
mengharuskan dibuat dengan akta Notaris yang artinya jika tidak dibuat dengan
akta Notaris maka transaksi atau kegiatan tersebut tidak mempunyai kekuatan
hukum.
2.1.4. KEWENANGAN, KEWAJIBAN DAN LARANGAN NOTARIS
Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya memiliki kewenangan,
kewajiban yang harus dijalankan, dan harus tunduk pada larangan-larangan dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
a. Kewenangan Notaris
Wewenang utama Notaris adalah membuat akta otentik, tapi tidak semua
pembuatan akta otentik menjadi wewenang Notaris. Akta yang dibuat oleh pejabat
lain, bukan merupakan wewenang Notaris, seperti akta kelahiran, akta pernikahan,
dan akta perceraian dibuat oleh pejabat selain Notaris. Akta yang dibuat Notaris
tersebut hanya akan menjadi akta otentik, apabila Notaris mempunyai wewenang
yang meliputi empat hal, yaitu :48
1. Notaris harus berwenang sepanjang menyangkut akta yang dibuat itu;
47Kekuatan pembuktian akta otentik mempunyai 3 kekuatan pembuktian, yaitu : 1.
Kekuatan Pembuktian Lahiriah 2. Kekuatan Pembuktian Formil 3. Kekuatan Pembuktian Material.
Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta,
(Bandung: Mandar Maju, 2011), hal. 115-118. 48
G. H. S. Lumban Tobing, op. cit., hal. 49.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
37
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
Tidak semua pejabat umum dapat membuat semua akta, akan tetapi
seorang pejabat umum hanya dapat membuat akta-akta tertentu, yakni
yang ditugaskan atau dikecualikan kepadanya berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN menyatakan bahwa
kewenangan Notaris yaitu membuat akta otentik mengenai semua
perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan
perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan
untuk dinyatakan dalam akta otentik.
2. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang untuk kepentingan
siapa akta itu dibuat;
Notaris tidak berwenang untuk membuat akta untuk kepentingan setiap
orang. Dalam Pasal 52 ayat (1) UUJN menyatakan bahwa Notaris tidak
diperkenankan tidak membuat akta untuk diri sendiri, isteri/suami, atau
orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan Notaris baik karna
perkawinan maupun hubungan darah dalam garis lurus ke bawah dan/atau
keatas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis kesamping sampai
dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun
dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantara kuasa. Maksud dan
tujuan dari ketentuan ini ialah untuk mencegah terjadinya tindakan
memihak dan penyalahgunaan jabatan.
3. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, dimana akta itu
dibuat;
Bagi setiap Notaris ditentukan daerah hukumnya (daerah jabatannya) dan
hanya di dalam daerah yang ditentukan baginya itu ia berwenang untuk
membuat akta otentik. Dalam Pasal 18 UUJN menyatakan bahwa Notaris
mempunyai tempat kedudukan di daerah kabupaten/kota. Wilayah jabatan
Notaris meliputi seluruh wilayah propinsi dari tempat kedudukannya. Akta
yang dibuat diluar daerah jabatannya adalah tidak sah.
4. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu;
keadaan dimana Notaris tidak berwenang (onbevoegd) untuk membuat
akta otentik, yaitu : 49
49
Ibid.,hal. 140.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
38
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
i. Sebelum Notaris mengangkat sumpah (Pasal 7 UUJN);
Notaris tidak berwenang membuat akta otentik sebelum
mengangkat sumpah di hadapan pejabat yang berwenang yang
ditunjuk untuk itu berdasarkan UU.
ii. Selama Notaris diberhentikan sementara (skorsing);
Selama Notaris diberhentikan sementara (skorsing) maka Notaris
yang bersangkutan tidak berwenang membuat akta otentik sampai
masa skorsingnya berakhir.
iii. Selama Notaris cuti;
Notaris yang sedang cuti tidak berwenang membuat akta otentik.
iv. Berdasarkan ketentuan Pasal 40 ayat (2) huruf e tentang saksi
dalam akta bahwa saksi tidak boleh mempunyai hubungan
perkawinan atau hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke
bawah tanpa pembatasan derajat dan garis kesamping sampai
dengan derajat ketiga dengan Notaris atau para pihak.
v. Pasal 52 ayat (1) UUJN.
Pasal 15 ayat (2) UUJN menyatakan bahwa selain berwenang untuk
membuat akta otentik, Notaris berwenang pula :
a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat
dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus (legalisasi);50
b. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku
khusus (waarmerking);
c. Membuat copy dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang
membuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang
bersangkutan;
d. Melakukan pengesahan kecocokan foto kopi dengan surat aslinya
(legalisir);
e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; 51
50Penjelasan Pasal 15 ayat (2) huruf a UUJN, Legalisasi adalah tindakan mengesahkan
tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal akta dibawah tangan yang dibuat sendiri oleh
orang perseorangan atau oleh para pihak diatas kertas yang bermaterai cukup yang ditandatangani
di hadapan Notaris dan didaftarkan dalam buku khusus yang disediakan oleh Notaris.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
39
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
g. Membuat akta risalah lelang.
Terdapat perluasan kewenangan Notaris, yaitu kewenangan yang
dinyatakan dalam Pasal 15 ayat (2) butir f UUJN yakni kewenangan membuat
akta yang berkaitan dengan pertanahan. Kewenangan Notaris membuat akta yang
berkaitan dengan pertanahan menimbulkan kontroversi. PPAT tetap memiliki
ruang lingkup jabatan yang berbeda dengan Notaris, akta-akta yang bisa dibuat
oleh Notaris, adalah sebatas yang bukan menjadi kewenangannya PPAT.52
Pasal 51 UUJN menyatakan bahwa Notaris berwenang untuk
membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan ketik yang terdapat pada minuta
akta yang telah ditandatangani. Pembetulan tersebut dilakukan dengan membuat
berita acara dan memberikan catatan tentang hal tersebut pada minuta akta asli
dengan menyebutkan tanggal dan nomor akta berita acara pembetulan. Salinan
akta berita acara tersebut wajib disampaikan kepada para pihak.
Notaris dibolehkan menjalankan jabatan Notaris dalam bentuk
perserikatan perdata, sesuai dengan Pasal 20 ayat (1) UUJN. Hal ini
dimungkinkan dengan mengingat kondisi jumlah Notaris saat yang sudah
mencapai jutaan orang dan karenanya bentuk perserikatan perdata (maatschaap)
dapat dipandang sebagai upaya efisiensi dan efektifitas kantor Notaris dalam
rangka mempercepat pelayanan jasa hukum kepada masyarakat dengan tetap
menjaga kemandirian dan ketidakberpihakan sehingga menjalankan jabatan dalam
bentuk perserikatan perdata ini juga akan melahirkan dan mengembangkan
spesialisasi bidang hukum tertentu.
Pengecualian kewenangan dari Notaris sebagai pejabat yang berhak
membuat akta otentik menurut pasal 4 KUHPerdata diperkuat oleh pendapat Tan
Thong Kie, bahwa seorang Notaris boleh membuat semua akta dalam bidang
Notariat, tetapi dia tidak boleh membuat berita acara pelanggaran lalu lintas atau
keterangan kelakukan baik yang semuanya wewenang kepolisian, Notaris juga
tidak boleh membuat akta perkawinan, akta kematian, akta kelahiran (bukan akta
51
Kewenangan untuk memberikan penyuluhan hukum bukan berarti tidak menimbulkan
masalah, jika sampai terjadi kesalahan mengenai suatu hal yang disuluhkan maka Notaris yang
bersangkutan bisa tersandung masalah, baik dalam masalah perdata maupun pidana. 52“Wewenang Notaris dan PPAT Masih Menyisakan Persoalan”,
http://cms.sip.co.id/hukumonline/berita.asp , diunduh 10 Mei 2012.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
40
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
kenal lahir atau akta van bekendneid) yang kesemuanya adalah wewenang
pegawai kantor catatan sipil.53
b. Kewajiban Notaris
Kewenangan yang ada pada Notaris sebagai pejabat umum, juga diiringi
dengan kewajibannya sebagai pejabat yang memperoleh kepercayaan dari publik
secara moral dan etika. Maksudnya bahwa Notaris wajib bertindak amanah, jujur,
seksama, mandiri dan menjaga kepentingan-kepentingan pihak yang terkait. Pasal
1 Kode Etik Notaris hasil Kongres di Bandung pada tanggal 28 Januari 2005
tentang kepribadian dan martabat Notaris disebutkan bahwa :
a. Dalam melaksanakan tugasnya Notaris diwajibkan senantiasa menjunjung
tinggi hukum dan asas Negara serta bertindak sesuai dengan makna
sumpah jabatan dan mengutamakan pengabdiannya kepada kepentingan
masyarakat dan Negara.
b. Dalam kehidupan sehari-hari Notaris dengan kepribadian yang baik
diwajibkan untuk menjunjung tinggi martabat jabatan Notaris dan
sehubungan dengan itu tidak dibenarkan melakukan hal-hal dan atau
tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan martabat dan kehormatan
Notaris.
Dalam pasal 16 UUJN terdapat 9 kewajiban Notaris yaitu :
(1) Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban:
a. Bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga
kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;
b. Membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai
bagian dari Protokol Notaris;54
c. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan
Minuta Akta;
d. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang
ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;
53Tan Thong Kie, op.cit, hal 442. 54Menyimpan Minuta Akta dimaksudkan untuk menjaga keotentikan suatu akta dalam
bentuk aslinya, sehingga apabila ada pemalsuan, atau penyalahgunaan grosse, salinan atau
kutipannya dapat segera diketahui secara mudah yaitu mencocokkannya dengan yang asli.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
41
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
e. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala
keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan
sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;
f. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang
memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak
dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih
dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun
pembuatannya pada sampul setiap buku;
g. Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak
diterimanya surat berharga;
h. Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu
pembuatan akta setiap bulan;
i. Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf h atau daftar
nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Daftar Pusat Wasiat Departemen
yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kenotariatan dalam waktu 5
(lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya;
j. Mencatat dalam reportorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap
akhir bulan;
k. Mempunyai cap/stempel yang memuat lambang Negara Republik
Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan,
dan tempat kedudukan yang bersangkutan;
l. Membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling
sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh
penghadap, saksi, dan Notaris;55
m. Menerima magang calon Notaris.56
(2) Menyimpan Minuta Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak
berlaku, dalam hal Notaris mengeluarkan akta dalam bentuk originali.
(3) Akta originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah akta:
55Notaris harus hadir secara fisik dan menandatangani akta dihadapan penghadap dan
saksi. 56
Kewajiban dari setiap Notaris untuk ikut serta mempersiapkan calon Notaris agar
mampu menjadi Notaris yang profesional. Calon Notaris sebelum diangkat sebagai Notaris harus
telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu 12
(dua belas) bulan berturut-turut pada kantor Notaris setelah lulus Strata Dua Kenotariatan (S-2
MKn).
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
42
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
a. pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun;
b. penawaran pembayaran tunai;
c. protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga;
d. akta kuasa;
e. keterangan kepemilikan; atau
f. akta lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(4) Akta originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibuat lebih dari 1
(satu) rangkap, ditandatangani pada waktu, bentuk, dan isi yang sama, dengan
ketentuan pada setiap akta tertulis kata-kata "berlaku sebagai satu dan satu
berlaku untuk semua".
(5) Akta originali yang berisi kuasa yang belum diisi nama penerima kuasa hanya
dapat dibuat dalam 1 (satu) rangkap.
(6) Bentuk dan ukuran cap/stempel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k
ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
(7) Pembacaan akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l tidak wajib
dilakukan, jika penghadap menghendaki agar akta tidak dibacakan karena
penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya, dengan
ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup akta serta pada setiap
halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris.
(8) Jika salah satu syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l dan ayat (7)
tidak dipenuhi, akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan
pembuktian sebagai akta di bawah tangan.
(9) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tidak berlaku untuk
pembuatan akta wasiat.
Notaris mempunyai kewajiban untuk membuat akta dalam bentuk minuta
dan menyimpan sebagai bagian dari protokol Notaris. Notaris juga berkewajiban
mengeluarkan grosse, salinan dan kutipannya, tetapi Notaris tidak mempunyai
kewajiban untuk mengeluarkan akta dalam bentuk original.
Akta-akta yang dapat dikeluarkan Notaris dalam bentuk original
disebutkan dalam Pasal 18 ayat (3) UUJN yaitu :
1. Izin kawin
2. Keterangan orang masih hidup
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
43
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
3. Pembayaran uang sewa, bunga, pension
4. Penawaran pembayaran lunas
5. Protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga
6. Akta kuasa
7. Keterangan kepemilikan
8. Akta sederhana dan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pembacaan akta Notaris, merupakan kewajiban Notaris dimana
pembacaan akta dilakukan dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh saksi-saksi
yang berjumlah paling sedikit 2 (dua) orang. Pembacaan ini tidak diwajibkan
kepada Notaris, apabila penghadap telah membaca sendiri dan mendapat
penjelasan dari Notaris serta mengetahui isi dari akta tersebut, dengan persyaratan
khusus bahwa pada setiap halaman minuta akta itu wajib dibubuhkan paraf para
penghadap dan saksi-saksi serta Notaris.
Pembacaan yang dilakukan oleh Notaris maupun dibaca sendiri oleh
penghadap, diharapkan agar penghadap yang menandatangani akta mengerti akan
isi dari akta tersebut sehingga akta Notaris benar-benar membuat kehendak atau
sesuai dengan kehendak mereka yang menandatangani.
Apabila akta Notaris dibuat dalam suatu bahasa yang tidak dipahami salah
satu penghadap, adalah merupakan kewajiban Notaris untuk menerjemahkan akta
itu dengan menyediakan seorang penerjemah ke dalam bahasa yang dipahami oleh
penghadap tersebut.
Setelah dilakukan pembacaan akta dan ternyata terdapat salah satu pihak
yang tidak menyetujui isi dari akta, maka terlebih dahulu isi akta diganti atau
disempurnakan seperlunya dengan tujuan agar isi akta yang dimuat sesuai dengan
kehendak para pihak yang menghadap dihadapan Notaris tersebut.
Kewajiban Notaris pada umumnya adalah memberikan pelayanan kepada
masyarakat yang memerlukan jasanya dengan dijiwai oleh Pancasila, sadar dan
taat kepada hukum dan peraturan perundang-undangan serta Undang-Undang
Jabatan Notaris, kode etik Notaris, sumpah jabatan dengan bekerja secara jujur,
mandiri, tidak berpihak dan penuh rasa tanggung jawab.
Selain itu oleh Undang-undang, Notaris ditugaskan untuk melaksanakan
pendaftaran surat-surat dibawah tangan. Tugas pembuatan daftar surat-surat di
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
44
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
bawah tangan dan pengesahan surat-surat di bawah tangan adalah berdasarkan
Pasal 1874 KUHPerdata57
dan Pasal 1874 a KUHPerdata.58
c. Larangan Notaris
Larangan Notaris merupakan suatu tindakan yang dilarang dilakukan oleh
Notaris jika larangan ini dilanggar oleh Notaris, maka kepada Notaris yang
melanggar akan dikenakan sanksi sebagaimana tersebut dalam Pasal 85 UUJN.
Dalam Pasal 17 UUJN, Notaris dilarang:
a. Menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;
b. Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dan 7 (tujuh) hari kerja berturut-
turut tanpa alasan yang sah;
c. Merangkap sebagai pegawai negeri;
d. Merangkap jabatan sebagai pejabat negara;
e. Merangkap jabatan sebagai advokat;
f. Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan Usaha milik
negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta;
g. Merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di luar wilayah
jabatan Notaris;
h. Menjadi Notaris Pengganti; atau
i. Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama,
kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan
martabat jabatan Notaris.
57Bunyi Pasal 1874 KUHPerdata menyebutkan sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan
dianggap akta-akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat
urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pegawai umum.
Dengan penandatanganan sepucuk tulisan di bawah tangan dipersamakan suatu cap jempol,
dibubuhi dengan suatu pernyataan yang bertanggal dari seorang Notaris atau seorang pegawai lain
yang ditunjuk oleh Undang-undang dari mana ternyata bahwa ia mengenal si pembubuh cap,
jempol, atau bahwa orang ini telah diperkenalkan kepadanya, bahwa isinya akta telah dijelaskan kepada orang itu, dan bahwa setelah itu cap jempol tersebut dibubuhkan dihadapan pegawai tadi.
Pegawai ini harus membuktikan tulisan tersebut. Dengan Undang-undang dapat diadakan aturan-
aturan lebih lanjut tentang pernyataan dan pembukuan termaksud. 58Pasal 1874 a KUHPerdata menyebutkan jika pihak-pihak yang berkepentingan
menghendaki, dapat juga, diluar hal yang dimaksud dalam ayat kedua pasal yang lalu, pada
tulisan-tulisan di bawah tangan yang ditandatangani diberi suatu pernyataan dari seorang Notaris
atau seorang pegawai lain yang ditunjuk oleh Undang-undang, dari mana ternyata bahwa ia
mengenal si penandatangan atau bahwa orang ini telah diperkenalkan kepadanya, bahwa isi akta
telah dijelaskan kepada si penandatangan, dan bahwa setelah itu penandatanganan telah dilakukan
dihadapan pegawai tersebut.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
45
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
Dalam Kode Etik Notaris, dicantumkan larangan-larangan yang tidak
boleh dilakukan oleh anggota Notaris, sebagai berikut :59
1) Mempunyai lebih dari 1 (satu) kantor, baik kantor cabang ataupun kantor
perwakilan.
2) Memasang papan nama dan/atau tulisan yang berbunyi “Notaris/Kantor
Notaris” diluar lingkungan kantor.
3) Melakukan publikasi atau promosi diri, baik sendiri maupun secara
bersama-sama, dengan mencantumkan nama dan jabatannya,
menggunakan sarana media cetak dan/atau elektronik, dalam bentuk :
a) Iklan;
b) Ucapan selamat;
c) Ucapan belasungkawa;
d) Ucapan terima kasih;
e) Kegiatan pemasaran;
f) Kegiatan sponsor, baik dalam bidang sosial, keagamaan, maupun olah
raga.
4) Bekerja sama dengan Biro jasa/orang/Badan Hukum yang pada
hakekatnya bertindak sebagai perantara untuk mencari atau mendapatkan
klien.
5) Menandatangani akta yang proses pembuatan minutanya telah
dipersiapkan oleh pihak lain.
6) Mengirimkan minuta kepada klien untuk ditandatangani.
7) Berusaha atau berupaya dengan jalan apapun, agar seseorang berpindah
dari Notaris lain kepadanya, baik upaya itu ditujukan langsung kepada
klien yang bersangkutan maupun melalui perantara orang lain.
8) Melakukan pemaksaan kepada klien dengan cara menahan dokumen-
dokumen yang telah diserahkan dan/atau melakukan tekanan psikologis
dengan maksud agar klien tesebut tetap membuat akta padanya.
9) Melakukan usaha-usaha baik langsung maupun tidak langsung dan
menjurus kearah timbulnya persaingan yang tidak sehat sesama rekan
Notaris.
59Keputusan Kongres Luar Biasa Ikatan Notaris Indonesia (INI).
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
46
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
10) Menetapkan honorarium yang harus dibayar oleh klien dalam jumlah yang
lebih rendah dari honorarium yang telah ditetapkan Perkumpulan.
11) Mempekerjakan dengan sengaja orang yang masih berstatus karyawan
kantor Notaris lain tanpa persetujuan terlebih dahulu dari Notaris yang
bersangkutan.
12) Menjelekkan dan/atau mempersalahkan rekan Notaris atau akta yang
dibuat olehnya. Dalam hal seorang Notaris menghadapi dan/atau
menemukan suatu akta yang dibuat rekan sejawat yang ternyata di
dalamnya terdapat kesalahan-kesalahan yang serius dan/atau
membahayakan klien, maka Notaris tersebut wajib memberitahukan
kepada rekan sejawat yang bersangkutan atas kesalahan yang dibuatnya
dengan cara yang tidak bersifat menggurui, melainkan untuk mencegah
timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan terhadap klien yang bersangkutan
ataupun rekan sejawat tersebut.
13) Membentuk kelompok sesama rekan sejawat yang bersifat eksklusif
dengan tujuan untuk melayani kepentingan suatu instansi atau lembaga,
apalagi menutup kemungkinan bagi Notaris lain untuk berpartisipasi.
14) Menggunakan dan mencantumkan gelar yang tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
15) Melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum disebut sebagai
pelanggaran terhadap Kode Etik Notaris, antara lain namun tidak terbatas
pada pelanggaran-pelanggaran terhadap:
a) Ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 2004
tentang Jabatan Notaris;
b) Penjelasan Pasal 19 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris;
c) Isi sumpah jabatan Notaris;
d) Hal-hal yang menurut ketentuan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah
Tangga dan/atau Keputusan-keputusan lain yang telah ditetapkan oleh
organisasi Ikatan Notaris Indonesia tidak boleh dilakukan oleh
anggota.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
47
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
Hal-hal yang tersebut dibawah ini merupakan pengecualian oleh karena itu
tidak termasuk pelanggaran, yaitu :
1) Memberikan ucapan selamat, ucapan berduka cita dengan
mempergunakan kartu ucapan, surat, karangan bunga ataupun
media lainnya dengan tidak mencantumkan Notaris, tetapi hanya
nama saja.
2) Pemuatan nama dan alamat Notaris dalam buku panduan nomor
telepon, fax dan telex, yang diterbitkan secara resmi oleh PT.
Telkom dan/atau instansi-instansi dan/atau lembaga-lembaga resmi
lainnya.
3) Memasang 1 (satu) tanda petunjuk jalan dengan ukuran tidak
melebihi 20 cm x 50 cm, dasar berwarna putih, huruf berwarna
hitam, tanpa mencantumkan nama Notaris serta dipasang dalam
radius maksimum 100 meter dari kantor Notaris.
2.1.5. MAJELIS PENGAWAS NOTARIS
Berdasarkan Pasal 1 angka 6 UUJN Majelis Pengawas adalah suatu badan
yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan
pengawasan terhadap Notaris. Pada dasarnya pengawasan atas Notaris dilakukan
oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, dalam
melaksanakan pengawasan tersebut Menteri membentuk Majelis Pengawas
Notaris (MPN).
Pengawasan Notaris meliputi perilaku Notaris dan pelaksanaan jabatan
Notaris.60
Tugas MPN selain diatur dalam UUJN juga diatur dalam Keputusan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.39-
PW.07.10 Tahun 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Majelis Pengawas
Notaris.
MPN sebagaimana diatur dalam UUJN terdiri atas:
1. Majelis Pengawas Daerah (MPD)
MPD dibentuk dan berkedudukan di kabupaten atau kota.
60Indonesia, Undang-undang Jabatan Notaris, UU No. 30 tahun 2004. TLN. No. 4432,
pasal 67.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
48
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
Dalam Pasal 66 UUJN diatur mengenai wewenang MPD yang
berkaitan dengan :
(1) Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum,
atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah
berwenang:
a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang
dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam
penyimpanan Notaris; dan
b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang
berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris
yang berada dalam penyimpanan Notaris.
(2) Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita
acara penyerahan.
Ketentuan Pasal 66 UUJN ini mutlak kewenangan MPD yang tidak
dimiliki oleh MPW maupun MPP. Subtansi Pasal 66 ini dilakukan
oleh penyidik, penuntut umum, atau hakim, dengan batasan
sepanjang berkaitan dengan tugas jabatan Notaris dan sesuai
dengan kewenangan Notaris sebagaimana ditentukan dalam Pasal
15 UUJN.
Ketentuan tersebut hanya berlaku dalam perkara pidana, Karena
Pasal 66 UUJN berkaitan dengan tugas penyidik dan penuntut
umum dalam ruang lingkup perkara pidana.
Tugas MPD melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 70 dan Pasal 71 UUJN dan Pasal 13 ayat (2), Pasal 14,
Pasal 15, Pasal 16 dan Pasal 17 Peraturan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun
2004 tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian
Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Tata Cara
Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris.61
61
Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.39-
PW.07.10 Tahun 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Majelis Pengawas Notaris.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
49
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
2. Majelis Pengawas Wilayah (MPW)
MPW dibentuk dan berkedudukan di Ibukota Provinsi.
Dalam Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Nomor : M.39-PW.07.10 Tahun 2004 tentang
Pedoman Pelaksanaan Tugas Majelis Pengawas Notaris ditentukan
bahwa MPW melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 73 dan Pasal 75 UUJN dan Pasal 26 Peraturan Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor
M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan
Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja
dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris.
3. Majelis Pengawas Pusat (MPP)
MPP dibentuk dan berkedudukan di Ibukota Negara.
Tugas dan wewenang MPP tercantum dalam pasal 77 UUJN dan
dalam Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Nomor : M.39-PW.07.10 Tahun 2004 tentang
Pedoman Pelaksanaan Tugas Majelis Pengawas Notaris adalah :
1) Memberikan izin cuti lebih dari 1 (satu) tahun dan mencatat
izin cuti dalam sertifikat cuti.
2) Mengusulkan kepada Menteri pemberian sanksi pemberhentian
sementara.
3) Mengusulkan kepada Menteri pemberian sanksi pemberhentian
dengan hormat.
4) Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil
putusan dalam tingkat banding terhadap penjatuhan sanksi,
kecuali berupa teguran lisan atau tertulis.
5) Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil
putusan dalam tingkat banding terhadap penolakan cuti dan
putusan tersebut bersifat final.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
50
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
2.1.6. SANKSI PIDANA DALAM PJN Vs UUJN
Pengaturan Jabatan Notaris di Indonesia di atur dalam Peraturan Jabatan
Notaris (PJN) Reglement Op Het Notaris ambt in Indonesie (Stb. 1860:3)
sebagaimana telah diubah terakhir dalam lembaran Negara tahun 1954 Nomor
101; Ordonantie 16 Sepetember 1931 tentang Honorarium Notaris; Undang-
undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris
Sementara Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 700); Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4379); dan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun
1949 Tentang Sumpah/Janji Jabatan Notaris.62
Pasal-pasal yang terdapat dalam PJN adalah menyalin dari pasal-pasal
Notarisewet yang berlaku di Belanda. Jika diperhatikan isi pasal dalam PJN
tersebut terdiri dari 66 pasal, dari 39 pasal mengandung ketentuan hukuman,
disamping banyak sanksi-sanksi untuk membayar penggantian biaya ganti rugi
dan bunga. Ke-39 pasal tersebut terdiri dari 3 pasal mengenai hal-hal yang
menyebabkan hilangnya jabatan, 5 pasal tentang pemecatan, 9 pasal tentang
pemecatan sementara dan 22 pasal mengenai pidana denda serta 7 pasal tentang
penggantian biaya, ganti rugi dan bunga.63
Pada hakekatnya seluruh pasal dalam PJN mengandung ancaman
hukuman, dengan adanya ketentuan dalam pasal 50 PJN yang menyatakan bahwa
Pengadilan Negeri dapat mengambil tindakan, apabila Notaris mengabaikan
keluhuran martabat atau jabatannya, melakukan kesalahan-kesalahan lain, baik
didalam maupun diluar menjalankan jabatannya sebagai Notaris.64
Dalam PJN yang dianggap sebagai tindakan dissiplinair adalah teguran,
usul untuk memecat atau memberhentikan, dan pemberhentian yang dimaksud
dalam pasal 50 dan 51 PJN.
62
“Implementasi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang JabatanNotaris”
http://herman-notary.blogspot.com/2012/06/implementasi-undang-undang-no-30-tahun.html,
diunduh 24 Juni 2012. 63G.H.S. Lumban Tobing, op.cit, hal.312. 64Ibid,. hal. 313.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
51
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
Sedangkan yang merupakan hukuman dalam arti teknis dari KUHP adalah
semua pasal mengenai pidana denda dan pidana tambahan yaitu pencabutan
(pemecatan) beberapa hak tertentu (onzetting van bepaalde rechten) yaitu yang
dimaksud dalam pasal 6, 39, 40 dan pasal 48 PJN. Semua denda, baik yang
terdapat dalam peraturan terdahulu yaitu Notariswet, maupun didalam PJN (yang
merupakan kopi dari Notariswet) adalah pidana denda yang dikenakan oleh hakim
berdasarkan peraturan yang berlaku.65
Notaris yang masih berada di Indonesia sampai dengan tahun 1954
merupakan Notaris yang berkewarganegaraan Belanda yang diangkat oleh
Gubernur Jenderal berdasarkan Pasal 3 PJN. Ketentuan pengangkatan Notaris
oleh Gubernur Jenderal oleh Undang-undang Nomor 33 Tahun 1954 telah
dicabut, yaitu tersebut dalam Pasal 2 ayat 3, dan juga menjabut Pasal 62, 62a, dan
63 PJN.
Pada tanggal 14 September 2004 Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui
RUU tentang Jabatan Notaris menjadi Undang-undang yang merupakan
penyempurnaan undang-undang peninggalan jaman kolonial dan unifikasi
sebagian besar Undang-undang yang mengatur mengenai kenotariatan yang sudah
tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat.
Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN)
telah diundangkan dan diberlakukan pada tanggal 6 Oktober 2004. Undang-
undang ini menggantikan PJN yang lama yang diatur dalam Staatsblaad 1860
Nomor 3 yang merupakan Undang-Undang Jabatan Notaris produk Kolonial
Hindia Belanda.
Lahirnya UUJN sesuai dengan yang diamanatkan dalam Undang-Undang
Nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun
2000-2004 yang menekankan perlunya dilakukan penyempurnaan terhadap
peraturan perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang sudah
tidak sesuai lagi.
Adapun berbagai ketentuan dalam peraturan perundang-undangan sebelum
adanya UUJN tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan
kebutuhan hukum masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, perlu diadakan
65Ibid,. hal. 315-316.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
52
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
pembaruan dan pengaturan kembali secara menyeluruh dalam satu undang-
undang yang mengatur tentang jabatan Notaris sehingga dapat tercipta suatu
unifikasi hukum yang berlaku untuk semua penduduk di seluruh wilayah Negara
Republik Indonesia. Dalam rangka mewujudkan unifikasi hukum di bidang
kenotariatan tersebut, dibentuk UUJN.
Pasal 91 UUJN telah mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi :
1. Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb 1860:3) (PJN)
sebagaimana telah diubah terakhir dalam Lembaran Negara Tahun 1945
Nomor 101;
2. Ordonantie 16 September 1931 tentang Honorarium Notaris;
3. Undang – Undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan
Wakil Notaris Sementara (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 700);
4. Pasal 54 Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379); dan
5. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 tentang Sumpah/Janji
Jabatan Notaris,
UUJN terdiri dari 13 bab dan 92 pasal, namun tidak ada ketentuan
mengenai sanksi pidana. Dengan adanya UUJN tersebut telah terjadi
pembaharuan dan pengaturan kembali secara menyeluruh dalam satu undang-
undang sehingga dapat tercipta suatu unifikasi hukum yang berlaku untuk semua
penduduk di seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia.
Dalam UUJN ini diatur secara rinci tentang Jabatan Umum yang dijabat
oleh Notaris, sehingga diharapkan bahwa Akta Otentik yang dibuat oleh atau di
hadapan Notaris mampu menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan
hukum. Mengingat Akta Notaris sebagai Akta Otentik merupakan alat bukti
tertulis yang terkuat dan terpenuh, dalam Undang-Undang ini diatur tentang
bentuk dan sifat Akta Notaris, serta tentang Minuta Akta, Grosse Akta, dan
Salinan Akta, maupun Kutipan Akta Notaris. Sebagai alat bukti tertulis yang
terkuat dan terpenuh, apa yang dinyatakan dalam Akta Notaris harus diterima,
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
53
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
kecuali pihak yang berkepentingan dapat membuktikan hal yang sebaliknya secara
memuaskan di hadapan persidangan pengadilan. Fungsi Notaris di luar pembuatan
Akta otentik diatur untuk pertama kalinya secara komprehensif dalam UUJN. 66
Dengan demikian pengaturan mengenai sanksi pidana pada dasarnya ada
dalam peraturan jabatan Notaris terdahulu yaitu dalam PJN, namun dengan
berlakunya UUJN telah mencabut ketentuan dalam PJN, sehingga ketentuan
mengenai sanksi yang berlaku hanya sanksi yang terdapat dalam pasal 84 dan
pasal 85 UUJN yaitu sanksi perdata dan sanksi administrasi .
2.2. TINDAK PIDANA NOTARIS (TPN)
Tindak pidana sebagai fenomena sosial yang terjadi di muka bumi
mungkin tidak akan pernah berakhir sejalan dengan perkembangan dan dinamika
sosial yang terjadi dalam masyarakat, begitupula halnya dengan tindak pidana
Notaris (TPN). Masalah TPN ini nampaknya akan terus berkembang dan tidak
pernah surut baik dilihat dari segi kualitas maupun kuantitasnya, perkembangan
ini menimbulkan keresahan bagi masyarakat dan pemerintah.
Tindak pidana merupakan suatu bentuk perilaku menyimpang yang selalu
ada dan melekat pada setiap bentuk masyarakat, dalam arti bahwa tindak pidana
akan selalu ada seperti penyakit dan kematian yang selalu berulang seperti halnya
dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke tahun.
Berbicara tentang tindak pidana tidak akan terlepas dari masalah pokok
hukum pidana yang menjadi titik perhatiannya, masalah pokok dalam hukum
pidana tersebut meliputi masalah tindak pidana, kesalahan dan sanksi pidana serta
korban. Hukum pidana adalah keseluruhan aturan-aturan ketentuan hukum
mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat di hukum dan aturan pidananya.67
Yang menjadi masalah pokok dalam hukum pidana adalah :68
1. Perumusan perbuatan yang dilarang (kriminalisasi).
66Indonesia, Undang-undang Jabatan Notaris, UU No. 30 tahun 2004. TLN. No. 4432,
Bagian Penjelasan Umum. 67Martin Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta:
PT. Pradnya Paramita), hal. 5. 68Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, 1995), hal. 50.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
54
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
2. Pertanggung jawaban pidana (kesalahan).
3. Sanksi yang diancam, baik pidana maupun tindakan.
Tindak pidana atau disebut juga peristiwa pidana adalah terjemahan dari
istilah bahasa Belanda “Strafbaar feit”69
atau “tindak pidana”70
. Sedangkan
Moeljatno memakai istilah perbuatan pidana, yaitu bahwa perbuatan yang
dilarang oleh suatu aturan hukum yang disertai ancaman sanksi berupa pidana
tertentu bagi barangsiapa yang melanggar aturan tersebut. Hal ini menunjukkan
kepada 2 (dua) keadaan konkrit yaitu pertama adanya kejadian tertentu, kedua
adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian itu.71
Perkataan “feit” itu sendiri dalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari
suatu kenyataan” atau “een gedeelte van de werkelijkheid”, sedangkan “strafbaar”
berarti dapat dihukum, sehingga secara harfiah perkatan “strafbaar feit” itu dapat
diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”,
sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang
dapat dihukum adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan
ataupun tindakan.72
Istilah (term) “strafbaar feit” telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia
sebagai:
1. Perbuatan yang dapat/boleh dihukum
2. Peristiwa pidana
3. Perbuatan pidana
4. Tindak pidana
5. Delik
Beberapa pakar hukum pidana telah membahas beberapa istilah yang telah
digunakan untuk terjemahan strafbaar feit, Moeljatno dan Roeslan Saleh memilih
istilah “perbuatan pidana” dengan alasan dan pertimbangan bahwa perkataan
69Simons sebagaimana dikutip oleh Moeljatno menerangkan bahwa strafbaar feit adalah
kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang
berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.
sedangkan Van Hamel merumuskan strafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging)
yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (straf waardig)
dan dilakuklan dengan kesalahan. Moeljatno, op.cit., hal 56. 70Istilah Tindak Pidana sering dipakai oleh pihak Kementrian Kehakiman dalam peraturan
perundang-undangan. Ibid., hal 55. 71Ibid., hal.54. 72P.A.F. Lamintang, op.cit., hal 181.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
55
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
perbuatan sudah lazim dipergunakan dalam percakapan sehari-hari. Perkataan
perbuatan berarti dibuat oleh seseorang dan menunjuk baik pada yang melakukan
maupun pada akibatnya. Perkataan peristiwa tidak menunjukkan bahwa yang
menimbulkannya adalah “handeling” atau “gedraging” seseorang, mungkin juga
hewan atau alam.
Mengingat pentingnya pemidanaan sebagai sarana untuk mencapai tujuan
yang lebih besar yaitu perlindungan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat
maka perlu diperhatikan juga teori-teori penjatuhan pidana dalam ilmu
pengetahuan yakni :73
1. Teori Absolute atau Teori Pembalasan.
Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah
melakukan suatu tindak pidana, oleh karenanya pidana merupakan akibat
mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang
melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenar pidana terletak pada adanya
atau terjadinya kejahatan itu sendiri.
2. Teori Relative atau Teori Tujuan.
Menurut teori ini memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolute
dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya
sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Pidana
bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada
orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai
tujuan-tujuan yang bermanfaat, oleh karena itu teori ini sering juga disebut
teori tujuan.
3. Teori Gabungan
Menggabungkan antara teori pembalasan dan teori tujuan. Berdasarkan
teori gabungan maka pidana ditujukan untuk :
a. Pembalasan, membuat pelaku menderita;
b. Upaya prevensi, mencegah terjadinya tindak pidana;
c. Merehabilitasi pelaku;
d. Melindungi masyarakat.
73E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan
Penerapananya, (Jakarta: Storia Geafika, 2002), hal. 59-62.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
56
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
Dari penjabaran mengenai pengertian tindak pidana tersebut diatas maka
penulis mencoba merumuskan pengertian TPN yakni TPN adalah tindakan yang
hanya bisa dilakukan oleh seorang Notaris (termasuk juga Notaris Pengganti,
Notaris Pengganti Khusus, Pejabat Sementara Notaris) dalam menjalankan
jabatannya terhadap segala sesuatu yang menjadi kewenangannya sehingga
menyebabkan adanya pihak yang dirugikan.
Definisi yang penulis rumuskan tersebut dapat terlihat bahwa terdapat
unsur-unsur kekhususan dari TPN yaitu sebagai berikut :
1. Tindakan yang hanya bisa dilakukan oleh seorang Notaris;
2. Dalam menjalankan jabatannya;
3. Yang menjadi kewenangannya;
4. Ada pihak yang dirugikan.
Sehingga penulis mengartikan bahwa untuk menentukan TPN harus telah
memenuhi semua unsur tersebut, ataupun unsur 1, 2 dan 4, sedangkan unsur 3
dapat dijadikan kunci pembeda mengenai berat atau ringannya hukuman
pidananya. Namun apabila unsur 4 saja yang terpenuhi maka pelaku hanya dapat
dikenai sanksi dalam KUHP saja, sedangkan apabila unsur 1 sampai 3 saja yang
terpenuhi maka hanya dapat diterapkan sanksi administrasi dan perdata dalam
UUJN ataupun Kode Etik.
2.2.1. KEBIJAKAN HUKUM PIDANA
Hukum pidana sebagai alat atau sarana bagi penyelesaian terhadap
problematika ini diharapkan mampu memberikan solusi yang tepat. Oleh karena
itu, pembangunan hukum dan hukum pidana pada khususnya, perlu lebih
ditingkatkan dan diupayakan secara terarah dan terpadu, antara lain kodifikasi dan
unifikasi bidang-bidang hukum tertentu serta penyusunan perundang-undangan
baru yang sangat dibutuhkan guna menjawab semua tantangan dari semakin
meningkatnya kejahatan dan perkembangan tindak pidana.
Kebijakan hukum pidana sebagai suatu bagian dari upaya untuk
menanggulangi kejahatan dalam rangka mensejahterakan masyarakat. Kebijakan
hukum pidana tidak semata-mata pekerjaan teknik perundang-undangan yang
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
57
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
dapat dilakukan secara yuridis normatif dan sistematis dogmatik, tetapi juga
memerlukan pendekatan yuridis faktual berupa pendekatan sosiologis, historis dan
komparatif, bahkan memerlukan pula pendekatan komprehensif dari berbagai
disiplin ilmu sosial lainnya.
Kebijakan hukum pidana bukanlah semata-mata pekerjaan teknik
perundangan-undangan yang dapat dilakukan secara yuridis normatif dan
sistematik dogmatik, akan tetapi kebijakan hukum pidana juga memerlukan
pendekatan yuridis faktual yang dapat berupa pendekatan sosiologis, historis dan
komparatif serta pendekatan komprehensif dari berbagai disiplin lainnya dan
pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada
umumnya.74
Dengan demikian, kebijakan pidana termasuk salah satu bidang
kriminologi.
Istilah kebijakan diambil dari istilah policy (Inggris) atau politiek
(Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah kebijakan hukum
pidana dapat disebut dengan istilah politik hukum pidana. Dalam kepustakaan
asing istilah politik hukum pidana sering dikenal dengan berbagai istilah, antara
lain penal policy, criminal law policy atau strafrechtspolitiek.75
Menurut Sudarto menyatakan bahwa melaksanakan politik hukum pidana
berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana
yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.76
Dalam
kesempatan lain beliau juga menyatakan, bahwa melaksanakan politik hukum
pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan yang sesuai
dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan
datang.77
Menurut Marc Ancel, Penal Policy merupakan suatu ilmu sekaligus seni
yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara
lebih baik. Peraturan hukum positif disini yaitu peraturan perundang-undangan
74Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: Alumni,
1992), hal. 22. (selanjutnya disebut Buku I) 75Ibid, hal. 24. 76Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), hal. 161. (selanjutnya
disebut Buku I) 77Ibid, hal. 93.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
58
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
hukum pidana. Oleh karena itu, istilah penal policy menurut March Ancel adalah
sama dengan istilah kebijakan atau politik hukum pidana.
Kebijakan hukum pidana tidak terlepas dari politik hukum pidana itu
sendiri. Menurut Sudarto kebijakan hukum pidana atau politik hukum adalah :
a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan
keadaan dan situasi pada suatu saat.78
b. Kebijakan negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan
peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa
dipergunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam
masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.79
Selanjutnya Sudarto menyatakan bahwa melaksanakan politik hukum
pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan
pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan dayaguna,
karena melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan
perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu
waktu dan untuk masa yang akan datang.80
Oleh karena itu politik hukum pidana
mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu
perundang-undangan pidana yang baik.
Menurut Marc Ancel yang menyatakan bahwa tiap masyarakat yang
terorganisir memiliki sistem hukum pidana yang terdiri dari :81
a. Peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya.
b. Suatu prosedur hukum pidana.
c. Suatu mekanisme pelaksanaan (pidana).
Dengan demikian usaha untuk membuat peraturan hukum pidana yang
baik pada hakikatnya tidak dapat terlepas dari tujuan penanggulangan kejahatan,
jadi kebijakan atau politik hukum juga merupakan bagian dari politik kriminal,
maka politik hukum pidana identik dengan pengertian kebijakan penanggulangan
kejahatan dengan hukum pidana dan usaha penanggulangan kejahatan dengan
78Ibid, hal. 159. 79
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, (Bandung: Sinar Baru,
1983),hal.20. (selanjutnya disebut Buku II) 80Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 1996), hal. 28. (selanjutnya disebut Buku I) 81Ibid.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
59
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
hukum pidana merupakan bagian dari usaha kebijakan penegakan hukum (law
enforcement policy).
Menurut Muladi penegakan kebijakan hukum pidana merupakan bagian
integral dari kebijakan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Penegakan
hukum pidana pada hakikatnya merupakan penegakan kebijakan melalui beberapa
tahap : 82
a. Tahap informasi, yaitu tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan
pembuat undang-undang, tahap ini disebut dengan tahap kebijakan
legislatif.
b. Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat penegak
hukum mulai dari kepolisian sampai pengadilan, tahap ini disebut dengan
tahap kebijakan yudikatif.
c. Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkrit oleh
aparat-aparat pelaksana pidana, tahap ini disebut tahap kebijakan eksekutif
atau administratif.
Usaha penanggulangan kejahatan melalui pembuatan undang-undang
hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian usaha perlindungan masyarakat
(social protection). Kebijakan ini termasuk salah satu yang menjadi perhatian
kriminologi, terutama kejahatan penyalahgunaan wewenang, penipuan,
pemaksaan, pemalsuan, dan ini salah satu bentuk realita yang terjadi ditengah-
tengah masyarakat.
Pengaktualisasian kebijakan hukum pidana merupakan salah satu faktor
penunjang bagi penegakan hukum pidana, khususnya penanggulangan tindak
kejahatan. Kebijakan hukum pidana sebagai suatu bagian dari upaya untuk
menanggulangi kejahatan dalam rangka mensejahterakan masyarakat, maka
tindakan untuk mengatur masyarakat dengan sarana hukum pidana terkait erat
dengan berbagai bentuk kebijakan dalam suatu proses kebijakan sosial yang
mengacu pada tujuan yang lebih luas. Sebagai salah satu alternatif
penanggulangan kejahatan, maka kebijakan hukum pidana adalah bagian dari
kebijakan kriminal (criminal policy).
82Muladi dan Barda Nawawi Arief, Buku I op.cit, hal. 8-13.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
60
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
Sudarto mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal, yaitu :83
1. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar
dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana.
2. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum,
termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi.
3. Dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen), ialah
keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan
badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma
sentral dari masyarakat.
Dalam ketentuan hukum pidana kita, dikenal beberapa bentuk tindak
pidana pemalsuan, antara lain sumpah palsu, pemalsuan uang, pemalsuan merek
dan materai, dan pemalsuan surat. Dalam perkembangannya, dari berbagai macam
tindak pidana pemalsuan tersebut, jika kita melihat objek yang dipalsukan yaitu
berupa surat, maka tentu saja hal ini mempunyai dimensi yang sangat luas. Surat
sebagai akta otentik tidak pernah lepas dan selalu berhubungan dengan aktivitas
masyarakat sehari-hari.
Dengan demikian, dalam upaya penanggulangan dan pencegahan
kejahatan tidak cukup hanya dengan pendekatan secara integral, tetapi pendekatan
sarana penal dan non penal harus didukung juga dengan meningkatnya kesadaran
hukum masyarakat. Kesadaran hukum masyarakat merupakan salah satu bagian
dari budaya hukum. Padahal budaya hukum juga mencakup kesadaran hukum dari
pihak pelaku usaha, parlemen, pemerintah dan aparat penegak hukum salah
satunya yaitu Notaris. Mengingat keberadaan UUJN yang tidak memiliki sanksi
pidana, maka pelaksanaa UUJN hanya mendasarkan pada kesadaran etika moral
belaka.
Hal ini perlu ditegaskan karena pihak yang paling tabu hukum dan wajib
menegakkannya, justru oknumlah yang melanggar hukum. Ini menunjukkan
kesadaran hukum yang masih rendah dari pihak yang seharusnya menjadi
tauladan bagi masyarakat dalam mematuhi dan menegakkan hukum.
83“Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana”
http://bardanawawi.blogspot.com/2007/10/bung-rampai-kebijakan-hukum-pidana.html ,diunduh
25 Mei 2012.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
61
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
Usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi
kejahatan (politik kriminal) tidak hanya dengan menggunakan sarana hukum
pidana (penal), tetapi dapat juga dengan menggunakan sarana-sarana non-penal.
Selanjutnya menurut Muladi upaya penanggulangan kejahatan
dilingkungan profesional dapat dilakukan secara penal dan non-penal. 84
2.2.1.1. KEBIJAKAN PENAL (SANKSI PIDANA)
Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana
merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri, ada pula
yang menyebutnya sebagai “older philosophy of crime”.85
Penggunaan upaya penal (sanksi pidana) dalam mengatur masyarakat
(lewat perundang-undangan) pada hakikatnya merupakan bagian dari suatu
langkah kebijakan (policy). Mengingat berbagai keterbatasan dan kelemahan
hukum pidana, maka penggunaan upaya penal seyogianya dilakukan dengan lebih
hati-hati, cermat, hemat, selektif dan limitatif.
Digunakannya hukum pidana di Indonesia sebagai sarana untuk
menanggulangi kejahatan nampaknya tidak menjadi persoalan. Hal ini terlihat dari
praktek perundang-undangan yang menunjukkan bahwa penggunaan hukum
pidana merupakan bagian dari kebijakan atau politik hukum yang dianut di
Indonesia, dimana penggunaan hukum pidana dianggap sebagai hal yang wajar
dan normal, seolah-olah eksistensinya tidak lagi dipersoalkan.86
Prof. Sudarto, SH mengemukakan bahwa apabila hukum pidana hendak
digunakan hendaknya dilihat dalam hubungan keseluruhan politik criminal atau
social defence planning. Politik kriminal ialah pengaturan atau penyusunan secara
rasional usaha-usaha pengendalian kejahatan oleh masyarakat. Adapun tujuan
akhir dari kebijakan kriminal adalah “perlindungan masyarakat” untuk mencapai
tujuan utama yang sering disebut dengan berbagai istilah misalnya kebahagiaan
84
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Buku I, op.cit., hal. 72. 85Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan kebijakan Hukum Pidana, (Bandung:
Alumni, 1992), hal. 149. (selanjutnya disebut Buku II). 86Ibid.,hal. 156.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
62
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
warga masyarakat (happiness of the citizens), kehidupan kultural yang sehat dan
menyegarkan (a wholesome and cultural living), kesejahteraan masyarakat (social
welfare), atau untuk mencapai keseimbangan (equality). 87
Maka dilihat dari sudut politik kriminal, politik hukum pidana identik
dengan pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana.
Penggunaan sanksi pidana dalam penanggulangan kejahatan bersifat kurieren am
symptom dan bukan sebagai faktor yang menghilangkan sebab-sebab terjadinya
kejahatan. Adanya sanksi pidana hanyalah berusaha mengatasi gejala atau akibat
dari penyakit.
Herbert L. Packer menyatakan bahwa penggunaan sanksi pidana secara
sembarangan/tidak pandang bulu/menyamaratakan (indiscriminately) yang
digunakan secara paksa (coercively) akan menyebabkan sarana pidana itu menjadi
suatu pengancam yang utama (prime threatener).88
Ada dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan
sarana penal (sanksi pidana) ialah masalah penemuan :89
1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana
2. Sanksi apa yang sebaliknya digunakan atau dikenakan kepada si
pelanggar.
Sanksi pidana terhadap Notaris harus dilihat dalam rangka menjalankan
tugas jabatan Notaris, artinya dalam pembuatan atau prosedur pembuatan akta
harus berdasarkan kepada aturan hukum yang mengatur hal tersebut, dalam hal ini
UUJN. Sanksi pidana terhadap Notaris tunduk terhadap ketentuan pidana umum,
yaitu KUHP. Oleh karena UUJN tidak mengatur mengenai sanksi pidana.
Dengan adanya lebih dari satu jenis sanksi yang dapat dijatuhkan
terhadap Notaris, berkaitan dengan kumulasi sanksi terhadap Notaris. Dalam
kaidah peraturan perundang-undangan di bidang hukum administrasi, sering tidak
hanya memuat satu macam sanksi, tetapi terdapat beberapa sanksi yang
diberlakukan secara kumulasi, adakalanya suatu ketentuan peraturan perundang-
87Ibid.,hal. 157-158. 88Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 76. (selanjutnya disebut Buku II) 89Ibid, hal. 29
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
63
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
undangan tidah hanya mengancam pelanggarnya dengan sanksi pidana, tapi pada
saat yang sama mengancamnya dengan sanksi administrasi.90
Pemberian sanksi pidana terhadap Notaris dapat dilakukan dengan
batasan, yaitu jika :
1. Ada tindakan hukum dari Notaris terhadap aspek formal (kepastian hari,
tanggal, bulan, tahun dan pukul menghadap) akta yang sengaja, penuh
kesadaran dan keinsyafan serta direncanakan, bahwa akta yang dibuat di
hadapan Notaris atau oleh Notaris bersama-sama (sepakat) untuk dijadikan
dasar untuk melakukan suatu tindak pidana.
2. Ada tindakan hukum dari Notaris dalam membuat akta di hadapan atau
oleh Notaris yang jika diukur berdasarkan UUJN tidak sesuai dengan
UUJN.
3. Tindakan Notaris tersebut tidak sesuai menurut instansi yang berwenang
untuk menilai tindakan suatu Notaris, dalam hal ini MPN.
Upaya pencegahan terhadap kejahatan di lingkungan profesional, salah
satunya profesi Notaris, dapat dilakukan melalui upaya penal, yaitu dengan cara
Klausula penundukan pada undang-undang. Bahwa setiap undang-undang
mencantumkan dengan tegas sanksi pidana yang dapat diancamkan kepada
pelanggarnya. Dengan demikian menjadi pertimbangan bagi para profesional,
tidak ada jalan lain kecuali taat. Jika terjadi tindak pidana berarti yang
bersangkutan bersedia dikenai sanksi yang cukup memberatkan atau merepotkan
baginya. Ketegasan sanksi pidana ini lalu dicantumkan dalam rumusan undang-
undang profesi yang memberlakukan sanksi kepada setiap anggotanya. 91
Dengan demikian, penggunaan sarana penal (sanksi pidana) harus
memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil
dan makmur yang merata materil spiritual berdasarkan Pancasila, maka
(penggunaan) kebijakan penal bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan
mengadakan pengurangan terhadap tindakan penganggulangan itu sendiri, demi
kesejahteraan dan pengayoman masyarakat. Perbuatan yang diusahakan untuk
dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan “perbuatan
90Habib Adjie, Buku I, op.cit, hal. 119. 91Muhammad Abdul Kadir, Etika Profesi Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997),
hal. 86.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
64
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
yang tidak dikehendaki” yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil
dan spirituil) atas warga masyarakat.92
2.2.1.2. KEBIJAKAN NON-PENAL (SANKSI ADMINISTRATIF)
Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur non penal ini lebih bersifat
tindakan sanksi administratif kepada Notaris apabila ia telah melakukan
penyalahgunaan tugas dan wewenangnya sebagai aparat penegak hukum.
Secara garis besar, sanksi administratif dapat dibedakan menjadi 3 (tiga)
macam, yaitu :93
1. Sanksi Reparatif.
Sanksi ini ditujukan untuk perbaikan atas pelanggaran tata tertib hukum.
Dapat berupa penghentian perbuatan terlarang, kewajiban perubahan
sikap/tindakan sehingga tercapai keadaan semula yang ditentukan,
tindakan memperbaiki sesuatu yang berlawanan dengan aturan.
2. Sanksi Punitif.
Sanksi yang bersifat menghukum, merupakan beban tambahan, sanksi
hukuman tergolong dalam pembalasan, dan tindakan preventif yang
menimbulkan ketakutan kepada pelanggar yang sama atau mungkin untuk
pelanggar-pelanggar lainnya.
3. Sanksi Regresif.
Sanksi sebagai reaksi atas suatu ketidaktaatan, dicabutnya hak atas
sesuatu yang diputuskan menurut hukum, seolah-olah dikembalikan
kepada keadaan hukum yang sebenarnya sebelum keputusan diambil.
Penegakan hukum menurut Ten Berge menyebutkan bahwa instrumen
penegakan hukum meliputi pengawasan dan penegakan sanksi, pengawasan
merupakan langkah preventif untuk memaksakan kepatuhan, dan penerapan
sanksi merupakan langkah represif untuk memaksakan kepatuhan. Dalam
menegakkan sanksi administratif terhadap Notaris yang menjadi instrumen
pengawasan yaitu MPN yang mengambil langkah-langkah preventif, untuk
92Muladi dan Barda Nawawi Arief, Buku II, op. cit, hal. 161. 93Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2008), hal.
211. (selanjutnya disebut Buku II)
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
65
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
melaksanakan kepatuhan dan untuk memaksakan kepatuhan agar sanksi-sanksi
tersebut dapat dilaksanakan.94
Langkah-langkah preventif dilakukan dengan melakukan pemeriksaan
secara berkala 1 (satu) kali dalam satu tahun setiap waktu yang dianggap perlu
untuk memeriksa ketaatan Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya yang
dilihat dari pemeriksaan protokolnya oleh MPD.95
Kemudian MPD
menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode
Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris.96
MPD menerima
laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris
atau pelanggaran ketentuan dalam UUJN.97
Jika hasil pemeriksaan MPD
menemukan pelanggaran, maka MPD tidak dapat menjatuhkan sanksi yang
represif kepada Notaris melainkan hanya dapat melaporkan kepada MPW.98
MPW dapat melakukan langkah preventif dengan menyelenggarakan
sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas laporan masyarakat yang
disampaikan melalui MPW dan memanggil Notaris sebagai terlapor untuk
dilakukan pemeriksaan,99
MPW juga memeriksa dan memutus hasil pemeriksaan
MPD.
MPW dapat melakukan langkah represif, yaitu menjatuhkan sanksi berupa
teguran lisan atau tertulis dan sanksi ini bersifat final,100
dan mengusulkan
pemberian sanksi terhadap Notaris kepada MPP berupa pemberhentian sementara
3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan, atau pemberhentian dengan tidak
hormat.101
94 Ibid., hal.92. 95 Indonesia, Undang-undang Jabatan Notaris, UU No. 30 tahun 2004. LN No. 117
Tahun 2004, TLN. No. 4432, ps 70 huruf b dan ps 15 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004. 96 Indonesia, Undang-undang Jabatan Notaris, UU No. 30 tahun 2004. LN No. 117
Tahun 2004, TLN. No. 4432, ps 70 huruf a. 97 Indonesia, Undang-undang Jabatan Notaris, UU No. 30 tahun 2004. LN No. 117
Tahun 2004, TLN. No. 4432, ps 70 huruf g. 98 Indonesia, Undang-undang Jabatan Notaris, UU No. 30 tahun 2004. LN No. 117
Tahun 2004, TLN. No. 4432, ps 70 huruf h, pasal 71 huruf e. 99 Indonesia, Undang-undang Jabatan Notaris, UU No. 30 tahun 2004. LN No. 117
Tahun 2004, TLN. No. 4432, ps 73 huruf a dan b. 100 Indonesia, Undang-undang Jabatan Notaris, UU No. 30 tahun 2004. LN No. 117
Tahun 2004, TLN. No. 4432, ps 73 ayat (1) huruf e, ayat (2). 101 Indonesia, Undang-undang Jabatan Notaris, UU No. 30 tahun 2004. LN No. 117
Tahun 2004, TLN. No. 4432, ps 73 ayat (1) huruf f.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
66
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
MPP tidak melakukan tindakan preventif, tapi menyelenggarakan sidang
untuk memeriksa dan mengambil keputusan dalam tingkat banding terhadap
penjatuhan sanksi dan penolakan cuti, tapi tindakan represif berupa penjatuhan
sanksi pemberhentian sementara, dan mengusulkan pemberian sanksi berupa
pemberhentian dengan tidak hormat kepada Menteri.
Sebelum menjatuhkan sanksi administratif berupa pemberhentian dengan
tidak hormat terhadap Notaris tersebut, ditempuh dulu penjatuhan sanksi berupa
teguran lisan atau tertulis, untuk kemudian mengusulkan pemberian sanksi
pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan dan
selanjutnya mengusulkan untuk pemberhentian dengan tidak hormat dari
jabatannya. Hal tersebut dapat dilakukan untuk memberikan kesempatan kepada
yang bersangkutan untuk membela diri dan memperbaiki diri.
Dalam Pasal 85 UUJN juga ditentukan ada 5 (lima) jenis sanksi
administratif, yaitu :
1. Teguran lisan.
2. Teguran tertulis.
3. Pemberhentian sementara.
4. Pemberhentian dengan hormat.
5. Pemberhentian tidak hormat.
Dengan adanya sanksi administratif ini Notaris tersebut tidak akan
melakukan perbuatan yang dapat merugikan dan merusak dirinya sendiri serta
jabatannya.
Dimana sanksi administratif ini bersifat reparatoir atau korektif, artinya
untuk memperbaiki suatu keadaan agar tidak dilakukan lagi oleh yang
bersangkutan ataupun oleh Notaris yang lain, dan regresif yang bersifat segala
sesuatunya dikembalikan kepada suatu keadaan ketika sebelum terjadinya
pelanggaran.102
Sasaran utama upaya penyalahgunaan pelanggaran lewat jalur non penal
yaitu menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-
faktor kondusif ini antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-
102Habib Adjie, (Buku II), op.cit., hal. 222.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
67
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
kondisi Notaris yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau
menumbuh suburkan kejahatan.
Jika dilihat dari sudut politik kriminal, maka upaya non penal menduduki
posisi kunci dan strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal. Akan tetapi
kegagalan dalam menggarap posisi strategis ini justru akan berakibat fatal bagi
usaha penanggulangan kejahatan. Oleh karena itu suatu kebijakan kriminal harus
dapat mengintegrasikan dan mengharmonisasikan seluruh kegiatan yang non
penal kedalam suatu sistem kegiatan Negara yang teratur dan terpadu.
Menurut G.Peter Hoefnagels upaya penanggulangan kejahatan yang
ditempuh dengan jalur non penal yaitu : 103
1. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment).
2. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan
pemidanaan lewat media massa (influencing views of society on
crime and punishment/mass media).
Dengan demikian upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur non penal
lebih menitikberatkan pada sifat preventif (pencegahan/penangkalan/
pengendalian) tanpa pidana sebelum kejahatan terjadi. Oleh karena itu kebijakan-
kebijakan mengenai pencegahan kejahatan dan peradilan pidana harus
mempertimbangkan sebab-sebab struktural, termasuk sebab-sebab ketidakadilan
yang bersifat sosio-ekonomi dimana kejahatan sering hanya merupakan gejala.
Disamping itu upaya-upaya non penal juga dapat ditempuh dengan cara
menyehatkan sistem peradilan Indonesia lewat kebijakan sosial dan dengan
menggali berbagai potensi yang ada didalam masyarakat itu sendiri, juga dapat
pula upaya non-penal itu digali dari berbagai sumber lainnya yang juga
mempunyai potensi efek-preventif dari aparat penegak hukum.
2.2.2. SANKSI PIDANA
Sanksi pidana merupakan sanksi yang diberikan oleh Negara terhadap
seseorang yang melanggar aturan hukum yang telah ditetapkan oleh Negara.
Kewenangan untuk memberikan sanksi pidana ada ditangan Negara melalui alat
103Barda Nawawi Arief, Buku I, op.cit, hal. 42.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
68
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
kekuasaannya. Dalam hal ini Negara merupakan satu-satunya pihak yang
mempunyai Ius Puniendi (hak untuk memberikan sanksi pidana). Hal ini
disebabkan karena Negara adalah organisasi sosial yang tertinggi. Sebagai
organisasi social tertinggi, Negara diberi tugas untuk mempertahankan tata tertib
dalam masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka Negara diberi
kekuasaan untuk melakukan beberapa tindakan, antara lain menjatuhkan hukuman
atas pelanggaran kaidah-kaidah yang dibuat untuk mempertahankan tata tertib
dalam masyarakat yang dijaga oleh Negara.104
Sanksi pidana diatur dalam Pasal 10 KUHP, dimana sanksi pidana terdiri
atas :
a. Pidana Pokok
1. Pidana Mati
2. Pidana Penjara
3. Pidana Kurungan
4. Denda
b. Pidana Tambahan
1. Pencabutan hak-hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim
Keberadaan sanksi pidana yang dianggap sebagai sanksi yang paling kuat,
kemudian membuat pembuat undang-undang untuk mencantumkan sanksi pidana
dalam beberapa peraturan perundang-undangan diluar KUHP. Mengingat
pentingnya keberadaan sanksi pidana dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku di masyarakat.
2.2.2.1. PIDANA POKOK
1. Pidana Mati.
Pidana mati adalah pidana yang terberat, karena ditujukan pada hak hidup
manusia. Pidana mati yang telah dilaksanakan tidak dapat direvisi apabila
ternyata telah terjadi kesalahan dalam penjatuhan pidana tersebut.
104Utrecht, E, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, (Surabaya: PustakaTinta Mas,
1994), hal. 150.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
69
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
Oleh sebab itu, bagi tindak pidana yang ancaman hukumannya berupa
pidana mati, selalu diancam juga pidana alternatifnya seperti penjara seumur
hidup atau penjara selama dua puluh tahun.
Dalam Pasal 11 KUHP, pidana mati dilaksanakan dengan cara
menggantung terpidana oleh seorang algojo. Namun dilingkungan peradilan
umum dan militer disebutkan bahwa pelaksanaan pidanan mati dilakukan
dengan ditembak mati.105
2. Pidana Penjara.
Pidana penjara merupakan hukuman perampasan kemerdekaan, dimana
seorang yang bersalah untuk sementara waktu dibatasi ruang geraknya.
Secara garis besar terdapat lima sistem penjara, yaitu :106
a. Sistem Pennsylvania, dimana narapidana menjalani hukumannya
secara terasing dalam sel dan hanya berhubngan dengan penjaga
sel saja.
b. Sistem Auburne, dimana pada malam hari terpidana ditutup
sendirian dalam sel sedangkan pada siang harinya bekerja berat
bersama-sama dengan terpidana lain, namun dilarang untuk saling
bicara.
c. Sistem Ireland, yang menghendaki bahwa para narapidana pada
tahap pertama ditutup dalam sel terus menerus, kemudian tahap
berikutnya diharuskan bekerja bersama-sama, dan kemudian
diberikan kelonggaran untuk bergaul antara sesama narapidana,
sampai pada akhirnya dapat dibebaskan dengan syarat tertentu jika
ia berkelakuan baik.
d. Sistem Elmira atau Sistem Borstal, dimana narapidana diberi
pengajaran, pendidikan, dan pekerjaan untuk memperbaiki dirinya
sehingga bisa diterima oleh masyarakat kembali.
105
Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I Stelsel Pidana, Tindak Pidana,
Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004), hal. 33. 106Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum Hukum
Pidana Kodifikasi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992), hal. 88-90.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
70
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
e. Sistem Osborne, yang memberikan Self Government kepada
terpidana dalam penjara dengan mengangkat pimpinan terpidana
yang diambil dari salah satu terpidana.
3. Pidana Kurungan.
Secara umum, pidana kurungan hampir sama dengan pidana penjara.
Namun berdasarkan Pasal 69 ayat (1) KUHP, dimana dinyatakan bahwa
mengenai berat ringannya pidana-pidana pokok yang tidak sejenis, ditentukan
oleh urutannya dalam Pasal 10 KUHP, maka diketahui bahwa pidana
kurungan memiliki ukuran lebih ringan dibandingkan pidana penjara.
Di Indonesia, pidana kurungan hanya dapat dijatuhkan minimum 1 (satu) hari
dan maksimum 1 (satu) tahun. Dalam hal terdapat dasar pemberat,
maksimum kurungan dapat menjadi 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan. Hal ini
sangat berbeda dengan pidana penjara yang batas maksimumnya mencapai
penjara seumur hidup atau selama 20 (dua puluh) tahun.
4. Pidana Denda.
Pidana denda adalah pidana yang tertuju pada harta benda orang. Uang
yang diperoleh dari pidana denda tersebut akan dimasukan dalam kas negara.
Dalam sistem KUHP yang sekarang berlaku, pidana denda dipandang sebagai
jenis pidana pokok yang ringan.
Hal ini dapat dilihat dari kedudukan urut-urutan pidana pokok didalam
pasal 10 KUHP, dan pada umumnya pidana denda dirumuskan sebagai
pidana alternatif dari pidana penjara atau kurungan. Sedikit sekali tindak
pidana yang diancam dengan pidana denda.107
Pidana denda sangat berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi. Seiring
dengan pertumbuhan ekonomi yang meningkat, maka nilai mata uang pun
semakin meningkat. Dengan demikian, pidana denda yang diberikan pun
harus disesuaikan dengan pertumbuhan ekonomi. Pidana denda yang terlalu
kecil akan mengakibatkan sanksi tersebut menjadi tidak efektif.
Dimungkinkan dalam beberapa hal, dapat terjadi bahwa pidana denda
yang dijatuhkan ternyata sama sekali tidak dapat dibayar atau hanya dapat
107
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Buku II, op. cit, hal. 177.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
71
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
dibayar sebagian. Dalam kasus seperti ini, maka dapat digantikan dengan
kurungan pengganti denda (kurungan subsidair).
Untuk itu, pada waktu pidana denda dijatuhkan, biasanya disertai dengan
lamanya kurungan yang harus dijalani sebagai pengganti jika pidana denda
tidak dapat dibayar. Adapun besarnya kurungan pengganti sekurang-
kurangnya satu hari dan selama-lamanya enam bukan.
Karena kedudukan sanksi pidana denda sebagai pidana pokok yang ringan
dalam sistem KUHP, maka inilah yang menyebabkan salah satu faktor
jarangnya pidana denda dijatuhkan oleh para hakim. Akan dirasakan kurang
efektif apabila terhadap tindak pidana berupa pencurian, penggelapan,
penipuan, penadahan hanya dijatuhkan pidana denda maksimum Rp.900,-.
Demikian juga pidana denda pada PJN, terdapat 22 pasal mengenai pidana
denda. Menurut Penulis mungkin karena pidana denda merupakan pidana
ringan, inilah yang menjadi salah satu faktor jarang nya pidana denda
dijatuhkan oleh Hakim terhadap Notaris pada saat itu, sehingga pengaturan
pidana denda saat ini tidak dirumuskan kembali dalam UUJN.
Untuk mengefektifkan pidana denda ini, maka dalam perkembangan diluar
KUHP adanya kebijakan legislatif untuk meningkatkan jumlah ancaman
pidana denda, misalnya dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pidana denda maksimum
Rp.1.000.000.000,- (satu milyar Rupiah), Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perbankan pidana denda maksimum Rp.200.000.000.000,- (dua
ratus milyar Rupiah), Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang
Pencucian Uang pidana denda maksimum Rp.100.000.000.000,- (seratus
milyar Rupiah) dan pada undang-undang lainnya.
Dengan adanya Kebijakan legislatif ini menurut penulis seharusnya dapat
diterapkan pula dalam UUJN yaitu dengan merumuskan kembali pidana
denda yang dulu sudah ada di PJN dengan meningkatkan jumlah ancaman
pidana denda dalam UUJN. Dalam menetapkan kebijakan legislatif tersebut
mengenai pelaksanaan pidana denda, perlu dipertimbangkan antara lain
mengenai :108
108Ibid., hal.181.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
72
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
a. Sistem penetapan jumlah atau besarnya pidana denda;
b. Batas waktu pelaksanaan pembayaran denda;
c. Tindakan-tindakan paksaan yang diharapkan dapat menjamin
terlaksananya pembayaran denda dalam hal terpidana tidak dapat
membayar dalam batas waktu yang telah ditetapkan;
d. Pelaksanaan pidana denda dalam hal-hal khusus;
e. Pedoman atau kriteria untuk menjatuhkan pidana denda.
Perlu dipertimbangkan agar kebijakan legislatif untuk menentukan
standar atau ukuran yang lebih pasti dan relatif tidak mudah terpengaruh
oleh perkembangan moneter dan ekonomi, misalnya standar emas atau
penghasilan orang rata-rata perhari.109
2.2.2.2. PIDANA TAMBAHAN
1. Pencabutan hak-hak tertentu.
Pencabutan hak-hak tertentu adalah pencabutan beberapa hak yang
dimiliki seseorang sebagai hukumam atas pelanggaran yang dilakukannya.
Dalam hal ini, tidak semua haknya dicabut, tetapi hanya hak-hak tertentu
saja.
Dalam Pasal 35 KUHP, hak-hak tertentu yang dapat dicabut meliputi :
a. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu.
b. Hak memasuki angkatan bersenjata.
c. Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan umum,
kekuasaan bapak, kekuasaan wali, wali pengawas, pengampu dan
pengampu pengawas, baik terhadap anak sendiri maupun anak orang
lain.
d. Hak untuk melakukan pekerjaan tertentu.
2. Perampasan barang-barang tertentu.
109Ibid., hal.183.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
73
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
Perampasan barang tertentu adalah tindakan untuk mencabut hak milik
atau suatu barang dari orang yang memilikinya dan barang itu jadi milik
Negara.110
Dalam Pasal 39 KUHP, barang-barang yang dapat dirampas terdiri dari
dua jenis, yaitu :
a. Barang-barang yang diperoleh dengan kejahatan
b. Barang-barang yang sengaja dipakai dalam melakukan kejahatan.
3. Pengumuman putusan hakim.
Pada prinsipnya, putusan hakim harus diumumkan secara terbuka.
Biasanya, pengumuman putusan hakim tersebut hanya diumumkan secara
terbuka dalam ruang sidang pengadilan.
Sebagai hukuman tambahan, putusan pengadilan tersebut tidak hanya
diumumkan secara terbuka dalam ruang sidang, tetapi juga diumumkan
secara luas atas biaya terpidana. Terhadap terpidana yang belum berusia 16
(enambelas) tahun, hukuman tambahan ini tidak dapat dijatuhkan.111
4. Pidana Tutupan.
Disamping jenis pidana yang terdapat dalam KUHP sebagaimana
diuraikan diatas, masih terdapat satu jenis pidana pokok yang ditambahkan ke
dalam Pasal 10 KUHP dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946, yaitu
Pidana Tutupan. Dalam Pasal 2 Undang-Undang tersebut, disebutkan bahwa
dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan yang diancam dengan
hukuman penjara karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, maka
hakim boleh menjatuhkan pidana tutupan.112
Pidana tutupan disediakan bagi para politisi yang melakukan kejahatan
yang disebabkan oleh ideologi yang dianutnya.113
Dalam praktek pidana
seperti ini, hanya pernah terjadi satu putusan hakim yang memberikan
hukuman pidana tutupan, yaitu Putusan Mahkamah Tentara Agung Republik
110Andi Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di
Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1983), hal 38. 111
R. Tresna, Azaz-Azas Hukum Pidana Disertai Pembahasan Beberapa Perbuatan
Pidana Yang Penting, (Surabaya: PustkaTinta Mas, 1994), hal. 141. 112Ibid, hal. 134. 113Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, cet. Kedua (Jakarta: PT
Pradnya Paramita, 1993), hal. 58.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
74
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
Indonesia pada tanggal 27 Mei 1948 yang mengadili para pelaku kejahatan
“peristiwa 3 Juli 1946.114
2.2.3. UNSUR-UNSUR TPN
Tidak sedikit akta Notaris dipermasahlakan oleh para pihak atau pihak
lain, yang kemudian Notaris tersebut ditarik sebagai pihak yang turut serta
melakukan atau membantu melakukan suatu tindak pidana, yaitu membuat atau
memberikan keterangan palsu ke dalama akta Notaris, sehingga Notaris dapat
dikenakan sanksi pidana jika dapat dibuktikan di pengadilan bahwa secara sengaja
atau tidak sengaja bersama-sama dengan para pihak/penghadap membuat akta
dengan maksud dan tujuan untuk menguntungkan pihak atau penghadap tertentu
saja atau merugikan penghadap yang lain. Adapun tindakan Notaris yang
merupakan TPN antara lain yaitu :115
1. Membuat surat palsu/yang dipalsukan dan menggunakan surat palsu/yang
dipalsukan (pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP);
2. Melakukan pemalsuan terhadap akta otentik (pasal 264 KUHP);
3. Menyuruh mencantumkan keterangan palsu dalam akta otentik (pasal 266
KUHP);
4. Melakukan, menyuruh, turut serta melakukan (pasl 55 jo pasal 263 ayat
(1) dan (2) KUHP atau pasal 264 atau pasal 266;
5. Membantu membuat surat palsu/atau yang dipalsukan dan menggunakan
surat palsu/yang dipalsukan (pasal 56 ayat (1) dan (2) jo pasal 263 ayat (1)
dan (2) KUHP atau pasal 264 atau pasal 266.
Beberapa contoh kasus TPN, sebagai berikut :
Contoh Kasus TPN di Medan yaitu Putusan MA Nomor 1099
K/PID/2010, Notaris San Smith, SH didakwa dalam Dakwaan Primair : pasal 266
ayat (1) KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yaitu telah melakukan, turut serta
melakukan, menyuruh memasukkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik
mengenai suatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan
maksud untuk itu seolah-oleh keterangannya sesuai kebenaran. Dalam Dakwaan
114Adam Chazawi, op.cit, hal.43. 115Habib Adjie, Buku I, op.cit. hal.76.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
75
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
Subsidair : pasal 263 ayat (1) KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yaitu telah
membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menerbitkan suatu hak
yang dilakukan terhadap akta otentik, turut serta melakukan, menyuruh
memasukkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik mengenai suatu hal
yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk itu
seolah-oleh keterangannya sesuai kebenaran.
Terhadap dakwaan tersebut Pengadilan Negeri Medan dalam putusannya
Nomor 3036/PID.B/2009/PN.Mdn, tertanggal 04 Januari 2010 yang amar
lengkapnya menyatakan bahwa terdakwa Notaris San Smith, SH, tersebut telah
terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “turut
serta menyuruh menempatkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik”, dan
menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu)
tahun.
Pengadilan Tinggi Medan menerima permintaan banding dari Jaksa dan
Penasehat hukum terdakwa dan tetap menyatakan dalam putusan Nomor :
82/PID/2010/PT-MDN tanggal 25 Februari 2010 bahwa Notaris San Smith, SH
telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“turut serta menyuruh menempatkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik”
dan menjatuhkan pidana penjara selama 2 (dua) tahun.
Mahkamah Agung dalam Putusan MA Nomor 1099 K/PID/2010 menolak
permohonan Kasasi dari pemohon kasasi yaitu San Smith, SH tersebut.
Menimbang bahwa putusan judex facti tidak bertentangan dengan hukum dan/atau
undang-undang, judex facti tidak salah menerapkan hukum karena telah
mempertimbangkan hal-hal yang relevan secara yuridis secara benar.
Contoh Kasus TPN di Jakarta yaitu Putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat Nomor 880/PID.B/2006/PN.JKT.PST, Notaris Dr. Teddy Anwar, SH., SpN
didakwa dalam dakwaan kesatu Pasal 263 ayat (1), dakwaan kedua Pasal 263 ayat
(2), dakwaan ketiga Pasal 264 ayat (1), dan dakwaan keempat Pasal 266 ayat (2)
KUHP.
Dalam amar putusannya menyatakan bahwa terdakwa Dr. H. Teddy
Anwar, SH., SpN., tidak terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana dalam dakwaa kesatu, kedua, ketiga, dan maupun keempat;
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
76
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
membebaskan terdakwa dari seluruh dakwaan; memulihkan hak terdakwa dalam
kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya; dan agar terdakwa segera
dibebaskan dari tahanan.
Atas putusan tersebut diajukan banding dan atas putusan banding diajukan
kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum ke Mahkamah Agung dengan amar putusannya
yaitu membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
880/PID.B/2006/PN.JKT.PST tanggal 26 Juli 2006 dan menyatakan terdakwa Dr.
H. Teddy Anwar SH., SpN., telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana “Membuat Akta Otentik Palsu”; serta menghukum
terdakwa dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan.
Contoh Kasus TPN di Surakarta Jawa Tengah yaitu Kasus Putusan MA
Nomor 1860 K/Pid/2010, Notaris Tjondro Santoso, SH didakwa dalam dakwaan
Primair : pasal 264 ayat (1) ke-1 KUHP bersama-sama dengan Anne Patricia
Sutanto telah membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menerbitkan
suatu hak yang dilakukan terhadap akta otentik. Dalam dakwaan Subsidair : pasal
266 ayat (1) KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yaitu telah melakukan, turut
serta melakukan, menyuruh memasukkan keterangan palsu kedalam suatu akta
otentik mengenai suatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu,
dengan maksud untuk itu seolah-oleh keterangannya sesuai kebenaran. Dalam
dakwaan Lebih Subsidair : pasal 266 ayat (1) jo pasal 56 ayat (2) yaitu telah
sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan
memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal
yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk itu,
seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran.
Notaris yang turut aktif merekayasa subtansi akta yang tidak sesuai dengan
hukum dan perundang-undangan, maka tidak tertutup kemungkinan terjadi
pelanggaran terhadap norma hukum, khususnya hukum pidana. Parameternya
adalah kecurangan, penyesatan, penyembunyian, kenyataan, manipulasi,
pelanggaran kepercayaan, akal-akalan atau pengelakan peraturan. Dan semua ini
harus dilakukan dengan sengaja dan sama sekali tidak ada alasan pembenar dan
alasan pemaaf yang dapat digunakan.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
77
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
Tindak pidana Notaris yang cenderung terkait adalah tindak pidana
“kesengajaan”, seperti dalam pasal-pasal dibawah ini, yaitu:116
1. Pasal 263 KUHP tentang Pemalsuan.
(1) Barangsiapa membuat secara tidak benar atau memalsu surat yang dapat
menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang
diperuntukan sebagai bukti dari sesuatu hal, dengan maksud untuk
memakai atau menyuruh orang lain pakai surat tersebut seolah-olah isinya
benar dan tidak dipalsu, diancam, jika pemakaian tersebut dapat
menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara
paling lama 6 tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai
surat yang isinya tidak benar atau yang dipalsu, seolah-olah benar dan
tidak dipalsu, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Unsur-unsur tindak pidana pemalsuan yang terdapat pada rumusan pada pasal
263 ayat (1) terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:
a. Unsur-unsur Objektif :
1) Perbuatan, yaitu:
a) membuat surat palsu;
b) memalsukan surat.
2) Objeknya adalah “Surat” :
a) yang dapat menimbulkan suatu hak;
b) yang menimbulkan suatu perikatan;
c) yang menimbulkan suatu pembebasan utang;
d) yang diperuntukkan sebagai bukti daripada suatu hal.
3) Dapat menimbulkan akibat kerugian dari pemakaian surat tersebut.
b. Unsur-unsur Subjektif:
“Dengan sengaja” untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai
seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu.
Sedangkan pada pasal 263 ayat (2) mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
116Muladi, “Hukum Pidana dan Profesi Jabatan Notaris”, (Makalah disampaikan pada
Seminar Tantangan dan Peluang Profesi Notaris di Era Globalisasi, FHUI Depok, 23 Februari
2011).
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
78
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
a. Unsur-unsur Objektif:
1) Perbuatan yaitu : memakai
2) Objeknyayaitu :
a) surat palsu;
b) surat yang dipalsukan.
3) Pemakaian surat tersebut dapat menimbulkan kerugian.
b. Unsur-unsur Subjektif adalah: “Dengan sengaja”
Membuat surat palsu adalah membuat surat yang isinya bukan
semestinya (tidak benar), atau membuat surat sedemikian rupa sehingga
menunjukkan asal surat itu yang tidak benar. Sedangkan memalsukan surat
adalah mengubah surat sedemikian rupa, sehingga isinya menjadi lain dari isi
yang asli sehingga surat itu menjadi lain dari yang asli.117
Keduanya dapat
terjadi terhadap sebagian atau seluruh isi surat.
Perbedaan prinsip antara perbuatan membuat surat palsu dan
memalsukan surat adalah bahwa dalam membuat surat palsu, sebelum
perbuatan dilakukan belum ada surat, kemudian dibuat surat yang isinya
sebagian atau seluruhnya adalah bertentangan dengan kebenaran. Sedangkan
perbuatan memalsukan surat, sebelum perbuatan dilakukan sudah ada sebuah
surat (surat asli). Terhadap surat asli ini dilakukan perbuatan memalsu yang
akibatnya surat yang semula benar menjadi surat yang sebagian atau seluruh
isinya tidak benar dan bertentangan dengan kebenaran.118
Tidak semua surat dapat menjadi objek tindak pidana pemalsuan surat,
melainkan terbatas pada 4 (empat) macam surat, yaitu :119
1. Surat yang dapat menimbulkan suatu hak;
2. Surat yang dapat menimbulkan suatu perikatan;
3. Surat yang dapat menimbulkan pembebasan hutang;
4. Surat yang diperuntukan bukti mengenai suatu hal.
Surat-surat yang termasuk dalam akta otentik memiliki kekuatan
pembuktian sempurna berdasarkan Pasal 1870 KUHPerdata, dibuat oleh atau
117
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1994), hal. 195. 118
Adami Chazawi, op.cit., hal 101. 119Ibid., hal 101-103.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
79
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
di hadapan pejabat publik yang memiliki wewenang untuk membuat akta
tersebut menurut undang-undang. Suatu surat diperuntukkan sebagai bukti
mengenai suatu hal yaitu dimana surat tersebut berisi suatu hal/kejadian yang
memiliki pengaruh bagi yang bersangkutan.
Kerugian yang timbul akibat dari pemakaian surat tersebut tidak perlu
diketahui atau disadari oleh pelaku. Tidak ada ukuran-ukuran tertentu untuk
menentukan akan adanya kerugian jika surat palsu atau surat dipalsu itu
dipakai.120
Adanya kemungkinan kerugian dapat ditentukan dengan
diberlakukan suatu asas, bahwa kemungkinan kerugian ini tidak hanya dinilai
berdasarkan tujuan menurut undang-undang maupun berdasarkan akibat-
akibat yang biasanya berhubungan dengan penggunaan surat-surat itu.
Terdapat perbedaan antara ayat (1) dan ayat (2), dari unsur kesalahan,
pada ayat (1) “maksud” harus ada sebelum atau setidak-tidaknya pada saat
akan memulai perbuatan. Pada ayat (2), “sengaja” meliputi baik perbuatan
memakai surat seolah-olah surat itu asli atau tidak dipalsu maupun pemakaian
yang dapat menimbulkan kerugian. Timbulnya kerugian pada ayat (1) adalah
akibat dari pemakaian surat palsu atau surat dipalsu, dan pemakaian surat itu
belum dilakukan. Ayat (2) menyebutkan kerugian timbul akibat pemakaian
surat palsu atau surat dipalsu di mana pemakaian surat tersebut telah
dilakukan tetapi kerugian nyata-nyata belum timbul. 121
2. Pasal 264 KUHP tentang Pemalsuan Akta Otentik.
(1) Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama 8 tahun,
jika dilakukan terhadap :
1. Akta-akta otentik;
2. Surat hutang dan sertifikat hutang dari suatu Negara atau
bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum;
3. Surat sero atau hutang atau sertipikat sero atau hutang dari
suatu perkumpulan yayasan, perseroan atau maskapai;
120Ibid., hal 105. 121Adami Chazawi, op.cit., hal 106-107.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
80
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
4. Talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang
diterangkan dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan
sebagai pengganti surat-surat itu;
5. Surat kredit atau surat dagang yang dipentukan untuk
diedarkan.
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja
memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak benar
atau yang dipalsu seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemakaian
surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Pasal 264 ayat (1) mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
a. Semua unsur baik objektif maupun subjektif pasal 263;
b. Unsur-unsur khusus pemberatnya (bersifat alternatif), berupa objek
surat-surat tertentu, yaitu :
1) Akta-akta otentik;
2) Surat hutang atau sertifikat hutang dari suatu negara, bagian
negara, atau lembaga umum;
3) Surat sero, surat hutang dari suatu perkumpulan, yayasan,
perseroan, atau maskapai;
4) Talon, tanda dividen atau tanda bukti bunga dari surat-surat
pada butir 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai
pengganti surat-surat itu;
5) Surat-surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk
diedarkan.
Sedangkan unsur-unsur dalam pasal 264 ayat (2) adalah sebagai berikut:
a. Unsur-unsur objektif:
1) Perbuatan : memakai
2) Objeknya : surat-surat tersebut pada ayat (1)
3) Pemakaian itu seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu.
b. Unsur-unsur Subjektif : dengan sengaja
Pasal 264 ayat (1) memiliki unsur-unsur yang sama dengan pasal
263ayat (1). Perbedaannya terletak pada objek dari pemalsuan, objeknya
adalah beberapa jenis surat tertentu, seperti akta otentik dan sebagainya.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
81
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
Pemalsuan terhadap beberapa jenis surat itu dianggap memiliki sifat
membahayakan umum, khususnya yang tersebut di dalam Pasal 264 ayat
(1) ke-2, ke-3 dan ke-5.122 Surat-surat yang disebutkan dalam pasal 264
ayat (1) diatas merupakan surat-surat yang bersifat umum dan harus tetap
mendapat kepercayaan dari umum. Memalsukan surat semacam itu berarti
membahayakan kepercayaan umum, sehingga menurut pasal ini dapat
diancam hukuman yang lebih berat daripada pemalsuan surat biasa.123
Contoh Kasus TPN pasal 263 KUHP jo pasl 264 KUHP.
Pembobolan BNI sejumlah 1,3 Trilyun melibatkan Notaris yang membuat
akta otentik palsu yaitu menerbitkan Akta Perjanjian Kredit fiktif tanpa
adanya minuta akta. Notaris melakukan tindak pidana atas dasar karena
terbuai dengan honor yang sangat besar dari pembuatan akta Perjanjian
Kredit tersebut.124
3. Pasal 266 KUHP tentang Menyuruh Memasukkan Keterangan Palsu
(1) Barangsiapa menyuruh masukkan keterangan palsu kedalam suatu
akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus
dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau
menyuruh orang lain pakai akta itu seolah-olah keterangannya
sesuai dengan kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat
menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja
memakai akta tersebut seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran
jika karena pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian.
Pasal 266 ayat (1) mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
a. Unsur-unsur objektif:
1) Perbuatan: menyuruh memasukkan;
2) Objeknya: keterangan palsu;
122H.A.K. Moch. Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), Jilid I,
(Bandung: Alumni, 1982), hal. 197. 123R.Soesilo, op.cit., hal. 197. 124Winanto Wiryomartani, “Pelanggaran Pidana/Perdata dan Tindakan Indisipliner oleh
Notaris”, (Makalah disampaikan pada Seminar Tantangan dan Peluang Profesi Notaris di Era
Globalisasi, FHUI Depok, 23 Februari 2011), hal. 6.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
82
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
3) Ke dalam akta otentik;
4) Mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan dengan
akta;
5) Jika pemakaiannya dapat menimbulkan kerugian.
b. Unsur-unsur subjektif: dengan maksud memakai atau menyuruh memakai
seolah-olah keterangan itu sesuai dengan kebenaran.
Ayat (2) mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
a. Unsur-unsur objektif
1) Perbuatan: memakai;
2) Objeknya: akta otentik tersebut ayat (1);
3) Seolah-olah isinya benar.
b. Unsur-unsur subjektif: dengan sengaja.
Perbuatan menyuruh memasukkan keterangan palsu mengandung unsur-unsur
sebagai berikut:125
a. Inisiatif untuk membuat akta adalah berasal dari orang yang menyuruh
memasukkan, bukan dari pejabat pembuat akta otentik;
b. Perkataan unsur menyuruh memasukkan berarti orang itu dalam
kenyataannya memberikan keterangan-keterangan tentang suatu hal yang
bertentangan dengan kebenaran atau palsu;
c. Pejabat pembuat akta otentik tidak mengetahui bahwa keterangan yang
disampaikan oleh orang yang menyuruh memasukkan keterangan
kepadanya itu adalah keterangan yang tidak benar;
d. Oleh karena pejabat tersebut tidak mengetahui perihal tidak benarnya
keterangan tentang sesuatu hal itu, tidak dapat dipertanggungjawabkan,
terhadap perbuatannya yang melahirkan akta otentik yang isinya palsu
itu,dan karenanya ia tidak dapat dipidana.
Adami Chazawi berpendapat bahwa dalam rumusan pasal 266 KUHP
tidak dicantumkan orang yang disuruh untuk memasukkan keterangan palsu
tersebut, tetapi dapat diketahui dari unsur/kalimat “kedalam akta otentik” dalam
rumusan ayat (1) bahwa orang tersebut adalah si pembuat akta otentik.
125
Adami Chazawi, op.cit., hal. 113.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
83
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
Sebagaimana diketahui bahwa Notaris merupakan salah satu dari pejabat umum
yang berwenang membuat akta otentik. Notaris dalam pembuatan suatu akta
otentik adalah memenuhi permintaan orang. Orang yang meminta inilah yang
dimaksud orang yang disuruh memasukkan keterangan palsu.126
Sedangkan menurut H.A.K. Moch Anwar, berbeda dengan pendapat
diatas, bahwa orang yang menghadap kepada seorang pejabat membuat akta
otentik memberikan keterangan-keterangan untuk dicantumkan didalam akta
tersebut. Keterangan-keterangan yang diberikan tersebut adalah keterangan yang
tidak benar. Pejabat pembuat akta otentik itu tidak melakukan pemalsuan
pengertian pasal 266 ayat (1) KUHP. Pada pasal 266 KUHP, seseorang
menghadap Notaris dan memberikan keterangan tentang hal-hal yang
bertentangan dengan kebenaran. Jadi, Notaris itu hanya membuat akta dan
mencantumkan dalam akta apa yang diberitahukan penghadap, sehingga Notaris
itu dinyatakan dalam akta hanya hal-hal yang diberitahukan kepadanya. Dengan
demikian penghadap tidak mungkin melakukan perbuatan membujuk (pasal 55
ayat (1) ke-2 KUHP) atau pun memberi bantuan (pasal 56 KUHP), karena tiada
kejahatan yang dilakukan oleh Notaris itu. Ia hanya mencantumkan dalam akta
keterangan-keterangan yang diberikan oleh penghadap. Ia tidak mengetahui
bahwa keterangan-keterangan yang dimasukkan dalam akta itu adalah tidak
benar.127
Apabila setelah memberikan keterangan perihal sesuatu yang diminta
untuk dimasukkan ke dalam akta otentik pada pejabat pembuatnya, sedangkan
akta itu belum dibuat atau keterangan tersebut belum dimasukkan ke dalam akta,
maka kejahatan itu belum terjadi secara sempurna melainkan baru terjadi
percobaan kejahatan saja.
Rumusan pasal 263, 264, 266 KUHP di dalamnya terdapat istilah “dengan
maksud”, artinya apabila Notaris menginginkan terjadinya suatu akibat yaitu
merugikan para pihak atau salah satu pihak atau memiliki tujuan tertentu terhadap
pembuatan akta palsu (pemalsuan akta) tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
Notaris mengetahui secara jelas perbuatannya dan menginginkan (menghendaki)
126Ibid., hal.112-113. 127 H.A.K. Moch.Anwar, op.cit. hal.198.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
84
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
tejadinya suatu akibat. Notaris memiliki kemampuan bertanggung jawab terhadap
perbuatannya tersebut.
Contoh Kasus TPN adanya permintaan klien untuk membawa minuta akta
keluar dari kantor Notaris untuk ditandatangani di rumah klien tanpa kehadiran
Notaris. Tetapi si penandatangan akta bukan pihak yang terkait melainkan orang
lain, Notaris tersebut diancam pasal 266 KUHP karena memberikan keterangan
palsu didalam akta, disebutkan “hadir di hadapan saya, Notaris” padahal yang
bersangkutan tidak hadir.128
4. Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan.
Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik
sendiri (zich toeeigenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah
kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena
kejahatan, diancam, karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun atau denda paling banyak Rp.60,- (enam puluh Rupiah).
Unsur-unsur tindak pidana penggelapan yang terdapat dalam pasal 372
KUHP tersebut diatas adalah sebagai berikut :
a. Unsur Objektif
Perbuatannya : mengaku sebagai milik sendiri (zich toeeigenen).
Objeknya : barang kepunyaan orang lain :
a) Seluruh atau sebagian
b) Yang ada dalam kekuasaannya
c) Bukan karena kejahatan
b. Unsur Subjektif : “dengan sengaja” dan melawan hukum.
Unsur mengaku sebagai milik sendiri (zich toeeigenen) oleh banyak
penerjemah atau oleh banyak penyusun KUHP diterjemahkan atau disebut
sebagai “menguasai”.129
Contoh Kasus TPN Penggelapan di Semarang, Notaris MT telah menerima
titipan cek dengan nomor A387898 Bank Panin tertanggal 26 Maret 2009 senilai
Rp.900.000.000,- (sembilan ratus juta Rupiah) untuk membayar jual beli tanah
128Winanto Wiryomartani, op.cit, hal. 5. 129P.A.F. Lamintang, op.cit., hal. 206-207.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
85
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
seluas 7.500 m2 (tujuh ribu limaratus meter persegi) dari Stefpani Rahardja
kepada Murdianingsing, tetapi sampai pemberitaan ini Murdianingsih belum
menerima cek dari Notaris MT. Murdianingsih telah melakukan somasi terhadap
Notaris MT sebanyak 2 (dua) kali agar memberikan cek yang menjadi haknya
tersebut. Karena somasi tersebut tidak diindahkan maka Murdianingsih
melaporkan dengan perkara penggelapan pasal 372 KUHP dengan tanda bukti
lapor Nomor Polisi : TBL/II/A/IV/2011/Ditreskrimum.130
5. Pasal 378 KUHP tentang Penipuan.
Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat
(hoedanigheid) palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan,
menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau
supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam karena
penipuan, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.
Unsur-unsur tindak pidana penipuan yang terdapat dalam pasal 378 KUHP
tersebut diatas adalah sebagai berikut :
a. Unsur Objektif
Perbuatannya : memakai nama palsu atau martabat (hoedanigheid)
palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian
kebohongan.
Objeknya :
a) menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu
kepadanya;
b) supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang.
b. Unsur Subjektif : “dengan maksud” untuk menguntungkan diri sendiri
atau orang lain secara melawan hukum.
Contoh Kasus TPN Penipuan oleh Notaris wilayah Klungkung, Ida
Bagus Dharma Dewa Diputra, S.H., telah ditetapkan jadi tersangka dan
ditahan di Polres Klungkung mulai Senin, 21 November 2011 atas kasus
130“Notaris Semarang Dituduh Menggelapkan Cek”, Renvoi, Nomor : 3.99 Agustus 2011,
hal. 65.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
86
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
pidana penipuan, penggelapan, dan atau penggelapan dalam jabatan
perbuatan.
Dewa Diputra telah merugikan dan menyesatkan pemilik dari para ahli
waris I Pica (alm) yakni I Mudra, dkk., yang telah dilakukan pembayaran
uang muka Rp.300.000.000,- (tiga ratus juta). Namun oleh Notaris Dewa
Diputra tidak diberikan kepada pemilik lahan, sehingga I Mudra, dkk.,
membatalkan jual-beli. Tidak hanya itu, sertipikat milik I Mudra tidak
dikembalikan.
Singkat cerita, telah terjadi kesepakatan untuk pengembalian uang
muka dan sertifikat, pada kenyataannya tidak demikian. Notaris Dewa
Diputra terus menghindar, dan akhinya berujung pada laporan di Polres
Klungkung.131
Contoh kasus TPN Penipuan oleh Notaris Kota Bogor, Sri Dewi, SH
dengan putusan MPP No.14/B/MJ.PPN/2009, atas kasus Penipuan,
Penggelapan dan Pemalsuan Akta. Penipuan yaitu berupa melakukan
rangkaian kebohongan yang dilakukan oleh Notaris Sri Dewi yang
bersengkokol dengan Eddy Sjahrul (pegawai KP2LN Bekasi). Bermula
saat Ria A. Hasibuan bertemu dengan Eddy Sjahrul dan Notaris Sri Dewi,
menurut pengakuan Eddy Sjahrul bahwa Sri Dewi adalah Notaris yang
ditunjuk KP2LN Bogor untuk melakukan pelelangan tanah eks
PT.Sejahtera Industrial Trading Company Ltd, dan hal tersebut diakui
Notaris Sri Dewi yang mengaku bahwa benar ia adalah Notaris yang
ditujuk oleh KP2LN Bogpr, namun Notaris Sri Dewi tidak pernah dapat
menunjukkan Surat Penunjukan dari KP2LN Bogor sebagai Notaris yang
ditunjuk kepada Ria A. Hasibuan sebagai calon pembeli dan hanya
membuat surat keterangan seakan-akan menunjukkan bahwa dirinya
adalah Notaris yang ditunjuk oleh KP2LN Bogor.
Penggelapan, Notaris Sri Dewi melakukan pencairan uang tanpa
sepengetahuan dan persetujuan klien. Sebagai tanda keseriusan dari Ria
A.Hasibuan diminta untuk menyetor sejumlah uang sebesar Rp.
1.000.000.000,- (satu milyar Rupiah) yang berupa cek Bank BCA atas
131“Terjerat Berbagai Kasus Pidana” http://denpostnews.com/index.php/2011-10-30-14-
33-39/379-terjerat-berbagai-kasus-pidana , diunduh 31 Juli 2012.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
87
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
nama Ria A.Hasibuan yang dititipkan melalui Notaris Sri Dewi. Oleh
Notaris Sri Dewi cek tersebut dicairkan sebesar 600 juta kepada Eddy
Sjahrul dan Sri Dewi sendiri mendapat 400 juta tanpa sepengetahuan Ria
A.Hasibuan.
Pemalsuan Akta, Notaris Sri Dewi tidak pernah membacakan isi dari
akta Nomor 7 tertanggal 25 November 2005 yang dibuatnya, dan Ria
A.Hasibuan juga tidak menandatangani dan membubuhi paraf pada setiap
lembar akta.
Dalam pasal 263,264, 266, 378, 372 KUHP semuanya dalam kaitannya
dengan penyertaan sebagai pembuat (pasal 55 KUHP), pembantuan (pasal 56
KUHP), percobaan (pasal 53 KUHP).
6. Pasal 55 KUHP : Pembuat
Pasal 55 KUHP menyebutkan :
1. Dihukum selaku pelaku tindak pidana yaitu :
1) Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan ikut
serta melakukan tindak pidana;
2) Mereka yang dengan pemberian, perjanjian, menyalahgunakan
kekuasaan atau pengaruh, dengan kekerasan ancaman atau tipu
daya atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan,
sengaja menggerakan orang lain agar melakukan tindak pidana.
2. Terhadap penggerak, hanya perbuatan yang dengan sengaja
dianjurkannya sajalah yang dapat dipertanggungjawabkan olehnya,
beserta akibat-akibatnya.
Berdasarkan ketentuan pasal 55 KUHP tersebut maka pelaku tindak
pidana dapat diklasifikasikan atas :
1. Plegen : Mereka yang melakukan tindak pidana
2. Doen plegen : Mereka yang menyuruh orang lain untuk melakukan
tindak pidana
3. Mede plegen : Mereka yang ikut serta melakukan tindak pidana
4. Uitlokken : Mereka yang menggerakkan orang lain untuk melakukan
tindak pidana
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
88
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
7. Pasal 56 KUHP : Pembantuan
Pasal 56 KUHP menyebutkan :
Dipidana sebagai pembantu (medeplichtige) sesuatu kejahatan :
Ke-1. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan
dilakukan;
Ke-2. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan
untuk melakukan kejahatan.
Ditinjau dari sudut pemidanaan ada dua macam penyertaan, yaitu :132
a. Orang yang dipidana sebagai penindak;
b. Orang yang dipidana sebagai pembantu.
Jika ada pembantu tentu ada yang dibantu, yaitu yang disebut sebagai
pelaku utama atau penindak. Hubungan antara pembantu dengan penindak
atau pelaku utama adalah pembantuan. Pembantuan ditentukan bersamaan
dengan terjadinya kejahatan (pasal 56 ke-1) atau mendahului terjadinya
kejahatan (pasal 56 ke-2). Menurut memori penjelasan dikatakan pembantuan
dapat terjadi “selama dan sebelum” pelaksanaan dari suatu kejahatan.
Pembantuan disyaratkan :
a. Pembantu harus mengetahui macam kejahatan yang dikehendaki oleh
penindak (pelaku utama).
b. Bantuan yang diberikan oleh pembantu adalah untuk membantu
petindak melakukan kejahatan, bukan untuk mewujudkan kejahatan
lain.
c. Kesengajaan pembantu ditujukan untuk memudahkan atau
memperlancar petindak melakukan kejahatan yang dikehendaki
petindak. Dengan perkataan lain kesengajaan pembantu bukan
merupakan unsur dari kejahatan tersebut. Justru kesengajaan petindak
yang merupakan unsur dari kejahatan tersebut.
Ada dua jenis pembantuan, yaitu :
1. Pembantuan aktif adalah suatu tindakan untuk melakukan suatu
pembantuan.
132E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, op.cit., hal. 370-374.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
89
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
2. Pembantuan passif adalah tidak melakukan suatu tindakan, namun
dengan kepassifannya itu ia telah dengan sengaja memberi
bantuan. (apabila seseorang berdasarkan undang-undang ataupun
perjanjian mempunyai kewajiban untuk mencegah kejahatan,
namun ia tidak mencegah, maka ia adalah pembantu passif).
Contoh Kasus TPN sebagai Pembantu kejahatan, dalam akta Berita Acara
RUPS LB agendanya penambahan modal dasar, yang berarti perubahan
anggaran dasar perseroan. Pada saat RUPS LB ada beberapa orang pemegang
saham yang tidak hadir, sehingga kuorum tidak terpenuhi. Notaris mengetahui
bahwa RUPS LB tersebut tidak bisa dilaksanakan karena tidak terpenuhinya
kuorum, dan memang ada pihak yang menginginkan beberapa orang tersebut
tidak hadir dan dianggap hadir. Notaris mengetahui keinginan dari pihak
tersebut dan tetap membuat akta Berita Acara RUPS serta meminta
persetujuan Menteri Hukum dan HAM untuk perubahan anggaran dasar
perseroan.
8. Pasal 53 KUHP : Percobaan
Pasal 53 KUHP menyebutkan :
(2) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah
ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya
pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya
sendiri.
(3) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan
dapat dikurangi sepertiga.
(4) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati dan pidana penjara seumur
hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
(5) Pidana tambahan bagi percobaan adalah sama dengan kejahatan selesai.
Apa yang dirumuskan dalam pasal 53 ayat (1) bukanlah definisi atau arti
yuridis dari percobaan kejahatan, tetapi rumusan yang memuat tentang syarat-
syarat kapankah melakukan percobaan kejahatan dapat dipidana, syarat-syarat itu
ialah :133
133Adami Chazawi, op.cit., hal. 6.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
90
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
1. Adanya niat (voornemen);
Niat dalam hal percobaan kejahatan adalah willens en wetens
(dikehendaki dan diketahui), yang tiada lain adalah kesengajaan.
Sikap batin mengetahui (wetens) ialah termasuk segala apa yang
diketahui atau disadari tentang perbuatan yang akan dilakukan beserta
akibatnya, dan ini artinya termasuk kesengajaan sebagai kepastian dan
kesengajaan sebagai kemungkinan (dolus eventualis).
2. Adanya permulaan pelaksanaan (begin van iutvoering);
Permulaan pelaksanaan apabila dari wujud perbuatan itu telah tampak
secara jelas arah satu-satunya dari wujud perbuatan ialah pada tindak
pidana tertentu. Menurut Lamintang permulaan pelaksanaan (begin van
uitvoering) adalah kejahatan yang telah dimulai akan tetapi ternyata
tidak selesai.134
3. Pelaksanaan tidak selesai bukan semata-mata disebabkan karena
kehendaknya sendiri.
Contoh Kasus TPN Percobaan kejahatan, seorang Notaris membuat
Akta Pernyataan Waris, dengan penghadap A sebagai salah satu ahliwaris,
ternyata di dalam isi akta, ahli waris yang lain dirugikan, karena Notaris
diberikan honorarium yang besar dari penghadap A tersebut, maka
dibuatkanlah Akta Pernyataan Waris tersebut. Namun sebelum akta
tersebut ditandatangani, niat tersebut diketahui oleh ahliwaris yang lain.
9. Pasal 242 KUHP (Memberikan keterangan palsu di atas sumpah)
(1) Barangsiapa dalam hal-hal dimana undang-undang menentukan supaya
memberi keterangan diatas sumpah, atau mengadakan akibat hukum
kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan
palsu diatas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, olehnya sendiri
maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.
134P.A.F. Lamintang, op.cit., hal 535.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
91
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
(2) Jika keterangan palsu diatas sumpah, diberikan dalam perkara pidana dan
merugikan terdakwa atau tersangka, yang bersalah dikenakan pidana
penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.
(3) Disamakan dengan sumpah adalah janji atau pengutan, yang diharuskan
menurut atiran-aturan umum atau yang menjadi pengganti sumpah.
(4) Pidana pencabutan hak tersebut pasal 35 no.1-4 dapat dijatuhkan.
Contoh Kasus TPN Memberikan Keterangan Palsu Diatas Sumpah. Pada
tanggal 22 Desember 2005, Notaris Yustisia Sutandyo wilayah Surabaya Jawa
Timur, dilaporkan oleh Bunarto Tejo Isworo. Bunarto adalah terdakwa PN
Surabaya dalam perkara Dugaan Pemalsuan Akta Tanah.
Bunarto Tejo merasa sangat dirugikan oleh keterangan Notaris Yustisia
Sutandyo ketika tampil sebagai saksi dalam persidangan perkara pidana itu,
karena Bunarto sudah mengantongi akta Notaris yang ditandatangani oleh Notaris
Yustisia Sutandyo.
Adanya keanehan dalam keterangan Notaris rupanya juga dirasakan oleh
Majelis Hakim PN Surabaya. Ketua Majelis Hakim Edy Tjahjono lantas
memerintahkan Jaksa Istrisno Haris untuk menyidik saksi Notaris Yustisia
Sutandyo karena dinilai memberikan keterangan palsu .135
10. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
Pasal 2 :
(1) Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari
tindak pidana:
a. korupsi;
b. penyuapan;
c. narkotika;
d. psikotropika;
e. penyelundupan tenaga kerja;
f. penyelundupan migran;
135“Unsur-unsur Pidana yang Dihadapi Notaris dalam Menjalankan Jabatannya”,
http://pmg.hukumonline.com/klinik/detail/cl5135/unsur-unsur-pidana-yang dihadapi-notaris-
dalam-menjalankan-jabatannya, diunduh 28 Februari 2012.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
92
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
g. di bidang perbankan;
h. di bidang pasar modal;
i. di bidang perasuransian;
j. kepabeanan;
k. cukai;
l. perdagangan orang;
m. perdagangan senjata gelap;
n. terorisme;
o. penculikan;
p. pencurian;
q. penggelapan;
r. penipuan;
s. pemalsuan uang;
t. perjudian;
u. prostitusi;
v. di bidang perpajakan;
w. di bidang kehutanan;
x. di bidang lingkungan hidup;
y. di bidang kelautan dan perikanan; atau
z. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4
(empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga
merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.
(2) Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan
digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak
langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris
perseorangan disamakan sebagai hasil tindak pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n.
Pasal 3 :
Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan,
membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri,
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
93
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau
perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan
dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah).
Pasal 4 :
Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber,
lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya
atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena
tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).
Pasal 5 :
(1) Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan,
pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan
Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Pihak
Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini.
Contoh Kasus TPN Pencucian Uang. Modusnya, pemilik uang melakukan
pembelian saham yang kemudian dicatat dalam akta Notaris. Modus pembelian
saham memudahkan pelaku pencucian uang untuk memindahkan uang. Jika
berbentuk saham, otomatis uang hasil kejahatan menjadi sah, sehingga mudah
dipindahkan sesuai keinginan pelaku tindak pidana. Karenanya, Notaris sebagai
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
94
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
profesi bertugas membuat akta pendirian perusahaan dan jual beli saham diminta
mewaspadai kemungkinan terjadinya pencucian uang.136
Tidak menutup kemungkinan Notaris dapat pula terjerat kasus-kasus
pidana dalam undang-undang lainnya, misalnya dalam Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, yaitu dalam kasus korupsi
Nazaruddin, KPK sudah 4 kali memanggil Notaris Bertha Herawati, SH, MKn
untuk dimintai keterangan mengenai pemindahan aset Nazaruddin oleh istrinya
Neneng Sri Wahyuni ke luar Negeri.137
Notaris dapat dimintakan pertanggungjawaban pidananya sepanjang
perbuatan yang dilakukan oleh Notaris melanggar pasal-pasal tertentu dalam
KUHP atau dalam undang-undang lain dan terbukti secara sengaja atau
khilaf/lalai, bahwa akta yang dibuat dihadapan Notaris dijadikan alat untuk
melakukan suatu tindak pidana atau membuat akta dengan cara melawan hukum
yang menimbulkan kerugian bagi pihak tertentu atas lahirnya akta tersebut.
Diperlukan adanya kesalahan besar untuk pekerjaan di bidang ilmu pengetahuan
seperti Notaris.
Berdasarkan penjelasan unsur-unsur tindak pidana tersebut diatas, penulis
melihat dari banyaknya kasus TPN yang sering terjadi adalah tindak pidana
pemalsuan, penggelapan dan penipuan. Penulis mencoba mengklasifikasikan
unsur-unsur TPN tersebut yaitu :
1. Pemalsuan, terhadap akta (akta fiktif), keterangan dalam akta, legalisasi,
waarmerking, pencocokan fotocopy, dan tanda tangan.
2. Penggelapan, bahwa mengaku sebagai milik sendiri segala sesuatu barang
sebagian/seluruhnya yang ada dalam kekuasaan Notaris, dititipkan dengan
dasar kepercayaan kerena kewenangan Notaris yang bukan
milik/kepunyaan Notaris.
3. Penipuan, bahwa melakukan kebohongan/rangkaian kebohongan/tipu
muslihat untuk menguntungkan Notaris secara melawan hukum/tidak
sesuai dengan ketentuan.
136
“Unsur-unsur Pidana yang Dihadapi Notaris dalam Menjalankan Jabatannya”,
http://pmg.hukumonline.com/klinik/detail/cl5135/unsur-unsur-pidana-yang dihadapi-notaris-
dalam-menjalankan-jabatannya, diunduh 28 Februari 2012. 137“Bertha Herawati Diduga Ikut Pindahkan Asset Neneng Sri Wahyuni ke Luar Negeri”,
www.yustisi.com , diunduh tanggal 15 Desember 2012.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
95
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
2.2.4. FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TIMBULNYA TPN
a. Faktor Kesengajaan (Dolus)
Kesengajaan (dolus) adalah merupakan bagian dari kesalahan (schuld).
Kesengajaan pelaku mempunyai hubungan kejiwaan yang lebih erat terhadap
suatu tindakan (terlarang/keharusan) dibandingkan dengan culpa. Karenanya
ancaman pidana pada suatu delik jauh lebih berat, apabila dilakukan dengan
sengaja, dibandingkan dengan apabila dilakukan dengan kealpaan.
Dalam memori penjelasan, Memorie van Toelichting (MvT) yang
dimaksud dengan kesengajaan adalah “menghendaki dan menginsyafi” terjadinya
suatu tindakan beserta akibatnya (willens en wetens veroorzaken van een gevolg)
artinya seseorang yang melakukan suatu tindakan dengan sengaja harus
menghendaki serata menginsyafi tindakan tersebut dan/atau akibatnya.138
Beberapa sarjana merumuskan kesengajaan itu adalah kehendak (de will)
sebagai keinginan, kemauan, dan perbuatan merupakan pelaksanaan dari
kehendak. Kehendak (de will) dapat ditujukan terhadap perbuatan yang dilarang
dan akibat yang dilarang. Ada dua teori yang berkaitan dengan pengertian
“sengaja”, yaitu teori kehendak (Wilstheorie) dan teori pengetahuan atau
membayangkan (Voorstellingstheorie).139
Menurut teori pengetahuan atau teori membayangkan, Manusia tidak
mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena Manusia hanya dapat
menginginkan, mengharapkan atau membayangkan adanya suatu akibat. Adalah
“sengaja” apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu tindakan
dibayangkan sebagai maksud tindakan itu dan karena itu tindakan yang
bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu telah
dibuat. Teori ini menitik beratkan pada apa yang diketahui atau dibayangkan si
pembuat, ialah apa yang akan terjadi pada waktu ia berbuat.
Dari kedua teori tersebut, Moeljatno lebih cenderung kepada teori
pengetahuan atau membayangkan. Alasannya adalah: Karena dalam kehendak
dengan sendirinya diliputi pengetahuan. Sebab untuk menghendaki sesuatu, orang
138E.Y. Kanter, dan S.R. Sianturi, op.cit., hal. 166-167. 139Ibid., hal.168.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
96
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
lebih dahulu sudah harus mempunyai pengetahuan (gambaran) tentang sesuatu itu.
Tapi apa yang diketahui seseorang belum tentu saja dikehendaki olehnya. Lagi
pula kehendak merupakan arah, maksud atau tujuan, hal mana berhubungan
dengan motif (alasan pendorong untuk berbuat) dan tujuan perbuatannya.
Konsekuensinya ialah, bahwa ia menentukan sesuatu perbuatan yang dikehendaki
oleh terdakwa, maka (1) harus dibuktikan bahwa perbuatan itu sesuai dengan
motifnya untuk berbuat dan tujuan yang hendak dicapai; (2) antara motif,
perbuatan dan tujuan harus ada hubungan kausal dalam batin terdakwa. 140
Bagian terbesar tindak pidana yang dirumuskan dalam KUHP memuat
unsur kesengajaan (opzet), hanya sebagian kecil saja tindak pidana yang
dirumuskan dalam KUHP berunsur kealpaan/kelalaian (culpa). Oleh karena itu
penting untuk diketahui berbagai istilah kesengajaan yang digunakan dalam
KUHP, mengingat KUHP menggunakan berbagai istilah kesengajaan.
Suatu perbuatan dapat dikatakan mengandung unsur kesengajaan terkait
erat dengan pikiran pelaku atau niat dalam hati pelaku untuk menimbulkan secara
pasti bahwa perbuatannya akan menimbulkan akibat tertentu seperti yang
diinginkannya. Unsur “kesengajaan” baru dianggap ada jika perbuatan itu
memenuhi elemen-elemen sebagai berikut :
1. Adanya kesadaran.
2. Adanya konsekwensi dari perbuatan itu.
3. Adanya kepercayaan bahwa dengan perbuatan itu pasti dapat
menimbulkan konsekwensi tertentu.
Dalam hal seseorang melakukan perbuatan dengan sengaja dapat
dikualifikasi ke dalam tiga bentuk kesengajaan, yaitu :141
1. Kesengajaan sebagai maksud/tujuan (opzet als oogmerk), atau sering
disebut dengan istilah dolus directus.
Jenis kesengajaan ini merupakan kesengajaan yang paling sederhana,
sekaligus merupakan bentuk kesengajaan yang secara kualitatif dianggap
sebagai kesalahan yang paling berat. Artinya, secara kualitas bobot
kesalahan yang berupa kesengajaan sebagai maksud merupakan kesalahan
140Moeljatno, op.cit, hal. 172-173. 141Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan,
(Malang: UMM Press, 2008), hal. 241.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
97
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
yang terberat diantara bentuk kesalahan yang lain (kesengajaan dengan
sadar akan kepastian dan kesengajaan dengan sadar akan kemungkinan).
Kesengajaan sebagai maksud akan terjadi, apabila seseorang menghendaki
melakukan suatu perbuatan sekaligus menghendaki terhadap timbulnya
akibat perbuatan itu. Artinya kehendak untuk melakukan perbuatan
tersebut memang dimaksudkan atau ditujukan untuk menimbulkan akibat
yang dikehendaki.
2. Kesengajaan dengan kesadaran yang pasti atau keharusan (opzet bij
zekerheids of noodzakelijkheids bewustzijn).
Jenis kesengajaan ini akan terjadi apabila seseorang melakukan suatu
perbuatan mempunyai tujuan untuk menimbulkan akibat tertentu, tetapi di
samping akibat yang dituju itu pelaku insyaf atau menyadari, bahwa
dengan melakukan perbuatan untuk menimbulkan akibat yang tertentu itu,
perbuatan tersebut pasti akan menimbulkan akibat lain yang sebenarnya
tidak dikehendaki hanya disadari kepastian akan terjadinya. Dalam hal ini,
kesadaran terhadap kepastian terjadinya akibat yang tidak dikehendaki itu
kemudian tidak menghalanginya untuk berbuat.
3. Kesengajaan dengan kemungkinan (dolus eventualis).
Jenis kesengajaan ini akan terjadi apabila seseorang melakukan suatu
perbuatan mempunyai tujuan untuk menimbulkan akibat tertentu, tetapi
disamping akibat yang dituju itu pelaku insyaf atau menyadari, bahwa
dengan melakukan perbuatan untuk menimbulkan akibat yang tertentu itu,
perbuatan tersebut mungkin akan menimbulkan akibat lain yang
sebenarnya tidak dikehendaki hanya disadari kemungkinan akan
terjadinya. Dalam hal ini, kesadaran terhadap kemungkinan terjadinya
akibat yang tidak dikehendaki itu kemudian tidak menghalanginya untuk
berbuat.
Ajaran tentang pembagian kesengajaan, adalah dibedakannya mengenai
“tertentu atau tidak tertentunya” suatu tujuan yang dikehendaki oleh pelaku, yang
disebut :142
142E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, op.cit., hal. 191-192.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
98
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
a. Dolus premeditatus. Istilah dolus premeditatus pada dasarnya menunjuk
pada persoalan bagaimana terbentuknya kesengajaan dan bukan
merupakan corak kesengajaan. Dolus premeditatus hakikatnya sama
dengan rencana terlebih dahulu. Dalam konteks hukum pidana, rencana
terlebih dahulu dianggap ada, apabila sebelum atau pada saat melakukan
tindak pidana, si pelaku dapat memikirkan secara wajar tentang apa yang
ia lakukan.
b. Dolus determinatus adalah dolus/kesengajaan yang ditunjukan pada obyek
yang tertentu, jadi, pada dolus determinatus kesengajaan pelaku itu telah
ditujukan secara pasti pada obyek/sasaran yang telah ditentukan.
c. Dolus indeterminatus adalah dolus atau kesengajaan yang ditujukan pada
obyek/sasaran yang tidak tertentu.
d. Dolus alternativus, jika kehendak pelaku ditujukan pada sasaran tertentu.
e. Dolus inderectus, adalah suatu akibat yang timbul yang sebenarnya bukan
sebagai kehendak dan tujuan pelaku.
f. Dolus generalus, sasarannya ditunjukan pada obyek umum.
Sehubungan dengan tindak pidana Notaris, maka faktor kesengajaan
(dolus) merupakan faktor yang utama dalam unsur tindak pidana Notaris. Notaris
dimintakan pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan berupa
kesengajaan (dolus) yang telah dibuktikan.
Pengertian sengaja (dolus) yang dilakukan oleh Notaris merupakan suatu
tindakan yang disadari atau direncanakan atau diinsyafisegala akibat hukumnya,
dalam hal Notaris melakukan kesengajaan bersama-sama dengan para penghadap.
b. Faktor Kealpaan/Kelalaian/Kurang Hati-Hati (Culpa)
Pada umumnya para ahli hukum sependapat, bahwa secara substansial
tidak ada perbedaan antara kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa). Keduanya
menunjukkan hubungan batin antara pelaku dengan perbuatannya yang
sedemikian rupa, sehingga menimbulkan celaan. Sering juga dikatakan,
kesengajaan dan kealpaan, kedua-duanya menunjuk kepada arah yang keliru dari
kehendak atau perasaan.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
99
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
Didalam undang-undang tidak ditentukan apa arti dari kealpaan. Dari ilmu
pengetahuan hukum pidana diketahui bahwa inti, sifat-sifat atau ciri-cirinya
adalah:143
a) Sengaja melakukan suatu tindakan yang ternyata salah, karena
menggunakan ingatan/otaknya secara salah, seharusnya ia menggunakan
ingatannya (sebaik-baiknya), tetapi ia tidak gunakan. Dengan perkataan
lain ia telah melakukan suatu tindakan (aktif atau pasif) dengan kurang
kewaspadaan yang diperlukan.
b) Pelaku dapat memperkirakan akibat yang akan terjadi, tetapi merasa dapat
mencegahnya. Sekiranya akibat itu pasti akan terjadi, dia lebih suka untuk
tidak melakukan tindakan yang akan menimbulkan akibat itu. Tetapi
tindakan itu tidak diurungkan, atas tindakan mana ia kemudian dicela
karena bersifat melawan hukum
Dalam penggradasian bentuk kealpaan dapat diterangkan dari dua sudut,
yaitu : 144
1. Dilihat dari sudut kecerdasan atau kekuatan ingatan pelaku, maka
dibedakan :
a. Kealpaan yang berat (Culpa lata)
Kelalaian yang sangat besar, sehingga orang yang mempunyai sikap
batin demikian tercela, karena tidak menghiraukan kepentingan orang
lain yang dilindungi hokum.
b. Kealpaan yang ringan (Culpa levis)
Bersifat ringan tidak diakui sebagai unsur pertanggungjawaban pidana
pembuat delik.
2. Diihat dari sudut kesadaran (bewustheid), dibedakan :
a. Kealpaan yang disadari (bewuste schuld).
Jika pelaku dapat membayangkan/ memperkirakan akan timbulnya
suatu akibat. Tetapi ketika ia melakukan tindakannya dengan usaha
pencegahan supaya tidak timbul akibat itu, namun akibat itu timbul
juga.
b. Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld).
143E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, op.cit., hal. 192. 144Ibid.,hal. 194.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
100
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
Bila mana pelaku tidak dapat memperkirakan akan timbulnya suatu
akibat, tetapi seharusnya (menurut perhitungan umum/yang layak)
pelaku dapat membayangkannya.
M.v.T menjelaskan bahwa dalam hal kealpaan, pada diri pelaku terdapat : 145
1. Kekurangan pemikiran (penggunaan akal) yang diperlukan.
2. Kekurangan pengetahuan (ilmu) yang diperlukan.
3. Kekurangan kebijaksanaan (beleid) yang diperlukan.
Kealpaan seperti juga kesengajaan adalah salah bentuk dari kesalahan.
Kealpaan adalah bentuk yang lebih rendah derajatnya dari pada kesengajaan.
Tetapi dapat pula dikatakan bahwa kealpaan itu adalah kebalikan dari
kesengajaan, karena bila mana dalam kesengajaan, sesuatu akibat yang timbul itu
dikehendaki pelaku, maka dalam kealpaan, justru akibat itu tidak dikehendaki,
walaupun pelaku dapat memperkirakan sebelumnya. Di sinilah juga letak salah
satu kesukaran untuk membedakan antara kesengajaan bersyarat (kesadaran-
mungkin, dolus eventualis) dengan kealpaan berat (culpa lata).
Beberapa istilah yang sering digunakan untuk menunjukan adanya
kealpaan/kelalaian antara lain : 146
1. Culpa/schuld(kesalahan) dalam arti sempit
2. Nalatigheid
3. Recklessness
4. Negligence
5. Sembrono
6. Teledor
Yang dimaksud dengan kealpaan adalah terdakwa tidak bermaksud
melanggar larangan undang-undang, tetapi tidak mengindahkan larangan itu. Ia
alpa, lalai, teledor dalam melakukan perbuatan tersebut. jadi, dalam kealpaan
terdakwa kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam
melakukan sesuatu perbuatan yang objektif kausal menimbulkan keadaan yang
dilarang.
Mengenai kealpaan itu, Moeljatno mengutip dari Smidt yang merupakan
keterangan resmi dari pihak pembentuk WvS (wetboek van Strafrecht) sebagai
145Ibid. 146Soerdarto, op.cit, hal. 35.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
101
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
berikut: Pada umumnya bagi kejahatan-kejahatan wet mengharuskan bahwa
kehendak terdakwa ditujukan pada perbuatan yang dilarang dan diancam pidana.
Kecuali itu keadaan yang dilarang itu mungkin sebagian besar berbahaya terhadap
keamanan umum mengenai orang atau barang dan jika terjadi menimbulkan
banyak kerugian, sehingga wet harus bertindak pula terhadap mereka yang tidak
berhati-hati, yang teledor. Dengan pendek kata, yang menimbulkan keadaan yang
dilarang itu bukanlah menentang larangan tersebut. dia tidak menghendaki atau
menyetujui timbulnya hal yang dilarang, tetapi kesalahannya, kekeliruannya
dalam batin sewaktu ia berbuat sehingga menimbulkan hal yang dilarang, ialah
bahwa ia kurang mengindahkan larangan itu. 147
Selanjutnya, dengan mengutip Van Hamel, Moeljatno mengatakan
kealpaan itu mengandung dua syarat, yaitu tidak mengadakan penduga-penduga
sebagaimana diharuskan oleh hukum dan tidak mengadakan penghati-hati
sebagaimana diharuskan oleh hukum.148
Kelalaian/kealpaan merupakan salah satu bentuk kesalahan seperti yang
dimaksudkan oleh Pasal 1365 KUHPerdata tetapi dipertegas kembali dalam Pasal
1366 KUHPerdata menyatakan setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk
kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang
disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya.
Menurut Munir Fuady suatu perbuatan dapat dianggap sebagai suatu
kelalaian, jika memenuhi unsur-unsur pokok sebagai berikut :149
1. Adanya suatu perbuatan atau mengakibatkan sesuatu yang mestinya
dilakukan.
2. Adanya suatu kewajiban kehati-hatian.
3. Tidak dijalankan kewajiban kehati-hatian tersebut.
4. Adanya kerugian bagi orang lain.
5. Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan dengan kerugian yang
timbul.
147Moeljatno, op.cit., hal. 198. 148Ibid, hal. 201. 149Munir Fuady, Etika Profesi Hukum Bagi Hakim, Jaksa, Advokat, Notaris, Kurator, dan
Pengurus: Profesi Mulia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 73.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
102
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
Kewajiban kehati-hatian juga harus dilakukan oleh Notaris dalam
mengambil suatu tindakan, agar tidak terjadi kesalahan dari akibat kelalaian.
Notaris harus dipersiapkan dan didasarkan pada aturan hukum yang berlaku.
Meneliti semua bukti yang diperlihatkan kepada Notaris dan mendengarkan
keterangan atau pernyataan para pihak wajib dilakukan sebagai bahan dasar untuk
dituangkan dalam akta.
Asas kecermatan ini merupakan penerapan dari Pasal 16 ayat (1) huruf a
UUJN, antara lain dalam menjalankan tugas jabatannya Notaris wajib bertindak
seksama. Pelaksanaan asas kecermatan wajib dilakukan dalam pembuatan akta
dengan :
1. Melakukan pengenalan terhadap penghadap, berdasarkan identitasnya
yang diperlihatkan kepada Notaris.
2. Menanyakan, kemudian mendengarkan dan mencermati keinginan atau
kehendak para pihak tersebut (tanya-jawab).
3. Memeriksa bukti surat yang berkaitan dengan keinginan atau kehendak
para pihak tersebut.
4. Memberikan saran dan membuat kerangka akta untuk memenuhi
keinginan atau kehendak para pihak tersebut.
5. Memenuhi segala teknik administratif pembuatan akta Notaris, seperti
pembacaan, penandatanganan, memberikan salinan, dan pemberkasan
untuk minuta.
6. Melakukan kewajiban lain yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas
jabatan Notaris.
Dalam pembuatan akta pihak ataupun akta relaas harus sesuai dengan tata
cara yang sudah ditentukan. Akta pihak Notaris hanya mencatat, dan membuatkan
akta atas kehendak, keterangan atau pernyataan para pihak yang kemudian
ditandatangani oleh para pihak tersebut, dan dalam akta relaas, berisi pernyataan
atau keterangan Notaris sendiri atas apa yang dilihat atau didengarnya, dengan
tetap berlandaskan bahwa pembuatan akta relaas pun harus ada permintaan dari
para pihak.
Dalam memeriksa Notaris yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya,
parameternya harus kepada prosedur pembuatan akta Notaris, dalam hal ini
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
103
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
UUJN. Jika semua prosedur sudah dilakukan, maka akta yang bersangkutan tetap
mengikat mereka yang membuatnya di hadapan notaris.
Memidanakan Notaris dengan alasan-alasan aspek formal akta tidak akan
membatalkan akta Notaris yang dijadikan objek perkara pidana tersebut dan akta
yang bersangkutan tetap mengikat para pihak. Dalam perkara perdata,
pelanggaran terhadap aspek formal dinilai sebagai suatu tindakan melanggar
hukum dan hal ini dilakukan dengan mengajukan gugatan terhadap Notaris
tersebut. Pengingkaran terhadap aspek formal ini harus dilakukan oleh penghadap
sendiri, bukan oleh Notaris atau pihak lainnya.
Aspek materil dari akta Notaris, segala hal yang tertuang harus dinilai
benar sebagai pernyataan atau keterangan Notaris dalam akta relaas dan harus
dinilai sebagai pernyataan atau keterangan para pihak dalam akta partij (pihak).
Hal apa saja yang harus ada secara materil dalam akta harus mempunyai batasan
tertentu. Menentukan batasan seperti itu tergantung dari apa yang dilihat dan
didengar oleh notaris atau yang dinyatakan, diterangkan oleh para pihak di
hadapan notaris.
c. Faktor Peraturan Perundang-Undangan Yang Tidak Tegas dan Jelas
Faktor perundang-undangan yang tidak tegas dan jelas maksudnya adalah
undang-undang tidak memberikan sanksi yang tegas terhadap Notaris, apabila
timbul tindak pidana Notaris dan akta yang dibuat oleh Notaris tersebut
mengakibatkan kerugian pada pihak lain sehingga menimbulkan sengketa, maka
sering kali Notaris dijadikan sasaran utama penyebab sengketa itu dikarenakan
akta tersebut adalah dibuat oleh Notaris.150
Untuk dapat mengatasi factor-faktor penyebab tersebut diatas, terdapat
adanya masalah yang dihadapi sebagai kendala yang cukup serius bagi profesi
Notaris, yaitu :
150 Semakin baik suatu peraturan hukum akan semakin memungkinkan penegakannya,
sebaliknya semakin tidak baik suatu peraturan hukum akan semakin sukarlah penegakannya.
Secara umum peraturan yang baik adalah peraturan hukum yang berlaku secara yuridis, sosiologis
dan filosofis.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
104
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
1. Kualitas pengetahuan profesional hukum. Seorang profesional hukum
harus memiliki pengetahuan bidang hukum yang andal, sebagai penentu
bobot kualitas pelayanan hukum secara profesional kepada masyarakat,
sesuai dengan Pasal 1 Keputusan Mendikbud No. 17/Kep/O/1992 tentang
kurikulum nasional bidang hukum, program pendidikan sarjana bidang
hukum bertujuan untuk menghasilkan sarjana hukum yang :
a. Menguasai hukum Indonesia.
b. Mampu menganalisis masalah hukum dalam masyarakat.
c. Mampu menggunakan hukum sebagai sarana untuk memecahkan
masalah konkret dengan bijaksana dan tetap berdasarkan prinsip-
prinsip hukum.
d. Menguasai dasar ilmiah untuk mengembangkan ilmu hukum dan
hukum.
e. Mengenal dan peka akan masalah keadilan dan masalah sosial.
2. Terjadi penyalahgunaan profesional hukum.
Terjadinya penyalahgunaan profesi hukum tersebut disebabkan adanya
faktor kepentingan. Sumaryono mengatakan bahwa penyalahgunaan dapat
terjadi karena adanya persaingan individu profesional hukum atau tidak
adanya disiplin diri.
Dalam profesi hukum dilihat dua hal yang sering berkontradiksi satu sama
lain, yaitu di satu sisi, cita-cita etika yang terlalu tinggi, dan di sisi lain,
praktik pengembalaan hukum yang berada jauh di bawah cita-cita tersebut.
Selain itu, penyalahgunaan profesi hukum terjadi karena desakan pihak
klien yang menginginkan perkaranya cepat selesai dan tentunya ingin
menang.
3. Kecenderungan profesi hukum menjadi kegiatan bisnis.
Kehadiran profesi hukum bertujuan untuk memberikan pelayanan atau
memberikan bantuan hukum kepada masyarakat. Dalam artian bahwa
yang terpenting dari itu adalah pelayanan dan pengabdian.
Namun dalam kenyataannya di Indonesia, profesi hukum dapat dibedakan
antara profesi hukum yang bergerak dibidang pelayanan bisnis dan profesi
hukum di bidang pelayanan umum.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
105
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
Profesi hukum yang bergerak di bidang pelayanan bisnis menjalankan
pekerjaan berdasarkan hubungan bisnis (komersil), imbalan yang diterima
sudah ditentukan menurut standar bisnis.
4. Penurunan kesadaran dan kepedulian sosial.
Kesadaran dan kepedulian sosial merupakan kriteria pelayanan umum
profesional hukum. Wujudnya adalah kepentingan masyarakat lebih
diutamakan atau didahulukan dari pada kepentingan pribadi, pelayanan
lebih diutamakan dari pada pembayaran, nilai moral lebih ditonjolkan dari
pada nilai ekonomi.
Namun gejala yang dapat diamati sekarang sepertinya lain dari apa yang
seharusnya diemban oleh professional hukum. Gejala tersebut
menunjukkan mulai pudarnya keyakinan terhadap wibawa hukum.
5. Kontinuitas sistem yang sudah usang.
Profesional hukum adalah bagian dari sistem peradilan yang berperan
membantu menyebarluaskan sistem yang sudah dianggap ketinggalan
zaman karena didalamnya terdapat banyak ketentuan penegakan hukum
yang tidak sesuai lagi. Padahal professional hukum melayani kepentingan
masyarakat yang hidup dalam zaman modern. Kemajuan teknologi
sekarang kurang diimbangi oleh percepatan kemajuan hukum yang dapat
menangkal kemajuan teknologi tersebut sehingga timbul peran hukum
selalu ketinggalan zaman.
2.2.5. PERTANGGUNGJAWABAN TPN
Tanggung jawab pidana muncul bilamana Notaris telah terbukti bersalah
melakukan tindak pidana atau perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, atau
melakukan kesalahan, melakukan perbuatan melawan hukum pidana, baik karena
sengaja maupun karena kelalaian yang menimbulkan kerugian pihak lain. Notaris
tersebut dapat dijatuhi sanksi pidana.
Pertanggungjawaban pidana Notaris harus melihat kepada kemampuan
bertanggungjawab Notaris, kesengajaan/kealpaan Notaris, serta alasan
penghapusan pidana Notaris.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
106
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
Istilah pertanggungjawaban pidana sudah muncul sejak zaman Revolusi
Prancis, pada masa itu tidak saja manusia yang dapat pertanggungjawaban tindak
pidana bahkan hewan atau benda mati lainya pun dapat dipertanggungjwabkan
tindak pidana. Seseorang tidak saja mempertanggungjawabkan tindak pidana yang
dilakukanya, akan tetapi perbuatan orang lain juga dapat di pertanggungjawabkan
karena pada masa itu hukuman tidak hanya terbatas pada pelaku sendiri tetapi
juga di jatuhkan pula pada keluarga atau teman-teman pelaku meskipun mereka
tidak melakukan tindak pidana. Hukuman yang di jatuhkanya atas atau jenis
perbuatan sangat berbeda-beda yang di sebabkan oleh wewenang yang mutlak
dari seorang hakim untuk menentukan bentuk dan jumlah hukuman.
Setelah revolusi prancis pertanggungjawaban pidana di dasarkan atas dasar
falsafah kebebasan berkehendak yang disebut dengan teori tradisionalisme
(mashab taqlidi), kebebasan berkehendak dimaksud bahwa seorang dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana atas dasar pengetahuan dan pilihan, menurut teori ini
seseorang yang pada usia tertentu dapat memisahkan dan membedakan mana yang
dikatakan perbuatan baik dan mana yang tidak baik.
Seorang filosof besar abad ke 20, Roscoe Pound menyatakan bahwa :
I…Use simple word “liability” for the situation whereby one may exact legally
and other is legally subjeced to the exaction.”151
Pertangungjawaban pidana
diartikan Pound adalah sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan
yang akan di terima pelaku dari seseorang yang telah di rugikan,152
Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing di sebut sebagai
“toereken-baarheid,” “criminal reponsibilty,” “criminal liability,”
pertanggungjawaban pidana disini dimaksudkan untuk menentukan apakah
seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak
terhadap tindakan yang dilakukanya itu menurutnya juga bahwa
pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut tidak hanya menyangkut masalah
hukum semata akan tetapi menyangkut pula masalah nilai-nilai moral ataupun
kesusilaan yang ada dalam suatu masyarakat.153
151
Roscoe Pound. “introduction to the phlisophy of law” dalam Romli Atmasasmita,
Perbandingan Hukum Pidana, cet.2, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hal.65 152
Ibid. 153
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, op.cit., hal. 245.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
107
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
Dalam konsep KUHP tahun 1982-1983, pada pasal 27 menyatakan bahwa
pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif ada pada
tindak pidana berdasarkan hukum yang berlaku, secara obyektif kepada pembuat
yang memenuhi syarat-syarat undang-undang untuk dapat dikenai pidana karena
perbuatanya.154
Menurut Roeslan Saleh, orang yang melakukan perbuatan pidana dan
memang mempunyai kesalahan merupakan dasar adanya pertanggungjawaban
pidana. Asas yang tidak tertulis mengatakan, “tidak dipidana jika tidak ada
kesalahan,” merupakan dasar dari pada di pidananya si pembuat.155
Seseorang
melakukan kesalahan, menurut Prodjohamidjojo, jika pada waktu melakukan
delik, dilihat dari segi masyarakat patut dipidana.156
Dengan demikan, menurutnya seseorang mendapatkan pidana tergantung
pada dua hal, yaitu (1) harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum,
atau dengan kata lain, harus ada unsur melawan hukum, jadi harus ada unsur
obejektif, dan (2) terhadap pelakunya ada unsur kesalahan dalam bentuk
kesengajaan dan atau kealpaan, sehingga perbuatan yang melawan hukum tersebut
dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, jadi ada unsur subjektif.
Perbuatan pidana memiliki konsekuensi pertanggungjawaban serta
penjatuhan pidana. Maka, setidaknya ada dua alasan mengenai hakikat kejahatan,
yakni Pertama pendekatan yang melihat kejahatan sebagai dosa atau perbuatan
yang tidak senonoh yang dilakukan manusia lainya. Kedua pendekatan yang
melihat kejahatan sebagai perwujudan dari sikap dan pribadi pelaku yang tidak
normal sehingga ia berbuat jahat. 157
Pendekatan-pendekatan tersebut melihat kejahatan sebagai perwujudan
dari sikap dan pribadi pelaku yang tidak normal sehingga ia berbuat jahat. Kedua
pendekatan ini berkembang sedemikian rupa bahkan diyakini mewakili
pandangan-pandangan yang ada seputar pidana dan pemidanaan. Dari sinilah
kemudian berbagai perbuatan pidana dapat dilihat sebagai perbuatan yang tidak
154
Djoko Prakoso, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, ed.1, (Yogyakarta: Liberty
Yogyakarta, 1987), hal.75. 155
Ibid. 156
Prodjohamidjojo, Martiman, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia
(Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1997), hal. 31. 157
Andi Matalatta, “Santunan Bagi Korban” dalam J.E. Sahetapy (ed.)…Victimilogy
Sebuah Bunga Rampai (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987) , hal.41-42
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
108
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
muncul begitu saja, melainkan adalah hasil dari refleksi dan kesadaran manusia.
Hanya saja perbuatan tersebut telah menimbulkan kegoncangan sosial di
masyarakat.
Didalam hal kemampuan bertanggungjawab bila dilihat dari keadaan batin
orang yang melakukan perbuatan pidana merupakan masalah kemampuan
bertanggungjawab dan menjadi dasar yang penting untuk menentukan adanya
kesalahan, yang mana keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana
haruslah sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan normal, sebab karena orang
yang normal, sehat inilah yang dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan
ukuran – ukuran yang di anggap baik oleh masyarakat, yakni pertama pendekatan
yang melihat kejahatan sebagai dosa atau perbuatan yang tidak senonoh yang di
lakukan manusia lainya.158
Bagi orang yang jiwanya tidak sehat dan normal, maka ukuran tersebut
tidak berlaku baginya tidak ada gunanya untuk di adakanpertanggungjawaban,
sebagaimana di tegaskan dalam ketentuan Bab III Pasal 44 KUHP yang berbunyi
sebagai berikut :
1. Barangsiapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat di
pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya
atau karena sakit berubah akal tidak boleh di hukum
2. Jika nyata perbuatan itu tidak dapat di pertanggungjawabkan
kepadanya karena kurang sempurna akalnya karena sakit berubah akal
maka hakim boleh memerintahkan menempatkan di di rumah sakit gila
selama-lamanya satu tahun untuk di periksa.
3. Yang ditentukanya dalam ayat di atas ini, hanya berlaku bagi
Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri.159
Mengenai kemampuan bertanggungjawab sebenarnya tidak secara
terperinci ditegaskan oleh pasal 44 KUHP. Hanya di temukan beberapa
pandangan para sarjana, misalnya Van Hammel yang mengatakan, orang yang
mampu bertanggungjawab harus memenuhi setidaknya 3 (tiga) syarat, yaitu : (1)
158
Sutrisna dan I Gusti Bagus, “Peranan Keterangan Ahli dalam Perkara Pidana
(Tijauan terhadap pasal 44 KUHP),” dalam Andi Hamzah (ed.), Bunga Rampai Hukum Pidana
dan Acara Pidana (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hal. 78. 159
R. Soesil, op.cit, hal. 60-61
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
109
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
dapat menginsafi (mengerti) makna perbuatannya dalam alam kejahatan, (2) dapat
menginsafi bahwa perbuatanya di pandang tidak patut dalam pergaulan
masyarakat, (3) mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya terhadap
perbuatan tadi.160
Sementara itu secara lebih tegas, Simons mengatakan bahwa mampu
bertanggungjawab adalah mampu menginsafi sifat melawan hukumnya perbuatan
dan sesuai dengan ke insafan itu menentukan kehendaknya.161
Adapun menurut
Sutrisna, untuk adanya kemampuan beranggungjawab maka harus ada dua unsur
yaitu : (1) kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan
buruk, yang sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum; (2) kemampuan
untuk menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang baik dan buruknya
perbuatan tadi.162
Dengan kata lain, bahwa kemampuan bertanggungjawab berkaitan dengan
dua faktor terpenting, yakni pertama faktor akal untuk membedakan antara
perbuatan yang diperbolehkan dan yang di larang atau melanggar hukum, dan
kedua faktor perasaan atau kehendak yang menetukan kehendaknya dengan
menyesuaikan tingkah lakunya dengan penuh kesadaran.
Notaris adalah manusia alamiah (natuurlijk persoon) sebagai subjek
hukum pidana. Sanksi pidana terhadap Notaris harus dilihat dalam rangka
menjalankan tugas jabatan Notaris, artinya dalam pembuatan atau prosedur
pembuatan akta harus berdasarkan kepada aturan hukum yang mengatur hal
tersebut, dalam hal ini UUJN.
Tindak pidana yang dilakukan Notaris yang disertai dengan unsur
kesalahan tidak cukup untuk memidanakan Notaris. Unsur kemampuan
bertanggung jawab Notaris harus ada sehingga atas perbuatan dan kesalahan yang
dilakukan Notaris dapat dimintakan pertanggungjawabkan secara pidana.
Kemampuan bertanggungjawab dalam hukum pidana dilihat dari faktor
akal dan kehendak. Akal, yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang
diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Kehendak, yaitu dapat
160
Sutrisna dan I GustiBagus, op.cit, hal.79 161
Ibid. 162
Sutrisna, Ibid. hlm 83.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
110
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
menyesuaikan perbuatan dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan
mana yang tidak.
Secara umum, Notaris dituntut untuk memahami konsep akuntabilitas
(accountability) atau pertanggungjawaban. Akuntabiltas mempersoalkan
keterbukaan (transparancy) menerima kritik dan pengawasan (controlled) dari
luar serta bertanggung jawab kepada pihak dari luar atas hasil pekerjaannya atau
pelaksanaan tugas-jabatannya. Konsep akuntabilitas yaitu terdiri atas:163
1. Akuntabilitas Spiritual
Hal ini berkaitan secara langsung-vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa
dan bersifat pribadi. Akuntabilitas seperti ini dapat dilihat pada kalimat
yang tercantum dalam sumpah/janji jabatan Notaris. Bagaimana
implementasi akuntabilitas spiritual ini akan bergantung kepada diri
notaris yang bersangkutan. Akuntabilitas spiritual seharusnya mewarnai
dalam setiap tindakan/perbuatannotaris ketika menjalankan tugas
jabatannya. Artinya, apa yang diperbuat bukan hanya
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, melainkan juga kepada
TuhanYang Maha Kuasa.
2. Akuntabilitas Moral kepada Publik
Kehadiran Notaris adalah untuk melayani kepentingan masyarakat luas
yangmembutuhkan akta-akta otentik ataupun surat-surat lain yang menjadi
kewenangan Notaris. Masyarakat berhak untuk mengontrol “hasil kerja”
dari Notaris. Salah satu konkretisasi dari akuntabilitas ini, misalnya
masyarakat dapat menuntut Notaris jika ternyata hasil pekerjaannya
merugikan anggota masyarakat atau tindakan Notaris yang mencederai
masyarakat yang menimbulkan kerugian baik materil maupun immateril.
3. Akuntabilitas Hukum
Notaris bukan orang atau jabatan yang “imun” (kebal) dari hukum.
Adanya perbuatan/tindakan notaris yang menurut ketentuan hukum yang
berlaku dapat dikategorikan melanggar hukum (pidana, perdata,
administrasi), maka Notaris harus bertanggung jawab.
163“Konsep Akuntabilitas” www.materihukum.com/akuntabilitas.html, diunduh 13 Maret
2012.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
111
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
4. Akuntabilitas Profesional
Notaris dapat dikatakan profesional jika dilengkapi dengan keilmuan
mumpuni (intellectual capital) yang dapat diterapkan dalam praktik,
dalam hal bagaimana mengolah nilai-nilai atau ketentuan-ketentuan yang
abstrak menjadi suatu bentuk yang tertulis (akta) sesuai yang dikehendaki
oleh para pihak. Para Notaris dituntut meningkatkan kualitas dan kuantitas
keilmuan agar senantiasa profesional.
5. Akuntabilitas Administratif
Notaris sebelum menjalankan jabatan/tugasnya, tentu sudah mempunyai
surat pengangkatan sebagai Notaris, sehingga legalitasnya tidak perlu
dipertanyakanlagi. Perihal administrasi Notaris dalam hal pengangkatan
dan penggajian karyawan masih menjadi pertanyaan bagi Notaris sampai
saat ini. Banyak Notaris yang mengangkat karyawan karena pertemanan
ataupun persaudaraan, pada dasarnya apapun latar belakangnya tetap harus
ada pembenahan secara administratif. Perihal pengarsipan akta-akta
terkadang hanya ditata secara asal-asalan, padahal akta tersebut adalah
arsip negara yang harus diadministrasikan secara seksama. Sangat
beralasan jika Notaris harus belajar manajemen kantor Notaris yang bahan
dasarnya dari pengalaman-pengalaman Notaris senior yang sudah
dibukukan.
6. Akuntabilitas Keuangan
Bentuk akuntabilitas dalam bidang keuangan ini, yaitu melaksanakan
kewajiban pembayaran pajak ataupun membayar kewajiban lain pada
organisasi, seperti iuran bulanan. Pembayaran gaji para karyawan tidak
senantiasa mengacu (atau lebih dari) Upah Minimum Regional (UMR).
Mekanisme Pertanggungjawaban Pidana terhadap tindak pidana Notaris
dijelaskan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
3429/86tertanggal 12 April 1986 dikeluarkan sebelum diberlakukannya UUJN
untuk mengantisipasi ketentuan Pasal 17 dan Pasal 40 PJN. Surat Edaran tersebut
dikeluarkan untuk melindungi dan menjaga kerahasiaan akta yang merupakan
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
112
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
arsip negara apabila minuta akta diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan
dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.164
Surat Edaran tersebut mengatur perihal izin penyitaan minuta akta yang
disimpan oleh Notaris/Panitera yang didalamnya menyangkut tata cara
pemanggilan, pemeriksaan Notaris dan penyitaan akta-akta Notaris.
Sejak diundangkannya UUJN pada tanggal 6 Oktober 2004, pengaturan
mengenai pengambilan minuta akta dan pemanggilan diatur dalam Pasal 66
UUJN. Bab sebelumnya telah menjelaskan perihal Pasal 66 UUJN mutlak
kewenangan MPD yang tidak dipunyai oleh MPW maupun MPP. Substansi Pasal
66 bersifat imperatif dilakukan oleh penyidik, penuntut umum, atau hakim,dengan
batasan sepanjang berkaitan dengan tugas jabatan notaris dan sesuai dengan
kewenangan Notaris sebagaimana tersebut dalam pasal 15 UUJN.
MPD harus objektif ketika melakukan pemeriksaan atau meminta
keterangan dari Notaris untuk memenuhi permintaan peradilan, penyidik,
penuntut umum, atau hakim. Artinya MPD harus menempatkan akta Notaris
sebagai objek pemeriksaan yang berisi keterangan para pihak, bukan
menempatkan subjek Notaris sebagai objek pemeriksaan, sehingga tata cara atau
prosedur pembuatan akta harus dijadikan ukuran dalam pemeriksaan tersebut.
Tanpa izin dari MPD penyidik, penuntut umum dan hakim tidak dapat memanggil
atau meminta Notaris dalam suatu perkara pidana.165
Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya mempunyai wewenang,
kewajiban dan larangan yang apabila kewajiban dilanggar dan larangan tersebut
dilakukan, maka Notaris bisa dikenakan sanksi. Ketentuan mengenai sanksi diatur
dalam pasal 84 yaitu mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan
hukum pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau denda penggantian biaya,
ganti rugi dan bunga dan pasal 85 menetapkan sanksi bagi Notaris.
MPD melakukan pemeriksaan yang menempatkan Notaris sebagai objek,
maka MPD akan memeriksa tindakan Notaris dalam menjalankan tugas
jabatannya, yang pada akhirnya akan menggiring Notaris pada kualifikasi turut
serta atau membantu terjadinya suatu tindak pidana. Tindakan tersebut tidak
164
Abdulkadir Muhammad, op.cit., hal. 53-54.
165Habib Adjie,op.cit., hal 7.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
113
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
dibenarkan, karena tidak ada aturan hukum yang membenarkan MPD mengambil
tindakan dan kesimpulan yang dapat mengkualifikasikan Notaris turut serta atau
membantu melakukan suatu tindak pidana bersama-sama para pihak/penghadap.
MPD bukan instansi pemutus untuk menentukan Notaris dalam kualifikasi seperti
itu.166
MPD harus menempatkan akta Notaris sebagai objek karena berkaitan
dengan pembuatan akta, sehingga jika terbukti ada pelanggaran maka akan
dikenai sanksi sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 84 dan 85 UUJN.
Wewenang MPD bukanlah mencari unsur-unsur (pidana) untuk menggiring
Notaris dengan kualifikasi turut serta atau membantu melakukan suatu tindakan
atau perbuatan pidana dalam menjalankan tugas jabatannya.
MPD dalam menjalankan tugasnya mengawasi dan memeriksa adanya
dugaan pelanggaran kode etik atau pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris,
menemukan adanya pelanggaran atas laporan dari masyarakat, maka MPD
berwenang untuk memeriksa laporan masyarakat terhadap Notaris dan
menyampaikan hasil pemeriksaan tersebut kepada MPW dalam waktu 30 hari.
MPW menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas
laporan masyarakat serta memanggil Notaris yang bersangkutan untuk dilakukan
pemeriksaan. Keputusan yang dikeluarkan oleh MPW bersifat final. Notaris
berhak mengajukan banding ke MPP atas penolakan terhadap sanksi yang
dijatuhkan MPW dan MPP berhak menjatuhkan sanksi yaitu pemberhentian/
sementara. Sidang MPP bersifat terbuka untuk umum.
MPD berwenang untuk menyelenggarakan sidang untuk memeriksa
adanya dugaan pelanggaran kode etik Notaris atau pelaksanaan jabatan Notaris
dalam perkara pidana atas permintaan penyidik. Apabila ternyata MPD
memutuskan (berdasarkan surat keputusan yang dibuat oleh MPD) untuk
meloloskan Notaris untuk diperiksa oleh pihak penyidik, penuntut umum atau
pengadilan, sebagai implementasi Pasal 66 UUJN, tidak ada kemungkinan untuk
mengajukan keberatan untuk dilakukan pemeriksaan ke instansi majelis yang
lebih tinggi. Mekanisme seperti itu khusus untuk pelaksanaan Pasal 66 UUJN
tidak ditentukan atau tidak ada upaya hukum keberatan atau banding. Notaris
166
Ibid., hal 55-56
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
114
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
yang diloloskan oleh MPD untuk diperiksa oleh penyidik dapat mengajukan
upaya hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara dengan objek gugatan surat MPD
yang meloloskan Notaris tersebut.167
Hasil akhir dari pemeriksaan yang dilakukan oleh MPD berupa Surat
Keputusan. Surat Keputusan tersebut apabila dikaji bersifat konkret, individual,
final dan menimbulkan akibat hukum. Konkret artinya objek yang diputuskan
bukan suatu hal yang abstrak, dalam hal ini objeknya yaitu akta yang
diperiksaoleh MPD yang dibuat oleh Notaris. Individual artinya keputusan
ditujukan kepada Notaris yang bersangkutan. Final artinya sudah definitif, tidak
memerlukan persetujuan dari pihak lain, dapat menimbulkan akibat hukum
tertentu bagi Notaris yang bersangkutan. Ketentuan semacam ini hanya berlaku
untuk Surat Keputusan MPD sebagai penerapan dari pasal 66 UUJN.168
167
Ibid., hal. 55-56. 168
Ibid.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
115
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
2.3. ANALISIS URGENSI PENERAPAN TINDAK PIDANA NOTARIS
(TPN) BERKAITAN DENGAN KETIADAAN SANKSI PIDANA
DALAM UNDANG – UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG
JABATAN NOTARIS
Notaris adalah pejabat umum terpercaya yang berwenang untuk membuat
akta-akta yang dapat menjadi alat bukti yang kuat apabila terjadi sengketa hukum
di pengadilan. Seorang Notaris harus menjunjung tinggi harkat dan martabat
profesinya sebagai jabatan kepercayaan serta melaksanakan tugasnya dengan tepat
dan jujur, yang berarti bertindak menurut kebenaran sesuai dengan sumpah
jabatan Notaris.
Notaris sebagai pejabat umum harus dapat mengikuti perkembangan
hukum sehingga dalam memberikan jasanya kepada masyarakat Notaris dapat
membantu mengatasi dan memenuhi kebutuhan hukum yang terus berkembang
dan dapat memberikan jalan keluar yang dibenarkan oleh hukum. Peka, tanggap,
mempunyai ketajaman berfikir dan mampu memberikan analisis yang tepat
terhadap setiap fenomena hukum dan fenomena sosial yang muncul merupakan
sikap yang harus dimiliki Notaris sehingga akan menumbuhkan keberanian dalam
mengambil sikap yang tepat. Keberanian yang dimaksud adalah untuk menolak
membuat akta apabila bertentangan dengan hukum, moral dan etika.
Kepercayaan masyarakat terhadap Notaris adalah salah satu bentuk wujud
nyata kepercayaan masyarakat terhadap hukum, oleh sebab itu Notaris dalam
melaksanakan tugasnya harus tunduk dan terikat dengan peraturan-peraturan yang
ada.
Akta yang dibuat Notaris harus mengandung syarat-syarat yang diperlukan
agar tercapai sifat otentik dari akta tersebut, misalnya mencantumkan identitas
para pihak, membuat isi perjanjian yang dikehendaki para pihak, menandatangani
akta, dan sebagainya. Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka akta
tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum.
Rancangan akta yang sudah dibuat berupa konsep minuta akta sebelum
penandatanganan dilakukan, terlebih dahulu dibacakan dihadapan para penghadap
dan saksi-saksi yang dilakukan oleh Notaris yang membuat akta tersebut.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
116
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
Berdasarkan Pasal 16 ayat (1) huruf I UUJN, Notaris wajib membacakan akta
dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit dua orang saksi dan
ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi-saksi dan Notaris. Tujuan
pembacaan ini adalah agar para pihak saling mengetahui isi dari akta tersebut
sebab isi dari akta itu merupakan kehendak para pihak.
Apabila akta yang dibuat/diterbitkan Notaris mengandung cacat hukum
karena kesalahan Notaris baik karena kelalaian maupun karena kesengajaan
Notaris itu sendiri, maka Notaris itu harus memberikan pertanggungjawaban
secara moral dan secara hukum, hal ini dimaksudkan agar Notaris dapat bersikap
profesional dalam melakukan kewenangannya.
Dalam menjalankan jabatannya Notaris harus dapat bersikap profesional
dengan dilandasai kepribadian yang luhur dengan senantiasa melaksanakan
undang-undang sekaligus menjunjung tinggi peraturan yang diatur di dalam
UUJN. Berdasarkan Pasal 16 huruf a UUJN, seorang Notaris diharapkan dapat
bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak
yang terkait dalam perbuatan hukum.
Pada saat sekarang ini urgensi penerapan Tindak Pidana Notaris menjadi
bahan perbicangan masyarakat karena banyaknya Notaris yang terlibat dalam
tindak pidana. Dari catatan hasil wawancara dengan petugas penyidik kepolisian
disebutkan bahwa terdapat banyak Notaris terindikasi terlibat tindak pidana.
Senada dengan pernyataan penyidik kepolisian tersebut, diketahui pula bahwa di
MPD terdapat banyak nya permintaan izin dari penyidik kepolisian untuk
menyelidiki Notaris yang dilaporkan oleh masyarakat pengguna jasa Notaris.
2.3.1. KETIADAAN SANKSI PIDANA DALAM UUJN
Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) telah diundangkan dan
diberlakukan pada tanggal 6 Oktober 2004. Undang-undang ini menggantikan
Peraturan Jabatan Notaris yang lama yang diatur dalam Staatsblaad 1860 Nomor
3 yang merupakan Undang-Undang Jabatan Notaris produk Kolonial Hindia
Belanda. Lahirnya UUJN sesuai dengan yang diamanatkan dalam Undang-
Undang Nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
117
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
(Propenas) tahun 2000-2004 yang menekankan perlunya dilakukan
penyempurnaan terhadap peraturan perundang-undangan warisan kolonial dan
hukum nasional yang sudah tidak sesuai lagi. Adapun berbagai ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan sebelum adanya UUJN tersebut sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat Indonesia. Oleh
karena itu, perlu diadakan pembaruan dan pengaturan kembali secara menyeluruh
dalam satu undang-undang yang mengatur tentang jabatan Notaris sehingga dapat
tercipta suatu unifikasi hukum yang berlaku untuk semua penduduk di seluruh
wilayah negara Republik Indonesia. Dalam rangka mewujudkan unifikasi hukum
di bidang kenotariatan tersebut, dibentuk Undang-Undang tentang Jabatan Notaris
(UUJN).
Namun UUJN yang telah disahkan tersebut ternyata tidak terdapat sanksi
pidana bagi Notaris yang melakukan tindak pidana, padahal jika kita perhatikan
kembali PJN, suatu peraturan yang menjadi cikal bakal UUJN, di dalamnya
terdapat sanksi pidana bagi Notaris yang melanggar ketentuan, walaupun hanya
mencantumkan sanksi pidana denda, dan bukan sanksi pidana kurungan penjara.
Dengan berbagai faktor penyebab yang sudah dibahas di sub-bab di atas, adalah
suatu hal yang mungkin bahwa seorang Notaris dapat melakukan tindak pidana
yang akan merugikan masyarakat pengguna jasa Notaris.
Menurut anggota Majelis Pengawas Pusat Winanto Wiryomartani, SH,
M.Hum menyebutkan “Ketiadaan sanksi pidana dalam UUJN dikarenakan
pekerjaan Notaris bersifat administratif, bisa dilihat dari sejarah adanya Notaris
itu sendiri, pada saat raja mengucapkan sesuatu, apa yang diucapkan tersebut
menjadi suatu Undang-Undang, namun masyarakat dapat lupa akan ucapan raja
tersebut kemudian dituangkanlah dalam bentuk kertas dan diberikan tanda
menyerupai stempel/cap pada saat ini. Pada saat itu Notaris lah yang ditunjuk
untuk menulis setiap ucapan raja yang akan menjadi Undang-Undang yang
berlaku kepada masyarakat banyak. Dalam UUJN sebenarnya terdapat unsur
pidana yaitu pasal 13 UUJN”. 169
Melihat pernyataan diatas, penulis berpendapat bahwa pernyataan tersebut
sudah tidak relevan lagi pada saat sekarang ini karena setiap pekerjaan apapun
169Wawancara tertulis dengan Winanto Wiryomartani, SH, M.Hum, Anggota MPP,
Depok, 05 Desember 2012.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
118
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
jenis pekerjaannya baik bersifat administratif ataupun lainnya pasti bisa saja
melakukan perbuatan tindak pidana. Pakar Hukum Pidana dan Dosen Hukum
Pidana Universitas Indonesia Gandjar Laksmana menyebutkan “ Setiap pekerja
adalah merupakan subjek hukum, subjek hukum merupakan pengemban hak dan
kewajiban. UUJN menjadikan Notaris sebagai subjek hukum tersendiri, dengan
hak dan kewajiban tersendiri pula. Hak dan kewajiban Notaris tersebut pasti
berkonsekuensi dengan pidana”.170
Sanksi pidana tidak diatur dalam UUJN, sehingga terbuka untuk penerapan
unsur pidana. Hal ini bukan berarti bahwa Notaris dalam menjalankan jabatannya
tidak bersinggungan dengan hukum pidana. Sebagaimana telah diuraikan pada sub
bab sebelumnya bahwa tindak pidana yang berhubungan dengan jabatan Notaris
adalah tindak pidana yang diatur dalam pasal 263, pasal 264, pasal 266, dan/atau
pasal 55 KUHP. Dalam hal ini, Notaris juga dapat dipidana berdasarkan tindak
pidana yang dilakukan dengan pemberatan berdasarkan pasal 52 KUHP,
pemberatan tersebut diberikan karena tindak pidana tersebut dilakukan dalam
kedudukannya sebagai pejabat umum (ambtenar).
Ketiadaan sanksi pidana dalam UUJN bisa menjadi bumerang kepada
banyak Notaris karena dengan ketiadaan sanksi pidana tersebut banyak
masyarakat yang menganggap bahwa Notaris tidak dapat bersikap profesional
dalam melakukan kewenangannya dan hal ini dapat menurunkan kepercayaan
masyarakat kepada Notaris. Sanksi pidana menjadi penting dimasukan dalam
UUJN selain menjadikannya sebagai koridor dalam melaksanakan
kewenangannya, sanksi pidana ini juga dapat bersifat preventif yaitu pencegahan
sebelum kejahatan itu terjadi.
Sanksi pidana dalam UUJN juga sangat penting agar Undang-Undang
tersebut berlaku efektif dan dapat menegakkan keadilan bagi masyarakat yang
dirugikan akibat dari akta otentik yang dibuat oleh Notaris. Seperti pendapat
Kepala Bidang Hukum Polda Metro Jaya Kombespol Aminullah, SH bahwa
Undang-Undang akan menjadi efektif apabila Undang-Undang tersebut terdapat
sanksi pidana bagi pelanggar yang melakukan tindak pidana. Agar UUJN bisa
berlaku efektif sehingga perlu diatur mengenai sanksi pidana khusus Notaris.
170Wawancara tertulis dengan Gandjar Laksmana, SH.,MH, Dosen Hukum Pidana
Universitas Indonesia, Depok, 01 Desember 2012.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
119
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
Mengenai pasal 66 UUJN dalam praktiknya ternyata terdapat banyak kendala
yaitu menjadi penghambat penyidikan yang dilakukan oleh penegak hukum dan
Notaris berlindung pada pasal ini artinya pada MPD. Menurut beliau Notaris
merupakan pekerjaan yang mulia karena Notaris membantu orang-orang yang
tidak mengerti hukum dalam pembuatan akta otentik, pekerjaan Notaris menjadi
tidak mulia apabila berpihak kepada salah satu pihak yang hanya mencari
keuntungan semata bahkan beliau mengatakan lebih lanjut bahwa terdapat 1 dari
10 Notaris yang terindikasi melakukan tindak pidana.171
Senada dengan pernyataan diatas, ketika penulis mendatangi MPD
ditemukan data bulan Januari sampai dengan Desember tahun 2012 ini bahwa
banyak sekali Notaris yang dipanggil oleh kepolisian karena akta nya terindikasi
mengandung unsur tindak pidana. Penulis mencatat dari 30 surat panggilan
penyidik untuk Notaris melalui MPD hanya 10 Notaris yang diizinkan untuk
dilakukan penyidikan oleh penegak hukum. Hal ini akan menjadikan preseden
buruk penegakan keadilan bagi masyarakat yang dirugikan karena sikap Notaris
yang “nakal”.
Dari beberapa data yang didapatkan oleh penulis, dugaan pidana yang
dilakukan Notaris terhadap akta yang dibuatnya, maupun terhadap tindakan
notaris dalam melaksanakan jabatannya, tertuang jelas dalam surat panggilan
penyidik yang dilayangkan kepada MPD. Seperti halnya dalam surat Panggilan
Penyidik Nomor B/1920/VII/2012/Ditreskrimum, Direktorat Reserse Kriminal
Umum Polda Metro Jaya, dengan penyidik Ajun Kombespol Helmy Santika, SH,
Sik, M.Si, menyebutkan bahwa adanya laporan korban ke kepolisian Nomor
LP/1984/K/VI/ 2012/ PMJ/Ditreskrimum tertanggal 11 Juni 2012 perihal perkara
pidana penggelapan, dan atau pemalsuan, dan atau memberikan keterangan palsu
pada akta otentik, sebagaimana dimaksud dalam pasal 372 KUHP dan atau pasal
263 KUHP dan atau pasal 266 KUHP. Dalam kasus tersebut, turut menyeret
seorang Notaris bernama Srie Mukyatie Oesaid, SH, Notaris di Jakarta Selatan,
dimana ada dugaan bahwa Notaris tersebut membuat akta dengan data dan
penghadap yang direkayasa. Menurut data dari MPD Jakarta Selatan tersebut,
pihaknya memberikan jawaban atas surat panggilan tersebut dengan tidak
171 Wawancara tertulis dengan Kombespol Aminullah, SH, Kepala Bidang Hukum Polda
Metro Jaya, Jakarta, 05 Desember 2012.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
120
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
mengijinkan pihak penyidik untuk menghadirkan Notaris yang bersangkutan.
(data terlampir).
Kemudian penulis melihat terdapat surat panggilan penyidik Nomor
B/3498/XI/2012/Restro Jaksel Direktorat Reserse Kriminal Umum Polres Jakarta
Selatan tanggal 7 November 2012, dengan penyidik Ajun Kombespol Hermawan,
Sik, MM menyebutkan bahwa adanya laporan korban ke kepolisian Nomor
LP/292/K/II/2012/PMJ/Res JakSel tertanggal 22 Februari 2012 perihal perkara
pidana penggelapan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 372 KUHP dan atau
pasal 374 KUHP. Dalam kasus tersebut, turut menyeret seorang Notaris bernama
Agung Setiawan Baharudin, SH, Notaris di Jakarta Selatan, dimana ada dugaan
bahwa Notaris tersebut menggelapkan Pajak Pembeli (BPHTB) sebesar Rp.
69.687.000,-. Dalam hal ini penulis agak menyayangkan keterlambatan tanggapan
MPD dalam memberikan respon untuk pemanggilan Notaris tersebut dan balasan
jawaban mengijinkan atau tidak mengijinkan ke pihak penyidik kepolisian, yang
seharusnya dijawab paling lambat 14 hari sesuai dengan ketentuan pasal 6
Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No: M.03.HT.10/2007, namun pada
kenyataannya lebih dari 2 bulan tidak mendapatkan balasan dari MPD terlihat dari
Surat Pemanggilan Notaris Nomor : 8/MPDN.JAKSEL/P.NOT/I/2013 tertanggal
3 Januari 2013. (data terlampir)
Berikut merupakan tabel data pemanggilan Notaris tahun 2012 yang
didapatkan dari MPD Jakarta Selatan:
No Bulan Pemanggilan
Notaris
Dijinkan Tidak
Diijinkan
Lain-lain
1 Januari 2 1 0 1
2 Februari 19 7 10 2
3 Maret 8 2 5 1
4 April 12 8 3 1
5 Mei 10 6 2 2
6 Juni 3 0 3 0
7 Juli 13 8 5 0
8 Agustus 2 1 1 0
9 September 1 0 1 0
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
121
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
10 Oktober 10 2 5 3
11 November 15 3 8 4
12 Desember 14 1 6 7
Penulis mengolah data tersebut dan didapatkan bahwa rata-rata dalam
sebulan terdapat 9 surat permintaan izin pemanggilan dari Penyidik Kepolisian
kepada MPD Jakarta Selatan, kemudian penulis memprosentasekan dengan
diagram agar terlihat jelas perbandingan antara diijinkan dan tidak diijinkan,
sebagaimana terlihat dibawah ini :
Terlihat dari prosentase diagram diatas bahwa terdapat 45,0% tidak
diijinkan, 35,8% diijinkan dan 19,3% lain-lain. Hal ini menggambarkan bahwa
ternyata cukup banyak MPD tidak mengijinkan penyidik kepolisian memanggil
Notaris. Oleh karena itu penulis menanyakan kepada MPD mengenai penyebab
banyaknya MPD mengeluarkan keputusan untuk “tidak mengijinkan”, yaitu
sebagian besar alasannya karena berdasarkan hasil rapat MPD yang memutuskan
bahwa Notaris tersebut sudah melakukan sesuai prosedur dalam UUJN dan juga
karena apa yang tercantum dalam surat pemanggilan tersebut tidak memenuhi
pasal 15 ayat 1 Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No: M.03.HT.10/2007
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
122
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
tentang Pengambilan Minuta dan Pemanggilan Notaris. Kemudian terhadap “lain-
lain” karena alasan Notaris tersebut sudah pensiun, Notaris tersebut tidak ada
dalam data base MPD ataupun bukan kewenangan MPD untuk mengijinkan
karena yang bersangkutan menjalankan jabatannya sebagai PPAT bukan sebagai
Notaris.
Hal diatas seakan merupakan pembenaran dari salah satu pembahasan
dalam Kongres XX INI di Surabaya akhir Januari 2009 lalu, yang
mengungkapkan bahwa masih banyak Notaris yang melanggar UUJN dalam
membuat akta, misalnya pembuatan perjanjian kredit antar bank dan nasabah. Ada
Notaris nakal yang tetap menelurkan akta meskipun tidak memenuhi syarat
lantaran jaminannya bermasalah. Adapula Notaris yang tidak mengetahui pihak
pihak yang tertuang dalam akta dikarenakan kliennya merupakan limpahan dari
Notaris dari daerah lain.
Menurut Soegeng Santosa, disela-sela Kongres XX INI tersebut, bahwa
sudah bukan rahasia umum apabila seseorang takut dipanggil polisi padahal
belum tentu juga seorang itu bersalah, ketakutan ini juga dialami oleh Notaris,
akibatnya pemanggilan Notaris ke kepolisian menjadi momok yang menakutkan
bagi para pembuat akta. Saat menerima surat panggilan dari polisi, Notaris
langsung gemetar. Selanjutnya mantan anggota MPP tersebut mensinyalir bahwa
pemanggilan oleh polisi justru disebabkan oleh kecerobohan Notaris itu sendiri
dalam membuat akta.172
Apabila seorang Notaris sudah sesuai dengan prosedur dalam melakukan
kewenangannya kenapa harus takut apabila dipanggil penyidik dan berlindung
kepada pasal 66 UUJN tersebut. Notaris yang mengerti dengan hukum seharusnya
tidak menjadi penghambat penegak hukum dalam melaksanakan penyidikan,
justru seharusnya menjadi pendukung penegak hukum agar bisa dibuktikan
melalui putusan pengadilan baik itu perdata maupun pidana.
Putusan perkara perdata dan pidana sudah tentu menimbulkan efek yang
berbeda untuk setiap orang yang melakukan kesalahan baik disengaja ataupun
tidak disengaja. “Putusan perkara pidana mencerminkan kebenaran materiil atau
172
Pernyataan Soegeng Santoso mantan Anggota MPP dalam Artikel “Ketika Notaris
Dipanggil Polisi” http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21201/ketika-notaris-dipanggil-
polisi , diunduh 06 Desember 2012.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
123
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
kebenaran yang sesungguhnya/sejati, karena yang dicari dari proses pemeriksaan
dan persidangan perkara pidana adalah suatu kebenaran sejati, sedangkan
kebenaran yang dicari dalam pemeriksaan perkara perdata cukup pada kebenaran
formil semata”.173
Dari pernyataan tersebut Sanksi pidana dalam UUJN bisa
menjadi pidana baru karena yang dikenakan sanksi pidana hanyalah seorang
Notaris bukan masyarakat biasa yang tidak dapat mengeluarkan akta otentik.
Pakar Hukum Pidana dan Dosen Hukum Pidana Universitas Indonesia Gandjar
Laksmana, SH.MH menyebutkan bahwa Sanksi pidana dalam UUJN bisa
merupakan perbuatan pidana baru, yaitu perbuatan pidana yang hanya bisa
dilakukan oleh Notaris, bisa juga perbuatan yang sama dengan ketentuan KUHP
sehingga penerapannya memerlukan ajaran Lex Spesialis dengan dasar hukum
pasal 103 dan pasal 63 ayat 2 KUHP.174
Notaris sudah mempunyai standar prosedur dalam melaksanakan tugasnya,
apabila Notaris tersebut sudah menjalankan tugasnya seusai dengan prosedur yang
telah ditetapkan bisa dipastikan Notaris tersebut tidak akan bersentuhan dengan
sanksi perdata maupun sanksi pidana. Standar prosedur, kewenangan, kewajiban
dan larangan Notaris sudah diatur dalam UUJN.
Dalam pasal 84 UUJN disebutkan bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh
Notaris mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian
sebagai akta dibawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum dapat
menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian
biaya, ganti rugi dan bunga kepada Notaris. Kemudian dalam pasal 85 UUJN,
disebutkan bahwa apabila seorang Notaris melakukan pelanggaran dapat
dikenakan sanksi berupa :
a. Teguran lisan
b. Teguran tertulis
c. Pemberhentian sementara
d. Pemberhentian dengan hormat
e. Pemberhentian dengan tidak hormat
173
Briely Napitupulu “Kasus Dugaan Notaris”, www.magister-
kenotariatan.blogspot.com/2012/11/legal-opini-kasus-dugaan-notaris.html , diunduh 10 Desember
2012. 174Wawancara tertulis dengan Gandjar Laksmana, SH.,MH, Dosen Hukum Pidana
Universitas Indonesia, Depok, 01 Desember 2012.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
124
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
Sanksi-sanksi yang terdapat dalam UUJN hanyalah sanksi Administratif
dan sanksi perdata yang menurut pandangan masyarakat tidak dapat menimbulkan
efek jera bagi Notaris yang melakukan kesalahan baik sengaja maupun lalai.
“Barangsiapa” bahwa setiap orang apapun jabatan dan profesinya yang melakukan
tindak pidana dan terbukti secara sah dan menyakinkan bahwa telah terjadi
perbuatan pidana maka orang tersebut dapat dikenakan sanksi pidana, sama
halnya dengan seorang yang menjabat sebagai Notaris, apabila Notaris yang
membuat akta otentik terbukti secara sah melanggar perundang-undangan baik
secara sengaja ataupun tidak sengaja melakukan perbuatan tindak pidana maka
yang bersangkutan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dan dapat
dikenakan sanksi pidana.
Setiap perbuatan melanggar hukum harus diproses untuk mendapatkan
kebenaran dan keadilan baik terhadap korban, pihak lain, maupun orang yang
melakukan tindak pidana, yang bersalah harus mendapat hukuman. Pihak-pihak
yang merasa dirugikan oleh Notaris dapat membuat pengaduan ke MPD, pihak
kepolisian, kejaksaan, sampai ke pengadilan. Notaris yang terlibat dalam kasus-
kasus pidana bisa saja menjadi saksi, tersangka, terdakwa, bahkan bisa menjadi
terpidana. Sehingga seharusnya terdapat tindak pidana kekhususan bagi Notaris,
dimana perbuatan tersebut hanya dapat dilakukan oleh seorang Notaris pada saat
menjalankan jabatannya. Hal-hal yang khas dalam profesi Notaris :175
a. Jenis tindak pidana yang bisa dilakukan dalam profesi Notaris dapat
merupakan tindak pidana formil dimana akibat bukan merupakan unsur
delik (misalnya turut serta atau membantu tindak pidana penipuan,
penggelapan, pemalsuan), bisa juga dalam bentuk tindak pidana materiil
(misalnya turut serta atau membantu tindak pidana korupsi yang
merugikan keuangan Negara) dimana akibat merupakan unsur tindak
pidana yang harus dibuktikan.
b. Berbagai tindak pidana dalam profesi Notaris akan berkaitan erat dengan
wewenang utama Notaris, yaitu pembuatan akta otentik, pengesahan tanda
tangan, membukukan dan membuat kopi surat-surat dibawah tangan,
175Muladi, op.cit. hal. 9.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
125
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
pengesahan kopi sesuai dengan aslinya, membuat akta pertanahan dan
risalah lelang dan kewenangan lain yang diatur dalam UUJN.
Oleh sebab itu maka kemungkinan keterlibatan seorang Notaris dalam
tindak pidana yaitu sama dengan setiap orang lain yang melakukan tindak pidana.
Sehingga Notaris yang telah dijatuhi sanksi pidana tidak berhak untuk membuat
suatu akta ataupun menjalankan kewenangannya sebagai Notaris. Dengan
demikian ketiadaan sanksi pidana dalam UUJN tidak berarti bahwa Notaris tidak
dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.
UUJN hanya mengatur mengenai pelanggaran administrsi dan pelanggaran
etika profesi, sehingga apabila terjadi tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris
maka penegak hukum selalu merujuk pada KUHP dan harus melewati proses
yang telah diatur oleh pasal 66 UUJN, seperti penyidikan yang dilakukan oleh
kepolisian haruslah terlebih dahulu meminta izin MPD. Berbeda halnya dengan
pendapat dari Gandjar Laksmana, S.H., M.H, seorang ahli hukum pidana UI, yang
menegaskan bahwa :176
“Boleh saja penyidik langsung memanggil jika pelanggaran yang dilakukan
Notaris itu berkaitan dengan tugas dan jabatannya. Kalau sedikit-sedikit penyidik
harus meminta izin MPD, maka nantinya proses pelaksanaan penegakan hukum
akan terhambat oleh birokrasi. Ini tidak benar. Harusnya izin-izin seperti ini tidak
ada. Biarkan saja penyidik langsung memanggil oknum Notaris yang melakukan
pelanggaran hukum tersebut. Apabila terdapat kesulitan mengenai kasusnya maka
dapat menghadirkan ahli. Dengan cara begini akan menjamin kepastian proses
hukum. Sebaliknya, jika tidak maka proses hukum tidak akan berjalan karena
terhambat izin dan kasusnya terutang terus. Pada prinsipnya, orang dapat
dikenakan pidana atas perbuatannya, bukan karena statusnya sebagai Notaris atau
bukan. Misalnya oknum Notaris memalsukan akta. Di sini, "pemalsuan" tidak
diatur di dalam UUJN, tapi di KUHP ada. Kalau melihat UUJN, UUJN tidak
memberikan sanksi pidana, sehingga kalau ada pelanggaran maka pelakunya tidak
bisa dikenakan sanksi pidana. Di UUJN, pelanggaran jabatannya ada, tapi tidak
bisa dipidana. Karena kejahatan jabatannya ada maka mau tidak mau kita
mengacu kepada kejahatan jabatan yang ada di KUHP. Kalau mau
mengesampingkan ketentuan KUHP maka harus dibuat aturan yang sama dengan
prinsip yang berbeda.”
Kewenangan yang diberikan UUJN kepada MPD yakni memberikan
persetujuan atau tidak memberikan persetujuan kepada penyidik, penuntut umum,
176Gandjar Laksmana, “Notaris diperiksa polisi, lewat MPD
dulu?”,http://medianotaris.com/notaris_diperiksa_polisi_lewat_mpd_dulu_berita107.html,
diunduh 31 Oktober 2012.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
126
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
atau hakim dalam pelaksanaan ketentuan pasal 66 UUJN, tidak ada kriteria
pengaturannya secara normatif, namun diatur dalam Peraturan Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Pemenkumham) Nomor M.03.HT.10
tahun 2007 tentang pengambilan minuta dan pemanggilan Notaris, dimana diatur
kriteria umum, yaitu :177
1. Syarat pemanggilan Notaris guna pemeriksaan sabagai saksi atau tersangka:
a. Adanya dugaan tindak pidana berkaitan dengan minuta akta dan/atau
surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol Notaris
dalam penyimpanan Notaris atau;
b. Belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan tentang daluarsa
dalam peraturan perundang-undangan di bidang pidana.
2. Syarat pengambilan copy minuta akta dan atau surat-surat yang dilekatkan
pada minuta akta atau protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris, yaitu:
a. Adanya dugaan tindak pidana berkaitan dengan minuta akta dan/atau
surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol Notaris
dalam penyimpanan Notaris atau;
b. Belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan tentang daluwarsa
dalam peraturan perundang-undangan di bidang pidana.
3. Syarat pengambilan minuta akta dan atau surat-surat yang dilekatkan pada
minuta akta atau protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris, yaitu:
a. Adanya dugaan tindak pidana berkaitan dengan minuta akta dan/atau
surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol Notaris
dalam penyimpanan Notaris atau;
b. Belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan tentang daluwarsa
dalam peraturan perundang-undangan di bidang pidana;
c. Ada penyangkalan keabsahan tanda tangan dari para pihak;
d. Adanya pengurangan atau penambahan dari minuta akta;
e. Adanya dugaan Notaris melakukan pemunduran tanggal akta
(antidatum).
177Pieter Latumeten, “Perlindungan Jaminan Hukum Bagi Profesi Notaris”,
http://www.firstadvice-online.com/main.php?page=kategoridet&id=61, diunduh 22 November
2012.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
127
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
Penjatuhan hukuman pemberhentian secara tidak hormat pun baru
diterapkan oleh MPP pada tahun 2009, setelah berlakunya UUJN selama 3 tahun
lamanya, dan vonis itu dijatuhkan kepada Notaris asal Klaten, Lani Sofyan pada
Oktober 2009 lalu. MPP sendiri masih mempunyai banyak tunggakan penanganan
perkara dikarenakan tidak adanya anggaran. Pos anggaran MPP masuk pada
anggaran Sekertariat Jenderal Departemen Hukum dan Ham, sehingga perkara
yang telah ada harus ditangguhkan untuk menunggu anggaran tahun berikutnya.
Melihat dari kondisi tersebut bahwa dalam menjalankan proses MPP pun terdapat
kendala dalam ketersediaan anggaran.178
Hukuman Lani Sofyan tersebut merupakan rekomendasi dari MPW Jawa
Tengah. Lani dihukum lantaran tidak membayar uang titipan pajak penghasilan
(PPh) dan bea perolehan hak tanah dan bangunan (BPHTB) milik kliennya,
padahal MPP telah memberikan waktu agar Lani mengembalikan uang itu. Lani
dikenakan pasal berlapis oleh MPW Jawa Tengah yaitu pasal 16 ayat (1) hurf a
dan d, pasal 17 huruf b dan pasal 48 ayat (1) UUJN. MPW Jawa Tengah pada
dasarnya mengakui perbuatan Lani Sofyan bisa dikategorikan sebagai tindak
pidana, namun tidak melaporkan hal itu pada kepolisian.
Dalam praktek transaksi jual beli tanah dan bangunan, pada umumnya
pembeli tidak mau repot dalam pembayaran pajak, sehingga menitipkan uang
pembayaran pajak tersebut kepada Notaris atau pegawainya, disinilah peluang
untuk melakukan penggelapan dan/atau pemalsuan terjadi. Dari hasil penelitian
dan penyidikan yang dilakukan Dirjen Pajak, diduga puluhan Notaris/PPAT yang
terlibat melakukan pemalsuan BPHTB dan SSP, sebagian besar kasus pemalsuan
BPHTB dan SSP memang ditemukan di Jakarta, tetapi tidak tertutup
kemungkinan kejahatan tersebut ada di wilayah lain. Terhadap para pemalsu
tersebut, sebenarnya dapat diancam dengan tindak pidana pemalsuan, namun
langkah tersebut belum diambil oleh Ditjen Pajak karena masih dalam tahap
penelitian.179
178Pernyataan Djoko Santoso Sekertaris MPN Pusat dalam artikel “ Terobosan Baru Sang
Pengawal Notaris “ http://www.hukumonline.com/berita/baca/Jt4b3c08dadea4a/terobosan-baru-
sang-pengawal-notaris- , diunduh 21 Desember 2012. 179 Pernyataan Hadi Poernomo mantan Dirjen Pajak dalam artikel “Dirjen Pajak Lakukan
Pembersihan terhadap Notaris Nakal” http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21201/ketika-
notaris-dipanggil-polisi , diunduh 21 Desember 2012.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
128
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
Menurut Widyatmoko untuk menindak Notaris nakal seharusnya UUJN
memuat ketentuan pidana khusus buat Notaris, baik itu pidana berupa denda,
kurungan atau penjara, sebab Notaris bertugas membuat akta. Dengan akta itu,
Notaris bisa menyebabkan seseorang hilang hak. Kalau hak orang hilang, otomatis
masyarakat akan dirugikan. Untuk pembinaan seharusnya dilakukan oleh
Mahkamah Agung, sebab produk Notaris adalah akta otentik yang bisa menjadi
bukti yang sempurna di Pengadilan, nantinya pembinaan itu dilakukan dengan
memeriksa pembukuan dan protokol Notaris.180
Berbagai tanggapan masyarakat yang berkaitan dengan tindak pidana yang
dilakukan oleh Notaris :181
1. Terhadap dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh seorang Notaris,
Majelis Pengawas sangat terkesan over protektif bahkan menutupi
Notaris yang bersangkutan. Sisi positifnya mungkin terbukti persatuan
Notaris cukup solid, namun disini saya khawatir bahwa tindakan
Majelis Pengawas tersebut pada akhirnya akan menjatuhkan wibawa
seluruh Notaris di Indonesia secara umum. (Franz Abraham)
2. Ada beberapa bukti karyawan Notaris bekerjasama dengan Notaris
melakukan pemalsuan SSB atau SSP. Di daerah Tangerang bahkan ada
Notaris yang tidak malu-malu bermain SSB dan SSP palsu, meskipun
sudah banyak Notaris yang tahu, namun tidak ada tindakan dari
Majelis Pengawas terhadap si pelaku. (Albert Aruan, SH, LL.M)
3. Masyarakat sudah saatnya sadar, jika dirugikan oleh Notaris laporkan,
kalau perlu lapor ke pihak kepolisian jika terindikasi ada tindak pidana
yang dilakukan Notaris. (Rusmin Subagus)
4. Notaris yang banyak terlibat dalam kasus hukum menunjukan bahwa
jumlah Notaris di Indonesia sudah overload. Penyebaran Notaris yang
tidak merata menyebabkan Notaris tidak memperoleh penghasilan
yang memadai untuk menutupi biaya hidup. (Desmansh)
180 Komentar Kandidat Ketua INI MG Widyatmoko, dalam artikel “Tak Ada Hukuman
Buat Notaris Nakal” http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21125/tak-ada-hukuman-buat-
notaris-nakal, diunduh 06 Desember 2012. 181 Tanggapan Masyarakat dalam Artikel artikel “Tak Ada hukuman Buat Notaris Nakal”
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21125/tak-ada-hukuman-buat-notaris-nakal, diunduh
06 Desember 2012.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
129
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
5. Saya sering menjumpai banyak akta yang tidak benar yang dibuat oleh
Notaris, tetapi tidak pernah dilakukan penindakan oleh Majelis
Kehormatan Notaris, hal ini sangat merugikan masyarakat karena
Notaris adalah Pejabat, oleh karenanya harus mendapatkan hukuman
baik pidana maupun perdata jika kesalahan tersebut telah nyata
dilanggar oleh Notaris. (Abdul Aziz)
6. Indonesia adalah Negara Hukum, maka setiap orang yang melanggar
baik pejabat pemerintah maupun masyarakat yang melakukan
pelanggaran maka wajib dihukum, oleh karena itu barangsiap yang
mengetahui ada pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris silahkan
laporkan kepada pihak yang berkepentingan, baik itu pidana maupun
perdata. Karena di Republik ini tidak ada yang kebal hukum. (Alfan)
7. Ada dua kemungkinan : 1. Notaris yang tergabung dalam INI memang
baik atau jujur semua ? 2. MPN tidak berfungsi atau sengaja tidak
difungsikan karena terlalu banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh
anggota sehingga akan merusak citra Notaris secara keseluruhan.
(Maysah)
Menurut penulis dalam menanggapi tanggapan atau komentar dari
berbagai pihak baik pejabat pemerintah, penegak hukum, akademisi maupun
masyarakat tersebut di atas, maka keberadaan sanksi pidana sebagai sanksi yang
paling kuat akan membuat suatu undang-undang menjadi lebih dipatuhi. Dengan
tidak adanya sanksi pidana, akan muncul suatu kecenderungan bahwa undang-
undang tersebut tidak memiliki komposisi sanksi yang cukup kuat dan tidak dapat
menimbulkan efek jera bagi orang yang melakukan pelanggaran tindak pidana.
Walaupun dalam beberapa tanggapan, banyak disebutkan bahwa peran
sanksi pidana itu telah dipegang oleh KUHP dalam hal penjatuhan pidana
terhadap Notaris yang melakukan tindak pidana, tetapi dalam kenyataannya hal
tersebut tidaklah mudah penerapannya.
Ada dua hal yang cenderung akan terjadi dalam penerapan sanksi pidana
dalam KUHP tersebut terhadap Notaris, yaitu :
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
130
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
a. Ada sanksi pidana dalam KUHP yang memuat unsur-unsur yang jika
unsur-unsur pidana tersebut terpenuhi, maka tindakan tersebut terbukti
sebagai tindak pidana seperti yang diatur dalam pasal yang
bersangkutan, namun ternyata dalam pandangan “Dunia Notaris”,
dalam hal ini yaitu tindakan Notaris yg dikategorikan “tindakan notaris
dalam menjalankan jabatannya”, hal tersebut bukanlah merupakan suatu
tindak pidana, dikarenakan apa yang dilakukan oleh Notaris tersebut
telah sesuai dengan ketentuan UUJN, kode etik ataupun peraturan
terkait lainnya mengenai Notaris (telah sesuai dengan prosedur).
b. Ada pula tindakan Notaris yang dianggap merugikan dan dianggap
sebagai tindak pidana, namun karena kekhususan tindak pidana yang
dilakukannya tersebut belum diatur dalam peraturan perundangan
manapun sehingga akhirnya merujuk kepada peraturan yang telah ada,
atau dapat pula sebenarnya sudah diatur dalam suatu peraturan
perundang-undangan, termasuk KUHP, dimana ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan maupun KUHP tersebut, yaitu unsur-
unsur tindak pidana yang didakwakan terhadap Notaris yang
bersangkutan, adalah terlalu umum, sehingga banyak yang dijadikan
celah untuk dianggap “tidak memenuhi unsur pidana” dan membuat
Notaris lolos dari jerat hukum dan/atau dipidana dengan ketentuan yang
terkesan dipaksakan.
Melihat kecenderungan di atas, penulis berpendapat bahwa ada baiknya
dirumuskannya TPN dan sanksi pidananya ke dalam UUJN, dengan harapan dan
tujuan serta manfaat sebagai berikut ::
a. Tujuannya :
1. Membuat pelaku TPN menderita dengan mendapatkan balasan
setimpal atas perbuatannya;
2. Mencegah terjadinya TPN;
3. Mencegah adanya Notaris palsu;
4. Melindungi masyarakat khususnya masyarakat pengguna jasa
Notaris.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
131
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
b. Manfaatnya :
1. Akan lebih tercapainya kepastian hukum dan keadilan yang
merata (proporsional) bagi seluruh pihak, baik dalam pandangan
masyarakat umum, pemerintah, maupun kalangan Notaris sendiri;
2. Melindungi profesi Notaris, yaitu ada suatu kepastian berupa
terdapatnya rumusan-rumusan yang jelas mengenai bentuk-bentuk
dari tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris;
3. Akan memberikan pengaruh positif bagi Notaris karena akan
mendorong Notaris untuk bertindak lebih profesional dan
independen tidak berpihak dalam menjalankan profesinya;
4. Meningkatkan kepercayaan masyarakat
5. sebagai koridor Notaris dalam melaksanakan kewenangannya;
6. UUJN akan menjadi lebih berlaku efektif;
7. UUJN akan menjadi lebih kuat;
8. UUJN akan menjadi lebih dipatuhi.
2.3.2. URGENSI PENERAPAN TPN BERKAITAN DENGAN
KETIADAAN SANKSI PIDANA DALAM UUJN
Notaris merupakan profesi yang sangat penting dan dibutuhkan dalam
masyarakat, mengingat kewenangan dari Notaris adalah sebagai pembuat alat
bukti tertulis berupa akta-akta otentik. Sebagai pejabat umum Notaris hendaknya
dalam melaksanakan tugasnya selalu dijiwai oleh Pancasila, sadar dan taat kepada
hukum dan UUJN, sumpah jabatan, kode etik Notaris dan berbahasa Indonesia
yang baik. Notaris dalam melakukan profesinya harus memiliki perilaku
profesional dan ikut serta dalam pembangunan Nasional khususnya di bidang
hukum.
Unsur-unsur perilaku profesionalisme yang dimaksud adalah bahwa
Notaris harus mempunyai keahlian yang didukung dengan pengetahuan dan
pengalaman yang tinggi dan dalam pelaksanaan tugasnya selalu dilandasi dengan
pertimbangan moral yang diselaraskan dengan nilai-nilai kemasyarakatan, nilai-
nilai sopan santun dan agama yang berlaku, dan juga harus jujur, tidak saja pada
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
132
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
pihak kedua atau pihak ketiga, tetapi juga pada dirinya sendiri, serta tidak boleh
semata-mata didorong oleh pertimbangan uang dalam arti Notaris harus bersifat
sosial dan tidak bersikap diskriminatif dengan membedakan antara orang yang
mampu dan yang tidak mampu, untuk itu Notaris harus memegang teguh etika
profesi dalam pelaksanaan tugas profesi yang baik, karena dalam kode etik profesi
itulah ditentukan segala perilaku dimiliki oleh seorang Notaris.
Notaris sebagai bagian dari individu dalam masyarakat menghadapi
tantangan yang serupa. Di satu sisi Notaris diminta menjaga idialismenya sebagai
pejabat umum, namun di sisi lain Notaris dihadapkan oleh kenyataan di lapangan.
Profesi hukum khususnya Notaris merupakan profesi yang menuntut
pemenuhan nilai moral dan pengembangannya. Nilai moral merupakan kekuatan
yang mengarahkan dan mendasari perbuatan luhur, oleh karena itu Notaris
dituntut supaya memiliki nilai moral yang kuat.
UUJN hanya sebagai pagar pengingat mana yang boleh dan tidak boleh
yang dinamis mengikuti perkembangan lingkungan dan para pihak yang
berkepentingan. Dalam UUJN hanya sampai pada tataran sanksi perdata dan
administratif. UUJN yang merupakan keseluruhan kaedah moral wajib ditaati oleh
semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris, baik dalam
pelaksanaan tugas jabatan maupun dalam perilaku kehidupan sehari-hari.
Sebagai seorang profesional, Notaris tidak perlu khawatir dalam
menjalankan tugasnya sesuai dengan UUJN sepanjang dapat selalu
mempertahankan jati diri seorang profesional yang membawa pesan “noblesse
oblige” dan selalu melangkah dalam ambang batas (threshold) etika, disiplin,
moral dan hukum.
Banyaknya Notaris yang masih melakukan pelanggaran hukum dapat
menjadi batu sandungan tersendiri bagi martabat Notaris di masa yang akan
datang. Menurut Muhammad Abdul Kadir, beberapa alasan-alasan mendasar
mengapa seorang Notaris yang berprofesional melakukan tindak pidana di
antaranya yaitu:182
1. Pengaruh sifat kekeluargaan
182Muhammad Abdul Kadir, op.cit, hal. 82
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
133
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
Salah satu ciri kekeluargaan itu memberi perlakuan dan penghargaan yang
sama terhadap anggota keluarga, dan ini dipandang adil. Perlakuan terhadap orang
yang bukan anggota keluarga akan lain sifatnya. Hal ini berpengaruh terhadap
perilaku profesional hukum yang terikat pada kode etik profesi, yang seharusnya
memberi perlakuan sama terhadap klien.
Seharusnya masalah keluarga dipisahkan dengan masalah profesi, dan ini
adalah adil. Karena diharapkan Notaris dapat menjalankan jabatannya secara
profesional tanpa melibatkan adanya keterikatan karena adanya hubungan darah
atau keluarga. Mengenai masalah ini lebih cenderung ke dalam permohonan
pembuatan akta oleh klien, baik klien itu merupakan anggota keluarga atau bukan.
Jadi tanpa memandang anggota keluarga atau bukan, Notaris harus bertindak
secara profesional tanpa membedakan mereka. Dengan cara demikian, notaris
tidak perlu mengabaikan Kode etik Notaris.
2. Pengaruh jabatan.
Seperti diketahui bahwa Notaris adalah merupakan Pejabat Umum yang
berwenang membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagai mana
dimaksud dalam UUJN. Notaris adalah pejabat umum karena ia diangkat oleh
pemerintah serta diberi wewenang untuk melayani publik. Di sinilah letak penting
dari profesi Notaris yaitu Notaris diberi wewenang untuk menciptakan alat bukti
mutlak oleh undang-undang, dengan pengertian bahwa apa yang tersebut dalam
akta otentik itu pada pokoknya dianggap benar dan memiliki kekuatan penbuktian
yang sempurna di pengadilan. Hal inilah yang sering membuat Notaris merasa
bahwa jabatannya tersebut istimewa, sehingga tidak sedikit Notaris yang
melakukan pelanggaran jabatan ataupun melakukan tindak pidana dalam
menjalankan jabatannya.
3. Karena lemah iman
Salah satu syarat mejadi profesional itu adalah taqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, yaitu melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Ketaqwaan
ini adalah dasar moral manusia. Jika manusia mempertebal iman dan taqwa, maka
di dalam diri akan tertanam nilai moral yang menjadi rem untuk berbuat buruk.
Dengan taqwa manusia makin sadar bahwa kebaikan akan dibalas dengan
kebaikan, sebaliknya keburukan akan dibalas dengan keburukan. Dengan taqwa
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
134
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
kepada Tuhan Yang Maha Esa, profesional memiliki benteng moral yang kuat,
tidak mudah tergoda dan tergiur dengan bermacam ragam bentuk materi di
sekitarnya. Dengan iman yang kuat kebutuhan akan terpenuhi secara wajar dan
itulah kebahagiaan.
Jika seorang Notaris telah sadar akan berbagai hal-hal di atas, seharusnya
hukum pidana tidak perlu dirisaukan, karena disatu pihak hukum pidana materiil
selalu bertumpu pada asas legalitas (nulum delictum, nulla poena sine praevia
lege poenali) dan asas culpabilitas (an act does not make a man guilty unless the
mind is guilty), dan dilain pihak hukum pidana formil merupakan “legislated
environment” yang selalu menjaga keseimbangan antara moralitas kelembagaan
(Negara), moralitas sosial (kepentingan umum), dan moralitas sipil (kepentingan
individual).183
Yang juga tidak kalah pentingnya adalah prinsip penegakan hukum pidana
harus “fair”, karena tugas jurisdis hukum pidana tidak hanya mengontrol
masyarakat, tetapi juga mengontrol Pejabat Negara/penguasa, termasuk salah
satunya mengontrol Jabatan Notaris.
Melihat berbagai uraian mengenai pentingnya tugas dan kewenangan
Notaris tersebut di atas, seharusnya Notaris yang baik dapat mengemban
tanggungjawab akan jabatannya tersebut dengan baik. Dengan berperilaku
profesional serta memahami pengetahuan tentang aturan-aturan dan ketentuan-
ketentuan hukum yang terkait dengan pekerjaan Notaris yaitu dalam rangka
pembuatan akta otentik, dan diharapkan dalam pelaksanaan tugasnya Notaris akan
terhindar dari segala akibat hukum terhadap akta-akta yang telah dan atau akan
dibuatnya.
Namun, kenyataannya, fakta menunjukkan hal tersebut masih cukup sulit
untuk diterapkan secara merata. Mengingat kembali berbagai data yang telah
penulis sebutkan dalam sub bab sebelumnya, dan didukung oleh berbagai
pernyataan dari berbagai kalangan, baik yang pro maupun kontra terhadap tema
bahasan yang diangkat oleh penulis ini, penulis dengan ini melihat bahwa mulai
banyaknya beredar informasi, kabar maupun berita mengenai kasus-kasus pidana
yang melibatkan Notaris menunjukkan bahwa masih banyaknya Notaris yang
183
Muladi, op.cit., hal. 21.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
135
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
dijadikan sarana maupun menjadikan jabatannya sebagai sarana untuk terjadinya
tindak pidana tersebut, baik yang hanya sebagai saksi, bermula sebagai saksi
dan/atau sebagai pelaku, dan entah dalam kesempatan pembuktian berikutnya
terbukti Notaris tersebut bersalah atau tidak.
Selain beberapa Notaris yang terbukti memang melanggar ketentuan yang
ada, sampai Notaris yang tidak terbukti melanggar ketentuan sehingga lepas dari
apa yang dituduhkan kepadanya, penulis melihat ada fenomena yang menarik
disini.
Dalam setiap kasus yang menyeret Notaris, baik sebagai saksi maupun
sebagai tersangka, ada dua hal penting yang berperan, yaitu peraturan yang
diberlakukan dan pribadi Notaris itu sendiri. Ada kalanya, Notaris telah berbuat
benar dengan mengikuti aturan yang ada dan telah sesuai dengan prosedur, namun
karena dianggap memenuhi unsur suatu tindak pidana dalam peraturan lain dan
dianggap merugikan suatu pihak, Notaris tersebut dilaporkan ke MPD atau
kepolisian oleh pihak yang merasa dirugikan. Setelah melalui pemeriksaan dan
pertimbangan MPD, Notaris tersebut terlepas dari apa yang dituduhkan kepadanya
karena dianggap telah menjalankan jabatannya sesuai dengan prosedur yang ada.
Tidak menutup kemungkinan pula terjadi hal sebaliknya, dimana seorang Notaris
yang dianggap memenuhi unsur tindak pidana suatu sanksi pidana dalam sebuah
peraturan, namun karena dianggap Notaris tersebut dalam melakukan tindakannya
telah sesuai dengan prosedur yang ditetapkan, maka Majelis Pengawas Notaris
menyatakan Notaris tersebut tidak bersalah.
Walaupun semua hal yang telah dijelaskan tersebut pada akhirnya
bertumpu pada pemeriksaan dan keputusan Majelis Pengawas Notaris, namun ada
beberapa hal yang dapat mengakibatkan efek baik langsung maupun tidak
langsung atas pandangan umum terhadap Notaris tersebut, dan hal ini tentunya
diharapkan menjadi perhatian lebih lanjut dari pihak-pihak yang berkepentingan,
diantaranya :
1. Banyaknya Notaris yang dipanggil oleh penyidik sebagai saksi, walaupun
dengan seijin MPD, dapat menjadi preseden buruk bagi dunia Notaris.
Jabatan Notaris yang sering digunakan sebagai sarana untuk melakukan
kejahatan, baik oleh pihak lain, maupun dirinya sendiri, lambat laun tentu
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
136
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
akan menjadikan martabat Notaris itu goyah, dan bukan tidak mungkin di
kemudian hari, jika kepercayaan masyarakat terus menurun dikarenakan
pemberitaan media atau kenyataan yang mereka alami sendiri mengenai
segala tindakan Notaris yang dianggap merugikan, dapat menjadikan
kehormatan dan kemuliaan jabatan Notaris itu luntur dengan sendirinya di
mata masyarakat.
2. Dengan pengetahuan masyarakat yang seadanya terhadap Notaris dan
terhadap berbagai informasi maupun pemberitaan mengenai kasus-kasus
yang menimpa Notaris, dapat dimungkinkan terjadi, dan bahkan menurut
penulis sekarang pun sudah mulai terjadi, dimana masyarakat umum lebih
berhati-hati dalam memilih Notaris. Masyarakat lebih percaya jika ada
rekomendasi dari orang-orang yang dipercaya atau bahkan mencari tahu
sendiri akan reputasi Notaris mana saja yang baik, dengan catatan kinerja
yang baik pula, dan menjadikan hal itu sebagai cara utama untuk memilih
Notaris. Sehingga yang terjadi adalah ketidakmerataan pendapatan kerja
Notaris, yang bukan tidak mungkin akan terjadi penumpukan Notaris di
suatu wilayah maupun kekurangan Notaris di wilayah lainnya, karena
diakibatkan kecenderungan Notaris-Notaris lain yang tidak ingin bersaing
dalam satu wilayah dengan Notaris yang memiliki reputasi baik.
3. Berkaitan dengan poin-poin di atas, dengan semakin menurunnya
kepercayaan publik terhadap Notaris, walaupun dalam kenyataan
sebenarnya hanya segelintir Notaris yang terbukti benar-benar memiliki
niat yang buruk dalam menggunakan jabatannya sebagai sarana kejahatan,
namun hal tersebut secara tidak langsung dapat berdampak pada
perekonomian negara dan perkembangan bisnis investasi. Dengan
selektifnya memilih Notaris untuk menuangkan kehendak bisnis mereka,
atau bahkan mungkin hingga di eliminasi nya jabatan Notaris oleh
beberapa pihak yang notabene seharusnya dapat membawa keuntungan
finansial dan ekonomi bagi negara kita, seperti penanaman modal,
pendirian perusahaan, penjaminan, pengalihan aset dan masih banyak lagi,
dikhawatirkan akan menurunkan minat para investor bisnis, pengusaha
ataupun kalangan lainnya untuk menggunakan Notaris untuk memenuhi
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
137
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
keinginan mereka, dan dikhawatirkan membuat menjadi menurunnya
perputaran finansial di sektor bisnis, dengan alasan yang sangat simpel,
bahwa birokrasi di negara kita ini beresiko besar dan sangat rentan akan
pelanggaran hukum. Hal di atas mungkin terlihat ekstrim, tapi bukan tidak
mungkin terjadi di beberapa tahun ke depan, jika memang benar-benar
kepercayaan terhadap Notaris telah sangat menurun.
Beberapa poin tersebut di atas tentunya menjadi kerugian tersendiri baik
bagi dunia Notaris maupun berbagai aspek penunjangnya, termasuk pihak-pihak
yang berada dan bekerja dengan mengandalkan peran dan jasa dari Notaris,
seperti bank, pengembang perumahan, investor pribadi maupun korporasi,
perusahaan-perusahaan bisnis nasional baik skala kecil maupun skala besar, dan
masih banyak lagi.
Menurut penulis, hal-hal di atas mendapat dampak yang cukup besar dari
peraturan-peraturan mengenai Notaris yang masih minim akan pengaturan sanksi
yang jelas dan tegas bagi pelanggarnya, dan tentunya sebagian besar tetap
berdasar pada pribadi Notaris itu sendiri, yang menjadi titik pangkal munculnya
berbagai kasus-kasus yang menyeret Notaris, baik sebagai saksi maupun
tersangka. Bukan hanya sanksi yang tegas yang diperlukan, namun diperlukan
pula sanksi yang jelas, terperinci dan tepat sasaran, yang dapat menjadi poin
penting dalam proses perubahan Notaris ke arah yang lebih baik lagi.
Berbagai cara dapat dilakukan untuk menyempurnakan peraturan yang ada
maupun yang akan ada, salah satunya adalah dengan merumuskan sanksi yang
tegas dan sanksi yang jelas tersebut di atas ke dalam suatu peraturan perundang-
undangan yang sah sehingga dapat menjadi pagar yang tegas dan jelas, yang dapat
mengklasifikasikan dan membatasi tindakan-tindakan yang dapat menimbulkan
kerugian bagi pihak lain yang dilakukan oleh Notaris, sekaligus sebagai pagar
pelindung bagi kemuliaan martabat dunia Notaris itu sendiri.
Namun perlu diingat, bagaimanapun sempurnanya peraturan yang ada,
bagaimanapun tegas dan jelas nya sanki-sanksi yang diterapkan dalan peraturan
tersebut, semua hanyalah sia-sia, jika moral dan pribadi Notaris itu sendiri tidak
baik dalam menjalankan jabatannya, terlebih lagi jika berbagai kalangan dan
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
138
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
pihak yang bertautan dengan jabatan Notaris pun bermoral demikian. Peraturan
perundang-undangan yang baik, haruslah didukung pula oleh moral dan pribadi
yang baik pula. Kedua hal ini harus berjalan secara seimbang dan proporsional,
karena jika tidak, perubahan yang nyata tidak akan pernah terwujud. Jika kedua
hal tersebut dapat berjalan dengan baik, benar dan seimbang, maka kesadaran
akan profesionalisme Notaris itu akan tumbuh, berkembang, dan melekat dengan
sendirinya dalam setiap pribadi Notaris, sehingga harkat dan martabat jabatan
Notaris akan tetap dijunjung tinggi dalam masyarakat dan berbagai kalangan
lainnya.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
139
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
3.1. SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya,
maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN)
tidak memuat sanksi pidana di dalam rumusannya, antara lain disebabkan
oleh beberapa alasan berikut ini :
a. Sanksi pidana telah dirumuskan di dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP). Sehingga tindakan-tindakan Notaris yang
diduga merupakan sebuah tindak pidana, akan dikaitkan dengan
ketentuan mengenai tindak pidana yang bersangkutan yang
tercantum di dalam KUHP.
b. Melihat dari sejarah, bahwa lingkup pekerjaan Notaris itu sendiri
adalah bersifat administratif, sehingga dianggap cukup diberikan
sanksi administratif saja atas suatu pekerjaan yang bersifat
administratif pula.
Menurut penulis, dengan tidak adanya sanksi pidana dalam UUJN, peraturan
yang mengatur mengenai sanksi terhadap Notaris menjadi kurang sempurna,
karena tidak adanya sanksi yang tegas dan sanksi yang jelas akan tindakan-
tindakan yang dikategorikan tindak pidana khusus yang hanya dapat
dilakukan oleh Notaris yaitu Tindak Pidana Notaris (TPN), yang
kenyataannya belum ada satupun peraturan yang mengatur mengenai hal
tersebut.
Walaupun dalam beberapa tanggapan, banyak disebutkan bahwa peran
sanksi pidana itu telah dipegang oleh KUHP dalam hal penjatuhan pidana
terhadap Notaris yang melakukan tindak pidana, tetapi dalam kenyataannya
hal tersebut tidaklah mudah penerapannya.
Ada dua hal yang cenderung akan terjadi dalam penerapan sanksi pidana
dalam KUHP tersebut terhadap Notaris, yaitu :
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
140
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
a. Ada sanksi pidana dalam KUHP yang memuat unsur-unsur yang
jika unsur-unsur pidana tersebut terpenuhi, maka tindakan tersebut
terbukti sebagai tindak pidana seperti yang diatur dalam pasal yang
bersangkutan, namun ternyata dalam pandangan “Dunia Notaris”,
dalam hal ini yaitu tindakan Notaris yg dikategorikan “tindakan
Notaris dalam menjalankan jabatannya”, hal tersebut bukanlah
merupakan suatu tindak pidana, dikarenakan apa yang dilakukan
oleh Notaris tersebut telah sesuai dengan ketentuan UUJN, kode
etik ataupun peraturan terkait lainnya mengenai Notaris (telah
sesuai dengan prosedur).
b. Ada pula tindakan Notaris yang dianggap merugikan dan dianggap
sebagai tindak pidana, namun karena kekhususan tindak pidana
yang dilakukannya tersebut belum diatur dalam peraturan
perundangan manapun sehingga akhirnya merujuk kepada
peraturan yang telah ada, atau dapat pula sebenarnya sudah diatur
dalam suatu peraturan perundang-undangan, termasuk KUHP,
dimana ketentuan dalam peraturan perundang-undangan maupun
KUHP tersebut, yaitu unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan
terhadap Notaris yang bersangkutan adalah terlalu umum, sehingga
banyak yang dijadikan celah untuk dianggap “tidak memenuhi
unsur pidana” dan membuat Notaris lolos dari jerat hukum
dan/atau dipidana dengan ketentuan yang terkesan dipaksakan.
2. Beberapa tahun silam, jabatan Notaris dianggap oleh masyarakat sebagai
jabatan yang bermartabat dan mulia. Didukung oleh kinerja dan reputasi
Notaris yang baik, dan dipagari oleh peraturan baru yang menjadi satu-
satunya peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai jabatan
Notaris (UUJN), Notaris menjadi salah satu bagian dari penegak hukum
sekaligus pejabat umum yang memiliki peranan penting dalam hukum
pembuktian dan perkembangan perekonomian.
Namun akhir-akhir ini, mulai banyaknya beredar informasi, kabar maupun
berita mengenai kasus-kasus pidana yang melibatkan Notaris
menunjukkan bahwa masih banyaknya Notaris yang dijadikan sarana
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
141
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
maupun menjadikan jabatannya sebagai sarana untuk terjadinya tindak
pidana tersebut, baik yang hanya sebagai saksi, bermula sebagai saksi
dan/atau sebagai pelaku.
Dengan pengetahuan masyarakat yang seadanya terhadap Notaris dan
terhadap berbagai informasi maupun pemberitaan mengenai kasus-kasus
yang menimpa Notaris, dapat dimungkinkan terjadi, dan bahkan menurut
penulis sekarang pun sudah mulai terjadi, dimana masyarakat umum lebih
berhati-hati dalam memilih Notaris. Masyarakat lebih percaya jika ada
rekomendasi dari orang-orang yang dipercaya atau bahkan mencari tahu
sendiri akan reputasi Notaris mana saja yang baik, dengan catatan kinerja
yang baik pula, dan menjadikan hal itu sebagai cara utama untuk memilih
Notaris.
Lambat laun tentu akan menjadikan martabat Notaris itu goyah, dan bukan
tidak mungkin di kemudian hari, jika kepercayaan masyarakat terus
menurun dikarenakan pemberitaan media atau kenyataan yang mereka
alami sendiri mengenai segala tindakan Notaris yang dianggap merugikan,
dapat menjadikan kehormatan dan kemuliaan jabatan Notaris itu luntur
dengan sendirinya di mata masyarakat.
Menurut penulis, adanya urgensi untuk menerapkan TPN dan sanksi
pidananya dalam UUJN. Salah satu penyebab penting dari menurunnya
kualitas Notaris adalah karena tidak adanya sanksi yang tegas dan sanksi
yang jelas yang mengatur mengenai TPN. Sanksi pidana yang ada dalam
KUHP, terlalu umum untuk diterapkan bagi TPN, karena adanya unsur-
unsur TPN yang hanya dapat dilakukan oleh Notaris. Lagipula, sanksi
pidana denda yang dulu terdapat dalam PJN, ternyata tidak disertakan
dalam UUJN. Sehingga yang tersisa dalam UUJN hanyalah murni sanksi
administratif dan sanksi perdata saja. Di sini lah perlunya penerapan TPN
dan sanksi pidananya yang tegas dan jelas diatur dalam UUJN.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
142
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
3.2. SARAN
Dengan memperhatikan simpulan yang telah disampaikan, Penulis
menyampaikan saran-saran sebagai berikut :
1. Berbagai cara dapat dilakukan untuk menyempurnakan peraturan yang
ada maupun yang akan ada, salah satunya adalah dengan merumuskan
sanksi yang tegas dan sanksi yang jelas tersebut ke dalam suatu
peraturan perundang-undangan yang sah sehingga dapat menjadi pagar
yang tegas dan jelas, yang dapat mengklasifikasikan dan membatasi
tindakan-tindakan yang dapat menimbulkan kerugian bagi pihak lain
yang dilakukan oleh Notaris, sekaligus sebagai pagar pelindung bagi
kemuliaan martabat dunia Notaris itu sendiri.
2. Salah satu cara untuk mengkasifikasikan dan membatasi tindakan-
tindakan Notaris yang menyangkut tindak pidana yaitu dengan
Merumuskan Tindak Pidana Notaris (TPN) yaitu tindak pidana yang
unsur-unsurnya hanya dapat dilakukan oleh Notaris dan hanya
diberlakukan untuk Notaris, juga merumuskan sanksi pidananya. Cara
tersebut diatas dapat pula diiringi dengan perbaikan dari segi institusi,
misalnya MPD. Kewenangan MPD dalam menjalankan tugasnya
sebagai pengawas dan pembina Notaris, dapat ditingkatkan lagi agar
menjadi lebih efektif seperti kewenangan untuk melakukan
penyidikan. Dalam hal ini pihak yang melakukan penyidikan kepada
Notaris yang terlibat tindak pidana tidak hanya dimiliki oleh institusi
kepolisian tetapi pihak MPD pun berhak melakukan penyidikan
sehingga pihak kepolisian dan dari kalangan Notaris bisa bekerjasama
untuk menangani Notaris yang melanggar aturan perundang-undangan.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
143
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
DAFTAR REFERENSI
I. BUKU :
Abdul Kadir, Muhammad. Etika Profesi Hukum. Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1997.
Adjie, Habib. Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai
Pejabat Publik. Bandung: PT. Refika Aditama, 2008.
Adjie, Habib. Hukum Notaris Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama,
2008.
Adiwinata, Saleh, A. Teloeki, dan Boerhanoeddin St. Batoeah, Kamus Istilah
Hukum Fockema Andreae Belanda Indonesia. Jakarta: Binacipta, 1983.
Atmasasmita, Romli. Perbandingan Hukum Pidana, Cet.2. Bandung: Mandar
Maju, 2000.
Budiono, Herlin. Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan.
Bandung: Citra AdityaBakti, 2007.
Chazawi, Adam. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I Stelsel Pidana, Tindak
Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana.
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
E, Utrecht. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I. Surabaya: PustakaTinta
Mas, 1994.
Ekaputra, Mohammad. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Medan: USU Press,
2010.
Fuady, Munir. Etika Profesi Hukum Bagi Hakim, Jaksa, Advokat, Notaris,
Kurator, dan Pengurus: Profesi Mulia. Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2005.
Ghofur, Abdhul. Lembaga Kenotariatan Indonesia. Yogyakarta: UII Press
Yogyakarta, 2009.
Hamzah, Andi. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia. Cet.2. Jakarta: PT.
Pradnya Paramita, 1993.
Hamzah, Andi dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan
di Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo, 1983.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
144
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
HS, Salim. Hukum Kontrak-Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta:
Sinar Grafika, 2006.
HS, Salim dan Abdullah, Perancangan Kontrak dan MOU. Jakarta: Sinar
Grafika, 2007.
Kanter, E.Y dan S.R. Sianturi. Asas-Asas hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya. Jakarta: Storia Geafika, 2002.
Lamintang, P.A.F. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1997.
Lumban Tobing, G. H. S. Peraturan Jabatan Notaris. Cet.3, Jakarta:
Erlangga, 1983.
Manan, Bagir. Hukum Positif Indonesia. Yogyakarta: UII Press, 2004.
Moch. Anwar, H.A.K. Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II). Jilid
I. Bandung: Alumni, 1982.
Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Cet.7. Jakarta: Rineka Cipta, 2002.
Muladi. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, 1995.
Muladi dan Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung:
Alumni, 1992.
Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana.
Bandung: Alumni, 1992.
M. Hadjon, Philipus. Pemerintah Menurut Hukum. Surabaya: Yuridika, 1992.
M. Hadjon, Philipus dan Tatiek Sri Djatmiati. Argumentasi Hukum.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005.
Nawawi Arief, Barda. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 1996.
Nawawi Arief, Barda. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan
Pengembangan Hukum Pidana. Bandung: PT. Citra aditya Bakti, 2005.
Notodisoejo, R. Soeganda. Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan.
Jakarta: CV. Rajawali, 1982.
Prakoso, Djoko. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Ed.1, (Yogyakarta:
Liberty Yogyakarta, 1987.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
145
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
Prodjohamidjojo, Martin. Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia.
Jakarta: Pradnya Paramita, 1980.
Rusyan, Tabrani. Profesionalisme Tenaga Kependidikan. Bandung: Yayasan
Karya Sarjana Mandiri, 1990.
Sakidjo, Aruan dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana Dasar Aturan
Umum Hukum Pidana Kodifikasi. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992.
Sjaifurrachman dan Habib Adjie. Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam
Pembuatan Akta. Bandung: Mandar Maju, 2011.
Soesilo, R. KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal.
Bogor: Politeia, 1994.
Sudarto. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni, 1981.
Sudarto. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat. Bandung: Sinar
Baru, 1983.
Suit, Y dan Almasdi. Aspek Sikap Mental dalam Manajemen Sumber Daya
Manusia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000.
Sutrisna dan I Gusti Bagus, “Peranan Keterangan Ahli dalam Perkara
Pidana (Tijauan terhadap pasal 44 KUHP),” dalam Andi Hamzah
(ed.), Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1986.
Tedjasaputro, Liliana, Etika Profesi Notaris (Dalam Penegakan Hukum
Pidana). Yogyakarta: Bigraf Publishing, 1995.
Thong Kie, Tan. Studi Notariat dan Serba Serbi Praktek Notaris. Cet.1.
Jakarta: PT. Ichtiar Baru Hoeve, 2007.
Tjokrowinoto dan Muljarto, Pembangunan, Dilema dan Tantangan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Tongat. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif
Pembaharuan. Malang: UMM Press, 2008.
Tresna. R. Azas-Azas Hukum Pidana Disertai Pembahasan Beberapa
Perbuatan Pidana yang Penting. Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1994.
Wijatno, Serian. Pengelolaan Perguruan Tinggi Secara Efisien dan
Ekonomis. Jakarta: Salemba Empat, 2006.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
146
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
Wojowasito, S. Kamus Umum Belanda Indonesia. (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1990.
II. ARTIKEL :
Adjie, Habib. “Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) Sebagai Unifikasi
Hukum Pengaturan Notaris.” Renvoi, Nomor: 28 Th. 111, (3 September
2005).
Ali Boediarto, M. “Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung,
Hukum Acara Perdata Setengah Abad.” Swa Justitia, (2005).
Setiawan, Wawan. “Sikap Profesionalisme Notaris Dalam Pembuatan Akta
Otentik.” Media Notariat, (Mei-Juni 2004).
“Notaris Semarang Dituduh Menggelapkan Cek”, Renvoi, Nomor: 3.99
(Agustus 2011).
III. MAKALAH :
Muladi, “Hukum Pidana dan Profesi Jabatan Notaris.” Makalah disampaikan
pada Seminar Tantangan dan Peluang Profesi Notaris di Era
Globalisasi, FHUI Depok, 23 Februari 2011.
Saleh, Ismail. “Membangun Citra Profesional Notaris Indonesia.”
Pengarahan/ceramah Umum Menteri Kehakiman Republik Indonesia
pada Upgrading/Refresing Course Notaris se-Indonesia Bandung, 1993.
Wiryomartani, Winanto. “Pelanggaran Pidana/Perdata dan Tindakan
Indisipliner oleh Notaris.” Makalah disampaikan pada Seminar
Tantangan dan Peluang Profesi Notaris di Era Globalisasi, FHUI
Depok, 23 Februari 2011.
IV. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :
Indonesia, Undang-undang Jabatan Notaris, UU No. 30 tahun 2004. LN
No.117 Tahun 2004, TLN. No. 4432.
Indonesia, Undang-undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang, UU No. 8 tahun 2010. TLN. No. 5164.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
147
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
Indonesia, Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, UU No. 20 tahun 2001.
TLN. No. 4150.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Diterjemahkan oleh R. Subekti dan
Tjitrosudibio. Jakarta: Pradnya Paramita, 1983.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana [Wetboek van Straftrecht].
Diterjemahkan oleh Moelyatno. Jakarta: Pradnya Paramita, 1976.
V. INTERNET :
Laksmana, Gandjar. “Notaris diperiksa polisi, lewat MPD dulu?”
http://medianotaris.com/notaris_diperiksa_polisi_lewat_mpd_dulu_beri
ta107.html, diunduh 31 Oktober 2012.
Latumeten, Pieter. “Perlindungan Jaminan Hukum Bagi Profesi Notaris.”
http://www.firstadvice-online.com/main.php?page=kategoridet&id=61.
Diunduh 22 November 2012.
Napitupulu, Briely. “Kasus Dugaan Notaris”, www.magister-
kenotariatan.blogspot.com/2012/11/legal-opini-kasus-dugaan-
notaris.html. Diunduh 10 Desember 2012.
Syamsudin, Amir. “Notaris Berperan Membantu Terciptanya Kepastian
Hukum.”http://www.antaranews.com/berita/294406/menkumhamnotari
sberperanmembantu-terciptanya-kepastian-hukum. Diunduh 22 Maret
2012.
“Notaris Berperan Membantu Terciptanya Kepastian Hukum.”
http://www.antaranews.com/berita/294406/menkumhamnotarisberperan
membantu-terciptanya-kepastian-hukum. Diunduh 28 Februari 2012.
“Unsur-unsur Pidana yang Dihadapi Notaris dalam Menjalankan Jabatannya.”
http://pmg.hukumonline.com/klinik/detail/cl5135/unsur-unsur-pidana-
yang dihadapi-notaris-dalam-menjalankan-jabatannya. Diunduh 28
Februari 2012.
“Wewenang Notaris dan PPAT Masih Menyisakan Persoalan.”
http://cms.sip.co.id/hukumonline/berita.asp. Diunduh 10 Mei 2012.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
148
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
„Implementasi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris”http://hermannotary.blogspot.com/2012/06/implementasi-
undang-undang-no-30-tahun.html. Diunduh 24 Juni 2012.
“Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana” http://bardanawawi.blogspot.
com/2007/10/bung-rampai-kebijakan-hukum-pidana.html. Diunduh 25
Mei 2012.
“Terjerat Berbagai Kasus Pidana” http://denpostnews.com/index.php/2011-
10-30-14-33-39/379-terjerat-berbagai-kasus-pidana. Diunduh 31 Juli
2012.
“Bertha Herawati Diduga Ikut Pindahkan Asset Neneng Sri Wahyuni ke Luar
Negeri”, www.yustisi.com. Diunduh 15 Desember 2012.
“Konsep Akuntabilitas” www.materihukum.com/akuntabilitas.html. Diunduh
13 Maret 2012.
“Pernyataan Soegeng Santoso mantan Anggota MPP dalam Artikel “Ketika
Notaris Dipanggil Polisi” http://www.hukumonline.com/berita/
baca/hol21201/ketika-notaris-dipanggil-polisi. Diunduh 06 Desember
2012.
“Terobosan Baru Sang Pengawal Notaris“
http://www.hukumonline.com/berita/baca/Jt4b3c08dadea4a/terobosan-
baru-sang-pengawal-notaris-. Diunduh 21 Desember 2012.
“Dirjen Pajak Lakukan Pembersihan terhadap Notaris Nakal”
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21201/ketika-notaris-
dipanggil-polisi. Diunduh 21 Desember 2012.
“Tak Ada Hukuman Buat Notaris Nakal”
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21125/tak-ada-hukuman-
buat-notaris-nakal. Diunduh 06 Desember 2012.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
S A R I J A C O B
ACEH, 9 SEPTEMBER 1985
J L . P I S A N G A N B A R U T E N G A H I I N O . 2 9 4 B J A K A R T A T I M U R
P H O N E ( 0 2 1 ) 8 5 7 4 6 2 7 / 0 8 5 6 8 8 6 4 3 9 8 • E - M A I L s a r i . j a c o b @ y a h o o . c o m
PENDIDIKAN
Universitas Padjadjaran
Fakultas Hukum 2003 – 2007
Skripsi :
“Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pembajakan Perangkat
Lunak (Software Piracy) Dalam Rangka Perlindungan Hak Cipta di
Indonesia”
Universitas Indonesia
Magister Kenotariatan 2011 – 2013
Tesis :
“Urgensi Penerapan Tindak Pidana Notaris (TPN) Berkaitan Dengan
Ketiadaan Sanksi Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris”
PENGALAMAN KERJA
PT Telkom,TBK 2008 – 2011
Notaris & PPAT Dipo Nusantara, SH, MKn 2011
Notaris & PPAT Sri Buena Brahmana, SH, MKn 2011-2012
Notaris & PPAT Fatma Agung Budiwijaya, SH 2012-Skrg
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013