lisensi ini mengizinkan setiap orang untuk menggubah ...kc.umn.ac.id/2324/8/lampiran.pdfsehingga ada...
TRANSCRIPT
Team project ©2017 Dony Pratidana S. Hum | Bima Agus Setyawan S. IIP
Hak cipta dan penggunaan kembali:
Lisensi ini mengizinkan setiap orang untuk menggubah, memperbaiki, dan membuat ciptaan turunan bukan untuk kepentingan komersial, selama anda mencantumkan nama penulis dan melisensikan ciptaan turunan dengan syarat yang serupa dengan ciptaan asli.
Copyright and reuse:
This license lets you remix, tweak, and build upon work non-commercially, as long as you credit the origin creator and license it on your new creations under the identical terms.
LAMPIRAN A
FOTO-FOTO RISET
Gambar 1. Proses pencarian narasumber melalui media sosial.
Gambar 2. Bang Komarudin Ibnu Mikam (Budayawan Bekasi).
Benturan Budaya..., Angelia Mawar, FSD UMN, 2015
Gambar 3. Diskusi dengan budayawan-budayawan Bekasi.
Benturan Budaya..., Angelia Mawar, FSD UMN, 2015
LAMPIRAN B
PROFIL BAPAK H. NAINAWA, TOKOH ADAT BAJAWA
Gambar 4. Bapak H. Nainawa (Tokoh dan pemuka adat dari Bajawa)
(Dokumentasi: Maria Ingrid Nabubhoga)
Beliau merupakan salah satu tokoh adat yang dihormati di Bajawa, dialah Bapak
H. Nainawa. Bapak H. Nainawa dilahirkan di Bajawa, pada tanggal 5 agustus
1927. Beliau adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ayahnya merupakan
seorang tokoh adat yang juga sangat dihormati. Kini beliau menggantikan
ayahnya sebagai tokoh adat, yang memimpin ritual-ritual adat yang sudah
dilaksanakan secara turun-temurun di dalam masyarakat Bajawa. Menurut Beliau
Benturan Budaya..., Angelia Mawar, FSD UMN, 2015
bentuk ritual-ritual ini berkaitan langsung dengan siklus hidup manusia yang
terdiri dari tahapan-tahapan yang harUs dilalui dari proses kelahiran sampai
kematian. Selain menjadi tokoh adat, beliau juga merupakan saksi hidup dari
sejarah berdirinya kampung Bajawa, oleh karena itu beliau juga sering menjadi
narasumber dari orang-orang yang ingin mengetahui atau mempelajari kampung
Bajawa.
Benturan Budaya..., Angelia Mawar, FSD UMN, 2015
LAMPIRAN C
PROSES PRODUKSI
Gambar 5. Diskusi mengenai Skenario
Gambar 6. Reading dengan talent
Benturan Budaya..., Angelia Mawar, FSD UMN, 2015
LAMPIRAN D
SKENARIO FILM BA’U
Benturan Budaya..., Angelia Mawar, FSD UMN, 2015
Benturan Budaya..., Angelia Mawar, FSD UMN, 2015
Benturan Budaya..., Angelia Mawar, FSD UMN, 2015
Benturan Budaya..., Angelia Mawar, FSD UMN, 2015
Benturan Budaya..., Angelia Mawar, FSD UMN, 2015
Benturan Budaya..., Angelia Mawar, FSD UMN, 2015
Benturan Budaya..., Angelia Mawar, FSD UMN, 2015
Benturan Budaya..., Angelia Mawar, FSD UMN, 2015
Benturan Budaya..., Angelia Mawar, FSD UMN, 2015
Benturan Budaya..., Angelia Mawar, FSD UMN, 2015
LAMPIRAN E
TRANSKRIP WAWANCARA DARI BAPAK KOMARUDIN IBNU
MIKAM
Benturan Budaya..., Angelia Mawar, FSD UMN, 2015
Wawancara mengenai budaya Betawi yang ada di Bekasi
Pewawancara : Sebenarnya apakah Bekasi memiliki budaya asli, ataupun
budaya dominan ?
Bekasi adalah model entitas akulturatif dan heterogen jadi sulit kita menentukan
satu budaya yang dominan di Bekasi. Memang mayoritas Betawi yang menguasai
wacana kebudayaan tapi pada sejatinya budaya di Bekasi itu penuh dengan
akulturasi-alkuturasi,misalnya tampilan dari dodol, dodol itu akulturasi dari China
dengan kue keranjangnya, kemudian petasan itu juga akulturasi dari China.
Kemudian dalam konteks fashion dengan pakaian pangsinya kalau dikasih kesini
jadi pakaiannya Jet Li, tanpa kerah agak leluasa agak lebar dan warnanya agak
ngejreng-ngejreng, merah, kuning, hitam, putih. Dari segi kesenian juga sama, ada
Tanjidor itu akulturasi dari China, Marawis akulturasi dari Arab. Begitu juga
dengan bahasa, ada banyak bahasa serapan di Bekasi itu yang memang berasal
dari Jawa “nderep” – nglajo, nderep itu kosa kata khas Bekasi artinya kalau kita
nyawah nyari padi di suatu daerah lain kita nginep disana itu namanya nderep.
Kalau nglajo itu tidak nginep tapi pulang hari. Ternyata nderep dan nglajo itu
berasal dari bahasa Jawa. Ada ora, ada bagen itu semua serapan. Jadi Bekasi ini
adalah masyarakat yang multi kultural, heterogen, semangat pluraritasnya juga
kuat di Bekasi. Saya tidak bias membuat kesimpulan bahwa Bekasi itu asli ini lho,
makanya saya menghindari kata-kata asli yang seringkali saya pakai adalah khas,
karena ada asli ada yang palsu ini kan tidak bagus dalam konteks sosiologi
Benturan Budaya..., Angelia Mawar, FSD UMN, 2015
sehingga ada disparitas antar suku. Maka setiap orang, setiap suku yang tinggal di
Bekasi, menghirup udara di Bekasi, makan, minum di Bekasi dia adalah orang
Bekasi terlepas dari darahnya itu Sunda, Padang, Jawa atau dari manapun. Dari
nama jalan-jalannya juga sangat akulturatif, ada jalan Raden Inten, Hasibuan,
jalan Insinyur Haji Juanda, Kyai Haji Nur Ali, dari nama jalannya sudah kentara
sekali akulturasi dan heterogenitas di Bekasi.
Ada istilah pribumi dan tempatan itu tidak dikenal dalam ruang budaya. Istilah
pribumi dan pendatang itu dikenal di ruang-ruang politik demi kepentingan tahta,
demi kepentingan posisi-posisi politik sehingga putra daerah didefinisikan sendiri.
Dalam konteks budaya kita tidak mengenal pribumi di Bekasi, bahkan orang-
orang yang sekarang dianggap pribumi jangan-jangan bukan orang pribumi sini
buktinya apa? kalau mereka disuruh mengangkat keturunannya, kalau Batak itu
kan jelas keatasnya itu, tak tek toknya itu panjang, tapi kalau orang Bekasi yang
tanda kutip di ruang politik itu ngakunya pribumi itu nggak lebih dari sepuluh
keturunan itu bisa dicek beberapa orang yang diduga sebagai pribumi, Tanya deh
keturunannya. Nah kalaupun ada nanti nyambungnya ke Banten, nyambungnya ke
Cirebon, ke Sumedang Larang begitu. Jadi saya melihat Indonesia itu kecilnya
ada di Bekasi, Bekasi itu adalah miniature Indonesia. Itu bisa terlihat dari
tampilan-tampilan budaya, dari tampilan pakaian, dari tampilan tutup kepala khas
Bekasi, ini khas Bekasi namanya blarak semplak, ini adalah akulturasi dari Sunda.
Di Sunda disebut barambang semplak, barambang itu artinya pelepah kelapa yang
sudah kering. Di Bekasi disebut blarak, semplaknya sama. Filosofi ini tidak pada
pakaiannya tapi ini awal dari pemakaiannya,lawon segi empat itu filosinya dari
Benturan Budaya..., Angelia Mawar, FSD UMN, 2015
empat unsur yang membangun kehidupan manusia, udara, air, api, ada tanah. Dari
empat ini kemudian bahan ini kita lipat jadi tiga, tiga itu punya makna filosofis
tiga , yaitu niat, ucapan dan perilaku. Jadi dalam hati apa yang diucapkan dan
dilakukan harus sinkron. Dari tiga itu kemudian bisa menjadi dua, iikat itu dalam
arti habinawloh, habinakum, hubungan pada manusia, hubungan pada Tuhannya,
artinya sesudah diikat dua akhirnya dikunci dibelakang. Jadi empat, tiga, dua, satu
yang makna filosofis itulah yang sekarang agak sepi dikalangan masyarakat
modern di Bekasi karena sejak tahun delapan puluhan Bekasi ditandai dengan
dibangunnya jalan tol Jakarta-Cikampek, diikuti kemudian oleh industry, diikuti
dengan perumahan, terjadilah sebuah gegar budaya sejak tahun delapan puluhan.
Sehingga kemudian terjadi pergesekan, mengapa? Karena ketika tol masuk,
kemudian muncul perumahan, perumahan ini dia kasih nama itu seenak wudelnya
dari developer, ini ada di kampong Medan Satria, Harapan Indah, itu nama aslinya
Medan Satria. Karena developer punya duit dan dia bisa bayar perijinan lalu
membangun perumahan yang namanya Harapan Indah. Di kampong Martan, jadi
Kemang Pratama, di Lippo ada pasir Gombong, Pasir Konci, di Pasar Festival ada
Kandang Roda. Orang nggak kenal lagi Rawa Bebek, orang lebih kenal Harapan
Baru. Di Wisma Asri di Bekasi Utara dulunya namanya Kampong Kompak.
Pewawancara : seperti yang telah bapak katakan tadi bahwa budaya
mayoritas di Bekasi adalah budaya Betawi, apakah budaya Betawi di bekasi
sama dengan budaya betawi yang ada di Jakarta?
Jadi komunitas Betawi Ora ini terletak di pinggiran kota Jakarta, komunitas
betawi ini tidak masuk dalam betawi kota. Komunitas non struktural betawi ini,
Benturan Budaya..., Angelia Mawar, FSD UMN, 2015
kerap disebut betawi “norak”, kampungan. Karena berkait dengan kata “ora” itu
sendiri dan dalam berdialog mereka memiliki logat yang khas. Sepengetahuan
penulis kata “ora” itu sendiri bukan bahasa asli Betawi mungkin berasal bahasa
Jawa artinya tidak, ora ono, tidak ada. Komunitas betawi pinggiran ini kemudian
banyak membentuk organisasi yang “terkenal” seperti Forum Betawi Rempug
(FBR), Forkabi (Forum Komunikasi Anak Betawi). Betawi kota lebih terstruktur
dan bersentuhan dengan budaya dan luar (asing, barat, belanda, china, Arab, india
dan melayu), sedangkan komunitas Betawi Ora bersentuhan dengan budaya dan
bahasa lokal, Jawa Barat, Jawa, Banten, Cirebon dan Melayu. Kebanyakan
masyarakat Betawi Ora memeluk agama Islam
Pewawancara: Bagaimana konteks budaya mempengaruhi pola hidup
masyarakat di Bekasi?
Disadari tidak disadari ini berpengaruh dalam konteks kepercayaan diri
masyararakat Bekasi karena orang-orang kampong itu merasa minder kemudian
hilang kepercayaan dirinya, ini ditandai dengan apa? Ditandai dengan berubahnya
nama-nama dia itu dengan nama-nama yang rada-rada kebarat-baratan, asli nama
bapaknya Sapii jadi Pay, nama aslinya dari Ibrahim menjadi Bram. Jadi anak-anak
Bekasi di era delapan puluhan itu dia mengubah nama-namanya dengan
panggilan, namanya Sadilah mengubah namanya jadi Epoy. Ini indicator juga
betapa kemudian terjadi sebuah gegar budaya. Orang Bekasi itu malu mengaku
dirinya “gue orang Bekasi lho, gue orang kampong Guek, kampong Siluman, gua
kampong Jejalel,jadi orang kampong itu mengalami subordinasi, perendahan,
sudah tidak pede lagi, dan ini besar pengaruhnya dalam konteks psikologis
Benturan Budaya..., Angelia Mawar, FSD UMN, 2015
dimana seorang yang sudah tidak punya kepercayaan diri sendiri tidak mampu
berkarya, berbeda misalnya dengan Solo, Bali, Jogja, Bandung itu kan mereka
mampu meneguhkan jati dirinya sebagai orang setempat, orang Bandung, orang
Bali, Jogja sehingga karya-karya hasil budaya juga gitu lahir dengan sendirinya.
Di Bekasi tidak ada itu, jadi resiko wilayah yang berdekatan dengan ibu kota
demikian adanya, akhirnya terjadi beberapa limpasan-limpasan kotoran ibu kota
itu larinya ke Bekasi. Illustrasi seperti sampah di Bantar Gebang, kemudian
limpahan-limpahan orang-orang yang produktif yang bekerja di Jakarta, ketika
jam produktifnya dia ada di Jakarta, dia bekerja di Jakarta, ada Pph 21, pph 23
kemudian lari ke Jakarta atau lari ke Pusat, tapi kemudian di luar itu dia pulang di
rumah, rumahnya itu di Bekasi jadi kot and kot dia buang kotoran, penat, capek
pasti semua ke Bekasi.
Jadi ini sebuah fenomena wilayah yang dekat dengan ibu kota, jadi kita menjadi
limpahan-limpahan, tong sampah ibu kota dalam tanda kutip. Ini kejadian yang
sudah menjadi takdir, saya tidak menyatakan ini kutukan dan ini sudah menjadi
takdir. Dan alhamdulilahnya terjadi sebuah titik balik dimana tahun delapan
puluhan terjadi penggusuran, ini kan pemiskinan secara structural, orang Bekasi
punya sawah, swahnya dibeli oleh industry dapat gusuran, orang… maaf orang
kampong yang punya duit banyak dia tidak pernah berpikir bagaimana
mengembangkan duit nya itu menjadi lebih berlipat-lipat lagi yang ada di
kepalanya adalah apa yang bisa gua beli, apa mimpi kemarin yang tidak bisa
dibeli? Beli Kijang, mobil, motor, bangun rumah yang bagus, rumah gedong
sampai mungkin ada yang kawin lagi, semua hanya dipakaia untuk hal-hal yang
Benturan Budaya..., Angelia Mawar, FSD UMN, 2015
tidak produktif. Ujung-ujungnya ketika tahun bergelindang akhirnya habis.
Disitulah ketika duit hasil gusurannya habis, dia terkaget-kaget, nyawah? Gimana
mau nyawah? Sawahnya sudah habis jadi pabrik. Mau ke pabrik gimana ijasah
tidak punya, pendidikan tidak ada? Saya tidak menyalahkan pemerintah karena ini
fenomena umum. Yah ini memang terjadi kegagalan transformasi masyarakat.
Wilayahnya bisa ditransformasi dari agraris ke industry tapi masyarakatnya, itu
yang tidak mampu dilakukan. Transformasi dari masyarakat agraris ke masyarakat
industry tidak dilakukan oleh pemerintah daerah. Sementara di dunia industry itu
adalah logika yang eklusif sekali dengan dunia professional, lu mau bapak lu
preman, bapak lu jawara, bapak lu pernah jadi lurah disini nggak penting, yang
penting adalah kwalifikasi personal, yang penting ijasah lu apa, lu bisa apa mau
kerja disini? Nah disatu sisi orang Bekasi memang tidak punya kwalifikasi
personal, pendidikan tidak ada, ketrampilan tidak ada, masuk di ruang industry
mereka kan tidak punya pengalaman. Kemudian terjadi gesekan-gesekan. Di
wilayah industry ini dia mengubah konversi lahan dari pertanian yang notabene
lahan pertanian itu adalahmenyimpan air, memproduksi oksigen, kemudian
berubah menjadi beton, berubah jadi pabrik, berubah jadi gedung, berubah jadi
bangunan. Nah ini bencana ekologis terjadi. Kalau tadi saya bicara tentang
bencana sosiologis, ketika masyarakat kehilangan matapencahariannya ditambah
lagi bencana ekologis, misalnya banjir, ya memang sawah makanya dikampung-
kampung itu banyak nama rawa, rawa semut, ya itu indikasi bahwa memang di
Bekasi itu sejak jaman dahulu kala itu daerah banjir gitu. Banyak daerah-daerah
rendah yang memang harus dimanage sedemikian rupa sehingga banyak sawah.
Benturan Budaya..., Angelia Mawar, FSD UMN, 2015
Ketika pemerintah daerahnya tidak mengakomodir sawah dalam tata ruangnya ya
akan jadi bencana. Di kota Bekasi sudah hamper habis saya kira, kita butuh
sawah terakhir di Bekasi. Kan aneh ketika anak saya menyatakan sapi itu kambing
yang besar, karena dia nggak kenal lagi. Belum lagi kalau pohon-pohonan masa
lalu disini, perumahan yang hadir itu luar biasa menghantam budaya-budaya local
dan kearifan local, pertama dari nama saja, nama-namanya sesuai dengan
keinginan developer, padahal nama kampong disitu adalah penuh dengan pertama
misteri, dua sejarah, tiga pesan. Tidak sembarangan orang memakai nama Rawa
Semut, Rawa Bebek, tidak sembarangan dengan sendirinya muncul nama-nama
seperti itu, pasti ada pesan, ada hal-hal tertentu yang memang belum digali.
Pesan-pesan leluhur itu kadang memang sesuatu yang disamarkan ditutupi dengan
sesuatu yang mudah dipahami orang. Ketika ada pohon yang besar, “lu jangan ke
situ, jangan ganggu, disitu ada hantunya, ada gendruwonya, ada kuntilanaknya,
padahal intinya adalah kecerdasan ekologis, karena orang tua kita tidak mampu
menjelaskan, “ini adalah pohon yang bisa menghasilkan O2 sekian kubik yang
kita butuhkan. Satu pohon itu untuk enam orang, pohon itu menhgasilkan oksigen
yang menyerap karbon dioksida dan kalau hujan dia menyimpan cadangan air.
Sebetulnya pesannya itu kesana, nasehat leluhur itu ada di pohon bukan ada
hantunya sehingga serem, sehingga nanti kesambet, segala macem, bukan itu
sebenarnya. Jaga ini pohon jangan sampai ditebang. Ada sungai larangan, ada
hutan larangan, ada pohon keramat, semangatnya intinya bukan untuk
melestarikan mistik, bukan yang meta fisik begitu, tetapi semangatnya adalah
Benturan Budaya..., Angelia Mawar, FSD UMN, 2015
ekologi. Pesan-pesan ini yang tidak sampai ke kitalah, saya tidak menyebut
pemerintah daerah karena bagaimanapun ini adalah tanggungjawab kita bersama.
Orang dengar cerita tentang Lutung Kasarung, itu sebenarnya semangat untuk
menyelamatkan hewan, Lutung dalam hal ini adalah menjadi bagian dari manusia,
mungkin saja bahwa dia sesungguhnya adalah jelmaan dari dewa, ya memori-
memori yang agak imajinatif ini sebenarnya bagus buat mendekatkan diri kepada
hewan bahwa hewan adalah bagian dari kita, hewan, tumbuhan, alam ini adalah
bagian dari kehidupan kita. Salah satu saja tidak kita indahkan itu akan
mengalami ketidak seimbangan alam. Ini yang kemudian terjadi, orang-orang
kampong Bekasi tidak lagi dikenal sebagai orang kampong Bekasi, kalau ke luar
negeri ngakunya dari Timur Jakarta atau BSD Bekasi Sonoan Dikit. Saya
mengalami betul proses-proses bagaimana perjalanan orang-orang Bekasi
mengalami gegar budaya seperti itu dengan akselerasi pembangunannya.
Benturan Budaya..., Angelia Mawar, FSD UMN, 2015
LAMPIRAN F
CATATAN WAWANCARA MELALUI TELEPON DENGAN
BAPAK H. NAINAWA
Gambar 7. Catatan wawancara dengan Bapak H. Nainawa.
Benturan Budaya..., Angelia Mawar, FSD UMN, 2015