litbang pemanfaatan data ... -...

85
2015 PUSAT PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH LAPAN LITBANG PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK INFORMASI ZONA POTENSI PENANGKAPAN IKAN (ZPPI)

Upload: doduong

Post on 18-Mar-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

2015

PUSAT PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH

LAPAN

LITBANG PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK INFORMASI ZONA POTENSI PENANGKAPAN IKAN (ZPPI)

i

LAPORAN KEGIATAN LITBANG

LITBANG PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH

UNTUK INFORMASI ZONA POTENSI PENANGKAPAN IKAN (ZPPI)

Oleh:

Teguh Prayogo Bidawi Hasyim Taufik Hidayat Maryani Hartuti Sartono Marpaung Yennie Marini Kuncoro Teguh Setiawan Anneke K.S. Manoppo Rossi Hamzah Achmad Supriyono S.W. Syifa Wismayati Adawiah Puji Astuti

PUSAT PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL

Jl. Kalisari No. 8 Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta 13710

Telp. (021) 8710065 Faks. (021) 8722733

ii

iii

KATA PENGANTAR

Undang-undang No. 21 tahun 2013 mengamanatkan kepada Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) untuk menetapkan metode dan kualitas pengolahan data penginderaan jauh. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dilakukan kegiatan penelitian, pengembangan, dan perekayasaan (litbangyasa) pemanfaatan penginderaan jauh sebagai dasar dalam penentuan metode dan kualitas pengolahan data. Kegiatan litbangyasa tersebut tentunya tidak dilakukan dalam waktu setahun atau dua tahun sehingga metode dan kualitas data langsung ditetapkan, namun memerlukan proses dan waktu yang cukup panjang. Agar setiap kegiatan untuk menuju hal tersebut terdokumentasi dengan baik, maka disusunlah buku laporan setiap tahunnya. Puji syukur ke hadirat Allah SWT, penyusunan buku hasil litbangyasa dengan judul Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Informasi Zona Potensi Penangkapan Ikan (ZPPI) telah diselesaikan dengan baik. Buku ini disusun sebagai bukti pertanggungjawaban hasil kegiatan litbangyasa yang dibiayai oleh DIPA Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh. Buku ini intinya terdiri dari 6 Bab yang memuat (1) Pendahuluan, (2) Tujuan dan Sasaran, (3) Tinjauan Pustaka, (4) Bahan dan Metode, (5) Hasil dan Pembahasan, dan (6) Kesimpulan dan Saran. Buku ini disertai dengan lampiran-lampiran yang mendukung hasil kegiatan tersebut.

Dalam penyusunan buku ini tentunya melibatkan tim litbangyasa yang bekerja selama tahun 2015, narasumber baik dari tim litbangyasa yang lain dan perguruan tinggi, dan juga pihak-pihak lain yang terkait. Masukan-masukan dan hasil-hasil diskusi memperkaya kegiatan ini sehingga mendapatkan hasil yang semakin baik. Kepada pihak-pihak terkait yang telah membantu kegiatan ini, saya selaku Kepala Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Kepada tim litbangyasa yang telah melakukan kegiatan litbangyasa ini, selain buku ini diharapkan juga dipublikasikan hasil temuan-temuan yang sudah didapatkan dalam media yang lain seperti Jurnal, baik nasional maupun internasional.

Akhir kata, tak ada gading yang tak retak, buku ini tentunya tidak sempurna, namun ini akan menjadi dokumen yang penting dalam kegiatan penelitian dan pengembangan selanjutnya. Kritik dan saran terkait penyusunan buku ini dapat disampaikan langsung, baik secara lisan maupun tulisan. Hal ini akan dapat membantu agar penyusunan buku berikutnya menjadi lebih baik.

Jakarta, 14 Desember 2015 Kepala Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh,

Dr. M. Rokhis Khomarudin

iv

DAFTAR ISI

v

Halaman:

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

DAFTAR GAMBAR iv

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

I. PENDAHULUAN 1

II. TUJUAN DAN SASARAN 2

III. TINJAUAN PUSTAKA 2

3.1. Satelit Altimetri 2

3.2. Sea Surface Height (SSH) 3

3.3. Pengukuran SPL Pasif Microwave 5

3.4. TRMM Microwave Imager (TMI) 6

3.5. Penentuan ZPPI Berbasis Data Satelit Penginderaan Jauh 7

IV. BAHAN DAN METODE 8

4.1. Lokasi Penelitian 8

4.2. Bahan dan Alat 9

4.3. Metode Penelitian 9

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24

5.1. Informasi Suhu Permukaan Laut NOAA AVHRR 24

5.2. Informasi Klorofil-a dari Terra/Aqua MODIS dan S-NPP VIIRS 32

5.3. Informasi Suhu Permukaan Laut Dari TRMM-TMI 41

5.4. Informasi ZPPI dari Satelit Altimetri 44

5.5. Otomatisasi ZPPI 49

5.6. Sosialisasi dan Diseminasi ZPPI 64

VI. KESIMPULAN DAN SARAN 64

6.1. Kesimpulan 64

6.2. Saran 65

DAFTAR PUSTAKA 65

DAFTAR GAMBAR

vi

Halaman:

Gambar 1. Satelit altimetri masa kini 3 Gambar 2. Prinsip Pengukuran Satelit Altimetri 4 Gambar 3. Plot perbandingan RMS antara AVHRR dan TMI 5 Gambar 4. Perbandingan SPL AVHRR dan TMI 5 Gambar 5. Satelit Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) 7 Gambar 6. Lokasi kajian penelitian 8 Gambar 7. Diagram Alir Pengolahan Data SPL Harian Berbasisi Data NOAA-

AVHRR 11

Gambar 8. Diagram Alir Pengolahan Data SPL Rata-rata 12 Gambar 9. Diagram Alir Pengolahan Data SPL citra satelit SNPP-VIIRS 14 Gambar 10. Diagram Alir Pengolahan 15 Gambar 11. File Data Klorofil Level-2 Aqua MODIS dengan Sumber NASA 17 Gambar 12. Tampilan data Klorofil-a (Chlor_a) Level-2 Satelit S-NPP VIIRS 18 Gambar 13. Kondisi Data Asli S-NPP VIIRS 18 Gambar 14. Informasi Klorofil Hasil Reprojection 19 Gambar 15. Diagram Alir Proses Pengembangan Model Penentuan dan

Peningkatan Akurasi Informasi ZPP 23

Gambar 16. Informasi Spasial SPL Berbasis Data NOAA Tanggal 01 November 2015

24

Gambar 17. Informasi Spasial SPL Berbasis Data NOAA Tanggal 03 November 2015

25

Gambar 18. Informasi Spasial SPL Berbasis Data NOAA Tanggal 04 November 2015

25

Gambar 19. Informasi Spasial SPL Berbasis Data NOAA Tanggal 01 Desember 2015

26

Gambar 20. Informasi Spasial SPL Berbasis Data NOAA Tanggal 3 Desember 2015

26

Gambar 21. Informasi Spasial SPL Rata-rata Bulan Juli 2014 27 Gambar 22. Informasi Spasial SPL Rata-rata Bulan Agustus 2014 27 Gambar 23. Informasi Spasial SPL Rata-rata Bulan November 2014 28 Gambar 24. Informasi Spasial SPL Rata-rata Bulan Desember 2014 28 Gambar 25. Informasi Spasial SPL Rata-rata 3 Harian di Bulan Juli 2014 29 Gambar 26. Informasi Spasial SPL Rata-rata 3 Harian di Bulan Juli 2014 30 Gambar 27. Informasi Spasial SPL Rata-rata 8 Harian di Bulan Juli 2014 30 Gambar 28. Informasi Spasial SPL Rata-rata 8 Harian di Bulan Juli 2014 31 Gambar 29. Informasi Spasial SPL Rata-rata 8 Harian di Bulan Juli 2014 31 Gambar 30. Informasi Spasial SPL Rata-rata 8 Harian di Bulan Juli 2014 32 Gambar 31. Kondisi Data Klorofil Aqua MODIS NASA (a) dan LAPAN (b) 33 Gambar 32. Informasi Klorofil-a Tiga Harian (1-3 Mei 2015) Data Aqua MODIS

dengan Metode Rata-rata 33

Gambar 33. Informasi Klorofil-a Tiga Harian (1-3 Mei 2015) Data Aqua MODIS dengan Metode Maximum

34

Gambar 34. Informasi Klorofil-a Delapan Harian (1-8 Mei 2015) Data Aqua MODIS dengan Metode Rata-rata

34

Gambar 35. Informasi Klorofil-a Delapan Harian (1-8 Mei 2015) Data Aqua MODIS dengan Metode Maximum

35

Gambar 36. Informasi Klorofil-a Delapan Harian (1-8 Mei 2015) Data Terra MODIS dengan Metode Rata-rata

35

Gambar 37. Informasi Klorofil-a Delapan Harian (1-8 Mei 2015) Data Aqua MODIS NASA

36

Gambar 38. Pemilihan Kanal yang Digunakan untuk Pengolahan Klorofil dari Data 37

vii

Level-1 MODIS Aqua Sumber Data LAPAN Gambar 39. Informasi Klorofil dari Pengolahan Manual dari Level-1 (kiri) dan

Level-2 Pengolahan SeaDAS (kanan) MODIS Aqua Akuisisi Tanggal 1 Mei Pukul 11.41

37

Gambar 40. Kualitas Informasi Klorofil Pengolahan Manual dan SeaDAS 38 Gambar 41. Nilai Klorofil (Chlor_a dan Chlor_ocx ) Level-2 Terkoreksi Geometri

Tanggal 19 Juni 2014 39

Gambar 42. Informasi Klorofil (Chlor_a) Level-2 dari S-NPP VIIRS 39 Gambar 43. Informasi Klorofil (Chlor_a) Level-3, 3 harian Tanggal 24-26 Oktober

2015 40

Gambar 44. Informasi Klorofil (Chlor_a) Level-3, 8 harian Tanggal 24-31 Oktober 2015

40

Gambar 45. Informasi Klorofil (Chlor_a) Level-3, Bulan Juli 2015 41 Gambar 46. Informasi Klorofil (Chlor_a) Level-3, Bulan Oktober 2015 41 Gambar 47. Data harian SPL TMI, Ascending Passes (kiri) dan Descending

Passes (kanan) 42

Gambar 48. SPL TMI dalam ºC, Ascending Passes (kiri) dan Descending Passes (kanan)

42

Gambar 49. SPL TMI Harian 42 Gambar 50. SPL TMI Harian, 3-harian, Mingguan dan Bulanan 43 Gambar 51. Perbandingan SPL dari MODIS dan TMI 44 Gambar 52. Deret waktu kenaikan tinggi muka laut global dari 1993 s/d 2015 45 Gambar 53. Tren kenaikan tinggi muka laut dari tahun 1993 sampai 2014 45 Gambar 54. Anomali tinggi muka lautdi Samudera Pasifik tahun 2015 46 Gambar 55. Informasi ZPPI tgl 24-30 November 2015 47 Gambar 56. Penentuan ZPPI untuk ikan tuna 48 Gambar 57. ZPPI ikan tuna tgl 21-27 September 2015 48 Gambar 58. Diagram alir pengolahan 49 Gambar 59. Deteksi termal front 50 Gambar 60. Termal front 50 Gambar 61. Termal front (zoom in) 50 Gambar 62. Perhitungan minimum bounding rectangle 51 Gambar 63. Perhitungan panjang front 51 Gambar 64. Pembagian front menjadi 10NM 52 Gambar 65. Hasil pembagian front 52 Gambar 66. Penentuan titik tengah front 53 Gambar 67. Ekstraksi titik koordinat titik tengah front 53 Gambar 68. Pemberian label nomor urut titik 54 Gambar 69. Perbandingan jumlah titik pada metode baru dengan metode lama 54 Gambar 70. Informasi SPL rata rata bulanan data AQUA MODIS bulan Agustus

2015 55

Gambar 71. Informasi SPL rata rata bulanan data AQUA MODIS bulan September 2015

55

Gambar 72. Informasi SPL rata rata bulanan data TERRA MODIS bulan Agustus (kiri) dan bulan September (kanan) tahun 2015

55

Gambar 73. Informasi SPL rata rata bulanan data NPP VIIRS bulan Agustus (kiri) dan bulan September (kanan) tahun 2015

56

Gambar 74. Informasi Klorofil rata rata bulanan data TERRA MODIS bulan Agustus tahun 2015

56

Gambar 75. Informasi Klorofil rata rata bulanan data TERRA MODIS bulan September tahun 2015

56

Gambar 76. Informasi Klorofil-a rata rata bulanan data AQUA MODIS bulan Agustus (kiri) dan bulan September (kanan) tahun 2015

56

viii

Gambar 77. Diagram masterplan otomatisasi pengolahan data penginderaan jauh

57

Gambar 78. Tampilan terbaru dari piranti lunak pengolahan otomatis produksi informasi ZPPI

58

Gambar 79. MODIS katalog auto download untuk keperluan pengolahan produksi informasi ZPPI

59

Gambar 80. Tabel pengguna 59 Gambar 81. Tampilan pengiriman otomatis informasi ZPPI melalui FTP 60 Gambar 82. Tampilan awal SIZPPI 61 Gambar 83. SPL data Aqua MODIS 61 Gambar 84. SPL data Terra MODIS 62 Gambar 85. CHL data Terra MODIS 62 Gambar 86. SPL data NPP VIIRS 62 Gambar 87. Front data Aqua MODIS PA 13 63 Gambar 88. Front data Aqua MODIS PA 13 dan PA 14 63 Gambar 89. Front data Aqua MODIS PA 13 (zoom) 64

ix

DAFTAR TABEL

Halaman:

Tabel 1. Karakteristik 9 Channel TMI 6

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman:

Lampiran 1. Foto Survey dan Sosialisasi Indramayu 68 Lampiran 2. Foto Bimtek Badan Keamanan Laut (BAKAMLA) 69 Lampiran 3. Foto Sosialisasi ZPPI dan Visitasi Ke Kabupaten Indramayu untuk

Prov. Gorontalo 70

Lampiran 4. Foto Sosialisasi ZPPI untu PT. Perikanan Nusantara 71 Lampiran 5. Foto On Job Assesment untuk Agensi Remote Sensing Malaysia 72

x

1

LITBANG PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK INFORMASI ZONA POTENSI PENANGKAPAN IKAN (ZPPI)

Teguh Prayogo*), Bidawi Hasyim, Taufik Maulana, Maryani Hartuti,

Sartono Marpaung, Kuncoro Teguh Setiawan, Yennie Marini, Anneke K.S. Manoppo, Rossi Hamzah, Achmad Supriyono S.W., Syifa Wismayati Adawiah,

dan Puji Astuti

Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN *)E-mail: [email protected]

I. PENDAHULUAN

Informasi spasial Zona Potensi Penangkapan Ikan (ZPPI) berbasis data satelit penginderaan jauh yang secara operasional dibuat di Bidang Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Laut (BSDWPL), Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh (Pusfatja) LAPAN telah banyak dimanfaatkan oleh para nelayan sebagai upaya meningkatkan hasil tangkapan ikan dan efisiensi operasi penangkapan ikan. Selain itu informasi ZPPI telah digunakan sebagai data masukan bagi penegak hukum di laut, dalam pengamanan sumberdaya ikan di perairan Indonesia. Informasi ZPPI Lapan merupakan komplemen informasi sejenis yang diterbitkan oleh instransi lain. Dalam proses pemanfaatan informasi spasial ZPPI, secara umum para pemangku kepentingan (stakeholders) mengharapkan agar informasi spasial ZPPI tersedia secara kontinyu, memiliki akurasi yang tinggi dan diarahkan untuk spesies ikan tertentu.

Dalam rangka mewujudkan harapan para stakeholders tentang peningkatan akurasi informasi spasial ZPPI maka pada tahun 2015 dilakukan riset Litbang Pemanfaatan Data Satelit Pengindearaan Jauh untuk Zona Potensi Penangkapan Ikan (ZPPI) di Bidang SDWPL. Kegiatan litbang yang dilakukan meliputi pengembangan metode penetuan ZPPI dengan penambahan parameter oseanografi, melakukan otomatisasi sistem produksi dan diseminasi informasi dan sosialisasi pemanfaatan informasi ZPPI.

Salah satu parameter oseanografi yang cukup penting dalam penentuan daerah potensi penangkapan ikan adalah Sea Surface Height Anomaly, (SSHA) yang dapat diperoleh dari satelit Alimetri (Envisat, Jason-2, Cryosat dan SARAL Altika). SSHA merupakan parameter oseanografi yang menggambarkan ketinggian atau topografi permukaan laut. Data ketinggian permukaan laut dari satelit altimetri ini tidak terpengaruh oleh tutupan awan karena menggunakan sensor aktif gelombang radar yang mampu menembus awan. Hal ini sangat berpotensi memberikan informasi kondisi dan fenomena di permukaan laut yang terkait dengan daerah potensi penangkapan ikan.

Hasil penelitian menggunakan SSHA untuk menentukan daerah potensi penangkapan ikan telah dilakukan oleh Gaol (2003), dimana hasil tangkapan tertinggi Tuna Mata Besar (TMB) ditemukan di antara SSHA positif dan negatif yang merupakan batas front. Menurut Zainuddin et al. (2006) ikan pelagis banyak tertangkap pada posisi SSH bernilai negatif, hal ini diduga daerah penangkapan ikan tersebut merupakan daerah dari zona divergen yang kaya akan makanan. Menurut Wibawa (2011) variable SSHA mempunyai tingkat signifikansi tertinggi (pada kisaran

2

-5 s.d. 5 cm) terhadap variasi hookrate (hasil tangkapan ikan dengan pancing) TMB pada Musim Timur di Samudera Hindia Selatan Pulau Jawa - Bali, dilanjutkan SPL dan Klorofil-a dengan kisaran masing-masing 26 – 27 °C dan 0,05 – 0,15 mg/m3. Prediksi daerah potensial penangkapan ikan TMB pada Juni, Juli, Agustus, September, dan November 2007 menunjukkan kesesuaian dengan daerah penangkapan tersebut yang sebenarnya. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa parameter SSHA dapat dijadikan sebagai indikator daerah potensi penangkapan ikan.

Hasil penelitian Zainuddin, Saitoh, K., dan Saitoh, S. (2008) menunjukkan bahwa hasil tangkapan (catch per unit effort - CPUE) tertinggi memiliki hubungan dengan kisaran SPL: 18,5-21,5 °C, SSC: 0,2-0,4 mg m-3, dan SSHA: -5.0 s.d. 32,2 cm selama musim dingin periode tahun 1998-2000. Sementara itu, Rajapaksha, J., Matsumura, S., dan Samarakoon, L. (2012) menyatakan bahwa akurasi prakiraan lokasi potenasi penangkapan ikan (PPI) dapat ditingkatkan dengan menambahkan data prakiraan profil suhu vertikal hasil pengukuran, SPL, dan SSHA.

Melalui pengembangan metode dan penambahan parameter ini diharapkan sistem produksi informasi ZPPI dapat memberikan kontinyuitas informasi secara periodik dan meningkatkan akurasi informasi tersebut. Otomatisasi sistem produksi dan diseminasi informasi ZPPI juga diharapkan dapat memberikan informasi yang lengkap dan terintegrasi, cepat dan mudah bagi para pengguna.

II. TUJUAN DAN SASARAN

Kegiatan litbang pemanfaatan penginderaan jauh untuk ZPPI ini bertujuan:

Mengembangkan metode penentuan ZPPI dengan penambahan parameter SSHA (selain SPL dan Klorofil-a) berbasis data penginderaan jauh,

Melakukan validasi akurasi informasi ZPPI berdasarkan metode penentuan informasi ZPPI berbasis data penginderaan jauh,

Mengembangkan dan melakukan uji sistem otomatisasi produksi (ZAP) dan diseminasi informasi ZPPI (SIZPPI).

Adapun sasaran dari kegiatan litbang ini adalah:

Tersedianya metode penentuan ZPPI yang tervalidasi, berdasarkan parameter SPL, Klorofil-a, dan SSHA berbasis data penginderaan jauh,

Tersedianya sistem otomatis produksi (ZAP) dan diseminasi informasi ZPPI (SIZPPI) berbasis data penginderaan jauh.

III. TINJAUAN PUSTAKA 3.1. Satelit Altimetri

Satelit altimetri adalah satelit penginderaan jauh yang berfungsi untuk memantau dinamika dan fenomena yang terjadi di perairan laut. Satelit altimetri menggunakan sensor dengan teknologi radar yang telah dikembangkan sejak tahun 1975. Sensor berteknologi radar mempunyai kelebihan dibandingkan satelit optis yaitu kendala tutupan awan, kabut atau asap yang selama ini menjadi masalah saat perekaman oleh satelit optis. Kehadiran satelit altimetri merupakan solusi yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut karena dapat melakukan pemantauan kapan saja dan dimana saja. Satelit altimetri merupakan komplemen bagi satelit optis dalam hal perekaman data. Saat ini ada empat satelit altimetri yang aktif beroperasi yaitu : Jason-2, HY-2 (Hai Yang), Cryosat-2 dan Saral (Satellite with Argos and Altika), seperti ditampilkan pada Gambar 1. berikut.

3

Gambar 1. Satelit altimetri masa kini

Perkembangan satelit altimetri selama kurun waktu beberapa dasawarsa

terakhir mempunyai kontribusi yang signifikan dalam pengembangan penelitian terkait fenomena dan dinamika yang terjadi di perairan laut. Untuk memperoleh data-data hasil rekaman darisatelit altimetri dapat diunduh di ftp://aviso.oceanobs.com, dengan terlebih dahulu melakukan login. Data-data yang tersedia pada situs tersebut merupakan hasil penggabungan (multi satellite data) dari beberapa satelit altimetri, setelah dilakukan validasi dan griding pada data-data tersebut.

Dari pengoperasian satelit altimetri dapat diperoleh data-data yang diperlukan untuk kegiatan penelitian yaitu: tinggi muka laut, arus geostropik dan tinggi gelombang laut. Tinggi muka laut adalah ketinggian permukaan air laut berdasarkan ellipsoid bumi. Arus geostropik adalah arus yang terjadi di permukaan laut karena kemiringan permukaan dan pengaruh gravitasi bumi. Arus geostropik tidak dipengaruhi oleh angin. Gelombang laut adalah gelombang yang terjadi akibat sirkulasi laut maupun pengaruh cuaca. Ketinggian gelombang laut diukur dari tinggi muka laut rata-rata. 3.2. Sea Surface Height (SSH)

Sea Surface Height (SSH) adalah tinggi (atau topografi atau relief) dari permukaan laut. Setiap hari, SSH sangat dipengaruhi oleh gaya pasang surut bulan dan matahari terhadap bumi (Stewart R.H., 2008). Menurut Rhamo et al. (2009) SSH merupakan tinggi permukaan air laut di atas elipsoid. Sementara itu, SSHA didefinisikan sebagai ketinggian permukaan laut dikurangi permukaan laut rata-rata dan telah dihilangkan efek geofisiknya yaitu pasang surut dan perbedaan tekanan udara di permukaan laut (CNES–NASA, 2012). Secara visual, pada Gambar 2 disajikan gambaran yang dapat digunakan untuk menjelaskan parameter SSH.

4

Gambar 2. Prinsip Pengukuran Satelit Altimetri (Sumber: CNES–NASA, 2012)

Pada Gambar 2 terdapat beberapa parameter sebagai komponen untuk

menghitung SSH, yaitu: (a) altitude satellite adalah ketinggiian posisi satelit pada saat meliput permukaan laut dihitung dari garis ellipsoid; (b) range adalah ketinggian posisi satelit pada saat meliput permukaan laut dihitung dari permukaan laut aktual; (c) geoid adalah ketinggian permukaan laut rata-rata dihitung dari garis ellipsoid; (d) dynamic topography (DT) adalah ketinggian permukaan laut aktual dihitung dari ketinggian permukaan laut rata-rata. Berdasarkan parameter-parameter tersebut, SSH dapat dihitung dengan menggunakan persamaan 1 atau 2 sebagai berikut:

SSH = Satellite Altitude – Range (Corrected) (1) SSH = DT + Geoid (2)

Parameter SSH dapat digunakan sebagai salah satu indikator lokasi yang

berpotensi untuk penangkapan ikan (PPI). Menurut Rajapaksha et al. (2012) akurasi prakiraan lokasi PPI dapat ditingkatkan dengan menambahkan data prakiraan profil suhu vertikal hasil pengukuran, SPL, dan SSH. Sementara itu, hasil penelitian Zainuddin et al. (2008) menunjukkan bahwa hasil tangkapan (cathment per unit effort - CPUE) tertinggi memiliki hubungan dengan kisaran tiga jenis parameter oseanografi, yaitu: (a) SST: 18,5-21,5oC, (b) SSC: 0,2-0,4 mg m-3, dan (c) SSHA: -5.0 s.d. 32,2 cm. Hasil ini diperoleh dari penelitian yang dilakukan selama musim dingin periode 1998-2000.

Hasil penelitian yang dilakukan Domokos, et al. (2007) memberikan gambaran bahwa hasil tangkapan tuna albacore tertinggi cenderung ditemukan di tepi pusaran eddy dan tinggi-rendahnya CPUE memiliki hubungan positif dengan meningkat dan berkurangnya aktivitas eddy. Di sisi lain, aktivitas Eddy dapat diamati dari data SSH yang diperoleh dari satelit TOPEX Poseidon dan Jason-1.

5

3.3. Pengukuran SPL Pasif Microwave Sistem sensor microwave memiliki keuntungan tambahan yaitu kemampuannya

untuk menembus awan serta dapat beroperasi dalam setiap kondisi iklim. Pada litbang kegiatan produksi informasi ZPPI tahun 2015 dilakukan ekstraksi SPL dari sensor microwave, yaitu TRMM Microwave Imager (TMI), sebagai studi pengukuran SPL yang bebas awan di perairan Indonesia.

Karena kekuatan sinyal yang lebih rendah dari Planck kurva radiasi bumi pada gelombang microwave, akurasi dan resolusi SPL pasif microwave lebih rendah bila dibandingkan dengan SPL inframerah termal. Perbandingan akurasi pasif microwave terhadap SST inframerah termal ditampilkan dalam plot Dr. Wick (Dr. Gary A. Wick, NOAA Environmental Technology Laboratory, 9 Oktober 2002) pada Gambar 3. di mana instrumen AVHRR menunjukkan root mean square (RMS) error sebesar 0,76 sedangkan pada instrumen TMI adalah 0,90:

Gambar 3. Plot perbandingan RMS antara AVHRR dan TMI

Namun, keuntungan yang diperoleh dengan data pasif microwave adalah bahwa

radiasi pada panjang gelombang yang lebih panjang sebagian besar tidak terpengaruh oleh awan dan umumnya lebih mudah untuk mengoreksi efek atmosfer. Hal ini digambarkan dengan baik dalam dua gambar SPL di bawah ini. Meskipun dua gambar mempunyai periode sama, komposit inframerah termal (AVHRR) memiliki banyak bercak putih di mana piksel bebas awan tidak dapat diperoleh selama periode waktu yang singkat.

Gambar 4. Perbandingan SPL AVHRR dan TMI

6

Instrumen microwave pasif yang telah digunakan untuk menghasilkan SPL

diantaranya adalah sendor Scanning Multichannel Microwave Radiometer (SMMR) pada satelit Nimbus-7 dan SEASAT, The Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) Microwave Imager (TMI), sensor Advanced Microwave Scanning Radiometer (AMSR) pada satelit Aqua NASA EOS dan pada The Japanese Advanced Earth Observing Satellite (ADEOS II). 3.4. TRMM Microwave Imager (TMI)

Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) diluncurkan pada 27 November 1997 dengan membawa 5 instrumen, salah satunya adalah TRMM Microwave Imager (TMI). TMI adalah sensor multi-channel, dual polarisasi, radiometer pasif microwave yang dirancang untuk mengukur tingkat hujan pada satelit TRMM.

Desain instrumennya mirip dengan radiometer satelit lain tetapi resolusi pengukuran data yang lebih baik karena ketinggian orbit satelit yang lebih rendah. TRMM mempunyai orbit semi-ekuatorial dengan kemiringan 35 derajat. TRMM adalah program bersama antara NASA dan Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA). TRMM adalah satelit microwave pertama yang mampu menembus awan untuk mendapatkan suhu permukaan laut secara akurat. TMI adalah pasif microwave radiometer yang memiliki 9 channel 10.7 GHz dengan polarisasi vertikal dan horizontal. Karakteristik sensor TMI ditampilkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik 9 Channel TMI

7

Gambar 5. Satelit Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM)

3.5. Penentuan ZPPI Berbasis Data Satelit Penginderaan Jauh

Pemanfaatan data penginderaan jauh untuk mendeteksi fenomena oseanografi telah banyak dimanfaatakan dan mampu memberikan informasi yang cukup efektif dalam membantu kegiatan operasi penangkapan ikan. Daerah potensi penangkapan ikan memiliki hubungan erat dengan keberadaan fenomena oseanografi di permukaan laut seperti front, eddies (arus pusar), gyres, arus dan upwelling yang dapat terdeteksi dari citra SPL dan Klorofil-a dari citra satelit NOAA-AVHRR dan IRS-P4 (Indian Remote Sensing Satellite) OCM (Ocean Colour Monitor) (Solanki et al. 2001). Menurut Coudhury et al., (2007) bahwa hasil tangkapan ikan mengalami peningkatan 2-3 kali lipat lebih besar pada bagian tepi oceanic features (front dan eddies) dan semakin jauh dari lokasi tersebut hasil penangkapan semakin menurun.

Balaguru et al., (2014) menyatakan bahwa kondisi oseanografi yang sesuai menjadi faktor utama bagi keberadaan ikan disuatu perairan. Massa air dingin yang kaya akan unsur hara sangat sesuai dengan keberadaan tangkapan ikan di laut. Kondisi ini lebih terlihat jelas dari citra Klorofil-a daripada citra SPL yang mana merupakan indikator utama bagi penangkapan ikan. Menurut Nammalwar et al. (2013), daerah tangkapan ikan dapat diperkirakan dengan melihat pergeseran gradient termal/front yang terdeteksi dari citra SPL 3-4 harian. Berdasarkan ujicoba metode ini menunjukkan bahwa hasil tangkapan ikan pada lokasi ZPPI menunjukkan 3 s.d. 4 kali lebih tinggi dibandingkan di luar ZPPI.

Data altimetri dapat digunakan dalam mengidentifikasi ZPPI karena mampu mengatasi kendala tutupan awan yang terdapat pada citra ocean color dan mampu menunjukkan hasil yang lebih baik untuk mengidentifikasi ZPPI (Balaguru et al., 2014). Jumlah hasil tangkapan ikan memiliki hubungan erat dengan fenomena/kenampakan oseanografi fisik seperti daerah front (frontal zone) dan daerah eddy (eddy field) dimana fenomena oseanografi ini dapat teridentifikasi secara nyata dari parameter lingkungan seperti EKE (Eddie Energy Kinetic) dan SSHA. EKE dan SSHA merupakan indikator sekunder yang berperan dominan pada keberadaan dan distribusi daerah tangkapan ikan.

8

IV. BAHAN DAN METODE 4.1. Lokasi Penelitian

Lokasi kajian untuk penelitian dan pengembangan pemanfaatan data penginderaan jauh untuk ZPPI meliputi seluruh wilayah perairan Indonesia yang terbagi dalam 24 Project Area berukuran 6° x 7° bujur dan lintang koordinat geografis yang meliputi seluruh WPPI (Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia). Daerah Karangsong, Kabupaten Indramayu (PPI/Pangkalan Pendaratan Ikan Karangsong), Provinsi Jawa Barat dan daerah Sadeng, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi D.I.Yogyakarta dipilih sebagai lokasi pemanfaatan informasi ZPPI dan survei lapangan pengumpulan data terkait kegiatan perikanan tangkap yang medukung validasi metode dan informasi ZPPI.

Pemilihan dua lokasi ini didasarkan pada pertimbangan tingkat keaktifan Dinas Perikaan dan Kelautan (Diskanla) dan juragan/nelayan di daerah tersebut dalam memanfaatkan informasi ZPPI dalam kegiatan operasi penangkapan ikan dan potensi pengembangan kegiatan perikanan tangkap di wilayah tersebut. Selain itu, Indramayu dan Yogyakarta mewakili dua daerah operasi penangkapan ikan dengan kondisi perairan yang berbeda. Pemilihan lokasi kajian di Indramayu didasarkan pada tingkat pemanfaatan informasi ZPPI yang cukup tinggi dalam mendukung kegiatan operasi penangkapan ikan selama ini (dari tahun 2006), dengan armada penangkapan yang cukup besar dengan tonase lebih dari 20 gross ton (GT) dan masa operasi lebih dari 30 hari. Selain bertujuan meningkatakan pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan tangkap di Provinsi D.I.Y, lokasi Sadeng merupakan wilayah kajian perikanan yang ditetapkan dalam kerjasama pemanfaatan hasil litbang antara LAPAN dan Pemerintah Provinsi D.I.Y serta memiliki Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP). Pemilihan dua lokasi ini diharapkan dapat memberikan gambaran pemanfaatan informasi ZPPI dan hasil validasi untuk informasi ZPPI yang mewakili perairan terbuka dan semi tertutup. Cakupan wilayah kajian dan kedua lokasi pemanfaatan informasi ZPPI dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Lokasi Kajian Penelitian (cakupan informasi ZPPI dan parameter pendukungnya

meliputi seluruh wilayah Indonesia dan per Project Area 1 s.d. 24)

9

4.2. Bahan dan Alat Data utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah SPL, kandungan

klorofil-a (Chl-a), SSHA dan Informasi ZPPI yang telah didiseminasikan. Parameter SPL dan Chl-a diekstraksi dari data satelit NOAA-AVHRR, Terra/Aqua-MODIS dan Suomi NPP-VIIRS, sedangkan parameter SSHA diturunkan dari gabungan data satelit altimetri (merged data: Jason-2, Cryosat dan SARAL-Altika). Masing-masing satelit memiliki resolusi spasial 1,1 km (NOAA-AVHRR), 1 km (Terra/Aqua-MODIS), 750 m (Suomi NPP-VIIRS) dengan resolusi spasial 2 kali sehari dan 0.25° x 0.25° dan resolusi temporal 7 harian untuk data SSHA.

Selain data satelit digunakan data perikanan yang meliputi data operasi penangkapan ikan (2013, 2014, 2015) dan produksi tangkapan ikan Kab. Indramayu dan Prov. D.I.Y (2008-2015). Periode data satelit disesuaikan dengan ketersediaan data perikanan tersebut, yaitu dari tahun 2013-2015. Sumber data diperoleh dari Pusat Teknologi Data dan Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh Lapan, sedangkan untuk data altimetry diperoleh dari website AVISO (Archiving, Validation and Interpretation of Satellite Oceanographic Data), Perancis. Data Perikanan diperoleh dari mitra kerjasama LAPAN yaitu PT. Perinus, Nelayan, KPL Mina Sumitra dan Diskanla Indramayu, serta STP Jakarta.

Alat yang digunakan dalam penelitian antara lain; perangkat komputer yang dilengkapi software pengolah dan analisis citra satelit (ER.Mapper, ENVI+IDL, HRPT-Reader), software pemrograman (IDL, Visual Basic, Phyton, ArcGIS API for Java dan Matlab), R-software (untuk analisis statistik) dan software otomatisasi produksi informasi ZPPI Lapan (ZAP/ZPPI Auto-Processing). 4.3. Metode Penelitian 4.3.1. Pengumpulan Data SPL, Klorofil-a, SSHA dan Data Lapangan

Data SPL harian diperoleh dari satelit NOAA-AVHRR (National Oceanic anda Atmospheric Administration-Advanced Very High Resolution Radiometer), Aqua/Terra-MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer)dan SNPP-VIIRS (Suomi NPP-Visible/Infrared Imager/Radiometer Suite), sedangkan data konsentrasi Klorofil-a harian diperoleh dari satelit Aqua/Terra-MODIS. Ketiga data satelit tersebut diakuisisi oleh stasiun bumi milik Pusat Teknologi Data Penginderaan Jauh, LAPAN yang diopersionalkan oleh Balai Penginderaan Jauh Parepare dan Bidang Teknologi Akuisisi dan Stasiun Bumi, Jakarta.

Data SSHA diperoleh dari peta anomali tinggi permukaan laut (Maps of Sea Level Anomalies/MSLA) yang dikeluarkan oleh pusat data CLS (Collecte, Localisation, Satellite)-CNES (Centre National d’Etudes Spatiales) Badan Kajian Antariksa Nasional, Perancis pada website AVISO dengan alamat URL: http://www.aviso.oceanobs.com/en/data/products/. Data tersebut merupakan data grid SSHA dengan memperhitungkan rata-rata SSH selama 7 tahun. Data ini merupakan data pembaruan (up-to-date) hasil gabungan dari tiga satelit alimeteri yaitu Jason-2/Cryosat/Saral-Altika.

Data lapangan yang dimaksudkan adalah data hasil operasi penangkapan ikan dan data statistik perikanan yang terkait dalam penelitian. Dalam penelitian ini akan digunakan data hasil operasi penangkapan ikan (lokasi dan posisi penangkapan, jenis alat tangkap, hasil tangkapan, lama operasi penangkapan ikan) dalam rentang waktu yang bersamaan dengan citra satelit SPL, Klorofil-a dan SSHA. Data hasil

10

operasi penangkapan ikan yang digunakan adalah data ikan pelagis dari operasi penangkapan mingguan dan bulanan.

Data diperoleh dari beberapa nelayan dan kelompok nelayan di wilayah Sadeng, Kabupaten Gunung Kidul dan nelayan Karangsong, Kabupaten Indramayu. Untuk mengetahui dampak pemanfaatan informasi ZPPI oleh nelayan di kedua lokasi kajian tersebut maka dikumpulkan juga data statistik tangkapan ikan yang didaratkan di TPI maupun data pendukung lainnya dari KUD atau Dinas Perikanan setempat. Pengumpulan data perikanan ini dilakukan pada awal kegiatan dan bersamaan dengan kegiatan survei lapangan. 4.3.2. Pengolahan Citra Satelit untuk Ekstraksi SPL, Klorofil-a, dan SSHA 4.3.2.1. Ekstraksi SPL dari Citra Satelit NOAA-AVHRR

Suhu permukaan laut (SPL) adalah suhu air di permukaan laut. Arti dari permukaan laut sangat bervariasi sesuai dengan metode pengukuran yang digunakan, tetapi berkisar pada kedalaman antara 1 milimeter hingga 20 meter di bawah permukaan laut. Pengukuran SPL dilakukan dengan menggunakan termometer dan data citra satelit cuaca. Pengukuran SPL dengan citra satelit dibuat dengan menggunakan radiasi laut di dua panjang gelombang atau lebih pada bagian inframerah dari spektrum elektromagnetik dengan menggunakan persamaan empiris.

SPL harian yang diturunkan dari data NOAA-AVHRR kanal 4 dan 5 menggunakan algoritma McMillin dan Crosby (1984), sebagai berikut: SPL = Tb4 + 2,702 (Tb4 – Tb5) – 0,582 – 273,0 (3) Keterangan: SPL : Suhu Permukaan Laut dalam satuan derajat Celcius (°C). Tb4 : Suhu Kecerahan Kanal 4 Tb5 : Suhu Kecerahan Kanal 5 Data NOAA-AVHRR yang digunakan adalah level 1b. Tahapan proses pengolahan informasi SPL harian data NOAA-AVHRR dapat dilihat pada diagram alir Gambar 7.

11

Gambar 7. Diagram Alir Pengolahan Data SPL Harian Berbasisi Data NOAA-AVHRR

Selain mengolah data SPL harian dilakukan kegiatan pengolahan SPL rata-rata

bulanan, rata-rata 3 harian dan rata-rata 8 harian. Untuk mendapatkan data SPL rata rata bulanan dilakukan dengan menggunakan data SPL harian yang dikumpulkan masing-masing bulan. Untuk data SPL rata-rata 3 harian dilakukan menggunakan data SPL harian pada hari tersebut dengan data SPL harian pada 2 hari sebelumnya. Untuk mendapatkan rata-rata 3 harian pertama dilakukan di tanggal 3 setiap bulannya dengan cara menghitung rata-rata dari SPL harian pada tanggal 1, 2 dan 3. Untuk rata-rata 3 harian ke-2 dengan mengggunakan data SPL harian tanggal 2, 3 dan 4. Selanjutnya untuk rata-rata 3 harian ke-3 dengan menggunakan data SPL harian tanggal 3, 4 dan 5, begitu setrusnya.

12

Gambar 8. Diagram Alir Pengolahan Data SPL Rata-rata

Perhitungan data SPL rata-rata 8 harian dilakukan menggunakan data SPL

harian pada hari tersebut dengan data SPL harian pada 7 hari sebelumnya. Untuk mendapatkan rata-rata 8 harian pertama dilakukan di tanggal 8 setiap bulannya dengan cara menghitung rata-rata dari SPL harian pada tanggal 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 dan 8. Untuk rata-rata 8 harian ke-2 dengan mengggunakan data SPL harian tanggal 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8 dan 9. Selanjutnya untuk rata-rata 8 harian ke-3 dengan menggunakan data SPL harian tanggal 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9 dan 10, begitu seterusnya. Algoritma perhitungan SPL rata-rata bulanan, 3 harian maupun 8 harian ditunjukan pada Gambar 8. 4.3.2.2. Ekstraksi SPL dari Citra Satelit Terra/Aqua-MODIS

Data MODIS yang digunakan sebagai data masukan untuk ekstraksi informasi SPL adalah data MODIS level 2, yang sudah merupakan informasi SPL. Penentuan SPL dari data Terra/Aqua MODIS kanal 31 dan 32 dilakukan dengan menggunakan metode Brown dan Minnet (1999), dengan algoritma sebagai berikut:

13

SPL = k1+k2 x Tb31+k3 x (Tb31–Tb32) x BSPL+ k4 x (Tb31–Tb32) x (1/cos (θ)–1) (4) Keterangan: Tb 31 : Suhu Kecerahan Kanal 31 dan 32 Tb 32 : Suhu Kecerahan Kanal 31 dan 32 BSPL : Suhu Kecerahan Kanal 20 θ : Sudut zenith satelit Konstanta : k1 = 1,152; k2 = 0,96; k3 = 0,151; dan k4 = 2,021 4.3.2.3. Ekstraksi SPL dari Citra Satelit Suomi NPP-VIIRS

Algoritma pengolahan SPL dari citra satelit SNPP-VIIRS didasarkan pada metode regresi statistik dengan pendekatan Non-Linear Multi Channel SST (NLSST). Algoritma NLSST dikembangkan dari algoritma cross-product SST (CPSST) yang menjadi basis pengolahan SPL dari citra AVHRR. Data yang digunakan untuk menghitung SPL merupakan data suhu kecerahan dari jenis data EDR (Environmental Data Record) dengan panjang gelombang pada 11 μm (VIIRS kanal M15), 12 μm (VIIRS kanal M16) dan 3.7 μm (VIIRS kanal M12). Algoritma NLSST yang digunakan untuk perhitungan SPL dari citra SNPP-VIIRS mengikuti metode Walton, (1988) yang tercantum dalam VIIRS-SST ATBD/Algorithm Theoretical Basis Document (2011) dengan persamaan sebagai berikut:

SPLdt = a0+ a1T11 + a2 (T11- T12) RSST + a3 (T11 - T12) (sec(z) – 1 (5) SPLnt = a0+ a1T11 + a2 (T3.7- T12) RSST + a3 (sec(z) – 1) (6) Keterangan: SPLdt = SPL siang hari SPLnt = SPL malam hari a0, a1, a2, a3 = koefisien yang diperoleh dari analisis regresi

Koefisien (T11

- T12

) ≤ 0,7 K (T11

- T12

) > 0,7 K

a0 1,228552 1,692521

a1 0,9576555 0,95558419

a2 0,1182196 0,0873754

a3 1,774631 1,199584

T11 = suhu kecerahan pada 11 μm (VIIRS kanal M15) T12 = suhu kecerahan pada 12 μm (VIIRS kanal M16) T3.7 = suhu kecerahan pada 3,7μm (VIIRS kanal M12) RSST = prediksi nilai SPL pertama berdasarkan National Centers for

Environmental Prediction (NCEP) z = sudut zenith sensor

14

Proses ekstraksi parameter SPL dari citra satelit SNPP-VIIRS dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Diagram Alir Pengolahan Data SPL citra satelit SNPP-VIIRS

(VIIRS-SST ATBD, 2011 [22 April 2011 revision p.8])

4.3.2.4. Ekstraksi SPL dari Citra TMI Data TMI yang digunakan pada penelitian ini adalah data binary TMI harian,

3-harian, mingguan dan bulanan tahun 2014 yang tersedia pada website The Remote Sensing System dengan link: http://www.remss.com/sst/. Setiap data binary terdiri dari empat belas grid 0.25X0.25 derajat dari 1440 X 320 byte. Center pada cell pertama dari 1440 column dan 320 row peta terletak pada lintang 0.125E dan bujur 39.875 N latitude sedangkan center pada cell yang kedua pada lintang 0.375E dan Lintang -39.875N.

Semua nila berada pada kisaran 0 dan 255. Nilai-nilai spesifik yang telah ditentukan adalah sebagai berikut: 255 = land mass 254 = tidak ada liputan data TMI 253 = ada liputan data TMI tetapi tidak bagus 252 = data set tidak digunakan 251 = tidak ada nilai kecepatan angin dikarenakan hujan atau tidak ada penyerapan

karena hujan lebat 0 to 250 = valid geophysical data. Untuk menghitung SPL dari data binary, kalikan dengan faktor skala sebagai berikut:

(SST * 0.15) – 3.0 (7) Dimana SST adalah nilai SPL data TMI. Secara garis besar pengolahan data SPL TMI digambarkan pada diagram alir di Gambar 10.

15

Gambar 10. Diagram Alir Pengolahan

4.3.2.5. Ekstraksi Klorofil-a Konsentrasi klorofil-a permukaan laut diturunkan dari data Terra/Aqua MODIS.

berdasarkan metode Carder et al. (2003) dengan tahapan sebagai berikut. a. Koreksi radiometrik, dilakukan untuk mendapatkan citra yang sesuai

dengan koordinat posisi lokasi di bumi. b. Perhitungan konsentrasi Klorofil-a menggunakan data MODIS kanal 10 dan

kanal 12 berdasarkan metode Carder. Data MODIS yang digunakan sebagai data masukan adalah data MODIS level 2, yang sudah merupakan informasi Klorofil-a. Perhitungan konsentrasi Klorofil-a menggunakan algoritma yang dikembangkan oleh Carder et al. (2003), sebagai berikut:

Log (chl a) = c0 + c1 x log (r35) + c2 x (log (r 35))2 + c3 x (log (r35))3 (8) Keterangan: R35 : ref(488)/ref(551) ref(488) : reflektansi kanal 10 ref(551) : reflektansi kanal 12 Koefisien : c0 = 0,2818; c1 = -2,783; c2 = 1,863; dan c3 = 2,387

Terdapat beberapa kegiatan penelitian yang telah dilakukan untuk memberikan

informasi Klorofil-a yang dapat mencakup seluruh perairan Indonesia. Kegiatan pertama ialah menggabungkan dan merata-ratakan informasi Klorofil-a 3 (tiga) harian dari data Aqua MODIS hasil akuisisi LAPAN, kedua ialah menggabungkan dan merata-ratakan informasi Klorofil-a 8 (delapan) harian dari data Aqua MODIS hasil akuisisi LAPAN, ketiga ialah membandingkan kualitas dan kondisi data 8 harian data akuisisi LAPAN dan data yang diunduh dari NASA. Keempat adalah mengolah data Klorofil-a dari data Level-1B akuisisi LAPAN, dan yang terakhir adalah mengolah data S-NPP VIIRS Level-2 dan Level-3.

16

Metode penggabungan dan perata-rataan beberapa data yang dilakukan adalah menggunakan metode maksimum dan metode rata-rata. Metode maksimum dengan menggabungkan keseluruh data dengan mengambil nilai yang paling tinggi, sedangkan metode rata-rata adalah membuat index dari masing-masing data yang memiliki nilai, sehingga data yang memiliki nilai tersebut akan menjadi faktor pembagi, sedangkan data yang tidak memiliki nilai tidak akan diperhitungkan. Sebelum dilakukan penggabungan dan perata-rataan, maka terlebih dahulu dilakukan pengolahan pada masing-masing data yang digunakan, yaitu pengolahan data Aqua/Terra Level-2 yang diakuisisi LAPAN, pengolahan data Aqua/Terra MODIS Level-2 dan Level-3 dengan sumber data NASA, Pengolahan data Aqua/Terra MODIS Level-1B menjadi Level-2 dan Pengolahan data S-NPP VIIRS Level-2 dan Level-3 yang diperoleh dari NASA.

Data Aqua MODIS Level-2 yang diperoleh dari pustekdata LAPAN Pekayon memiliki format HDF. Pengolahan data yang dilakukan adalah koreksi geometri sistematik, yang bertujuan untuk menyesuaikan koordinat data dengan koordinat yang sebenarnya pada peta dunia. Pada proses koreksi geometri ini dilakukan juga koreksi bow-tie yang bertujuan untuk menghilangkan noise yang sering ditemui pada daerah pinggiran data citra yang terlihat seperti terjadi perulangan lintasan pada saat perekaman data. Proses yang terakhir adalah pemisahan awan sehingga informasi akhir yang diperoleh adalah informasi Klorofil-a.

Data Aqua MODIS Level-2 yang diperoleh dari website NASA memiliki format nc. Untuk mempermudah pengolahan dengan menggunakan program (software) untuk pengolahan data citra, maka data tersebut dikonversi ke dalam format data yang diinginkan. Data ini di konversi dengan menggunakan software SeaDAS 7.2. Data Level-2 dan Level-3 ini juga melalui proses koreksi geometri atau dalam SeaDAS 7.2 dikenal dengan istilah reprojection. Data Level-2 yang diunduh memiliki resolusi spasial yang sama yaitu 1 km, akan tetapi untuk data Level-3 resolusinya menjadi 4 km. Untuk data Level-2, 1 scene data Klorofil-a memiliki 23 layer file, dimana produk Klorofil-a berada pada layer 13 dan 14 (Gambar 11).

Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa Layer ke 13, dengan penamaan file chlor_a adalah hasil Klorofil-a dengan menggunakan metode atau algoritma OCI dimana algoritma tersebut merupakan pengembangan dari algoritma standar OC3/OC4 yang menggabunkan algoritma rasio standar OC3/OC4 dengan indeks ocean color (Ocean Color Index-OCI) yang diperkenalkan oleh Hu et al., 2012. Pengembangan algoritma tersebut (OCI) dikhusukan untuk perairan jernih dengan besaran klorofil < 0.3 mg/m3. OCI akan mengurangi efek pantulan dan bias dari perairan yang jernih dan tenang seperti sun glint, kilatan cahaya, juga mengurangi error dalam koreksi atmosfer dan bias error pada nilai reflektannya. Algoritma tersebut meningkatkan nilai Klorofil-a pada perairan jernih dengan nilai sekitar 0.015 mg/m3, dimana nilai ini masih sesuai dengan kisaran Klorofil-a dari hasil validasi data lapangan. Konsentrasi Klorofil-a yang dihasilkan dari algoritma terdahulu yaitu OC3/OC4 masih tetap dilakukan NASA dengan kode produk chl_ocx pada layer ke-14.

17

Gambar 11. File Data Klorofil Level-2 Aqua MODIS dengan Sumber NASA

Kualitas data Klorofil-a Aqua/Terra MODIS Level-2 yang diakuisisi oleh LAPAN saat ini memiliki kualitas data yang kurang informative, karena kondisi data stripping khususnya pada satelit Terra. Data stripping ini sudah terlihat sejak tahun 2012, dan saat ini Aqua MODIS khususnya untuk informasi Klorofil-a Level-2 juga telah mengalami stripping data. Akan tetapi meskipun kondisi ini terjadi juga pada data Level-2 yang bersumber dari NASA, namun masih lebih baik dan lebih informatif. Untuk itu, dilakukan pengolahan data dari Level-1B dengan data yang bersumber dari LAPAN. Data Level-1B telah mengandung nilai reflektan dan memiliki format hdf, dan pengolahan data yang dilakukan adalah koreksi geometri yang terdiri dari koreksi bow-tie dan image registration. Langkah selanjutnya adalah pemisahan awan dengan menggunakan perbandingan kanal 3 dan kanal 5. Adapun metode pengolahan informasi klorofil yang digunakan mengadopsi modul MODIS standar untuk klorofil, yaitu ATBD 19.

Data Klorofil-a dari satelit S-NPP VIIRS merupakan salah satu solusi dalam mengatasi masalah stripping yang sudah dialami data Aqua/Terra MODIS. Informasi Klorofil-a dari sensor tersebut mampu memberikan informasi yang lebih baik dari segi kualitas dan resolusi spasialnya. Informasi Level-2 yang dihasilkan memiliki resolusi spasial 750m yang lebih tinggi daripada data Aqua/Terra MODIS. Data Level-2 yang diunduh dari website NASA memiliki format nc yang perlu di konversi terlebih dahulu dengan menggunakan program SeaDAS 7.2. Seluruh data ocean color yang diperoleh dari website NASA memiliki format nc. Gambar 12 memperlihatkan tampilan data Klorofil-a Level-2 dari satelit S-NPP VIIRS dengan nama data V2015133061334.L2_NPP_OC.nc.

18

Gambar 12. Tampilan data Klorofil-a (Chlor_a) Level-2 Satelit S-NPP VIIRS

(V2015133061334.L2_NPP_OC.nc)

Pada file data tersebut terdapat 16 layer informasi, informasi Klorofil-a terdapat

pada layer ke-8 dan ke-9 dengan penamaan chlor_a dan chlor_ocx. Keduanya tersebut merupakan produk Klorofil-a, yang membedakannya adalah algoritma yang digunakan dan peruntukan kondisi perairan yang berbeda. Chlor_ocx adalah produk klorofil-a yang menggunakan algoritma sebelumnya yaitu algoritma Ocx (algoritma OC3 atau OC4). Chlor_a adalah Klorofil-a yang menggunakan algoritma baru, yaitu OCI, yang merupakan algoritma hasil modifikasi dari algoritma standar OCx yang beralih dari pendekatan ratio band menjadi melalui pendekatan perbedaan spectral pada konsentrasi klorofil yang rendah (Hu et al.,2012). Produk ini masih merupakan produk yang masih dievaluasi, dengan tujuan untuk menggantikan atau memperbaiki algoritma Ocx yang saat ini masih digunakan.

Pengolahan data S-NPP VIIRS untuk informasi Klorofil-a diawali dengan koreksi geometri, yaitu reprojection, dilanjutkan dengan konversi format data nc ke dalam geotiff atau hdf. Gambar 13 memperlihatkan data asli dengan format nc yang belum di reprojection. Terlihat bahwa data tersebut memiliki stripping pada sisi kanan dan kiri satu lintasan citra. Stripping ini akan hilang setelah dilakukan reprojection (Gambar 14).

Gambar 13. Kondisi Data Asli S-NPP VIIRS

19

Gambar 14. Informasi Klorofil Hasil Reprojection

4.3.2.6. Ekstraksi SSHA Data SSHA yang digunakan merupakan data grid SSHA dengan

memperhitungkan rata-rata SSH selama 7 tahun. Data ini merupakan data pembaruan (up-to-date) hasil gabungan dari tiga satelit alimeteri yaitu Jason-2/Cryosat/Saral-Altika. Tahapan pengolahan data SSHA terdiri dari konversi data, gridding dan plotting nilai SSHA. Data GDR satelit altimetri disimpan data dalam bentuk format biner dengan tujuan menghemat besar ukuran data. Konversi data dari format biner ke format ASCII dilakukan untuk memudahkan perhitungan nilai SSHA. Konversi data dilakukan dengan menggunakan software Matlab.

Tahap selanjutnya adalah gridding data untuk nilai SSHA dalam spasi yang sama. Proses gridding dilakukan dengan menggunakan metode Inverse Distance Weighted (IDW). Interval grid diresampling kedalam grid dengan resolusi setara dengan resolusi spasial data SPL Terra/Aqua MODIS yaitu 1 x 1 km. Tahap ketiga adalah plotting data untuk menampilkan nilai SSHA berupa kontur warna 2D serta mendapatkan gambaran visual SSHA pada lokasi kajian (seluruh Indonesia), sehingga dengan jelas dapat diamati fenomena-fenomena oseanografi yang terkait dengan keberadaan ikan front, upwelling atau eddies. 4.3.3. Penentuan ZPPI dan Analisis Akurasi Informasi ZPPI

Penentuan ZPPI diawali dengan mengkaji hubungan dan pengaruh kondisi oseanografi (yang diwakili parameter SPL, Klorofil-a, dan SSHA) terhadap fishing ground ikan–ikan pelagis (berdasarkan lokasi dan hasil tangkapan ikan). Pola hubungan dan pengaruh masing-masing atau gabungan beberapa parameter tersebut selanjutanya digunakan untuk menentukan ZPPI. Analisis pola hubungan kondisi oseanografi dan fishing ground disesuaikan dengan periode ketersediaan data tangkapan ikan dan citra satelit. Pola hubungan kondisi parameter oseanografi dan fishing ground dilakukan melalui spasial temporal analisis dan analisis statistik regresi multivariate/ model GAM (Generalized Additive Model).

Pendekatan ini dilakukan untuk meningkatkan akurasi informasi ZPPI yang sebelumnya (Litbang ZPPI, 2014) didasarkan pada deteksi front SPL dari satu citra per akuisisi menggunakan metode SIED (Single Image Edge Detection) menurut Cayula-Cornillion (1992). Metode tersebut menunjukkan akurasi informasi ZPPI + 80.5% terhadap posisi penangkapan dengan hasil tangkapan ikan antara 500 - 2.000kg (per 1 kali penangkapan per hari [hasil ujicoba Nelayan Indramayu di Laut

20

Jawa dengan alat tangkap gillnet, panjang + 8 km, uk. Kapal: 25-30 GT]). Masa berlaku informasi + 2 hari dengan ketepatan spasial + 10-20 mil laut (10-30 km).

Selain itu dalam penelitian ini dilakukan pengembangan metode SIED untuk mendeteksi front SPL dari beberapa citra satelit (Terra/Aqua-MODIS dan SNPP-VIIRS) hasil akuisisi selama 1 hari dan penggabungan garis front dari parameter SPL, Klorofil dan SSHA. Kriteria batas penentuan front didasarkan pada nilai ambang yang diperoleh dari spasial temporal analisis dan analisis regresi multivariate/ model GAM. Proses pendeteksian garis front dilakukan menggunakan program otomatisasi ZAP untuk mempercepat proses.

Dalam penelitian ini digunakan citra satelit SPL dan Klorofil-a harian serta rata-rata 3 dan 7 harian kedua citra tersebut. Perataan tiga dan tujuh harian bertujuan untuk memperoleh data SPL dan Klorofil-a yang relatif bebas dari awan. Selain itu, citra satelit SPL dan Klorofil-a harian dan perataan tiga harian digunakan untuk mengamati variasi kedua parameter dalam rentang waktu tersebut. Rata-rata tujuh harian SPL dan Klorofil-a dalam rangka menyesuaikan dengan citra SSHA yang diperoleh dari satelit altimetri dengan resolusi temporal tujuh harian. Resolusi spasial citra satelit SSHA telah disamakan dengan citra SPL dan Klorofil-a yaitu 1 x 1 km untuk memudahkan dalam analisis atau penentuan ZPPI.

Data lokasi dan hasil penanangkapan ikan digunakan sebagai acuan daerah atau zona potensi penangkapan ikan. Potensi penangkapan ikan didasarakan pada pengelompokan hasil tangkapan Rendah, Sedang, dan Tinggi sesuai dengan standarisasi jenis ikan yang tertangkap dan upaya penangkapannya dalam satu waktu tertentu. Secara umum setiap jenis unit penangkapan mampu menangkap berbagai jenis ikan di suatu daerah penangkapan. Namun kemampuan masing-masing unit penangkapan berbeda-beda dalam menghasilkan hasil tangkapan. Untuk itu perlu dilakukan standarisasi upaya penangkapan sebelum menghitung CPUE (Catch per Unit Effort) dengan membandingkan hasil tangkapan per upaya penangkapan masing-masing unit penangkapan. Unit penangkapan yang dijadikan sebagai standar adalah jenis unit penangkapan yang paling dominan menangkap jenis-jenis ikan tertentu di suatu daerah (mempunyai laju tangkapan rata-rata per CPUE terbesar pada periode waktu tertentu). Pada penelitian ini data hasil tangkapan dihitung berdasarkan hasil tangkapan per satuan upaya/usaha penangkapannya (CPUE) dalam kurun waktu yang sama dengan citra satelit yang digunakan. Perhitungan CPUE ikan pelagis di daerah kajian diformulasikan sebagai berikut:

CPUE = P/E (9)

dimana: CPUE adalah Produksi per Unit Upaya (kg/trip), P merupakan Produksi (kg) dan E adalah upaya penengkapan (trip).

Pola hubungan antara parameter oseanografi dan fishing ground ikan–ikan pelagis dilakukan secara analisis statistik menggunakan model GAM. GAM merupakan salah satu alternatif model statistik apabila tidak ditemukannya hubungan linear antara dua variabel (Zuur et al., 2007; Zuur et al., 2009). Metode ini bersifat nonlinear dan dapat digunakan untuk mengurangi kelemahan penggunaan asumsi distribusi normal dalam analisis data ekologi Wibawa (2011).

Untuk kepentingan pembentukan model, dataset yang ada dibagi menjadi dua bagian, yaitu training data dan evaluation data. Training data digunakan untuk

21

pembentukan model, sedangkan evaluation data digunakan untuk memvalidasi hasil prediksi dari pemodelan tersebut (Himmerman & Guissan, 2000). Sebelum dilakukan pemodelan GAM, terlebih dahulu dilakukan eksplorasi dataset sesuai dengan prosedur yang mengacu pada Zuur et al., (2009) dan Zuur et al., (2010). Secara umum GAM menggunakan smoothing curve untuk memodelkan hubungan antara variabel respon dengan variabel penjelasnya (Zuur et al., 2007). Bentuk dasar persamaan dasar dari GAM adalah:

Yi = α + f (Xi) + εi (10)

dimana Yi adalah variabel respon; α merupakan konstanta intersep; f (Xi) merupakan smoothing curve untuk setiap variabel penjelas; dan εi adalah error atu kesalahan pengukuran setiap variabel penjelas (Zuur et al., 2007). Pemodelan GAM dilakukan dengan menggunakan mgcv package (Wood, 2006) yang terdapat dalam program R (R Core Development Project, 2008). Pemodelan GAM dilakukan dengan menggunakan distribusi Gaussian dan fungsi identity link. Sebagai variabel respon adalah laju CPUE salah satu jenis ikan pelagis (CPUE), sedangkan sebagai variabel-variabel penjelasnya adalah SPL, Klorofil, dan SSHA.

Pembentukan model GAM dimulai dengan setiap satu variabel penjelas, yang dilanjutkan dengan kombinasi dua dan tiga variabel-variabel penjelas. Pemilihan model GAM yang akan digunakan untuk memprediksi sebaran daerah potensi penangkapan ikan pelagis didasarkan pada nilai Akaike’s Information Criteria (AIC) setiap model GAM yang terbentuk, nilai deviance setiap model GAM yang terbentuk, dan tingkat signifikansi variabel-variabel penjelas yang digunakan dalam pembentukan setiap model GAM (Zuur et al., 2007; Zuur et al., 2009). Deviance dan AIC menunjukkan tingkat keakuratan variabel-variabel penjelas dalam menjelaskan variasi variabel respon dalam setiap persamaan GAM. Semakin kecil nilai deviance dan semakin tinggi nilai AIC berarti semakin tinggi tingkat keakuratan model GAM dalam menjelaskan variasi variabel respon (Zuur et al., 2007; Zuur et al., 2009).

Persamaan GAM dengan nilai deviance terendah, AIC tertinggi serta dengan variabel penjelas berada dalam tingkat signifikan akan dijadikan persamaan dalam menentukan zona potensial penangkapan ikan. Informasi ZPPI hasil pemodelan tersebut selanjutnya di ujicoba dan diperhitungkan akurasinya dengan dua pendekatan. Pendekatan pertama, uji akurasi informasi ZPPI dilakukan dengan menganalisis jarak terdekat lokasi dan posisi penangkapan dengan hasil tangkapan ikan terbanyak terhadap lokasi ZPPI hasil penentuan berdasarkan persamaan GAM. Uji akurasi ini dilakukan dengan menganalisis secara spasial menggunakan data arsip hasil tangkapan ikan dari nelayan yang sesuai dengan informasi ZPPI yang dihasilkan.

Pendekatan kedua, informasi ZPPI hasil model disampaikan kepada nelayan sampel di dua lokasi kajian (Sadang, Kabupaten Gunung Kidul dan Karangsong, Kabupaten Indramayu) untuk digunakan dalam melakukan operasi penangkapan selama tiga kali masa operasi, dengan masa operasi lebih dari 5 atau 7 hari. Validasi informasi ZPPI didasarkan pada analisis regresi antara lokasi atau titik informasi ZPPI terhadap lokasi penangkapan dan memperhitungkan penurunan hasil tangkapan pada lokasi yang diamati terhadap waktu atau tanggal informasi ZPPI yang digunakan (hal ini dapat dinyatakan sebagai masa valid dari informasi ZPPI).

22

Validasi dan uji akurasi dengan pendekatan pertama juga dilakukan terhadap metode penentuan informasi ZPPI yang selama ini telah diopersionalkan oleh Tim Produksi Informasi ZPPI LAPAN. Metode penentuan ZPPI yang digunakan didasarkan pada suhu permukaan laut dan/atau dari satelit NOAA-AVHRR atau Terra/Aqua-MODIS dengan kriteria ZPPI merupakan daerah gradient suhu (perbedaan suhu 0,5°C dengan jarak 3 kilometer) dan daerah dengan konsentrasi klorofil minimal 0,3 mg/l. 4.3.4. Otomatisasi Sistem Produksi dan Diseminasi Informasi ZPPI

Kegiatan otomatisasi merupakan penerapan hasil pengembangan metode penentuan ZPPI yang bertujuan untuk memudahkan dan mempercepat proses serta mengurangi subyektifitas dalam memproduksi informasi ZPPI. Otomatisasi dirancang tidak hanya untuk memproduksi informasi ZPPI tetapi juga untuk mengekstraksi parameter utama pendukungnya (SPL, Klorofil dan SSHA). Proses otomatisasi menggunakan teknologi yang terdapat pada program aplikasi ENVI yaitu bahasa pemrograman Interactive Data Language (IDL). Dengan memanfaatkan fungsi-fungsi yang telah ada sebelumnya dan kemudian dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan operasional.

Fungsi baru akan memproses inputan satu atau lebih file citra satelit NOAA-AVHRR, Terra/Aqua MODIS, SNPP-VIIRS dan Altimetri sekaligus dan kemudian memprosesnya sampai akhirnya menghasilkan output berupa data citra yang sudah terkoreksi geometri secara sistematis dan data SPL, Klorofil dan SSHA. Hasil proses otomatisasi pada penelitian tahun 2014 (progam ZAP) akan disempurnakan mengikuti hasil litbang pada tahun ini. Program ZAP telah mengakomodasi proses pengiriman informasi ZPPI kepada pengguna secara otomatis sesuai daerah operasi penangkapan ikan yang dibutuhkan.

Selain otomatisasi, pada penelitian ini dirancang Sistem Informasi ZPPI (SIZPPI) untuk memudahkan diseminasi informasi dan penyajian informasi yang lebih lengkap dan komunikatif kepada para pengguna. Hasil informasi ZPPI harian, bulanan dan musiman serta informasi parameter utama pendukungnya disajikan dalam Sistem Informasi ZPPI (SIZPPI). Secara umum tahapan proses pengembangan metode pemanfaatan data penginderaan jauh untuk informasi ZPPI digambarkan dalam diagram alir pada Gambar 15.

23

Gambar 15. Diagram Alir Proses Pengembangan Model Penentuan dan Peningkatan

Akurasi Informasi ZPPI

4.3.5. Survei Lapangan Survei lapangan bertujuan untuk berkoordinasi dengan mitra penelitian dan

mensosialisasikan hasil litbang kepada pengguna informasi ZPPI, mengumpulkan data maupun informasi terkait dengan kegiatan operasi penangkapan ikan serta verifikasi dan validasi pemanfaatan informasi ZPPI pada lokasi yang dikaji. Beberapa data dan informasi penting terkait penelitian seperti; lokasi dan posisi penangkapan, jenis alat tangkap, hasil tangkapan, lama operasi penangkapan ikan, musim penangkapan, penyebaran jenis ikan khususnya ikan pelagis, dan sebagainya akan sangat mendukung dalam pengolahan, analisis data serta pengembangan model penentuan informasi ZPPI.

Metode survei yang digunakan meliputi: wawancara mendalam (depth interview) berdasarkan daftar pertanyaan yang telah disusun untuk keperluan analisis dan tujuan penelitian kepada responden (nelayan, juragan/pemilik kapal, pengurus/anggota KUD dan pegawai Diskan setempat), pengumpulan dan pencatatan data. Materi wawancara meliputi kondisi kegiatan operasi penangkapan dan pemanfaatan informasi ZPPI serta manfaat maupun kendala-kendala yang dihadapi selama melakukan kedua kegiatan tersebut. Data dan informasi perikanan hasil wawancara dikumpulkan dan dicatat secara lengkap.

Pencatatan data dilakukan terutama untuk data berupa arsip log book nelayan yang tertulis maupun digital yang terekam dalam GPS nelayan. Selain itu dikumpulkan juga data statistik perikanan dari KUD maupun Diskan setempat. Verifikasi dan validasi di lapangan dilakukan dengan penyampaian informasi ZPPI hasil pengembangan model kepada nelayan sampel melalui diskusi secara formal maupun informal untuk digunakan dalam melakukan operasi penangkapan. Verifikasi hasil kajian juga dilakukaan dengan meminta konfirmasi kebenaran

24

daerah-daerah potensi dan waktu/musim penangkapan ikan kepada nelayan setempat berdasarkan pengalaman dan fakta yang mereka miliki.

Survei lapangan dilaksanakan di dua lokasi kajian yaitu Karangsong, Kabupaten Indramayu dan Sadeng, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Waktu pelaksanaan survei ke masing-masing lokasi disesuaikan dengan jadwal dan kerangka kegiatan kerjasama dan kisaran musim peralihan dan musim timur karena kondisi cuaca (angin dan gelombang) yang relatif lebih lemah untuk operasi penangkapan ikan. Survei lapangan dilaksanakan oleh Tim LAPAN dan dikoordinasikan bersama dengan Dinas Perikanan Kabupaten Indramayu dan Kelompok Nelayan Mina Sumitra Indramayu serta Dinas Kelautan dan Perikanan serta kelompok nelayan di wilayh Provinsi D.I.Yogyakarta.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Informasi Suhu Permukaan Laut NOAA AVHRR

SPL merupakan salah satu parameter oseanografi yang memegang peranan penting dalam penentuan lokasi yang potensial untuk penangkapan ikan. Informasi SPL dalam kegiatan pemanfaatan data satelit penginderaan jauh untuk perikanan ini diturunkan dari data satelit NOAA-AVHRR. Informasi spasial SPL tersebut diperoleh melalui proses ekstraksi dari data AVHRR satelit NOAA 18 dan 19.

Gambar 16. Informasi Spasial SPL Berbasis Data NOAA Tanggal 01 November 2015

Hasil informasi spasial SPL harian berbasis data NOAA yang diolah

menggunakan algoritma diatas dapat dilihat pada Gambar 16 sampai dengan Gambar 20. Pada informasi SPL tanggal 01 November 2015 itu berdasarkan satelit NOAA 18 yang diakuisisi pada pukul 17.22 WIB. Dari info SPL tersebut terlihat sebaran suhu berkisar antara 260C sampai 330C dan masih banyak daerah perairan yang tidak mengeluarkan informasi SPL dikarenakan adanya awan yang menutupi daerah perairan tersebut. Untuk mendapatkan informasi SPL yang menutupi semua

25

wialyah perairan di Indonesia perlu suatu penggabungan data SPL harian. Oleh karena itu dilakukan perhitungan rata-rata SPL selama satu bulan, 3 harian serta 8 harian.

Gambar 17. Informasi Spasial SPL Berbasis Data NOAA Tanggal 03 November 2015

Gambar 18. Informasi Spasial SPL Berbasis Data NOAA Tanggal 04 November 2015

26

Gambar 19. Informasi Spasial SPL Berbasis Data NOAA Tanggal 01 Desember 2015

Gambar 20. Informasi Spasial SPL Berbasis Data NOAA Tanggal 3 Desember 2015

Untuk hasil SPL rata-rata bulanan umumnya bisa mendapatkan informasi SPL

dari seluruh perairan di Indonesia walaupun masih ada yang kosong di beberapa daerah karena daerah tersebut tertutup awan. Dibulan Juli informasi SPL lebih full dibandingkan dengan beberpa bulan lainnya. SPL pada Bulan Desember terlihat lebih banyak kosongnya dibandingkan bulan lainnya terutama pada wialayah bagian

27

barat Pulau Sumatera. Hasil pengolahan SPL rata-rata bulanan untuk Bulan Juli, Agustus, November dan Desember dapat dilihat pada gambar 21 sampai dengan gambar 24.

Gambar 21. Informasi Spasial SPL Rata-rata Bulan Juli 2014

Gambar 22. Informasi Spasial SPL Rata-rata Bulan Agustus 2014

28

Gambar 23. Informasi Spasial SPL Rata-rata Bulan November 2014

Gambar 24. Informasi Spasial SPL Rata-rata Bulan Desember 2014

Hasil SPL rata-rata 3 harian umumnya tidak bisa mendapatkan informasi SPL

dari seluruh perairan di Indonesia, ini tergantung dari data SPL harian yang dihasilkan. Dari Perhitungan rata-rata 3 harian yang dilakukan di Bulan Juli didapat umumnya informasi SPL tidak menutup seluruh perairan di Indonesia. Khusus dibulan Juli pada tanggal 1,2,3 kemudian 8, 9, 10 serta tanggal 9, 10, 11 kita bisa menghasilkan SPL rata-rata hampir diseluruh perairan di Indonesia. Hasil

29

pengolahan beberapa SPL rata-rata 3 harian yang dilakukan di Bulan Juli dapat dilihat pada Gambar 25. Untuk tampilan informasi SPL rata-rata 3 harian ditunjukkan pada Gambar 26.

SPL Rata-rata Tanggal 1,2,3 Juli 2014

SPL Rata-rata Tanggal 2,3, 4 Juli 2014

SPL Rata-rata Tanggal 3, 4, 5 Juli 2014

SPL Rata-rata

Tanggal 4, 5, 6 Juli 2014 SPL Rata-rata

Tanggal 5, 6, 7 Juli 2014 SPL Rata-rata

Tanggal 6, 7, 8 Juli 2014

SPL Rata-rata Tanggal 7, 8, 9 Juli 2014

SPL Rata-rata Tanggal 8, 9, 10 Juli 2014

SPL Rata-rata Tanggal 9, 10, 11 Juli 2014

Gambar 25. Informasi Spasial SPL Rata-rata 3 Harian di Bulan Juli 2014

30

Gambar 26. Informasi Spasial SPL Rata-rata 3 Harian di Bulan Juli 2014

Hasil SPL rata-rata 8 harian umumnya bisa mendapatkan informasi SPL hampir

dari seluruh perairan di Indonesia, ini juga tergantung dari data SPL harian yang dihasilkan. Dari perhitungan rata-rata SPL 8 harian yang dilakukan di Bulan Juli didapat informasi SPL yang hampir menutup seluruh perairan di Indonesia. Khusus dibulan Juli pada tanggal 8 harian yang pertama yaitu tanggal 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 dan 8 menghasilkan SPL rata-rata diseluruh perairan di Indonesia dengan rentang 260C hingga 330C.

Gambar 27. Informasi Spasial SPL Rata-rata 8 Harian di Bulan Juli 2014

31

Distribusi sebaran suhu pada 8 hari pertama di Bulan Juli suhu di Samudera

Indonesia cenderung rendah dengan rata-rata di bawah 300C, sedangkan sebaran suhu panas diatas 300C mendominasi di utara daerah Katulistiwa. Hasil pengolahan beberapa SPL rata-rata 8 harian yang dilakukan di Bulan Juli dapat dilihat pada gambar 27 hingga Gambar 30. Perhitungan suhu rata-rata 8 harian sudah dapat menentukan suhu permukaan laut di seluruh perairan di Indonesia.

Gambar 28. Informasi Spasial SPL Rata-rata 8 Harian di Bulan Juli 2014

Gambar 29. Informasi Spasial SPL Rata-rata 8 Harian di Bulan Juli 2014

32

Gambar 30. Informasi Spasial SPL Rata-rata 8 Harian di Bulan Juli 2014

5.2. Informasi Klorofil-a dari Terra/Aqua MODIS dan S-NPP VIIRS

Sesuai dengan tujuan atau sasaran yang ingin dicapai adalah mendapatkan informasi klorofil-a yang lebih informatif dan dapat mencakup seluruh perairan Indonesia, sehingga salah satu cara yang dapat dilakukan adalah menggabungkan data yang dimiliki. Penggabungan data ini dapat dilakukan apabila data tersebut memiliki resolosi spasial yang sama, walaupun waktu akuisisinya berbeda. Pada kegiatan ini dilakukan penggabungan dan perataan data Aqua/Terra MODIS akuisisi LAPAN baik 3 harian maupun 8 harian untuk melihat kondisi data pada jangka waktu tersebut. Dilakukan juga pengolahan data Level-2 dan level-3 dari data Aqua/Terra MODIS dari NASA untuk melihat kualitas dan nilai informasi Klorofil-a dan membandingkannya dengan informasi klorofil-a yang diakuisisi LAPAN. 5.2.1. Kondisi Data Klorofil Level-2 Sensor Aqua MODIS dengan Sumber Data NASA dan LAPAN

Data klorofil-a dari Aqua MODIS yang bersumber dari NASA dan LAPAN tanggal 2 Mei 2015 disajikan pada Gambar 31.

33

(a) (b)

Gambar 31. Kondisi Data Klorofil Aqua MODIS NASA (a) dan LAPAN (b) Gambar 31 menunjukkan bahwa data klorofil bersumber dari NASA memiliki kualitas yang lebih baik daripada data yang diakuisisi LAPAN. Kedua data tersebut memiliki pola yang sama dalam hal tutupan awan, akan tetapi data LAPAN memiliki lebih banyak noise berupa stripping. 5.2.2. Informasi Klorofil-a Aqua MODIS 3 (Tiga) Harian

Informasi klorofil Aqua MODIS 3 harian tanggal 1, 2, dan 3 Mei 2015 dengan metode rata-rata dan metode maximum dapat dilihat pada Gambar 32 dan Gambar 33. Masing-masing tanggal terdiri dari 2 data yang diakuisisi, sehingga jumlah data yang diolah dan digabung adalah 6 data.

Gambar 32. Informasi Klorofil-a Tiga Harian (1-3 Mei 2015) Data Aqua MODIS dengan

Metode Rata-rata

34

Gambar 33. Informasi Klorofil-a Tiga Harian (1-3 Mei 2015) Data Aqua MODIS dengan

Metode Maximum

Informasi Klorofil-a tiga harian tanggal 1-3 Mei 2015 dengan metode rata-rata memiliki kisaran nilai 0-0.99 mg/l sedangkan dengan metode maximum memiliki kisaran nilai 0-1.62 mg/l. Walaupun kedua metode menghasilkan kisaran nilai Klorofil-a yang sedikit berbeda akan tetapi memiliki pola sebaran yang sama. Informasi Klorofil-a tiga harian ini belum dapat memberikan informasi yang meliputi seluruh perairan Indonesia, sehingga selanjutnya dilakukan pengolahan data Klorofil-a untuk menghasilkan informasi 8 (delapan harian). 5.2.3. Data Klorofil Aqua/Terra MODIS 8 (Delapan) Harian

Analisis data Klorofil-a delapan harian dari data Aqua MODIS yang diakuisisi LAPAN untuk tanggal 1,2,3,4,5,6,7,dan 8 mei 2015 dengan metode rata-rata dan metode maksimum dengan jumlah data sebanyak 14 data disajikan pada Gambar 34 dan 35.

Gambar 34. Informasi Klorofil-a Delapan Harian (1-8 Mei 2015) Data Aqua MODIS dengan

Metode Rata-rata

35

Gambar 35. Informasi Klorofil-a Delapan Harian (1-8 Mei 2015) Data Aqua MODIS dengan

Metode Maximum

Klorofil-a delapan harian tanggal 1-8 Mei 2015 dengan metode rata-rata memiliki kisaran nilai 0-1.547 mg/l sedangkan dengan metode maximum memiliki kisaran nilai 0-2.157 mg/l. Informasi Klorofil-a delapan harian dengan metode maximum mempunyai nilai yang lebih tinggi karena dengan metode tersebut, informasi Klorofil-a yang diambil adalah nilai maximum dari keseluruhan data 8 hari, sedangan metode rata-rata menghasilkan informasi klorofil dari keseluruhan data 8 hari dibagi jumlah data yang memiliki informasi Klorofil-a. Gambar 34 dan Gambar 35 memperlihatkan bahwa informasi Klorofil-a delapan harian cukup baik dalam memberikan informasi yang meliputi seluruh perairan Indonesia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa untuk mendapatkan informasi klorofil yang dapat mengcover seluruh perairan Indonesia dibutuhkan data Klorofil-a dari delapan hari atau lebih.

Gambar 36. Informasi Klorofil-a Delapan Harian (1-8 Mei 2015) Data Terra MODIS dengan

Metode Rata-rata Klorofil-a delapan harian tanggal 1-8 Mei 2015 untuk data Terra MODIS disajikan pada Gambar 36. Kualitas informasi yang dihasilkan kurang baik karena adanya noise berupa stripping yang sudah cukup parah pada data Level-2. Apabila

36

dibandingkan dengan Gambar 34 dan 35 maka nilai klorofil yang bersumber dari data Terra memiliki kisaran nilai yang lebih rendah. 5.2.4. Data Klorofil-a Aqua/Terra MODIS 8 (Delapan) Harian Sumber Data NASA

Pada litbang ZPPI dilakukan juga analisis perbandingan informasi Klorofil-a dari data Aqua MODIS yang bersumber dari NASA dengan resolusi spasial 4 km dan dari LAPAN dengan resolusi spasial 1 km. Gambar 37 memperlihatkan informasi Klorofil-a delapan harian dari data NASA. Konsentrasi Klorofil-a yang dihasilkan lebih besar dari data LAPAN (Gambar 34) yaitu mencapai 5 mg/l. Kisaran histogram informasi Klorofil-a delapan harian dari kedua sumber dibuat sama yaitu 0-0.1 mg/l, sehingga terlihat Klorofil-a data NASA berwarna merah menunjukkan kandungan Klorofil-a yang sangat tinggi.

Gambar 37. Informasi Klorofil-a Delapan Harian (1-8 Mei 2015) Data Aqua MODIS NASA

5.2.5. Hasil Pengolahan Manual Klorofil-a dari data Level-1B dan

Membandingkannya dengan data Level-2 SeaDAS LAPAN Data Klorofil-a Level-2 yang diakuisisi LAPAN memiliki kualitas yang tidak

sebaik Klorofil-a Level-2 hasil pengolahan tim Ocean Color NASA. Data LAPAN cenderung lebih banyak noise dalam bentuk data stripping sehingga produk Klorofil-a yang dihasilkan menjadi sulit diintepretasi dan belum digunakan baik dalam produk ZPPI operasional maupun otomatisasi. Sehingga dilakukan pengolahan secara manual untuk menghasilkan informasi Klorofil-a dari data Level-1 1000 m produk LAPAN. Data Level-1 yang digunakan untuk pengolahan Klorofil-a adalah kanal 3 dan 5 untuk masking awan dan kanal 10 dan 12 untuk informasi Klorofil-a (Gambar 38).

37

Gambar 38. Pemilihan Kanal yang Digunakan untuk Pengolahan Klorofil dari Data Level-1

MODIS Aqua Sumber Data LAPAN

Hasil pengolahan klorofil dari data Level-1 dan klorofil hasil pengolahan SeaDAS (Level-2) tanggal 1 Mei 2015 pukul 11.41 dapat dilihat pada Gambar 39.

Pengolahan Manual dari Level- 1

MODIS Aqua Menggunakan ATBD 19 Informasi Klorofil Tanggal 1 Mei 2015 Waktu Akuisisi 11.41 Level- 2 MODIS

Aqua Gambar 39. Informasi Klorofil dari Pengolahan Manual dari Level-1 (kiri) dan Level-2

Pengolahan SeaDAS (kanan) MODIS Aqua Akuisisi Tanggal 1 Mei Pukul 11.41

Gambar 39 memperlihatkan informasi Klorofil-a yang memiliki pola sebaran yang sama namun memiliki perbedaan dalam hal kualitas dan nilai klorofilnya. Hasil Klorofil-a pengolahan manual dari data Level-1B diberi histogram dengan kisaran Klorofil-a 0-2 sedangkan Klorofil-a Level-2 memiliki histogram 0-0.1. Dengan kata lain, nilai Klorofil-a yang dihasilkan dari pengolahan manual memiliki kisaran Klorofil-a yang lebih tinggi nilainya bila dibandingkan dengan informasi Klorofil-a Level-2.

38

Kualitas Data Klorofil dengan Pengolahan Manual dari Level-1

Kualitas Data Klorofil Level-2 dengan Pengolahan SeaDAS

Gambar 40. Kualitas Informasi Klorofil Pengolahan Manual dan SeaDAS Dari Gambar 40 dapat dilihat bahwa kualitas informasi Klorofil-a yang dihasilkan melalui pengolahan manual jauh lebih baik daripada kualitas klorofil hasil pengolahan SeaDAS dengan sumber data yang sama, yaitu data LAPAN. 5.2.6. Informasi Klorofil Level-2 dan Level-3 dari Satelit S-NPP VIIRS

Satelit S-NPP merupakan salah satu satelit yang dilengkapi sensor VIIRS yang dapat digunakan untuk aplikasi kelautan, salah satunya adalah memberikan informasi kesuburan perairan melalui inifrormasi kelimpahan Klorofil-a.

39

Gambar 41. Nilai Klorofil (Chlor_a dan Chlor_ocx ) Level-2 Terkoreksi Geometri Tanggal

19 Juni 2014

Gambar 41 memperlihatkan informasi Klorofil-a pada tanggak 19 Juni 2014 dengan 2 jenis Klorofil-a yang dihasilkan yaitu dengan algoritma OCI dan OCX. Layer 8 pada file data menunjukkan informasi Klorofil-a dari algoritma OCI dan layer 9 dari algoritma terdahulu yaitu OCX. Beberapa produk Klorofil-a dari sensor VIIRS disajikan pada Gambar 42. Histogram Klorofil-a diberikan kisaran nilai 0-5 mg/m3.

19 Juni 2014 13 Mei 2015

17 Mei 2015 4 September 2015

Gambar 42. Informasi Klorofil (Chlor_a) Level-2 dari S-NPP VIIRS

40

Data level-3, yaitu data tiga harian, delapan harian dan bulanan dari sensor VIIRS dapat dilihat pada Gambar 43, Gambar 44, dan Gambar 45. Pengolahan data Level 3 yang dilakukan adalah data pada Bulan Oktober 2015, dimana untuk data delapan harian ternyata tidak cukup informatif karena kondisi liputan awan yang cukup tinggi. Informasi Klorofil-a tiga harian yang di olah adalah data tanggal 24,25, dan 26 Oktober 2015. Informasi klorofil delapan harian, data yang diolah adalah data tanggal 24,25,26,27,28,29,30, dan 31 Oktober 2015.

Gambar 43. Informasi Klorofil (Chlor_a) Level-3, 3 harian Tanggal 24-26 Oktober 2015

Gambar 44. Informasi Klorofil (Chlor_a) Level-3, 8 harian Tanggal 24-31 Oktober 2015

Tidak seperti data MODIS, informasi korofil tiga harian dan delapan harian tidak dapat memberikan informasi yang cukup banyak untuk seluruh perairan Indonesia, khususnya perairan Indonesia bagian barat (Sumatera, sebagian kalimantan dan Jawa). Hal ini dapat disebabkan karena tutupan awan yang tinggi dan tidak ada lintasan data di wilayah tersebut.

41

Gambar 45. Informasi Klorofil (Chlor_a) Level-3, Bulan Juli 2015

Gambar 46. Informasi Klorofil (Chlor_a) Level-3, Bulan Oktober 2015

Gambar 45 dan Gambar 46 memperlihatkan informasi Klorofil-a bulan Juli dan

Oktober 2015. Pada dasarnya untuk perairan lepas, kisaran Klorofil-a pada kedua bulan tersebut memiliki pola dan kisaran nilai yang sama, namun untuk daerah pesisir, seperti perairan Selatan Jawa, Pada Bulan Oktober 2015 Klorofil-a yang dihasilkan lebih tinggi daripada Klorofil-a pada bulan Juli 2015.

Kondisi data Klorofil-a NPP VIIRS memiliki kualitas yang sangat baik dengan resolusi spasial yang lebih tinggi daripada Aqua/Terra MODIS, yaitu 750 m, sehingga kedepannya dapat dimanfaatkan sebagai data tambahan atau data pengganti Aqua/Terra MODIS yang saat ini telah mengalami gangguan berupa data stripping. 5.3. Informasi Suhu Permukaan Laut Dari TRMM-TMI

Data harian TMI terbagi menjadi data ascending dan desending, seperti ditampilkan pada Gambar 47.

42

Gambar 47. Data harian SPL TMI, Ascending Passes (kiri) dan Descending Passes (kanan) Data di atas masih dalam selang nilai 0-255, agar nilai tersebut menjadi nilai SPL dalam °C maka harus dikalikan dengan faktor skala seperti pada formula (1). Setelah dikalikan dengan faktor skalanya, maka tampilannya menjadi seperti Gambar 48.

Gambar 48. SPL TMI dalam ºC, Ascending Passes (kiri) dan Descending Passes (kanan)

Agar didapatkan data rata-rata harian, maka kedua data tersebut dioverlay dan

dihitung rata-rata data hariannya. Gambar hasil rata-rata data harian TMI di tampilkan pada Gambar 49.

Gambar 49. SPL TMI Harian

43

Data 3 harian adalah rata-rata data 3 hari yang berakhir pada tanggal file, misalnya file data 3 harian tanggal 3 Januari 2014, maka data tersebut merupakan data rata-rata 3 hari yaitu tanggal 1, 2, dan 3 Januari 2014. Data mingguan merupakan data rata-rata 7 hari yang berawal di hari Minggu dan berakhir pada hari Sabtu, nama file sesuai dengan tanggal hari Sabtu. Data bulanan merupakan data rata-rat seluruh data dalam satu bulan kalender. Proses pengolahan data 3-harian, mingguan dan bulanan sama dengan data harian. Perbandingan data SPL harian, 3-harian, mingguan dan bulanan ditampilkan pada Gambar 50.

SPL TMI Harian SPL TMI 3-harian

SPL TMI Mingguan SPL TMI Bulanan

Gambar 50. SPL TMI Harian, 3-harian, Mingguan dan Bulanan

Warna putih pada SPL TMI menunjukkan tidak adanya informasi SPL, hal ini

bukan disebabkan oleh liputan awan melainkan karena adanya kontaminasi side lobe. Kontaminasi side-lobe ini menyebabkan tidak adanya informasi SPL pada bagian pesisir (± 50 km). Suhu permukaan laut juga tidak dihasilkan pada daerah dengan sun glitter dan hujan lebat.

Pada Gambar 50 terlihat bahwa data 3-harian pada data TMI telah dapat menggambarkan SPL perairan Indonesia. Hal ini telah dikaji oleh Marini et al., 2014 dalam tulisannya yang berjudul Sea Surface Temperature Measurment From TMI and MODIS Data. Dalam tulisannya Marini, et al., 2014 membandingkan SPL yang dihasilkan oleh sensor TMI dan MODIS di perairan Barat Sumatera selama bulan Juni 2012, yang diilustrasikan pada Gambar 51 di bawah ini:

44

Gambar 51. Perbandingan SPL dari MODIS dan TMI

Dikatakan bahwa informasi sebaran SPL dari data TMI lebih informatif

dibandingkan dengan dari data MODIS, data rata-rata 3-harian dari data TMI sudah bisa memberikan gambaran distribusi di daerah kajian, sementara data MODIS baru pada rata-rata mingguan atau bulanannya. Hal ini juga terlihat pada grafik liputan SPL Data TMI dan MODIS, dimana data harian, 3-harian, dan mingguan data TMI mempunyai presentase liputan yang lebih baik. Namun tidak pada data bulanan, presentase liputan SPL bulanan MODIS lebih baik dibandingkan dengan data SPL TMI. Hal ini disebabkan karena SPL MODIS mampu menjangkau wilayah pesisir.

Pengukuran SPL dari sensor inframerah termal mempunyai resolusi spasial yang lebih baik dan dapat menjangkau wilayah pesisir tetapi mempunyai keterbatasan terhadap liputan awan, sedangkan sensor microwave, dalam hal ini TMI dapat menghasilkan SPL yang bebas liputan awan namun tidak bisa memberikan SPL di wilayah pesisir. Berdasarkan keunggulan dan kelemahan masih-masing sensor tersebut, perlu dikaji lebih lanjut untuk menggabung kedua data tersebut, sehingga bisa dihasilkan informasi SPL yang bebas awan, liputan yang lebih besar dengan resolusi yang lebih tinggi. 5.4. Informasi ZPPI dari Satelit Altimetri

Data-data tersebut dapat diaplikasikan di berbagai sektor keilmuan dan juga sebagai indikator fenomena global. Untuk saintifik oseanografi digunakan untuk mempelajari fenomena upwelling, downwelling, arus eddy dan deteksi kejadian gelombang laut. Sebagai indikator fenomena global digunakan untuk memantau kenaikan tinggi muka akibat pemanasan global/perubahan iklim dan indicator fenomena El Nino/La Nina.

45

Gambar 52. Deret waktu kenaikan tinggi muka laut global dari 1993 s/d 2015.

(Sumber http://www.aviso.altimetri.fr, 2015)

Gambar 52 menunjukkan bentuk deret waktu kenaikan tinggi muka laut (rata-rata global) dari Januari 1993 sampai Agustus 2015. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kenaikan tinggi muka laut secara rata-rata global sebesar 3,32 mm per-tahun. Dalam kurun waktu 23 tahun (1993 s/d. 2015) kenaikan tinggi muka laut mencapai 76 mm. Hasil tersebut masih rata-rata global dan sebaran secara spasial perubahan tinggi muka laut memiliki variabilitas yang tinggi untuk laut global.

Gambar 53. Tren kenaikan tinggi muka laut dari tahun 1993 sampai 2014.

(http://www.aviso.altimetri.fr, 2015)

Gambar 53 menampilkan sebaran spasial trend tinggi muka laut selama periode pengamatan dari Januari 1993 sampai Desember 2014 ( 22 tahun). Nilai gradien berkisar antara -10 s/d. 10 mm per-tahun. Sebagian besar wilayah laut global mengalami peningkatan tinggi muka laut/tren positif dan hanya sebagian kecil mengalami penurunan/tren negatif. Peningkatan tertinggi terdapat di Samudera Pasifik bagian barat sampai ke wilayah laut Indonesia. Untuk wilayah Indonesia nilai tren berkisar antara 5 sampai 10 mm/tahun. Hasil tersebut menunjukkan bahwa selama kurun waktu 22 tahun laut Indonesia mengalami peningkatan tinggi muka

46

laut rata-rata sebesar 5 mm/tahun sampai 10 mm/tahun, dengan kenaikan yang bervariasi secara spasial. Secara zonal kenaikan tertinggi terdapat di wilayah laut Indonesia bagian timur yang berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik bagian barat. Hal tersebut menggambarkan bahwa wilayah pesisir Indonesia bagian timur lebih rentan dengan dampak dari kenaikan tinggi muka laut dibandingkan wilayah pesisir di bagian tengah dan barat Indonesia. Selanjutnya data satelit altimetri dapat dimanfaatkan sebagai penanda kejadian El Nino, seperti ditampilkan dalam Gambar 54 berikut.

Gambar 54. Anomali tinggi muka lautdi Samudera Pasifik tahun 2015.

(Sumber : http://www.aviso.altimetri.fr, 2015)

Dalam Gambar 54 ditampilkan anomali tinggi muka laut di Samudera Pasifik dari Januari sampai Oktober 2015. Hasil tersebut menunjukkan bahwa bulan Februari 2015 sudah tampak penanda atau indikator akan terjadinya El Nino tahun 2015. Terlihat bahwa anomali tinggi muka laut mulai mengalami peningkatan di ekuator Samudera Pasifik terutama di bagian tengah. Untuk bulan-bulan berikutnya sampai bulan Oktober peningkatan tersebut semakin menguat dengan cakupan yang semakin meluas kearah Samudera Pasifik bagian timur. Sedangkan di ekuator bagian barat Samudera Pasifik terjadi penurunan anomali. Untuk kejadian La Nina anomali tinggi muka laut dapat digunakan sebagai penanda tetapi posisinya kontra dibandingkan saat kejadian El Nino, anomali menurun di ekuator Samudera Pasifik bagian timur dan menguat di bagian barat.

47

Selain untuk indikator kenaikan tinggi muka laut akibat pemanasan global, kejadian El Nino/La Nina, data-data satelit altimetri dapat digunakan pada sektor perikanan untuk menentkan zona potensi penangkapan ikan (ZPPI) di laut. Data yang digunakan untuk menentukan informasi ZPPI dari satelit altimetri adalah anomali tinggi muka laut dan arus geostropik.Penentuan ZPPI dengan data anomali tinggi muka laut pada umumnya menggunakan rentang nilai anomali dalam interval tertentu. Dalam penelitian ini digunakan kriteria yaitu nilai anomali berkisar antara -5 cm s/d 5 cm. Pertemuan air laut antara anomali positif dan negatif dengan kisaran anomali -5 cm s/d 5 cm merupakan zona yang berpotensi sebagai wilayah penangkapan ikan karena zona tersebut merupakan zona front (McGillicuddy et al., 1998). Tampilan dalam Gambar 5 berikut ini adalah contoh penentuan ZPPI secara spasial berdasarkan data anomali tinggi muka laut:

Gambar 55. Informasi ZPPI tgl 24-30 November 2015

Pada Gambar 55, warna hijau merupakan wilayah ZPPI dengan kriteria anomali

tinggi muka laut berkisar antara -5 cm sampai 5 cm. Sebagian besar perairan laut antar pulau menjadi zona penangkapan ikan yang potensial, sedangkan di laut terbuka atau laut bebas relatif lebih sedikit zona untuk penangkapan ikan.

Cara lain yang biasa digunakan untuk menentukan ZPPI dengan menggunakan data anomali tinggi muka laut dikombinasikan dengan arus geostropik. Hal ini berlaku dalam menentukan ZPPI untuk jenis ikan tuna. Menurut llicuddy et al. (1998) untuk menduga zona potensi penangkapan ikan didasarkan pada dua kejadian arus eddy dengan arah yang berlawanan (siklonik dan antisiklonik) yang disertai dengan kejadian upwelling dan downwelling. Bila kejadian tersebut bertepatan dengan pertemuan antara anomali positif dan negatif maka zona pertemuan tersebut merupakan zona front dan diduga sebagai zona yang berpotensi untuk penangkapan ikan atau ZPPI. Secara ringkas gambaran dari penentuan ZPPI berdasarkan McGilicuddy ditampilkan dalam gambar 56 berikut.

48

Gambar 56. Penentuan ZPPI untuk ikan tuna

Dengan menerapkan metode McGillicuddy pada pengolahan data anomali tinggi muka laut dan arus geostropik diperoleh hasil seperti ditampilkan dalam gambar 57.

Gambar 57. ZPPI ikan tuna tgl 21-27 September 2015

Tampilan gambar 57 menampilkan beberapa zona potensi penangkapan ikan

untuk ikan tuna di Samudera Hindia berdasarkan data satelit altimetri tgl 21 sampai 27 September 2015 (data anomali tinggi muka laut dan arus geostropik). Ikan tuna

49

pada umumnya habitatnya berada di laut dalam dan laut terbuka, untuk bagian selatan Indonesia biasanya di Samudera Hindia.Kelemahan dari metode ini tidak ditentukan titik koordiant ZPPI dan hanya tampilan secara visual yang dapat diketahui dari tampilan grafik dengan cakupan yang cukup luas. Di sisi lain sebenarnya dapat digunakan data anomali tinggi muka laut untuk menentukan area front dengan nilai ambang batas ataukriteriatertentu. Tetapi resolusi spasial data yang masih rendah menjadi kelemahan dalam analisis data untuk menentukan front berdasarkan data anomali dan deteksi kejadian arus eddy. Artinya fenomena skala menengah/skala meso dan skala besar yang dapat direkam oleh satelit altimetri, sedangkan skala kecil tidak dapat dipantau. 5.5. Otomatisasi ZPPI 5.5.1. Pengembangan Metode Penentuan Lokasi Ikan

Penentuan posisi ikan menggunakan metode baru dengan nama Minimum Bounding Rectangle (MBR) dan center of grafity. Kedua metode tersebut merupakan pengembangan dari metode penentuan posisi ikan yang sebelumnya sudah digunakan untuk produksi informasi ZPPI menggunakan pengolahan otomatis. Tahapan pengolahan dalam menentukan metode baru untuk penentuan posisi ikan ditampilkan pada gambar 58.

Gambar 58. Diagram alir pengolahan

Input yang digunakan dalam penentuan posisi ikan yaitu hasil dari deteksi termal

front seperti ditampilkan pada gambar 59. Metode deteksi termal front menggunakan Single Image Edge Detection (SIED) mengacu pada Cayula dan Cornillon tahun 1992.

50

Gambar 59. Deteksi termal front

Hasil deteksi termal front dipisahkan dari input utamanya yaitu suhu permukaan laut (SPL) seperti ditampilkan pada gambar 60 dan gambar 61 (hasil pembesaran).

Gambar 60. Termal front

Gambar 61. Termal front (zoom in)

51

Setiap termal front dilakukan perhitungan untuk menentukan bidang persegi minimum untuk menentukan pembagian setiap termal front seperti ditampilkan pada gambar 62.

Gambar 62. Perhitungan minimum bounding rectangle

Gambar 63. Perhitungan panjang front

Setiap luasan persegi, dihitung yang memiliki panjang lebih dari 10 nautical mil. Jika kurang dari nilai tersebut maka akan diabaikan (gambar 63). Setiap persegi yang memiliki panjang lebih dari 10 nautical mil, akan dibagi menjadi 10 NM secara proposional seperti ditampilkan pada gambar 64.

52

Gambar 64. Pembagian front menjadi 10NM

Gambar 65. Hasil pembagian front

Hasilnya ialah termal front yang terbagi berdasarkan panjang 10 nautical mil secara proposional yang ditampilkan pada gambar 65. Setiap poligon dihitung titik tengah untuk menentukan koordinat yang mewakili setiap poligon tersebut (gambar 66).

53

Gambar 66. Penentuan titik tengah front

Gambar 67. Ekstraksi titik koordinat titik tengah front

Setiap titik tengah akan diekstrak nilai koordinatnya untuk ditampilkan pada

tabel informasi Zona Potensi Penangkapan Ikan (gambar 67). Sedangkan pada peta informasi akan ditampilkan dengan label nomor yang berurutan seperti ditampilkan pada gambar 68.

54

Gambar 68. Pemberian label nomor urut titik

Gambar 69. Perbandingan jumlah titik pada metode baru dengan metode lama

Pada gambar 69, ditampilkan perbedaan jumlah titik yang dihasilkan pada metode lama yang digunakan dengan metode baru. Pada metode lama, pada area kajian, menghasilkan 20 titik koordinat yang mewakili. Sedangkan menggunakan metode baru dihasilkan titik koordinat sejumlah 10. Dengan demikian informasi Zona Potensi Penangkapan Ikan lebih efisien dan mudah digunakan.

55

5.5.2. Pembuatan otomatisasi untuk Pengolahan Rata Rata Bulanan Pembuatan otomatisasi untuk informasi SPL dan Klorofil-a bulanan untuk

mendukung informasi pendukung yang diminta oleh pengguna. Selain itu informasi bulanan ini untuk mendukung SIZPPI, dan kegiatan lainnya di Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh. Otomatisasi dibuat menggunakan bahasa pemrograman python yang diintegrasikan dengan ArcGIS untuk mempermudah pengolahan data.

Gambar 70. Informasi SPL rata rata bulanan data AQUA MODIS bulan Agustus 2015

Gambar 71. Informasi SPL rata rata bulanan data AQUA MODIS bulan September 2015

Gambar 72. Informasi SPL rata rata bulanan data TERRA MODIS bulan Agustus (kiri) dan

bulan September (kanan) tahun 2015

56

Gambar 73. Informasi SPL rata rata bulanan data NPP VIIRS bulan Agustus (kiri) dan bulan

September (kanan) tahun 2015

Gambar 74. Informasi Klorofil rata rata bulanan data TERRA MODIS bulan Agustus tahun

2015

Gambar 75. Informasi Klorofil rata rata bulanan data TERRA MODIS bulan September tahun

2015

Gambar 76. Informasi Klorofil-a rata rata bulanan data AQUA MODIS bulan Agustus (kiri)

dan bulan September (kanan) tahun 2015

57

5.5.3. Pengembangan Otomatisasi Pengolahan Data ZPPI Selain itu perubahan pada pengolahan otomatis produksi informasi ZPPI telah

dilakukan untuk membuat sistem yang berjalan lebih stabil. Perubahan diantaranya memperbaiki halaman management pengguna infomasi ZPPI, penambahan modul pengiriman file informasi ZPPI melalui FTP.

Gambar 77. Diagram masterplan otomatisasi pengolahan data penginderaan jauh

Gambar 77 menampilkan diagram masterplan otomatisasi pengolahan data

penginderaan jauh. Produksi informasi ZPPI merupakan salah satu bagian dari sistem yang akan dibuat, selain pemantauan pertumbuhan padi dan pemantauan lahan bekas terbakar. Semuanya sistempengolahan kan terintegrasi secara sinergis dan hasil dari pengolahan terintegrasi dengan sistem diseminasi seperti sistem pemantauan bumi nasional.

Penambahan modul baru yaitu buffering data untuk mengeliminasi deteksi termal front pada objek pinggiran data awan dan data striping. Update terbaru lainnya pada piranti lunak pengolahan otomatis produksi informasi ZPPI yaitu perubahan tampilan muka dari menu utama. Modul untuk pengiriman email otomatis ditambahkan sebagai modul terpisah yang terintegrasi. Setiap data yang diproses dan hasil dari setiap pengolahan akan dikirim kepada user secara otomatis dan disesuaikan dengan project area yang diperlukan.

Gambar 78 menampilkan tampilan terbaru dari piranti lunak pengolahan otomatis produksi informasi ZPPI. Pada tampilan terbaru terdapat informasi pembuat dan penambahan panel status koneksi internet pada panel kanan bawah. Status koneksi untuk menginformasikan keadaan jaringan internet yang digunakan untuk download data dari sumber data jika sumber data pada mellaui jaringan yang kedua digunakan untuk pengiriman email secara otomatis.

58

Gambar 78. Tampilan terbaru dari piranti lunak pengolahan otomatis produksi informasi

ZPPI Ketersediaan data secara realtime diperlukan dalam piranti lunak pengolahan

otomatis produksi informasi ZPPI. Untuk memenuhi kebutuhan survey lapangan, diperlukan ketersediaan data yang berkelanjutan tanpa delay. Oleh karena itu dibangun sebuah piranti lunak untuk download data otomatis dari modis katalog untuk memenuhu kebutuhan piranti lunak pengolahan otomatis produksi informasi ZPPI.

Gambar 79 menampilkan tampilan utama dari piranti lunak download otomatis modis katalog. Piranti lunak ini secara otomatis akan mengecek keberadaan data terbaru setiap 1 menit. Pencarian data bisa diatur mundur dimulai dari tanggal terakhir (tanggal hari ini). Jika ditemukan data terbaru pada modis katalog, piranti lunak akan mendownload secara otomatis data tersebut dan disimpan kelokasi yang telah diintegrasikan dengan piranti lunak pengolahan otomatis produksi informasi ZPPI.

59

Gambar 79. MODIS katalog auto download untuk keperluan pengolahan produksi

informasi ZPPI. Penambahan modul pengiriman informasi Zona Potensi Penangkapan Ikan

melalui File Transfer Protocol (FTP) telah dibangun untuk mendukung pengguna yang menginginkan informasi melalui FTP. Informasi yang dikirim akan disesuaikan dengan tabel pengguna yang telah terdaftar. Dalam tabel pengguna, terdapat nomor zona dan format file yang akan dikirim. Selain itu alamat FTP beserta user dan password diperlukan untuk bisa mengakases lokasi tujuan untuk pengiriman informasi. Gambar 80 menampilkan tabel pengguna yang telah terdaftar dan digunakansebagai acuan dlam pengiriman informasi ZPPI melalui email dan FTP.

Gambar 80. Tabel pengguna

60

Pengiriman informasi hanya akan dilakukan untuk data terbaru saja. Untuk pengolahan ulang tidak akan dilakukan pengiriman informasi. Gambar 81 menampilkan proses saat pengiriman informasi melalui FTP.

Gambar 81. Tampilan pengiriman otomatis informasi ZPPI melalui FTP

5.5.4. Prototipe Sistem Informasi ZPPI (SIZPPI)

Sistem Informasi ZPPI (SIZPPI) tahap awal dibangun setelah melakukan kajian ulang terhadap sistem yang akan digunakan yaitu berbasis open source dan memiliki akses yang lebih cepat. SIZPPI selanjutnya dibangun menggunakan Leaflet yang terintegrasi dengan mapbox tool untuk menampilkan citra. Secara keseluruhan tampilan muka dari SIZPPI telah dikerjakan dengan pembagian panel seperti gambar 82. Menu utama terdapat pada bagian atas dengan sistem dropdown, sedangkan untuk menu pengaturan citra yang akan ditampilkan terdapat pada sisi sebelah kiri.

61

Gambar 82. Tampilan awal SIZPPI

Halaman login terdapat pada bagian kanan atas, sebagai petunjuk apakah user talah login sebagai user khusus atau sebagai user global. Pembagian user akan dabahas dan dikerjakan pada bulan selanjutnya.

Gambar 83. SPL data Aqua MODIS

Gambar 83 menampilkan informasi Suhu Permukaan Laut dari data Aqua MODIS. File yang ditambahakan saat ini memeiliki format KML. Untuk selanjutnya bisa dimasukan atau ditambahkan pula file dengan format lainnya. Selain data Aqua MODIS datata lainnya bisa ditampilkan seperti Terra dan Suomi NPP VIIRS seperti ditampilkan pada gambar 84, 85 dan 86.

62

Gambar 84. SPL data Terra MODIS

Gambar 85. CHL data Terra MODIS

Gambar 86. SPL data NPP VIIRS

63

Pada gambar 87, menampilkan informasi termal front untuk project area 13 dan pada gambar 88 merupakan gabungan PA 13 dan PA 14. Pengaturan warna informasi termal front akan dilakukan pada bulan selanjutnya.

Gambar 87. Front data Aqua MODIS PA 13

Gambar 88. Front data Aqua MODIS PA 13 dan PA 14

64

Gambar 89. Front data Aqua MODIS PA 13 (zoom)

5.6. Sosialisasi dan Diseminasi ZPPI

Kegiatan litbang pemanfaatan data penginderaan jauh untuk informasi ZPPI selain melakukan kegiatan teknis penelitian, telah dilakukan juga berupa survey lapangan sesiau dengan rencana penelitian yang dibuat. Selain survey lapangan, telah dilakukan juga kegiatan lainnya seperti:

Bimbingan Teknis Produksi Informasi ZPPI untuk Badan Keamanan Laut (BAKAMLA)

Workshop Zona Potensi Penangkapan Ikan

Sosialisasi ZPPI dan Visitasi ke Kabupaten Indramayu untuk Pemerintah Provinsi Gorontalo

Bimbingan Teknis dan Sosialisasi Informasi ZPPI untuk PT. Perikanan Nusantara

On Job Assesment (OJA) untuk Agensi Remote Sensing Malaysia (ARSM)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Dari hasil kegiatan ini dapat disimpulkan bahwa :

Informasi klorofil Level-2 dari data Terra MODIS yang diakuisisi LAPAN memiliki kualitas yang kurang baik ditandai dengan adanya noise berupa data stripping sehingga menyulitkan dalam melakukan analisa dan intepretasi informasi klorofil.

Informasi klorofil Level-2 dari data Aqua MODIS yang diakuisisi LAPAN memiliki kualitas yang lebih baik dari pada data Terra MODIS, namun sudah mulai mengalami data stripping yang sama.

Berkurangnya kualitas data yang di hasilkan, maka dilakukan pengolahan informasi klorofil secara manual dari data Level-1B, dan hasilnya menunjukkan kualitas informasi yang lebih baik. Hal ini dapat disebabkan karena koreksi geometri yang disertai dengan koreksi bow tie dilakukan pada data Level-1B sehingga memberikan hasil mengurangi noise berupa stripping yang lebih baik dibandingkan koreksi bow tie yang dilakukan setelah data berbentuk Level-2.

65

Informasi klorofil dari data Aqua/Terra MODIS 3 harian dan data 8 harian menunjukkan bahwa informasi data 3 harian belum dapat memberikan informasi yang mewakili seluruh perairan Indonesia, tetapi data 8 harian sudah cukup baik dan informatif dalam memberikan informasi klorofil seluruh perairan Indonesia.

Satelit S-NPP dengan sensor VIIRS kedepannya dapat dimanfaatkan sebagai data tambahan untuk memberikan informasi klorofil yang lebih baik, karena kualitas data masih sangat baik, dengan resolusi temporal yang menyerupai MODIS dan perbaikan dalam hal resolusi spasialnya yaitu 750 m. Namun hingga saat ini data klorofil dari VIIRS belum dapat diperoleh dari LAPAN sehingga masih diunduh di website Ocean Color NASA.

Satelit altimetri dengan teknologi radar merupakan komplemen bagi satelit optis dalam hal penyediaan data satelit. Data satelit altimetri dapat digunakan untuk pemantauan kenaikan tinggi muka laut dan indikator fenomena El Nino/La Nina. Untuk sector perikanan data satelit altimetri dapat digunakan untuk menentukan zona potensi penangkapan ikan. Penentuan ZPPI didasarkan pada data anomali tinggi muka laut dan arus geostropik. Penentuan informasi ZPPI dengan anomali tinggi muka laut menggunakan kriteria nilai anomali -5 cm s/d 5 cm. Kombinasi antara anomali dengan arus geostropik digunakan untuk mendeteksi ZPPI untuk jenis ikan tuna.

6.2. Saran

Saran dari penelitian yang telah dilakukan ialah diperlukannya lebih banyak data lapangan untuk bisa melakukan validasi agar informasi yang dihasilkan lebih akurat lagi. Keberlangsungan peneletian sangat bergantung dari ketersedian data citra satelit penginderaan jauh yang lebih berkelanjutan. Oleh karena itu, pada pelaksanaan penelitian selanjutnya diperlukan dukungan data yang lebih stabil dan reliabel. Selain dukungan data, dukungan fasilitas dan infrastruktur sangat diperlukan demi kelancaran penelitian yang dilakukan. DAFTAR PUSTAKA Archiving, Validation and Interpretation of Satellite Oceanographic data (AVISO),

2014. ftp://aviso.oceanobs.com/sea_surface_height. Balaguru B., S.S. Ramakrishnan, R.Vidhya dan P.Thanabalan. 2014. A Comparative

Study on Utilization of Multi-Sensor Satellite Data to Detect Potential Fishing Zone (PFZ). Proceeding: The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XL-8, 2014 ISPRS Technical Commission VIII Symposium, 09 – 12 December 2014, Hyderabad, India.

Brown, O.B. and Minnett, P.J. 1999. MODIS Infrared Sea Surface Temperature Algorithm, Tech. Report ATBD25, University of Miami, Miami, FL 33149-1098.

Carder, K.L., Chen, F.R., Lee, Z., Hawes, S.K., dan Cannizzaro, J.P. 2003. MODID Ocean Science Team, Algorithm Theoretical Basis Document (ATBD) 19: Case 2 Chlorophyl a. College of Marine Science University of South Florida. St. Petersburg. Florida 33701.

Choudhury S. B., B. Jena, M. V. Rao, K. H. Rao, V. S. Somvanshi, D. K. Gulati dan S. K. Sahu. 2007. Validation of Integrated Potential Fishing Zone (IPFZ) Forecast Using Satellite Based Chlorophyll and Sea Surface Temperature Along The East Coast of India. International Journal of Remote Sensing. Vol.

66

28, No. 12, 20 June 2007, 2683–2693. Taylor and Francis. International Journal of Remote Sensing ISSN 0143-1161 print/ISSN 1366-5901 online #2007 Taylor & Francis. http://www.tandf.co.uk/journals. DOI: 10.1080/01431160600987878

Ghazali, I. dan Manan, A. 2011. Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan Di Selat Bali Berdasarkan Data Citra Satelit, Jurnal Kelautan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga, Surabaya.

Gunarso, W. 1985. Tingkah Laku Ikan : Hubungannya dengan Alat, Metoda dan Taktik Penangkapan. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hal149.

Hasyim, B. 2004. “Penerapan Informasi Zona Potensi Penangkapan Ikan (ZPPI) untuk Mendukung Usaha Peningkatan Produksi dan Efesiensi Operasi Penangkapan Ikan”. Makalah Pribadi Pengantar Kefalsafahan Sains. Sekolah Pasca Sarjana, IPB. Bogor.

Hutabarat, S dan Evans, M., 1986. Pengantar Oseanografi. UI- Press, Jakarta Hutagalung, H.P. 1988. Pengaruh Suhu Terhadap Kehidupan Organisme Laut.

Pewata Oseana. LON-LIPI Jakarta. Jatilakson, M. 2007. Suhu Laut. http://jlcome.blogspot.com/2007/12/suhu-laut.html,

Tanggal unduh 7 Maret 2015. Mann, K.H. and J.R.N. Lazier. 1991. Dynamic of Marine Ecosystem, Biological-

Physical Interaction in the Ocean. Boston. Marpaung, S. dan Harsanugraha, W.K., 2014. Karakteristik Sebaran Anomali Tinggi

Muka Laut di Perairan Bagian Utara dan Selatan Pulau Jawa. Prosiding Seminar Nasional Penginderaan Jauh 2014, Bogor.

Marpaung, S. dan Prayogo, T., 2014. Analisis Arus Geostropik Permukaan Laut Berdasarkan Data Satelit Altimetri. Prosiding Seminar Nasional Penginderaan Jauh 2014, Bogor.

Maryani. 2008. Penentuan Suhu Permukaan Laut dari Data NOAA-AVHRR. Bidang Pemantauan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, PUSBANGJA LAPAN. Jakarta

McGillicuddy, D. J.jr. et al. 1998. Influence of Mesoscale eddies on new production in the Sargasso Sea. Nature, 394, 263–266.

McMillin, L.M. dan Crosby, D.S. 1984. Theory and Validation of the Multiple Window Sea Surface Temperature Technique. . J. Geophysical Resources. 89(C), 3665–3601.

Meadows, P.S., and J.I. Campbell.1993. An Introduction to Marine Science. 2 nd Edition, Halsted Press, USA.

Nammalwar. P., S. Satheesh, R. Ramesh. 2013. Applications of Remote Sensing in Validations of Potential Fishing Zones (PFZ) along the Coast of North Tamil Nadu, India. Indian Journal of Geo-Marine Science. Vol. 42(3), June 2013, pp.283-292.

Nontji, A. 1984. Biomassa dan Produktivitas Fitoplankton di Perairan Teluk Jakarta serta Kaitannya dengan Faktor-faktor Lingkungan. Disertasi. Jurusan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Nontji, A. 1987. Laut Nusantara, Penerbit Djambatan. Jakarta. Nontji, A. 2002. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta. Nontji, A. 2008. Plankton Laut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Press.

Jakarta.

67

Ocean Color Web.MODIS Aqua. http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/cms/data/aqua . diakses tanggal 5 Mei 2015.

Ocean Color Web.VIIRS. http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/cms/data/viirs. diakses tanggal 10 November 2015.

Rasyid, A. 2009. Distribusi Klorofil-a Pada Musim Peralihan Barat-Timur di Perairan Spermonde Provinsi Sulawesi Selatan, Jurnal Sains & Teknologi, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin – Makasar, Vol.9 No.2 : 125 – 132.

Samawi, M.F., 200. Penuntun Praktikum Kimia Oseanografi, Laboratorium Oseanografi Kimia, Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin, Makasar

Semedi, B. dan Luthfi, A. 2015. Forecasting the Fishing Ground Of Small Pelagic Fishes in Makassar Strait Using Moderate Resolution Image Spectroradiometer Satellite Images, Journal of Applied Environmental and Biological Sciences, 3(2) 29-34.

Susandi, A., Herlianti, Tamamadin dan Nurlela, 2008. Dampak Perubahan Iklim Terhadap Ketinggian Muka Laut di Wilayah Banjarmasin, Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol. 12 No. 2, Bogor.

Teliandi, D. 2011. Faktor yang Mempengaruhi Suhu Permukaan Laut. http://lauteliandi.blogspot.com/2011/03/suhu-adalah-suatu-respon-benda-terhadap.html, Tanggal unduh 7 Maret 2015.

Wikipedia. 2015. Sea Surface Temperatur. http://en.wikipedia.org/wiki/ Sea_surface_temperature. Tanggal unduh 7 Maret 2015.

Wuriatmo, H., Koesuma, S., dan Yunianto, M., 2012. Analisis Sea Level Rise dari Data Satelit Altimetri Topex/Poseidon, Jason-1 dan Jason-2 di Perairan Laut Jawa Periode 2000-2010. Indonesian Journal of Applied Physics Vol. 2 No. 7: 62-72.

68

69

Lampiran 1. Foto Survey dan Sosialisasi Indramayu

70

Lampiran 2. Foto Bimtek Badan Keamanan Laut (BAKAMLA)

71

Lampiran 3. Foto Sosialisasi ZPPI dan Visitasi Ke Kabupaten Indramayu untuk Prov. Gorontalo

72

Lampiran 4. Foto Sosialisasi ZPPI untu PT. Perikanan Nusantara

73

Lampiran 5. Foto On Job Assesment untuk Agensi Remote Sensing Malaysia

PUSAT PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH - 2015