lp alo

44
1. DEFINISI ALO Acute Lung Odema (ALO) atau edem paru akut adalah akumulasi cairan di interstisial dan alveoulus paru yang terjadi secara mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravaskular yang tinggi (edem paru kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membran kapiler (edem paru non kardiogenik) yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan secara cepat sehingga terjadi gangguan pertukaran udara di alveoli secara progresif dan mengakibatkan hipoksia (Harun dan Saly, 2009; Soemantri 2011). Edema paru merupakan suatu keadaan terkumpulnya cairan patologi di ekstravaskuler dalam paru. Kelainan ini disebabkan oleh dua keadaan yaitu peningkatan tekanan hidrostatis dan peningkatan permeabilitas paru (Muttaqin, 2008). Edema paru akut adalah keadaan patologi dimana cairan intravaskuler keluar ke ruang ekstravaskuler, jaringan interstisial dan alveoli yang terjadi secara akut. Pada keadaan normal cairan intravaskuler merembes ke jaringan interstisial melalui kapiler endotelium dalam jumlah yang sedikit sekali, kemudian cairan ini akan mengalir ke pembuluh limfe menuju ke vena pulmonalis untuk kembali ke dalam sirkulasi (Flick, 2000, Hollenberg, 2003). Edema paru disebabkan karena akumulasi cairan di paru-paru yang dapat disebabkan oleh tekanan intrvaskular yang tinggi (edema paru kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membran kapiler (edema paru non kardiak) yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan. Edema paru terjadi ketika cairan yang disaring ke paru lebih cepat dari cairan yang dipindahkan.

Upload: kelompok14rssa

Post on 09-Feb-2016

6 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

-

TRANSCRIPT

Page 1: LP ALO

1. DEFINISI ALO Acute Lung Odema (ALO) atau edem paru akut adalah akumulasi cairan di

interstisial dan alveoulus paru yang terjadi secara mendadak. Hal ini dapat

disebabkan oleh tekanan intravaskular yang tinggi (edem paru kardiak) atau karena

peningkatan permeabilitas membran kapiler (edem paru non kardiogenik) yang

mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan secara cepat sehingga terjadi

gangguan pertukaran udara di alveoli secara progresif dan mengakibatkan hipoksia

(Harun dan Saly, 2009; Soemantri 2011).

Edema paru merupakan suatu keadaan terkumpulnya cairan patologi di

ekstravaskuler dalam paru. Kelainan ini disebabkan oleh dua keadaan yaitu

peningkatan tekanan hidrostatis dan peningkatan permeabilitas paru (Muttaqin,

2008).

Edema paru akut adalah keadaan patologi dimana cairan intravaskuler keluar ke

ruang ekstravaskuler, jaringan interstisial dan alveoli yang terjadi secara akut. Pada

keadaan normal cairan intravaskuler merembes ke jaringan interstisial melalui

kapiler endotelium dalam jumlah yang sedikit sekali, kemudian cairan ini akan

mengalir ke pembuluh limfe menuju ke vena pulmonalis untuk kembali ke dalam

sirkulasi (Flick, 2000, Hollenberg, 2003).

Edema paru disebabkan karena akumulasi cairan di paru-paru yang dapat

disebabkan oleh tekanan intrvaskular yang tinggi (edema paru kardiak) atau karena

peningkatan permeabilitas membran kapiler (edema paru non kardiak) yang

mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan. Edema paru terjadi ketika cairan

yang disaring ke paru lebih cepat dari cairan yang dipindahkan.

2. FAKTOR RESIKO ALOFaktor risiko terjadinya edema paru menurut Harun dan Sally (2009) dapat terjadi pada

beberapa keadaan di bawah ini antara lain :

1. Kardiak :

Gagal ventrikrl kiri

Penyakit katup mitral

2. Penyakit pada vena pulmonal

penyakit oklusi vena primer

mediastinitis sklerotik kronik

aliran vena pulmonal yang abnormal

Page 2: LP ALO

stenosis atau atresi vena congenital

3. neurogenik

trauma kepala

tekanan intrakranial meningkat

3. PATOFISIOLOGI ALOPada paru normal, cairan dan protein keluar dari mikrovaskular terutama melalui celah

kecil antara sel endotel kapiler ke ruangan interstisial sesuai dengan selisih antara tekanan

hidrostatik dan osmotik protein, serta permeabilitas membran kapiler. Cairan dan solute yang

keluar dari sirkulasi ke ruang alveolar terdiri atas ikatan yang sangat rapat. Selain itu, ketika

cairan memasuki ruang interstisial, cairan tersebut akan dialirkan ke ruang peribronkovaskular,

yang kemudian dikembalikan oleh siistem limfatik ke sirkulasi. Perpindahan protein plasma

dalam jumlah lebih besar tertahan. Tekanan hidrostatik yang diperlukan untuk filtrasi cairan

keluar dari kirosirkulasi paru sama dengan tekanan hidrostatik kapiler paru yang dihasilkan

sebagian oleh gradien tekanan onkotik protein ( Maria, 2010).

Terdapat dua mekanisme terjadinya edem paru

1. Membran kapiler alveoli

Edem paru terjadi jika terdapat perpindahan cairan `dari darah ke ruang

interstisial atau ke alveoli yang melebihi jumlah pengembalian cairan ke dalam

pembuluh darah dan aliran cairan ke sistem pembuluh limfe. Dalam keadaan normal

terjadi pertukaran dari cairan, koloid dan solute dari pembuluh darah ke ruangan

interstisial. Studi eksperimental membuktikan bahwa hukum Starling dapat diterapkan

pada sirkulasi paru sama dengan sirkulasi sistemik (Harun dan Sally, 2009).

Q (iv-int) = Kf [ ( Piv – Pint ) – df ( Iiv – Iint ) ]Q = kecepatan transudasi dari pembuluh darah ke ruang interstisial

Piv = tekanan hidrostatik intravaskular

Pint = tekanan hidrostatik interstisial

Iiv = tekanan osmotik koloid intravaskular

Iint = tekanan osmotik koloid interstisial

Df = koefisien refleksi protein

Kf = kondukstan hidraulik

2. Sistem Limfatik

Sistem limfatik ini dipersiapkan untuk menerima larutan koloid dan cairan balik dari

pembuluh darah. Akibat tekanan yang lebih negatif di daerah interstisial peribronkhial dan

Page 3: LP ALO

perivaskular. Dengan peningkatan kemampuan dari interstisium alveolar ini, cairan lebih

sering meningkat jumlahnya di tempat ini ketika kemampuan memompa dari saluran limfatik

tersebut berlebihan. Bila kapasitas dari saluran limfe terlampaui dalam hal jumlah cairan

maka akan terjadi edema. Diperkirakan pada pasien dengan berat 70 kg dalam keadaan

istirahat kapasitas sistem limfe kira-kira 20 ml/jam. Pada percobaan didapatkan kapasitas

sistem limfe bisa mencapai 200 ml/jam pada orang dewasa dengan ukuran rata-rata. Jika

terjadi peningkatan tekanan atrium kiri yang kronik, sistem limfe akan mengalami hipertrofi

dan mempunyai kemampuan untuk mentransportasi filtrat kapiler dalam jumlah yang lebih

besar yang dapat mencegah terjadinya edem. Sehingga sebagai konsekuensi terjadinya

edema interstisial, saluran nafas yang kecil dan pembuluh darah akan terkompresi

(Smeltzer dan Bare, 2000; Price dan Wilson, 2006; Lippincott Wiiliams & Wilkins, 2008).

4. ETIOLOGI ALO 1. Ketidak-seimbangan Starling Forces:

Peningkatan tekanan kapiler paru:

Edema paru akan terjadi hanya apabila tekanan kapiler pulmonal meningkat sampai

melebihi tekanan osmotic koloid plasma, yang biasanya berkisar 28 mmHg pada

manusia. Sedangkan nilai normal dari tekanan vena pulmonalis adalah antara 8-12

mmHg, yang merupakan batas aman dari mulai terjadinya edema paru tersebut.

Etiologi dari keadaan ini antara lain:

a) Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri (stenosis

mitral).

b) Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan fungsi ventrikel kiri.

c) Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena peningkatan tekanan arteria

pulmonalis (over perfusion pulmonary edema).

Penurunan tekanan onkotik plasma.

Hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit ginjal, hati, protein-losing enteropaday,

penyakit dermatologi atau penyakit nutrisi. Tetapi hipoalbuminemia saja tidak

menimbulkan edema paru, diperlukan juga peningkatan tekanan kapiler paru.

Peningkatan tekanan yang sedikit saja pada hipoalbuminemia akan menyebabkan

edema paru.

Peningkatan tekanan negatif intersisial:

Edema paru dapat terjadi akibat perpindahan yang cepat dari udara pleural, contoh

yangs sering menjadi etiologi adalah:

Page 4: LP ALO

a) Pengambilan terlalu cepat pneumotorak atau efusi pleura (unilateral).

b) Tekanan pleura yang sangat negatif oleh karena obstruksi saluran napas akut

bersamaan dengan peningkatan end-expiratory volume (asma).

Peningkatan tekanan onkotik intersisial. Sampai sekarang belum ada contoh secara

percobaan maupun klinik.

2. Perubahan permeabilitas membran alveolar-kapiler (Adult Respiratory Distress Syndrome)

Keadaan ini merupakan akibat langsung dari kerusakan pembatas antara kapiler dan

alveolar.Cukup banyak kondisi medis maupun surgical tertentu yang berhubungan dengan

edema paru akibat kerusakan pembatas ini dar ipada akibat ketidakseimbangan Starling

Force.

Pneumonia (bakteri, virus, parasit).

Bahan toksik inhalan (phosgene, ozone, chlorine, NO).

Bahan asing dalam sirkulasi (bisa ular, endotoksin bakteri, alloxan, alpha-naphthyl

thiourea).

Aspirasi asam lambung.

Pneumonitis radiasi akut.

Bahan vasoaktif endogen (histamin, kinin).

Disseminated Intravascular Coagulation.

Imunologi: pneumonitis hipersensitif, obat nitrofurantoin, leukoagglutinin.

Shock Lung oleh karena trauma di luar toraks.

Pankreatitis Perdarahan Akut.

3. Insufisiensi Limfatik:

Post Lung Transplant.

Lymphangitic Carcinomatosis.

Fibrosing Lymphangitis (silicosis).

4. Tak diketahui/tak jelas

High Altitude Pulmonary Edema.

Neurogenic Pulmonary Edema.

Narcotic overdose.

Pulmonary embolism

Eclampsia

Post cardioversion

Post Anesthesia

Post Cardiopulmonary Bypass

Page 5: LP ALO

(Harun & Sally, 2009)

5. KLASIFIKASI ALO Berdasarkan penyebabnya edema paru akut dapat dibagi menjadi 2 yaitu :

1. Kardiogenik1) Penyakit pada arteri koronaria

Arteri yang menyuplai darah untuk jantung dapat menyempit karena adanya deposit

lemak (plaques). Serangan jantung terjadi jika terbentuk gumpalan darah pada arteri

dan menghambat aliran darah serta merusak otot jantung yang disuplai oleh arteri

tersebut. Akibatnya, otot jantung yang mengalami gangguan tidak mampu memompa

darah lagi seperti biasa.

2) Kardiomiopati

Penyebab terjadinya kardiomiopati sendiri masih idiopatik. Menurut beberapa ahli

diyakini penyebab terbanyak terjadinya kardiomiopati dapat disebabkan oleh infeksi

pada miokard jantung (miokarditis), penyalahgunaan alkohol dan efek racun dari obat-

obatan seperti kokain dan obat kemoterapi. Kardiomiopati menyebabkan ventrikel kiri

menjadi lemah sehingga tidak mampu mengkompensasi suatu keadaan dimana

kebutuhan jantung memompa darah lebih berat pada keadaan infeksi. Apabila ventrikel

kiri tidak mampu mengkompensasi beban tersebut, maka darah akan kembali ke paru-

paru. Hal inilah yang akan mengakibatkan cairan menumpuk di paru-paru (flooding).

3) Gangguan katup jantung

Pada kasus gangguan katup mitral atau aorta, katup yang berfungsi untuk mengatur

aliran darah tidak mampu membuka secara adekuat (stenosis) atau tidak mampu

menutup dengan sempurna (insufisiensi). Hal ini menyebabkan darah mengalir kembali

melalui katub menuju paru-paru.

4) Hipertensi

Hipertensi tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya penebalan pada otot ventrikel

kiri dan dapat disertai dengan penyakit arteri koronaria

2. Non-KardiogenikPada non-kardiogenik, ALO dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:

1) Acute respiratory distress syndrome (ARDS)

Pada ARDS, integritas dari alveoli menjadi terkompromi sebagai akibat dari respon

peradangan yang mendasarinya, dan ini menurus pada alveoli yang bocor yang dapat

dipenuhi dengan cairan dari pembuluh-pembuluh darah.

Page 6: LP ALO

2) Kondisi yang berpotensi serius

Disebabkan oleh infeksi-infeksi yang parah, trauma, luka paru, penghirupan racun-

racun, infeksi-infeksi paru, merokok kokain, atau radiasi pada paru-paru.

3) Gagal ginjal dan ketidakmampuan untuk mengeluarkan cairan dari tubuh

Pada gagal ginjal terjadi retensi cairan yang menyebabkan volume overload dan diikuti

edema paru

4) High altitude pulmonary edema

Yang dapat terjadi disebabkan oleh kenaikan yang cepat ke ketinggian yang tinggi lebih

dari 10,000 feet.

5) Trauma otak

Perdarahan dalam otak (intracranial hemorrhage), seizure-seizure yang parah, atau

operasi otak dapat ada kalanya berakibat pada akumulasi cairan di paru-paru,

menyebabkan neurogenic pulmonary edema. Diduga dasar mekanisme edema paru

neurogenik adalah adanya rangsangan hipotalamus (akibat penyebab di atas) yang

menyebabkan rangsangan pada sistem adrenergik, yang kemudian menyebabkan

pergeseran volume darah dari sirkulasi sistemik ke sirkulasi pulmonal dan penurunan

“compliance” ventrikel kiri. Akibatnya terjadi penurunan pengisian ventrikel kiri, tekanan

atrium kiri meningkat dan terjadilah edema paru.

6) Paru yang mengembang secara cepat

Dapat adakalanya menyebabkan re-expansion pulmonary edema. Ini mungkin terjadi

pada kasus-kasus ketika paru mengempis (pneumothorax) atau jumlah yang besar dari

cairan sekeliling paru (pleural effusion) dikeluarkan, berakibat pada ekspansi yang cepat

dari paru. Ini dapat berakibat pada pulmonary edema hanya pada sisi yang terpengaruh

(unilateral pulmonary edema).

7) Penyebab yang jarang terjadi

Overdosis pada heroin atau methadone dapat menjurus pada pulmonary edema.

Overdosis aspirin atau penggunaan dosis aspirin tinggi yang kronis dapat menjurus

pada aspirin intoxication, terutama pada kaum tua, yang mungkin menyebabkan

pulmonary edema.

8) Penyebab-penyebab lain yang lebih jarang dari non-cardiogenic pulmonary edema

mungkin termasuk pulmonary embolism (gumpalan darah yang telah berjalan ke paru-

paru), luka paru akut yang berhubungan dengan transfusi atau transfusion-related acute

lung injury (TRALI), beberapa infeksi-infeksi virus, atau eclampsia pada wanita-wanita

hamil.

Page 7: LP ALO

Diagnosis Banding Edema Paru Kardiak Dan Nonkardiak

Edema Paru Kardiak Edema Paru Non Kardiak

Riwayat Penyakit :Jantung

Penyakit Jantung Akut Penyakit Dasar di luar

Pemeriksaan Klinik : Akral dingin

S3 gallop/Kardiomegali

Distensi vena jugularis

Ronki basah

Akral hangat

Pulsasi nadi meningkat

Tidak terdengar gallop

Tidak ada distensi vena jugularis

Ronki kering

Pemeriksaan Penunjang :EKG : Iskhemia/infark

Ro : distribusi edema perifer

Enzim jantung mungkin meningkat

Tekanan Kapiler Paru > 18mmHg

Intrapulmonary shunting : meningkat ringan

Cairan edema/protein serum < 0,5

EKG : biasanya normal

Ro : distribusi edema perifer

Enzim jantung biasanya normal

Tekanan Kapiler Paru < 18mmHg

Intrapulmonary shunting : sangat meningkat

Cairan edema/serum protein > 0,7

Page 8: LP ALO

Algoritma untuk Differensiasi Klinis Antara Edema Paru Kardiogenik dan Non Kardiogenik

(dikutip dari Lorraine et al, 2005)

Secara patofisiologi penyakit dasar penyebab edema paru kardiak dibagi menjadi 3 kelompok

1. Peningkatan afterload (Pressure overload )

Terjadi beban yang berlebihan terhadap ventrikel pada saat sistolik. Contohnya ialah

hipertensi dan stenosis aorta

2. Peningkatan preload (Volume overload )

Terjadi beban yang berlebihan saat diastolik. Contohnya ialah insufisiensi mitral,

insufisiensi aorta, dan penyakit jantung dengan left-to-right shunt (ventricular septal

defect )

3. Gangguan kontraksi otot jantung primer

Page 9: LP ALO

Pada infark miokard akut jaringan otot yang sehat berkurang, sedangkan pada

kardiomiopati kongestif terdapat gangguan kontraksi otot jantung secara umum.

Penyebab edema paru non kardiak secara patofisiologi dibagi menjadi :

Peningkatan permeabilitas kapiler paru (ARDS) : tenggelam, inhalasi bahan kimia, dan

trauma berat

Peningkatan tekanan kapiler paru : pada sindrom vena kava superior, pemberian cairan

berlebih, dan transfusi darah

penurunan tekanan onkotik plasma : sindrom nefrotik dan malnutrisi

6. MANIFESTASI KLINIK ALOGejala paling umum dari pulmonary edem adalah sesak nafas. Ini mungkin adalah

penimbulan yang berangsur-angsur jika prosesnya berkembang secara perlahan, atau ia dapat

mempunyai penimbulan yang tiba-tiba pada kasus dari pulmonary edem akut. Gejala-gejala

umum lain mungkin termasuk mudah lelah, lebih cepat mengembangkan sesak nafas dari pada

normal dengan aktivitas yang biasa (dyspnea on exertion), nafas yang cepat (takipnea),

kepeningan atau kelemahan.

Tingkat oksigen darah yang rendah (hypoxia) mungkin terdeteksi pada pasien-pasien

dengan pulmonary edem. Lebih jauh, atas pemeriksaan paru-paru dengan stethoscope, dokter

mungkin mendengar suara-suara paru yang abnormal, seperti rales atau crakles (suara-suara

mendidih pendek yang terputus-putus yang berkoresponden pada muncratan cairan dalam

alveoli selama bernafas.

Manifestasi klinis edem paru secara spesifik juga dibagi dalam 3 stadium :

Stadium 1 Adanya distensi dari pembuluh darah kecil paru yang prominen akan memperbaiki

pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi gas CO. Keluhan pada

stadium ini mungkin hanya berupa adanya sesak napas saat bekerja. Pemeriksaan fisik

juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali mungkin adanya ronkhi pada saat inspirasi

karena terbukanya saluran napas yang tertutup pada saat inspirasi.

Stadium 2Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh darah paru menjadi

kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis menebal (garis

Kerley B). Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor intersisial, akan lebih

memperkecil saluran napas kecil, terutama di daerah basal oleh karena pengaruh

gravitasi. Mungkin pula terjadi refleks bronkhokonstriksi. Sering terdapat takhipnea.

Page 10: LP ALO

Meskipun hal ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takhipnea juga

membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan cairan intersisial diperlambat.

Pada pemeriksaan spirometri hanya terdapat sedikit perubahan saja.

Stadium 3Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu, terjadi

hipoksemia dan hipokapnia. Penderita nampak sesak sekali dengan batuk berbuih

kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi right-

to-left intrapulmonary shunt. Penderita biasanya menderita hipokapnia, tetapi pada

kasus yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan acute respiratory acidemia. Pada

keadaan ini morphin hams digunakan dengan hati-hati.

(Sjaharudin Harun & Sally Aman Nasution, 2006)

7. PEMERIKSAAN PENUNJANG1. Anamnesis

Edema paru kardiak berbeda dari ortopnea dan paroksismal nocturnal dyspnea, karena

kejadiannya yang bisa sangat cepat dan terjadinya hipertensi pada kapiler paru secara

ekstrim. Keadaan ini merupakan pengalaman yang menakutkan bagi pasien karena

mereka merasa ketakutan, batu-batuk dan seperti seorang yang akan tenggelam.

Pasien biasnaya dalam posisi duduk agar dapat mempergunakan otot-otot bantu nafas

dengan lebih baik saat respirasi, atau sedikit membungkuk ke depan, sesak hebat,

mungkin disertai sianosis, sering berkeringat dingin, batuk dengan sputum yang

berwarna kemerahan (frothy sputum).

2. Pemeriksaan fisik.

Dapat ditemukan frekuensi nafas yang meningkat, akan terlihat retraksi inspirasi pada

sela intercostal dan fossa supraklavikula yang menunjukkan tekanan negative

intrapleural yang besar dibutuhkan pada saat inspirasi. Pemeriksaan pada paru akan

terdengar ronki basah kasar setengah lapangan paru atau lebih, sering disertai

wheezing. Pemeriksaan jantung dapat ditemukan protodiastolik gallop, bunyi jantung II

pulmonal mengeras, dan tekanan darah dapat meningkat

3. Pemeriksaan Laboraturium

Pemeriksaan darah meliputi ureum, kreatinin, analisa gas darah, elektrolit, urinalisa.

Analisa gas darah arterial (ABG) menunjukkan hipoksia. Tekanan parsial karbondioksida

bervariasi. Pasien bisa mengalami alkalosis dan asidosis respiratorik yang sangat parah.

Asidosis metabolic muncul jika output kardiak rendah.

Page 11: LP ALO

4. Pemeriksaan Radiologi

Foto toraks

Pulmonary edema secara khas didiagnosa dengan X-ray dada. Radiograph (X-ray)

dada yang normal terdiri dari area putih terpusat yang menyinggung jantung

dan pembuluh-pembuluh darah utamanya plus tulang-tulang dari vertebral

column,dengan bidang-bidang paru yang menunjukan sebagai bidang-bidang yang lebih

gelap pada setiap sisi, yang dilingkungi oleh struktur-struktur tulang dari dinding dada. X-

ray dada yang khas dengan pulmonary edema mungkin menunjukan

lebih banyak tampakan putih pada kedua bidang-bidang paru daripada biasanya. Kasus-

kasus yang lebih parah dari pulmonary edema dapat menunjukan opacification (pemutihan) yang signifikan pada paru-paru dengan visualisasi yang minimal

dari bidang-bidang paru yang normal. Pemutihan ini mewakili pengisian dari

alveoli sebagai akibat dari  pulmonary edema, namun ia mungkin memberikan

informasi yang minimal tentang penyabab yang mungkin mendasarinya.

Gambaran Radiologi yang ditemukan:1. Pelebaran atau penebalan hilus (dilatasi vascular di hilus)

2. Coarakan paru meningkat (lebih dari 1/3 lateral)

3. Kranialisasi vaskuler

4. Hilus suram (batas tidak jelas)

5. Interstitial fibrosis (gambaran seperti granuloma-granuloma kecil atau nodul milier)

Gambar 1: Edema Intesrtitial Gambaran underlying disease (kardiomegali, efusi

pleura, diafragma kanan letak tinggi).

Page 12: LP ALO

Gambar 2: Kardiomegali dan edema paru1) Infiltrat di daerah basal (edema basal paru)

2) Edema “butterfly” atau Bat’s Wing (edema sentral)

Gambar 3: Bat’s WingEdema localized (terjadi pada area vaskularisasi normal, pada paru yang mempunyai

kelainan sebelumnya, contoh: emfisema).

Page 13: LP ALO

Gambar 4. Foto radiologi edema paru kardiogenik (gambar A) dan edema paru non

kardiogenik (gambar B)

Gambar 5. Perbedaan foto thorax antara edema paru kardiogenik dan non kardiogenik

Page 14: LP ALO

5. EKG

Pemeriksaan EKG bisa normal atau seringkali didapatkan tanda-tanda iskemia atau

infark pada infark miokard akut dengan edema paru.Pasien dengan krisis hipertensi

gambaran elektrokardiografi biasanya menunjukkan gambaran hipertrofi ventrikel kiri.

Pasien dengan edema paru kardiogenik tetapi yang non-iskemik biasanya menunjukkan

gambaran gelombang T negatif yang lebar dengan QT memanjang yang khas, dimana

akan membaik dalam 24 jam setelah klinis stabil dan menghiland dalam 1 minggu.

Penyebab dari keadaan non-iskemik ini belum diketahui tetapi ada beberapa keadaan

yang dikatakan dapat menjadi penyebab, antara lain: iskemia sub-endokardial yang

berhubungan dengan peningkatan tekanan pada dinding, peningkatan akut tonus

simpatis kardiak atau peningkatan elektrikal akibat perubahan metabolik atau

katekolamin.

6. Enzim jantung (CK-CKMB, Troponin T)

7. Echocardiografi transtorakal

Ekokardiogram bisa memperlihatkan otot jantung yang lemah, katup jantung yang bocor

atau sempit, atau cairan yang mengelilingi jantung.

8. Angiografi koroner

9. Kateterisasi arteri pulmoner

Mengidentifikasi gagal jantung sisi kiri yang ditunjukkan dengan kenaikan tekanan baji

arteri pulmoner (pulmonary artery wedge pressure)

(Lippincott Wiiliams & Wilkins, 2008).

Page 15: LP ALO

8. PENATALAKSANAANAlgoritma penatalaksanaan pasien dengan edema paru akut (dikutip dari ESC, 2012)

Page 16: LP ALO

Menurut Santoso Karo et al. (2008) penatalaksanaan pada edema pulmoner adalah sebgai

berikut:

a. Posisi ½ duduk

b. Oksigen (40%-50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker. Jika memburuk

(pasien makin sesak, takipneu, ronkhi bertambah, PaO2 tidak bisa dipertahankan > 60

mmHg dengan O2 konssentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2, hipoventilasi atau tidak

mampu mengurangi cairan edema secara adekuat), maka dilakukan intubasi

endotrakeal, suction dan ventilator. Oksigenasi dipantau melalui pulsa oksimetri dan

pengukuran gas darah arteri (Smeltzer dan Bare, 2000).

c. Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila perlu.

d. Bila TD > 100 mmHg, nitrogliserin paling efektif mengurangi edema paru karena

mengurangi preload. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin per oral 0,4-0,6

mg tiap 5-10 menit. Jika tekanan darah sistolik >95 mmHg bisa diberikan Nitrogliserin

intravena mulai dosis 3-5 ug/kgBB. Jika tidak memberikan hasil memuaskan maka dapat

diberikan Nitrogliserin IV dimulai dosis 0,1 ug/kgBB/menit bila tidak memberi respon

dengan nitrat, dosis dinaikkan sampai didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan

sistolik 85-90 mmHg pada pasien yang tadinya mempunyai tekanan darah normal atau

selama dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital.

e. Morfin sulfat 3-5 mg IV, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg (sebaiknya

dihindari). Efek venodilator meningkatkan kapasitas vena, mengurangi aliran darah balik

ke vena sentral dan paru, mengurangi tekanan pengisian ventrikel kiri (preload), dan

juga mempunyai efek vasodilator ringan sehingga afterload berkurang. Efek sedasi dari

morfin sulfat menurunkan aktifitas tulang-otot dan tenaga pernafasan. Penggunaan

morfin tidak boleh diberikan bila edema paru dsebabkan oleh cidera vascular otak,

penyakit paru kroni, atau syok kardiogenik. Pasien harus diawasi bila terjadi depresi

pernapasan berat; antagonis morfin (Naloxone hydrochloride (Narcan) harus tersedia

(Smeltzer, 2000).

f. Diuretik Furosemid 40-80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan tiap 4 jam

atau dilanjutkan drip ontinue sampai dicapai produksi urine 1 ml/kgBB/jam. Efek bifasik

dicapai pertama dalam 5 menit terjadi venodilatasi sehingga aliran (preload). Efek kedua

adalah diuresis yang mencapai puncaknya setelah 30-60 menit. Penurunan tekana

darah, peningkatan frekuensi jantung dan penurunan haluaran urin merupakan petunjuk

bahwa sistem peredaran darah tidak mampu mentoleransi diuretik dan harus diambil

Page 17: LP ALO

tindakan untuk mengatasi hipovolemia yang terjadi. Pasien dengan hyperplasia prostat

harus diawasi adanya tanda retensi urin (Smeltzer dan Bare, 2000).

g. Bila perlu (tekanan darah turun /tanda hipoperfusi) : Dopamin 2-5 ug/kgBB/menit atau

doputamin 2-10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat

ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya. Bila TD 70-100 mmHg disertai gejala-

gejala dan tanda syok, berikan Dopamin 2-20mcg/kgBB/menit IV. Bila tidak membaik

dengan Dopamin dosis >20 mcg/kg/mnt segera tambahkan Norephinephrine 0,5-30

mcg/menit IV, sedangkan Dopamine diturunkan sampai 10 mcg/kgBB/menit. Bila tanpa

gejala syok berikan Dobutamine 2-20 mcg/kgBB/menit IV.

h. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.

i. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil

dengan oksigen.

j. Atasi aritmia atau gangguan konduksi.

k. Operasi pada komplikasi akut infark miokard sepertiregurgitasi, VSD dan ruptur dinding

ventrikel/corda tendinae.

Menurut Lippincott Wiiliams & Wilkins (2008) tindakan keperawatan yang dapat dilakukan oleh

perawat adalah sebagai berikut:

a. Secara seksama pantau pasien yang berisiko untuk melihat apakah ada tanda

edema pulmoner, terutama takipnea, taikardi, dan bunyi napas abnormal. Periksa

adanya edema perifer, yang juga bisa mengindikasikan bahwa cairan terakumulasi

dalam jaringan pulmoner.

b. Beri oksigen sesuai perintah dan pantau adanya efek.

c. Pantau tanda vital tiap 15 sampai 30 menit saat memberikan nitroprusside dalam

dextrose 5% dalam air melalui tetesan I.V.

9. KOMPLIKASIKomplikasi yang dapat ditimbulkan adalah gagal napas. Selain itu kebanyakan

komplikasi-komplikasi dari pulmonary edema mungkin timbul dari komplikasi-komplikasi

yang berhubungan dengan penyebab yang mendasarinya. Lebih spesifik, pulmonary edema

dapat menyebabkan pengoksigenan darah yang dikompromikan secara parah oleh paru-

paru. Pengoksigenan yang buruk (hypoxia) dapat secara potensial menjurus pada

pengantaran oksigen yang berkurang ke organ-organ tubuh yang berbeda, seperti otak

(Panji, 2008).

Page 18: LP ALO

10. ASUHAN KEPERAWATAN A. Pengkajian

Menurut Doegoes, 1999 pengkajian pada penderita edema pulmoner adalah sebagai

berikut:

1. Identitas, umur, jenis kelamin

2. Riwayat masuk:

Pasien biasanya dibawa ke RS setelah mengalami sesak napas, sianosis atau batuk-

batuk disertai kemungkinan adanya demam tinggi ataupun tidak. Kesadaran kadang

sudah menurun dan dapat terjadi dengan tiba-tiba pada kasus trauma.

3. Riwayat penyakit sebelumnya:

Predileksi penyakit sistemik atau berdampak sistemik seperti sepsis, pancreatitis,

penyakit paru, jantung serta kelainan organ vital bawaan serta penyakit ginjal mungkin

ditemui pada pasien.

4. Sistem Integumen

Subyektif : -

Obyektif : kulit pucat, cyanosis, turgor menurun (akibat dehidrasi sekunder), banyak

keringat , suhu kulit meningkat, kemerahan

5. Sistem Pulmonal

Subyektif : sesak nafas, dada tertekan, cengeng

Obyektif : Pernafasan cuping hidung, hiperventilasi, batuk (produktif/nonproduktif),

sputum banyak, penggunaan otot bantu pernafasan, pernafasan diafragma dan perut

meningkat, Laju pernafasan meningkat, terdengar stridor, ronchii pada lapang paru,

6. Sistem Cardiovaskuler

Subyektif : sakit dada

Obyektif : Denyut nadi meningkat, pembuluh darah vasokontriksi, kualitas darah

menurun, denyut jantung tidak teratur, suara jantung tambahan

7. Sistem Neurosensori

Subyektif : gelisah, penurunan kesadaran, kejang

Obyektif : GCS menurun, refleks menurun/normal, letargi

8. Sistem Musculoskeletal

Subyektif : lemah, cepat lelah

Obyektif : tonus otot menurun, nyeri otot/normal, retraksi paru dan penggunaan otot

aksesoris pernafasan

Page 19: LP ALO

9. Sistem genitourinaria

Subyektif : -

Obyektif : produksi urine menurun/normal.

10. Sistem digestif

Subyektif : mual, kadang muntah

Obyektif : konsistensi feses normal/diare.

11. Studi Laboratorik  :

a. Hb : menurun/normal

b. Analisa Gas Darah : acidosis respiratorik, penurunan kadar oksigen darah, kadar

karbon darah meningkat/normal

c. Elektrolit : Natrium/kalsium menurun/normal

d. Enzim jantung : Troponin I atau T, CKMB

B. Diagnosa KeperawatanBerdasarkan Nanda 2012, diagnosa keperawatan yang mungkin muncul adalah sebagai

berikut:

1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru sekunder

terhadap penumpukkan cairan dalam paru.

2. Gangguan pertukaran Gas berhubungan dengan perubahan membran kapiler-alveolus

(perpindahan cairan ke dalam area intertitial/alveoli)

3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan area invasi mikroorganisme sekunder

terhadap pemasangan selang endotrakeal

4. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan kontraktilitas otot jantung

5. Disfungsi respon penyapihan ventilator berhubungan dengan kurangnya pengetahuan

terhadap prosedur medis

6. Resiko terjadi trauma berhubungan dengan kegelisahan sekunder terhadap

pemasangan alat bantu nafas

7. Ansietas berhubungan dengan ancaman integritas biologis aktual sekunder terhadap

pemasangan alat bantu nafas

8. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan pemasangan selang endotrakeal

Page 20: LP ALO
Page 21: LP ALO

PEMERIKSAAN ANALISA GAS DARAH (AGD)

Deskripsi :Analisis gas darah merupakan pemeriksaan untuk mengukur keasaman (pH), jumlah oksigen

dan karbondioksida dalam darah. Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai fungsi kerja paru-

paru dalam menghantarkan oksigen ke dalam sirkulasi darah dan mengambil karbondioksida

dari dalam darah. Analisis gas darah meliputi pemeriksaan PO2, PCO3, pH, HCO3, dan

saturasi O2.

ManfaatMengevaluasi pertukaran gas oksigen dan karbondioksida, fungsi pernafasan (termasuk

hipoksia dan status asam-basa), dan beberapa penyakit pernafasan seperti asma dan penyakit

pulmonari obstrukstif kronik, serta emboli (termasuk emboli lipid) dan pembedahan arteri

koroner.

Indikasi Umum :

1. Abnormalitas Pertukaran Gas

Penyakit paru akut dan kronis

Gagal nafas akut

Penyakit Jantung

Pemeriksaan Keadaan Pulmoner (rest dan exercise)

2. Gangguan Asam Basa

Asidosis metabolik

Alkalosis metabolik

Interpretasi Hasil Analisa Gas Darah (AGD) A. Interpretasi Hasil Pemeriksaan pH

Serum pH menggambarkan keseimbangan asam basa dalam tubuh. Sumber ion

hidrogen dalam tubuh meliputi asam volatil dan campuran asam (seperti asam laktat dan asam

keto).

Nilai normal pH serum :

Nilai normal : 7.35 - 7.45

Nilai kritis : < 7.25 - 7.55

Implikasi Klinik 1. Umumnya nilai pH akan menurun dalam keadaan asidemia (peningkatan pembentukan

asam)

2. Umumnya nilai pH meningkat dalam keadaan alkalemia (kehilangan asam)

Page 22: LP ALO

3. Bila melakukan evaluasi nilai pH, sebaiknya PaCO2 dan HCO3 diketahui juga untuk

memperkirakan komponen pernafasan atau metabolik yang mempengaruhi status asam

basa

B. Interpretasi Hasil Tekanan Parsial Karbon Dioksida (PaCO2 ) PaCO2 menggambarkan tekanan yang dihasilkan oleh CO2 kyang terlarut dalam

plasma. Dapat digunakan untuk menetukan efektifitas ventilasi dan keadaan asam basa dalam

darah.

Nilai Normal : 35 - 45 mmHg SI : 4.7 - 6.0 kPa

Implikasi Klinik :

1. Penurunan nilai PaCO2 dapat terjadi pada hipoksia, anxiety/ nervousness dan emboli paru.

Nilai kurang dari 20 mmHg perlu mendapatkan perhatiaan khusus.

2. Peningkatan nilai PaCO2 dapat terjadi pada gangguan paru atau penurunan fungsi pusat

pernafasan. Nilai PaCO2 > 60 mmHg perlu mendapat perhatian khusus.

3. Umumnya peningkatan PaCO2 dapat terjadi pada hipoventilasi sedangkan penurunan nilai

menunjukkan hiperventilasi.

4. Biasanya penurunan 1 mEq HCO3 akan menurunkan tekanan PaCO2 sebesar 1.3 mmHg.

C. Interpretasi Hasil Tekanan Parsial Oksigen (PaO2 ) PaO2 adalah ukuran tekanan parsial yang dihasilkan oleh sejumlah oksigen yang

terlarut dalam plasma. Nilai ini menunjukkan kemampuan paru-paru dalam menyediakan

oksigen bagi darah.

Nilai Normal (suhu kamar, tergantung umur) ; 75 - 100 mmHg SI : 10 - 13.3 kPa

Implikasi Klinik :

1. Penurunan nilai PaO2 dapat terjadi pada penyakit paru obstruksi kronik (PPOK), penyakit

obstruksi paru, anemia, hipoventilasi akibat gangguan fisik atau neoromuskular dan

gangguan fungsi jantung. Nilai PaO2 kurang dari 40 mmHg perlu mendapatkan perhatian

khusus.

2. Peningkatan nilai PaO2 dapat terjadi pada peningkatan penghantaran O2 oleh alat bantu

(contoh; nasal prongs, alat ventilasi mekanik) hiperventilasi dan polisitemia (peningkatan sel

darah merah dan daya angkut oksigen)

D. Interpretasi Hasil Saturasi Oksigen (SaO2) Jumlah oksigen yang diangkut oleh hemoglobin, ditulis sebagai persentasi total oksigen yang

terikat pada hemoglobin.

Nilai Normal : 95 - 99 % O2

Page 23: LP ALO

Implikasi Klinik

1. Saturasi oksigen digunakan untuk mengevaluasi kadar oksigenasi hemoglobin dan

kecakupan oksigen pada jaringan

2. Tekanan parsial oksigen yang terlarut di plasma menggambarkan jumlah oksigen yang

terikat pada hemoglobin sebagai ion bikarbonat

E. Interpretasi Hasil Pemeriksaan Karbon Dioksida (CO2) Dalam plasma normal, 95% dari total CO2 terdapat sebagai ion bikarbonat, 5% sebagai

larutan gas CO2 terlarut dan asam karbonat. Kandungan CO2 plasma terutama adalah

bikarbonat, suatu larutan yang bersifat basa dan diatur oleh ginjal. Gas CO2 yang larut ini

terutama bersifat asam dan diatur oleh paru-paru. Oleh karena itu nilai CO2 plasma

menunjukkan konsentrasi bikarbonat.

Nilai Normal Karbon Dioksida (CO2) : 22 - 32 mEq/L SI : 22 - 32 mmol/L

Implikasi Klinik :

1. Peningkatan kadar CO2 dapat terjadi pada muntah yang parah, emfisema, dan

aldosteronisme

2. Penurunan kadar CO2 dapat terjadi pada gagal ginjal akut, diabetik asidosis dan

hiperventilasi

3. Peningkatan dan penurunan dapat terjadi pada penggunaan nitrofurantoin

F. Anion Gap (AG) Anion gap digunakan untuk mendiagnosis asidosis metabolikPerhitungan menggunakan elektrolit yang tersedia dapat membantu perhitungan kation dan

anion yang tidak terukur. Kation dan anion yang tidak terukur termasuk Ca+ dan Mg2+.

Anion yang tidak terukur meliputi protein, posfat sulfat dan asam organik. Anion gap dapat

dihitung menggunakan dua pendekatan yang berbeda. Na+ - (Cl- + HCO3) atau Na + K - (Cl

+ HCO3) = AG

Nilai Normal Pemeriksaan Anion Gap : 13 - 17 mEq/L

Implikasi Klinik:

1. Nilai anion gap yang tinggi (dengan pH tinggi) menunjukkan penciutan volume

ekstraseluler atau pada pemberian penisilin dosis besar.

2. Anion gap yang tinggi dengan pH rendah merupakan manifestasi dari keadaan yang

sering dinyatakan dengan singkatan "MULEPAK" yaitu akibat asupan metanoll, uremia,

asidosis laktat, etilen glikol, paraldehid, intoksikasi aspirin dan ketoasidosis.

3. Anion gap rendah dapat terjadi pada hipoalbuminemia, dilution, hipernatremia,

hiperkalsemia yang terlihat atau toksisitas litium.

Page 24: LP ALO

4. Anion gap yang normal dapat terjadi pada metabolik asidosis akibat diare, asidosIs tubular

ginjal atau hiperkalsemia.

Faktor-faktor yang berkontribusi pada nilai-nilai analisa gas darah yang abnormal 1. Obat-obatan dapat meningkatkan pH darah: sodium bikarbonat

2. Kegagalan untuk mengeluarkan semua udara dari spuit akan menyebabkan nilai PaCO2

yang rendah dan nilai PaO2 meningkat

3. Obat-obatan yang dapat meningkatkan PaCO2 : aldosterone, ethacrynic acid,

hydrocortisone, metolazone, prednisone, sodium bicarbonate, thiazides.

4. Obat-obatan yang dapat menurunkan PaCO2 : acetazolamide, dimercaprol, methicillin

sodium, nitrofurantoin, tetracycline, triamterene.

5. Obat-obatan yang dapat meningkatkan HCO3-: alkaline salts, diuretics

6. Obat-obatan yang dapat menurunkan HCO3-: acid salts.

7. Saturasi oksigen dipengaruhi oteh tekanan parsial oksigen dalam darah, suhu tubuh, pH

darah, dan struktur hemoglobin.

Interpretasi Hasil AGDSecara singkat, hasil AGD terdiri atas komponen:

pH atau ion H+, menggambarkan apakah pasien mengalami asidosis atau alkalosis.

Nilai normal pH berkisar antara 7,35 sampai 7,45.

PO2, adalah tekanan gas O2 dalam darah. Kadar yang rendah menggambarkan

hipoksemia dan pasien tidak bernafas dengan adekuat. PO2 dibawah 60 mmHg

mengindikasikan perlunya pemberian oksigen tambahan. Kadar normal PO2 adalah 80-

100 mmHg

PCO2, menggambarkan gangguan pernafasan. Pada tingkat metabolisme normal,

PCO2 dipengaruhi sepenuhnya oleh ventilasi. PCO2 yang tinggi menggambarkan

hipoventilasi dan begitu pula sebaliknya. Pada kondisi gangguan metabolisme, PCO2

dapat menjadi abnormal sebagai kompensasi keadaan metabolik. Nilai normal PCO2

adalah 35-45 mmHg

HCO3-, menggambarkan apakah telah terjadi gangguan metabolisme, seperti

ketoasidosis. Nilai yang rendah menggambarkan asidosis metabolik dan begitu pula

sebaliknya. HCO3- juga dapat menjadi abnormal ketika ginjal mengkompensasi

gangguan pernafasan agar pH kembali dalam rentang yang normal. Kadar HCO3-

normal berada dalam rentang 22-26 mmol/l

Page 25: LP ALO

Base excess (BE), menggambarkan jumlah asam atau basa kuat yang harus

ditambahkan dalam mmol/l untuk membuat darah memiliki pH 7,4 pada kondisi PCO2 =

40 mmHg dengan Hb 5,5 g/dl dan suhu 37C0. BE bernilai positif menunjukkan kondisi

alkalosis metabolik dan sebaliknya, BE bernilai negatif menunjukkan kondisi asidosis

metabolik. Nilai normal BE adalah -2 sampai 2 mmol/l

Saturasi O2, menggambarkan kemampuan darah untuk mengikat oksigen. Nilai

normalnya adalah 95-98 %

Dari komponen-komponen tersebut dapat disimpulkan menjadi empat keadaan yang

menggambarkan konsentrasi ion H+ dalam darah yaitu:

Asidosis respiratorikAdalah kondisi dimana pH rendah dengan kadar PCO2 tinggi dan kadar HCO3- juga tinggi sebagai kompensasi tubuh terhadap kondisi asidosis tersebut. Ventilasi alveolar yang inadekuat

dapat terjadi pada keadaan seperti kegagalan otot pernafasan, gangguan pusat pernafasan,

atau intoksikasi obat. Kondisi lain yang juga dapat meningkatkan PCO2 adalah keadaan

hiperkatabolisme. Ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan ekskresi H+ dan retensi

bikarbonat. Setelah terjadi kompensasi, PCO2 akan kembali ke tingkat yang normal.

Alkalosis respiratorikPerubahan primer yang terjadi adalah menurunnya PCO2 sehingga pH meningkat. Kondisi ini

sering terjadi pada keadaan hiperventilasi, sehingga banyak CO2 yang dilepaskan melalui

ekspirasi. Penting bagi dokter untuk menentukan penyebab hiperventilasi tersebut apakah

akibat hipoksia arteri atau kelainan paru-paru, dengan memeriksa PaO2. Penyebab

hiperventilasi lain diantaranya adalah nyeri hebat, cemas, dan iatrogenik akibat ventilator.

Kompensasi ginjal adalah dengan meningkatkan ekskresi bikarbonat dan K+ jika proses sudah

kronik.

Asidosis MetabolikDitandai dengan menurunnya kadar HCO3-, sehingga pH menjadi turun. Biasanya

disebabkan oleh kelainan metabolik seperti meningkatnya kadar asam organik dalam darah

atau ekskresi HCO3- berlebihan. Pada kondisi ini, paru-paru akan memberi respon yang cepat

dengan melakukan hiperventilasi sehingga kadar PCO2 turun. Terlihat sebagai pernafasan

kussmaul. Pemberian ventilasi untuk memperbaiki pola pernafasan justru akan berbahaya,

karena menghambat kompensasi tubuh terhadap kondisi asidosis. Untuk mengetahui penyebab

asidosis metabolik, dapat dilakukan penghitungan anion gap melalui rumus

(Na+ + K+) – (HCO3- + Cl-)

Page 26: LP ALO

Batas normal anion gap adalah 10 – 12 mmol/l. Rentang normal ini harus disesuaikan pada

pasien dengan hipoalbumin atau hipofosfatemi untuk mencegah terjadinya asidosis dengan

anion gap yang lebih. Koreksi tersebut dihitung dengan memodifikasi rumus diatas menjadi

(Na+ + K+) – (HCO3- + Cl-) – (0,2 x albumin g/dl + 1,5 x fosfat mmol/l)Asidosis dengan peningkatan anion gap, disebabkan oleh adanya asam-asam organik lain

seperti laktat, keton, salisilat, atau etanol. Asidosis laktat biasanya akibat berkurangnya suplai

oksigen atau berkurangnya perfusi, sehingga terjadilah metabolisme anaerob dengan hasil

sampingan berupa laktat. Pada keadaan gagal ginjal, ginjal tidak mampu mengeluarkan asam-

asam organik sehingga terjadi asidosis dengan peningkatan anion gap.

Asidosis dengan anion gap yang normal disebabkan oleh hiperkloremia dan kehilangan

bikarbonat atau retensi H+. Contohnya pada renal tubular asidosis, gangguan GIT (diare berat),

fistula ureter, terapi acetazolamide, dan yang paling sering adalah akibat pemberian infus NaCl

berlebihan.

Alkalosis metabolikAdalah keadaan pH yang meningkat dengan HCO3- yang meningkat pula. Adanya

peningkatan PCO2 menunjukkan terjadinya kompensasi dari paru-paru. Penyebab yang paling

sering adalah iatrogenik akibat pemberian siuretik (terutama furosemid), hipokalemia, atau

hipovolemia kronik dimana ginjal mereabsorpsi sodium dan mengekskresikan H+, kehilangan

asam melalui GIT bagian atas, dan pemberian HCO3- atau prekursornya (laktat atau asetat)

secara berlebihan. Persisten metabolik alkalosis biasanya berkaitan dengan gangguan ginjal,

karena biasanya ginjal dapat mengkompensasi kondisi alkalosis metabolik.

Langkah-langkah yang dianjurkan untuk mengevalusai

nilai gas darah arteri sbb:

1. Evaluasi pH, pH <7, 35 asidosis

pH > 7, 45 alkalosis

pH = 7,4 normal

pH normal dapat menunjukkan gas darah yang benar-benar normal atau pH yang normal ini

mungkin suatu indikasi ketidakseimbangan yang terkompensasi. Ketidakseimbangan yang

terkompensasi adalah suatu ketidakseimbang dimana tubuh sudah mampu memperbaiki pH

baik dengan perubahan respiratorik maupun metabolic (tergantung pada masalah utama).

Contoh:

- Pasien dengan asidosis metabolic primer dimulai dengan kadar bikarbonat /HCO3 yang

rendah tapi dengan kadar CO2 yang normal . Segera sesudah itu paru-paru mencoba

Page 27: LP ALO

mengkompensasi ketidakseimbangan dengan mengeluarkan sejumlah besar

CO2/hiperventilasi

- Pasien dengan Asidosis respiratorik primer mulai dengan kadar CO2 yang tinggi, segera

sesudah itu ginjal mencoba mengkompensasi dengan mempertahankan bikarbonat . Jika

maneuver kompensasi mampu mengembalikan rasio bikarbonat terhadap asam karbonat

kembali menjadi 20:1 kompensasi sempurna dan karenanya pH normal akan tercapai

2. Menentukan penyebab primer gangguan dengan mengevaluasi PaCO2 dan HCO3 dalam hubungannya dengan pH

pH>7,4 alkalosis

a. jika PaCO2<40 mmHg

gangguan primer adalah alkalosis respiratorik (situasi ini timbul jika pasien mengalami

hiperventilasidan lebih banyak CO2 yang dikeluarkan ingat kembali bahwa CO2 terlarut

dalam air menjadi asam karbonik, bagian asam dari sistem buffer asam karbonik-

bikarbonat)

b. jika HCO3 >24 mEq/L

gangguan primer adalah alkalosis metabolic (situasi ini timbul jika tubuh memperoleh

terlalu banyak bikarbonat, suatu substansi alkali, bikarbonat adalah basa, atau bagian

alkali dari system buffer asam karbonik bikarbonat) pH< 7,4 asidosis

a. jika PaCO2>40 mmHg

gangguan utama adalah asidosis respiratorik (situasi ini timbul jik pasien mengalami

hipoventilasi dan karenanya menahan terlalu banyak CO2, suatu substansi asam)

b. jika HCO3 <24 mEq/L

gangguan primer adalah asidosis metabolic (situasi ini timbul jika kadar bikarbonat

tubuh turun, baik karena kehilangan langsung bikarbonat atau karena penambahan asam

seperti asam laktat atau keton)

3. Menentukan apakah kompensasi telah terjadi Hal ini dengan melihat nilai selain ganggguan primer. Jika nilai ini bergerak kearah yang

sama dengan nilai primer, kompensasi sedang berjalan.

Contoh:

pH PaCO2 HCO3

1. 7,20 60 mmHg 24 mEq/L

2. 7,40 60 mmHg 37 mEq/L

Page 28: LP ALO

Analisa no 1. pH =7,20 turun PaCO2 =60 meningkat HCO3= 24 normal

(Menunjukkan asidosis respiratorik akut tanpa kompensasi)

Analisa no 2 pH= 7,40 normal Pa CO2=60 meningkat HCO3=37 meningkat

(menunjukkan asidosis respiratorik kronis, kompensasi sudah terjadi dimana HCO3 meningkat

ke kadar yang sesuai untuk menyeimbangkan PaCO2 yang tinggi dan menghasilkan suatu pH

yang normal)

Contoh lain:

pH =7,28 PaCO2= 28,8 HCO3= 11 mEq/L BE=-3

Analisa: pH= 7,28 turun /asidosis PaCO2= 28,8 turun/alkalosis respiratorik HCO3=11

turun/asidosis metabolic BE=-3/asidosis metabolic (karena nilai HCO3 mengindikasikan adanya

asidosis/mengikuti penyimpangan yang terbesar dari nilai normal, maka proses gangguan

primernya adalah asidosis metabolic dan proses kompensasinya alkalosis respiratori

Page 29: LP ALO

LAPORAN PENDAHULUAN

ACUTE LUNG ODEMA (ALO) DAN INTERPRETASI HASIL BGA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Departemen Medikal di Ruang 5 (CVCU) Rumah Sakit Umum Dr. Saiful Anwar Malang

Oleh :Desak Made Diah Purnama Sari

140070300011106

JURUSAN KEPERAWATANFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG 2015

Page 30: LP ALO

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC

ESC. 2012. Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure

2012. European Heart Journal (2012) 33, 1787–1847 doi:10.1093/eurheartj/ehs104

Harun S dan Sally N. Edem Paru Akut. 2009. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata

M, SetiatiS,editor. Buku Ajar Ilmu Penyaki tDalam 5th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan

Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p. 1651-

3.

Hudak&Gallo, 2005. Keperawatan Kritis. Jakarta: EGC

Maria I. 2010. Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP.Anestesia &

Critical Care.Vol 28 No.2 Mei 2010.52

Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan.

Jakarta: Salemba Medika.

Panji. 2008. Edema Paru Akut (kardiak). http://panji102blogspot.com/2008/06/edema-paru-akut-

kardiak.html. Diakses tanggal 6 September 2015. Pukul 20.00 WIB.

Price, Wilson, 2006. Patolofisologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC

Smeltzer, BG., 2000. Brunner’s and Suddarth’s Textbook of Medical Surgical Nursing 3 ed.

Philadelpia: LWW Publisher.

Lippincott Williams & Wilkins. 2011. Nursing: Memahami Berbagai Macam Penyakit. Alih

bahasa: Paramita. Editor: Bambang Sarwiji. Jakarta: PT Indeks.

Lorraine et al. Acute Pulmonary Edema. N Engl J Med. 2005;353:2788-96

Soemantri. 2011. Cardiogenic Pulmonary Edema. Naskah Lengkap PKB XXVI Ilmu Penyakit

Dalam 2011. FKUNAIR-RSUD. DR Soetomo Surabaya, hal 113-19

Page 31: LP ALO
Page 32: LP ALO

No Diagnosa Tujuan dan KH Intervensi Rasional

1 Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru sekunder terhadap penumpukkan cairan dalam paru.

Pola nafas kembali efektif setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 × 24 jam, dengan kriteria hasil:-Tidak terjadi hipoksia atau hipoksemia-Tidak sesak-RR normal (16-20 × / menit)-Tidak terdapat kontraksi otot bantu nafas-Tidak terdapat sianosis

1. Berikan HE pada

pasien tentang

penyakitnya

2.Atur posisi semi fowler

3. Observasi tanda dan

gejala sianosis

4.Berikan terapi

oksigenasi

5.Observasi tanda-

tanda vital

6.Observasi timbulnya

gagal nafas.

7.Kolaborasi dengan tim

medis dalam

memberikan

pengobatan

1.Informasi yang adekuat dapat membawa

pasien lebih kooperatif dalam memberikan

terapi

2. Jalan nafas yang longgar dan tidak ada

sumbatan proses respirasi dapat berjalan

dengan lancar.

3.Sianosis merupakan salah satu tanda

manifestasi ketidak-adekuatan suply O2 pada

jaringan tubuh perifer .

4. Pemberian oksigen secara adequat dapat

mensuplai dan memberikan cadangan oksigen,

sehingga mencegah terjadinya hipoksia.

5. Dyspneu, sianosis merupakan tanda

terjadinya gangguan nafas disertai dengan

kerja jantung yang menurun timbul takikardia

dan capilary refill time yang memanjang/lama.

6.Ketidakmampuan tubuh dalam proses

respirasi diperlukan intervensi yang kritis

dengan menggunakan alat bantu pernafasan

(mekanical ventilation).

7.Pengobatan yang diberikan berdasar indikasi

sangat membantu dalam proses terapi

keperawatan

Page 33: LP ALO

2 Gangguan

pertukaran Gas

berhubungan

dengan

perubahan

membran kapiler-

alveolus

(perpindahan

cairan ke dalam

area

intertitial/alveoli)

Fungsi pertukaran gas

dapat maksimal setelah

dilakukan tindakan

keperawatan selama 3 ×

24 jam dengan kriteria

hasil:

-Tidak terjadi sianosis

-Tidak sesak

- RR normal (16-20 × /

menit)

- BGA normal:

partial pressure of

oxygen (PaO2): 75-

100 mm Hg

partial pressure of

carbon dioxide

(PaCO2): 35-45 mm

Hg

oxygen content

(O2CT): 15-23%

oxygen saturation

(SaO2): 94-100%

bicarbonate (HCO3):

22-26 mEq/literpH:

1. Berikan HE pada

pasien tentang

penyakitnya

2. Atur posisi pasien

semi fowler

3. Bantu pasien untuk

melakukan reposisi

secara sering

4. Berikan terapi

oksigenasi

5. Observasi tanda-

tanda vital

6. Kolaborasi dengan

tim medis dalam

memberikan

pengobatan

1. Informasi yang adekuat dapat membawa

pasien lebih kooperatif dalam memberikan

terapi

2. Jalan nafas yang longgar dan tidak ada

sumbatan proses respirasi dapat berjalan

dengan lancer

3. Posisi yang berbeda menurunkan resiko

perlukaan akibat imobilisasi

4. Pemberian oksigen secara adequat dapat

mensuplai dan memberikan cadangan

oksigen, sehingga mencegah terjadinya

hipoksia

5. Dyspneu, sianosis merupakan tanda

terjadinya gangguan

6. nafas disertai dengan kerja jantung yang

menurun timbul takikardia dan capilary refill

time yang memanjang/lama.

7. Pengobatan yang diberikan berdasar

indikasi sangat membantu dalam proses

terapi keperawatan

Page 34: LP ALO

7.35-7.45

3 Resiko tinggi

infeksi

berhubungan

dengan area

invasi

mikroorganisme

sekunder

terhadap

pemasangan

selang

endotrakeal

Infeksi tidak terjadi

setelah dilakukan

tindakan keperawatan

selama 3 × 24 jam,

dengan kriteria hasil:

Pasien mampu

mengurangi kontak

dengan area

pemasangan selang

endotrakeal

Suhu normal (36,0C)

Berikan HE pada pasien

tentang kondisi yang

dialaminya

1. Observasi tanda-

tanda vital.

2. Observasi daerah

pemasangan selang

endotrakheal

3. Lakukan tehnik

perawatan secara

aseptic

4. Kolaborasi dengan

tim medis dalam

memberikan

pengobatan

Informasi yang adekuat dapat membawa

pasien lebih kooperatif dalam memberikan

terapi

1. Meningkatnya suhu tubuh dpat dijadikan

sebagai indicator terjadinya infeksi

2. Kebersihan area pemasangan selang

menjadi factor resiko masuknya

mikroorganisme

3. Meminimalkan organisme yang kontak

dengan pasien dapat menurunkan resiko

terjadinya infeksi

4. Pengobatan yang diberikan berdasar indikasi

sangat membantu dalam proses terapi

keperawatan

Page 35: LP ALO