lr iii antiinflam-ema
TRANSCRIPT
Laporan Resmi
Praktikum Farmakologi Farmasi
ANTI INFLAMASI
Nama : Dzul Azmah Nasution
NIM : 091501068
Program : S-1 Reguler
Kelompok/ Hari : II / Selasa
Asisten : Rizayani
Tanggal Percobaan : 1 Maret 2011
Laboratorium Farmakologi Farmasi
Departemen Farmakologi Farmasi
Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara
Medan
2011
Lembar Persetujuan Dan Nilai Laporan Praktikum
Judul Percobaan : ANTI INFLAMASI
Medan, Februari 2011
Tanggal ACC : ______________________
Asisten, Praktikan,
(Rizayani) (Dzul Azmah Nasution)
Perbaikan :
1. Perbaikan I, Tanggal : ___________________
Telah Diperbaiki : ___________________
2. Perbaikan II, Tanggal : ___________________
Telah Diperbaiki : ___________________
3. Perbaikan III, Tanggal : ___________________
Telah Diperbaiki : ___________________
4. Perbaikan IV, Tanggal : ___________________
Telah Diperbaiki : ___________________
5. Pergantian Jurnal : ___________________
Nilai :
I. PENDAHULUAN
Inflamasi adalah usaha tubuh untuk menginaktivasi atau merusak organisme
yang menyerang, menghilangkan zat iritan, dan mengatur derajat perbaikan jaringan.
Jika penyembuhan lengkap, proses peradangan bisanya reda. Namun, kadang-kadang
inflamasi tidak bisa dicetuskan oleh suatu zat yang tidak berbahaya seperti tepung
sari atau oleh suatu respon imun seperti asma atau artritis rematoid. Pada kasus
seperti ini, reaksi pertahanan mereka sendiri mungkin menyebabkan luka jaringan
progresif dan obat-obat antiinflamasi atau imunosupresi mungkin diperlukan untuk
memodulasi proses peradangan. Inflamasi dicetuskan oleh pelepasan mediator
kimiawi dari jaringan yang rusak dan migrasi sel. Mediator kimiawi spesifik
bervariasi dengan tipe proses peradangan dan meliputi amin, seperti histamin dan 5-
hidroksitriptamin; lipid, seperti prostaglandin; peptida kecil, seperti bradikinin; dan
peptida besar, seperti interleukin-1 Penemuan variasi yang luas diantara mediator
kimiawi telah menerangkan paradoks yang tampak bahwa obat-obat antiinflamasi
dapat mempengaruhi kerja mediator utama yang penting pada satu tipe inflamasi
tetapi tanpa efek pada proses inflamasi yang tidak melibatkan mediator target obat.
(Mycek. M.J, 2001).
Radang merupakan respon fisiologi lokal terhadap cedera jaringan. Radang
bukan suatu penyakit, melainkan suatu manifestasi terhadap suatu penyakit. Radang
dapat mempunyai pengaruh yang menguntungkan (Underwood, J.C.E., 1999).
Peradangan umumnya dibagi dalam tiga fase: peradangan akut, respon imun
dan peradangan kronis. Peradangan akut adalah respon awal dari luka jaringan; yang
diperantarai oleh pelepasan autakoid dan biasanya mendahului perkembangan respon
imun. Respon imun terjadi bila sel yang mempunyai kemampuan imunologi
diaktivasi untuk menimbulkan respon terhadap organisme asing atau zat antigenik
yang dilepaskan selama respon peradangan akut atau kronis. Akibat dari respon imun
mungkin bermanfaat bagi hospes, karena hal ini menyebabkan organisme yang
menyerang difagositosis atau dinetralisasi. Dilain pihak, akibatnya mungkin menjadi
buruk jika hal ini menyebabkan peradangan kronis tanpa resolusi dari proses
merugikan yang mendasarinya. Peradangan kronis melibatkan pelepasan sejumlah
mediator yang tidak menonjol pada respon akut (Donald dan Katzung, 1998).
II. TUJUAN PERCOBAAN
- Untuk mengetahui efek pemberian karagenan pada hewan percobaan
- Untuk mengetahui efek antiinflamasi Na diklofenak dan deksametason
- Untuk membandingkan efek antiinflamasi Na diklofenak dengan dosis yang
berbeda
- Untuk membandingkan efek antiinflamasi deksametason dengan dosis yang
berbeda
- Untuk membandingkan efek antiinflamasi Na diklofenak dengan deksametason
III. PRINSIP PERCOBAAN
Induksi radang dilakukan pada kaki hewan percobaan (suntikan pada telapak
kaki belakang tikus), dengan cara penyuntikan karagenan secara intraplantar. Obat
antiinflamasi diberikan secara oral 30 menit sebelum penyuntikan karagenan.
Aktivitas antiinflamasi Na diklofenak dan deksametason ditunjukkan oleh
kemampuannya untuk mengurangi radang yang diinduksi pada kaki tersebut. Ukuran
radang tikus diukur dengan alat Pletismometer yang bekerja berdasarkan hukum
Archimedes.
IV. TINJAUAN PUSTAKA
Inflamasi
Radang adalah reaksi setempat dari jaringan hidup atau sel terhadap suatu
rangsang atau injury. Radang terbagi dalam dua golongan, yaitu:
1. Benda mati:
a. Rangsang fisis; contohnya, trauma, benda asing, rangsang panas atau dingin
yang berlebihan, tekanan, listrik, sinar matahari, sinar rontgen, dan radiasi.
b. Rangsang kimia; contohnya, asam dan basa yang kuat dan juga keracunan
obat.
2. Benda hidup. Contohnya; kuman patogen, bakteri, parasit, dan virus. Selain itu
juga ada reaksi imunologi dan gangguan vaskular serta hormonal yang dapat
menimbulkan kerusakan jaringan (Sudiono, J., 2003).
Tanda utama radang yang ditetapkan oleh Cornelius Celsus antara lain:
Rubor (merah), disebabkan karena adanya hiperemia aktif karena bertambah
banyaknya vaskularisasi di daerah cedera tersebut.
Kalor (panas), disebabkan karena hiperemia aktif.
Tumor (bengkak), sebagian disebabkan karena hiperemia aktif dan sebagian lagi
disebabkan karena edema setempat serta stasis darah.
Dolor (sakit), disebabkan karena terangsangnya serabut saraf pada daerah radang.
Belum jelas apakah karena adanya edema ataukah karena iritasi zat kimia yang
terlepas, misalnya asetilkolin dan histamin. Tetapi sesungguhnya rasa nyeri ini
mendahului proses radang. Hal ini mungkin karena terbentuknya suatu zat oleh
sel mast. Zat ini berguna untuk meningkatkan permeabilitas dinding pembuluh
darah. Bahan lain yang berperan penting adalah bradikinin, di mana jika
seseorang disuntik bradikinin tidak murni, zat ini menyebabkan rasa nyeri pada
permukaan kulit sebelum terjadi migrasi sel darah putih.
Kemudian oleh Galen, ditambahkan fungtio laesa, yaitu berkurangnya fungsi
karena adanya rasa sakit akibat saraf yang terangsang sehingga bagian organ
tubuh tidak berfungsi. Penyebab lain penurunan fungsi tubuh adalah edema
(Sudiono, J., 2003).
Radang merupakan respon fisiologi lokal terhadap cedera jaringan. Radang
bukan suatu penyakit, melainkan suatu manifestasi terhadap suatu penyakit. Radang
dapat mempunyai pengaruh yang menguntungkan, seperti penghancuran
mikroorganisme yang masuk dan pembuatan dinding pada rongga abses, sehingga
akan mencegah penyebaran infeksi. Secara seimbang, radang juga memproduksi
penyakit, misalnya abses otak akan bertindak sebagai lesi ruangan yang menekan
bangunan vital di sekitarnya, atau fibrosis akibat radang kronis dapat mengakibatkan
terjadinya distorsi jaringan yang permanen dan menyebabkan gangguan fungsinya
Radang biasanya diklasifikasikan berdasarkan waktu kejadiannya, sebagai: Radang
akut, reaksi jaringan yang segera dan hanya dalam waktu yang tidak lama, terhadap
cedera jaringan. Radang kronis, reaksi jaringan selanjutnya yang diperlama
mengikuti respons awal (Underwood, J.C.E., 1999).
Radang adalah rangkaian reaksi yang terjadi pada tempat jaringan yang
mengalami cedera, seperti karena terbakar, atau terinfeksi.
Bagian tubuh yang mengalami peradangan memiliki tanda-tanda sebagai berikut:
tumor atau membengkak
calor atau menghangat
dolor atau nyeri
rubor atau memerah
functio laesa atau daya pergerakan menurun (www.wikipedia.com)
Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan
yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak atau zat-zat
mikrobiologik. Inflamasi adalah usaha tubuh untuk menginaktivasi atau merusak
organisme yang menyerang, menghilangkan zat iritan, dan mengatur derajat
perbaikan jaringan. Jika penyembuhan lengkap, proses peradangan bisanya reda.
Namun, kadang-kadang inflamasi tidak bisa dicetuskan oleh suatu zat yang tidak
berbahaya seperti tepung sari atau oleh suatu respon imun seperti asma atau artritis
rematoid. Pada kasus seperti ini, reaksi pertahanan mereka sendiri mungkin
menyebabkan luka jaringan progresif dan obat-obat antiinflamasi atau imunosupresi
mungkin diperlukan untuk memodulasi proses peradangan (Mary J. Mycek, 2001).
Inflamasi merupakan proses yang sangat kompleks yang meliputi ikut
sertanya aktifitas banyak tipe sel dan mediator. Secara normal cidera jaringan atau
adanya bahan asing menjadi pemicu kejadian yang mengikut sertakan partisipasi dari
enzim, mediator, cairan ekstravasasi, migrasi sel, kerusakan jaringan dan mekanisme
penyembuhan. Hal tersebut menimbulkan tanda inflamasi berupa: kemerahan,
pembengkakan, panas, nyeri dan hilangnya fungsi. Rangsangan yang menimbulkan
inflamasi sangat berbeda-beda tetapi prosesnya diperantarai oleh sejumlah mediator,
termasuk: prostaglandin, leukotrien, interleukin, oksigen radikal bebas dan oksidan
lain (nitric oxide, kloramin, asam hipoklorus) yang secara langsung dapat
menimbulkan kerusakan jaringan, inaktifasi dari inhibitor protease, misalnya: a1-
antitrypsin, inhibitor spesifik dari elastase neutrofil, dapat merusak matriks jaringan
ikat. Bahan-bahan tersebut dihasilkan oleh sel inflamasi yang meliputi
polymorphonuclear leucocytes (neutrofils, easinofils, basofils), sel endotel, sel mast,
makrofag (monosit dan limfosit). Rangsangan lain untuk terjadinya inflamasi
termasuk histamin, kejadian imunologik, faktor kemotaktik, dan lain-lain. Prostanoid
termasuk prostaglandin, thromboxanes dan leukotriens merupakan mediator lipid
yang disalurkan lewat membran fosfolipid oleh kerja beberapa enzim antara lain
fosfolipase A2, cyclooxygenase, lipoxygenase dan enzim spesifik untuk sintesis
prostanoid tertentu. Prostaglandin hasil dari jalur cyclooxygenase merubah asam
arakidonat menjadi autocoid melibatkan fase proses inflamasi, reaksi panas dan nyeri
dan fungsi fisiologis termasuk mobilitas intestinal, agregasi platelet, tonus vaskular,
fungsi renal, sekresi lambung, integritas mukosa lambung.
Respon inflamasi terjadi dalam 3 fase yang berbeda sesuai mekanisme yang berbeda:
1. Fase akut transien: vasodilatasi lokal dan meningkatnya permeabilitas kapiler.
2. Fase sub-akut lambat: infiltrasi lekosit dan sel fagosit
3. Fase kronik proliferatif: degenerasi jaringan dan fibrosis
( Retno Laksminingsih Subagyo, 2004 ).
Inflamasi (radang) biasanya dibagi dalam tiga fase :
1. Inflamasi Akut.
Inflamasi akut meupakan respon awal terhadap cedera jaringan ; hal tersebut
terjadi melalui mediarilisnya aulacoid serta pada umumnya didahului oleh
pembentukan respon imun.
2. Respons Imun.
Respon imun terjadi bila sejumlah sel yang mampu menimbulkan kekebalan
diaktifkan untuk merespons organisme asing atau substansi anti genik yang terlepas
selam respon terhadap inflamasi akut seeta kronis. Akibat dari respons imun bagi
tuan rumah mungkin menguntungkan seperti bilamana ia menyebabkan organisme
penyerang menjadi di-fagositosis atau dinetralisir. Sebaliknya, akibat tersebut juga
dapat bersifat merusak bila menjuus kepada inflamasi kronis tanpa penguraian dari
proses cedera yang mendasarinya.
3. Inflamasi Kronis
Inflamasi kronis melibatkan keluarnya sejumlah mediator yang tidak
menonjol dalam respons akut ( Donald G.Payan, 1998 ).
Obat antiinflamasi
Obat-obat anti-inflamasi nonsteroid (AINS) merupakan suatu group obat
yang secara kimiawi tidak sama, yang berbeda aktivitas antipiretik, anlgesik dan anti-
inflamsinya. Obat-obat ini terutama bekerja dengan jalan menghambat enzim
siklooksigenase tetapi tidak enzim lipoksigenase. Aspirin adalah prototip dari group
ini, yang paling umum digunakan dan merupakan obat yang dibandingkan dengan
semua obat anti-inflamasi. Namun, sekitar 15 % penderita menunjukkan tidak
tolerran terhadap aspirin. Karena itu, obat-obat AINS lain bagi individu ini. Selain
itu, pada penderita tertentu, beberapa obat AINS baru lebih superior daripada aspirin,
karena aktivitas anti-inflamasinya lebih besar dan atau menyebabkan lebih sedikit
iritasi lambung, atau lebih mahal daripada aspirin, beberapa telah terbukti lebih
toksik ( Mary J. Mycek, 2001 ).
Banyak obat anti-inflamsi nonsteroid (AINS) bekerja dengan jalan
menghambat sintesis prostaglandin. Jadi, pemahaman akan obat AINS memerlukan
pengertian kerja dan biosintesis prostaglandin turunan asam lemak tak jenuh
mengandung 20 karbon yang meliputi suatu cincin siklik( Mary J. Mycek, 2001 ).
NSAIDs berkhasiat analgetis, antipiretis, serta antiradang (antiflogistis), dan
sering sekali digunakan untuk menghalau gejala penyakit rema, seperti A.R., artrosis,
dan spondylosis. Obat ini efektif untuk peradangan lain akibat trauma (pukulan,
benturan, kecelakaan), juga misalnya setelah pembedahan, atau pada memar akibat
olahraga. Obat ini dipakai pula untuk mencegah pembengkakan bila diminum sedini
mungkin dalam dosis yang cukup tinggi. Selanjutnya NSAIDs juga digunakan untuk
kolik saluran empedu dan kemih, serta keluhan tulang pinggang dan nyeri haid
(dysmenorroe). Akhirnya NSAIDs juga berguna untuk nyeri kanker akibat metastase
tulang. Yang banyak digunakan untuk kasus ini adalah zat-zat dengan efek samping
relatif sedikit, yakni ibuprofen, naproksen, dan diklofenak (Tan, 2002).
Secara kimiawi, obat-obat anti inflamasi non steroid ini biasanya dibagi
dalam beberapa kelompok, yaitu :
a.Salisilat : asetosal, benorilat, dan diflusinal. Dosis anti radangnya terletak 2 – 3
kali lebih tinggi daripada dosis analgetisnya. Berhubung resiko efek sampingnya,
maka jarang digunakan pada rema.
b. Asetat : alklofenac, diklofenac, indometasin, dan sulindac.
Alcofenac jarang digunakan lagi karena sering menimbulkan reaksi kulit.
Indometasin termasuk obat yang terkuat daya antiradangnya, tetapi jauh sering
menyebabkan keluhan lambung usus.
c.Propionat : ibuprofen, ketoprofen, flurbiprofen, naproksen, tiaprofenat dan
fenoprofen.
d. Oksikam : piroksikam, tenoksikam, meloxicam
e.D.antranilat : mefenaminat, nifluminat, dan meclofenamic acid
f. Pirazolon : (oxy) fenilbutazon dan azapropazon
g. Lainnya : nabometon, benzidamin krem 3%, bufexamac krem 5 %
berkhasit sebagai antiradang agak kuat, tetapi kurang efektif pada gangguan
rematik
( Tan Hoan Tjay & Kirana Rahardja, 2002).
Obat anti-nyeri dan peradangan (obat anti-inflamasi nonsteroid: OAINS)
merupakan golongan obat yang paling banyak dipergunakan mengobati nyeri radang
sendi maupun nyeri oleh sebab lain. Umumnya dengan OAINS yang ada sekarang,
rasa nyeri dapat segera diatasi. Namun, kenyataan menunjukkan, sebagian besar
keluhan bersifat menahun sehingga penderita memerlukan OAINS dalam jangka
panjang. Karena banyak orang memakai OAINS dalam waktu relatif lama, maka di
samping kemanjurannya tingkat keamanan atau timbulnya efek samping OAINS
harus dipahami dengan baik. OAINS banyak dijual bebas dan kebiasaan penderita
yang ingin memperoleh hasil cepat dengan mencampur beberapa OAINS atau
menambah dosis di luar anjuran dokter. Efek samping OAINS mencakup gangguan
di saluran cerna, fungsi jantung dan ginjal, perdarahan, dan efek samping lain yang
lebih ringan seperti gatal-gatal, pusing, dan kembung. Sebagian besar gejala efek
samping OAINS pada saluran cerna adalah ringan seperti mual, kembung, nyeri
perut, mencret, nafsu makan turun, dan nyeri ulu hati. Akan tetapi, OAINS memicu
erosi pada permukaan lambung yang dapat berkembang menjadi luka lambung dan
menimbulkan banyak perdarahan (muntah darah). Penderita sering tak menunjukkan
gejala awal, sehingga terlambat masuk ke rumah sakit. Diperkirakan total 10-20
persen penderita yang menggunakan OAINS secara teratur dalam satu tahun, 2-4
persen akan menderita luka lambung dengan komplikasi perdarahan, sumbatan atau
kebocoran lambung. Diperkirakan lebih daripada 100.000 penderita masuk rumah
sakit dan 16.500 penderita meninggal karena efek samping OAINS setiap tahun di
Amerika Serikat saja. Timbulnya efek samping OAINS pada saluran cerna semakin
meningkat pada penderita yang sudah tua, berpenyakit rematik berat, gangguan
jantung koroner dan lambung sebelumnya, merokok, memakai obat antikoagulan dan
kortikosteroid, dan penyakit lain yang berat
(http://www.kompas.com/kompas-cetak/0301/05/iptek/keam22.htm )
Mekanisme Anti Inflamasi
Sampai sekarang fenomen inflamasi pada tingkat bioselular masih belum
dapat dijelaskan secara rinci. Walaupun demikian banyak hal yang telah diketahui
dan disepakati. Fenomen inflamasi ini meliputi kerusakan mikrovaskular,
meningkatnya permeabilitas kapiler dan migrasi leukosit ke jaringan radang. Gejala
proses inflamasi yang sudah dikenal adalah kalor, rubor, tumor, dolor, dan functio
laesa. Selama berlangsungnya fenomen inflamasi banyak mediator kimiawi yang
dilepaskan secara lokal antara lain histamin, 5-hidroksitriptamin (5HT), faktor
kemotaktik, bradikinin, leukotrien, dan PG. Penelitian terakhir menunjukkan
autakoid lipid PAF (Platelet activating factor) juga merupakan mediator inflamasi.
Dengan migrasi sel fagosit ke daerah ini, terjadi lisis membran lisozim dan lepasnya
enzim pemecah. Obat mirip aspirin dapat dikatakan tidak berefek terhadap mediator-
mediator kimiawi tersebut kecuali PG. (Wilmana, P.F., 1995)
Zat antiradang diyakini bekerja dengan memutuskan rangkaian asam
arakidonat. Obat golongan ini banyak dipakai untuk mengobati rasa nyeri lemah dan
juga untuk mengobati edema dan kerusakan jaringan akibat artritis. Beberapa di
antaranya adalah antipiretika (mengurangi demam) di samping mempunyai kerja
analgetik dan antiradang. Steroid adrenal mungkin bekerja dengan merintangi
fosfolipase A2, yaitu enzim yang membebaskan asam arakhidonat dari fosfolipid.
Steroid ini juga menghambat kolagonase, yaitu enzim yang menyebabkan kerusakan
jaringan tulang rawan pada persendian yang terkena penyakit arthritis. Zat antiradang
nonsteroid menghambat siklooksigenase yang mengubah asam arakidonat menjadi
PGG2 dan PGH2. Karena senyawa endoperoksida siklik merupakan prazat semua
senyawa prostaglandin, maka sintesis prostaglandn terhenti. Prostaglandin E1
dikenal sebagai pirosgen kuat (zat penyebab demam), dan PGE2 menimbulkan rasa
nyei, edema eritema (kulit memerah), dan demam. Senyawa prostaglandin (PGG2
dan PGH2) dapat juga menimbulkan rasa nyei, jadi penghambatan sintesisnya
merupakan akibat kerja zat antiradang nonsteroid. (Nogrady, T., 1992).
Proses inflamasi meliputi kerusakan mikrovaskuler, meningkatnya
permeabilitas vaskuler dan migrasi leukosit ke jaringan radang, dengan gejala kalor,
rubor, tumor, dolor dan functiolasea. Mediator yang depaskan antara lain histamin,
bradikinin, leukotrin, PG dan PAF ( Goodman and Gilman’s, 2001).
Mediator inflamasi tidak hanya PG saja, bahwa inflamasi melibatkan multimediator
(multifaktorial), misalnya bradikinin, leukotrin, cytokin, interleukin, histamin serta
radikal bebas. Efektifitas NSAID sebagai analgesik, anti piretik ataupun anti
inflamasi akan dipengaruhi juga oleh spectrum penghambatan pada mediator
inflamasi ( Goodman and Gilman’s, 2001).
Rasa nyeri dipengaruhi oleh PG yang akan menyebabkan keadan hiperalgesia
kemudian bradikinin dan histamin akan merangsang dan menimbulkan nyeri yang
nyata.Demam (peningkatan suhu) diawali pelepasan zat pirogen endogen atau sitokin
(IL-1 dan IL-8) yang akan memacu pelepasan PG di hypothalamus (letak alat
pengatur suhu tubuh). NSAID ideal yaitu yang cepat dan kuat sebagai obat analgesik,
anti inflamasi dan anti piretik adalah obat yang harus menghambat semua mediator
inflamasi atau bekerja secara multifaktorial atau multimediator (Goodman and
Gilman’s, 2001).
Salah satu dari kondisi yang paling penting yang melibatkan mediator-
mediator ini ialah artritis reumatoid, dimana inflamasi kronis menyebabkan sakit dan
kerusakan pada tulang dan tulang rawan yang bisa menjurus kepada
ketidakmampuan untuk bergerak dimana terjadi perubahan-perubahan sistemik yang
bisa memperpendek umur. Jalur cylooxygenase metabolisme arachidonate
menghasilkan prostagladin mempunyai berbagai efek pada pembuluh darah, ujung-
ujung saraf sel-sel yang terlibat dalam inf;lamasi. Penemuan isoform-isoform ( COX-
1 dan COX-2 ) menjurus kepada konsep bahwa isoform COX-1 yang ( bersifat
pokok, selalu ada ) cenderung menjadi homoestatis dalam sedangkan COX-2
diinduksi selama inflamasi dan digunakan mempasilitasi respons inflamasi. Atas
dasar ini penghambat COX-2 yang selektif telah dikembangkan dan dipasarkan
dengan asumsi bahwa penghambat selaktif semacam itu akan lebih aman daripada
penghambat COX-1 yang nonselektif tetapi tentunya tanpa kemanjurannya (efikasi ).
Jalur lipoxygenase dari metabolisme menghasilkan leukotrine yang mempunyai efek
kemotaksis yang eusinofil, neutrofil, dan makrofag serta meningkatkan bronkok
perubahan-perubahan dalam permeabilitas pembuluh darah( Donald G.Payan, 1998 ).
Asam arakidonat, suatu asam lemak 20-karbon, adalah prekussor utama
prostaglandin dan senyawa yang berkaitan. Asam arakidonat terdapat dalam
komponen fosfolipid membran sel, terutama fosfatidil inositol dan kompleks lipid
lainnya. Asam arakidonat bebas dilepaskan dari jaringan fosfolipid oleh kerja
fosfolipase A2 dan asil hidrolase lainnya, melalui suatu proses yang dikontrol oleh
hormon dan rangsangan lain.
1. Jalan siklo-oksigenase : semua eikosanoid berstruktur cincin sehingga,
prostaglandin, tromboksan, dan protosiklin disintesis melalui siklo-oksigenase. Telah
diteliti dua siklo-oksigenase : COX-1 dan COX-2. yang pertama bersifat ada dimana-
mana dan pembentuk, sedangkan yang kedua diinduksi dalam respons terhadap
rangsangan inflamasi.
2. Jalan Lipoksigenase : jalan lain, beberapa lipoksigenase dapat bekerja pada asam
arakidonat untuk membentuk 5-HPETE, 12-HPETE dan 15-HPETE yang merupakan
turunan peroksidasi tidak stabil yang dikonversi menjadi turunan hidroksilasi yang
sesuai (HETES), atau menjadi leukotrien atau lipoksin ( Mary J. Mycek, 2001 ).
Sejumlah besar zat yang disebut mediator radang dibentuk dan dilepaskan,
dapat sekaligus atau dalam waktu yang berurutan pada tempat luka dari berbagai
sumber berupa sel sebagai respons terhadap faktor etiologi. Berbagai sel berisi
sejumlah mediator yang kuat dan dalam beberapa hal berisi inhibitor respons
peradangan. Sumber-sumber berupa sel ini mungkin mencakup netrofil (leukosit
netrofil berinti polimorf), basofil sel mast, platelet, makrofag, dan limfosit. Sejumlah
mediator radang yang turut dalam proses peradangan dan diuraikan oleh sel tadi
meliputi histamin, serotonin, leukokinin, zat anfilaksis yang bereaksi lambat (slow
reacting substance of anaphylazis (SRS-A), enzim lisosom, limfokin, dan
prostaglandin. Obat antiradang merubah respon peradangan menjadi penyakit, tapi
tidak menyembuhkan ataupun meghilangkan penyebab penyakit itu sendiri. Obat
antiradang yang ideal harus bekerja terhadap radang yang tak terkendalikan dan
merusak, serta tidak mempengaruhi respons peradangan yang normal yang
merupakan bagian dari mekanisme pertahanan tubuh yang vital terhadap
mikroorganisme yang menyerang dan pengaruh buruk lingkungan yang lain. Uji
utama yang sering dipakai dalam menapis zat antiradang nonsteroid baru, mengukur
kemampuan suatu senyawa untuk mengurangi edema lokal pada cengkeraman tikus
yang disebabkan oleh suntikan zat pengiritasi karagenan, yaitu suatu
mukopolisakarida yang diperoleh dari lumut laut Irlandia, Chondrus crispus. Zat
antiradang yang paling banyak digunakan di klinik untuk menekan edema macam
ini. Sifat antiradang indometasin, yaitu zat antiradang nonsteroid yang banyak
dipakai, pada mulanya ditentukan oleh uji karagenan. Urutan peristiwa dalam edema
akibat karagenan pada cengkeraman tikus telah dirancang. Mediator edema yang
pertama-tama yaitu histamin dan serotonin, diikuti oleh fase kedua, yaitu pelepasan
kinin yang mempertahankan peningkatan kepermeabelan pembuluh darah. Ini
diikuti oleh fase ketiga, yaitu pelepasan prostaglandin yang bersamaan dengan
migrasi leukosit ke lokasi radang. Zat antiradang nonsteroid menekan migrsi ini.
Pengaktifan dan pelepasan semua mediator yang telah disebutkan di atas, tergantung
pada sistem komplemen yang utuh. (Hamor, G.H., 1996)
Dua isoenzim cyclooxygenase yang unik namun berkaitan telah ditemukan
dan mampu mengubah asam arakidonat menjadi prostaglandin endoperoksid. PGH
synthase-1 (COX-1) ekspresinya constitutive, yaitu selalu ada. Sebaliknya PGH
synthase-2 (COX-2) dapat diinduksi (inducible) dan keberadaannya sangat bervariasi
tergantung pada stimulus. Dua isoenzim ini juga berbeda dalam fungsi: COX-1
terdistribusi secara luas dengan fungsi sebagai pemelihara misalnya sitoproteksi
lambung. Peningkatan dua sampai empat kali dapat terjadi pada stimulasi hormonal.
Sebaliknya, COX-2 adalah produk gen yang cepat terjadi sebagai respons awal
dalam inflamasi dan sel imun serta dapat distimulasi 10 sampai dengan 18 kali oleh
faktor pertumbuhan, promotor tumor, dan cytokine. Lipopolisakarida (endotoksin)
sangat kuat dalam hubungan tersebut. Synthase-synthase tersebut penting karena
pada tahapan inilah obat-obat antiinflamasi nonsteroid menunjukkan efek terapinya.
Indometasin dan sulindak terutama bekerja pada COX-1 dan 2, sedangkan celecoxib
dan rofecoxib secara istimewa menghambat COX-2. Obat-obat antiinflamasi steroid
seperti deksametason dapat menghambat ekspresi gen COX-2. Penghambat COX-2
yang selektif, lebih sedikit menyebabkan gangguan lambung bila dibandingkan
dengan penghambat COX-1 dan menjadi populer untuk pengobatan inflamasi kronik.
Aspirin mengasetilasi dan menghambat kedua enzim dengan tingkat yang berbeda.
(Foegh, M.L., dan Ramwell, P.W., 2001)
Synthase-synthase tersebut penting karena pada tahapan inilah obat-obat
antiinflamasi nonsteroid menunjukkan efek terapinya. Indometasin dan sulindak
terutama bekerja pada COX-1 dan 2, sedangkan celecoxib dan rofecoxib secara
istimewa menghambat COX-2. Obat-obat antiinflamasi steroid seperti deksametason
dapat menghambat ekspresi gen COX-2. Penghambat COX-2 yang selektif, lebih
sedikit menyebabkan gangguan lambung bila dibandingkan dengan penghambat
COX-1 dan menjadi populer untuk pengobatan inflamasi kronik. Aspirin
mengasetilasi dan menghambat kedua enzim dengan tingkat yang berbeda (Foegh,
M.L., dan Ramwell, P.W., 2001).
Uji utama yang sering dipakai dalam menapis zat antiradang nonsteroid baru,
mengukur kemampuan suatu senyawa untuk mengurangi edema lokal pada
cengkeraman tikus yang disebabkan oleh suntikan zat pengiritasi karagenan, yaitu
suatu mukop karagenan rumput laut ini sangat besar peranannya terutama sebagai
stabilisator (pengatur keseimbangan), thickener (bahan pengental), gelling agent
(pembentuk gel), pengemulsi, dan lain-lain. Karagenan adalah hasil ekstraksi dari
rumput laut yang tergolong Rhodophyceae dengan menggunakan air atau alkali.
Karagenan tersusun dari perulangan unit-unit galaktosa dan 3,6-anhidro-galaktosa
(3,6-AG), keduanya baik yang berikatan dengan sulfat maupun tidak, dihubungkan
dengan ikatan glikosidik α-1,3 dan ß-1,4 secara bergantian (http://www.lipi.go.id).
V. METODE PERCOBAAN
5.1. Alat dan Bahan
5.1.1. Alat
- Alat suntik
- Alat suntik dengan jarum oral
- Timbangan hewan
- Alat pengukur bengkak kaki (plestimometer)
- Erlenmeyer
- Pipet tetes
- Stopwatch
5.1.2. Bahan
- Mencit
- Karagenan 1 %
- Suspensi deksametason
- Suspensi Na-diklofenak
- Suspensi kosong
5.2. Prosedur Percobaan
- Tikus dipuaskan ± 18 jam sebelum pengujian, air minum tetap diberikan
- Tikus ditimbang dan diberi tanda pada sendi kaki belakang kiri untuk setiap
tikus.
- Volume kaki tikus diukur dan dinyatakan sebagai volume dasar (Vo) untuk
setiap tikus. Pada setiap kali pengukuran volume sudah diperiksa tinggi cairan
pada alat dan dicatat sebelum dan sesudah pengukuran
- Tikus 1 diberi suspensi kosong 1% BB secara oral
- Tikus 2 diberi Na diklofenak 2% dosis 15 mg/kg BB secara oral
- Tikus 3 diberi Na diklofenak 2% dosis 20 mg/kg BB secara oral
- Tikus 4 diberi Deksametason 0,01% dosis 0,1 mg/kg BB secara oral
- Tikus 5 diberi Deksametason 0,01% dosis 0,3 mg/kg BB secara oral
- Setelah 30 menit tikus diberi karagenan 1% secara subkutan pada telapak kaki
kiri.
- Dibiarkan 30 menit lalu diukur volume kaki yang disuntiikan karagenan pada
alat dan dicatat. Dilakukan pengukuran yang sama setiap 30 menit selama 4
jam.
- Dicatat hasil pengamatan, dihitung harga %radang dan %inhibisi radang dan
dibuat dalam grafik.
VI. PERHITUNGAN, GRAFIK, DAN PEMBAHASAN
6.1 Perhitungan
6.1.1. Perhitungan Dosis
1. Tikus 1 (Kontrol)
Berat Tikus =275 g
Jumlah suspensi kosong yang diberikan = 1
100×275 g=2, 75 ml
2. Tikus 2
Berat Tikus =285 g
Jumlah Na di
klofenat yang diberikan =10mg
1000 g×285 g=2 ,85mg
Konsentrasi Na diklofenat 2% = 2 g
100 ml=2000 mg
100 ml=20 mg /ml
Jumlah larutan Na diklofenat yang diberikan = 2 , 85mg
20mg /ml=1, 475 ml
3. Tikus 3
Berat Tikus = 280 g
Jumlah
Na diklofenat yang diberikan =15 mg
1000 g×280 g=4,2 mg
Konsentrasi Na diklofenat 2% = 2 g
100 ml=2000 mg
100 ml=20 mg /ml
Jumlah larutan Na diklofenat yang diberikan = 4,2mg
20mg /ml=0 ,21ml
4. Tikus 4
Berat Tikus = 272g
Jumlah
Deksametason yang diberikan = 0,1mg
1000 g×272 g=0 , 0272 mg
Konsentrasi Deksametason 0,01% =0 , 01 g
100 ml=10 mg
100 ml=0,1 mg /ml
Jumlah larutan Deksametason yang diberikan =0 , 0272 mg
0,1mg /ml=0 ,272ml
5. Tikus 5
Berat Tikus = 160 g
Jumlah
Deksametason yang diberikan =0 .3 mg
1000 g×160 g=0 ,048 mg
Konsentrasi deksametason 0,01% =0 , 01 g
100 ml=10 mg
100 ml=0,1 mg /ml
Jumlah larutan
Deksametason yang diberikan = 0 , 048mg
0,1mg /ml=0 ,48 ml
6.1.2. Perhitungan Radang
1. Tikus 1 (Kontrol) Vo = 0,03
Menit 30 (Vt = 0,04)
% Radang=Vt−VoVo
x100%
=0 ,04−0 ,030 ,03
x 100%
=33 , 3 %
% Inhibisi Radang (IR )=% Radang Obat−% Radang Kontrol% Radang Kontrol
x 100 %
=33 , 3−33 ,333 , 3
x 100 %
=0 %
Menit 60 (Vt = 0,04)
% Radang=Vt−VoVo
x100 %
=0 ,04−0 ,030 ,03
x 100 %
=33 , 3 %
% Inhibisi Radang (IR )=% Radang Obat−% Radang Kontrol% Radang Kontrol
x 100 %
=33 , 3−33 ,333 , 3
x 100 %
=0 %
Menit 90 (Vt = 0,04)
% Radang=Vt−VoVo
x100 %
=0 ,04−0 ,030 ,03
x 100 %
=33 , 3 %
% Inhibisi Radang (IR )=% Radang Obat−% Radang Kontrol% Radang Kontrol
x 100 %
=33 , 3−33 ,333 , 3
x 100 %
=0 %
Menit 120 (Vt = 0,05)
% Radang=Vt−VoVo
x100 %
=0 ,05−0 ,030 ,03
x100 %
=66 ,67 %
% Inhibisi Radang (IR )=% Radang Obat−% Radang Kontrol% Radang Kontrol
x 100 %
=66 ,67−66 , 6766 ,67
x 100 %
=0 %
2. Tikus 2 (Vo = 0,04)
Menit 30 (Vt = 0,04)
% Radang=Vt−VoVo
x100 %
=0 ,04−0 ,040 ,04
x100 %
=0 %
% Inhibisi Radang (IR )=% Radang Obat−% Radang Kontrol% Radang Kontrol
x 100 %
=0−33 , 333 , 3
x100 %
=−100 %
Menit 60 (Vt = 0,05)
% Radang=Vt−VoVo
x100 %
=0 ,05−0 ,040 ,04
x 100 %
=25 %
% Inhibisi Radang (IR )=% Radang Obat−% Radang Kontrol% Radang Kontrol
x 100 %
=25−33 , 333 , 3
x100 %
=−24 , 92 %
Menit 90 (Vt = 0,03)
% Radang=Vt−VoVo
x100 %
=0 ,03−0 ,040 ,04
x 100 %
=−25 %
% Inhibisi Radang (IR )=% Radang Obat−% Radang Kontrol% Radang Kontrol
x 100 %
=−25−33 , 333 , 3
x100 %
=−175 %
Menit 120 (Vt = 0,05)
% Radang=Vt−VoVo
x100 %
=0 ,05−0 ,040 ,04
x 100 %
=25 %
% Inhibisi Radang (IR )=% Radang Obat−% Radang Kontrol% Radang Kontrol
x 100 %
=25−66 , 6766 ,67
x 100 %
=−62,50 %
3. Tikus 3 (Vo = 0,04)
Menit 30 (Vt = 0,05)
% Radang=Vt−VoVo
x100 %
=0 ,05−0 ,040 ,04
x 100 %
=25 %
% Inhibisi Radang (IR )=% Radang Obat−% Radang Kontrol% Radang Kontrol
x 100 %
=25−33 , 333 , 3
x100 %
=−24 , 92 %
Menit 60 (Vt = 0,04)
% Radang=Vt−VoVo
x100 %
=0 ,04−0 ,040 ,04
x100 %
=0 %
% Inhibisi Radang (IR )=% Radang Obat−% Radang Kontrol% Radang Kontrol
x 100 %
=0−33 , 333 , 3
x100 %
=−100 %
Menit 90(Vt = 0,04)
% Radang=Vt−VoVo
x100 %
=0 ,04−0 ,040 ,04
x100 %
=0 %
% Inhibisi Radang (IR )=% Radang Obat−% Radang Kontrol% Radang Kontrol
x 100 %
=0−33 , 333 , 3
x100 %
=−100 %
Menit 120 (Vt = 0,05)
% Radang=Vt−VoVo
x100 %
=0 ,05−0 ,040 ,04
x 100 %
=25 %
% Inhibisi Radang (IR )=% Radang Obat−% Radang Kontrol% Radang Kontrol
x 100 %
=25−66 , 6766 ,67
x 100 %
=−62,50 %
4. Tikus 4 (Vo = 0,03)
Menit 30 (Vt = 0,04)
% Radang=Vt−VoVo
x100 %
=0 ,04−0 ,030 ,03
x 100 %
=33 , 3 %
% Inhibisi Radang (IR )=% Radang Obat−% Radang Kontrol% Radang Kontrol
x 100 %
=33 , 3−33 ,333 , 3
x 100 %
=0 %
Menit 60 (Vt = 0,05)
% Radang=Vt−VoVo
x100 %
=0 ,05−0 ,030 ,03
x100 %
=66 ,67 %
% Inhibisi Radang (IR )=% Radang Obat−% Radang Kontrol% Radang Kontrol
x 100 %
=66 ,67−33 , 333 , 3
x100 %
=100 %
Menit 90 (Vt = 0,05)
% Radang=Vt−VoVo
x100 %
=0 ,05−0 ,030 ,03
x100 %
=66 ,67 %
% Inhibisi Radang (IR )=% Radang Obat−% Radang Kontrol% Radang Kontrol
x 100 %
=66 ,67−33 , 333 , 3
x100 %
=100 %
Menit 120 (Vt = 0,04)
% Radang=Vt−VoVo
x100 %
=0 ,04−0 ,040 ,04
x100 %
=0 %
% Inhibisi Radang (IR )=% Radang Obat−% Radang Kontrol% Radang Kontrol
x 100 %
=0−66 , 6766 ,67
x 100 %
=−100 %
5. Tikus 5 (Vo = 0,03)
Menit 30 (Vt = 0,04)
% Radang=Vt−VoVo
x100 %
=0 ,04−0 ,030 ,03
x 100 %
=33 , 3 %
% Inhibisi Radang (IR )=% Radang Obat−% Radang Kontrol% Radang Kontrol
x 100 %
=33 , 3−33 ,333 , 3
x 100 %
=0 %
Menit 60 (Vt = 0,04)
% Radang=Vt−VoVo
x100 %
=0 ,04−0 ,030 ,03
x 100 %
=33 , 3 %
% Inhibisi Radang (IR )=% Radang Obat−% Radang Kontrol% Radang Kontrol
x 100 %
=33 , 3−33 ,333 , 3
x 100 %
=0 %
Menit 90 (Vt = 0,03)
% Radang=Vt−VoVo
x100 %
=0 ,03−0 ,030 ,03
x100 %
=0 %
% Inhibisi Radang (IR )=% Radang Obat−% Radang Kontrol% Radang Kontrol
x 100 %
=0−33 , 333 , 3
x100 %
=−100 %
Menit 120 (Vt = 0,03)
% Radang=Vt−VoVo
x100 %
=0 ,03−0 ,030 ,03
x100 %
=0 %
% Inhibisi Radang (IR )=% Radang Obat−% Radang Kontrol% Radang Kontrol
x 100 %
=0−66 , 6766 ,67
x 100 %
=−100 %
6.2. Data Percobaan\
Terlampir
6.3. Grafik
Terlampir
6.4. Pembahasan
Berdasarkan hasil percobaan dapat diamati bahwa tikus yang diperlakukan
sebagai kontrol mengalami pembengkakan (radang) pada kakinya yang disuntikkan
dengan karagenan. Radang yang ditandai dengan bertambahnya volume kaki tikus
setelah pemberian karagenan (udem). Karagenan merupakan suatu zat asing
(antigen) yang bila masuk kedalam tubuh akan merangsang pelepasan mediator
radang seperti histamin sehingga menimbulkan radang akibat antibodi tubuh bereaksi
terhadap antigen tersebut untuk melawan pengaruhnya.
Pemberian Na-Diklofenak sebagai anti inflamasi dapat menurunkan aktifitas
peradangan yang disebabkan karagenan tersebut. Hal ini dapat kita lihat pada tikus 2
dan 3. Pada tikus 2 diberikan karagenan secara intraplantar sehingga mengalami
peradangan yang ditandai dengan pembengkakan pada kaki tikus dilihat pada menit
ke-60, namun dengan pemberian Na-Dikofenat 2% dosis 15mg/kg BB secara oral
terlihat peradangan menurun pada menit ke-90. Pada tikus ke 3 dengan pemberian
Na Dikofenat 2% dosis 20mg/kg BB secara oral terlihat aktivitas peradangan pada
menit ke-30 dan menurun pada menit ke-60. Begitu pula tikus 4 dan 5 yang diberikan
deksametason 0,01 % berturut-turut dengan dosis 0,1 dan 0,3 mg/kg BB.
Bila dibandingkan antara tikus 2 dan 3 terlihat bahwa efek antiinflamasi Na-
diklofenak dosis 20 mg/kg BB lebih cepat daripada dosis 15 mg/kg BB. Sedangkan
perbandingan antara tikus 4 dan 5 terlihat bahwa efek antiinflamasi Deksametason
0,01% dengan dosis 0,3mg/kgBB lebih efektif daripada dosis 0,1mg/kgBB. Hal ini
tepat jika dikaitkan dengan semakin banyaknya jumlah zat aktif yang bekerja
menekan inflamasi.
Menurut P. Freddy Wilmana (1995), absorpsi Na diklofenak berlangsung
cepat dan lengkap. Obat ini terikat 99% pada protein plasma dan mengalami first-
pass effect sebesar 40-50%. Menurut Kartasasmita (2002), obat anti radang bukan
steroida atau yang lazim dinamakan non steroidal antiinflammatory drugs (NSAIDs)
adalah golongan obat yang terutama bekerja perifer, memiliki aktifitas menghambat
radang dengan mekanisme kerjanya menghambat biosintesis prostaglandin melalui
penghambatan aktivitas enzim siklooksigenase.
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
- Efek yang ditimbulkan akibat pemberian karagenan pada hewan percobaan
adalah terjadinya udem, yang terlihat dari bertambahnya volume kaki tikus
setelah diukur dengan plestimometer.
- Deksametason dan Na diklofenak memberikan efek antiinflamasi, mengurangi
udem pada kaki tikus akibat pemberian karagenan.
- Efek antiinflamasi deksametason 0,01% dengan dosis 0,3mg/kg BB lebih kuat
daripada dosis 0,1mg/kg BB ; efek antiinflamasi Na diklofenak 2% dengan
dosis 20 mg/kg BB lebih kuat daripada dosis 15 mg/kg BB
- Inflamasi terjadi karena reaksi antara antigen dengan antibodi yang dapat
merangsang pelepasan mediator radang sehingga terjadi vasodilatasi pembuluh
kapiler dan migrasi fagosit ke daerah radang, yang mengakibatkan hiperemia
dan udem pada daerah terjadinya inflamasi.
7.2. Saran
- Diharapkan agar praktikan teliti dalam pengamatan volume peradangan kaki
mencit dalam hal membaca skala yang tertera pada alat.
- Sebaiknya dibadingkan antara penggunaan obat antiinflamasi steroid dengan
obat antiinflamasi nonsteroid.
DAFTAR PUSTAKA
Dharma, Surya, (2005), “PENGARUH PEMAKAIAN INDOMETASIN DAN
RESERPIN TERHADAP PEMBENTUKAN TUKAK PADA LAMBUNG
DAN DUODENUM DENGAN PEMBERIAN SECARA ORAL DAN
INTRAMUSKULAR KEPADA TIKUS PUTIN WISTAR BETINA”,
Bandung: /Top / S2-Thesis / 1986 / jbptitbfa-gdl-s2-1986-suryadharm-17,
www.ganesha.go.id
Foegh, M.L., dan Ramwell, P.W., (2001), “EICOSANOID, PROSTAGLANDIN,
THROMBOXANE, LEUKOTRIENE, DAN SENYAWA BERKAITAN”,
dalam Katzung, B.G., (Editor), FARMAKOLOGI DASAR DAN KLINIK,
Buku I, Edisi Bahasa Indonesia, Jakarta: Penerbit Salemba Medika, halaman
547-548
Hamor, G.H., (1996), “ZAT ANTIRADANG NONSTEROID”, dalam Foye, W.O.,
(Editor), PRINSIP-PRINSIP KIMIA MEDISINAL, Jilid II, Edisi Kedua,
Jogjakarta: Gajah Mada University Press, halaman 1096-1097
Nogrady, T.,(1992), “KIMIA MEDISINAL PENDEKATAN SECARA
BIOKIMIA”, Terbitan Kedua, Bandung: Penerbit ITB, halaman 410-412
Sudiono, J., (2003), “ILMU PATOLOGI”, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC,
halaman, 81-81.
Tan, H., T., dan Rahardja, (2002), “OBAT-OBAT PENTING, KHASIAT,
PENGGUNAAN, DAN EFEK-EFEK SAMPINGNYA”, Cetakan Kedua,
Edisi Kelima, Jakarta: Penerbit PT. Elex Media Komputindo, halaman 308
Underwood, J.C.E., (1999), “PATOLOGI UMUM DAN SISTEMATIK”, Edisi
Kedua, Volume 1, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, halaman 232
Wilmana, P.F., (1995), “ANALGESIK-ANTIPIRETIK, ANTIINFLAMASI
NONSTEROID DAN OBAT PIRAI”, dalam Ganiswarna, S.G., (Editor),
FARMAKOLOGI DAN TERAPI, Edisi Keempat, Jakarta: Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, halaman 207-208
GAMBAR HEWAN / ALAT
Tikus Timbangan elektrik Beaker
Glass
Erlenmeyer Oral Sonde 2,5 ml Spuit/Alat Suntik
1 ml
Stopwatch
ZAT ANTI RADANG
http://www.lipi.go.id
Uji utama yang sering dipakai dalam menapis zat antiradang nonsteroid baru, mengukur
kemampuan suatu senyawa untuk mengurangi edema lokal pada cengkeraman tikus yang
disebabkan oleh suntikan zat pengiritasi karagenan, yaitu suatu mukop karagenan rumput
laut ini sangat besar peranannya terutama sebagai stabilisator (pengatur keseimbangan),
thickener (bahan pengental), gelling agent (pembentuk gel), pengemulsi, dan lain-lain. Sifat
ini banyak dimanfaatkan oleh industri makanan, obat-obatan, kosmetik, tekstil, cat, pasta
gigi dan industri lainnya. Karagenan adalah hasil ekstraksi dari rumput laut yang tergolong
Rhodophyceae dengan menggunakan air atau alkali. Karagenan tersusun dari perulangan
unit-unit galaktosa dan 3,6-anhidro-galaktosa (3,6-AG), keduanya baik yang berikatan
dengan sulfat maupun tidak, dihubungkan dengan ikatan glikosidik α-1,3 dan ß-1,4 secara
bergantian. Karagenan dapat dibagi dalam tiga fraksi, yaitu fraksi kappa-, iota-, dan lambda-
karagenan. Fraksi iota-karagenan banyak terdapat pada genus Eucheuma.Hasil perhitungan
Tim Rumput Laut BPPT, kebutuhan carrageenan di dalam negeri akan terus meningkat 13 –
15 pertahun. Kebutuhan ini akan meningkat pesat, bila industri pemakai CMC dan
xcanthangum di dalam negeri beralih memakai carrageenan. Permasalahan industri
carrageenan di Indonesia (yang baru pada tingkat semi refine carrageenan) antara lain adalah
: kurangnya bahan baku yang berkualitas dan harganya yang cenderung fluktuatif.
RADANG
www.wikipedia.com
Radang adalah rangkaian reaksi yang terjadi pada tempat jaringan yang
mengalami cedera, seperti karena terbakar, atau terinfeksi.
Bagian tubuh yang mengalami peradangan memiliki tanda-tanda sebagai berikut:
tumor atau membengkak
calor atau menghangat
dolor atau nyeri
rubor atau memerah
functio laesa atau daya pergerakan menurun
Keamanan Obat-obat Antinyeri dan Peradangan
Rematik
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0301/05/iptek/keam22.htm
OBAT anti-nyeri dan peradangan (obat anti-inflamasi nonsteroid: OAINS) merupakan
golongan obat yang paling banyak dipergunakan mengobati nyeri radang sendi maupun nyeri
oleh sebab lain. Umumnya dengan OAINS yang ada sekarang, rasa nyeri dapat segera
diatasi.
Namun, kenyataan menunjukkan, sebagian besar keluhan bersifat menahun sehingga
penderita memerlukan OAINS dalam jangka panjang. Karena banyak orang memakai
OAINS dalam waktu relatif lama, maka di samping kemanjurannya tingkat keamanan atau
timbulnya efek samping OAINS harus dipahami dengan baik. OAINS banyak dijual bebas
dan kebiasaan penderita yang ingin memperoleh hasil cepat dengan mencampur beberapa
OAINS atau menambah dosis di luar anjuran dokter. Pemakaian jamu juga dapat
menimbulkan masalah karena penambahan OAINS dan steroid pada beberapa jamu yang
beredar.
Efek samping OAINS mencakup gangguan di saluran cerna, fungsi jantung dan ginjal,
perdarahan, dan efek samping lain yang lebih ringan seperti gatal-gatal, pusing, dan
kembung.
Saluran cerna
Sebagian besar gejala efek samping OAINS pada saluran cerna adalah ringan seperti mual,
kembung, nyeri perut, mencret, nafsu makan turun, dan nyeri ulu hati. Akan tetapi, OAINS
memicu erosi pada permukaan lambung yang dapat berkembang menjadi luka lambung dan
menimbulkan banyak perdarahan (muntah darah). Penderita sering tak menunjukkan gejala
awal, sehingga terlambat masuk ke rumah sakit.
Diperkirakan total 10-20 persen penderita yang menggunakan OAINS secara teratur dalam
satu tahun, 2-4 persen akan menderita luka lambung dengan komplikasi perdarahan,
sumbatan atau kebocoran lambung. Diperkirakan lebih daripada 100.000 penderita masuk
rumah sakit dan 16.500 penderita meninggal karena efek samping OAINS setiap tahun di
Amerika Serikat saja.
fb9d98be8657d4
Timbulnya efek samping OAINS pada saluran cerna semakin meningkat pada penderita yang
sudah tua, berpenyakit rematik berat, gangguan jantung koroner dan lambung sebelumnya,
merokok, memakai obat antikoagulan dan kortikosteroid, dan penyakit lain yang berat.
Ginjal dan jantung
OAINS ternyata menghambat pembentukan prostaglandin (PG) di ginjal. PG berperan
penting pada fungsi ginjal yang normal dengan mengatur tonus pembuluh darah dan filtrasi
di ginjal. Dengan menghambat sintesis PG di ginjal, OAINS dapat mempengaruhi fungsi
ginjal dan menimbulkan efek samping. Namun, kejadiannya lebih jarang dibanding dampak
ke lambung.
Timbulnya bengkak kaki atau tertahannya cairan dalam tubuh karena gangguan fungsi ginjal
pada orang sehat mungkin tak menjadi masalah. Namun, pada penderita jantung, khususnya
payah jantung kongestif, dapat menjadikan penderita lebih sesak dan memerlukan perawatan
di rumah sakit. Jadi, penderita jantung dan gangguan fungsi ginjal sebaiknya tak
menggunakan OAINS.
Mekanisme dampak
Banyak faktor yang terkait dengan timbulnya nyeri dan peradangan sendi pada penyakit
rematik, namun yang terutama ialah peningkatan sintesis PG oleh sel radang di sendi yang
dipengaruhi oleh cyclooxygenase (COX).
OAINS bekerja menghambat enzim tersebut sehingga sintesis PG di tempat yang meradang
berkurang, selanjutnya menghilangkan nyeri dan tanda peradangan. Namun, OAINS ternyata
tak hanya menghambat COX dan sintesis PG di tempat peradangan melainkan juga di tempat
lain.
Dalam keadaan normal, sintesis PG (melalui jalur COX) tetap ada dan bahkan diperlukan
untuk fungsi normal organ-organ seperti lambung dan ginjal. PG di lambung berfungsi
menjaga keutuhan permukaan lambung terhadap berbagai rangsangan yang dapat
mencetuskan luka seperti asam lambung, enzim, dan berbagai bahan yang lain.
Jika sintesis PG di lambung ditekan, maka mekanisme proteksi oleh PG (kontrol sekresi
asam lambung, sintesis bikarbonat dan aliran darah mukosa lambung) akan terganggu dan
memudahkan terjadinya erosi dan luka lambung.
PG di ginjal juga berperan penting menjaga fungsi ginjal yang normal, sedangkan sintesis
tromboxan oleh COX di trombosit berperan dalam fungsi sel tersebut untuk pembentukan
gumpalan darah untuk menghentikan perdarahan di tubuh. Adanya peran ganda PG (pada
keadaan sakit dan normal) dapat menjelaskan mengapa OAINS dapat menghilangkan nyeri
dan tanda-tanda peradangan sendi sekaligus menimbulkan efek samping pada saluran cerna,
ginjal, dan trombosit (kecenderungan perdarahan).
Sejak 1980 diketahui bahwa COX yang mencetuskan sintesis PG di tempat peradangan dan
sintesis PG di organ-organ dalam keadaan normal (fisiologis) adalah berbeda, meskipun 60
persen struktur susunan asam aminonya sama. Enzim yang berperan pada sintesis PG di
organ (misalnya lambung) yang berkait dengan fungsi normal disebut COX-1, sedangkan
enzim yang bertanggung jawab pada peningkatan sintesis PG di tempat peradangan disebut
COX-2.
Mengurangi efek samping
Dengan diperolehnya pengetahuan tentang peran hambatan COX-2 sebagai mekanisme kerja
OAINS dalam menekan rasa nyeri dan peradangan sendi serta peran hambatan COX-1 pada
mekanisme timbulnya efek samping saluran cerna, maka manusia berupaya membuat obat
rematik yang hanya menghambat COX-2 tanpa menghambat COX-1.
Sasarannya adalah menghasilkan obat rematik yang efektif seperti OAINS yang
konvensional tetapi dengan tingkat keamanan yang lebih baik (efek samping saluran cerna
yang lebih sedikit). Hasil penelitian pada hewan coba menunjukkan bahwa penghambat
COX-1 tidak menekan sintesis PG di tempat peradangan dan tidak mengurangi tanda-tanda
peradangan atau nyeri pada binatang coba.
Penghambat COX-2 ternyata menekan produksi PG di tempat peradangan disertai
berkurangnya tanda-tanda peradangan dan nyeri. Di samping itu pemberian penghambat
COX-2 tidak menekan produksi PG di lambung. Dengan demikian disimpulkan bahwa
penghambat COX-2 spesifik akan menghasilkan efek antiperadangan dan antinyeri seperti
OAINS pada umumnya