lupus eritematous discoid
DESCRIPTION
Lupus Eritematous DiscoidTRANSCRIPT
LUPUS ERITEMATOSUS DISKOID
PENDAHULUAN
Lupus Eritematosus Diskoid (LED) adalah bentuk lupus eritematosus non-sistemik
yang paling sering ditemui. Lesi awal dapat nampak sebagai makula atau papul berukuran 1-2
cm dengan warna merah keunguan atau plakat kecil yang permukaannya menjadi
hiperkeratotik dalam waktu singkat. Lesi umumnya berubah menjadi plakat eritem berbentuk
koin (diskoid) berbatas tegas yang ditutupi sisik yang meluas hingga ke bukaan dari folikel
rambut yang telah melebar. Jika sisik tersebut dikupas, lapisan bawah akan tampak seperti
karpet yang ditusuk dengan beberapa paku sehingga disebut sebagai penampakan paku
karpet.[1,2]
LED bersama-sama dengan varian Lupus Eritematosus Kutaneus lainnya serta Lupus
Eritematosus Sistemik (LES) yang manifestasinya lebih berat hingga dapat mengancam jiwa
adalah bagian dari lupus eritematosus (LE) yang disatukan dan dihubungkan oleh temuan
klinis dan pola autoimunitas sel B poliklonal yang khas.[1]
Hubungan LED dengan varian lupus eritematosus kutaneus lainnya diterangkan oleh
tabel klasifikasi Dusseldorf 2003 yang merupakan modifikasi dari klasifikasi Gilliam yang
pertama kali dibuat pada tahun 1977. Lupus Eritematosus Diskoid merupakan bagian dari
Lupus Eritematosus Kutaneus Kronik (LEKK).[3]
Prognosis penderita LED umumnya baik. Hanya sekitar 1-5% saja kasus LED yang
akan berkembang menjadi LES. Kasus kambuh jarang, sekitar <10%. Tingkat mortalitas pada
penyakit ini rendah, tetapi nyeri pada lesi dapat berkelanjutan. Jaringan parut dan atrofi kulit
yang terbentuk biasanya permanen.[2,3]
EPIDEMIOLOGI
Kasus LED adalah 50-85% dari keseluruhan kasus lupus eritematosus kutaneus. LED
dapat timbul di berbagai umur tetapi terutama pada umur 20-45 tahun, dengan rata-rata umur
38 tahun. LED tidak biasa ditemukan pada anak, sehingga tidak ada data khusus mengenai
prevalensi kejadian LED. [2,4] Namun, jika dianamnesis dengan baik, LED pada anak
merupakan manifestasi klinis dari penyakit sistemik. [5]. Secara umum, LE pada neonatus
terjadi 1 dari 20.000 kelahiran bayi per tahun. [6]
Meskipun tidak ada observasi lebih lanjut mengenai predileksi LE pada ras, LE pada
anak lebih umum terjadi pada anak yang berkulit hitam, Amerika Latin, dan Asia (rasio 3:1
1
berbanding dengan anak kulit putih). Perbandingan LE kutaneus pada anak perempuan dan
laki-laki adalah 3:1. Pada masa pra-pubertas, dilaporkan bahwa perbandingan penderita LE
kutaneus adalah antara 1:1 dan 3:1, sedangkan rasio untuk setelah pubertas (dewasa) adalah
sekitar 8:1 dan 10:1. [6] LED juga berkisar antara 15-30% dari populasi kasus LES. 5 % dari
kasus LED dapat mengarah ke LES. [2,4]
ETIOLOGI
Penyebab pasti dari LED tidak diketahui secara pasti. Adapun faktor resiko dari
kejadian LED adalah faktor genetik dan faktor lingkungan (paparan sinar matahari dan obat-
obatan) yang memicu suatu respon autoimunitas. Lupus mengakibatkan perubahan pada
regulasi sistem kekebalan sehingga tubuh menjadi sensitif terhadap jaringan selnya sendiri. [7]
Gambar 1. Bagan Faktor Resiko dan Kaitannya dengan Patogenesis Lupus Eritematosus [7]
Adanya riwayat keluarga dengan penyakit jaringan konektif apapun, merupakan
faktor resiko kuat untuk timbulnya LED. [8] Asumsi autoimunitas ini pertamakali ditemukan
dikemukakan dengan adanya gen major histocompatibility complex (MHC), khususnya alel
human lymphocyte antigen (HLA). Dilaporkan bahwa penderita LED mengalami peningkatan
bermakna dari de43HLA-B7,-B8,DR2, dan -DQA0102 serta penurunan HLA-A2 dengan
kombinasi dari HLA-DR3,HLA DQA 0102 dan HLA-B7 menyebabkan resiko relatif LED
yang paling maksimal. Frekuensi LED juga meningkat pada karier penyakit granulomatosa
2
Respon Kekebalan Abnormal
Kekurangan sel pengatur yang mengendalikan
autoreaktivitas
Autoantibody Immune complex
Perkembangan Penyakit, Penyebaran Epitope
Sel T-Pembantu Sel B
Sel-sel rusak memberi sinyal,merusak daya tahan, apoptosis
Kerusakan jaringan
Gen-gen rentan Faktor-faktor lingkungan, obat-obatan, zat-zat infektan
kronik terpaut kromosom X yang berjenis kelamin wanita. Defisiensi genetik komplemen
seperti C2,C3,C4 dan C5 serta inhibitor esterase C1 juga dihubungkan dengan LED dan
LECS [1,9]
Ada bukti bahwa TNF merupakan faktor predisposisi untuk lupus, dalam hal ini gen
TNF-α (-308A). Parameter gen TNF-α-308A ini akan meningkat jika terkena paparan sinar
matahari (UVB). [8] Pada sel keratinosit yang dipajani sinar ultraviolet, antigen yang
seharusnya ada dalam inti dan sitoplasma sel akan keluar ke membran keratinosit sehingga
dapat diikat oleh antibody seperti anti-SSA, anti-SSB atau anti-RNP. Hal ini dapat mengawali
keseluruhan proses imunologis yang mendasari terbentuknya lesi pada LED.[9] Selain paparan
sinar matahari, faktor resiko lain adalah perokok. Suatu penelitian berbasis case-control
melaporkan bahwa perokok jauh lebih beresiko menderita LE daripada orang yang tidak
merokok dan bahwa kemungkinan hal ini disebabkan oleh suatu zat yang disebut amina
aromatik lupogenik yang ada dalam asap tembakau.[1]
Sejenis struktur tubuler berukuran diameter ± 20 nm dan sangat mirip dengan
paramiksovirus ditemukan pada sel endotel pembuluh darah, histiosit perivaskuler, atau
fibroblast dari lesi LED. Struktur tersebut akan berkurang jumlah dan ukurannya setelah
penggunaan klorokuin. Jika struktur tersebut adalah virus, kemungkinan struktur tersebut
dapat berperan sebagai presipitator LED. Penemuan antibodi RNA reovirus pada 42% pasien
juga menguatkan dugaan adanya peranan virus dalam perjalanan penyakit LED [10]
PATOGENESIS
Penyebab dan mekanisme pathogenesis yang mengakibatkan LE masih belum
diketahui sepenuhnya. Patogenesis LED tidak dapat dipisahkan dari pathogenesis LES.
Patogenesis tersebut dapat dijelaskan dengan sebuah bagan yang menjelaskan empat tahapan
teoritis yang berurutan yang terjadi sebelum adanya penampakan klinis dari penyakit ini.
Tahapan-tahapan tersebut adalah pewarisan gen yang menyebabkan penderita lebih mudah
terkena penyakit, induksi autoimunitas, perluasan proses autoimun dan jejas imunologis:[1]
3
Pewarisan Gen/ Mutasi SomatikHLA dan Lainnya
Gambar 2: Patomekanisme Lupus Eritematosus [8]
Tahap pertama adalah pewarisan gen yang dianggap sebagai predisposisi LE.
Setidaknya ada empat gen dalam hal ini. Hubungan penyakit kulit spesifik LE dengan MHC
kelas II DR sudah banyak diketahui. Selain itu, gen lain juga dianggap berperan dalam
pathogenesis LES, seperti gen yang mengkodekan komplemen dan tumor necroting factor
(TNF), gen yang memediasi apoptosis serta gen yang melibatkan proses komunikasi antar-sel
serta gen yang berperan dalam pembersihan kompleks imun. [1]
Tahap kedua dari pathogenesis LES adalah fase induksi yaitu permulaan proses
autoimunitas yang ditandai dengan kemunculan sel T autoreaktif yang telah kehilangan
toleransi terhadap komponen tubuh. Mekanisme yang melandasi autoreaktifitas tersebut
antatara lain: [1,3]
1. Regenerasi klonal. karena sel limfosit terus menerus diproduksi dari sel stem, jika
dosis tolerogenik antigen tidak dipertahankan, sistem imun akan menggantikan
sel-sel tua yang toleran tetapi mulai menua dengan sel-sel muda yang tidak toleran
2. Imunisasi-silang. Pajanan antigen yang bereaksi silang dengan tolerogen dapat
memicu aktivasi sel limfosit T helper (Th) spesifik untuk antigen yang bereaki
silang dan juga menyediakan sinyal yang dibutuhkan limfosit autoreaktif untuk
menimbulkan efek pada tolerogen.
3. Stimulasi klon anergi Anergi adalah suatu proses yang menghilangkan
kemampuan imunologis klon autoreaktif yang berhasil lolos dari delesi klonal
sehingga klon-klon tersebut tidak dapat merespon rangsangan oleh antigen.
Diperkirakan bahwa suatu stimulasi sel limfosit T tertentu dapat menghilangkan
anergi dan mengawali proses autoreaktifas
Selain pembentukan klon autoimun, pada tahap kedua dari patomekanisme LE juga
dijelaskan antigen yang berperan dalam autoimunitas. Seperti dibahas sebelumnya, antigen
LE kebanyakan adalah antigen yang terdapat di dalam inti dan sitoplasma dari sel keratinosit
4
Sinar UV dan Lainnya Pembentukan AutoantibodiHilangnya toleransi terhadap komponen tubuh
Perluasan Proses AutoimunEkspansi Sel T
Pembentukan kompleks imunJejas immunologis
yang terbebaskan ke membran sel akibat mekanisme tertentu. Uji laboratorium telah
membuktikan bahwa antigen tersebut dapat keluar akibat pajanan sinar ultraviolet. Selain itu,
faktor lain yang dapat memicu lesi LED dan kemungkinan berhubungan dengan pembebasan
antigen dari inti dan sitoplasma keratinosit adalah trauma, infeksi, pajanan dingin, sinar-X
hingga bahan kimia.[9,10]
Setelah klon autoimun terbentuk, terjadi suatu mekanisme yang memperbanyak dan
memperluas klon yang bermasalah ini. Tahap ketiga atau tahap ekspansi nampaknya
melibatkan peningkatan respon autoimun yang dipicu antigen secara progresif. Pada tahap
ini, autoantibody dihasilkan oleh sel-sel B yang berlipat ganda. Walaupun sangat banyak,
autoantibody LE hanya ditujukan pada beberapa antigen inti dan sitoplasma. Ada tiga target
utama: nukleosom (anti-DNA dan antibodi antihiston), spliceosome (anti-Sm dan anti-RNP)
molekul Ro dan La (anti-Ro dan anti-La).[1]
Tahapan terakhir yang adalah tahapan yang mungkin paling penting secara klinis dan
menandai awal dari penyakit klinis adalah jejas imunologis. tahapan ini sebagian besar
diakibatkan oleh kerja dari autoantibodi dan kompleks imun yang terbentuk yang
menyebabkan jejas jaringan baik itu dengan kematian sel secara langsung, aktivasi seluler,
opsonisasi maupun karena terhambatnya fungsi molekul target. [1]
GEJALA KLINIS
Lesi bentuk koin (diskoid) adalah manifestasi lupus kutaneus yang paling umum
ditemui. Lesi diskoid paling sering ditemukan di wajah, kulit kepala dan telinga, tetapi
persebarannya juga bisa lebih luas dan berlokalisasi simetrik. Walaupun begitu, lesi di bawah
leher sangat jarang ditemukan jika tidak ada lesi di atas leher. Lesi terdiri atas bercak-bercak
(makula merah atau bercak meninggi), berbatas jelas, dengan sumbatan keratin pada folikel-
folikel rambut (follicular plugs). Bila lesi-lesi diatas rambut dan pipi berkonfluensi, dapat
membentuk seperti kupu-kupu (butterfly erythema). [11, 12]
Penyakit dapat meninggalkan sikatriks atrofi, kadang-kadng hipertrofik, bahkan
distorsi telinga atau hidung. Hdung dapat berbentuk seperti paruh kakatua. Bagian badan
yang tidak tertutup pakaian, yang terkena sinar matahari lebih cepat beresidif daripada
bagian-bagian lain. Lesi-lesi dapat terjadi di mukosa, yakni di mukosa oral dan vulva atau di
konjungtiva. Klinis nampak deskuamasi, kadang-kadang ulserasi dan sikatrisasi. [12]
Varian klinis LED ialah : [12]
1. Lupus eritematosus tumidus
5
Bercak-bercak eritematosa coklat yang meninggi, terlihat di muka, lutut, dan
tumit. Gambaran klinis dapat menyerupai erysipelas dan selulitis.
2. Lupus eritematosus profunda
Nodus-nodus terletak dalam, tampak pada dahi, leher, bokong, dan lengan atas.
Kulit diatas nodus eritematosa, atrofik, atau berulserasi
3. Lupus hipotrofikus
Penyakit sering terlihat di bibir bawah dari mulut, teridir atas plak yang
berindurasi dengansentrum yang atrofik.
4. Lupus pernio (chilblain lupus, Hutchinson)
Penyakit terdiri atas bercak-bercak eritematosa yang berinfiltrasi di daerah-daerah
yang tidak tertutp pakaian, memburuk pada hawa dingin.
Lesi primer LED adalah makula atau papul eritem asimetris tanpa gejala subjektif
dengan sisik ringan hingga sedang. biasanya berukuran 1-2 cm. Seiring dengan perjalanan
penyakit, sisik dapat menebal dan melengket, disertai hipopigmentasi di daerah inaktif
(tengah) dan hiperpigmentasi di batas aktif. Jika mengenai daerah berambut seperti kulit
kepala dan janggut, skar dengan alopesia permanen dapat terjadi. Lesi LED seringkali
tersebar mengikuti pajanan sinar matahari tetapi daerah yang tidak terpajan tetap dapat
terkena lesi.[2,4,13]
Setelah beberapa lama, lesi LED akan berubah menjadi pakat eritem berbatas tegas
yang titutupi oleh sisik yang meluas hingga ke folikel rambut. Jika sisik yang melekat
dilepaskan, jarum-jarum keratotik yang mirip dengan paku karpet dapat terlihat di bagian
bawah sisik (tanda paku karpet). Lesi meluas dengan eritem dan hiperpigmentasi di pinggir
dengan skar atrofi, telangiektasis dan hipopigmentasi di tengah. [14]
LED dapat dibedakan menjadi LED lokalisata yang mengenai wajah dan leher serta
LED generalisata yang mengenasi bagian atas dan bawah dari leher. Lesi LED di bawah
leher. [13,14]
6
Gambar 3: LED di wajah pasien[13]
Gambar 4: Skar dengan alopesia akibatLED[13]
Biasanya LED tidak menimbulkan gejala objektif pada pasien selain
ketidaknyamanan kosmetik akibat lesi dan skar. Kadang-kadang daerah yang terpengaruh
terasa gatal dan jika mengenai jari, terasa lembut dan nyeri tekan. LED juga tidak
mempengaruhi status kesehatan pasien secara umum. [15]
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. PEMERIKSAN HISTOPATOLOGIS [3]
Secara histologis, epidermis dan dermis penderita LED yang mengalami perubahan
sedangkan jaringan subkutannya tidak. Penampakan mikroskopis yang khas untuk LED
adalah hiperkeratosis dengan sumbatan folikel, penipisan dan pendataran epitel serta
degenerasi hidrofik lamina basalis.Selain itu, terdapat keratinosit apoptotik yang tersebar
(badan Civatte) pada lamina basalis. Pada lesi yang sudah lama, penebalan membrana basalis
terlihat jelas pada pewarnaan acid-Schiff. Pada jaringan dermis terdapat infiltrat limfositik
berbentuk perca atau likenoid disertai pengangkatan folikel pilosebaseus. Juga terdapat
penimbunan musin pada ruang interstisial dan udem, dan biasanya tidak dijumpai eosinofil
maupun neutrofil.
7
Gambar 5: Degenerasi hidrofik lamina basalis pada LED[3]
2. LUPUS BAND TEST (LBT) [1]
Imunoglobulin (IgA,IgG, IgM) dan komponen komplemen (C3,C4,Clz,properdin,
faktor B dan membrane attack complex C5b-C9) akan tertimbun menjadi susunan
menyerupai pita linear atau granuler pada taut dermo-epidermal dari kulit pasien LE sehingga
dapat diamati dengan uji direct immunofluorescence yang disebut Lupus Band Test (LBT).
Penelitian awal menyebutkan bahwa 90% lesi LED imunoreaktan sehingga positif
LBT tetapi penelitian terbaru menunjukkan angka yang lebih rendah. Lesi di kepala, leher
dan lengan lebih sering positif (80%) dari lesi di badan (20%). LBT nampaknya lebih sering
positif pada lesi yang lebih tua (>3 bulan).
Gambar 6. Pemeriksaan direct immunofluorescence pada biopsy kulit lesi LED.[1]
2. Tes lainnya
8
Berikut adalah tabel yang menampilkan ringkasan hasil laboratorium untuk LED dengan perbandingan dengan LEKA dan LEKS :
Ciri penyakit LED LEKA LEKSANA + +++ ++Antibodi RO/SSA -dg imunodifusi - dg ELISA
0+
+++
++++++
Antibodi DNA antinatif +++ + 0Hipokomplementemia +++ + +
LEKA, lupus eritematosus kutaneus akut; LEKS, lupus eritematosus kutaneus subakut; ANA,antibodi antinuclear; ELISA, enzyme linked immunosorbent assay+++,sangat berhubungan; ++, agak berhubungan; +,berhubungan lemah; 0,negatif, tidak berhubungan
Tabel 2: Ringkasan hasil laboratorium LED dengan perbandingan LEKA dan LEKS. (dari Cutaneus Lupus Erythematosus). [3]
Kriteria Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) oleh A.R.A (the American Rheumatism Association) : [12]
1. Eritema fasial (butterfly rash)2. Lesi diskoid, sikatrik hipotrofik3. Fotosensitivitas4. Ulserasi di mulut dan nasofaring5. Artritis (non erosif, mengenai 2 atau lebih sendi perifer)6. Serositis (pleuritis, perikarditis)7. Kelainan ginjal (proteinuria > 0.5g/sehari, cellular casts)8. Kelainan neurologic (kelelahan, psikosis)9. Kelaianan darah, yakni anemia hemolitik, leukopenia (<4000/ul) limfopenia atau
trombositopenia (<100.000/uL)10. Gangguan immunologic {[sel L.E., anti DNA, anti –Sm, (antibody terhadap antigen
anti otot polos) atau positif semu tes serologik untuk sifilis]}11. Antibodi antinuklear
Diagnosis LES ditegakkan jika paling sedikit ditemukan 4 diantara 11 manifestasi diatas. Manifestasi klinis LED dan LES hampir sama, namun penegakan diagnosis Lupus Eritematosus Diskoid (LED) tidak mutlak ditentukan menurut A.R.A (the American Rheumatism Association), seperti pada LES. Berikut perbedaan antara LED dan LES : [12]
L.E.D (Lupus eritematosus diskoid) L.E.S (Lupus eritematosus sistemik)- Insidens pada wanita lebih banyak - Wanita jauh lebih banyak daripada pria,
9
daripada pria, usia biasanya lebih dari 30 tahun
- Kira-kira 5% berasosiasi dengan atau menjadi LES
- Lesi mukosa oral dan lingual jarang
- Gejala konstitusional jarang
- Kelainan laboratorik dan imunologik jarang
umumnya terbanyak sebelum usia 40 tahun (antara 20-30 tahun)
- Kira-kira 5% mempunyai lesi-lesi kulit LED
- Lesi mukosa lebih sering terutama pada LES akut
- Gejala konstitusional sering
- Kelainan laboratorik dan imunologik sering
DIAGNOSIS
Diagnosa dapat ditegakkan berdasarkan gabungan antara anamnesis, pemeriksaan
fisis serta pemeriksaan penunjang.
Anamnesis:
Pasien mungkin mengeluh gatal ringan atau nyeri sesekali dalam lesi, tetapi
kebanyakan pasien tanpa gejala. Sekitar 5% atau kurang pasien LED telah terlibat dalam
kelainan sistemik. Arthralgia atau arthritis mungkin terjadi. Jadi, anamnesis harus difokus
pada riwayat penyakit dan gejala LE yang berkaitan seperti fotosensitivitas, arthralgia atau
arthritis, alopesia areata serta fenomena Raynaud, aborsi spontan pneumonia, karditis serta
gangguan neurologis. Untuk mendukung diagnosis klinis, pemeriksaan histologis serta
imunohistokimia lesi kulit akan dilakukan.[13,16]
Pemeriksaan fisis (gejala klinis):
Lesi primer LED adalah papul eritematosa atau plak dengan gambaran sisik (lihat
gambar di bawah). Semakin lama lesi semakin aktif, sisik semakin menebal dan terjadi
perubahan pigmentasi dengan hipopigmentasi di daerah pusat lesi dan pada daerah perbatasan
tidak aktif dan hiperpigmentasi. [13,17]
Gambar 7: Bekas luka kronis lesi LED[13]
10
Lesi menyebar sentrifugal dan dapat bergabung. Dengan bertambahnya usia lesi,
pelebaran bukaan folikular terjadi dengan plug keratinous, disebut folikel patulous (lihat
gambar di bawah). Resolusi lesi aktif mengakibatkan atrofi dan terjadinya jaringan parut.[13]
Gambar 8: Lesi LED dalam konka menunjukkan folikel dengan sumbatan [13]
Lesi awal mungkin sulit untuk dibedakan dengan lesi LEKS. Lesi LED seringkali
tersebar menurut pajanan sinar matahari tetapi daerah yang tidak terkena sinar matahari dapat
pula terkena. Kulit kepala seringkali terkena sehingga menghasilkan alopesia .[13]
Gambar 9: Jaringan parut meluas dengan alopesia[13]
Pasien dengan LED sering dibagi menjadi 2 kelompok: lokal dan generalisata. LED
lokal terjadi ketika hanya pada kepala dan leher, sedangkan LED generalisata terjadi ketika
daerah lain [13]
11
Gambar 10: lesi LE kronik pada tubuh pasien [13]
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis Banding dari LED antara lain:
Dermatitis seboroik
Kelainan kulit terdiri atas eritema dan skuama yang berminyak dan akak kekuningan,
batasnya agak kurang tegas. Tempat predileksi pada daerah yang banyak kelenjat sebasea
seperti kepala, belakang telinga, supraorbital yaitu pada alis, dahi, glabela, lipatan nasolabial,
areola mame, umbilicus, lipat paha, dan daerah anogenital.(1,12)
Gambar 11 : Dermatitis seboroik berupa eritema dan skuama berminyak pada lipatan nasolabial.(1)
Melasma
Melasma adalah hipermelanosis didapat yang umumnya simetris berupa macula yang
tidak merata berwarna cokla muda sampai coklat tua, mengenai area yang terpajan sinar ultra
violet dengan tempat predileksi pada pipi, dahi, daerah atas bibir, hidung, dan dagu. (1,12)
12
Gambar 12 : Gambaran makula berupa hiperpigmentasi pada daerah pipi, hidung dan atas bibir.(1)
Acne Rosacea
Merupakan peradangan kronik di daerah muka dengan gejala eritema, pustule,
telangiektasi dan kadang-kadang disertai hipertrofi kelenjar sebasea. Tidak terdapat komedo
kecuali bila dikombinasi dengan akne. (1,12)
Gambar 13 : Acne rosacea dengan gambaran eritema pada seluruh muka.(1)
Keratosis Aktinik
Gambaran klinis berupa bercak-bercak merah dan berskuama, yang secara khas
bertambah besar dan menyusut bersama dengan waktu, dapat timbul ratusan lesi pada orang-
orang yang sering terpapar sinar matahari. [19]
13
Gambar 14: Aktinik keratosis hipertrofik pada dorsum manus pasien[1]
Psoriasis
Gambaran utama psoriasis adalah, epidermis menajdi sangat menebal (akantosis).
Tidak terdapat stratum granulosum. Retensi nukleus pada stratum korneum (parakeratosis).
Akumulasi polimorf pada stratum korneum (mikroabses). Pelebaran pembuluh darah kapiler
pada dermis bahagian atas.[19]
Gambar 15: Psoriasis vulgaris yang meluas dari kulit kepala ke leher[1]
Liken Planus
Liken planus merupakan kelainan yang agak bervariasi bentuknya. Bentuk yang
paling sering adalah adanya erupsi akut pada papula yang gatal. Gambaran klinis: lesi-lesi
kulitnya berpermukaan rata, mengkilat, dan poliglonal. Gambaran permukaannya tampak
seperti anyaman halus dari bintik-bintik dan garis-garis, disebut sebagai “Wickham’s striae”
[19]
14
Gambar 16: plakat berpuncak rata dengan Wickham’s striae pada ekstremitas penderita[1]
Lupus Ertitematosus Kutaneus Subakut
Terdapat lesi-lesi papuloskuamosa atau anular tanpa pembentukan jaringan parut,
terutama pada tempat-tempat yang terpapar sinar matahari. Mugkin juga didapatkan gejala
sistemik, walaupun biasanya ringan. [19]
Gambar 17: LEKS dengan lesi anular dengan pusat hipopigmentasi tanpa atrofi kulit pada punggung dan lengan
15
PENATALAKSANAAN
A. PENCEGAHAN
Adapun tujuan dari terapi LED adalah untuk meningkatkan kualitas hidup pasien,
mengontrol lesi yang telah ada, mengurangi bekas lesi, dan untuk mencegah perkembangan
lesi lebih lanjut. [1]
Karena lesi kulit lupus diketahui disebabkan atau diperburuk oleh paparan sinar
ultraviolet cahaya, pendekatan logis dalam pengelolaan diskoid lupus harus mencakup
menghindari matahari dan liberal aplikasi tabir surya. Pengobatan dimulai dengan
menghindari faktor pencetus misalnya panas, obat-obatan dan tentunya sinar matahari dan
semua sumber yang menyebabkan paparan radiasi sinar UV. Adapun cara yang digunakan
untuk melindungi kulit adalah memakai pakaian yang tertutup, topi yang lebar. Selain itu
pasien disarankan untuk menghindari penggunaan obat obatan fotosensitif seperti
Hidroclorothiazid, tetrasklin, griseofulvin, dan piroxicam. Pasien juga disarankan untuk
melakukan follow-up setelah perawatan untuk memastikan ada atau tidak komplikasi.[1]
B. PENGOBATAN TOPIKAL
1. Proteksi sinar matahari dengan menggunakan tabir surya spektrum luas-kedap air
[SPF ≥ 15 dengan agen penghambat UVA seperti parsol dan mikronized titanium
dioksida. [1]
2. Glukokortikoid lokal. Walaupun penggunaan potensi medium dari preparat ini
seperti triamsinolon asetonid 0,1% pada area sensitif wajah, obat topikal superpoten
kelas satu seperti klobetasol propinoat atau betametason diproprionat memberikan
hasil yang memuaskan pada kulit. Penggunan 2 kali sehari selama 2 minggu diikuti
dengan 2 minggu periode istirahat dapat meminimalkan komplikasi seperti atropi dan
telengiektasis. Salep lebih efektif daripada krim pada lesi hiperkeratosis. [1]
3. Glukokortikoid intralesi. Penggunaan glukokortikoid intralesi seperti suspensi
triamsinolon asetonid 2,5 sampai 5 mg/ml pada wajah dengan konsentrasi tinggi
dibolehkan pada kulit yang kurang sensitif. Hal ini diindikasikan pada lesi
hiperkeratosis atau pada lesi yang tidak merespon pada penggunaan kortikosteroid
lokal, namun perlu berhati-hati menggunakan pengobatan ini pada pasien dengan
jumlah lesi cukup banyak. [1]
C. PENGOBATAN SISTEMIK
16
Terapi dengan antimalaria adalah terapi yang baik digunakan secara tunggal atau
dalam kombinasi. Tiga preparat umum Yang biasa digunakan termasuk klorokuin,
hidroklorokuin, dan mepacrine. Sebaiknya hidroklorokuin dimulai dengan dosis 200 mg per
hari untuk dewasa dan, jika tidak ada efek samping gastrointestinal atau lainnya, dosis
ditingkatkan dua kali sehari tetapi tidak diberikan lebih dari 6,5 mg/ kg/ hari. Penting
ditekankan kepada pasien bahwa dibutuhkan waktu 4-8 minggu untuk memperoleh perbaikan
klinis. Pada beberapa pasien yang tidak mempan dengan hidroklorokuin, klorokuin mungkin
lebih efektif. Beberapa pasien tidak merespon baik monoterapi hydroxychloroquine atau
klorokuin sehingga dianjurkan penampahan mepacrine ke dalam regimen pengobatan. [20]
Thalomide [50 – 300mg/hari] sangat efektif pada LED yang refrakter terhadap
pengobatan lainnya. Beberapa studi melaporkan keberhasilan antara 85-100%, dengan
banyak laporan pasien yang dinyatakan sembuh sempurna. Adapun efek sampingnya ialah
efek teratogenik, sehingga sebaiknya tidak digunakan pada wanita hamil. Selain itu neuropati
sensorik dapat terjadi pada sekitar 25% dari padien yang mengkonsumsi obat ini.[1]
Obat lain yang dapat digunakan yaitu preparat emas [auranofin, mycochrysine] dan
clofazimin (lampren) walaupun hasilnya bervariasi pada tiap kasus. [1]
Glukokortikoid sistemik sebaiknya tidak digunakan pada kasus dengan lesi yang
sedikit, namun pada beberapa kasus khususnya pada kasus berat dan simtomatik
metilprednisolon intravena dapat digunakan. Imunosupresif lain seperti azatioprin [imuran]
1,5 -2 mg/kg/hari oral dapat bertindak sebagai glukokortikoid-sparing pada kasus lupus
eritematosus kutaneus berat. Mikofenolat mofetil [25-45 mg/kg/hari oral] maerupakan analog
purin yang serupa dengan azatioprin. Metotreksat [7,5-25mg/kg oral sekali seminggu] efektif
untuk kasus berat yang refrakter. [1]
D. TERAPI BEDAH DAN KOSMETIK
LED dapat menimbulkan alopesia permanen, atropi kulit, dan perubahan pigmen.
Intervensi bedah seperti transplantasi rambut dan dermabrasi beresiko karena LED dapat
dipicu oleh trauma. Pemulihan dari skar atropi dengan Erbium : YAG atau laser karbon
dioksida dilaporkan bermanfaat. Injeksi lesi atropi menggunakan kolagen atau sejenisnya
sebaiknya dihindari. [1]
KOMPLIKASI
17
Resiko perkembangan penyakit menjadi LES meningkat jika lesi menyebar dan
terdapat abnormalitas hasil pemeriksaan darah dan parameter serologis. Pengobatan dini
dapat mencegah terjadinya jaringan parut atau atrofi. Degenerasi malignan jarang terjadi.
Pencegahan tumbuhnya lesi baru dianjurkan pada daerah yang sering terekspos.[17]
PROGNOSIS .
Prognosis LED umumnya baik. Hanya sekitar 1-5% saja kasus LED yang akan
berkembang menjadi LES. Kemungkinan eksaserbasi dapat muncul terutama pada musim
semi dan musim panas. Kasus kambuh jarang, sekitar <10%. Tingkat mortalitas pada
penyakit ini rendah, tetapi nyeri pada lesi dapat berkelanjutan. Jaringan parut dan atrofi kulit
yang terbentuk biasanya permanen.[10,12,17]
DAFTAR PUSTAKA
1. Cotsner MI, Sontheimer RD. Lupus erythematosus. In: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff
K, Austen KF, Goldsmith LA, et al, editors. Fitzpatrick’s dermatology in general
medicine. 6th ed. New York: Mc Graw-Hill; 2003: p.1678-93
2. Binnick AN, Habif TP. Connective tissue diseases. In: Habif TP, editor. Clinical
dermatology: A color guide to diagnosis and therapy, 3rd ed. St. Louis: Mosby-Year
Book Inc; 1996: p.587-625.
3. Kuhn A, Ruzicka T. Classification of cutaneous lupus erythematosus. In: Kuhn A,
Lehmann P, Ruzicka T, editors. Cutaneous lupus erythematosus, 4th ed. Berlin:
Heidelberg Springer-Verlag; 1995: p.53-7
4. Anonymous. AOCD: Discoid Lupus Erythematosus [online]. www.aocd.org. 2007.
5. Papadimitaki ED, Isenberg DA. Childood-and Adult-onset Lupus : an Update of
Similarities and Differences : Epidemiological & Clinical Features of SLE [online].
http://www.medscape.com/viewarticle/708057_2
18
6. Callen JP. Neonatal and Pediatric Lupus Erythematosus [online].
http://emedicine.medscape.com/article/1006582-overview#a0156.
7. Osmola A, Namys J, Jagodzinski P, Prokop J. Genetic Background of Cutaneous Forms
of Lupus Erythematosus : Update on Current Evidence. J, Appl. Genet. 2004:45(1):77-
86
8. Wallace D. Discoid lupus erythematosus. In: The Lupus Book: A Guide for Patients and
Their Families, 4th ed. UK: Oxford University Press; 2010: p.231-245
9. Werth V. Current treatment of cutaneous lupus erythematosus. Dermatol online jour.
2001:7(1):2
10. Goodfield MJ ,Jones SK, Veale DJ. The connective tissue disease. In: Burns T,
Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors. Rook’s textbook of dermatology, 7th ed.
Massachusetts: Blackwell Publishing Company; 2004: p. 1646-793
11. Lee LA, Werth VP. L upus e rythematosus . In: Bolognia JL, Joseph LJ, Rapini RP.
Bolognia, editors. Dermatology, 2nd ed. New York: Mosby Elsevier; 2008: p.105-13
12. Djuanda S. Penyakit jaringan konektif. In : Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Ed. 5. Jakarta : Balai Penerbi FKUI; 2010 : p.264-272
13. Callen J.P. Lupus Erythematosus Discoid [online].www.emedicine.com.2007
14. Rai, VM, Balachandran, C. Disseminated Discoid Lupus. D ermatol online jour . 2006:12
(4):23
15. Anonymous. The British Association of Dermatologist [online].www.bad.org.uk. 2008
16. Sticherling M, Pellowski D. Lupus erythematosus. In: Hertl M, editor. Autoimmune
Diseases of the Skin Pathogenesis, Diagnosis, Management, 2nd ed. New York: Springer
Wien; 2008: p.183-229
17. Draper R. Discoid Lupus Erithematous [online].www.patient.co.uk. 2009
18. Thomas B. Cutaneous lupus erythematosus. In: Wolff K, Johnson RA, editors.
Fitzpatrick’s Color Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology. 6th ed. New York: Mc
Graw-Hill; 2007: p.376-87
19. Dellavelle R. Lupus erythematosus. In: Graham BR, Burns T, editors. Lecture Notes of
Dermatology, 8th ed. Jakarta: EMS; 2005: p.172-3
20. Panjwani, Suresh. Diagnosis and Treatment of Discoid Lupus Erythematosus. JABFM.
2009:22:206-13
21. Anonymous. Skinsite: Discoid Lupus Erythematosus [online]. www.skinsite.com. 2008
22. Casetty, C.T. Chronic Cutaneus Lupus Erythematosus. D ermatol online jour. 11(4):26
19
23. Osman B, Badri T. Discoid Lupus Erythematosus in an infant.D ermatol online jour.
2005:11(3):38
20