m tbc

28
Meningitis Tuberkulosa Panji Brata Maulana(102010355) Alamat Korespondensi: Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Terusan Arjuna No.6 Jakarta Barat 11510, Telephone: (021) 5694-2061 e-mail: [email protected] Pendahuluan Meningitis adalah suatu radang pada meningens (selaput yang melindungi otak dan batang otak), disebabkan oleh bakteri, dan virus yang dapat terjadi secara akut atau kronik. Meningitis dibagi menjadi 2 golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak, yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta. Pada meningitis serosa cairan otak berwarna jernih sampai xantokrom, sedangkan pada meningitis purulenta cairan otak berwarna opalesen sampai keruh. Meningitis serosa dibagi menjadi 2 yaitu meningitis serosa viral yang disebabkan oleh infeksi virus dan meningitis serosa tuberkulosis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. 1 Meningitis serosa tuberkulosis atau meningitis tuberkulosis merupakan satu dari sekian jenis meningitis yang paling sering dan paling berbahaya karena berbeda dengan meningitis lainnya dari perjalanan penyakitnya yang lambat dan progresif. Meningitis tuberkulosis terjadi sebagai akibat komplikasi dari penyebaran tuberkulosis primer, biasanya dari paru. 1

Upload: brata-panji-maulana

Post on 23-Dec-2015

2 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

tb

TRANSCRIPT

Meningitis TuberkulosaPanji Brata Maulana(102010355)

Alamat Korespondensi:

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Terusan Arjuna No.6 Jakarta Barat 11510,

Telephone: (021) 5694-2061

e-mail: [email protected]

Pendahuluan

Meningitis adalah suatu radang pada meningens (selaput yang melindungi otak dan batang otak), disebabkan oleh bakteri, dan virus yang dapat terjadi secara akut atau kronik. Meningitis dibagi menjadi 2 golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak, yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta. Pada meningitis serosa cairan otak berwarna jernih sampai xantokrom, sedangkan pada meningitis purulenta cairan otak berwarna opalesen sampai keruh. Meningitis serosa dibagi menjadi 2 yaitu meningitis serosa viral yang disebabkan oleh infeksi virus dan meningitis serosa tuberkulosis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis.1

Meningitis serosa tuberkulosis atau meningitis tuberkulosis merupakan satu dari sekian jenis meningitis yang paling sering dan paling berbahaya karena berbeda dengan meningitis lainnya dari perjalanan penyakitnya yang lambat dan progresif. Meningitis tuberkulosis terjadi sebagai akibat komplikasi dari penyebaran tuberkulosis primer, biasanya dari paru.

1

Anamnesis

Dalam setiap pemeriksaan anamnesis harus selalu dilakukan dengan benar, karena hal

ini sangat membantu dalam membuat suatu diagnosis dan juga langkah terapi yang akan

dilakukan. Beberapa hal yang perlu ditanyakan dalam anamnesis adalah:2-4

1. Identitas pasien

2. Keluhan utama

Pada kelainan sistem saraf bisa menimbulkan berbagai macam gejala, diantaranya:

Nyeri kepala,

Kejang, pingsan, atau gerakan aneh

Pening atau vertigo

Masalah penglihatan

Kelainan penciuman/pengecapan

Kesulitan berbicara

Masalah menelan

Kesulitan berjalan

Ekstremitas lemah

Gangguan sensoris

Nyeri

Gerakan involunter atau tremor

Masalah pengendalian sfingter (buang air keci/besar)

Gangguan fungsi mental luhur, seperti bingung atau perubahan kepribadian

3. Riwayat penyakit dahulu

Adakah riwayat gangguan neurologis sebelumnya?

Adakah riwayat penyakit sistemik, khususnya kelainan kardiovaskular? (stroke adalah

penyebab defisit neurologis yang paling umum)

4. Obat-obatan

Pertimbangan terapi gangguan neurologis dan pengobatan yang mungkin merupakan

penyebab timbulnya gejala.

5. Riwayat keluarga

Adakah riwayat gangguan neurologis dalam keluarga? (tedapat banyak kelainan

neurologis penting yang diturunkan, misalnya korea Huntington)

Adakah riwayat penyakit TBC pada keluarga? Ada kontak?

6. Riwayat social

2

Ketidakmampuan apa saja yang dimiliki pasien?

Mengapa pasien tidak dapat melakukan apa yang ingin ia lakukan?

Apakah pasien menggunakan alat bantu untuk bergerak?

Bantuan apa saja yang didapat oleh pasien?

7. Riwayat vaksinasi

Pemeriksaan Fisik3-5

Tujuan utama pemeriksaan fisik saraf adalah mengungkapkan dan menjelaskan defisit

fungsi, dan untuk menjelaskan kemungkinan lokasi anatomis dari lesi. Apakah masalah

disebabkan oleh lesi pada otak, sumsum tulang belakang, saraf perifer, atau otot. Berikut

beberapa hal yang perlu di periksa, yaitu:

1. Keadaan umum

Pemeriksaan keadaan umum meliputi:

a. Kesan umum dari inspeksi seluruh tubuh, misal menurunnya kesadaran, bentuk kepala

yang terlalu besar atau terlalu kecil, edema generalisata, nampak sakit dan gelisah, dan

sebagainya.

b. Pemeriksaan umum terutama pemeriksaan tanda-tanda vital (tekanan darah, denyut

nadi, frekuensi pernapasan, suhu), sistem kardiopulmoner, sistem gastrointestinal,

urogenital, anggota gerak, leher, kepala, dan muka.

2. Tingkat kesadaran

Pemeriksaan tingkat kesadaran yang sekarang dipakai adalah skala dari Glasgow

(Glasgow coma scale) yang lebih praktis karena patokan/kriteria yang lebih jelas dan

sistematik, dibandingkan dengan cara lama seperti apatis, somnolen, stupor, sopor, dan

koma.

Pada setiap pasien dengan gangguan kesadaran, maka ada 4 hal yang perlu diperiksa selain

tingkat kesadaran, yaitu:

a. Tingkat kesadaran

b. Mata, yang meliputi pupil (refleks cahaya, anisokoria), gerakan bola mata (gerakan

konjugasi bola mata), berguna untuk menentukan kelainan neurologis atau metabolik.

c. Respirasi yang dikaitkan dengan lokalisasi lesi di otak dan berhubungan dengan

beratnya gangguan tingkat kesadaran.

d. Respons motorik terhadap ransangan nyeri. Adanya gerakan motorik terhadap

ransangan nyeri (menjauhi ransang tersebut) menunjukkan fungsi spino-thalamo-

3

cortical (sensory ascending pathway) dan tractus cortico-spinalis (tractus piramidalis)

yang masih baik, sedangkan tidak adanya gerakan motorik pada salah satu anggota

gerak tetapi menunjukkan “grimacing” (meringis) sewaktu diberikan rangsangan nyeri

menunjukkan adanya disfungsi tractus cortico-spinalis tanpa disfungsi daripada

sensory ascending pathway.

3. Pemeriksaan tanda rangsangan meningeal

a. Kaku kuduk

Cara : Pasien tidur telentang tanpa bantal.

Tangan pemeriksa ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring,

kemudian kepala ditekukan (fleksi) dan diusahakan agar dagu mencapai dada. Selama

penekukan diperhatikan adanya tahanan. Bila terdapat kaku kuduk kita dapatkan

tahanan dan dagu tidak dapat mencapai dada. Kaku kuduk dapat bersifat ringan atau

berat.

Hasil pemeriksaan:

Leher dapat bergerak dengan mudah, dagu dapat menyentuh sternum, atau fleksi

leher normal/kaku kuduk negatif.

Adanya rigiditas leher dan keterbatasan gerakan fleksi leher kaku kuduk positif.

b. Brudzinski

Cara : Pasien berbaring dalam sikap terlentang, dengan tangan yang ditempatkan

dibawah kepala pasien yang sedang berbaring , tangan pemeriksa yang satu lagi

sebaiknya ditempatkan didada pasien untuk mencegah diangkatnya badan kemudian

kepala pasien difleksikan sehingga dagu menyentuh dada.

Hasil Pemeriksaan :

Test ini adalah positif bila gerakan fleksi kepala disusul dengan gerakan fleksi di sendi

lutut dan panggul kedua tungkai secara reflektorik. Perhatikan gambar 2.

4

Gambar 1. Pemeriksaan Brudzinski’s Sign (sumber:

http://www.adamimages.com/Illustration/SearchResult/1/brudzinski's%20sign)

c. Kernig

Pada pemeriksaan ini , pasien yang sedang berbaring difleksikan pahanya pada

persendian panggul sampai membuat sudut 90 derajat. Setelah itu tungkai bawah

diekstensikan pada persendian lutut sampai membentuk sudut lebih dari 135 derajat

terhadap paha. Bila teradapat tahanan dan rasa nyeri sebelum atau kurang dari sudut

135 derajat, maka dikatakan kernig sign positif. Perhatikan gambar 3.

Gambar 2. Pemeriksaan Kernig’s Sign (sumber:

http://www.adamimages.com/Illustration/SearchResult/1/kernig's%20sign)

d. Laseque

Cara : Pasien berbaring terlentang. Angkat satu tungkai pasien dengan fleksi di sendi

panggul sampai membentuk sudut 70 derajat, sedangkan tungkai lain dalam keadaan

lurus.

Hasil Pemeriksaan :

Bila teradapat tahanan dan rasa nyeri sebelum atau kurang dari sudut 70 derajat, maka

dikatakan laseque sign positif.

4. Pemeriksaan nervi kranialis

a. Pemeriksaan nervus III, IV, dan VI

Fungsi N III (okulomotorius), IV (troklearis), VI (abdusen) saling berkaitan dan

diperiksa bersama-sama. Fungsinya ialah menggerakkan otot mata ekstraokuler dan

mengangkat kelopak mata. Serabut otonom N III mengatur otot pupil.

Pemeriksaan nervi III,IV,VI:

Inspeksi saat istirahat

5

Kedudukan bola mata

Pemeriksaan :

Kedudukan mata kiri dan kanan semetris/tidak

Strabismus, deviasio conjugee, krisis akulogirik

Eksoptalmus / endoftalmus

Interpretasi normal : Kedudukan bola mata simetris

Observasi celah kelopak mata

Pemeriksaan :

Penderita memandang lurus kedepan

Perhatikan kedudukan kelopak mata terhadap pupil dan iris

Interpretasi normal : simetris kanan-kiri

Pemeriksaan gerakan bola mata

Penilaian gerakan monokular

Penilaian gerakan kedua bola mata atas perintah

Penilaian gerakan bola mata mengikuti obyek bergerak

Pemeriksaan gerakan konjungat reflektorik (doll’s eye movement).

Gambar 3. Doll’s Eye Movement (sumber:

http://www.google.co.id)

Interpretasi gerakan bola mata:

Normal:

Gerakan konjungate

Gerakan diskonjungat / gerakan konversion

Dolls eye movement (+)

b. Pemeriksaan nervus VII

Pemeriksaan fungsi motorik N.Fasialis

6

Pemeriksaan dan Interpretasi fungsi motorik

Observasi otot wajah dalam keadaan istirahat

Pemeriksaan:

Pasien diperiksa dalam keadaan istirahat. Perhatikan wajah pasien kiri dan kanan

apakah simetris atau tidak. Perhatikan juga lipatan dahi, tinggi alis, lebarnya celah

mata, lipatan kulit nasolabialis dan sudut mulut.

Observasi otot wajah saat digerakkan

Mengerutkan dahi, dibagian yang lumpuh lipatannya tidak dalam.

Mengangkat alis.

Menutup mata dengan rapat dan coba buka dengan tangan pemeriksa.

Moncongkan bibir atau menyengir.

Suruh pasien bersiul, dalam keadaan pipi mengembung tekan kiri dan kanan

apakah sama kuat. Bila ada kelumpuhan maka angin akan keluar kebagian sisi

yang lumpuh.

c. Pemeriksaan nervus XII

Cara pemeriksaan N. hipoglosus:

Dengan adanya gangguan pergerakan lidah, maka perkataan perkataan tidak dapat

diucapkan dengan baik (cadel/pelo) hal demikian disebut disarthri.

Dalam keadaan diam lidah tidak simetris, biasanya tergeser ke daerah lumpuh

karena tonus disini menurun.

Bila lidah dijulurkan maka lidah akan membelok kesisi yang sakit.

Melihat apakah ada atrofi atau fasikulasi pada otot lidah.

Kekuatan otot lidah dapat diperiksa dengan menekan lidah ke samping pada pipi dan

dibandingkan kekuatannya pada kedua sisi pipi.

5. Pemeriksaan refleks fisiologis

a. Pemeriksaan Refleks pada Lengan

Pemeriksaan Reflex Biseps

Pasien duduk dengan santai,lengan dalam keadaan lemas,siku dalan posisi

sedikit fleksi dan pronasi.

Letakan ibu jari pemeriksa di atas tendo biseps,lalu pukul ibu jari tadi dengan

menggunakan refleks hammer.

Reaksinya adalak fleksi lengan bawah. Bila refleks meninggi maka zona

refleksogen akan meluas.

7

Pemeriksaan Refleks Triseps

Posisi pasien sama dengan pemeriksaan refleks bisep.

Apabila lengan pasien sudah benar-benar relaksasi (dengan meraba trisep tidak

teraba tegang), pukullah tendon yang lewat di fossa olekrani.

Maka trisep akan berkontraksi dengan sedikit menyentak.

b. Pemeriksaan Refleks pada Tungkai

Refleks Patella

Pasien dalam posisi duduk dengan tungkai menjuntai.

Daerah kanan-kiri tendo patella terlebih dahulu diraba, untuk menetapkan

daerah

yang tepat.

Tangan pemeriksa yang satu memegang paha bagian distal, dan tangan yang

lain

memukul tendo patella tadi dengan reflex hammer secara tepat.

Tangan yang memegang paha tadi akan merasakan kontraksi otot kuadriseps,

dan

pemeriksa dapat melihat tungkai bawah yang bergerak secara menyentak

untuk

kemudian berayun sejenak.

Apabila pasien tidak mampu duduk, maka pemeriksaan reflex patella dapat

dilakukan dalam posisi berbaring.

Refleks Achiles

Pasien dapat duduk dengan posisi menjuntai, atau berbaring tau dapat pula

penderita berlutut dimana sebagian tungkai bawah dan kakinya menjulur di

luar kursi pemeriksaan.

Pada dasarnya pemeriksa sedikit meregangkan tendon achiles dengan cara

menahan ujung kaki kearah dorsofleksi.

Tendon Achilles dipukul dengan ringan tapi cepat.

Akan muncul gerakan fleksi kaki yang menyentak.

6. Pemeriksaan refleks patologis

8

Refleks patologis merupakan respon yang tidak umum dijumpai pada individu normal.

Refleks patologis pada ekstemitas bawah lebih konstan, lebih mudah muncul, lebih

reliabel dan lebih mempunyai korelasi secara klinis dibandingkan pada ekstremitas atas.

a. Refleks Klonus kaki

Cara pemeriksaan: sanggah lutut pada posisi fleksi ringan. Lalu dengan tangan yang

lain lakukan dorsofleksi tiba-tiba dan pertahankan beberapa saat.

b. Babinsky sign

Pemeriksa menggores bagian lateral telapak kaki dengan ujung palu refleks.

Reaksi: Dorsofleksi ibu jari kaki disertai plantarfleksi dan gerakan melebar jari-jari

lainnya. Intepretasi: normal (-)

Pemeriksaan Penunjang1,2,6,7

1. Pengambilan cairan serebrospinal

Pengambilan cairan serebrospinal dapat dilakukan dengan cara Lumbal Punksi, Sisternal

Punksi, atau Lateral Cervical Punksi. Lumbal Punksi merupakan prosedur neuro

diagnostik yang paling sering dilakukan, sedangkan sisternal punksi dan lateral cervical

punksi hanya dilakukan oleh orang yang benar-benar ahli.

Indikasi Lumbal Punksi:

a. Untuk mengetahui tekanan dan mengambil sampel untuk pemeriksaan sel, kimia, dan

bakteriologi.

b. Untuk membantu pengobatan melalui spinal, pemberian antibiotik, anti tumor, dan

spinal anastesi.

c. Untuk membantu diagnosis dengan penyuntikan udara pada pneumoencephalografi,

dan zat kontras pada myelografi.

Kontra indikasi Lumbal Pungsi:

a. Ada peninggian tekanan intrakranial dengan tanda-tanda nyeri kepala, muntah dan papil

edema.

b. Penyakit kardiopulmonal yang berat.

c. Ada infeksi lokal pada tempat Lumbal Punksi.

9

Tabel 1. Perbedaan Pemeriksaan Lumbal Punksi

Makroskopik White Blood Cell Protein Glukosa

Meningitis

bakterial

Purulen, kuning

muda, bekuan

lunak

25-10000,

terutama PMN

50-1500 0-45

Meningitis

virus

Jernih 10-1000,

terutama MN

Meningkat Normal

Meningitis TB Kuning muda,

bekuan lunak

10-1000,

terutama MN

45-500 10-45

2. CT-scan kepala/MRI, dapat menentukan adanya dan luasnya kelainan di daerah basal,

serta adanya dan luasnya hidrosefalus. Hasil pemeriksaan CT-scan dan MRI pada pasien

meningitis TB adalah normal pada awal penyakit. Seiring berkembangnya penyakit,

gambaran sering ditemukan adanya enhancement di daerah basal, tampak hidrosefalus

komunikans yang disertai tanda-tanda edema otak atau iskemia fokal yang masih dini.

Selain itu, dapat juga ditemukan tuberkuloma yang silent, biasanya di daerah korteks

serebri atau thalamus.

3. Tes tuberkulin, Pemberian tuberkulin intradermal sebanyak 0,1 cc atau tes Mantoux berguna untuk membantu menegakan diagnosis , terutama pada anak.

4. Pemeriksaan darah, dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah dan hitung jenis

leukosit, laju endap darah (LED), kadar glukosa, kadar ureum, elektrolit, kultur.

a. Pada meningitis serosa didapatkan peningkatan leukosit saja. Disamping itu, pada

meningitis TB didapatkan juga peningkatan LED.

b. Pada meningitis purulenta/bakterialis didapatkan peningkatan leukosit dengan

pergeseran ke kiri pada hitung jenis.

Diagnosis

Diagnosis kerja dari kasus ini adalah meningitis tuberkulosis, untuk mengekkan

diagnosis ini maka anamnesis harus lebih diarahkan pada riwayat kontak dengan penderita

tuberkulosis, keadaan sosial-ekonomi, imunisasi. Sementara itu gejala-gejala yang khas untuk

10

meningitis tuberkulosis ditandai dengan tekanan intrkranial yang meningkat, muntah

proyektil, nyeri kepala yang hebat dan progresif, penurunan kesadaran, dan pada bayi tampak

fontanel yang menonjol.1,2

Namun perlu dipertimbangkan adanya kemungkinan lain/diagnosis banding,

seperti:1,2,8,10

1. Meningitis virus

Meningitis virus biasanya disebut meningitis aseptik. Sering terjadi akibat lanjutan

dari bermacam-macam penyakit akibat virus, meliputi measles, mumps, herpes simplek,

dan herpes zooster.

Meningitis virus ini termasuk penyakit ringan, gejalanya mirip dengan sakit flu biasa,

dan umumnya dapat sembuh sendiri dan kembali seperti semula. Selain itu gejala yang

sering timbul adalah demam, nyeri kepala, lelah, mual, kaku kuduk, fotofobia juga dapat

ditemukan. Pada bayi gejala yang sering adalah demam, anoreksia, kesulitan untuk

bangun.

Sering terjadi pada anak-anak, namun pada orang dewasa juga bisa terutama dengan

sistem imun yang rendah.

Virus penyebab meningitis dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu virus RNA dan virus

DNA. Contoh virus RNA adalah enterovirus (polio), arbovirus (rubella), mixovirus

(influenza, parotitis, dan morbili). Sedangkan contoh virus DNA antara lain virus herpes,

dan retrovirus (AIDS).

Penatalaksanaan bersifat simtomatik dengan rehidrasi dan analgesia.

2. Meningitis bakterial

Sering dihubungkan dengan sindrom sepsis (demam, takikardia, hipotensi, atau syok).

Meningitis biasanya terjadi karena bateremia yang disebabkan oleh Neisseria meningitidis,

walaupun Streptococcus pneumoniae dapat muncul pada orang-orang dengan pneumonia

pneumokokus (lebih sering pada manula dan penyalahguna alkohol) atau kerusakan dura

(fraktur tengkorak, sepsis telinga, atau penyakit sinus).

Kuman-kuman tersebut masuk ke dalam susunan saraf pusat secara hematogen atau

langsung menyebar dari kelainan di nasofaring, paru-paru (pneumonia,

bronkopneumonia), dan jantung (endokarditis). Mula-mula pembuluh darah meningeal

yang kecil dan sedang mengalami hiperemi, dalam waktu yang sangat singkat terjadi

penyebaran sel-sel leukosit polomorfonuklear ke dalam ruang subarachnoid, kemudian

terbentuk eksudat. Dalam beberapa hari terjadi pembentukan limfosit dan histiosit dan

11

dalam minggu kedua sel-sel plasma. Eksudat yang terbentuk terdiri dari dua lapisan,

bagian luar mengandung leukosit polimorfonuklear dan fibrin sedangkan di lapisan dalam

terdapat makrofag.

Selain pada arteri, proses radang juga terjadi pada vena-vena di korteks dan dapat

menyebabkan thrombosis, infark otak, edema otak, dan degenerasi neuron-neuron.

Thrombosis serta organisasi eksudat perineural yang fibrino-purulen menyebabkan

kelainan nervi kraniales (N. III, IV, VI, VII, dan VIII). Organisasi di ruang subarakhnoid

superficial dapat menghambat aliran dan absorbsi CSS, sehingga mengakibatkan

hidrosefalus komunikans.

Bila dicurigai meningitis bakterial, maka antibiotik spektrum luas (misalnya

sefotaksim dosis tinggi) harus segera diberikan. Diagnosis dipastikan dengan

mengindentifikasi organisme (kultur darah, pemeriksaan mikroskopik CSS), kultur dan

polymerase chain reaction (PCR, atau serologi darah).

Pada neonatus gejala meningitis bakterial umumnya terjadi secara akut dengan panas

tinggi, mual, muntah, gangguan pernapasan, kejang, nafsu makan berkurang, minum

sangat berkurang, konstipasi, diare. Biasanya disertai septikemia dan pneumonitis. Kejang

terjadi pada kurang lebih 44% anak dengan penyebab Haemophillus influenzae, 25% oleh

Streptococcus pneumoniae, 78% oleh streptokok dan 10% oleh infeksi meningokok.

Gangguan kesadaran berupa apati, letargi, renjatan, koma.

Pada anak yang lebih besar atau orang dewasa, permulaan penyakit juga terjadi akut

dengan panas, nyeri kepala yang bisa hebat sekali, malaise umum, kelemahan, nyeri otot

dan nyeri punggung. Biasanya dimulai dengan gangguan saluran pernapasan bagian atas.

Selanjutnya terjadi kaku kuduk, opistotonus, dapat terjadi renjatan, hipotensi, dan

takikardi karena septikemia. Gangguan kesadaran berupa letargi sampai koma yang dalam

dapat dijumpai pada penderita. Nyeri kepala bisa hebat sekali, rasanya seperti mau pecah

dan bertambah hebat bila kepala digerakkan. Nyeri kepala dapat disebabkan oleh proses

radang pembuluh darah meningeal, tetapi juga dapat disebabkan oleh peningkatan tekanan

intrakranial yang disertai fotofobia dan hiperestesi. Suhu badan makin meningkat, tetapi

jarang disertai gemetar.

Etiologi

Meningitis tuberkulosa disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, umumnya

adalah jenis hominis, jarang oleh jenis bovinum atau aves. Mycobacterium tuberculosis

merupakan bakteri berbentuk batang pleomorfik gram positif, berukuran 0,4-3 µm,

12

mempunyai sifat tahan asam, dapat hidup selama berminggu-minggu dalam keadaan kering,

serta lambat bermultiplikasi (setiap 15 sampai 20 jam). Bakteri ini merupakan salah satu jenis

bakteri yang bersifat intracellular pathogen pada hewan dan manusia.1,2,11,12

Epidemiologi

Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi M.tuberculosis, sekitar

95% kasus TB dengan 98% kematian akibat TB di dunia, terjadi di negara berkembang.

Jumlah penderita TB di Indonesia merupakan ketiga terbanyak di dunia setelah India dan

Cina dengan jumlah sekitar 10% dari jumlah keseluruhan penderita TB di dunia.2

Angka kejadian penderita meningitis TB di Inggris adalah 1,5% dari jumlah

keseluruhan penderita TB di luar paru. Kematian biasanya dikarenakan oleh keterlambatan

diagnosis dan penanganannya. Penyakit ini merupakan TB ekstrapulmoner kelima yang

sering dijumpai dan diperkirakan sekitar 5,2% dari semua kasus TB ekstrapulmoner serta

0,7% dari semua kasus TB.1,2

Meningitis TB dapat terjadi pada setiap usia terutama pada anak antara 6 bulan

sampai 5 tahun, jarang terdapat di bawah usia 6 bulan, kecuali apabila angka kejadian TB

sangat tinggi. Paling sering terjadi di bawah usia 2 tahun, yaitu antara 9-15 bulan.1

Patofisiologi1,2,13

Terjadinya meningitis bukan karena peradangan langsung pada selaput otak oleh

penyebaran hematogen, tetapi melalui pembentukan tuberkel-tuberkel kecil (beberapa

millimeter sampai 1 sentimeter), berwarna putih. Terdapat pada permukaan otak, selaput

otak, sumsum tulang belakang, tulang. Tuberkel tadi kemudian melunak, pecah dan masuk ke

dalam ruang subarakhnoid dan ventrikulus sehingga terjadi peradangan yang difus. Secara

mikroskopik tuberkel-tuberkel ini tidak dapat dibedakan dengan tuberkel-tuberkel di bagian

lain dari kulit di mana terdapat pengijuan sentral dan dikelilingi oleh sel-sel raksasa, limfosit,

sel-sel plasma, dan dibungkus oleh jaringan ikat sebagai penutup atau kapsul.

Penyebaran juga dapat pula terjadi secara per kontinuitatum dari peradangan organ

atau jaringan di dekat selaput otak seperti proses di nasofaring, pneumonia,

bronkopneumonia, endokarditis, otitis media, mastoiditis, trombosis, sinus kavernosus, atau

spondilitis. Penyebaran kuman dalam ruang subarakhnoid menyebabkan reaksi radang pada

pia dan arakhnoid, CSS, ruang subarakhnoid, dan ventrikulus.

13

Akibat reaksi radang ini adalah terbentuknya eksudat kental, serofibrinosa dan

gelatinosa oleh kuman-kuman dan toksin yang mengandung sel-sel mononuclear, limfosit, sel

plasma, makrofag, sel raksasa, dan fibroblas. Eksudat ini tidak terbatas di dalam ruang

subarakhnoid saja, tetapi terutama terkumpul di dasar tengkorak. Eksudat juga menyebar

melalui pembuluh-pembuluh darah pia dan menyerang jaringan otak di bawahnya, sehingga

proses sebenarnya adalah meningo-ensefalitis. Eksudat juga dapat menyumbat akuaduktus

Sylvii, foramen magendi, foramen Luschka dengan akibat terjadinya hidrosefalus, edema

papil dan peningkatan tekanan intrakranial. Kelainan juga terjadi pada pembuluh-pembuluh

darah yang berjalan dalam ruang subarachnoid berupa kongesti, peradangan dan penymbatan,

sehingga selain ateritis dan flebitis juga mengakibatkan infark otak terutama pada bagian

korteks, medula oblongata, dan ganglia basalis yang kemudian mengakibatkan perlunakan

otak dengan segala akibatnya.

Gejala Klinis1,2,13,14

1. Stadium I

Stadium prodromal berlangsung kurang lebih 2 minggu sampai 3 bulan. Permulaan

penyakit bersifat subakut, sering tanpa panas atau hanyak kenaikan suhu yang ringan atau

hanya dengan tanda-tanda infeksi umum, muntah-muntah, anoreksia, murung, berat badan

turun, tidak ada gairah, mudah tersinggung, cengeng, tidur terganggu dan gangguan

kesadaran berupa apatis. Gejala-gajala ini lebih sering terlihat pada anak kecil. Untuk anak

yang lebih besar mengeluh nyeri kepala, anoreksia, obstipasi, muntah-muntah, pola tidur

terganggu. Pada orang dewasa terdapat panas yang hilang timbul, nyeri kepala, konstipasi,

anoreksia, fotofobia, nyeri punggung, halusinasi, delusi, sangat gelisah.

2. Stadium II

Gejala-gejala terlihat lebih berat, terdapat kejang umum atau fokal terutama pada anak

kecil dan bayi. Tanda-tanda ransangan meningeal mulai nyata, seluruh tubuh dapa menjadi

kaku dan timbul opistotonus, terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial, ubun-

ubun menonjol dan muntah lebih hebat. Nyeri kepala yang bertambah berat dan progresif

menyebabkan anak berteriak dan menangis dengan nada yang khas yaitu meningeal cry.

Kesadaran semakin menurun. Terdapat gangguan nervi kraniales, antara lain N. II, III, IV,

VI, VII, dan VIII. Dalam stadium ini dapat terjadi defisit neurologik fokal seperti

hemiparesis, hemiplegia karena infark otak dan rigiditas deserebrasi. Pada fundoskopi

dapat ditemukan atrofi N. II dan khoroid tuberkel yaitu kelainan pada retina yang tampak

seperti busa berwarna kuning dan ukurannya sekitar setengah diameter papil.

14

3. Stadium III

Dalam stadium ini suhu tidak teratur dan semakin tinggi yang disebabkan oleh

terganggunya regulasi pada disensefalon. Pernapasan dan nadi juga tidak teratur dan

terdapat gangguan pernapasan dalam bentuk Cheyne-Stokes atau Kussmaul. Gangguan

miksi berupa retensi atau inkontinensia urin. Didapatkan pula adanya gangguan kesadaran

makin menurun sampai koma yang dalam. Pada stadium ini penderita dapat meninggal

dunia dalam waktu 3 minggu bila tidak memperoleh pengobatan yang tepat.

Penatalaksanan1,2

1. Perawatan umum

Pasien harus dirawat di rumah sakit, di bagian perawatan intensif. Dengan menentukan

diagnosis secepat dan setepat mungkin, pengobatan dapat segera dimulai.

Perawatan meliputi berbagai aspek yang harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh,

antara lain kebutuhan cairan dan elektrolit, kebutuhan gizi pada umumnya, posisi pasien,

perawatan kandung kemih dan defekasi, serta perawatan umum lainnya sesuai dengan

kondisi pasien.

Kebutuhan cairan, elektrolit, serta gizi dapat diberikan melalui infus maupun saluran pipa

hidung. Sementara itu perhatikan adanya hiperpireksia, gelisah atau kejang, nyeri, dan

lainnya.

2. Pengobatan

a. Isoniazid atau INH, diberikan dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari (pada anak), dan pada

dewasa dengan dosis 400 mg/hari.

b. Streptomisin, diberikan intra muscular selama kurang lebih 3 bulan, tidak boleh terlalu

lama. Dosisnya 30-50 mg/kgBB/hari. Hati-hati karena bersifat autotoksik. Bila perlu

pemberian streptomisin dapat diteruskan 2 kali seminggu selama 2-3 bulan sampai CSS

menjadi normal. Sementara itu obat jenis lain dapat diteruskan sampai kurang lebih 2

tahun.

c. Rifampisin, diberikan dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari. Pada orang dewasa dapat

diberikan dengan dosis 600 mg/hari, dengan dosis tunggal. Pada anak-anak dibawah 5

tahun harus hati-hati karena dapat menyebabkan neuritis optika.

d. PAS atau para-amino-salicylic-acid, diberikan dengan dosis 200 mg/kgBB/hari, dibagi

dalam 3 dosis. Dapat diberikan sampai 12 gram/hari. PAS sering menyebabkan

gangguan nafsu makan.

15

e. Etambutol, diberikan dengan dosis 25 mg/kgBB/hari sampai 1500 mg/hari, selama

kurang lebih 2 bulan. Obat ini dapat menyebabkan neuritis optika, sementara itu INH

dapat menyebabkan polineuritis.

f. Kortikosteroid, biasanya dipergunakan prednison dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari

(dosis normal 20 mg/hari dibagi dalam 3 dosis) selama 2-4 minggu kemudian

diteruskan dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1-2 minggu. Pemberian kortikosteroid

seluruhnya adalah kurang lebih 3 bulan. Namun kortikosteroid dapat membahayakan

pasien melalui munculnya superinfeksi, kemampuan menutupi penyakitnya (masking

effect).

g. Pemberian tuberculin intratekal, ditujukan untuk mengaktivasi enzim lisosomal yang

menghancurkan eksudat di bagian dasar otak.

h. Pemberian enzim proteolitik seperti streptokinase secara intratekal mempunyai tujuan

untuk menghalangi adesi. Bila pengobatan diberikan cepat dan tepat, biasanya berhasil

setelah 7-10 hari. Secara klinis biasanya ditandai dengan hilangnya nyeri kepala dan

gangguan mental.

Pada umumnya tuberkulostatika diberikan dalam bentuk kombinasi dikenal dengan triple

drug, ialah kombinasi antara INH dengan dua jenis tuberkulostatika lainnya.

Prognosis

Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien didiagnosis dan

diterapi. Semakin lanjut tahapan klinisnya, semakin buruk prognosisnya. Bila meningitis TB

tidak diobati, prognosisnya buruk sekali. Pasien dapat meninggal dalam waktu 6-8 minggu.

Selain itu usia pasien juga mempengaruhi prognosis, anak di bawah 3 tahun dan dewasa di

atas 40 tahun mempunyai prognosis yang buruk.2

Komplikasi

Komplikasi yang paling menonjol dari meningitis tuberkulosis adalah gejala sisa

neurologis (sekuele). Sekuele terbanyak adalah paresis spastik, kejang, paraplegia, dan

gangguan sensori ekstremitas. Sekuele minor dapat berupa kelainan saraf otak, nistagmus,

ataksia, gangguan ringan pada koordinasi, dan spastisitas.2,13,14

16

Komplikasi pada mata dapat berupa atrofi optik dan kebutaan. Gangguan

pendengaran dan keseimbangan disebabkan oleh obat streptomisin atau oleh penyakitnya

sendiri. Gangguan intelektual terjadi pada kira-kira 2/3 pasien yang hidup. Pada pasien ini

biasanya mempunyai kelainan EEG yang berhubungan dengan kelainan neurologis menetap

seperti kejang dan mental subnormal.2,13,14

Kalsifikasi intrakranial terjadi pada kira-kira 1/3 pasien yang sembuh. Seperlima

pasien yang sembuh mempunyai kelainan kelenjar pituitari dan hipotalamus, dan akan terjadi

prekoks seksual, hiperprolaktinemia, dan defisiensi ADH, hormon pertumbuhan,

kortikotropin dan gonadotropin.3,14,15

Pencegahan12,15

1. Perlindungan terhadap sumber penularan. Prioritas pengobatan sekarang ditujukan

terhadap orang dewasa. Akan tetapi TB anak yang tidak mendapat pengobatan akhirnya

menjadi TB dewasa dan akan menjadi sumber penularan.

2. Vaksinasi BCG

Pemberian BCG meninggikan daya ahan tubuh terhadap infeksi oleh basil tuberkulosis

yang virulen. Imunitas timbul 6-8 minggu setelah pemberian BCG. Imunitas yang terjadi

tidaklah lengkap sehingga masih mungkin terjadi superinfeksi meskipun biasanya tidak

progresif dan menimbulkan komplikasi yang berat. Pemberian vaksin BCG dapat

mengurangi morbiditas sampai 74%. BCG biasanya diberikan pada anak dengan uji

tuberkulin negatif dan biasanya uji tuberkulin diulangi 6 minggu setelah BCG dan kalau

masih negatif dianjurkan untuk mengulangi BCG. Tetapi sekarang dianjurkan pemberian

BCG secara langsung tanpa didahului uji tuberkulin karena cara ini lebih menghemat

ongkos dan mencakup lebih banyak anak.

Vaksin BCG diberikan intradermal 0,1 ml untuk anak-anak dan orang dewasa, dan 0,05 ml

untuk bayi.

3. Kemoprofilaksis

Sebagai kemoprofilaksis biasanya dipakai INH dengan dosis 10mg/kgBB/hari selama 1

tahun. Anak-anak di bawah usia 4 tahun dari keluarga penderita TBC dan orang-orang

dengan risiko besar mendapat infeksi dapat diberikan secara kontinu. Bila terdapat

intoleransi dapat diganti dengan rifampisin, maksimal 6 bulan. Disamping itu, dilakukan

pula imunisasi BCG.

17

4. Tutup mulut menggunakan masker. Gunakan masker untuk menutup mulut kapan saja

ketika di diagnosis TB, merupakan langkah pencegahan TBC secara efektif. Jangan lupa

untuk membuangnya secara tepat.

5. Mengusahakan sinar matahari dan udara segar masuk secukupnya ke dalam tempat tidur.

6. Menjemur kasur, bantal,dan tempat tidur terutama pagi hari.

7. Semua barang yang digunakan penderita harus terpisah begitu juga mencucinya dan tidak

boleh digunakan oleh orang lain.

8. Pengobatan terhadap infeksi dan penemuan sumber penularan. Apabila sudah terdiagnosis

TB maka harus menjalani pengobatan secara intensif agar tidak terjadi komplikasi seperti

meningitis TB.

9. Pencegahan terhadap menghebatnya penyakit dengan diagnosis dini.

Kesimpulan

Meningitis adalah suatu peradangan pada selaput otak. Meningitis tuberkulosa

merupakan peradangan selaput otak oleh Mycobacterium tuberculosis. Meningitis TB dapat

terjadi melalui 2 tahapan, tahap pertama adalah ketika basil M.tuberculosis masuk melalui

inhalasi droplet menyebabkan infeksi terlokalisasi di paru dengan penyebaran ke limfonodi

regional. Basil tersebut dapat masuk ke jaringan meningen atau parenkim otak membentuk

tuberkel. Tahap kedua adalah bertambahnya ukuran tuberkel sampai kemudian ruptur ke

dalam ruang subarakhnoid dan mengakibatkan meningitis.

Meningitis TB merupakan bentuk TB paling fatal dan menimbulkan gejala sisa

permanen, oleh karena itu dibutuhkan diagnosis dan terapi yang segera. Penyakit ini

merupakan TB ekstrapulmoner kelima yang sering dijumpai dan diperkirakan sekitar 5,2%

dari semua kasus TB ekstrapulmoner serta 0,7% dari semua kasus TB.2

Daftar Pustaka

18

1. Rachmayati S, Parwati I, Rizal A, Oktavia D. Meningitis tuberculosis. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, Vol. 17, No.3, Juli 2011: 159-162.

2. Harsono. Buku ajar neurologi klinis. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2008.h.161-3, 183-8.

3. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga, 2007.h.37-9.4. Juwono T. Pemeriksaan klinik neurologik dalam praktek. Jakata: EGC, 2000.h.1-9, 17-

20.5. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Neuropsikiatri. Edisi 2011. Diunduh dari

http://repository.unand.ac.id/15476/4/Penuntun_Skill_Lab_3.pdf, 13 Desember 2013.6. Japardi I. Cairan serebrospinal. Edisi 2002. Diunduh dari

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1989/1/bedah-iskandar%20japardi5.pdf, 13 Desember 2013.

7. Seriawati L, Makmuri MS, Asih RS. Tuberkulosis. Edisi 2006. Diunduh dari http://www.pediatrik.com/isi03.php?page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=07110-xgdt286.htm, 13 Desember 2013.

8. Mandal A. Meningitis. Edisi 2007. Diunduh dari http://www.news-medical.net/health/Meningitis-Symptoms-(Indonesian).aspx, 13 Desember 2013.

9. Centers for Disease Control and Prevention. Viral meningitis. Edition July 2007. Downloaded from http://www.state.nj.us/health/cd/documents/faq/viralmeningitis_faq.pdf, 13 December 20113.

10. Dhamija RM, Bansal J. Bacterial meningitis (meningoencephalitis): a review. JIACM 2006; 7(3): 255-35.

11. Davey P. At a glance medicine. Jakarta: Erlangga, 2006.h. 362-3.12. Rahajoe NN, Setiawati L. Tatalaksana TB. Dalam: Rahajoe NN, Supriyanto B, Setyanto

DB. Buku ajar respirologi. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2008.h.214-26.13. Thwaites G, Chau TTH, Mai NTH, Drobniewski F, McAdam K, Farrar J. Tuberculous

meningitis. Neurol Neurosurg Psychiatry 2000;68:289-99.14. Ginsberg L. Lecture notes neurologi. Edisi ke-8. Jakarta: Erlangga, 2008.h.125-6.15. Harijanto PN. Malaria. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,

Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid III. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing, 2009.h.2813-19.

19