mabit di masjid dan beribadah pada malam hari

23
Mabit di Masjid dan Beribadah Pada Malam hari, Tasyabbuh bil Kuffar-kah? Bid'ahkah? Apr 21, '09 3:17 AM for everyone Mabit di Masjid dan Beribadah Pada Malam hari, Tasyabbuh bil Kuffar-kah? Bid'ahkah? Oleh: Abu Hudzaifi Al Pemangkati Dari Al Harits bin Abdirrahman bin Abi Dzubab, dia berkata: ت ل سأ مأن ي ل س ن ب سأر ي ن ع وم ن ل ا ي ف د ج س م ل ا، أل ق ف ف ي ك« : ون ل سأ ي ن ع ا هد د وق كأن جأب ص ا ة ف ص ل ا ون م أ ن ي ة ي ف ون ل ص ي و ة ي ف ؟» “Aku bertanya kepada Sulaiman bin Yasar tentang tidur di masjid, maka dia menjawab: “Bagaimana kalian bertanya tentang hal ini, padahal Ashhabush Shuffah tidur di masjid dan mereka shalat di dalamnya?” (Al Fakihi, Akhbar Makkah, No. 1199)[1] Lebih satu dekade belakangan banyak umat Islam, khususnya para pemuda, mengadakan acara mabit (bermalam) di masjis dengan tujuan taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla) dengan melaksanakan serangkaian acara seperti kajian atau ceramah, tidur, qiyamullail (bisa memilih antara berjamaah atau sendiri), dan kadang di tambah muhasabah. Walau rangkaian mata acara ini tidak selalu demikian. Acara ini seringkali diikuti banyak orang, maka wajar jika menyedot perhatian manusia. Akhirnya lahirlah penilaian, baik pro dan kontra. Bahkan ada yang meyebutnya sebagai perbuatan tasyabbuh bil kuffar (menyerupai orang kafir) karena hal itu seperti orang kafir mengkhususkan ibadahnya pada malam hari. Ada juga yang membid’ahkan dengan alasan tidak atsar shahih dari para salaf yang melaksanakan acara seperti ini. Banyak pertanyaan yang harus dijawab. Benarkah demikian? Apakah sedemikian sederhananya untuk menyebut sebuah perbuatan sebagai tasyabbuh bil kuffar? Apakah kaidah yang digunakan untuk mengkategorikan mabit adalah perbuatan tasyabbuh? Benarkah orang kafir hanya beribadah hanya pada malam hari? Dan benarkah para peserta mabit adalah orang yang juga hanya beribadah pada malam hari, sehingga layak disebut tasyabbuh dengan mereka? Dan benarkah orang kafir juga melakukannya secara bersama-sama sebagaimana acara mabit ini? Sudahkah orang yang mengatakan demikian ini melakukan kajian mendalam atau langsung melihat hakikat sebenarnya? Apakah hanya karena ada kemiripan pada satu sisi dengan orang kafir maka langsung disebut telah tasyabbuh dengan orang kafir?

Upload: ibnumaulay

Post on 14-Jun-2015

482 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Mabit Di Masjid Dan Beribadah Pada Malam Hari

Mabit di Masjid dan Beribadah Pada Malam hari, Tasyabbuh bil Kuffar-kah? Bid'ahkah?

Apr 21, '09 3:17 AMfor everyone

Mabit di Masjid dan Beribadah Pada Malam hari, Tasyabbuh bil Kuffar-kah? Bid'ahkah?

Oleh: Abu Hudzaifi Al Pemangkati

Dari Al Harits bin Abdirrahman bin Abi Dzubab, dia berkata:

: » كيف فقال ، المسجد في النوم عن يسار بن سليمان سألت ؟ فيه ويصلون فيه ينامون الصفة أصحاب كان وقد هذا عن تسألون

»

“Aku bertanya kepada Sulaiman bin Yasar tentang tidur di masjid, maka dia menjawab: “Bagaimana kalian bertanya tentang hal ini, padahal Ashhabush Shuffah tidur di masjid dan mereka shalat di

dalamnya?” (Al Fakihi, Akhbar Makkah, No. 1199)[1]

           Lebih satu dekade belakangan banyak umat Islam, khususnya para pemuda, mengadakan acara mabit (bermalam) di masjis dengan tujuan taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla) dengan melaksanakan serangkaian acara seperti kajian atau ceramah, tidur, qiyamullail (bisa memilih antara berjamaah atau sendiri), dan kadang di tambah muhasabah. Walau rangkaian mata acara ini tidak selalu demikian.  Acara ini seringkali diikuti banyak orang, maka wajar jika menyedot perhatian manusia. Akhirnya lahirlah penilaian, baik pro dan kontra. Bahkan ada yang meyebutnya sebagai perbuatan tasyabbuh bil kuffar (menyerupai orang kafir) karena hal itu seperti orang kafir mengkhususkan ibadahnya pada malam hari. Ada juga yang membid’ahkan dengan alasan tidak atsar shahih dari para salaf yang melaksanakan acara seperti ini.

           Banyak pertanyaan yang harus dijawab. Benarkah demikian? Apakah sedemikian sederhananya untuk menyebut sebuah perbuatan sebagai tasyabbuh bil kuffar? Apakah kaidah yang digunakan untuk mengkategorikan mabit adalah perbuatan tasyabbuh? Benarkah orang kafir hanya beribadah hanya pada malam hari? Dan benarkah para peserta mabit adalah orang yang juga hanya beribadah pada malam hari, sehingga layak disebut tasyabbuh dengan mereka? Dan benarkah orang kafir juga melakukannya secara bersama-sama sebagaimana acara mabit ini?  Sudahkah orang yang mengatakan demikian ini melakukan kajian mendalam atau langsung melihat hakikat sebenarnya? Apakah hanya karena ada kemiripan pada satu sisi dengan orang kafir maka langsung disebut telah tasyabbuh dengan orang kafir?

  Terpenting adalah apakah i’tikaf di masjid, beribadah malam hari, membaca Al Quran, melakukan kajian diniyah, menghidupkan malam, banyak istighfar kepada Allah Ta’ala, berkumpul untuk melalukan ketaatan dan ibadah, adalah perbuatan menyerupai orang kafir? Hanya karena itu dilakukan malam hari maka itu menyerupai orang kafir? Ulama manakah yang pernah mengatakan menghidupkan malam dengan ibadah, qiyamullail, membaca Al Quran di masjid, adalah perbuatan menyerupai orang kafir? Ataukah justru inilah perbuatan salafush shalih sejak zaman dahulu, seperti para sahabat yang dijuluki Ashhabush Shuffah? Mereka tinggal di masjid dan beribadah di dalamnya siang dan malam. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membuatkan tenda khusus buat seorang wanita jariyah untuk tinggal di dalam masjidnya hingga dia wafat, dan riwayat ini shahih. Ibnu Abbas pun pernah mabit di rumah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan mereka berdua shalat malam berjamaah, sebagaimana yang diceritakan oleh Ibnu Abbas sendiri dalam riwayat Bukhari. Apakah mereka telah melakukan perbuatan tasyabbuh bil kuffar dan bid’ah? Kalau betul itu perbuatan menyimpang, maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah orang pertama yang mencegahnya. Kalau justru itu perbuatan yang benar,   maka siapakah yang benar, apakah Rasulullah dan para ashhabush shufah, ataukah para penuduh

Page 2: Mabit Di Masjid Dan Beribadah Pada Malam Hari

itu yang menuduh hal itu adalah tasyabbuh bil kuffar dan bid’ah? Ataukah para penuduh justru telah melakukan bid’ah karena belum pernah ada ulama sebelumnya yang mengatakan seperti mereka.

 Atau apakah ini hanya kedengkian antara satu komunitas terhadap komunitas lainnya, sehingga apa pun yang dilakukan oleh saudara yang terlanjur dibencinya, pasti adalah salah walau memiliki dasar yang kuat?

Menyerupai Orang Kafir adalah Haram

 Ini telah sama kita sepakati keharamannya, berdasarkan riwayat  dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

ب2ه1 م1ن0 م5 ت1ش1 و0 و1 ب6ق1 ه7 م0 ف1 ن0ه7 م6

          

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk kaum tersebut.” (HR. Abu Daud, Kitab Al Libas Bab Fi Lubsi Asy Syuhrah, Juz. 11, Hal. 48, No. 3512. Ahmad, Juz. 10, Hal. 404, No. 4868)

 

Imam As Sakhawi mengatakan ada kelemahan dalam hadits ini, tetapi hadits ini memiliki penguat (syawahid), yakni hadits riwayat Al Bazzar dari Hudzaifah dan Abu Hurairah, riwayat Al Ashbahan dari Anas bin Malik, dan riwayat Al Qudha’i dari Thawus secara mursal. (Imam As Sakhawi, Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 215) Sementara, Imam Al ‘Ajluni mengatakan, sanad hadits ini shahih menurut Imam Al ‘Iraqi dan Imam Ibnu Hibban, karena memiliki penguat yang disebutkan oleh Imam As Sakhawi di atas. (Imam Ismail bin Muhammad Al ‘Ajluni, Kasyful Khafa’, Juz. 2, Hal. 240. Darul Kutub Al ‘Ilmiah) Imam Ibnu Taimiyah mengatakan hadits ini jayyid (baik) dan Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan sanadnya hasan. (Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al ‘Azhim Abadi, ‘Aunul Ma’bud, Juz. 9, Hal. 54) Demikian status hadits ini.

 

           Hadits ini dengan tegas menunjukkan larangan menyerupai perbuatan yang membuat terasosiasikan bahwa itu adalah perbuatan dan ciri orang kafir. Seperti saling memberikan hadiah bertepatan pada valentine day  atau hari raya orang kafir lainnya, berpakaian yang mencirikan langsung orang kafir seperti peci Yahudi, baju Sari para biksu, mengalungkan salib di tubuh, ini semua haram tidak diragukan lagi. Dan sebagai perbuatan tasyabbuh yang sangat jelas. Termasuk juga melagukan nasyid puji-pujian di masjid, ini merupakan tasyabbuh terhadap Nasrani yang telah melagukan lagu-lagu pujian di dalam gereja mereka. Bahkan diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

1ي0ت7م7وه7 م1ن0 أ د7 ر1 ا ي1ن0ش>>7 ع0ر= د6 ف6ي ش>>6 ج6 وا ، ال0م1س>>0 ول>>7 ق7 ه7 : ف1ض2 ف1 اك1 الل>>2 ، ف>>1ات5 ث1الث1 م1ر2

“Kalau kamu lihat orang melantunkan sya’ir di masjid, maka katakanlah kepadanya, tiga kali : “Mudah-mudahan Allah memecahkan mulutmu."  (HR. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir, Juz. 2, Hal.

Page 3: Mabit Di Masjid Dan Beribadah Pada Malam Hari

127, no. 1436. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra,  Juz. 6, Hal. 370. Abu Nu’aim, Ma’rifatus Shahabah, Juz. 4, Hal. 326, no. 1323. Ibnu Sunni, ‘Amalul Yaum wa Lailah, Juz.1, Hal. 289, No. 152)[2]

Imam Al Munawi dan Imam Al ‘Alqami menegaskan hal-hal yang termasuk penyerupaan dengan orang kafir: “Yakni berhias seperti perhiasan zhahir mereka, berjalan seperti mereka, berpakaian seperti mereka, dan perbuatan lainnya.”  (Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al ‘Azhim Abadi, ‘Aunul Ma’bud, Juz. 9, Hal. 54)

           Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bahkan mengatakan, bahwa hadits ini merupakan dalil, paling sedikit kondisi penyerupaan dengan mereka merupakan perbuatan haram, dan secara zhahir bisa membawa pada kekufuran, sebagaimana ayat: “Barangsiapa di antara kalian menjadikan mereka sebagai wali, maka dia telah menjadi bagian dari mereka.”  (Imam Ibnu Taimiyah, Iqtidha’ Ash Shirath Al Mustaqim, Hal. 214)

Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

ن2ا ل1ي0س1 ب2ه1 م1ن0 م6 ن1ا ت1ش1 ب6غ1ي0ر6

“Bukan golongan kami orang yang menyerupai selain kami.” (HR. At Tirmidzi, Kitab Al ‘Ilmu ‘an Rasulillah Bab Maa Ja’a Fi Karahiyah Isyarah Al Yad bis Salam , Juz. 9, Hal. 317, No. 2619. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Ausath, Juz. 16, Hal. 169, No. 7593)

Sebagaimana kata Imam At tirmidzi, Pada dasarnya hadits ini dhaif, karena dalam sanadnya terdapat Ibnu Luhai’ah[3] seorang perawi yang terkenal kedhaifannya. Namun, hadits ini memiliki berapa syawahid (penguat), sehingga Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menghasankan hadits ini dalam berbagai kitabnya. (Lihat dalam Silsilah Ash Shahihah, Juz. 5, Hal. 193, No. 2194. Shahih At Targhib wat Tarhib, Juz. 3, Hal. 23, No. 2723. Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi, Juz. 6, Hal. 195. Shahihul Jami’ No. 5434)

 Begitu pula yang dikatakan Syaikh Abdul Qadir Al Arna’uth, bahwa hadits ini memiliki syawahid yang membuatnya menjadi kuat. (Raudhatul Muhadditsin, 10, Hal. 332, No. 4757)

Demikianlah hadits-hadits larangan penyerupaan dengan orang kafir dan pemahaman terhadap hadits tersebut. Maka, sangat tidak dibenarkan menuduh i’tikaf di masjid, membaca Al Quran, bangun malam untuk tahajud baik sendiri atau berjamaah dalam rangka membersihkan jiwa sebagai ibadah yang menyerupai orang kafir. Sebab ini semua memiliki dasar yang kuat dalam agama, dan merupakan amalan para shalihin. Tak ada kemiripan sama sekali, kecuali sekedar dilakukan malam hari!  Itu pun bukan alasan menyebutnya sebagai tasyabbuh, sangat simplistis tuduhan ini, sebab tahajjud ya malam hari. Juga, sangat keliru menyamakan orang-orang yang mabit dengan para ruhban yang beribadah hanya pada malam hari, sebab orang-orang yang mabit mereka juga beribadah secara normal pada siang hari. Tidak di antara peserta mabit itu adalah orang yang hanya beribadah malam hari saja, dan meninggalkan ibadah pada siang harinya. Maka, ... haihaata haihaata, sangat jauh tuduhan ini.

Dalil-Dalil Umum Mabit (Bermalam) dan Beribadah di Masjid

Page 4: Mabit Di Masjid Dan Beribadah Pada Malam Hari

           Sesungguhnya ciri ahlus sunnah adalah selalu memiliki dasar untuk berbuat, tidak asal tuding, apalagi melempar fitnah tanpa dalil dan hujjah ilmiah. Dalam masalah mabit  ini, telah banyak dalil yang mendasarinya. Di antaranya:

           Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

يه6 الJ ف6 بLون1 ر6ج1 وا أ1ن0 ي7ح6 ر7 الل2ه7 ي1ت1ط1ه2 بL و1 ر6ين1 ي7ح6 Oال0م7ط2ه

          “Di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. dan Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (QS. At Taubah (9): 108)

           Inilah tujuan mereka mabit di masjid dalam rangka tazkiyatun nafsi (membersihkan jiwa) dari kekotoran dunia. Mereka sejenak meninggalkan aktifitas sehari-harinya, dengan melakukan aktifitas ibadah di masjid, seperti tafaqquh fiddin, membaca Al Quran, dan shalat malam. Jika ini dituding menyerupai orang kafir, maka saya ucapkan Laa Hawla wa laa Quwwata Illa billah.

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung”. (QS. An Nahl: 116)

           Syaikh Abdurrahman bin Nashir bin As Sa’di Rahimahullah (w.1376H) menafsirkan makna, “Di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri” :

واألحداث. والنجاسات األوساخ، من ويتطهروا الذنوب، من 

فيما ويجتهد له يسعى أن بد ال شيئا أحب من أن المعلوم ومن واألوساخ الذنوب من التطهر على حريصين كانوا أنهم بد فال يحب،

للصالة، مقيمين وكانوا إسالمه، سبق ممن كانوا ولهذا واألحداث، وسلم، عليه الله صلى الل[ه رسول مع الجهاد، على محافظين

الل[ه مخالفة من يتحرزون كانوا وممن الدين، شرائع وإقامةورسوله.

 

“yaitu (membersihkan) dari dosa, serta mensucikan diri dari kotoran, najis, dan hadats. Telah maklum, bahwa orang mencintai sesuatu maka dia harus berbuat untuk yang dicintainya itu secara sungguh-sungguh, maka harus baginya untuk ‘rakus’ dengan amaliah yang bisa mensucikan diri dari dosa, kotoran, dan najis. Oleh karena itulah yang dilakukan oleh orang yang terdahulu keislamannya. Mereka menegakkan shalat, menjaga jihad bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam menegakkan syariat agama, dan mereka termasuk golongan yang mejaga diri dari menyelisihi Allah dan RasulNya.” (Syaikh Abdurrahman bin Nashir bin As Sa’di, Taisir Al Karim Ar Rahman fi Tafsir Kalam Al Manan,  Hal. 351. Cet.1, 2000M-1420H. Mu’asasah Ar risalah)

Sedangkan makna, “dan Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih”:

والطه>>ارة الرذيلة، واألخالق الشرك من كالتنزه المعنوية، الطهارةاألحداث. ورفع األنجاس كإزالة الحسية

Page 5: Mabit Di Masjid Dan Beribadah Pada Malam Hari

           Kesucian maknawiyah (mentalitas) seperti bersih dari syirk dan akhlak yang rendah, dan kesucian inderawi seperti membersihkankan najis dan menghilangkan hadats.” (Ibid)

           Dalam ayat lain, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

ن1ع1 م6م2ن0 أ1ظ0ل1م7 و1م1ن0 د1 م1 اج6 ذ0ك1ر1 أ1ن0 الل2ه6 م1س1 ا ي>>7 ه7 ف6يه>>1 م7 ع1ى اس>>0 ف6ي و1س>>1ا اب6ه1 ر1 ك1 خ1 ا أ7ول1ئ>>6 ان1 م>>1 م0 ك>>1 ا أ1ن0 ل1ه7 ل7وه1 د0خ7 ين1 إ6ال2 ي>>1 ائ6ف6 م0 خ>>1 ال>>دLن0ي1ا ف6ي ل1ه7

Jي ز0 م0 خ6 ل1ه7 ة6 ف6ي و1 ر1 1خ6 ع1ظ6يمJ ع1ذ1ابJ اآل0

 “Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalanghalangi menyebut nama Allah dalam mesjid-mesjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (mesjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.” (QS. Al Baqarah (2): 114)

Imam Ibnu Jarir Rahimahullah (w. 310H) menyebutkan bahwa orang-orang yang menghalangi dalam ayat ini adalah orang nasrani yang menghalangi manusia untuk beribadah menyebut namaNya dan shalat di dalam masjid Baitul Maqdis. Inilah takwil dari Ibnu Abbas dan Mujahid. Ada juga yang menafsirkan bahwa mereka adalah Bukhtanashar dan tentaranya, serta yang membantu mereka dari kalangan Nasrani untuk menghancurkan Baitul Maqdis. Inilah takwil dari Qatadah dan As Sudi. Ada juga yang mengatakan bahwa ayat ini menceritakan orang musyrikin Quraisy yang menghalangi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk ke masjidil haram. Inilah pendapat Ibnu Zaid.  (Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari, Jami’ Al Bayan, Juz. 2, Hal. 520-521. Cet. 1, 2000M-1420H. Mu’asasah Ar Risalah)

           Nah, jika menghalangi orang yang beribadah di masjid, mensucikan diri, menyebut namaNya, serta shalat di dalamnya, dikatakan sebagai bentuk aniaya oleh ayat ini. Lalu, bagaimana dengan orang yang justru menuding   bahwa perbuatan ibadah ini adalah tasyabbuh bil kuffar?! Bukan hanya menghalangi, tetapi menuding itu sebagai perbuatan orang kafir. Ya, ini lebih zalim lagi, bahkan inilah tasyabbuh bil kuffar sebenarnya, karena mereka para penuding mengikuti jejak kaum nasrani dan musyrikin Quraisy  yang menghalangi manusia untuk memakmurkan masjid.

           Jika mereka mengatakan, “Siapa yang menghalangi ke masjid? Yang kami larang adalah ibadah di malam hari, dan mabit di dalamnya.”

           Jawab: kalau itu maksudnya, itu pun tidak memiliki dasar sama sekali, dan sudah   disinggung sebelumnya tentang ibadah di malam hari di masjid, dan i’tikaf di dalamnya hingga pagi, merupakan perilaku para salafush shalih (nanti akan kami buktikan, Insya Allah). Bahkan sampai hari ini pun masih banyak orang yang mabit dan melakukan ibadah di masjidil haram hingga menjelang subuh, dan tidak ada ulama di sana yang mengatakan itu adalah tasyabbuh bil kuffar dan bid’ah.. Ayat-ayat di atas pun tidak membatasi kapan mau memakmurkan masjid, apakah pagi, siang, sore, atau malam, semua ini dibenarkan tergantung kelapangan waktu masing-masing manusia yang ingin memakmurkannya. Satu saja saya tuntut dari para penuding, adakah manusia  sebelum mereka yang berpendapat seperti mereka? sebutkan siapa ulamanya, dan dalam kitab apa mereka melarang orang yang memakmurkan masjid pada malam hari?

           Allah ‘Azza wa Jalla menyebutkan bahwa orang-orang yang memakmurkan masjid, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut kecuali hanya kepada Allah, maka mereka termasuk orang-orang yang mendapatkan petunjuk.

ا 6ن2م1 ر7 إ د1 ي1ع0م7 اج6 ه6 م1س>>1 ه6 آ1م1ن1 م1ن0 الل>>2 م6 ب6الل>>2 و0 ال0ي>>1 ر6 و1 1خ>>6 ام1 اآل0 أ1ق>>1 ة1 و1 ال1 الص>>21ت1ى آ اة1 و1 ك>>>1 ل1م0 الز2 ه1 إ6ال2 ي1خ0ش1 و1 ى الل>>>2 ع1س>>>1 ك1 ف1 وا أ1ن0 أ7ول1ئ>>>6 م6ن1 ي1ك7ون>>>7

ت1د6ين1 ه0 ال0م7

Page 6: Mabit Di Masjid Dan Beribadah Pada Malam Hari

           “Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, Maka merekalah orang-orang yang diharapkan Termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. At Taubah (9): 14)

           Imam Al Baghawi Rahimahullah (w. 510H) menafsirkan tentang para pemakmur masjid ini:

ف0 ولم لخش>>>ية الل>>>ه أم>>>ر ي>>>ترك ولم الل>>>ه، غ>>>ير ال>>>دين في ي1خ>>>1ى ت1د6ين1 م6ن1 ي1ك7ون7وا أ1ن0 أ7ول1ئ6ك1 غيره} فع1س1 ه0 الل>>ه "عسى" من { و ال0م7

المتمس>>كون هم والمهت>>دون المهت>>دون، هم أي: فأولئ>>ك واجب،الجنة. إلى تؤدي التي وجل عز الله بطاعة

           “Dan tidaklah  takut dalam beragama selain kepada Allah, dan tidaklah meninggalkan perintahNya karena takut kepada selainNya. (Maka merekalah orang-orang yang diharapkan Termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk) dan arti kata “diharapkan” dari Allah adalah wajib, yaitu mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. Dan orang-orang yang mendapatkan petunjuk adalah orang-orang yang berpegang pada ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla yang bisa mengantarkan ke surga.” (Imam Abu Muhamamd bin Al Husain bin Mas’ud Al Baghawi, Ma’alim At Tanzil, Juz. 4, Hal. 20. Cet. 4. 1997M-1417H. Dar Thayyibah Linnasyr wat Tauzi’)

           Demikianlah orang yang memakmurkan masjid, dia mendapatkan pujian dari Allah ‘Azza wa Jalla, sebagai orang yang mendapatkan petunjuk, bukan orang yang tasyabbuh bil kuffar.

           Dalam As Sunnah pun ditegaskan tentang keutamaan orang yang berkumpul di masjid untuk menuntut ilmu, kajian, berdzikir, dan beribadah.

           Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

ا ع1 و1م1 ت1م1 مJ اج0 و0 ون1ه7 الل2ه6 ك6ت1اب1 ي1ت0ل7ون1 الل2ه6 ب7ي7وت6 م6ن0 ب1ي0ت5 ف6ي ق1 س7 ي1ت1د1ار1 و1م0 ل1ت0 إ6ال2 ب1ي0ن1ه7 م0 ن1ز1 ك6ين1ة7 ع1ل1ي0ه6 م0 الس2 ي1ت0ه7 ة7 و1غ1ش6 م1 ح0 م0 الر2 ت0ه7 ف2 ة7 و1ح1 ئ6ك>>1 ال0م1ال1

ه7م0 ذ1ك1ر1 ن0د1ه7 ف6يم1ن0 الل2ه7 و1 ع6

           “Tidaklah sebuah kaum berkumpul di rumah di antara rumah-rumah Allah (masjid), mereka membaca Al Quran, mengkajinya di antara mereka, melainkan akan turun ketenangan kepada mereka, dan mereka diliputi rahmat, dan malaikat mengelilingi mereka, dan mereka menyebut namanya di sisiNya.” (HR. Muslim, Bab Fadhl Al Ijtima’ ‘ala Tilawatil Quran wa ‘ala Adz Dzikr, No. 2699. Abu Daud,  Bab Fi Tsaubi Qira’atil Quran, No.1455. Ibnu Majah, Bab Fadhl ‘Ulama wal Hatsu ‘ala Thalabil ‘Ilmi, No. 225)

           Imam An Nawawi Rahimahullah (w. 676H) mengatakan:

ذ1ا و1ف6ي ل6 : د1ل6يل ه1 ض0 اع ل6ف1 ت6م>>1 ج0 و1ة ع1ل1ى اال6 آن ت6ال1 ر0 د ف6ي ال0ق>>7 ج6 ، ال0م1س>>0و1 بن1ا و1ه7 ذ0ه1 ور و1م1ذ0ه1ب م1 م0ه7 ال1 ، ال0ج7 ال6ك و1ق1 ه م1 : ي7ك0ر1

           “Dalam hadits ini terdapat dalil bagi keutamaan berkumpul untuk membaca Al Quran di masjid, dan itu merupakan madzhab kami, dan jumhur (mayoritas ulama), sedangkan pendapat Malik: makruh.” (Imam An Nawawi, Syarh Shahih Muslim, No. 4867. Maktabah Al Imam An Nawawi. Mauqi’ Ruh Al Islam)

Page 7: Mabit Di Masjid Dan Beribadah Pada Malam Hari

           Demikian pula yang dilakukan para peserta mabit, mereka berkumpul di masjid dan membaca Al Quran, dan membacanya sendiri-sendiri. Ini memiliki keutamaan menurut pandangan jumhur, sama sekali bukan  tasyabbuh bil kuffar, kalau hanya karena dilakukan di malam hari. Membaca Al Quran adalah aktifitas mutlak kapan pun dan di mana pun kecuali ketika ruku dan sujud, dan ketika di WC dan kuburan.

          Selanjutnya, tentang shalat malam (qiyamullail) berjamaah, ini pun memiliki dalil syar’i yang kuat. Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

6ذ1ا ظ1 إ 1ي0ق1 ل7 أ ج7 ل1ه7 الر2 ل2ي1ا الل2ي0ل6 م6ن0 أ1ه0 و0 ف1ص11 ل2ى أ ك0ع1ت1ي0ن6 ص>>1 ا ر1 يع>>= م6 ا ج1 ك7ت6ب>>1

ات6 الذ2اك6ر6ين1 ف6ي الذ2اك6ر1 و1

           “Jika seorang laki-laki bangun tidur pada malam hari, lalu membangunkan isterinya untuk shalat dua rakaat bersama-sama (jami’an), maka mereka berdua dicatat sebagai orang yang banyak berdzikir.” (HR. Abu Daud, Bab Qiyamullail, No. 1309.  An Nasa’i, As Sunan Al Kubra, No. 1310. Al Hakim, Al Mustadrak, No. 1189, katanya: shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim, tetapi mereka tidak mengeluarkannya. Imam An Nawawi menshahihkan dalam Riyadhushshalihin, Hal. 134. Begitu pula Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Misykah Al Mashabih No. 1238)

           Dari ‘Auf bin Malik Al Asyja’i Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:

ق>>در مكث رك>>ع فلم>>ا وس>>لم علي>>ه الل>>ه ص>>لى الله رسول مع قمت والملك>>وت الج>>بروت ذي س>>بحان ركوع>>ه في ويقول البقرة سورة

والعظمة والكبرياء

           “Aku bangun malam (shalat) bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ketika ruku lamanya sama seperti Surat Al Baqarah, dan dia berdoa pada rukunya, Subhanallahu dzil Khairat wal Malakut wal Kibriya’ wal ‘Azhmah.” (HR.  An Nasa’i, Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Misyhkah Al Mashbih, No. 882)

           Dari Hudzaifah bin Yaman Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:

ل2ي0ت7 ع1 ص1 ل2ى الن2ب6يO م1 ه7 ص>>1 ه6 الل>>2 ل2م1 ع1ل1ي>>0 ة5 ذ1ات1 و1س>>1 ت1ت1ح1 ل1ي0ل>>1 اف0 ة1 ف>>1 ر1 ال0ب1ق>>1ل0ت7 ق7 ك1ع7 ف1 ن0د1 ي1ر0 ائ1ة6 ع6 ل0ت7 م1ض1ى ث7م2 ال0م6 ق7 لOي ف1 ا ي7ص1 ك0ع1ة5 ف6ي ب6ه1 ى ر1 م1ض>>1 ف1ل0ت7 ق7 ع7 ف1 ك>>>1 ا ي1ر0 ت1ت1ح1 ث7م2 ب6ه>>>1 اء1 اف0 ا النOس>>>1 أ1ه>>>1 ر1 ق1 ت1ت1ح1 ث7م2 ف1 ان1 آل1 اف0 ر1 ع6م>>>0

ا أ1ه1 ر1 ق1 7 ف1 أ ر1 ال= ي1ق0 Oس ت1ر1 6ذ1ا م7 ر2 إ ا ب6آي1ة5 م1 ب6يحJ ف6يه1 ب2ح1 ت1س>>0 6ذ1ا س>>1 إ ر2 و1 ؤ1ال5 م>>1 ب6س>>7أ1ل1 6ذ1ا س1 إ ر2 و1 ذ5 م1 Lذ1 ب6ت1ع1و ك1ع1 ث7م2 ت1ع1و2 ل1 ر1 ع>>1 ج1 ول7 ف1 ان1 ي1ق>>7 ب0ح1 بOي1 س>>7 ال0ع1ظ6يم6 ر1ك1ان1 ك7وع7ه7 ف1 ا ر7 و= ه6 م6ن0 ن1ح0 ي1ام6 ال1 ث7م2 ق6 ع1 ق1 م6 ه7 س>>1 د1ه7 ل6م1ن0 الل>>2 م>>6 ام1 ث7م2 ح1 ق>>1ا ط1و6يال= ر6يب>>= ا ق1 ع1 م6م>>2 ك>>1 د1 ث7م2 ر1 ج1 ال1 س>>1 ق>>1 ان1 ف1 ب0ح1 بOي1 س>>7 1ع0ل1ى ر1 ان1 األ0 ك>>1 ف1

ود7ه7 ج7 ر6يب=ا س7 ه6 م6ن0 ق1 ي1ام6 ق6

“Pada suatu malam aku shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau memulai shalat dengan membaca surat Al Baqarah. Aku katakan, ‘Beliau ruku’ setelah membaca seratus ayat pertama, kemudian meneruskan hingga selesai.’ Aku katakan, ‘Beliau shalat dengan (membaca semua ayat itu) dalam satu rakaat, lalu melanjutkan!’ Aku katakan, ‘Setelah itu beliau ruku’ dengannya, kemudian shalat lagi membaca surat An Nisa, lalu Ali Imran. Dia membaca pelan-pelan, jika membaca ayat

Page 8: Mabit Di Masjid Dan Beribadah Pada Malam Hari

tasbih ia bertasbih, jika melewati ayat permohonan ia memohon, jika membaca ayat perlindungan ia berta’awudz. Kemudian ruku’ seraya berkata, ‘Subhana rabbiyal ‘azhim’, ruku’nya sama panjangnya dengan berdirinya, kemudian berkata, ‘Sami’ Allahu liman hamidah’, kemudian berdiri lama seperti lamanya ruku’. Kemudian bersujud seraya berkata, ‘Subhana rabbiyal a’la’ dan lamanya waktu sujud mendekati lamanya waktu berdiri.” (HR. Muslim, Bab Istihbab Tathwil Qira’ah fi Shalatil Lail, No. 772)

           Ini semua menunjukkan bahwa ‘Auf bin Malik dan Hudzaifah bin Al Yaman telah melaksanakan qiyamullail berjamaah bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sebenarnya masih ada beberapa contoh lainnya, namun tiga hadits di atas cukup untuk menunjukkan bahwa Qiyamullail berjamaah adalah masyru’.

           Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah (w. 728H):

ا م2أ1 ة7 و1 ف6 ل1ي0ل>>1 د0 النOص>>0 ق>>1 و6ي1 ف1 ا ف6ي ر7 ل6ه1 اد6يث7 ف1ض>>0 ارJ أ1ح>>1 آث>>1 ل1 و1 ن7ق>>6 ع1ن0 و1

ة5 ل1ف6 م6ن0 ط1ائ6ف1 م0 الس2 1ن2ه7 لLون1 ك1ان7وا أ ا ي7ص1 ة7 ف6يه1 ال1 ل6 ف1ص1 ج7 ا الر2 د1ه7 ف6يه1 و1ح0د0 ه7 ق1 د2م1 يه6 ت1ق1 ل1فJ ف6 ل1ه7 س1 يه6 و1 ةJ ف6 ج2 ال1 ح7 ل7 ي7ن0ك1ر7 ف1 ث>>0 ذ1ا م6 ا ه>>1 م>>2

أ1 ة7 . و1 ال1 الص>>2ا ة= ف6يه>>1 اع>>1 م1 ذ1ا ج1 ه>>1 ب0ن6ي{ ف1 د1ة5 ع1ل1ى م1 اع>>6 ة5 ق1 اع6 ف6ي ع1ام>>2 ت6م>>1 ج0 ع1ل1ى اال6

ال0ع6ب1اد1ات6 الط2اع1ات6 6ن2ه7 و1 إ ا ن1و0ع1ان6 ف1 م1 د7ه7 ن2ةJ أ1ح1 ةJ س7 ات6ب>>1 ا ر1 بJ إم>>2 ا و1اج6 إ6م>>2 و1ت1ح1ب{ ل1و1ات6 م7س0 م0س6 ك1الص2 ة6 ال0خ1 ع>>1 م7 ال0ج7 ال0ع6ي>>د1ي0ن6 و1 ة6 و1 ال1 وف6 . و1ص>>1 ال0ك7س>>7

اء6 ق1 ت6س0 س0 يح6 و1اال6 او6 ر1 الت>>2 ذ1ا و1 ه>>1 ن2ةJ ف1 ةJ س>>7 ات6ب>>1 ة7 ي1ن0ب1غ6ي ر1 اف1ظ>>1 ا ال0م7ح1 ع1ل1ي0ه>>1ة7 د1او1م1 ال0م7 الث2ان6ي و1 ا . و1 ن2ة6 ل1ي0س1 م1 ات6ب1ة5 ب6س7 ث0ل1 ر1 اع6 م6 ت6م1 ج0 ة6 اال6 ال1 ع5 ل6ص1 Lو ت1ط>>1

ث0ل1 ي1ام6 م6 و0 الل2ي0ل6 ق61 اء1ة6 ع1ل1ى أ ر1 آن5 ق6 ر0 و0 ق7

1 ر6 أ ه6 ذ6ك>>0 و0 الل>>21 اء5 أ ذ1ا د7ع>>1 ه>>1 ال1 . ف1

س1ذ0 ل1م0 إذ1ا ب6ه6 ب1أ0 ات6ب1ة= ع1اد1ة= ي7ت2خ1 إ6ن2 ر1 ل2ى الن2ب6ي2 . ف1 ه7 ص>>1 ه6 الل>>2 ل2م1 ع1ل1ي>>0 و1س>>1

ل2ى ع1 ص1 Lاع1ة5 ف6ي الت2ط1و م1 ا ج1 ي1ان>>= ل1م0 أ1ح0 م0 و1 د1او6 ه6 ي>>7 ا إال2 ع1ل1ي>>0 ر1 م>>1 ان1 ذ7ك>>6 و1ك>>1اب7ه7 ح1 ص0

ع7وا إذ1ا أ1 ت1م1 وا اج0 م1ر7د=ا أ1 م0 و1اح6 ن0ه7 1 أ1ن0 م6 أ ر1 ال0ب1اق6ي ي1ق0 ت1م6ع7ون1 و1 ي1س0

           “Ada pun pertengahan malam, telah diriwayatkan keutamaannya dalam hadits-hadits dan atsar, dan dinukil dari sekelompok ulama salaf, bahwa mereka melakukan shalat pada malam tersebut, maka shalatnya seseorang sendirian saat itu telah diutamakan oleh kaum salaf, dan baginya hal itu menjadi hujjah, maka tidaklah diingkari yang seperti ini. Ada pun shalat berjamaah pada waktu tersebut maka hal ini sudah mencakup kaidah umum dalam hal berkumpul untuk melakukan ketaatan dan ibadah. Shalat berjamaah ada dua macam, Pertama. Shalat sunah  rawatib yang memang disunahkan secara berjamaah, baik itu shalat wajib atau shalat sunah,    seperti shalat lima waktu, shalat Jumat, shalat Id, kusuf, istisqa, dan tarawih. Semua itu dikerjakan secara berjamaah sebagaimana yang tertera dalam nash, yang hendaknya dijaga dan dilakukan secara konsisten. Kedua.   sunah  yang bukan rawatib,  berkumpul untuk melaksanakan tathawwu’ (ibadah sunah), seperti qiyamullail, membaca Al Quran, dzikrullah, atau berdoa.  Itu semua tidak apa-apa dilakukan berjamaah, jika tidak dijadikan kebiasaan. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kadang shalat sunah berjamaah tetapi tidak terus menerus, kecuali yang sudah disebutkan. Para sahabatnya jika berkumpul mereka memerintahkan salah satu di antara mereka untuk membaca Al Quran, dan yang lain mendengarkan.” (Majmu’ Fatawa, Juz. 5, Hal. 295)

           Demikianlah, Qiyamullail berjamaah adalah masyru’ ditegaskan oleh hadits shahih, dan terangkan para ulama, selama tidak dilakukan menjadi kebiasaan, melainkan sesekali saja. Memang inilah yang terjadi, tak ada aktifis Islam yang mabit setiap hari di masjid, atau selalu qiyamullail berjamaah. Tidak ada yang demikian. Mereka melakukannya hanya kadang-kadang saja, baik mabit, atau qiyamullail berjamaah. Maka, tidak yang perlu dimasalahkan dari mabit-mabit yang ada saat ini.

Dalil-Dalil Khusus Tentang Mabit (Bermalam) baik di Masjid dan di Rumah Untuk Beribadah

Page 9: Mabit Di Masjid Dan Beribadah Pada Malam Hari

1.       Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma mabit di rumah Rasulullah dan shalat malam berjamaah

Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma berkata:

Lال1ت6ي ب1ي0ت6 ف6ي ب6ت ي0م7ون1ة1 خ1 ار6ث6 ب6ن0ت6 م1 ج6 ال0ح1 و0 ل2ى الن2ب6يO ز1 ه7 ص>1 ه6 الل>2 ع1ل1ي>0ل2م1 ل2ى الن2ب6يL و1ك1ان1 و1س1 ل2م1 ع1ل1ي0ه6 الل2ه7 ص1 ا و1س>>1 د1ه1 ن>>0 ا ف6ي ع6 ل2ى ل1ي0ل1ت6ه>>1 ف1ص>>1Lل2ى الن2ب6ي ل2م1 ع1ل1ي0ه6 الل2ه7 ص1 اء1 و1س1 اء1 ث7م2 ال0ع6ش1 ه6 إ6ل1ى ج1 ن0ز6ل>>6 ل2ى م1 ع1 ف1ص>>1 ب>>1 ر0

أ1ك1ع1ات5 ام1 ث7م2 ن1ام1 ث7م2 ر1 ال1 ث7م2 ق1 ام1 ق>>1 و0 ال0غ7ل1يOم7 ن>>1

1 ة= أ ا ك1ل6م>>1 ه1 ب6ه7 ام1 ث7م2 ت7ش>>0 ق>>1م0ت7 ق7 ه6 ع1ن0 ف1 ار6 ع1ل1ن6ي ي1س1 ج1 ين6ه6 ع1ن0 ف1 ل2ى ي1م6 م0س1 ف1ص1 ك1ع1ات5 خ1 ل2ى ث7م2 ر1 ص>>1

ك0ع1ت1ي0ن6 ت2ى ن1ام1 ث7م2 ر1 ع0ت7 ح1 م6 و0 غ1ط6يط1ه7 س11 ج1 ث7م2 خ1ط6يط1ه7 أ ر1 ة6 إ6ل1ى خ1 ال1 الص2

“(Bittu) Aku mabit di rumah bibiku Maimunah binti Al Harits, isteri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, pada malam itu  nabi berada di sampingnya, lalu beliau shalat isya, kemudian pulang ke rumahnya, lalu shalat empat rakaat, kemudian tidur, kemudian bangun, kemudian dia bersabda: “Bocah kecil (Al Ghulayyim)[4] ini sudah tidur.” Atau kata-kata yang serupa dengan itu. Lalu dia mendirikan shalat, dan aku berdiri di samping kirinya, maka dia memindahkanku ke kanannya, lalu shalat lima rakaat, kemudian dua rakaat, kemudian beliau tidur, sampai aku mendengar suara  dengkurannya, kemudian keluar untuk shalat (subuh).” (HR. Bukhari, Bab As Samari fil ‘Ilmi, No. 117)

2.       Ashhabush Shuffah yang tinggal di masjid nabi juga banyak, hingga tujuh puluh

Para sahabat nabi yang tinggal dipelataran masjid, pastilah mereka bukan hanya tidur dan makan, pastilah mereka juga melaksanakan ibadah di dalamnya, baik siang mau pun malam. Mereka pun tidak sendiri tetapi banyak, mereka pun tidaklah bermalam sehari atau dua hari tetapi bertempat tinggal di masjid.

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:

د0 1ي0ت7 ل1ق1 أ ب0ع6ين1 ر1 اب6 م6ن0 س1 ح1 ص0ة6 أ1 ف2 Lالص

           “Aku telah melihat tujuh puluh dari ashhabush shuffah. (HR. Bukhari, Bab Naum Ar Rijal fi Masjid, No. 431)

           Dari Nafi’, dia berkata:

ن6ي  ب1ر1 ر1 ب0ن7 الل2ه6 ع1ب0د7 أ1خ0 1ن2ه7 ع7م1 و1 ي1ن1ام7 ك1ان1 أ اب{ و1ه7 ب7 ش1 ل1ه7 أ1ه0ل1 ال1 أ1ع0ز1د6 ف6ي ج6 ل2ى الن2ب6يO م1س0 ل2م1 ع1ل1ي0ه6 الل2ه7 ص1 و1س1

          

           “Telah Mengabarkan kepadaku Abdullah bin Umar, bahwa beliau dahulu ketika masih muda, bujang, dan belum berkeluarga, tidurnya di masjid Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (HR. Bukhari Bab Naum Ar Rijal fi Masjid, No. 429)

           Bahkan kaum wanita dibolehkan mabit, dan Imam Bukhari telah membuat Bab Naumil Mar’ati fil Masjid  (Tidurnya Kaum Wanita di Masjid). Namun, itu jika aman dari fitnah, berpakaian syar’i, dan dapat izin dari wali atau suaminya bagi yang sudah nikah.

Dari Al Harits bin Abdirrahman bin Abi Dzubab, dia berkata:

Page 10: Mabit Di Masjid Dan Beribadah Pada Malam Hari

: » كي>>ف فق>>ال ، المس>>جد في الن>>وم عن يس>>ار بن سليمان سألت ؟ فيه ويصلون فيه ينامون الصفة أصحاب كان وقد هذا عن تسألون

»

 

“Aku bertanya kepada Sulaiman bin Yasar tentang tidur di masjid, maka dia menjawab: “Bagaimana kalian bertanya tentang hal ini, padahal Ashhabush Shuffah tidur di masjid dan mereka shalat di dalamnya?” (Al Fakihi, Akhbar Makkah, No. 1199)

3.       Beribadah di Malam hari adalah Kebiasaan Orang Shalih

Hal ini telah ma’ruf, baik mereka lakukan di masjid atau di rumah mereka. Maka, adalah hal yang sangat aneh, bahkan cenderung ngawur, orang yang mengatakan beribadah   malam hari  di masjid adalah menyerupai orang kafir. Bahkan justru itu merupakan waktu yang paling utama.

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah tentang waktu yang paling utama untuk shalat malam:

االخير الثلث إلى تأخيرها االفضل

“Waktu paling utama untuk tahajud adalah mengakhirkannya pada sepertiga malam terakhir.” (Fiqhus Sunnah, Juz. 1, Hal. 203. Darul Kutub Al ‘Arabi)

Inilah waktu yang paling utama, bukan waktu yang membuatnya tasyabbuh bil kuffar!

Dasarnya adalah, dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

بLن1ا ي1ن0ز6ل7 ك1 ر1 ت1ع1ال1ى ت1ب1ار1 اء6 إ6ل1ى ل1ي0ل1ة5 ك7ل2 و1 م1 ين1 ال>>دLن0ي1ا الس>>2 ث7ل7ث7 ي1ب0ق1ى ح6ر7 الل2ي0ل6 خ6 ول7 اآل0 يب1 ي1د0ع7ون6ي م1ن0 ي1ق7 ت1ج6 س>>0

أ1 ه7 ف1 أ1ل7ن6ي م1ن0 ل>>1 ه7 ي1س>>0 أ7ع0ط6ي>>1 ف1ن6ي م1ن0 ر7 ت1غ0ف6 ر1 ي1س0 أ1غ0ف6 ل1ه7 ف1

 

“Tuhan kita Allah ‘Azza wa Jalla tiap malam turun ke langit dunia[5] pada sepertiga malam terakhir. Pada saat itu Allah berfirman: ‘Siapa yang berdoa kepadaKu pasti Kukabulkan, barangsiapa yang memohon kepadaKu pasti Kuberi, dan barangsiapa yang memohon ampunanKu akan Aku ampuni.” (HR. Bukhari, Bab Ad Du’a wash Shalah min Akhir Al Lail, No. 1094. Muslim, Bab At Targhib fid Du’a wadz Dzikri fi Akhir Al Lail wal Ijabah fihi, No. 758)

Selain itu adalah, dari Amr bin ‘Absah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

ب7 ر1 ا أ1ق0 بL ي1ك7ون7 م1 و0ف6 ف6ي ال0ع1ب0د6 م6ن0 الر2 ر6 الل2ي0ل6 ج1 خ6 إ6ن0 اآل0 ت1ط1ع0ت1 ف1 اس>>0اع1ة6 ت6ل0ك1 ف6ي الل2ه1 ي1ذ0ك7ر7 م6م2ن0 ت1ك7ون1 أ1ن0 ك7ن0 الس2 ف1

“Sedekat-dekat hamba kepada Allah adalah pada tengah malam terakhir. Maka jika engkau dapat termasuk golongan yang berdzikir kepada Allah saat itu, usahakanlah!” (HR. At Tirmidzi, No. Bab Ad Du’a fi Adh Dhayf, No. 3650, katanya: hasan shahih gharib. Al Hakim berkata: Shahih Sesuai syarat

Page 11: Mabit Di Masjid Dan Beribadah Pada Malam Hari

Muslim. Al Mustadrak, No. 1162. Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Misykah Al Mashabih, No. 1229)

Apa yang dilakukan seorang hamba kepada Allah Ta’ala saat itu? Berkata Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri Rahimahullah (w.1353H):

ي0ا أ1 ائ6م= و0ف6 ف6ي ق1 ي=ا الل2ي0ل6 ج1 ا د1اع6 ر= ت1غ0ف6 م7س0

           “Yaitu shalat pada sepertiga malam, berdoa, dan memohon ampun.” (Tuhfah Al Ahwadzi, Juz. 10, Hal. 39. Maktabah As Salafiyah)

           Sebenarnya masih banyak hadits-hadits yang menyebutkan bahwa waktu tengah malam, dan sepertiga malam terakhir adalah waktu paling utama untuk beribadah, doa, dan istighfar. Namun, beberapa hadits ini sekiranya telah mencukupi. Maka, sudah jelas bahwa tudingan yang menyebut bahwa mabit di masjid dan menghidupkannya dengan ibadah adalah tasyabbuh bil kuffar dan bid’ah, tidak memiliki landasan yang kuat dalam syariat dan akal sehat.

Maka, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:

ل1و0 ا أ1ن2 ف1 وا ق7وم>>1 ت1م1ع>>7 ال6ي ب1ع0ض1 اج0 ة6 ع1ل1ى الل2ي>>1 ال1 ع5 ص>>1 Lو ر6 م6ن0 ت1ط>>1 أ1ن0 غ1ي>>0ذ7وا ات6ب1ة= ع1اد1ة= ذ1ل6ك1 ي1ت2خ6 ب6ه7 ر1 ن2ة1 ت7ش0 Lات6ب1ة1 الس ه0 ل1م0 الر2 ي7ك0ر1

           “Maka, seandainya sebuah kaum berkumpul pada sebagian malam untuk melaksanakan shalat sunah, dengan tanpa menjadikannya sebagai kebiasaan yang menyerupai sunah rawatib, maka tidaklah dibenci.” (Majmu’ Fatawa, Juz. 5, Hal. 295)

           Ya, dan sudah dikatakan sebelumnya, hal ini pada kenyataannya memang tidak menjadi kebiasaan. Bahkan belum tentu dalam setengah tahun sekali dilaksanakan, dan istilah ‘sering’ pun sangat relatif bagi masing-masing orang.

Contoh Mabit dan Muhasabah Para Salafush Shalih

           Pembahasan sebelumnya  sudah sedikit dipaparkan bahwa ‘Auf bin Malik, Hudzaifah bin Al Yaman, Ibnu Abbas, pernah bermalam bersama Rasulullah dan mereka melakukan Qiyamullail berjamaah. Juga, tentang Ashhabush Shuffah yang mereka tidur di masjid Nabi serta shalat di sana. Berikut ini,   akan kami tambahkan riwayat yang menceritakan para salafus shalih saling berkunjung, bermalam, bahkan kadang menangis bersama (layaknya orang muhasabah), ketika mengingat ayat tentang azab, dosa mereka, kematian, dan kiamat. Di sini akan dipaparkan beberapa saja.

1.       ‘Utbah Al Ghulam Rahimahullah

Berkata Muslimah bin Arfajah Al ‘Anbari, Aku mendengar ‘Anbasah Al Khawash berkata: “Dahulu ‘Utbah Al Ghulam mengunjungiku dan dia mabit (bermalam) dirumahku.” Dia berkata: “Pada malam itu beliau menangis sangat pilu, saat waktu sahur.[6]  Maka ketika paga hari, aku bertanya: “Hatiku gundah semalaman karena tangisanmu, ada apa gerangan wahai saudaraku?”    

‘Utbah menjawab: “Aku menangis karena mengingat hari perhitungan.” Kemudian tubuhnya lunglai terjatuh, langsung aku memegangnya dan aku melihat matanya mengerjap-kerjap dan memerah, lalu aku memangilnya: ‘Utbah .. ‘Utbah! Dia menjawabku dengan suara lirih: “Ingatanku terhadap hari kiamat membuat hubunganku terputus dengan orang-orang yang kucintai .. . ucapannya ini terus diulang-ulang, lalu tangisnya semaki menjadi-jadi dan tubuhnya lemas. Lalu ‘Utbah berkata:

Page 12: Mabit Di Masjid Dan Beribadah Pada Malam Hari

الكريم؟ الحي وأنت محبيك تعذب موالي تراك

           “Oh Tuhanku akankah Engkau siksa hamba yang mencintaiMu, bukankah Engkau Yang maha Hidup dan Maha Mulia?”

           Kata-kata ini terus diulangnya, hingga –demi Allah- aku (‘Anbasah)  pun ikut menangis. (Imam Ibnul Jauzi, Shifatush Shafwah, Juz. 1, Hal. 395)

2.       Muhammad bin Al Munkadir Rahimahullah

Dikisahkan tentang Muhammad bin Al Munkadir, bahwa ketika   shalat malam, beliau menangis tersedu-sedu hingga membuat gundah keluarganya. Keluarganya berusaha mencari tahu apa penyebabnya dia menangis, namun hasilnya nihil, bahkan tangisannya semakin menjadi-jadi. Maka mereka memutuskan untuk mengirim kepadanya, sahabatnya yakni Abu Hazim. Maka Abu Hazim datang kepadanya, maka ketika dia menangis Abu Hazim bertanya: “Wahai saudaraku, apa yang membuatmu menangis hingga keluargamu gundah?” Muhammad bin Al Munkadir menjawab hatiku selalu terlintas sebuah ayat Allah ‘Azza wa Jalla:

يحتسبون يكونوا لم ما الله من لهم وبدا

            ”... dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan.” (QS. Az Zumar (39): 47)

           Abu Hazim pun ikut menangis, bahkan mereka berdua menangis dengan suara keras. Lalu keluarga Muhammad bin Al Munkadir berkata:

ج بك جئنا فزدته عنه لتفر[

           “Kami mendatangkan engkau agar kau bisa hilangkan kesedihannya, justru kau menambahnya.” (Imam Adz Dzahabi, Siyar A’lam An Nubala, Juz. 5, Hal. 355. Mu’asasah Ar Risalah. Imam Ibnul Jauzi, Shifwatus Shafwah, Juz. 1, Hal. 207)

3.       Umar bin Abdil Aziz Radhiallahu ‘Anhu dan Keluarga Menangis Bersama

 

Imam Abu Nu’aim menceritakan, dari Abdussalam, pelayan Musallamah bin Abdil Malik  demikian:

 

ي>>دري ال ال>>دار، أه>>ل فبكى فاطم>>ة فبكت العزي>>ز عب>>د بن عمر بكى فاطمة: ب>>أبي له قالت العبر عنهم تجلى فلما هؤالء، أبكى ما هؤالء

منص>>رف فاطم>>ة ي>>ا ق>>ال: ذك>>رت بكيت؟ مم المؤم>>نين أمير يا أنت في وفري>>ق الجن>>ة في فري>>ق وج>>ل، ع>>ز الل>>ه ي>>دي بين من الق>>ومالسعير

            Umar bin Abdul Aziz menangis, maka Fathimah (isterinya) pun ikut menangis, dan penghuni rumah juga ikut menangis, dan mereka tidak tahu apa yang membuat mereka menangis. Setelah tangisan mereka reda, maka Fathimah bertanya kepada Umar: “Demi ayahmu wahai Amirul mu’minin, karena apa kau

Page 13: Mabit Di Masjid Dan Beribadah Pada Malam Hari

menangis?” Dia menjawab: “Wahai Fathimah, aku teringat pada persimpangan sebuah kaum nanti di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla, segolongan masuk ke surga, dan segolongan masuk ke neraka.” (Imam Abu Nu’aim Al Ashbahani, Hilyatul Auliya’, Juz. 2, Hal. 387)

 

            Demikianlah. Sebenarnya masih banyak contoh lain dari para sahabat, seperti kisah Umar dan Abu Darda yang menangis bersama hingga fajar, tangisannya Abdurrahman bin ‘Auf, dan lain-lain. Namun, kami kira contoh-contoh ini cukup mewakili untuk menjawab tudingan yang mengatakan tidak pernah ada mabit (bermalam) dilakukan oleh para salaf.

 

Standar Ganda dan Peringatan

 

            Para penuding sering terjebak pada sikap standar ganda. Mereka melarang orang lain dalam suatu perbuatan padahal mereka sendiri juga melakukannya. Termasuk dalam hal mabit ini. Pada beberapa kesempatan daurah atau kajian (ta’lim) di beberapa daerah pun, mereka ternyata juga melakukan mabit, tentunya bangun tengah malam untuk tahajjud. Maka, apa bedanya dengan yang lain? Lalu, kenapa ini tidak disebut sebagai tasyabbuh bil kuffar?

 

            Ada pun para mabiters, ada beberapa rambu (dhawabith syar’iyah) yang harus diperjatikan:

 

1.       Jadikan mabit sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, dan dalam rangka memakmurkan masjid.

2.       Tidak mengkaitkan momen atau peristiwa tertentu untuk melaksanakan mabit sehingga menjadi satu paket kegiatan yang baku, demi terhindar pada perilaku mengada-ngada (bid’ah). Misal: mabit yang selalu dikaitkan dengan malam tahun baru, jelas ini merupakan perbuatan bid’ah yang tercela.

3.       Tidak menjadikan mabit sebagai kebiasaan, agar terhindar sikap berlebihan, dan menganggapnya acara wajib. Sebagaimana nabi pernah meninggalkan shalat tarawih berjamaah demi menghindar anggapan bahwa hal itu wajib.

4.       Mabit boleh dilakukan pada waktu-waktu mutlak, tak terikat oleh peristiwa tertentu saja, ada pun jika bertepatan momen tertentu hendaknya dilakukan karena sifatnya dharuri (adanya kebutuhan), dan hanya sesekali saja.

5.       Untuk akhwat hendaknya memperhatikan kepentingan dan kebutuhannya, apakah benar mabit dibutuhkan bagi dia. Jika  masih ingin melakukannya, maka mesti izin dengan walinya,   tempatnya kondusif, dan hendaknya bersama-sama muslimah lainnya yang bisa dipercaya. Namun, jika ada alternatif acara lain yang tidak sampai nginap, seperti jalsah ruhiyah maka itu lebih layak diikuti.

 

Page 14: Mabit Di Masjid Dan Beribadah Pada Malam Hari

Tambahan: Apakah perbuatan Yang Nabi Tinggalkan dan Para sahabat Tidak laksanakan Langsung bermakna pelarangan dan Haram?

           Demikianlah cara pandang sebagian kalangan memberikan penilaian terhadap sebagian amal perbuatan umat Islam. Mereka secara instan memberikan label haram dan bid’ah hanya karena ‘Nabi meninggalkannya’ dan ‘Para sahabat tidak melaksanakannya’, dan Lau kaana khairan lasabaquuna ilaih (seandainya itu baik, maka niscaya mereka akan lebih dahulu melaksanakannya). Sebenarnya, tak ada salahnya dengan alasan-alasan ini, hanya saja jika diterapkan secara pukul rata, maka jelas merupakan ekstrimitas dan kurang memahami bagaimana para ulama umat dalam menyimpulkan sebuah hukum.

           Ada sebuah puisi Syaikh Al ‘Allamah Sayyid Abdullah bin Shiddiq Al Ghummari  dalam  risalah berjudul Husnu Tafahhum wad Daraki Li Mas’ali Taraki.  Puisi ini adalah sindiran untuk kaum yang menjadikan ‘hal yang ditinggalkan’ oleh Nabi adalah terlarang.

Meninggalkan suatu amalan bukanlah hujjah dalam syariat kita

Dan ia tidak bermakna pelarangan atau kewajiban

Siapa yang melarang perbuatan dengan alasan Nabi meninggalkannya

Lalu berpendapat itulah hukum yang benar dan tepat

Sungguh Dia telah menyimpang dari semua dalil-dalil

Bahkan Keliru dalam memutuskan hukum yang shahih, dan dia telah gagal

Tidak ada pelarangan kecuali pelarangan yang diiringi Dengan ancaman dan siksa bagi pelanggarnya

Atau kecaman terhadap suatu perbuatan, dan disertai bentuk sanksi yang pasti

Atau lafaz mengharamkan untuk perkara tercela

 

           Para ulama kaum muslimin, Timur dan Barat, masa lalu atau sekarang telah sepakat bahwa ‘hal ditinggalkan’ itu bukanlah kaidah atau konsep untuk menyimpulkan hukum. Metode yang digunakan para sahabat untuk menetapkan suatu hukum menjadi wajib, sunah, mubah, makruh, atau haram adalah mengikuti metode istimbath dari dalil berdasarkan pada:

 

1.       Adanya nash dari Al Quran

2.       Adanya nash dari As Sunnah

3.       Ijma’ atas suatu hukum

4.       Qiyas (Analogi)

 

Page 15: Mabit Di Masjid Dan Beribadah Pada Malam Hari

Inilah yang disepakati, kecuali kaum zhahiriyah yang menolak qiyas. Namun, para ulama berbeda pendapat dalam pemakaian kaidah untuk menetapkan hukum syariat, antara lain:

 

1.       Fatwa sahabat

2.       Perbuatan penduduk Madinah

3.       Syar’u man Qablana (syariat kaum sebelum kita)

4.       Istihsan

5.       mashalih mursalah

6.       Sadd Adz Dzara’i

7.       ‘Urf (tradisi)

8.       Istishhab, dan kaidah lain yang masyhur dalam dialektika fuqaha ketika menyimpulkan sebuah ketetapan hukum. Tak satu pun mereka menempatkan ‘hal yang dtinggalkan’ sebagai kaidah atau konsep dalam.

 

Dengan demikian, ‘hal yang ditinggalkan’ secara tersendiri tidaklah menunjukkan suatu hukum syariat. Inilah kesepakatan ulama Islam.

 

Banyak bukti dan pendukung dan atsar para sahabat Radhiallahu ‘Anhum, bahwa ketika Rasulullah meninggalkan sesuatu mereka tidak memahaminya sebagai suatu perbuatan yang haram atau dimakruhkan. Demikianlah yang dipahami para fuqaha dari masa ke masa. Namun, bukan di sini tempatnya kami memaparkan bukti, pendukung, dan atsar sahabat tersebut. Namun, mudah-mudahan ini sudah bisa memadai.

 

Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam

[1] Atsar ini diriwayatkan oleh Shafwan bin ‘Isa, berkata kepadaku Al Harits bin Abdirrahman bin Abi Dzubab, lalu disebutkan ucapan di atas. Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, Shafwan bin ‘Isa Az Zuhri, nama panggilannya adalah Abu Muhammad Al Bashri Al Qassam, seorang yang tsiqah (bisa dipercaya). (Taqribut Tahdzib, Juz. 1, Hal. 439). Al Hafizh juga mengatakan, bahwa Ibnu Sa’ad mengatakan: dia seorang tsiqah dan shalih. Ibnu Hibban memasukkannya dalam kitab Ats Tsiqatnya. (Tahdzibut Tahdzib, Juz. 4, Hal. 377) dalam Mizanul I’tidal, dia disebut: Shalihul Hadits (haditsnya baik). (Imam Adz Dzahabi, Mizanul I’tidal, No. 1856). Sementara Al Harits bin Abdirrahman bin Abi Azubab, oleh Imam Ibnu Hibban dimasukkan dalam kitab Ats Tsiqatnya. (Ats Tsiqat, Juz. 6, Hal. 172) Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan Shaduq (jujur). (Taqribut Tahdzib, No. 1033) Yahya bin Ma’in mengatakan dia seorang yang terkenal. Abdurrahman berkata, aku bertanya bapakku, Abu Hatim, katanya: haditsnya munkar, tidak kuat, dan hanya untuk dicatat saja. Abu Zur’ah berkata: orang Madinah, dan tidak apa-apa.(Abu Hatim Ar Razi, Jarh wa Ta’dil, Juz. 3, Hal. 80, No. 365). Demikian keadaan perawi dari atsar ini.

Page 16: Mabit Di Masjid Dan Beribadah Pada Malam Hari

[2] Berkata Syaikh Al Albani: Dhaif jiddan (lemah sekali).(As Silsilah Ad Dhaifah, Juz. 5, Hal. 130.  No. 2131). Sementara Imam Al Haitsami mengatakan: hadits ini diriwayatkan oleh Ath Thabarani dalam Al Kabir, dari Abdurrahman bin Tsauban, dari ayahnya, dan aku belum temukan biografi ayahnya. (Majma’ Az Zawaid, Juz. 2 Hal. 25) Namun, Imam Al ‘Ajluni justru menjadikan hadits ini sebagai penguat dari hadits,” Jauhilah anak-anak kalian dari masjid-masjid kalian ... (Kasyful Khafa’, Juz. 1, Hal. 334-335). Sementara Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Nataij Al Afkar: “Ibnu Mandah berkata dalam Ma’rifatush Shahabah, bahwa hadits ini gharib, Muhammad bin Humaid telah menyendiri dengannya. Aku (Ibnu Hajar) berkata: Muhammad bin Humaid adalah tsiqah dan dan termasuk rijal-nya Bukhari, hanya saja dia menyendiri dalam mewashalkan (menyambungkan) hadits ini.  Abu Al Khutsaimah Al Ju’fi juga telah meriwayatkan dari ‘Ibad bin Katsir, tetapi tidak mengatakan dari kakeknya, dan kerusakan di dalamnya adalah Ad Darawardi. Dan Ad Darawardi ini tsiqah dan sanadnya ma’ruf (dikenal). Tsauban yang disebutkan di sini bukanlah Tsauban yang masyhur sebagai pelayan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ini adalah Tsauban lain, dan dia tidak dikenal kecuali pada sanad ini dan tidaklah meriwayatkan dari Abdurrahman bin Tsauban kecuali anaknya, Muhammad, dan dia pun termasuk sejumlah golongan rawi majhul. (Raudhatul Muhadditsin, Juz. 11, Hal. 78, No. 5078) Tetapi hadits ini memiliki penguat, yang diriwayatkan dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang jual beli di masjid, melantunkan sya’ir, dan mengumumkan barang hilang.” Hadits ini hasan. (Ibid, Juz. 11, Hal. 79)

[3] Ibnu Luhai’ah ini disikapi oleh para imam kaum muslimin menjadi tiga sikap. Pertama, mendhaifkan secara mutlak hadits-haditsnya. Kedua, menghasankan haditsnya seperti yang dilakukan Syaikh Ahmad Syakir. Ketiga, melakukan perincian, yakni dengan memperhatikan apakah hadits yang diriwayatkan itu diriwayatkan ketika kitab-kitabnya masih ada atau sudah terbakar. Telah diketahui, bahwa beliau dahulunya seorang yang dhabith kutub (diakui kualitasnya lantaran buku-bukunya) namun ketika buku-bukunya terbakar, beliau mengalami kekacauan hafalan. Sehingga para ulama memberikan batasan, jika hadits yang diriwayatkan darinya adalah ketika dahulu sebelum buku-bukunya terbakar maka riwayat darinya maqbul (bisa diterima). Namun, jika hadits darinya adalah ketika buku-bukunya sudah terbakar maka mardud (ditolak). Namun, para ulama mengkhususkan tiga orang bernama Abdullah yang meriwayatkan langsung darinya ketika buku-bukunya masih ada dan dia masih dhabith. Jika tiga Abdullah ini meriwayatkan hadits dari Ibnu Luhai’ah, maka hadits riwayatnya bisa diterima, karena merekalah yang meriwayatkan dari Ibnu Luhai’ah ketika dahulu beliau masih bagus. Sikap yang ketiga inilah yang benar. Wallahu A’lam. pen.

[4] Al Ghulayyim adalah panggilan kesayangan buat anak kecil, dan yang dimaksud adalah Ibnu Abbas. (Fathul Bari, Juz. 1, Hal. 212. Darul Fikr)

[5] Al Khalal berkata: telah mengabarkanku Ali bin ‘Isa bahwa Hambal berkata kepada mereka: “Aku bertanya kepada Abu Abdillah (Imam Ahmad bin Hambal) tentang hadits yang meriwayatkan bahwa ‘Allah Ta’ala turun ke langit dunia’, ‘Allah melihat’, ‘Allah meletakkan kakiNya’ , dan hadits-hadits semisalnya?

               

                Imam Ahmad bin Hambal Radhiallahu ‘Anhu menjawab:

 

دL وال بها، ونصدق بها نؤمن ص>>لى الل>>ه رسول به جاء ما أن ونعلم شيئا=، منها ن1ر7 يوص>>ف وال قوله، الله على نرد وال صحاح، أسانيد كانت إذا حق وسلم عليه الله

ه6 " ل1ي0س1 غاي>>ة وال ح>>د بال نفس>>ه به وصف مما بأكثر ث0ل>>6 و1 ش>>يءJ ك1م6 م6يع و1ه>>7 الس>>[الب1صير7

 

           “Kami mengimaninya dan membenarkannya, kami tidak membantahnya sama sekali, dan kami mengetahui bahwa apa-apa yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah benar, jika sanadnya shahih, dan kami tidaklah membantah firmanNya, dan kami tidaklah mensifatiNya lebih banyak dari Dia sifatkan terhadap diriNya, dengan tanpa batas, dan tanpa ujung. “Tidak ada yang serupa denganNya, dan Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat.” (Imam Ibnul Qayyim, Ijtima’ Al Juyusy Al Islamiyah, Hal. 61. Syaikh Dr. Abdullah ‘Azzam, Aqidah wa Atsaruha fi Bina’ Al Jiil, Hal. 57)

 

[6] Maksud Sahur di sini bukanlah makan sahur tetapi nama waktu yakni akhir malam sebelum terbit fajar