mahkamah agung
TRANSCRIPT
-
5/28/2018 Mahkamah Agung
1/15
Mahkamah Agung (MA)
(Supreme Court)
Oleh: I Gusti Ngurah Santika, SPd
Terkait dengan Mahkamah Agung telah ditegaskan merupakan salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman yang merdeka dalam melakukan tugasnya, kemudian ditentukan secara tegas dalam
UUD 1945 (lihat juga ketentuan Pasal 1 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009), di samping terdapat
pula Mahkamah Konstitusi yang juga merupakan pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka
dalam menjalankan tugas dan fungsinya, bahkan kedua lembaga tersebut kedudukan sejajar
dalam UUUD 1945 (lihat juga ketentuan Pasal 1 ayat (3) UU No. 48 Tahun 2009). UUD 1945
setelah mengalami amandemen, ternyata telah merubah ketentuan tentang Mahkamah Agung,
untuk itu hasil dari perubahan tersebut adalah sebagai berikut.
BAB IX
KEKUASAAN KEHAKIMAN
Pasal24
1. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakanperadilanguna menegakan hukum dan keadilan.
2. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agungdan badan peradilanyang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.3. Badan-badan lain yangfungsinya berkaitandengan kekuasaan kehakiman diatur dalamundang-undang (kursif penulis).
Sebelum adanya perubahan terhadap UUD 1945, berkaitan dengan pengaturan Mahkamah
Agung di Bab X tentang Kekuasaan Kehakiman dalam ketentuan Pasal 24 dan 25 UUD 1945,
ternyata hanya terdiri dari dua pasal disertai pula dengan dua ayat. Pasal beserta ayat
sebagaimana dimaksud di atas dapat dilihat di bawah ini.
Pasal 24
1. Kekuasan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badankehakiman menurut undang-undang.
2. Susunan dan kekuasaanbadan-badan kehakiman itu diaturdengan undang-undang.Pasal25
Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan
undang-undang (kursif penulis).
-
5/28/2018 Mahkamah Agung
2/15
Hasil amandemen UUD 1945 telah merombak kedudukan dan fungsi dari kekuasaan
kehakiman yaitu lebih mempertegas lagi tentang kemerdekaan kekuasaan kehakiman, dengan
menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan. Ketentuan ini kemudian
akan lebih menegaskan kedudukan Mahkamah Agung, sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman
yang tidak dapat di intervensi oleh kekuatan apapun, untuk menjalankan tugasnya sesuai dengan
amanat dari UUD 1945, guna menegakan hukum dan keadilan. Ketentuan yang sama, yaitu
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan, dapat
pula kembali kita temui dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam
ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tersebut menyatakan bahwa :
Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara
HukumRepublik Indonesia (kursif penulis).
Adanya ketentuan seperti tersebut di atas, tentunya akan berbeda dengan sebelum adanyaamandemen terhadap UUD 1945, yang sebelumnya tidak secara tegas menyatakan bahwa
kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan merdeka, atau dengan kata lain bahwa tidak ada
satu pasal pun yang secara tegas menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka. Namun, jika kita lihat kembali ke dalam UUD 1945 sebelum di
amandemen, berkaitan dengan kemerdekaan kekuasaan kehakiman ternyata hanya dapat kita
temui dalam Penjelasan UUD 1945 sebelum dihapus yang menyatakan bahwa.
Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh
kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam undang-
undang tentang kedudukan para hakim(kursif penulis).
Agar hakim dapat menjalankan tugasnya dengan bebas, tenang, tentram serta agar
peradilan terlaksana secara fair, menurut hukum, tidak memihak, tidak semena-mena dan adil,
maka perlu adanya jaminan (Mertokusumo,2011;135). Dalam pasal 24 UUD 1945 tersebut
ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman adalah sebuah kekuasaan yang independen, terutama
untuk membuat sebuah keputusan tanpa adanya pengaruh darimanapun, baik legislatif maupun
eksekutif, masyarakat dan pers serta lain-lain di luar badan peradilan dalam menjalankan tugas
konstitusionalnya.Terkait dengan kekekuasaan kehakiman yang merdeka, Penjelasan UU No. 14
Tahun 1970 menyatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman yang merdeka ini mengandung
pengertian di dalamnyaKekuasaan Kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan
Negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari
pihak extra judiciil, kecuali dalam hal-hal yang diijinkan oleh undang-undang.Kebebasan dalam
melaksanakan wewenang judiciil tidaklah mutlak sifatnya, karenatugas dari pada Hakim adalah
untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkanPancasila dengan jalan menafsirkan hukum
dan mencari dasar-dasar serta azas-azas yang jadi landasannya, melalui perkara-perkara yang
dihadapkan kepadanya, sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan Bangsa dan
Rakyat Indonesia. Tujuannya kemerdekaan kekuasaan kehakiman adalah untuk tegaknya
-
5/28/2018 Mahkamah Agung
3/15
hukum dan keadilan, serta sebagai prasyarat utama untuk terwujudnya negara hukum yang
berkedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Menurut Mahmud MD (2010;87)
bahwa kebebasan lembaga peradilan dari campur tangan kekuatan di luarnya merupakan masalah
esensial dalam penegakan hukum. Jadi, prasyarat utama untuk tegaknya hukum adalah bebasnya
badan peradilan dari campur tangan di luar kekuasaan kehakiman. Karena jika badan peradilan
dicampuri urusannya dalam menegakan hukum dan keadilan, yang terjadi hanyalah jatuhnya
keadilan ke dalam kesewenang-wenangan hakim, yang kemudian tercermin dari putusannya,
yang tentunya tidak dapat memenuhi rasa keadilan. Untuk itulah Najih (2008;8) kemudian
menyatakan bahwa dalam menjalankan tugasnya, hakim tidak boleh memihak kepada siapapun
kecuali kepada kebenaran dan keadilan. Dengan demikian, jelas dinyatakan bahwa untuk
tegaknya hukum dan keadilan diperlukan adalah adanya jaminan terhadap peradilan yang bebas
dan merdeka serta tidak memihak pada siapapun kecuali hanya kepada kebenaran dan keadilan.
Tidak memihaknya kekuasaan kehakiman dalam menyelenggarakan peradilan dapat dilihat
kemudian dari putusan-putusan yang dihasilkan, tentunya putusan hakim tersebut tidak
bertentangan dengan undang-undang serta memperhatikan pula rasa keadilan yang hidup ditengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan
jaminan dalam menegakan hukum demi tercapainya keadilan. Karena kekuasaan kehakiman
yang merdeka, merupakan pencerminan daripada suatu negara untuk dianggap sebagai negara
hukum, yang menempatkan hukum sebagai derajat tinggi, terutama dalam menegakan hukum
untuk mencapai keadilan. Bahkan, Utama (2007;34) dengan tegas menyatakan bahwa badan
peradilan di negara hukum, merupakan sub sistem hukum yang paling kentara sekaligus, menjadi
wujud nyata bekerjanya hukum. Pernyataan di atas tidaklah berlebihan, dikarenakan bahwa
keputusan badan peradilan merupakan kata akhir bagi para pencari keadilan, dengan demikian
pada akhirnya, semua keputusan penentu berada pada tangan hakim, sebagai organ yudikatif
yang memberi keputusan hukum atas proses hukum selama ini yang dijalani oleh para pencari
keadilan. Lebih lanjut, dapat dikatakan bahwa ujung tombak daripada negara hukum adalah
terletak pada kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri. Walaupun mungkin aparat
penegak hukum yang lainnya dalam menjalankan kekuasaannya ternyata tidak mampu
menegakan hukum sebagaimana yang dikehendaki oleh masyarakat, namun dengan adanya
kemerdekaan hakim dalam menjalankan tugasnya, tentunya akan lebih mampu untuk
mengurangi lunturnya keadilan. Lembaga peradilan yang merdeka merupakan upaya pencegahan
terhadap kekuasaan sewenang-wenang daripada negara, yang memang telah terbukti dalam
lintasan sejarah. Bahkan, lebih tegas lagi Huijbers (2011;87) menyatakan bahwa prinsip
kedaulatan kekuasaan yudikatif sangat mendorong perkembangan negara hukum. Untuk itu,
ketidakberpihakan kekuasaan kehakiman merupakan pedoman di dalam menjalankan tugasnya,
sebagaimana di amanatkan oleh UUD 1945 untuk tercapainya negara hukum (Pasal 1 ayat (3)
UUD 1945). Negara hukum yang dimaksud di sini adalah negara hukum yang berdasarkan
Pancasila bertujuan mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa, yang tentram aman,
sejahtera, dan tertib, dalam mana kedudukan hukum warga negara dalam masyarakat dijamin,
sehingga tercapai keserasian, keseimbangan dan keselarasan antara kepentingan masyarakat
-
5/28/2018 Mahkamah Agung
4/15
(Soemitro,1998;1-2). Seomitro dalam pernyataannya telah memberikan pedoman untuk
menjalankan kekuasaan kehakiman yang merdeka, yaitu selalu berpedoman dan bercermin pada
nilai-nilai luhur yang menjadi kesepakatan bangsa, yaitu Pancasila. Tentunya keputusan yang
diambil oleh hakim dalam menjalankan tugasnya tidak akan terlepas dari kelima nilai tersebut di
atas, sebagai dasar untuk mengambil keputusan, dengan tujuan untuk mewujudkan tegaknya
hukum dan keadilan. Jika dituruti kelima sila tersebut sebagai acuan dalam pertimbangan untuk
mengambil keputusan, niscaya terkait dengan kemerdekaan kekuasaan kehakiman akan selalu
tercermin kemudian dalam setiap keputusannya yang bersifat objektif, serta mampu
mencerminkan independensinya dalam menegakan hukum dan keadilan, untuk tercapainya
negara hukum yang demokratis.
Lebih lanjut terkait dengan kemerdekaan kekuasaan kehakiman, maka Azhary (tt;97)
memberikan pengertian kemerdekaan yudisial sebagai kemerdekaan dari segala macam bentuk
pengaruh dan campur tangan kekuasaan lembaga lain, baik eksekutif maupun legislatif.
Tentunya, tidak hanya dari eksekutif maupun legislatif yang dapat kemudian menjadi sumber
dari ketidak merdekaan hakim di dalam menjalankan tugasnya, namun mungkin dapat saja
disebabkan oleh kekuasaan lainnya seperti masyarakat, pers, serta kekuatan ekonomi. Namun,
tidak kurang pentingnya untuk disebutkan adalah dengan cara mengurangi penyebab seperti di
atas, yaitu berupa keberanian hakim sebagai modal dalam menegakan hukum dan keadilan,
merupakan salah satu syarat utama untuk merdekanya kekuasaan kehakiman dari pengaruh luar.
Mertokusumo (2006;46) memandang bahwa asas kebebasan peradilan merupakan dambaan
setiap bangsa. Yang dimaksudkan dengan kebebasan peradilan atau hakim ialah bebas untuk
mengadilidan bebas dari campur tangan dari pihak ekstra yudisiil. Pendapat dari Mertokusmo
tersebut di atas merupakan suatu pendapat yang sifanya paling luas, dari berbagai pendapat
sebelum-sebelumnya dengan menyatakan bebas dari campur tangan dari pihak ekstra yudisiil.Dengan demikian, jika intervensi kemudian datang dari dalam kekuasaan yudisial maka hal
tersebut akan bisa dibenarkan. Dalam pada itu dapatlah dicontohkan kemudian terutama terkait
dengan bidang tingkatan peradilan dalam mengambil keputusan, misalnya dapat saja putusan
dari pengadilan negeri yang dikarenakan adanya banding kemudian dinyatakan batal oleh
pengadilan tinggi yang merupakan pengadilan lebih tinggi, kemudian ternyata keputusan dari
pengadilan tinggi tersebut berlanjut kembali dengan adanya permintaan kasasi yang dapat saja
kemudian dibatalkannya keputusan dari pengadilan tinggi tersebut oleh Mahkamah Agung, tiada
lain dikarenakan MA merupakan puncak daripada keempat peradilan yang ada di bawahnya.
Ketentuan kemerdekaan kekuasaan kehakiman dari luar, dapat pula kita temukan dalam
ketentuan Pasal 3 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009, bahwa.
Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman
dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (kursif penulis).
Dengan demikian, campur tangan oleh badan peradilan yang lebih tinggi terhadap
peradilan yang lebih rendah dengan membatalkan keputusannya tersebut dapatlah dibenarkan
-
5/28/2018 Mahkamah Agung
5/15
kemudian. Ini merupakan suatu upaya mekanisme dalam melakukan pengawasan terhadap badan
peradilan yang ada di bawah Mahkamah Agung dalam menjalankan kekuasaan. Kemudian ada
pula tujuan lainnya yaitu merupakan suatu upaya untuk mencapai unifikasi hukum serta
penyamaan persepsi dalam hukum. Dengan demikian, jelaslah bahwa mekanisme seperti itu
tidaklah kemudian dikatakan telah mengurangi serta mempengaruhi kebebasan hakim dalam
mengambil keputusannya. Dalam hal ini berarti tidak dibenarkan untuk mempengaruhi hakim
baik dengan melalui tekanan, paksaan maupun karena kekuasaan yang dimilikinya sehingga
hakim merasa tidak bebas dalam memberikan keputusan (Afandi,1981;65). Tidak lain tujuan
utamanya adalah agar pengadilan benar-benar dapat menjadi benteng terakhir tegaknya hukum
dan keadilan (Nasution,2007;6). Karena peradilanlah merupakan tempat yang terakhir bagi
pencari keadilan untuk meminta keputusan yang adil tanpa dipengaruhi oleh pihak lain. Karena
pengaruh dari pihak lain dalam peradilan dapat saja kemudian menyebabkan hakim terpengaruh
untuk memutuskan suatu perkara yang dihadapkan kepadanya. Bahkan diharapkan peradilan
mampu memenuhi semua harapan dari para pencari keadilan, bukannya sebaliknya yaitu
mempersulit bahkan menghambat dan merintanginya untuk memperoleh keadilan. Pengadilanmembantupencarikeadilandan berusaha mengatasisegalahambatandan rintanganuntuk dapat
tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan (kursif penulis) (Pasal 4 ayat (2)
UU No. 48 Tahun 2009).
Dalam pada itu, akan berbeda sekali dengan UU No 19 Tahun 1964, yang kemudian dalam
ketentuan undang-undang tersebut diketahui bahwa antara lainnya menyatakan untuk
memberikan wewenang kepada Presiden, dalam beberapa hal untuk dapat turut campur tangan
terkait soal-soal pengadilan. Terkait dengan adanya UU No. 19 Tahun 1964, menurut Lubis
(1987;197) merupakan suatu penyimpangan dari prinsip bahwa kekuasaan kehakiman harus
independent yaitu lepas dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan legislatif, consideren UU itu,menilai UU No 19 Tahun 1964 itu sebagai memuat ketentuan-ketentuan yang bertentangan
dengan UUD 1945. Dengan demikian, undang-undang yang dibentuk tersebut sebenarnya adalah
sangat bertentangan dengan konstitusi, walaupun dalam kenyataan telah ditentukan oleh
konstitusi bahwa undang-undang tersebut dibuat oleh lembaga demokrasi, namun jika ternyata
bertentangan dengan prinsip hukum terutama dengan kebebasan kehakiman adalah harus
dibatalkan atau dapat dinyatakan batal demi hukum. Sehingga, Supriyanto (2004;10) kemudian
berpendapat bahwa the Independence of Judiciary is core element of supremacy of law and
democracy) yang sangat didambakan, dapat terwujud. Walaupun untuk dapat mewujudkan
independensi kekuasaan kehakiman sangatlah tidak mudah untuk mengukurnya, namun dapatlah
kemudian dilihat daripada keputusan-keputusan yang tentunya disertai pertimbangan-
pertimbangan hakim yang dikeluarkannya untuk menjawab pertanyaan para pencari keadilan.
Peran Lembaga Peradilan yaitu untuk menjamin penerapan hukum dalam masyarakat dapat
berlangsung dengan baik dan mencapai sasaran (Perwita dan Yani,2011;114). Lebih lanjut bagi
negara yang meletakan rakyat sebagai sumber kedaulatan, maka berdasarkan pemikiran tersebut
masyarakat kemudian dapatlah melakukan kontrol terhadap proses peradilan, apakah kemudian
dalam melaksanakan tugasnya hakim dapat mencerminkan kemerdekaannya untuk menegakan
-
5/28/2018 Mahkamah Agung
6/15
hukum dan keadilan. Oleh karena itulah, kemudian dalam ketentuan dari Pasal 13 ayat (1) dan
(1) UU No. 48 Tahun 2009, pada intinya mengamanatkan agar semua sidang pemeriksaan dalam
proses peradilan dilaksanakan terbuka untuk umum, bahkan juga termasuk putusannya haruslah
kemudian diucapkan di depan pengadilan yang terbuka untuk umum. Apabila hal tersebut tidak
dituruti maka berakibat batalnya putusan yang diambil oleh hakim. Sidang yang tertutup
memang dapat saja dibenarkan, apabila kemudian dalam undang-undang menentukannya dengan
tegas, seperti berkaitan dengan kesusilaan, perceraian, dll.
Perlu ditegaskan kembali berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, yang tidak hanya
dilakukan oleh Mahkamah Agung, seperti sebelum diamandemennya UUD 1945. Karena
ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 setelah amandemen, ternyata menentukan bahwa selain
adanya Mahkamah Agung, ternyata terdapat Mahkamah Konstitusi yang berada di sampingnya
serta memiliki peran sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, bahkan pada dasarnya memiliki
kedudukan sama pula. Ketentuan yang sama dapat dijumpai kemudian dalam ketentuan dari
Pasal 18 UU No. 48 Tahun 2009 yang mengatur tentang pelaksana kekuasaan kehakiman, yaitu
Mahkamah Agung dengan keempat badan peradilan yang berada di bawahnya, serta terdapat
Mahkamah Konstitusi yang berdiri di sampingnya, tentunya kedudukannya terpisah dengan
Mahkamah Agung selain adanya perbedaan tugas dan wewenang lainnya, seperti apa yang
memang telah ditentukan dalam UUD 1945. Dengan demikian, terdapat dua lembaga negara
yang pada dasarnya merupakan pelaksana daripada kekuasaan kehakiman. Namun, bedanya
adalah berupa tugas dan kewenangan yang telah ditentukan di dalam UUD 1945, termasuk pula
dalam hal ini berkaitan dengan struktur dari keempat peradilan yang berada di bawah Mahkamah
Agung tidaklah dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi. Perlulah kemudian untuk diketahui
selanjutnya terkait dalam menjalankan kekuasaannya, yaitu Mahkamah Agung, kemudian dalam
kenyataannya terdapat lembaga negara lainnya yang bertugas pula untuk menjalankan kekuasaankehakiman, yang struktural ternyata tidak berada di bawahnya atau dengan kata lain bahwa pada
intinya kedua lembaga negara tersebut tidaklah memiliki hubungan, karena memang keduanya
lembaga negara tersebut terpisah satu sama lain menurut UUD 1945. Sehingga jika kita simak
kembali ketentuan dari Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 terlihatlah bahwa dari rumusan ini kemudian
dapat disimpulkan bilamana kekuasaan kehakiman ternyata terbagi dalam 2 (dua) cabang, yaitu
cabang peradilan biasa (ordinary court) yang berpuncak pada MA dan cabang peradilan
konstitusi yang dijalankan oleh MK (Wasito dkk,2010;593). Dengan kata lain, bahwa reformasi
di bidang hukum (amandemen UUD 1945) telah menempatkan Mahkamah Agung tidak lagi
satu-satunya kekuasaan kehakiman, tetapi Mahkamah Agung hanya salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman (Triwulan dan Widodo,2011;83).
Berkaitan dengan Mahkamah Agung sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang
merdeka dengan empat badan peradilan yang berada di bawahnya. Maka setelah reformasi UUD
1945, berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, dalam sistem ketatanegaraan Indonesia juga
diperkenalkan sebuah lembaga negara baru yang bertugas melaksanakan kekuasaan kehakiman
yaitu Mahkamah Konstitusi, yang ditentukan juga merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman
-
5/28/2018 Mahkamah Agung
7/15
yang merdeka. Menurut Asshiddiqie (2006;41) bahwa memang benar Mahkamah Konstitusi dan
Mahkamah Agung adalah lembaga independen yang sama sekali terpisah dari cabang kekuasaan
legislatif dan eksekutif oleh karena itu, dalam menjalankan fungsi peradilan (rechtsprekende
functie) dan fungsi pengaturan (regelende functie), kedua mahkamah ini bersifat independen dari
segala bentuk intervensi. Fatmawati (2005;17) kemudian menyatakan Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, merupakan lembaga negara
yang dijamin kemerdekaannya dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan
demikian, ketentuan kemerdekaan kekuasaan kehakiman tentunya sangat penting bagi
Mahkamah Agung di dalam menjalankan tugas dan kewenangannya sesuai dengan UUD 1945
agar kemudian tercipta negara hukum yang bersifat demokratis. Karenanya, Manan dan Magnar
(1997;40) menyatakan bahwa baik menurut paham kedaulatan (demokrasi) maupun paham
negara berdasarkan atas hukum (der rechtsstaatatau the rule of law, kekuasaan kehakiman yang
bebas, merupakan unsur mutlak untuk menjamin terselenggaranya pemerintahan yang
berkedaulatan rakyat dan berdasarkan atas hukum. Tanpa adanya kemerdekaan bagi kekuasaan
kehakiman, yang kemudian diselenggarakan oleh Mahkamah Agung, maka kedaulatan rakyatakan mudah tergelincir sehingga menjadi anarki. Dalam melaksanakan seluruh tugas dan fungsi
kekuasaan kehakiman, hakim diwajibkan untuk tetap mempertahankan kemandirian sistem
peradilan. Ini artinya bahwa asas imparsial dan bebas merdeka itu tidak boleh digunakan sebagai
perisai dalam melindungi anasir-anasir negatif yang mungkin saja bermain ketika peradilan
memutus perkara (Asshiddiqie dan Syahrizal,2012;91). Ini membuktikan bahwa kekuasaan
kehakiman ternyata begitu rentan terhadap intervensi dari kekuasaan-kekuasaan lain, yang pada
akhirnya menginginkan agar kekuasaan kehakiman menjadi tidak independen dalam
menjalankan fungsinya. Oleh karena itu, untuk menghadapi tekanan-tekanan penguasa terhadap
lembaga peradilan merupakan suatu keniscayaan, yang harus selalu dilakukan oleh lembaga
peradilan terutama hakim agar tetap independen dalam memutus kasus. Kekuasaan lainnya akan
selalu mencoba untuk melakukan intervensi terhadap kekuasaan kehakiman, tidak lain
dikarenakan bahwa peradilan merupakan suatu kekuasaan (dalam arti functie), yang berdiri
sendiri berdampingan dengan kekuasaan lainnya (Basah,1985;28). Kekuasaan dimaksud adalah
lembaga kekuasaan eksekutif, legislatif, serta partai politik, pers dan lain-lainnya yang sewaktu-
waktu dapat saja kemudian mengintervensi daripada kekuasaan kehakiman.
Berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, khususnya Mahkamah Agung dalam menjalankan
tugasnya yang berat sebagai suatu lembaga negara bertujuan untuk menegakan hukum dan
keadilan, maka diperlukan orang-orang yang bijaksana untuk kemudian menjadi hakim agung
dalam menjalankan tugasnya yang mulia. Sebutan atau kata Agung mencerminkan betapa tinggi
nilai lembaga, sekaligus terkandung pengertian betapa besar kewajiban yang diletakan pada
lembaga tersebut untuk menegakan keadilan (Ranadireksa,2009;223). Oleh karenanya, tumpuan
utama yang diletakan oleh rakyat melalui UUD 1945, kepada Mahkamah Agung haruslah
kemudian dilaksanakan dengan konsekuen. Tidak lain disebabkan tanpa itu, hukum yang
sebenarnya menjadi tumpuan dalam mencari keadilan, tidak akan mampu memberikan suatu
perlindungan yang nyata bagi rakyat sebagai pemegang kedaulatan sebagamana amanat dari
-
5/28/2018 Mahkamah Agung
8/15
UUD 1945. Untuk menegakan keadilan, maka diperlukan hakim yang benar-benar memiliki
integritas, serta dapat memahami amanat yang dibebankan kepadanya secara konstitusional.
Bahkan, menurut Setiyono (2008;33) bahwa hakim harus mengadili menurut hukum dan
menjalankan dengan kesadaran akan kedudukan, fungsi dan sifat hukum. Untuk itu, perlukan
hakim yang jujur dan berani dalam menegakan hukum, yang dalam kenyataannya memang
sebenarnya diamanatkan oleh lembaganya yang tentunya merdeka, sehingga benar-benar mampu
memberikan keputusan yang sifanya objektif, serta dapat memenuhi harapan para pencari
keadilan. Sekalipun putusan hakim yang diambil belum tentu sesuai dengan ketentuan yang ada
dalam undang-undang, namun bisa saja karena hakim tersebut memiliki perasaan keadilan,
sehingga kemudian dapat memberi dasar-dasar putusan yang dapat diterima, serta
dipertanggungjawabkan tidak hanya secara yuridis, sosial, serta moral, namun tetap dengan
menjungjung tinggi Tuhan Yang Maha Esa. Bahkan, dalam Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 Tahun
2009 dinyatakan, Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas , melainkan
wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Hakim wajib menggali, mengikuti, danmemahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (kursif penulis)
(Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009).
Berkaitan dengan struktur organisasi Mahkamah Agung, maka dapat dikatakan bahwa
Mahkamah Agung merupakan puncak dari keempat peradilan yang berada di bawahnya yaitu
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer dan
lingkungan peradilan tata usaha negara. Bahkan, Mahkamah Agung merupakan badan peradilan
yang tertinggi daripada peradilan yang ada di bawahnya (lihat Pasal 20 UU No. 48 Tahun 2009).
Asshiddiqie (2003;34) menyatakan ditinjau dari segi hubungan hakim dalam kelembagaan
tersebut bahwa hubungan antar satu hakim dengan hakim yang lain besifat horizontal, tidak adahubungan vertical atasan dan bawahan. Lebih lanjut menurutnya semua pendapatnya tersebut
timbul dari doktrin kebebasan atau kemerdekaan hakim, yaitu setiap individu hakim dalam
menjalankan tugas utamanya sebagai hakim yang bersifat bebas dan merdeka tidak bertanggung
jawab kepada atasannya. Menurut Kelsen (2011;390) bahwa para hakim biasanya bebas yakni,
mereka hanya tunduk kepada hukum dan tidak tunduk kepada perintah atau intruksi dari organ
yudikatif atau administratif yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan, ke atas hakim bertanggung
jawab secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa dan ke bawah bertanggungjawab secara
hukum. Bahkan, dengan adanya doktrin kebebasan kekuasaan peradilan, yang kemudian menurut
Soepomo (2005;67) bahwa di mana undang-undang memberi peraturan, hakim adalah bebas
di dalam menentukan keputusannya. Terkait dengan peradilan yang secara struktural berada di
bawah Mahkamah Agung maka Kusnardi dan Sarigih (1986;84) berpendapat bahwa hubungan
Peradilan Agama, Militer dan Tata Usaha Negara merupakan peradilan khusus, karena mengadili
perkara-perkara tertentu, sedangkan Peradilan Umum adalah peradilan bagi rakyat pada
umumnya mengenai baik perkara pidana maupun perkara perdata. Karena dalam peradilan
militer yang terkait di sana adalah berkenaan dengan kepentingan militer, sedangkan peradilan
agama adalah peradilan yang khusus yang berkaitan dengan agama Islam, sedangkan peradilan
-
5/28/2018 Mahkamah Agung
9/15
tata usaha negara merupakan berkaitan dengan tindakan penyelenggara tata usaha negara yang
merugikan rakyat, maka dapat dimintakan putusan peradilan tata usaha negara tentang tindakan
pemerintah tersebut.
Untuk selanjutnya, kemudian ternyata masih diakuinya adanya badan-badan lain selain
ditentukan dalam UUD 1945 yang menjalankan kekuasaan kehakiman (Pasal 24 ayat (3) UUD1945). Dalam Penjelasan Pasal 38 UU No. 48 Tahun 2009 kemudian dalam ketentuan tersebut
ternyata memberikan penafsiran terhadap pengertian badan-badan lainnya yang bertugas
menyelenggarakan kekuasaan kehakiman bahwa Yang dimaksud dengan "badan-badan lain"
antara lain kepolisian, kejaksaan, advokat, dan lembaga pemasyarakatan. Sedangkan dalam
ketentuan Pasal 38 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009, menyatakan bahwa Fungsi yang berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.penyelidikan dan penyidikan;b.penuntutan;
c.pelaksanaan putusan;d.pemberian jasa hukum; dan
e.penyelesaian sengketa di luar pengadilan.Pada intinya lembaga-lembaga sebagaimana dimaksud di atas, tentunya memiliki
keterkaitan fungsi secara nyata atau bersentuhan dengan kekuasaan kehakiman. Adanya
ketentuan ini merupakan jalan keluar bagi tidak dimasukannya kejaksaan sebagai salah satu
pelaku kekuasaan kehakiman pada saat berlangsungnya amandemen UUD 1945. Pencantuman
ketentuan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 di atas juga merupakan suatu antisipasi terhadap
perkembangan yang mungik saja terjadi pada masa yang akan datang, misalnya kalau ada
perkembangan terhadap badan-badan peradilan lain yang tidak termasuk dalam kategori keempat
lingkungan peradilan yang sudah ada seperti diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Tentu
kemudian kedudukan badan-badan peradilan selain yang sudah ditentukan dalam UUD 1945,
dapatlah dikatakan tidak berbeda dengan badan-badan lainnya yang juga melaksanakan
kekuasaan kehakiman, hal ini dikarenakan baik badan-badan pelaksana kekuasaan kehakiman
dalam UUD 1945 muapun kejaksaan misalnya, dalam kenyataaannya memiliki kedudukan sama
penting dalam konsitusi atau sama-sama penting secara konstitusional. Terkait dengan adanya
ketentuan dari Pasal 24 ayat (3) UUD 1945, MPR (2011;147-148) menyatakan bahwa.
Ketentuan Pasal 24 ayat (3) menjadi dasar hukum keberadaan berbagai badan lain yang
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, antara lain lembaga penyidik dan lembaga
penuntut. Hal-hal mengenai badan lain itu diatur dalam undang-undang. Pengaturan dalam
undang-undang mengenai badan lain yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman
membuka partisipasi rakyat melalui wakil-wakilnya di DPR untuk memperjuangkan agar
aspirasinya dan kepentingannya diakomodasi dalam pembentukan undang-undang tersebut.
Adanya ketentuan pengaturan dalam undang-undang tersebut merupakan salah satu wujud
saling mengawasi dan mengimbangi antara kekuasaan yudikatif MA dan badan peradilan di
bawahnya serta MK dengan kekuasaan legislatif DPR dan dengan kekuasaan eksekutif
-
5/28/2018 Mahkamah Agung
10/15
lembaga penyidik dan lembaga penuntut. Selain itu, ketentuan itu dimaksudkan untuk
mewujudkan sistem peradilan terpadu (integrated judiciary system) di Indonesia.
Pencantuman Pasal 24 ayat (3) di atas juga untuk mengantisipasi perkembangan yang
terjadi pada masa yang akan datang, kalau ada perkembangan badan-badan peradilan lain
yang tidak termasuk dalam katagori keempat lingkungan peradilan sudah diatur dalam
undang-undang.
Selanjutnya pengaturan berkaitan dengan kewenangan, syarat-syarat seorang hakim agung
dan juga proses pengangkatan hakim agung serta tata cara pemilihan Ketua dan wakil ketua
Mahkamah Agung, telah ditentukan dengan tegas dalam ketentuan Pasal 24A UUD 1945 yang
menyatakan bahwa.
(1) Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan
mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
(2) Hakim agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil,profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.
(3) Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat
untuk mendapatkanpersetujuandan selanjutnya ditetapkansebagai hakim agung oleh
Presiden.
(4) Ketua dan wakil ketua Mahkamah Agung dipilihdaridan oleh hakim agung.
(5) Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan
peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang.
Berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Agung yang telah ditentukan dalam UUD 1945
menurut ketentuan Pasal 24A ayat (1), pasal ini menegaskan bahwa dalam UUD 1945,Mahkamah Agung diberikan dua kewenangan secara konstitusional yaitu (1) mengadili pada
tingkat kasasi, dan (2) menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang. Sedangkan, kewenangan lainnya, merupakan kewenangan yang
didelegasikan oleh pembentuk undang-undang. Dengan kata lain, bahwa kewenangan tersebut
merupakan bersifat tambahan yang tidak diberikan oleh UUD 1945 namun oleh UU
(Asshiddiqie,2006). Pengaturan yang sama kemudian juga dapat dilihat kembali dalam ketentuan
Pasal 20 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009, yang menyatakan kewenangan Mahkamah Agung
yaitu.
a. Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhiroleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah
Agung, kecualiundang-undang menentukan lain;
b. Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; dan
c. Kewenangan lainnyayang diberikanundang-undang.
-
5/28/2018 Mahkamah Agung
11/15
Berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Agung yang mengadili pada tingkat kasasi,
maka menurut Subekti (1983;105) bahwa perkataan kasasi berasal dari perkataan Perancis
casser yang berarti memecahkan atau membatalkan, sehingga kalau suatu permohonan kasasi
terhadap suatu putusan Pengadilan bawahan diterima oleh Mahkamah Agung, maka itu berarti
bahwa putusan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung karena dianggap mengandung
kesalahan penerapkan hukum. Sedangkan, untuk kamus istilah hukum Fockema Andreae dalam
Marpaung (2004;3) menyatakan bahwa cassatie, kasasi, pembatalan, pernyataan tidak
berlakunya keputusan Hakim rendahan oleh Mahkamah Agung, demi kepentingan kesatuan
peradilan. Menurut penulis kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah Agung untuk
membatalkan keputusan pengadilan di bawahnya (banding) merupakan salah satu bentuk
pengawasan Mahkamah Agung dari dalam terutama terkait dengan penerapan hukumnya.
Menurut Mertokusumo (2011;131) bahwa kasasi adalah peradilan, sedang peradilan berarti
pelaksanaan hukum, maka pada hakikatnya tujuan kasasi bukanlah mencapai kesatuan hukum,
melainkan kesatuan dalam pelaksanaan hukum atau kesatuan dalam peradilan. Bahkan, putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan tetap pun masih dapat dimintakan peninjauankembali, tentunya jika karena keadaan tertentu yang kemudian dapat diterima oleh undang-
undang (lihat Pasal 24 UU No. 48 Tahun 2009). Dapatlah kemudian dikatakan, bahwa
kewenangan Mahkamah Agung untuk membatalkan putusan peradilan yang ada di bawahnya
merupakan tugas utama daripada Mahkamah Agung dalam bidang pengawasannya. Pendapat
tersebut adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 39 UU No. 48 Tahun 2009 yang menyatakan
bahwa Pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan
peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dalam menyelenggarakan kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung (kursif penulis). Bahkan, pengawasan MA
sebagaimana dimaksud tersebut di atas tentunya juga meliputi pengawasan tertinggi terhadap
pelaksana tugas administrasi dan keuangan. Selain itu, ternyata pengawasan internal terhadap
tingkah laku hakim dilakukan juga oleh MA. Namun, dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dilakukan pula pengawasan eksternal oleh
Komisi Yudisial. Komisi Yudisial mempunyai tugas utama yaitu melakukan pengawasan
terhadap perilaku hakim berdasarkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim. Namun,
pada dasarnya ditentukan bahwa pengawasan tersebut tidak boleh mengurangi kebebasan hakim
dalam memutus perkara.
Katamenguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang adalah merupakan
hak MA untuk melaksanakan tugasnya berkaitan penyesuaian bidang peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang agar tidak ada peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang tersebut yang kemudian bertentangan dengan
kedudukan undang-undang yang ada di atasnya. Hal ini berarti jika suatu saat ada peraturan
perundang-undangan yang kedudukannya berada di bawah undang-undang yang bertentangan
dengan undang-undang di atasnya, maka terhadap peraturan tersebut kemudian dapatlah diuji
dan dapat pula dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Sedangkan untuk pengujian peraturan
perundang-undang yang kedudukannya berada di bawah undang-undang dapat diuji dengan dua
-
5/28/2018 Mahkamah Agung
12/15
cara yaitu secara formil dan materil. Terkait dengan pengujian peraturan perundang-undangan
secara materil, maka Abdullah (2006;10) berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hak uji
Materiil adalah hak atau kewenangan yang dimiliki oleh lembaga yudikatif untuk melakukan
pengujian mengenai sah atau tidaknya suatu peraturan perundang-undangan terhadap peraturan
perundang-undangan yang tingkatnya lebih tinggi. Lebih jelas lagi bahwa jika ternyata ada suatu
peraturan perundang-undangan yang kedudukannya berada di bawah undang-undang, yang
dilihat dari isinya ternyata bertentangan dengan isi undang-undang, maka untuk itu kemudian
dapat dimintakan pembatalan kepada Mahkamah Agung. Dengan kata lain yang diuji merupakan
keputusan penguasa yang dilihat dari segi isinya mempunyai kekuatan mengikat umum
(Soemardi,1986;15). Adanya pengaturan hal tersebut merupakan suatu konsekuensi dari
dianutnya prinsip hierarkis peraturan perundang-undangan, yang tentunya menyatakan bahwa
suatu peraturan yang kedudukannya lebih rendah, isinya tidak boleh bertentangan dengan isi dari
peraturan yang kedudukannya lebih tinggi tingkatannya (lex superior derogate legi inferiori).
Dalam pada itu, tentunya akan berbeda dengan pengujian secara formal yang dilakukan oleh
Mahkamah Agung, di mana jika ada suatu peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, yang dalam kenyataan dibentuk tidak sesuai dengan prosedur seperti apa yang telah
ditentukan dalam ketentuan undang-undang, maka secara keseluruhan daripada peraturan
perundang-undangan yang berkedudukan di bawah undang-undang tersebut dapat dibatalkan.
Dari paparan tersebut kemudian, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa jika pengujian peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang yang dilakukan oleh
MA secara materiil, maka dapat dinyatakan batal adalah salah pasal atau bagian tertentu dari
peraturan tersebut yang diminta untuk diujikan. Sedangkan jika ternyata pengujian peraturan
perundang-undangan yang berkedudukan di bawah undang-undang terhadap undang-undang-
undang ternyata dilakukan secara formil, maka akibatnya putusan dari pembatalan tersebut oleh
MA adalah secara keseluruhan peraturan perundang-undang yang kedudukannya berada di
bawah undang-undang adalah batal dan tidak berlaku. Pengujian peraturan perundang-undangan
yang kedudukannya berada di bawah undang-undang terhadap undang-undang yang dilakukan
oleh Mahkamah Agung, dapat dilakukan melalui tingkat kasasi maupun secara langsung, yaitu
dapat kemudian diajukan ke Mahkamah Agung, kemudian permohonan tersebut cukup dibuat
secara tertulis dalam bahasa Indonesia baik oleh pemohon maupun kuasanya. Pendapat tersebut
adalah sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 20 ayat (3) UU No. 48 Tahun 2009 bahwa Putusan
mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagai hasil pengujian dapat diambil
baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan
langsung pada Mahkamah Agung (kursif penulis). Permohonan hanya dapat dilakukan oleh
pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat
hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; atau c. badan hukum
publik atau badan hukum privat. Berkaitan dengan kewenangan MA yang hanya menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, maka
-
5/28/2018 Mahkamah Agung
13/15
Mahkamah Agung tidaklah memiliki kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD
1945. Pendapat tersebut adalah sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Kartasapoetra (1987;69)
bahwa pada dasarnya Mahkamah Agung tidak mempunyai hak menguji, baik formal maupun
material terhadap undang-undang.
Mengenai upaya pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undangterhadap undang-undang, dapat dikatakan merupakan upaya pengujian legalitas (legal review).
Pengujian yang dilakukan oleh Mahkamah Agung ini jelas berbeda dari pengujian konstitusional
(constitutional review) yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Pertama, obyek yang diuji
hanya terbatas pada peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang (judicial review of
regulation). Hal ini dikarenakan, pengujian arah konstitusionalitas undang-undang (judicial
riview of law) dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Kedua, yang dijadikan batu penguji oleh
Mahkamah Agung adalah undang-undang, bukan UUD. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
pengujian norma hukum yang dilakukan oleh Mahkamah Agung adalah pengujian legalitas
peraturan (judicial review on the legality of regulation), sedangkan pengujian oleh Mahkamah
Konstitusi merupakan pengujian konstitusionalitas undang-undang (judicial review on the
constitutionality of law). Yang terakhir ini biasa di sebut dengan istilah pengujian konstitusional
atas undang-undang (constitutional of law) (Asshiddiqie,2006;158).
Dalam ketentuan Pasal 24A ayat (2) UUD 1945 ditentukan pula syarat untuk dicalonkan
menjadi hakim agung, kemudian dinyatakan bahwa untuk menjadi hakim agung haruslah
memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional yang tentunya berkaitan
dengan keahliannya dalam bidang hukum dan sudah memiliki pengalaman sesuai dengan
keahliannya di bidang hukum tersebut (lihat Pasal 6 UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung). Calon hakim agung kemudian
ditetapkan oleh Presiden setelah mendapatkan persetujuan dari DPR yang sebelumnya diajukan
oleh KY (Pasal 24A ayat (3) UUD 1945). Jumlah calon hakim agung yang diajukan oleh KY ke
DPR adalah tiga kali lipat dari jumlah yang dibutuhkan untuk menjadi hakim agung (lihat Pasal
8 ayat (3) UU No. 3 Tahun 2009). Kemudian, selanjutnya ditentukan bahwa untuk memilih
Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung diserahkan kembali kewenangannya kepada anggota
hakim agung sendiri untuk memilihnya (Pasal 24A ayat (4) UUD 1945) jo. (Pasal 8 ayat (7) UU
No. 3 Tahun 2009),, Terkait dengan susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara
Mahkamah Agung serta badan peradilan yang kedudukannya berada di bawahnya diatur dengan
undang-undang (Pasal 24A ayat (5) UUD 1945). Undang-undang yang di maksud adalah UU
No.14 tahun 1985 jo. 5 Tahun 2004 jo. UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.
Selain adanya tugas seperti apa yang telah disebutkan di atas, ternyata MA memiliki suatu
tugas yaitu untuk memberikan pertimbangan kepada Presiden berkaitan dengan pemberian grasi
dan rehabilitasi (Pasal 14 UUD 1945). Kemudian dapatlah diketahui bahwa berkaitan dengan
pertimbangan yang telah diberikan oleh Mahkamah Agung kepada Presiden terkait dengan grasi
dan rehabilitasi tersebut tentunya tidaklah mengikat secara hukum. Namun, dapatlah dikatakan
mengikatnya pertimbangan Mahkamah Agung terkait dengan pemberian grasi adalah terletak
-
5/28/2018 Mahkamah Agung
14/15
pada bidang moral. Kemudian juga ditentukan bahwa Mahkamah Agung berwenang untuk
mengajukan 3 orang guna menjadi hakim konstitusi (Pasal 24C ayat (3) UUD 1945). Berkaitan
dengan semua tugas dan kewenangan yang dimiliki oleh MA adalah sesuai dengan ketentuan
Pasal 22 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2009 yang pada dasarnya menyatakan bahwa Mahkamah
Agung dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga
negara dan lembaga pemerintahan.Ketentuan ini merupakan hubungan MA dengan lembaga-
lembaga negara lainnya dalam sistem ketatanegaran Indonesia, yang merupakan wujud daripada
saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances).
-
5/28/2018 Mahkamah Agung
15/15
BIODATA PENULIS
I Gusti Ngurah Santika S.Pd, lahir di Yeha 1 Agustus
1988. Anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan I Gusti
Ngurah Oka dan I Desak Ayu Putu. Menyelesaikan pendidikandasar di SDN 1 Peringsari (1996-2002) kemudian melanjutkan ke
SMPN 1 Selat (2002-2005) dan pendidikan menengah di SMAN
1 Selat (2005-2008) kemudian pada peruguruan tinggi (2009-
2012). Setelah menyelesaikan pendidikan SMA kemudian bekerja
sebagai security pada PT Arkadena sampai januari 2012. Pada
saat yang bersamaan mendapatkan kesempatan untuk mengikuti
pendidikan di perguruan tinggi sambil bekerja, akhirnya lulus
dengan predikat cumlaude. Kemudian untuk sekarang ini penulis
belum bekerja, namun sedang melanjutkan pendidikan S2 pada
Program Studi Pendas di Undhiksa.
Pengalaman penulis selama mengikuti pendidikan di perguruan tinggi adalah sebagai
nara sumber dalam temuwicara menyambut bulan Bung Karno yang diselenggarakan Gor
Kapten Sujana (Lapangan Buyung) Kota Denpasar (2012). Nara sumber dalam seminar alumni
FKIP Universitas Dwijendra (2012), Mahasiswa berprestasi Prodi PKn, sebagai salah satu
pemenang karya ilmiah tingkat nasional yang diselenggarakan oleh Dikti. Selain itu, penulis juga
aktif mengikuti seminar-seminar yang berhubungan dengan bidang studi yang di dalami.
Berkaitan dengan kritik dan saran terhadap tulisan sebelumnya, dapat disampaikan langsung
kepada penulis dengan menghubungi alamat maupun no hp yang ada di bawah ini.
Alamat rumah : Banjar Dinas Padang Aji Tengah, Peringsari, Selat Karangasem. No. Hp :
085237832582/085738693121.