mahkamah kehormatan dewan dalam konteks negara...

10
MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN DALAM KONTEKS NEGARA HUKUM Bivitri Susanti Frasa kunci “negara hukum” mengandung banyak pemahaman dan seakan tak pernah bisa habis dibahas. Berbagai pengertian negara hukum tentu kerap dibahas di mahkamah yang mempunyai peran penting dalam negara hukum ini. Mulai dari prinsip-prinsip yang kerap dibahas dan dijadikan rujukan secara internasional maupun nasional, hingga kategori institusional. Namun konteks negara hukum masih perlu dibahas sekali lagi dalam konteks lembaga perwakilan rakyat. Permohonan pengujian UU No. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut “UU MD3”) ini merupakan momentum yang baik untuk membongkar kembali konsep pengistimewaan pejabat negara dalam negara hukum. Pertanyaan kuncinya adalah: apakah kekhususan itu bisa dibenarkan dalam konteks negara hukum? Dalam paparan ini, saya membatasi pembahasan pada soal mendasar mengenai kekhususan tersebut dan mengenyampingkan (i) prosedur 30 hari yang diatur dalam Pasal 245 ayat (2) UU MD3; dan (ii) pengecualian yang diatur dalam Pasal 245 ayat (3) UU MD3. Secara garis besar, saya berpendapat bahwa kekhususan dalam menjalani proses hukum untuk pejabat-pejabat publik tertentu dapat diterima dalam konteks negara hukum karena ada tugas- tugas yang harus mereka jalankan. Namun kekhususan itu harus dilihat semata-mata untuk alasan pelaksanaan tugas, bukan untuk alasan lainnya. Karena itulah, ada konsep-konsep parliamentary privileges dan forum privilegiatum yang dikembangkan untuk alasan ini. Dalam hal ini, saya tidak sependapat dengan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK No. 73/PUU-IX/2011. Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi mengakui pentingnya menjaga wibawa dan kehormatan seorang pejabat negara sebagai “lambang dari kepemimpinan pemerintahan yang memiliki pimpinan tertinggi pemerintahan yaitu Presiden,” dalam memahami pemberian perlakukan khusus bagi kepala daerah. 1 Dalam pandangan saya, argumentasi wibawa dan kehormatan sudah tidak layak lagi dipergunakan dalam konteks negara hukum yang kontemporer. Disampaikan dalam Sidang Pengujian Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di Mahkamah Konstitusi RI, 8 Oktober 2014. Peneliti pada PSHK (Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia), PhD Candidate, University of Washington School of Law, Seattle, Amerika Serikat ([email protected]), 1 Putusan MK No. 73/PUU-IX/2011, hlm. 74.

Upload: hoangthuan

Post on 06-Feb-2018

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN DALAM KONTEKS NEGARA …icjr.or.id/data/wp-content/uploads/2014/08/Keterangan-Ahli-UU-MD3... · negara sebagai “lambang dari ... makalah ini saya bagi

MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN DALAM KONTEKS NEGARA HUKUM

Bivitri Susanti Frasa kunci “negara hukum” mengandung banyak pemahaman dan seakan tak pernah bisa habis dibahas. Berbagai pengertian negara hukum tentu kerap dibahas di mahkamah yang mempunyai peran penting dalam negara hukum ini. Mulai dari prinsip-prinsip yang kerap dibahas dan dijadikan rujukan secara internasional maupun nasional, hingga kategori institusional. Namun konteks negara hukum masih perlu dibahas sekali lagi dalam konteks lembaga perwakilan rakyat. Permohonan pengujian UU No. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut “UU MD3”) ini merupakan momentum yang baik untuk membongkar kembali konsep pengistimewaan pejabat negara dalam negara hukum. Pertanyaan kuncinya adalah: apakah kekhususan itu bisa dibenarkan dalam konteks negara hukum? Dalam paparan ini, saya membatasi pembahasan pada soal mendasar mengenai kekhususan tersebut dan mengenyampingkan (i) prosedur 30 hari yang diatur dalam Pasal 245 ayat (2) UU MD3; dan (ii) pengecualian yang diatur dalam Pasal 245 ayat (3) UU MD3. Secara garis besar, saya berpendapat bahwa kekhususan dalam menjalani proses hukum untuk pejabat-pejabat publik tertentu dapat diterima dalam konteks negara hukum karena ada tugas-tugas yang harus mereka jalankan. Namun kekhususan itu harus dilihat semata-mata untuk alasan pelaksanaan tugas, bukan untuk alasan lainnya. Karena itulah, ada konsep-konsep parliamentary privileges dan forum privilegiatum yang dikembangkan untuk alasan ini. Dalam hal ini, saya tidak sependapat dengan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK No. 73/PUU-IX/2011. Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi mengakui pentingnya menjaga wibawa dan kehormatan seorang pejabat negara sebagai “lambang dari kepemimpinan pemerintahan yang memiliki pimpinan tertinggi pemerintahan yaitu Presiden,” dalam memahami pemberian perlakukan khusus bagi kepala daerah.1 Dalam pandangan saya, argumentasi wibawa dan kehormatan sudah tidak layak lagi dipergunakan dalam konteks negara hukum yang kontemporer. Disampaikan dalam Sidang Pengujian Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di Mahkamah Konstitusi RI, 8 Oktober 2014.

Peneliti pada PSHK (Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia), PhD Candidate, University of Washington School of Law, Seattle, Amerika Serikat ([email protected]),

1 Putusan MK No. 73/PUU-IX/2011, hlm. 74.

Page 2: MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN DALAM KONTEKS NEGARA …icjr.or.id/data/wp-content/uploads/2014/08/Keterangan-Ahli-UU-MD3... · negara sebagai “lambang dari ... makalah ini saya bagi

Pengkhususan untuk kelancaran pelaksaan tugas tersebut tetap memerlukan batasan agar tetap berada dalam koridor negara hukum. Dalam hal ini, saya bersepakat dengan pendapat Mahkamah Konstitusi dalam putusan di atas untuk membatasi pengkhususan ini dengan asas-asas peradilan pidana. Pengkhususan tersebut tidak boleh sampai berakibat pada terhambatnya proses hukum.2 Pertanyaan berikutnya, dengan alasan kelancaran pelaksanaan tugas anggota dewan dalam negara hukum, bagaimana seharusnya pengkhususan ini dilaksanakan? Lantas, relevankah kekhususan itu diberikan melalui persetujuan dari Mahkamah Kehormatan Dewan? Untuk menjelaskan pendapat dan menjawab pertanyaan di atas, makalah ini saya bagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama membahas mengenai prinsip-prinsip negara hukum dan kaitannya dengan prosedur khusus bagi anggota dewan. Untuk dapat menjelaskan kekhususan ini dalam konteks UU MD3, saya akan memaparkan konsep parliamentary privileges dan forum privilegiatum. Batasan-batasan terhadap pengkhususan ini juga akan dibahas pada bagian ini karena batasan ini diperlukan untuk tetap menempatkan pengkhususan anggota dewan dalam koridor negara hukum. Bagian kedua menjabarkan bentuk Mahkamah Kehormatan Dewan. Apakah dengan bentuknya itu, Mahkamah Kehormatan Dewan adalah organ forum yang tepat untuk memberikan izin? Bagian ketiga mengajukan skema ideal bagaimana seharusnya pengkhususan ini diberikan, dengan didasarkan pada pembahasan sebelumnya 1. PRINSIP NEGARA HUKUM DAN LEMBAGA PERWAKILAN Ada dua prinsip negara hukum yang relevan dibahas dalam kasus ini: prinsip persamaan di hadapan hukum dan prinsip independensi kekuasaan kehakiman. 1.1. Prinsip Persamaan di Hadapan Hukum Prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) sudah dituangkan dengan jelas dalam konstitusi kita. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 berbunyi, "Segala Warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya" Selain itu, Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan, "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Prinsip-prinsip negara hukum pada dasarnya merupakan hasil refleksi atas praktek dan pemikiran mengenai bagaimana seharusnya tatanan masyarakat diatur oleh hukum. Prinsip-prinsip itu merupakan patokan yang sifatnya umum. Selagi diterapkan, ada banyak aspek dalam 2 Ibid., hlm. 75.

Page 3: MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN DALAM KONTEKS NEGARA …icjr.or.id/data/wp-content/uploads/2014/08/Keterangan-Ahli-UU-MD3... · negara sebagai “lambang dari ... makalah ini saya bagi

praktik yang membutuhkan pemikiran dan rationale yang memadai. Salah satunya adalah pengkhususan dalam proses hukum untuk anggota dewan. Ada dua pendekatan yang relevan untuk didiskusikan untuk membahas pengkhususan ini. Pertama, prosedur khusus untuk pejabat negara untuk dapat diproses hukum secara cepat, yang lazim dikenal sebagai forum privilegiatum. Kedua, adanya hak-hak khusus legislator. a. Tentang Forum Privilegiatum Forum Privilegiatum atau privilege forum adalah forum khusus yang diberikan untuk pejabat-pejabat negara tertentu agar dapat menjalani proses hukum secara cepat, sehingga prosesnya hanya ada di satu tingkatan dan langsung bersifat final dan mengikat. Dari segi proses, persis dengan yang dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi. Untuk menjamin integritas proses cepat tersebut, forum ini biasanya dilakukan di pengadilan tertinggi (Mahkamah Agung) dan proses penyidikan dan penuntutan pun dilakukan secara khusus. Indonesia mengenalnya dari masa penjajahan Belanda. Konstitusi Belanda Pasal 119 menyatakan berbunyi: “Present and former members of the Parliament, Ministers, and State Secretaries shall be tried by the Supreme Court for offenses committed while in office. Proceedings shall be instituted by Royal Decree or by a resolution of the Second Chamber.” Forum ini di Belanda dilaksanakan oleh Hoge Raad (Mahkamah Agung). Sejak 1893, forum ini sudah dibatasi hanya untuk perkara-perkara perdata, bukan pidana. Saya mencoba menelusuri lebih jauh rationale adanya forum privilegiatum ini dan tidak menemukan alasan yang mendalam kecuali bahwa orang-orang yang mempunyai jabatan tinggi harus mempunyai sebuah forum khusus.3 Penelusuran selanjutnya menunjukkan aspek sejarah. Forum khusus ini mulai diadakan pada sekitar abad ke-15 untuk bisa membawa pejabat-pejabat dan penguasa feodal pada masa itu, yang tidak mau dan sangat sulit untuk dibawa ke pengadilan karena merasa lebih tinggi dari pengadilan. Forum ini diadakan untuk membuat mereka bersedia masuk ke ranah pengadilan; dan di sisi lainnya berguna untuk publik karena bisa membuat penguasa bertanggung jawab di hadapan hukum.4 Wewenang Hoge Raad Belanda ini kemudian dibawa oleh pemerintahan kolonial Indonesia. Setelah kemerdekaan, aturan ini terus diadopsi dan dituangkan dalam UUD RIS 1949 maupun UUDS 1950. Pasal 106 UUDS 1950 menyatakan:

3 Roel de Lange, “Political and Criminal Responsibility,” vol 6.4 ELECTRONIC JOURNAL OF COMPARATIVE LAW,

(December 2002), http://law.kub.nl/ejcl/64/art64-18.html. Penelurusan ini perlu dilanjutkan karena dalam penulisan makalah ini saya dibatasi oleh ketidakmampuan saya dalam berbahasa Belanda.

4 C. J. Zuijderduijn, Medieval Capital Markets: Markets for Renten, State Formation and Private Investment in

Holland (1300-1550) (Leiden, Boston: Brill, 2009), hlm. 40.

Page 4: MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN DALAM KONTEKS NEGARA …icjr.or.id/data/wp-content/uploads/2014/08/Keterangan-Ahli-UU-MD3... · negara sebagai “lambang dari ... makalah ini saya bagi

“Presiden, Wakil Presiden, Menteri-menteri, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Mahkamah Agung, Djaksa Agung pada Mahkamah Agung, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Dewan Pengawas Keuangan, Presiden Bank-Sirkulasi dan juga pegawai-pegawai, anggota-anggota majelis-majelis tinggi dan pejabat-pejabat lain yang ditunjuk dengan undang-undang, diadili dalam tingkat pertama dan tertinggi juga oleh Mahkamah Agung, pun sesudah mereka berhenti, berhubung dengan kejahatan dan pelanggaran lain yang ditentukan dengan undang-undang dan yang dilakukannya dalam masa pekerjaannya, kecuali jika ditetapkan lain dengan undang-undang”.

Dalam melihat UUDS 1950, Soepomo tidak menjelaskan darimana asal muasal pasal ini. Ia hanya menyatakan bahwa pasal-pasal UUDS 1950 diambil begitu saja dari Konstitusi RIS.5 Bisa jadi, pasal ini diadopsi dari peraturan kolonial yang mengaturnya sebelum kemerdekaan. Dalam Staatsblad 1867 No. 10 (diubah terakhir dengan Staatsblad 1941 No. 31), aturan ini resmi diberlakukan di Hindia Belanda, dengan didasarkan pada penggolongan hukum (Eropa, timur asing, dan bumiputera). Masuknya penguasa Jepang pada 1942 membuat aturan ini diadopsi lebih jauh tanpa didasarkan pada penggolongan hukum. Namun kemudian UUD 1945 tidak memuat adanya forum ini di dalamnya. Forum ini baru diadopsi kembali dengan diberlakukannya UUD RIS 1949, yang isinya kemudian diambil sebagai UUDS 1950 yang dikutip di atas. Berdasarkan ketentuan ini, Menteri Negara Sultan Hamid, Menteri Luar Negeri Ruslan Abdulgani, Menteri Kehakiman Djodi Gondokusumo dan beberapa pejabat lainnya pernah diadili dengan mekanisme forum previlegiatum. Dengan diberlakukannya kembali UUD 1945 pada 1959, forum privilegiatum kembali tidak berlaku; dan pada 1959, Mahkamah Agung memutuskan untuk tidak lagi mempunyai jurisdiksi ini.6 Ini kemudian dikuatkan dengan UU Mahkamah Agung dan UU Kekuasaan Kehakiman yang dibuat kemudian. Yang perlu diperhatikan, sesungguhnya prosedur perizinan untuk pemeriksaan pejabat negara termasuk dalam forum privilegiatum. Konsep forum istimewa ini tidak hanya mengatur hukum acara di pengadilan, tetapi juga proses hukum secara umum, termasuk penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Nampaknya, kewajiban izin bagi pejabat negara yang kita anut sekarang merupakan penggalan dari forum privilegiatum yang sudah tidak lagi kita miliki. Ini bisa dilihat dari bagian Penjelasan Umum Undang-Undang No. 13 Tahun 1970 Tata Cara Tindakan Kepolisian terhadap Anggota-Anggota/Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong. Dikatakan:

5 R. Supomo, Undang Undang Sementara Republik Indonesia (Jakarta: Noordhoff-Koff, 1954).

6 Sebastiaan Pompe, The Indonesian Supreme Court: A Study of Institutional Collapse (Ithaca: Cornell University

Press, 2005), mengutip S. Mertokusumo, Sedjarah Peradilan dan Perundangan-undangan Sedjak 1942 dan Apa Kemanfaatnja bagi kita bangsa Indonesia, (Bandung: Kilatmadju, 1971).

Page 5: MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN DALAM KONTEKS NEGARA …icjr.or.id/data/wp-content/uploads/2014/08/Keterangan-Ahli-UU-MD3... · negara sebagai “lambang dari ... makalah ini saya bagi

“[U]ndang-undang Dasar 1945 tidak mengenal apa yang disebut forum privilegiatum, sehingga apa yang diatur di dalam Undang-undang ini hanyalah mengenai tata-cara tindakan kepolisian tersebut yang dimasukkan pula ke dalamnya mengenai pemanggilan sehubungan dengan tindak pidana dan meminta keterangan tentang tindak pidana, tanpa menyampingkan hukum acara yang berlaku.”

Dalam perjalanan selanjutnya, adanya izin sebagai penggalan dari konsep forum privilegiatum ini dilestarikan dengan masuknya ketentuan itu dalam berbagai undang-undang. Dengan rationale menjaga “harkat dan martabat” pejabat negara, pemeriksaan pejabat negara harus dengan izin presiden sebagai kepala negara, meskipun proses yang khusus dalam beracara sudah tidak lagi ada dalam sistem peradilan Indonesia. b. Tentang Parliamentary Privileges Keistimewaan bagi anggota dewan jamak dikenal dalam berbagai praktek kenegaraan. Parliamentary privileges (dalam tradisi parlemen Inggris/ Westminster atau Privileges for the House of Representatives di Amerika Serikat) mempunyai dua tujuan. Pertama, memberikan imunitas bagi anggota lembaga perwakilan agar tidak dapat dituntut secara perdata di muka hukum karena apa yang dinyatakannya dalam sidang. Tanpa hak imunitas, bisa jadi legislator merasa tak bebas mengemukakan pendapat dan mendorong perbaikan bagi konstituennya karena selalu terancam digugat secara hukum oleh lawan-lawan politiknya. Esensi kebebasan berbicara inilah satu-satunya alasan yang membuat legislator seakan-akan kebal hukum. Namun mereka tidak sepenuhnya kebal. Mereka hanya tidak bisa dihukum atas apa yang diucapkannya di dalam sidang. Di luar kapasitasnya sebagai wakil rakyat, legislator tetap warga negara biasa. Karena itulah, keistimewaan parlemen (parliamentary privilege) ataupun hak imunitas hanya berlaku untuk gugatan perdata, khususnya untuk soal pencemaran nama baik atau semacamnya. Kemudian, untuk membatasi kebebasan berbicara tersebut, dibuat pula perangkat aturan sidang mengenai bahasa yang tidak dapat digunakan di dalam sidang parlemen. Kata-kata kasar, makian, dan kebohongan tidak boleh digunakan dalam sidang-sidang parlemen. Dalam tradisi parlemen Inggris, ini disebut “unparliamentary language.” Kedua, efektivitas kerja mereka sebagai anggota dewan. Bentuknya adalah perlindungan bagi anggota dewan untuk ditahan untuk kasus perdata selama masa sidang. Bila ditahan, mereka tidak akan bisa berpartisipasi dalam sidang. Dengan alasan yang sama, di negara dengan sistem jury, mereka tidak dibebaskan dari kewajiban menjadi anggota jury dan juga tidak diperkenankan menjadi saksi, yang membuat mereka tidak hadir dalam sidang. Perlu dicatat, di luar masa sidang mereka tetap dapat ditahan untuk kasus perdata. Dan yang lebih penting, tidak ada pengecualian sama sekali bagi mereka untuk perkara-perkara pidana.

Page 6: MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN DALAM KONTEKS NEGARA …icjr.or.id/data/wp-content/uploads/2014/08/Keterangan-Ahli-UU-MD3... · negara sebagai “lambang dari ... makalah ini saya bagi

1.2. Prinsip Independensi Peradilan Prinsip lainnya yang harus diperhatikan dalam pengistimewaan anggota dewan adalah adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak. Meskipun ada berbagai kriteria dan pemahaman negara hukum, prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak merupakan salah satu prinsip utama dalam negara hukum. Adanya persyaratan izin dari Mahkamah Kehormatan Dewan, terlepas dari soal batas waktu dan pengecualian, sesungguhnya merupakan bentuk intervensi kekuasaan kehakiman. Meski izin ini tidak berkaitan langsung dengan hakim, kekuasaan kehakiman mencakup juga proses peradilan secara luas. Aparat penegak hukum dalam melaksanakan proses peradilan, mulai dari penyelidikan sampai adanya putusan pengadilan, tidak boleh mendapatkan tekanan apapun. Mahkamah Konstitusi-pun telah berpendapat mengenai hal ini, dalam Putusan MK No. 73/PUU-IX/2011, Mahakamah berpendapat “Dengan adanya syarat persetujuan tertulis dari Presiden untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, akan menghambat percepatan proses peradilan dan secara tidak langsung mengintervensi sistem penegakan keadilan.”7 Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi juga berpendapat dalam Putusan MK No. 6-13-20/PUU-VIII/2010 jo. Putusan MK No. 73/PUU-IX/2011, bahwa tafsir kekuasaan kehakiman meliputi hal-hal yang berkaitan dengan penegakan hukum dan keadilan dalam penyelenggaraan sistem peradilan pidana. Dengan demikian, sehingga sifat independensi peradilan meliputi keseluruhan proses sistem peradilan pidana yang dimulai sejak penyelidikan, penyidikan, penuntutan, proses persidangan, sampai penjatuhan dan pelaksanaan hukuman. Dengan begitu, untuk prinsip negara hukum dalam hal independensi kekuasaan kehakiman, persyaratan izin untuk memeriksa anggota dewan tidaklah tepat. 2. RELEVANSI MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN Menurut UU MD3, Mahkamah Kehormatan Dewan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap dan bertugas menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat (Pasal 119 UU MD3). Mahkamah Kehormatan Dewan terdiri dari 17 orang yang terdiri dari berbagai fraksi di DPR dengan memperhatikan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota setiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang (Pasal 120 UU MD3). Ada tiga hal yang perlu disoroti dalam bagian ini. Pertama, mengenai posisi Mahkamah Kehormatan. Kedua, mengenai potensi benturan kepentingan. Dan ketiga, mengenai tujuan pengaturan. 7 Putusan MK No. 73/PUU-IX/2011, hlm. 72.

Page 7: MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN DALAM KONTEKS NEGARA …icjr.or.id/data/wp-content/uploads/2014/08/Keterangan-Ahli-UU-MD3... · negara sebagai “lambang dari ... makalah ini saya bagi

2.1. Posisi Mahkamah Kehormatan Seperti dibahas di atas, persyaratan adanya izin pemeriksaan bagi pejabat negara di Indonesia berakar pada forum privilegiatum yang dulu pernah diterapkan di Indonesia. Rationale-nya, adalah untuk menjaga harkat dan martabat pejabat negara dalam konteks pejabat negara sebagai sebagai “lambang dari kepemimpinan pemerintahan yang memiliki pimpinan tertinggi pemerintahan yaitu Presiden.”8 Dengan demikian, yang seharusnya memberikan izin adalah kepala negara, atau dalam konteks aparat penegak hukum, atasan aparat penegak hukum tersebut. Sedangkan Mahkamah Kehormatan dewan sebenarnya merupakan lembaga etik, yang setara dengan anggota lainnya dan tidak memiliki hubungan langsung pada sistem peradilan pidana. Adanya tambahan wewenang Mahkamah Kehormatan untuk memberikan izin pemeriksaan berada di luar tugas sebuah lembaga etik. 2.2. Potensi Benturan Kepentingan Masalah lainnya adalah potensi benturan kepentingan yang sangat besar, mengingat anggotanya yang terdiri dari fraksi-fraksi yang ada. Kerja Badan Kehormatan DPR pada periode-periode lalu dapat dijadikan rujuan untuk pandangan ini. Untuk kasus-kasus dugaan pelanggarankode etik yang melibatkan partai berkuasa, Badan Kehormatan terlihat ragu dalam mengambil keputusan. Sementara bagi anggota DPR yang posisinya hanya sebagai anggota, Badan Kehormatan dapat mengambil putusan yang signifikan, bahkan sampai memecatnya dari keanggotaan DPR. Sebuah penelitian mengungkapkan hal ini dengan membandingkan kasus anggota DPR Azzidin yang dilaporkan ke Badan Kehormatan karena kasus surat kop Partai Demokrat yang dikirimkan ke Konsul Haji Di Jeddah, berkaitan dengan percaloan pemondokan haji dan katering.9 Dikatakan dalam penelitian tersebut, kasus tersebut diputus dalam waktu hanya enam minggu, padahal bukti yang dilaporkan terbataskarena hanya berupa kutipan di media masa. Sementara itu, dalam kasus pengaduan Ketua DPR Agung Laksono terkait dengan safari Ramadhan yang dilakukannya, Badan Kehormatan membekukan kasus tersebut. Badan Kehormatan menyatakan tidak ada kasus yang perlu digali lebih jauh karena buktinya tidak otentik, padahal ada bukti rekaman dari tiga daerah pada saat safari Ramadhan itu dilakukan. 2.3. Tujuan Pengaturan Selain diskusi di atas, pada kesempatan yang baik ini, saya juga ingin mempertanyakan maksud pembuat undang-undang dalam merumuskan pasal ini. Menarik untuk dilihat, meski dalam hal

8 Putusan MK No. 73/PUU-IX/2011, hlm. 74.

9 Fitrie Goesmayanti, “Efektivitas Badan Kehormatan DPR,” makalah tanpa tanggal, 2012.

Page 8: MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN DALAM KONTEKS NEGARA …icjr.or.id/data/wp-content/uploads/2014/08/Keterangan-Ahli-UU-MD3... · negara sebagai “lambang dari ... makalah ini saya bagi

materi muatan, alat-alat kelengkapan kesemua dewan perwakilan rakyat yang diatur dalam UU MD3 mempunyai kesamaan dalam penamaan, penamaan Mahkamah Kehormatan ini hanya diberikan untuk DPR. Sedangkan untuk DPD, MPR, maupun DPRD, terminologi Badan Kehormatan masih digunakan. Demikian pula, kewajiban memintakan izin pemeriksaan, hanya berlaku untuk DPR; dan tidak untuk dewan-dewan lainnya. Kelihatannya, ini terjadi karena “Mahkamah Kehormatan” memang mempunyai pemahaman tersendiri. Karena minimnya akses ke dokumen pembahasan, saya belum menemukan jawaban pasti mengenai tujuan pembentukan Mahkamah Kehormatan ini. Namun dari penelusuran pemberitaan di internet dari media yang cukup mempunyai kredibilitas, terlihat adanya tujuan khusus untuk memberikan wewenang pemberian izin pemeriksaan anggota DPR kepada Mahkamah Kehormatan. Perubahan nama Badan menjadi Mahkamah ditujukan untuk menempatkan alat kelengkapan ini sebagai semacam lembaga yang mempunyai kedudukan yang ditinggikan. Benny K. Harman, anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat misalnya mengatakan, ketika UU MD3 masih dalam tahap pembahasan, perbedaan Badan Kehormatan dan Mahkamah Kehormatan terletak pada kewenangan untuk membentuk komite penyelidikan. Lebih jauh dikatakannya juga,

"Didiskusikan tidak hanya anggota DPR saja atau tokoh-tokoh masyarakat. Kalau rumusan MD3 melakukan pelanggaran sumpah janjinya yang mengadili adakah BK tingkatkan otoritasnya supaya lebih berwibawa, membentuk komite khusus untuk penyelidikan."10

Opini lainnya dari anggota DPR diungkapkan oleh anggota Komisi I DPR RI Hidayat Nur Wahid, yang menekankan kehormatan anggota DPR RI. Nampak adanya keprihatinan mengenai banyaknya anggota DPR yang terlibat dalam kasus korupsi. Harian Republika mengutip, Hidayat menyatakan, saat ini anggota DPR terlalu mudah dipanggil menjadi saksi dalam persidangan-persidangan kasus korupsi. Hal ini menurutnya menimbulkan citra buruk di mata masyarakat dan mengurangi kepercayaan publik terhadap parlemen. Dikatakannya:

“DPR itu dimanapun adalah orang yang terhormat. Mestinya memang mereka adalah orang yang terhormat… Jadi di MD3 itu ada ketentuan bahwa nanti badan kehormatan itu nanti akan berganti menjadi mahkamah kehormatan dewan. Mahkamah kehormatan itu yang melaksanakan tugas-tugas badan kehormatan sekarang ditambah dengan beberapa hal yang lain, termasuk kalau terkait dengan korupsi, terutama terkait dgn korupsi apalagi tangkap tangan itu kembali lagi pada hukum KPK,” ujar Hidayat.11

10

Randi Ferdi Firdaus, UU MD3 baru, DPR wacanakan ganti BK jadi Mahkamah Kehormatan, Merdeka.com, 9 Juni 2014, <http://www.merdeka.com/politik/uu-md3-baru-dpr-wacanakan-ganti-bk-jadi-mahkamah-kehormatan.html>, dikutip pada 8 Oktober 2014.

11 DPR Bentuk Mahkamah Kehormatan Dewan, Republika, 29 Agustus 2014,

<http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/08/29/nb2h4q-dpr-bentuk-mahkamah-kehormatan-dewan>, dikutip pada 8 Oktober 2014.

Page 9: MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN DALAM KONTEKS NEGARA …icjr.or.id/data/wp-content/uploads/2014/08/Keterangan-Ahli-UU-MD3... · negara sebagai “lambang dari ... makalah ini saya bagi

Bila tujuan pengaturan ini terkonfimasi, maka sesungguhnya Pasal 245 yang tengah diperiksa ini memang dengan sengaja didisain untuk mempersulit pemanggilan anggota dewan oleh aparat penegak hukum. = 3. SKEMA IDEAL PENGKHUSUSAN PROSES HUKUM BAGI ANGGOTA DEWAN Meskipun dalam kesempatan ini saya tidak perlu menyampaikan masukan, karena Mahkamah Konstitusi bukan legislator, pembahasan di atas tidak akan jelas maksudnya bila tidak berujung pada skema ideal yang tepat bagi negara hukum Indonesia. Maka izinkanlah saya memberikan sedikit kesimpulan mengenai skema ideal pengkhususan proses hukum bagi anggota dewan sebagai penutup pemaparan ini. Dalam konteks negara hukum, anggota dewan mempunyai peran signifikan. Dalam negara hukum, ada aktor-aktor yang mempunyai peran penting dalam pelaksanaannya. Peran aparat penegakan hukum dijaga dengan adanya prinsip independensi peradilan. Darinya diturunkan perangkat aturan mengenai, antara lain, kode etik dan kode perilaku. Anggota dewan, di sisi lainnya berperan sebagai pembentuk peraturan - pembentuk perangkat hukum. Konteks peran anggota dewan berbeda dengan adanya konteks kompetisi dan prosedur politik. Namun dalam tugasnya sebagai pembentuk perangkat hukum, terkandung suatu bentuk kerentanan, yaitu dalam menyatakan pendapat dalam sidang dewan sebagai forum publik. Anggota dewan berperan menyuarakan aspirasi publik, dalam bahasa Daniel Dhakidae, ada “kuasa wicara” atau power of speech pada diri anggota dewan.12 Kuasa wicara ini perlu diberikan proteksi khusus dalam konteks negara hukum agar bisa digunakan secara maksimal dalam proses pembentukan hukum. Legislator harus merasa bebas dalam melaksanakan kuasa wicaranya. Karena itu, dalam pandangan saya, pengkhususan ini dapat dibenarkan dalam konteks negara hukum sepanjang tetap berada dalam koridor prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman. Ditambah, sesuai pendapat Mahkamah Konstitusi, perlakuan khusus ini tidak boleh bertentangan dengan asas-asas peradilan pidana, apalagi sampai berakibat pada terhambatnya proses hukum.13 Pemberian izin ternyata bertentangan dengan prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman, dan berakibat pada terhambatnya proses hukum, sehingga tidak tepat untuk digunakan sebagai bentuk kekhususan dimaksud. Apalagi, rationale proses pemberian izin ini tidak sejalan dengan pemahaman mengenai negara hukum karena merupakan warisan pengaturan yang sudah bersifat usang dan tak layak lagi diterapkan, yaitu penjagaan martabat dan kehormatan pejabat.

12

Daniel Dhakidae, “Dewan Perwakilan Rakyat dan Kemampuan Mengolah Kuasa Wicara,” dalam F. Harianto Santoro (ed.), Wajah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Pemilihan Umum 1999, (Jakarta: Kompas, 2000), hlm. xxv.

13 Putusan MK No. 6-13-20/PUU-VIII/2010 jo. Putusan MK No. 73/PUU-IX/2011

Page 10: MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN DALAM KONTEKS NEGARA …icjr.or.id/data/wp-content/uploads/2014/08/Keterangan-Ahli-UU-MD3... · negara sebagai “lambang dari ... makalah ini saya bagi

Argumen pemberian kekhususan yang lebih dapat diterima dalam konteks negara hukum dan jamak dipraktekkan dalam praktek ketatanegaraan kontemporer adalah argumen pelaksanaan tugas. Apalagi dalam konteks penegakan hukum di Indonesia pada saat ini yang masih belum bisa memberikan kepastian waktu dalam proses peradilan. Selain itu, perlu digarisbawahi, dalam praktik, ada concern mengenai kriminalisasi terhadap pejabat negara. Dalam konteks politik dan hukum Indonesia pada saat ini, concern ini sangat valid dan telah terbukti terjadi, misalnya dalam kasus kriminalisasi Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2009 lalu. Untuk itu, skema ideal yang perlu dipertimbangkan adalah dikembalikannya forum privilegiatum dalam hukum Indonesia. Perlu ada prosedur yang dipercepat, terbuka, dan dapat dipertanggungjawabkan, agar pejabat-pejabat negara tetap dapat menjalankan tugasnya sebagai pejabat negara, tanpa melanggar prinsip kesamaan kedudukan di hadapan hukum dan independensi kekuasaan kehakiman. Jakarta, 9 Oktober 2014.